Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu
membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal
muamalah, seperti jual beli, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan
umum. Namun sering kali dalam kehidupan sehari-hari banyak di temui kecurangan-
kecurangan dalam urusan muamalah ini dan merugikan masyarakat. Untuk menjawab segala
problema tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya
kepada manusia yang telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam Al-Qur’an dan
hadits, dan tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya pula agar hubungan antar
manusia berjalan dengan lancar dan teratur.
Sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama
dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan

Oleh karena itu, dalam makalah ini, sengaja dibahas mengenai jual beli, karena sangat
kental dengan kehidupan masyarakat. Disini pula akan banyak dibahas mulai daripengertian
jual beli, dasar jual beli, syarat dan rukun jualbeli dan jual beli yang terlarang, tujuannya
untuk mempermudah praktek muamalah dalam kehidupan sehari-hari dan supaya tidak
mudah untuk terjerat dalam lingkaran kecurangan yang sangat meresahkan dan merugikan
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka dirumuskan rumusan masalah adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana definisi Obligasi?
2. Bagaimana syarat dan rukun dalam melaksanakan jual beli?
3. Bagaimana cara mengetahui macam-macam jual beli yang terlarang?

1.3 Tujuan Penulisan

1
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penulisannya adalah sebagai berikut
1. Agar mengetahui tentang definisi jual beli.
2. Agar mengetahui syarat dan rukun dalam melaksanakan jual beli.
3. Agar mengetahui cara macam-macam jual beli yang terlarang.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Obligasi
Obligasi adalah surat utang yang dikeluarkan oleh emiten (dapat berupa badan
hukum/perusahaan atau pemerintah) yang memerlukan dana untuk kebutuhan operasi
maupun ekspansi mereka (Huda dkk, 2008). Investasi pada obligasi memiliki potensial
keuntungan lebih besar daripada produk perbankan. Keuntungan berinvestasi di obligasi
adalah memperoleh bunga dan kemungkinan adanya capital gain.Secara umum dapat juga
diartikan obligasi adalah surat utang jangka panjang yang diterbitkan oleh suatu lembaga,
dengan nilai nominal (nilai pari/par value) dan waktu jatuh tempo tertentu (Huda dkk, 2008).
Penerbit obligasi bisa perusahaan swasta, BUMN atau pemerintah, baik pemerintah pusat
maupun daerah. Salah satu jenis obligasi yang diperdagangkan di pasar modal kita adalah
kupon (coupon bond) dengan tingkat bunga tetap (fixed) selama masa berlaku obligasi.
Karakteristik Obligasi
Perusahaan yang meminjam dana melalui alat utang jangka panjang seperti obligasi,
pasti memberikan pendapatan kepada investor berupa bunga atau kupon. Untuk lebih
jelasnya, Abdul Manan dalam artikelnya yang berjudul Obligasi Syariah menyebutkan
bahwa secara umum terdapat beberapa karakteristik obligasi sebagai instrumen utang jangka
panjang adalah ;

Jenis-Jenis Obligasi
Heru Sudarsono dalam buku Bank dan Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan
jenis-jenis obligasi, diantaranya yaitu :
1. Berdasarkan Penerbitan, obligasi berdasarkan penerbitan dibagi menjadi empat, yaitu
Obligasi Pemerintah Pusat, Obligasi Pemerintah Daerah, Obligasi Badan Usaha Milik
Negara, dan Obligasi Perusahaan Swasta.

2. trust certificates atau obligasi yang dijamin aset tertentu, Collateralized mortgage atau
obligasi yang dijamin pool of mortgages atau portofolio mortgage-backed securities.

3
3. Berdasarkan Jenis Kupon, dibagi menjadi Fixed rate yaitu obligasi yang memberikan tingkat
kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh tempo, Floating rate yaitu obligasi yang tingkat
bunganya mengikuti tingkat kupon yang berlaku di pasar, dan Mixed rate yaitu obligasi yang
memberikan tingkat kupon tetap untuk periode tertentu.

4. Berdasarkan Peringkatnya, yaitu Investement grade bonds dengan ketentuan minimal BB+,
Non-investment-grade bonds dengan ketentuan CC atau speculative bond, dan D atau junk bond.

5. Berdasarkan Kupon, yaitu Coupon bonds pada obligasi berkupon dan Zero coupon bonds
untuk obligasi nirkupon.

6. Berdasarkan Call Feature, yaitu Freely collable bond adalah obligasi yang dapat ditarik
kembali oleh penerbitnya setiap waktu sebelum masa jatuhtempo, Non-collable bond yaitu
setelah obligasi diterbitkan dan terjual tidak dapat dibeli/ditarik kembali oleh penerbitnya
sebelum obligasi tersebut jatuh tempo, Deffered collable bond adalah kombinasi antara freely
collable bond dan non-collable bond.

7. Berdasarkan Konversi, dibagi menjadi Convertible bond yaitu obligasi yang dapat
ditukarkansaham setelah jangka waktu tertentu dan Non-convertible bond yaitu obligasi yang
tidak dapat dikonversi menjadi saham.

2.2 Pengertian Sukuk (obligasi syariah)


Secara terminologi shak (sukuk) adalah sebuah kertas (buku) atau catatan yang padanya
terdapat perintah dari seseorang untuk pembayaran uang dengan jumlah tertentu pada orang lain
yang namanya tertera pada kertas tersebut. Kata sukuk juga berasal dari bahasa Persia yaitu ‘jak’,
lalu masuk dalam bahasa Arab dengan nama ‘shak’. Shak adalah asal kata dari kata cek atau
cheque yang terdapat dalam bahasa Inggris dimana ia pada dasarnya adalah surat hutang(Hamid,
2009).
Sukuk bentuk jamak dari sakk merupakan istilah Arab yang dapat diartikan sertifikat.
Sukuk ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah islam. Istilah tersebut sudah dikenal
sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan
internasional.1
1
Burhanuddin, Pasar Modal Syariah, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta), hlm. 58

4
Menurut Peraturan No.IX.A.13 hasil Keputusan Bapepam-LK Nomor: KEP-
130 /BL/2006 tentang penerbitan efek syariah, yang dimaksud dengan Sukuk adalah efek syariah
berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan
yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: 1) kepemilikan aset berwujud tertentu; 2) nilai
manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; atau 3) kepemilikan
atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
Sukuk secara umum dapat dipahami sebagai “obligasi” yang sesuai dengan prinsip
syariah. Dalam bentuk sederhana sukuk menggambarkan kepemilikan dari suatu asset. Klaim
atas sukuk tidak mendasarkan pada cash flow melainkan pada kepemilikan. Kedudukan inilah
yang membedakan antara sukuk dengan obligasi konvensional yang selama dini berfungsi
sebagai surat pengakuan utang. Karena kontrak (obligasi) disusun berdasarkan prinsip syariah,
maka disebut obligasi syariah. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No:
32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah yang dimaksudkan dengan obligasi syariah
adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan
kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil, margin atau fee serta membayar dana
obligasi pada saat jatuh tempo.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa obligasi syariah merupakan
surat pengakuan kerjasama yang memiliki ruang lingkup yang lebih beragam dibandingkan
hanya sekedar surat pengakuan hutang. Keberagaman tersebut dipengaruhi oleh berbagai akad
yang telah digunakan. Seperti akad mudharabah, murabahah, salam, istishna, dan ijarah (Lihat
Fatwa No:32/DSN-MUI/IX/2002).
Tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syraiah. Untuk dapat menerbitkan
obligasi syariah, ada beberapa persyaratan berikut yang harus dipenuhi:2
a. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa
No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan berbagai jenis kegiatan usaha yang
dilarang karena bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah misalnya: (1) usaha perjudian dan
permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (2) usaha lembaga keuangan
konvensional (ribawl), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (3) usaha yang
memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan, dan minuman haram; (4) usaha

2
Burhanuddin, Pasar Modal Syariah, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarrta, 2008), hlm. 60

5
yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang
merusak moral dan bersifat mudharat
b. Peringkat investment grade: (1) memiliki fundamental usaha yang kuat; (2) keuangan
yang kuat; (3) memiliki reputasi yang baik dalam masyarakat
c. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index /JII.
Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku
mudharib, pengelola dana dan investor bertindak selaku shahibul mal, alias pemilik modal.
Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari
pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara
mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah
mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat utang, lebih lanjut, Hakim mengatakan bahwa
transaksi investment, bukan utang piutang. Oleh karena itu, investment merupakan milik pemilik
modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari
diperbolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.3

Sejarah Obligasi Syariah (Sukuk)


Dalam periode klasik, sukuk berasal dari bentuk jamak dalam bahasa Arab yakni ‘sak’
bermakna akta atau sertifikat kepemilikan. Sumber lain menyebutkan, kata tersebut kemudian
menjadi asal dari kata ‘cheque’ dalam bahasa Eropa yang berarti sebuah dokumen yang
merepresentasikan sebuah kontrak (contracts) atau pengalihan kepemilikan (conveyance of
rights), obligasi (obligations) atau kewajiban yang harus dipenuhi (monies done) berdasarkan
prinsip syariah.
Namun demikian, fakta historis menunjukkan bahwa sukuk merupakan produk yang
digunakan secara luas pada abad pertengahan Islam untuk mentransfer kewajiban keuangan yang
berasal dari perdagangan dan kegiatan komersial lainnya (Kholis, 2011). Literatur lain
menceritakan hal senada bahwa sukuk secara umum digunakan untuk perdagangan internasional
di wilayah muslim pada abad pertengahan. Fakta historis menunjukkan bahwa sukuk secara
nyata digunakan secara luas oleh masyarakat muslim pada abad pertengahan dalam bentuk surat

3
Sutedi, Ardian, Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 111

6
berharga yang mewakili kewajiban pembiayaan yang berasal dari perdagangan dan kegiatan
komersial (Kholis, 2011).
Dalam perkembangannya, upaya mengembangkan dan meluncurkan surat berharga mirip
obligasi yang sesuai syariah dilakukan kembali pada 1978 oleh Yordania. Pemerintah setempat
mengizinkan Bank Islam Jordan menerbitkan obligasi Islami yang dikenal dengan obligasi
mukharadah. Hal ini kemudian diikuti dengan diterbitkannya Muqaradah Bond Act 1981. Upaya
senada juga dilakukan Pakistan yang menerbitkan undang-undang (UU) khusus yang disebut
Peraturan tentang Perusahaan Mudharabah dan Aturan Pengembangan dan Kontrol Mudharabah
1980. Sayangnya, tidak satu pun dari semua upaya ini yang menghasilkan aktivitas berarti karena
minimnya infrastruktur yang sesuai dan kurangnya transparansi dalam pasar tersebut.
Penerbitan obligasi Islam yang pertama kali sukses adalah Government Investment
Issues (GII) – sebelumnya dikenal dengan Government Investment Certificate (GIC) – yang
dilakukan oleh pemerintah Malaysia pada 1983. Namun, langkah inovasi yang ada lamban dan
institusi finansial Islam saat itu tidak dapat mengembangkan pasar aktif bagi sekuritas tersebut.
Berikutnya, kesuksesan sekuritisasi aset dalam pasar konvensional menghadirkan kerangka yang
justru dapat diaplikasikan untuk aset Islam. Pada akhir 1990, struktur berbasis aset yang cukup
diakui dalam bentuk sukuk dikembangkan di Bahrain dan Malaysia. Struktur ini menarik
perhatian investor dan peminjam karena dianggap kendaraan potensial untuk mengembangkan
pasar kapital Islam (Kholis, 2011).

Jenis-Jenis Obligasi

Heru Sudarsono dalam buku Bank dan Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan jenis-jenis
obligasi, diantaranya yaitu :

1. Berdasarkan Penerbitan, obligasi berdasarkan penerbitan dibagi menjadi empat, yaitu


Obligasi Pemerintah Pusat, Obligasi Pemerintah Daerah, Obligasi Badan Usaha Milik Negara,
dan Obligasi Perusahaan Swasta.

2. Berdasarkan Jaminan, dibagi menjadi enam yaitu Unsecured bonds / debentures atau obligasi
tanpa jaminan, Indenture atau obligasi dengan jaminan, Mortgage bond atau obligasi yang
dijamin dengan properti, Collateral trust atau obligasi yang dijamin dengan sekuritas, Equipment

7
trust certificates atau obligasi yang dijamin aset tertentu, Collateralized mortgage atau obligasi
yang dijamin pool of mortgages atau portofolio mortgage-backed securities.

3. Berdasarkan Jenis Kupon, dibagi menjadi Fixed rate yaitu obligasi yang memberikan tingkat
kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh tempo, Floating rate yaitu obligasi yang tingkat
bunganya mengikuti tingkat kupon yang berlaku di pasar, dan Mixed rate yaitu obligasi yang
memberikan tingkat kupon tetap untuk periode tertentu.

4. Berdasarkan Peringkatnya, yaitu Investement grade bonds dengan ketentuan minimal BB+,
Non-investment-grade bonds dengan ketentuan CC atau speculative bond, dan D atau junk bond.

5. Berdasarkan Kupon, yaitu Coupon bonds pada obligasi berkupon dan Zero coupon bonds
untuk obligasi nirkupon.

6. Berdasarkan Call Feature, yaitu Freely collable bond adalah obligasi yang dapat ditarik
kembali oleh penerbitnya setiap waktu sebelum masa jatuhtempo, Non-collable bond yaitu
setelah obligasi diterbitkan dan terjual tidak dapat dibeli/ditarik kembali oleh penerbitnya
sebelum obligasi tersebut jatuh tempo, Deffered collable bond adalah kombinasi antara freely
collable bond dan non-collable bond.

7. Berdasarkan Konversi, dibagi menjadi Convertible bond yaitu obligasi yang dapat ditukarkan
saham setelah jangka waktu tertentu dan Non-convertible bond yaitu obligasi yang tidak dapat
dikonversi menjadi saham.

Keuntungan obligasi syariah

Penerbitan obligasi syariah berfungsi sebagai instrument pembiayaan (financing) dan


sekaligus investasi (investment) yang dapat ditawarkan ke dalam berbagai bentuk atau struktur
sesuai akad syariah. Berdasarkan jenis akad yang digunakan, bentuk keuntungan penerbitan
obligasi syariah dapat dibedakan menjadi dua macam:4

a. Pembagian hasil berdasarkan akad persekutuan (asy-syirkah) yaitu berupa


mudharabah/ musyarakah. Obligasi syariah yang menggunakan akad persekutuan
ini akan memberikan keuntungan berupa bagi hasil (profit and loss sharing)

8
antara investor sebagai shahib al-mal dengan perusahaan yang menjalankan usaha
sebagai mudharib.
b. Pembagian margin/fee berdasarkan akad pertukaran (al-ba’i) yaitu murabahah,
salam, istishna, dan ijarah. Dalam fiqh muamalah akad ini bersifat natural
certainty contract, sehingga obligasi syariah yang menggunakannya akan
memberikan hasil yang pasti dan dapat diperkirakan sebelumnya.
Obligasi merupakan surat utang jangka menegah-panjang yang dapat dipindah tangankan
yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada
periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak
pembeli obligasi tersebut.5
Macam-macam Obligasi Syariah
Di Indonesia terdapat dua jenis obligasi syariah:
a. Obligasi Syariah Mudharabah
Menurut fatwa No: 33/DSN-MUI/IX/2002, yang dimaksudkan dengan Obligasi
Syariah Mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad
mudharabah dengan memperhatikan substansi fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia No.7/ DSN-MUI/IV /2002 tentang Pembiayaan
Mudharabah. Dengan kata lain, istilah obligasi syariah mudharabah dapat
diartikan sebagai surat penerbitan kontrak kerjasama untuk menjalankan usaha
berdasarkan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Ada dua tipe akad
mudharabah yaitu mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat), dan
mudharabah muqayyadah (investasi terikat).
b. Obligasi syariah ijarah
Merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad ijarah. Ijarah adalah
suatu akad untuk menggunakan manfaat suatu barang atau jasa dengan
memberikan imbalan. Artinya pihak yang menyewakan memberikan hak kepada
pihak lain untuk memnfaatkan objek yang diijarahkan, namun dengan kewajiban
penyewa harus memberikan imbalan sesuai dengan hasil kesepakatan.6

5
Sutedi, Ardian, Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 112
6
Burhanuddin, Pasar Modal Syariah,, hlm. 66

9
Dalam akad ijarah, pada prinsipnya terjadi pemindahan manfaat yang bersifat sementara,
namun tidak disertai adanya pemindahan kepemilikan. Ketentuan obligasi syariah diatur dalam
fatwa Nomor: 41/ DSN-MUI/III/2004
1. Ketentuan Penerbitan Obligasi Syariah (sukuk)
Sepanjang tidak termuat pada Peraturan Nomor IX.A.13,Emiten yang melakukan penawaran
umum sukuk wajib:
a. Mengikuti Peraturan Nomor IX.A.1 tentang ketentuan umum pengajuan pernyataan
pendaftaran serta ketentuan tentang penawaran umum yang terkait lainnya
b. Menyampaikan kepada Bapepam-LK hasil pemeringkatan dan perjanjian
perwaliaamanatan sukuk serta akad syariah yang terkait dengan penerbitan sukuk
dimaksud
c. Menyampaikan kepada Bapepam-LK pernyataan bahwa kegiatan usaha yang
mendasari penerbitan sukuk tidak bertentangan prinsip syariah
d. Menyampaikan pernyataan dari wali amanat sukuk bahwa wali amanat sukuk
mempunyai penanggungjawab atas pelaksaan kegiatan yang perwaliamanatan yang
mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar
modal.

A. Pengertian Asuransi Islam

Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min, penanggung disebut
mu’ammin, bertanggung disebut mu’ammanlahu atau musta’min. At-ta’min diambil dari kata
amana yang berarti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut,
seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106): 4, yaitu “Dialah Allah yang mengamankan
mereka dari ketakutan”.7 Pengertian dari at-ta’min adalah seseorang membayar atau
menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana
kesepakatan, atau untuk mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya yang hilang.
Dalam bahasa Belanda, kata asuransi disebut “assurantie” yang terdiri dari asal kata
“assaradaeur” yang berarti penanggung dan “geassureede” yang berarti tertanggung. Kemudian
7
Wirdayaningsih. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 221

10
dalam bahasa Perancis disebut “assuarance” yang berarti menanggung sesuatu yang pasti
terjadi.
Adapun menurut UU No. 2 Tahun1992 tentang perasuransian: Asuransi atau pertanggungan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikat diri mereka
kepada tertanggung denagn menerima premi asuransi untuk memberi penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau tanggungjawab kepada pihak ke tiga yang
mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk
memberiakan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggugkan.8
Musthafa Ahmad az-Zarq memaknai asuransi sebagai suatu cara untuk memelihara manusia
dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya
atau dalam aktivitas ekonominya. Ia berpendapat bahwa sistem asuransi bertujuan untuk
menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh pelaku kepada orang yang
tertimpa musibah tertentu. Penggantian tersebut berasal dari premi mereka.
Di Indonesia asuransi dikenal dengan istilah takaful yang berarti menjamin atau saling
menanggung. Secara umum, pengertian asuransi adalah perjanjian antara penanggung (dalam hal
ini perusahaan asuransi) dengan tertanggung (peserta asuransi) dimana penanggung menerima
pembayaran resmi dari tertanggung. Dan penanggung berjanji membayarkan sejumlah uang atau
dana pertanggungan manakala tertanggung:
1. Mengalami kerugian, kerusakan, hillangnya suatu barang atau kepentingan yang
dipertanggungkan karena suatu peristiwa yang tidak pasti.
2. Berdasarkan hidup atau hilangnya nyawa seseorang.
Dari semua bentuk kata dan pengertian tersebut bahwa maksud dan tujuan dari kata itu
adalah sama. Jadi, yang dimaksud dengan asuransi islam adalah asuransi yang sumber hukum,
akad, jaminan (risiko), pengelolaan dana, investasi, kepemilikan, dan lain sebagainya
berdasarkan atas nilai dan prinsip syariah.

B. Sejarah dan Dasar Hukum Asuransi islam


Secara historis kajian tentang “asuransi” telah dikenal sejak zaman dahulu. Ini dikarenakan
nilai dasar penopang dari konsep “asuransi” yang terwujud dalam bentuk tolong-menolong

8
Huda, Nurul dan Muhammad heykal. Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 151

11
sudah ada bersama dengan adanya manusia.9 Istilah yang digunakan tentunya berbeda-beda,
tetapi masing-masing memiliki kesamaan, yaitu adanya pertanggungan oleh sekelompok orang
untuk menolong orang lain yang berada dalam kesulitan.
Dalam islam, praktek asuransi pernah dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. Yaitu pada saat ia
menafsirkan mimpi dari raja Fir’aun. Tafsiran yang ia sampaikan bahwa Mesir akan mengalami
masa 7 oanen yang melimpah dan diikuti dengan masa 7 tahun paceklik. Untuk menghadapi
masa paceklik itu, nabi yusuf as menyarankan agar menyisihkan sebagian dari hasil pada masa 7
tahun pertama. Saran dari nabi Yusuf as diikuti oleh sang Raja, sehingga paceklik dapat
ditangani dengan baik.10
Adapun mengenai landasan syariah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa
hukum-hukum muamalat adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dal al-Qur’an hanya
memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja, selebignya terbuka bagi mujtahid untuk
mengembangkan melalui pemikirannya selam tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-
Hadits.
Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa konsep asuransi pada dasarnya sama dengan
menentang qadha dan qadr Allah yang telah ditetapkan atau bertentangan denagn takdir. Pada
dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian merupakan takdir yang
telah ditetapkan Allah SWT. Disini ada dua pandangan, yaitu pandangan yang membolehkan dan
pandangan yang mengharamkan:
1. Pandangan yang mengharamkan, alasannya dikemukakan oleh Syekh Muhammad al-
Ghazali, alasannya adalah:
a. Di akhir masa asuransi, dana premi akan dikembalikan beserta denagn bunganya.
Praktik ini merupakan riba dan diharamkan.
b. Adanya penggantian akan kerugian kepada pihak yang terjamin tidak dapat
diterima sesuai denagn syariat Islam, karena perjanjian asuransi bukanlah
perjanjian kerja sama dimana terdapat keuntungan dan kerugian.
c. Perusahaan asuransi tidak akan pernah bisa bebas dari bunga ataupun kegiatan
ribawi lainnya, dan
d. Hanya sebagian kecil dari yang mengikuti akan merasakan manfaaat dari
asuransi.
9
Nurul Huda dan Muhammad Heykal. Lembaga keuangan islam,(Jakarta: Kencana, 2010) hlm. 155
10
Wirdyaningsih. Bank dan Asuransi islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana , 2005), hlm. 224

12
2. Pandangan yang membolehkan tentang asuransi islam, terdapat beberapa landasan
hukum, di antaranya adalah:
a. Al-qur’an
Dalam al-qur’an memang tidak dijelaskan secara utuh tentang praktik asuransi islam dan
tidak ada satupun ayat yang menjelaskan tentang prakti tersebut. Akan tetapi, dalam al-Qur’an
terdapat ayat yang memuat tentang nilai-nilai asuransi Islam antara lain:
1. Perintah Allah SWT mempersiapkan hari depan dalam QS. Al-Hasyr: 18.
2. Perintah Allah saling menolong dan bekerjasama dalam QS. Al-Maidah: 2.
b. Sunnah Nabi SAW.
1. Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang. “barangsiapa
yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang muslim, maka Allah SWT
akan menghilangkan kesulitannya di hari kiamat”.
2. Hadits tentang mengurus anak yatim.11
c. Ijtihad.
1. Fatwa sahabat
2. Ijma’
3. Qiyas.
Pada umumnya alasan para ‘ulama yang menentang praktik asuransi antara
lain:
1. Asuransi adalah perjanjian pertaruhan dan merupakan perjudian semata-mata.
2. Asuransi melibatkan urusan yang tidak pasti.
3. Asuransi jiwa merupakan suatu usaha yang dirancang untuk merendahkan
iradat Allah.
4. Dalam asuransi jiwa, jumlah premi tidak tetap karena tertanggung tidak
mengetahui berapa kali bayaran angsuran yang dapat dilakukan olehnya
sampai ia mati.
5. Perusahaan asuransi meninvestasikan uang yang telah dibayar oleh
tertanggung dalam bentuk jaminan berbunga. Dalam asuransi jiwa apabila
tertanggung mati, dia akan mendapat bayaran yang lebih dari jumlah uang
yang telah dibayar. Ini adalah riba (faedah atau bunga).

11
Nurul Huda dan Muhammad heykal. Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 168.

13
6. Bahwa semua perniagaan asuransi berdasarkan riba dilarang dalam Islam.

C. Perbedaan Pendapat ‘Ulama Tentang Asuransi


Di lihat dari segi manfaat yang dihasilkan dari perjanjian asuransi ini, maka dapat
dibagi menjadi 3 macam12, yaitu:
1. Asuransi yang bersifat bisnis
Pada asuransi ini terdapat dua puhak yang terpisah kepentingannya, yaitu antara pihak
penanggung (perusahaan) dan pihak tertanggung (peserta). Pihak penanggung menghendaki uang
premi yang dibayarkan, sedang pihak tertanggung menghendaki pembayaran ganti rugi atas
risiko yang dipertanggungkan. Semua pembayaran premi yang telah diberikan menjadi milik
penanggung sebagai imbalan dari bisnis pertanggungan dalam jangka waktu yang telah
disepakati.
1. Asuransi yang bersifat kolektif
Asuransi jenis ini disebut juga sebagai asuransi timbal-balik atau kooperatif, yaitu pihak
pemberi pertanggungan (perusahaan) dan penerima jasa (peserta) seluruhnya berada dalam satu
pihak sebagai pengelola asuransi. Caranya adalah dengan mengadakan perjanjian bersama
sejumlah orang yang biasa menghadapi hal-hal yang berbahaya dengan komitmen akan
memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi kepada setiap anggota yang tertimpa bahaya.
Bahaya yang dimaksud sudah dimasukkan ke dalam daftar tanggungan asuransi.
2. Asuransi Sosial
Jenis ini bisanya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan memberikan manfaat untuk masa
depan rakyatnya, yaitu dengan cara memotong sebagian gaji para pegawai dan pekerja. Contoh
dari jenis asuransi ini adalah, asuransi dana pensiun, asuransi kesehatan dan keselamatan kerja,
dan lain sebagainya.

D. Akad dan Produk Asuransi islam


Secara umum, akad yang ada dalam konsep asuransi islam merupakan akad tijarah dan juga
akad tabarru’. Akad tijarah yang dipakai adalah akad mudharabah, sedang akad tabarru’ yang
digunakan merupakan hibah.
Beberapa produk asuransi Islam yang sudah ada di indonesia:

12
Wirdyaningsih. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm 244-245.

14
1. Produk tabungan. Biasanya digunakan sebagai sarana investasi, juga dapat digunakan
untuk keperluan naik haji, atau juga kepentingan pendidikan.
2. Produk asuransi islam bukan tabungan. Program ini dapat dibagi dalam beberapa
jenis, yaitu santunan yang dapat diberikan kepada ahli waris nasabah asuransi islam
yang mengalami kematian dalam masa perjanjian asuransi, atau biasa disebut al-
khairat, santunan bagi ahli waris bila nasabah wafat karena kecelakaan dalam masa
perjajian, dan juga dana asuransi islam untuk kepentingan kesehatan.
3. Produk asuransi islam bukan tabungan untuk kepentingan umum (general Islamic
insurance).
Selain menggunakan akad mudarabah, konsep produk asuransi islam juga dapat
menggunakan akad wadiah, wakalah, dan musyarakah.
Akad wadiah, wadiah berarti meninggalkan atau menjaga. Akad yang digunakan dalam
asuransi Islam ini adalah wadiah yad dhamanah, dimana pihak yang dititipkan dana, dalam hal
ini perusahaan asuransi Islam berhak untuk memanfaatkan dana tersebut. Penitipan dilakukan
dalam rekening giro. Di indonesia, PT Asuransi Islam Mubarakah adalah salah satu contoh
perusahaan asuransi yang menggunakan akad wadiah yad dhamanah.
Akad wakalah. Wakalah berarti penyerahan, atau pendelegasian. Wakalah merupakan
pelimpahan atau pendelegasian wewenang dari satu pihak untuk dilaksanakan oleh pihak
lainnya.

Akad musyarakah. Musyarakahberarti perjanjian antara dua pihak ataupun lebih dalam
melaksanakan suatu usaha tertentu. Konsep asuransi islam pada dasarnya merupakan konsep
musyarakah dimana terdapat perusahaan asuransi yang memiliki tenaga dan juga keahlian, serta
peserta asuransi Islam yang memiliki dana dan juga modal.13

13
Nurul huda dan Muhammad Heykal. Lembaga Keuangan islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 181-184.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijelaskan maka dapat ditarik kesimpulan:
3.2 Saran
Dengan adanya proses jual beli maka seseorang bisa memenuhi kebutuhan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dalam hubungan antara manusaia saling
terjaga dan saling menghormati, di harapkan dilakukanya penjelasan dalam tema

16
yang berbeda sehingga akan terdapatkanya pemahaman dan kejelasan di
selanjutnya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomian), Bandung: CV.Diponegoro, 1992,
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1975). Jilid
II
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: pustaka setia, 2006),
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2005),
jilid V, cet. Ke-8, h. 3304. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1983), jilid III, cet. Ke-4,

18

Anda mungkin juga menyukai