Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HERPES GENITALIA

OLEH KELOMPOK 5 :

SITTI HARDIANTI (202209043)

NIRWATI (202209067)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN S1 KEBIDANAN

ITKES MUAMMADIAH SIDRAP

T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji adalah milik Allah SWT semata, semoga shalawat dan
salam selalu dilimpahkan kepada Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat
serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dan dengan Rahmat-Nyalah
akhirnya MAKALAH dapat terselesaikan dengan judul“Herpes Genitalia”.
Kelompok kami menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan kami sebagai manusia biasa. Oleh
karenanya pada kesempatan ini kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai
pihak yang sifatnya membangun untuk kebaikan dan penyempurnaan selanjutnya.

Kami tahu bahwa makalah ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik
tanpa bimbingan, dukungan, motivasi, arahan dan saran dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, kami mengucapkan
terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian Makalah
ini.

Semoga segala bantuan, bimbingan dan saran yang diberikan kepada kami
senantiasa mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah
Subhanahu wataala. Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan Manfaat. Aamiin yarabbal Alamin

Sinjai, 21 Oktober 2023

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...............................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................2
C. TUJUAN PEMBELAJARAN...................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
A. SEJARAH VIRUS.....................................................................................3
B. PENGERTIAN HERPES GENITALIA....................................................4
C. DATA KASUS KEJADIAN HERPES GENITALIA...............................6
D. GEJALA KLINIS HERPES GENITALIA................................................7
E. STRUKTUR VIRUS PENYEBAB HERPES GENITALIA.....................9
F. STRANSMISI HERPES GENITALIA.....................................................11
G. MANIFESTATSI KLINIK HERPES GENITALIA.................................11
H. PATOFISIOLOGI HERPES GENITALIA...............................................13
I. PENANGANAN DAN PENGENDALIAN HERPES GENITALIA.......15
J. PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA HERPES GANITALIA...15
BAB III PENUTUP.............................................................................................18
I. KESIMPULAN........................................................................................18
REFERENSI........................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang
sering ditemui dan telah berhasil mempengaruhi kehidupan jutaan pasien beserta
pasangannya. Kebanyakan individu mengalami gangguan psikologi dan
psikososial sebagai akibat dari nyeri yang timbul serta gejala lain yang menyertai
ketika terjadi infeksi aktif. Oleh karena penyakit herpes genital tidak dapat
disembuhkan serta bersifat kambuh-kambuhan, maka terapi sekarang difokuskan
untuk meringankan gejala yang timbul, menjarangkan kekambuhan, serta
menekan angka penularan sehingga diharapkan kualitas hidup dari pasien menjadi
lebih baik setelah dilakukan penanganan dengan tepat.
Herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi
yang tinggi di berbagai negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis.
Infeksi herpes genitalis adalah infeksi genitalia yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (HSV) terutama HSV tipe II. Dapat juga disebabkan oleh HSV tipe I
pada 10-40% kasus. Sebagian besar terjadi setelah kontak seksual secara
orogenital. Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau
tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat
berlangsung baik primer maupun rekurens.
Penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks dikenal dengan
sebutan fever blister , cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, atau herpes
progenitalis (genitalis).(1) Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus
yang menulari manusia. Serupa dengan herpes zoster, herpes simpleks
menyebabkan luka-luka yang sangat sakit pada kulit. Gejala pertama biasanya
gatal-gatal dan kesemutan/perasaan geli, diikuti dengan lepuh yang membuka dan
menjadi sangat sakit. Infeksi ini dapat dorman (tidak aktif) dalam sel saraf selama
beberapa waktu namun tiba-tiba infeksi menjadi aktif kembali. Herpes dapat aktif
tanpa gejala.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah dari virus?
2. Bagaimana pengertian dari herpes genital?
3. Bagaimana data kasus yang telah terjadi?
4. Bagiamana gejala klinis dari herpes genital?
5. Bagaimana struktur dan karateristik virus yang menyebabkan herpes
genital?
6. Bagaimana cara transmisi dari herpes genital?
7. Bagaimana manifestasi klinik dari herpes genital?
8. Bagaimana patofisiologi herpes genital?
9. Bagaimana cara pencegahan atau pengendalian herpes genital?
10. Bagaimana cara pemeriksaan laboratorium herpes genital?

C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Untuk mengetahui sejarah dari herpes genital
2. Untuk mengetahui pengertian dari herpes genital
3. Untuk mengetahui data kasus yang telah terjadi
4. Untuk mengetahui gejala klinis dari herpes genital
5. Untuk mengetahui struktur dan karateristik virus yang menyebabkan
herpes genital
6. Untuk mengetahui cara transmisi dari herpes genital
7. Untuk mengetahui manifestasi klinik dari herpes genital
8. Untuk mengetahui patofisiologi herpes genital
9. Untuk mengetahui pencegahan atau pengendalian herpes genital
10. Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium herpes genital

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH VIRUS
Para peneliti yang menganalisis data fosil dan genetika virus telah
menemukan spesies manusia purba pertama yang menyebarkan virus herpes
kelamin ke seluruh populasi manusia, Dia adalah Paranthropus boisei, spesies
primata bertubuh kekar yang berjalan dengan dua kaki, berotak kecil, wajah
seperti cakram, dan tinggi sekitar 1,2 meter. Giginya yang sangat besar membuat
ia dijuluki Nutcracker Man (Manusia Pemecah Kacang). Infeksi awal terjadi
antara 3-1,4 juta tahun yang lalu. Paranthropus boisei adalah wadah perantara
yang paling penting untuk mentransmisikan HSV-2 antara simpanse dan nenek
moyang Homo sapiens.
Virus herpes tersebut diperkirakan masuk ke dalam tubuh P boisei
melalui daging simpanse yang terinfeksi saat perburuan atau pemulungan
bangkai simpanse. Ataupun bisa dari gigitan maupun cakaran simpanse
yang bisa memindahkan virus itu melalui luka. Sementara masuknya virus
pada manusia kemungkinan disebabkan hubungan seks antar-Homo
erectus, karena mengonsumsi P. boisei, atau keduanya. Secara kebetulan,
Homo erectus yang menjadi nenek moyang manusia modern (homo
sapiens) hidup berdampingan dengan P boisei di sekitar Danau Turkana,
Kenya.
Menurut Underdown, penularan HSV-2 tidak terjadi secara seksual
seperti yang berlaku di zaman modern. Dia mengatakan, sangat tidak
mungkin bila Homo erectus tertarik secara seksual kepada P boisei. Dari
infeksi awal ini, virus HSV2 kemudian berpindah dari mulut ke alat
kelamin melalui sentuhan, entah dari cairan urin atau goresan, hingga virus
tersebut menemukan rumah baru di tubuh manusia.
Secara esensial, saat manusia bermigrasi ke luar Afrika, mereka
telah membawa HSV-2 ke manapun mereka pergi. HSV-2 menginfeksi
seumur hidup dan bisa diturunkan dari ibu kepada anak atau antar-
pasangan seksual, sehingga menjamin penyebaran mereka di manapun

3
manusia berada. Dr Houldcroft dan timnya menggunakan data mulai dari
temuan fosil hingga DNA herpes dan iklim Afrika kuno. Mereka
memasukkan data ini ke dalam program komputer yang memodelkan
probabilitas transmisi HSV2 untuk spesies hominin yang menjelajahi
Afrika tiga juta tahun yang lalu.
Mereka menggunakan model jaringan Bayesian--sebuah model
grafik menggunakan probabilitas, variabel acak, dan dependensi
kondisional--untuk mengombinasikan data iklim kuno, DNA herpes dan
fosil, lalu menentukan kemungkinan adanya HSV-2 dan bagaimana ia
menyebar. Mereka lalu menemukan setengah lusin tersangka dari 30
spesies prasejarah yang ada. Sang pelaku harus hidup pada masa
paleontologi dan lingkungan geografi yang sama dengan nenek moyang
manusia. Hasilnya, P. boisei menjadi spesies dengan probabilitas transmisi
virus tertinggi karena ia berada di tempat dan waktu yang tepat untuk
menjadi perantara HSV-2.

B. PENGERTIAN HERPES GENITALIA


HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang
merupakan virus DNA. Virus herpes simpleks hanya menginfeksi
manusia.
Penyakit yang ditimbulkan Virus Herpes Simplex (. HSV-2 )
a. Herpes Genetalis
Herpes genetalis ditandai oleh lesi-lesi vesikuloulseratif pada penis
pria atau serviks, vulva, vagina, dan perineum wanita. Lesi terasa sangat
nyeri dan diikuti dengan demam, malaise, disuria, dan limfadenopati
inguinal. Infeksi herpes genetalis dapat mengalami kekambuhan dan
beberapa kasus kekambuhan bersifat asimtomatik. Bersifat simtomatik
ataupun asimtomatik, virus yang dikeluarkan dapat menularkan infeksi pada
pasangan seksual seseorang yang telah terinfeksi.
b. Herpes neonatal
Herpes neonatal merupakan infeksi HSV-2 pada bayi yang baru lahir.
Virus HSV-2 ini ditularkan ke bayi baru lahir pada waktu kelahiran melalui

4
kontak dengan lesi-lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk menghindari infeksi,
dilakukan persalinan melalui bedah caesar terhadap wanita hamil dengan
lesi-lesi herpes genetalis. Infeksi herpes neonatal hampir selalu simtomatik.
Dari kasus yang tidak diobati, angka kematian seluruhnya sebesar 50%.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan
pada media kultur, antigenic marker , dan lokasi klinis (tempat predileksi).
(1) Terdapat perbedaan antara kedua tipe HSV secara biologis, contohnya
tingkat rekurensi infeksi HSV-2 pada genital lebih sering daripada HSV-1.
Sebaliknya, infeksi nongenital yang disebabkan HSV-1 tingkat
rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV genital terjadi
enam kali lebih sering daripada infeksi HSV pada orolabial.(5)
Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan
jaringan atau sekret dari penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada
alat genital didapatkan dari partner dengan infeksi subklinis. Pasangan
yang aktif secara seksual dan sama-sama terinfeksi HSV tidak akan
mengalami reinfeksi satu sama lain. Autoinokulasi dapat menyebabkan
herpetic whitlow atau keratokonjungtivitis, terutama saat infeksi primer,
namun jarang pada infeksi herpes rekuren. Belum ada bukti penelitian
bahwa HSV dapat menular melalui fomites, penggunaan pakaian atau
handuk secara bersama ataupun dari lingkungan. Penularan perinatal
kepada bayi baru lahir dapat terjadi, terutama jika infeksi baru terjadi pada
kehamilan trimester akhir.(3) HSV memiliki kemampuan untuk
menyerang dan melakukan replikasi di dalam jaringan saraf, kemudian
virus tersebut memasuki masa laten di dalam jaringan saraf, terutama di
ganglia trigeminal untuk HSV-1, dan pada ganglia sacralis untuk HSV-2.
Akhirnya, virus laten tersebut melakukan reaktivasi dan bereplikasi
sehingga menyebabkan penyakit pada kulit.(5)
Herpes genitalis akibat HSV-2 biasanya lebih sering mengalami
reaktivasi daripada herpes genitalis akibat HSV-1. Manifestasi klinis pada
herpes genitalis rekuren biasanya lebih ringan dan lebih singkat dari pada
infeksi pertama, biasanya berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering
ditemukan gejala prodormal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa

5
panas, gatal, dan nyeri. Bersama dengan herpes genital rekuren dapat
ditemukan cervicitis, uretritis, limfadenopati, neuropati, gejala sistemik,
namun sangat jarang.(3)

C. DATA KASUS KEJADIAN HERPES GENITALIA


Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun
wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh virus
herpes simpleks (HSV) tipe I biasanya dimulai pada anak-anak, sedangkan
infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan
berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.(1)
Insidens infeksi primer HSV-1 yang menyebabkan herpes labialis
paling banyak terjadi pada masa kanak-kanak, dimana 30-60% anak-anak
biasanya terekspos oleh virus ini. Jumlah kejadian infeksi HSV-1
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mayoritas ditemukan
pada orang dewasa berusia 30 tahun atau lebih d engan HSV-2 seropositif.
(2) Infeksi HSV-2 berhubungan dengan perilaku seksual. Antibodi
terhadap HSV-2 sangat jarang ditemukan sebelum terjadi aktivitas seksual
dan meningkat secara terus menerus setelahnya.
Pada tahun 2005-2008, prevalensi infeksi HSV-2 pada populasi
usia 14-49 tahun di Amerika Serikat sebesar 16%, angka tersebut stabil
sejak tahun 2001-2004 yaitu sebesar 17%; dengan prevalensi yang lebih
tinggi pada wanita yaitu 21%, sedangkan pada pria 12%. Kira-kira 45 juta
penduduk Amerika Serikat terinfeksi HSV-2; jika digabung dengan yang
terinfeksi HSV-1 mungkin mencapai 60 juta orang.(3)Berdasarkan survei
kesehatan nasional yang dilakukan oleh CDC (Centers for Disease Control
and Prevention) pada tahun 2010 menyatakan bahwa insidens infeksi
HSV-2 pada warga Amerika Serikat masih tinggi, dimana 1 dari 6 warga
Amerika Serikat terinfeksi HSV-2 dan prevalensinya tinggi pada
perempuan dan ras Afrika- Amerika (16,2%) antara usia 14-49 tahun.(4)Di
Eropa Barat, prevalensi HSV-2 secara umum lebih lebih rendah daripada

6
di Amerika Serikat, yaitu berkisar antara 10-15% pada hampir semua
negara.(3)Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo
pada tahun 2005-2007 ditemukan hasil yang kurang lebih sama, yaitu
insidens herpes genitalis lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibanding laki-laki dengan rasio 1.96:1, usia terbanyak penderita
bervariasi antara 25-34 tahun, terutama sesudah menikah.

D. GEJALA KLINIS HERPES GENITALIA


Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya bilateral.
Umumnya dapat ditemukan vaginal discharge. Urethral discharge umum
ditemukan pada laki-laki, biasanya disertai dengan disuria berat. Lesi
kutaneus muncul setelah 7-15 hari berupa papul, menjadi vesikel, menjadi
pustul, menjadi ulkus, lalu menjadi krusta. Lesi pada mukosa atau
permukaan yang lembab (misalnya introitus vagina, labia minor, uretra,
rektum) mengalami ulserasi lebih awal, sering disertai dengan nyeri yang
berat dan tidak berubah menjadi krusta. Nyeri dan bengkak pada daerah
inguinal juga sering ditemukan, biasanya bilateral. Infeksi yang didapatkan
melalui seks secara anal dapat dirasakan nyeri pada rektum, keluar cairan,
tenesmus, dan beberapa gejala dari proctitis. Demam, malaise, nyeri
kepala juga sering ada, dan kadang-kadang fotofobia dan kaku pada leher.
(3)

7
Lesi yang ditemukan pada tipe ini biasanya lebih sedikit daripada
infeksi primer. Biasanya terjadi selama 10-20 hari. Nyeri dan bengkak
pada daerah inguinal lebih jarang ditemukan daripada infeksi primer.(3)
Pada herpes genitalis rekuren biasanya terbentuk les i berkelompok yang
terdiri dari 2-10 lesi, lokasinya di bagian lateral dari garis tengah dan
hanya terdapat di satu sisi tubuh. Lesi tersebut biasanya timbul 2-3 cm dari
lokasi lesi sebelumnya. Gejala infeksi rekuren selain dapat terjadi di
genital dan perianal, juga dapat terjadi di daerah bokong, paha, dan perut
bagian bawah (disebut juga area “boxer shorts”). Lesi yang paling sering
ditemukan adalah lesi ulseratif atipikal, tanpa didahului oleh periode
vesikular ataupun pustular. Gejala neurologis prodormal biasanya muncul
1-2 hari sebelum timbul lesi, biasanya berupa parestesia (rasa terbakar,
kesemutan), atau hypesthesia pada daerah lesi atau di sepanjang perjalanan
nervus sakralis. Gejala sistemik dan pembengkakan daerah inguinal jarang
ditemukan.(3)

 Kelompok Resiko Tinggi


1. Kehamilan
Manifestasi klinis infeksi herpes genialis kronik hampir sama baik
padawanita hamil maupun tidak hamil, meskipun kehamilan tidak
meningkatkanfrekuensi dari rekurensi. Infeksi primer selama kehamilan
lebih sering berhubungan dengan komplikasi seperti penyebaran secara

8
viseral, terutamajika infeksi didapatkan pada trimester ketiga. Infeksi primer
yang didapat saatkehamilan harus diobati dengan obat-obatan antiviral
sistemik.(6)
2. Neonatus
Infeksi HSV pada neonatus memiliki angka mortalitas sebesar 65%
danangka disabilitas jangka panjang sebesar 80%, meskipun telah diberikan
terapiantiviral. Lesi kutaneus sering ditemukan. Infeksi kongenital sangat
jarangterjadi dan hanya terjadi jika tertular saat usia kehamilan trimester
ketiga,manifestasinya berupa mikrosefali dan korioretinitis. Penatalaksanaan
untuk penyakit ini adalah asiklovir intravena dosis tinggi (20mg/kgBB
setiap 8 jamselama 21 hari). Penularan yang paling sering adalah pada saat
melahirkan,sedangkan kasus setelah proses kelahiran jarang ditemukan.
Bayi yang lahirdari ibu yang sedang terinfeksi herpes genitalis dengan lesi
aktif, harusditempatkan di ruang isolasi dan dilakukan kultur virus,
pemeriksaan fungsihati dan pemeriksaan cairan serebrospinal.
3. Hiv/Aids
Penderita dengan immunocompromised biasanya memiliki gejala
yanglebih berat serta lebih lama pada daerah genital, perianal, atau oral. Lesi
yangdisebabkan oleh HSV biasanya bersifat atipik, lebih nyeri, serta lebih
berat.Meskipun terapi antiretroviral bisa menurunkan tingkat keparahan dari
infeksiherpes genital, namun infeksi subklinik tetap dapat terjadi. Pemberian
terapisupresif atau terapi episodik menggunakan agen antivirus oral terbukti
efektifdalam memperingan manifestasi klinik dari HSV yang disertai
dengan infeksiHIV.
4. Wanita
HSV tipe dua memang lebih banyak ditemukan pada wanita. Hal ini
karena penularan dari pria ke wanita lebih efektif dibanding dari wanita ke
pria.Sekali seseorang terinfeksi HSV, virusnya akan tetap tinggal di tubuh
seumur hidup. Penularan virus ini terjadi melalui kontak langsung, termasuk
kontak kulit, seksual (vaginal, oral, atau seks anal), serta berciuman.

E. STRUKTUR VIRUS PENYEBAB HERPES GENITALIA

9
 Amplop
Herpes virus adalah virus yang memiliki amplop (selubung). Dari selubung
keluar tonjolan-tonjolan (spike) yang tersusun atas glikoprotein. Terdapat 10
glikoprotein untuk HSV-1 yaitu glikoprotein gB, gC, gD, gE,gG, gH, gI, gK, gL,
dan gM. Glikoprotein D dan glikoprotein B merupakan bagian penting untuk
infektivitas virus. Glikoprotein G HSV-1 berbeda dengan HSV-2 sehingga
antibodi terhadapnya dapat dipakai untuk membedakan kedua spesies tersebut.
Membran virus cukup rapuh dan virus dengan amplop rusak tidak menular (Ini
berarti bahwa virus mudah rusak dan sehingga virus hanya bisa diperoleh melalui kontak
langsung dengan permukaan mukosa atau sekresi dari orang yang terinfeksi ). Amplop
virus ini bersifat sedikit pleomorphic (mampu berubah bentuk), berbentuk bola dan
memiliki diameter 120-200 nm

 Tegument
Tegument terletak di antara amplop dan kapsid. Berisi-encoded
protein viral dan enzim yang terlibat dalam inisiasi replikasi

 Kapsid
Virus ini memiliki capsomere berbentuk donat, dengan diameter 100-200 nm
dengan nukleokapsid icosahedral, berisi 162 capsomeres

 Genome
Virus ini memiliki DNA untai ganda linier (double helix linear)

10
F. TRANSMISI HERPES GENITALIA

Proses penularan (transmisi) virus hanya membutuhkan kontak secara fisik


antara virus HVS 2 dengan lokasi yang sesuai, umumnya menyerang membrane
mukosa atau kulit yang terluka. Virus akan melekat pada sel epitel, kemudian
akan masuk dengan cara meleburkan diri dengan membrane sel, kemudian akan
terjadi replikasi yang menghasilkan lebih banyak virion yang akan mengakibatkan
kematian sel. Pada waktu yang bersamaan virus akan memasuki ujung saraf
sensoris yang mensarafi saluran genital. Virion kemudian ditransportasi ke inti sel
neuron di ganglia sensorik yaitu ganglia dorsalis sakralis. Virus dalam neuron
yang terinfeksi dan bereplikasi menghasilkan progeni, atau virus akan memasuki
keadaan laten tak bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus
progeny ke lokassi kulit tempat dilepaskannya virion sbelumnya dan menginfeksi
sel epitel yang berdekatan dengan ujung saraf sehingga terjadi penyebaran virus
(Prasetyo, Agung, 2005).
Wanita hamil yang belum mempunyai antibody terhadap virus HVS
2 sebagian besar akan mengalami infeksi herpes genitalis secara klinis bila
terpapar pasangan seksual yang mempunyai herpes genitalis. Namun
wanita hamil yang tidak mengalami infeksi pada awal kehamilannya
namun mempunyai pasangan yang positif terinfeksi , sebanyak 13% akan
menderita herpes genitalis pada saat persalinan (Prasetyo, Agung, 2005).

G. MANIFESTASI KLINIK HERPES GENITALIA

11
Infeksi yang disebabkan oleh HVS genitalis primer yang yang
simtomatis dengan periode inkubassi 2-20 hari akan menyebabkan
terjadinya kulit melepuh dan ulserassi pada genitalia eksterna dan serviks
serta ditandainya nyeri pada bagian vulva, dysuria, vaginal dan limfa
denopati lokalisata. Selain itu biasanya disertai dengan demam, nyeri
kepala dan myalgia. Walaupun begitu, infeksi HVS seringkali muncul
gejala yang kurang spesifik, sangat ringan, maupun tidak bergejala. Oleh
sebab itu, pemeriksaan sangat penting guna kepentingan diagnostic,
konseling dan menejemen terapi. Infeksi herpes genitalis berlangsung
dalam 3 tingkat.
1. Infeksi Primer
2. Fase Laten
3. Infeksi Rekurens
 Infeksi Primer
Infeksi primer oleh HSV-2 mempunyai tempat predileksi di daerah
pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan
herpes meningitis dan infeksi neonatus. Infeksi ini berlangsung lebih lama
dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala sistemik,
misalnya demam, malese, dan anoreksia, serta dapat ditemukan
pembengkakan kelenjar getah bening regional Limfadenopati lingual
(pembengkakan nodus limfe pada lipat paha), sakit kepala, mialgia (nyeri
pada otot), dan disuria (nyeri saat berkemih) sering dirasakan (ALMAYRA,
2018).
Kelainan klinis yang dijumpai berupa lesi pada kulit yang berbentuk
vesikel berkelompok dengan dasar eritem. Vesikel ini berisi cairan jernih
yang mudah pecah dalam 1-4 hari dan menimbulkan erosi multipel. Vesikel
dapat mengakibatkan gatal dan sakit, dapat disertai disuria dan sakit pada
rektum. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul
infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas dan
penyembuhannya memerlukan waktu lebih lama serta meninggalkan jaringan
parut. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes
simpleks. Pada infeksi ini, masa pelepasan virus (viral shedding) terjadi

12
kurang lebih 12 hari. Masa viral shedding ini sangat menentukan potensi
penularan dan pengambilan bahan sediaan untuk pemeriksaan biakan
(ALMAYRA, 2018).
Selanjutnya, komplikasi dapat timbul akibat penyebaran ekstragenital,
seperti pada bokong, paha atas, atau bahkan pada mata sebagai akibat
menyentuh lesi. Pasien harus dinasehatkan untuk mencuci tangan mereka
setelah kontak dengan lesi. Masalah potensial lainnya adalah meningitis
aseptik dan stres emosional yang berat yang berhubungan dengan diagnosis
(Jatmiko, Nurharini, Dewi, & Murtiastutik, 2009).
 Fase Laten
Setelah menimbulkan penyakit primer virus akan menuju ganglion
dorsalis. Fase ini berarti HSV pada penderita tidak ditemukan gejala klinis ,
tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis
(ALMAYRA, 2018).
 Fase Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan
tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala klinis . mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik
(demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan sebagainya), trauma
psikis (gangguan emosional dan menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis
makanan dan minuman yang merangsang (Jatmiko, Nurharini, Dewi, &
Murtiastutik, 2009).
Lesi rekurens dapat terjadi dengan cepat atau lambat, sedangkan gejala
yang timbul biasanya lebih ringan dari pada infeksi primer, karena telah ada
antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat, masa pelepasan
virus (viral shedding) berlangsung kurang lebih 5 hari.
Pada infeksi ini sering juga ditemukan gejala prodromal lokal sebelum
timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat
timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat disekitarnya(non
loco) (Prasetyo, Agung, 2005).

H. PATOFISIOLOGI HERPES GENITALIA

13
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau
mukosa dan bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia
sensoris dan terus bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-
saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer
HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris (Sterry, 2006).
Infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus menyerang
ganglion saraf; dan tahap kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit
di tempat yang sama. Pada infeksi primer kebanyakan tanpa gejala dan
hanya dapat dideteksi dengan kenanikan titer antibody IgG. Seperti
kebanyakan infeksi virus, keparahan penyakit meningkat seiring
bertambahnya usia. Virus dapat menyebar melalui udara via droplets,
kontak langsung dengan lesi, ataukontak dengan cairan yang mengandung
virus seperti ludah. Gejala yang timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah
kontak yaitu: kulit yang lembek disertai nyeri, parestesia ringan, atau rasa
terbakar akan timbul sebelum terjadi lesi pada daerah yang terinfeksi.
Nyeri lokal, pusing, rasa gatal, dan demam adalah karakteristik gejala
prodormal. Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar
dibandingkan infeksi yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama
besar, berlawanan dengan vesikel pada herpes zoster yang beragam
ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi mengeluarkan eksudat
yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan bertahan
selama 2 sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan akan
sembuh tanpa jaringan parut (Habif, 2004).
Kemudian HSV-2 akan mempertahankan dirinya ke dalam periode
laten di dalam ganglion dimana aktivasi sistem kekebalan tubuh sangat
terbatas. Virus akan bereplikasi di tempat infeksi primer lalu viron akan
ditransportasikan oleh saraf via retrograde axonal flow ke ganglia dorsal
dan masuk masa laten di ganglion. Trauma kulit lokal (misalnya: paparan
sinar ultraviolet, abrasi) atau perubahan sistemik (misalnya: menstruasi,
kelelahan, demam) akan mengaktifasi kembali virus tersebut yang akan
berjalan turun melalui saraf perifer ke tempat yang telah terinfeksi
sehingga terjadi infeksi rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar

14
terjadi selama 2 sampai 24 jam dan dalam 12 jam lesi tersebut berubah
dari kulit yang eritem menjadi papula hingga terbentuk vesikel berbentuk
kubah yang kemudian akan ruptur menjadi erosi pada daerah mulut dan
vagina atau erosi yang ditutupi oleh krusta pada bibir dan kulit. Krusta
tersebut akan meluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit tersebut akan
reepitelisasi dan berwarna merah muda (Habif, 2004).
Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian kulit mana saja, misalnya:
mengenai jari-jari tangan (herpetic whitlow) terutama pada dokter gigi dan
perawat yang melakukan kontak kulit dengan penderita. Tenaga kesehatan
yang sering terpapar dengan sekresi oral merupakan orang yang paling
sering terinfeksi (Habif, 2004).
Pada laki-laki, lepuhan dan luka bisa terbentyuk di setiap bagian
penis, termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita,
lepuhan dan luka bisa terbentuk di vulva atau leher Rahim. Jika penderita
memerlukan hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa
terbentuk disekitar anus atau didalam rectum. Pada penderita gangguan
system kekebalan ( misalnya penderita infeksi HIV ), luka herpes bisa
sangat berat, menyebar kebagian tubuh lainya, menetap selama beberapa
minggu.

I. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HERPES GENITALIA


Untuk mencegah herpes genitalis adalah sama dengan mencegah penyakit
menular seksual lainya. Cara yang paling ampuh untuk menghidari transmisi
penyakit infeksi menular, termasuk di antaranya herpes genital, adalah dengan
tidak melakukan hubungan seksual atau memiliki hubungan monogami jangka
panjang dengan pasangan yang telah di tes dan diketahui tidak memiliki infeksi.
Penggunaan kondom lateks secara benar dan konsisten dapat mengurangi resiko
terinfeksi herpes genital. Hal ini karena kondom mampu melindungi area kelamin
pria maupun wanita dari kemungkinan kontak yang menyebabkan timbulnya
gejala herpes. Akan tetapi outbreak mungkin terjadi di area yang tidak tertutup
kondom. Orang dengan infeksi herpes yang bergejala, baik luka di kelamin
maupun gejala lain, sangat disarankan untuk tidak dulu berhubungan seks. Hal ini
untuk mencegah kemungkinan penularan. Sangat penting diingat bahwa orang

15
dengan herpes yang tidak menunjukkan gejala juga bisa menularkan infeksinya
kepada pasangan seksnya. Maka, sebagai pasangan seks, penting juga untuk selalu
ingat menggunakan kondom agar menurunkan risiko tertular herpes genital.
Sebagai pasangan seks dari orang yang terinfeksi herpes juga disarankan
melakukan tes HSV berkala untuk mengetahui statusnya.

J. PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA HERPES GENITALIA


Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat
digunakan untuk menunjang penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya
dengan spesifisitas dan sensitivitas yang beragam. Metode-metode tersebut
antara lain:

1. Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan
Papanicolaou atau Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smearsdengan
pewarnaan Giemsa menggunakan bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa.
Dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.(1)
Ini merupakan pemeriksaan yang murah, namun spesifisitas dan sensitivitas
nya rendah Pewarnaan Papanicolaou atau Romanovsky menggunakan bahan
dari hasil biopsi, sedangkan deteksi sel yang terinfeksi dengan
imunofluoresens menggunakan hasil kerokan dasar vesikel. Pemeriksaan ini
murah dan cepat, spesifisitas dan sensitivitas nya lebih tinggi daripada Tzanck
smears.(8)
2. Pemeriksaaan biologi molekular
Akhir-akhir ini, deteksi DNA HSV berdasarkan amplifikasi asam nukleat
dan polymerase chain reaction (PCR) sudah menjadi metode alternatif karena
pemeriksaan ini empat kali lebih sensitif, hasilnya tidak dipengaruhi oleh cara
pengumpuan sampel dan proses transportasi, serta pengerjaannya lebih cepat
daripada kultur virus. Sampel pemeriksaan didapatkan dari swab, kerokan lesi
kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau sampel dari mukosa
yang tidak terdapat lesi. Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah sensitivitas
dan spesifisitas nya paling tinggi daripada pemeriksaan yang lain. Namun

16
pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di laboratorium tertentu yang memiliki
fasilitas yang mendukung pemeriksaan tersebut.(8)
3. Kultur virus
Kultur virus digunakan untuk menentukan tipe virus, sudah lama menjadi
landasan untuk penegakan diagnosis infeksi HSV selama dua dekade terakgir
dan sudah ditentukan sebagai gold standard diagnosis laboratoris untuk
infeksi HSV. Sampel diambil dari swab, kerokan lesi kulit, cairan dari
vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau dari mukosa yang tanpa lesi.
Pemeriksaan ini cukup mahal, tidak lebih sensitif dari PCR, sensitivitasnya
bervariasi dari rendah ke tinggi tergantung keadaan klinis pasien dan
spesifisitasnya cukuo tinggi.(8)
4. Deteksi antigen virus
Antigen virus dapat dideteksi oleh direct immunofluorescence (IF) assay
dengan menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang sudah diberi label
fluorescein, atau oleh enzyme immunoassay (EIA) pada swab. Sampel
diambil dari swab, kerokan dari lesi, cairan dari vesikel, dan eksudat dari
dasar vesikel. Spesifisitas kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu
berkisar antara 62- 100% untuk pemeriksaan ELISA, dan pada
immunoperoxidase staining dapat mencapai 90%. Sensitivitas kedua
pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara 85-90%.(8)

17
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
HSV tipe II merupakan virus herpes homonis yang merupakan
virus DNA. Virus herpes simpleks hanya menginfeksi manusia.
Penyakit yang ditimbulkan Virus Herpes Simplex (. HSV-2 )
 Herpes Genetalis
Herpes genetalis ditandai oleh lesi-lesi vesikuloulseratif pada penis pria
atau serviks, vulva, vagina, dan perineum wanita.
 Herpes neonatal
Herpes neonatal merupakan infeksi HSV-2 pada bayi yang baru lahir.
Virus HSV-2 ini ditularkan ke bayi baru lahir pada waktu kelahiran
melalui kontak dengan lesi-lesi herpetik pada jalan lahir. Gejala Klinis

18
Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya bilateral.
Umumnya dapat ditemukan vaginal discharge. Urethral discharge umum
ditemukan pada laki-laki, biasanya disertai dengan disuria berat. Lesi
kutaneus muncul setelah 7-15 hari berupa papul, menjadi vesikel, menjadi
pustul, menjadi ulkus, lalu menjadi krusta.kelomppok orang yang beresiko
tinggi terkena wanita hamil,penderita HIV/AIDS,neonatus dan wanita.
Struktur virus HSV amplop, Tegument,kapsid,genome. Siklus
pertumbuhan HSV berlangsung dengan cepat, memakan waktu 8-16 jam
sampai selesai. Patofisiologi HSV masuk melalui defek kecil pada kulit
atau mukosa dan bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia
sensoris dan terus bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-
saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer
HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilaukan yaitu pemeriksaan sitologi,pemeriksaan
biomolekuler,kultur virus,deteksi antigen virus

19
DAFTAR PUSTAKA

Elvgynd Bei. Virus Herpes Simpleks.

Lutfy Mairizal P. 2017. Peneliti Temukan Pelaku Utama Penyebar Virus


Hepes Kelamin. Kompas.com

http://angsamerah.com/pdf/Angsamerah%20Infeksi%20Herpes
%20Genitalia.pdf (diakses pada tanggal 5 februari 2020)

file:///C:/Users/Acer/Downloads/113619_docdownloader.com_referat-
herpes-genitalis-anindapdf(1).pdf (diakses pada tanggal 5 februari 2020)
Handoko RP. Herpes Simpleks. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. P.380-2.

Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. P.1873-85

20

Anda mungkin juga menyukai