Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

PENATALAKSANAAN HERPES SIMPLEKS TERKINI


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Program Studi Profesi Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong

Disusun oleh:
Reza Fitriani
1761050263

Pembimbing:
dr. Emil Rafian Fadli Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


PERIODE 17 JUNI – 20 JULI 2019
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “Penatalaksanaan Herpes
Simpleks Terkini” ini dapat diselesaikan. Adapun maksud penyusunan referat ini adalah dalam
rangka memenuhi tugas kepaniteraan bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit
Umum Daerah Cibinong pada periode 17 Juni – 20 Juli 2019, dengan berbekalkan pengetahuan,
bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama kepaniteraan berlangsung maupun pada
saat kuliah pra-klinis.
Banyak pihak yang turut membantu dan berperan dalam penyusunan referat ini, dan untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Emil Rafian Fadli sebagai pimpinan SMF SpKK RSUD Cibinong atas kesempatan yang
diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan kepaniteraan di rumah sakit ini serta sebagai
pembimbing yang telah dengan sabar membimbing, berbagi pengalaman dan pengetahuan
kepada penulis.

2. dr. Euis Nanaresna Sp.KK sebagai pembimbing yang telah dengan sabar membimbing,
berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada penulis.

3. dr. Evi Sandri Sp.KK sebagai pembimbing yang telah membimbing, berbagi pengalaman dan
pengetahuan kepada penulis.

4. Bu Lilis atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan kepaniteraan.

5. Rekan-rekan ko-asisten UKI selama kepaniteraan ilmu penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD
Cibinong atas kerjasama.
Penulis telah berusaha menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya dan menyadari bahwa
referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya segala saran dan kritik yang membangun
akan diterima dengan senang hati, untuk perbaikan di masa mendatang, sehingga dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, 15 Juli 2019

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

Herpes simplex virus (HSVs) adalah virus DNA yang menyebabkan infeksi kulit akut
dan muncul sebagai vesikel dengan dasar eritematosa. Jarang sekali virus ini dapat menyebabkan
penyakit serius dan dapat mempengaruhi kehamilan, menyebabkan kerusakan signifikan
terhadap janin. Kebanyakan infeksi adalah infeksi yang berulang dan cenderung untuk kembali
pada atau dekat lokasi yang sama. Herpes labialis adalah infeksi paling umum disebabkan oleh
HSV tipe 1 (HSV-1), sedangkan herpes genital biasanya disebabkan oleh HSV tipe 2 (HSV-2).
Manifestasi klinis lain dari infeksi HSV adalah kurang umum.

Penyakit menular sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Insidens maupun prevalensi
yang sebenarnya di berbagai negara tidak diketahui dengan pasti. World Health Organization
(WHO) memperkirakan pada tahun 1999 di seluruh dunia terdapat sekitar 340 juta kasus baru
penyakit menular yang salah satunya adalah penyakit herpes. Penyakit herpes ini disebabkan
oleh virus Herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan tipe 2. Penyakit herpes adalah penyakit yang sangat
umum. Di Amerika Serikat kurang lebih 20 persen orang di atas usia 12 tahun terinfeksi virus
herpes simpleks, dan diperkirakan ada satu juta infeksi baru setiap tahun. Angka prevalensi
infeksi HSV sudah meningkat secara bermakna selama dasa warsa terakhir. Sekitar 80 persen
orang dengan HIV juga terinfeksi herpes kelamin.

Infeksi HSV-2 lebih umum pada perempuan. Di Amerika Serikat kurang lebih satu dari
empat perempuan dan satu dari lima laki-laki terinfeksi HSV-2. HSV berpotensi menyebabkan
kematian pada bayi yang terinfeksi. HSV paling mungkin kambuh pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah. Ini termasuk orang dengan HIV, dan siapapun berusia di atas 50
tahun. Beberapa ilmuwan juga berpendapat bahwa penyakit lebih mungkin kambuh pada orang
yang sangat lelah atau mengalami banyak stres.

HSV tidak termasuk infeksi yang mendefinisikan AIDS. Namun orang yang terinfeksi
dengan HIV dan HSV bersamaan biasanya mengalami jangkitan herpes kambuh lebih sering.
Jangkitan lebih parah dan bertahan lebih lama dibanding dengan orang HIV-negatif.
Di Indonesia, sampai dengan saat ini belum diketahui yang terinfeksi oleh virus herpes. Akan
tetapi, menurut hasil survei yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pencegahan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPMPL) Departemen Kesehatan pada beberapa kelompok
perilaku risiko tinggi, tampak bahwa banyak masyarakat kita yang terinfeksi oleh HIV. Hal ini
akan menjadi penyebab terjangkitnya penyakit herpes, disamping itu dengan kemajuan sistem
transportasi pada saat ini, tidak menutup kemungkinan virus herpes bisa mewabah di Indonesia.
Untuk itu, diperlukan usaha pencegahan yang bisa diterapkan untuk mencegah masuknya virus
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Infeksi akut yang disebabkan virus herpes simpleks (virus heper hominis) tipe I atau tipe II
ditandai oleh vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa daerah mukokutan,
sedangkan infeksi dapat berlangsung primer maupun rekurens.

Sinonim

Fever blister, cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis (genitalis)

Epidemiologi1,2

Frekuensi Internasional

Bukti serologis infeksi HSV-1 pada dewasa muda berkisar antara 56-85%, bervariasi
menurut negara. Seroprevalensi HSV-2 telah dilaporkan bervariasi 13-40% di seluruh dunia.
Lebih dari sepertiga populasi dunia telah infeksi klinis berulang HSV.

Di negara membangun, HSV-2 adalah penyebab umum dari penyakit ulkus kelamin,
terutama di negara-negara dengan prevalensi tinggi infeksi HIV. Studi internasional
menunjukkan bahwa prevalensi pada orang koinfeksi dengan HIV hampir 90% untuk HSV-1 dan
77% untuk HSV-2.

Umur

Frekuensi infeksi HSV-1 pada anak bervariasi dengan status sosial ekonomi. Kira-kira,
sepertiga anak-anak dari keluarga sosial ekonomi yang rendah menunjukkan beberapa bukti
infeksi HSV-1 pada usia 5 tahun. Frekuensi meningkat menjadi 70-80% oleh awal remaja /
dewasa. Sebaliknya, hanya 20% dari anak-anak dari keluarga kelas menengah seroconvert.
Frekuensi infeksi tetap cukup stabil sampai dekade ketiga kehidupan ketika itu meningkat
menjadi 40-60%. tingkat serokonversi HSV-2 tertinggi pada orang dewasa muda yang aktif
secara seksual.
Jenis Kelamin

Frekuensi antibodi HSV-1 dan HSV-2 sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada
pria. Namun, wanita lebih mungkin dilindungi dari infeksi HSV genital dibandingkan pria untuk
dengan menggunakan metode penghalang. Dalam studi lebih dari 600 wanita hamil, 63% adalah
seropositif untuk HSV-1, 22% untuk HSV-2, dan 13% untuk kedua, dan 28% adalah seronegatif.

Ras

Ras non-kulit putih dan yang telah memiliki 4 atau lebih pasangan seksual berkorelasi
independen dengan peningkatan infeksi HSV-2. Wanita non-Hispanik kulit putih hamil memiliki
persentase tertinggi seronegativity untuk kedua HSV 1 dan HSV-2. Namun, kelompok ini
memiliki resiko tertinggi memiliki anak dengan herpes neonatal, menunjukkan kerentanan
mereka terhadap infeksi baru HSV selama trimester ketiga kehamilan mereka (seorang ibu yang
paling mungkin untuk menularkan infeksi kepada bayinya.)

Etiologi

 HSV-1 dan HSV-2 adalah virus DNA yang menyebabkan herpes genital, herpes labialis,
herpes gladiatorum, herpes whitlow, herpes keratoconjunctivitis, herpeticum eczema,
herpes folikulitis, herpes lumbosakral, herpes diseminata, herpes neonatal, dan herpes
ensefalitis. Mereka juga terkait dengan beberapa kasus eritema multiforme. Penyakit
demam, paparan sinar ultraviolet, trauma, infeksi saluran pernafasan atas, atau stres
emosional dapat memicu herpes labialis berulang karena HSV-1.

 Lokasi geografis pasien, status sosial ekonomi, dan umur mempengaruhi frekuensi
infeksi HSV-1. Prevalensi tertinggi antibodi terhadap HSV-2 terjadi pada PSK wanita,
laki-laki homoseksual, dan orang yang HIV-positif.

Cara Penularan
 Seorang individu dapat terkena infeksi HSV karena adanya transmisi dari seorang
individu yang seropositif di mana transmisi tersebut dapat berlangsung horisontal atau
vertikal. Perbedaan nya adalah :
 Horisontal
 Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang seronegatif berkontak
dengan individu yang seropositif melalui vesikel yang berisi virus aktif (81%-88%),
ulkus atau lesi HSV yang telah mengering (36%) dan dari sekresi cairan tubuh yang lain
seperti salivi, semen, cairan genital (3,6%-25%). Adanya kontak bahan-bahan tersebut
dengan kulit dan mukosa yang luka atau pada beberapa kasus kulit atau mukosa tersebut
intak maka virus dapat masuk ke dalam tubuh host yang baru dan mengadakan
multiplikasi pada inti sel yang baru saja di masukinya untuk selanjut nya menetap seumur
hidup dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan gejala khas yaitu timbulnya lesi vesikel
berkelompok dengan dasar eritem.
 Vertikel

Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada periode antenatal, intrapartum
dan postnatal. Periode antenatal bertanggungjawab terhadap 5% dari kasus HSV pada neonatal.
Transmisi ini terjadi pada saat ibu mengalami infeksi primer dan virus berada dalam fase viremia
sehingga secara hematogen virus tersebut masuk ke dalam plasenta mengikuti sirkulasi
uteroplasenta akhirnya menginfeksi fetus. Periode infeksi primer ibu juga berpengaruh terhadap
prognosis bayi, apabila infeksi terjadi pada trimester pertama, biasanya akan terjadi abortus.
Pada trimester kedua terjadi kelahiran prematuritas. Bayi dengan infeksi HSV antenatal
mempunyai angka mortalitas 60% dan separoh dari yang hidup tersebut mengalami gangguan
SSP dan mata. Infeksi primer yang terjadi pada trimester ketiga akan memberikan prognosis
yang lebih buruk karena tubuh belum membentuk antibodi (terbentuk 3-4 minggu setelah virus
masuk tubuh host) untuk selanjutnya disalurkan kepada fetus sebagai suatu antibodi neutralisasi
transplasental dan hal ini akan mengakibatkan 30%-57% bayi yang dilahirkan terinfeksi HSV
dengan berbagai komplikasi (mikrosefali, hidrosefalus, Kalsifikasi intrakranial, chorioretinis dan
ensefalitis). 90% infeksi HSV neonatal terjadi saat intrapartum yaitu ketika bayi melalui jalan
lahir dan berkontak dengan lesi maupun cairan genital ibu. Ibu dengan infeksi primer mampu
menularkan HSV pada neonatus 50% dan infeksi laten 35% dan infeksi rekurren 0-4%. Periode
postnatal bertanggungjawab terhadap 5-10% kasus infeksi HSV pada neonatal. Infeksi ini terjadi
karena adanya kontak antara neonatus dengan ibu yang terinfeksi HSV dan juga kontak neonatus
dengan tenaga kesehatan yang terinfeksi HSV.

Patofisiologi
Kontak intim antara orang-orang yang rentan (tanpa antibodi terhadap virus) dan seorang
individu yang secara aktif menularkan virus atau kontak dengan cairan tubuh yang mengandung
virus adalah dibutuhkan untuk infeksi HSV terjadi. Kontak harus melibatkan selaput lendir atau
kulit terbuka atau terkelupas.

HSV menyerang dan mereproduksi di neuron dan dalam sel epidermal dan dermal.
Virion bermigrasi dari lokasi awal infeksi pada kulit atau mukosa ke ganglion akar dorsal
sensorik, dimana latensi didirikan. Replikasi virus di ganglia sensoris menyebabkan
berjangkitnya penyakit klinis berulang. Wabah ini dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan,
seperti trauma, radiasi ultraviolet, suhu ekstrim, stres, imunosupresi, atau fluktuasi hormon.
Pelepasan virus, yang menyebabkan transmisi mungkin terjadi selama infeksi primer, selama
rekurensi berikutnya, dan selama periode shedding virus asimptomatis.

HSV-1 paling efisien mengaktifkan kembali dari ganglia trigeminal (mempengaruhi


wajah, dan mukosa orofaringeal dan okular), sedangkan HSV-2 memiliki reaktivasi yang lebih
efisien dalam lumbosakral ganglia (mempengaruhi pinggul, pantat, alat kelamin, dan anggota
tubuh lebih rendah). Perbedaan klinis dalam reaktivasi spesifik lokasi HSV-1 dan HSV-2
tampaknya karena, di bagian, masing-masing virus untuk membentuk infeksi laten pada populasi
yang berbeda dari neuron ganglionic.

Diagnosis

Anamnesa

Infeksi primer dengan virus herpes simpleks (HSVs) secara klinis lebih berat dari wabah
berulang. Namun, infeksi HSV-1 dan HSV-2 yang paling primer mungkin subklinis dan tidak
pernah secara klinis didiagnosis.

 Herpes orolabial: labialis herpes (misalnya, cold sores, fever blisters) paling sering
dikaitkan dengan infeksi HSV-1. Lesi oral disebabkan oleh HSV-2 telah diidentifikasi,
biasanya sekunder dari kontak orogenital. Infeksi HSV-1 primer seringkali terjadi pada
masa kanak-kanak dan biasanya tanpa gejala.

o Infeksi primer:
Tempat predileksi Hirus Herpes simpleks I di daerah pinggang ke atas
terutama di daerah mulut dan hidung dan biasa nya di mulai masa anak-anak.
Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan misalkan kontak kulit pada perawat,
dokter gigi atau orang yang suka menggigit jari (Herpetis Whitlow). Virus ini
juga penyebab herpes ensefalitis. Virus Herpes simpleks II tempat predileksi nya
di daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital juga menyebabkan herpes
meningitis dan infeksi neonatus.

Daerah predileksi ini sering kacau dengan cara hubungan seksual seperti
oro-genital sehingga herpes daerah genital kadang disebabkan Virus Herpes
Simpleks I sedangkan daerah mulut disebabkan Virus Herpes Simpleks II.

Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat kira-kira 3 minggu
dan sering disertai gejala sistemik seperti demam, malaise, anoreksia dan
pembengkakan kelenjar getah bening regional.

Kelaianan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit


yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi
seropurulen dan dapat menjadi krusta dan kadang mengalami ulserasi dangkal
yang sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Umumnya
terdapat pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada
wanita,80% infeksi Virus Herpes Simpleks pada genitalia eksterna disertai infeksi
pada serviks.

Gejala-gejala herpes labialis mungkin termasuk demam prodrom, diikuti


dengan sakit tenggorokan dan mulut dan submandibular atau limfadenopati
servikal. Pada anak-anak, gingivostomatitis dan odynophagia juga diamati.

 Laten :

Tidak ditemukan gejala klinis tetapi Virus Herpes Simpleks dapat


ditemukan dalam keadaan non aktif pada gangglion dorsalis.

o Rekurensi:
Virus Herpes Simpleks pada gangglion dorsalis dalam keadaan tidak aktif
dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan
gejala. Mekanisme pacu dapat berupa trauma fisis (demam,infeksi, kurang tidur,
hubungan seksual), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi) atau
makanan dan minuman yang merangsang. Gejala lebih ringan dari infeksi primer
dan berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekurens
ini bisa timbul pada tempat yang sama atau tempat lain nya.

Penyakit ini masih aktif untuk jumlah waktu yang variabel. Reaktivasi
HSV-1 di ganglia sensoris trigeminal menyebabkan kekambuhan di wajah dan
mukosa oral, bibir, dan okular.

 Herpes genitalis: HSV-2 telah diidentifikasi sebagai penyebab paling umum dari herpes
genital. Namun HSV-1 telah diidentifikasi semakin meningkat sebagai agen penyebab
pada 30% kasus infeksi herpes genital primer dari dua kemungkinan kontak orogenital.
Infeksi herpes genital berulang hampir secara eksklusif disebabkan oleh HSV-2.

o Infeksi primer: herpes genital primer terjadi dalam waktu 2 hari sampai 2 minggu
setelah terpapar virus dan memiliki manifestasi klinis yang paling parah. Gejala
dari episode primer biasanya berlangsung 2-3 minggu.

 Pada pria, lesi vesikuler yang nyeri, erythematous, yang membentuk ulkus paling sering
terjadi pada penis, tetapi mereka juga dapat terjadi di anus dan perineum. Pada wanita,
herpes genital primer terlihat sebagai vesikular /ulkus lesi pada serviks dan vesikel yang
nyeri pada genitalia eksternal bilateral. Ia juga dapat terjadi pada vagina, perineum,
bokong, dan kaki pada distribusi saraf sakral. Gejala yang menyertai termasuk demam,
malaise, edema, limfadenopati inguinal, disuria, dan cairan vagina, atau penis.

 Wanita juga bisa mendapat radikulopati lumbosakral, dan sebanyak 25% dari wanita
dengan infeksi primer HSV-2 mungkin terkena associated aseptik meningitis.

o Rekurensi: Setelah infeksi primer, virus akan laten selama berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun sampai rekurensinya kembali dipicu. Reaktivasi HSV-2 di ganglia
lumbosakral menyebabkan kekambuhan di bawah pinggang. Outbreak klinis,
biasanya lebih ringan dan sering didahului oleh rasa sakit, gatal, kesemutan
terbakar, atau paresthesia yang prodormal.

o Orang yang terkena HSV dan infeksi primer asimtomatik dapat mengalami
sebuah episode klinis awal herpes genital dapat bulan hingga tahunan setelah
infeksi. Episode tidak begitu separah seperti wabah utama sejati.

o Lebih dari setengah individu yang seropositif HSV-2 tidak memiliki wabah klinis
yang jelas. Namun, orang-orang ini masih memiliki episode shedding virus dan
dapat menularkan virus ke pasangan seks mereka.

 Infeksi HSF lain

o Eczema herpeticum lokal atau diseminata, juga dikenal sebagai erupsi Kaposi
varicelliform. Disebabkan oleh HSV-1, eczema herpeticum adalah varian dari
infeksi HSV yang biasanya berkembang pada pasien dengan dermatitis atopik,
luka bakar, atau kondisi kulit inflamasi. Anak-anak paling sering terkena.

o Herpes whitlow, wabah vesikel di tangan dan digiti, paling sering disebabkan
oleh infeksi HSV-1. Ini biasanya terjadi pada anak-anak yang menghisap jempol
dan, sebelum meluasnya penggunaan sarung tangan, terhadap pekerja kesehatan
gigi dan perawatan medis. Terjadinya herpes whitlow karena HSV-2 semakin
dikenal, mungkin karena kontak yang digiti-genital.

o Herpes gladiatorum disebabkan oleh HSV-1 dan dilihat sebagai erupsi papular
atau vesikel pada torsos atlet dalam olahraga yang melibatkan kontak fisik dekat
(gulat klasik).

o Infeksi HSV disseminasi (yang menyebar) dapat terjadi pada wanita yang sedang
hamil dan individu immunocompromised. Pasien-pasien ini mungkin
diketemukan dengan tanda-tanda dan gejala HSV atipikal, dan kondisi yang
mungkin sulit untuk mendiagnosa.

 HSV Neonatus
o Infeksi HSV-2 pada kehamilan dapat memiliki pengaruh yang sangat buruk pada
janin. HSV neonatal biasanya bermanifestasi dalam 2 minggu pertama kehidupan
dari batasan klinis lokal kulit, mukosa, atau infeksi mata sehingga ensefalitis,
pneumonitis, penyebaran infeksi, dan kematian.

o Kebanyakan wanita yang melahirkan bayi dengan HSV neonatal tidak memiliki
riwayat, tanda, atau gejala infeksi HSV sebelumnya. Risiko penularan tertinggi
pada wanita hamil yang seronegatif untuk kedua HSV 1 dan HSV-2 dan
mendapatkan infeksi HSV baru pada trimester ketiga kehamilan.

o Faktor-faktor yang meningkatkan risiko penularan dari ibu ke bayi termasuk jenis
infeksi kelamin pada saat kelahiran (risiko lebih tinggi dengan infeksi primer
aktif), lesi aktif, ketuban pecah lama, kelahiran pervaginam, dan kurangnya
antibodi transplasenta. Angka kematian neonatal sangat tinggi (> 80%) jika tidak
diobati.

 Herpetic sycosis, iaitu infeksi folikel dengan HSV, dapat hadir sebagai erupsi
vesiculopustular pada daerah jenggot. Infeksi ini sering terjadi karena autoinokulasi
setelah mencukur melalui wabah herpes rekuren. Penyebab klasik oleh HSV-1, ada
laporan langka folikulitis jenggot relaps (relapsing beard folliculitis) disebabkan oleh
HSV tipe 2. [6]

Pemeriksaan fisik

 Infeksi klinis HSV muncul sebagai vesikel berkelompok dengan dasar eritem. Ia sering
berkembang menjadi lesi pustul atau ulkus, dan mereka akhirnya membentuk krusta. Lesi
HSV cenderung berulang pada atau dekat lokasi dengan distribusi saraf sensorik yang
sama. Gejala sistemik seperti demam, malaise, dan toksisitas akut, dapat menyertai lesi,
khususnya di infeksi primer. Setiap kondisi memiliki gejala yang terkait dan temuan
klinis (lihat anamnesa).
o Meskipun infeksi HSV dapat terjadi di manapun pada tubuh, 70-90% dari HSV-1
infeksi terjadi di atas pinggang. Sebaliknya, 70-90% dari HSV-2 infeksi terjadi di
bawah pinggang.

o Manifestasi fisik infeksi HSV pada pasien immunocompromised biasanya sama


dengan pada pasien sehat. Namun, lesi yang lebih besar atau ulkus nekrotik
mungkin terjadi, dan daerah yang besar mungkin terlibat.

o HSV neonatal mungkin sulit untuk didiagnosis karena, seringkali, tidak ada lesi
mukokutan yang hadir pada pemeriksaan fisik. kesulitan bernapas, sakit kuning,
dan kejang dapat terjadi.

Pemeriksaan laboratorium

1. Tes virologi

Tes viral secara kultur dibuat dengan mengambil sampel cairan dari lesi atau kultur sedini
mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama dari penampakan lesi. Virus, jika ada, akan
bereproduksi dalam sampel cairan ini namun mungkin berlangsung selama 1 - 10 hari untuk
melakukannya. Jika infeksi parah, teknologi pengujian dapat mempersingkat masa ini sampai 24
jam, tapi mempercepat jangka waktu selama tes ini dapat membuat hasil kurang akurat. Kultur
virus sangat akurat jika lesi masih dalam tahap lecet jelas, tetapi mereka tidak bekerja sebagai
ulserasi yang lama baik untuk luka, lesi yang kambuh, atau latensi. Pada tahap ini virus mungkin
tidak cukup aktif untuk mereproduksi cukup untuk menghasilkan sebuah kultur yang terlihat

Polymerase chain reaction (PCR) Tes jauh lebih akurat daripada kultur virus, dan CDC
merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi cairan herpes di tulang belakang ketika diagnosis
herpes ensefalitis. PCR dapat membuat transkripsi virus DNA sehingga bahkan sejumlah kecil
DNA dalam sampel dapat dideteksi. PCR jauh lebih mahal daripada kultur virus dan tidak
disetujui FDA untuk pengujian spesimen kelamin. Namun, karena PCR sangat akurat, banyak
laboratorium telah menggunakannya untuk pengujian herpes.

Jenis pengujian lainnyya yaitu tes Tzanck smear merupakan jenis pengujian yang lebih
tua dibandingkan tes virologi. Pengujian ini menggunakan teknik gores (scraping) dari lesi
herpes. Hasil goresan diperiksa secara mikroskopis untuk melihat virus. Temuan spesifik sel
raksasa dengan banyak nuklei atau partikel yang berbeda yang membawa virus (disebut inklusi
tubuh) mengindikasikan infeksi herpes. Tes cepat dengan keakuratan 50 - 70% , Namun, tidak
dapat membedakan antara jenis virus herpes simplex dan herpes zoster. Tes Tzanck tidak dapat
diandalkan untuk menyediakan diagnosis konklusif infeksi herpes dan tidak direkomendasikan
oleh CDC.

2. Tes Serologi

Tes serologi (darah) dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik terhadap virus dan
jenis virus herpes simpleks 1 (HSV-1) atau virus herpes simpleks 2 (HSV-2). Ketika virus herpes
menginfeksi seseorang, sistem kekebalan tubuh mereka menghasilkan antibodi spesifik untuk
melawan infeksi. Jika tes darah dapat mendeteksi antibodi terhadap herpes, itulah bukti bahwa
telah terinfeksi virus, walaupun virus ini dalam keadaan non-aktif (tidak aktif). Kehadiran
antibodi terhadap herpes juga menunjukkan bahwa seorang adalah pembawa virus dan mungkin
menularkan kepada orang lain.

Jenis tes antibodi spesifik terbaru untuk dua protein yang berbeda yang berkaitan dengan virus
herpes adalah

• Glikoprotein gg-1 berhubungan dengan HSV-1

• Glikoprotein gg-2 berhubungan dengan HSV-2

Tes serologi yang paling akurat ketika diberikan 12-16 minggu setelah terpapar virus. Fitur tes
meliputi:
a. HerpeSelect

Mencakup dua tes yaitu ELISA (enzyme-linked Immunosorbent assay) atau Immunoblot.
Keduanya sangat akurat dalam mendeteksi kedua jenis herpes simplex virus. Sampel harus
dikirim ke laboratorium, jadi untuk mengetahui hasilnya memakan waktu lebih lama daripada
Biokit tes.

b. Biokit HSV-2 (SureVue HSV-2)


Tes ini mendeteksi HSV-2 saja. Keunggulan utamanya adalah tes ini hanya
membutuhkan satu jari untuk diambil sampel darahnya dengan cara ditusuk dan hasil bisa
didapatkan dalam waktu kurang dari 10 menit. Tes ini sangat akurat, meskipun sedikit lebih
rendah daripada tes lainnya dan juga lebih murah.

c. Western Blot Test

Tes Ini merupakan standar terbaik bagi para peneliti dengan tingkat akurasi 99%. Tes ini
mahal dan memakan waktu dan tidak tersedia secara luas seperti tes lainnya.

Hasil negatif palsu dapat terjadi jika tes dilakukan pada tahap awal infeksi. Hasil positif palsu
dapat juga terjadi, meskipun lebih jarang daripada negatif palsu. Dokter mungkin menyarankan
melakukan tes ulang.

Dokter menyarankan tes serologi terutama untuk

• Orang-orang yang telah berulang gejala genital tetapi tidak ada virus herpes negatif dalam tes
kultur viral.

• Memantapkan infeksi pada orang yang memiliki gejala terlihat genital herpes
• Menentukan jika mitra sex seseorang didiagnosa menderita genital herpes telah diketahui.
• Orang yang memiliki banyak pasangan seks dan yang perlu diuji untuk berbagai jenis
penyakit menular seksual

3. Tes untuk Herpes Encephalitis

Diperlukan sejumlah tes untuk mendiagnosa encefalitis herpes.

a. Tes pencitraan

Elektroensefalografi menangkap jejak gelombang otak dan dapat mengidentifikasi sekitar 80%
dari kasus. Computed tomography atau magnetic resonance imaging scan dapat digunakan untuk
membedakan ensefalitis dari kondisi lain.

b. Biopsi otak
Biopsi otak adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosa herpes ensefalitis,
tetapi juga yang paling invasif dan umumnya dilakukan hanya jika diagnosis tidak pasti.

c. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase chain reaction (PCR) assay mencari potongan-potongan kecil dari DNA virus, dan
kemudian bereplikasi mereka jutaan kali sampai virus terdeteksi. Tes ini dapat mengidentifikasi
strain spesifik virus dan pelepasan virus asimtomatik. PCR Mengidentifikasi HSV di cairan
tulang punggung ke otak dan memberikan diagnosis yang cepat herpes ensefalitis dalam
kebanyakan kasus menghilangkan keharusan untuk biopsi. CDC merekomendasikan herpes PCR
untuk mendiagnosis infeksi sistem saraf pusat.

Temuan histologi

Sel yang terinfeksi dengan HSV menunjukkan degenerasi balon dan degenerasi retikuler
epidermis; acantholysis epidermal dan intraepidermal vesikel yang umum. Badan inklusi
intranuklear, inti steel-grey, keratinosit giant multinuklear, dan vesikel multilocular juga bisa
ditemukan.

Diagnosis klinis

Tipe awitan, gejala konstitusi yang klasik, distribusi dan gambaran lesi yang khas berupa ulserasi
oral superfisial, bentuk bulat, multipel, bersifat akut dan ada nya ginggivitis marginal
generalisata pada pemeriksaan fisis, ditunjang oleh tidak adanya riwayat episode herpes
sebelumnya, serta adanya riwayat terpajan HSV I membantu menegakkan diagnosis
ginggivostomatitis herpetika primer. Herpes orofasial tipe ini perlu dibedakan dengan hand-foot-
mouth-disease, herpangina, eritema multiformis, pemfigus vulgaris, acute necrotizing ulcerative
ginggivitis.

Herpes intraoral didiagnosis banding dengan stomatitis aftosa rekuren dan herpes zoster
intraoral.

Infeksi HSV genital perlu didiagnosis banding dengan penyebab ulkus genital lain nya baik
berupa infeksi maupun bukan infeksi. Bila terdapat kelompokan vesikel multipel atau bila
terdapat riwayat lesi sebelumnya yang berukuran sama, lama timbulnya dan sifat nya sama maka
kemungkinan besar penyebabnya adalah HSV. Diagnosis banding HSV genital adalah ulkus
pada sifilis, chancroid, linfogranuloma venerum, donovanosis, non infeksi penyakit Crohn,
ulserasi mukosa yang dihubungkan dengan sindrom Behcet.

Diagnosis laboratorium

1. Tes Tzank dwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright terlihat sel raksasa berinti
banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifik.

2. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah ddan menurun dengan cepat saat lesi menyembuh.

3. Deteksi DNA HSV Virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) lebih sensitif
berbanding kultur virus.

4. Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi setelah 4-7hari infeksi,
mencapai puncak 2-4 minggu dan menetap 2-3 bulan bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan
IgG baru dapat dideteksi setelah 2-3 minggu infeksi, mencapai puncak setelah 4-6
minggu infeksi dan menetap lama bahkan seumur hidup. Antibodi IgM dan IgG hanya
memberi gambaran keadaan infeksi akut atau kronik dari penyakit herpes genitalis.
Tidak ditemukan antibodi HSV pada sampel serum akut dan ditemukannya IgM spesifik
HSV atau peningkatan 4 kali antibodi IgG selama fase penyembuhan menunjukkan HSV
primer. Ditemukannya IgG anti HSV pada serum akut, IgM spesifik HSV dan
peningkatan IgG anti HSV selama fase penyembuhan merupakan diagnostik infeksi HSV
rekurren.

Diagnosis differensial

 Herpes Zoster

 Syphilis

 Hand-Foot-and-Mouth Disease

 Aphthous Stomatitis

 Chancroid
 Chickenpox

 Erythema Multiforme

Penatalaksanaan
 Sebagian besar herpes simplex virus (HSV) infeksi adalah self-limited. Namun, terapi
antiviral memperpendek gejala dan dapat mencegah penyebaran dan transmisi. Obat
antivirus intravena dan oral, yang tersedia untuk pengobatan HSV dan yang paling efektif
bila digunakan pada awal gejala. Terapi oral dapat diberikan selama episode atau sebagai
terapi supresan kronis.
 Pengobatan herpes labialis dan herpes genitalis umumnya terdiri dari asiklovir oral,
prodrug valacyclovir, dan famciclovir. Obat antivirus oral, acyclovir, valacyclovir, dan
famciclovir, dapat digunakan (off label) sebagai terapi untuk kondisi HSV tidak rumit
lain (misalnya, herpes whitlow), dan dosis yang sama seperti yang digunakan untuk
pengobatan herpes genitalis umumnya direkomendasikan.
 Perawatan topikal tersedia secara komersial untuk herpes adalah jauh kurang efektif
dibandingkan terapi oral. Dalam sebuah studi double-blind, kombinasi kepemilikan
asiklovir 5% dan 1% hydrocortisone dioleskan 5 kali per hari pada kemunculan tanda-
tanda awal cold sore rekuren untuk mencegah rekurensi 42% dari waktu, dibandingkan
dengan 35% untuk asiklovir topikal saja dan 26% untuk plasebo.
 Infeksi HSV rumit (complicated), kulit dan atau penyebaran visceral, HSV neonatal, dan
infeksi berat pada mereka dengan immunocompromised harus ditangani dengan acyclovir
intravena. Pada pasien immunocompromised dan mengalami infeksi berulang HSV,
strain HSV acyclovir-resistant telah diidentifikasi, dan pengobatan dengan foskarnet
intravena atau sidofovir dapat digunakan. Penggunaan foskarnet topikal juga telah
dilaporkan.

Terapi Antiviral :

1. Asiklovir Obat ini sangat selektif untuk sel terinfeksi karena mempunyai afinitas tinggi terhadap enzim

kinase timidin virus. Efek ini akan mengkonsentrasikan asiklovir monofosfat dalam sel yang terinfeksi.

Monofosfat kemudian dimetabolisme menjadi bentuk trifosfatkinase aktif seluler yang akan mengganggu
enzim polimerase DNA virus, sehingga menghambat replikasi DNA.1 Dosis diberikan sesuai manifestasi

klinisnya. Pemberian intravena hanya dilakukan melalui infus dengan tetesan lambat. Untuk mencegah

kerusakan ginjal maka infus diberikan selama lebih dari 1 jam dengan hidrasi adekuat. Tempat infus harus

selalu dirotasi untuk mencegah flebitis.

2. Pensiklovir Merupakan inhibitor selektif terhadap polimerase DNA HSV-1 dan HSV-2 yang akan

menghambat replikasinya. 1 Pensiklovir akan dikonversi menjadi metabolit aktif trifosfat yang secara in

vitro ataupun in vivo mempunyai aktivitas inhibisi terhadap Herpesviridae, termasuk HSV-1, HSV-2,

VZV (varicella-zoster virus), dan EBV (Epstein-Barr virus).1 Obat ini hanya digunakan pada bagian luar

muka atau bibir, bukan pada mata atau area sekitarnya.

3. Valasiklovir Obat ini bekerja dengan cara dikonversi dulu menjadi asiklovir, lalu berkompetisi dengan

deoksiguanosin trifosfat dari DNA polimerase virus untuk menghambat sintesis DNA dan replikasinya.

Harganya lebih mahal, namun memiliki regimen yang lebih nyaman dibandingkan asiklovir. Tersedia

dalam bentuk tablet 500 mg dan 1 gram.

4. Famsiklovir Obat ini bekerja dengan terlebih dulu diubah menjadi metabolit aktifnya, yakni

pensiklovir, yang dapat menghambat sintesis/replikasi DNA virus. Obat ini dapat digunakan untuk

mengobati HSV dan VZV.


Regimen pengobatan

Lesi primer

1. Simptomatis : Analgetik dan kompress

2. Antivirus :

a. Asiklovir oral 5x200mg/hari selama 7-10 hari

b. Komplikasi berat : Asiklovir IV 3x5mg/kgBB/hari selama 7-10 hari

c. Valasiklovir oral 2x500mg/hari selama 7-10 hari

d. Famciclovir oral 3x250mg/hari selama 7-10 hari

Lesi rekurren

Ringan : Simptomatis dan kirm asiklovir


Berat : Asiklovir 5x200mg/hari selama 5 hari

Asiklovir 3x400mg/hari selama 5 hari

Asiklovir 2x800mg/hari selama 5 hari

Rekurren > 8 kali/tahun diberikan terapi supresif selam 6 bulan

- Asiklovir 3-4x200mg/hari

- Valasiklovir 1x500mg/hari

Pencegahan

Pelepasan virus Herpes simplex virus (HSV) adalah terbesar selama pecahnya terbukti secara
klinis,; namun, transmisi dari individu yang seropositif ke pasangan mereka yang seronegatif
biasanya terjadi selama periode shedding HSV asimtomatik. Oleh karena itu, untuk mencegah
penularan membutuhkan lebih dari berpantang dari kontak intim selama wabah.

 Metode barrier, seperti kondom, memberi 10-15% perlindungan terhadap infeksi herpes
genital.

 Pembilasan cairan genital setelah berhubungan seksual

 Penggunaan antivirus pada yang seropositif

 Pnecegahan kontak dengan saliva penderita HSV dengan menghindari berciuman dan
menggunakan alat makan serta menggunaka obat kumur yang mengandung antiseptik.

 Berbagai vaksin HSV telah dan terus berada di bawah penelitian untuk pengobatan dan
pencegahan herpes genital, meskipun sebagian besar belum terbukti efektif.

 terapi supresi jangka panjang untuk herpes genital telah ditunjukkan untuk mengurangi
shedding HSV asymptomatic, dan terapi valacyclovir jangka panjang secara signifikan
mengurangi transmisi HSV kepada pasangan individu yang positif HSV-2 terhadap
sebanyak 50-77%.
 Infeksi HIV pada pasien HSV atau pasangan nya yang seronegatif juga harus
dipertimbangkan sebagai kemungkinan indikasi untuk terapi supresi.

Pencegahan transmisi dapat dilakukan dengan screening awal di usia kehamilan 14-18 minggu
selanjutnya dilakukan kultur serviks setiap minggu mulai dari minggu ke-34 kehamilan pada ibu
hamil dengan riwayat infeksi HSV serta pemberian acyclovir 400mg 3x/hari atau 200mg 5x/hari
yang secara signifikan dapat mengurangi periode rekurensi selama proses persalinan. Namun
apabila menjelang persalinan, hasil kultur terakhir tetap positif dan terdapat lesi aktif didaerah
genital maka kelahiran secara SC menjadi pilihan utama. Wanita yang HSV-2 negatif harus
diberi konseling untuk tidak melakukan hubungan seks selama trimester ketiga kehamilan
dengan pasangan yang bisa seropositif karena infeksi HSV primer selama waktu ini bisa
menempatkan janin pada resiko infeksi tertinggi.

Komplikasi

 Superinfeksi bakteri

 Meningitis aseptic

 Penyebaran CNS dan visceral

 Strain HSV thymidine kinase-negatif yang resisten acyclovir pada pasien AIDS

 Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV kongenital harus dimonitor terhadap
sebarang tanda infeksi.

 Prognosis
Bagi kebanyakan orang, infeksi HSV adalah sementara dan bisa sembuh tanpa gejala sisa
yang merugikan, tetapi kekambuhan adalah umum. Sequelae jangka panjang (biasanya
SSP) lebih sering terjadi pada infeksi HSV neonatal dibandingkan dengan jenis lain dari
infeksi HSV. Parut mungkin terjadi dari lesi berat atau superinfected.
Daftar Pustaka

1. Herpes Simplex-Diagnosis. University of Maryland Medical Centre.


http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_herpes_simplex_000052_5.htm.
Diakses tanggal 16 September 2013.

2. Ronny Handoko; Herpes Simpleks; Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin;Edisi keenam;
FKUI: Halaman 380-2

3. Marques AR, Straus SE. Herpes simplex. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general
medicine. 7th ed. New York: Mc-Graw Hill Companies, 2008: 1873-85.

4. CDC. Sexually transmitted diseases. Treatment guidelines 2006. MMWR 2006;16-20


(RR-11)

Anda mungkin juga menyukai