Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KASUS PSIKOLOGI KESEHATAN

“DIABETES MELITUS TIPE 2, BAHAYA DI BALIK MANISNYA BOBA”

Disusun oleh (Kelompok 2):


Tri Yogi P.K. F.131.17.0134
Isaac Sumadya F.131.17.0203
Meylisa HCD. F.131.18.0135

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
OKTOBER 2021
A. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akhir-akhir ini bisnis kuliner di Indonesia, khususnya di kota Semarang


semakin menjanjikan. Hal ini terlihat dari menjamurnya berbagai restoran, kafe,
kedai, dan stand di berbagai wilayah di Semarang. Tidak hanya menawarkan
sajian makanan, bisnis kuliner pun juga merambah pada sektor sajian minuman.
Kalau kita lihat baik secara langsung maupun dari tontonan di berbagai media,
sekarang banyak sekali bermunculan berbagai jenis minuman kekinian yang
bervariasi, berwarna-warni, dan menyegarkan yang bisa membuat kita menelan
ludah jika melihatnya, seperti boba, cheese tea, dalgona, squash, thai tea,
yogurt, dan lain sebagainya. Salah satu minuman kekinian yang paling
digandrungi adalah minuman boba yang berasal dari Taiwan.
Mayrlnn & Ilmi (2020: 84) menyatakan bahwa boba merupakan salah satu
toping minuman yang berbentuk bola-bola kenyal berwarna coklat kehitaman
yang terbuat dari tepung tapioka, gula merah, dan gula pasir. Boba biasanya
tidak dikonsumsi begitu saja, tetapi dicampur dengan berbagai jenis minuman
lain, seperti fresh milk, milk tea, cheese tea, dan lain sebagainya. Tentu saja
rasanya kenyal dan manis jika dikunyah.
Melihat komposisi dari minuman boba yang dibuat ada lebih dari satu jenis
gula yang dipakai di dalam pembuatan boba ditambah gula dari jenis minuman
campurannya, menunjukkan bahwa minuman boba termasuk minuman dengan
kadar gula yang tinggi. Selain itu, Claudia dan Fatsecret (dalam Safitri et al.,
2021) mengungkapkan bahwa kalori minuman boba dari berbagai jenisnya
berada di antara 160-500 Kkal untuk 1 porsinya (500ml). Hal ini juga
menunjukkan bahwa kualitas gizi minuman boba tersebut sangat kurang.
Berdasarkan pemaparan dari berbagai sumber di atas tentang komposisi
dan kandungan gizi dari minuman boba, maka dapat dikatakan bahwa boba
juga sangat bisa memengaruhi kesehatan seseorang. Sudah banyak sekali
berbagai kasus penyakit yang diakibatkan karena mengonsumsi boba yang
berlebihan. Salah satu contoh kasusnya adalah kasus yang menimpa seorang
anak muda yang berinisial R.
Dalam pernyataannya, R yang berusia 20 tahun ini menceritakan bahwa
dalam satu hari dia biasa mengonsumsi dua gelas boba selama tiga sampai
empat hari dalam seminggu. Kebiasaannya ini dia lakukan sejak Desember
2019 dan terus berlangsung. Selama mengonsumsi boba, dia merasa tak ada
yang aneh pada dirinya. Lambat laun, dia mulai merasakan ada hal yang aneh
pada tubuhnya. Awalnya, dia merasakan kebas pada kaki. Selama enam hari
rasa kebas pada kakinya tak kunjung hilang. Hingga akhirnya, dia merasakan
kakinya mengalami lumpuh sementara. R lalu memutuskan untuk
memeriksakan kondisinya ke dokter umum pada Maret 2020 dan dia didiagnosis
hanya kekurangan vitamin D. Setelah diperiksakan ternyata kakinya masih
terasa berkedut bahkan layu atau meleyot saat berjalan. Akhirnya, dibawa ke
dokter penyakit dalam dan dicek ternyata sudah Diabetes Melitus (DM) tipe-2
karena kebanyakan gula. R pun berpikir bahwa sakit itu disebabkan karena
kebiasaannya meminum boba berlebihan.
R dan sebagian besar orang mungkin terkejut bahwa ternyata boba bisa
menyebabkan suatu penyakit berbahaya bagi tubuh, yakni Diabetes Melitus
(DM) tipe-2. Banyak yang sudah mengetahui bahwa penyakit Diabetes Melitus
(DM) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kadar glukosa yang banyak
dalam darah dan kekurangan insulin. Sedangkan, Diabetes Melitus (DM) tipe-2
adalah salah satu jenis penyakit diabetes yang disebabkan karena gagalnya
tubuh untuk memanfaatkan insulin yang dapat mengakibatkan beberapa
komplikasi dan berpengaruh pada penurunan aktivitas fisik (Utomo et al., 2020:
45). Diabetes Melitus (DM) tipe-2 sendiri merupakan jenis penyakit kronis.
Menurut ALODOKTER (2020) penyakit kronis adalah penyakit yang diderita
dalam waktu yang lama, biasanya lebih dari 6 bulan atau bahkan bertahun-
tahun, sehingga dapat menyebabkan kondisi seseorang semakin melemah
secara bertahap. Sebagian besar penyakit kronis juga sulit untuk disembuhkan
sepenuhnya dan berujung pada kematian. Selain Diabetes Melitus, ada
beberapa penyakit kronis yang juga sama bahayanya, seperti gagal ginjal, gagal
jantung, kanker, hipertensi, dan lain sebagainya.
Kasus R tersebut menunjukkan kenyataan yang sungguh mengagetkan.
Ternyata ada bahaya Diabetes Melitus (DM) tipe-2 di balik manisnya boba. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis kasus R yang berkaitan dengan
bahaya boba terhadap kesehatan melalui segi psikologi kesehatan.
B. LANDASAN TEORI

Untuk menganalisis kasus R yang berkaitan dengan bahaya boba


terhadap kesehatan melalui segi psikologi kesehatan, maka teori psikologi
kesehatan yang akan digunakan sebagai teori utama, yakni Transtheoretical
Model yang merupakan teori atau pendekatan milik James Prochaska dan Carlo
DiClemente. Handayani et al. (2020: 273) menyatakan bahwa Transtheoretical
Model adalah pendekatan yang mengungkapkan bahwa perubahan perilaku
merupakan suatu proses yang terjadi secara bertahap. Usaha untuk mengubah
perilaku melalui tahapan yang berbeda dengan berbagai proses sampai perilaku
yang diinginkan tercapai. Transtheoretical Model memiliki enam tahap
perubahan perilaku (Saputra & Sary, 2013: 154-155), yaitu:
1. Pre-Contemplation
Pre-Contemplation adalah tahap dimana seseorang tidak ingin mengubah
keadaan dan tidak memiliki keinginan untuk mengubah perilaku karena
ketidaktahuannya jika memiliki masalah dalam perilaku. Oleh karena itu, ia
terus menikmati ketidaktahuannya tersebut secara tidak sadar, sehingga
akan sangat sulit dimotivasi untuk mengubah masalah perilakunya.
2. Contemplation
Contemplation adalah tahap dimana seseorang sudah mulai sadar adanya
masalah pada perilaku yang sudah dibiasakan dan dipertahankan, namun
belum ada rencana atau niat untuk bertindak dalam mengubah perilaku.
3. Preparation
Preparation adalah tahap dimana seseorang sudah memiliki rencana atau
berniat dan berkomitmen untuk mengubah perilaku yang dipertahankannya
dalam waktu dekat.
4. Action
Action adalah tahap dimana seseorang sudah mulai mengubah perilakunya
yang menjadi masalah sebelumnya dan mulai menjalankan rencananya
secara bertahap.
5. Maintenance
Maintenance adalah tahap dimana seseorang menjaga perubahan perilaku
yang telah dilakukan dari kemungkinan untuk kembali ke perilaku
sebelumnya atau perilaku lamanya.
6. Termination
Termination adalah tahap dimana seseorang merasa dan yakin tidak akan
pernah kembali pada perilaku lama, meskipun seseorang tersebut akan
merasa cemas, bosan, kesepian, marah, atau stres. Dengan kata lain,
seseorang ini telah berhasil menyesuaikan diri dengan perilaku barunya
yang lebih baik dari perilaku sebelumnya.

Selain akan dianalisis menggunakan teori utama, yakni Transtheoretical


Model yang merupakan teori atau pendekatan milik James Prochaska dan Carlo
DiClemente, kasus R tersebut akan dianalisis menggunakan teori-teori lain yang
mendukung terkait dengan permasalahan, yaitu Teori Health Belief Model, Teori
Illness Cognition, dan Teori Compliance (Kerelaan Berobat).
Pertama, Teori Health Belief Model yang merupakan teori psikologi yang
menjelaskan bahwa perilaku sehat ditentukan pada sikap dan keyakinan
individu mengenai suatu penyakit dan langkah-langkah yang tersedia untuk
mencegah kemunculan penyakit tersebut (Suryani & Purwodiharjo, 2021: 23-
26). Ada enam aspek pada Health Belief Model, yaitu:
1. Persepsi Kerentanan
Persepsi kerentanan adalah sejauh mana seseorang mempersepsikan
bahwa dirinya rentan terjangkit suatu penyakit.
2. Persepsi Tingkat Keparahan
Persepsi tingkat keparahan adalah sejauh mana rasa sakit yang dirasakan
seseorang jika terjangkit suatu penyakit.
3. Persepsi Manfaat
Persepsi manfaat adalah sejauh mana seseorang mempersepsikan manfaat
cara-cara pencegahan penyakit yang disarankan.
4. Persepsi Hambatan
Persepsi hambatan adalah sejauh mana seseorang melihat dampak
negatif dari perilaku kesehatan yang disarankan.
5. Tanda-tanda untuk Melakukan Tindakan
Tanda-tanda untuk melakukan tindakan adalah adanya dorongan baik dari
dalam diri seseorang maupun dari luar dirinya untuk melakukan tindakan
kesehatan.
6. Self Efficacy
Self Efficacy adalah sejauh mana seseorang merasa yakin bahwa ia mampu
melakukan suatu tindakan kesehatan (Suryani & Purwodiharjo, 2021: 23-26).
Kedua, Teori Illness Cognition yang merupakan persepsi seseorang
mengenai sakit atau penyakit yang sedang dialami dan pemahaman terhadap
cara pengobatannya (Adila, 2021). Ada lima aspek atau dimensi dari Illness
Cognition, yaitu:
1. Identity
Identity maksudnya adalah nama atau jenis penyakit dan gejala yang
dirasakan.
2. The Perceived Cause of Illness
The perceived cause of illness maksudnya adalah faktor yang menyebabkan
penyakit tersebut, bisa berasal dari bakteri, virus, atau faktor lain, seperti
stres.
3. Timelime
Timelime maksudnya adalah seberapa lama penyakit diderita (termasuk
penyakit akut atau kronis).
4. Consequences
Consequences maksudnya adalah dampak atau efek yang muncul akibat
penyakit yang dialami, baik dampak fisik maupun psikis.
5. Curability and Controllability
Curability and Controllability maksudnya adalah dapat sembuh dan
mengontrol penyakit yang sudah dialami (Adila, 2021).

Ketiga, Teori Compliance (Kerelaan Berobat) yang merupakan perilaku


patuh yang menunjukkan sejauh mana seseorang bersedia mengikuti anjuran
dan saran pengobatan yang diberikan tentang penyakit yang sedang dialami
agar mencapai kesembuhan (Taylor dalam Kurniati, 2018: 4). Ada tiga aspek
dari kerelaan berobat, yaitu:
1. Pilihan dan Tujuan Pengaturan
Usaha seseorang untuk memilih pengobatan sesuai dengan yang
diyakininya untuk mencapai kesembuhan.
2. Perencanaan Pengobatan dan Perawatan
Rencana-rencana yang dilakukan oleh seseorang dalam pengobatannya
untuk mencapai suatu kesembuhan.
3. Pelaksanaan Aturan Hidup
Kemampuan seseorang untuk mengubah gaya hidup sebagai usaha
untuk menunjang kesembuhan (Taylor dalam Kurniati, 2018: 4).
C. PEMBAHASAN
D. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan
Sumber minuman dengan kadar gula yang tinggi sudah
lama dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas dan diabetes.
Salah satu contoh minuman dengan kadar gula yang tinggi
adalah boba, karena pada minuman boba terdapat baanyak
bahan yang mengandung kadar gula tinggi, seperti, karamel,
serta bahan pemanis tambahan lainnya. Komposisi dari minuman
boba yang dibuat ada lebih dari satu jenis gula yang dipakai di
dalam pembuatan boba ditambah gula dari jenis minuman
campurannya, menunjukkan bahwa minuman boba termasuk
minuman dengan kadar gula yang tinggi. Asupan gula secara
berlebihan, terutama gula tambahan, terbukti meningkatkan risiko
diabetes tipe 2. Maka dapat dikatakan bah wa boba juga sangat
bisa memengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Dapat
disimpulkan bahwa sakit yang dialami oleh subjek R disebabkan
karena konsumsi boba secara berlebihan yaitu Dalam
pernyataannya, R yang berusia 20 tahun ini menceritakan bahwa
dalam satu hari dia biasa mengonsumsi dua gelas boba selama
tiga sampai empat hari dalam seminggu yang dilakukan sejak
Desember 2019.

b. Saran
Dari peristiwa yang dialami oleh subjek R baiknya lebih
berhati – hati dan tidak dalam mengonsumsi makanan atau
minuman terutama makanan atau minuman dengan kadar gula
tinggi. Selain berhati – hati dalam memilih sesuatu yang
dikonsumsi dibutuhkan juga menambah wawasan mengenai
kesehatan dalam hal ini mengenai diabetes, melalui membaca
dan berkonsultasi. Agar menyadari gejala awal supaya dapat
dilakukan tindakan medis dapat dilakukan secara tepat.
Menjaga kebugara tubuh dengan berolah raga secara berkala
serta istirahat yang cukup juga sangat bermanfaat.
Bila merasakan sesuatu yang aneh pada kondisi tubuh
segera konsultasikan pada dokter. Dalam menjalani proses
pengobatan, ikuti saran dan arahan dari dokter.
E. DAFTAR PUSTAKA

Adila, M. N. (2021). Illness Cognition.


https://www.scribd.com/document/453059309/Illness-cognition

ALODOKTER. (2020). Memahami Perbedaan Akut dan Kronis pada Penyakit.


https://www.alodokter.com/memahami-perbedaan-akut-dan-kronis-pada-
penyakit

Handayani, Y., Diah Herawati, D. M., Wijaya, M., & Sanjaya, D. K. (2020).
Pengaruh Konseling Dengan Pendekatan Transtheoretical Model Terhadap
Kepatuhan Peserta Bukan Penerima Upah di Kota Cimahi. Media
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 30(3), 271–280.
https://doi.org/10.22435/mpk.v30i3.2718

Kurniati, D. Y. (2018). Pengaruh Health Education Terhadap Peningkatan


Kepatuhan Menjalankan Pengobatan Medis pada Pasien dengan Simptom
Kanker Payudara Di Rumah Sakit Islam PKU Muhammadiyah Maluku
Utara. Journal of Psychological Research, 4, 46–55.

Mayrlnn, T. V. M. B. I. (2020). Minuman Kekinian Di Kalangan Mahasiswa


Depok Dan Jakarta. Indonesian Jurnal of Health Development, 2(2), 83–91.
https://ijhd.upnvj.ac.id/index.php/ijhd/article/view/48

Safitri, R. A., Parisudha, A., Herliyanti, Y., Gizi, J., Masyarakat, F. K., & Dahlan,
U. A. (2021). Gorontalo. 4(1), 55–61.

Saputra, A. M., & Sary, N. M. (2013). Konseling Model Transteoritik dalam


Perubahan Perilaku Merokok pada Remaja. Kesmas: National Public
Health Journal, 534, 152. https://doi.org/10.21109/kesmas.v0i0.392

Suryani, A. O., & Purwodiharjo, O. M. (2021). Aplikasi Health Belief Model


Dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Di Provinsi Dki Jakarta. Jurnal
Perkotaan, 12(1), 21–38. https://doi.org/10.25170/perkotaan.v12i1.1262

Utomo, A. A., R, A. A., Rahmah, S., & Amalia, R. (2020). Faktor Risiko Diabetes
Mellitus Tipe 2 : A SYSTEMATIC REVIEW. Jurnal Kajian Dan
Pengembangan Kesehatan Masyarakat, 1(1), 44–52.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR

Anda mungkin juga menyukai