Anda di halaman 1dari 6

KRONOLOGI

Sepatu buatan asal Indonesia yaitu Ventella pada pertengahan bulan April 2020 tengah menjadi
perbincangan dikalangan pecinta sneakers. Hal tersebut bukan disebabkan karena produk yang
dijual oleh Ventella laris manis melainkan karena foto-foto sneakers Ventella yng dihapus oleh
Instagram karena laporan pelanggaran merk dagang milik Merk Asal Amerika Serikat yaitu
Vans.
Didalam unggahan Ventella disebutkan bahwasannya Vans telah melapor pada instagam karena
konten yang dimaksud melanggar merk dagangnya. Instagram juga menyertakan nama desain
dari Vans yang menjadi korban jiplakan dari Ventella tersebut.

Awal mulanya, pada bulan Januari Ventella Perusahaan sepatu local yang berada dibawah
naungan PT SINAR RUNNERINDO merilis produknya yang bernama “Ventella Retro”. Produk
yang dirilisnya tersebut sempat menjadi perdebatan dikalangan masyarakat karena dianggap
bahwa produknya tersebut sama persis dengan desain sepatu milik Vans. Tidak hanya siluetnya
saja, aksen garis pada sneakers keluaran Ventella sama seperti jazz stripes milik dari Vans.
Terkait hal tersebut, sementara itu pihak dari Ventella mengklaim bahwasannya produk miliknya
desainnya tersebut sudah didaftarkan kepada Direktorat Jendral kekayaan Intelektual Kementrian
Hukum dan HAM.

ANALISA
1. Dasar Hukum
Pada dasarnya plagiarism merupakan suatu tindak pidana yang sudah diatur didalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Lebih tepatnya diatur
didalam Undang-undang tersebut didalam pasal 54 yang berbunyi:
1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 pasal 23 atau Pasal 32 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat pulih lima juta rupiah)
3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 merupakan
delik aduan.
Adapun perbuatan yang dimaksud dalam pasal 9 tersebut adalah :
1) Pemegang hak desain industri memiliki hak ekslusif untuk melaksanakan
hak desai industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang
tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor,
mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desain
Industri
2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah
pemakaian Desain Industri untuk kepentingan penelitan dan pendidikan
sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak
desain industri.
Berdasarkan pasal 9 tersebut dapat dinyatakan bahwa tindakan seseorang yang
membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan atau mengedarkan barang
yang diberi Hak Desain Industri tanpa seizin dari pemilik dari desain tersebut
merupakan termasuk tindak pidana plagiarisme, karena merupakan perbuatan mencuri
karya orang lain dan mengatasnamakan karya tersebut dengan karya dirinya.

2. Penggunaan prinsip De minimis dalam dunia Industri


Prinsip hukum "de minimis" merujuk pada doktrin yang menyatakan bahwa pengadilan
atau lembaga hukum dapat mengabaikan atau tidak mempertimbangkan pelanggaran
hukum yang sangat kecil atau kurang signifikan. Istilah "de minimis" berasal dari bahasa
Latin yang berarti "tentang hal-hal yang lebih kecil."
Prinsip ini biasanya diterapkan untuk memastikan bahwa proses hukum tidak
terbebani dengan kasus-kasus kecil atau tidak signifikan yang mungkin memakan banyak
waktu dan sumber daya. Dalam konteks ini, kasus-kasus yang dianggap "de minimis"
dapat diabaikan atau tidak diperlakukan secara ketat sesuai dengan hukum.
Penerapan prinsip "de minimis" dapat bervariasi tergantung pada yurisdiksi dan
konteks spesifik dalam suatu kasus hukum. Namun, prinsip ini umumnya digunakan
untuk mencegah pembebanan sistem hukum dengan hal-hal yang dianggap tidak esensial
atau tidak signifikan.
Dalam prinsip de minimis dikenal faktor-faktor yang biasanya dipertimbangkan
pengadilan dalam menerapkan doktrin De Minimis, dimana faktor-faktor tersebut terdiri
dari:
a. Ukuran dan Jenis Kerugian Faktor pertama dan yang terpenting yaitu besarnya
kerugian yang diakibatkan oleh pelanggaran hukum yang bersangkutan. Yang biasanya
diukur menggunakan persentase, ataupun jumlah uang dari kerugian tersebut. Dimana
faktor ini digunakan untuk menghentikan tuntutantuntutan mana yang kerugiannya relatif
kecil. Penggunaan persentase dalam menentukan ukuran kerugian dalam doktrin De
Minimis adalah hal yang penting dikarenakan tidak semua ukuran yang menjadi objek
sengketa adalah uang dan berhubungan dengan angka.
Sehingga tidak mungkin hukum dapat menetapkan patokan besar kecilnya
kerugian yang termasuk kedalam De Minimis atau tidak secara absolut, karena setiap
kasus membutuhkan penilaian masing-masing dilihat dari keadaan dan kasus tersebut.
b. Niat dari pelaku Penggunaan doktrin ini pada dasarnya di dalam sebuah perkara tidak
terlepas dari faktor niat si pelaku, baik sengaja maupun tidak, baik dengan niat yang baik
ataupun buruk. Meskipun demikian, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa
ketika pada dasarnya tindakan yang dilakukan oleh pelaku atau seseorang yang dituduh
melakukan kesalahan memang didasari oleh niat buruk, maka pembelaan menggunakan
doktrin ini dalam kasusnya tidak lagi dapat digunakan. Karena sering kali pemikiran
masyarakat berasal dari sebuah prinsip bahwa ketika kesalahan yang dilakukan memang
karena kesengajaan pelaku maka tentu sudah jelas betapa kecilnya kerugian yang
ditimbulkan.
Kedua faktor tersebut menjadi dua faktor yang dapat diterapkan oleh UU Desain
Industri dalam menentukan apakah suatu kasus dugaan pelanggaran hak desain industri
tepat atau tidak sehingga layak dijadikan gugatan dalam pengadilan. Pada dasarnya kedua
faktor tersebut dapat membantu memberikan pemahaman terkait parameter penggunaan
doktrin De Minimis, sehingga dapat ditentukan apakah suatu hal dapat dikatakan De
Minimis atau tidak.

3. Perbandingan antara Vans dengan Ventella


Desain struktur sepatu dalam dugaan pelanggaran desain industri antara Ventela dengan
Vans merupakan desain struktur sepatu sneakers. Sneakers adalah sepatu yang
menggunakan sol yang fleksibel yang terbuat dari bahan karet atau sintetis yang pada
mulanya digunakan untuk kegiatan olahraga namun di masa sekarang banyak digunakan
untuk kegiatan harian atau casual20. Struktur sepatu sneakers ini intinya terdiri atas
tongue/lidah, eyestay/lubang tali sepatu, shoelace/tali sepatu, toe box, insole, midsole,
outer sole, upper/atas21 seperti ditunjukkan dalam Gambar 6, namun dalam kaitannya
Ventela dengan Vans menyangkut pula stripe yang pula merupakan struktur penting pada
kedua model yang akan dibandingkan. Sedangkan dalam desain industri yang merujuk
pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri menjelaskan bahwa
desain industri mencakup bentuk konfigurasi atau komposisi garis, warna, garis dan
warna, atau gabungan komposisi dan konfigurasi dalam bentuk tiga dimensi atau dua
dimensi yang memberikan kesan estetis22, dari pengertian desain struktur sepatu sneaker
dan desain industri dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri, berikut adalah perbedaan antara Ventela Public dan Vans Old-Skool.
Desain Sepatu Ventela Public Vans Old-Skool
Tongue Jahitan zig-zag dan bagian Jahitan Segaris dan bagian
depan ditempel label depan tidak berlabel
Eyestay Memiliki 6 mata lubang Memiliki 7 mata lubang
dan memanjang hingga dan menyatu dengan toe
bagian sol box
Shoe Lace Shoe Lace kualitas sesuai Shoe Lace berkualitas dan
dengan harga sepatu kuat untuk dipakai bermain
Skateboard
Toe Box Toe Box menyatu dengan Toe Box menyatu dengan
bagian Tounge bagian samping sepatu
Insole Menggunakan material Menggunakan material
yang dipakai untuk yang kuat untuk dipakai
kegiatan casual bermain Skateboard
Midsole Midsole hanya 1 lapis dan Midsole terdiri dari 3 lapis
tanpa aksen apapun dengan aksen garis hitam
memanjang
Outer Sole Pola Outer Sole berbentuk Pola Outer Sole berbentuk
V dengan logo Ventela Waffle sebagai ciri khas
dibagian tengah Vans
Upper Bagian samping terpisah Bagian samping menyatu
dengan bagian toe box dan dengan bagian toe box dan
terdapat sole dibagian bagian tongue
ujung toe
Stripe Stripe bagian depan lebih Stripe bagian depan lebih
menjorok ke bagian menjorok ke bagian eyestay
midsole
Struktur sepatu antara Ventela Public dengan Vans Old-Skool secara keseluruhan
memiliki perbedaan yang signifikan dan untuk bagian stripe memiliki kemiripan. Namun
selain daripada perbedaan bentuk dan rupa dari kedua sepatu tersebut, ada pula perbedaan
material dari kedua sepatu tersebut yang berbeda, terlebih dari segi kualitas material yang
digunakan. Hal ini dikarenakan bahwa pihak Vans mengemukakan bahwa sepatunya
memiliki kualitas dan teknologi yang mumpuni untuk dipakai dalam olahraga skateboard,
sehingga diperlukan kualitas yang kuat dari segi material sedangkan Ventela dibuat untuk
kebutuhan sehari-hari atau untuk kegiatan kasual yang mungkin menitikberatkan dalam
segi estetika dari sepatu tersebut.

4. Ukuran dan Jenis Kerugian Berdasarkan faktor ukuran dan jenis kerugian yang
ditimbulkan dari pelanggaran desain industri yang dilakukan oleh Ventela terhadap Vans
dapat ditinjau dari persentase minat beli pembelian sepatu Vans di Indonesia. Berdasarkan
penelitian dari Universitas Telkom yang menunjukkan data bahwa 69,9% konsumen
memiliki minat beli sepatu imitasi Vans di Indonesia berdasarkan faktor-faktor sebagai
berikut:
- citra merek, gaya hidup, pengetahuan produk, kualitas produk, keuntungan hedonis
dan keuntungan ekonomis dengan persentase 41, 146%
- harga, religiusitas, materialisme dan pengalaman sebelumnya dengan persentase 13,
529%
- perhatian etis dan sikap terhadap hukum dengan persentase 8,887%
Berdasarkan persentase tersebut, faktor yang memiliki pengaruh paling besar adalah citra
merek, gaya hidup, pengetahuan produk, kualitas produk, keuntungan hedonis dan
keuntungan ekonomis yang memiliki persentase sebesar 41,146% dalam minat beli
konsumen terhadap produk imitasi Vans di Indonesia.
Dengan persentase tersebut dan dari banyaknya jenis produk yang menyerupai Vans
selain itu produk Ventela yang juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan, data
tersebut dapat diartikan berpengaruh pula dalam kerugian yang ditimbulkan oleh Ventela
namun tidak akan mencapai persentase yang sebesar data tersebut, sehingga masih dapat
diberlakukan prinsip de minimis terhadap kasus yang terjadi antara Ventela dengan Vans.

5. Niat dari Pelaku


Dalam kasus ini pelaku yang tersandung kasus pelanggaran desain industri adalah pihak
Ventela, berdasarkan keterangan Ventela yang menjelaskan bahwa pihak Ventela
memenuhi persyaratan administrasi dan tidak melanggar hukum karena telah
mendaftarkan semua desain logo ke Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dari keterangan tersebut maka tidak ada niatan dari pelaku untuk melakukan pelanggaran
desain industri karena secara estetis pun memiliki perbedaan yang signifikan pada kedua
produk Ventela dan Vans.
Selain itu pihak Vans pun menerangkan dalam situs resminya bahwa Vans itu didesain
khusus untuk kegiatan olahraga skateboard yang mana tentunya material yang digunakan
dan secara estetika pun harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam kegiatan olahraga
skateboard, sedangkan Ventela mendesain produknya untuk kegiatan sehari-hari atau
kasual, maka dalam hal ini tentu prinsip de minimis dapat diterapkan dalam kasus yang
menyangkut Ventela dengan Vans.
Dari tinjauan tersebut, kedua faktor yang biasanya dipertimbangkan di pengadilan telah
terpenuhi dan hal tersebut menyimpulkan bahwa dalam kasus pelanggaran desain industri
yang terjadi antara Ventela dan Vans dapat diterapkan prinsip de minimis.

Anda mungkin juga menyukai