Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS KASUS CYBER PSYCHOLOGY

MATAKULIAH PSIKOLOGI SOSIAL DAN TERAPAN

“Penyebaran Video Pornografi dari Kalangan Artis Indonesia”

Disusun Oleh :

Naila Rizkiyana Inayatillah – 202110230311224

Dosen Pengampu:

Erinda Dwimagistri S., S.Psi., M.Si

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2023
Pada 20 Oktober 2023 lalu, warganet kembali dikejutkan oleh berita tersebarnya video
pornografi berdurasi 11 menit dan 1 menit 40 detik yang pemerannya diduga adalah Rebecca
Klopper (Tionardus, 2023). Kuasa Hukum Rebecca Klopper, Muannas Alaidid menyatakan
bahwa terdapat individu yang mengancam Rebecca yaitu mantan pacar dari Rebecca.
Sebelumnya, Rebecca Klopper juga telah mengalami kasus serupa pada bulan Mei 2023, di mana
terdapat video pornografi berdurasi 47 detik yang diduga pemerannya adalah dirinya (Suhendra,
2023). Untuk kasus pertama pada bulan Mei 2023, Bayu Firlen yang merupakan terdakwa
penyebar video pornografi dengan perempuan yang mirip dengan Rebecca telah ditangkap dan
tengah menjalani sidang tuntutan. Tim kuasa hukum Rebecca Klopper menyatakan bahwa
terdapat motif dari pihak-pihak yang menyebarkan video ini, dugaannya adalah rasa cemburu
terhadap sosok Rebecca yang menjadi lebih baik. Kemudian, tim kuasa hukum Rebecca juga
mendampingi dirinya ke kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta ke Komnas
Perempuan untuk mendapatkan perlindungan (Tionardus, 2023).

Permasalahan di atas merupakan salah satu kasus kekerasan berbasis gender online
(KBGO). Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet (2020),
kekerasan berbasis gender online meliputi kategori pelanggaran privasi, perusakan reputasi atau
kredibilitas seseorang, pelecehan, ancaman dan kekerasan langsung. Pada kasus Rebecca,
diketahui bahwa video pornografi yang disebarkan melanggar privasi serta merusak reputasi
Rebecca karena seseorang telah memanipulasi video tersebut tanpa seizin Rebecca dan hal
tersebut memiliki tujuan menyerang Rebecca supaya reputasinya tercoreng. Kemudian,
penyebaran video pornografi dengan pemeran yang diduga Rebecca juga merupakan pelecehan
karena menggunakan video tidak senonoh untuk merendahkan perempuan. Selain itu, diketahui
juga dari kuasa hukum Rebecca bahwa mantan pasangan Rebecca memberikan ancaman kepada
Rebecca sehingga diduga bahwa mantan pasangan tersebut yang menyebarkan video pornografi
berdurasi 11 menit tersebut. Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
Rebecca merupakan korban dari kekerasan berbasis gender online.

Ditinjau kembali pada konteks yang lebih luas, fenomena ini merupakan bagian dari
masalah yang lebih besar yaitu pelanggaran privasi di era digital. Di bagian dunia manapun saat
ini hampir semua orang memiliki ponsel pintar berkamera dan di mana sebagian besar kehidupan
seseorang didokumentasikan secara online, potensi untuk melanggar privasi orang lain, baik
disengaja atau tidak, telah meningkat secara dramatis (Fernando et al., 2023). Dalam kasus video
pornografi mirip Rebecca yang kedua di mana video tersebut berdurasi 11 menit diduga oleh
kuasa hukum Rebecca disebarkan oleh mantan kekasihnya, maka kasus ini dapat disebut sebagai
revenge porn (pornografi balas dendam). Revenge porn atau pornografi balas dendam adalah
salah satu bentuk pelanggaran privasi yang paling ekstrem dan merusak. Pembatasan hukum juga
memperumit masalah ini. Meskipun banyak negara telah mulai menerapkan undang-undang
untuk melarang dan menghukum pornografi balas dendam, implementasinya sering kali
mempersulit penyintas (Fernando et al., 2023).

Dua bentuk perilaku antisosial yang dapat dianggap sebagai cabang dari revolusi cyber
adalah cyberbullying dan cyber sexual harassment (Walters & Espelage, 2020). Revenge porn
merupakan bagian dari cyber sexual harassment (CSH) yang masuk ke dalam ranah penelitian
cyberpsychology. Tindakan revenge porn merupakan proses penyebaran konten seksual yang
tidak diinginkan dan tidak sah yang pada awalnya diberikan oleh korban, atau yang diperoleh
tanpa kesadaran korban (Attrill-Smith et al., 2021). Revenge porn dapat terdiri dari gambar, teks,
dan/atau konten yang divideokan, sering kali disertai dengan informasi demografis yang dapat
dikirim ke penerima yang ditargetkan seperti pasangan, pasangan, atau anggota keluarga lainnya.
Konten ini juga dapat dibagikan secara lebih luas di media sosial dan situs web terbuka untuk
menjangkau penonton dalam jumlah yang tidak terbatas. Meskipun internet dapat menimbulkan
bahaya bagi anak atau orang dewasa, internet sebaliknya dapat menyediakan lingkungan yang
relatif aman untuk penindasan/pelecehan karena sifat anonimitas dan kemungkinan kecil untuk
terdeteksi dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan seksual secara tradisional. Hal ini
terutama berlaku jika individu tersebut memiliki wawasan yang luas terkait teknologi cyber.

Melalui cyber sexual harassment, individu mendapatkan cara alternatif untuk mencapai
kontrol interpersonal terhadap korbannya. Cyber sexual harassment itu sendiri dapat
menciptakan pergeseran kekuasaan, di mana pada kasus Rebecca, pelaku penyebar video
pornografi pada awalnya berpikir bahwa mereka memiliki kuasa atas Rebecca. Hal ini juga dapat
dilihat dari ancaman yang diberikan untuk memeras Rebecca oleh mantan pasangannya.
Ketidakseimbangan kekuatan berubah dari yang didasarkan pada kekuatan fisik atau status sosial
menjadi berdasarkan pengetahuan (Walters & Espelage, 2020). Oleh karena itu, prospek cyber
sexual harassment atau porn revenge dapat berfungsi sebagai batu loncatan menuju pelecehan
seksual secara tatap muka karena di dalamnya dapat terjadi pemerasan atau ancaman dengan
sifat-sifat yang anonim.

Semakin banyak literatur yang menunjukkan bahwa pelaku yang melakukan tindakan
revenge porn memiliki tujuan untuk melecehkan, mempermalukan, atau menyakiti mantan
pasangannya (Stroud, 2014), atau bahkan menyebabkan mereka tertekan secara destruktif
(Daswani & Pearson, 2014). Literatur-literatur tersebut sesuai dengan kasus Rebecca, di mana
kuasa hukum Rebecca menyatakan bahwa motif dari penyebaran video pornografi yang mirip
dengan Rebecca itu karena rasa cemburu terhadap sosok Rebecca yang semakin baik dari hari ke
hari. Meskipun hal ini sering terjadi sebagai hukuman atas putusnya hubungan romantis, hal ini
juga dapat terjadi melalui pertemanan yang tidak bahagia atau sanggahan untuk menarik
perhatian korban yang bukan karena balas dendam. Diketahui bahwa Rebecca menerima
ancaman dari mantan pasangannya, hal ini sejalan dengan penelitian Citron dan Franks (2014)
bahwa revenge porn melalui publik biasa digunakan untuk menunjukkan kekuasaan dan kontrol
atas korban.

Pada umumnya, revenge porn lebih sering dialami oleh perempuan di mana foto atau
video intim mereka diunggah di media sosial setelah putus hubungan romantis dengan
pasangannya, namun revenge porn juga dapat terjadi pada laki-laki (Kinman, 2018). Penyintas
yang berjenis kelamin perempuan umumnya diyakini mengalami lebih banyak kerugian dari
revenge porn daripada laki-laki. Hal ini terbukti di mana pada kasus Rebecca, masih banyak
orang-orang di mdia sosial yang menyalahkan atau mencaci Rebecca yang merupakan korban
pada kasus ini. Beberapa faktor yang mungkin memengaruhi pelaporan seseorang bahwa dirinya
mengalami revenge porn di antaranya pada perempuan memiliki kecenderungan akan
mendapatkan label bahwa dirinya 'rusak' dan pada laki-laki memiliki kecenderungan akan
mendapatkan label bahwa dirinya 'lemah'. Bias kognitif, seperti keyakinan bahwa orang harus
disalahkan atas kemalangan mereka sendiri, juga tampaknya memengaruhi persepsi publik
tentang korban (Kinman, 2018).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun telah ada kemajuan
dalam penanganan dan pencegahan revenge porn dari sisi hukum, masyarakat masih perlu
melakukan perannya. Kesadaran masyarakat, pendidikan, dan pendekatan pencegahan sangat
penting dalam memerangi fenomena ini. Selama masyarakat melihat konten semacam ini sebagai
bentuk hiburan atau alat untuk menyakiti orang lain, masalah ini akan terus ada. Penelitian ini
akan menggali lebih dalam tentang pornografi balas dendam, mengapa hal ini menjadi masalah
yang mendesak, dan apa dampaknya bagi para korban. Penelitian ini juga akan menyelidiki
upaya-upaya yang dilakukan di berbagai belahan dunia untuk mengatasi fenomena ini dan
langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mencegah penyebarannya lebih lanjut. Dengan
memahami revenge porn dalam konteks yang lebih luas dari pelanggaran privasi dan kejahatan
digital, kita dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk memerangi fenomena ini dan
melindungi mereka yang paling rentan terhadap dampak buruknya.
REFERENSI

Attrill-Smith, A., Wesson, C. J., Chater, M. L., & Weekes, L. (2022). Gender differences in
videoed accounts of victim blaming for revenge porn for self-taken and stealth-taken sexually
explicit images and videos. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace,
15(4), Article 3. https://doi.org/10.5817/CP2021-4-3

Citron, D. K., & Franks, M. A. (2014). Criminalizing revenge porn. Wake Forest Law Review,
49, 345–392. https://scholarship.law.bu.edu/faculty_scholarship/643

Daswani, Y. & Pearson, H. (2014). Preventing revenge porn. Keep Calm and Talk Law. Diakses
dari http://www.keepcalmtalklaw.co.uk/preventing-revenge-porn/

Fernando, Z. J., Teeraphan, P., Barkhuizen, J., & Agusalim. (2023). Revenge Porn: Digital
Crimes and Implications for Victims. Kosmik Hukum, 23(2), 157-171. DOI:
10.30595/kosmikhukum.v23i2.18542

Kinman, G. (2018). Revenge porn and hoarding. Diakses dari


https://www.bps.org.uk/psychologist/revenge-porn-and-hoarding

Simanjorang, S. A. (2023). VIRAL Video Syur Mirip Rebecca Klopper 11 Menit, Pengacara
Sebut Kliennya Diancam Mantan Pacar. Diakses dari
https://medan.tribunnews.com/2023/10/21/viral-video-syur-mirip-rebecca-klopper-11-menit-
pengacara-sebut-kliennya-diancam-mantan-pacar?page=2

Suhendra, I. (2023). Video Syur Rebecca Klopper Tersebar Lagi, Diduga Karena Sakit Hati.
Diakses dari https://www.viva.co.id/showbiz/gosip/1649482-video-syur-rebecca-klopper-
tersebar-lagi-diduga-karena-sakit-
hati#:~:text=Motif%20di%20balik%20penyebaran%20video,pada%20Jumat%2C%2020%20Okt
ober%202023.

Stroud, S. R. (2014). The dark side of the online self: A pragmatist critique of the growing
plague of revenge porn. Journal of Mass Media Ethics, 29(3), 168–183.
https://doi.org/10.1080/08900523.2014.917976

Tionardus, M. (2023). Video Syur Mirip Rebecca Klopper Tersebar Lagi, Kuasa Hukum Duga
Dalang Utamanya Sakit Hati. Diakses dari
https://www.kompas.com/hype/read/2023/10/22/124435066/video-syur-mirip-rebecca-klopper-
tersebar-lagi-kuasa-hukum-duga-dalang

Walters, G. D., & Espelage, D. L. (2020). Assessing the relationship between cyber and
traditional forms of bullying and sexual harassment: Stepping stones or displacement?
Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 14(2), Article 2.
https://doi.org/10.5817/CP2020-2-2
LAMPIRAN

Lampiran I

Sumber dari Berita yang Diangkat

Sumber berita: Tionardus, M. (2023). Video Syur Mirip Rebecca Klopper Tersebar Lagi, Kuasa
Hukum Duga Dalang Utamanya Sakit Hati. Diakses dari
https://www.kompas.com/hype/read/2023/10/22/124435066/video-syur-mirip-rebecca-klopper-
tersebar-lagi-kuasa-hukum-duga-dalang
Sumber berita: Simanjorang, S. A. (2023). VIRAL Video Syur Mirip Rebecca Klopper 11 Menit,
Pengacara Sebut Kliennya Diancam Mantan Pacar. Diakses dari
https://medan.tribunnews.com/2023/10/21/viral-video-syur-mirip-rebecca-klopper-11-menit-
pengacara-sebut-kliennya-diancam-mantan-pacar?page=2

Sumber berita: Suhendra, I. (2023). Video Syur Rebecca Klopper Tersebar Lagi, Diduga Karena
Sakit Hati. Diakses dari https://www.viva.co.id/showbiz/gosip/1649482-video-syur-rebecca-
klopper-tersebar-lagi-diduga-karena-sakit-
hati#:~:text=Motif%20di%20balik%20penyebaran%20video,pada%20Jumat%2C%2020%20Okt
ober%202023.
Lampiran II

Hasil Uji Plagiasi

Anda mungkin juga menyukai