Anda di halaman 1dari 3

Genosida di Gaza dan Collateral Damage

Dengan alasan apapun, tak ada negara dan kelompok manapun yang secara eksplisit mengakui
dalam perang dibolehkan pembunuhan terhadap warga sipil atau non-kombatan, termasuk
anak-anak dan perempuan. Jika yang terjadi adalah korban perang yang begitu besar, maka
para penentu kebijakan dari politisi dan militer negara-negara berkaitan akan bertanggung
jawab, dengan berusaha mengajukan beragam dalih pembenaran secara moral, atas tindakan
yang menjatuhkan korban perang begitu besar itu. Itulah yang terjadi dalam serangan Israel atas
Gaza.
Inilah yang dilakukan Amerika dan Israel bersama negara-negara pendukungnya, dengan
mengangkat dalih pembenaran moral untuk melegitimasi sikap dan langkah mereka dalam
serangan Israel yang menelan sejumlah besar korban sipil di Gaza.
Dalam peraturan perang dunia, ada peristilahan yang dikenal ungkapan collateral damage atau
kerusakan tambahan, yang diartikan kondisi akibat perang yang mengakibatkan korban
sampingan demi mencapai suatu target yang lebih besar. Istilah ini pertama kali digunakan
sebagai euphemisme atau ungkapan pelembut para politisi dan jenderal Amerika Serikat di
dalam Perang Vietnam ketika mereka membantai anak-anak dan wanita Vietnam. Korban bom
nuklir Hiroshima-Nagasaki yang hampir mencapai 250.000 jiwa yang dilakukan AS untuk
menghentikan agresi Jepang di berbagai negara pada masa Perang Dunia II, juga bisa disebut
sebagai collateral damage.
Collateral damage atau kerusakan tambahan, terjadi ketika serangan yang ditujukan pada
sasaran militer menyebabkan terbunuhnya rakyat sipil dan merusak obyek-obyek sipil. Masalah
ini sudah diantisipasi dan menjadi peraturan dalam konflik bersenjata untuk membatasi
serangan secara sembarangan. Dalam konvensi Jenewa Pasal 57 Protokol Tambahan I
menyebutkan bahwa, dalam sebuah konflik internasional, “perhatian harus selalu diberikan
untuk melindungi populasi sipil, orang-orang sipil, dan obyek-obyek sipil.” Sebagai tambahan,
pada Pasal 51, “Pemboman area (carpet bombing) dilarang, begitu juga serangan yang
menggunakan cara dan alat pertempuran yang efeknya tidak dapat dikontrol.”
Inilah yang kita saksikan digunakan oleh para pejabat AS dan Israel. Mereka berulangkali
menyatakan berbagai ungkapan untuk menggiring opini dunia bahwa apa yang dilakukan adalah
dalam konteks collateral damage. Bagaimana mereka terkadang memuji tentara Israel sebagai
salah satu tentara paling profesional di dunia, dan di waktu yang sama mengatakan bahwa
Hamas sengaja membunuh warga sipil dengan menjadikan mereka sebagai tameng manusia.
Jadi pembantaian yang dilakukan pasukan Israel dirubah dengan alasan hal itu sebagai respon
dari pembunuhan yang dilakukan pejuang Palestina. Artinya juga, pembantaian itu dilakukan
secara tidak sengaja karena tujuan utamanya adalah menghabisi pejuang Palestina. Lebih lanjut
dengan kuat, AS menyematkan tuduhan terorisme pada pejuang Palestina dan meminta
pertanggungjawaban Hamas sebagai organisasi terdepan dalam perjuangan kemerdekaan
Palestina, atas terbunuhnya warga sipil yang terbunuh oleh senjata Amerika dan Israel. AS juga
kerap “mendesak” Israel dengan menggunakan kalimat “meminimalkan korban sipil.” Tapi
kenyataannya, membenarkan pembantaian yang telah terjadi di Gaza selama dua bulan, dengan
dukungan bom, pesawat tempur dan persenjataan berat.
Klaim karakter paling bermoral juga diungkapkan secara eksplisit oleh Perdana Menteri Israel
Benjamin Netanyahu, dengan mengatakan bahwa tentara Israel adalah tentara paling
professional dan bermoral di dunia, dan yang terjadi di Gaza adalah collatoral damage.
Sedangkan di waktu yang sama mereka terus menerus melakukan pembantaian sipil setiap hari
di Gaza, hingga jumlah syahid telah mendekati 20.000 orang, ditambah puluhan ribu yang
terluka, dan kehancuran menyeluruh akibat pemboman Israel yang tak kenal henti.
Apa yang diinginkan para musuh kemanusiaan itu sebenarnya? Setidaknya mereka ingin
mencapai tiga tujuan. Pertama: Menghindari tanggung jawab moral dan hukum atas akibat
tindakan militer kejam yang terjadi di Gaza dan . Kedua: Menutupi kegagalan komando militer
yang tidak berhasil mencari anasir perlawanan Palestina dan gagal menghindari jatuhnya korban
yang begitu banyak di kalangan sipil. Ketiga: Menjamin agar aksi militer yang dilakukan bisa
tetap berlanjut agar tujuan tercapai tanpa pembatasan sanksi tertentu yang mengakibatkan
serangan ditekan atau dihentikan.
Yang dilakukan AS dan Israel itu jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab jatuhnya korban sipil selama
apa yang disebut “konflik bersenjata” meski bukan kejahatan perang tapi hukum humaniter
internasional hanya mengizinkan pihak-pihak yang bertikai untuk melakukan “serangan
proporsional” terhadap sasaran militer; meskipun diketahui sebelumnya bahwa hal itu akan
menimbulkan korban sipil. Jelas apa yang terjadi saat ini di Gaza dan sudah keluar dari unsur
proporsional.
Jika alasan collateral damage atau kerusakan tambahan itu diterima, maka dalam konteks
korban di Gaza dan , akan bermakna dehumanisasi terhadap korban, atau menjadikan manusia
hanya sekedar objek atau alat untuk mencapai tujuan militer dan politik. Kerusakan tambahan,
menurut definisinya, adalah dampak yang menimpa individu, harta benda, atau fasilitas, dan
merupakan isu sekunder dalam keputusan perang dan tindakan militer. Sedangkan yang terjadi,
jelas justru bukan isu sekunder melainkan menjadi persoalan sentral yang dilakukan secara
sengaja dan membabi buta. Lalu, Amerika cukup puas dengan menyatakan kesedihan atas
jatuhnya korban jiwa di Gaza, sambil terus mendukung perang dan mengirimkan senjata yang
membunuh warga sipil tersebut.
Penggunaan istilah collateral damage di sini adalah menyesatkan. Sebab yang terjadi jelas
aspek kesengajaan yang ingin dicapai dalam perang yang sedang berlangsung di Gaza.
Mengingat sifat senjata yang digunakan, yang dampaknya diketahui secara pasti oleh produsen,
pemasok dan pengguna senjata, dalam hal jangkauan dan potensi destruktifnya, pasti sudah
bisa diprediksi. Juga mengingat sifat medan perang di Gaza yang memiliki kepadatan penduduk
tertinggi di dunia, dan penargetan fasilitas perumahan dan kesehatan diketahui – dengan pasti –
akan menimbulkan korban jiwa tanpa mencapai tujuan militer yang sepadan dengan kerusakan
yang ditimbulkan.
Undang-undang perang internasional harus diterapkan secara ketat dalam perang yang sedang
berlangsung di Gaza karena aspek senjata, wilayah dan sasaran, serta dampak sebenarnya, yaitu
terbunuhnya sekitar dua puluh ribu orang, yang sebagian besar adalah anak-anak dan
perempuan. Penyangkalan dunia terhadap genosida atas Gaza yang dilakukan secara sengaja,
akan menjadi preseden kemanusiaan luar biasa di masa depan. Dan bukan mustahil, jika pun
ternyata AS dan Israel berhasil “mengalahkan” Hamas di Gaza, akan terbuka medan pertikaian
yang lebih luas dan sulit terkontrol, mencakup dalam negeri Israel sendiri, negara-negara
tetangga Palestina bahkan bisa sangat mengganggu stabilitas politik dan dunia.
Bersyukur, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, telah menyatakan dalam
Majelis Umum PBB (28/11/2-23) mendukung upaya menuntut pertanggungjawaban Israel
melalui Mahkamah Internasional ICJ (International Court of Justice) dan juga ICC (International
Criminal Court) yang akan mengadili individu-individu atas kejahatan perang dan kejahatan atas
kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai