Anda di halaman 1dari 4

KONFLIK ISRAEL DAN PALESTINA, KEGAGALAN KOMUNIKASI

Latar belakang konflik

Awal konflik Palestina dan Israel terjadi pasca Perang Dunia I. Di mana Inggris sebagai pemenang
Perang Dunia I memberikan wilayah kepada bangsa Yahudi melalui Deklarasi Balfour (1917). Dari
peristiwa ini, bangsa Yahudi menganggap bahwa kawasan Palestina adalah tanah air mereka

Perbedaan agama, rejim politik dan juga suku etnik adalah penyebab utama masyarakat Timur
Tengah berada dalam konflik. Ideologi barat seperti demokrasi adalah ideologi yang sangat
bertentangan dengan nilai dan kultur rejim yang ada di Timur Tengah.

Menurut survei Kurious-Katadata Insight Center (KIC), mayoritas atau 79,8% responden menilai
bahwa sengketa wilayah merupakan hal yang menjadi latar belakang terjadinya konflik serangan
Israel ke Palestina. Kemudian, ada 31% responden yang menilai konflik karena masalah kemanusiaan

Kapan Perang Israel berakhir

Gencatan senjata Israel-Hamas selama tujuh hari berakhir pada Jumat pagi (1/12/2023) waktu
setempat. Seperti dilansir Al Arabiya, Jumat, laporan media lokal Palestina menyebut rentetan
serangan udara dan artileri Israel melanda sejumlah wilayah Jalur Gaza, termasuk di Rafah yang
terletak di dekat perbatasan Mesir.

Dalam lansiran un-press-org Palestina telah mendeklarasikan kemerdekaannya, namun status


negaranya belum sepenuhnya diakui secara universal. Namun, hingga Oktober 2023, 138 dari 193
negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengakui kedaulatan Palestina

AS, sebagai salah satu pemegang hak veto di PBB, sering memveto resolusi PBB yang dapat
membantu Palestina dan merugikan kepentingannya bersama Israel. Alhasil, PBB tidak bisa
membantu rakyat Palestina karena resolusinya selalu dimentahkan oleh hak veto AS.

Kenapa PBB tidak memberikan sanksi kepada Israel?

Alasannya, karena PBB sebenarnya telah banyak mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan terkait
konflik negara tersebut. Dikutip dari situs resminya, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Dewan
Keamanan memiliki tanggung jawab utama untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Senin (6/11/2023), kembali gagal menyepakati


resolusi mengenai perang Israel-Hamas yang sudah berlangsung sebulan. Diskusi tertutup
berlangsung lebih dari dua jam. Amerika Serikat menyerukan “jeda kemanusiaan”. Sementara
anggota DK PBB lainnya yang menuntut “gencatan senjata kemanusiaan” untuk memberikan bantuan
yang sangat dibutuhkan rakyat Palestina dan mencegah lebih banyak warga sipil yang tewas di Gaza.

“Kami mengajukan jeda kemanusiaan. Akan tetapi, di dalam DK PBB masih ada perbedaan pendapat
untuk menerima usulan AS,” kata Deputi Wakil Tetap AS untuk PBB Robert Wood.

Sebelumnya, Senin pagi, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan PBB menginginkan
agar segera ada gencatan senjata kemanusiaan di Gaza dan penghentian tindakan kekerasan yang
mulai merembet ke Tepi Barat, Lebanon, Suriah, hingga Irak dan Yaman. Guterres menegaskan
hukum humaniter internasional yang menuntut perlindungan warga sipil dan infrastruktur penting
bagi kehidupan rakyat Palestina, jelas-jelas dilanggar. “Tidak ada satupun pihak dalam konflik
bersenjata yang kebal dari UU ini. Sandera yang dibawa Hamas dari Israel ke Gaza harus segera
dibebaskan tanpa syarat,” ujarnya.

China yang menjabat sebagai presiden DK PBB pada bulan ini, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang
menjadi perwakilan Arab di DK PBB yang meminta agar DK PBB rapat karena adanya krisis
kemanusiaan di Gaza. Lebih dari 10.000 orang terbunuh hanya dalam waktu kurang satu bulan. Duta
Besar UEA untuk PBB Lana Nusseibeh mengatakan seluruh 15 anggota DK PBB “terlibat penuh” dan
upaya akan terus dilakukan untuk mempersempit perbedaan dan mencapai kesepakatan mengenai
resolusi. (AP/LUK)

Di tengah arus informasi global yang tak pernah padam, publik dunia kembali dihadapkan pada
rentetan serangan brutal Israel di wilayah Palestina.
Ironisnya, situasi ini bukan panorama baru. Bertahun-tahun konflik Israel-Palestina menjadi semacam
lukisan lama yang kerap dipajang kembali dengan bingkai yang sama, kegagalan rezim dan organisasi
internasional dalam memainkan peran efektif untuk mencegah eskalasi serangan.

Organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) telah lama dipandang sebagai
benteng utama dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Namun, kenyataan
berbicara lain. Resolusi yang dihasilkan PBB terkait konflik ini, seperti Resolusi 2334 yang mengecam
pemukiman Israel di wilayah Palestina, sering hanya bertahan di atas kertas.

Eksekusi dan implementasinya di lapangan terhambat oleh berbagai faktor, termasuk veto dari
anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

Bahkan resolusi terbaru yang dikeluarkan Majelis Umum PBB menjelang akhir Oktober—yang
mengecam segala aksi kekerasan terhadap warga sipil Palestina dan menyerukan gencatan senjata
untuk jeda kemanusiaan—pun gagal dieksekusi karena diveto Amerika Serikat (AS).

Resolusi ini dinilai menutup kesempatan Israel untuk membela diri. Akibatnya, perang antara Israel
dan Hamas tidak berhenti dan malah semakin besar. Hingga memasuki minggu keempat, Kantor PBB
untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat sebanyak 10.593 orang tewas, dan korban terbesar ada
pada anak-anak dan perempuan.

Ironisnya, PBB yang memiliki perangkat Dewan Keamanan dan Dewan Hak Asasi Manusia mengalami
impotensi ketika menghadapi kebrutalan Israel di Palestina.

Sebagai organisasi internasional terbesar, seharusnya PBB dapat melakukan langkah efektif untuk
menghentikan serangan militer Israel sekaligus menegakkan hukum humaniter internasional. Namun,
ini tak terjadi, dan bahkan serangan Israel kian meluas dengan korban sipil bertambah setiap hari.

Resolusi yang dihasilkan PBB terkait konflik ini, seperti Resolusi 2334 yang mengecam pemukiman
Israel di wilayah Palestina, sering hanya bertahan di atas kertas.

Tiga alasan

Mengapa PBB tampak mengalami impotensi dalam membuat dan melaksanakan resolusi atas Israel,
setidaknya dapat dijelaskan dalam tiga alasan berikut. Pertama, karena adanya kekuatan veto yang
dimiliki anggota tetap DK PBB, seperti AS.

Ketika resolusi yang mengkritisi Israel diajukan, negara- negara anggota yang memiliki kekuatan veto
dapat memblokirnya. Hal ini telah terjadi dalam beberapa kesempatan sehingga menghambat
kemampuan PBB mengambil tindakan tegas.

Menjadi benar adanya ketika John Mearsheimer, seorang teoretikus politik internasional, dalam
bukunya, The Tragedy of Great Power Politics, mengatakan bahwa dalam politik internasional,
kekuatan besar cenderung menggunakan kekuatannya demi kepentingan nasional sendiri, bukan
demi hukum atau moralitas internasional.

AS, sebagai salah satu kekuatan besar, memiliki peran signifikan dalam dinamika konflik ini, sering
kali mendukung Israel, sebagaimana tecermin dalam pemakaian hak vetonya.

Kedua, organisasi internasional sering menghadapi tantangan dalam mengumpulkan informasi yang
akurat dan memverifikasinya di medan perang. Dalam konflik Israel- Palestina, ada perbedaan
pandangan dan narasi yang kuat di antara kedua belah pihak. Hal ini membuat sulit bagi organisasi
internasional untuk mengambil tindakan yang berdasarkan fakta yang jelas dan dapat diterima
semua pihak.

Ketiga, konflik Israel-Palestina merupakan salah satu konflik paling rumit dan kontroversial di dunia.
Terdapat berbagai kepentingan politik, agama, dan sejarah yang terlibat di dalamnya. Kurangnya
konsensus internasional mengenai solusi yang tepat untuk konflik ini membuat organisasi
internasional sulit mengambil tindakan yang efektif.

Negara-negara anggota sering memiliki pandangan berbeda dan sulit mencapai kesepakatan yang
kuat dalam menegakkan aturan internasional.

Dalam dunia yang ideal, rezim dan organisasi internasional seharusnya bertindak sebagai
penyeimbang dan pengadil yang adil, menerapkan hukum internasional tanpa pandang bulu. Namun,
realitas politik menunjukkan ada hambatan nyata dan signifikan.

Karena itu, kekuatan masyarakat internasional dan negara-negara besar yang memiliki pengaruh,
tetapi bukan anggota tetap DK PBB, perlu mempertimbangkan dua hal.

Pertama, mendorong terjadinya reformasi sistem veto. Ini dapat dilakukan dengan memastikan
bahwa hak veto tidak sepenuhnya menghentikan tindakan internasional yang dibutuhkan untuk
menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Misalnya, veto tidak berlaku untuk situasi terjadi
pelanggaran HAM berat atau kejahatan perang.

Kedua, meningkatkan peran dan keterlibatan aktor nonpemerintah. PBB harus memfasilitasi
partisipasi yang lebih luas dari aktor nonpemerintah, termasuk LSM, organisasi kemanusiaan, dan
perwakilan masyarakat sipil, dalam proses penyelesaian konflik. Keikutsertaan mereka dapat
menambah perspektif dan solusi yang lebih beragam, serta meningkatkan tekanan moral dan sosial
terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik.

Kekuatan gerakan global dan advokasi berkelanjutan menjadi penting bagi penyelesaian konflik yang
adil.

Tekanan yang kuat dan konsisten dari masyarakat sipil dan publik global diperlukan dalam
mendorong perubahan. Kekuatan gerakan global dan advokasi berkelanjutan menjadi penting bagi
penyelesaian konflik yang adil. Harapannya, suatu hari nanti efektivitas rezim dan organisasi
internasional tidak lagi hanya menjadi wacana, tetapi realitas yang dapat dirasakan oleh setiap warga
dunia, termasuk mereka yang berada di Palestina.

Anda mungkin juga menyukai