Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS BEDAH

FRAKTUR COSTA

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Program Kepanitraan Klinik

Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit PKU Gamping

Disusun Oleh :

Amalia Mufid Fadhila

20230410023

Diajukan Kepada :

dr. Adi Sihono, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PKU GAMPING
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2023
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. R
Umur : 02 Januari 1969 (54 tahun 10 bulan 13 hari)

Jenis Kelamin : Laki-laki


Agama : Islam

Alamat : Karang Kemasan, RT 03/RW 20, Sumber Rahayu


Pekerjaan : PNS Dukcapil

Rumah Sakit : Rumah Sakit Muhammadiyah PKU Gamping


Tanggal MRS : 29 Oktober 2023
Ruangan : At-Tin 362 Bed 1

No Rekam Medis : 33-18-15

1.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Nyeri dada bagian samping kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Seorang pasien laki-laki usia 54 tahun datang ke IGD RS PKU

Muhammadiyah Gamping dengan keadaan sadar penuh pada tanggal 29

Oktober 2023 pukul 09.00 pagi. Pasien datang menggunakan kendaraan


sendiri. Pasien mengeluhkan nyeri dada sebelah kiri yang mulai dirasakan

sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Nyeri muncul setelah

jatuh dari atap ketinggian 4 meter. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk hilang

timbul. Nyeri dirasakan memberat ketika bergerak dan membaik ketika

berbaring. Sesak (-), mual (-), muntah (-), kejang (-), batuk darah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :

Keluhan serupa disangkal. Riwayat DM, HT, jantung, paru,

dyspepsia disangkal. Riwayat operasi dan opname disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluhan serupa disangkal. Diabetes Mellitus (-), Hipertensi (-),

Penyakit Jantung (-), Penyakit Paru (-).

Riwayat Personal Sosial :

Pendidikan : S1 Fakultas Hukum Janabadra

Pekerjaan : Kerja sebagai PNS di Dukcapil

Perkawinan : Sudah Menikah

Kebiasaan : Pasien merasa nafsu makan menurun apabila makanan

tidak pedas. Pasien rajin makan sayur dan buah. Pasien menyukai air putih.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Kesan Umum : Tampak Kesakitan

VAS :7

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

TB/BB : 153/45

IMT : 19.2 (normal)

Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/83 mmHg

Nadi : 66 x/menit

Respiratory rate : 19 x/menit

Temperature : 36°C

SpO2 : 98%

Keadaan Umum :

Kepala : bentuk bulat, normocephalus, simetris, jejas (-), hematom (-)

Mata : konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), exophthalmos (-),

refleks cahaya direct (+/+), refleks cahaya indirek (+/+)

Telinga : discharge darah (-), deformitas (-)


Hidung : discharge darah (-), nafas cuping hidung (-), deformitas (-)

Mulut : bibir sianosis (-)

Leher : Inspeksi : Jejas (-), deformitas (-)

Palpasi : JVP (-), nyeri tekan (-)

Thorax : Pada regio thorax sinistra di midaxilaris terdapat vulnus

excoriasi 10 cm disertai hematom warna biru keunguan 2x5 cm

diujung luka, dijelaskan lebih lanjut pada status lokalis

Abdomen : Inspeksi : distensi abdomen (-), jejas (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defens muscular (-),

hepatomegaly (-), rebound tenderness (-)

Perkusi : timpani

Ekstermitas : Superior : akral hangat (-/-), edema (-/-), tremor (-/-),

deformitas (-/+), CRT<2dtk, Vulnus

ekseratum brachii sinistra 20 cm

Inferior : akral hangat (-/-), edema (-/-), tremor(-/-),

deformitas (-/-), CRT<2dtk


Status Lokalis

Regio thorax sinistra

Cor : Inspeksi : edema (-), eritem (-), deformitas (-), denyut

ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis (+) di SIC V mid clavicula,

nyeri tekan (-)

Perkusi : Redup pada ICS IV MCL Dextra s/d ICS IV

MCL Sinistra

Auksultasi : S1/S2 tunggal, regular, suara tambahan (-)

Pulmo : Inspeksi : dinding dada asimetris, hematom (+), gerak

tertinggal (-), deformitas (-), retraksi (-), flail chest (-)

Palpasi : nyeri tekan(+), deviasi trakea(-), daya

kembang normal

Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-) , sonor (-/-) ,

Perkusi : sonor

1.4 Assessment

Suspect fraktur costae

1.5 Plan

1. IVFD RL 20 tpm

2. Edukasi minimal pergerakan


1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dalam menegakkan diagnosis, maka perlu dilakukan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan yang dibutuhkan adalah foto thorax AP ½ duduk.

Foto thorax AP ½ duduk atau antero posterior semi erect berfungsi untuk

memperlihatkan adanya cairan pada dada post trauma atau tidak (Simone

Cremers, 2010).

1.6.1 Radiologi

Gambar 1. X-ray Thorax Pasien AP ½ duduk (29-10-2023)

Gambaran rontgen : Radiografi thorax AP didapatkan asimetris

dengan corakan bronchovascular normal, kedua sinus costa fremitus lancip,

kedua diafragma licin, Sistema tulang yang tervisualisasi intak. Cor : CTR

<0,5 kesan: pulmo dan besar Cor normal tak tampak tanda-tanda

Pneumothoraks maupun Hematothorax, Sistema tulang yang tervisualisasi

intak.
1.6.2 Pemeriksaan Laboratorium (19-10-2023)

HASIL LABORATORIUM
Hematologi – Darah Rutin

Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil

Hemoglobin 13.2 – 17.3 14.4

Leukosit 4.5 – 11.5 4.60

Eosinofil 2–4 0

Basofil 0–1 0

Neutrofil Segmen 50 – 70 % 55

Limfosit 18 - 42 39

Monosit 2-8 6

Neutrofil Absolut 1.5 – 7.0 2.5

Limfosit Absolut 1.5 – 7.0 1.8

Eritrosit 4.10 – 5.40 4.92

Hematokrit 40.0 – 54.0 43.8

MCV 80.0 – 94.0 89.0

MCH 26.0 – 32.0 29.3

MCHC 32.0 – 36.0 32.9

Trombosit 150 - 450 252

RDW CV 11.5 – 14.5 12.6

RDW SD 35.0 – 56.0 43.9

PPT 11.0 – 17.0 13.5

APTT 23.0 – 45.0 30.7

HBSAG Non reaktif


1.7 SKORING

Dalam menegakkan diagnosis fraktur costa, terdapat algoritma

skoring menurut Chowdury (2020). Pasien ini memiliki skoring total 5,

dapat disimpulkan penatalaksanaan pasien hanya menggunakan golongan

obat NSAIDs (Chowdhury, 2020).

Gambar 2. rib fracture scoring

1.8 DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja : Close fracture costae 6-8 sinistra

1.9 PENATALAKSANAAN

 Analgesik (Inj Ketorolac 30mg 3x1 1 amp)

 Antihistamin (Inj Ranitidine 2x1 1 amp)


 Direncanakan untuk dilakukan ORIF, namun pasien menolak

1.10 FOLLOW UP

Lokasi Status
Tanggal Waktu Hasil Follw Up
Pemeriksaan Pasien

29/10/23 09.00 IGD MRS S : pasien datang ke IGD

WIB sadar penuh. Pasien

mengeluhkan nyeri dada

kiri. Setelah jatuh dari

atap. Nyeri dirasakan

seperti tertusuk-tusuk

tajam dan terasa

memberat saat bergerak,

memperingan saat

berbaring.

O : TD 120/83 mmHg ,

N 66 x/menit , RR 19

x/menit Saturasi O2

98% , T 36°C. KU

Sedang, CM, GCS 15

E4V5M6

A : Close fraktur costae

6-8
P : IVFD RL 20 tpm

29/10/23 12.58 Bangsal At- Masuk S : pasien mengatakan

WIB Tin Bangsal nyeri di dada sebelah

kiri, post jatuh dari atap,

RPD disangkal

O : TD 120/83 mmHg ,

N 66 x/menit , T 36.9°C.

KU Cukup, CM, GCS 15

E4V5M6

A : Close fraktur costae

6-8

P : IVFD RL 20 tpm,

Inj Ketorolac 3x1 1 amp,

Inj Ranitidine 2x1 1 amp

30/10/23 07.00 Bangsal At- Pre OP S : Pasien mengatakan

WIB Tin dada masih terasa sakit,

nyeri seperti menusuk di

dada kiri, hilang timbul

post jatuh

O : TD 115/70 mmHg ,

N 65 x/menit , T 36.3°C.

KU Cukup, CM,

terpasang infus, adl


dibantu sebagian, makan

minum habis satu porsi,

pasien tampak rileks, RR

:20x/m SpO2: 99%GCS

15 E4V5M6

A : Close fraktur costae

6-8

P : IVFD RL 20 tpm,

Inj Ketorolac 3x1 1 amp,

Inj Ranitidine 2x1 1 amp

31/10/23 07.30 Bangsal At- S : Pasien merasa nyeri

WIB Tin berkurang, VAS 2.

Nyeri dibagian dada

hilang timbul dengan

sensasi ditusuk-tusuk.

O : TD 102/77 mmHg ,

N 104 x/menit , T 37°C.

KU cukup, CM,

terpasang infus.

A : Close fraktur costae

6-8

P : IVFD RL 20 tpm,

Inj Ketorolac 3x1 1 amp,


Inj Ranitidine 2x1 1 amp

31/10/23 08.30 Bangsal At- BLPL S : Pasien merasa nyeri

WIB Tin berkurang, VAS 2.

Nyeri dibagian dada

hilang timbul dengan

sensasi ditusuk-tusuk.

O : TD 102/77 mmHg ,

N 104 x/menit , T 37°C.

KU cukup, CM,

terpasang infus.

A : Close fraktur costae

6-8

P : BLPL
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi

Thorax dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi oleh thoracic

inlet di superior dan thoracic outlet di inferior, dengan batas luar adalah

dinding thorax yang disusun oleh vertebra thorakal, costae, sternum,

muskulus dan jaringan ikat. Rongga thorax dibatasi dengan rongga

abdomen oleh diafragma. Rongga thoraxdapat dibagi ke dalam dua bagian

utama, yaitu paru-paru (kiri dan kanan) dan mediastinum. Mediastinum

dibagi ke dalam 3 bagian; superior, anterior dan posterior. Mediastinum

terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-

organ penting thorax selain paru-paru, yaitu: jantung, aorta, arteri

pulmonalis, vena cava, esofagus, trakea dan lain-lain (Lawrence, 2019).

Thoracic inlet merupakan “pintu masuk” rongga thorax yang

disusun oleh permukaan ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial

dari costae I kiridan kanan (lateral), serta manubrium sterni (anterior).

Thoracic inlet memiliki sudut deklinasi sehingga bagian anterior terletak

lebih inferior dibanding bagian posterior. Manubrium sterni terletak kira-

kira setinggi vertebra thorakal II. Batas bawah rongga thorax atau thoracic

outlet (pintu keluar thorax) adalah area yang dibatasi oleh sisi ventral
vertebra thorakal XII, lateral oleh batas bawah costae dan anterior oleh

prosesus xiphoideus (Lawrence, 2019).

Gambar 3. Dinding thorax

A. Dinding Thorax

Dinding thorax tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang

yangmembentuk dinding thorax adalah costae, columna vertebralis

thorakalis, sternum,tulang clavicula dan scapula. Jaringan lunak yang

membentuk dinding thoraxadalah otot serta pembuluh darah terutama

pembuluh darah intercostalis dan thorakalis interna (Lawrence, 2019).

B. Kerangka Dinding Thorax

Kerangka dinding thorax membentuk sangkar thorax

osteokartilogenousyang melindungi jantung, paru-paru dan beberapa

organ abdomen (misalnya hepar). Kerangka thorax terdiri dari:

1. Vertebra Thorakalis (12) dan diskus intervertebralis

2. Costae (12 pasang) dan kartilago kostalis

3. Sternum

(Brunicardi, Anderson, Billiar, Dunn, & Hunter, 2015)


Costae adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung yang

membatasi bagian terbesar sangkar thorax yang terdiri dari:

1. Costae I sampai VII (kadang-kadang VIII) costae sejati

(vertebrosternal) karenamenghubungkan vertebra dengan

sternum melalui kartilago costalis.

2. Costae VIII sampai X adalah costae tak sejati

(vertebrokondral) karenakartilago costalis masing-masing

costae melekat pada kartilago costalis tepat diatasnya.

3. Costae XI dan XII adalah costae bebas (melayang) karena

ujung kartilago costalis masing-masing costae berakhir

dalam susunan otot abdomen dorsal. Sternum adalah tulang

pipih yang memanjang dan membatasi bagian ventral

sangkar thorax. Sternum terdiri atas tiga bagian, yaitu

manubrium sterni, corpussterni, dan processus xiphoideus

(Mansjoer A., 2007).

C. Dasar Thorax

Dasar thorax dibentuk oleh otot diafragma yang dipersarafi nervus

frenikusdan merupakan struktur yang menyerupai kubah (dome-like

structure). Diafragma membatasi abdomen dari rongga thorax serta

terfiksasi pada batas inferior darisangkar thorax. Diafragma termasuk

salah satu otot utama pernapasan dan mempunyai lubang untuk jalan

aorta, vana cava inferior serta esofagus (Chowdhury, 2020).


D. Rongga Thorax

Rongga thorax adalah suatu ruangan yang ditutupi oleh dinding thorax

yangterdiri dari 3 kompartemen:

- Dua kompartemen lateral “cavum pulmonal” yang terdiri dari paru-

paru dan pleura.

Satu kompartemen sentral “mediastinum” yang terdiri dari jantung,

pembuluh darah besar pars thorakalis, trakea pars thorakalis,

esofagus,timus dan struktur lainnya. Rongga mediastinum terdiri dari

bagian superior dan inferior, dimana bagian yang inferior dibagi

menjadi mediastinum anterior, medius, dan superior (Brunicardi,

Anderson, Billiar, Dunn, & Hunter, 2015).

Gambar 4 & 5. Rongga thorax dan pembagian mediastinum

a. Mediastinum Superior

Mediastinum superior dibatasi oleh :

- Superior : Bidang yang dibentuk oleh vertebra Th I, costae I

dan incisura jugularis


- Inferior : Bidang yang dibentuk dari angulus sternal ke vertebra

Th IV

- Lateral : Pleura mediastinalis

- Anterior : Manubrium sterni

b. Mediastinum Inferior

Mediastinum inferior dibagi menjadi mediastinum anterior,

medius, dansuperior.-Mediastinum anterior dibatasi oleh :

Anterior : Sternum

Posterior : Pericardium

Lateral : Pleura mediastinalis

Superior : Plane of sternal angle

Inferior : DiafragmaMediastinum anterior terdiri dari timus,

lemak dan kelenjar limfe.

c. Mediastinum medius dibatasi oleh :

Anterior : Pericardium

Posterior : Pericardium

Lateral : Pleura mediastinalis

Superior : Plane of sternal angle

Inferior : DiafragmaMediastinum medius terdiri dari jantung,

perikardium, aorta, trakea, bronkus primer dan kelenjar limfe.

d. Mediastinum posterior dibatasi oleh :

Anterior : Pericardium

Posterior : Corpus vertebrae Th V – XII


Lateral : Pleura mediastinalis

Superior : Plane of sternal angle

Inferior : Diafragma

(Lawrence, 2019)

Mediastinum posterior terdiri dari aorta desenden, esofagus,

vena azigos dan duktus thoracicus. Pleura (selaput paru) adalah

selaput tipis yang membungkus paru-paru, pleura terdiri dari 2 lapis

yaitu:

1. Pleura visceralis, selaput paru yang melekat langsung

pada paru-paru

2. Pleura parietalis, selaput paru yang melekat pada dinding

thorax

Pleura visceralis dan parietalis tersebut kemudian bersatu

membentuk kantung tertutup yang disebut rongga pleura (cavum

pleura). Di dalam kantung terisi sedikit cairan pleura yang

diproduksi oleh selaput tersebut (Lawrence, 2019).

2. Trauma Thorax

2.1 Definisi

Trauma thorax atau cedera thorax didefinisikan sebagai

kondisi terjadinya benturan baik tumpul maupun tajam pada dinding

thorax yang mengakibatkanterjadinya abnormalitas rangka thorax


sehingga menyebabkan gangguan fungsiatau cedera pada organ

bagian dalam rongga thorax (Brock, Mason, & Yang, 2005).

2.2 Jenis Trauma Thorax

Cedera thorax berdasarkan ATLS dibagi menjadi dua

golongan, yaitu:

1. Segera mengancam jiwa

- Obstruksi jalan napas akut oleh sebab apapun terutama pada

cederalaringotrakea atau cedera berat tulang muka dan

jaringan lunak

- Kegagalan ventilasi karena tension pneumothorax,

pneumothorax terbuka atau flail chest

- Kegagalan sirkulasi karena hematothorax masif atau

tamponade jantung

(Kilic, et al., 2011)

2. Potensi mengancam jiwa

Trauma tumpul jantung, kontusio paru, ruptur aorta karena

trauma, hernia diafragma karena trauma, ruptur trakeobronkial,

ruptur esophagus, hematothorax sederhana dan pneumothorax

sederhana. Dalam penanganan klinis sehari-hari dikenal dua

macam trauma thorax yaitu trauma tumpul dan trauma tembus

(tajam, tembak atau tumpul yang menembus) (Brock, Mason, &

Yang, 2005).
2.3 Trauma Tumpul Thorax

 Patofisiologi

Trauma tumpul thorax paling sering disebabkan kecelakaan

kendaraan bermotor sehingga menyebabkan trauma deselerasi.

Jatuh dari ketinggian, ledakan, kecelakaan saat berolahraga

adalah penyebab lain dari trauma tumpul thorax. Pada trauma

tumpul dinding dada, fraktur costae sederhana merupakan

cedera yang tersering. Fraktur costae multipel dan terdislokasi

biasanya sering berhubungan dengan penyebab luka pada paru

dan pleura. Berbagai mekanisme patofisiologi dapat terjadi pada

pasien dengan trauma tumpul dada, termasuk masalah yang

mengancam nyawa seperti tamponade jantung dan tension

pneumothorax. Secara esensial, sebagian besar luka pada paru

dan pleuramenyebabkan masalah fisiologis melalui satu dari tiga

mekanisme berikut:

1. Masalah rongga pleura yang mempengaruhi fungsi paru

2. Perdarahan dinding dada atau paru

3. Masalah parenkim paru yang mengganggu kemampuan

paru untuk berventilasi dan melakukan pertukaran udara

(Kilic, et al., 2011)

Masalah yang berhubungan dengan rongga pleura dapat

dibedakan menjadi pneumothorax dan hematothorax. Sebagian

besar kasus pneumothorax traumatik berhubungan dengan


perdarahan, yang mungkin tidak terlihat pada radiografidada awal

(Chan KC, 2000).

Hematothorax dapat menyebabkan masalah karena

mengkompresi paru dan mempengaruhi fungsinya (dengan atau

tanpa pneumothorax), atau karenakegagalan evakuasi darah yang

menyebabkan penjebakan secara kronik. Hematothorax masif

juga dapat menyebabkan syok dan kematian karena perdarahan.

Tidak seperti luka tembus, hematothorax pada trauma tumpul

lebih merupakan masalah karena tidak bermanifestasi beberapa

hari kemudian. Luka pada parenkim paru karena trauma tumpul

biasanya merupakan kontusio pulmonal, walaupun hematoma

intrapulmonar dapat terjadi pada kasus jarang (Chowdhury,

2020).

 Pendekatan pada Pasien dengan Trauma Tumpul Dada

Penatalaksanaan awal berupa pengamanan jalan napas

segera dan resusitasi dengan adekuat. Luka trakeobronkial harus

dicurigai dan dieksklusi. Jika pasien mempunyai tanda-tanda

tamponade, kemungkinan lesi tumpul pada jantung

harusdipertimbangkan. Lebih lanjut lagi, tension pneumothorax

mungkin mempunyai tanda-tanda yang sama dengan

tamponade. Setelah kegawatdaruratan ditatalaksana,

pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan (Kilic, et al., 2011).


Salah satu komponen pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan

hematoma dankrepitasi pada leher. Pergerakan dada dan bunyi

napas harus diamati. Jika bunyi napas sedikit berkurang dan

kondisi pasien stabil, radiografi dada harus cepat dilakukan.

Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan pada

radiografi untuk trauma tumpul (DD, 1984).

Tabel 2. Jenis kegawatdaruratan akibat trauma thorax


Kegawatdaruratan Cara mendiagnosis
Obstruksi jalan napas - Sianosis, pucat, stridor
- Kontraksi otot bantu napas
- Retraksi supraklavikula dan
interkostal
Hematothorax massif - Anemia, syok hipovolemik
- Sesak napas
- Pekak pada perkusi
- Suara napas berkurang
- Tekanan vena sentral tidak
meninggi
Temponade jantung - Syok kardiogenik
- TVJ meningkat
- Bunyi jantung menjauh
Tension pneumothorax - Hemithorax mengembang
- Gerakan hemithorax kurang
- Suara napas berkurang
- Sesak napas progresif
- Emfisema subkutis
- Trakea terdorong ke
kontralateral
Thorax instabil - Gerakan napas paradox
- Sesak napas, sianosis
Pneumothorax terbuka - Luka pada dinding thorax
- Kebocoran udara terdengar
dan tampak
Kebocoran trakhea - Bronkial
- Pneumothorax
- Emfisema
- Infeksi
(Mansjoer A., 2007)
Tabel 4. Gambaran pada radiografi thorax
Gambaran X-ray Thorax Diagnosis
Udara atau cairan pada Pneumothorax, hematothorax
rongga pleura
Pelebaran atau kelainan Lesi aorta atau cabang besar aorta
mediastinum
Kepadatan cairan pada Kontusio pulmonal
lapang paru
Diafragma suram Ruptur diafragma
Fraktur costae Flail chest
Udara dalam jaringan lunak Emfisema subkutis
Posisi tube Malposisi
(Mansjoer A., 2007)

2.4 Tatalaksana Trauma Thorax

Luka thorax harus ditutup dengan pembalut untuk

menghentikan kebocoranudara. Sebaiknya dipakai kasa besar steril

yang diolesi vaselin steril. Tension pneumothorax harus dievakuasi

sesegera mungkin. Udara harus keluar sehingga mediastinum

kembali ke tempatnya. Kemudian dipasang chest tube dekat puncak

rongga dada. Pada hematothorax, chest tube dipasang serendah

mungkin padadasar rongga dada untuk mengosongkan rongga

pleura dan memantau perdarahan (Ernest, Erica, & Jonathan, 2016).

Penyebab cedera harus ditentukan dahulu, kemudian

tentukan macamnya,cedera tumpul atau tajam. Jika cedera tajam,

apakah berupa luka tusuk atau lukatembak. Tindakan darurat yang

perlu dilakukan ialah pembebasan jalan napas, pemberian napas

buatan dan ventilasi paru, dan pemantauan aktivitas jantung dan

peredaran darah. Tindakan darurat juga mencakup needle

thoracosintesis pada tension pneumothorax, pemasangan chest tube


pada hematothorax masif dan aspirasi perikard jika hematoperikard

menyebabkan tamponade jantung (Apley AG, 1995).

Selanjutnya, harus dilakukan pemeriksaan rontgen thorax

untuk menilai adaatau tidaknya udara dan/atau cairan. Antibiotik

diberikan jika ada luka tembus.Tindakan gawat dada meliputi:

- Penentuan jenis luka

- Penentuan fungsi vital (menentukan perlunya resusitas)

- Pembersihan dan penutupan luka

- Foto rontgen thorax (melihat adanya cairan atau udara)

- Antibiotik jika luka menembus dinding

- Tindakan pneumothorax/hemothorax

- Untuk nyeri diberikan anestesia blok intercostal

(Apley AG, 1995)

Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat dan

kemudian resusitasi, secondary survey dan terapi definitif.

Proses ini merupakan tatalaksana trauma, berusaha untuk

mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebihdahulu

dengan berpatokan pada urutan berikut:

a. Airway: menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical

spine control)

b. Breathing : menjaga pernapasan dengan ventilasi

c. Circulation: kontrol perdarahand

d. Disability: status neurologise


e. Exposure: buka baju penderita, tetapi cegah hipotermia

(Chowdhury et al. Int J Crit Care Emerg Med 2020)

3. Fraktur Costae

2.1 Definisi

Fraktur dapat didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas

struktural jaringan baik pada tulang, lempeng epifisis ataupun

kartilago. Fraktur costaeadalah terputusnya kontinuitas jaringan

tulang/tulang rawan yang disebabkan olehtrauma pada spesifikasi

lokasi pada tulang costae (Rasjad, 2007).

Fraktur costae akan menimbulkan rasa nyeri yang

mengganggu prosesrespirasi. Disamping itu adanya komplikasi dan

gangguan lain yang menyertaimemerlukan perhatian khusus dalam

penanganan terhadap fraktur ini (William, 2018).

2.2 Etiologi

Costae merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang

lentur. Oleh karenatulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak

banyak memiliki pelindung, makasetiap ada trauma dada akan

memberikan trauma juga kepada costae. Fraktur costae dapat terjadi

dimana saja disepanjang costae tersebut. Dari kedua belas pasang

costae yang ada, tiga costae pertama paling jarang mengalami

fraktur halini disebabkan karena costae tersebut sangat terlindung.

Costae ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya

sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit,


sedangkan tiga costae terbawah yakni costae ke 10-12 juga jarang

mengalami fraktur oleh karena sangat mobile.Pada olahragawan

biasanya lebih banyak dijumpai fraktur costae yang“undisplaced”,

oleh karena pada olahragawan otot intercostalnya sangat kuat

sehingga dapat mempertahankanfragmen costae pada tempatnya

(Mansjoer A., 2007).

Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam

2 kelompok:

1. Disebabkan trauma

a) Trauma tumpul

Penyebab trauma tumpul yang sering

mengakibatkan fraktur costae antara lain kecelakaan

lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari

ketinggian atau jatuh pada dasar yang keras atau

akibat perkelahian.

b) Trauma Tembus

Penyebab trauma tembus yang sering

menimbulkan fraktur costae adalah luka tusuk dan

luka tembak.

2. Disebabkan bukan trauma

Gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada

secara berlebihan ataustress fraktur seperti pada gerakan


olahraga lempar martil, soft ball, tennis dan golf dapat

menyebabkan terjadinya fraktur costae.

(Sjamsuhidayat RW, 2005)

2.3 Patofisiologi

Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma dari arah depan,

samping ataupundari arah belakang. Trauma yang mengenai dada

biasanya akan menimbulkantrauma costae, tetapi dengan adanya

otot yang melindungi costae pada dindingdada, maka tidak semua

trauma dada akan terjadi fraktur costae. Pada traumalangsung

dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costae pada tempat

traumanya (Chan KC, 2000).

Pada trauma tidak langsung, fraktur costae dapat terjadi

apabila energiyang diterimanya melebihi batas tolerasi dari

kelenturan costae tersebut. Seperti pada kasus kecelakaan dimana

dada terhimpit dari depan dan belakang,maka akanterjadi fraktur

pada sebelah depan dari angulus costae, dimana pada tempattersebut

merupakan bagian yang paling lemah. Fraktur costae yang

“displace”akan mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ

dibawahnya. Fraktur padacostae ke 4-9 dapat mencederai arteri

intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat

mengakibatkan timbulnya hematothorax, pneumothoraxataupun

laserasi jantung (Ernest, Erica, & Jonathan, 2016).


2.4 Klasifikasi

Menurut jumlah costae yang mengalami fraktur, fraktur

costae dapat dibedakan menjadi fraktur costae simpel dan multipel.

Menurut jumlah fraktur pada setiap costae dapat dibedakan menjadi

fraktur costae segmental, simpel dankominutif. Menurut letak

fraktur dibedakan menjadi fraktur costae superior (costae 1-3),

median (costae 4-9) dan inferior (costae 10-12). Menurut posisi

dibedakan menjadi fraktur costae anterior, lateral dan posterior.

Pada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus

flail chest, dimana pada keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2

costae atau lebih yang letaknya berurutan (Apley AG, 1995).

2.5 Diagnosis

Sebanyak 25% dari kasus fraktur costae tidak terdiagnosis

dan baruterdiagnosis setelah timbul komplikasi, seperti

hematothorax dan pneumothorax.

1. Anamnesis

Perlu ditanyakan mengenai mekanisme trauma, apakah oleh

karena jatuhdari ketinggian atau akibat jatuh dan dadanya terbentur

pada benda keras,kecelakan lalu lintas atau oleh sebab lain. Nyeri

merupakan keluhan paling sering biasanya menetap pada satu titik

dan akan bertambah pada saat bernafas. Pada saat inspirasi maka

rongga dadaakan mengembang dan keadaan ini akan menggerakkan

fragmen costae yang patah, sehingga akan menimbulkan gesekan


antara ujung fragmen dengan jaringanlunak sekitarnya dan keadaan

ini akan menimbulkan rangsangan nyeri. Apabila fragmen costae ini

menimbulkan kerusakan pada vaskuler akan dapatmenimbulkan

hematothorax, sedangkan bila fragmen costae mencederai parenkim

paru-paru akan dapat menimbulkan pneumothorax (Chan KC,

2000).

Penderita dengan kesulitan bernafas atau bahkan saat batuk

keluar darah, hal ini menandakan adanya komplikasi berupa adanya

cedera pada paru. Riwayat penyakit dahulu seperti bronkitis,

neoplasma, asma, haemoptisis atau sehabis olahraga akan dapat

membantu mengarahkan diagnosis adanya fraktur costae. Pada anak

dapat terjadicedera paru maupun jantung,meskipun tidak dijumpai

fraktur costae. Keadaan inidisebabkan costaenya masih sangat

lentur, sehingga energi trauma langsungmengenai jantung ataupun

paru-paru (Brock, Mason, & Yang, 2005).

2. Pemeriksaan fisik

Kondisi lokal pada dinding dada seperti adanya plester,

deformitas danasimetris sangat mengarahkan ke diagnosis,

diperlukan juga pemeriksaan fisik secara keseluruhan yang

berkaitan dengan kemungkinan adanya komplikasi akibat adanya

fraktur costae sendiri maupun penyakit penyerta yang kadang ada.

Adanya fraktur costae 1-2 yang merupakan costae yang terlindung

oleh sendi bahu, ototleher bagian bawah dan clavicula, mempunyai


makna bahwa fraktur tersebut biasanya diakibatkan oleh trauma

langsung dengan energi yang hebat. Pada fraktur daerah ini perlu

dipikirkan kemungkinan adanya komplikasi berupa cidera terhadap

vasa dan saraf yang melewati apertura superior (Chowdhury et al.

Int J Crit Care Emerg Med 2020).

Pemisahan costocondral memiliki mekanisme trauma seperti

pada fraktur costae. Pemisahan costocondralatau dislokasi pada

artikulasi antara parsosea dengan parscartilago akan menimbulkan

gejala yang sama dengan fraktur costae dengan nyeri

yangterlokalisir pada batas costocondral, apabila terdapat dislokasi

secara komplit akan teraba defek oleh karena ujung parsoseanya

akan lebih menonjol dibandingkan dengan parscartilagonya.

Adapun pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan antara lain :

a. Nyeri tekan, krepitasi dan deformitas dinding dada.

b. Adanya garakan paradoksal.

c. Tanda – tanda insufisiensi pernafasan (sianosis,

takipnea).

d. Kadang akan nampak ketakutan dan cemas karena saat

bernafas bertambahnyeri.

e. Periksa paru dan jantung dengan memperhatikan adanya

tanda-tanda pergeseran trakea, pemeriksaan EKG dan

saturasi oksigen.
f. Periksa abdomen terutama pada fraktur costae bagian

inferior (diafragma,hati, limpa, ginjal dan usus)

g. .Periksa tulang rangka (vertebrae, sternum, clavicula dan

fungsi anggotagerak).

h. Nilai status neurologis (plexus brakialis, intercostalis dan

subclavia).

(Kilic, et al., 2011)

3. Pemeriksaan penunjang

Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu

mendiagnosisadanya hematothorax dan pneumothorax ataupun

kontusio pulmonal. Pemeriksaanini dapat mengetahui jenis dan letak

fraktur costaenya. Pemeriksaan foto obliquehanya dapat membantu

diagnosis fraktur multipel pada orang dewasa. Rontgen abdomen

apabila ada kecurigaan trauma abdomen yang mencederai hati, lambung

ataupun limpa akan menimbulkan gambaran peritonitis. Sedangkan

pada kasus yang sulit terdiagnosis dilakukan dengan“Helical CT Scan”

(Rasjad, 2007).

2.6 Komplikasi

Komplikasi akibat adanya fraktur costae dapat timbul segera setelah

terjadifraktur atau dalam beberapa hari kemudian. Besarnya komplikasi

dipengaruhioleh besarnya energi trauma dan jumlah costae yang patah.

Gangguan hemodinamik merupakan tanda bahwa terdapat komplikasi

akibat fraktur costae. Fraktur costae ke 1-3 akan menimbulkan cedera


pada vasa dan nervus subclavia, fraktur costae ke 4-9 akan

mengakibatkan cedera pada vasa dan nervusi ntercostalis serta pada

parenkim paru, ataupun terhadap organ yang terdapat dimediastinum,

sedangkan fraktur costae ke 10-12 perlu dipikirkan kemungkinan

adanya cedera pada diafragma dan organ intraabdominal seperti hati,

limpa,lambung maupun usus besar. Pada kasus fraktur costae simpel

pada satu costaetanpa komplikasi, aktifitas dapat secara normal

dilakukan setelah 3-4 minggukemudian, meskipun costae baru akan

sembuh setelah 4-6 minggu (Apley AG, 1995).

Komplikasi awal dapat berupa pneumothorax, efusi pleura,

hematothorax dan flail chest. Komplikasi lanjut antara lain kontusio

pulmonal, pneumonia danemboli paru. Flail chest dapat terjadi apabila

terdapat fraktur dua atau lebih daricostae yang berurutan dan tiap-tiap

costae terdapat fraktur segmental, keadaan iniakan menyebabkan

gerakan paradoksal saat bernafas dan dapat mengakibatkan gagal nafas

(Sjamsuhidayat RW, 2005).

2.7 Penatalaksanaan

1. Pre Hospital

Pada tahap ini tindakan terhadap pasien terutama ditujukan

untuk memperbaiki suplai oksigenasi (Kaneda.H, et al., 2013).

2. Penanganan saat di IGD

Tindakan darurat terutama ditujukan untuk memperbaiki

jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Terapi fraktur costae simpel 1-


2 buah ditujukan untuk menghilangkan nyeri dan memberikan

kemudahan untuk pembuanganlendir/dahak, namun sebaiknya

jangan diberikan obat mukolitik yang dapatmerangsang

terbentuknya dahak dan malah menambah kesulitan dalam bernafas.

Fraktur 3 buah costae atau lebih dapat dilakukan tindakan blok saraf,

namuntindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa

pneumothorax danhematothorax, sedangkan fraktur costae lebih

dari 4 buah sebaiknya diberikanterapi dengan anastesi epidural

dengan menggunakan morfin atau bupivacaine 0,5%.Pada saat

dijumpai flail chest atau gerakan paradoksal, segera dilakukan

tindakan padding untuk menstabilkan dinding dada, bahkan kadang

diperlukanventilator untuk beberapa hari sampai didapatkan dinding

dada yang stabil (Kaneda.H, et al., 2013).

3. Penanganan di ruang rawat inap

Fraktur costae simpel tanpa komplikasi dapat dirawat jalan,

sedangkan pada pasien dengan fraktur multipel dan kominutif serta

dicurigai adanya komplikasi perlu perawatan di RS. Pasien yang

dirawat di RS perlu mendapatkan analgetik yang adekuat, bahkan

kadang diperlukan narkotik dan pemberian latihan nafas(fisioterapi

nafas) (Chan KC, 2000).

Fraktur costae dengan komplikasi kadang memerlukan terapi

bedah, dapatdilakukan drainase atau torakotomi, untuk itu evaluasi

terhadap kemungkinanadanya komplikasi harus selalu dilakukan


secara berkala dengan melakukan fotokontrol pada 6 jam,12 jam dan

24 jam pertama (Kaneda.H, et al., 2013).

4. Penanganan di rawat jalan

Penderita rawat jalan juga memerlukan pemberian analgetik

yang adekuatuntuk memudahkan gerakan pernafasan. Latihan nafas

harus selalu dilakukanuntuk memungkinkan pembuangan dahak

(Kaneda.H, et al., 2013).


BAB III

DISKUSI

3.1 Aspek Diagnosis

Pasien ini didiagnosis Closed Fraktur Costae 6,7, dan 8 Sinistra berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (radiologi). Berdasarkan

anamnesis didapatkan dari keluhan utama nyeri di bagian thorax linea midaxilaris

sinistra tampak jejas dan pasien sulit bergerak miring ke kanan dan kiri. Pasien

mengalami patah tulang pada bagian tulang costae akibat terjatuh dari ketinggian

atap rumah. Pada pemeriksaan fisik secara keseluruhan didapatkan adanya kelainan

pada thorax sinistra. Pada regio thorax sinistra tampak adanya jejas, goresan luka,

nyeri tekan (+), sulit digerakkan. Pada pasien ini juga melalui pemeriksaan

radiologis X-ray rontgen thorax sinistra tampak adanya fraktur pada costae 6-8

sinistra. Disesuaikan dengan teori berdasarkan definisi fraktur adalah terpusatnya

kontinuitas jaringan tulang (Sjamsuhidayat RW, 2005). Fraktur dapat terjadi akibat

trauma tunggal, dan tekanan berulang-ulang atau kelemahan abnormal (faktor

patologik). Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tuba-tiba dan

berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran dan pemuntiran (Apley

AG, 1995). Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung.

Trauma langsung berarti benturan pada tulang mengakibatkan fraktur di tempat itu.

Trauma tidak langsung bila titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur

berjauhan (Rasjad, 2007).


3.2 Aspek Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien ini dengan terapi farmakologis berupa

analgesik ketolorac untuk mengurangi keluhan nyeri dari pasien serta ranitidine

sebagai anti stress ulcer post trauma. Intervensi bedah tidak perlu dilakukan

dikarenakan tulang dapat menyatu kembali 6-12 minggu kemudian (William,

2018).

Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam karena pasien secara fisik fungsi

vital dan fungsi organ dapat kearah baik. Aktivitas pasien dapat kembali

sebagaimana biasanya walaupun saat ini pasien masih merasakan nyeri dan kaku

dikarenakan post jatuh 5 hari.


BAB IV

KESIMPULAN

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang

rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Kebanyakan fraktur

terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan untuk

membengkok memutar dan tarikan. Penyebab terjadinya fraktur dapat disebabkan

oleh adanya kekerasan yang terjadi secara langsung, tidak langsung ataupun akibat

tarikan otot. Manifestasi klinis dapat berupa nyeri terus menerus dan bertambah

berat sampai tulang dimobilisasi, deformitas, pemendekan tulang, krepus dan

pembengkokan tulang. Proses penyembuhan tulang melalui beberapa fase dan bila

tidak segera ditangani memiliki risiko terkena komplikasi awal seperti syok,

sindrom emboli lemak atau sindroma kompartemen. Dan komplikasi juga dapat

terjadi seperti malunion, delayed union atau non union. Penatalaksanaan pada

fraktur costae tanpa gejala syok menurut Chowdhury (2020) cukup diberikan

golongan NSAIds dan menghindari beban berat.


DAFTAR PUSTAKA

Apley AG, S. L. (1995). Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem apley. Jakarta:
Widya Medika.
Brock, M., Mason, D., & Yang, S. (2005). Thoracic Trauma. In: Sellke FW, Nido
PJ,Swanson SJ. Sabiston and Spencer: Surgery of the Chest . Elsevier
Saunders, Volume 1.79-91.
Brunicardi, F., Anderson, D., Billiar, T., Dunn, D., & Hunter, J. (2015).
Schwartz’sPrinciples of Surgery. 10th ed. New York: McGraw-
HillEducation.
Chan KC, G. G. (2000). Cemented hemiarthroplasties for elderly patients with
intertrochanteric fractures. Clinical Orthopaedics, 1;371:206-15.
Chowdhury. (2020). Int J Crit Care Emerg Med. 6:113.
Chowdhury et al. Int J Crit Care Emerg Med 2020, 6. (n.d.).
DD, T. (1984). Thoracic trauma. In: Trunkey. 85–91.
Ernest, G., Erica, S., & Jonathan, D. (2016). Rib Fixation Following Trauma:
ACardiothoracic Surgeon's Perspective. J Trauma Treat.
Kaneda.H, Nakano, T., Taniguchi, Y., Saito, T., Konobu, T., & Saito, Y. (2013).
Three-stepmanagement of pneumothorax: time for a re-think on
initialmanagement. Interactive Cardiovascular and Thoracic Surgery,
16(2):186-192.
Keating JF, G. A. (2006). Randomized comparison ofreduction and fixation,
bipolar hemiarthroplasty, and total hip arthroplasty: treatment. JBJS,
1;88(2):249-60.
Kilic, D., Findikcioglu, A., Akin, S., Akay, T., Kupeli, E., Aribogan, A., & al, e.
(2011). Factors affecting morbidity and mortality in flail chest:comparison
of anterior and lateral location. Thorac Cardiovasc. 45-8.
Kokoroghiannis C, A. I. (2012 ). Evolving concepts os stability and
intramedullary fixation of interchanteric fractures-a review. Injury,
43(6);686-93.
Lawrence, M. (2019). Clinical Anatomy of The Pleural Cavity and Mediastinum.
Retrieved from http ://www.oucom.ohiou.edu/dbms-witmer/gs-rpab.htm.
Mansjoer A., e. I. (2007). Kapita Selekta Kedokteran edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius.
Rasjad. (2007). Pengantar ilmu bedah ortopedi. Pt. Yarsif Watampone.
Sjamsuhidayat RW, D. j. (2005). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: ECG.
William, M. (2018). What to know about bone fracture repair.

Anda mungkin juga menyukai