Anda di halaman 1dari 8

ANALISA REPRESENTASI GAYA HIDUP PADA IKLAN DITINJAU DARI SISI

ETIKA PERIKLANAN

(IKLAN LA LIGHTS PADA MEDIA TELEVISI)

NAMA : OSCAR CARVARIO JONATHAN


NIM : 44317110116

Mata Kuliah : Etika Periklanan


ABSTRAK

Televisi dinilai oleh masyarakat sebagai kotak ajaib yang mampu mempengaruhi
sugesti dan alam pikiran masyarakat, hal itu dikarenakan bahwa sebuah televisi selain
memberikan informasi secara aktual dan faktual, televisi juga menyajikan acara yang
sifatnya menghibur. Televisi telah menjadi bagian dari suatu kehidupan masyarakat
modern yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai suatu
alat promosi produk yang paling ampuh dalam menggiring pikiran masyarakat yang
menjadi target audiensnya, untuk masuk dalam jebakan melalui iklan televisi hingga pada
akhirnya nanti pemirsa rela merogoh kantongnya, hanya untuk mengikuti apa yang
ditawarkan melalui rangkaian gambar fantastik yang telah dikonstruksi maknanya. Iklan
televisi telah berkolusi dengan industri media televisi serta ideologi yang tertanam,
banyak mencerminkan budaya dan faham kapitalisme dan komsumerisme pada setiap
pesan yang terselip dalam produk citraanya, akan berdampak pada penciptaan “gaya
hidup” di masyrakat yang cenderung konsumtif.
Dampak yang ditimbulkan dari pengaruh iklan televisi yang terselip dalam
tayangannya itu, merupakan cerminan budaya baru yang lagi ngetred hasil lansiran
Global Kapitalism Ideology. Dan kenyataan ini merupakan keadaan yang kontradiktif
terhadap budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai keluhuran budi pekerti, sifat
sabar dan norma kesantunan yang kita banggakan selama negeri ini didirikan. Hegemoni
budaya kapitalis yang terlahir merupakan cerminan dari realitas kehidupan baru, tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat dengan tingginya intensitas itu, telah dikwatirkan
banyak pihak akan melindas kebudayaan sebelumnya yang sudah tertanam dengan mapan
dalam relung-relung kehidupan masyarakat. Guna mencegah dan meminimalisir dampak
negatifnya, maka diperlukan suatu sikap yang arif dalam melihat, mencerna dan
memahami hegemoni budaya asing ini dengan cermat, agar tidak terbius dari racun-racun
iklan televisi yang tak luput dari penglihatan masyarakat sehari-hari.
LATAR BELAKANG
Penyajian iklan televisi yang informatif dan persuasif serta dikemas secara
menarik dengan menampilikan gambar yang spektakuler hasil perekayasaan gambar
dengan sentuhan teknologi audio visual yang mevisualisasikan beragam cerita dibalik
beraneka ragamnya kebutuhan hidup, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan
teratas, telah mengantar keinginan kita untuk memiliki dari produk yang ditawarkan
tersebut. Berbagai macam produk kebutuhan, mulai dari kebutuhan primer demi
kelangsungan hidup sehari-hari sampai dengan kebutuhan mewah demi naiknya identitas
diri di mata masyarakat, telah membayang-bayangi dan mencuci otak kita, agar kita ikut
larut di dalam buaian ceritanya dan berakhir dengan tindakan untuk membeli dari produk
yang setiap detik dan menit itu, telah tertangkap oleh mata kita tatkala kita sedang
menikmati program acara televisi dengan santainya. Tiap hari dan tiap menit mata kita
disuguhi oleh ratusan illustrasi terselip dalam kemasan produk yang diklankan lewat
layar kaca dan tanpa sadar kita telah terbius oleh rayuan, bujukan serta tipuan yang
menggoda pikiran kita untuk membelinya.

Derasnya intensitas Iklan televisi yang dilancarkan melalui media layar kaca itu,
telah sedikit banyak mempengaruhi para pemirsa untuk mengikuti jejak dari illustarsi
yang telah mengopsesi para pemirsa lewat citraan produknya itu, demi mendapatkan
tuntutan ”gaya hidup” yang notabene bagian penting dari kehidupan masyarakat modern.
Dewasa ini fenomena gaya hidup masyarakat modern dengan keragaman kompleksitas
problema yang ada, telah terserap oleh sebagian besar masyarakat, hal ini dapat terjadi
tidak lain dan tidak bukan dari pengaruh tayangan televisi yang dilihatnya. Gejala ini
dalam perkembangannya, begitu pesat masuk dalam relung-relung kehidupan dari semua
lapisan masyarakat, keberadaannya tumbuh subur di masyarakat perkotaan bahkan
hingga kini telah mengepedemi sampai tingkat pedesaan, menyerang siapa saja yang
menjadi targetnya, tak peduli anak-anak, kaum remaja bahkan orang tuapun terseret dan
telah menjadi mangsa dari proses modernisasi gaya hidup.

Derasnya durasi penayangan iklan televisi dari berbagai macam merek produk,
ditengah selipan acara-acara di televisi yang kita tonton setiap hari, telah berdampak pada
meningkatnya gaya hidup masyarakat dan bercermin pada citraan iklan televisi. Segala
macam apa yang dicitrakan oleh beragam produk konsumtif lewat iklan televisi, akan
ditiru oleh masyarakat dan dianggap sebagai alat untuk peningkatan kualitas identitas
diri, dalam kehidupan masyarakat modern yang semakin lama cenderung menuju ke arah
kehidupan glamour dalam masyarakat kapitalis dan hanyalah melahirkan manusia-
manusia konsumtif dan hedonis. Lihat saja cerminan realitas kehidupan remaja dewasa
ini, seringnya di kalangan remaja, gonta ganti assesoris mulai dari kemasan handphone,
gelang, kalung, cincin ,minuman kaleng, tas, sepatu sampai pakaian ala artis idolanya
serta rambut dengan warna warni bagaikan toko cat mowilex berjalan, setiap saat
berseliweran di tengah kehidupan kita. Penggambaran tentang penganalogian dampak
yang ditimbulkan oleh iklan televisi tidak berhenti di situ saja, para anak-anak sekolah
dasarpun ikut bergaya memakai Handphone yang tergolong mahal harganya. Fenomena
ini akan mengejutkan lagi ketika sikap para orang tua merasa gatal terbius oleh
kegombalan iklan televisi dan ikut-ikutan mempercantik dirinya, ia tak mau kalah dengan
anak gadisnya dengan memotong rambutnya gaya seorang artis idolanya menjadi
bergelombang bagai rangkaian serutan kayu jati yang melambai-lambai tertiup angin
mamiri. Begitu dasyatnya pengaruh iklan televisi terhadap pencitraan gaya hidup
seseorang, hingga sampai-sampai orang mau mengeluarkan segala macam kemampuan,
meskipun dalam perjanannya diwarnai dengan susah payah untuk meraihnya, demi untuk
mengikuti trend gaya hidup yang sudah menjadi bagian penting dalam masyarakat
modern.

ISI

Penelitian ini menganalisis representasi gaya hidup dalam iklan dengan


menggunkan teori dari Roland Barthes yang dimana mengkaitkan beberapa unsur seperti
tanda,penanda, dan petanda sehingga dapat membangun sebuah pemaknaan dari pesan
yang disampaikan dalam iklan tersebut. Perolehan data dari iklan LA Lights “ Yang Lain
Bersandiwara, Gue Apa Adanya!” versi topeng monyet akan dianalisis menggunakan
teknik analisis semiotic dengan mengkaitkan tanda-tanda yang muncul dalam iklan
kemudian diaplikasikan dengan teori dari Roland Barthes. Tanda-tanda yang yang
diuraikan dengan unsur-unsur pembangunan sebuah makna yaitu tanda
denotasi,penanda,petanda,tanda konotasi,penanda konotasi dan petanda konotasi yang
berperan penuh dalam menentuan makna seperti apa yang akan ditangkap oleh
masyarakat.

1. Pada scene 1 – 2
Penanda : Seorang pejabat yang berorasi di depan masyarakat dan memakai topeng
untuk menutupi wajahnya.
Petanda : Konsep sandiwara yang dilakukan oleh seorang pejabat di depan rakyat
dengan memberi janji-janji sebagai iming-iming yang ditawarkan kepada masyarakat.
Bukan menjadi rahasia kalangan pejabat saja namun masyarakat juga mengerti bahwa
apa yang dilakukan oleh pemimpinnya hanya digunakan sebagai alat untuk memperoleh
simpati masyarakat saja sekaligus digunakan untuk menutupi kepentingan-kepentingan
individu dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Tanda Konotatif : Kritikan budaya bersandiwara di ranah politik Indonesia yang
dianggap biasa dilakukan oleh beberapa tokoh politik dengan memberikan janji-janji
yang pada mulanya ditujukan untuk kepentingan rakyat dan pada kenyataannya ditujukan
untuk menarik simpati masyarakat demi menyembunyikan kepentingan-kepentingan dari
beberapa pihak saja. Contoh yang tengah marak di Indonesia saat ini seperti fenomena
pemilihan ketua daerah (Pilkada). Di masa kampanye menjelang pemilihan, para calon
pejabat daerah terlihat berbondong-bondong menciptakan pencitraan positif di hadapan
masyarakat dengan menyampaikan visi misi yang menjunjung tinggi kesejahteraan
rakyat. Namun fenomena seperti itu hanya bertahan selama masa pemilihan, selanjutnya
berita akan sepi dari kabar pejabat yang terpilih ataupun tidak akan menghilang beserta
visi misi dan janji yang sebelumnya telah disampaikan.
2. Pada scene 3 – 6
Penanda : Gambar masyarakat yang tampak bosan dan menutupi wajahnya
menggunakan topeng tersenyum sambil melakukan kegiatan lainnya saat mendengarkan
orasi pejabat yang sedang berlangsung.
Petanda : Konsep sandiwara yang dilakukan oleh masyarakat untuk menutupi rasa bosan
yang disebabkan oleh janji-janji dari para pejabat yang tidak pernah terealisasi pada
kenyataannya. Masyarakat sendiri tahu bahwa apa yang disampaikan di setiap janji tidak
akan ada pembuktian dari pejabat, hal itu terjadi berulang kali di setiap masa kepempinan
dan menyebabkan rasa bosan mendengarkan kembali janji-janji dari setiap pejabat yang
berkepentingan.
Tanda Konotatif : Kritikan kepada budaya bersandiwara yang sering dilakukan oleh
masyarakat terutama rakyat Indonesia. Rakyat yang seharusnya dituntut untuk
memberikan pendapat atas apa yang dilakukan oleh pejabat untuk menjadi seorang
pemimpin yang lebih baik, namun pada kenyataannya rakyat Indonesia justru lebih
memilih bersandiwara menerima apa yang ditawarkan pemimpinnya walaupun rakyat
sebenarnya tahu hal itu tidak membantu kepentingan rakyat melainkan hanya
mengutamakan kepentingan politik para pejabat.
3. Pada scene 7 – 8
Penanda : Gambar seorang pria tanpa menggunakan topeng yang berdiri di tengah
masyarakat yang seluruhnya menggunakan topeng hingga kemudian memilih pergi
meninggalkan orasi pejabat yang sedang berlangsung tersebut.
Petanda : Konsep apa adanya yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat dan tidak
perlu adanya sandiwara dalam menyikapi kepentingan para pemimpin yang tidak
mengutamakan kepentingan rakyat, karena kebebasan dalam menentukan sikap menjadi
hak setiap orang baik dengan cara menerima ataupun menolak pilihan yang diberikan
kepada masyarakat.
Tanda Konotatif : Kritikan sosial mengenai cara berfikir masyarakat dalam menyikapi
kekuasaan para pejabat yang sering disalahgunakan dalam realisasinya. Masyarakat
seharusnya bersikap apa adanya dalam menghadapi situasi politik yang dibangun oleh
para pejabat di masa sekarang ini karena masyarakat memiliki hak kebebasan dalam
berpendapat yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik untuk membangun mental
seorang pejabat yang dibanggakan. Hal itu dimaksudkan agar suatu saat nanti
kepentingan rakyat menjadi prioritas utama dalam menjalankan kewajiban sebagai
seorang pemimpin masyarakat.
4. Pada scene 9 – 13
Penanda : Gambar masyarakat meninggalkan orasi pejabat yang sedang berlangsung dan
memilih untuk melihat aksi monyet yang memakai topeng mirip dengan wajah pejabat
dan menirukan apa yang dilakukan pejabat tersebut, hingga pada akhirnya membuat
masyarakat melepaskan topeng yang dipakai sebelumnya.
Petanda : Konsep sindiran tentang dunia politik yang tidak lagi menarik bagi sebagian
masyarakat dikarenakan munculnya beberapa kasus hukum yang melibatkan pejabat
tanah air. Hal tersebut membentuk sebuah anggapan bahwa dunia politik hanya menjadi
ajang bersandiwara demi kepentingan beberapa pihak dan jauh dari sosok pemimpin apa
adanya yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat.

Tanda Konotatif : Kritik sosial dunia politik di Indonesia yang dianggap semakin
mengalami kemunduran dan mengubah citra para pejabat tanah air menjadi buruk. Hal itu
disebabkan oleh kurangnya kepedulian terhadap kepentingan rakyat. Namun di masa
sekarang justru pemimpin mengatasnamakan kepentingan masyarakat untuk memperoleh
keuntungan yang diharapkan. Sandiwara seperti itu dianggap lazim oleh rakyat Indonesia,
oleh karena itu kejujuran seorang pemimpin menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyat.

Dari bagan-bagan di atas dapat dilihat bahwa dari setiap scene yang ditampilkan dalam iklan
rokok LA Lights “Yang Lain Bersandiwara, Gue Apa Adanya!” versi topeng monyet memiliki
dua makna yang diaplikasikan ke dalam signifikasi denotasi dan konotasi. Namun dari kedua
makna yang didapat dari dua tahap signifikasi tersebut tetap saling berhubungan, begitu pula dari
setiap bagan yang dibuat juga tidak berdiri sendiri karena antara scene yang satu dengan yang
lainnya memiliki keterikatan dalam membangun sebuah makna yang nantinya ditangkap oleh
publik. Munculnya topeng wajah, manusia, dan hewan (monyet) dalam konteks iklan ini sebagai
penanda. Kemudian penggambaran ekspresi dan sandiwara menjadi bentuk petanda yang
merupakan perwujudan semiotik secara gamblang yang hendak disampaikan oleh pembuat iklan
tersebut kepada publik, khususnya masyarakat Indonesia. Topeng yang dipakai oleh pejabat dan
monyet menunjukkan adanya kesamaan antara manusia dan hewan. Manusia yang seharusnya
memiliki derajat lebih tinggi daripada hewan pada iklan ini digambarkan tidak jauh berbeda
dengan samasama memakai topeng yang serupa. Makna konotatifnya dapat dilihat saat pejabat
tersebut berorasi dan si monyet bermain peran seolah dirinya adalah manusia dengan melakukan
aktivitas selayaknya manusia. Konsep sandiwara tampak jelas disini. Bagaimana seorang pejabat
yang sedang berorasi dengan segala kepribadian rekaannya, visi dan misi perebut simpati, serta
iming-iming janji yang diobral demi mendapatkan dukungan dari rakyat, ternyata dapat ditirukan
dengan baik oleh seekor monyet.
KESIMPULAN
Bahwa gaya hidup masyarakat kota yang ditampilkan memiliki kesan berlebihan
dan juga diluar batas kewajaran. Ideologi yang ada akhirnya muncul adalah kelas sosial.
Untuk menyindir kaum kaum yang berada pada kelas sosial menengah atas. Pada iklan
terdapat pilihan-pilihan tanda untuk merepresentasikan sebuah peristiwa yang diangkat
hingga kemudian dimaknai oleh publik dan sampai pada pembentukan wacana atas iklan
tersebut. Setiap pilihan atas tanda yang digunakan adalah pilihan atas ideologi dari
pembuatan iklan tersebut. Dari jenis wacana yang ditemukan dalam data iklan tersebut
tetap saling memiliki hubungan dalam membentuk sebuah wacana di lingkungan
masyarakat, jadi antara jenis wacana narasi yaitu wacana deskripsi, wacana eksposisi,
wacana argumentasi, dan wacana persuasi tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling
membangun.

Anda mungkin juga menyukai