Anda di halaman 1dari 47

Makassar, 10 Januari 2024

LAPORAN TUTORIAL MODUL 1 DEMAM

BLOK KEDOKTERAN TROPIS

“SKENARIO 6”

TUTOR : dr. Eny Arlini Wello

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 12A

Andi Gita Sentini Angraeni 11020210012


Andi Audya Ashilah Asrijaya 11020210014
Inchi Muhammad Arayyan Darmawan 11020210035
Churiani 11020210051
Andi Muhammad Nur Yazid AR. Thalib 11020210053
Amanda Tasya Reghina Putri Yudistira 11020210079
Alfisyahr Nindya Maqbul Ihsan 11020210099
Fausiah Ismaya 11020210116
Nisya Madani Irman 11020210121
Farah Nadhilla Ramadhani Waskito 11020210126

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
kita semua dapat beraktivitas dan mengejar mimpi kita hingga saat ini. Tak lupa pula kita
kirimkan shalawat dan salam kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW yang
telah menerangi kehidupan yang dahulu kelam akan jahiliah.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen tutor kami dr. Eny Arlini Wello
yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan laporan tutorial ini hingga akhir.

Demikian laporan ini kami susun dengan segala kekurangan, kami mengharapkan
kritik, saran, dan tanggapan hingga nantinya dapat menjadi pembelajaran bagi kami. Semoga
Allah SWT meridhoi, sekian, dan terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Makassar, 10 Januari 2024

Kelompok 12A
SKENARIO 6
Seorang laki – laki berusia 35 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan utama demam
sejak 10 hari yang lalu. Keluhan disertai mual, muntah, nyeri betis dan kencing seperti teh.
Didapatkan riwayat rumah pasien mengalami banjir satu minggu sebelumnya. Pada
pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, denyut nadi 100 kali
permenit, dan suhu aksila 380C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterus (+), dan Injeksi
konjungtiva (+). Nyeri tekan pada kedua gastrocnemius

KATA SULIT
-
KALIMAT KUNCI
1. Laki-laki, 35 tahun
2. KU demam sejak 10 hari lalu
3. KP mual, muntah, nyeri betis dan kencing seperti teh.
4. Riwayat rumah pernah banjir satu Minggu sebelumnya
5. TTV : TD 100/60 mmHg, denyut nadi 100x/menit, suhu axilla 38°C.
6. Pemeriksaan fisik didapatkan ikterus(+), injeksi konjungtiva (+) dan nyeri tekan
kedua gastrocnemius

PERTANYAAN
1. Jelaskan defenisi, etiologi dan klasifikasi demam!
2. Apa saja penyakit tropis yang menimbulkan demam?
3. Bagaimana patomekanisme terjadinya :
a. Demam
b. Mual muntah
c. Nyeri betis
d. Ikterus
e. Injeksi konjungtiva
4. Apa hubungan terjadinya banjir terhadap keluhan yang dikeluhkan pasien?
5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis sesuai skenario?
6. Apa diagnosis banding yang sesuai?
7. Bagaimana tatalaksana awal sesuai skenario?
8. Bagaimana pencegahan sesuai skenario?
9. Bagaimana perspektif Islam sesuai skenario?

JAWABAN
1. Pengertian, eiologi dan klasifikasi demam
● Pengertian Demam
Demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh diatas normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus. Suhu tubuh adalah cerminan dari
keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas, keseimbangan ini diatur oleh pengatur
suhu (termostat) yang terdapat di otak (hipotalamus). Demam diartikan suhu tubuh di atas
37,2° C.1
Demam didefinisikan sebagai suatu bentuk system pertahanan non spesifik yang
menyebabkan perubahan mekanisme pengaturan suhu tubuh mengakibatkan kenaikan suhu
tubuh diatas variasi sirkadian yang normal sebagai akibat perubahan pusat termoregulasi
yang terletak dalam hiptalamus anterior.1
Pola Demam
a. Demam septik, yaitu suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam
hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Demam sering disertai
keluhan menggigil dan berkeringat, bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang
normal dinamakan juga demam hektik.1
b. Demam remiten, yaitu suhu tubuh dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai
suhu normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat mencapai 2°C dan tidak sebesar
perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik. 1

c. Demam intermiten, yaitu suhu tubuh turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam
dalam satu hari. Demam seperti ini terjadi dua hari sekali yang disebut tersiana dan bila
terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.1

d. Demam kontinyu, yaitu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda ˃ 1°C.1
e. Demam siklik, yaitu terjadi kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari yang diikuti oleh
periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti
semula.1

● ETIOLOGI DEMAM

Demam sering disebabkan karena infeksi. Penyebab demam selain infeksi juga dapat
disebabkan oleh keadaan toksemia, keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat, juga
pada gangguan pusat regulasi suhu sentral (misalnya perdarahan otak, koma). Pada dasarnya
untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam diperlukan antara lain: ketelitian
pengambilan riwayat penyekit pasien, pelaksanaan pemeriksaan fisik, observasi perjalanan
penyakit dan evaluasi pemeriksaan laboratorium, serta penunjang lain secara tepat dan
holistic.2

Demam terjadi bila pembentukan panas melebihi pengeluaran. Demam dapat berhubungan
dengan infeksi, penyakit kolagen, keganasan, penyakit metabolik maupun penyakit lain.
Demam dapat disebabkan karena kelainan dalam otak sendiri atau zat toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak atau dehidrasi.1

Demam sering disebabkan karena; infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, sinusitis,
bronchiolitis,pneumonia, pharyngitis, abses gigi, gingi vostomatitis, gastroenteritis, infeksi
saluran kemih, pyelonephritis, meningitis, bakterimia, reaksi imun, neoplasma,
osteomyelitis.2

● KLASIFIKASI DEMAM
Tabel 1. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik.2
Lama demam pada
Klasifikasi Penyebab tersering
umumnya

Demam
dengan localizing Infeksi saluran nafas atas <1 minggu
signs
Demam
Infeksi virus, infeksi saluran
tanpa localizing <1minggu
kemih
signs
Fever of unknown Infeksi, juvenile idiopathic
>1 minggu
origin arthritis

Demam dengan Localizing Signs


Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada pada
kategori ini. Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda secara
spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat
ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan
pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada.2

Demam Tanpa Localizing Signs


Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak
ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi
virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini
harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan
bakteremia.menunjukan penyebab paling sering kelompok ini.1 Demam
tanpa localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1
minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter
anak dalam merawat anak berusia kurang dari 36 bulan.2

Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)


Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama 1
minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal mendeteksi
penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal sebagai fever
of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama
minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di
rumah sakit.2

2. Penyakit tropis yang menimbulkan demam


a. DemamTifoid
Demam Tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri gram-negatif, tidak
berkapsul, mempunyai flagella dan tidak membentuk spora, Penularan penyakitnya
melalui air dan makanan, salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Vektor
berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit.3
b. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.albopictus yang terinfeksi.4
c. Malaria
Malaria adalah penyakit yang menyerang sel darah merah, disebabkan oleh
parasit plasmodium ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina yang terinfeksi.4
d. Difteri
Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Corynebacterium diphtheria.
Penyakit ini mempunyai dua bentuk yaitu
- Tipe Respirasi yang disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin
(toksigenetik) yang biasanya mengakibatkan gejala berat sampai meninggal
- Tipe Kutan yang disebabkan oleh strain toksigenetik maupun non-toksigenetik,
umumnya gejalanya ringan dengan peradangan yang tidak khas.
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet saat penderita (karier) batuk,
bersin, dan berbicara. Akan tetapi, debu atau muntahan si penderita juga bisa menjadi
media penularan.3
e. Varicella (cacar air)
Varicella adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, yang disebut virus
Varicella-zoster. Gejalanya adalah; demam, pilek, lemah, letih, lesu dan kemudian
muncul ruam kemerahan di tubuh berisi cairan. Menular melalui kontak langsung atau
melalui droplet, pakaian yang terkena cairan ruam penderita.3
f. Herpes Zoster
Herpes adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Varicella-zoster. Herpes
dapat menyerang kulit, mulut dan alat kelamin (herpes genetalis). Herpes dikenal
dengan penyakit radang pada kulit yang ditandai dengan ruam kemerahan dengan
gelembung-gelembung berisi air yang mengelompok. Penularannya mirip dengan
varicella.3

g. Influenza
Influenza atau biasa disebut flu adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
influenza. Virus influenza sangat mudah menular dan ditularkan oleh sipenderita
melalui udara. virus ini menyerang saluran pernafasan sehingga sipenderita
mengalami kesulitan bernafas. Gejala yang timbul akibat influenza adalah pilek,
demam, pusing, batuk kering hingga batuk berdahak, kerongkongan gatal, hidung
tersumbat, meler, bersin-bersin hingga hidung memerah, badan terasa pegal-pegal.3
h. Ebola
Ebola adalah penyakit yang disebabkan oleh virus ebola. Peyakit ini sangat
mengerikan karena tubuh sipenderita akan mengalami pendarahan di seluruh tubuh
pasien. Gejala yang lain adalah; demam, muntah, diare dan badan terasa sakit.3
i. Hepatitis
Istilah "Hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel hati,
yang bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk obat
tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan penyakit autoimmune. Ada 5
jenis Hepatitis Virus yaitu Hepatitis A, B (golongan virus DNA), C (virus RNA), D
(memerlukan virus hepatitis B untuk berkembang biak), dan E (dulu dikenal dengan
hepatitis non A-non B.5
j. Rubella
Rubella juga dikenal sebagai "Campak Jerman" dan disebabkan oleh virus
rubella. Penderitanya biasa menunjukkan ruam menyebar, demam, sakit kepala,
malaise, pembesaran kelenjar getah bening, gejala pernapasan atas dan konjungtivitis.
Penyakit ini dapat ditularkan melalui kontak dengan cairan sekresi hidung atau
tenggorokan dari orang yang terinfeksi serta melalui tetesan air atau kontak langsung
dengan pasien.3
k. Mumps
Mumps merupakan penyakit menular yang sering terjadi pada anak-anak dan
remaja di antara umur 5-15 tahun. Mumps disebabkan oleh virus mumps yang
menyerang kelenjar-kelanjar air liur di mulut, utamanya.menyerang kelenjar-kelenjar
parotis yang terletak pada tiap-tiap sisi wajah bawah dan di depan telinga. masa
inkubasinya sekitar dua minggu.3
l. Yellow Fever
Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh virus yang disebut flavivirus.
Pada kasus-kasus yang parah, infeksi virus menyebabkan demam yang tinggi,
perdarahan kedalam kulit, dan necrosis (kematian) dari sel-sel dalam ginjal dan hati. 5

3. Patomekanisme terjadinya :
a. Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen.Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam,pirogen terbagi dua yaitu
pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari
pirogen eksogen adalah produk mikroganisme seperti toksin atau mikroganisme
seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen adalah endotoksin lipopolisakarida yang
dihasilkan oleh bakteri gram negative. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen
yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen
endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α dan IFN.Sumber dari pirogen endogen ini pada
umumnya adalah monosit, neutrophil, dan limfosit walaupun sel lain dapat
mengeluarkan pirogen endogen apabila terstimulasi.6
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel – sel darah putih
(monosit,limfosit dan neutrofil ) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin. Mediator
inflamsi atau reaksi imun. Sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang
dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α dan IFN ).Pirogen endogen dan
eksogen akan merangsang endothelium hypothalamus untuk membentuk
prostaglandin.Prostaglandin yang sudah dibentuk tadi kemudian akan meningkatkan
patokan thermostat dipusat termoregulasi hypothalamus,dimana hypothalamus akan
mengganggap suhu sekarang lebih rendah rendah dari suhu patokan yang baru
sehingga akan memicu munculnya mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas
antara lain mengigil,vasokontriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai
selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan
pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke
patokan yang baru tersebut.7

b. Mual muntah
Antibodi yang terbentuk saat infeksi dengue adalah IgG yang berfungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit. Pada saat ini dikenal 2 jenis
tipe antibodi yaitu antibodi neutralizing yang tidak dapat memacu replikasi virus dan
antibodi non-neutralizing virus dengue yang meningkatkan replikasi virus. Antibodi
non-neutralizing kurang menetralisir aktivitas yang diinduksi pada infeksi primer dan
infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue yang berbeda dan membentuk kompleks
antibodi virus yang berikatan dengan reseptor pada sel target yaitu sel fagosit seperti
makrofag, monosit dan sel kupfer dan mengakibatkan peningkatan infeksi virus
dengue. Peningkatan infeksi virus dengue oleh antibodi non-neutralizing disebabkan
antibodi non-neutralizing terbentuk pada infeksi primer dan membentuk kompleks
imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Antibodi
nonneutralizing yang bebas dalam sirkulasi maupun melekat pada sel, bertindak
sebagai reseptor spesifik untuk melekatkan virus dengue pada permukaan sel fagosit.
Mekanisme ini merupakan mekanisme aferen. Selanjutnya sel monosit yang
mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang.
Mekanisme ini disebut mekanisme eferen.8
Setelah sel monosit yang mengandung kompleks imun menyebar ke usus akan
timbul respon proteksi tubuh berupa muntah. Muntah merupakan cara dari traktus
gastroinstestinal membersihkan dirinya sendiri karena suatu rangsangan berupa iritasi
organ gastrointestinal secara luas dan berlebihan. Hal ini merangsang zona
kemoreseptor pencetus. Setelah zona kemoreseptor pencetus dirangsang, rangsangan
akan berlanjut ke pusat muntah di sistem saraf pusat. Rangsangan di pusat muntah
kemudian dilanjutkan ke diafragma (suatu sekat antara dada dan perut) dan otot-otot
lambung, yang mengakibatkan penurunan diafragma dan kontriksi (pengerutan) otot-
otot lambung. Hal tersebut selanjutnya mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam
perut khususnya lambung dan mengakibatkan keluarnya isi lambung sampai ke
mulut.9

c. Nyeri betis
Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi
maupun rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang
mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K +
ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada
beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan
peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien,
prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga
rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia
atau allodynia). Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga
bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi
oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi
K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin,
bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan
meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka
mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida
(CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin),
diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain.
Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri.28

d. Ikterus
Patofisiologi penyakit kuning paling baik dijelaskan dengan membagi
metabolisme bilirubin menjadi tiga fase: prahepatik, hati, dan pascahepatik. 29
PREHEPATIK

1. Produksi - Bilirubin adalah produk akhir heme, yang dilepaskan oleh sel
darah merah tua atau rusak. Dalam sel retikuloendotelial limpa, hati dan
sumsum tulang, heme yang dilepaskan dari sel darah merah mengalami
serangkaian reaksi untuk membentuk produk akhir bilirubin:

Heme -> Biliverdin -> Bilirubin (tidak larut karena ikatan hidrogen yang
29
erat).

HEPATIK

1. Penyerapan hepatoseluler - Bilirubin yang dilepaskan dari sistem


retikuloendotelial berada dalam bentuk tak terkonjugasi (yaitu, tidak larut) dan
diangkut ke hepatosit terikat pada albumin sehingga mencapai kelarutan dalam
darah. Ikatan albumin-bilirubin terputus, dan bilirubin saja kemudian dibawa
ke dalam hepatosit melalui transpor membran pembawa dan terikat pada
protein di sitosol untuk mengurangi penghabisan bilirubin kembali ke
plasma.29
2. Konjugasi bilirubin - Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian berpindah ke
retikulum endoplasma, di mana ia mengalami konjugasi menjadi asam
glukuronat sehingga menghasilkan pembentukan bilirubin terkonjugasi, yang
larut dalam empedu. Hal ini disebabkan oleh aksi UDP-glukuronosil
transferase. 29

PASCA HEPATIK

1. Sekresi empedu dari hepatosit - Bilirubin terkonjugasi sekarang dilepaskan


ke kanalikuli empedu ke dalam saluran empedu, disimpan di kandung empedu,
mencapai usus kecil melalui ampula Vater dan akhirnya memasuki usus
besar.29
2. Metabolisme usus dan transportasi ginjal - Mukosa usus tidak menyerap
kembali bilirubin terkonjugasi karena hidrofilisitasnya dan ukuran molekulnya
yang besar. Bakteri kolon mendekonjugasi dan memetabolisme bilirubin
menjadi urobilinogen, 80% diekskresikan melalui feses dan stercobilin, dan
sisanya (10 hingga 20%) mengalami sirkulasi enterohepatik. Beberapa dari
urobilin ini diekskresikan melalui ginjal dan memberikan pigmen kuning pada
urin. 29

Disfungsi pada fase prehepatik menyebabkan peningkatan kadar bilirubin tak


terkonjugasi dalam serum, sedangkan gangguan pada fase pasca hepatik
menyebabkan peningkatan bilirubin terkonjugasi. Gangguan fase hati dapat
meningkatkan bilirubin tak terkonjugasi dan terkonjugasi.29
Peningkatan ekskresi urobilinogen urin dapat disebabkan oleh peningkatan
produksi bilirubin, peningkatan reabsorpsi urobilinogen dari usus besar, atau
penurunan pembersihan urobilinogen di hati.29

e. Injeksi konjungtiva
Sistem mikrovaskuler konjungtiva dan retina keduanya berasal dari arteri
karotis interna dan terdiri dari jaringan anatomi yang luas berupa kapiler bercabang,
arteriol, dan venula, dengan banyak anastomosis yang dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Sejumlah penelitian telah menempatkan diameter pembuluh darah antara
5 dan 70 μm dengan kecepatan aliran di venula dan arteriol berkisar antara 0,52
hingga 3,26 mm/s. Selain itu, sirkulasi konjungtiva memiliki kemiripan anatomi
dengan area otak yang disuplai oleh cabang-cabang arteri karotis interna, terutama
karena perbandingan kaliber pembuluh darah dan jarak yang sama dari pembuluh
makanan di pohon percabangan. Oleh karena itu, kedua sirkulasi ini memiliki
dinamika fluida hidrolik yang sesuai. Lapisan mikrovaskuler konjungtiva bulbar
terbungkus dalam membran semi-transparan di atas sklera putih, sehingga
memungkinkan pengukuran hiperemia konjungtiva secara real-time, in-vivo, dan non-
invasif, sehingga membantu dalam diagnosis disfungsi mikrovaskuler dan vaskulopati
yang terkait dengan korteks serebral dan ginjal.30

Hiperemia konjungtiva dikaitkan dengan banyak etiologi yang menyebabkan


pelebaran mikrovaskular, mengakibatkan jaringan konjungtiva tampak kemerahan.
Secara klinis, penyakit ini terutama merupakan tanda nonspesifik yang terkait dengan
alergen musiman, infeksi permukaan mata, kelelahan, dan bahkan penyakit sistemik
yang mendasarinya pada beberapa kasus.30

Pembuluh darah konjungtiva menghasilkan respons yang kuat terhadap invasi


patogen pada jaringan meskipun terdapat respons pertahanan biologis yang dilakukan
oleh komponen cairan air mata. Peradangan yang diakibatkannya menyebabkan
pelebaran dan permeabilisasi pembuluh darah mikro konjungtiva, yang menyebabkan
eksaserbasi peradangan dan hiperemia. Lipopolisakarida terkait patogen (LPS)
menghasilkan faktor nekrosis tumor-α(TNFα), IL-1β, dan IL-6 di bawah regulasi
faktor nuklir-κB (NF-κB). Sel endotel vaskular dan sel otot polos telah terbukti
memiliki reseptor TNF-α dan IL-1β. Sitokin ini menginduksi ekspresi beberapa
mediator vasodilator, termasuk PGI 2 , PGE 2 , dan nitric oxide (NO). Brian Jr dan
Faraci telah menunjukkan aksi vasodilatasi progresif TNF-α, yang dapat dihambat
oleh aminoguanidine dan deksametason, menunjukkan peran penting NO dalam
vasodilatasi. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa TNF-α
mengaktifkan NAD(P)H oksidase, menghasilkan peningkatan H 2 O 2 intraseluler
yang menstimulasi percikan Ca 2+ dan arus K + −Ca 2+sementara, yang
menyebabkan pembentukan sel otot polos pembuluh darah. hiperpolarisasi, penurunan
Ca2 + , dan vasodilatasi.30
Menanggapi perubahan inflamasi lokal, makrofag dan sel T memasuki lapisan
stroma konjungtiva dari sistem vaskular untuk membentuk pertahanan kedua
melawan patogen yang menyerang. Baik sel T maupun makrofag dapat mensekresi
IL-1, interferon-gamma (IFNγ), dan TNF-α; TNF-α, khususnya menyebabkan
vasodilatasi dengan menginduksi sintesis NO pada sel otot polos, yang pada
gilirannya berkontribusi terhadap hiperemia dan peradangan.30

4. Hubungan terjadinya banjir terhadap keluhan yang dikeluhkan pasien


Banjir merupakan suatu bencana alam yang menimbulkan genangan air pada
permukaan tanah yang cukup tinggi. Air yang tergenang dalam banjir tersebut dapat
berisi mikroorganisme yang tidak terlihat oleh mata manusia. Manusia yang
berkontakan dengan air banjir yang tercemar oleh mikroorganisme dapat
mempermudah masuknya mikroorganisme kedalam tubuh. Bakteri yang paling
banyak terkandung pada air tercemar adalah bakteri Leptospira interogans.27
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki
aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian
terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini
dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa
organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di
dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules,
bertahan di sana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air
kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan
fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah
setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme
hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung
1-4 minggu. 27

5.Langkah-langkah diagnosis sesuai skenario


Anamnesis

a.Identitas : nama, umur, alamat, pekerjaan, dan lainnya.


b. Menanyakan keluhan utama.
c. Menggali riwayat penyakit yang diderita sekarang. Menanyakan tentang hal-hal
berikut :

● Onset dan durasi demam : timbul mendadak, kapan dan sudah berapa lama

demam
● Sifat demam : subfebris, tinggi, terus menerus, intermitten, lebih tinggi pada sore

dan malam hari, bersifat serangan dengan interval tertentu. Menanyakan tentang
gejala lain yang menyertai:

● Anoreksia, disfagia, malaise, sakit kepala, artralgia, mialgia, sukar membuka

mulut.

● Manifestasi perdarahan: peteki, ekimosis, epistaksis,hematemesis, melena

● Menggigil

● Kejang

● Gangguan sistem respirasi : batuk, sesak

● Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, nyari abdomen, diare dengan/tanpa

lendir/darah, konstipasi, gangguan sistem urogenitalia: warna urin, oliguria,


disuria

● Ruam kulit: kapan timbulnya, lokasi, penyebaran.

● Menanyakan adanya riwayat peyakit yang sama dalam keluarga atau lingkungan

sekitar tempat tinggal.

● Menanyakan tentang riwayat imunisasi (terutama pasien anak)

● Menanyakan riwayat bepergian atau pernah tinggal di daerah endemik penyakit

tertentu seperti malaria, filaria, dan lain lain.

● Menanyakan jenis pekerjaan pasien yang mungkin mengarah kepada infeksi

tertentu misalnya antrakosis, flu burung.

● Menanyakan adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan gejala

demam.

● Menanyakan adanya riwayat kontak dengan hewan

● Menanyankan lingkungan apakah pernah terkena banjir


● Menanyakan riwayat pengobatan yang pernah diterima.10

Pemeriksaan Fisis

● Penilaian status pasien secara umum dan tanda vital

▪ Keadaan umum pasien: sakit ringan, sakit sedang atau sakit berat.

▪ Status gizi : ukur tinggi dan berat badan.

▪ Tanda vital pasien : tekanan darah, denyut nadi dan pernapasan.

▪ Suhu tubuh aksiler pasien dengan termometer.

▪ Kesadaran: GCS

▪ Tanda renjatan, tanda dehidrasi. 12

● Pemeriksaan fisis yang untuk menegakkan diagnosis pasien dengan keluhan

utama demam.

▪ Rhisus sardonikus.

▪ Anemia, ikterus, edema.

▪ Status tifosa: kesadaran menurun, rambut kering, bibir kering/terbelah-

belah/terkupas, lidah kotor, pucat.

▪ Effloresensi kulit. Tipe dan lokasi effloresensi kulit: makula, papula,

vesikel, krusta, polimorf.

▪ Mulut dan rongga mulut : koplik spot, membrane putih kelabu pada tonsil,

kemerahan pada farings, atau larings, perdarahan gusi, trismus.

▪ Gag refleks: buka mulut pasien dengan menggunakan spatel, bila terjadi

kejang, maka gag refleks dinyatakan positif.

▪ Pemeriksaan fisik toraks: inspeksi, palpasi dan auskultasi.


▪ Pemeriksaan abdomen: hepatomegali, splenomegali, asites, hipertoni otot

abdomen.

▪ Opistotonus : pasien dalam posisi supine, lengan pemeriksa dimasukkan di

bawah punggung pasien, bila lengan dapat masuk, opistotonus (+).

▪ Pembesaran kelenjar : parotis.

● Inspeksi: adanya bullneck.

● Palpasi dengan tekanan ringan : Nyeri tekan gastrocnemius

● Sistem musculoskeletal : spasme anggota gerak, hiperrefleksia dan nyeri tekan

otot. 12

Pemeriksaan Penunjang

▪ Pemeriksaan darah rutin untuk menilai hemoglobin, hematokrit, leukosit,

trombosit.

▪ Pemeriksaan laboratorium lain seperti protein/albumin, SGOT/SGPT,

elektrolit.

▪ Pemeriksaan imunoserologi IgM, IgG pada pasien yang dicurigai demam

dengue atau demam berdarah dengue.

▪ Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan parasit, misal

plasmodium.11

6. Diagnosis banding yang sesuai


1. LEPTOSPIROSIS
DEFENISI
Leptospirosis adalah penyakit menular pada hewan dan manusia. Ini adalah
infeksi zoonosis yang paling umum di dunia. Penyakit ini mudah ditularkan dari
hewan yang terinfeksi melalui urinnya, baik secara langsung maupun melalui tanah
atau air yang terinfeksi.13
ETIOLOGI
Disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira interrogans.13

EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis biasanya terjadi di daerah beriklim sedang, pada akhir musim
panas atau awal musim gugur di negara-negara Barat, dan selama musim hujan di
daerah tropis. Insiden di daerah tropis hampir 10 kali lipat dibandingkan di daerah
beriklim sedang. Leptospirosis sangat umum terjadi di daerah tropis, dengan 73%
kasus terjadi di zona ini, khususnya di Asia Tenggara, Afrika Sub-Sahara Timur,
Karibia, dan Oseania.13

PATOGENESIS
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa
seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian masuk ke dalam darah,
berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Leptospira juga dapat menembus
jaringan seperti ruang depan mata dan ruang subarakhnoid tanpa menimbulkan reaksi
peradangan yang berarti.2,5 Tubuh manusia akan memberikan respon imunologik,
baik secara selular maupun humoral. Leptospira berkembang biak terutama di ginjal
(tubulus konvoluta), serta akan bertahan dan diekskresi melalui urin. Leptospira dapat
berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi hingga bertahuntahun. Setelah fase
leptospiremia (4-7 hari), leptospira hanya dijumpai pada jaringan ginjal dan mata.
Pada fase ini, leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan pada
beberapa organ. Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat
mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-
gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang bersirkulasi diserap oleh
eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis. Setiap organ penting dapat terkena dan
antigen leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Gejala fase awal
ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira, sedangkan gejala fase kedua
timbul akibat respons imun pejamu. Beberapa organ yang mengalami gangguan
akibat toksin leptospira ialah ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh darah dan
jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) kemudian ke
selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang merupakan komplikasi neurologik
tersering dari leptospirosis.14
FAKTOR RISIKO
Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang atau air,
lumpur, tanah, dan tanaman yang telah Rampengan dicemari air kencing binatang
yang terkontaminasi leptospirosis. Beberapa pekerjaan yang berisiko seperti petani
sawah, pekerja pejagalan, peternak, pekerja tambang, industri perikanan, serta petani
tebu dan pisang. Dokter hewan maupun staf laboratorium yang kontak dengan kultur
leptospirosis.13

GEJALA KLINIS
- Demam
- Menggigil
- Sakit kepala yang tiba-tiba. (sakit kepala berdenyut bitemporal dan frontal
disertai nyeri retro-orbital)
- Nyeri otot sering terjadi dan biasanya menyerang betis dan punggung bawah.
- Diare
- Mual, muntah, diare, dan sakit perut.
- Ruam non-pruritus
- Penyakit kuning
- Mata merah 13

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan mikroskopik, juga dengan pembiakan leptospira
Sampel klinis yang harus dikumpulkan untuk pemeriksaan tergantung
pada fase infeksi. Spesimen berasal dari darah dan cairan serebrospinal
(minggu pertama masa sakit) dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari
ke 40). Spesimen tersebut ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH
dikombinasi kan dengan neomisin atau 5-fluorouracil. Pada media ini,
pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu. Adanya
leptospira pada media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop
lapangan gelap mikroskop atau fluoresen antibody stain).14
- Pemeriksaan uji imunoserologik
Pemeriksaan ini juga penting untuk diagnosis leptospirosis. Pada
umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke-10. Titernya akan
meningkat dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 atau ke-4 masa
sakit. Uji imunoserologi yang biasa digunakan ialah: Microscopic
Agglutination Test, Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA),
polymerase chain reaction (PCR).14

TATALAKSANA
a. Pasien rawat jalan dewasa
- doksisiklin 100 mg oral dua kali sehari selama 7 hari.
- azitromisin 500 mg oral sekali sehari.
b. pasien dengan leptospirosis yang cukup parah sehingga memerlukan rawat
inap
- Penisilin intravena 1,5 juta unit IV setiap 6 jam
- Ampisilin 0,5-1 g IV setiap 6 jam
- Seftriakson 1 g IV setiap 24 jam
- Sefotaksim 1 g IV setiap 6 jam
- Pantau asupan cairan. Pada orang dewasa, asupannya harus sekitar 2,0-2,5 L
per 24 jam.14

PENCEGAHAN

- Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih setiap sebelum makan dan
setelah kontak dengan hewan.
- Penggunaan alat pelindung diri yang sesuai seperti sepatu bot karet, sarung
tangan, dan kacamata pelindung.
- Menjaga kebersihan lingkungan dan memastikan lingkungan rumah bebas dari
tikus.
- Melakukan vaksinasi pada hewan peliharaan dan ternak.15

KOMPLIKASI

- Meningitis aseptik merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan


- Ensefalitis
- Mielitis
- Keruskana ginjal
- Kerusakan hati.15

PROGNOSIS

Prognosis leptospirosis pada umumnya baik, namun kasus yang kompleks ini
dapat mengancam jiwa jika tidak segera diobati. Jika tidak ada ikterus, penyakit
jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus,angka kematian 5 % pada umur di bawah 30
tahun, dan pada usia lanjut menjadi 30-40 %.13

2. MALARIA
DEFINISI

Malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebakan
oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan
pembesaran limpa..16

ETIOLOGI
Ada 2 jenis makhluk yang berperan besar dalam penularan malaria yaitu parasit
malaria (yang disebut Plasmodium) dan nyamuk anopheles betina. Ada empat jenis
spesies parasit malaria di dunia yang dapat menginfeksi sel darah merah manusia,
yaitu:

● Plasmodium falciparum: menyebabkan malaria falsiparum (disebut juga malaria

tropika), merupakan jenis penyakit malaria yang terberat dan satu-satunya parasit
malaria yang menimbulkan penyakit mikrovaskular, karena dapat menyebabkan
berbagai komplikasi berat seperti cerebral malaria (malaria otak), anemia berat,
syok, gagal ginjal akut, perdarahan, sesak nafas..16

● Plasmodium vivax: menyebabkan malaria tertiana. Tanpa pengobatan: berakhir

dalam 2–3 bulan. Relaps 50% dalam beberapa minggu – 5 tahun setelah penyakit
awal..16

● Plasmodium malariae: menyebabkan malaria quartana. Asimtomatis dalam waktu

lama..16

● Plasmodium ovale: banyak di Afrika dan Pasifik Barat, lebih ringan, seringkali

sembuh tanpa pengobatan. .16

EPIDEMIOLOGI

Satu milyar orang diperkirakan berisiko tertular penyakit ini dan 2,5 juta
penderita malaria diperkirakan meninggal dunia setiap tahun. Penyakit malaria lebih
banyak terjadi pada anak-anak berusia dibawah 5 tahun. World Health Organization
atau WHO (2015) menunjukkan bahwa jumlah kasus malaria secara global telah turun
dari perkiraan 262 juta kasus pada tahun 2000 menjadi 214 juta kasus pada tahun
2015. Penyakit malaria di Indonesia cenderung menurun terdapat 465.764 kasus
positif malaria di tahun 2010 dan pada tahun 2015 telah menurun menjadi 209.413
kasus. Jumlah kasus malaria terbanyak ada di Afrika yaitu sebesar 88%.17

PATOGENESIS
Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina. Betina yang siap untuk diisap oleh
nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidupnya di tubuh nyamuk (stadium
sporogoni). Di dalam lambung nyamuk, terjadi perkawinan antara sel gamet jantan
(mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot berubah
menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi
ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke
kelenjar liur nyamuk dan siap untuk ditularkan ke manusia..17

Pada saat menggigit manusia, maka parasit malaria masuk ke tubuh korban
bersamaan dengan air liur nyamuk masuk ke dalam darah dan jaringan hati. Dalam
siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati
(stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan keluar merozoit/kriptozoit yang
masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer).
Disitu mulai bentuk troposit muda sampai sizon tua/matang sehingga eritrosit pecah
dan keluar merozoit. Sebagian besar Merozoit masuk kembali ke eritrosit dan
sebagian kecil membentuk gametosit jantan..17

Khusus P. vivax dan P. ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon
jaringan) sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke
sel eritrosit, akan tetapi tertanam di jaringan hati –disebut hipnosit-. Bentuk hipnosit
inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada penderita yang mengandung
hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun, hipnosoit
dalam tubuhnya akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari sel hati ke
eritrosit..17
Pada P. Falciparum serangan dapat meluas ke berbagai organ tubuh lain dan
menimbulkan kerusakan seperti di otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang
mengakibatkan terjadinya malaria berat atau komplikasi.17

Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropik dan subtropik. Kehidupan


nyamuk sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan yang ada, seperti suhu,
kelembaban, curah hujan, dan sebagainya. Nyamuk Anopheles betina menggigit
antara waktu senja dan subuh, dengan jumlah yang berbeda-beda menurut
spesiesnya.17 Kebiasaan makan dan istrahat nyamuk Anopheles dapat
dikelompokkan menjadi

0. Endofilik : suka tinggal dalam rumah/bangunan.


a. Eksofilik : suka tinggal diluar rumah.
b. Endofagi : menggigit dalam rumah/bangunan.
c. Eksofagi : menggigit diluar rumah/bangunan
d. Antroprofili : suka menggigit manusia.
e. Zoofili : suka menggigit binatang.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara
berurutan yang disebut trias malaria, yaitu :

a. Stadium dingin (cold stage) Stadium ini berlangsung + 15 menit sampai


dengan 1 jam. Dimulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin, gigi
gemeretak, nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat kebiru-biruan
(sianotik), kulit kering dan terkadang disertai muntah.18
b. Stadium demam (hot stage) Stadium ini berlangsung + 2–4 jam. Penderita
merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering, sakit kepala dan sering kali
muntah. Nadi menjadi kuat kembali, merasa sangat haus dan suhu tubuh dapat
meningkat hingga 41oC atau lebih. Pada anak-anak, suhu tubuh yang sangat
tinggi dapat menimbulkan kejang-kejang.18
c. Stadium berkeringat (sweating stage) Stadium ini berlangsung + 2–4 jam.
Penderita berkeringat sangat banyak. Suhu tubuh kembali turun, kadang-
kadang sampai di bawah normal. Setelah itu biasanya penderita beristirahat
hingga tertidur. Setelah bangun tidur penderita merasa lemah tetapi tidak ada
gejala lain sehingga dapat kembali melakukan kegiatan sehari-hari.18

Gejala klasik (trias malaria) berlangsung selama 6–10 jam, biasanya dialami
oleh penderita yang berasal dari daerah non endemis malaria, penderita yang belum
mempunyai kekebalan (immunitas) terhadap malaria atau penderita yang baru
pertama kali menderita malaria. Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan gejala
lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot. Gejala
tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun)..18

DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:

1. Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,


mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
2. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria.
3. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.
4. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Sklera ikterik
4. Pembesaran Limpa (splenomegali)
5. Pembesaran hati (hepatomegali)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan dengan mikroskop Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan
tipis di Puskesmas/lapangan/ rumah sakit/laboratorium klinik untuk
menentukan:

● Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).

● Spesies dan stadium plasmodium

● Kepadatan parasit.
● Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test) Mekanisme
kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda
imunokromatografi.18

PENATALAKSANAAN

● Malaria falsiparum
Amodiakuin basa 10 mg/kgbb , Artesunat 4 mg/kgbb, Primakuin untuk malaria
falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,25 mg/kgBB.18
● Malaria vivax dan malaria ovale
Klorokuin diberikan 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg
basa/kgbb. Dosis Primakuin adalah 0.25 mg/kgbb per hari yang diberikan selama 14
hari dan diberikan bersama klorokuin.
● Malaria malariae
Cukup diberikan dengan klorokuin 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25
mg basa/kgbb. Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur
penderita.18

KOMPLIKASI18

● Malaria serebral

● Gagal ginjal akut

● Demam kencing hitam (black water fever)

● Anemia berat

● Gangguan fungsi hati

● Edema paru

● Pendarahan spontan
● Hiperpireksia

● Sepsis

3. DEMAM TIFOID
DEFINISI

Demam tifoid adalah infeksi akut saluran cerna yang disebabkan oleh
Salmonella typhi . Demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat
menurunkan tingkat kesadaran. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang
disebabkan oleh Salmonella Paratyphi A,B, dan C. Gejala dan tanda penyakit tersebut
hampir sama, nanum manifestasi paratifoid lebih ringan.19

ETIOLOGI

Disebabkan s.typhi dan s. paratyphi merupakan bakteri gram negative,


berbentuk basil dan bersiat anaerob fakultatif. Demam tifoid disebabkan oleh infeksi
bakteri yang bernama bakteri Salmonella typhi atau yang disingkat dengan bakteri S.
typhi. Bakteri ini merupakan genus Salmonella yang dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang tercemar. Penyebarannya terjadi melalui fecal-oral. 19

EPIDEMIOLOGI

Insiden demam tifoid di seluruh dunia pada tahun 2000 mencapai 21,7 juta kasus
dengan mortaliras 1%, utamanya terjadi di asia.insiden di seluruh dunia pada tahun
2010 dipekirakan mencapai 26,9 juta kasus dengan mortalitas 1%.demam tifoid di
asia tenggara paling banyak terjadi pada anak<5 tahun.19

Faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian demam tifoid

1) Usia Pada usia 3-19 tahun peluang terkena demam tifoid lebih besar, orang
pada usia tersebut cederung memiliki aktivitas fisik yang banyak, kurang
memperhatikan higene dan santitasi makanan. Pada usia-usia tersebut, orang akan
cenderung memilih makan di luar rumah atau jajan di sembarang tempat yang tidak
memperhatikan higene dan sanitasi makanan. Insiden terbesar demam tifoid terjadi
pada anak sekolah, berkaitan dengan faktor higenitas. Kuman Salmonella typhi
banyak berkembang biak pada makanan yang kurang terjaga higenitasnya.20

2) Status Gizi. Status gizi yang kurang akan menurunkan daya tahan tubuh,
sehingga anak mudah terserang penyakit, bahkan status gizi yang buruk akan
menyebabkan tingginya angka mortalitas terhadap demam tifoid).20

3) Riwayat Demam tifoid Riwayat. Demam tifoid dapat terjadi dan berlangsung
dalam waktu yang pendek pada mereka yang mendapat infeksi ringan dengan
demikian kekebalan mereka juga lemah. Riwayat demam tifoid akan terjadi bila
pengobatan sebelumnya tidak adekuat, sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak
diobati akan mengakibatkan timbulnya riwayat demam tifoid. Riwayat demam tifoid
dipengaruhi oleh imunitas, kebersihan, konsumsi makanan, dan lingkungan.20

PATOGENESIS

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui


beberapa tahapan. Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke
dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi. Setelah kuman Salmonella typhi
tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam
tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Jika respon imunitas humoral usus
kurang baik, kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan lamina propina. Di
Lamina propina kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit tertutama
makrofag.19,20

Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala
dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini
terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh
tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati,
limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag.
Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam system peredaran
darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya
periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam,
sakit kepala dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu
bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patches di mukosa ileum
terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang
mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat
menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam
organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi
kembali.19,20

MANIFESTASI KLINIS

Gejala demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala ringan yang tidak memerlukan
perawatan hingga gejala berat yang memerlukan perawatan. Masa inkubasi demam
tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Pada awal periode penyakit ini, penderita
demam tifoid mengalami demam. Sifat demam adalah meningkat perlahanlahan
terutama pada sore hingga malam hari. Pada saat demam tinggi, dapat disertai dengan
gangguan system saraf pusat, seperti kesadaran menurun, penurunan kesadaran mulai
dari apatis sampai koma.

Gejala sistemik lain yang menyertai adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia,
nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Gejala gastrointestinal pada
kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obtipasi, atau
optipasi kemudian disusul dengan diare, lidah tampak kotor dengan warna putih
ditengah, hepatomegaly dan splenomegaly.Tanda vital didapatkan bradikardia
relative.19

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) darah perifer lengkap

Leukopenia (dapat terjadi leukosistosis pada anak atau bila terjadi perforasi
dan infeksi sekunder). Neutropenia, trombositopenia (penanda infeksi berat disertai
koagulasi intravascular diseminata).19

2) Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya kuman Salmonella typhi. Pada uji
widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan dalam uji widal ini adalah kuman S.typhi
yang sudah dinonaktifkan. Uji widal dimaksudkan untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : a) Aglutinin O (dari
tubuh kuman) b) Aglutinin H (flagella kuman) c) aglutinin Vi (simpai kuman). Dari
ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
mendiagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titer, semakin tinggi kemungkinan
infeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir minggu I demam,
kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada minggu ke IV. Pada fase akut,
awalnya timbul aglutinin O, kemudian diikuti mucul aglutinin H. Pada orang sembuh
masih dijumpai aglutinin O setelah 4-6 bulan. Sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama 9-12 bulan.19

3) Uji Typhidot

Uji typhidot dilakukan untuk mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membrane luar Salmonella typhi . Hasil positif didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG yang
terdapat dalam antigen Salmonella typhi. Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder
IgG teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit dideteksi. IgG dapat bertahan 2
tahun setelah pendeteksian, sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan kasus
infeksi akut dan kasus reinfeksi. 19

4) IgM Dipstick

Uji ini digunakan untuk mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi
pada specimen serum. Pemeriksaan ini menggunakan strip yang mengandung antigen
liposakarida S.typhi dan anti IgM (sebagai control). Pemeriksaan ini mudah dan cepat
dapat dilakukan dalam 1 hari, tanpa memerlukan alat khusus, namun akurasi yang di
dapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala. 19

5) kultur

Kultur merupakan standar baku dalam menegakkan diagnosis. Kultur darah,


feses dan urin sebaiknya dilakukan. Kultur darah biasanya positif pada awal 2 minggu
pertama, tapi kultur feses biasanya positif selama minggu ke 3 hingga ke 5.
Sedangkan kultur urin pada minggu ke 4. Jika kultur tersebut negatif tetapi secara
klinis suspek kuat demam tifoid, maka kultur biopsi spesimen sumsum tulang
belakang dapat dijadikan pertimbangan untuk mencari kuman Salmonella. Tingkat
sensitivitas kultur sumsum tulang mencapai 55-90% dan tidak seperti kultur darah,
hasil kultur tidak berkurang walaupun setelah 5 hari pemberian antibiotik
sebelumnya. Akan tetapi, metode ini memakan waktu lama dengan tingkat sensitivitas
dan spesifisitas yang relatif rendah, dan juga memerlukan fasilitas laboratorium yang
khusus. 19

KOMPLIKASI

1) Pendarahan Interestinal

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk luka lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah maka akan terjadi pendarahan. Selanjutnya jika luka menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena luka, pendarahan juga dapat
terjadi karena koagulasi darah.20

2) Perforasi usus

Perforasi usus biasanya terjadi pada minggu ketiga, namun juga dapat timbul
pada minggu pertama. Gejala yang terjadi adalah nyeri perut hebat di kuadran kanan
bawah kemudian menyebar ke seluruh perut. Tanda-tanda lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun dan bahkan dapat terjadi syok leukositosis dengan pergeseran ke
kiri dengan menyokong adanya perforasi.20

PENATALAKSANAAN

1) Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring adalah
perawatan ditempat, termasuk makan, minum, mandi, buang air besar, dan buang air
kecil akan membantu proses penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan
perlengkapan yang dipakai.21

2) Diet dan terapi penunjang


Diet merupakan hal penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid.
Berdasarkan tingkat kesembuhan pasien, awalnya pasien diberi makan bubur saring,
kemudian bubur kasar, dan ditingkatkan menjadi nasi. Pemberian bubur saring
bertujuan untuk menghindari komplikasi dan pendaraham usus.21

3) Pemberian Antimikroba

Pemberian antimikroba bertujuan untuk menghentikan dan menghambat


penyebaran kuman. Obat-obatan yang sering digunakan adalah kloramfenikol,
tiamfenikol, ampisilin, dan kontrimoksasol ( sulfametaksosal 400 mg + trimetoprin 80
mg).21

Farmakologi

Terapi antibiotik:
1. Kloramfenikoll : 50-100mg/kgBB/hari, dewasa 2-3 g / hari dibagi 4 dosis
2. Ampisilin : iv 4 x 2 g
3. Amoksisilin: 75-100mg/kgbb/hari, dewasa po 3x1 g
4. Ceftriaxone IM/IV 1-2 g per hari IV; selama 7-10 hari
5. Ciprofloxacin, Levofloxacin atau FQ+ Oral/IV FQ lainnya diberikan dalam
dosis penuh sesuai anjuran; untuk 7-10 hari
6. Azitromisin Oral 500 mg dua kali sehari selama 5 hari
7. Cefixime-Ofloxacin Oral 200-200 mg; selama 7-14 hari.21

PROGNOSIS

Prognosis bergantung pada ketepatan diagnosis dan pemberian antibiotic yang


sesuai.relaps dapat terjaadi pada 2-4 % anaj yang sudah mendapat terapi.risiko
menjadi karier kronik meningkat seiring bertambahnya usia.mortalitas 10-32% pada
pasien dengan komplikasi perforasi usus.19

4. TETANUS
DEFINISI

Tetanus merupakan suatu penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh


bakteri gram positif Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan neurotoksin yang
akan menghambat pelepasan neurotransmiter di susunan saraf pusat. Tetanus ditandai
dengan gejala spasme otot berat dan periodik. Sampai saat ini tetanus masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang karena akses program
imunisasi yang buruk. Penatalaksanaan tetanus yang adekuat juga membutuhkan
fasilitas intensive care unit (ICU) tapi hal ini jarang tersedia pada sebagian besar
penderita tetanus berat.23

ETIOLOGI

Penyakit tetanus disebabkan oleh pelepasan eksotoksin oleh bakteri


Clostridium tetani dimana bakteri ini bersifat anaerob obligat. Bakteri ini bisa
ditemukan dimana saja dan bisa bertahan pada berbagai kondisi lingkungan ekstrim
dalam waktu yang lama karena sifat dari sporanya yang sangat kuat. Bakteri ini akan
masuk ke dalam tubuh seseorang akibat adanya kontaminasi pada kulit yang abrasi,
luka tusuk minor atau ujung potongan umbilikus pada neonates, pada 20% kasus
tetanus bahkan tidak ditemukan tempat masuknya.23

EPIDEMIOLOGI

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh


dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60% (WHO, 2011). Selama 30 tahun
terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials)
mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus
tetanus yang dilaporkan ke World Health Organization (WHO). Sekitar 76 negara,
termasuk di dalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali
tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar
3% tetanus neonatorum yang dilaporkan (Thwaites & Farrar, 2003). Berdasarkan data
penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka pada tahun 2002 dan data dari
Vietnam diperkirakan insidensi tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 –
1.000.000 kasus per tahun.22

Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab
kematian pada anak (Pusponegoro dkk., 2004). Meskipun insidensi tetanus saat ini
sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%.
Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun
penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi
sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih
lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka
kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.22

FAKTOR RISIKO

1. Kekebalan terhadap tetanus tidak ada yang diperoleh secara alami. Kekebalan tersebut
hanya dapat diperoleh dengan imunisasi aktif ataupun pasif. Pemulihan dari penyakit
tetanus tidak memberikan kekebalan untuk infeksi berikutnya. Hal ini disebabkan
oleh karena tetanospasmin dalam jumlah yang kecil sudah dapat menimbulkan
penyakit tetapi tidak cukup untuk merangsang antibodi. Dengan demikian, seseorang
yang tidak pernah mendapatkan imunisasi tersebut berisiko menderita tetanus apabila
terinfeksi C.tetani.24
2. Imunisasi tetanus toksoid terakhir yang sudah lebih dari 10 tahun
3. Bayi dapat terlindungi oleh antibodi tetanus dari ibu melalui plasenta. Sehingga bayi
yang dilahirkan dari ibu yang memiliki riwayat imunisasi tetanus tidak adekuat
memiliki risiko lebih tinggi menderita penyakit ini.
4. Penderita HIV/AIDS ataupun seseorang dengan kondisi immunocompromised
meskipun telah memperoleh imunisasi, dapat mengalami respon imun yang lebih
rendah.
5. Usia >65 tahun memiliki risiko kematian akibat tetanus 5% lebih tinggi dari golongan
umur lainnya.24

PATOGENESIS

Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk.2 Cara masuknya spora ini
melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka
lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–
kadang luka tersebut hampir tak terlihat.25

Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob


sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang mati, benda–
benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. 2
Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin,
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak berhubungan dengan
pathogenesis penyakit. Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus,
adalah neurotoksin yang mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut.
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat suasana
anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani untuk hidup dan memproduksi
toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan
secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja.25

Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi dan


secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi khususnya toksin
tersebut menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang
spesifik menginhibisi neuron motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas
tidak teregulasi dari sistem saraf motorik.25

Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang


berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi,
keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini
dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada
jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.25

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot
yang terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot bertambah secara progresif
dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada
minggu kedua. Disotonomia (gangguan otonom) mulai terlihat pada akhir minggu
pertama.24

Kriteria diagnosis tetanus yang mungkin dapat digunakan adalah:

1. Semua penyakit dengan gejala hipertonia akut dan/atau kontraksi otot yang
nyeri (bisanya rahang dan leher) dan spasme otot umum tanpa penyebab lain
seperti reaksi obat, penyakit saraf lain atau histeria.
2. Tidak ada riwayat kontak dengan stricnin/ strychnine (zat alkaloid bersifat
racun, seperti dalam pestisida)
3. Perjalanan penyakit tersebut konsisten dengan tetanus
4. Pada fase lanjut dimonitor adanya ganguan saraf otonom yaitu sindrom
hiperreaktivitas otonom

Kriteria mayor Kriteria minor

Tekanan darah yang tidak stabil (naik dan turun) Keringat berlebihan Ileus paralitik
Tanda minor lainnya
Aritmia

Denyut jantung yng tidak stabil (naik- turun)

Adanya 2 tanda mayor atau satu tanda mayor dan 2 tanda minor menunjukkan adanya
sindroma hiperreaktivitas otonom.24

Kriteria beratnya tetanus dapat ditentukan dengan klasifikasi Ablett’s sebagai berikut:
- Grade I (ringan): trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada
gangguan pernapasan, tidak ada spasme, tidak ada disfagia
- Grade II (moderat): trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan sampai
sedang namun singkat,disfagia ringan, gangguan respirasi ringan dengan tachypnea
(RR>30 kali/menit)
- Grade III (berat) : trismus berat, spastisitas menyeluruh, refleks spasme dan seringkali
spasme spontan yang memanjang, gangguan napas dengan sesak dan terengah-engah
(apnoetic spells), disfagia berat, peningkatan aktivitas saraf otonom sedang, RR>40
kali/menit)
- Grade IV (sangat berat): seperti grade III ditambah gangguan otonom hebat yang
menyebabkan badai otonom.24

DIAGNOSIS

Tetanus didiagnosis berdasarkan gejala klinis. Hingga saat ini belum ada
pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus. Kuman C. tetani tidak tumbuh
pada saat dikultur dari sampel yang berasal dari luka terkontaminasi. Tes spatula
dengan menyentuhkan ujung spatula pada dinding faring akan direspon dengan
gigitan kuat pada spatula tersebut, tes ini spesifik dan sensitif untuk diagnosis
tetanus.24

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu :

● Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit
pada otot
sekitar proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus
umum
● Tetanus sefalik
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari,
disebabkan oleh luka daerah kepala atau otitis media kronis. Gejala berupa
trismus, disfagia, risus sardonicus dan disfungsi nervus kranial
● Tetanus umum/generalisata
Gejala klinis berupa trismus, iritabel,kekakuan leher, susah menelan,
kekakuandadan dan perut (opistotonus), rasa sakit dan cemas serta kejang
umum apabila dirangsang oleh sinar, suara dan sentuhan.
● Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, akibat infeksi tali pusat. Gejala yang
timbul adalah

ANAMNESIS

1. Anamnesis gejala awal seperti kekakuan pada otot wajah dan leher, kesulitan
menelan, rahang sulit dibuka (trismus), kaku otot wajah (risus sardonicus)
2. Anamnesis gejala lanjut tetanus seperti kaku pada punggung, perut dan ekstremitas,
sesak napas dan sulit bergerak
3. Anamnesis munculnya gejala otonom pada pasien seperti hipersalivasi, palpitasi,
sesak napas
4. Riwayat adanya luka yang terkontaminasi, seperti luka trauma akibat benda tajam
yang kotor, luka akibat infeksi bakteri, jaringan nekrosis, infeksi gigi, otitis media,
suntikan intravena dan intramuskular, akupuntur, luka bakar, ulkus, gangren dan
gigitan hewan.
5. Anamnesis munculnya gejala untuk menentukan kriteria dan prognosis tetanus
6. Riwayat imunisasi dasar pasien berupa vaksin DPT, dan imunisasi tambahan berupa
vaksin TT.
7. Riwayat alergi terhadap vaksin.24

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan keadaan umum : Pasien tampak sakit disertai gelisah jika ada rangsangan sinar,
suara dan sentuhan, seluruh badan tampak kaku
Pemeriksaan tanda vital :

1. Tekanan darah : Mengetahui adanya gangguan saraf otonom pada pasien seperti
hipertensi dan hipotensi.
2. Nadi : Mengetahui adanya gangguan saraf otonom seperti takikardi yang diselingi
bradikardi
3. Respirasi : Adanya sesak napas menyebabkan tachypnea
4. Suhu
5. Tes menggunakan spatula (spatula test) dengan cara menyentukan instrumen
berbahan lunak pada dinding faring posterior didapatkan spasme pada otot mandibula.
Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas 100% dan sensitivitas 94%.24

Pemeriksaan fisik khusus tetanus dapat ditemukan:

● Rigiditas abdomen, seringkali disebut sebagai perut papan


● Kontraksi otot wajah menyebabkan ekspresi wajah khas yang disebut dengan risus
sardonicus/risus smile
● Kontraksi otot rahang dan leher menyebabkan retraksi kepala.
● Kontraksi berat otot masseter (trismus/ lock jaw)
● Spasme otot menelan menyebabkan disfagia
● Spasme berat pada otot batang tubuh (opistotonus), dapat menyebabkan kesulitan
bernapas akibat berkurangnya komplians otot dinding dada
● Obstruksi laring akibat spasme laring dan faring.24
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Diagnosis tetanus ditentukan berdasarkan gejala klinis pasien dan tidak ada
pemeriksaan penunjang yang spesifik.24
2. Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan darah lengkap, GDS, SGOT,SGPT,
Albumin, elektrolit, ureum dan kreatinin serta faal hemostasis untuk menentukan
tatalaksana suportif.24
3. Pemeriksaan EKG dilakukan untuk mengetahui adanya efek gangguan saraf otonom
yang menyebabkan aritmia hingga asistole, ataupun miokarditis dengan gambaran
seperti infark miokard dengan ST elevasi.24

KOMPLIKASI

Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas
sehingga pada tetanus yang berat , terkadang memerlukan bantuan ventilator.Sekitar
kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan karena komplikasinya.Kejang yang
berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang
panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut.26

Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang


berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang
didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat bermasalah pada
pengguna narkoba dan pasien usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi
akhir yang umum dari tetanus, ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi.26

Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena
pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi
hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi.
Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat bisa
diandalkan. Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi
otonom.26
PENATALAKSANAAN

Tiga prinsip utama dalam tata laksana tetanus adalah :(1) Mencegah pelepasan
toksin lebih lanjut (2) menetralisasi toksin yang ada didalam tubuh (3) Minimalisir
efek toksin yang sudah ada di susunan saraf pusat. Pada penanganan pasien tetanus di
ruang ICU bisa diberikan terapi suportif dimana fokus utamanya pada pengontrolan
sistem pernafasan, pengendalian kondisi instabilitas fungsi otonom, dan
menghentikan spasme otot.Pada pasien ini tidak segera dilakukan intubasi ataupun
trakeostomi karena saat ini airway masih bagus dan aman.23

Untuk menetralisir toksin, pada pasien diberikan terapi tetagam 3000 IU


dibagi menjadi 3 dosis yang sama dan diberikan di 3 tempat yang berbeda secara
intramuscular. Pada pasien ini diberikan dilengan kanan, kiri, dan paha kanan.
Antitoksin diberikan untuk menetralisir toksin yang belum terikat dan tidak berefek
untuk toksin yang sudah berada di sistem saraf terminal.23

Pada pasien juga diberikan antibiotik metronidazole 4x500 mg iv. Antibiotika


diberikan untuk mengeradikasi bakteri. Metronidazol efektif mengurangi jumlah
kuman C. tetani bentuk vegetatif. Pemberian metronidazole dengan dosis 500 mg iv
setiap 6 jam merupakan terapi pilihan utama pada kasus tetanus. Antibiotik lini kedua
adalah prokain penisilin dengan dosis 100.000-200.00/ kgbb/hari iv diberikan dalam
2-4 dosis terbagi. Tetrasiklin, makrolide, klindamisin, sefalosporin dan kloramfenikol
juga merupakan terapi alternatif lainnya yang bisa diberikan.23

Spasme otot dan kekakuan pada pasien ini diatasi dengan memberikan
diazepam mulai dari dosis 30 mg/24 jam via syringe pump, tapi pasien masih
mengalami spasme berulang frekuensi setiap jam. Dosis dinaikkan bertahap sampai
spasme teratasi. Dosis yang diberikan pada pasien ini mencapai 120 mg/24 jam.
Pasien dirawat di ICU selama 10 hari. Pemberian sedasi dan menghindari stimulasi
yang tidak perlu adalah pengobatan utama untuk mengontrol spasme dan disfungsi
otonom. Kondisi ini dicapai dengan memberikan benzodiazepin (agonis GABA)
seperti diazepam atau midazolam. Untuk orang dewasa, diazepam intravena diberikan
dengan dosis awal 5mg iv, atau lorazepam dengan dosis 2 mg iv, dosis dititrasi
sampai kejang terkontrol. Pada kondisi yang berat dibutuhkan dosis mencapai 600
mg/hari. Sediaan oral dapat digunakan tetapi harus disertai dengan pemantauan yang
ketat untuk menghindari depresi atau henti napas.23

Pada pasien tetanus harus diberikan cairan dan nutrisi yang adekuat, baik
enteral maupun parenteral. Pada pasien ini diberikan cairan parenteral berupa ringer
laktat, aminofluid dan dextrose 5%, dan juga diberikan makanan cair tinggi kalori
melalui NGT. Pemberian makanan enteral harus dimulai sedini mungkin untuk
mencegah terjadinya kondisi malnutrisi yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk
menelan, peningkatan laju metabolisme tubuh, disfungsi otonom dan aktivitas otot
yang berlebihan.Kejang pada tetanus menyebabkan metabolisme tubuh meningkat
dan kondisi katabolik sehingga dukungan nutrisi yang adekuat akan meningkatkan
peluang hidup.23

PENCEGAHAN

Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan


pemberian ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam
memberikan proteksi pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting, mengingat
perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:

1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali diproduksi pada tahun
1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer selama perang dunia II.
Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid
dan fluid toxoid. TT tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi
dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis
aselular sebagai DaPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung
10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin
pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Untuk
mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian
imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang
berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi
TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT
harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut: dosis
pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau
sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu
setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua
atau setiap saat.22

pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan


interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas
pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT
yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang
riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu anak-anak,
cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi
perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.22

2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari
imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan adalah jangan
membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting
tali pusat, mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak
dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.22

3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis


Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka
baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi
aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan
sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun: 4 IU/kg
IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun: 250 IU
IM dosis tunggal.22

PROGNOSIS
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keparahannya menjadi ringan
(bila tidak ada kejang umum/generalized spam), sedang (bila sekali muncul kejang
umum), berat (bila kejang umum yang berat sering terjadi).

Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi. Makin
pendek masa inkubasi, prognosis makin buruk. Terdapat beberapa sistem penilaian
tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah yang paling banyak digunakan.26

Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus
seperti Dakar score dan Phillips score. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria
periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak.
Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score <9,
severitas ringan; 9−18, severitas sedang; dan >18, severitas
berat. Dakar score 0−1, severitas ringan dengan mortalitas10%;
2−3, severitas sedang dengan mortalitas 10%−20%; 4, severitas
berat dengan mortalitas 20%−40%; 5−6, severitas sangat berat
dengan mortalitas >50%. Outcome pasien tetanus tergantung berat penyakit
dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari
60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13%
sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang pada pasien yang berhasil
selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna.
Beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan
gangguan keseimbangan, berbicara,dan memori.26
LEPTOSPIROSIS MALARIA DEMAM TETANUS
TIFOID

Laki-laki √ - - √
Demam √ √ √ √
Mual √ √ √ -

Muntah √ √ √ -

Nyeri betis √ - - √
Kencing seperti √ - - -
teh

Riwayat √ - - √
kebanjiran

Ikterus √ √ - -

Injeksi √ - - -
Konjungtiva

Nyeri tekan √ - - √
gastrocnemius

7.Tatalaksana awal sesuai skenario


Farmakologi
a. Pemberian Antipiretik
- Paracetamol
Paracetamol atau acetaminophen merupakan obat pilihan pertama untuk
menurunkan suhu tubuh. Dosis parasetamol dewasa 500 mg/kg/BB, sedang
pada anak 15 mg/kg/BB per 6 jam
- Ibuprofen
Ibuprofen merupakan obat penurun panas

b. Pemberian anti emetik


Biasanya diberikan bila pasien mengalami muntah hebat.
Omeprazole 20 – 40 mg per hari
c. Pemberian antimikroba
Pilihan utama: Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas
demam. Alternatif lain:
● Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
● Kotrimoksazo1 2 x 960 mg selama 2 minggu
● Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
● Sefalosporin generasi Ill ; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc selama I/2 jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari
● Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2 X 1 gram
● Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari Ill atau menjelang hari IV]:
● Norfloksasin 2 x 400 mg/ hari selama 14 hari
● Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
● Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari. 15
Non Farmakologi
Tindakan non farmakologis terhadap penurunan panas yang dapat dilakukan seperti:
1) Tirah baring, selama masih demam
2) Memberikan minuman yang banyak
3) Tempatkan dalam ruangan bersuhu normal
4) Menggunakan pakaian yang tidak tebal
5) Memberikan kompres.15

8. Pencegahan sesuai skenario


● Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
● Mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan.
● Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di
sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat yang tercemar lainnya.
● Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis ( petugas kebersihan,
petani, petugas pemotong hewan dan lain lain ) dengan menggunakan sepatu bot dan
sarung tangan.
● Menjaga kebersihan lingkungan.
● Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah.
● Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang.
● Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung.
● Menghindari pencemaran oleh tikus.
● Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar oleh tikus.
● Meningkatkan penangkapan tikus.27

9. Perspektif Islam sesuai skenario


Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Janganlah Engkau mencela demam. Karena demam itu bisa menghilangkan
kesalahan-kesalahan (dosa) manusia, sebagaimana kiir (alat yang dipakai pandai besi) bisa
menghilangkan karat besi.” (HR. Muslim no. 2575)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W, dkk, editor 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Hall, John E. Arthur C Guyton. 2016. Buku Ajar fisiologi Kedokteran. Edisi 12
3. Brooks, G.F., Butel, J.S., Ornston, L.N., et all: Medical Microbiology, 20 th edition, Prentice-
Hall International Inc,
4. Sungkar, S .2011. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit FK UI
5. Natadisaatra, D dan Agoes, R .2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. Jakarta: EGC
6. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 1022.
7. Maoling, dkk. 2015. Acute Macular Neurothinapthy in Dengue Fever.
8. Zein, D. A. (2015). Gambaran Karakteristik Warning Sign Who 2009 Pada Penyakit
Demam Berdarah Dengue ( Dbd ) Anak Dan Dewasa. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, 8–29
9. Su, D.H., Bascal, K., Chee, S.P., Flores, J.V.P., Lim, W.K., Chen, B.C.L., Jap, A.H.
Prevalence of dengue maculopathy in patients hospitalized for dengue fever.
Ophthalmology 2007; 114(3): 1743- 1747.
10. P.N. Harijanto. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
11. Tim Penulis. 2017. Kumpulan Manual Keterampilan Klinik dan Laboratorium
Kedokteran Tropis. Makassar: Fakultas Kedokteran UNHAS
12. uminem, Nataniel Tandirogang, Rahmat Bahtiar, dkk. 2020. Modul Penyakit Tropis.
Fakultas Keddokteraan Universitas Mulawarman.
13. Wang S, Stobart Gallagher MA, Dunn N. Leptospirosis. [Updated 2022 Oct 17]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441858/
14. Haake DA, Levett PN. Leptospirosis in humans. Curr Top Microbiol Immunol.
2015;387:65-97. doi: 10.1007/978-3-662-45059-8_5. PMID: 25388133; PMCID:
PMC4442676. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4442676/
15. Rajapakse S. Leptospirosis: clinical aspects. Clin Med (Lond). 2022 Jan;22(1):14-17.
doi: 10.7861/clinmed.2021-0784. PMID: 35078790; PMCID: PMC8813018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8813018/
16. Fitriany, Julia., Sabiq, Ahmad. 2018. Malaria. Fakultas Kedokteran. Universitas
Malikussaleh. Jurnal Averrous Vol.4 No.2 2018
17. Kemenkes RI. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta: Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI
18. Alami, Restu,. Adriyani, Retno. 2016. Tindakan Pencegahan Malaria di Desa
Sudorogo Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Jurnal Promkes, Vol. 4, No.
2 Desember 2016
19. Chris Tanto, Frans Liwang, Sonia Hanifati EAP. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II
Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius. 2020.
20. Mahmudah rifqotul.2019. STUDI KASUS PROSES ASUHAN GIZI TERSTANDAR
PADA PASIEN DEMAM TIFOID.politeknik kesehatan,Yogyakarta.

21. Hartanto darius.2021.Diagnosis dan tatalaksana demam tifoid pada


dewasa.continuing medical education.

22. Simanjuntak P. 2013. PENATALAKSANAAN TETANUS PADA PASIEN ANAK.


Volume 1, Nomor 4. Medula

23. Maryanti, Y. 2022. Laporan Kasus Diagnosis dan Tata Laksana Tetanus
Generalisata. Jilid 16, Nomor 2. Hal. 134-138. Jurnal Ilmu Kedokteran (Journal of
Medical Science)

24. Modul Dasar Penguatan kompetensi dokter di tingkat pelayanan primer. TETANUS

25. Hassel B. Tetanus: pathophysiology, treatment, and the possibility of using


botulinum toxin against tetanus-induced rigidity and spasms. Toxins (Basel).
2013 Jan 8;5(1):73-83. doi: 10.3390/toxins5010073. PMID: 23299659;
PMCID: PMC3564069.
26. Laksmana, J. Aditya R. 2018. Laporan Kasus Pengelolaan Pasien Tetanus di
Intensive Care Unit. Vol 36. No 3. Anasthesia & critical care
27. Zein, Umar. Leptospirosis. Dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III edisi IV.
Jakarta : pusat penerbitan Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5.
28. Isselbacher, et al. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Indonesia: EGC.
Edisi 13. Volume 1
29. Joseph A, Samant H. Jaundice. [Updated 2023 Aug 8]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from: https://www-
ncbi-nlm-nih-gov.translate.goog/books/NBK544252/?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
30. Singh RB, Liu L, Anchouche S, Yung A, Mittal SK, Blanco T, Dohlman TH,
Yin J, Dana R. Ocular redness - I: Etiology, pathogenesis, and assessment of
conjunctival hyperemia. Ocul Surf. 2021 Jul;21:134-144. doi:
10.1016/j.jtos.2021.05.003. Epub 2021 May 16. PMID: 34010701; PMCID:
PMC8328962.

Anda mungkin juga menyukai