Anda di halaman 1dari 72

LAPORAN TUTORIAL MODUL 1

DEMAM
BLOK KEDOKTERAN TROPIS

KELOMPOK : V
TUTOR : dr. Ika Elyana

K1A1 13 074 Salomena Wambrauw K1A1 15 090 Mujahidah Yunus

K1A1 13 088Noviana Suko Betteng K1A1 15 091Mustaufan Dwi Wibowo

K1A1 15 019 Islah Amaliah K1A1 15 092 Nadhrah Razak

K1A1 15 021Jumadil Rahmat K1A1 15 152 Dian Fajar Febrianti

K1A1 15 022 La Ode Mujahiddin Marjan K1A1 15 153 Adit Metro Putra Prasetya

K1A1 15 086 Muhamad Zainsa Asfar K1A1 15 155Nur Annisa Kadir

K1A1 15 089Muhammad Nurjayadin

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
A.
A. Skenario
Seorang Laki-laki berumur 22 tahun dating kepuskesmas dengan keluhan
demam selama seminggu, selera makan kurang dan disertai sakit kepala. Sepuluh hari
yang lalu baru datang dari papua.
B. Kata Kunci
1. Laki –laki 22 tahun
2. Demam 1 minggu, selera makan kurang, serta sakit kepala
3. Sepuluh hari lalu baru dating dari papua
C. Pertanyaan
1. Jelaskan Pengertian Penyakit Menular, Penyakit tidak Menular, Penyakit
Infeksi dan Penyakit non Infeksi
2. Jelaskan Definisi Demam dan Klasifikasinya
3. Jelaskan penyakit-penyakit yang menimbulkan demam pada daerah tropis dan
etiologinya
4. Jelaskan Patomekanisme setiap gejala
a. Demam
b. Nafsu makan turun
c. Sakit Kepala
5. Bagaimana Hubungan Kasus pada Skenario dengan riwayat penderita baru
dating dari papua sepuluh hari yang lalu.
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis pada skenario
7. Jelaskan Diferensial diagnosis dari kasus
D. Pembahasan
1. Pengetian penyakit tidak menular, penyakit menular, penyakit infeksi
dan penyakit non infeksi
Proses terjadinya penyakit merupakan interaksi antara agen penyakit,
manusia (Host) dan lingkungan sekitarnya. Untuk penyakit menular, proses
terjadinya penyakit akibat interaksi antara : Agent penyakit (mikroorganisme
hidup), manusia dan lingkungan sedangkan untuk penyakit tidak menular
proses terjadinya penyakit akibat interaksi antara agen penyakit (non living
agent), manusia dan lingkungan. Penyakit tidak menular dapat bersifat akut
dapat juga bersifat kronis.
Sedangkan penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogen baik itu virus, bakteri, parasit yang mengganggu
sistem tubuh manusia sedangkan penyakit non infeksi meruapakan penyakit
yang bukan disebabkan mikroorganisme melainkan akibat adanya
abnormalitas dari fungsi tubuh manusia sendiri1.
2. Definisi Demam dan Klasifikasinya
a. Definisi Demam
Kata demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi
atau peradangan. Sebagai respon terhadap masuknya mikroba, sel-sel
fagositik (makrofag) mengeluarkan bahan kimia yang dikenal dengan
pirogen endogen yang efeknya melawan infeksi, yang bekerja pada pusat
termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat.
b. Klasifikasi demam
1. Demam Septik merupakan tipe demam yang suhu tubuh berangsur
naik ketingkat yang lebih tinggi sekali pada malam hari dan turun
kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering disertai
keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut
turun ketingkat yang normal dinamakan demam hektik.
2. Demam Remitten merupakan tipe demam dimana suhu tubuh turun
setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu normal.
Gambar. 1 Kurva Demam Remitten

3. Demam intermiten merupakan tipe demam dimana suhu tubuh turun


ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila
demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tertiana dan bila
terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut
kuartana.

Gambar. 2 Kurva Demam intermitten


4. Demam Kontinyu merupakan tipe demam dimana suhu tubuh
sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat
demam yang terus menerus tinggi disebut hiperpireksia.
Gambar.3 Kurva demam Kontinyu
5. Demam Siklik merupakan tipe demam dimana suhu tubuh terjadi
kenaikan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demem
untuk beberapa hari yang kemudian diikuti kenaikan suhu seperti
semula2, 3.

Gambar. 4 Kurva Demam Siklik


3. Penyakit-penyakit yang menimbulkan demam pada daerah tropis dan
etiologinya
a. Difteria
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal
pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil Gram positif
Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacteria ulcerans yang ditandai
oleh terbentuknya eksudat berbentuk membran pada tempat infeksi dan
diikuti gejala umum yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh
basil ini.
Pasien dengan difteri pada umumnya datang dengan keluhan-
keluhanDemam (jarang 103. (50-85%) dan kadang kadang menggigil
Malaise Sakit tenggorokan (85-90%) Sakit kepala Limfadenopati saluran
pernapasan dan pembentukan pseudomembran (sekitar 50%) suara serak,
disfagia (26-40%) Dispnea, stridor pernapasan, mengi, batuk
b. Demam tifoid
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia.
Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang orang-orang yang dapat
menimbulkan wabah. Pennyakit ini disebabkan oleh masuknya kuman
salmonella typhi(s. typhi) dan salmonella paratyphi kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10- 14 hari, gejala-
gejala yang timbul sangat bervariasi dari berat, dari asimtomatik hingga
mencerminkan penyakit yang khas. Pada kehamilan pertama yang terjadi
antara lain demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis Pada pemeriksaan fisik Hanya terjadi peningkatan suhu badan.
Sifat demam adalah peningkatan kecepatan pada sakit hingga malam.
Dalam minggu kedua gejala-menjadi lebih jelas berupa bradikardia relatif
(bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1 ° C tidak diikuti
penyimpangan nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, ujung dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium,
atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia
c. Antraks
Antraks adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman
bacillus anthracis,suatu basil yang dapat membentuk spora dan ditularkan
ke manusia melalui kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan
dari binatang yang terkontaminasi. Penyakit ini disebabkan oleh B.
Antracis yang merupakan gram positif non motil dan bisa membentuk
sporulasi
d. Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikro organisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama sekali dikemukakan oleh Weil pada
tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini
dengan penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang
beratnya dikenal sebagai Weil's disease. Penyakit ini dikenal dengan
berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal
fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain.
e. DBD
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) (dengue
haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome
adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan syok.
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4
serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan
serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan
Flavivirus lain seperti Yellow fever Japanese encephalitis dan West Nile
virus. Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan
mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei
epidemilogi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue
pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan
virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia)
dan Toxorhynchites
f. Influenza
Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan
terutama ditandai oleh demam, gigil, sakit otot, sakit kepala dan sering
disertai pilek, sakit tenggorok batuk non produktif Lama sakit berlangsung
antara hari dan biasanya sembuh sendiri
Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B, dan C. Ketiga
tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixation test. Tipe B biasanya
hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada tipe A dan
kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemi. Tipe C adalah tipe
yang diragukan patogenitasnya untuk manusia, mungkin hanya
menyebabkan gangguan ringan saja. Virus penyebab influenza merupakan
suatu orthomyxovirus golongan RNA dan berdasarkan namanya sudah
jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk myxo atau musim
g. Campak
Campak merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi
pada anak,sangat infeksius, dapat menular sejak awalmasa prodromal (4
hari sebelum munculruam) sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya
ruam.1,2 Campak timbul karenaterpapar droplet yang mengandung virus
campak
Campak adalah penyakit virus akut yangdisebabkan oleh RNA virus
genus Morbillivirus,famili Paramyxoviridae.1,5,6 Virus ini dari famili
yang sama dengan virus gondongan (mumps), virus parain_uenza, virus
human metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus)
Campak dibagi menjadi 3 vase yaitu vase prodormal, exantem dan
penyembuhan. Pada vase prodormal ditandai dengan demam 39,5 c dan
demam tertinggi pada masa eksantem yaitu 40 c
h. Mumps
Mumps merupakan infeksi virus akut sistemik yang terutama
mengenai anak usia sekolah dan dewasa muda dengan manifestasi klinis
utama pembesaran kelenjar parotis.' Pada kepustakaan lama mumps
disebut sebagai parotitis epidemika. Infeksi ini umum- nya bersifat ringan
dan dapat sembuh sendiri, sepertiga orang terinfeksi tidak menunjukkan
gejala klinis. Pada orang dewasa dan usia tua manifestasi klinis biasanya
lebih berat.
Virus mumps merupakan famili Paramyxoviridae. Famili
Paramyroviridae mencakup Rubulavirus (virus mumps, virus New Castle
disease, virus parainfluenza tipe 2, 4b). Paramyxovirus (virus
parainfluenza tipe 1 dan 3). Morbilivirus (measles) dan Pneumovirus
(human respiratory syncytial virus).
i. Varisella
Varisela atau yang biasa kita kenal dengan cacar air atau chicken pox
adalah penyakit infeksi akut primer oleh Virus Varisela-Zoster (VVZ)
yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi,
disertai kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral
tubuh.1 Virus Varisela-Zoster memiliki amplop, berbentuk ikosahedral,
DNA berantai ganda, yang masih termasuk keluarga herpesvirus.
Varisela terdapat di seluruh dunia, dan tidak ada perbedaan ras
maupun jenis kelamin.3 Varisela dapat mengenai semua kelompok umur
termasuk neonatus, tetapi hampir sembilan puluh persen kasus mengenai
anak dibawah umur 10 tahun dan usia puncak terjadinya adalah 5-10
tahun. Penularan terjadi akibat kontak langsung, atau melalui udara
j. SARS
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi
saluran napas yang disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan
gejala klinis yang berat SARS berpotensi untuk menyebar dengan sangat
cepat sehingga menimbulkan implikasi yang besar bagi para tenaga
kesehatan. Selanjutnya, dengan meningkatnya jumlah penerbangan
internasional selama beberapa dekade terakhir, memungkinkan terjadinya
penyebaran infeksi SARS yang luas hingga lintas benua dan menjadi suatu
ancaman internasional.
Saat ini penyebab SARS sudah berhasil diketahui, yaitu berupa infeksi
virus yang tergolong ke dalam Genus Corona virus (Cov). Cov SARS
biasanya bersifat tidak stabil bila berada di lingkungan, Namun virus ini
mampu bertahan selama berhari-hari pada suhu kamar Virus ini juga
mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik bila masih berada di
dalam feses
k. Malaria
Infeksi malaria disebabkan oleh adanya parasit plasmodium didalam
darah atau jaringan yang dibuktikan dengan pemeriksaan mikroskopik
yang positif adanya antigen malaria dengan tes cepat, ditemukan DNA/
RNA parasit pada pemeriksaan PCR. Infeksi malaria dapat memberikan
gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Pada individu
yang imun dapat berlangsung tanpa gejala (asimtomatis) Penyakit Malaria
(malaria disease) ialah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
plasmodium didalam eritrosit dan biasanya disertai dengan gejala demam.
Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung
tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal
sebagai malaria berat. sejenis infeksi parasit yang menyerupai malaria
ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis.
Penyebab menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti
golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus plasmodium dari
famili plasmodidae, ordo Eucoccidiorida klas sporozoasida, dan phyllum
Apicomplexa Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel
darah merah) dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di
eritrosit. Pembiakan seksual pada tubuh nyamuk anopheles betina. Secara
keseluruhan ada lebih dari plasmodium yang menginfeksi binatang (82
pada jenis burung dan reptil dan 22 pada binatang primata) Sementara itu
terdapat empat plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, yang sering
dijumpai ialah plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana dan
plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika. Plasmodium
malariae pernah juga dijumpai pada kasus di Indonesia tetapi sangat
jarang. Plasmodium ovale pernah dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau
Timor, dan pulau (utara Irian Jaya). Sejak tahun 2004 telah dilaporkan
munculnya malaria baru sebagai malaria dikenal ke-5 (the fifth malaria)
yang disebabkan oleh plasmodium knowlesi yang sebelumnya hanya
menginfeksi monyet berekor panjang, namun sekarang dapat pula
menginfeksi manusia.
l. Diare
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi tinja yang lembek
biasanya meningkatkan frekuensi dan fokus dengan berat feses lebih dari
200g perhari. dinyatakan saat berlangsung kurang 14 hari, sebaliknya
persisten ketika terjadi antara 14-28 hari dan kronik bila lebih dari 4
minggu.
Bisa bersifat inflamasi atau noninflamasi. Diare noninflmasi bersifat
sekretorik (watery bisa mencapai lebih dari 1 liter per hari. Biasanya tidak
disertai dengan nyeri abdomen yang hebat dan tidak disertai darah atau
lendir pada feses. Demam dapat dijumpai bisa juga tidak. Gejala mual dan
muntah bisa dijumpai. Pada diare tipe ini penting diperhatikan kecukupan
cairan karena pada kondisi yang tidak terpantau dapat menyebabkan
terjadinya kehilangan cairan yang mengakibatkan syok hipovolemik.
Diare yang bersifat inflamasi bisa berupa sekretori atau disentri. Biasanya
disebabkan oleh patogen yang bersifat invasif Gejala mual, muntah
disertai dengan demam, nyeri perut hebat dan tenesmus, serta feses
berdarah dan berlendir merupakan gejala dan tanda yang dapat dijumpai.
Bakteri: Vibrio cholerae 01 V cholerae 01 39 Vparahemolyticus, E. coli,
Aeromonas, Bacteroides fragilis, Campylobacter jejuni, Salmonellae,
Clostridium difficile, Shigella
Virus: Rotavirus, Adenovirus, Cytomegalovirus Parasit: Protozoa
(Giardia, Cryptosporidium hominis Entamoeba hystolitica, lsospora Beli,
Cyclospora, Blastogstis hominis Cacing (Strogyiloides stercoralis,
Schistosoma)
m. Disentri basiler
Shigellosis adalah adalah infeksi akut usus yang disebabkan oleh salah
satu dari empat spesies bakteri gram negatif genus Shigella. Disentri
basiler adalah diare dengan lendir dan darah disertai dengan demam,
tenesmus dan abdominal cramp.
Penyebab disentri basiler adalah Shigella sp. dari genus Shigella, yang
termasuk bakteri gram negatif dalam klasifikasi kingdom, Bacteria,
phylum Proteobacteria, class
n. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh Serik terin
parasit Toxoplasma gondii, yang dikenal sejak tahun 1908. Toksoplasma
(Yunani berbentuk seperti panah) adalah juga sebuah genus tersendiri.
Infeksi akut yang didapat setelah Seri angk lahir dapat bersifat
asimtomatik, namun lebih sering menghasilkan kista jaringan yang
menetap kronik. Baik toksoplasmosis akut maupun kronik menyebabkan
gejala pada klinis termasuk limfadenopati, ensefalitis, miokarditis, dan
prev pneumonitis Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi Ame pada
bayi baru lahir yang berasal dari penularan lewat plasenta pada ibu yang
terinfeksi. Bayi tersebut biasanya meni dan asimtomatik, namun
manifestasi lanjutnya bervariasi baik seda gejala maupun tanda-tandanya,
seperti korioretinitis strabismus, epilepsi, dan retardasi psikomotor Kead
Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali bany ditemukan pada
binatang mengerat, yaitu Ctenodactylus mata gundi, di suatu laboratorium
di Tunisia dan pada seekor binat kelinci di suatu laboratorium di Brazil.
Pada tahun 1973 hosp parasit ini ditemukan pada neonatus dengan
ensefalitis kucir Walaupun transmisiintrauterin secara transplasental sudah
dapa diketahui, tetapi baru pada tahun 1970 daur hidup parasit Caci ini
menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada dari kucing
(Hutchison). Setelah dikembangkan tes serologi yang sensitif oleh Gondii
ditemukan kosmopolit, terutama di daerah dengan iklim panas dan
lembab4.
4. Patomekanisme setiap gejala pada skenario
a. Demam
Demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau
peradangan. Sebagai respons terhadap masuknya mikroba, sel-sel
fagositik tertentu (makrofag) mengeluarkan suatu bahan kimia yang
dikenal sebagai pirogen endogen yang selain efek-efeknya dalam
melawan infeksi, juga bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus
untuk meningkatkan patokan termostat. Hipotalamus sekarang
mempertahankan suhu di tingkat yang baru dan tidak
mempertahankannya di suhu normal tubuh. Sebagai contoh, pirogen
endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,90 C maka hipotalamus
mendeteksi bahwa suhu normal prademam terlalu dingin sehingga
bagian otak ini memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk
meningkatkan suhu menjadi 38,90 C.
Secara spesifik, hipotalamus memicu menggigil agar produksi panas
segera meningkat, dan mendorong vasokontriksi kulit untuk segera
mengurangi pengeluaran panas. Kedua tindakan ini mendorong suhu
naik dan menyebabkan menggigil yang sering terjadi pada permulaan
demam. Karena merasa dingin maka yang bersangkutan memakai
selimut sebagai mekanisme volunter untuk membantu meningkatkan
suhu tubuh dengan menahan panas tubuh.
Setelah suhu baru tercapai, maka suhu tubuh di atur sebagai normal
dalam respon terhadap panas dan dingin tetapi dengan patokan yang
lebih tinggi. Karena itu terjadinya demam sebagai respons terhadap
infeksi adala tujuan yang disengaja dan bukan disebabkan oleh
kerusakan mekanisme termoregulasi. Meskipun makna fisiologis demam
belum jelas namun banyak pakar kedokteran percaya bahwa peningkatan
suhu tubuh bermanfaat dalam mengatasi infeksi. Demam memperkuat
respons peradangan dan mungkin menghambat perkembangbiakan
bakteri.
Selama demam, pirogen endogen meningkatkan titik patokan
hipotalamus dengan memicu pelepasan lokal prostaglandin, yaitu
mediator kimiawi lokal yang bekerja langsung pada hipotalamus.
Aspirin mengurangi demam dengan menghambat sintesis prostaglandin.
Aspirin tidak menurunkan suhu pada orang yang tidak demam karena
tanpa adanya pirogen endogen maka di hipotalamus tidak terdapat
prostaglandindalam jumlah bermakna.
Mekanisme molekulr yang pasti tentang hilangnya demam secara
alami belum diketahui, meskipun hal ini diperkirakan karena
berkurangnya pengeluaran pirogen atau sintesis prostaglandin. Ketika
titik patokan hipotalamus kembali ke normal, suhu tubuh 38,9 0 C (dalam
contoh ini) menjadi terlalu tinggi. Mekanisme-mekanisme respon panas
di aktifkan untuk mendinginkan tubuh. Terjadi vasodilatasi kulit dan
pengeluaran keringat. Yang bersangkutan merasa panas dan membuka
semua penutup tambahan. Pengaktifan mekanisme pengeluaranpanas
oleh hipotalamus ini menurunkan suhu ke normal5.
Infeksi dan Peradangan

Infeksi atau peradangan

makrofag

pirogen endogen

prostaglandin

Titik patokan hipotalamus

Inisiasi “respon dingin”

Produksi panas; pengeluaran


panas

Suhu tubuh ke titik patokan


baru = Demam

b. Nafsu Makan turun


Nafsu Makan di pengaruhi oleh Peran berbagai sinyal hormonal yang
memepengaruhi hipotalamus. Salah satu hormonya adalah leptin dan
insulin. Leptin dan insulin beredar dalam darah dengan kadar yang
sesuai masa lemak tubuh. Keduanya menurunkan nafsu makan dengan
menginhibisi neuron yang memproduksi NPY/AgRp, dan menstimulasi
neuron yang memproduksi melanocortin di bagian nucleus arkuatus
hipotalamus.
Selain leptin dan insulin nafsu makan juga di pengaruhi oleh peptide
YY3-36, dimana hormon ini dihasilkan pada usus halus dan besar yang
berefek pada penurunan nafsu makan. Sekresi hormone ini berada dalam
kadar terendah sebelum makan, dan meingkat kadarnya saat makan.
Peptida ini bekerja dengan menghambat neuron neuron penghasil NPY
perangsang makan di nucleus arkuatus. Dengan menghilangkan nafsu
makan di percayai berperan penting dalam penhentian makan6.
c. Sakit Kepala
pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat dinosiseptor meningeal dan
neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nila ambang dari kulit
dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan
migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai reflex
pemberantasan respons dari neuron trigeminalsentral.
Inervasi sensoris pembuluh darah intra cranial sebagian besar berasal
dari ganglion trigeminal dari dalam serabut sensoris tersebut
mengandung neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang
paling besar adalah CGRP (Calsitonin Gene Related Peptide), kemudian
diikuti oleh SP (Substance P), NA (Neurokinin A), pituitary adenylate
cyclase activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul
prostaglandin E2 (PGEJ2), bradikinin, serotonin (5-HT) dan denosin
triphosphat (ATP), mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor-
nosiseptor. Khusus untuk nyeri kepala klaster clan chronic parox-ysmal
headache ada lagi pelepasan VIV (vasoactive intestine peptide) yang
berpera dalam timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorre7.
5. Hubungan riwayat perjalanan penderita dengan kasus pada scenario
Hubungan antara gejala yang di alami pasien dengan riwayat pasien
yang baru pulang dari papua 10 hari yang lalu ada kaitannya kemungkinan
pasien ini terkena penyakit malaria dimana daerah yang baru saja di datangi
(papua) merupakan daerah yang endemik dengan malaria. Dalam jurnal yang
d tulis oleh Hasrah Junaidi, S.KM., M.Kes ,dkk. Tahun 2015 melaporkan
terjadi peningkatan jumlah penderita malaria di daerah papua yaitu sekitar
(9,8% dan 28,6%). Dan pada keluhan yang di alami oleh pasien dalam
skenario mendekati gejala-gejala yang dapat di alami oleh penderita malaria,
yaitu demam, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di
punggung, nyeri sendi dan tulang, anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan
kadang-kadang dingin8, 9.
6. Langkah-langkah diagnosis pada scenario
Anamnesis

Langkah-langkah anamnesis
Identitas Nama, jenis kelamin, tanggal lahir, alamat, nomor telepon,
suku, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, nama
dan nomor telepon keluarga yang dapat dihubungi
Keluhan utama Keluhan terpenting yang membawa pasien datang berobat
Riwayat Penyakit Riwayat penyakit saat ini dimulai dari akhir masa sehat, uraian
Sekarang perjalanan dan perkembangan penyakit secara kronologis
sesuai urutan waktu
Deskripsi keluhan utama dan gejala secara detail :
Demam :
- Lama menderita : sudah sejak kapan mengalami demam
- Pola awitan : demamnya terus menerus atau intermitten.
Tanyakan juga apa pernah mengukur suhunya? Untuk
mengetahui jenis demamnya / suhunya naik turun,
berangsur turun, atau berangsur naik
- Awal kronologi demam
- Faktor yang memperberat dan yang meringankan
- Gejala yang menyertai
Nyeri kepala
- Lokasi keluhan : nyeri kepala sebelah atau seluruhnya
- Sifat nyeri
- Lama menderita : sudah berapa lama nyeri kepala
- Pola awitan : Menetap atau intermitten
- Kronologi nyeri kepala
- Faktor yang memperberat dan memperingan
- Gejalayang menyertai:
Apakah nyeri kepala diperberat dengan batuk atau
tegangan atau memnagunkan psien ketika tidur : untuk
menyingkirkan peningkatan tekanan intracranial
Apakah pasien merasa kaku leher, fotofobia, demam,
mengantuk : untuk menyingkirkan tanda-tanda meningitis
Nyeri kepala sangat mendadak, trauma : untuk
menyingkirkan perdarahan subarachnoid
Berat badan menurun :
- Lama menderita : sudah berapa lama pasien mengalami
penurunan berat badan dan berapa kg turun
- Pengukuran objektif dari pengukuran berat badan :
sebelumnya berat badannya berapa, apakah pakaian yg
sering digunakan bertambah longgar, atau ikat pinggang
yang semakin longgar
- Selera makannya normal atau berkurang
- Gejala penyerta :
Tremor, takikardi, muntah, diare : untuk menyingkirkan
tanda-tanda-tanda malabsorbsi
Mood menurun, gangguan tidur : untuk menyingkirkan
tanda-tanda depresi
Riwayat Penyakit Riwayat penyakit yang pernah diderita
Dahulu Riwayat alergi terhadap obat-obatan atau makanan
Riwayat pengobatan :
- Obat yang sedang dikonsumsi
- Obat yang dikonsumsi melalui resep dokter atau tidak
Riwayat transfuse darah
Riwayat - Pola makan
kebiasaan,social - Kebiasaan merokok, mengkonsumsi alcohol, jamu
ekonomi dan - Riwayat perjalanan keluar kota : jika pasien berpergian di
budaya daerah endemik perlu ditanyakan mengkonsumsi
profilaksis antimalaria
- Pola tidur
- Kondisi tempat tinggal dan rumah
Riwayat keluarga - Riwayat penyakit yang pernah diderita oleh keluarga atau
yang sedang diderita
- Riwayat penyakit herediter
Cek silang Menyebutkan kembali data anamnesis yang telah kita lakukan
dan mempersilahkan pasien mengutarakan keluhan jika masih
ada yang ingin disampaikan

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Kepala
Inspeksi Bentuk wajah pasien : simetris/asimetris?
Adakah tampilan khas pda wajah : tampak bengkak, moon
face/facies leonine/ butterfly rash
Bagaimana kondisi rambut? Mudah tercabut, dll
Palpasi Nyeri tekan sinus frontalis dan sinus maksillaris
Adakah pembesaran KGB retroaurikuler

Pemeriksaan Mata
Inspeksi Inspeksi Umum
- Adakah eksoftalmus, enoftalmus?
Palpebra
- Adakah edema palpebra, tanda radang, xantelasma?
Konjugtiva
- Apakah tampak pucat, hiperemis?
- Apakah terlihat berair, tampak kering, atau terdapat
secret mukopurulen?
- Apakah terdapat pterigium, pinguekula, fikten, bercak
bitot?
Sklera
- Apakah tampak ikterik?
Kornea
- Apakah terdapat peradangan, ulkus, kekeruhan,
xeroftalmia?
- Apakah terdapat arkus senilis?
Pupil
- Bentuk dan ukuran pupil
- Refleks pupil terhadap cahaya
Lensa
- Apakah terdapat kekeruhan lensa?

Pemeriksaan Telinga
Inspeksi Daun telinga dan sekitarnya:
- Nilai bentuk dan ukuran daun telinga
- Apakah terdapat tanda-tanda radang, tofi?
Liang telinga:
- Apakah terdapat secret, serumen, deskuamasi?
- Nilai keutuhan selaput/gendang telinga (dengan bantuan
pnlight atau otoskop)
Palpasi Apakah terdapat nyeri tekan pada prosesus mastoideus?
Adakah pembesaran KGB Retroauikuler?
Pemeriksaan Hidung
Inspeksi Apakah bentuk hidung normal?
Palpasi Adakah nyeri tekan, krepitasi pada tulang hidung
Pemeriksaan - Nilai adakah secret, perdarahan, penyumbatan
menggunakan alat - Adakah deviasi septum
bantu (speculum) - Adakah benda asing?

Pemeriksaan mulut
Pemeriksaan Bau Adakah bau aseton?
napas Adakah bau amoniak?
Adakah bau nafas gangrene?
Adakah foetor hepatic?

Inspeksi (dapat Nilai bagaimana higienitas oral?


dengan bantuan Bibir
spatula) - Warna bibir
Adakah tanda-tanda bibir pucat, sianosis?
Adakah lesi sekitar bibir? (vesikel, krusta)
Gigi-geligi
- Adakah karies, abses alveoli, missingteeth, karang gigi?
- Adakah gigi palsu?
Lidah
- Apakah berselaput, terlihat kering/ basah ?
- Adakah atrofi papil,fissura,leukoplakia, glositis, lidah
kotor ?
- Adakah tremor?

Pemeriksaan Fisik Dada


Pemeriksaan
inpeksi dada dan - Inspeksi adakah lesi pada dinding dada, kelainan bentuk
paru bagian dada menilai frekuensi, sifat dan pola pernapasan
depan - Menilai terdengar tidaknya suara serak, mengi, stridor
dengan telinga biasa (suara napas)
- Menilai ada tidaknya napas cuping hidung, penggunaan otot
bantu napas sternokleidomasteoideus, suprasternal, darn
retraksi otot interkostal
- Inspeksi kelainan lain (misalnya ada tidaknya bendungan
vena, benjolan/tumor, ginekomastia, emfisema subkutis,
spider nevi)
- Menilai kesimetrisan hemitoraks kiri dan kanan (statis: dada
tanpa memerhatikan pergerakan napas) dan saat bernapas
(dinamis)
- Menilai frekuensi napas dalam 1 menit dengan merasakan
gerakan naik turun dinding abdomen (biasanya 14-
20x/menit)
- Menilai kedalaman pernapasan (dalam atau dangkal)
- Menilai jenis pernapasan dengan melihat pergerakan toraks
dan abdomen: torakal, abdominal, atau kombinasi (torako
abdominal; abdomino torakal)

Pemeriksaan - Melakukan palpasi pada seluruh permukaan rongga toraks


palpasi dada dan untuk mencari massa, emfisema subkutis, kelainan lain
paru bagian - Pemeriksaan kelenjar getah bening (KGB) submandibula,
depan sepanjang anterior dan posterior, sternokleidomastoideus,
aksila, serta supraklavikula

Pemeriksaan - Melakukan perkusi secara umum pada seluruh lapang paru


perkusi dada dan dari apeks (daerah supraklavikula) secara beraturan dari
paru bagian dada kiri ke kanan dan ke bawah (zig-zag) sampai ke batas
depan dadad bawah dengan perut, serta dibadingkan setiap langkah
perkusi dari tiap-tiap sisi paru
- Menentukan bunyi ketukan: sonor (resonant), hipersonor
(Hiperresonant); redup (dull); pekak (flat/stony dul) atau
bunyi timpani
- Melakukan perkusi di daerah aksila dengan terlebih dahulu
meminta pasien mengangkat lengan ke atas kepala
- Menentukan batas paru-hati : Melakukan perkusi batas paru-
hati pada linea kanan secara beraturan ke arah bawah hingga
perubahan dari sonor menjadi redup

Auskultasi - Menentukan adakah suara napas dan napas tambahan

Teknik Pemeriksaan Abdomen


Inspeksi - Apakah simetris abdomen terlihat?
- Bagaimana bentuk atau kontur abdomen?
- Bagaimana ukuran abdomen?
- Apakah terdapat kondisi khusus dinding abdomen, antara
lain:
Kelainan kulit
Kelainan vena
Kelainan umbilicus
Striae alba
Bekas operasi
- Pergerakan dinding abdomen
Palpasi Palpasi Superfisial dan dalam (untuk mengetahui kelainan
organ hati, limpa, ginjal)
Perkusi Untuk konirmasi pembesaran hati dan limpa
Untuk menentukan ada tidaknya nyeri ketok
Untuk diagnosis adanya cairan atau massa padat
Auskultasi Mendengarkan suara peristaltic dan suara pembuluh darah

Pemeriksaan fisik extremitas


Inspeksi Perhatikan kulit apakah ada eritema, scars atau ruam dan warna
kulit, dan kelainan pada extremitas lainnya
Palpasi Untuk mengetahui apakah terjadi nyeri tekan, nyeri geak,
perabaan panas, krepitasi atau pembesaran tulang

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Lab
a. Pemeriksaan darah
- Hemoglobin : Normal pria 13,5-18,0 g/dl; wanita 11,5-16,5 g/dl
- Leukosit : Normal 4000-11.000/cm
- Trombosit : Normal 150.000-450.000/cm
- Aspartat amino transferase : Normal 8-40 IU/l
- Alanin amino transferase : Normal 3-60 IU/l
- Bilirubin : normal indirect < 17 mmol/l, direct < 5 mmol/l
b. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit
malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan satu
kali dengan hasil negative tidak menyingkirkan diagnosis malaria.
Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negative dapat menyingkirkan
kemungkinan malaria. Pemeriksaan mikroskopik darah tepi ini dapat
dilakukan melalui tetesan preparat darah tebal dan hapusan darah tipis
2. Kultur darah
Kultur darah merupakan gold standard untuk metode diagnostic
beberapa penyakit tropis contohnya demam tifoid. Hasilnya positif pada 60-
80% dari pasien, bila darah yang tersedia (darah yang diperlukan 15 mL untuk
pasien dewasa). Untuk daerah endemic dimana sering terjadi pengunaan
antibiotic yang tinggi, sensitivitas kultur dan darah rendah (hanya 10-20%
kuman saja yang terdeteksi)
3. Tes serologi
Tes serologi berguna untuk mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap komponen antigen. Tes ini sangat spesifik dan sensitive, manfaat tes
serologi terutama untuk digunakan pada penelitian epidemiologi atau alat uji
saring donor darah.Metode tes serologi lain adalah indirect haemagglutination
test, immune-precipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay. Ada
beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid diantaranya
adalah uji widal dan uji tubex10, 11.
7. Diferensial diagnosis
a. Malaria
1. Definisi
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles.
2. Etiologi
Penyebab Malaria adalah parasit Plasmodium yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Dikenal 5 (lima) macam
spesies yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan Plasmodium
knowlesi. Parasit yang terakhir disebutkan ini belum banyak
dilaporkan di Indonesia.
3. Jenis
a. Malaria Falsiparum
Disebabkan oleh Plasmodium falciparum.Gejala demam timbul
intermiten dan dapat kontinyu.Jenis malaria ini paling sering
menjadi malaria berat yang menyebabkan kematian.
b. Malaria Vivaks
Disebabkan oleh Plasmodium vivax.Gejala demam berulang
dengan interval bebas demam 2 hari.Telah ditemukan juga kasus
malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium vivax.
c. Malaria Ovale
Disebabkan oleh Plasmodium ovale.Manifestasi klinis
biasanya bersifat ringan.Pola demam seperti pada malaria vivaks.
d. Malaria Malariae
Disebabkan oleh Plasmodium malariae.Gejala demam berulang
dengan interval bebas demam 3 hari.
e. Malaria Knowlesi
Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala demam
menyerupai malaria falsiparum.
4. Epidemiologi
Secara global, penyebarannya sangat luas yaitu di wilayah
antara garis bujur 60° di utara dan 40° di selatan, meliputi lebih
dari 100 negara beriklim tropis dan sub tropis. Penduduk yang
berisiko terkena malaria berjumlah sckitar 2,3 miliar atau 41%
dari penduduk dunia. Setiap tahun jumlah kasus malaria
berjumlah 300-500 juta dan mengakibatkan 1,5 s/d 2,7 juta
kematian, terutama di Afrika sub Sahara. Asia Selatan dan Asia
Tenggara serta Amerika Tengah. Wilayah yang kini sudah bebas
malaria adalah Eropa, Amerika Utara, sebagian besar Timur
Tengah, sebagian besar Karibia, sebagian Amerika Selatan.
Australia dan Cina.
Laporan WHO tahun 2005 menyebutkan, di seluruh dunia
jumlah kasus baru malaria berkisar 300-500 juta orang dengan
kematian 2,7 juta orang/tahun, sebagian besar anak-anak di
bawah lima tahun yang merupakan kelompok palingrentan
terhadap penyakit dan kematian akibat malaria; dengan jumlah
negara endemis malaria pada tahuin 2004 sebanyak 107 negara.
Kawasan Asia Tenggara juga menjadi perhatian kasus malaria.
Terdapat 1,4 miliar penduduk berisiko terkena malaria, dan 352
juta pada risiko tinggi (WHO, 2014). Kasus malaria di Asia
Tenggara dan Selatan terdapat di 10 negara yakni Timor Leste,
Sri Lanka, Butan, Bangladesh, Thailand, Korea Selatan, Nepal,
Myanmar, India dan Indonesia. Menurut WHO (2014), kasus
malaria di kawasan Asia Tenggara dan Selatan tahun 2013
sebesar 1,5 juta kasus. Proporsi malaria tertinggi dari jumlah
kasus tahun 2013 adalah India (58%), Myanmar (22%) dan
Indonesia (16%).
Sebagai bagian dari 10 negara yang mendapat perhatian akan
kasus malaria di region Asia Tenggara dan Selatan, dapat
dikatakan Indonesia belum bebas dari penyakit malaria. Jumlah
kasus malaria terkonfirmasi di Indonesia tahun 2013 sebesar
343.527 dengan 45 kematian (WHO, 2014). Sedangkan tingkat
insiden malaria pada penduduk Indonesia tahun 2013 adalah
1,9%, menurun dibandingkan tahun 2007 sebesar 2,9%, tetapi
peningkatan tajam terjadi hanya di Provinsi Papua Barat.
Angka prevalensi malaria di Indonesia tahun 2013 sebesar
6,0% (Kemenkes, 2013). Prevalensi malaria di atas angka
nasional sebagian besar berada di Indonesia Timur. Proporsi
penduduk dengan malaria positif mencapai 1,3 persen, atau
sekitar dua kali lipat dari angka yang diperoleh Riskesdas 2010
(0,6%). Sedangkan proporsi penduduk perdesaan yang positif
ditemukan sekitar dua kali lipat lebih banyak (1,7%)
dibandingkan dengan penduduk perkotaan yakni sebesar 0,8%.
5. Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang
mengandung parasit.Demam mulai timbul bersamaan pecahnya
skizon darah yang mengeluarkan macam-macam antigen.
Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit
yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor
Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke
hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh
manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang
mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
parasit.
Limpa merupakan organ retikuloendotelial. Pembesaran limpa
disebabkan oleh terjadi peningkatan jumlah eritrosit yang
terinfeksi parasit, teraktifasinya sistem retikuloendotelial untuk
memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrsit
akibat hemolisis.
Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan
fagositosis oleh sistem retikuloendotetial.Hebatnya hemolisis
tergantung pada jenis plasmodium dan status imunitas
penjamu.Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun,
sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun
yang normal dan gangguan eritropoisis.Hiperglikemi dan
hiperbilirubinemia sering terjadi.Hemoglobinuria dan
Hemoglobinemia dijumpai bila hemolisis berat.Kelainan
patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika,
disebabkan kartena sel darah merah terinfeksi menjadi kaku dan
lengket, perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga
melekat pada endotel kapiler karena terdapat penonjolan
membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan-
bahan pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan timbul
hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan
dapat terjadi perembesan cairan bukan perdarahan kejaringan
sekitarnya dan dapat menimbulkan malaria cerebral, edema paru,
gagal ginjal dan malobsorsi usus.
6. Manifestasi Klinis
Sindrom klinis yang disebabkan oleh malaria berbeda
tergantung apakah pasien tinggal di daerah dengan penularan
malaria endemis yang stabil (terus menerus) atau penularan stabil
(kadang-kadang dan/atau jarang). Di daerah dengan penularan
stabil, penyakit mempengaruhi anak dan orang dewasa dengan
cara yang berbeda. Anak mengalami infeksi kronis dengan
parasitemia berulang yang mengakibatkan anemia berat dan
sering kematian. Yang tahan hidup infeksi berulang ini dapat
sebagian kekebalan pada usia lima tahun dan kekebalan ini tetap
tertahan pada masa dewasa. Orang dewasa mengalami infeksi
tanpa gejala.
Gejala malaria terjadi dari beberapa serangan demam dengan
interval tertentu (disebut peroksisme), diselingi oleh suatu
periode yang penderitanya bebas sama sekali dari demam (di
sebut periode laten). Gejala yang khas tersebut
biasanyaditemukan pada penderita non imun.Sebelum timbulnya
demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit
kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual di ulu hati, atau
muntah (semua gejala awal disebut gejala prodolmal).Beberapa
pasien kadang mengeluh nyeri dada, batuk, nyeri perut, nyeri
sendi dan diare.Sakit biasanya berkembang menjadi panas dingin
berat dihubungkan dengan panas hebat disertai takikardi, mual,
pusing, orthostatis dan lemas berat. Dalam beberapa jam mereda,
pasien berkeringat dan sangat lelah.
Pada anak-anak, bahkan pada anak-anak non imun sekalipun,
gejala malaria tidaklah “klasik” seperti yang ditemukan pada
orang dewasa.Pada penderita anak, kenaikan panas badan
cendrung lebih tinggi sering disertai dengan muntahmuntah dan
berkeringat. Anak-anak yang lebih besar yang mempunyai lebih
sedikit kekebalan kadang-kadang juga dapat menderita demam,
nyeri sendi, sakit kepala.oleh karena itu, gejala malaria pada
anak bisa menyerupai penyakit lain yang bisa menyebabkan
demam. Begitu pula anemia yang cendrung menjadi berat pada
penderita anak.Malaria vivax yang biasanya memberi gejala
yang ringan, pada penderitanya anak sering menimbulkan gejala
yang lebih berat. Namun bisanya, malaria falciparum lah yang
menyebabkan keadaan darurat pada penderita anak.
Paroksisme demam pada malaria mempunyai interval tertentu,
ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus
aseksual/sizogoni darah untuk menghasilkan sizon yang matang,
yang sangat dipengaruhi oleh spesiec plasmodium yang
menginfeksi. Suatu peroksisme demam biasanya mempunyai 3
stadium yang berurutan, yaitu :
1. Stadium frigoris (mengigil)
Stadium ini mulai dengan menggil dan perasaan sangat
dingin.Nadi penderita sangat cepat, tetapi lemah.Bibir dan jari-jari
pucat kebiruan (sianotik).Kulitnyakering dan pucat, penderita
mungkin dan pada penderita anak sering terjadi kejang.Stadium ini
berlangsung selama 15 menit - 1 jam.
2. Stadium akme (puncak demam)
Setelah menggigil/merasa dingin, pada stadium ini penderita
mengalami serangan demam.Muka penderita menjadi merah,
kulitnya kering dan dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit
kepala bertambah keras, dan sering disertai rasa mual atau muntah-
muntah.Nadi penderita menjadi kuat kembali.Biasanya penderita
merasa santan haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 41 C.
stadium ini berlangsung selama 2-4 jam.
3. Stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun)
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai
membasahi tempat tidur.Namun suhu badan pada fase ini turun
dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal. Biasanya
penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah,
tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2-4 jam.
Gangguan fungsi ginjal ditunjukkan denagan oliguria, dan
anuria dapat terjadi.Sindrom nefrotik, berkaitan dengan
plasmodium malariae apada anak yang tinggal di daerah endemik
malaria, prognosisnya jelek.Black water fever, sekarang jarang
ditemukan, dihibungkan dengan plasmodium falciparum;
hemoglobinuria akibat hemolisis intravascular berat dan
mendadak, dapat menyebabkan anuria dan kematian karena
anemia.
Hipoglikemi dapat dihubungkan dengan malaria falciparum.
Pada infeksi berat, dapat terjadi asidosis laktat, dengan gambaran
konvulsi dan gangguan kesadaran.
Manifestasi Klinis Malaria Berat
Malaria berat yaitu ditemukan plasmodium falciparum stadium
aseksual dengan satuatau beberapa manisfestasi klinis dibawah ini :
a. Malaria dengan gangguan kesadaran (apatis, delirium, stupor dan
koma) atau GCS (Glasgow Coma Scale) < 5 untuk anak-anak.
Gangguan kesadaran menetap >30 menit atau menetap setelah
panas turun.
b. Malaria degan ikterus (bilirubin serum >3 mg %).
c. Malaria dengan gangguan fungsi ginjal (uliguria 3 < 400 ml/24
jam atau kreatinin serum > 3 mg%)
d. Malaria dengan anemia berat (Hb 5% atau hematokrit < 15%).
e. Malaria dengan edema paru (sesak napas, gelisah)
f. Malaria dengan hipoglikemia (gula darah < 40 mg%)
g. Malaria dengan gangguan sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <
70mmHg pada orang dewasa atau < 50 mmHg pada anak 1-5
tahun)
h. Malaria dengan hiperparasitemia (plasmodium > 5%)
i. Malaria dengan manifestasi perdarahan (gusi, hidung, dan/atau
tanda-tanda disseminated intravascular coagulation /DIC).
j. Malaria dengan kejang-kejang yang berulang, lebih dari 2 kali
dalam 24 jam.
k. Malaria dengan asidosis (ph darah<7,25 atau plasma bikarbonat
<15 mmo/L).
l. Malaria dengan hemoglobinuria makrosokpik.
m. Malaria dengan hipertermia (suhu badan >40 C).
n. Malaria dengan kelemahan yang ekstrem prostation); penderita
tidak mampu duduk atau berjalan, tanpa adanya kelainan neurologi
tertentu.
Tabel Manifestasi malaria berat pada anak dan dewasa12, 13, 14, 15.
Manifestasi Pada Anak Manifestasi Pada Dewasa
 Koma (malaria cerebral)  Koma (malaria serebral)
 Distres pernafasan  Gagal ginjal akut
 Hipoglikemi (sebelum terapi  Edem paru, termasuk ARDS
kina)  Hipoglikemi (umumnya
 Anemia berat sesudah terapi kina)
 Kejang umum yang berulang  Anemia berat (<5gr%)
 Asidosis metabolik  Kejang umum yang berulang
 Kolaps sirkulasi, syok  Asidosis metabolik
hipovolemia, hipotensi  Kolaps sirkulasi, syok
(tek.sistolik ˂ 5 mmhg)  Hipovolemia, hipotensi
 Gangguan kesadaran selain  Perdarahan spontan
koma  Gangguan kesadaran
 Kelemahan )severe  Hemoglobinuria
prostration) (blackwaterfever)
 Hiperparasitemia  Hiperparasitemia (>5%)
 Ikterus  Ikterus (bilirubin total >3mg
 Hiperpireksia (suhu ˃41 c). %)
 Hemoglobinuria  Hiperpireksia (suhu >4 c)
(blackwaterfever). Komplikasi yang lebih sering :
 Perdarahan spontan gagal ginjal akut, edem paru,
 Gagal ginjal malaria serebral, ikterus
Komplikasi terbanyak :
hipoglikemi (sebelum th/kina),
anemia
7. Tata Laksana
Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian
ACT. Pemberian kombinasi ini untuk meningkatkan efektifitas dan
mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi diobati dengan
pemberian ACT secara oral. Malaria berat diobati dengan injeksi
Artesunat dilanjutkan dengan ACT oral. Di samping itu diberikan
primakuin sebagai gametosidal dan hipnozoidal.
A. Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi
1. Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini
menggunakan ACT ditambah primakuin. Dosis ACT untuk
malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, Primakuin
untuk malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja
dengan dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14
hari dengan dosis 0,25 mg /kgBB. Primakuin tidak boleh
diberikan pada bayi usia < 6 bulan. Pengobatan malaria
falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti yang tertera di
bawah ini:
Dihidroartemisinin-Piperakuin(DHP) + Primakuin
Tabel 1.
Pengobatan Malaria falsiparum menurut berat badan dengan DHP dan
Primakuin

Jumlah tablet per hari menurut berat badan

<4 4-6 >6- 11- 18- 31- 41- ≥60

Jenis kg kg 10 17 30 40 59 kg
Hari kg kg kg kg kg
obat
0-1 2-5 <6- 1-4 5-9 10- ≥15 ≥15
bula bula 11 tahun tahun 14 tahun tahu
n n bulan tahun n
1-3 DHP 1/3 1/2 ½ 1 1 ⅟₂ 2 3 4
1 Primakuin - - ¼ 1/4 1/2 3/4 1 1
Tabel 2.
Pengobatan Malaria vivaks menurut berat badan dengan DHP dan Primakuin

Jumlah tablet per hari menurut berat badan

<4 4-6 >6- 11- 18- 31- 41- ≥60

Jenis kg kg 10 17 30 40 59 kg
Hari kg kg kg kg kg
obat
0-1 2-5 <6- 1-4 5-9 10- ≥15 ≥15
bula bula 11 tahun tahun 14 tahun tahu
n n bulan tahun n
1-3 DHP 1/3 1/2 ½ 1 1 ⅟₂ 2 3 4
1 Primakuin - - ¼ 1/4 1/2 3/4 1 1
Catatan :

Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila penimbangan


berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan
kelompok umur.

1. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.
2. Apabila pasien P.falciparum dengan BB >80 kg datang kembali dalam waktu
2 bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan Sediaan Darah masih positif
P.falciparum, maka diberikan DHP dengan dosis ditingkatkan menjadi 5
tablet/hari selama 3 hari.
2. Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan
dengan regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin
ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
3. Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu
DHP ditambah dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis
pemberian obatnya sama dengan untuk malaria vivaks.
4. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari
selama 3 hari, dengan dosis sama dengan pengobatan malaria
lainnya dan tidak diberikan primakuin
5. Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivax/P.ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama
3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari
selama 14 hari.
Tabel 3.
Pengobatan infeksi campur P.falciparum P.vivax/P.ovale
dengan DHP + Primakuin

Jumlah tablet per hari menurut berat badan

<4 4-6 >6- 11- 18- 31- 41- ≥60

Jenis kg kg 10 17 30 40 59 kg
Hari kg kg kg kg kg
obat
0-1 2-5 <6- 1-4 5-9 10- ≥15 ≥15
bula bula 11 tahun tahun 14 tahun tahu
n n bulan tahun n
1-3 DHP 1/3 1/2 ½ 1 1 ⅟₂ 2 3 4
1 Primakuin - - ¼ 1/4 1/2 ¾ 1 1
Catatan :
1. Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan, apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan makapemberian obat
dapat berdasarkan kelompok umur.
2. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.
3. Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat badan ideal.
4. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
B. PENGOBATAN MALARIA PADA IBU HAMIL
Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan pengobatan
pada orang dewasa lainnya.Pada ibu hamil tidak diberikan Primakuin.
Tabel 4.
Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks
pada ibu hamil
Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut
kosong karena bersifat iritasi lambung. Oleh sebab itu penderita harus
makan terlebih dahulu setiap akan minum obat anti malaria.

Semua penderita malaria berat harus ditangani di Rumah Sakit (RS) atau
puskesmas perawatan. Bila fasilitas maupun tenaga kurang memadai, misalnya jika
dibutuhkan fasilitas dialisis, maka penderita harus dirujuk ke RS dengan fasilitas
yang lebih lengkap. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan
diagnosis serta pengobatan.
1. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik non Perawatan
Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat inap, pasien malaria
berat harus langsung dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. Sebelum
dirujuk berikan
artesunat intramuskular (dosis 2,4mg/kgbb)
2. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik Perawatan atau Rumah
Sakit
Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika tidak tersedia dapat
diberikan kina drip.
 Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering
asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi natrium bikarbonat
5%. Keduanya dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodiumartesunat.
Kemudian diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCL 0,9% sebanyak 5
ml sehingga didapatkonsentrasi 60 mg/6ml (10mg/ml). Obat diberikan
secara bolus perlahan-lahan. Artesunat diberikan dengan dosis 2,4
mg/kgbb intravenasebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan
2,4 mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari sampai penderita mampu
minum obat.
Contoh perhitungan dosis :
Penderita dengan BB = 50 kg.
Dosis yang diperlukan : 2,4 mg x 50 = 120 mg
Penderita tersebut membutuhkan 2 vial artesunat perkali pemberian.
Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan
dengan regimen DHP atau ACT lainnya (3 hari) + primakuin (sesuai
dengan jenis plasmodiumnya).
 Kemasan dan cara pemberian kina drip
Kina drip bukan merupakan obat pilihan utama untuk malaria berat. Obat
ini diberikan pada daerah yangtidak tersedia artesunat
intramuskular/intravena.Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina
dihidroklorida25%. Satu ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian kina pada dewasa :
a. Loading dose : 20 mg garam/kgbb dilarutkan dalam 500 ml (hati-
hati overload cairan) dextrose 5% atauNaCl 0,9% diberikan
selama 4 jam pertama.
b. 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
c. 3) 4 jam berikutnya berikan kina dengan dosis rumatan 10
mg/kgbb dalam larutan 500 ml (hati-hati overload cairan)
dekstrose 5 % atau NaCl.
d. 4) 4 jam selanjutnya, hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau
NaCl 0,9%.
e. 5) Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti di atas sampai
penderita dapat minum kina per-oral.
f. 6) Bila sudah dapat minum obat pemberian kina iv diganti dengan
kina tablet per-oral dengan dosis10 mg/kgbb/kali diberikan tiap 8
jam. Kina oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada
orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil.Dosis total kina
selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang
pertama.
Pemberian kina pada anak :
Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan : 6 - 8
mg/kg bb) diencerkan dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5
- 10 cc/kgbb diberikan lama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita
dapat minum obat.
Catatan :
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi
jantung dan dapat menimbulkan kematian.Dosis kina maksimum dewasa
yaitu 2.000 mg/hari.
3. Pengobatan malaria berat pada ibu hamil
Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan memberikan
artesunat injeksi atau kina HCldrip intravena.
8. Komplikasi
Komplikasi malaria yang menurut WHO diklasifikasikan sebagai
malaria berat yaitu antara lain:
a. Malaria cerebral: penurunan keadaran (coma) yang
tidakdisebabkan penyakit lain atau lebih dari 30 menit setelah
serangan kejang; derajat penurunan kesadaran harus dilakukan
penilaianberdasar GCS (Glasgow Coma Scale.
b. Acidemia/ acidosis: pH darah < 7,25 atau plasma bikarbonat <15
mmol/L, kadar laktat vena > 5 mmol/ L klinis pernapasan dalam/
respiratory distress
c. Anemia berat normositik (Hb < 5 gr% atau hematokrit <15%)
d. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/ 24 jam pada orang
dewasa atau 12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan
rehidrasi, disertai kreatinin >3 mg%
e. Edema paru (berdasarkan temuan foto toraks)
f. Ketidakmampuan untuk makan (failured to feed)
g. hipoglikemi: gula darah < 40 mg%
h. . Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik < 70 mmHg (anak 1-5
tahun < 50 mmHg); disertai keringat dingin atau perbedaan
temperature kulit-mukosa > 1ºC.
i. Perdarahan spontan
j. Kejang berulang lebih dari 2 kali/ 24 jam
k. Hiperlaktemia > 5 mmol/L
l. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeks malaria akut
(bukan karena obat anti malaria/ kelainan eritrosit; kekurangan G-
6-PD)
m. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat
pada pembuluh kapiler di jaringan otak/ jaringan lain.
n. . Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15) di Indonesia sering
dalam keadaan delirium
o. . Prostation - Kelemahan otot (tak bisa duduk/ berjalan bila tanpa
bantuan)
p. Hiperparasitemia > 2% (>100.000 parasit/uL) pada daerah
transmisi rendah atau >5% (250.000/ uL) pada daerah transmisi
tinggi/ stabil malaria
q. Ikterik (bilirubin > 3 mg%) bila disertai gagal organ lain
r. Hiperpireksia (temperature rectal > 40ºC) pada orang dewasa/ anak
9. Prognosis
Prognosis bergantung pada pengobatan yang dinerikan. Pada
malaria tropika ( yang disebabkan oleh plasmodium falciparum)
dapat timbul komplikasi yang erbahay yang disebut black water
fever ( hemoglobinuric feber) dengan gagal ginjal akut.
10. Faktor risiko
Keberhasilan pengendalian malaria dipengaruhi oleh ketepatan cara
tindakan pengendalian yang dilakukan dan ketepatan sasaran yang
dituju. Dengan perkataan lain, prioritas pengendalian malaria harus
disesuaikan dengan besar tidaknya pengaruh suatu faktor risiko
terhadap penderita, baik penderita sebagai individu maupun sebagai
bagian dari masyarakat. Faktor risiko tersebut bisa berbeda antar
individu, antar kelompok masyarakat dalam suatu daerah maupun
antar daerah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa malaria
berkaitan dengan beberapa faktor resiko yaitu antara lain:
a. Perdesaan
Malaria telah lama dikenal sebagai penyakit rakyat di
pedesaan. Dalam sebuah penelitian dengan mengamboil data dari
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 di Indonesia dinyatakan
persentase malaria di pedesaan lebih besar daripada perkotaan
dan telah terbukti pula melalui analisis yang diperoleh di negara
lain. Di Gambia ditunjukkan bahwa bila penduduk yang
berdomisili di daerah dengan tipe daerah pinggiran perkotaan
bepergian ke pedesaan di mana kondisi perumahan kurang baik
dan kepadatan penghuni tinggi, maka tingkat penularan juga
menjadi lebih tinggi.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin juga merupakan faktor risiko terjangkitnya
malaria dimana dalam sebuah penelitian risiko mendapat infeksi
malaria pada laki-laki adalah 1,34 kalidibandingkan perempuan.
Hasil inipun sesuai dengan hasil di negara lain. Di kawasan
miskin India dibuktikan bahwaangka infeksi pada laki-laki lebih
besarnamun infeksi pada perempuan bisa menjadi lebih berat
akibatnya karena adanyatekanan sosial, ekonomi dan psikologis.
Pada orang Eropa ditemukan bahwa laki-laki lebih berisiko
mendapat infeksimalaria dibandingkan perempuan,
namunperempuan lebih peka terhadap komplikasiserebral
dibandingkan laki-laki.
c. Umur
Umur juga merupakan salah satu faktor risiko terjangkitnya
seseorang terhadap malaria. Dalam sebuah penelitian di
perkotaan Afrika telah dibuktikan bahwa malaria cenderung
lebih tinggi pada umur < 15 tahun dibanding umur diatasnya. Di
Kolumbia ditemukan bahwa infeksi malaria lebih rendah pada
umuryang lebih tua sebab mereka sudah lebih mengenal
tindakan preventif terhadap malaria. Di Sri Lanka, penduduk
yang berumur di bawah 17 tahun dinyatakan berisiko
dibandingkan umur di atasnya. Sehingga dinyatakan semakin
rendah umur maka risiko terinfeksi malaria lebih tinggi
ketimbang usia yang lebih diatasnya.
d. Pendidikan
Makin rendah tingkat pendidikan, makin tinggi
persentase kasus malaria di mana berdasarkan sebuah
penelitian persentase tertinggi kasus malaria adalah pada
kelompok tidak sekolah dan terendah pada kelompok tamat
perguruan tinggi.
e. Pekerjaan
Petani nelayan dan buruh menduduki persentase kasus
malaria tertinggi di antara kelompok pekerjaan dan persentase
terendah pada pegawai. Seperti yang ditemukan di Etiopia, di
mana insiden malaria lebih rendah pada kelompok pekerjaan
yang dilakukan di dalaln rumah/ didalam ruangan sedangkan,
malaria bisa lebih kecil kemungkinannya di sekitar rumah atau
pekerjaan yang cenderung dilakukan pada siang hari
f. Status ekonomi
Makin rendah tingkat pengeluaran perkapita, makin
tinggi persentase kasus malarianya seperti yang tertera dalam
penelitian lain, misalnya di perkotaan Afrika, India, dan
Vietnam, di mana malaria lebih tinggi pada kelompok status
ekonomi rendah.
g. Letak kandang ternak
Penelitian yang dilaporkan ini dilakukan di seluruh Indonesia
sehingga populasi ternak besar, perilaku penduduk dan jenis
vektor sangat beragam. Sebagai contoh dalam ha1 perilaku
penduduk, di Kabupaten Sumba Barat ditemukan bahwa
penularan malaria bisa terjadi di dalam rumah, di luar rumah
dan di sekitar mata air tanpa kehadiran ternak besar . Dari
contoh ini terlihat bahwa di wilayah-wilayah tertentu bisa saja
penularan malaria terjadi di luar rumah tanpa kehadiran ternak
besar.
h. Jarak ke sarana kesehatan
Makin tinggi jarak sarana kesehatan dari rumah, makin
tinggi persentase kasus malarianya, di mana persentase
tertinggi adalah pada jarak 2-10 km dan terendah pada jarak <
1 km. Makin lama waktu tempuh ke sarana kesehatan, makin
tinggi persentase kasus malarianya, kecuali pada waktu
tempuh 2-3 jam.

11. Pencegahan
Penyakit dapat dicegah dengan melakukan pemotongan rantai
penularan dengan cara :
A. Mencegah gigitan vektor
 Membunuh nyamuk dengan insektisida.
 Tidur dengan mengunakan kelambu.
 Menghilangkan kesempatan nyamuk berkembang biak.
B. Kemoprofolaksis
Bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria, dan
apabila terinfeksi gejala klinisnya tidak berat. Obat malaria yang
dipakai adalah :
 Doksisiklin : untuk plasmodium falsiparum Dosis : 1,5 mg /
kg BB/ hari selama tidak lebih dari 4-6 minggu.
 Klorokuin : untuk plasmodium vivax Dosis 5 mg/ kg BB/
minggu, diminum 1 minggu sebelum ke daerah endemis sampai
4 minggu setelah kembali12, 15, 16, 17.

b. Demam Berdarah Dengue


1. Definisi
Demam Dengue (DF) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD
terjadi pembesaran plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
2. Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) tersebar di wilayah Asia
Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah
endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di
Indonesia antara 6 sampai 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35
per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD
cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk
genus Aedes (terutama A. Aegypti dan A. Albopictus). Peningkatan
kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan
tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang
berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air
lainnya).
3. Etiologi
a. Virus
Agen penyebab DBD adalah virus dengue yang termasuk ke
dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe
yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4, ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk
Aedesaegypti dan Ae. Albopictusyang terdapat hampir di seluruh
pelosok Indonesia. Sedangkan host alami DBD adalah manusia.
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik)
berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala
klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh,
sedangkanmasa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)
berlangsung sekitar 8-10 hari.
b. Vektor
Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti
yang menjadi vektor utama serta Ae. albopictus yang menjadi
vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di
seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas
1000 di atas permukaan laut, tapi dari beberapa laporan dapat
ditemukan pada daerah dengan ketinggian sampai dengan 1.500
meter, bahkan di India dilaporkan dapat ditemukan pada
ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia pada ketinggian 2.200
meter. Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium
dewasa berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lainnya.
Kedua spesies nyamuk tersebut termasuk ke dalam Genus
Aedes dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat
mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat pada
bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna hitam dengan
dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua
garis lengkung berwarna putih. Sedangkanskutum Ae. albopictus
yang juga berwarnahitam hanya berisi satu garis putih tebal di
bagian dorsalnya.
Nyamuk Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae.
Aegyptiqueenslandensisdan Ae. aegyptiformosus. Subspesies
pertama hidup bebas di Afrika, sedangkan subspesies kedua hidup
di daerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus DBD.
Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies
pertama.
4. Faktor Resiko
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan
transmisi biakan virus dengue yaitu: 1) vektor: perkembangbiakan
vektor, kebiasan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2) pejamu:
terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) lingkungan: curah hujan,
suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan penularan DBD pada
manusia adalah :
a. Kepadatan penduduk, lebih padat lebih mudah untuk terjadi
penularan DBD, olehkarena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50
meter.
b. Mobilitas penduduk, memudakan penularan dari suatu tempat ke
tempat lain.
c. Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk
rumah, bahanbangunan akan mempengaruhi penularan. Bila di
suatu rumah ada nyamukpenularnya maka akan menularkan
penyakit di orang yang tinggal di rumahtersebut, di rumah
sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk danorang-
orang yang berkunjung kerumah itu.
d. Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan
penyuluhan dancara pemberantasan yang dilakukan.
e. Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke
puskesmas ataurumah sakit.
f. Mata pencaharian, mempengaruhi penghasilan
g. Sikap hidup, kalau rajin dan senang akan kebersihan dan cepat
tanggap dalammasalah akan mengurangi resiko ketularan penyakit.
h. Perkumpulan yang ada, bisa digunakan untuk sarana PKM
i. Golongan umur, akan memperngaruhi penularan penyakit. Lebih
banyakgolongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk
sakit DBD lebih besar.
j. Suku bangsa, tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-
masing, hal inijuga mempengaruhi penularan DBD.
k. Kerentanan terhadap penyakit, tiap individu mempunyai
kerentanan tertentuterhadap penyakit, kekuatan dalam tubuhnya
tidak sama dalam menghadapi suatupenyakit, ada yang mudah
kena penyakit, ada yang tahan terhadap penyakit.
Sedangkan faktor yang dianggap dapat memicu kejadian DBD
adalah :
1. Lingkungan
Perubahan suhu, kelembaban nisbi, dan curah hujan
mengakibatkannyamuk lebih sering bertelur sehingga vektor
penular penyakit bertambah danvirus dengue berkembang lebih
ganas. Siklus perkawinan dan pertumbuhannyamuk dari telur
menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat
sehinggajumlah populasi akan cepat sekali naik. Keberadaan
penampungan air artifisial/kontainer seperti bak mandi, vas bunga,
drum, kaleng bekas, dan lain-lain akanmemperbanyak tempat
bertelur nyamuk. Terdapat hubungan antara kelembaban, tipe
kontainer, dantingkat pengetahuan masyarakat terhadap
keberadaan jentik nyamuk Aedesaegypti.
2. Perilaku
Kurangnya perhatian sebagian masyarakat terhadap
kebersihanlingkungan tempat tinggal, sehingga terjadi genangan
air yang menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang baik
perilaku masyarakat terhadap PSN (mengubur, menutup
penampungan air), urbanisasi yang cepat, transportasi yang makin
baik, mobilitas manusia antar daerah, kurangnya kesadaran
masyarakat akan kebersihan lingkungan, dan kebiasaan berada di
dalam rumah pada waktu siang hari.
5. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS)
adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke
kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada
kasus berat, volume plasmamenurun lebih dari 20%, hal ini
didukungpenemuan post mortem meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemi
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang
biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan
viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon
imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-
hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi
mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah
ada jadi meningkat
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam
darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama
sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik
kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu
kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan
sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam
hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada
hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima,
diagnosisinfeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.
Gambar Respon Primer dan Sekunder Infeksi Virus Dengue
6. Gambaran Klinis
Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya :
Dengue probable :
 Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
 Demam disertai 2 dari hal berikut :
 Mual, muntah
 Ruam
 Sakit dan nyeri
 Uji torniket positif
 Lekopenia
 Adanya tanda bahaya
 Tanda bahaya adalah :
 Nyeri perut atau kelembutannya
 Muntah berkepanjangan
 Terdapat akumulasi cairan
 Perdarahan mukosa
 Letargi, lemah
 Pembesaran hati > 2 cm
 Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit
yang cepat
Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma
tidak jelas)
Kriteria dengue berat:
 Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi
cairan dengan distress pernafasan.
 Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
 Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran,
gangguan jantung dan organ lain)
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji
tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat
membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya
mencapai 82 %.
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan.
1. Fase Febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dansakit kepala. Pada
beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula
terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
2. Fase Kritis
Terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh
disertai kenaikan permeabilitas kapiler dantimbulnya kebocoran plasma yang
biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului
oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat
terjadi syok.
3. Fase Pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahanpada 48 – 72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik

stabil dan diuresis membaik.


Gambar Grafik Kondisi Penderita DBD
Dengue Berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan :
a. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat secara
progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau syok
(takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill
time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang
menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah)
b. Adanya perdarahan yang signifikan
c. Gangguan kesadaran
d. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen yang
hebat atau bertambah, ikterik)
e. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi lainnya.
7. Diagnosis
Langkah penegakkan diagnosis suatu penyakit seperti
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku
pada penderita infeksi dengue. Riwayat penyakit yang harus digali
adalah saat mulai demam/sakit, tipe demam, jumlah asupan per oral,
adanya tanda bahaya, diare, kemungkinan adanya gangguan
kesadaran, output urin, juga adanya orang lain di lingkungan kerja,
rumah yang sakit serupa.
Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan kesadaran
penderita, status hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda
syok dapat dikenal lebih dini, adalah takipnea/pernafasan
Kusmaul/efusi pleura, apakah ada hepatomegali/asites/kelainan
abdomen lainnya, cari adanya ruam atau ptekie atau tanda perdarahan
lainnya, bila tanda perdarahan spontan tidak ditemukan maka lakukan
uji torniket. Sensitivitas uji torniket ini sebesar 30 % sedangkan
spesifisitasnya mencapai 82%.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
pemeriksaan hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 %
atau lebih) menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung
trombosit cenderung memberikan hasil yang rendah.
Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan
laboratorium, yaitu isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen
atau RNA virus. Imunoglobulin M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi
dalam darah mulai hari ke-5 onset demam, meningkat sampai minggu
ke-3 kemudian kadarnya menurun. Ig M masih dapat terdeteksi hingga
hari ke-60 sampai hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi Ig M
lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer,
Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke-14 dengan titer
yang rendah (<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah
dapat terdeteksi pada hari ke-2 dengan titer yang tinggi (>1:2560) dan
dapat bertahan seumur hidup.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
1. Derajat 1:Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasiperdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2:Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
danperdaran lain.
3. Derajat 3:Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah,tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi,sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab,
tampakgelisah.
4. Derajat 4:Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidakterukur.
8. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan
simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan
cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi
komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan,
hal terpenting yang perlu dilakukan adalahpemantauan baik secara
klinis maupun laboratoris.Proses kebocoran plasma dan terjadinya
trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke
intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan
sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites
yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring
(pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan
kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau
bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis,
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis
untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya
perdarahan pada saluran cerna bagian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada
protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit>20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBDdewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Gambar Skema Penanganan Tersangka DBD Tanpa Syok


Gambar Skema Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Gambar Skema Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit>20%


Anak Dirawat di Rumah Sakit
 Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, air sirup,
susu, untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam,
muntah/diare.
 Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena
obat-obatan ini dapat merangsang terjadinya perdarahan.
 Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
 Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetat
 Kebutuhan cairan parenteral
o Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
o Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
o Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
 Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium
(hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam
 Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah
cairan secara bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya
hanya memerlukan waktu 24–48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler
spontan setelah pemberian cairan.
 Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana sesuai dengan tata
laksana syok terkompensasi (compensated shock).
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok
 Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secarra
nasal.
 Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat secepatnya.
 Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20
ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian
koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
 Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan transfusi
darah/komponen.
 Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai
membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10
ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai
kondisi klinis dan laboratorium.
 Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak
daripada pemberian yang terlalu sedikit.
Indikasi Rawat Inap :
Penderita infeksi Dengue yang harus dirawat inap adalah seperti berikut. Bila
ditemukan tanda bahaya, keluhan dan tanda hipotensi, perdarahan, gangguan organ
(ginjal, hepar, jantung dan nerologik), kenaikan hematokrit pada pemeriksaan
ulang, efusi pleura, asites, komorbiditas (kehamilan, diabetes mellitus, hipertensi,
tukak petik dll), kondisi social tertentu (tinggal sendiri, jauh dari fasilitas
kesehatan, transportasi sulit)
9. Pemantauan dan Komplikasi
a. Untuk pasien dengan syok
Petugas medik memeriksa tanda vital setiap jam (terutama
tekanan nadi) hingga pasien stabil, dan periksa nilai hematokrit
setiap 6 jam. Dokter harus mengkaji ulang pasien sedikitnya 6
jam.
b. Untuk pasien tanpa syok
Petugas medis memeriksa tanda vital (suhu badan, denyut nadi
dan tekanan darah) minimal empat kali sehari dan nilai
hematokrit minimal sekali sehari.
Catat dengan lengkap cairan masuk dan cairan keluar. Jika
terdapat tanda berikut: syok berulang, syok berkepanjangan,
ensefalopati, perdarahan hebat, gagal hati akut, gagal ginjal akut,
edem paru dan gagal napas, segera rujuk. Bahkan kematian dapat
terjadi jika komplikasi tidak ditangani secara tepat.
10. Prognosis
Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968 hingga kini
infeksi virus dengue menunjukkan peningkatan insidens. Angka
kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD)cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, walaupun demikian angka kematian
secara nasional cenderung menurun dari 41,4% pada tahun 1968
menjadi 4% pada tahun 1980, 1,4% pada tahun 2000 dan hanya 0,9%
pada tahun 2001. Namun angka kematian akibat dengue syok sindrom
(DSS) yang disertai dengan perdarahan gastrointestinal hebat
danensefalopati masih tetap tinggi.
Patogenesis utama yang menyebabkan kematian pada hampir
seluruh pasien DBD adalah syok karena kebocoran plasma.
Penanganan yang tepat dan sedini mungkin terhadap pasien presyok
dan syok merupakan faktor penting yang menentukan hasil
pengobatan. Oleh karena itu penilaian yang akurat terhadap risiko
syok merupakan kunci penting menuju tatalaksana yang adekuat,
mencegah syok, dan perdarahan.
11. Pencegahan
Pencegahan utama demam berdarah terletak pada
menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah yaitu
Aedesaegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut
antaralain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
pengelolaan sampah padat,modifikasi tempat perkembangbiakan
nyamuk hasil samping kegiatan manusia,dan perbaikan desain
rumah. Sebagai contoh : menguras bak mandi/penampungan air
sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengubur kaleng-kalengdan
ban-ban bekas, menutup dengan rapat bak penampungan air,
danmengganti/menguras vas bunga / tempat minum burung
seminggu sekali.
2. Biologi
Yaitu berupa intervensi yang dilakukan dengan memanfaatkan
musuhmusuh(predator) nyamuk yang ada di alam seperti ikan
pemakan jentik (ikan cupang, dll), dan bakteri.
3. Kimiawi
Yaitu berupa pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik
bahankimia sebagai racun, bahan penghambat pertumbuhan, dan
sebagai hormon. Penggunaan bahan kimia untuk pengendalian
vektor harus mempertimbangkan kerentanan terhadap pestisida,
bisa diterima masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme
lain. Caranya adalah : a) pengasapan/fogging , b) memberi bubuk
abate pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong, vas
bunga, kolam, dan lain-lain.
4. Terpadu
Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara
yangdilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program
maupun lintas sektoral dan peran serta masyarakat.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah
dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan
“3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga
melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik,
menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan
repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll
sesuai dengan kondisi setempat18, 19, 20, 21, 22, 23.
c. Demam tifoid
1. Definisi
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serovat typhi (5 typhi). Salmonella enterica
serovat paratyphi A,B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang
disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke
dalam demam enterik. Demam tifoid juga masih menjadi topik yang
hangat diperbincangkan.
2. Epidemiologi
Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah
demam tifoid. Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid
menurun di USA dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan
sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki
oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan,
demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan
216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi
(>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia
Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika
Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000
populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan SelandiaBaru); serta yang termasuk
rendah (<10 kasusper 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia
lainnya.
3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterica serovat
typhi (5 typhi),Salmonella enterica serovat paratyphi A,
Salmonella enterica serovat paratyphi B, dan Salmonella enterica
serovat paratyphi C.
4. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks
yang melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi
tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung
dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum
terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian
melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane
ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola
intraseluler. Kemudian Salmonellatyphi menyebar ke sistem
limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui
sistem limfatik. Bakteremia primer terjadipada tahap ini dan
biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih
memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama
7-14 hari.
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh
tubuh dan berkolonisas idalam organ-organ sistem retikulo
endotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga
dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode
replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem
peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus
menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri
abdomen.
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak
diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di
hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches
di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat
terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan
iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat
menyusul ulserasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam
organ-organ sistem retikuloendotelialdan berkesempatan untuk
berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh
manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.
5. Manifestasi Klinis
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala,dapat muncul
keluhan atau gejala yang bervariasimulai dari yang ringan dengan
demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan
gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi
setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beranekaragam
keluhan lainnya.
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan
serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri
abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri
tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati
atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai
pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan
konstipasi. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat
demam tinggi dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar
25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots)
mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit
putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari
ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari. Sekitar 10-15% dari
pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah
sakit selama lebih dari 2 minggu.
6. Diagnosis
Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda
dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada
permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel
darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi
pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif ). Ciri lain yang
sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofi lia
(menghilangnya eosinofil).
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan
laboratorium didasarkan pada 3prinsip, yaitu:
 Isolasi bakteri
 Deteksi antigen mikroba
 Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab
Kultur darah merupakan gold standard metode
diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien, bila
darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk
pasien dewasa).9 Untuk daerah endemik dimana sering terjadi
penggunaan antibiotic yang tinggi, sensitivitas kultur darah
rendah(hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi).
Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi
terhadap antigen Salmonella typhi)masih kontroversial.
Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan
antibody terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12setelah
sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap
dapat dijumpai setelah4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12
bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk
menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas
kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang
beberapa hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer
Widal di atas rata-rata titerorang sehat setempat.Pemeriksaan
Tubex dapat mendeteksi antibody IgM. Hasil pemeriksaan
yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap
Salmonella.Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah
O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D.
7. Penatalaksanaan
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan
bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari
kematian.Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total
bakeri untuk mencegah kekambuhandan keadaan carrier.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat
Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi
yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat
mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2
kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik
kelompok, chloramphenicol, ampicillin dan
trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten
terhadap antibiotik fluoroquinolone.

Gambar 1. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut WHO
tahun 2003
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi
abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan
pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam
tifoid yang berat.

Gambar 2. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun
2003
Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam
tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat
laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime.
Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta
terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk
mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan
antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan
diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan
mengizinkan.
8. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis,
perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa,
serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran
kuman adalah secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi,
gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.
9. Prognosis
Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, gizi, derajat
kekebalan penderita, cepat dan tepatnya pengobatan, serta
komplikasi yang ada. Di negara berkembang, angka mortalitas
lebih tinggi 10% akibat keterlambatan diagnosis, rawat inap di
rumah sakit, dan pengobatan.
10. Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu
menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi,
higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan
lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-
hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan
munculnya kasus resistensi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama
untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik
demam tifoid.1 Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:
a. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun
dengan dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler.
Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk
revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi
perlindungan sebesar 70-80%.
b. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan
cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin
diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari.
Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi.
Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi
perlindungan 67-82%.
c. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di
Vietnam dan memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama
27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama
46 bulan dengan efi kasi perlindungan sebesar 89%24.
d. Mumps
1. Definisi
Penyakit mumps (gondong/parotitis) disebabkan oleh
paramyxovirus. Biasanya timbul sebagai infeksi klinis. Masa
inkubasi yang panjang berkisar antara 16-21 hari yang kemudian
diikuti dengan timbulnya demam, malaise dan kemudian muncul
pembesaran satu atau kedua kelenjar parotis, yang terbentuk dalam
waktu 1 sampai 3 hari. Pembengkakan berlangsung dalam 7
sampai 10 hari dan tidak diperlukan pengobatan spesifik.(1)
2. Etiologi
Disebabkan oleh paramyxovirus. Secara antigen virus ini erat
kaitannya dengan virus influenza yang kadang-kadang
membingungkan pemeriksaan serologi. Diameter virion kira-kira
150 nm dan mengandung RNA; virion juga mempunyai hemolisin,
neuraminidase, dan hemaglutinin. Virus parotitis/mumps ini dapat
diperbanyak dalam berbagai biakan sel dan dalam telur berembrio.
3. Manifestasi Klinis
Pasie parotitis jarang menderita manifestasi sistemik yang
hebat. Temperature meningkat sedang, biasanya selama 3 sampai 4
hari. Pembengkakan parotis sering merupakan tanda pertama
penyakit; pembengkakan ini bisa selama 7 sampai 10 hari dan dapat
dilihat baik unilateral maupun bilateral. Dua atau tiga hari setelah
awitan bengkak pada satu sisi parotis sisi yang lainnya akan
membengkak juga.
Pasien lebih tua yang menderita parotitis sering mengeluh sakit
kepala, yang barangkali mencerminkan terkenanya meningen.
Tanda iritasu lain meningen bisa juga ditemukan. Keluhan yang
sering adalah anoreksia. Beberapa pasien mungkin mengeluh nyeri
abdomen dan bisa pula mengalami muntah apabila masalahnya
sudah serius.
4. Patomekanisme
Virus parotitis menimbulkan infeksi generalisata. Misalnya
seseorang terinfeksi oleh virus paramyxovirus melalui hidung atau
mulut, kemudian mengalami proliferasi yang menyerang kelenjar
ludah (kelenjar parotis) di antara telinga dan rahang sehingga terjadi
viremia dan selanjutnya berdiam di jaringan kelenjar atau saraf
yang paling sering terkena adalah glandula parotis. Setelah itu,
virus tersebut menyebabkan pembengkakan pada leher bagian atas
atau pipi bagian bawah. Penyakit ini dapat ditularkan melalui
kontak langsung, percikan ludah, dan muntah.
5. Epidemiologi
Infeksi virus disebarkan melalui rute pernapasan. Virus dapat
ditemukan di dalam secret pernapasan sebelum atau sesudah
pembengkakan parotis. Sekali infeksi ditemukan dalam keluarga,
biasanya semua anggota akan terinfeksi. Periode inkubasi normal
adalah antara 16 sampai 18 hari.
Hanya kira-kira 1600 infeksi yang dilaporkan setiap tahunnya
dibandingkan dengan lebih dari 150.000 sebelum vaksin
diperkenalkan. Selain itu, telah terjadi pergeseran insiden dalam hal
usia yang dikenai, puncak usia yang dikenai terjadi pada anak
berusia 10 sampai 14 tahun.
6. Penanganan
Dalam pengobatan parotitis/mumps, terapi yang dianjurkan
adalah terapi konservatif. Perhatian yang adekuat terhadap hidrasi
dan alimetasi sangat penting. Pasien bisa mengalami kesulitan
dengan makanan asam, seperti jus jeruk. Diet harus ringan dengan
banyak mengandung banyak cairan.
Kadang-kadang mungkin perlu analgetik untuk sakit kepala
yang hebat atau ketidaknyamanan yang disebabkan oleh
parotitis/mumps. Muntah jarang menjadi berat hingga
membutuhkan cairan intravena. Namun, pada kejadian ini
kehilangan elektrolit harus diganti.
Pasie yang dirawat di rumah sakit harus diisolasi 9 hari
sesudah mulainya pembengkakan. Juga dianjurkan interval istirahat
yang sama di rumah.
7. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti adalah orkitis; ooforitis
biasanya berupa emesis, demam, dan nyeri perut bagian bawah;
tiroiditis kronik; tuli; diabetes mellitus; ensefalitis atau meningitis.
8. Prognosis
Terjadi 1 atau 2 kematian yang dikaitkan dengan penyakit
parotitis setiap tahun selama decade terakhir; hal ini akibat
ensefalitis, nefritis, dan miokarditis. Kematian terutama terjadi pada
orang dewasa.
9. Faktor Risiko
 Anak-anak yang berumur 2-14 tahun
 Mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menekan hormone
kelenjar tiroid
 Kekurangan zat iodium dalam tubuh.
10. Pencegahan
Vaksin virus parotitis hidup yang dilemahkan digunakan secara
rutin pada imunisasi anak. Preparat ini benar-benar tanpa efek
samping, dan kelihatannya memberikan kekebalan yang lama.
Vaksin itu dianjurkan untuk semua anak pada tahun kedua
kehidupannya dan diberikan dalam bentuk gabungan dengan
vaksin virus campak dan rubella dalam satu preparat25, 26.
DAFTAR PUSTAKA

1. Armaidi D. 2016. Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular.


Bagian Ilmu Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran dan ilmu Kesehatan
Universitas Jambi.

2. Nelwan R.H.H. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI. Jakarta
Pusat: InternaPublishing.
3. Sherwood L. 2015. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

4. Setiawati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi VI. Jakarta
Pusat: InternaPublishing.
5. Guyton A.C, Hall JE. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta:
EGC.
6. Nureiza, Meutia.2005. Peran Hormon Gherlin Dalam Meningkatkan Nafsu Makan.
Bagian Fisiologi Fakultas kedokteran Universitas Sumatra Utara.
7. Widjaja J.H. 2015. Mekanisme Terjadinya Sakit Kepala Primer. Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya.

8. Setiawati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi VI. Jakarta
Pusat: InternaPublishing.
9. Rahardjo M, Hasrah J. 2015. Analisis Factor Resiko Kejadian Malaria di Wilayah
Kerja Puskesmas Kuala Bhee Kecamatan Woyla Kabupaten Aceh Barat. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia .14(2).
10. Setiati S, dkk. 2015. Anamnesis dan pemeriksaan fisis komprehensif. Jakarta:
Interna Publishing.
11. Gleadle J. 2006. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan
Malaria. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan
RI. Jakarta.
13. Hakim, L. 2011. Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator. 3(2) : 107-
116.
14. Mahmudi, M. & Yudhastuti, R. 2015. Pola Pencarian Pengobatan Klinis Malaria
Impor Pada Pekerja Migran. Jurnal Berkala Epidemiologi. 3(2) : 230-241.
15. Putra, T. R. I. 2011. Malaria dan Permasalahannya. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala. 11(2) : 103-114.
16. Harijanto P.N. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI Jilid I. Jakarta
Pusat: Interna Publishing.
17. Ompusunggu S, Sekar T, Rika M. D. 2009. Faktor Risiko Malaria di Indonesia;
Analisis Data Riset Kesehatan Dasar 2007. Buletin Penelitian Kesehatan
Supplement : 11-20.
18. Suhendro,nainggolan,leonard,chen,khie,pohan,herdiman T.2014.Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I.Jakarta Pusat: Interna Publishing.

19. Gama, Azizah dan Betty, Faizah. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. 5(2).
20. Candra, Aryu. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. Aspirator.2 (2): 110-119.
21. Sudjana, Primal. 2010. Diagnosis Dini Penderita Demam Berdarah Dengue
Dewasa. Buletin Jendela Epidemiologi. 2: 21-26.
22. Chen, Khie, Pohan, Herdiman T, dan Sinto, Robert. 2009. Diagnosis dan Terapi
Cairan pada Demam Berdarah Dengue. MEDICINUS.2(1): 3-7.
23. Raihan, Hadinegoro, Sri Rezeki S, dan Tumbelaka, Alan R. 2010. Faktor
Prognosis Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri. 12 (1):
47-52.
24. Nelwan, R.H.H. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia
Kedokteran. 39(4).
25. David, Hull, dkk. Dasar-dasar Pediatri. Jakarta : EGC.
26. Abraham M. Rudolph, dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai