Disusun Oleh :
2023
FIQH WANITA:
Email : 2103036063@student.walisongo.ac.id,
2103036070@student.walisongo.ac.id, 2103036084@student.walisongo.ac.id,
2103036078@student.walisongo.ac.id
Abstract :
This article is the result of library research with the title "Women's Fiqh:
Chapter on Menstruation and Postpartum". This research aims to find out the
meaning, provisions, things that are forbidden, permissible and permissible to do
as well as time limits for menstruation and childbirth. Women's fiqh is a branch of
fiqh that focuses on understanding Islamic law which specifically applies to
women. This study involves an analysis of religious teachings that regulate
aspects of women's lives, such as worship, muamalah, and adab. In this context,
the author explores the understanding of menstruation and childbirth, as well as
the emphasis on the provisions and periods of iddah in the interpretation of
religious laws. By exploring classical and contemporary literature, this study aims
to provide in-depth insight regarding women's fiqh, especially in discussing
menstruation and postpartum.
1
Abstrak
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang mengatur segala hal yang ada didalam
kehidupan ini sebaik mungkin. Bahkan aturan tersebut terdapat didalam sumber
hukum islam, yaknni Al-Qur’an dan Hadits. Dalam kehidupan ini Allah telah
menciptakan dua jenis manuaia, pria dan Wanita. Perbedaan yang sangat
signifikan terdapat diantara keduanya. Fiqih wanita merupakan salah satu aspek
yang signifikan dalam kajian ilmu fiqih Islam. Sebagai bagian dari warisan
intelektual Islam, fiqih wanita mengeksplorasi ketentuan hukum yang berkaitan
dengan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah hingga
muamalah. Pemahaman terhadap fiqih wanita menjadi semakin penting dalam
mengatasi tantangan dan perubahan dinamika masyarakat modern yang
melibatkan peran dan hak perempuan. Dalam konteks ini, latar belakang historis
fiqih wanita membawa kita pada pemahaman bagaimana konsep-konsep ini
berkembang sepanjang sejarah Islam. Mulai dari pemahaman tradisional di masa
2
awal Islam hingga interpretasi kontemporer, perjalanan fiqih wanita
mencerminkan evolusi pandangan terhadap peran dan kedudukan wanita dalam
konteks agama.
Selain itu, latar belakang sosial dan budaya juga turut memengaruhi
pemahaman terhadap fiqih wanita. Perbedaan konteks sosial antara masa lalu dan
sekarang menciptakan tantangan dan pertanyaan baru terkait dengan penerapan
hukum Islam bagi wanita. Perubahan peran gender, pendidikan, dan peran wanita
dalam masyarakat menciptakan kebutuhan untuk merefleksikan kembali
pandangan tradisional terhadap fiqih wanita agar tetap relevan dan dapat
memberikan pedoman yang memadai. Sejalan dengan perkembangan masyarakat,
literatur-literatur fiqih wanita pun menjadi semakin beragam. Karya-karya ulama
perempuan, seperti peran tokoh-tokoh wanita dalam menyampaikan dan
mengajarkan fiqih, memberikan kontribusi berharga dalam melengkapi perspektif
tradisional. Latar belakang ini menegaskan perlunya melihat fiqih wanita secara
holistik dan melibatkan berbagai sumber pengetahuan yang mencakup
pengalaman hidup perempuan dalam berbagai konteks. Dalam fiqih wanita, juga
penting untuk memahami perubahan legislasi dan norma-norma hukum yang
terjadi dalam masyarakat Islam. Reformasi hukum dan perubahan sosial
memunculkan tantangan baru yang perlu dijawab oleh fiqih wanita agar tetap
bersifat inklusif dan mendukung hak-hak perempuan dalam konteks keadilan dan
kesetaraan.
3
tersebut perlu dijelaskan secara tuntas, mengingat hal ini dapat memengaruhi
aspek keagamaan dan keseharian individu. Pemahaman batasan waktu juga
menjadi krusial, karena ini tidak hanya berkaitan dengan kewajiban ritual, tetapi
juga kesehatan perempuan. Oleh karena itu, konteks latar belakang ini
memberikan dasar yang kokoh untuk mendalami pandangan agama terhadap haid
dan nifas serta mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam kehidupan sehari-
hari dengan penuh pengertian dan kesadaran.
METODE
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode atau pendekatan
kepustakaan (library research), Studi pustaka atau kepustakaan dapat diartikan
sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2003:3).
1
Sharma, A., Taneja, D.K., Sharma P. Problem Related to Menstruation and Their Effect on Daily
Routine of Students of Medical College in Delhi. India: Asia Pacific Journal of Public Health
SAGE Journal. 28 May 2008.
2
Su’ad Ibrahim Shalih. Fiqih Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah. 2011. hlm.195.
3
Jannah, Nurul. Asuhan Kebidanan Ibu Nifas. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.
4
Dalam penelitian studi pustaka setidaknya ada empat ciri utama yang penulis
perlu perhatikan diantaranya : Pertama, bahwa penulis atau peneliti berhadapan
langsung dengan teks (nash) atau data angka, bukan dengan pengetahuan
langsung dari lapangan. Kedua, data pustaka bersifat “siap pakai” artinya peniliti
tidak terjung langsung kelapangan karena peneliti berhadapan langsung dengan
sumber data yang ada di perpustakaan. Ketiga, bahwa data pustaka umumnya
adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti memperoleh bahan atau data
dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari data pertama di lapangan. Keempat,
bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh runga dan waktu (Zed, 2003:4-5).
Berdasarkan dengan hal tersebut diatas, maka pengumpulan data dalam penelitian
dilakukan dengan menelaah dan/atau mengekplorasi beberapa Jurnal, buku, dan
dokumen-dokumen (baik yang berbentuk cetak maupun elektronik) serta sumber-
sumber data dan atau informasi lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian
atau kajian.
A. HAID
1. Pengertian
4
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, Cet ke-1, Jilid 2, Terj. Tirmidzi et.al.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013. hlm. 51.
5
kental (tua) dan panas terasa sakit berbau busuk.5 Haid menurut bahasa
artinya ialah mengalir. Adapun menurut istilah syara’, yang dinamakan
haid ialah darah yang kebiasaan keluar dari farji (kemaluan) seorang
wanita yang telah berusia sembilan tahun, bukan karena melahirkan,
dalam keadaan sehat dan warnanya merah semu hitam
menghanguskan.6
Haid adalah darah yang keluar dari rahim dinding seorang wanita
apabila telah menginjak masa baligh. Haid ini dijalani oleh seorang
wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan
paling lama lima belas hari. Sedangkan yang normal adalah enam atau
tujuh hari. Sedangkan paling cepat masa sucinya adalah tiga belas atau
lima belas hari dan yang paling lama tidak ada batasnya. Akan tetapi,
yang normal adalah dua puluh tiga atau dua puluh empat hari.
Apabila seorang wanita hamil, dengan izin Allah darah haid itu
berubah menjadi makanan bagi bayi yang tengah berada di dalam
kandungannya. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamil tidak
mengalami masa haid. Setelah melahirkan, dengan hikmah-Nya, Allah
merubahnya menjadi air susu yang merupakan makanan bagi bayi
yang dilahirkan. Karena itu, sedikit sekali dari kaum wanita menyusui
yang mengalami masa haid. Setelah selesai masa melahirkan dan
menyusui, maka darah yang ada tidak berubah serta tetap berada pada
tempatnya, yang kemudian secara normal kembali keluar pada setiap
bulannya, yaitu berkisar antara enam atau tujuh hari (terkadang lebih
atau kurang dari hari-hari tersebut).
2. Ketentuan
6
yang telah terbiasa menjalaninya dan wanita yang mengalami
keluarnya darah istihadhah.
7
Ibn Rusyd. Bidayatul Mujtahid Jilid 1, Terj. Al-Mas’udah. Jakarta: Pustaka AlKautsar. 2016. hlm.
75.
7
menghitungnya sebagai darah atau haid. Hal ini sesuai dengan
ucapan Ummu Athiyah :
شيْئ رواه البخاري
َ َارة
َ طهَّ ص ْف َرةَ أَو ال ُكد َْرةَ بَ ْع َد ال
ُّ ُكنَّا ََل تَعُ ُّد ال
"Kami tidak memperhitungkan sama sekali darah yang berwarna
kekuning-kuningan atau yang berwarna keruh setelah lewat masa
bersuci." (HR. Al-Bukhari)
Apabila ia melihat darah yang berwarna kekuning-kekuningan
dan yang berwarna keruh itu pada saat tengah menjalani masa haid,
maka darah tersebut termasuk darah haid, sehingga ia belum
diharuskan untuk mandi, melaksanakan shalat dan puasa.
Sebagian dari para ulama berpendapat bahwa wanita yang
menjalani haid melebihi dari hari yang biasa dijalani setiap
bulannya, maka hendaklah ia bersuci selama tiga hari dan setelah
itu laksanakan mandi serta kerjakan shalat, selama keluarnya darah
tersebut tidak lebih dari lima belas hari. Karena, apabila melebihi
lima belas hari, maka dikategorikan sebagai wanita yang
mengalami masa istihadhah serta tidak perlu bersuci, akan tetapi
cukup dengan melaksanakan mandi dan mengerjakan shalat.
Sebagian dari ulama yang lain berpendapat, bahwa keluarnya darah
yang melebihi kebiasaan masa haid itu tidak harus meninggalkan
shalat karenanya, kecuali jika terjadinya berulang-ulang, dua atau
tiga kali. Sehingga pada saat itu, masa haidnya berubah menjadi
masa istihadhah. Ini merupakan pendapat yang jelas dan lebih kuat
(rajih).8
c. Wanita yang Mengalami Istihadhah
Wanita yang mengeluarkan darah secara terus-menerus
melebihi kebiasaan masa berlangsungnya haid. Apabila sebelum
mengalami istihadhah seorang wanita Muslimah sudah menjalani
haid yang menjadi kebiasaan pada setiap bulannya dan ia
8
As-Syekh Faishal bin Abdul Aziz al-Mubarak. Memahami Kearifan Hukun Allah (Nailul
Author). Surabaya: PT Bina Ilmu. 2009.hlm. 209.
8
mengetahui hari-hari yang biasa terjadi pada masa haidnya
tersebut, maka ia harus meninggalkan shalat selama masa haidnya
berlangsung pada setiap bulannya. Setelah selesai menjalani masa
haidnya itu, ia harus mandi, mengerjakan shalat, mengganti utang
puasanya dan boleh berhubungan badan.
Akan tetapi, jika ia tidak mempunyai kebiasaan dari masa haid
yang tetap dan lupa akan masa atau jumlah hari berlangsungnya
haid yang biasa dijalaninya, sedang darah yang mengalir padanya
itu berubah-ubah warnanya, terkadang hitam dan terkadang merah,
maka ketika darah yang keluar itu berwarna hitam, ia tidak perlu
mandi, mengerjakan shalat, puasa dan melakukan hubungan badan.
Namun, ia diharuskan mandi dan mengerjakan shalat setelah
berhentinya darah hitam tersebut, selama tidak lebih dari lima belas
hari.
Sedang apabila darah yang keluar dapat dibedakan antara
sebagian dengan sebagian lainnya, maka ia diharuskan untuk
meninggalkan shalat, puasa dan berhubungan badan pada setiap
bulannya selama berlangsungnya masa haid yang pada umumnya
dijalani oleh kaum wanita, yaitu enam atau tujuh hari. Setelah itu,
diwajibkan atasnya mandi dan mengerjakan shalat.9
Wanita yang mengalami masa istihadhah harus berwudhu
setiap kali akan mengerjakan shalat. Kemudian memakai cawat
(celana dalam atau pembalut wanita) dan selanjutnya boleh
mengerjakan shalat, meskipun darah masih tetap mengalir. Di
samping itu, juga tidak dianjurkan untuk berhubungan badan,
kecuali pada kondisi yang sangat mendesak. Dalil yang menjadi
landasan mengenai masalah ini adalah hadits dari Ummu Salamah:
"Bahwa ia pernah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW
mengenai seorang wanita yang selalu mengeluarkan darah. Maka
Rasulullah SAW bersabda: Hitunglah berdasarkan bilangan
9
Shalih bin Abdullah Al-Laahim. 2011. Fiqih Darah Wanita. Surabaya: Pustaka Elba. hlm. 78.
9
malam dan hari dari masa haid pada setiap bulan berlangsungnya,
sebelum ia terkena serangan darah penyakit yang menimpanya itu.
Maka tinggalkanlah shalat sebanyak bilangan haid yang biasa
dijalaninya setiap bulan. Apabila ternyata melewati dari batas
yang berlaku. Maka hendaklah ia mandi, lalu memakai cawat
(pembalut) dan mengerjakan shalat." (HR. Abu Dawud dan An-
Nasa'i dengan isnad hasan).
Hadits di atas ditujukan bagi wanita yang mengalami masa
istihadhah yang mempunyai kebiasaan masa haid teratur.
10
"Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha
maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya"Darah haidh
itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar
seperti itu janganlah shalat. Bila sudah selesai maka
berwudhu'lah dan lakukan shalat.” (HR. Abu Daud dan An-
Nasai).
11
dilarang dan merupakan sebuah kesia-siaan. Karena hakikat
dari berwudhu atau mandi janabah adalah untuk
mengangkat hadas besar, sementara wanita haidh selama
darahnya masih keluar, hadas tersebut tidak akan terangkat
dengan wudhu atau mandinya. Wudhu atau mandi hanya
sah kalau haidnya telah benar-benar berhenti.
d) Puasa
e) Thawaf
12
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Karim
tentang menyentuh Al-Quran yang artinya : Dan tidak
menyentuhnya kecuali orang yang suci.’ (QS. Al-Waqi’ah :
79)
13
Secara umum mereka bersepakat bahwa haram
hukumnya wanita haidh berdiam diri di masjid, misalkan
untuk i’tikaf, belajar dan kegiatan yang mengharuskan
berdiam diri di masjid. Dasarnya adalah ayat Al-Quran dan
sunnah nabawiyah berikut ini :
h) Menceraikan Istri
14
berdosa. Dan suami yang terlanjur menceraikan dianjurkan
untuk segera merujuk istrinya pada saat haidh itu juga.10
سلَّم
َ علَ ْي ِه َو َ ِض َفأَنَا ِولُهُ النَّبِ ُّي
َّ صلَّى
َ َُّللا ِ ب َوأَنَا حَائ
ُ كُنتُ أَش َْر
)علَى َم ْو ِض ِع فِي َفيَش َْرب (رواه مسلم
َ ُض ُع َفاه
َ ََفي
10
Isnawati. 2018. Larangan Wanita Haid. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing. hlm.6-27.
15
واكلها ورواه أحمد:سالت الي صلى هللا عليه وسلم عن مواكلة الخالص فقال
والتر مدی
16
6) Muhasabah/Intropeksi dan evaluasi diri.
7) Amalan-amalan kebaikan lainnya berupa membantu orang lain,
silaturrahim, mengajar anak-anak.11
4. Batasan Waktu
11
https://wiz.or.id/amalan-yang-dilakukan-ketika-haid/ diakses pada tanggal 11 November 2023
jam 22:53
12
Al-Qawa’id wa AlFuruq, hlm. 169, dinukil dari catatan kaki kitab Manhaj As-Salikin karya
Syaikh As-Sa’di, hlm. 52
13
Majmu’ah Al-Fatawa, Karya Ibnu Taimiyah. 19:237
17
dihukumi sebagai haid tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali
kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak
terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau
dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah.14
B. NIFAS
1. Pengertian
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada
batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam
risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh pembawa
syari’at, nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Jika ada
seorang Wanita mendapati darah lebih dari 40, 60, atau 70 hari dan
berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu
darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari,
karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh
banyak hadits.
14
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab,
no. 65570
15
Hadi, Anis Tanwir. Pengantar Fiqih Untuk Kelas VI Madrasah Ibtidaiyah 6. Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri. 2008. Hlm 23.
18
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal
menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak
tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wnaita
menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi Ketika
sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya.
Kecuali, kalua bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu
sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu,
maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya
untuk di pergunakan pada masa mendatang. Namun jika darahnya
terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah
ia Kembali kepada hukum-hukum Wanita mustahadhah yang telah
dijelaskan pada sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan
berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40
hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli
oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu
hari maka hal ini tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam
kitab Al-Mughni.
19
kalua tidak demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan
sehingga tidak perlu kembali menggerjakan kewajiban.
2. Ketentuan
a. Masa Berlangsungnya Nifas
Tidak ada batas minimal dalam masa nifas, yaitu bisa saja
terjadi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, apabila seorang
Wanita melahirkan, lalu tidak lama darah nifasnya berhenti, maka
ia berkewajiban mengerjakan shalat, puasa dan ibadah lainnya
seperti layaknya Wanita yang berada dalam keadaan suci.
Sedangkan batas maksimalnya adalah 40 hari, sesuai dengan hadits
dari Ummu Salamah di atas. Disunnahkan bagi Wanita Muslimah
untuk mandi setelah melahirkan baik yang melahirkan dengan
mengeluarkan darah maupun tidak. Demikian, juga apabila
mengalami keguguran pada masa-masa kehamilan, meskipun
waktunya sangat sebentar.
16
Nurhayati, Nunung. Biologi Bilingual Untuk SMA/MA XI Semester I dan 2. Bandung: Yrama
Widya. 2011. hlm. 25.
20
1) Sholat.
ُ ص َد َقةٌ مِ ْن
غلُو ٍل َ ور َو ََل ُ ََل ت ُ ْقبَ ُل ص ََالةٌ ِبغَي ِْر
ٍ ط ُه
2) Thowaf.
21
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar agar
memerintahkan kepada Asma` supaya mandi kemudian
mengucapkan do’a talbiyah untuk melakukan haji, serta
melakukan apa yang dilakukan orang-orang (yang berhaji),
hanya saja ia tidak melakukan thawaf di baitullah.”
(HR. Nasai, no. 2664; Ibnu Majah, no. 2912. Dishohihkan oleh
Syaikh Al-Albani)
3) Berpuasa
َولَ ْم يُجَامِ عُوهُنَّ فِي،ت ا ْل َم ْرأَةُ فِي ِه ْم لَ ْم يُؤَا ِكلُو َها ِ ضَ ع َْن أ َ َن ٍس أَنَّ ا ْليَ ُهو َد كَانُوا ِإذَا حَا
سلَّ َم َفأ َ ْن َز َل
َ علَ ْي ِه َو
َ ُصلَّى هللا
َ سلَّ َم النَّ ِب َّي
َ علَ ْي ِه َو
َ ُصلَّى هللا
َ ِ َاب النَّ ِبي
ُ صح ْ َ سأ َ َل أ
َ ت َف
ِ ا ْلبُيُو
يض ِ ِسا َء فِي ا ْل َمح َ ِيض قُ ْل ه َُو أَذى َفا ْعت َ ِزلُوا النِ ِسأَلُونَكَ ع َِن ا ْل َمح َ }هللاُ تَعَالَى
ْ َ{وي
صنَعُوا ُك َّلْ ا:سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو
َ ُصلَّى هللاَ ِسو ُل هللا ُ َفقَا َل َر،ِ] إِلَى آخِ ِر ْاْليَة222 :[البقرة
َ ش َْيءٍ إِ ََّل النِكَا
ح
22
dalam rumah. Maka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lalu Allah Ta’ala menurunkan (ayat Al-Qur’an), “Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu
adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka di masa haidh”, sampai akhir ayat
(QS. Al-Baqarah/2: 222). Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Perbuatlah segala sesuatu kecuali
nikah (hubungan badan)”. (HR. Muslim, no. 302; Tirmidzi, no.
2977; Nasai, no. 288; Abu Dawud, no. 258; Ahmad, no. 12354)
23
3) Ihram, wuquf di Arafah, semua amalan haji dan umrah kecuali
thawaf di sekeliling Ka'bah. Tidak diperbolehkan bagi wanita
yang sedang menjalani masa haid serta nifas, kecuali setelah
bersuci dan mandi.
4. Batasan Waktu
24
Karena itu dia telah dikenai sebagai Zaatul Jufuf (yang
kekeringan). Perdebatan yang dinukilkan di kalangan fuqaha’
tentang sedikitnya masa waktu nifas adalah berkisar di sekitar
masa waktu minimum yang didapati oleh wanita yang bersalin.
Sumber kepada masa waktu ini dipetik dari kebiasaan dan apa
yang sering berlaku, serta kata-kata Ummu Salamah ra sebagi
berikut:
25
Mereka mengemukakan dalil berdasarkan hadits Ummu
Salamah yang telah disebutkan oleh Abu Darda’ dan Abu Hurairah
dimana mereka berdua mengatakan: ”Rasulullah saw. bersabda:
“wanita yang bernifas hendaklah menunggu empat puluh hari
kecuali jika dia melihat dirinya suci sebelum itu. Jika setelah
sampai empat puluh hari dan dia mendapati dirinya belum suci,
maka dia hendaklah.”
18
Sheihk Muhammad Nuruddin. Cara Wanita Menghadapi Haid, Nifas, dan Istihadhah Menurut
Al-Qur’an dan Hadits. Tangerang: Indocamp. 2018. hlm. 126-128.
26
anak yang ketiga misalnya, darahnya selalu keluarnya lebih dari 40
hari berarti ini merupakan kebiasaan nifasnya. Yakni masa nifasnya
memang lebih dari 40 hari. Selama masa nifas yang lebih dari 40
hari itu, ia meninggalkan puasa yang berarti harus dia qadha di
waktu yang lain (saat suci), sementara shalat yang ditinggalkan
tidak ada qadhanya.
27
yang ditinggalkannya sementara untuk shalat yang ditinggalkan
tidak ada qadha.
19
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/420
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz B Bazz, Syaikh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi Rahimahullah Asy-Syarhul
20
Mumti ‘Ala Zadul Mutaqni. Qaherah Mesir: Daar Ibnul Jauzi. 2009. hlm. 281.
28
ia tidak lagi melihat keluarnya darah maka ia mandi, mengerjakan
shalat dan puasa seperti halnya wanita-wanita yang suci.21
َ -ق
Thalak dari bahasa Arab yaitu طالَ قا َ yang artinya
ُ يَطل- ط لَق
memutuskan bercerai.22 Sedangkan menurut istilah ada beberapa
pengertian yang dikemukakan oleh para ulama diantaranya:
21
Amin Ibn Yahy’a Wazzan. Fatawa Al Mar’ah Al-Muslimah. Arabic: Maktabat Dar Tabariyah,
Maktabat Adwa AL-Salaf. 1995.hlm. 70.
22
Muhammad Yunus. Kamus Bahasa Arab. Jakarta : PT. Hidayat karya Agung. hlm. 235.
23
Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. Yogyakarta: Cakrawala Publishing. 2021. hlm. 9
24
Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group. 2019. hlm. 192.
25
Abdurrahman al-Jaziri. Figh A’la Mzahib Al-Arba’ah. Bairut : Iilya Al-Arba’ah. 1996. Juz VII,
hlm. 514.
26
Ibid,. (Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group. 2019. hlm. 192.)
29
Talak merupakan suatu peristiwa hukum yang telah berjalan
lama, talak sudah dikenal lama sebelum zaman Nabi Muhammad
SAW. Talak dikenal serta terjadi di tengah masyarakat luar hingga
sekarang, keberadaan talak masih tetap diakui eksistensinya dan
tidak ada pengingkaran terhadapnya.27 Menurut Sayyid Sabiq
dalam Fiqh Sunnah disebutkan bahwa hukum talak adalah sebagai
berikut:28
27
Abd al-Qadir Manzhor. Buku Pintar Fikih Wanita. Jakarta: zaman. 2009. hlm. 44.
28
Ibid,. (Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. Yogyakarta: Cakrawala Publishing. 2021.)
30
dibolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan
geraknya.
4) Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan
kebutuhan. Sebagai ulama ada yang mengatakan mengenai
talak yang makruh ini mendapat dua pendapat. Pertama, bahwa
talak tersebut haram dilakukan karena dapat menimbulkan
mudharat bagi dirinya juga bagi istrinya, serta tidak
mendatangkan manfaat apapun. Talak ini haram sama seperti
tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa
guna, tidak boleh memberikan mudzaratan kepada orang dan
tidak boleh membalas kemudzaratan dengan kemudzaratan
lagi. Kedua, menyatakan bahwa talak seperti itu perbuatan
halal yang dibenci Allah.29
29
Syaikh Hasan Ayyu. Fiqh Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001. hlm. 48
30
Amir Syarifuddin. Hukum perkawinan Islam di indonesia: antara fiqh munakahat dan undang-
undang perkawinan. Jakarta: Kencana. 2006. hlm. 204.
31
menurut pengikut golongan Hanafi pisah badan dalam
keadaan seperti ini dianggap talak.
d) Jika perempuan dalam iddah karena pisah badan yang
dianggap sebagai fasakh, tetapi pada dasarnya akadnya
tidak batal.31
3) Perkataan yang di gunakan untuk perceraian atau maksud
mentalak. Perkataan yang dipakai untuk perceraian ada dua
macam yaitu:
a) Perkataan sharih atau terang, yaitu dengan perkataan jelas,
tidak ragu-ragu lagi, bahwa yang dimaksud adalah
memutuskan ikatan perkawinan. Contohnya: suami berkata
"saya talak engkau", "engkau saya ceraikan", perkataan
yang sharih ini tidak perlu dengan niat, artinya apabila
dikatakan oleh suami baik berniat atau tidak maka
keduanya dinyatakan telah bercerai.32
b) Perkataan kinayah atau sindiran, yaitu perkataan yang
masih raguragu. Boleh diartikan untuk perceraian atau yang
lain.
Contohnya: "suami berkata engkau telah haram saya
kumpuli pergilah dari rumah", "pulanglah engkau ke rumah
keluargamu" dan lain sebagainya yang bermakna sindiran.
Perkataan kinayah ini sesuai dengan niat, artinya jika
diniatkan untuk mentalak maka talaknya dianggap sah,
sebaliknya apabila tidak diniatkan untuk perceraian
talaknya tidak sah.
b. Iddah
Kata iddah berasal dari bahasa arab yang berasal dari akar kata
adda-ya’iddu-‘iddatan dan jamaknya adalah kata ‘iddad yang
31
Ibid,. (Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. Yogyakarta: Cakrawala Publishing. 2021.)
32
Ibid,. (Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group. 2019. hlm 195.)
32
secara bahasa berarti menghitung atau hitungan sesuatu.33 Secara
istilah iddah adalah menahan diri yang dikenakan terhadap istri
ketika hilang akad nikahnya dan sudah diketahui dengan pasti
bahwa dia sudah dikumpuli suaminya, atau bisa juga disebabkan
kematian suami. Iddah bisa juga diartikan sebagai masa istri
menahan diri untuk mengetahui kebersihan rahimnya, serta untuk
menghormati suaminya.34
33
Dahlan Idhamy. Azas-Azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya: AlIkhlas. hlm.
73.
34
Muhammad Isma Wahyudi. Fikih Iddah: Klasik Dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. 2009. hlm. 124.
33
apakah ia hamil atau tidak. Dalam hal ini, al-Qur’an
menetapkan dengan tegas bahwa jika perceraian sewaktu
wanita tersebut dalam keadaan hamil, maka iddah- nya
berlangsung sampai ia melahirkan kandungannya, atau
berlangsung selama ia hamil.
35
Abdul Ghofur Anshori. Hukum Perkawinan Islam: (Perspektif fikih dan hukum positif).
Yogyakarta: UII Press. 2011. hlm. 231.
36
Ibid,. (Muhammad Isma Wahyudi. Fiqh Iddah: Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. 2009. hlm. 122.)
34
yang ditinggal mati suaminya lebih lama dari pada iddah
wanita yang diceraikan.
35
KESIMPULAN
Haid dan nifas adalah dua fase alamiah dalam siklus reproduksi
perempuan yang memiliki implikasi signifikan dalam tata cara beribadah dan
beraktivitas sehari-hari.Secara bahasa haid (menstruasi) berarti mengalir, dan
menurut istilah syara’ adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita
sewaktu sehat, bukan disebabkan melahirkan ataupun karena sakit. Sedangkan
secara terminologis (istilah) menurut para ahli fiqih berarti, darah yang biasa
keluar pada diri seseorang wanita pada hari-hari tertentu. Sedangkan nifas adalah
darah yang dikeluarkan dari Rahim seorang Wanita setelah selesai melahirkan,
walaupun anak yang dilahirkan belum berwujud manusia atau masih berupa
alaqoh (darah kental) atau mudglah (segumpal darah). Mengenai pengertian,
ketentuan, hal yang diharamkan, mubah dan boleh dilakukan, serta batasan waktu
terhadap haid dan nifas menjadi perhatian utama dalam konteks kehidupan sehari-
hari, terutama bagi perempuan Muslim. Dalam menjalani masa haid ini, wanita
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: Wanita yang baru menjalani masa
haid, wanita yang telah terbiasa menjalaninya dan wanita yang mengalami
keluarnya darah istihadhah. Sedangkan tidak terdapat batas minimal dalam masa
nifas, yaitu bisa saja terjadi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, Wanita
melahirkan lalu tidak lama darah nifasnya berhenti, maka ia berkewajiban
mengerjakan shalat, puasa dan ibadah lainnya seperti layaknya Wanita yang
berada dalam keadaan suci. Sedangkan batas maksimalnya adalah 40 hari, sesuai
dengan hadits dari Ummu Salamah di atas.
36
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Qadir Manzhor. (2009). Buku Pintar Fikih Wanita. Jakarta: zaman.
Abdul Ghofur Anshori. (2011). Hukum Perkawinan Islam: (Perspektif fikih dan hukum
positif). Yogyakarta: UII Press.
Abdul Rahman Ghozali. (2019). Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group.
Abdurrahman al-Jaziri. (1996). Figh A’la Mzahib Al-Arba’ah. Bairut : Iilya Al-Arba’ah. Juz
VII.
Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Al Asqalani. (2002). Fathul Baari Syarah: Sahahih Bukhari,
Terj. Gazirah Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka Azam.
Al-Qawa’id wa AlFuruq, dinukil dari catatan kaki kitab Manhaj As-Salikin karya Syaikh As-
Sa’di.
Amin Ibn Yahy’a Wazzan. (1995). Fatawa Al Mar’ah Al-Muslimah. Arabic: Maktabat Dar
Tabariyah, Maktabat Adwa AL-Salaf.
Amir Syarifuddin. (2006). Hukum perkawinan Islam di indonesia: antara fiqh munakahat
dan undang-undang perkawinan. Jakarta: Kencana.
As-Syekh Faishal bin Abdul Aziz al-Mubarak. (2009). Memahami Kearifan Hukun Allah
(Nailul Author). Surabaya: PT Bina Ilmu.
Dahlan Idhamy. Azas-Azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya: AlIkhlas.
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/420
Hadi, Anis Tanwir. (2008). Pengantar Fiqih Untuk Kelas VI Madrasah Ibtidaiyah 6. Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
https://wiz.or.id/amalan-yang-dilakukan-ketika-haid/ diakses pada tanggal 11 November 2023
jam 22:53
Ibn Rusyd. (2016). Bidayatul Mujtahid Jilid 1, Terj. Al-Mas’udah. Jakarta: Pustaka
AlKautsar.
Isnawati. (2018). Larangan Wanita Haid. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.
Jannah, Nurul. (2011). Asuhan Kebidanan Ibu Nifas. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa
Jawab, no. 65570
Majmu’ah Al-Fatawa, Karya Ibnu Taimiyah. 19:237
Muhammad Isma Wahyudi. (2009). Fiqh Iddah: Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.
Muhammad Yunus. Kamus Bahasa Arab. Jakarta : PT. Hidayat karya Agung.
37
Nurhayati, Nunung. (2011). Biologi Bilingual Untuk SMA/MA XI Semester I dan 2. Bandung:
Yrama Widya.
Sayyid Sabiq. (2021). Fiqh Sunnah. Yogyakarta: Cakrawala Publishing.
Shalih bin Abdullah Al-Laahim. 2011. Fiqih Darah Wanita. Surabaya: Pustaka Elba. hlm. 78.
Sharma, A., Taneja, D.K., Sharma P. (2008). Problem Related to Menstruation and Their
Effect on Daily Routine of Students of Medical College in Delhi. India: Asia Pacific
Journal of Public Health SAGE Journal.
Sheihk Muhammad Nuruddin. (2018). Cara Wanita Menghadapi Haid, Nifas, dan Istihadhah
Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Tangerang: Indocamp.
Su’ad Ibrahim Shalih. (2011). Fiqih Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz B Bazz, Syaikh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi Rahimahullah. (2009).
Asy-Syarhul Mumti ‘Ala Zadul Mutaqni. Qaherah Mesir: Daar Ibnul Jauzi.
Syaikh Hasan Ayyu. (2001). Fiqh Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah. (2008). Fiqih Wanita. Jakarta: Al-Kautsar.
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. (2013). Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, Cet ke-1, Jilid 2, Terj.
Tirmidzi et.al,. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Wahbah az-Zuhaili. (2014). Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Cet ke-5, Terj.Abdul Hayyie alKattani,
et.al,. Jakarta: Gema Insani.
38