Anda di halaman 1dari 39

ARTIKEL

FIQH WANITA: BAB HAID DAN NIFAS

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ilmu Fiqh

Dosen Pengampu : Baqiyatush Sholihah, S.Th.I, M.Si.

Disusun Oleh :

1. Esti Istiqomah (2103036063)


2. Meinita Setianing Widowati (2103036070)
3. Yaumi Nurun Nihlah Widiyaningrum (2103036074)
4. Sri Lestari (2103036078)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2023
FIQH WANITA:

BAB HAID DAN NIFAS

Esti Istiqomah*1, Meinita Setianing Widowati*2,

Yaumi Nurun Nihlah Widiyaningrum*3, Sri Lestari*4

Program Studi Manajemen Pendidikan Islam, Fakulttas Ilmu Tarbiyah Dan


Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Email : 2103036063@student.walisongo.ac.id,
2103036070@student.walisongo.ac.id, 2103036084@student.walisongo.ac.id,
2103036078@student.walisongo.ac.id

Abstract :

This article is the result of library research with the title "Women's Fiqh:
Chapter on Menstruation and Postpartum". This research aims to find out the
meaning, provisions, things that are forbidden, permissible and permissible to do
as well as time limits for menstruation and childbirth. Women's fiqh is a branch of
fiqh that focuses on understanding Islamic law which specifically applies to
women. This study involves an analysis of religious teachings that regulate
aspects of women's lives, such as worship, muamalah, and adab. In this context,
the author explores the understanding of menstruation and childbirth, as well as
the emphasis on the provisions and periods of iddah in the interpretation of
religious laws. By exploring classical and contemporary literature, this study aims
to provide in-depth insight regarding women's fiqh, especially in discussing
menstruation and postpartum.

Keyword : Fiqh for Women, Menstruation, Postpartum

1
Abstrak

Artikel ini merupakan hasil penelitian studi pustaka (library research)


dengan judul “Fiqh Wanita: Bab Haid dan Nifas”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengertian, ketentuan, hal yang diharamkan, mubah dan boleh
dilakukan serta batasan waktu terhadap haid dan nifas. Fiqh wanita merupakan
cabang ilmu fiqh yang memfokuskan pada pemahaman hukum Islam yang khusus
berlaku bagi perempuan. Studi ini melibatkan analisis terhadap ajaran-ajaran
agama yang mengatur aspek-aspek kehidupan wanita, seperti ibadah, muamalah,
dan adab. Dalam konteks ini, penulis menggali pemahaman tentang haid dan
nifas, serta penekanan pada ketentuan dan masa iddah dalam interpretasi hukum-
hukum agama. Dengan menggali literatur klasik dan kontemporer, studi ini
bertujuan memberikan wawasan mendalam terkait dengan bagaimana fiqh wanita
khususnya pada pembahasan haid dan nifas.

Kata Kunci : Fiqh Wanita, Haid, Nifas

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang mengatur segala hal yang ada didalam
kehidupan ini sebaik mungkin. Bahkan aturan tersebut terdapat didalam sumber
hukum islam, yaknni Al-Qur’an dan Hadits. Dalam kehidupan ini Allah telah
menciptakan dua jenis manuaia, pria dan Wanita. Perbedaan yang sangat
signifikan terdapat diantara keduanya. Fiqih wanita merupakan salah satu aspek
yang signifikan dalam kajian ilmu fiqih Islam. Sebagai bagian dari warisan
intelektual Islam, fiqih wanita mengeksplorasi ketentuan hukum yang berkaitan
dengan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah hingga
muamalah. Pemahaman terhadap fiqih wanita menjadi semakin penting dalam
mengatasi tantangan dan perubahan dinamika masyarakat modern yang
melibatkan peran dan hak perempuan. Dalam konteks ini, latar belakang historis
fiqih wanita membawa kita pada pemahaman bagaimana konsep-konsep ini
berkembang sepanjang sejarah Islam. Mulai dari pemahaman tradisional di masa

2
awal Islam hingga interpretasi kontemporer, perjalanan fiqih wanita
mencerminkan evolusi pandangan terhadap peran dan kedudukan wanita dalam
konteks agama.

Selain itu, latar belakang sosial dan budaya juga turut memengaruhi
pemahaman terhadap fiqih wanita. Perbedaan konteks sosial antara masa lalu dan
sekarang menciptakan tantangan dan pertanyaan baru terkait dengan penerapan
hukum Islam bagi wanita. Perubahan peran gender, pendidikan, dan peran wanita
dalam masyarakat menciptakan kebutuhan untuk merefleksikan kembali
pandangan tradisional terhadap fiqih wanita agar tetap relevan dan dapat
memberikan pedoman yang memadai. Sejalan dengan perkembangan masyarakat,
literatur-literatur fiqih wanita pun menjadi semakin beragam. Karya-karya ulama
perempuan, seperti peran tokoh-tokoh wanita dalam menyampaikan dan
mengajarkan fiqih, memberikan kontribusi berharga dalam melengkapi perspektif
tradisional. Latar belakang ini menegaskan perlunya melihat fiqih wanita secara
holistik dan melibatkan berbagai sumber pengetahuan yang mencakup
pengalaman hidup perempuan dalam berbagai konteks. Dalam fiqih wanita, juga
penting untuk memahami perubahan legislasi dan norma-norma hukum yang
terjadi dalam masyarakat Islam. Reformasi hukum dan perubahan sosial
memunculkan tantangan baru yang perlu dijawab oleh fiqih wanita agar tetap
bersifat inklusif dan mendukung hak-hak perempuan dalam konteks keadilan dan
kesetaraan.

Mengenai pengertian, ketentuan, hal yang diharamkan, mubah dan boleh


dilakukan, serta batasan waktu terhadap haid dan nifas menjadi perhatian utama
dalam konteks kehidupan sehari-hari, terutama bagi perempuan Muslim. Haid dan
nifas adalah dua fase alamiah dalam siklus reproduksi perempuan yang memiliki
implikasi signifikan dalam tata cara beribadah dan beraktivitas sehari-hari.
Pengertian mendalam terkait haid dan nifas menjadi penting untuk memahami
aturan-aturan yang terkait, memastikan bahwa individu mampu menjalankan
ibadah dengan penuh kesadaran dan kepatuhan. Ketentuan-ketentuan terkait halal
dan haram, mubah, serta aktivitas yang diizinkan atau tidak selama periode

3
tersebut perlu dijelaskan secara tuntas, mengingat hal ini dapat memengaruhi
aspek keagamaan dan keseharian individu. Pemahaman batasan waktu juga
menjadi krusial, karena ini tidak hanya berkaitan dengan kewajiban ritual, tetapi
juga kesehatan perempuan. Oleh karena itu, konteks latar belakang ini
memberikan dasar yang kokoh untuk mendalami pandangan agama terhadap haid
dan nifas serta mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam kehidupan sehari-
hari dengan penuh pengertian dan kesadaran.

Menurut Sharma (2008), dalam hukum Islam haid menjadi tanda


kedewasaan seorang muslimah. Haid terkadang memberikan pengaruh pada
keadaan fisik dan psikis seorang siswi.1 Menurut Prof. Su’ad Ibrahim Shalih haid
mengandung dua pengertian, secara bahasa dan istilah. Haid menurut bahasa
merupakan bentuk mashdar dari hadha-haidh. Hadhat al-mar’ah haidhan,
mahadhan, dan mahidhan berarti ia “haid”. Kata al-haidhah menunjukkan
bilangan satu kali haid. Sedangkan al-hidhah adalah kata nama, bentuk jamaknya
al-hiyadh. Haidhah juga berarti kain yang dipakai untuk menutupi seorang wanita.
Demikian juga al-mahidhah, bentuk jamaknya adalah almahaidh.2 Sedangkan
masa nifas menurut Jannah (2011), disebut juga masa post partum atau
puerperium, adalah masa sesudah persalinan, masa perubahan, pemulihan,
penyembuhan, dan pengembalian alat-alat kandungan/reproduksi seperti sebelum
hamil yang lamanya 6 minggu atau 40 hari pasca persalinan.3

METODE

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode atau pendekatan
kepustakaan (library research), Studi pustaka atau kepustakaan dapat diartikan
sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2003:3).

1
Sharma, A., Taneja, D.K., Sharma P. Problem Related to Menstruation and Their Effect on Daily
Routine of Students of Medical College in Delhi. India: Asia Pacific Journal of Public Health
SAGE Journal. 28 May 2008.
2
Su’ad Ibrahim Shalih. Fiqih Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah. 2011. hlm.195.
3
Jannah, Nurul. Asuhan Kebidanan Ibu Nifas. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.

4
Dalam penelitian studi pustaka setidaknya ada empat ciri utama yang penulis
perlu perhatikan diantaranya : Pertama, bahwa penulis atau peneliti berhadapan
langsung dengan teks (nash) atau data angka, bukan dengan pengetahuan
langsung dari lapangan. Kedua, data pustaka bersifat “siap pakai” artinya peniliti
tidak terjung langsung kelapangan karena peneliti berhadapan langsung dengan
sumber data yang ada di perpustakaan. Ketiga, bahwa data pustaka umumnya
adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti memperoleh bahan atau data
dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari data pertama di lapangan. Keempat,
bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh runga dan waktu (Zed, 2003:4-5).
Berdasarkan dengan hal tersebut diatas, maka pengumpulan data dalam penelitian
dilakukan dengan menelaah dan/atau mengekplorasi beberapa Jurnal, buku, dan
dokumen-dokumen (baik yang berbentuk cetak maupun elektronik) serta sumber-
sumber data dan atau informasi lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian
atau kajian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HAID
1. Pengertian

Secara bahasa haid (menstruasi) berarti mengalir, dan menurut


istilah syara’ adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita
sewaktu sehat, bukan disebabkan melahirkan ataupun karena sakit.4
Sedangkan secara terminologis (istilah) menurut para ahli fiqih berarti,
darah yang biasa keluar pada diri seseorang wanita pada hari-hari
tertentu. Haid itu mempunyai dampak yang membolehkan
meninggalkan ibadah dan menjadi patokan selesainya ‘iddah bagi
wanita yang dicerai. Biasanya darahnya berwarna hitam atau merah

4
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, Cet ke-1, Jilid 2, Terj. Tirmidzi et.al.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013. hlm. 51.

5
kental (tua) dan panas terasa sakit berbau busuk.5 Haid menurut bahasa
artinya ialah mengalir. Adapun menurut istilah syara’, yang dinamakan
haid ialah darah yang kebiasaan keluar dari farji (kemaluan) seorang
wanita yang telah berusia sembilan tahun, bukan karena melahirkan,
dalam keadaan sehat dan warnanya merah semu hitam
menghanguskan.6

Haid adalah darah yang keluar dari rahim dinding seorang wanita
apabila telah menginjak masa baligh. Haid ini dijalani oleh seorang
wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan
paling lama lima belas hari. Sedangkan yang normal adalah enam atau
tujuh hari. Sedangkan paling cepat masa sucinya adalah tiga belas atau
lima belas hari dan yang paling lama tidak ada batasnya. Akan tetapi,
yang normal adalah dua puluh tiga atau dua puluh empat hari.

Apabila seorang wanita hamil, dengan izin Allah darah haid itu
berubah menjadi makanan bagi bayi yang tengah berada di dalam
kandungannya. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamil tidak
mengalami masa haid. Setelah melahirkan, dengan hikmah-Nya, Allah
merubahnya menjadi air susu yang merupakan makanan bagi bayi
yang dilahirkan. Karena itu, sedikit sekali dari kaum wanita menyusui
yang mengalami masa haid. Setelah selesai masa melahirkan dan
menyusui, maka darah yang ada tidak berubah serta tetap berada pada
tempatnya, yang kemudian secara normal kembali keluar pada setiap
bulannya, yaitu berkisar antara enam atau tujuh hari (terkadang lebih
atau kurang dari hari-hari tersebut).

2. Ketentuan

Dalam menjalani masa haid ini, wanita dikelompokkan menjadi


tiga kategori, yaitu: Wanita yang baru menjalani masa haid, wanita
5
Wahbah az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Cet ke-5, Terj.Abdul Hayyie alKattani, et.al,.
Jakarta: Gema Insani. 2014. hlm. 508.
6
Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Baari Syarah: Sahahih Bukhari, Terj. Gazirah
Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka Azam. 2002. hlm. 558.

6
yang telah terbiasa menjalaninya dan wanita yang mengalami
keluarnya darah istihadhah.

a. Wanita yang Baru Menjalani Masa Haid


Wanita yang baru menjalani masa haid yaitu, wanita yang baru
pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban
meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan, hingga datang
masa suci. Apabila masa haid itu telah selesai dalam satu hari atau
paling lama lima belas hari, maka ia berkewajiban untuk mandi
dan mengerjakan shalat. Apabila setelah lima belas hari darah
tersebut masih tetap mengalir keluar, maka ia dianggap mengalami
masa istihadhah. Pada saat itu, hukum yang berlaku baginya adalah
hukum wanita yang mengalami istihadhah. Apabila darah haid itu
berhenti di sekitar lima belas hari, lalu ia mengalir lagi selama satu
atau dua hari, kemudian berhenti lagi seperti semula, maka cukup
baginya mandi, lalu mengerjakan shalat.7 Selanjutnya, hendaklah ia
meninggalkan shalat pada setiap kali mengetahui darah haid itu
mengalir.
Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang mengerjakan
shalat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah:

‫إذَا أ َ ْقبَلَت ال َخ ْيضَة َفدَعي الصَّالة (متفق عليه‬


"Apabila datang haidmu, maka tinggalkanlah shalat." (Muttafaqun
Alaih)
b. Wanita yang Biasa Menjalani Masa Haid
Wanita yang mempunyai hari-hari tertentu pada setiap
bulannya untuk menjalani masa haidnya. Pada hari-hari tersebut, ia
harus mening. galkan shalat, puasa dan hubungan badan. Apabila ia
melihat darah berwarna kekuning-kuningan atau yang berwarna
keruh setelah hari-hari haidnya tersebut, maka ia tidak perlu

7
Ibn Rusyd. Bidayatul Mujtahid Jilid 1, Terj. Al-Mas’udah. Jakarta: Pustaka AlKautsar. 2016. hlm.
75.

7
menghitungnya sebagai darah atau haid. Hal ini sesuai dengan
ucapan Ummu Athiyah :
‫شيْئ رواه البخاري‬
َ ‫َارة‬
َ ‫طه‬َّ ‫ص ْف َرةَ أَو ال ُكد َْرةَ بَ ْع َد ال‬
ُّ ‫ُكنَّا ََل تَعُ ُّد ال‬
"Kami tidak memperhitungkan sama sekali darah yang berwarna
kekuning-kuningan atau yang berwarna keruh setelah lewat masa
bersuci." (HR. Al-Bukhari)
Apabila ia melihat darah yang berwarna kekuning-kekuningan
dan yang berwarna keruh itu pada saat tengah menjalani masa haid,
maka darah tersebut termasuk darah haid, sehingga ia belum
diharuskan untuk mandi, melaksanakan shalat dan puasa.
Sebagian dari para ulama berpendapat bahwa wanita yang
menjalani haid melebihi dari hari yang biasa dijalani setiap
bulannya, maka hendaklah ia bersuci selama tiga hari dan setelah
itu laksanakan mandi serta kerjakan shalat, selama keluarnya darah
tersebut tidak lebih dari lima belas hari. Karena, apabila melebihi
lima belas hari, maka dikategorikan sebagai wanita yang
mengalami masa istihadhah serta tidak perlu bersuci, akan tetapi
cukup dengan melaksanakan mandi dan mengerjakan shalat.
Sebagian dari ulama yang lain berpendapat, bahwa keluarnya darah
yang melebihi kebiasaan masa haid itu tidak harus meninggalkan
shalat karenanya, kecuali jika terjadinya berulang-ulang, dua atau
tiga kali. Sehingga pada saat itu, masa haidnya berubah menjadi
masa istihadhah. Ini merupakan pendapat yang jelas dan lebih kuat
(rajih).8
c. Wanita yang Mengalami Istihadhah
Wanita yang mengeluarkan darah secara terus-menerus
melebihi kebiasaan masa berlangsungnya haid. Apabila sebelum
mengalami istihadhah seorang wanita Muslimah sudah menjalani
haid yang menjadi kebiasaan pada setiap bulannya dan ia

8
As-Syekh Faishal bin Abdul Aziz al-Mubarak. Memahami Kearifan Hukun Allah (Nailul
Author). Surabaya: PT Bina Ilmu. 2009.hlm. 209.

8
mengetahui hari-hari yang biasa terjadi pada masa haidnya
tersebut, maka ia harus meninggalkan shalat selama masa haidnya
berlangsung pada setiap bulannya. Setelah selesai menjalani masa
haidnya itu, ia harus mandi, mengerjakan shalat, mengganti utang
puasanya dan boleh berhubungan badan.
Akan tetapi, jika ia tidak mempunyai kebiasaan dari masa haid
yang tetap dan lupa akan masa atau jumlah hari berlangsungnya
haid yang biasa dijalaninya, sedang darah yang mengalir padanya
itu berubah-ubah warnanya, terkadang hitam dan terkadang merah,
maka ketika darah yang keluar itu berwarna hitam, ia tidak perlu
mandi, mengerjakan shalat, puasa dan melakukan hubungan badan.
Namun, ia diharuskan mandi dan mengerjakan shalat setelah
berhentinya darah hitam tersebut, selama tidak lebih dari lima belas
hari.
Sedang apabila darah yang keluar dapat dibedakan antara
sebagian dengan sebagian lainnya, maka ia diharuskan untuk
meninggalkan shalat, puasa dan berhubungan badan pada setiap
bulannya selama berlangsungnya masa haid yang pada umumnya
dijalani oleh kaum wanita, yaitu enam atau tujuh hari. Setelah itu,
diwajibkan atasnya mandi dan mengerjakan shalat.9
Wanita yang mengalami masa istihadhah harus berwudhu
setiap kali akan mengerjakan shalat. Kemudian memakai cawat
(celana dalam atau pembalut wanita) dan selanjutnya boleh
mengerjakan shalat, meskipun darah masih tetap mengalir. Di
samping itu, juga tidak dianjurkan untuk berhubungan badan,
kecuali pada kondisi yang sangat mendesak. Dalil yang menjadi
landasan mengenai masalah ini adalah hadits dari Ummu Salamah:
"Bahwa ia pernah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW
mengenai seorang wanita yang selalu mengeluarkan darah. Maka
Rasulullah SAW bersabda: Hitunglah berdasarkan bilangan

9
Shalih bin Abdullah Al-Laahim. 2011. Fiqih Darah Wanita. Surabaya: Pustaka Elba. hlm. 78.

9
malam dan hari dari masa haid pada setiap bulan berlangsungnya,
sebelum ia terkena serangan darah penyakit yang menimpanya itu.
Maka tinggalkanlah shalat sebanyak bilangan haid yang biasa
dijalaninya setiap bulan. Apabila ternyata melewati dari batas
yang berlaku. Maka hendaklah ia mandi, lalu memakai cawat
(pembalut) dan mengerjakan shalat." (HR. Abu Dawud dan An-
Nasa'i dengan isnad hasan).
Hadits di atas ditujukan bagi wanita yang mengalami masa
istihadhah yang mempunyai kebiasaan masa haid teratur.

3. Hal Yang Diharamkan, Mubah dan Boleh Dilakukan


a. Amalan yang diharamkan bagi wanita haid
1) Mengerjakan Shalat
Semua ulama sepakat bahwa haram hukumnya bagi wanita
haidh melaksanakan shalat. Karena menjadi syarat sah shalat
adalah suci dari hadas besar maupun hadas kecil, dan haidh
termasuk hadas besar. Sehingga bagi wanita haidh tidak boleh
shalat sampai benar-benar suci dari haidhnya. Ada dua hukum
yang berlaku yang terkait dengan hukum shalat bagi wanita
yang sedang haidh.
a) Tidak Wajib
Bagi wanita haidh telah gugur kewajibannya untuk
melakukan shalat. Bahkan sebagian ulama mengatakan
bahwa diharamkan baginya untuk mengerjakan ibadah
shalat.
b) Tidak Sah

Shalatnya wanita haidh, tidak akan sah. Kalaupun shalat


itu dikerjakan juga, maka hukumnya menjadi tidak sah atau
diterima di sisi Allah. Dalilnya:

10
"Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha
maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya"Darah haidh
itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar
seperti itu janganlah shalat. Bila sudah selesai maka
berwudhu'lah dan lakukan shalat.” (HR. Abu Daud dan An-
Nasai).

Dalam hadis di atas Aisyah memberitahukan bahwa


nabi SAW menyuruh mereka mengqadha puasa karena
meninggalkan saat haidh tanpa memerintahkan mengqadha
shalat. Istilah qadha hanya berlaku untuk suatu kewajiban
yang tidak dilakukan pada waktunya. Artinya pelaksanaan
shalat pada saat haidh itu tidak diperintahkan, dan setelah
suci pun tidak diperintahkan untuk mengqadha, yang wajib
diqadha hanya puasanya saja.

Larangan melakukan shalat ini, menurut madzhab


Hanafi, Syafi’i dan Hambali masuk di dalamnya tidak
boleh melakukan amalan-amalan di dalam shalat, seperti
sujud. Maka haram hukumnya bagi wanita haidh
melakukan sujud syukur dan sujud tilawah dalam keadaan
haidh.

c) Berwudu’ atau Mandi Janabah

Larangan yang juga tidak diperbolehkan bagi wanita


haidh adalah berwudhu dan mandi janabah. As-Syafi’iyah
dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa wanita yang sedang
haid diharamkan berwudu’ dan mandi janabah. Apabila ada
seorang yang sedang mendapatkan haidh dan darah masih
mengalir lalu berniat untuk bersuci dari hadats besarnya itu
dengan cara berwudhu' atau mandi janabah seolah-olah
darah haidhnya sudah selesai padahal belum selesai, hal ini

11
dilarang dan merupakan sebuah kesia-siaan. Karena hakikat
dari berwudhu atau mandi janabah adalah untuk
mengangkat hadas besar, sementara wanita haidh selama
darahnya masih keluar, hadas tersebut tidak akan terangkat
dengan wudhu atau mandinya. Wudhu atau mandi hanya
sah kalau haidnya telah benar-benar berhenti.

d) Puasa

Wanita yang sedang haid dilarang menjalankan puasa.


Karena syarat sah dalam puasa salah satunya adalah suci
dari haidh. Sehingga kalau wanita haidh berpuasa,
menyebabkan puasanya tidak sah, melainkan wajib diulang
atau diqadha di luar bulan Ramadhan. Dalil yang
menunjukkan bahwasanya bagi wanita haidh tidak wajib
puasa sebagai berikut :

Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata bahwa


Rasulullah SAW bersabda "Bukankah bila wanita
mendapat hatdh dia tidak boleh shalat dan puasa?". (HR.
Bukhari dan Muslim).

e) Thawaf

Semua ulama sepakat tidak diperbolehkan bagi wanita


yang sedang haid melakukan thawaf. Sedangkan semua
praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab thawaf itu
mensyaratkan seseorang suci dari hadats besar. Dasarnya
adalah apa yang menimpa Aisyah radhiyallahuanha, dimana
beliau mendapatkan haidh pada saat berhaji. Maka
Rasulullah SAW bersabda :

f) Menyentuh Mushaf dan Membawanya

12
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Karim
tentang menyentuh Al-Quran yang artinya : Dan tidak
menyentuhnya kecuali orang yang suci.’ (QS. Al-Waqi’ah :
79)

Jumhur ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan


Hambali sepakat bahwa orang yang berhadats besar
termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh
mushaf Al-Qur’an. Di antara dalil yang menguatkan adalah
larangan Rasulullah SAW dalam surat yang beliau kirim
kepada penduduk Yaman, dimana bunyinya :

”Janganlah menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci.”


(HR. Ad-Daruquthnyi)

Ibnu Taimiyah mengecualikan menyentuh mushaf atau


membawanya dengan memastikan tidak bersentuhan secara
langsung dengan tangannya. Seperti membawa mushaf
dengan lengan bajunya. Dan Imam al-Kasani dari
Hanafiyah menyebutkan bagi wanita yang sedangkan haidh
atau junub dilarang menyentuh mushaf kecuali hanya
sebatas covernya.

g) Masuk ke Masjid dan Menetap

Masuknya wanita haidh ke masjid terjadi sedikit khilaf


dikalangan ulama. Madzhab Syafi’i membolehkan wanita
haidh masuk masjid kalau hanya sekedar lewat tanpa
berdiam diri, begitu juga madzhab hambali membolehkan
kalau sekedar berlalu karena ada hajat atau keperluan dan
madzhab Maliki membolehkan kalau dalam kondisi
darurat, sedangkan madzhab Hanafi mengaharamkan secara
mutlak bagi wanita haidh masuk masjid, baik sekedar lewat
apalagi sampai berdiam diri.

13
Secara umum mereka bersepakat bahwa haram
hukumnya wanita haidh berdiam diri di masjid, misalkan
untuk i’tikaf, belajar dan kegiatan yang mengharuskan
berdiam diri di masjid. Dasarnya adalah ayat Al-Quran dan
sunnah nabawiyah berikut ini :

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu salat


sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali
sekedar berlalu saja hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa' :
43)

h) Menceraikan Istri

Seorang yang sedang haid haram untuk bercerai, dan


apabila dilakukan maka status thalaqnya adalah thalaq
bid’ah. Dalilnya adalah :

”Hai Nabi apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka


hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
iddahnya dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka
dari rumah mereka dan janganlah mereka ke luar kecuali
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang
baru.” (QS. At-Thalaq : 1)

Secara hukum fiqih meski termasuk thalaq bid’ah,


tetapi dari segi hukum thalaq tetap jatuh dan sah sebagai
thalaqnya dan suami yang menjatuhkan thalaq tersebut

14
berdosa. Dan suami yang terlanjur menceraikan dianjurkan
untuk segera merujuk istrinya pada saat haidh itu juga.10

b. Amalan yang mubah dilakukan Wanita haid


1) Bercumbu pada bagian-bagian selain kemaluan.
2) Berzikir kepada Allah
3) Ihram, wuquf di Arafah, semua amalan haji dan umrah kecuali
thawaf di sekeliling Ka'bah. Tidak diperbolehkan bagi wanita
yang sedang menjalani masa haid serta nifas, kecuali setelah
bersuci dan mandi. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah
kepada Aisyah

‫َفا ْف َعلي َما َي ْف َع ُل الحاج غير أن َل تطوفي بالبيت حتى‬


‫تظهرى َحت َّى‬

"Kerjakanlah seperti orang yang menjalankan ibadah haji,


kecuali melakukan thawaf di Ka'bah sehingga kamu
bersuci."(Muttafaqun Alaih)

4) Makan dan minum bersama. Hal ini seperti disebutkan di


dalam hadits riwayat dari Aisyah as:

‫سلَّم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ِض َفأَنَا ِولُهُ النَّبِ ُّي‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ب َوأَنَا حَائ‬
ُ ‫كُنتُ أَش َْر‬
)‫علَى َم ْو ِض ِع فِي َفيَش َْرب (رواه مسلم‬
َ ُ‫ض ُع َفاه‬
َ َ‫َفي‬

"Aku pernah minum air dalam keadaan haid dan memberikan


sisanya kepada Nabi. Kemudian beliau meletakkan mulut
beliau tepat pada bekas mulutku dan meminum air tersebut.
"(Imam Muslim)

Selain itu, tidak dimakruhkan bagi wanita yang sedang


menjalani masa haid atau nifas untuk memasak, mencuci atau
yang lainnya. Berkenaan dengan hal ini, telah diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas'ud, di mana dia menceritakan:

10
Isnawati. 2018. Larangan Wanita Haid. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing. hlm.6-27.

15
‫ واكلها ورواه أحمد‬:‫سالت الي صلى هللا عليه وسلم عن مواكلة الخالص فقال‬
‫والتر مدی‬

"Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang makan


bersama istri yang sedang haid dan beliau pun menjawab.
Diperbolehkan makan bersamanya." (HR. Ahmad dan At
Tirmidzi)

Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa orang-orang


Yahudi pada masa Rasulullah apabila mendapati istri mereka
sedang haid, maka mereka tidak mau mengapak makan
bersama dan tidak pula menemaninya di rumah. Lalu salah
seorang sahabat wanita bertanya kepada Rasulullah, mengenai
hal tersebut dan beliau menjawab dengan bersabda:

‫صنَعُوا ك ُِل ش َْيءٍ إِ ََّل النِكَاح‬


ْ ‫إ‬
)‫(رواه مسلم‬

"Perbuatlah segala sesuatu, kecuali berhubungan badan.


"(HR. Muslim)

c. Amalan yang boleh dilakukan wanita haid


1) Banyak berdoa khususnya pada waktu- waktu yang mustajab
untuk berdoa.
2) Banyak berdzikir kepada Allah ta’ala dengan berbagai jenis
dzikir yang disyariatkan.
3) Banyak bertaubat dan membaca istighfar.

4) Membaca Al-Quran, namun dengan pelapis, sebab wanita


haid/nifas tidak boleh menyentuh Mushaf secara langsung.
Atau kalau bisa boleh membaca Al-Quran dari buku tafsir atau
dari HP, karena keduanya tidak dianggap sebagai Mushaf yang
haram disentuh oleh orang yang berhadas.
5) Bersedekah,ini merupakan amalan yang baik dan memiliki
keutamaan yang sangat besar.

16
6) Muhasabah/Intropeksi dan evaluasi diri.
7) Amalan-amalan kebaikan lainnya berupa membantu orang lain,
silaturrahim, mengajar anak-anak.11

4. Batasan Waktu

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah


mengatakan bahwa ketika darah kebiasaan itu ada, maka berlakulah
hukum. Inilah yang ditunjukkan oleh dalil dan diamalkan oleh kaum
muslimin. Adapun menetapkan umur tertentu di mana minimal wanita
mendapati haid atau menetapkan usia berapa berakhirnya haid, juga
menetapkan batasan minimal atau maksimalnya, maka seperti itu
tidaklah terdapat dalil.12 Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak
batasan minimal atau maksimal lamanya haid. Selama wanita melihat
kebiasaan haidnya terus menerus, maka dihukumi haid. Jika kurang
dari sehari, namun darah tersebut terus keluar, maka dihukumi haid.
Begitu pula jika lebih dari tujuh belas hari dan keluar terus menerus,
maka dihukumi haid. Adapun jika darah keluar selamanya terus
menerus, diketahui seperti itu bukanlah haid. Karena sudah diketahui
secara syar’i dan menurut pengertian bahasa, seorang wanita kadang
mengalami suci, kadang mengalami haid. Ketika suci ada hukum
tersendiri, begitu pula ketika haidnya.13

Menetapkan masa lamanya haid dengan waktu tertentu tidaklah


berdasarkan dalil. Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan di
zaman Nabi Muhammad saw, jika ada batasan umur wanita mendapati
haid dan jangka waktu lamanya haid, maka tentu akan dijelaskan
dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Oleh karenanya, jika
wanita melihat darah yang sudah dikenal sebagai darah haid, maka

11
https://wiz.or.id/amalan-yang-dilakukan-ketika-haid/ diakses pada tanggal 11 November 2023
jam 22:53
12
Al-Qawa’id wa AlFuruq, hlm. 169, dinukil dari catatan kaki kitab Manhaj As-Salikin karya
Syaikh As-Sa’di, hlm. 52
13
Majmu’ah Al-Fatawa, Karya Ibnu Taimiyah. 19:237

17
dihukumi sebagai haid tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali
kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak
terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau
dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah.14

B. NIFAS
1. Pengertian

Nifas adalah darah yang dikeluarkan dari Rahim seorang Wanita


setelah selesai melahirkan, walaupun anak yang dilahirkan belum
berwujud manusia atau masih berupa alaqoh (darah kental) atau
mudglah (segumpal darah).15 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: “ Darah yang dilihat seorang Wanita Ketika mulai merasa
sakit adalah nifas.” Beliau tidak memberikan Batasan 2 atau 3 hari.
Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika
tidak, maka itu bukan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada
batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam
risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh pembawa
syari’at, nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Jika ada
seorang Wanita mendapati darah lebih dari 40, 60, atau 70 hari dan
berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu
darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari,
karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh
banyak hadits.

14
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab,
no. 65570
15
Hadi, Anis Tanwir. Pengantar Fiqih Untuk Kelas VI Madrasah Ibtidaiyah 6. Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri. 2008. Hlm 23.

18
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal
menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak
tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wnaita
menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi Ketika
sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya.
Kecuali, kalua bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu
sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu,
maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya
untuk di pergunakan pada masa mendatang. Namun jika darahnya
terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah
ia Kembali kepada hukum-hukum Wanita mustahadhah yang telah
dijelaskan pada sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan
berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40
hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli
oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu
hari maka hal ini tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam
kitab Al-Mughni.

Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si Wanita melahirkan bayi


yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran
dan janinnya belum jelas bentuk manusia maka darah yang keluar itu
bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena
itu tang berlaku baginya adalah hukum Wanita mustahadhah. Minimal
masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari
dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-
Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna:
“Manakala seorang Wanita mendapati darah yang disertsi rasa sakit
sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai
nifas)”. Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa.
Kemudian, apabila sesudah kelahiran ternyta tidak sesuai dengan
kenyataan maka ia segera Kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi

19
kalua tidak demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan
sehingga tidak perlu kembali menggerjakan kewajiban.

2. Ketentuan
a. Masa Berlangsungnya Nifas

Tidak ada batas minimal dalam masa nifas, yaitu bisa saja
terjadi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, apabila seorang
Wanita melahirkan, lalu tidak lama darah nifasnya berhenti, maka
ia berkewajiban mengerjakan shalat, puasa dan ibadah lainnya
seperti layaknya Wanita yang berada dalam keadaan suci.
Sedangkan batas maksimalnya adalah 40 hari, sesuai dengan hadits
dari Ummu Salamah di atas. Disunnahkan bagi Wanita Muslimah
untuk mandi setelah melahirkan baik yang melahirkan dengan
mengeluarkan darah maupun tidak. Demikian, juga apabila
mengalami keguguran pada masa-masa kehamilan, meskipun
waktunya sangat sebentar.

b. Cara Mengetahui Kesucian

Seorang wanita muslimah dapat mengetahui kesuciannya


dengan cara memasukkan kapas kepada kemaluannya, lalu
mengeluarkan Kembali. Hal ini dilakukan pada saat bangun dari
16
tidur dan ketiika hendak tidur. Yaitu untuk mengetahui, apakah
dirinya dalam keadaan suci atau tidak. Atau untuk mendapatkan
bukti apakah masih ada yang keluar setelah ia bersuci.

3. Hal Yang Diharamkan, Mubah dan Boleh Dilakukan


a. Amalan yang Diharamkan bagi Wanita pada Masa Nifas

Amalan yang diharamkan bagi wanita pada masa haid


diharamkan pula pada masa nifas karena sama-sama merupakan
pendarahan yang keluar dari dalam rahim, berikut laranganya :

16
Nurhayati, Nunung. Biologi Bilingual Untuk SMA/MA XI Semester I dan 2. Bandung: Yrama
Widya. 2011. hlm. 25.

20
1) Sholat.

Sholat disyaratkan dalam keadaan suci dan bersuci,


sedangkan wanita hadih dan nifas tidak dalam keadaan suci.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫ص َد َقةٌ مِ ْن‬
‫غلُو ٍل‬ َ ‫ور َو ََل‬ ُ ‫ََل ت ُ ْقبَ ُل ص ََالةٌ ِبغَي ِْر‬
ٍ ‫ط ُه‬

“Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak


akan diterima shadaqah dari (hasil) ghulul (khianat).” (HR.
Muslim, no. 224)

2) Thowaf.

Thowaf di ka’bah disyaratkan dalam keadaan suci dari


hadits besar dengan kesepakatan ulama, maka wanita hadih dan
nifas tidak boleh melakukan thawaf. Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini ketika Asma’ binti
‘Umais ketika melahirkan anaknya, Abdurrahman bin Abi
Bakar :

ْ َ‫ َو َمعَهُ ا ْم َرأَتُهُ أ‬،‫َاع‬ َ َ ‫ أَنَّهُ َخ َر‬،‫ع َْن أ َ ِبي بَك ٍْر‬


ُ‫س َما ُء ِب ْنت‬ ِ ‫سلَّ َم َح َّجة ا ْل َود‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ِل‬
ُ ‫ج حَاجًّا َم َع َر‬
َ ‫ َفأَتَى أَبُو َبك ٍْر النَّ ِب َّي‬،‫س َما ُء ُم َح َّم َد ْبنَ أ َ ِبي َبك ٍْر‬
ُ‫صلَّى هللا‬ ْ َ‫ َولَدَتْ أ‬،ِ‫ َفلَ َّما كَانُوا ِبذِي ا ْل ُحلَ ْيفَة‬،ُ‫ْس ا ْل َخثْعَمِ َّية‬ ٍ ‫ع َمي‬ ُ
‫صنَ َع‬ ِ َ ‫ أَ ْن ت َ ْغت‬،‫سلَّ َم أ َ ْن يَأ ْ ُم َر َها‬
ْ َ ‫ َوت‬،ِ‫س َل ث ُ َّم ت ُ ِه َّل بِا ْلحَج‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ “ َفأ َ َم َرهُ َر‬،ُ‫سلَّ َم َفأ َ ْخبَ َره‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
ِ ‫وف بِا ْلبَ ْي‬
‫ت‬ ُ ‫ط‬ُ َ ‫ إِ ََّل أَنَّ َها ََل ت‬،‫اس‬
ُ َّ‫صنَ ُع الن‬
ْ َ‫” َما ي‬

”Dari Abu Bakar, bahwa ia pergi untuk melakukan haji wada’


bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau
bersama isterinya, yaitu Asma` bintu ‘Umais Al
Khats’amiyyah. Kemudian setelah mereka telah sampai di Dzul
Hulaifah, Asma` melahirkan Muhammad bin Abu Bakar.
Kemudian Abu Bakar datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan mengabarkan kepadanya, lalu Rasulullah

21
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar agar
memerintahkan kepada Asma` supaya mandi kemudian
mengucapkan do’a talbiyah untuk melakukan haji, serta
melakukan apa yang dilakukan orang-orang (yang berhaji),
hanya saja ia tidak melakukan thawaf di baitullah.”
(HR. Nasai, no. 2664; Ibnu Majah, no. 2912. Dishohihkan oleh
Syaikh Al-Albani)

3) Berpuasa

Wanita yang sedang hadih dan nifas tidak boleh berpuasa.


Nabi sholallohu ‘alaihi was salam bersabda:

ِ ‫ص ْم قُ ْلنَ بَلَى َقا َل َفذَلِكِ مِ ْن نُ ْقص‬


‫َان دِينِهَا‬ َ ‫أَلَي‬
ُ َ ‫ْس إِذَا حَاضَتْ لَ ْم تُص َِل َولَ ْم ت‬

“Bukankah jika seorang wanita sedang hadih, dia tidak


melakukan sholat dan tidak berpuasa?” Para wanita menjawab,
“Ya”. Beliau bersabda, “Itu di antara kekurangan agama
wanita”. (HR. Bukhori, no. 304)

4) Berhubungan badan dengan suami

Dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam


hadits berikut ini:

‫ َولَ ْم يُجَامِ عُوهُنَّ فِي‬،‫ت ا ْل َم ْرأَةُ فِي ِه ْم لَ ْم يُؤَا ِكلُو َها‬ ِ ‫ض‬َ ‫ع َْن أ َ َن ٍس أَنَّ ا ْليَ ُهو َد كَانُوا ِإذَا حَا‬
‫سلَّ َم َفأ َ ْن َز َل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫سلَّ َم النَّ ِب َّي‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ ‫َاب النَّ ِبي‬
ُ ‫صح‬ ْ َ ‫سأ َ َل أ‬
َ ‫ت َف‬
ِ ‫ا ْلبُيُو‬
‫يض‬ ِ ِ‫سا َء فِي ا ْل َمح‬ َ ِ‫يض قُ ْل ه َُو أَذى َفا ْعت َ ِزلُوا الن‬ِ ِ‫سأَلُونَكَ ع َِن ا ْل َمح‬ َ ‫}هللاُ تَعَالَى‬
ْ َ‫{وي‬
‫صنَعُوا ُك َّل‬ْ ‫ ا‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ َفقَا َل َر‬،ِ‫] إِلَى آخِ ِر ْاْليَة‬222 :‫[البقرة‬
َ ‫ش َْيءٍ إِ ََّل النِكَا‬
‫ح‬

“Dari Anas, bahwa kebiasaan kaum Yahudi dahulu apabila


seorang wanita di kalangan mereka mengalami haidh, mereka
tidak makan bersamanya dan tidak berkumpul dengannya di

22
dalam rumah. Maka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lalu Allah Ta’ala menurunkan (ayat Al-Qur’an), “Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu
adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka di masa haidh”, sampai akhir ayat
(QS. Al-Baqarah/2: 222). Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Perbuatlah segala sesuatu kecuali
nikah (hubungan badan)”. (HR. Muslim, no. 302; Tirmidzi, no.
2977; Nasai, no. 288; Abu Dawud, no. 258; Ahmad, no. 12354)

5) Menyentuh mushaf Al-Qur’an

Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menyentuh


mushhaf Al-Qur’an bagi orang yang berhadats. Mayoritas
ulama melarang berdasarkan hadits:

َ َّ‫س ا ْلقُ ْرآنَ إَِل‬


‫طاهِر‬ ُّ ‫َلَ يَ َم‬

“Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”.


(HR. Daruquthniy, dll. Dinyatakan kuat oleh Syaikh Al-Albani
karena banyak jalur riwayatnya dan saling menguatkan. Lihat:
Irwaul Gholil, no. 122).

Oleh karena itu, yang lebih selamat adalah tidak memegang


mushhaf Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci. Jika
dibutuhkan untuk menyentuh mushhaf Al-Qur’an, maka bisa
menggunakan pelapis kain atau lainnya.

b. Amalan yang Mubah Dilakukan Wanita Nifas


1) Bercumbu pada bagian-bagian selain kemaluan.
2) Berzikir kepada Allah.

23
3) Ihram, wuquf di Arafah, semua amalan haji dan umrah kecuali
thawaf di sekeliling Ka'bah. Tidak diperbolehkan bagi wanita
yang sedang menjalani masa haid serta nifas, kecuali setelah
bersuci dan mandi.

c. Amalan yang Boleh Dilakukan Wanita pada Masa Nifas


1) Mencukur rambut dan memotong kuku.
2) Pergi ke pasar.
3) Pergi mendengarkan ceramah agama dan belajar memahami
Islam, apabila hal tersebut tidak dilakukan di dalam masjid.
4) Berdzikir, bertasbih, bertahmid dan membaca basmalah
sebelum makan minum
5) Membaca hadits, figih, doa dan mengucapkan amin.
6) Membaca berbagai macam dzikir sebelum tidur.
7) Mendengarkan bacaan Al-Qur'an17

4. Batasan Waktu

Para ulama’ sepakat bahwa darah yang keluar setelah bersalin


adalah darah nifas. Terdapat perbedaan pendapat tentang darah yang
dilihat oleh wanita bersalin sehari atau dua hari sebelum bersalin dan
darah yang keluar serentak dengan bayi. Mengenai masa nifas juga
terdapat beberapa pandangan dari pandangan para fuqaha’ yaitu:

a. Para fuqaha’ bersependapat tidak ada jarak masa bagi sedikiitnya


waktu nifas.

Kadang-kadang seorang wanita mendapati darah yang keluar


sekejap saja, walaupun dia bersalin dalam sehari atau lebih dari
satu hari. Kadang kala dia tidak mendapati sebarang darah.
Diriwayatkan bahwa seorang wanita telah melahirkan anak di
zaman Rasulullah saw, tetapi dia tidak melihat adanya darah nifas.
17
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah. Fiqih Wanita. Jakarta: Al-Kautsar. 2008. hlm.87-88.

24
Karena itu dia telah dikenai sebagai Zaatul Jufuf (yang
kekeringan). Perdebatan yang dinukilkan di kalangan fuqaha’
tentang sedikitnya masa waktu nifas adalah berkisar di sekitar
masa waktu minimum yang didapati oleh wanita yang bersalin.

Mengenai pendaat Abu Hanifah, terdapat tiga riwayat darinya


yaitu pertama, dimana riwayat yang sah mengatakan sedikitnya
nifas adalah setitik; riwayat kedua, mengatakan sebelas hari
sedangkan riwayat ketiga mengatakan dua puluh lima hari. Ini
sama sekali tidak menolak kesepakatan ulama’ bahwa tidak ada
masa waktu tertentu bagi sedikitnya nifas, karena pokok
perbincangan di sekitar darah yang tampak dan ada yang keluar
sangat sedikit dan banyak, bahkan ada juga wanita yang tidak
melihat darah nifas sedikitpun.

b. Golongan Syafi’i dan golongan yang sependapat dengan mereka


mengatakan masa waktu kebiasaan nifas adalah empat puluh hari.

Sumber kepada masa waktu ini dipetik dari kebiasaan dan apa
yang sering berlaku, serta kata-kata Ummu Salamah ra sebagi
berikut:

”Wanita yang nfas di zaman Rasulullah saw. menunggu setelah


nifasnya selama empat puluh hari.” (Riwayat Abu Daud dan Al-
Tirmidzi serta dianggap shahihoeh Al-Hakim).

c. Ketiga jumhur ahli ilmu berpendapat masa waktu maksimum bagi


nifas adalah empat puluh hari.

Abu Isa Al-Tirmidzi mengatakan para ahli ilmu dari kalangan


sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. dan Tabi’in serta orang-
orang yang setelah mereka berijma’ bahwa wanita yang bernifas
hendaklah meninggalkan shalat selama empat puluh hari kecuali
jika dia mendapati dirinya suci sebelum masa wakti itu, maka dia
hendaklah mandi dan shalat.

25
Mereka mengemukakan dalil berdasarkan hadits Ummu
Salamah yang telah disebutkan oleh Abu Darda’ dan Abu Hurairah
dimana mereka berdua mengatakan: ”Rasulullah saw. bersabda:
“wanita yang bernifas hendaklah menunggu empat puluh hari
kecuali jika dia melihat dirinya suci sebelum itu. Jika setelah
sampai empat puluh hari dan dia mendapati dirinya belum suci,
maka dia hendaklah.”

Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Addi, dalam susunan


perawinya terdapat Al-’Ala’ Bin Kathir dimana riwayatnya adalah
sangat lemah. Mereka juga menyebutkan hadits ’Aisyah ra bahwa
Rasulullah saw. bersabda: ” ditentukan waktu untuk golonga
wanita semasa dalam nifas mereka, yakni selama empat puluh
hari.”18

Dalam konteks peraturan kebersihan wanita setelah melahirkan dan


dalam kaitannya dengan masa nifas, ada beberapa situasi yang perlu
diperhatikan:

a. Apabila masa nifas lebih dari 40 hari

Dalam hal ini terdapat dua gambaran yaitu:

1) Keluarnya darah setelah 40 hari tersebut bertepatan dengan


waktu kebiasaan haidnya, yang berarti ia haid setelah nifas.
Maka ia menunggu sampai selesai masa haidnya, baru bersuci.
2) Keluarnya darah tidak bertepatan dengan kebiasaan haidnya.
Maka ia mandi setelah sempurna nifasnya selama 40 hari, ia
mengerjakan puasa dan shalat walaupun darahnya masih
keluar.

Apabila kejadian ini berulang sampai tiga kali, yakni setiap


selesai melahirkan, dari melahirkan anak yang pertama sampai

18
Sheihk Muhammad Nuruddin. Cara Wanita Menghadapi Haid, Nifas, dan Istihadhah Menurut
Al-Qur’an dan Hadits. Tangerang: Indocamp. 2018. hlm. 126-128.

26
anak yang ketiga misalnya, darahnya selalu keluarnya lebih dari 40
hari berarti ini merupakan kebiasaan nifasnya. Yakni masa nifasnya
memang lebih dari 40 hari. Selama masa nifas yang lebih dari 40
hari itu, ia meninggalkan puasa yang berarti harus dia qadha di
waktu yang lain (saat suci), sementara shalat yang ditinggalkan
tidak ada qadhanya.

Apabila kejadian keluarnya darah lebih dari 40 hari ini tidak


berulang, yakni hanya sekali,maka darah tersebut bukanlah darah
nifas tapi darah istihadhah.

b. Apabila darahnya darahnya terus-menerus keluar selama 40 hari

Darahnya terus menerus keluar sampai sempurna waktu 40


hari. Maka dalam jangkawaktu 40 hari tersebut, ia tidak shalat dan
tidak puasa. Setelah berhenti darahnya, barulah iamandi, puasa,
dan shalat.

c. Apabila suci sebelum 40 hari

Darah nifasnya berhenti sebelum sempurna 40 hari dan setelah


itu sama sekali tidak keluar lagi. Maka ketika darah tersebut
berhenti/tidak keluar lagi, si wanita harus mandi, puasa (bila
bertepatan dengan bulan Ramadhan), dan mengerjakan shalat (bila
telah masuk waktunya).

d. Apabila darah keluar kembali sebelum 40 hari

Darah nifasnya berhenti sebelum genap 40 hari, namun


beberapa waktu kemudiandarahnya keluar lagi sebelum selesai
waktu 40 hari. Pada keadaan ini, si wanita mandi, puasa,dan shalat
di saat berhentinya darah. Namun di saat darah tersebut kembali
keluar berarti iamasih dalam keadaan nifas, sehingga ia harus
meninggalkan puasa dan shalat. Ia harus mengqadha puasa wajib

27
yang ditinggalkannya sementara untuk shalat yang ditinggalkan
tidak ada qadha.

e. Apabila melahirkan tetapi tidak mengeluarkan darah

Terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini diantaranya:

1) Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya, "Sebagian wanita


kesulitan melahirkan, sehingga terpaksa dilakukan operasi.
Kondisi seperti itu dapat menyebabkan sang anak keluar tidak
melalui vagina. Apa hukum wanita seperti itu dalam syariat
terkait darah nifas?

Mereka menjawab, "Hukum mereka adalah hukum wanita


yang nifas. Jika dia mendapatkan darah, maka hendaknya dia
tidak melakukan shalat hingga suci, adapun jika dia tida
mendapatkan darah, maka dia shalat dan puasa sebagaimana
umumnya wanita yang suci."19

2) Pendapat Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dia berkata, "Jika


wanita nifas tidak mendapatkan darah, tapi ini jarang sekali,
maka wanita seperti ini tidak boleh meninggalkan shalat di
waktu nifas. Jika dia melahirkan ketika matahari terbit, lalu
masuk waktu Zuhur dan dia tidak mendapatkan darah, maka
dia tidak perlu mandi, akan tetapi dia cukup berwudhu dan
shalat."20

f. Nifas bagi wanita yang melahirkan dengan bedah caesar


Hukum bagi wanita yang mengalami kejadian demikian sama
dengan hukum wanita-wanita lain yang mengalami nifas karena
persalinan normal. Bila ia melihat keluarnya darah dari
kemaluannya, ia meninggalkan shalat dan puasa sampai suci. Bila

19
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/420
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz B Bazz, Syaikh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi Rahimahullah Asy-Syarhul
20

Mumti ‘Ala Zadul Mutaqni. Qaherah Mesir: Daar Ibnul Jauzi. 2009. hlm. 281.

28
ia tidak lagi melihat keluarnya darah maka ia mandi, mengerjakan
shalat dan puasa seperti halnya wanita-wanita yang suci.21

5. Thalak Dan Iddah


a. Thalak

َ -‫ق‬
Thalak dari bahasa Arab yaitu ‫طالَ قا‬ َ yang artinya
ُ ‫ يَطل‬- ‫ط لَق‬
memutuskan bercerai.22 Sedangkan menurut istilah ada beberapa
pengertian yang dikemukakan oleh para ulama diantaranya:

1) Menurut Sayyid Sabiq, thalak ialah melepaskan ikatan


perkawinan atau bubarnya perkawinan.23
2) Menurut Abu Zakaria al-Anshari, thalak ialah melepas tali akad
nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.24
3) Menurut al-Jaziri, thalak ialah menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan
menggunakan kata-kata tertentu.25

Dapat disimpulkan talak adalah menghilangkan ikatan


perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu
sendiri tidak lagi halal bagi suaminya. Ini terjadi dalam talak bai’n,
sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah
berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan
berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang
hak dalam talak raj’i.26

21
Amin Ibn Yahy’a Wazzan. Fatawa Al Mar’ah Al-Muslimah. Arabic: Maktabat Dar Tabariyah,
Maktabat Adwa AL-Salaf. 1995.hlm. 70.
22
Muhammad Yunus. Kamus Bahasa Arab. Jakarta : PT. Hidayat karya Agung. hlm. 235.
23
Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. Yogyakarta: Cakrawala Publishing. 2021. hlm. 9
24
Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group. 2019. hlm. 192.
25
Abdurrahman al-Jaziri. Figh A’la Mzahib Al-Arba’ah. Bairut : Iilya Al-Arba’ah. 1996. Juz VII,
hlm. 514.
26
Ibid,. (Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group. 2019. hlm. 192.)

29
Talak merupakan suatu peristiwa hukum yang telah berjalan
lama, talak sudah dikenal lama sebelum zaman Nabi Muhammad
SAW. Talak dikenal serta terjadi di tengah masyarakat luar hingga
sekarang, keberadaan talak masih tetap diakui eksistensinya dan
tidak ada pengingkaran terhadapnya.27 Menurut Sayyid Sabiq
dalam Fiqh Sunnah disebutkan bahwa hukum talak adalah sebagai
berikut:28

1) Wajib, talak yang (hukumnya) wajib adalah talak (yang


diputuskan) dua hakam (dengan adanya) syiqaq yang terjadi
antara suami istri. Jika dua hakam melihat atau berpendapat
bahwa talak tersebut sebagai langkah atau cara untuk
menghentikan syiqaq. Sebagaimana talaknya perempuan yang
di illa' setelah menunggu lamanya empat bulan.
2) Haram, Yaitu talak yang tanpa adanya hajat atau kebutuhan.
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa talak haram adalah talak
yang tanpa adanya hajat (kebutuhan). Talak diharamkan karena
merugikan diri suami, merugikan istri dan tidak ada maslahat
yang bisa diperoleh suami istri karena tidak ada kebutuhan
baginya.
3) Sunnah, yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan
hak-hak Allah ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya,
misalnya sholat, puasa dan kewajiban lainnya, sedangkan
suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya. Atau
istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian
dirinya. Dan itu mungkin saja terjadi, karena memang wanita
itu mempunyai kekurangan dalam hal agama, sehingga
mungkin saja ia selingkuh dan melahirkan anak hasil dari
perselingkuhan dengan laki-laki lain. Dalam kondisi seperti itu

27
Abd al-Qadir Manzhor. Buku Pintar Fikih Wanita. Jakarta: zaman. 2009. hlm. 44.
28
Ibid,. (Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. Yogyakarta: Cakrawala Publishing. 2021.)

30
dibolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan
geraknya.
4) Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan
kebutuhan. Sebagai ulama ada yang mengatakan mengenai
talak yang makruh ini mendapat dua pendapat. Pertama, bahwa
talak tersebut haram dilakukan karena dapat menimbulkan
mudharat bagi dirinya juga bagi istrinya, serta tidak
mendatangkan manfaat apapun. Talak ini haram sama seperti
tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa
guna, tidak boleh memberikan mudzaratan kepada orang dan
tidak boleh membalas kemudzaratan dengan kemudzaratan
lagi. Kedua, menyatakan bahwa talak seperti itu perbuatan
halal yang dibenci Allah.29

Putusnya perkawinan antara suami istri dapat terjadi karena


adanya thalak atau inisiatif suami, adapun terdapat rukun dan
syarat thalak menurut hukum Islam, yaitu:

1) Suami yang mentalak Syarat-syaratnya antara lain;aligh,


berakal, atas kehendak sendiri.30
2) Istri yang ditalak Perempuan yang dikatakan jadi obyek talak
apabila dalam keadaan:
a) Terjadi dalam suatu ikatan sebagai suami istri secara sah.
b) Bila berada dalam iddah talak raj'i atau iddah talak ba'in
sughra, sebab dalam keadaan seperti ini semua hukum
ikatan suami istri masih berlaku sampai habisnya masa
iddah.
c) Jika perempuan berada dalam pisah badan karena dianggap
sebagai talak, seperti pisah badan sebab suami tidak mau
masuk Islam bila istrinya masuk Islam atau sebab ila',

29
Syaikh Hasan Ayyu. Fiqh Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001. hlm. 48
30
Amir Syarifuddin. Hukum perkawinan Islam di indonesia: antara fiqh munakahat dan undang-
undang perkawinan. Jakarta: Kencana. 2006. hlm. 204.

31
menurut pengikut golongan Hanafi pisah badan dalam
keadaan seperti ini dianggap talak.
d) Jika perempuan dalam iddah karena pisah badan yang
dianggap sebagai fasakh, tetapi pada dasarnya akadnya
tidak batal.31
3) Perkataan yang di gunakan untuk perceraian atau maksud
mentalak. Perkataan yang dipakai untuk perceraian ada dua
macam yaitu:
a) Perkataan sharih atau terang, yaitu dengan perkataan jelas,
tidak ragu-ragu lagi, bahwa yang dimaksud adalah
memutuskan ikatan perkawinan. Contohnya: suami berkata
"saya talak engkau", "engkau saya ceraikan", perkataan
yang sharih ini tidak perlu dengan niat, artinya apabila
dikatakan oleh suami baik berniat atau tidak maka
keduanya dinyatakan telah bercerai.32
b) Perkataan kinayah atau sindiran, yaitu perkataan yang
masih raguragu. Boleh diartikan untuk perceraian atau yang
lain.
Contohnya: "suami berkata engkau telah haram saya
kumpuli pergilah dari rumah", "pulanglah engkau ke rumah
keluargamu" dan lain sebagainya yang bermakna sindiran.
Perkataan kinayah ini sesuai dengan niat, artinya jika
diniatkan untuk mentalak maka talaknya dianggap sah,
sebaliknya apabila tidak diniatkan untuk perceraian
talaknya tidak sah.
b. Iddah

Kata iddah berasal dari bahasa arab yang berasal dari akar kata
adda-ya’iddu-‘iddatan dan jamaknya adalah kata ‘iddad yang

31
Ibid,. (Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. Yogyakarta: Cakrawala Publishing. 2021.)
32
Ibid,. (Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group. 2019. hlm 195.)

32
secara bahasa berarti menghitung atau hitungan sesuatu.33 Secara
istilah iddah adalah menahan diri yang dikenakan terhadap istri
ketika hilang akad nikahnya dan sudah diketahui dengan pasti
bahwa dia sudah dikumpuli suaminya, atau bisa juga disebabkan
kematian suami. Iddah bisa juga diartikan sebagai masa istri
menahan diri untuk mengetahui kebersihan rahimnya, serta untuk
menghormati suaminya.34

Iddah tidaklah selalu sama pada setiap wanita, al-Qur’an


memberi petunjuk dalam berbagai ungkapan yang menegaskan
bahwa ‘iddah itu ditetapkan berdasarkan keadaan wanita sewaktu
diceraikan atau ditinggalkan mati oleh suaminya dan juga
berdasarkan atas proses perceraian, apakah cerai mati atau cerai
hidup. Berikut macam-macam iddah berdasarkan atas perbedaan
sebagai berikut:

1) Perbedaan ditinjau dari keadan Wanita

Ada beberapa keadaan wanita sewaktu ia dicaraikan oleh


suaminya yang menjadi patokan dalam menentukan masa
‘iddah.

a) Qabla al-mass dan Ba’d al-mass

Sudut tinjauan pertama yang dapat dilihat dalam


ungkapan al- Qur’an adalah wanita itu sudah digauli (ba’ad
al-mass) atau belum (qabl al-mass).

b) Hamil atau tidak hamil

Sisi kedua dari keadaan wanita sewaktu dicerai


suaminya yang menjadi patokan menetapkan iddah adalah

33
Dahlan Idhamy. Azas-Azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya: AlIkhlas. hlm.
73.
34
Muhammad Isma Wahyudi. Fikih Iddah: Klasik Dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. 2009. hlm. 124.

33
apakah ia hamil atau tidak. Dalam hal ini, al-Qur’an
menetapkan dengan tegas bahwa jika perceraian sewaktu
wanita tersebut dalam keadaan hamil, maka iddah- nya
berlangsung sampai ia melahirkan kandungannya, atau
berlangsung selama ia hamil.

2) Perbedaan ditinjau dari proses perceraian

Perbedaan proses perceraian yang dimaksud adalah sebagai


berikut:

a) Perceraian karena talak (cerai hidup)

Iddah wanita yang dicerai melaluai proses talak (cerai


hidup) adalah tinjauan bagaimana keadaan wanita itu, bila
masih dalam masa haid, iddah-nya adalah setelah haid yang
ketiga, bagi wanita yang belum haid atau wanita yang
sudah tidak haid lagi (monopouse) iddah-nya tiga bulan dan
bagi wanita yang sedang hamil iddah-nya adalah sampai
melahirkan.35

b) Perceraian karena kematian (cerai mati)

Allah menetapkan iddah-nya empat bulan sepuluh


hari.36 Iddah istri yang diceraikan itu lebih singkat daripada
iddah wanita yang ditinggal mati suami, karena perpisahan
antara suami dan istri akibat kematian bukanlah perpisahan
yang dilakukan kerena kehendak salah satu dari mereka
berdua, dalam keadaan semacam itu, istri dituntut untuk
memberikan penghormatan terakhir pada suaminya yang
telah meninggal dunia. Itu alasan mengapa iddah wanita

35
Abdul Ghofur Anshori. Hukum Perkawinan Islam: (Perspektif fikih dan hukum positif).
Yogyakarta: UII Press. 2011. hlm. 231.
36
Ibid,. (Muhammad Isma Wahyudi. Fiqh Iddah: Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. 2009. hlm. 122.)

34
yang ditinggal mati suaminya lebih lama dari pada iddah
wanita yang diceraikan.

35
KESIMPULAN
Haid dan nifas adalah dua fase alamiah dalam siklus reproduksi
perempuan yang memiliki implikasi signifikan dalam tata cara beribadah dan
beraktivitas sehari-hari.Secara bahasa haid (menstruasi) berarti mengalir, dan
menurut istilah syara’ adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita
sewaktu sehat, bukan disebabkan melahirkan ataupun karena sakit. Sedangkan
secara terminologis (istilah) menurut para ahli fiqih berarti, darah yang biasa
keluar pada diri seseorang wanita pada hari-hari tertentu. Sedangkan nifas adalah
darah yang dikeluarkan dari Rahim seorang Wanita setelah selesai melahirkan,
walaupun anak yang dilahirkan belum berwujud manusia atau masih berupa
alaqoh (darah kental) atau mudglah (segumpal darah). Mengenai pengertian,
ketentuan, hal yang diharamkan, mubah dan boleh dilakukan, serta batasan waktu
terhadap haid dan nifas menjadi perhatian utama dalam konteks kehidupan sehari-
hari, terutama bagi perempuan Muslim. Dalam menjalani masa haid ini, wanita
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: Wanita yang baru menjalani masa
haid, wanita yang telah terbiasa menjalaninya dan wanita yang mengalami
keluarnya darah istihadhah. Sedangkan tidak terdapat batas minimal dalam masa
nifas, yaitu bisa saja terjadi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, Wanita
melahirkan lalu tidak lama darah nifasnya berhenti, maka ia berkewajiban
mengerjakan shalat, puasa dan ibadah lainnya seperti layaknya Wanita yang
berada dalam keadaan suci. Sedangkan batas maksimalnya adalah 40 hari, sesuai
dengan hadits dari Ummu Salamah di atas.

36
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Qadir Manzhor. (2009). Buku Pintar Fikih Wanita. Jakarta: zaman.
Abdul Ghofur Anshori. (2011). Hukum Perkawinan Islam: (Perspektif fikih dan hukum
positif). Yogyakarta: UII Press.
Abdul Rahman Ghozali. (2019). Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group.
Abdurrahman al-Jaziri. (1996). Figh A’la Mzahib Al-Arba’ah. Bairut : Iilya Al-Arba’ah. Juz
VII.
Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Al Asqalani. (2002). Fathul Baari Syarah: Sahahih Bukhari,
Terj. Gazirah Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka Azam.
Al-Qawa’id wa AlFuruq, dinukil dari catatan kaki kitab Manhaj As-Salikin karya Syaikh As-
Sa’di.
Amin Ibn Yahy’a Wazzan. (1995). Fatawa Al Mar’ah Al-Muslimah. Arabic: Maktabat Dar
Tabariyah, Maktabat Adwa AL-Salaf.
Amir Syarifuddin. (2006). Hukum perkawinan Islam di indonesia: antara fiqh munakahat
dan undang-undang perkawinan. Jakarta: Kencana.
As-Syekh Faishal bin Abdul Aziz al-Mubarak. (2009). Memahami Kearifan Hukun Allah
(Nailul Author). Surabaya: PT Bina Ilmu.
Dahlan Idhamy. Azas-Azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya: AlIkhlas.
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/420
Hadi, Anis Tanwir. (2008). Pengantar Fiqih Untuk Kelas VI Madrasah Ibtidaiyah 6. Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
https://wiz.or.id/amalan-yang-dilakukan-ketika-haid/ diakses pada tanggal 11 November 2023
jam 22:53
Ibn Rusyd. (2016). Bidayatul Mujtahid Jilid 1, Terj. Al-Mas’udah. Jakarta: Pustaka
AlKautsar.
Isnawati. (2018). Larangan Wanita Haid. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.
Jannah, Nurul. (2011). Asuhan Kebidanan Ibu Nifas. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa
Jawab, no. 65570
Majmu’ah Al-Fatawa, Karya Ibnu Taimiyah. 19:237
Muhammad Isma Wahyudi. (2009). Fiqh Iddah: Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.
Muhammad Yunus. Kamus Bahasa Arab. Jakarta : PT. Hidayat karya Agung.

37
Nurhayati, Nunung. (2011). Biologi Bilingual Untuk SMA/MA XI Semester I dan 2. Bandung:
Yrama Widya.
Sayyid Sabiq. (2021). Fiqh Sunnah. Yogyakarta: Cakrawala Publishing.
Shalih bin Abdullah Al-Laahim. 2011. Fiqih Darah Wanita. Surabaya: Pustaka Elba. hlm. 78.
Sharma, A., Taneja, D.K., Sharma P. (2008). Problem Related to Menstruation and Their
Effect on Daily Routine of Students of Medical College in Delhi. India: Asia Pacific
Journal of Public Health SAGE Journal.
Sheihk Muhammad Nuruddin. (2018). Cara Wanita Menghadapi Haid, Nifas, dan Istihadhah
Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Tangerang: Indocamp.
Su’ad Ibrahim Shalih. (2011). Fiqih Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz B Bazz, Syaikh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi Rahimahullah. (2009).
Asy-Syarhul Mumti ‘Ala Zadul Mutaqni. Qaherah Mesir: Daar Ibnul Jauzi.
Syaikh Hasan Ayyu. (2001). Fiqh Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah. (2008). Fiqih Wanita. Jakarta: Al-Kautsar.
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. (2013). Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, Cet ke-1, Jilid 2, Terj.
Tirmidzi et.al,. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Wahbah az-Zuhaili. (2014). Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Cet ke-5, Terj.Abdul Hayyie alKattani,
et.al,. Jakarta: Gema Insani.

38

Anda mungkin juga menyukai