Anda di halaman 1dari 18

1

1. Gambaran Umum

Nama surah al-mâ‟ûn tidak tunggal, tetapi sangat beragam. Ada yang

menamainya sûrah ini dengan sûrah al-Dîn, sûrah al-Takdzîb, surah al-Yatîm,

sûrah Ara‟aita, sûrah Ara‟aita alladzî, dan yang paling populer adalah sûrah

al-mâ‟ûn.33

Nama sûrah al-mâ‟ûn ini diambil dari kata al-mâ‟ûn yang terdapat

pada ayat ke 7 yang berarti barang-barang yang berguna.34

Sûrah ini menurut mayoritas ulama adalah sûrah Makiyyah.35

Sebagian menyatakan Madaniyyah, dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat

pertama sampai dengan ayat ketiga turun di Mekkah dan sisanya di Madinah.

Ini dengan alasan bahwa yang dikecam oleh ayat keempat dan seterusnya

adalah orang-orang munafik yang baru dikenal keberadaannya setelah hijrah

Nabi Muhammad saw ke Madinah.36

Sûrah al-Mâ‟ûn diturunan kepada Nabi Muhammad SAW Ketika

beliau masih bertempat tinggal di Mekkah. Demikian pendapat banyak ulama.

Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa awal sûrah ini turun di Mekkah,
2

sebelum Nabi saw. Berhijrah, sedangkan akhirnya yang berbicara tentang

mereka yang riya (tidak ikhlas) dalam shalatnya turun di Madinah.37

Jumlah ayat sûrah ini menurut Ibnu Abbas, ada 7, jumlah katanya ada

25 dan jumlah hurufnya ada 111 huruf.38 Dan ada juga yang mengatakan

bahwa jumlah ayatnya ada 7.39 Dan jumlah ayat-ayatnya menurut cara

perhitungan mayoritas ulama sebanyak 6 ayat.40

Penulis tidak menemukan alasan-alasan kenapa sûrah al-Mâ‟ûn

dihitung tujuh ayat atau enam ayat. Sehingga bila ada yang bersikukuh bahwa

ayat di dalam sûrah al-Mâ‟ûn ini berjumlah enam, maka tidak harus dianggap

melawan al-Qur‟ân. Dan bagi yang menyatakan tujuh ayat, tidak harus

dianggap mengada-ada. Yang terbaik adalah saling menghormati, karena al-

Qur‟ân sendiri tidak pernah menyatakan soal jumlah ayat di dalam sûrah al-

Mâ‟ûn ini.

Urgensi Mengetahui Sûrah al-Mâ’ûn

1. Kecaman yang sangat keras ditujukan kepada orang-orang yang dikatakan

mendustakan agama. Yakni orang-orang yang tidak perduli terhadap

kehidupan anak yatim dan orang-orang miskin. Anak yatim dan orang-

orang miskin karena mereka adalah anggota masyarakat yang harus

mendapat santunan bantuan agar mereka bisa merasakan adanya ukhuwah

islamiyah walaupun mereka adalah bagian dari masyaraka lemah dengan


3

ukhuwah yang kuat kegiatan tatanan masyarakat berjalan secara

berkeadilan dan sejahtera.41

2. sûrah ini mengandung ajakan supaya sholat dimana Syarat pokok dan

tanda utama dari pemenuhan hakikat shalat adalah keikhlasan

melakukannya demi karena Allah yang dimana maknanya tali kasih

sayang kepada sesama makhluk sehingga merasakan kebutuhan kaum

lemah yang membutuhkan dengan demikian ibadah ritual harus

menghasilkan dampak sosial. Lupa dalam shalat yang menyangkut

kegiatan formalnya seperti bilangan rakaat, atau bacaannya, dapat

ditoleransi, tetapi lengah terhadap substansinya akan mengundang murka

Allah.42

4. Tafsir

a. Mendustakan agama

Kata al-dîn dalam Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 1 sangat populer diartikan

dengan agama, tetapi dapat juga berarti pembalasan. Kemudian jika

makna kedua ini dikaitkan dengan sikap mereka yang enggan membantu

anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya itu tidak

menghasilkan apa-apa, maka berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka

itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari)

pembalasan. Sikap yang demikian merupakan pengingkaran serta

pendustaan al-dîn. Bukankah yang percaya dan meyakini bahwa kalaulah


bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, namun

yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di

akhirat kelak.43

b. Menghardik anak yatim

Menurut Muhammad „Abduh, bahwa “yadu‟u al-yatîm”,

menghardik anak yatim yakni mengusir anak yatim, atau mengeluarkan

ucapan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu yang

diperlukan semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan

tiadanya orang tua yang mampu membelanya dan memenuhi

keperluannya. Juga terdorong oleh kesombongannya karena menganggap

dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi

seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan

keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, maka

ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap

yang memerlukan pertolongan.44

c. Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin

Orang yang tidak mau mengajak orang supaya memberi makan

orang miskin adalah orang yang termasuk mendustakan agama. Karena dia

mengaku menyembah Tuhan, padahal hamba Tuhan tidak diberinya

pertolongan dan tidak diperdulikannya. Dengan ayat ini jelaslah bahwa

sesama manusia harus saling ajak- mengajak supaya menolong anak


5

yatim dan fakir miskin itu menjadi perasaan bersama, menjadi budipekerti

yang umum.

d. Kecelakaan bagi orang-orang yang shalat

Orang-orang yang shalat, yang secara lahiriah melaksanakan

gerakan dan ucapan yang mereka namakan “shalat”. Sementara mereka

tetap lalai akan shalat mereka. Yakni, hati mereka lalai akan apa yang

mereka baca dan mereka kerjakan.45

e. Lalai terhadap shalatnya

Orang yang melalaikan shalat adalah orang yang mengerjakan

shalat, akan tetapi hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga

pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.46

f. Riya

Orang yang bersifat riya kadang-kadang dia bermuka manis

kepada anak yatim. Kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan

fakir miskin, kadang-kadang kelihatan dia khusyu‟ sembahyang tetapi

semuanya itu dikerjakannya karen riya. Yaitu karena ingin dilihat,

dijadikan reklame. Karena ingin dipuji orang. Hidupnya penuh dengan

kebohongan dan kepalsuan.47

g. Enggan memberikan bantuan

Melarang orang berbuat kebajikan karena tidak tergerak sedikitpun

hatinya untuk membantu orang lain, untuk meringankan kesulitan orang

lain. Dia menghalang-halangi kalau ada orang yang akan melakukan

pertolongan tersebut. Dengan berbagai cara dan dalih dia berusaha agar
6
pertolongan dan bantuan tidak terjadi. Dalam hatinya hanya ada kebencian

terhadap orang-orang yang lemah dan melarat.48

5. Terma Yatim

Kata yatîm jamaknya aitâm atau yatâmâ dalam al-Qur‟ân disebut

sebanyak 23 kali. Dalam bentuk mufrad sebanyak 8 kali, musannâ 2 kali, dan

bentuk jamak sebanyak 14 kali.49

Anak yatim adalah anak yang tidak mempunyai ayah. Anak yang

tidak mempunyai ayah adalah symbol dari kelemahan, karena tidak ada lagi

yang memberinya nafkah, tidak ada lagi yang mendidiknya dan tidak ada

tempat hidupnya bergantung. Inilah bentuk pertama dari orang-orang yang

lemah.50
NILAI-NILAI SOSIAL SURAH AL-MÂ’ÛN

Nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-Mâ‟ûn ini merupakan

perintah kepada setiap manusia untuk merealisasikannya dalam kehidupan.

Dibawah ini akan dipaparkan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-

Mâ‟ûn sebagai berikut:

A. Pentingnya Memahami Agama dengan Benar

Agama adalah hubungan pribadi antara seseorang dengan Tuhan yang

diyakininya, termasuk dalam hubungan itu pandangan dan perasaannya

terhadap yang Maha Kuasa lagi Maha Agung itu.98

Agama adalah hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan satu

kekuatan Yang Maha Dahsyat, dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan

sempurna, dan mendorong jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri

kepada-Nya. Pengabdian itu dilakukan baik karena takut maupun karena

berharap memperoleh kasih-Nya yang khusus, atau bisa juga karena dorongan

kagum dan cinta.99


8

B. Menyantuni Fakir Miskin

Al-Qur‟ân mewajibkan kepada setiap Muslim untuk berpartisipasi

menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi yang tidak

memiliki kemampuan material, maka paling sedikit partisipasinya diharapkan

dalam bentuk merasakan, memikirkan, dan mendorong pihak lain untuk

berpartisipasi aktif.108

Fakir miskin adalah kelompok orang yang sama sekali tidak memiliki

kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.109


9

C. Tolong-menolong

Secara umum, al-Qur‟ân memerintahkan kepada manusia untuk saling

bekerja sama dan tolong menolong dalam mengatasi masalah-masalah sosial

dalam kehidupan masyarakat. Firman Allah dalam sûrah al-Mâ‟idah [5]: 2.

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
(Q.S. al-Mâ‟idah ayat 2.)
10

Ayat ini dapat dipahami sebagai perintah kepada semua orang Islam

dalam kehidupan setiap saat, yaitu supaya dalam perilaku sehari-hari, selalu

bekerja sama.123 dan tolong menolong dalam hal kebaikan.124 Termasuk

melaksanakan tanggung jawab dalam mengatasi masalah-masalah sosial di

masyarakat, karena permasalahan sosial sering terjadi dalam kehidupan

masyarakat.

Orang islam diminta peduli kepada orang lain, dengan cara

memberikan atensi atau perhatian, dan solusi, yaitu penyelesaian terhadap

problem di masyarakat, seperti memberikan bantuan yang diperlukan, atau

menyampaikannya kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam

penyelesaian masalah tersebut, ataupun memberikan pemikiran tentang jalan

dan cara-cara menyelesaikan masalah sosial tersebut.125

Ayat ini juga melarang umat islam untuk tolong menolong dalam hal

kejelekan, yang bukan hanya tidak membantu penyelesaian masalah sosial

tersebut tetapi bahkan menciptakan dan menambah masalah sosial baru

dimasyarakat. Oleh karena itu tolong menolong harus selalu dipupuk dengan

baik dalam kehidupan masyarakat luas agar terjalin hubungan yang harmonis

antar sesama masyarakat.126

Tolong menolong dalam persaudaraan harus menjadi sifat seorang

mukmin dalam hidup bermasyarakat juga diisyaratkan dalam Q.S. al-Taubah

[9]: 71.
11

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka


(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. al-Taubah [9]: 71).

Kalimat yang secara langsung mengisyaratkan bahwa sesama orang

beriman tolong menolong adalah ‫بعض اولي اء بعضهم‬, ini berbeda dengan redaksi

yang digunakan ayat 67 sûrah yang sama, ketika menyifati orang munafik

yang menggunakan redaksi ‫( بعض من بعض هم‬sebagian mereka dari sebagaian

yang lain). Perbedaan ini menurut al-Biqâi untuk mengisyaratkan bahwa kaum

mukmin tidak saling menyempurnakan dalam keimananya, karena setiap

orang di antara mereka telah mantap imannya, atas dalil-dalil pasti yang kuat,

bukan berdasar taklid.127

Pendapat yang sedikit berbeda disampaikan oleh Sayyid Qutub yang

menyatakan bahwa walaupun tabiat sifat munafik sama dan sumber ucapan

dan perbuatan itu sama, yaitu ketiadaan iman, kerusakan moral dan lain-lain,

tetapi persamaan itu tidak mencapai tingkat yang menjadikan mereka auliyâ‟.

Untuk mencapai tingkat auliyâ‟ dibutuhkan keberanian, tolong menolong

serta biaya dan tanggung jawab.

Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa: orang-orang yang

beriman satu sama lain wajib tolong menolong: masing-masing mereka

menyuruh ma‟ruf, mencegah mungkar, mendirikan shalat, mengeluarkan

zakat, menta‟ati Allah dan RasulNya.129

Memberikan pertolongan kepada orang lain merupakan perintah Allah

SWT dan dianjurkan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda :


12

Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia,


niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang
siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Allah akan
memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. barang siapa menutup aib
seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah
akan menolong seorang hamba, selama hamba itu senantiasa menolong
saudaranya. ( HR. Muslim).

Dari hadis di atas sudah jelas bahwasannya sebagai makhluk sosial

harus saling tolong- menolong terhadap sesama karena niscaya Allah pun

akan menolong kepada siapa saja yang menolong saudaranya yang

membutuhkan.

Allah SWT tidak menyukai terhadap orang yang banyak harta tetapi

kikir dan enggan menolong orang yang kekurangan. Padahal Allah sendiri

sangat pemurah menolong siapa saja dan memberikan rizki kepada siapa saja.

Tetapi mengapa manusia begitu kikir terhadap sesamanya sementara rizki

yang ada padanya hanyalah titipan Allah yang didalamnya terdapat hak orang

miskin dan anak yatim. Karena Allah bersifat pemurah, maka Dia mencintai

orang yang suka membantu orang lain. Rasulullah SWT dalam satu sabdanya

menerangkan bahwa orang yang pemurah dekat dengan Allah, dekat dengan

manusia dan dekat pula dengan surga sebaliknya,orang kikir jauh dari Allah,

jauh dari manusia dan jauh pula dari surga. Oleh sebab itu, Allah mencela

orang yang banyak harta tetapi enggan membantu orang yang memerlukan

pertolongan. Maka, orang yang tidak mau mengulurkan tangan untuk

membantu orang lain, baik dengan harta, tenaga maupun pikirannya termasuk

mendustakan agama.130

Dalam al-Qur‟ân, orang berjiwa pemurah dipandang sebagai manusia

yang berbahagia dalam hidup. Orang demikian adalah orang yang ringan
13
dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Apabila ada seseorang

yang ringan memberi pertolongan, bukan dikarenakan ia memiliki banyak

harta, tetapi hal tersebut telah menjadi karakternya yang khas. Orang demikian

adalah orang yang tidak dikuasai atau didominasi rasa kikir yang pada

hakikatnya menyusahkan dirinya. Siapa pun tidak disebut pemurah jika jiwa

dan perilakunya masih didominasi sifat kikir. Penolong dan kikir merupakan

dua hal yang bertolak belakang.131

Dalam al-Qur‟ân kaitan ini, tampaknya al-Qur‟ân memandang bahwa

sifat pemurah merupakan sifat yang harus ditumbuh kembangkan, sehingga

manfaatnya dapat dirasakan, yaitu dengan menghilangkan sifat kikir. Sifat

kikir dalam diri manusia merupakan penyakit jiwa yang tidak sehat. Ia harus

dieliminasi dari jiwa manusia, agar pergaulan hidup berjalan normal dan

harmonis. Kebencian dan kecemburuan akan muncul, justru diarahkan kepada

mereka yang berjiwa kikir.132

Oleh karena itu, Allah mengarahkan agar manusia menghilangkan sifat

kikirnya dengan melatih diri bersifat pemurah, yakni dengan membayar zakat,

berinfak, dan bersedekah. Jika baru sebatas membayar zakat, itu belum

pemurah. Akan tetapi, jika telah sering berinfak atau bersedekah, baru dapat

dikatakan tanda-tanda pemurah. Allah SWT berfirman :

Siapa yang dijaga jiwanya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-
orang yang beruntung. (QS. al-Hasyr [59]: 9 ).

Di lain tempat Allah berfirman:


14
Dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka
Itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-Taghabun [64]: 19).

Dua kali Allah menegaskan demikian dalam al-Qur‟ân. Hal ini berarti

penting dipahami bahwa orang penolong yang jiwanya telah dijaga dari sifat

kikir (yang merupakan tabiat aslinya), akan muncul menjadi orang yang

beruntung dalam hidup. Dalam realitas hidup, mereka yang banyak dan besar

infak dan sedekahnya, semakin makmur dan sejahtera hidupnya. Allah SWT

yang membuatnya demikian, karena Dia telah menyatakan :

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2] :
261).

Dari ayat tersebut al-Qur‟ân menyebutkan dengan mantap menjamin

orang yang pemurah, bahwa ia akan berubah menjadi orang yang beruntung.

Nabi SAW juga menjelaskan.133

Bahwa orang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dari
manusia, dan jauh dari neraka sedangkan orang kikir jauh dari Allah,
dari surga, dari manusia, dan dekat dengan neraka. (H.R. Tirmidzy).

Singkatnya, pemurah itu dekat dengan manusia, sedangkan orang kikir

justru sebaliknya. Pada realitasnya, orang pemurah disenangi masyarakat

karena kemurahannya, sedangkan orang yang kikir dibenci dan dijauhi

masyarakat karena kekikirannya. Tidak hanya itu, bahkan Allah SWT sangat

senang kepada orang dermawan. Sebaliknya, Dia benci kepada orang yang

kikir. Oleh karena itu dikatakan, orang pemurah dekat ke surga, sedangkan
15
orang kikir dekat ke neraka. Sikap murah hati dan kedermawanan dikenal

dengan istilah itsâr yang secara harfiah berarti mengutamakan orang lain.

Itsâr, seperti diutarakan Imam al-Ghazali pada kitab Ihya „Ulûm al-Dîn,

berarti kesediaan seseorang untuk mendermakan hartanya di jalan Allah,

meski ia sendiri membutuhkannya.135

Dalam al-Qur‟ân, Allah SWT. memuji orang-orang yang memiliki

sikap dermawan. Firman Allah:


16
Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri,
Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka Itulah orang orang yang beruntung. (Q.S. al-Hasyr [59]: 9)

Itsâr merupakan salah satu bentuk dari kualitas moral (akhlâq al-

karîmah) yang sangat tinggi, yang menuntut bukan saja kepedulian, tetapi

juga pengorbanan. Karena itu, menurut Suhrawardi dalam Awarif al-Ma‟rif,

seorang tak mungkin memiliki sifat itu, kecuali yang bersangkutan memiliki

dua sifat berikut ini.

Pertama, ia memiliki hati dan jiwa yang bersih serta keluhuran budi

pekerti. Kedua, ia berpendapat bahwa segala yang ada di muka bumi,

termasuk harta kekayaan yang dimiliki adalah milik Allah SWT. semata.

Untuk itu, ia akan memandang harta kekayaan sebagai titipan tuhan (amanah)

yang harus diteruskan dan disampaikan kepada yang lebih berhak

menerimanya. 136

Harta harus dimanfa‟atkan bagi kepentingan umum dan dipergunakan

untuk mengatasi berbagai krisis, melalui pengeluaran zakat, saling menolong

dan menukar kemanfaatan. Inilah sikap terhadap materi menurut pandangan

Syari‟at Islam. Semua harta dari dan milik Allah. Harta harus bermanfaat bagi

semua orang.137

Orang yang pemurah biasanya sangat disenangi masyarakat. Ini berarti

orang tersebut memiliki banyak kemungkinan untuk pengembangan aspek-

aspek kehidupannya, baik ekonomi, sosial, pergaulan, silaturrahmi, dan

sebagainya. Semua aspek itu akan semakin berkembang ke arah yang semakin

maju yang lebih menguntungkan dirinya.138

Islam mewajibkan kepada para hartawan agar mereka mendistribusi-

kan sebagian kekayaannya kepada fakir miskin


17
18
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. al-Taubah [9]: 103).

Harta yang kita distribusikan, selain untuk membersihkan harta dari

ketidakhalalan cara-cara meraihnya, juga berdimensi sosial, yakni berderma

untuk fakir miskin sehingga harta benda itu tidak hanya berputar di kalangan

hartawan. Setiap kekayaan yang kita miliki, harus kita keluarkan zakatnya,

kita dermakan kepada mereka yang kekurangan sehingga harta kita bersih dan

orang yang kekurangan pun ikut terpenuhi kebutuhan hidupnya.139

Memberi kepada orang lain sesungguhnya membuat diri sendiri

menerima sesuatu yang sering jauh lebih besar dan berharga dari yang

diberikan. Tak ada orang yang jatuh miskin karena memberi, dan tak ada

orang yang kehilangan senyum bahagia karena memberi senyuman kepada

sesama. Mari berderma dengan apa saja yang kita punya.

Anda mungkin juga menyukai