Klorida 19,3 55
Natrium 10,8 30,6
Air di laut diduga berasal dari gunung berapi di Bumi, mulai dari 4 miliar tahun yang lalu melalui
proses pengeluaran gas dari lelehan batuan.[9]:24–25 Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa
sebagian besar air di Bumi dapat berasal dari komet.[25] Ciri khas utama air laut adalah sifatnya yang
asin. Walaupun tingkat keasinannya (salinitas) dapat beragam, sekitar 90% air di samudra memiliki
34─35 g zat padat yang terlarut per liter, sehingga menghasilkan tingkat salinitas sebesar
3,4─3,5%.[26] Agar dapat lebih mudah mendeskripsikan perbedaan-perbedaan yang kecil, salinitas
umumnya dinyatakan dalam satuan permil (‰) atau perseribu (part per thousand, ppt). Salinitas
permukaan air laut di Belahan Bumi Utara pada umumnya mendekati angka 34‰, sementara di
Belahan Bumi Selatan mencapai 35‰.[6] Salinitas di Laut Tengah sedikit lebih tinggi daripada laut
pada umumnya yaitu senilai 38‰.[27] Sementara itu, di Laut Merah bagian utara, salinitas bahkan
dapat mencapai 41‰.[28] Komposisi zat larut di dalam samudra relatif stabil.[24][29] Natrium dan klorida,
yang merupakan unsur pembentuk garam biasa, mencakup sekitar 85% dari zat padat yang terlarut
dalam air laut. Terdapat pula ion-ion logam seperti magnesium, kalsium, dan ion-ion
negatif seperti sulfat, karbonat, dan bromida. Air laut terlalu asin untuk diminum oleh manusia
dan ginjal manusia tidak mampu mengeluarkan urin yang seasin air laut.[30]
Walaupun jumlah garam di samudra relatif konstan selama jutaan tahun, beberapa faktor dapat
mempengaruhi perubahan salinitas air laut.[31] Faktor yang dapat meningkatkan salinitas
adalah evaporasi dan pembentukan es laut (karena saat es terbentuk, garam yang terlarut tidak
akan ikut beku sehingga bercampur dengan air laut di sekitar es) dapat meningkatkan salinitas
sementara faktor yang dapat menurunkan salinitas adalah presipitasi, pelelehan es, serta air
tawar yang masuk dari sungai dan limpasan permukaan (runoff).[31] Sebagai contoh, air di Laut
Baltik memiliki tingkat keasinan yang sangat rendah hingga dapat tergolong sebagai air
payau karena ada banyak sungai yang mengalir ke laut ini.[32] Sementara itu, air Laut Merah memiliki
salinitas yang tinggi akibat tingkat evaporasinya yang juga tinggi.[33]
Kadar oksigen di dalam air laut utamanya dipengaruhi oleh organisme fotosintesis yang tinggal di
dalamnya seperti alga, fitoplankton, dan tumbuhan seperti rumput laut. Pada siang hari, organisme-
organisme ini melakukan fotosintesis dan menghasilkan oksigen yang larut ke dalam air laut.
Oksigen terlarut ini lalu dimanfaatkan oleh hewan laut. Pada malam hari, organisme tersebut tidak
melakukan fotosintesis dan jumlah oksigen yang terlarut pun mengalami penurunan. Cahaya sangat
penting untuk proses fotosintesis. Sudut matahari, kondisi cuaca, dan kekeruhan air menentukan
tingkat cahaya yang dapat menembus ke dalam laut. Kebanyakan cahaya dipantulkan di
permukaan. Cahaya merah akan terserap di bagian atas. Cahaya kuning dan hijau dapat
menjangkau kedalaman yang lebih besar sementara cahaya biru dan nila bisa menembus
kedalaman hingga 1.000 m. Di bawah kedalaman 200 m, tidak terdapat cukup cahaya untuk
melakukan fotosintesis.[37] Oleh karena itu, teradapt sangat sedikit oksigen terlarut di laut dalam.
Kehidupan laut dalam seperti bakteri anaerobik mengurai materi organik yang jatuh dari atas untuk
menghasilkan hidrogen sulfida (H₂S).[38] Pemanasan global diperkirakan akan semakin mengurangi
oksigen baik di laut dalam atau bahkan di permukaan laut karena kelarutan oksigen akan
mengalami penurunan jika suhu laut meningkat.[39]
sekitarnya, serta berbagai gletser dan endapan es di permukaan di seluruh dunia. Air sisanya
(sekitar 1,72%) tersedia sebagai air tanah atau di tahapan-tahapan siklus air, yang terdiri dari air
tawar di danau, sungai, dan pada air hujan dan uap air di udara dan awan.[16] Sastrawan
Inggris, Arthur C. Clarke, menyebut bahwa "Bumi" (bahasa Inggris: earth) lebih pantas disebut
sebagai "Samudra".[9]:7
Air laut