Siaran Pers - Keberpihakan Presiden Dalam Pilpres
Siaran Pers - Keberpihakan Presiden Dalam Pilpres
Nomor: 30/SP/I/2024
TERHADAP
“KEBERPIHAKAN PRESIDEN DAN KEIKUTSERTAANNYA DALAM KAMPANYE PEMILU”
Setelah pada pertengahan tahun 2023 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan akan
“cawe-cawe” dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Pada Rabu, 24 Januari 2024,
sikap Presiden Joko Widodo tersebut muncul kembali dalam pernyataannya yang
menyebutkan bahwa Presiden berhak memihak dan bahkan ikut serta dalam kampanye
Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) asalkan tidak menggunakan fasilitas negara. Dalam
konteks demikian, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, memberikan catatan sebagai berikut:
1. Pernyataan dan sikap yang demikian telah memperkeruh dan membuat gaduh
suasana kampanye Pemilu dan Pilpres 2024 yang sudah berjalan secara relatif
demokratis selama akhir 2023 dan menjelang Februari 2024.
2. Pemahaman bahwa Presiden berhak untuk berpihak bahkan ikut serta dalam
kampanye Pemilu 2024 karena didasarkan pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan
Pasal 43 ayat (1) UU HAM serta Pasal 281 dan 304 UU Pemilu yang intinya bahwa
Presiden masih berhak memilih dan berpihak serta ikut serta melaksanakan
kampanye, asalkan tidak menggunakan fasilitas negara dan dalam kondisi cuti di
luar tanggungan negara adalah pemahaman yang salah kaprah dalam etika
demokrasi yang sehat serta bentuk pelanggaran atas asas-asas Pemilu.
3. Salah kaprah juga tercermin dari betapa sulitnya memisahkan fakta antara
figur seorang Joko Widodo sebagai personal individu yang tetap memiliki hak
berpolitik dan sebagai Presiden yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan
pelayanan publik sehingga dibatasi kekuasaannya termasuk hak politiknya.
4. Salah kaprah juga terlihat dari inkonsistensi sikap Presiden selama ini yang
selalu menekankan netralitas Presiden, bahkan mengajak kepada seluruh
Aparatur Sipil Negara (ASN), POLRI dan TNI untuk bersikap netral, tetapi pucuk
pimpinannya yakni Presiden justru ingin melenggang dengan berpihak dan
berkampanye dalam Pemilu.
5. Pemaknaan hak politik seorang presiden harus dimaknai secara
komprehensif dan holistik, tidak hanya berfokus pada masih diperbolehkannya
berpihak dan ikut serta dalam kampanye tetapi juga terbatas pada etika Pemilu
yang sehat dan etika menjalankan kekuasaan pemerintahan yang bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana amanat Reformasi 1998.
6. Beberapa konstitusi di berbagai negara bahkan secara tegas menihilkan fungsi
politik partisan seorang presiden setelah terpilih agar tercipta iklim
demokrasi yang sehat dan beretika, seperti di negara Perancis, Turki,
Kosovo, Albania (Jeton Hasani, dikutip dari Susi Dwi Harijanti).
7. Netralitas sebagai presiden tersirat di dalam aturan main tertinggi dalam
bernegara yakni Pasal 4 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI
1945 yang intinya menyebutkan bahwa Presiden dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan harus tunduk pada konstitusi; bersumpah akan memenuhi
kewajiban Presiden dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya dan berbakti kepada
nusa dan bangsa serta Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Ketentuan demikian mengamanatkan
bahwa Presiden dalam Pemilu harus bersikap seadil-adilnya dan tunduk
pada asas luber jurdil.
Demikian siaran PERS ini kami sampaikan, agar dapat dimengerti dan dipahami secara
seksama. Atas perhatian dan kerjasama awak media, kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Jum’at, 24 Januari 2024