Anda di halaman 1dari 12

UAS (ULANGAN AKHIR SEMESTER)

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM


Nama : Nikita Angel Manullang
Jurusan : PERTANIAN
Kelas : TAN 4A
Tanggal : 24 Juli 2023

1. Apa yang anda ketahui tentang proyeksi dan skenario perubahan iklim?
Jawaban :
Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam rata-rata suhu dan pola cuaca di
Bumi. Proyeksi dan skenario perubahan iklim adalah perkiraan tentang bagaimana perubahan
iklim dapat berkembang di masa depan berdasarkan model iklim yang kompleks. Mereka
didasarkan pada data historis dan tren saat ini tentang emisi gas rumah kaca dan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi iklim.
Proyeksi iklim adalah simulasi iklim bumi dalam beberapa dekade mendatang (biasanya
hingga tahun 2100) berdasarkan asumsi 'skenario' untuk konsentrasi gas rumah kaca, aerosol,
dan konstituen atmosfer lainnya yang memengaruhi keseimbangan radiasi di bumi.Skenario
iklim merupakan salah satu cara untuk mengetahui proyeksi iklim kedepan dengan
mempertimbangkan berbagai hal yang mempengaruhi kondisi iklim. PBB membentuk badan
khusus untuk kajian iklim bernama IPCC. IPCC telah melakukan beberapa skenario iklim
untuk mengetahui proyeksi iklim global dan regional sampai 2100. Proyeksi iklim ini
diperlukan untuk mengetahui kondisi iklim di masa yang akan datang berdasarkan skenario
iklim yang ditetapkan. Proyeksi iklim ini berkaitan erat dengan perubahan iklim (climate
change).
Berikut adalah beberapa poin penting tentang proyeksi dan skenario perubahan iklim:
1. Model Iklim: Ilmuwan menggunakan model iklim komputer untuk mensimulasikan
berbagai aspek iklim Bumi, termasuk atmosfer, laut, es, dan sistem tanah. Model-
model ini mencoba memprediksi bagaimana sistem iklim berperilaku berdasarkan
kondisi fisik dan faktor-faktor lainnya.
2. Skenario Emisi: Proyeksi perubahan iklim bergantung pada skenario emisi gas
rumah kaca di masa depan. Skenario ini berbeda berdasarkan asumsi tentang
pertumbuhan ekonomi, teknologi, kebijakan energi, dan kepadatan penduduk.
Skenario emisi yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan emisi gas rumah kaca
yang lebih besar daripada skenario rendah.
3. Gas Rumah Kaca: Gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4),
dan nitrous oksida (N2O) memainkan peran kunci dalam perubahan iklim. Emisi gas-
gas ini dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi,
pertanian, dan limbah berkontribusi pada pemanasan global.
4. Pemanasan Global: Proyeksi perubahan iklim mengindikasikan pemanasan global,
yaitu peningkatan suhu rata-rata permukaan Bumi. Proyeksi yang paling umum
menyatakan bahwa tanpa tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, suhu
rata-rata global dapat meningkat lebih dari beberapa derajat Celsius pada akhir abad
ini.
5. Dampak: Perubahan iklim dapat menyebabkan berbagai dampak, termasuk kenaikan
permukaan air laut, cuaca yang lebih ekstrem, perubahan pola curah hujan, pergeseran
ekosistem, dan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia dan keanekaragaman
hayati.
6. Upaya Pengurangan Emisi: Untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, banyak
negara berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui berbagai
langkah, termasuk penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, penghijauan, dan
kebijakan lain yang ramah lingkungan.
7. Kerjasama Internasional: Perubahan iklim adalah masalah global yang memerlukan
kerjasama antar negara untuk mencapai tujuan pengurangan emisi dan mengatasi
dampaknya. Salah satu contoh kesepakatan internasional adalah Persetujuan Paris
pada 2015, yang bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2
derajat Celsius di atas tingkat sebelum era industri.
Penting untuk diingat bahwa proyeksi dan skenario perubahan iklim bukanlah ramalan pasti
tentang masa depan, tetapi merupakan alat penting untuk memahami potensi konsekuensi dari
tindakan manusia terhadap lingkungan dan membantu merumuskan kebijakan yang tepat
untuk mengatasi perubahan iklim.

2. Apa yang dimaksud dengan skenario SRESS B2 !


Jawaban :
SRES merupakan laporan khusus yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on
Climate Change) pada tahun 2001 untuk mengambarkan berbagai kemungkinan (skenario)
perubahan tingkat emisi yang dapat terjadi di masa depan. Model-model sirkulasi global
seperti GCM (Global Climate Model) digunakan untuk mengetahui kemungkinan perubahan
iklim yang akan terjadi akibat adanya peningkatan emisi GRK sesuai dengan skenario yang
disusun oleh IPCC. Dalam SRES, skenario emisi GRK dikelompokkan berdasarkan sistem
pembangunan dan kerjasama yang dikembangkan oleh berbagai negara. Ada dua skenario
sistem pembangunan yaitu A dan B.
Skenario A lebih menitikberatkan pada pembangunan ekonomi, sedangkan skenario B lebih
menitikberatkan pada kepentingan kondisi ekologi atau lingkungan. Kemudian pola
kerjasama dikelompokan menjadi dua yaitu pola 1, kerjasama global berjalan dengan baik
sehingga kesenjangan pembangunan antara negara baik dari sisi teknologi dan lain-lain tidak
terlalu signiikan, sedangkan pola 2 kerjasama lebih bersifat regional. Pada pola 2 ini transfer
teknologi, kerjasama ekonomi dan lainnya antara negara maju dan negara berkembang tidak
berjalan baik.
Jadi secara umum, skenario emisi dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu A1, A2, B1, dan
B2 seperti gambar di atas. Scenario A1 dibagi menjadi tiga berdasarkan penggunaan
teknologi dan bahan bakar fosil. Selain itu ada skenario emisi antara seperti skenario A1B,
yaitu antara skenario A1 dan Skenario yaitu Antara skenario A1. Namun ada suatu keadaan
khusus di mana suatu negara menitikberatkan pembangunan ekonominya, namun karena
adanya alih teknologi yang baik dan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan (rendah
emisi, dsb), skenario tersebut adalah skenario A1B. Maka, skenario yang digunakan untuk
analisis dalam dokumen ini adalah skenario A1B, skenario A2, dan skenario B1.
Pada SRES (Special Report on Emissions Scenarios), terdapat empat kelompok skenario
iklim yang digunakan untuk menggambarkan proyeksi emisi gas rumah kaca dan iklim di
masa depan. Salah satunya adalah skenario SRES B2.
SRES B2 menggambarkan dunia di mana terjadi berbagai bentuk perkembangan ekonomi,
sosial, dan teknologi yang beragam, namun dengan fokus pada wilayah yang lebih lokal dan
berorientasi pada isu-isu lingkungan. Karakteristik utama dari skenario B2 adalah:
1. Berkelanjutan: Skenario ini menekankan pada keberlanjutan dan penerapan kebijakan
yang mengurangi tingkat pertumbuhan populasi dan intensitas penggunaan energi
serta sumber daya lainnya. Kondisi ini berpotensi mengurangi tingkat emisi gas
rumah kaca dan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang moderat.
2. Fokus pada wilayah lokal: Dalam skenario B2, preferensi lebih diberikan kepada
masalah-masalah yang bersifat lokal daripada global. Hal ini berarti negara-negara
dan wilayah-wilayah cenderung memprioritaskan kebijakan lingkungan dan sosial
yang berlaku di tingkat lokal atau regional.
3. Keanekaragaman teknologi: Skenario ini mengasumsikan adopsi teknologi yang lebih
beragam dan berbeda-beda di berbagai negara dan sektor industri. Dengan variasi ini,
ada peluang bagi negara-negara untuk mengembangkan solusi khusus yang sesuai
dengan kebutuhan dan potensi mereka.
4. Pengurangan emisi: Meskipun SRES B2 tidak sepenuhnya mengecualikan
pertumbuhan emisi, skenario ini menggambarkan upaya untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca melalui kebijakan lingkungan yang lebih ketat dan penggunaan teknologi
ramah lingkungan.
Penting untuk diingat bahwa SRES B2 merupakan salah satu dari empat skenario dalam
laporan SRES, dan setiap skenario ini didasarkan pada asumsi-asumsi berbeda tentang
perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi di masa depan. Skenario-skenario ini
membantu para ilmuwan dalam memprediksi berbagai kemungkinan hasil iklim di masa
mendatang dan memberikan dasar bagi perencanaan kebijakan yang lebih baik untuk
menghadapi perubahan iklim.

3. Apa yang dimaksud dengan downscaling dan ada berapa macam!


Jawaban :
Dalam konteks iklim, "downscaling" mengacu pada proses mengubah data iklim yang
berskala besar menjadi skala yang lebih halus dan lokal. Hal ini dilakukan untuk memahami
perubahan iklim yang mungkin terjadi di tingkat wilayah yang lebih kecil atau lokal.
Downscaling merupakan metode yang penting karena model iklim global memiliki resolusi
yang relatif rendah, sehingga sulit untuk memberikan informasi detail tentang perubahan
iklim di tingkat lokal.
Ada dua macam utama dalam downscaling iklim:
1. Downscaling Dinamis (Dynamic Downscaling): Downscaling dinamis melibatkan
penggunaan model iklim regional untuk mengubah data iklim global menjadi resolusi
yang lebih tinggi di wilayah tertentu. Model iklim regional ini mengambil masukan
dari model iklim global dan menggantikan beberapa detail wilayah lokal yang lebih
tepat. Model ini menggunakan persamaan fisika dan parameter lingkungan yang
relevan untuk wilayah tersebut. Dengan downscaling dinamis, informasi yang lebih
rinci tentang variabilitas iklim dan perubahan iklim dapat diperoleh di wilayah yang
lebih kecil.
2. Downscaling Statistik (Statistical Downscaling): Downscaling statistik melibatkan
analisis statistik dari hubungan antara variabel iklim di tingkat regional atau lokal
dengan variabel iklim di tingkat global. Metode ini mencari hubungan antara variabel
iklim di skala besar (misalnya, pola tekanan atmosfer tingkat tinggi) dengan variabel
iklim di skala yang lebih kecil (misalnya, curah hujan atau suhu harian). Dengan
memahami hubungan ini, dapat dilakukan estimasi perubahan iklim di tingkat lokal
berdasarkan proyeksi iklim global.
Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan metode downscaling yang
tepat akan tergantung pada tujuan penelitian atau analisis yang ingin dicapai. Downscaling
sangat penting dalam konteks perubahan iklim dan membantu dalam menyusun strategi
adaptasi dan mitigasi di tingkat regional atau lokal.
Model Iklim Global (GCM) adalah alat penting untuk menilai dampak konsentrasi gas rumah
kaca di masa depan terhadap perubahan suhu, curah hujan, dan kecepatan angin. Namun
GCM dijalankan pada resolusi yang sangat kasar, dengan grid seringkali lebih besar dari
100*100 km2. Ini terlalu kasar untuk banyak aplikasi. Untuk mengatasi masalah ini, berbagai
teknik downscaling telah dikembangkan. Ada dua pendekatan utama untuk menurunkan
output model iklim: Downscaling Statistik dan Dinamis.
Untuk Downscaling Dinamis, model iklim dengan resolusi lebih tinggi digunakan. Model ini
sering disebut model iklim regional (RCM). RCM menggunakan model iklim beresolusi lebih
rendah (dalam banyak kasus GCM) sebagai kondisi batas dan prinsip fisik untuk
mereproduksi iklim lokal. RCM intensif secara komputasi, sehingga untuk beberapa wilayah
hanya tersedia data output RCM yang terbatas. RCM untuk CORDEX dengan ukuran kisi
0,44 derajat sering digunakan (ukuran kisi ~45 * 45 km2).
ika data RCM tidak tersedia untuk wilayah Anda atau masih terlalu kasar, Anda dapat
menggunakan Penurunan skala statistik. Berbagai macam metode penurunan skala statistik
telah dikembangkan. Penting untuk melakukan penurunan skala statistik adalah ketersediaan
data cuaca lokal. Hasil penurunan skala statistik menjadi lebih baik dengan kualitas yang
lebih tinggi dan durasi yang lebih lama dari data cuaca historis yang diamati. Jika Anda
memiliki data yang bagus untuk stasiun cuaca tertentu (atau berbagai stasiun), Anda dapat
menurunkan skala model iklim ke stasiun tersebut. Jika Anda memiliki kumpulan data grid
yang bagus, Anda dapat menurunkan skala ke grid itu.
Untuk penurunan skala statistik, hubungan statistik dikembangkan antara data iklim historis
yang diamati dan keluaran model iklim untuk periode historis yang sama. Hubungan tersebut
digunakan untuk mengembangkan data iklim masa depan. Penurunan skala statistik dapat
dikombinasikan dengan koreksi bias. Regresi linier adalah metode sederhana yang banyak
digunakan untuk koreksi bias. Metode ini menetapkan hubungan linier antara satu indikator
iklim skala besar misalnya kelembaban yang disimulasikan GCM atau RCM, dan
kelembaban yang diamati skala lokal. Ini dalam persamaan 1 sebagai x dan y. Hubungan ini
dikembangkan dengan menilai data yang diamati secara lokal dan menghubungkannya
dengan keluaran GCM atau RCM. Nilai α dan β diperkirakan berdasarkan periode waktu
bersejarah dan digunakan untuk menurunkan proyeksi iklim masa depan.
y = α + βx (1)

4. Ada berapa indeks iklim ekstrim ETCDDI berikan contohnya yang dipakai diIndonesia?
Jawaban :
Hingga September 2021, indeks iklim ekstrim yang sering digunakan di Indonesia adalah
indeks ETCDDI (Excess Temperature Climate Dryness Index). Indeks ini mengkombinasikan
data suhu ekstrem dan kekeringan untuk memberikan gambaran tentang kondisi iklim ekstrim
yang bisa mempengaruhi sektor pertanian, lingkungan, dan masyarakat.
Perubahan iklim telah menyebabkan kerugian jiwa dan ekonomi akibat fenomena iklim
ekstrem seperti banjir, kekeringan, perubahan karakteristik hujan dan kenaikan suhu di
Indonesia. Informasi tentang proyeksi iklim yaitu curah hujan dan tren suhu sangat penting
untuk melakukan adaptasi, mitigasi serta perencanaan operasional untuk berbagai sektor yang
terkena dampak. Dalam studi ini, peneliti menggunakan data observasi dan data model iklim
global. Data observasi harian berasal dari 70 stasiun meteorologi di Indonesia selama 20
tahun dari 1986 hingga 2005. Selanjutnya 29 data model iklim global GCM (Global
Circulation Model) dari CMIP5 (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5) historical
dianalisis berdasarkan kesamaan pola spasial dan pola temporal dengan pola pengamatan
stasiun meteorologi di Indonesia menggunakan korelasi. Model proyeksi perubahan iklim
masa depan hingga tahun 2100 untuk variabel curah hujan dan suhu udara dikoreksi biasnya
untuk skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5 dari model terbaik yang didapatkan dari korelasi
tertinggi. Proyeksi masa depan dibuat dalam index iklim ekstrem berdasarkan ETCCDI
(Expert Team on Climate Change Detection and Indices) menjadi index total curah hujan
tahunan (Prcptot), hari kering berturut-turut (CDD), hari hujan berturut-turut (CWD), nilai
suhu maksimum bulanan (TXx) dan nilai suhu minimum bulanan (TNn). Index iklim ekstrem
berdasarkan ETCCDI proyeksi dibandingkan dengan periode historical (1981-2010) sehingga
diperoleh seberapa besar persentase perubahan iklim ekstrim pada periode 2011-2040, 2041-
2070 dan 2071-2100. Hasil proyeksi masa depan secara temporal dan spasial indek iklim
ekstrim meliputi Prcptot, CWD, TXx dan TNn kecuali indek CDD relatif mengalami
kenaikan terhadap periode historicalnya.
Contoh Lain adalah digunakan di penelitian di wilayah Sumatera Barat. Untuk tujuan deteksi
dan proyeksi perubahan iklim, wilayah Sumatera Barat akan dibagi menjadi wilayah dataran
rendah dan dataran tinggi. Wilayah dataran rendah akan diwakili dengan data pengamatan di
Teluk Bayur (TLB), Tabing (TAB) dan Sicincin (SCN). Sementara Padang Panjang (PPJ) dan
Bukit Kototabang (BKT) mewakili data iklim di wilayah dataran tinggi (Gambar 1).Lokasi-
lokasi tersebut dipilih untuk analisis deteksi perubahan iklim karena mempunyai pengamatan
iklim (curah hujan, suhu maksimum dan minimum) selama 20 hingga 30 tahun terakhir
(Tabel 1). Teluk Bayur terletak di wilayah pantai barat Sumatera Barat, berlokasi di
pelabuhan maritim yang sibuk dengan bongkar muat kapal, merupakan daerah urban yang
berkembang dengan dinamis.Tabing merupakan bandara udara Sumatera Barat, sebelum
pindah ke Ketaping pada tahun 2012. Walaupun tidak terletak di pantai, namun sirkulasi
angin darat-laut sangat terasa di lokasi ini dengan lingkungan urban yang selalu ramai akan
aktivitas perekonomian masyarakat di kota Padang. Sicincin merupakan daerah suburban
dengan perkembangan wilayah yang dapat dikategorikan lambat, di lokasi ini pola sirkulasi
angin darat-laut mempengaruhi pola angin harian.Padang Panjang terletak di lereng gugusan
gunung Tandikat-Singgalang, walaupun termasuk dalam kategori wilayah urban,
perkembangan wilayah Padang Panjang juga dapat dikategorikan lambat.Pola angin harian
yang terbentuk lebih dipengaruhi oleh sirkulasi angin gununglembah.Lokasi pengamatan
Bukit Kototabang merupakan daerah remote, teletak di atas perbukitan dengan lingkungan
dominan berupa vegetasi hutan hujan tropis Bukit Barisan.

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa data iklim yang digunakan untuk
mendeteksi perubahan iklim yang pada dasarnya merupakan data-data observasi, berupa data
hujan, suhu udara maksimum dan minimum harian bersumber dari BMKG Sumatera Barat.
Sebagian data tersebut dapat diakses di website dataonline.bmkg.go.id. Sebelum dilakukan
pengolahan indeks iklim ekstrim lebih lanjut, dilakukan terlebih dahulu uji homogenitas
terhadap data data iklim dari masing-masing lokasi pengamatan.Terdapat beberapa metode
statistik untuk menguji homogenitas suatu series data hujan. Pada penelitian ini akan
digunakan paket software RHtest_dlyPrcp. Paket software berbahasa R ini sebenarnya
merupakan satu rangkaian paket software untuk mendeteksi dan monitoring iklim ekstrim
yang dapat mendeteksi dan melakukan penyesuaian-penyesuaian (adjusment) pada beberapa
beberapa titik-titik perubahan (changepoints) yang mungkin ada pada sebuah series data.
Pada paket software Rhtest_dlyPrcp terdapat menu Quantile-Matching (QM) adjustments,
pada dasarnya digunakan untuk penyesuaian series data sehingga distribusi empiris dari
semua segmen yang berbasis detrend akan cocok satu dengan yang lain, dimana nilai
adjustmen tergantung pada frekuensi empiris dari datum series data yang di-adjust. (Wang, X.
L dan Feng, Y, 2013).
Hasil pengolahan data indek suhu udara ekstrim seperti terlihat pada Tabel 3a.Indek suhu
udara ekstrim dengan kategori intensitas (TXx, TNx, TXn, TNx dan DTR) secara umum
menunjukan trend positif, baik di wilayah dataran rendah maupun dataran tinggi, yang secara
keseluruhan menandakan terjadinya kenaikan suhu udara di wilayah penelitian. Indek TNx
terlihat paling menonjol, dimana untuk semua lokasi pengamatan menunjukan kenaikan,
dengan trend yang signifikan di BKT, TAB dan TLB.Trend indek TNx yang bernilai positif
mengindikasikan terjadinya kenaikan suhu udara minimum paling maksimum. Hal yang sama
secara umum juga terjadi untuk indek TXn juga menunjukan trend positif, dengan trend
signifikan terjadi di BKT, SCN dan TLB. Trend positif indek TXn menunjukan terjadinya
kenaikan suhu udara maksimum paling minimum. Indek suhu udara ekstrim kategori
frekuensi suhu udara ekstrim (TN10p, TX10, TN90p dan TX90p) di wilayah penelitian
menunjukan: terjadinya trend negatif untuk indek TN10p dan TX10p sementara trend positif
terjadi untuk indek TN90p dan TX90p, baik di wilayah dataran rendah maupun dataran
tinggi. Penurunan trend indek TN10p terjadi di semua lokasi penelitian kecuali TLB, dengan
trend signifikan terjadi di BKT, SCN dan TAB. Trend negatif dari indek TN10p atau cool
nights berarti ada kecenderungan terjadinya kenaikan suhu suhu udara minimum, sehingga
secara harfiah dirasakan suhu udara yang semakin hangat pada malam hari. Penurunan trend
juga terjadi untuk indek TX10p, dengan trend signifikan terjadi di semua lokasi pengamatan,
kecuali BKT. Trend negatif dari indek TX10p atau cool days menunjukan adanya
kecenderungan kenaikan suhu udara maksimum sehingga akan dirasakan adanya suhu udara
yang semakin hangat pada siang hari.
Indeks Curah Hujan Ekstrim Pada Tabel 3a, juga terlihat trend positif indek TN90p dan
TX90p yang berkebalikan dengan trend indek TN10p dan TX10p, memang seharusnya
terjadi seperti itu. Trend signifikan indek TN90p atau warm nights terjadi di semua lokasi
pengamatan kecuali TLB. Trend positif indek TN90p menunjukan adanya kecenderungan
peningkatan suhu udara minimum yang terjadi pada malam hari. Trend yang sama juga
terjadi untuk indek TX90p atau warm days, dengan trend signifikan terjadi di PPJ, TAB dan
TLB. Trend positif dari indek TX90p mengindikasikan terjadinya kecenderungan kenaikan
suhu udara maksimum yang terjadi pada siang hari.Trend positif dari indek TN90p dan
TX90p menunjukan adanya kenaikan suhu udara di wilayah penelitian. Pada Tabel 3b,
terlihat hasil pengolahan data indek hujan ekstrim di wilayah penelitian.Indek hujan ekstrim
dengan kategori intensitas (RX1D, RX5D, R95p, R99p dan PRCPTOT), secara umum
terjadinya trend positif indek ekstrim kategori tersebut di wilayah dataran tinggi, sementara di
wilayah dataran rendah ada kecenderungan terjadinya penurunan trend.Dari hasil uji trend
menunjukan indek-indek curah hujan ekstrim kategori ini di wilayah dataran tinggi lebih
banyak yang signifikan di bandingkan di wilayah dataran rendah.Indek SDII dan PRCPTOT
merupakan indek yang paling jelas untuk membandingkan kejadian curah hujan ekstrim di
wilayah dataran tinggi dan dataran rendah.Indek SDII yang terjadi di wilayah dataran tinggi
(BKT dan PPJ) menunjukan trend positif yang sangat signifikan dibandingkan dengan trend
negatif yang terjadi di wilayah dataran rendah (SCN dan TAB). Hal yang sama juga
ditunjukan oleh indek PRCPTOT, dimana di BKT dan PPJ terjadi trend positif sedangkan di
SCN, TAB dan TLB terjadi yang sebaliknya. Indek curah hujan ekstrim dengan kategori
durasi (CDD dan CWD) tidak menunjukan adanya suatu pola yang jelas pada lokasi
pengamatan ataupun perbedaan wilayah ketinggian. Sedangkan indek curah hujan ekstrim
kategori frekuensi terjadinya hujan ≥ 100 mm per hari (R100), terlihat adanya trend positif di
wilayah penelitian pada dataran tinggi dan sebaliknya terjadi trend negatif di wilayah dataran
rendah walaupun trend tersebut tidak signifikan. Pada Tabel 3a dan 3b terlihat bahwa indek-
indek suhu udara ekstrim mempunyai pola dan signifikansi yang lebih jelas dibandingkan
dengan indek-indek curah hujan ekstrim.Hal ini menunjukan perubahan suhu udara direspon
dengan lebih baik dibandingkan dengan perubahan curah hujan di wilayah penelitian, baik di
wilayah dataran tinggi maupun dataran rendah
Berdasarkan Tabel 4a dan Gambar 2a, pergeseran pola suhu udara di wilayah penelitian
adalah sebagai berikut: di daerah dataran rendah wilayah penelitian (TLB, TAB dan SCN),
pergeseran pola suhu udara terlhat jelas di Tabing dan Sicincin, sementara di Teluk Bayur
pola suhu udara relative sama. Pergeseran rata-rata suhu udara di Tabing dan Sicincin sekitar
0.3OC per decade, demikian juga pergeseran nilai persentil ke-10 dan ke-90 yang terus
bergeser kearah kanan sekitar 0.3OC per dekade, yang berarti terjadi peningkatan suhu udara
minimum dan maksimum sebesar nilai tersebut secara konsiten setiap dekade-nya. Di daerah
dataran tinggi wilayah peneltian (PPJ dan BKT) pergeseran terlihat jelas pada terjadi antara
periode 1991-2000 ke 2001- 2010 dan pada dua dekade terakhir, yaitu periode 2001-2010 dan
2011-2015 mempunyai kemiripan pola pemusatan dan persebaran data. Pergeseran nilai rata-
rata suhu pada periode tersebut mencapai 0.5OC di Padang Panjang dan 1.0OC di Bukit
Kototabang dan pergeseran nilai persentil ke-10 yang lebih lebar dibandingkan persentil ke
90, yang berarti terjadi pergeseran nilai suhu minimum sedangkan suhu maksimum relative
lebih tetap. Nilai pergeseran suhu udara di daerah dataran tinggi lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai pergeseran di daerah dataran rendah pada periode waktu yang
sama.

Berdasarkan Tabel 4b dan Gambar 2b, di daerah dataran rendah wilayah penelitian terjadinya
penurunan nilai rata-rata curah hujan sekitar 10-20 mm dan pergeseran nilai persentil ke-90
juga mengalami penurunan sebesar 40-70 mm per dekade di Tabing dan Sicincin, kecuali di
Teluk Bayur yang tidak terlihat konsistensi penurunannya. Sementara pergeseran nilai
persentil ke-10 terlihat mengalami peningkatan walaupun tidak secara konsisten.Hal ini
berarti di daerah dataran rendah adanya kecenderungan terakumulasinya curah hujan pada
jumlah tertentu pada setiap bulannya, seperti yang terlihat di Teluk Bayur, Tabing dan
Sicincin, pada periode waktu dua decade terakhir, curah hujan dengan jumlah 100-200 mm
cenderung mengalami peningkatan frekuensi kejadiannya. Pergeseran pola hujan di daerah
dataran tinggi terjadi berkebalikan dengan pergeseran pola hujan di daerah dataran rendah. Di
daerah dataran tinggi wilayah penelitian, terjadi peningkatan rata-rata jumlah curah hujan
sekitar 20-50 mm per dekade, demikian juga untuk nilai persentil ke-10 dan ke-90 yang
cenderung mengalami pergeseran kearah kanan sebesar 20- 30 mm per dekade. Hal ini berarti
di dataran tinggi wilayah penelitian terjadi kecenderungan peningkatan jumlah curah hujan
pada periode waku tersebut

Kesimpulannya, Dari hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: secara umum
telah terjadi kenaikan suhu udara di wilayah penelitian, baik di wilayah dataran tinggi
maupun dataran rendah. Terdapat kecenderungan peningkatan curah hujan ekstrim di wilayah
dataran tinggi, sementara untuk di wilayah dataran rendah cenderung mengalami trend
negatif.Berdasarkan hasil uji trend dapat diketahui perubahan suhu udara direspon dengan
lebih baik dibandingkan dengan perubahan curah hujan di wilayah penelitian, baik di wilayah
dataran tinggi maupun dataran rendah. Hasil uji trend menunjukkan bahwa tidak semua
variasi trend indek iklim ekstrim (temperatur dan curah hujan) signifikan pada uji signifikansi
pada tingkat kepercayaan 90% dan 95% atau lebih dan juga tidak ada perbedaan kondisi
iklim ekstrim antara wilayah dataran rendah dan wilayah dataran tinggi di Sumatera Barat.
Pergeseran pola suhu sebesar 0.5 hingga 1.0OC baik di daerah dataran rendah maupun tinggi
wilayah penelitian. Sedangkan untuk pola hujan terjadi pergeseran dengan ratarata yang lebih
rendah untuk di daerah dataran rendah wilayah penelitian dan kecenderungan terjadinya
peningkatan jumlah curah hujan di daerah dataran tinggi wilayah penelitian.

5. Jelaskan ruang lingkup dekarbonisasi di sektor pertanian!


Jawaban :
Dekarbonisasi di sektor pertanian adalah suatu upaya untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca (GRK) yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian. Seperti yang diketahui, pertanian
menyumbang sejumlah besar emisi GRK, terutama dalam bentuk metana (CH4) dari proses
pencernaan ternak dan nitrat oksida (N2O) dari penggunaan pupuk dan manure. Dalam
konteks dekarbonisasi, tujuannya adalah untuk mengurangi jejak karbon di sektor pertanian
agar lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Berikut adalah beberapa aspek ruang lingkup
dekarbonisasi di sektor pertanian:
1. Pengurangan emisi langsung: Langkah-langkah ini berfokus pada pengurangan
emisi GRK yang berasal dari aktivitas pertanian itu sendiri. Misalnya, mengurangi
metana dari pencernaan ternak dengan mengubah pakan atau manajemen ternak yang
lebih baik dan mengurangi emisi N2O dengan penggunaan pupuk yang lebih efisien.
2. Peningkatan efisiensi energi: Mengoptimalkan penggunaan energi dalam sektor
pertanian juga penting untuk dekarbonisasi. Penggunaan mesin, alat pertanian, dan
sumber energi lainnya harus lebih efisien dan berbasis energi terbarukan untuk
mengurangi emisi karbon.
3. Penggunaan energi terbarukan: Mengalihkan sumber daya energi dari bahan bakar
fosil ke energi terbarukan adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi
emisi GRK di pertanian. Penggunaan panel surya, tenaga angin, biomassa, atau biogas
sebagai sumber energi mengurangi jejak karbon dari kebutuhan energi pertanian.
4. Praktik pertanian berkelanjutan: Menerapkan praktik pertanian berkelanjutan
membantu mengurangi emisi karbon dengan meningkatkan kualitas tanah,
mengurangi erosi, dan menyimpan karbon di tanah. Ini melibatkan metode seperti
konservasi tanah, rotasi tanaman, pertanian organik, dan pengelolaan air yang
bijaksana.
5. Inovasi teknologi: Pengembangan dan penerapan teknologi pertanian inovatif juga
berperan dalam dekarbonisasi. Teknologi seperti irigasi yang lebih efisien, presisi
pertanian menggunakan drone dan sensor, atau metode produksi pangan alternatif
yang rendah emisi karbon dapat membantu mengurangi dampak lingkungan.
6. Reduksi limbah: Pengolahan limbah pertanian dengan cara yang lebih berkelanjutan,
seperti konversi limbah menjadi energi atau pupuk organik, dapat membantu
mengurangi emisi GRK dari limbah pertanian.
7. Pengelolaan limbah ternak: Pengurangan emisi metana dari limbah ternak dapat
dicapai dengan sistem manajemen limbah yang lebih baik, seperti penggunaan
biodigester untuk menghasilkan biogas dari kotoran ternak.
8. Perubahan pola konsumsi: Pengurangan konsumsi produk hewani yang
berkontribusi terhadap emisi metana juga dapat membantu mencapai dekarbonisasi.
Perubahan menu dan pola makan yang lebih berbasis tanaman dapat membantu
mengurangi permintaan akan produk ternak yang emisinya tinggi.
Dekarbonisasi di sektor pertanian merupakan bagian integral dari upaya global untuk
mengatasi perubahan iklim dan mencapai target penurunan emisi GRK. Keterlibatan semua
pemangku kepentingan, termasuk petani, pemerintah, industri pertanian, dan konsumen,
sangat penting untuk mencapai dekarbonisasi yang berhasil dalam sektor ini.

Anda mungkin juga menyukai