Anda di halaman 1dari 9

Kerajaan

Sunda
I NYOMAN DEVA SATRIA F.
X-8/16
2

1 2 letak geografis Barat pulau


berdiri pada tahun 932-1579
masehi Jawa
2

3 Berdiri untuk menggantikan 4


Bercorak Hindu-Budha
kerajaan Tarumanegara
Kehidupan
Kerajaan Sunda
Politik
Ekonomi
Sosial Budaya
Politik
Kerajaan ini menganut sistem pemerintahan feodal.
Pemimpin mereka adalah prabu atau raja. Selama masa
berdirinya Sunda, kerajaan ini dipimpin oleh 5 raja, di
antaranya adalah:
1. Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1482 – 1521)
2. Surawisesa (1521–1535)
3. Ratu Dewata (1535–1543)
4. Ratu Sakti (1543–1551)
5. Ratu Nilakendra (1551–1567)

Pada masa pemerintah Ratu Nilakendra, Pajajaran yang


berpusat di Pakuan diserang oleh Sultan Hasanuddin
dan anaknya, Maulana Yusuf. Akhirnya, Pajajaran memindahkan pusat
pemerintahannya ke daerah Pandeglang. Raja Pajajaran
di daerah Pandeglang adalah Raga Mulya (1567–1579) atau
Prabu Surya Kencana.
Politik
Masa keemasan Kerajaan Pajajaran adalah saat
pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Pembangunan pada
masa ini menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Diantaranya adalah:
1. Telaga Besar bernama Maharena Wijaya
2. Jalan menuju Ibu kota Pakuan dan Wanagiri
3. Kesatriaan atau asrama prajurit
4. Pamingtonan atau tempat pertunjukan, dan masih
banyak lagi

Pada tahun 1579, Kerajaan Pajajaran runtuh karena


diserang oleh Kesultanan Banten. Berakhirnya Pajajaran
ditandai dengan pindahnya Palangka Sriman Sriwacana
ke Keraton Surosowan di Banten. Ini merupakan politik
agar Pakuan Pajajaran tidak menobatkan raja baru.
Ekonomi
Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial
ekonomi masyarakat cukup mendapatkan perhatian.
Meskipun pusat kekuasan Kerajaan Sunda berada di
pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau
bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki
pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Banten, Pontang,
Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota
pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-
sayuran, buah-buahan, dan hewan piaraan.
Di samping kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan
mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat
diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda
umumnya bertani, khususnya berladang (berhuma). Misalnya, pahuma
(paladang)panggerek (pemburu), dan penyadap. Ketiganya merupakan
jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan
selalu berpindah pindah. Hal ini menjadi salah satu bagian dari tradisi
sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat
Kerajaan Sunda
Sosial Budaya
Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial
masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok,
antara lain sebagai berikut.
1.Kelompok Rohani dan Cendekiawan
Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang
mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang
mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui
berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang
mengetahui berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui
berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu
atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita
pantun.

2.Kelompok Aparat Pemerintah


Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah (negara), misalnya
bhayangkara (bertugas menjaga keamanan), prajurit (tentara), hulu jurit
(kepala prajurit).
Sosial Budaya
3.Kelompok Ekonomi
Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan
ekonomi. Misalnya, juru lukis (pelukis), pande mas (perajin emas), pande
dang (pembuat perabot rumah tangga), pesawah (petani), dan palika
(nelayan).

Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga


sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak
meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi atau
prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah Candi
Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat.

Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra,
baik tulis maupun lisan. Bentuk sastra tulis, misalnya Carita
Parahyangan; sedangkan bentuk satra lisan berupa pantun, seperti
Haturwangi dan Siliwangi.

Anda mungkin juga menyukai