Anda di halaman 1dari 2

Saya lahir dan besar di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dengan kultur NU.

Kakek, saudara,
dan kerabat saya lain banyak yang aktif di kepengurusan organisasi NU di berbagai macam
tingkatan. Enam tahun tinggal dan belajar di pesantren NU hingga habisnya masa remaja. Tapi
paska itu, saya tumbuh dan berkembang di lingkungan yang lebih heterogen. Saya berkawan
dengan berbagai macam manusia Indonesia dengan latar belakang pendidikan, organisasi, dan
profesi.

Meski secara historis saya berlatar belakang NU, saya nyaris tidak pernah mengikuti organisasi
terkait NU. Pernah nama saya tercatat di salah satu organisasi sayap NU, tapi ya hanya tercatat
saja. Tak pernah ada kontribusinya. Kontribusi saya nol besar! Tak heran, saya tidak memiliki
bukti identitas sebagai warga NU.

Pergaulan NU saya juga terbatas kawan sekolah, pesantren, dan beberapa perkawananan media
sosial. Saya kadang masih terlalu canggung bergaul dengan mereka. Terlebih ‘tradisi’ merokok
dalam pergaulan kawan NU saya juga turut menyulitkan saya untuk lebih intents bergaul,
mengingat hidung dan tenggorokan saya tidak bisa bertoleransi lama-lama dengan asap rokok.
Saya makin jauh dari NU. Jangan-jangan, kini saya sudah seperti golongan muslim kota pada
umumnya, yang mau beragama tapi tak mau berormas.

Oh iya, saya senang dengan kemampuan berwacana sebagian kecil kawan-kawan NU saya.
Pemilihan kata-katanya kritis, terstruktur, bahasannya juga mutakhir, kadang mendunia. Tapi ya
itu, keseringan berwacananya kadang kelewat tinggi. kadang lho ya. Atau kata orang jawa masih
‘ndakik-ndakik’, lupa melongok ke bawah untuk merealisasikan wacananya. Wacananya sangat
bagus dan tinggi, tapi rapuh karena tidak punya pondasi yang cukup kuat, baik pondasi keilmuan
atau pondasi ekonomi.

Lho kok mereka pede?”Lho, kenapa nggak?” Wong cuma wacana, siapapun bebas bicara. Modal
kepercayaan diri ngomongnya selain kopi dan rokok adalah sarung dan kopiah. Dijamin gayeng
terlena sampai tengah malam. Sementara sebagian pemuda dari ormas atau organisasi sayap
partai lain sibuk turun ke bumi mengerjakan kemanfaatan apa yang bisa dikerjakan, eh si fulan
NU ini masih saja menggaungkan ide-ide, kritik, dan pemikiran hebatnya tanpa berpikir
bagaimana mengeksekusinya, menyampaikan ke orang yang tepat, atau merealisasikan idenya
agar bermanfaat.

Untungnya ya itu hanya si fulan saja, tak seperti generasi muda NU lainnya yang berpikiran
progresif. Generasi progresif inilah yang membawa nama NU harum. Mereka meninggikan
derajat mereka dengan pengetahuan dan kemanfaatan meski tak memiliki embel-embel darah
biru. Tak perlu popularitas dan panggung besar, kemanfaatan mereka meski kecil tapi nyata.

Mereka tak berbisnis atau mencari penghidupan di NU. Mereka berkibar di banyak bidang. Tak
melulu bidang agama atau dakwah saja. Mereka tak pernah memanfaatkan koneksi ke-NU-annya
untuk berkarya. Salutnya, mereka tetap menjunjung tinggi tradisi penghormatan terhadap kiyai,
budaya lokal, dan toleransi ala NU.
Kaum muda progresif NU ini tumbuh berdikari, tidak menjadi parasit yang membawa nama NU
untuk kepentingan pribadi, tidak menjadi NU ketika mereka butuh saja, dan tak perlu baju banser
untuk menutupi hasrat politik mereka. Mereka sudah NU tanpa perlu kartu NU!

Jika mengingat itu, kopiah di kepala saya terasa sempit karena kepala membesar terlampau
bangga dengan eksistensi mereka.

Anda mungkin juga menyukai