Anda di halaman 1dari 13

YESUS SEBAGAI TELADAN MORAL

Berteologi bersama:

Rosemary Radford Ruether, Carter Heyward, Mark Lewis Taylor

Dalam materi tentang Yesus sebagai teladan Moral ini dibahas mulai dari seorang
tokoh bernama Peter Abelard dengan teorinya yang terkenal yaitu teori pengaruh moral
yang menunjuk pada bagaimana pengorbanan Yesus. Hal penting penebusan dari
kematian Yesus harus dipahami sebagai berikut:

“Kita telah dibenarkan oleh darah Kristus dan didamaikan dengan Allah dengan cara:
melalui tindakan anugerah khusus yang diwujudkan kepada kita – bahwa Putra-Nya
telah mengambil alih diri kita sendiri dan bertekun mengajar kita dengan perkataan dan
teladan bahkan sampai mati – Dia telah sepenuhnya mengikat kita dengan cinta-Nya;
dengan demikian bahwa hati kita dipenuhi oleh kasih karunia ilahi, dan kemurahan hati
sejati seharusnya tidak menyusut dari menanggung sesuatu untuknya.”

Dengan memahami hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa teladan penyelamatan
Yesus berkaitan dengan kasih yang membarui teladan moral bagi manusia untuk
mengaktualisasikannya dalam kehidupan manusia mengenai apa itu kasih.

Pada materi ini kita akan melihat pada Kristologi Rosemary Radford Ructher,
Carter Heyward, dan Mark Lewis Taylor. Ketiganya menerima kerangka imanen ini dan
menafsirkan makna penyelamatan Yesus di dalamnya dengan menggunakan versi teori
pengaruh moral Abelard tentang penebusan. Ruether, Heyward, dan Taylor masing-
masing melihat Yesus memiliki pengaruh perubahan yang sama terhadap orang-orang.
Dalam teologi mereka, kejahatan utama yang diselamatkan Yesus adalah
kesalahpahaman tentang Tuhan dan kurangnya perhatian untuk masyarakat yang menjadi
korban penindasan. Setiap orang melihat Yesus sebagai yang mengatasi ketiadaan kasih
dan kepedulian moral, dengan menggerakkan orang melalui pengaruh moral-Nya untuk
bertindak di dalam ketaatan kepada Tuhan.

Rosemary Radford Ruether

1
Rosemary Radford Ructher lahir pada tanggal 2 November 1936, di St. Paul
Minnesota. Dia menempuh Pendidikan di Scripps College, di Claremont, California, pada
tahun 1954 dan menerima gelar B.A. (Bachelor of Arts). Robert Palmer membangkitkan
minatnya pada asal-usul historis agama-agama dan makna simbol-simbol agama. Dia
juga mendapat pengaruh dari gerakan “Black Power” dan pengalamannya, mengajarinya
untuk menganalisis masyarakat dalam konflik kekuasaan dan dari perspektif yang
tertindas. Vatikan II dan perubahan-perubahan yang dibawa dalam Gereja Katolik Roma
juga memberi pengaruh yang penting untuknya. Sementara di Scripps College ia bertemu
dan menikah dengan Herman Ruether, ia memiliki tiga anak. Dia menerima gelar M.A.
dalam klasik dan sejarah Romawi dan gelar Ph.D dalam bidang klasik dan patristi, di
Sekolah Teologi Claremont, ia lulus pada tahun 1965 dengan disertasi Gregorius dari
Nazianzus.

Ruether adalah seorang Katolik Roma. Kristologinya dikembangkan setelah


periode patristik. Metode teologinya berkembang dari pelatihan ini dan dari
pandangannya tentang sejarah, budaya, dan agama. Karyanya sangat berpengaruh dalam
teolog kontemporer, khususnya dalam teologi yang ditujukan untuk hubungan Yahudi-
Kristen di masa sekarang, studi tentang hubungan Yahudi-Kristen dalam Perjanjian
Baru, teologi feminis, etika sosial. Dia adalah seorang pelopor dalam membina gender
dan relasi di sepanjang garis gender yang menjadi isu penting dalam teologi kontemporer.
Dia juga sangat berpengaruh sebagai suara wanita kenabian di agama Katolik Roma.

Menurut Ruether, dalam penerimaan umum pluralisme agama dan budaya yang
mengamanatkan penghormatan dan dialog dengan tradisi lain, seseorang dapat membuat
argumen relatif membenarkan preferensi untuk satu tradisi agama atas yang lain. Bagi
Ruether, setiap orang harus bertanggung jawab atas tradisi agama/budaya mereka,
berusaha untuk mengatasi ideologi distorsi-distalnya atas dasar sumbernya sendiri. Dia
mengikuti ini melalui metode sejarah dialektik. Dalam kaitannya dengan serangkaian
tindakan sosial untuk yang diwarisi oleh tradisi agama dan budaya, ia menelusuri "pola
ideologis dalam pemikiran Kristen yang telah berfungsi untuk membenarkan kekerasan
dan penindasan."

2
Apa yang dilihat oleh Ruether tentang Yesus dalam kaitannya dengan tradisi
religiusnya sendiri yang diwariskan oleh ketidakadilan sosial pada masanya. Kematian
Yesus di kayu salib dihasilkan dari "perjuangan teoritisnya melawan ideologi palsu
penindasan dan perjuangan praktis melawan konsekuensi sosialnya." Dalam mengambil
tanggung jawab untuk tradisi agama-budaya mereka sendiri dan dunia yang mereka
bentuk, seseorang mengambil salib sendiri untuk mengikut Yesus. Hanya dengan melalui
pergumulan dan penderitaan karena mencela ketidakadilan dan unsur-unsur yang
menindas dalam tradisi seseorang yang memunculkannya, seseorang mengalami
kebangkitan, "untuk masa sekarang" dan "masa depan". Dengan demikian Yesus
mencontohkan bagaimana seseorang harus berusaha untuk memahaminya.

Ruether mengembangkan Kristologinya pada awal 1960-an melalui karyanya


pada anti-Semitisme Kristen, dari serangkaian masalah keadilan yang dia hadapi. Ruether
berpendapat bahwa pengembangan Kristologi patristik, yang memuncak pada
keputusan/edik Kalsedon, menggantikan Yesus historis dengan "simbol pola dasar
kemanusiaan yang ideal." Yesus bukanlah Mesias yang diharapkan dalam Yudaisme,
karena ia tidak mengakhiri ketidakadilan dalam sejarah.

Kemudian Ruther mengembangkan isu-isu feminis yang berkaitan dengan isu-isu


keadilan. Dalam bukunya yang inovatif, Faith and Fratricide, Ruether berpendapat bahwa
pusat pengajaran Yesus "adalah proklamasi pertobatan dalam kaitannya dengan
kedatangan Kerajaan Allah. Pertama adalah Penolakan Yesus terhadap dosa dan
panggilan untuk pertobatan. Yang kedua, adalah pernyataannya tentang datangnya
tatanan sosial yang lebih adil, pemerintahan Allah. Fitur ketiga adalah penggunaan Yesus
akan simbol pemerintahan Allah sebagai norma untuk mengevaluasi masa sekarang dan
menggambarkan masa depan yang diinginkan.

Pada tahun 1970-an Ruether semakin aktif dan terlibat dalam perjuangan keadilan
dan teologi pembebasan internasional. Kristologinya berkembang begitu jauh hingga
mencakup pada masalah di luar konteksnya sendiri yang berkaitan dengan tindakan
orang-orang terhadap penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Bagi Ruether, Yesus
bangkit dalam "kelahiran kembali protes dan harapan baru" terhadap kematian yang tidak
adil, yang terjadi pada waktu itu dan berlanjut di mana pun orang-orang menolak untuk

3
dibungkam oleh penindasan yang kejam. Mulai tahun 1970-an dan 1980-an pandangan
keadilan Ruther terpusat pada isu-isu feminsime. Tantangan feminisme mensyaratkan
bahwa teologi Kristen menolak antropologi hierarkis teologi patristik demi sebuah
antropologi egaliter di mana perempuan dan laki-laki dipandang sama-sama diciptakan.

Ruther juga terlibat dalam krisis ekologi pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Menurut Ruether, krisis lingkungan muncul sebagian dari "dominasi eksploitatif
beberapa oleh orang lain." Tapi itu juga mengharuskan orang-orang merangkul kefanaan
dan keterbatasan hidup manusia. Pemahamannya tentang Yesus sebagai seorang tokoh
kenabian yang mencela penindasan mengatasi praktik kekuasaan yang tidak adil oleh
sebagian orang di atas orang lain, yang sangat berkontribusi pada krisis ekologis.

Bagi Ruther Yesus hadir dalam segala aspek kehidupan dan memberikan
teladan moral yaitu bahwa dia hadir dalam sejarah dan tradisi keagamaan. Ia
berasal dari Yudaisme dan dari sanalah dikenal Yesus Sejarah. Yesus hadir
memberi teladan bahwa pluralisme harus di tegakkan dengan menghargai apapun
bentuk teologi atau pandangan agama tersebut. Selain itu juga Yesus hadir
memperjuangkan pembebasan terhadap kaum perempuan yang mana dari
pandangan Ruether ingin memperjuangkan kesetaraan gender yang pada waktu
itu gereja terlibat dalam tindakan ketidakadilan yaitu memusatkan perhatian pada
laki-laki (partristik). Teladan moralnya ini juga menunjukkan bahwa Yesus hadir
dalam segala penciptaanya yaitu pada alam lingkungan yang mana ia
memperlihatkan suatu bentuk ekspolitasi dan dari sana Yesus menjadi seorang
tokoh yang mencela penindasan terhadap ketidakadilan pada alam lingkungan
tersebut.

Carter Heyward

Carter Heyward lahir pada 22 Agustus 1945. Dia tumbuh di Charlotte, Carolina
Utara, dalam beberapa waktu, liberal, keluarga kelas menengah yang berkulit putih,
sebagai "pemeluk Kristen," yang mengetahui"the story book Jesus" dari usianya yang
masih muda. Selama masa mudanya dia terlibat dengan Gereja Episkopal dan pada usia

4
empat belas tahun memberikan hidupnya kepada Kristus pada Billy Graham Crusade. Dia
menerima B.A. dari Perguruan Tinggi Perempuan Randolph-Macon di Lynohburg,
Virginia, pada tahun 1967. Pada tahun 1971, ia kembali ke New York, menyelesaikan
M.A. dalam studi perbandingan agama di Universitas Kolumbia dan pada tahun 1972,
dan di sana ia diterima sebagai calon imam di Gereja Episkopal. Setelah periode
negosiasi, ia dan sepuluh wanita lainnya ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1974.
Dengan demikian membuka jalan pengakuan bagi perempuan sebagai imam di Gereja
Episkopal (1976). Setelah menerima gelar Ph.D, dia diangkat sebagai profesor pada tahun
1981. Pada tahun 1998, mereka dan yang lainnya pindah ke Karolina Utara, tinggal
selama setengah tahun, mengajar di Sekolah Episkopal Keilahian selama setengah tahun.
Pada tahun 2000, ia membantu mendirikan Pusat Kendali untuk Terapi Menunggang
Kuda di Brevard, Carolina Utara di mana ia menjadi instrukturnya.

Heyward mengalami krisis spiritual dan mental yang mendalam, di mana dasar
pemikiran radikalnya tentang kepercayaan Kristen mulai muncul. Heyward melihat
dirinya "mencoba membangun yang lama dalam agama Kristen," mengambil dan
menafsirkan kembali gagasan kunci teologi Kristen sehingga memberikan visi yang
memberi hidup untuk masa kini yang akan mendukung perjuangan untuk gereja yang
lebih inklusif dan keadilan sosial yang lebih besar. Tetapi ia juga sudah lama terganggu
oleh aspek-aspek kristologi klasik yang ditegaskan di Nicaea dan Kalsedon, dan oleh
gagasan bahwa Yesus mati di kayu salib untuk memperoleh pengampunan dari Allah
bagi dosa manusia. Bagi Heyward, penting bagi feminis Kristen untuk memikirkan
kembali Kristologi untuk menghapus aspek-aspek ini dan aspek-aspek lain yang
mengekspresikan ideologi dualistik destruktif dan untuk mengambil dan mengangkat apa
yang memberdayakan Yesus bagi orang-orang yang terlibat dalam perjuangan demi
keadilan. Ini terkait dengan pemahamannya tentang kekuasaan yang merupakan pusat
teologinya. Menurut Heyward, semua orang memiliki potensi untuk bertindak adil.
Kekuatan orang untuk bertindak dilaksanakan dengan benar dalam kebersamaan dengan
orang lain dan dalam tindakan yang berusaha untuk memajukan kesejahteraan bersama di
antara manusia dan ciptaan. Adalah negara jika dalam kehidupan, keadilan berkembang.

5
Bagi Heyward, bahkan lingkungan alam, basis kehidupan, terancam oleh
keserakahan, kerakusan, dan narsisisme dunia pertama. Agresi narsistik, seperti
yang dikemukakan dalam kelas atau penindasan rasial, patriarki, dan imperialisme
Amerika, umumnya "terlalu tertanam dalam tradisi agama dan sipil kita" untuk secara
efektif ditentang oleh daya tarik untuk alasan dan niat baik, atau oleh individu yang
bertindak sendiri. Liberalisme teologis karena memiliki analisis yang tidak memadai
tentang realitas kekuasaan yang dimainkan dalam konflik seperti itu, dan pendekatannya
pada Kristologi.

Bagi Heyward, pribadi Yesus adalah ikon agama dan budaya yang kuat, tempat
perang dalam perjuangan untuk keadilan antara kekuatan agresi narsistik dan mereka
yang berusaha untuk hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Gagasan Kristen
tradisional tentang Yesus sebagai Putra Allah yang unik, sepenuhnya ilahi dan
sepenuhnya manusia, mati di kayu salib untuk menenangkan murka Allah memberi
"psikospiritualitas yang memutarbalikkan yang menormalkan dinamika yang begitu
kejaman dan penderitaan, pemerkosaan dan kekerasan intim, kekerasan terhadap anak-
anak, hubungan dominasi dan kontrol, kekerasan terhadap manusia dan semua makhluk,
dan perang dibenarkan. Bertentangan dengan ini, Heyward Yesus sebagai perangsang
dan pemandu yang mencari hubungan timbal balik. Batuan mendalam dari agresi
narsistik di masyarakat kontemporer membutakan orang terhadap berbagai alternatif.
Biaya potensial untuk menghadapi itu membuat orang menjadi diam. Untuk melawannya
dan mencari mutualitas, orang-orang membutuhkan contoh dan tradisi moral yang dapat
membuka mata mereka dan meningkatkan keberanian mereka. Kristologinya berusaha
untuk mengambil Yesus sebagai salah satu dari contoh moral ini. Dia memahami
pengambilan ini sebagai tindakan perlawanan terhadap agresi narsistik yang
diekspresikan dalam patriarki, homofobia, struktur keagamaan otoriter, dan kapitalisme
global. Di jantung Heyward Kristologinya terletak pada pemahamannya tentang Tuhan
sebagai kekuatan dan sukacita yang timbul dari hubungan kebersamaan, dan sebagai
keinginan erotis, kerinduan di dalam diri orang-orang, yang memberdayakan mereka
untuk mencari hubungan ini. Tuhan adalah kerinduan untuk hubungan timbal balik dan
kekuatan spiritual yang tumbuh dari ini. Yesus menyelamatkan melalui teladan moralnya,

6
dengan memindahkan dan memberdayakan orang untuk mencari hubungan timbal balik
dengan orang lain.

Kemalangan Yesus tidak intrinsik terhadap signifikansi penyelamtan, dan


menolaknya karena itu adalah menerima ideologi patriarki, berbahaya bagi wanita,
"bahwa biologi adalah takdir." Yesus adalah contoh dari kehidupan manusia. Arti
simpanannya terletak pada apa yang ia modelkan, dan hanya karena ia menyukai orang
lain bahwa Yesus dapat menjadi teladan bagi mereka. Namun, Heyward tidak begitu saja
mengabaikan definisi Chalcedonian tentang Yesus sebagai sepenuhnya ilahi. Sebaliknya,
ia menafsirkannya sebagai Yesus yang secara bersamaan rentan dan berkuasa, dengan
alasan bahwa Yesus menyelamatkan signifikansi hasil dari dua karakteristik ini bersatu
tak terpisahkan dalam satu orang. Dengan menjadi rentan, ia mampu menunjukkan
kepada orang lain melalui teladannya bahwa mereka juga dapat mengatasi rasa takut,
keletihan, dan godaan narsistik mereka, dan seperti dirinya, mengalami sukacita
hubungan timbal balik yang lebih dalam dan lebih luas melalui keadilan.

Yesus berfungsi sebagai pemandu bagi orang lain karena hubungannya dengan
orang lain mengungkapkan apa itu moral. Heyward berpendapat bahwa Yesus
menjalankan pilihan keistimewaannya untuk orang miskin dan menolak untuk menerima
hubungan hierarkis, otoriter, atau dibatasi. Teladannya menggerakkan orang untuk
meniru ini dengan mendorong dan menghibur mereka. Hubungan Yesus dengan para
pengikutnya, dulu dan sekarang, adalah dialektik. Salib Yesus menunjukkan biaya
mencari hubungan timbal balik. Kebangkitan adalah pernyataan iman bahwa cinta Tuhan,
kekuatan hubungan timbal balik, lebih kuat daripada kekuatan dosa dan kematian, dan
bangkit kembali setelah kekalahan.

Melalui orang-orang yang memanfaatkan hal penting penyelamatan Yesus dalam


cara-cara dan konteks-konteks baru, makna Yesus diperluas melampaui cakrawala
sebelumnya dan diberi makna baru. Dengan demikian Yesus dapat terus menjadi Kristus
dalam konteks baru melalui tanggapan kreatif orang-orang kepadanya.

Sementara Heyward secara kuat meraskaan Yesus sebagai contoh moral untuk
saat ini, ada ketidakjelasan analisis sosial dan pembacaannya dari Injil. Untuk meminjam
istilah dari antropologi budaya, ia tidak memberikan "deskripsi yang kental" tentang

7
konteks Yesus yang digunakan untuk mengembangkan interpretasi bernuansa praksisnya,
bukan karena ia memberikan deskripsi yang tebal tentang konteksnya sendiri, atau sifat
saling hubungan dan agresi narsistik di dalamnya. Heyward mengakui perlunya analisis
yang lebih mendalam tentang sifat hubungan timbal balik di tengah kerumitan
konteksnya dalam dialognya dengan Katie Cannon dan dalam seruan berikutnya untuk
feminis kulit putih untuk mendengarkan suara-suara perempuan kulit berwarna. Tetapi
umumnya, ia menggunakan istilah-istilah hubungan yang benar atau timbal balik tanpa
secara hati-hati mendefinisikan parameter mereka. Selain itu, sementara Heyward melihat
Yesus sebagai sumber pemberdayaan menuju hubungan yang benar, dia tidak pernah
menganggap bahwa dia mungkin menjadi sumber pengekangan yang mencegah
keinginan orang untuk membimbing mereka ke dalam hubungan buruk atau tindakan
kasar terhadap orang lain. Ini mungkin telah berkontribusi pada kurangnya penegasan
moral dalam hubungannya dengan refleksinya mengenai hal ini.

Mark Lewis Taylor

Mark Lewis Taylor lahir di Seattle, Washington, pada tahun 1951. Ia tumbuh di
dekat Manhattan, Kansas, dalam suasana Protestan yang cukup injili. Pada 1973, ia lulus
dari Seattle Pacific College (sekarang universitas) dan menikahi Anita Kline (bercerai
pada tahun 1994). Meraih gelar Doktor Pelayanan di Union Theological Seminary di
Richmond, Virginia, kemudian mendapatkan gelar Ph.D di University of Chicago
Divinity School pada tahun 1982. Ayahnya adalah seorang antropolog, dan Ph.D. Taylor
disertasi berada di dimensi agama antropologi budaya. Ia mulai mengajar di Seminari
Teologi Princeton pada tahun 1982, dan menjadi Profesor Teologi dan Kebudayaan
Maxwell M. Upson pada tahun 2004.

Mark Lewis Taylor, yang merupakan seorang professor Teologi dan Kebudayaan.
Ia memperjuangkan perlawanan imperialisme, kekuasaan mutlak dari sayap kanan, anti-
hukuman mati bagi para narapidana serta aktivis anti-perang di amerika Serikat.
Sehingga, Kristologinya mencerminkan aktivisme dan masalah keadilannya.

Mengikuti Paul Tillich (filsafat eksistensialisme), Taylor berbicara tentang Yesus


sebagai “Kristus”, dalam pemahaman bahwa “Kristus” merupakan istilah simbolis. Yang
tekanannya terdapat pada symbol (Kristus) itu, yang dikonstruksikan dangan atau

8
menurut konteks, yang menurut pandangan teologi Reformed, konsep-konsep teologi
terus dibaharui menurut Firman dan Roh Kudus di masa sekarang. Ia menekankan bahwa
symbol “Kristus” adalah makna penting dari Yesus harus diwujudkan. Baginya, Yesus
sebagai Kristus bekerja untuk membangun solidaritas dengan yang tertindas dan
mengatasi etnosentrisitas yang menindas.

Dalam tulisannya yang berjudul “Remembering Esperanza” (Mengingat


Harapan), menekankan gagasan bahwa symbol dibangun dan selalu berkembang dalam
“tanggapan terhadap kebutuhan kontemporer”. Dengan tujuan, para teolog harus
merumuskan ulang symbol Yesus Kristus untuk menyingkirkan aspek-aspek yang
menindas. Baginya, symbol Kristus tidak mengacu pada Yesus secara individu tetapi
kepada suatu dinamika sosiohistoris, yang terdiri dari Yesus dan orang lain yang
mengikuti-Nya. Peran Yesus diartikan sebagai ragi dalam dinamika sosiohistoris. Pada
titik ini, ia lebih mementingkan sifat interpersonal dari peristiwa Kristus dan konturnya
sebagai suatu dinamika. Menumbuhkan dinamika emansipasi rekonsiliasi. Berhubungan
dengan itu, dalam Perjanjian Baru, Taylor menemukan dinamika sosiohistoris emansipasi
rekonsiliatif di mana Yesus adalah ragi. Sementara Kristologi dikonfigurasikan untuk
menumbuhkan dinamika ini di masa sekarang.

Tulisan keduanya, berjudul The Executed God: The Way of the Cross (Allah
yang Dieksekusi: Jalan Salib) di Lockdown Amerika. Yang berhadapan dengan bentuk
brutal dari kelas rasis di Amerika Serika, yang merupakan praktik imperial global yang
mengorbankan kehidupan, untuk mempertahankan kekaisaran dari sebagian besar
perusahaan Amerika elit. Bagi Taylor, symbol “Kristus” berfokus pada pengesahan ulang
identitas Yesus Galilea, sebagai orang yang menolak kekaisaran dalam bentuk Romawi,
dan pengesahan ulang gagasan untuk mengikuti Yesus, Jalan Salib. Bagi Taylor, teologi
perlawanan menentang kekaisaran Romawi sama dengan orang Kristen hari ini, yang
harus melanjutkan teatrik kontrateror ini sehubungan dengan kekaisaran masa kini.
Mengembangkan hal tersebut, pada tahun 2006, Taylor mengeluarkan sebuah esai yang
berjudul “Penyiksaan Amerika dan Tubuh Kristus”. dalam rangka untuk menyetujui
Kristologi untuk melawan negara penyiksaan Amerika, ia menyarankan bahwa Ekaristi

9
dirayakan dengan identifikasi dramatis Yesus dengan para korban penyiksaan dan dengan
perlawanan terhadapnya.
Seperti Rosemary Radford Ruether dan Carter Heyward. Taylor melihat “Kristus”
untuk memasukkan orang-orang yang bergerak oleh Yesus, seperti juga Yesus sendiri.
”Apa yang penting dalam pandangannya adalah bahwa sesuatu terjadi yang meyakinkan
mantan pengikut-pengikutNya bahwa cara perlawanan Yesus belum dilawan oleh
kematianNya dan memindahkan mereka untuk melanjutkannya. Bagi banyak orang di
gereja mula-mula, kebangkitan Yesus memiliki implikasi bagi orang serta tujuannya.
Pergantian dalam iman mereka yang dipicu oleh kebangkitan Yesus pada akhirnya
memberdayakan pemikiran ulang tentang sifat Allah. Taylor dengan cemerlang
memunculkan implikasi sosial radikal dari pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus
dan bagaimana ini dapat memberdayakan perjuangan untuk keadilan sosial.

Akibatnya, bagi Taylor, Ruether, dan Heyward, Yesus sebagai Kristus adalah
ungkapan kuasa ilahi yang kuat tetapi tidak memainkan peran khusus dalam
mendefinisikan sumber kekuatan itu. Dengan tidak mengejar pertanyaan tentang apa itu
tentang pribadi Yesus yang memungkinkan dia untuk menjadi Kristus, atau ragi dalam
Kristus yang dinamis, Ruether, Heyward, dan Taylor membiarkan menjatuhkan
pertanyaan yang telah memainkan peran penting dalam pengembangan pemahaman
tentang Tuhan dan kekuatan ilahi yang Yesus nyatakan.
Ringkasan

Ketiga penulis yang dikaji dalam bab ini semuanya melihat makna penting Yesus
dalam pengaruh moralnya. Dosa atau kejahatan mendasar yang Yesus atasi adalah
kurangnya kepedulian moral terhadap citra Allah yang memunculkan keterlibatan gereja
dan tradisi Kristen dalam menumbuhkan penindasan dan ketidakadilan. Sementara dosa
dan kejahatan yang harus diatasi memanifestasikan dirinya dalam struktur-struktur sosial
yang berdosa dan tindakan-tindakan penghancuran yang terorganisir seperti Holocaust,
itu berawal dari kurangnya cinta dan perhatian moral dalam hati orang-orang. Yesus
menyelamatkan baik pelaku maupun korban dari dosa semacam ini dengan
menggerakkan mereka untuk mencari keadilan dan melawan kejahatan dan dengan cara
ini untuk memenuhi potensi yang diberikan secara ilahi. Yesus melakukan ini melalui

10
kekuatan simbolisnya. Keindahan tindakannya dan hubungan yang membebaskan dengan
orang lain menggerakkan orang-orang dengan memberi mereka rasa nilai-nilai baru dan
mengilhami mereka untuk mencoba mengekspresikannya dalam kehidupan mereka
sendiri. Kuasa Yesus terutama bersifat memberi rangsangan. Dia menggerakkan orang
untuk melawan kejahatan dan menyelamatkan mereka dengan menciptakan di dalamnya
keadilan dan perdamaian. Keselamatan yang dibawa Yesus dalam pemahaman ini
bukanlah kesadaran baru tentang Allah, seperti dalam bab sebelumnya, tetapi cara baru
untuk bertindak dan berhubungan dengan orang lain. Kurangnya cinta dan kepedulian
moral dan struktur sosial yang berdosa yang memisahkan orang-orang dari Tuhan
dikalahkan ketika Yesus menggerakkan mereka untuk menjadi satu dengan Tuhan dalam
tindakan mereka dan untuk mencari masyarakat yang lebih adil. Dalam kristologi yang
dipelajari dalam bab ini, pengaruh Yesus yang mendamaikan adalah perubahan dalam
kehidupan manusia.

Cara memahami arti penting keselamatan Yesus ini, seperti di bab sebelumnya,
menghindari krisis klaim-klaim kognitif bahwa gagasan-gagasan tradisional tentang
Tuhan bertindak dalam sejarah yang dialami dalam kaitannya dengan pandangan dunia
modern yang dibentuk oleh ilmu-ilmu alam. Tiga Kristologi yang dipelajari di sini
masing-masing berusaha untuk melepaskan potensi kritis Yesus dan tradisi Injil dalam
kaitannya dengan kejahatan sosial yang besar dan kuat, seperti homophobia, rasisme, dan
dominasi kelas, yang telah mengklaim jumlah kehidupan yang tak terhitung,
menyebabkan penderitaan yang sangat besar, dan menciptakan rasa bersalah yang sangat
besar. Namun masing-masing dari kristologi ini dicirikan oleh "kesederhanaan minat
soteriologis." Di satu sisi, minat soteriologis mereka tidak sederhana, karena masing-
masing berusaha untuk menegakkan keadilan di bumi untuk semua, tugas yang tidak
pernah berakhir. Namun perhatian soteriologis mereka sederhana karena ada dimensi
kepedulian manusia seperti rasa bersalah dan finalitas serta kehilangan kematian yang
tidak mereka tangani.

Dalam teori pengaruh moral dari penebusan, kejahatan utama yang Yesus
kalahkan adalah konsep penyembahan berhala dan kurangnya perhatian moral bagi orang
lain. Kejahatan ini terletak terutama dalam kehendak, dalam kegagalan untuk mencintai

11
yang baik dan untuk memenuhi potensi seseorang untuk mencarinya. Yesus
menyelamatkan dengan menciptakan dalam diri orang-orang keinginan untuk mengasihi
orang lain. Tetapi karena masing-masing penulis yang diteliti dalam teori penebusan ini
saja tidak cukup untuk mengatasi kejahatan yang dikemukakan oleh para penulis ini.
Dapatkah pencarian keadilan ditegakkan ketika kerusakan besar-besaran yang disebabkan
oleh struktur sosial yang berdosa tidak pernah terjadi? Menurut filsuf Max Horkheimer,
pencarian keadilan ditopang oleh keyakinan bahwa para algojo pada akhirnya tidak akan
menang atas korban-korban mereka. Jika demikian, maka penekanan subyektif dari teori
pengaruh moral dari penebusan yang membongkar makna penyelamatan Yesus dalam hal
janji yang dia bawa dari masa depan bagi para korban sejarah. Dalam bab berikutnya, kita
beralih ke tiga teolog, Jon Sobrino, James Cone, dan Elizabeth Johnson, yang memahami
makna penting dari Yesus.

Kesimpulan

Berdasarkan apa yang ditulis oleh ketiga tokoh dalam materi ini bahwa teori yang
mereka kembangkan berkaitan dengan Yesus sebagai teladan moral yang mana ini
berawal dari tokoh bernama Peter Abelard dengan teorinya yang terkenal yaitu teori
pengaruh moral, berkaitan dengan penebusan Yesus bahwa dari penebusan-Nya di kayu
salib dapat memberi teladan pada umat manusia yang hidup di dunia ini tanpa
memperhatikan keadilan dan kurang memperhatikan hubungan timbal-balik dengan
sesama sehingga menimbulkan kejahatan sosial. Maka melalui pengorbanan dan teladan
yang Yesus berikan hendaknya ini menjadi harapan untuk manusia supaya dapat
menegakkan suatu hidup yang berkeadilan, penuh kasih, dan peduli akan masalah-
masalah yang dihadapi sesama terutama berkaitan dengan penindasan terhadap hak-hak
orang lain, kerusakan lingkungan, pluralisme, dll.

Dengan demikian persamaan dari ketiga tokoh ini berkaitan dengan bagaimana
mereka memahami arti Tuhan dalam kaitannya dengan tindakan penyelamatan-Nya
sehingga menjadikan-Nya sebagai teladan moral yaitu memberi pengaruh bagi setiap
orang untuk mencari keadilan dan melawan kejahatan serta hidup dalam kasih. Yang
berbeda dari ketiga tokoh ini yaitu berkaitan dengan metodologi yang mereka gunakan
untuk menyetakan karya penebusan Allah ini yang mana Ruther di mulai dari

12
pengalamannya yang hidup dalam lingkup katolik dengan sistem patristik, kemudian juga
kaitannya dengan anti-semistisme, isu feminis (karena ia adalah seorang tokoh feminis),
dan krisis ekologi. Ia mengatakan kedatangan Kristus menunjukkan bahwa Ia akan
menyatakan Kerajaan Allah dengan maksud memanggil setiap umat untuk bertobat.
Bukan seperti pandangan orang Yahudi yang mengharapkan kedatangan Yesus untuk
membebaskan mereka dari penindasan waktu itu. Heyward menyatakan tentang kristologi
ini yaitu bagaiaman teladan Yesus terhadap hubungan timbal-balik-Nya karena pada
waktu itu orang-orang hidup dalam sikap inkluvisme. Sedangkan Taylor yang adalah
seorang teolog kebudayaan memperjuangkan perlawanan terhadap ketidakadilan di
Amerika Serikat (imperialism, kediktatoran sayap kana, anti-hukuman mati terhadap
narapidana, serta anti-perang). Dengan penekanannya pada Yesus sebagai Kristus bekerja
untuk membangun solidaritas dengan yang tertindas dan mengatasi etnosentrisitas yang
menindas.

Literatur :

Schweitzer Don. Contemporary Christologies: A Fortress Introduction. 1958

13

Anda mungkin juga menyukai