Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

Titik Temu
dan Garis Takdir

“Ada kemungkinan sekitar lima persen setiap manusia

pernah berkontak dengan makhluk dari dunia paralel.

Namun, kebanyakan dari kita tidak menyadarinya

karena kehidupan kita dan mereka belum bersinggungan.”

S eorang lelaki bersurai legam menghela napas kesal tatkala


awan hitam mulai menggumpal. Semesta mengirimkan
pertanda untuk penduduk bumi bahwa hujan akan segera
datang. Senja yang semula indah kini terkesan puitis dengan
hadirnya rintik gerimis yang mulai menyapa Kota Bandung.
Jefan termenung seolah telah melupakan kesalnya. Entah ia
tengah menikmati aroma tanah, terbuai oleh rintik gerimis
yang begitu ritmis, atau sekadar mengosongkan pikiran dari
beban kuliah hari ini. Berangkat dipeluk kantuk dan pulang
dilanda lelah sudah menjadi makanan sehari-hari semenjak
Jefan memutuskan masuk Jurusan Fisika Murni, menjadi
bagian dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA) Universitas Bandung angkatan 2035.
“Jef, nungguin apa?” Suara dengan tone berat sukses

5
memecah lamunan Jefan.
Jefan menoleh dan mendapati Aryo, teman sekelasnya,
tengah berdiri dengan mengenakan jas hujan. Cara berdirinya
yang tegap membuatnya terlihat bagai prajurit berbaju zirah
yang siap turun ke medan perang.
“Nunggu reda, lupa nggak bawa payung. Duluan aja, Yo,”
sahut Jefan.
Jefan hanya menatap Aryo yang punggungnya semakin
jauh membelah jalanan sepi hingga akhirnya tak terlihat lagi
ditelan jarak. Lelaki berbola mata cokelat tersebut kembali
mengambang dalam lamunan, jauh dari realitas di sekitarnya.
Ada sesuatu yang membuat dunianya seolah berhenti
untuk sejenak. Hatinya berdegup kencang, tapi terhalang
oleh kebingungan. Pertanyaan mulai mengakar di kepala,
menciptakan dugaan-dugaan yang tak jelas arahnya.
Sesosok bayangan berjalan dengan langkah mantap di
bawah hujan. Pandangan yang tadinya buram kini menjadi
jelas. Atensi Jefan sukses terpusat pada bayangan tersebut,
menciptakan pertanyaan yang terus mengakar di pikirannya.
Namun, belum sempat ia memastikan, sosok bayangan
tersebut sudah lenyap terhalang pos satpam. Segera ia
bergegas, tak peduli jika hujan melahap habis dirinya hingga
basah kuyup.
“Permisi, Pak, apa tadi lihat ada laki-laki usia sekitar 50
tahun berjalan di sekitar sini?” Jefan bertanya kepada satpam
setelah agak berlari menuju pos satpam demi tidak kehilangan

6
jejak bayangan itu. Namun, usahanya tampak sia-sia.
“Kurang merhatiin saya soalnya banyak orang lewat,” ujar
satpam tersebut.
“Kalau begitu terima kasih,” jawab Jefan dengan nada
pupus.
Entahlah, mungkin hanya kebetulan saja. Bisa jadi bayangan
yang tercipta saat hujan memang mampu menipu mata.
Jefan memutuskan untuk pulang meski hujan masih
mengguyur bumi tanpa ampun. Toh, dirinya sudah terlanjur
basah.

“Serius, Ris, gue nggak halusinasi. Bahkan jaket yang dia


pakai itu hadiah dari gue waktu Ayah dapat promosi jabatan.”
Alih-alih mandi dan berganti pakaian, Jefan justru langsung
menelepon temannya untuk menceritakan keanehan yang ia
lihat hari ini.
“Lo lagi kangen kali, terus jadinya halusinasi. Besok kalau
liburan semester langsung nengok ke makam aja pas habis
dari stasiun,” ucap Harris di seberang sambungan telepon.
Jefan mendaratkan tubuhnya di kasur dengan panggilan
yang masih terhubung. Lelaki itu mulai mengoceh tentang
dunia paralel yang membuat Harris mual mendengarnya.
Tidak ada yang berubah, Jefan dengan segala halusinasinya
dan Harris selalu dengan tanggapan skeptisnya.

7
Ketukan pada pintu kamarnya sukses membuat Jefan
memutuskan dialog dengan Haris secara sepihak. Dengan
langkah hati-hati, ia mendekati pintu, membiarkan
ketidakpastian dan rasa ragu menemani langkahnya.
Ketika pintu dibuka, kehadiran tak terduga mengguncang
pertahanannya. Senyum lembut dan raut muka itu tampak
sangat akrab. Saking sulit untuk dipercaya, Jefan sampai
merasa tubuhnya lemas.
“Ayah?” bisiknya memastikan.
Sosok itu mendekap hangat dirinya. Ada getaran yang
membingungkan hati Jefan. Keterkejutan membuat jantungnya
membeku sejenak, merasa bahwa kehangatan itu begitu akrab
sekaligus terasa asing. Dalam detik yang baru terasa seperti
abadi, Jefan malah merasa ayahnya melepas dekapan.
Jefan hanya bisa melihat sepasang netra yang sekelam
samudra milik lelaki berusia setengah abad itu. Kelam di
sana seolah menyimpan rahasia yang tak terungkapkan.
Langkahnya mulai menjauh. Berjuta tanya membuat sesak
dada Jefan namun seluruh kalimat seolah tercekat di
tenggorokan. Bagai ada belati yang menancap di lidah, Jefan
tak mampu sekadar meneguk ludah.
Ayahnya pergi bagai kilat yang menyambar tiba-tiba di
langit, berjejak namun hilang dengan cepat. Kepergiannya
membawa rahasia, meninggalkan tanya yang belum terjawab,
membiarkan rindu yang terpendam terus dipendam tanpa
mampu terobati.
Dalam ruang yang sunyi, Jefan masih berdiri di ambang

8
pintu, merenung pada jejak kepergian ayahnya. Kehadiran
singkat itu seolah-olah menimbulkan riak di danau hatinya,
meninggalkan keping rasa yang terombang-ambing di antara
harapan dan kebingungan.
Jefan bergegas meraih ponselnya kembali, bersiap untuk
menghujani temannya dengan pertanyaan dan dugaan-
dugaan. Mungkin malam ini akan menjadi malam yang
panjang untuk Harris karena harus kembali mendengar segala
ocehan Jefan tentang dunia paralel.
“Ris, kayanya hari ini gue berkontak langsung sama orang
dari dunia paralel.” Kalimat pertama yang Jefan luncurkan
setelah kejadian tadi menjadi bahan tawa untuk Harris.
“Lo makin terobsesi aja sama dunia paralel. Anak kecil
juga paham kali kalau hal begituan cuma khayalan semata. Lo
mending kurang-kurangin baca buku tentang dunia paralel,
deh. Keburu gila nanti,” komentar Harris dari seberang
telepon dengan gelak tawa yang menyisa.

Pagi yang seharusnya cerah kini terbalut sempurna oleh


kegelisahan. Barangkali memang hari Rabu tak pernah
menjadi sahabat karibnya sejak dulu. Jefan merasa detik-detik
yang tengah berjalan seperti musuh bebuyutannya.
Jam di dinding koridor kampus seolah menatapnya
angkuh, mengejek keterlambatannya. Dia mencoba untuk
mempercepat langkah, menandingi cepatnya waktu berputar.

9
Sesekali napasnya tersengal, tak hanya karena larinya, tapi
juga karena kecemasan yang mengendap di dadanya.
Menatap pintu kelas yang tertutup rapat, Jefan tahu 30
menit adalah waktu yang tak termaafkan. Ia menarik napas
dalam-dalam, coba menyiapkan diri untuk menghadapi
konsekuensi keterlambatannya.
Jefan merasa ia telah disengat listrik dengan jutaan volt
ketika mendapati pintu kelas dikunci. Yah, dosen mata kuliah
Fisika Dasar memang sudah menyampaikan kontrak belajar
bahwa siapa pun yang telat lebih dari 15 menit tidak akan
diperbolehkan masuk kelas. Ia pikir dosen yang satu ini
hanya bercanda supaya tidak ada mahasiswa telat. Sialnya,
peraturan memang dibuat untuk dilanggar, dan sekarang
konsekuensinya benar-benar nyata di depan mata.
“Tau gitu tadi nggak usah berangkat,” gumam Jefan
menyesali keputusan. Padahal, ia sudah berperang dengan
alarm dan air dingin di pagi hari. Semuanya berakhir sia-sia.
Ia memutuskan untuk berjalan dengan menyeret
sepasang kaki yang dirasa berat untuk meninggalkan kelas.
Dirangkainya pula kembali pikiran yang sempat tercecer.
Ditemani langkah yang hening, matanya tertuju pada papan
pengumuman berita acara dekat ruang rapat.
Ia mendekat, membaca secarik kertas yang tertempel
di papan itu, hanya iseng saja barangkali ada sesuatu yang
terjadi. Biasanya gosip FMIPA tersedia di papan ini. Namun,
alih-alih gosip, Jefan justru mendapat hal berharga baginya.
Mata Jefan terbelalak ketika judul Kuliah Umum: Dunia

10
Paralel dari Kacamata Fisika oleh Profesor Heru Raharjo,
menarik perhatiannya.
Tanpa ragu, Jefan melangkah menuju auditorium. Hatinya
yang tadi penuh dengan penyesalan, kini bergetar dengan
antusiasme yang tak terduga. Mungkin inilah panggilan dari
kesalahan pagi ini, sebuah kesempatan tak terduga untuk
menemukan ilmu baru dan mungkin menemukan pemahaman
baru tentang waktu, ruang, dan kemungkinan-kemungkinan
lain yang belum pernah terjamah sebelumnya.
Jefan masuk dengan langkah yang tenang, mencari tempat
duduk yang nyaman untuk menyimak kuliah umum hari ini.
Suasana di dalam ruangan begitu sarat dengan antusiasme
orang-orang yang hadir, seperti hawa yang terikat dalam
keingintahuan yang tak terucapkan.
Profesor Heru tampak gagah berdiri di podium. Setiap
kalimatnya berdansa di udara, menciptakan aliran pikiran
yang memikat.
"Ada kemungkinan sekitar 5% setiap manusia pernah
berkontak dengan makhluk dari dunia paralel. Namun,
kebanyakan dari kita tidak menyadarinya karena kehidupan
kita dan mereka belum bersinggungan.
“Seorang teman pernah berkata kepada saya. Sebelum
kami kenal satu sama lain, rupanya kami sering bertemu di
suatu event namun kami tidak sadar. Bukan tidak sadar, hanya
saja kehidupan kami belum bersinggungan. Setelah kami
berdua saling mengenal, rasanya saya bisa melihat dia di mana
pun, bahkan ketika saya lari ke penghujung dunia. Begitu juga

11
sebaliknya, dia merasa selalu saja menemukan saya di mana
pun. Entah itu di ruang dosen, di kantin, di kampus utama, di
gedung rektorat, atau bahkan di tempat umum, seperti pasar,
stasiun, halte, dan tempat lain yang memiliki kemungkinan
kecil untuk bertemu.
“Sekali lagi saya highlight, semua hal terasa ada ketika
kehidupan saling bersinggungan. Lalu, saya dan teman saya
mulai berspekulasi tentang sesuatu, bahwa ada kemungkinan
multiverse dan dunia paralel benar-benar eksis di dunia ini.
Hanya saja, kehidupan kita tidak bersinggungan atau mungkin
belum, ya? Sehingga kita tidak akan pernah menyadarinya,
sekalipun kehidupan itu mungkin pernah menampakkan diri
tepat di depan mata, kita tidak akan pernah sadar sebelum
kehidupan kita saling bersinggungan dengan mereka.”
Professor Heru tersenyum dengan puas lalu berkata,
“Dari sinilah keingintahuan saya tentang dunia paralel dalam
kacamata Fisika dimulai.”
Jefan merasa dadanya dipenuhi dengan getaran tak
terungkapkan. Kata-kata itu terasa seperti lagu rahasia yang
terpendam dalam dada, merangkulnya dalam keingintahuan
yang menyalakan percikan semangatnya. Seketika hatinya
bergelora. Profesor Heru seolah mengajak para audiens untuk
masuk ke dalam dunia yang tak terbatas.

Seusai kuliah umum, Jefan merasa pertanyaan yang

12
mengendap di dada semakin mengakar tak terkendali. Dalam
tiap langkahnya, Jefan merasa jantungnya berdebar, seolah-
olah menyusuri lorong waktu yang tak pasti. ia menyusul
langkah Profesor Heru, berusaha mencari jawaban atas
kejadian aneh kemarin.
Profesor Heru dalam iringan langkah yang mantap namun
tenang adalah pemandangan yang menawan. Lorong yang
sepi itu menjadi saksi bisu dalam pertemuan antara keinginan
dan keterbatasan. Baginya, mengejar adalah langkah pertama
menuju jawaban yang belum terpecahkan soal kemarin.
Barangkali semesta memang punya rahasia dan fisika adalah
jawabannya. Jefan akan bergantung pada harapan, setidaknya
untuk hari ini.
“Selamat pagi, Profesor Heru,” Jefan menyapa terlebih
dahulu untuk menunjukkan keberadaan dan kesopanannya.
Pria berkacamata itu menoleh lalu bertanya, “Ya, ada perlu
dengan saya?”
“Saya izin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama
saya Jefan Halim Adiwijaya, mahasiswa baru Jurusan Fisika
Murni. Saya secara sengaja menghadiri kuliah umum Anda
yang begitu luar biasa karena kebetulan saya pribadi punya
minat di bidang fisika kuantum, dimensi lain, dan dunia
paralel. Kalau berkenan, apa saya boleh berdiskusi dengan
Anda? Saya merasa terhormat dapat berbincang dengan Anda
seperti ini,” ucap Jefan menyampaikan maksud dan tujuannya
secara gamblang.
Profesor Heru tersenyum lembut namun kata-kata

13
berikutnya bergema meninggalkan jejak bagai riak di air
tenang.
"Dunia paralel adalah topik yang kontroversial sekaligus
menyentuh batas kemampuan berpikir manusia. Seseorang
yang mau berdiskusi tentang ini setidaknya harus menguatkan
fondasi teori terlebih dahulu. Namun, di usiamu yang muda,
lebih baik fokus pada dasar-dasar fisika. Belajar saja dengan
tekun dan kuatkan dasarnya dulu. Dunia paralel itu cuma
berupa misteri yang tidak akan pernah terjamah. Ada begitu
banyak keajaiban di fisika yang bisa kamu eksplorasi tanpa
harus menginjak batas-batas yang belum pernah terjamah umat
manusia," jawab Profesor Heru dengan tenang namun tegas.
Jefan merasakan denyut kekecewaan, di sisi lain juga
menyanjungkan rasa hormat yang mendalam terhadap kata-
kata profesor. Dia mengangguk dengan penuh pengertian,
menyadari dirinya perlu memahami dasar-dasar fondasi
yang kokoh sebelum menjelajahi wilayah yang lebih luas dan
kompleks dalam ilmu fisika. Terlebih lagi, hari ini ia telah
melewatkan kelas fisika dasar. Mana pantas seorang mahasiswa
yang bahkan alpa pada kelas tingkatan dasar, malah mengajak
diskusi seorang profesor?

Suara dari mikrofon di auditorium terus menggema. Jefan


kembali hadir pada kuliah umum dengan pembicara utama
Profesor Heru Raharjo.

14
Sebetulnya sudah bukan lagi kembal hadir, karena ia selalu
hadir di setiap kuliah umum maupun kuliah praktisi jika
pembicaranya adalah beliau.
Terhitung sudah tiga kali ia hadir semenjak percakapan
terakhir dengan Profesor Heru.
Hari ini tak selama biasanya. Dalam acara pembuka tadi,
Profesor Heru menjelaskan bahwa ia akan mengadakan
kuliah praktisi di Fakultas Teknik sehingga tak bisa lama-lama
berada di Fakultas MIPA.
Dalam detik-detik terakhir kuliahnya, beliau melemparkan
pertanyaan yang merangkum kesunyian. Profesor Heru
membuka gerbang diskusi yang mengundang tanya tanpa
ujung.
"Menurut Anda semua yang hadir di sini, ke manakah
informasi yang hilang pergi? Ke manakah perginya ingatan
kita yang hilang? Apakah mungkin jika lubang hitam benar-
benar eksis, maka dia yang menyerap ingatan dan informasi
yang hilang atau terlupakan?" tanya Profesor Heru dengan
sudut bibir sedikit melekung, menciptakan pahatan senyum.
“Kenapa kita bisa lupa? Ke mana perginya informasi
setelah dilupakan? Ada yang siap untuk menjawab?”
Semua orang terdiam, bingung dalam menjawab. Profesor
Heru memang selalu melempar serangkaian pertanyaan aneh
yang harus dijawab.
“Tidak ada yang bisa menjawab?” tanya Profesor Heru
kembali.

15
“Baik, kuliah umum hari ini saya akhiri. Karena tidak
ada dari kalian yang coba menjawab, maka saya juga tidak
akan memberi tahu. Sudah mahasiswa harusnya bisa cari
referensi sendiri. Saya pamit undur diri, yang setelah ini
masih ada jadwal kuliah semoga hari ini tetap dilancarkan,”
ucap Profesor Heru, kemudian turun dari podium diiringi
senyuman karismatiknya.
Bagi Jefan, kalimat Profesor Heru bisa jadi adalah kunci
yang membuka pintu pada dunia yang tak terjamah. Ia semakin
yakin bahwa fisika akan menjadi jawaban dari semua rahasia
semesta yang selama ini tak pernah terjamah oleh manusia.

Perkuliahan Matematika Dasar I sudah usai sejak 45 menit


lalu. Namun, Jefan masih mondar-mandir tanpa arah di
koridor dekat ruang dosen. Pikirannya dibalut beragam
pertanyaan, tetapi hatinya diselimuti oleh serpihan keraguan.
Ritme jantungnya semakin cepat tatkala dirinya berhenti
tegak di depan pintu ruangan Profesor Heru. Alih-alih
mengetuk pintu dan masuk, lelaki bersurai legam itu justru
kembali gelisah mondar-mandir seperti orang tak tahu arah.
“Mencari saya?” Suara yang datang dari arah timur sukses
memecah keraguannya.
“Betul, saya mencari Profesor. Saya mahasiswa yang
kemarin, Prof,” jawab Jefan dengan berusaha tersenyum
percaya diri.

16
“Mahasiswa yang mana? Kemarin banyak mahasiswa
yang menemui saya. Terlalu banyak jadi tidak mungkin saya
mengingat satu per satu.” Kali ini jawaban Profesor Heru
menebar benih kekecewaan di hati Jefan.
“Yah, saya hanya mahasiswa biasa, mana mungkin bisa
diingat profesor.”
“Izin memperkenalkan diri, saya Jefan Halim Adiwijaya,
mahasiswa baru Jurusan Fisika Murni. Saya selalu hadir
dalam kuliah umum dan kuliah praktisi Anda selama satu
bulan terakhir. Kalau berkenan, apa boleh saya berdiskusi
dengan Anda terkait dunia paralel dari kacamata fisika?”
Jefan berusaha menyampaikan maksudnya dengan kalimat
yang sopan. Sama seperti sebelumnya.
“Apa itu relativitas umum? Jelaskan kepada saya dengan
bahasa yang singkat namun tidak mengurangi informasi
aslinya,” perintah Profesor Heru secara tiba-tiba, membuat
Jefan sedikit terkejut.
“Apa ini ujian lisan dadakan?”
“Bagaimana, Prof? Mohon maaf, sepertinya saya belum
pernah mempelajari hal semacam itu selama perkuliahan
semester satu,” jawab Jefan, nadanya sedikit menciut.
“Jelaskan tentang mekanika kuantum dengan bahasa yang
singkat. Kalau kamu bisa, silakan berdiskusi dengan saya.”
Jefan tersenyum canggung. Rupanya ia belum tahu apa-
apa soal fisika. Tak ada jawaban lain yang bisa ia katakan
selain permintaan maaf yang mendalam.

17
Profesor Heru menghela napas, lantas berkata, “Bagaimana
kamu akan berdiskusi dengan saya jika fondasi kamu belum
kokoh? Saya sudah bilang, lebih baik kamu perkuat dulu fisika
dasar. Setelah pengetahuanmu kuat, silakan datang ke saya lagi.”
Jefan menatap punggung Profesor Heru yang semakin
jauh ditelan koridor kampus. Kekecewaan menyelinap tanpa
izin ke lubuk hatinya yang dalam.
Namun, terlepas dari kekecewaan itu, dia menyadari
kebenaran di balik kata-kata Profesor Heru. Dia memang
belum siap.
“Bagaimana kamu akan berdiskusi dengan saya jika
fondasi kamu belum kokoh?” Pertanyaan itu terus berputar
di kepala, membentuk pusaran badai abadi. Mengingatkannya
pada realitas bahwa ada tahapan yang harus dijalani sebelum
memasuki langkah yang lebih lanjut.

Bersama cahaya yang membelah ruangan tatkala pintu terbuka,


Jefan masuk dengan langkah mantap, tidak lagi sebagai
mahasiswa yang terhempas oleh ketidakpastian. Bahkan,
Profesor Heru dapat menemukan kilau keingintahuan yang
semakin bersinar dari sepasang bola matanya, bagai bintang-
bintang yang bersinar di langit.
“Selamat siang, Profesor,” sapa Jefan. Suaranya terdengar
begitu menyatu dengan rasa beraninya.
Setelah berlayar di lautan konsep yang tak terhingga,

18
mencari jawaban antara relativitas umum dan mekanika
kuantum, Jefan hari ini datang tidak dengan otak kosong
seperti yang terakhir lalu ia lakukan.
Lelaki bernetra cokelat itu mulai menjawab pertanyaan
yang pernah membayangi kekosongan di benaknya selama
seminggu terakhir. Setiap kata yang terucap bagai aliran
sungai yang mengalir lancar. Dia merangkai kata-kata bagai
seorang seniman yang menggambarkan langit malam dengan
gemerlap bintang-bintangnya. Sangat indah.
“Teori relativitas umum adalah teori yang diciptakan
oleh Albert Einstein pada tahun 1915. Kabarnya teori ini
menggantikan teori gravitasi Newton dan memberikan
gambaran yang lebih baik soal bagaimana gravitasi disebabkan
oleh distorsi ruang-waktu.
“Kalau mekanika kauntum ini dikembangkan pada awal
abad ke-20 untuk menjelaskan fenomena fisika klasik. Dalam
mekanika kuantum, sifat partikel digambarkan sebagai
gelombang probabilitas—”
“Berhenti,” titah Profesor Heru, menjeda penjelasan Jefan.
“Kamu hafalan?” tanyanya dengan nada menyindir.
Jefan menandak terbungkam, tebakan Profesor Heru tepat
sasaran.
“Kamu nggak benar-benar memahami relativitas umum
dan mekanika kuantum, kan? Bisa jelaskan kepada saya apa
perbedaan keduanya? Apakah keduanya saling berkaitan?”
Profesor Heru kembali bertanya, kali ini benar-benar

19
membuat Jefan mematung.
Jefan menggigit bibir bawahnya. Rasa tegang mulai
menyebar melalui nadi, begitu cepat hingga ia tak mampu
menahannya. Apa yang salah dari penjelasan tadi?
Raganya terdiam namun hatinya berantakan. Cemas mulai
melanda tanpa ampun. Bahkan, tidak menyisakan ruang
waras dalam pikirannya. Pertanyaan Profesor Heru bagai anak
panah yang tepat sasaran, sukses mencabik-cabik kesadaran.
Pria yang berusia nyaris setengah abad itu kemudian
menghela napas lalu berkata, “Padahal, kamu tidak usah
berbelit-belit seperti tadi. Cukup jawab saja bahwa relativitas
umum menjelaskan tentang benda-benda yang sangat besar,
seperti blackhole dan alam semesta, sedangkan teori kuantum
menjelaskan tentang benda-benda yang sangat kecil, seperti
atom, elektron, proton, dan quark. Sesederhana itu, tidak
perlu betele-tele.”
Kalimat tersebut merambat dengan cepat masuk ke otak
Jefan. Hari ini ia kembali merenung. Dirinya terlempar pada
ucapan Profesor Heru seminggu lalu seusai kuliah umum.
Fondasi belum kokoh. Dia belum siap.
“Kamu mahasiswa baru, kan? Fokus belajar saja, tidak
usah mengusik dunia yang tak pernah terjamah oleh umat
manusia. Pengetahuanmu masih minim, bahkan hal-hal dasar
seperti tadi pun tidak paham dengan baik.”
Semburat kekecewaan semakin tergambar jelas ketika air
muka Jefan yang tadinya bening kini menjadi suram.

20
Profesor Heru menyadari perubahan tersebut. Ia
memahami bahwa dalam setiap perjalanan ilmu, terdapat
puncak-puncak kekecewaan yang turut mengiringi langkah-
langkah yang diambil. Terkadang, bahkan dengan tekad yang
kuat, ada aspek-aspek yang memang masih tak bisa terjangkau
di dunia ini.
Sekeras apa pun kita berusaha, kalau memang belum
waktunya, maka kita tidak akan pernah bisa mendapatkannya.
Semua di alam semesta ini ada aturan dan takarannya masing-
masing.
“Kehidupan itu mirip labirin, penuh dengan lorong-
lorong tak terduga," kata Profesor Heru, coba menyalurkan
ketenangan di tengah ketegangan yang merambat.
"Mungkin kamu sekarang kecewa karena pertanyaan
sesederhana tadi tidak bisa kamu jawab. Kekecewaan itu tidak
buruk, kok. Kecewa juga bayangan dari semangat kita yang
berusaha memahami sesuatu yang mungkin tak bisa kita
kuasai sepenuhnya. Untuk ukuran mahasiswa semester awal,
kamu merasa kesulitan. Saat sudah menginjak semester enam
nanti, coba datang lagi untuk berdiskusi dengan saya.”
Jefan mencerna makna dari apa yang baru saja diungkapkan
Profesor Heru, menyadari bahwa dalam usaha merangkai
ilmu, ada momen di mana ketidakpastian memunculkan
rasa kecewa yang sulit dihindari. Terkadang, kekecewaan
adalah cermin dari perjalanan yang tak selalu mulus, tetapi
juga merupakan panggilan untuk melangkah lebih bijaksana
dalam merangkai ilmu dan pengalaman.

21
bab 2
labirin pikiran

“Materi negatif, kunci menuju alam semesta paralel.”

2 tahun kemudian….

W aktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin Jefan


terlambat dan takdir menggariskan pertemuannya
dengan Profesor Heru. Kini lelaki berbola mata cokelat itu
sudah menginjak semester enam dan menjadi salah satu asisten
laboratorium untuk mata kuliah Praktikum Fisika Dasar II
bersama tujuh asisten lainnya. Waktu seolah mengejar para
praktikan yang ada di lab. Ketika jarum jam menunjukkan
pukul sepuluh, praktikum Acara 5 yang dipegang Jefan
dinyatakan selesai.
“Terima kasih, ya, sudah menyempatkan hadir di praktikum
Acara 5: Difraksi Sinar Laser. Deadline pengumpulan laporan
satu minggu lagi. Kalau ngumpulin lebih awal, nanti aku kasih
nilai tambahan dan yang ngumpulin terlambat bakalan kena
minus. Ada yang mau ditanyakan sebelum praktikum hari ini
aku tutup?” tanya Jefan sembari menyisir pandang ke seluruh
praktikan yang ia pegang hari ini. Mereka menjawab dengan
gelengan, pertanda tak ada lagi hal yang ingin ditanyakan.

22
22
“Tadi poin-poin yang harus dibahas di dalam laporan
praktikum udah aku kasih tahu, kan?” tanya Jefan memastikan
semuanya sudah jelas tersampaikan. Kali ini semua praktikan
membalas dengan anggukan.
“Oke, kalau gitu pertemuan hari ini cukup sampai di sini.
Sekali lagi terima kasih, ya, teman-teman sudah hadir. Semoga
sukses selalu. Buat yang mau ngumpulin laporan lebih awal,
tolong konfirmasi juga ke nomor pribadiku, soalnya aku
nggak setiap waktu ada di laboratorium, jadi takut nggak
kepantau siapa aja yang mengumpulkan lebih awal,” terang
Jefan sembari merapikan meja laboratorium.
“Terima kasih buat hari ini, Kak Jefan.”
“Terima kasih, Kak.”
“Kami keluar duluan, ya.”
“Iya, semangat terus, guys. Laporannya jangan sampai
telat,” balas Jefan.
Setelah memastikan tempat yang digunakan untuk
praktikum telah rapi, Jefan melepas jas laboratoriumnya dan
menyisakan kemeja hitam di tubuhnya. Lalu, ia berpamitan
dengan beberapa asisten lain yang masih mendampingi
praktikum kelompok yang mereka pegang masing-masing.
Jefan meninggalkan ruang praktikum dengan tenang
namun pikirannya kini menjadi ramai. Hari ini ia memiliki
janji untuk bertemu dengan Profesor Heru. Jam masih
menunjukkan pukul 10.11, sedangkan janjinya pukul 11.00.
Ada sisa banyak waktu untuk dirinya bergelut dengan pikiran

23
yang tengah rungsing sekarang.
Lelaki bersurai legam itu bernapas lega setelah duduk
di bawah pohon rindang. Angin menyapu halus wajahnya
ketika ia memejamkan mata, barangkali semesta memang
ingin memeluk Jefan dari rasa lelah. Mata Jefan tak sengaja
terangkat ke langit mendung, awan-awan kelabu bergulung-
gulung di atasnya, menciptakan lukisan alam yang begitu
mengagumkan. Seperti pensil alam yang digerakkan
dengan begitu lembut, awan-awan itu berubah-ubah
bentuknya, membentuk gambaran yang tidak pernah sama
dalam benaknya. Di situlah pesona alam begitu menawan,
memberikan kesempatan untuk melupakan sejenak kepenatan
yang menghampirinya.
Namun, ketenangan itu terputus saat ponselnya bergetar
tanda pesan masuk yang rupanya dari Profesor Heru.
Ayo ke ruangan saya, begitu isi pesan singkatnya. Hatinya
terbalut rasa gembira sekaligus tegang. Dua tahun berlalu,
Jefan terlempar ke masa semester satu saat ia menghampiri
Profesor Heru dan dengan bodohnya menawarkan diri untuk
berdiskusi perihal fisika kuantum, padahal Jefan sama sekali
belum paham konsep fisika dasar saat itu.
Yah, ibaratnya, diri Jefan semester satu adalah balita yang
mengajak orang dewasa untuk membuat cerita khayalan.
Embusan napas serta getaran kecil yang menghantam
jantungnya tak terelakkan saat tangannya meraih gagang pintu
ruang Profesor Heru. Momen akrab ini kembali terasa saat
pintu terbuka dan bau amonia dari cairan pembersih menguar

24
menusuk hidung. Mungkin tempat ini memang dibersihkan
secara rutin. Ketegangan memenuhi ruang kecil di dadanya,
tapi sambutan tak terduga dari senyum hangat profesor sukses
meredam debaran ombak di hati Jefan.
“Jefan Halim Adiwijaya, mahasiswa semester enam, ya?”
sambut Profesor Heru. Beliau sudah hafal dengan Jefan, tak
jarang ia kerap kena incar Profesor Heru pada sesi kuliah dulu
di semester empat. Namun, yang ada Jefan hanya meringis
tidak bisa menjawab soal yang diberikan.
“Selamat siang, Prof,” sapa Jefan sembari menyatukan
kedua telapak tangannya di depan dada, memberi gestur
penghormatan.
“Silakan duduk. Ada yang perlu dikonsultasikan terkait
Praktikum Fisika Dasar II, Jefan?” tanya Profesor Heru.
Jefan menggelengkan kepala. “Sekarang saya sudah
semester enam, Prof. Saya ingin mengajak Profesor berdiskusi
terkait dunia paralel seperti yang dua tahun lalu saya ajukan.
Apakah berkenan, Prof?”
Profesor Heru terdiam sejenak. “Coba kerjakan soal
dari saya. Kalau kamu bisa menjawabnya dengan tepat,
saya mau terima ajakanmu untuk diskusi,” ucap Profesor
Heru. Ia mengambil selembar kertas dari laci meja dan
menyerahkannya kepada Jefan.

“Nguji, sih, nguji, tapi bukan soal buat S3 juga kali,” Jefan

25
mencak-mencak, sedangkan Harris hanya menyimak sambil
menikmati mi ayam. Sebagai informasi, Jefan dua tahun
lebih tua dari Harris dan keduanya sama-sama memiliki
ketertarikan pada fisika murni sejak duduk di bangku SMA.
Jefan terobsesi pada fisika kuantum dan dunia paralel, begitu
pula Harris—walaupun tidak seterobsesi Jefan.
“Lo bayangin aja, Ris, mahasiswa semester enam disuruh
ngerjain konsep kuantum buat mahasiswa S3. Mana bisa?
Jangankan mikirin jawaban, baru baca soalnya aja gue kayak
buta huruf, kagak tau itu soal bahas apaan,” lanjut Jefan kesal.
“Kalau mau tolak ajakan gue, tinggal tolak aja kali. Nggak
usah sok-sokan nantangin supaya gue mundur duluan.”
Harris menyumpal mulut Jefan dengan taplak meja. “Mulut
lo itu, ya! Dosa banget ngatain dosen begitu. Gimana ilmunya
mau keserap di otak lo kalau lo nggak menghargai beliau?”
“Jujur gue masih kesel, Ris. Maksudnya, minimal tau
takaran, lah. Pertanyaannya bisa, kan, disesuaiin untuk
tingkat S1 aja. Tuhan aja kalau nguji pasti sesuai kemampuan
seseorang,” timpal Jefan masih dengan rasa kesal yang
membara.
Harris menepuk bahu Jefan. “Tuhan emang nggak
mungkin menguji seseorang di luar batas kemampuannya,
tapi inget, dosen bukan Tuhan. Beda lagi kalau dosen, mah.
Selalu menguji di luar batas kemampuan mahasiswanya.”
“Ada aja ide lo buat ngejawab.” Jefan sedikit tergelitik
mendengar jawaban Harris. Kini emosinya sedikit mereda.

26
“Udah, ya. Gue duluan, ada kelas jam satu, nih,” ucap
Harris sembari memasukkan barang bawaannya ke dalam
ransel hitam.
“Bareng aja, gue juga mau balik ke kampus. Mau asistensi
maba Fisika D Praktikum Fisika Dasar,” tukas Jefan.Harris
menoleh, dahinya mengerut. “Lah, bukannya tadi pagi udah?”
“Tadi Fisika A, sekarang Fisika D.”
“Ampun, dah, mas-mas asprak yang sibuknya nyaingin
biduan kabupaten,” Harris menimpali dengan nada meledek.

Sunyi di kamar tidur malam ini tidak menghalangi riuh di


dalam pikiran Jefan. Beberapa buku dan catatan berjajar
rapi di meja, menunggu untuk dibuka dan dijelajahi oleh
pemiliknya. Namun, Jefan hanya membiarkan pikirannya
melayang begitu jauh, melampaui lembaran soal-soal fisika
kuantum yang masih menanti untuk diselesaikan. Sudah
tujuh kali Jefan menghela napas gusar. Tangannya kembali
menerawang selembar kertas berisi soal fisika kuantum dari
Profesor Heru yang belum sempat ia pecahkan.
Malam ini cahaya bulan tampak mengintip dengan berani
dari balik kaca jendela. Seolah sinarnya memang hadir untuk
menantang Jefan agar lekas menyelesaikan konsep kuantum
yang ada di hadapannya saat ini.
Berpuluh-puluh menit telah berlalu, Jefan terus berselancar
mencari jurnal-jurnal di internet, tapi nihil. Jefan mulai putus

27
asa. Semakin banyak jurnal-jurnal fisika kuantum yang dibaca,
semakin sadar bahwa dirinya memang tak tahu apa-apa.
“Kenapa gue makin ngerasa bodoh, sih?” gumam Jefan.
Dilemparnya kertas soal itu, kali ini ia benar-benar menyerah.

Hari ini Jefan tak ada kelas dan kegiatan di kampus. Seharusnya
ia bisa menggunakan waktu luangnya untuk bersantai di
rumah. Namun, Jefan tetap berangkat ke kampus saat pesan
dari Profesor Heru diterimanya pagi ini. Beliau meminta Jefan
mengantarkannya ke Fakultas Teknik karena mobil beliau
sedang diservis.
Kini, Jefan dan Profesor Heru tengah berusaha membelah
kemacetan kota. Untung saja pada tahun ini rata-rata
kendaraan sudah menggunakan bahan bakar dari manipulasi
cahaya, sehingga saat macet seperti ini tidak terlalu panas
karena polusi tidak terlalu tebal. Bahkan, mereka bisa
menikmati sinar matahari yang sedang merangkak naik
menuju singgasananya saat keadaan macet begini. Lima belas
menit kemudian, jalan sudah kembali lancar, ternyata macet
karena banyak anak sekolah dasar sedang melakukan praktik
pengamatan bahan bakar kendaraan.
“Iya, Prof?” Jefan tiba-tiba bertanya.
“’Iya’ apa?” tanya Profesor Heru.
“Tadi Prof bilang apa? Maaf saya kurang memperhatikan,”
ucap Jefan sembari menurunkan kecepatan motornya.

28
“Sejak tadi saya diam, nggak bilang apa-apa,” sahut
Profesor Heru.
“Hehehe, kirain tadi ngomong sesuatu, Prof.” Jefan
terkekeh. Sudah tidak asing lagi momen ini terjadi saat
berkendara motor.
Mereka telah tiba di Fakultas Teknik. Profesor Heru
meminta Jefan untuk menunggunya hingga kuliah praktisi
selesai. Jefan pun mengiakannya dan menunggu Profesor
Heru di taman Fakultas Teknik. Suara riuh dari sekitar
berhasil menarik perhatian Jefan yang membuatnya
memutuskan untuk mengelilingi tempat-tempat di fakultas
tersebut. Ada banyak ruang yang dipenuhi peralatan canggih,
serta gedung-gedung sekitar yang megah. Menariknya,
semua orang bisa melihat poster riset dan gambar teknis yang
terpampang di papan acara menggunakan hologram. Seolah
ingin menunjukkan rekam jejak pencapaian dan kemajuan
ilmiah yang telah diraih oleh para mahasiswa teknik.
Setiap sudut tempat seolah memiliki cerita masing-
masing. Tanpa sadar Jefan tersenyum saat memperhatikan
sekitar dan mendapati beberapa mahasiswa tengah bergelut
dengan proyek mereka. “Ternyata, semua orang sedang
mengusahakan kehidupan terbaiknya masing-masing,” Jefan
membatin. Rasanya seru mengamati bagaimana orang lain
hidup dengan cara yang berbeda.
“Seru, ya, mengamati orang-orang hidup di kehidupan
terbaiknya masing-masing?” ucap Profesor Heru yang tiba-
tiba muncul, seolah ia bisa membaca pikiran Jefan.

29
Jefan menoleh dan mengiakan ucapan profesor.
“Satu sisi lagi, sedih rasanya melihat orang lain bisa hidup
di kehidupan terbaiknya,” ujar Jefan sembari tersenyum. Nada
suaranya terdengar miris.
Profesor Heru menyilangkan tangannya di dada sambil
ikut mengamati mahasiswa di sekitar. “Kenapa sedih?”
“Karena saya belum bisa sampai di titik seperti itu, Prof,”
jawab Jefan dengan helaan napas yang berat.
Profesor Heru dan Jefan tampak seperti dua pilar
kehidupan yang sedang berdiri tegak dalam keheningan.
Tidak ada percakapan aktif namun keduanya seperti terikat
pada keterhubungan yang tak terungkap. Mereka tetap diam
sembari terus mengamati mahasiswa teknik yang seolah
tengah membangun dunia mereka sendiri. Sunyi adalah
mahakarya yang tersirat. Terkadang, diam bisa menjadi
bahasa yang paling berbicara.
“Prof,” ucap Jefan memecah keheningan di antara
keduanya. Professor Heru menyahutinya dengan dehaman
ringan.
“Anda pernah bilang saat kuliah umum di semester satu
dulu, ada kemungkinan sekitar lima persen orang di dunia ini
pernah berkontak dengan makhluk dari dunia paralel. Saya
rasa, saya pernah menjadi salah satunya, Prof. Sebenarnya
ini yang membuat saya serius ingin meneliti tentang dunia
paralel, Prof.”
Profesor Heru tertawa setelah mendengar pengakuan

30
Jefan.
“Menurut kamu bagaimana seorang saintis menciptakan
sebuah penemuan baru?”
Jefan mengernyitkan dahinya cukup dalam. Pertanyaan
Profesor Heru barusan di luar perkiraannya.
“Pasti dengan melakukan penelitian terhadap suatu
sampel atau bisa juga objek, menyusun dugaan-dugaan,
mengumpulkan data, melakukan testing sampel dengan
variabel yang berbeda, mengujinya, hingga diperoleh
hasilnya. Memang belum tentu sempurna karena sains akan
selalu berkembang. Bisa jadi penelitiannya diterima sekarang,
tapi ditolak pada masa mendatang karena pembaruan teori
yang lebih valid. Bisa jadi juga sebaliknya.” Jefan berusaha
menjabarkan apa pun yang ia tahu. Sebenarnya ini demi
merayu Profesor Heru untuk mau berdiskusi dengannya.
Profesor Heru menjentikkan jari tangannya. “Betul.
Sekarang saya tanya, kalau kamu mau meneliti dunia paralel
bagaimana caranya? Objek nggak ada, variabel nggak jelas,
teori belum terbukti pasti. Masih lemah dari segala sisi.”
Jefan termenung mendengar pertanyaan tersebut. Untuk
dapat meneliti dunia paralel memang tidak mudah, seperti
berusaha menangkap angin dalam genggaman—terdengar
mustahil. Jefan seperti kehilangan harapannya, mungkin
memang ia harus berusaha lebih keras lagi untuk dapat
meneliti hal yang dianggap teori belaka.

31
Sudah dua minggu Jefan tidak menemui Profesor Heru.
Selain sibuk karena menginput nilai praktikum, ia juga
sibuk menyusun rencana lebih besar untuk membujuk
Profesor Heru. Ia rela menguatkan diri untuk tidak pergi ke
ruangannya. Hari ini Jefan menunggu Profesor Heru selesai
mengajar kelas sore.
“Ada apa lagi menemui saya?” tanya Profesor Heru
melangkah dengan tenang menuju ruangannya. Jefan
menyusul langkah di belakangnya. Dengan yakin, Jefan
mengungkapkan maksudnya, “Saya siap untuk mencoba
semua kemungkinan yang akan terjadi untuk membuktikan
bahwa multiverse dan dunia paralel benar-benar ada, Prof.”
“Anda bilang di perkuliahan fisika kuantum waktu itu,
hal-hal aneh seperti mampu menghilang menembus tembok
dan kemudian berwujud kembali di baliknya, memiliki
kemungkinan terjadi dalam dunia fisika kuantum.
“Memang awalnya saya pikir tidak masuk akal, Prof.
Tapi, Anda selalu bilang, dalam fisika kuantum hal-hal aneh
tersebut memang bisa saja terjadi,” lanjut Jefan kali ini dengan
nada percaya diri.
Profesor Heru menghela napasnya. “Kenapa kamu
menanggap dunia paralel begitu serius?”
“Saya benar-benar pernah mengalaminya, Prof. Saya
tahu kalau orang yang pernah saya temui dulu adalah orang
asing yang memiliki wujud sama persis dengan ayah saya,”

32
Jefan mulai menceritakan kejadian tidak masuk akal yang
dialaminya pada semester satu lalu. Saat itu, pertemuan Jefan
dengan lelaki yang mirip dengan ayahnya terasa amat nyata
dan sekaligus asing baginya. Walaupun mirip dengan ayahnya,
Jefan yakin lelaki berusia setengah abad yang menyerupai
ayahnya waktu itu bukan ayahnya.
“Menurut Prof Heru bagaimana? Apa cerita saya terdengar
tidak masuk akal?” tanya Jefan setelah menceritakan panjang
lebar pengalamannya.
Profesor Heru menggeleng. “Saya juga pernah
mengalaminya.” Pernyataan Profesor Heru sukses mengejutkan
Jefan.
“Persis seperti kamu, kejadian seperti ini tidak hanya sekali
atau dua kali terjadi pada saya. Saya pernah melihat sosok
mirip istri saya dengan rambut panjang dan mengenakan
gaun bunga-bunga warna merah muda. Ia sedang berbincang
dengan seorang lelaki tinggi, mungkin tingginya sekitar 185
cm. Anehnya, saat saya menghampiri keduanya, mereka
hilang entah ke mana.
“Beberapa tahun kemudian, kejadian yang sama benar-
benar terulang. Rupanya lelaki itu adalah putra sulung saya.
Ada beberapa kejadian serupa, tapi yang paling saya ingat
adalah kejadian ini.
“Sejak saat itu, saya mulai menguliti tentang dunia paralel.
‘Apakah saya sudah bersinggungan dengan dunia paralel?’
Entahlah,” Profesor Heru bertanya pada dirinya sendiri.

33
Jefan mengangguk paham. Ia tahu saat ini ada kesamaan
dirinya dengan Profesor Heru. Percakapan keduanya
menimbulkan degup kuat di dalam dada Jefan. Apakah
ini menjadi pertanda untuknya menyiapkan diri mencari
jawaban dari segala tanya dirinya yang ada di balik rahasia
alam semesta ini?
“Prof, tolong bimbing saya. Saya rasa, saya harus
menyelesaikan penelitian lama saya,” ucap Jefan.
“Penelitian apa?”
“Penelitian materi negatif, kunci menuju alam semesta
paralel.” Jawaban Jefan bagai sambaran petir di siang bolong
untuk Profesor Heru. Sebuah benda teoretis yang paling
berbahaya dalam dunia fisika, kini telah datang dan segera
menjadi nyata.

34

Anda mungkin juga menyukai