Anda di halaman 1dari 23

PROPOSAL

METODE PENELITIAN KUALITATIF

OPTIMISME KELUARGA DALAM MENGHADAPI ANGGOTA


KELUARGA YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS

Dosen Pengampu :

Prianggi Amelasasih, S.Psi., M.Si.

Oleh

Novelindah Kaltika Ekasari

Nim 220701083

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK

2024

1
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan proposal yang
berjudul “Optimisme Keluarga Dalam Menghadapi Anggota Keluarga Yang Berkebutuhan
Khusus”. Penyelesaian proposal ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir semester mata
kuliah Metode Penelitian Kualitatif yang diampu oleh Ibu Muhimmatul Hasanah, S.Psi.,
M.A.

Tak lupa penulis mengucapkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah kepada:
1. Bapak Awang Setiawan Wicaksono, M.Psi., Psikolog selaku Dekan Program Studi
Psikologi Univeristas Muhammadiyah Gresik.
2. Ibu Prianggi Amelasasih, S.Psi., M.Si. selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas
Muhammadiyah Gresik.
3. Ibu Muhimmatul Hasanah, S. Psi., M.A. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Metode
Penelitian Kualitatif.
Kami berharap dengan adanya pembuatan makalah ini dapat menambah wawasan serta
pengetahuan untuk para pembaca. Kami sebagai penulis menyadari dalam pembuatan
makalah masih terdapat banyaknya kekurangan. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik
dan saran dari pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dalam makalah ini.

Gresik, 19 November 2023

Penulis

2
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
2.1 Latar Belakang..........................................................................................................................4
2.2 Penelitian Terdahulu.................................................................................................................6
2.3 Fokus Masalah...........................................................................................................................7
2.4 Rumusan Masalah.....................................................................................................................7
2.5 Tujuan Penelitian.......................................................................................................................8
2.6 Manfaat Penelitian....................................................................................................................8
BAB II..................................................................................................................................................9
KAJIAN PUSTAKA............................................................................................................................9
2.1 Optimisme Keluarga............................................................................................................9
2.2 Kebutuhan Khusus............................................................................................................11
BAB III...............................................................................................................................................14
METODE PENELITIAN..................................................................................................................14
3.1 Jenis Penelitian........................................................................................................................14
3.2 Batasan Konsep........................................................................................................................15
3.3 Unit Analisa Dan Subjek Penelitian.......................................................................................16
3.4 Teknik Pengumpulan Data......................................................................................................17
3.4.1 Teknik Analisis Data.........................................................................................................18
3.4.2 Kredibiltas Data..................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................22

4
BAB I

PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Penelitian ini diawali dengan seorang peneliti yang memiliki seorang keluarga
yang tuna rungu. Anak tunarungu memiliki hambatan dalam pendengaran akibatnya
individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut
tunawicara. Cara berkomunikasi seseorang yang menyandang tuna rungu dengan
individu lain yaitu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara
internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara.

Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi,rata-
rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal dan rata-
rata. Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal
karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti pelajaran yang
diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak tunarungu memiliki
perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak tunarungu yang
rendah bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak tunarungu
tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber
pada verbal seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada
penglihatan dan motorik akan berkembang dengan cepat.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memiliki keunikan tersendiri
dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak normal pada
umumnya menurut Heri Purwanto (dalam Suparno, 2007:1). Keunikan yang ada pada
diri mereka menuntut pemahaman orang tua terhadap hakikat anak berkebutuhan khusus.
Hambatan perkembangan dan hambatan belajar (brier to learning and development) pada
anak berkebutuhan khusus terkadang membuat bingung orang tua dalam pemberian
perlakuan dan layanan Pendidikan yang sesuai, di samping itu kekhawatiran akan
kemandirian dan masa depan anak turut menambah kegundahan orang tua dalam
membesarkannya.

Contohnya pada keluarga si A. A memiliki seorang kakek Bernama S yang


menyandang sebagai tuna rungu. S menjadi tunarungu sejak ia dilahirkan. S memiliki
kode kode bicara tersendiri dan hanya orang-orang terdekatnya dan keluarganya saja

5
yang paham apa yang S bicarakan. Saat ini S bekerja sebagai kuli bangunan, itu dia
kelebihan dari S. S merupakan orang yang bertanggung jawab dan giat dalam segala
pekerjaannya. Semua anggota keluarga sangat menyayanginya.

Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah hingga
jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya tingkat
prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan informasi dan
pemahaman bahasa lebih sedikit bila disbanding dengan anak mampu mendengar. Anak
tunarungu mendapatkan informasi dari indera yang masih berfungsi, seperti indera
penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman tekanan emosi pada remaja yang
berstatus sebagai tunarunggu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan
menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan
kebimbangan dan keragu-raguan.

Emosi anak tunarungu selalu bergejolak karena kondisi dirinya yang berbeda
dengan teman dan orang lain selain itu karena pengaruh dari luar yang diterimanya.
Penilaian terhadap tuntutan lingkungan tersebut tersebut dipengaruhi oleh karakteristik
kepribadian untuk sehingga dapat menyesuaikan diri secara baik meski dalam kondisi
yang khusus, diperlukan karakter kepribadian yang positif ditengah kondisi seperti itu
tunarungu diharapkan memiliki sikap positif dari dalam dirinya untuk mampu bertahan
dengan tetap memiliki harapan-harapan yang baik akan masa depan, bahkan dengan
kondisi yang dihadapinya. Individu yang memiliki pola pandang positif, memiliki
harapan masa depan yang baik meskipun dengan banyak tantangan dan kemalangan
dikenal dengan individu yang memiliki optimisme.

Optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif. Orang yang
optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam
kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan- harapan yang baik dan positif
mencakup seluruh aspek kehidupannya. Konsep optimisme dan pesimisme fokus kepada
ekspektasi individu terhadap masa depan. Optimisme merupakan sikap selalu memiliki
harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang
menyengkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir
positif.

Pelaksanaan pembelajaran bagi anak tunarungu harus dimulai dari hal-hal yang
dialami anak dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu

6
dimulai dari hal yang mudah dan berangsur ke tingkat yang lebih sulit. Pembelajaran
bagi anak tuna rungu dapat dilakukan dengan cara memberikan pengalaman-pengalaman
nyata secara berulang-ulang. Anak tuna rungu kurang memiliki informasi verbal , dalam
hal ini anak sulit menerima materi yang bersifat abstrak, sehingga dibutuhkan media
untuk memudahkan pemahaman suatu konsep pada anak tuna rungu.

2.2 Penelitian Terdahulu


Jika diamati kemudian ditelaah lebih lanjut melalui tingkatan valued invorement
(dihargai dan keterlibatan) tertinggi, yang mana akan mendapati lingkungan mikrosistem
sangat berpengaruh bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Dalam hal
keberadaan keluarga. Keluarga dikatakan sebuah kondisi yang sangat baik serta memiliki
keutamaan untuk memenuhi kebutuhan. Jika berlandaskan pada hal tersebut, maka timbul
pernyataan bagaimana keluarga memberikan dukungan dengan kehadiran anak
berkebutuhan khusus untuk menumbuhkan sense of belonging pada diri orang tua.

Untuk itu salah satu upaya yang dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
memberikan akses pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB). Menurut pasal 5 (2) UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bahwa warga negara yang
memilki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus.
Dari hasil observasi lapangan, orang tua cenderung mendaftarkan anaknya di tempat-
tempat terapi dan Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kebutuhan anaknya seperti
halnya anak pada umumnya akan tetapi orang tua kurang ikut serta dalam mendampingi
anak-anakanya.11 Yang mana seharusnya sense of belonging orang tua kepada anak
berkebutuhan khusus ini sangat menonjol agar anak mendapatkan perlindungan yang
menjadikan kenyamanan pada diri anak. Fisher et all., (2015) Sense of
belonging atau rasa memiliki diartikan sebagai pengalaman individu dimana individu
merasa dihargai, dibutuhkan dan diterima oleh orangorang di lingkungan sosialnya.

2.3 Fokus Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus penelitian
ini adalah sebagai berikut:

7
1) Masalah Ekonomi
Anggota keluarga berkebutuhan khusus sering kali membutuhkan perawatan dan
dukungan khusus yang dapat membebani secara finansial bagi keluarga. Biaya
perawatan ini dapat mencakup biaya terapi, obat-obatan, pendidikan khusus, dan
peralatan khusus.
2) Pendidikan dan Dukungan
Pendidikan dan dukungan dapat membantu keluarga memahami dan mengatasi
masalah emosional dan psikologis yang mereka hadapi. Ada banyak sumber daya
yang tersedia untuk keluarga, termasuk kelompok dukungan, terapi, dan konseling.
3) Program dan Layanan
Ada banyak program dan layanan yang tersedia untuk membantu keluarga
memberikan perawatan dan dukungan yang dibutuhkan anggota keluarga
berkebutuhan khusus. Program-program ini dapat menyediakan layanan seperti
terapi, pendidikan khusus, dan bantuan keuangan.
4) Komunitas
Komunitas dapat memainkan peran penting dalam mendukung keluarga yang
memiliki anggota keluarga berkebutuhan khusus. Ada banyak organisasi dan
kelompok yang menyediakan dukungan dan sumber daya bagi keluarga.

2.4 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas ditemukan beberapa masalah antara
lain:

1. Kurangnya kepedulian Masyarakat terhadap penyandang tunarungu.


2. Kurangnya pengetahuan Masyarakat terhadap apaitu disabilitas.
3. Masih ada orang sekitar yang menganggap rendah penyandang tunarungu.
4. Bagaimana anggota keluarga berkebutuhan khusus beradaptasi dengan perubahan
yang disebabkan oleh kebutuhan khusus mereka?

8
5. Apa hubungan antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pada orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus?
6. Apa faktor-faktor yang memengaruhi stres pada orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus?

2.5 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengedukasi apa itu tunarungu dan cara bicara
seorang tunarungu, serta peran keluarga dalam melakukan aktiffitas Bersama sehari-
harinya. Dan penerimaan Masyarakat umum terhadap penyandang disabilitas.
Penelitian ini dapat dilakukan untuk memahami berbagai aspek kehidupan anggota
keluarga berkebutuhan khusus, seperti:
 Kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi
 Cara keluarga mengatasi masalah yang mereka hadapi
 Dampak anggota keluarga berkebutuhan khusus terhadap keluarga
 Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pada
orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
 Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi stres pada orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus.
 Memahami bagaimana anggota keluarga berkebutuhan khusus beradaptasi
dengan perubahan yang disebabkan oleh kebutuhan khusus mereka.
 Menguji efektivitas terapi keluarga untuk anggota keluarga berkebutuhan khusus.

2.6 Manfaat Penelitian


1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini dapat menambah wawasan dan mendapat berbagai cara untuk
bicara kepada penyandang tunarungu.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat membantu tuna rungu lebih memahami tentang
optimisme yang terdapat dalam diri tunarungu.
b. Penelitian ini juga bermanfaat untuk keluarga para penyandang tuna
rungu, menyadari tentang sejauh mana optimisme yang dimiliki oleh para
penyandang Tunarungu agar bisa menjadi semangat untuk
menjalani kehidupan selanjutnya.

9
BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Optimisme Keluarga
Optimisme keluarga dapat didefinisikan sebagai sikap positif dan harapan
yang optimis yang dimiliki oleh sebuah keluarga dalam menghadapi berbagai
tantangan dan perubahan kehidupan. Dalam pandangan ahli psikologi klinis,
optimisme keluarga merupakan aspek yang penting dalam memahami kesejahteraan
psikologis keluarga secara keseluruhan. Berikut adalah penjelasan lebih rinci
mengenai definisi optimisme keluarga dalam pandangan ahli psikologi klinis Dalam
keluarga yang optimis, anggota keluarga cenderung memiliki pandangan positif
terhadap kehidupan. Mereka mungkin melihat setiap tantangan sebagai peluang
untuk tumbuh dan mengembangkan diri, bukan sebagai hambatan yang tidak dapat
diatasi. Dalam situasi sulit, keluarga optimis mungkin bersikap kooperatif dan
mencari solusi bersama.

Ahli psikologi klinis mendukung pentingnya optimisme keluarga dalam


menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan psikologis anak-anak dan
anggota keluarga lainnya. Sikap positif ini dapat meningkatkan kesejahteraan
emosional dan mental, mengurangi tingkat stres, dan memperkuat hubungan
keluarga.Optimisme keluarga juga dapat berdampak positif pada cara keluarga
mengatasi krisis. Dengan melihat masa depan dengan harapan, keluarga dapat
merasa lebih termotivasi untuk mencari solusi dan menjaga kestabilan dalam
keluarga.Optimisme keluarga mencerminkan kemampuan sebuah keluarga untuk
melihat sisi positif dari situasi, bahkan ketika dihadapkan pada tekanan atau krisis.
Ini melibatkan keyakinan bahwa keluarga dapat mengatasi rintangan, tumbuh
bersama dalam pengalaman sulit, dan mencapai kesejahteraan bersama. Ahli
psikologi klinis melihat optimisme keluarga sebagai faktor pelindung terhadap stres
dan konflik yang dapat mempengaruhi dinamika keluarga.

Dalam perspektif psikologi klinis, optimisme keluarga tidak hanya terkait


dengan pandangan positif terhadap masa depan, tetapi juga mencakup kemampuan

10
keluarga untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman. Keluarga yang optimis
cenderung memiliki komunikasi yang terbuka, dukungan emosional yang kuat, dan
keterlibatan yang positif dalam pemecahan masalah.

Beberapa indikator optimisme keluarga yang dapat diamati oleh ahli psikologi
klinis meliputi sikap terbuka terhadap perubahan, kemampuan untuk menemukan
solusi positif dalam situasi sulit, serta kemauan untuk belajar dari pengalaman masa
lalu. Ahli psikologi klinis juga menekankan pentingnya mendukung dan
memperkuat optimisme keluarga melalui intervensi psikologis yang melibatkan
semua anggota keluarga.

Ini melibatkan keyakinan bahwa setiap anggota keluarga dapat tumbuh dan
berkembang secara positif, baik secara individu maupun sebagai bagian dari unit
keluarga. Optimisme keluarga mencerminkan sikap positif terhadap kehidupan
bersama, meskipun dihadapkan pada kesulitan atau rintangan.

Faktor-faktor yang dapat mendukung optimisme keluarga melibatkan


komunikasi yang baik antaranggota keluarga, dukungan emosional, kepercayaan
satu sama lain, dan kemampuan untuk bersama-sama menyelesaikan masalah.
Optimisme keluarga juga dapat meningkat melalui pembentukan ikatan yang kuat
antara anggota keluarga dan membangun fondasi kepercayaan dan kasih sayang.

Optimisme keluarga merujuk pada sikap positif dan keyakinan yang dimiliki
oleh anggota keluarga terhadap masa depan. Ini mencakup keyakinan bahwa
keluarga mereka dapat mengatasi tantangan, berkembang, dan mencapai
kebahagiaan serta kesuksesan bersama. Optimisme keluarga melibatkan sikap yang
memandang perubahan dan kesulitan sebagai peluang untuk tumbuh dan belajar
bersama.

Dalam konteks ini, optimisme keluarga dapat mencakup aspek-aspek berikut:

Keyakinan dalam kemampuan keluarga: Anggota keluarga memiliki keyakinan


bahwa mereka memiliki sumber daya dan kemampuan untuk mengatasi rintangan
dan menghadapi perubahan.

Komitmen terhadap satu sama lain: Keluarga yang optimis menunjukkan komitmen
untuk saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

11
Fokus pada solusi: Keluarga yang optimis cenderung fokus pada mencari solusi
daripada terpaku pada masalah. Mereka melihat kesulitan sebagai tantangan yang
dapat diatasi.

Penerimaan terhadap perubahan: Anggota keluarga yang optimis menerima


perubahan sebagai bagian dari kehidupan dan melihatnya sebagai peluang untuk
pertumbuhan dan pembelajaran.

Pengembangan ketahanan keluarga: Optimisme keluarga dapat membantu dalam


pengembangan ketahanan keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk pulih dari
tekanan dan krisis.

Optimisme keluarga memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang


positif dan mendukung pertumbuhan serta perkembangan anggota keluarga. Ini
dapat menjadi sumber motivasi dan kekuatan yang membantu keluarga menghadapi
berbagai tantangan hidup.

2.2 Kebutuhan Khusus


Anggota keluarga yang berkebutuhan khusus merujuk pada individu yang
menghadapi tantangan fisik, mental, emosional, atau pengembangan tertentu yang
memerlukan perhatian dan dukungan khusus dari keluarga mereka. Kondisi ini dapat
melibatkan berbagai spektrum, termasuk tetapi tidak terbatas pada gangguan
perkembangan, disabilitas fisik, gangguan mental, atau kondisi kesehatan
kronis.Seiring berjalannya waktu, anggota keluarga yang berkebutuhan khusus dapat
menempati peran yang unik dan memiliki dampak yang signifikan pada dinamika
keluarga. Kehadiran mereka seringkali membutuhkan pemahaman, kesabaran, dan
komitmen yang lebih dari anggota keluarga lainnya.

Dalam keluarga ini, komunikasi memainkan peran krusial. Pengertian dan


dukungan antaranggota keluarga sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan
yang inklusif dan memastikan bahwa kebutuhan anggota keluarga yang berkebutuhan
khusus dipenuhi dengan sebaik-baiknya.Penting untuk memahami bahwa setiap
individu yang berkebutuhan khusus memiliki keunikan sendiri, dan pendekatan yang

12
efektif dapat bervariasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan spesifiknya. Oleh karena
itu, keluarga sering kali terlibat dalam pencarian informasi dan sumber daya, termasuk
mendapatkan dukungan dari profesional kesehatan, terapis, dan organisasi non-
pemerintah yang fokus pada kebutuhan khusus.

Penting juga untuk mempromosikan kemandirian dan perkembangan positif


bagi anggota keluarga yang berkebutuhan khusus. Ini bisa melibatkan penciptaan
rutinitas yang stabil, pembelajaran adaptasi, dan memastikan bahwa lingkungan
sekitar mendukung pertumbuhan mereka Adalah esensial untuk mencatat bahwa
kesadaran masyarakat dan dukungan komunitas dapat memberikan kontribusi besar
terhadap kualitas hidup anggota keluarga yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu,
terlibat dalam kelompok dukungan keluarga dan membangun jaringan dengan
individu atau keluarga yang mengalami situasi serupa dapat membantu dalam
pertukaran pengalaman dan pengetahuan.

Anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak dengan


gangguan perkembangan, disabilitas fisik atau intelektual, atau kondisi kesehatan
mental tertentu, merupakan subjek perhatian dalam bidang psikologi klinis. Psikologi
klinis berfokus pada pemahaman, diagnosa, dan intervensi terhadap masalah
kesehatan mental dan emosional individu, termasuk dalam konteks keluarga.

Diagnosis dan Evaluasi:

Psikolog klinis dapat terlibat dalam proses diagnosis dan evaluasi untuk memahami
kebutuhan khusus anggota keluarga.

Evaluasi psikologis mungkin mencakup pengukuran kesehatan mental,


perkembangan, dan kebutuhan spesifik yang dapat membantu merancang intervensi
yang sesuai.

Dukungan Emosional:

Psikolog klinis dapat membantu anggota keluarga dalam mengelola stres, kecemasan,
atau depresi yang mungkin terkait dengan kebutuhan khusus anggota keluarga.

Pemberian dukungan emosional adalah bagian penting dari peran psikolog klinis
dalam membantu keluarga mengatasi tantangan.

13
Pengembangan Strategi Penanganan:

Psikolog klinis dapat bekerja sama dengan keluarga untuk mengembangkan strategi
penanganan yang efektif.

Hal ini dapat melibatkan pemberian saran terkait manajemen perilaku, komunikasi,
atau adaptasi rutinitas sehari-hari.

Konseling Keluarga:

Konseling keluarga mungkin dianjurkan untuk membantu keluarga berkomunikasi


secara terbuka, meningkatkan pemahaman, dan membangun dukungan bersama.

Psikolog klinis dapat membantu keluarga mengatasi konflik dan menciptakan


lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan.

Advokasi dan Pendidikan:

Psikolog klinis dapat berperan sebagai advokat untuk anggota keluarga yang
berkebutuhan khusus, membantu mereka mendapatkan sumber daya dan layanan yang
diperlukan.

Pendidikan keluarga tentang kondisi atau kebutuhan spesifik juga dapat menjadi
bagian dari intervensi.

Kolaborasi dengan Tim Kesehatan:

Psikolog klinis dapat bekerja dalam kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya, seperti
dokter, terapis fisik, atau pekerja sosial, untuk memberikan pendekatan holistik dalam
merancang perawatan untuk anggota keluarga yang berkebutuhan khusus.

Ketika sebuah keluarga memiliki anggota yang memiliki kebutuhan khusus,


baik itu fisik, intelektual, atau emosional, penting untuk membentuk lingkungan yang
mendukung, penuh pengertian, dan penuh kasih. Anggota keluarga dengan kebutuhan
khusus bisa mencakup individu dengan disabilitas fisik, gangguan perkembangan,
atau kondisi kesehatan mental yang memerlukan perhatian tambahan.Langkah
pertama dalam menghadapi kebutuhan khusus adalah pengakuan dan penerimaan.
Keluarga perlu menyadari keunikan anggota keluarga tersebut dan memahami bahwa
setiap individu membawa potensi dan keberagaman dalam dinamika keluarga.Dengan

14
membangun saluran komunikasi yang terbuka di antara semua anggota keluarga. Hal
ini mencakup mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan ruang bagi
anggota keluarga untuk mengungkapkan perasaan, kebutuhan, dan harapan
mereka.pemahaman keluarga tentang kondisi atau kebutuhan khusus anggota dapat
membantu mengurangi stigmatisasi dan mempersiapkan keluarga dalam menghadapi
tantangan. Membuat lingkungan yang inklusif dan mendukung adalah kunci. Ini
mencakup penyesuaian rumah, perencanaan aktivitas keluarga, dan keterlibatan dalam
kegiatan komunitas yang mendukung keberagaman dan inklusi.

BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian kualitatif adalah pendekatan penelitian yang bertujuan untuk memahami
makna, persepsi, dan pengalaman manusia dalam konteks tertentu. Dalam penelitian
kualitatif, peneliti mengumpulkan dan menganalisis data berupa teks, gambar, suara, atau
video untuk memahami kompleksitas dan keragaman fenomena manusia. Berikut adalah
penjelasan tentang jenis penelitian kualitatif dengan judul "Optimisme Keluarga dalam
Menghadapi Anggota Keluarga yang Berkebutuhan Khusus":Penelitian kualitatif bertujuan
untuk memahami dan menjelaskan fenomena, proses, atau konteks dari sudut pandang
partisipan.penelitian kualitatif dapat memberikan wawasan mendalam tentang pengalaman,
persepsi, dan strategi keluarga dalam menghadapi situasi tersebut

Dalam konteks judul tersebut, penelitian kualitatif dapat digunakan untuk menjelajahi
secara mendalam bagaimana keluarga mengalami dan mengonstruksi optimisme ketika
mereka memiliki anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus. Penelitian ini dapat
mencakup wawancara mendalam dengan anggota keluarga, pengamatan langsung terhadap
interaksi keluarga, dan analisis teks atau dokumen yang terkait.Penelitian ini dapat
melibatkan identifikasi pola-pola optimisme, strategi koping keluarga, dan faktor-faktor yang
memengaruhi tingkat optimisme dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh anggota
keluarga yang berkebutuhan khusus. Analisis kualitatif dapat membantu merinci nuansa,
perasaan, dan makna di balik tindakan dan respons keluarga dalam situasi tersebut.

15
3.2 Batasan Konsep
Batasan konsep dalam konteks penelitian "Optimisme Keluarga dalam Menghadapi
Anggota Keluarga yang Berkebutuhan Khusus" dapat membantu merinci cakupan dan fokus
penelitian. Berikut adalah beberapa batasan konsep yang mungkin relevan untuk penelitian
ini:

Rentang Usia Anggota Keluarga:

Batasan dapat diterapkan pada rentang usia anggota keluarga yang menjadi subjek penelitian.
Misalnya, penelitian ini dapat membatasi diri pada keluarga dengan anak-anak berkebutuhan
khusus dalam rentang usia tertentu.

Tipe Kebutuhan Khusus:

Fokus dapat ditempatkan pada jenis kebutuhan khusus tertentu, seperti disabilitas fisik,
gangguan perkembangan, atau kondisi kesehatan mental. Ini membantu menyempitkan
pemahaman tentang optimisme keluarga dalam konteks kebutuhan khusus yang spesifik.

Konteks Budaya dan Sosial:

Batasan dapat diterapkan pada keluarga dalam konteks budaya atau sosial tertentu. Variasi
dalam optimisme keluarga dapat terjadi berdasarkan perbedaan budaya dan konteks sosial.

Pengaruh Dukungan Eksternal:

Penelitian dapat membatasi diri pada bagaimana dukungan eksternal, seperti dukungan dari
komunitas atau lembaga, memengaruhi optimisme keluarga. Ini membantu mengidentifikasi
faktor-faktor eksternal yang mendukung keluarga.

Aspek Psikologis Individu:

Pembatasan pada aspek psikologis individu dalam keluarga, seperti tingkat stres, koping, atau
tingkat dukungan sosial yang diterima, dapat membantu lebih fokus pada dinamika psikologis
yang memengaruhi optimisme.

Waktu dan Tahap Perkembangan:

Penelitian dapat membatasi diri pada periode waktu tertentu atau tahap perkembangan
tertentu, misalnya, bagaimana optimisme keluarga berubah selama masa transisi seperti
peralihan dari anak-anak ke remaja.

16
Metode Pengumpulan Data:

Batasan dapat diterapkan pada metode pengumpulan data tertentu, seperti wawancara
mendalam, observasi, atau analisis teks, untuk mempersempit pendekatan penelitian.

Geografis atau Lokasional:

Penelitian dapat membatasi diri pada keluarga dalam wilayah geografis atau lokasional
tertentu untuk mempertimbangkan variabilitas berdasarkan faktor-faktor regional.

3.3 Unit Analisa Dan Subjek Penelitian


Unit Analisis:

Keluarga:

Keluarga menjadi unit analisis utama dalam penelitian ini. Dapat mencakup orang tua,
saudara kandung, dan anggota keluarga lainnya yang terlibat dalam mendukung anggota
keluarga yang berkebutuhan khusus.

Individu Anggota Keluarga:

Individu-individu dalam keluarga menjadi unit analisis tambahan. Fokus dapat ditempatkan
pada peran dan pengalaman setiap anggota keluarga, termasuk bagaimana mereka
mengonstruksi optimisme dan menghadapi tantangan.

Anggota Keluarga yang Berkebutuhan Khusus:

Spesifiknya, anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus menjadi fokus utama dalam
penelitian ini. Analisis dapat mencakup pengalaman pribadi mereka, dukungan yang mereka
butuhkan, serta kontribusi mereka terhadap dinamika keluarga.

Subjek Penelitian:

Keluarga dengan Anggota yang Berkebutuhan Khusus:

Keluarga yang memiliki setidaknya satu anggota dengan kebutuhan khusus menjadi subjek
utama penelitian. Pemilihan keluarga ini dapat melibatkan kriteria seperti jenis kebutuhan
khusus, tingkat dukungan yang diterima, atau tahap perkembangan keluarga.

Individu dengan Kebutuhan Khusus:


17
Anggota keluarga yang berkebutuhan khusus akan menjadi subjek penelitian khusus. Ini
dapat mencakup wawancara mendalam untuk mengeksplorasi pengalaman pribadi, tantangan,
dan harapan mereka.

Anggota Keluarga Tanpa Kebutuhan Khusus:

Memasukkan anggota keluarga lain yang tidak memiliki kebutuhan khusus tetapi terlibat
dalam mendukung anggota keluarga tersebut. Hal ini memungkinkan untuk memahami
dinamika keluarga secara lebih luas.

Profesional Kesehatan atau Layanan Sosial:

Melibatkan profesional kesehatan atau layanan sosial yang terlibat dalam memberikan
dukungan kepada keluarga yang memiliki anggota dengan kebutuhan khusus. Pendekatan
kolaboratif dan dukungan eksternal dapat dianalisis melalui perspektif profesional.

Masyarakat atau Komunitas Lokal:

Memasukkan faktor-faktor lingkungan seperti dukungan dari komunitas atau masyarakat


lokal. Ini dapat mencakup analisis terhadap sumber daya, layanan, dan persepsi masyarakat
terhadap keluarga dengan anggota berkebutuhan khusus.

Dengan merinci unit analisis dan subjek penelitian ini, penelitian dapat memberikan
gambaran yang komprehensif tentang optimisme keluarga dalam menghadapi anggota
keluarga yang berkebutuhan khusus, sekaligus mempertimbangkan berbagai perspektif dan
faktor yang memengaruhi dinamika keluarga tersebut.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah cara atau metode yang digunakan untuk
mengumpulkan informasi atau data dari subjek penelitian. Pemilihan teknik pengumpulan
data bergantung pada jenis penelitian, pertanyaan penelitian, sumber data yang tersedia, dan
tujuan penelitian.

3.4.1 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang dipilih untuk penelitian "Optimisme
Keluarga dalam Menghadapi Anggota Keluarga yang Berkebutuhan Khusus"
akan tergantung pada metode penelitian yang diadopsi. Berikut adalah beberapa

18
teknik analisis data yang umum digunakan dalam penelitian kualitatif dan
penelitian campuran (kombinasi kualitatif dan kuantitatif):

1. Analisis Tema:

Analisis tema melibatkan pengidentifikasian dan analisis pola-pola tematik


dalam data. Dalam konteks optimisme keluarga, tematik yang mungkin
melibatkan cara keluarga mengekspresikan optimisme, strategi yang digunakan,
dan pengaruhnya pada dinamika keluarga.

2. Analisis Naratif:

Analisis naratif fokus pada penyusunan cerita atau narasi dari data. Ini dapat
membantu memahami bagaimana optimisme keluarga muncul dalam cerita atau
pengalaman keluarga yang berkebutuhan khusus.

3. Analisis Konten:

Analisis konten melibatkan identifikasi dan kategorisasi informasi dalam teks


atau data lainnya. Ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola-pola tertentu
dalam pengungkapan optimisme dalam wawancara atau dokumen keluarga.

4. Analisis Fenomenologi:

Analisis fenomenologi bertujuan untuk memahami pengalaman subjek secara


mendalam. Dalam konteks ini, analisis fenomenologi dapat membantu menggali
makna dan esensi dari optimisme keluarga yang berkebutuhan khusus.

5. Analisis Grounded Theory:

Analisis teori terkait dengan pengembangan teori baru dari data tanpa adanya
kerangka konseptual sebelumnya. Dalam penelitian ini, analisis grounded theory
dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme
keluarga.

6. Analisis Statistik Deskriptif:

Jika penelitian juga melibatkan data kuantitatif, analisis statistik deskriptif dapat
digunakan untuk memberikan gambaran statistik tentang tingkat optimisme
keluarga, distribusi variabel, dan hubungan antar variabel kuantitatif.

19
7. Analisis Komparatif:

Analisis komparatif dapat digunakan untuk membandingkan kelompok-


kelompok tertentu dalam hal tingkat optimisme keluarga. Misalnya,
membandingkan keluarga dengan kebutuhan khusus dengan keluarga tanpa
kebutuhan khusus.

8. Analisis Regresi (jika diperlukan):

Jika ada data kuantitatif, analisis regresi dapat digunakan untuk


mengidentifikasi hubungan statistik antara variabel independen dan dependen,
membantu memahami faktor-faktor yang memprediksi optimisme keluarga.

3.4.2 Kredibiltas Data


Kredibilitas data dalam penelitian "Optimisme Keluarga dalam
Menghadapi Anggota Keluarga yang Berkebutuhan Khusus" sangat penting
untuk memastikan bahwa temuan penelitian dapat diandalkan dan valid.
Beberapa strategi dapat diterapkan untuk meningkatkan kredibilitas data dalam
penelitian ini:

Ketepatan Metode Pengumpulan Data:

Pastikan bahwa teknik pengumpulan data yang digunakan sesuai dengan tujuan
penelitian dan dapat memberikan informasi yang akurat tentang optimisme
keluarga. Pastikan bahwa wawancara, observasi, atau metode lainnya dilakukan
secara konsisten dan tepat.

Penggunaan Sumber Data Multipel:

Memanfaatkan berbagai sumber data, seperti wawancara, observasi, dan studi


dokumen, dapat meningkatkan kredibilitas penelitian. Integrasi data dari
berbagai sumber dapat memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang
fenomena yang diteliti.

Triangulasi:

Menerapkan triangulasi dengan membandingkan temuan dari berbagai teknik


pengumpulan data atau sumber data dapat membantu memvalidasi temuan. Jika

20
informasi yang diperoleh konsisten melalui berbagai sumber, maka
kredibilitasnya lebih tinggi.

Keterlibatan Peneliti:

Memastikan keterlibatan peneliti secara aktif dan reflektif dalam proses


penelitian dapat meningkatkan kredibilitas. Kesadaran peneliti terhadap asumsi,
nilai-nilai, dan pengaruhnya terhadap penelitian dapat membantu mengurangi
bias.

Kejelasan Desain Penelitian:

Menjelaskan dengan jelas desain penelitian, termasuk tujuan, pertanyaan


penelitian, dan metode analisis, dapat membantu meningkatkan kredibilitas. Ini
memungkinkan pembaca atau peneliti lain untuk memahami dan menilai
kecocokan metode dengan tujuan penelitian.

Analisis Tematik atau Kategorikal:

Menerapkan analisis tematik atau kategorikal yang mendalam dapat membantu


menggali makna dan pola yang muncul dari data. Ini memungkinkan peneliti
untuk memahami optimisme keluarga dengan lebih baik dan memberikan
kekayaan pada interpretasi.

Kontrol untuk Bias Penelitian:

Menyadari dan mengendalikan bias penelitian, baik yang berasal dari peneliti
maupun subjek penelitian, dapat membantu menjaga kredibilitas data. Langkah-
langkah transparan untuk meminimalkan bias harus diambil.

Auditabilitas:

Meningkatkan auditabilitas dengan mendokumentasikan langkah-langkah


penelitian, pemilihan sampel, dan proses analisis. Dokumentasi yang baik dapat
memungkinkan orang lain untuk memahami langkah-langkah yang diambil dan
mengulangi penelitian jika diperlukan.

Pemilihan Partisipan yang Relevan:

21
Memilih partisipan yang memiliki relevansi dengan konteks penelitian dan
memiliki pengalaman nyata terkait optimisme keluarga dapat meningkatkan
kredibilitas data.

Melalui penerapan strategi-strategi ini, penelitian dapat meningkatkan


kredibilitasnya, memperkuat interpretasi temuan, dan memberikan kontribusi
yang berarti terhadap pemahaman tentang optimisme keluarga dalam
menghadapi anggota keluarga yang berkebutuhan khusus.

22
DAFTAR PUSTAKA

Olson, D. H., Portner, J., & Lavee, Y. (1985). Family Adaptability and Cohesion Evaluation
Scales (FACES III). Life Innovations.

McCubbin, H. I., & McCubbin, M. A. (1988). Typologies of resilient families: Emerging


roles of social class and ethnicity. Family Relations, 37(3), 247-254.

Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam
Books.

Walsh, F. (2003). Family resilience: A framework for clinical practice. Family Process,
42(1), 1-18.

Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive psychology: The scientific and practical
explorations of human strengths. Sage Publications.

McCubbin, H. I., & McCubbin, M. A. (1993). Family stress theory and assessment: The T-
double ABCX model of family adjustment and adaptation. In C. H. Mindel & R. W.
Habenstein (Eds.), Stress and the family: Vol. II. Coping with catastrophe (pp. 3-24).
Taylor & Francis.

Guralnick, M. J. (2017). Family influences on early development: Integrating the science of


normative development, risk, and disability, and intervention. Oxford University
Press.

Turnbull, A. P., & Turnbull, H. R. (2015). Families, professionals, and exceptionality:


Positive outcomes through partnerships and trust. Pearson.

Dunst, C. J., Trivette, C. M., & Hamby, D. W. (2007). Research Synthesis on Families of
Children with Disabilities: Implications for Future Directions in Parent and Family
Support. Division for Early Childhood, Council for Exceptional Children.

23

Anda mungkin juga menyukai