Anda di halaman 1dari 8

Etika Keluarga Kristen

Tugas Kelompok Komunikasi Intim dan Manajemen Konflik

Anggota Kelompok:

Aaron Eldad - B12200017


Jerry Julio - B12200038
Nixon Benedict - B12200062
Sheila Davis - B12200070
Bentley Susanto - B12200113

UNIVERSITAS KRISTEN PETRA


SURABAYA
2023
1. Intimate Communication Menurut Balswick adalah Bagaimana anggota keluarga
dapat dengan aman dan tidak merasa tertekan (Takut untuk di hina atau
dikucilkan atau dimarahi) saat sedang mengutarakan emosi yang ada didalam
dirinya, Lain kata anggota keluarga bisa menjadi dirinya sendiri dalam
mengutarakan isi hatinya dan tidak menutup nutupi. Selain itu penyelesaian
masalah saat terjadi perselisihan adalah salah satu hal yang harus diperhatikan
juga dalam Intimate Communication. Menurut Balswick hal ini berurusan dengan
EQ atau Emotional Intelligence. Seseorang yang sedang mengekspresikan
dirinya membuat dirinya menjadi rentan, jadi pendengar atau keluarga harus
menjadi tempat yang aman dan tidak menusuk kerentanan orang yang sedang
melakukan komunikasi tersebut, hal ini paling rumit saat sedang marah.

Intimate Communication jadi sangat penting karena untuk mencapai hubungan


keluarga yang baik maka perlunya Intimate Communication, hal ini mendukung
Penyatuan keluarga dan saling membutuhkan. Ini membuat sebuah keluarga
menjadi solid dan bisa jadi tempat untuk beristirahat dan bercerita dan saling
mendukung. Bila hal ini tidak dilakukan contoh bila ada kejadian dimana resiko
untuk menjadi rentan lebih besar daripada keinginan untuk bercerita, maka
anggota keluarga tersebut tidak akan melakukan komunikasi sehingga keluarga
menjadi jauh dan tidak intim. Hal ini juga adalah wujud keluarga yang ideal
menurut alkitab, bahwa keluarga harus saling tahu dan ingin tau antara satu
sama lain. Hal ini meningkatkan intimacy dan interdependent pada anggota
keluarga yang menimbulkan sukacita dan pengertian

2. Ya Setuju Balswick, Balswick berpendapat bahwa ungkapan cinta, baik secara


verbal maupun fisik, sangat penting dalam hubungan. Mereka menekankan
bahwa manusia perlu merasakan cinta sejak lahir hingga mati, dan kurangnya
ungkapan cinta dapat menciptakan efek negatif. Mereka juga menekankan
bahwa ekspresi verbal cinta dapat membantu seseorang menerima emosi dan
lebih mengenal diri sendiri.

Mereka berpendapat bahwa ungkapan cinta tidak hanya penting dalam


hubungan antara pasangan, tetapi juga dalam hubungan antara orang tua dan
anak-anak. Mereka menekankan bahwa orang tua harus secara aktif
mengungkapkan cinta mereka kepada anak-anak mereka, baik secara verbal
maupun melalui tindakan. Mereka berpendapat bahwa ini penting untuk
perkembangan emosional dan psikologis anak-anak.

Jadi, menurut Balswick, ungkapan verbal cinta sangat penting dan dapat
memiliki dampak positif yang signifikan pada individu dan hubungan mereka.
Meskipun kasih bisa ditunjukkan melalui tindakan, kata-kata juga memiliki
kekuatan sendiri dalam mengkomunikasikan kasih.

Selain itu, Balswick juga menekankan pentingnya komunikasi dalam hubungan.


Mereka berpendapat bahwa komunikasi yang efektif dapat membantu
memperkuat hubungan dan memperdalam pemahaman satu sama lain. Mereka
juga menekankan bahwa komunikasi yang efektif dapat membantu mengatasi
konflik dan meningkatkan keintiman dalam hubungan.

Secara keseluruhan, Balswick berpendapat bahwa ungkapan cinta, baik secara


verbal maupun nonverbal, sangat penting dalam hubungan. Mereka menekankan
bahwa kasih harus diungkapkan secara terbuka dan jujur, dan bahwa komunikasi
yang efektif dapat membantu memperkuat hubungan dan memperdalam
pemahaman satu sama lain.

3. Balswick dan Chapman dalam buku mereka membahas berbagai hambatan


yang mungkin dihadapi seseorang dalam mengekspresikan cinta. Beberapa
hambatan tersebut meliputi:

● Pola Komunikasi yang Tidak Sehat: Balswick menekankan bahwa pola


komunikasi yang tidak sehat dapat menjadi hambatan dalam
mengekspresikan cinta. Misalnya, seseorang mungkin merasa takut atau
malu untuk mengungkapkan perasaan mereka, atau mereka mungkin
tidak tahu cara mengungkapkan perasaan mereka dengan cara yang
efektif.
● Perbedaan Individu: Chapman menunjukkan bahwa perbedaan individu
juga bisa menjadi hambatan. Misalnya, seseorang mungkin merasa tidak
nyaman dengan ungkapan cinta yang terlalu berlebihan, atau mereka
mungkin memiliki cara unik mereka sendiri untuk mengekspresikan cinta.
● Kurangnya Pemahaman tentang Bahasa Cinta Pasangan: Chapman
juga menekankan bahwa kurangnya pemahaman tentang bahasa cinta
pasangan dapat menjadi hambatan⁴. Misalnya, jika pasangan Anda
merasa dicintai melalui kata-kata afirmasi, tetapi Anda lebih suka
menunjukkan cinta melalui tindakan pelayanan, ini bisa menjadi hambatan
dalam komunikasi cinta Anda.
● Masalah Emosional atau Psikologis: Baik Balswick maupun Chapman
mencatat bahwa masalah emosional atau psikologis dapat menjadi
hambatan dalam mengekspresikan cinta. Misalnya, trauma masa lalu atau
masalah kepercayaan dapat membuat seseorang merasa sulit untuk
membuka diri dan mengekspresikan perasaan mereka.
4. Model “Our Differentiation in Christ” (DifC) yang dikembangkan oleh Balswick
berfokus pada bagaimana individu dapat mengembangkan identitas yang sehat
dan otentik dalam Kristus, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk
berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang sehat dan penuh kasih.

Misalnya, bayangkan seorang wanita bernama Sari. Sari tumbuh dalam keluarga
yang tidak stabil dan sering merasa tidak aman. Namun, ketika dia menjadi
Kristen, dia mulai memahami bahwa dia adalah anak Allah dan dicintai oleh-Nya.
Melalui hubungannya dengan Kristus, Sari mulai mengembangkan rasa harga
diri dan kepercayaan diri. Dia belajar untuk menerima dirinya sendiri dan orang
lain tanpa penilaian atau rasa takut. Ini memungkinkan Sari untuk berinteraksi
dengan orang lain dengan cara yang sehat dan penuh kasih, bahkan dalam
situasi yang sulit. Ini adalah contoh dari bagaimana model “Our Differentiation in
Christ” dapat bekerja dalam kehidupan nyata.

5. Pendapat balswick Ini dianggap destruktif karena tidak mengatasi akar


permasalahan, menghindar dari komunikasi dan menghindari konfrontasi yang
sehat. penjelasan dan contoh untuk masing-masing poin:

● Displacement (Penyimpangan):
● Penjelasan: Ini terjadi ketika seseorang mengalihkan perasaan atau
marahnya dari sumber aslinya ke orang atau situasi lain yang tidak
berhubungan.
● Mengapa destruktif: Dalam konteks keluarga, displacement dapat
menciptakan ketidaksetujuan dan konflik yang tidak seharusnya terjadi
bahkan dapat menambah masalah, karena perasaan/kejengkelan awal
tidak diungkapkan dengan baik.
● Contoh: Seorang anggota keluarga mungkin mengalihkan kemarahan
mereka kepada pasangan atau anak mereka setelah sehari yang sulit di
tempat kerja, padahal sebenarnya mereka kesal dengan situasi di tempat
kerja.
● Disengagement (Menarik Diri):
● Penjelasan: Disengagement terjadi ketika seseorang secara aktif
mencoba untuk menghindari konfrontasi atau interaksi dengan anggota
keluarga yang terlibat dalam konflik.
● Mengapa destruktif: Ini dapat memperdalam kesenjangan komunikasi dan
emosi antara anggota keluarga, karena masalah tidak diatasi.
● Contoh: Seorang anggota keluarga yang tidak ingin terlibat dalam
perdebatan mungkin secara fisik atau emosional menarik diri dari situasi
dan menghindari pembicaraan tentang masalah yang ada.
● Disqualification (Penolakan):
● Penjelasan: Disqualification terjadi ketika seseorang menolak pentingnya
atau validitas perasaan atau pandangan yang dinyatakan oleh anggota
keluarga lain.
● Mengapa destruktif: Ini dapat mengurangi rasa hormat dan validasi
terhadap perasaan dan pandangan anggota keluarga lain, yang pada
gilirannya dapat merusak hubungan.
● Contoh: Ketika seorang anggota keluarga mengungkapkan
ketidaksetujuan atau kekhawatiran mereka, yang lain mungkin merespon
dengan mengatakan, "Kamu selalu overreacting, itu tidak penting,"
sehingga menolak pentingnya perasaan yang diungkapkan.

Pendekatan denial/menyangkal ini destruktif karena tidak memecahkan


masalah karena dapat menyebabkan penumpukan masalah yang lebih
besar dalam keluarga. Dalam menghadapi konflik, penting untuk
mempromosikan komunikasi yang sehat dan membuka ruang bagi
ekspresi perasaan dan pandangan secara jujur.

6. Pola komunikasi yang defensive terjadi ketika seseorang merasa terancam atau
diserang emosional, dan sebagai respon nya, mereka cenderung melindungi diri
mereka sendiri dan mungkin menentang atau melawan orang yang memicu
perasaan defensif ini. Ada beberapa penyebab umum yang dapat menyebabkan
komunikasi yang defensive:

Perasaan terancam: Perasaan tidak aman, merasa diperlakukan secara tidak


adil, atau perasaan kurang dihargai dapat menyebabkan seseorang merasa
terancam. Ini bisa terjadi jika seseorang merasa bahwa hak-hak atau kebutuhan
mereka diabaikan.

Perasaan di salah pahami: Kadang-kadang, seseorang mungkin merasa bahwa


pesan mereka tidak dipahami dengan benar atau disalahartikan oleh orang lain,
yang dapat memicu perasaan defensif.

Pengalaman masa lalu: Pengalaman traumatis atau konflik masa lalu dalam
hubungan seseorang dapat membuat mereka lebih cenderung untuk merespons
dengan defensif. Mereka mungkin mengantisipasi konflik atau perasaan terluka
berdasarkan pengalaman sebelumnya.
Dalam konteks komunikasi yang defensive, Gary Chapman dalam bukunya "Now
You're Speaking My Language" mengidentifikasi tiga "Typical Defensive
Reactions" yang umumnya terjadi:

Verbal Retaliation (Balasan Verbal): Ini adalah respons pertama yang sering
terjadi ketika seseorang merasa terancam atau diserang secara emosional.
Dalam contoh yang diberikan, seorang suami yang merasa bahwa istrinya telah
memotong semak-semak tanpa menunggu dirinya mengungkapkan perasaan
defensifnya dengan marah dan menuduh istrinya. Ia melindungi harga dirinya
dan menentang tindakan istrinya dengan kata-kata yang kasar.

Contoh percakapan:
Suami: "Jadi kamu nggak bisa nunggu sampai aku yang potong semak-semak,
ya? Mengapa selalu ada tekanan darimu? Mengapa semuanya harus dilakukan
sesuai jadwal mu? Mungkin selanjutnya kamu akan mencoba memotong rumput
juga!"

Withdrawal (Penarikan Diri): Respons kedua adalah penarikan diri, di mana


seseorang merasa terancam tetapi tidak merespons dengan verbal retaliation.
Mereka mungkin berjalan pergi dari situasi atau memendam perasaan mereka.
Mereka dapat merasakan kekecewaan dalam diri mereka, tetapi tidak
mengungkapkannya dengan kata-kata kepada pasangan mereka.

Contoh percakapan:
Suami merasa marah karena semak-semak dipotong oleh istrinya, tetapi ia
hanya pergi ke kamar tidurnya tanpa mengatakan apapun.

Speaking through Children (Berbicara melalui Anak-anak): Ini adalah


respons yang lebih merusak karena melibatkan anak-anak dalam konflik
pasangan. Seseorang mungkin merasakan perasaan defensifnya dan
mengeluarkannya kepada anak-anak, mencoba membuat anak-anak memihak
pada satu dari pasangan mereka.

Contoh percakapan:
Suami berbicara kepada anak mereka: "Kamu tahu apa yang ibumu lakukan?
Dia selalu memotong semak-semak tanpa memberi tahu ayah. Apa pendapatmu
tentang itu?"
7. Menurut Chapman terdapat 4 cara bagi kita untuk belajar mengatasi sifat dan
pola defensif yang kita miliki. Yang pertama adalah mencari tahu akar dari
masalah kita yang membuat kita defensif karena tidak mungkin suatu reaksi
defensif muncul tiba-tiba dan tanpa alasan. Pasti ada sebuah perasaan yang
mengeluarkan rasa defensif ini dan dibutuhkan refleksi diri dengan cara bertanya
kepada diri sendiri untuk bisa mengatasinya. Kedua, kita bisa belajar dari sifat
defensif kita karena sangatlah penting bagi kita untuk belajar agar lebih mengerti
apa yang kita rasakan dan kenapa kita merasakannya. Melainkan mengabaikan
perasaan kita, kita harus bisa bertanya-tanya kepada diri kita sendiri. Ketiga
adalah berdiskusi mengenai masalah yang dialami antara pasangan kita dengan
diri kita sendiri. Terkadang, masalah yang belum terselesaikan dengan baik
dapat menjadi alasan mengapa kita merasa perlu bersikap defensif. Terakhir, kita
harus bisa mencari cara baru dan lebih konstruktif untuk berelasi dengan
pasangan kita agar dapat mencari solusi dan cara komunikasi yang lebih efektif,
dan menghindari sikap defensif tersebut.

8.
● Kolaborasi dan kompromi merupakan 2 prinsip untuk me-manage konflik dalam
hubungan. Kolaborasi dan kompromi menunjukkan perhatian tinggi terhadap
hubungan dan, akibatnya, perhatian seimbang terhadap diri sendiri dan orang
lain. Alkitab mengajarkan pentingnya pengampunan dalam mengelola konflik.
Dalam Kitab Matius 18:21-22, Yesus mengatakan kepada Petrus bahwa kita
harus memaafkan saudara kita sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali. Ini
menunjukkan bahwa pengampunan harus menjadi aspek penting dalam
hubungan keluarga. Ketika konflik terjadi, anggota keluarga diharapkan untuk
tidak hanya memaafkan satu sama lain, tetapi juga untuk mencari pemulihan dan
penyembuhan melalui pengampunan. Selain itu, Alkitab juga mengajarkan
pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka dalam mengelola konflik. Dalam
Efesus 4:25, Paulus menulis, "Sebab itu buanglah dari padamu setiap
kebohongan, dan berbicaralah benar, seorang kepada yang lain, sebab kita
adalah anggota satu sama lain." Ini mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi
konflik dalam keluarga, penting untuk berbicara jujur satu sama lain dan tidak
menyembunyikan perasaan atau masalah yang ada. Komunikasi yang terbuka
dan jujur membantu mengatasi perbedaan dan memulihkan hubungan.
● Kasus 1: Penggunaan Prinsip Kolaborasi dengan Seorang Resolve
Terdapat sebuah keluarga yang hendak pergi berlibur. Sang ayah yang memiliki
sifat tegas ingin pergi ke tempat A namun sang ibu menginginkan untuk pergi ke
tempat B. Sedangkan sang anak merasa tidak puas jika sang ayah memaksakan
untuk pergi ke tempat A. Sehingga sang ibu mengadakan rapat keluarga untuk
mendiskusikan hal ini. Mereka mengadakan rapat keluarga di mana setiap orang
berbicara tentang apa yang mereka inginkan dari liburan, apa yang penting bagi
mereka, dan mengapa. Sehingga disini ibu berperan sebagai seorang resolver.
● Kasus 2: Penggunaan Prinsip Kompromi dengan Seorang Compromiser
Seorang ayah ingin mengelola tabungannya untuk tabungan masa depan.
Sedangkan seorang ibu ingin menggunakan uang itu untuk renovasi rumah.
Sedangkan anak-anaknya juga menginginkan hal lainnya. Sehingga dengan ini,
ibu tersebut berusaha untuk berkompromi dan ia berperan sebagai jalur
penengah. Ibu tersebut memastikan bahwa kebutuhan dan keinginan semua
anggota keluarga diakomodasi sebagian, sehingga mencapai kesepakatan yang
dapat diterima oleh semua orang.

Anda mungkin juga menyukai