Anda di halaman 1dari 10

RESUME IV

ASSESMEN BK TEST

“Syarat-Syarat Tes yang Baik”

Dosen Pengampu :

Dr. Zadrian Ardi, S.Pd., M.Pd., Kons.

Disusun Oleh :

Giva Raudatul Jannah 21006118

DEPARTEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
A. Validitas
Dari uraian para ahli validitas tes adalah hal sesuai tidaknya isi tes dengan
kriteria/tujuan tes. Untuk memudahkan pengertian dapat dijelaskan sebagai berikut: kalau
kita hendak mengukur tinggi seseorang maka ukuran yang cocok adalah meter, dan bila kita
hendak mengukur berat sesuatu benda ukuran yang cocok adalah timbangan yang satuannya
disebut gram/kilogram. Dengan demikian juga halnya dengan tes, apabila kita mau mengukur
pengetahuan siap dari anak, maka pertanyaan berikut adalah tidak cocok (tidak valid). Secara
sederhana validitas adalah ketepatan isntrumen mengukur apa yang hendak diukur.
Jenis-jenis validitas diantaranya yaitu:
1. Face validity
Face validity disebut juga validitas semu. Disebut demikian karena sebenarnya jenis ini
tidak menunjukkan keesuaian hasil tes dengan kriteria, tetapi menyangkut “tampang” tes
itu yaitu bentuk luar seperti bentuk penulisan item, kerta yang dipergunakan dan lain-lain.
2. Conten validity
Logical validity sering disebut conten validity dan ada yang menyebut curricular validity
menyangkut perumusan item-item dan kesesuaian isi/makna item-item dengan tujuan
pengukuran. Perumusan kalimat-kalimat dalam perangkat tes harus memenuhi tata
bahasa yang baik, serta mudah dipahami. Di sekolah masalah validitas kurikulum yakni
kesesuaian perangkat tes dengan isi kurikulum harusdiperhatikan.
3. Predictive validity
Predictive validity (validitas ramal) bermakna tara keserasian suatu tes dalam
meramalkan tingkah laku (keberhasilan) murid yang dites pada masa yang akan datang.
Seseorang murid yang berhasil dalam mencapai angka tertinggi dalam tes Matematika
yang dibuat oleh guru A akan memperoleh angka tertinggi pula pada tes yang dibuat oleh
guru B apabila te yang dibuat oleh keua guru tersebut mempunyai predictive validity
yang tinggi.

B. Reliabilitas
Jika ditinjau dari sudut etimologis kata reliability berasal dari bahasa inggris yang asal
katanya to rely yang artinya percaya (kepada), reliable artinya dapat dipercaya. Dari definisi
para ahli dapat dilihat bahwa reliability uatu tes menunjukkan masalah ketetapan
(consistency) dari hasil tes tersebut, dengan demikian reliabilitas adalah syarat tes yang
menyangkut kepercayaan kita tentang ketetapan hasil bila dilakukan dua atau lebih pada
kelompok yang sama.
Syarat reliabilitas sangat dituntut dalam tes yang standar misalnya tes inteligensi, minat
dan lain-lain. Dalam tes hasil belajar yang disusun oleh guru pada umumnya kurang
memperhatikan reliabilitas mengingat tes yang disusun hanya dipakai satu kali saja. Tetapi
tes yang dipakai secara umum hendaknya mempunyai syarat reliabilitas mengingat tes yang
bersangkutan mungkin dipergunakan pada masa yang akan datang.
Ada dua masalah pokok yang mempengaruhi reliabilitas tes, yaitu :
1. Masalah yang bersangkutan dengan perangkat tes.
a. Panjang-pendeknya kalimat item tes.
Item yang kalimatnya terlalu pendek apalagi angat mudah diingat akan mengurangi
reliabilitas tes karena setelah pelaksanaan yang pertama murid akan membahasnya
dan bila dilaksanakan untuk kedua kalinya semua murid telah dapat menjawwab
dengan benar. Demikian juga item yang kalimatnya terlalu panjang akan
menimbulkan keraguan dalam member jawaban atau murid tidak berusaha
menjawabnya.
b. Tingka kesukaran tes/perangkat tes.
Item yang sangat sukar dan sangat mudah akan mengurangi tingkat reliabilitasnya te,
karena item yang sangat sukar akan selalu salah dijawab oleh kemungkinan seluruh
kelas sukar akan selalu dijawab oleh kemungkinan seluruh kelas sebaiknya item yang
sangat mudah akan selalu benar dijawab oleh kemungkinan seluruh murid. Sehingga
bila dalam perangkat tes terdapat banyak item yang kesukarannys ekstrim akan
mengurangi variasi skor dengan demikian akan mengurangi tingkat reliabilitas.
c. Kesesuaian waktu pelaksanaan tes.
Jumlah waktu yang dipergunakan hendaknya disesuaikan denngan jumlah item dan
tingkat kesukaran item. Waktu yang “agak lama”, dimana setengah atau lebih dari
murid yang dites sudah selesai sebelum waktu yang ditentukan habis, akan
mengurangi sifat reliabilitas apalagi kalau metode perhitungannya melalui test-retest.
2. Masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan tes.
Masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan/penyajian tes adalah actor yang sangat
berpengaruh dalam reliabilitas tes, termasuk diantaranya adalah:
a. Pengawas penyajian tes.
Tes yang pengawas penyajiannya tidak baik akan mengakibatkan murid-murid saling
bekerja sama, hal ini akan mempengaruhi variasi nilai. Apalgi kalau teknik penelitian
yang digunakan adalah tes-retest. Perbedaan pengawasan pada pelaksanaan yang
pertama dengan yang kedua akan banyak mempengaruhi nilai murid.
b. Kondisi dan situasi penyajian
Kondisi murid dan kondisi/situasi tempat pelaksanaan tes erat hubungannyadenga
tingkat reliabilita tes. Murid yang kurang keungguhan bekerja akan menghasilkan
nilai yang kurang reliable.
c. Butir soal yang sudah diketahui anak, jelas akan mengurangi tingkat reliabilitas tes.
Hal inilah yang menyebabkan diadakannya kode etik tes psikologis.

C. Kesukaran
Tingkat kesulitan tes perlu diperhatikan jika ingin menyusun sebuah tes yang berkualitas.
Pertanyaan-pertanyaan dirumuskan sesuai dengan taraf kemampuan siswa untuk
menjawabnya. Guru harus pandai mengira, agar tes yang dibuat tidak terlalu mudah dan juga
tidak terlalu sulit (sukar).
Tes yang relevan mengandung soal-soal yang dapat mengukur kemampuan belajar sesuai
dengan tingkat kemampuan yang ditetapkan dalam indikator pencapaian hasil belajar (Ranah
kognitif, afektif dan psikhomotor). Bila kompetansi dasar dan indikator bertujuan
mengungkap ranah afektif, pertanyaan soal harus pula mengarah ke sikap dan seterusnya.

D. Diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di
mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam kehidupan Masyarakat,
ini disebabkan karena kecenderungan sikap manusia yang lebih suka membeda-bedakan yang
lain. Tes harus deskriminatif itu disusun sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan
perbedaan-perbedaan yang sekecil apapun, karena semakin baik suatu tes bila tes tersebut
dapat membuat perbedaan secara teliti. Oleh karena itu Tes harus dirancang sedemikian rupa
sehingga setiap siswa yang mengikutinya (mengerjakannya) mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh nilai yang baik. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk
menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap apa saja yang telah mereka kuasai
setelah mengikuti pembelajaran.

E. Balance (Keseimbangan Tes)


Sebuah tes yang baik mempunyai sifat seimbang. Keseimbangan merujuk pada tes
terdapat semua aspek yang akan diukur. Tidak boleh tes hanya menumpuk pada suatu aspek
tertentu sehingga hasil tes benar-benar dapat mengukur apa yang akan diukur dan dapat
mengungkapkan apa yang sebenarnya harus diungkapkan. Bagian-bagian pembelajaran yang
sifatnya penting mendapat porsi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan bagian-bagian
pembelajaran yang sifat kurang penting.
Dalam proses pengajaran dosen akan tahu persis, bahwa setiap pokok bahasan memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda, soal tes dikatakan seimbang bila pokok bahasan yang
terpenting mendapat porsi terbanyak dalam soal. Kalau dalam keadaan terpaksa hal tersebut
tidak dapat dilakukan maka keseimbangan dapat dicapai dengan memberikan bobot yang
berbeda pada pokok bahasan yang memiliki tingkat kesulitan yang berbeda.

F. Objektifitas
Tes sebaiknya memiliki obyektivitas yang tinggi. Bilapun non-obyektif, maka
subyektivitas yang mungkin akan muncul harus dapat diminimalkan. Suatu tes (instrumen)
yang memiliki obyektivitas tinggi akan memberikan kemungkinan jawaban siswa benar atau
salah saja. Bila unsur subyektivitas terlalu tinggi, maka berarti guru telah melakukan
tindakan yang kurang jujur (adil) kepada siswanya sendiri.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan syarat objektivitas
1. Pengkonstruksian test
Test informal sering dikonstruksikan tidak memenuhi langkah-langkah yang seharusnya
dilaksanakan. Item-item adalah dibuat saja. Dalam rangka achievemen test sering
seseorang membuat test hanya berdasarkan bahan pelajaran apa yang diingatnya saja,
tidak memakai buku sumber yang sekaligus merupakan buku wajib/pegangan dalam mata
pelajaran sebenarynya masih kurang baik, mengingat bahwa yang akan di test itu
meliputi skill dan attitude dari murid. Dengan hanya mempedomani buku itu saja maka
terungkaplah hanya masalah penguasaan murid terhadap bahan pelajaran yang diberikan
(knowledge).
2. Penentuan jawaban
Masalah yang kedua ini penting ditekankan dalam bentuk test essay. Guru harus lebih
dahulu menetapkan jawaban-jaaban yang dituntut dari setiap soal yang akan ditanyakan.
Dalam penentuan jawaban-jawaban yang dianggap benar ini, harus pula ditentukan
luasnya/dalamnya jawaban yang diminta. Mungkin saja jawaban yang diminta lebih dari
satu macam. Untuk itu harus ditentukan terlbih dahulu, urutan pentingnya atau urutan
tepatnya jawaban yang bermacam-macam itu.
3. Penentuan nilai.
Masalah penentuan nilai sangat erat hubungannya dengan penentuan jawaban. Yang
pertama haruus ditentukan ialah bentuk nilai yang diberikan, apakah nilai dalam bentuk
angka atua nilai dalam bentuk rating. Nilai bentuk angka sebaiknya diberi jarak 0 sampai
dengan 100 atau 0 sampai dengan 10.
4. Analisa Nilai
Dalam bukku-buku evaluasi analisa nilai disebut juga interpretasi score. Seperti yang
disebutkan di atas bahwa interpretasi score ini dalam test kemampuan yang distandard
tidak mengalami kesulitan lagi, karena normal interpretasi, dan kalaupun ada norma,
harusditinjau latar belakang dari tes itu. Untuk latar belakang yang sangat berbeda perlu
adanya peninjauan terhadap norma yang dibuat dalam manual tes itu.

G. Efisiensi
Sebuah alat ukur atau tes harus memiliki sifat efisien (berdaya guna). Apakah suatu tes
akan memberikan informasi yang cukup bila dibandingkan dengan waktu yang digunakan
oleh guru saat menggali informasi tersebut. Contohnya, sebuah tes yang dilakukan secara
lisan (oral test) tidak efisien bila dilakukan terhadap 100 siswa kalau hanya untuk mencek
sejauh mana siswa telah membaca buku tertentu yang ditugaskan pada mereka.

H. Kecepatan
Kecepatan ini mengacu kepada waktu dalam pelaksanaan tes. Saat menggunakan
sebuah tes (alat ukur), guru harus menyediakan alokasi waktu yang wajar (memadai), tidak
kurang, tidak lebih.

I. Praktis
Dalam pengertian bahwa tes tidak sulit untuk dilaksanakan dilihat dari segi pembiayaan
maupun pelaksanaanya. Tes yang baik harus efisien dan mudah untuk dilaksanakan. Kiteria
yang dikemukakan di atas, tidak dimaksudkan untuk memberikan belenggu pada guru dalam
menyelesaikan tugasnya di kelas khususnya dalam mengembangkan tes, tetapi lebih
diarahkan pada pengenalan kondisi ideal yang seharusnya dipenuhi oleh soal-soal yang
disusun oleh pendidik, atau paling tidak memberikan arah kepada perbaikan Anda dalam
memperbaiki sistem penilaian yang telah Anda lakukan selama ini.Sebuah tes disebut
memiliki praktibilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis.
Tes yang praktis adalah tes yang:
1. Mudah dilaksanakan, tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan
kepada siswa mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah. Karena bersifat
sederhana dalam arti tidak memerlukan peralatan yang sulit pengadaannya.
2. Mudah pemeriksaannya artinya bahwa tes itu dilengkapi kunci jawaban maupun
pedoman skoringnya. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat
diberikan atau diawali orang lain.
3. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan atau diawasi
oleh orang lain.

J. Kespesifikan
Sifat penting lainnya yang harus dimiliki oleh tes yang baik adalah kekhususan.
Kekhususan bermakna: pertanyaan-pertanyaan yang merupakan komponen-komponen tes
tersebut hanya akan dapat dijawab oleh siswa-siswa yang mempelajari bahan pembelajaran
yang diberikan. Sementara, siswa-siswa yang tidak mempelajari bahan pembelajaran tidak
akan dapat menjawabnya.
Soal harus direncanakan sedemikian rupa agar jawabannya pasti dan tidak menimbulkan
ambivalensi atau spakulasi dalam memberikan jawaban. Kesulitan soal tidak saja kesulitan
materi juga bisa ditambah kesulitan dalam memahami soal bila soal tidak disusun secara
spesifik.

K. Kasus yang Sedang Terjadi


Kasus penyalahgunaan senjata api yang dilakukan anggota polisi masih terus terjadi.
Terakhir peristiwa penembakan yang dilakukan Brigadir Rangga Tianto, anggota Polairud
Baharkam Mabes Polri terhadap Bripka Rahmat Efendy, anggota Samsat Polda Metro Jaya.
Ketua Presidium Indonesia Poplice Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan Polri harus
segera membenahi aksi koboi yang dilakukan jajaran di bawahnya. Setidaknya, SOP (Standar
Operation Procedur) adanya tes psikologi tiap 6 bulan sekali digalakkan lagi.
Ia mencermati, kasus penyalahgunaan senjata api oleh anggota polisi terus terulang
karena inkosistensi Polri dalam menggelar tes psikologi secara berkala.
"Kasus ini terus berulang dikarenakan Polri sering tidak konsisten dengan SOP (Standar
Operasional Prosedur). Penggunaan senjata api di Polri seharusnya dalam pengawasan yang
cukup ketat, dan melalui banyak tahapan. Neta juga menuntuturkan, bahwa kelayakan senjata
juga sangat penting untuk anggota polisi," katanya.
Ironisnya, peristiwa tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan pejabat di Korps
Bhayangkara yang sudah memastikan jika anggota pemegang senjata api sudah lulus
sejumlah tes, salah satunya psikologi.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Mabes Polri, Kombes
Asep Adi Saputra mengatakan pemilik senjata api harus menjalani pemeriksaan psikologis
setiap enam bulan sekali.
"Ya, betul. Setiap periode diperiksa senjatanya, pelurunya, dan orangnya," kata Asep saat
dikonfirmasi beberapa waktu lalu.
Asep menjabarkan dereta persyaratan bagi anggota polisi untuk mengantongi izin
kepemilikan senjata api. Tak tanggung-tanggung, ada enam tahapan yang harus dilalui.
Pertama, Polri akan melihat kepentingan petugas yang memegang senjata api tersebut.
Kedua, mereka harus mengantongi rekomendasi dari pimpinannya yang menjelaskan
seseorang layak atau tidak memegang senjata api.
Ketiga, seorang anggota harus lulus ujian psikotes. Keempat, anggota tersebut juga harus
lulus tes kesehatan. Kelima, anggota tersebut harus lulus tes menembak.
Terakhir, apabila anggota tersebut lolos semua ujian, maka akan dilihat rekam jejaknya
atau track record.
"Kita lihat track record-nya jika yang bersangkutan lulus semua tahap tetapi track record-
nya buruk misalnya berperilaku buruk, kekerasan kepada masyarakat maka tidak boleh
memegang senjata api," kata Asep.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2002). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Hairun, Y. (2020). Evaluasi dan Penilaian dalam Pembelajaran. Yogyakarta: Deepublish.


Safithry, E. A. Asesmen Teknik Tes dan Non Tes. Malang: IRDH.

Tobari, H. (2015). Evaluasi Soal-soal Penerimaan Pegawai Baru Dilengkapi dengan Hasil
Penelitiannya. Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai