Anda di halaman 1dari 42

Prolog

Ikhlas itu hanya omong kosong, waktu dan


takdir juga hanya omong kosong. Katanya
waktu akan memyembuhkan semuanya,
nyatanya luka berjalan bersama waktu,
berdampingan tampan saling meninggalkan.
Berdamai adalah aturan dunia yang paling
sulit untuk dilakukan, ingin hidup damai
maka kita harus berdamai. Ikhlas dan damai
saling terkaitan satu sama lain, tidaknada
damai jika tidak ada ikhlas, dan begitu
sebaliknya.
Aqia kembali dengan tekadnya melawan dan
menantang takdir, kekuatan cinta yang
katanya lebih besar dari dunia dan seisinya.
"Kembali untuk berdamai Aqia, bukan untuk
mengulang luka yang sama!" Surya
membentak Aqia dengan muak, lelah dengan
tingkah Aqia yang seperti ini.
"Kenapa aku harus menanggung jahatnya
takdir surya, kamu muak dengan aku? Lihat
aku lebih muak dengan dunia ini!!" Tangis
Aqia pecah, duduk tersungkur di lantai
pelabuhan Lembar.
Bumi memang menyikiti tapi hidup tanpa
bumi lebih menyakitkan, semesta dan takdir
jauh lebih menyakitkan. Omong kosong
dengan kata semua sudah diatur tuhan, Aqia
sudah melawan takdir tuhan sedari awal.
Kenapa harus berhenti ditengah jalan.
Lihatlah Aqia tumbuh dewasa dengan
dendamnya kepada Bumi, semesta,takdir dan
tuhan.
Bab 1. Bali
Hari rabu pagi yang cerah namun dingin,
cahaya matahari masuk disela jendela kamar,
membuat Aqia akhirnya terbangun dari
tidurnya. Aqia beranjak dari tempat tidur
dengan tergesa gesa, menyadari bahwa ia
sudah terlambat. "Inaaaq, kenapa gak
bangunin aku dari tadi sih, udah tau aku
mau pergi kerja, gimana siih ih!" Teriak Aqia
sembari berdandan rapi casual.
Aqia dengan tas cerier dan perlengkapan
gunungnya bersiap siap untuk berangkat
untuk perjalanan bisnis. "Dari tadi
dibangunin tapi kamu tidak bisa bangun
anakk"jawab inaq Aqia dari dapur, sibuk
menyiapkam sarapan untuk Aqia.
Diusianya yang sekarang, 28 tahun. Usia
yang sudah dewasa dan matang, Aqia masih
sibuk dengan perjalananya yang tidak pernah
selesai, berkeliling berkelana entah kemana.
Aqia bekerja di salah satu brand outdor
ternama di indonesia, Eiger. Ia beberapa kali
ditawarkan untuk bekerja di kantor saja oleh
kenalan Mamiqnya, tapi ia lebih memilih
untuk menjadi karyawan yang siap dikirim
kemana saja untuk sebuah ekspedisi.
Sempatkan diri untuk berpamitan dengan
inaq dan mamiq-nya, "anakku, umurmu
sudah dewasa, inaq tidak akan imut campur,
hanya bisa berdoa saja. Hati hati nggih anak"
inaqnya Aqia memeluknya sebelum melepas
anak gadisnya untuk pergi lagi dan tidak lupa
memberikan sekotak bekal untuknya.
“ingat harga diri dan kastamu, jangan
sembarang memilih laki laki ya” sambung
inaq menasehati Aqia.
“Sudah cukup inaq, yang mau menikah juga
siapa” jawab Aqia dengan ketus, selalu tidak
suka jika orang tuanya membahas menikah
dan kasta.
Aqia tumbuh di keluarga yang berkasta tinggi
di Lombok, bermarga bangsawan. Di
keluarganya, seperti bangsawan lainnya, bagi
yang perempuan harus menikah dengan laki
laki yang memiliki kasta yang sama atau lebih
tinggi. Mamiq dan inaqnya berasal dari
keluarga bangsawan, karena itu Aqia selalu di
tekankan untuk menikah dengan laki laki
yang tepat, dilarang keras untuk menikah
dengan sembarang orang.
Aqia berangkat menuju kantor di antarkan
oleh mamiq, "hati hati anak, kamu itu masih
anak gadis dimata kami berdua, jangan aneh-
aneh" pesan yang di terima Aqia begitu turun
dari mobilnya. Orang tua Aqia tahu betul
masalah yang sedang dihadapi anaknya
mereka tidak bisa apa apa, hanya bisa
menasehati dan terus berdoa untuknya . Aqia
terlalu liar untuk mereka kendalikan.
Aqia pergi ke kantor untuk melapor dan
berkumpul dengan tim lainnya. Kali ini ia
akan menyusuri atap Bali. Sempat menolak
mentah untuk Bali, karena Bali adalah
tempat yang paling Aqia hindari selama ini.
Tapi Aqia akhirnya memilih untuk tetap pergi
setelah berpikir panjang dan berdiskusi
dengan surya, sahabatnya.
"tidak baik bermusuhan dengan pulau Aqia,
emang kamu cewe apaan" kalimat Surya yang
mampu meyakinkan Aqia untuk pergi. Karena
Surya juga ikut dalam ekspedisi ini
kehawatiran Aqia sedikit berkurang.
"Surya pergi berarti aku juga pergi" Aqia
mempercayai Surya lebih dari dia
mempercayai orang tuanya, Surya sudah
seperti tangan kanan, penasehat pribadi milik
Aqia.
Aqia membatin dan berusaha bersamai
dengan keadaan, Aqia menghela nafas yakin.
Untuk apa usianya bertambah dewasa jika
berdamai dengan sebuah pulau saja ia tidak
bisa. Sekarang memang waktu yang tepat
untuk berdamai, setidaknya dengan pulaunya
saja. Surya ada benarnya, bermusuhan
dengan penghuninya bukan berarti harus
bermusuhan dengan pulaunya juga kan.
Sampai kantor, Aqia bertemu banyak tim
Eiger lainnya, termasuk surya yang sudah
datang sedari tadi. Awalnya Aqia dan Surya
akan berangkat bersama, namun karena ada
urusan kantor surya berangkat lebih pagi.
"Aqia kamu terlambat" sapa shinta begitu Aqia
memasuki ruangan.
"Maaf, aku kesiangan. Inaq mamiq banyak
omong jadinya terlambat"
"Bagaimanapun mereka tetap orang tuamu
Qia, kamu malah lebih sering mendengarkan
surya dari pada mereka" Shinta mengomel
karena Aqia selalu saja memebahas buruk
orang tuanya.
"Sudahlah, kamu selalu membela mereka, gak
asik" Aqia menutup pembahasan orang tua
dan lanjut mendengar arahan dari atasan
mereka.
~~

Setelah breafing dan persiapan yang matang,


tidak terasa matahari sudah mulai pergi
meninggalkan hari dan akan berganti malam.
Masing masing tim dilepas resmi oleh kantor,
termasuk Aqia dan timnya yaitu shinta serta
surya, Mereka bergegas menuju pelabuhan
Lembar untuk menaiki kapal malam.

Mereka sengaja memilih kapal malam agar


tim bisa beristirahat, namun Aqia malah tidak
bisa tidur. Beranjak dari tempat duduknya,
meninggalkan surya dan shinta yang sedang
tertidur, terlihat begitu lelap. Aqia
memutuskan untuk keluar dan berdiri di tepi
kapal, menutup matanya dan membiarkan
angin laut menerpa wajahnya halus. Satu jam
beridiri, Surya terbangun dari tidurnya lalu
melihat Aqia berdiri di luar, ia menghampiri
Aqia dan mengajaknya duduk sembari
membukakaknya sekaleng kopi instan.
" kamu beneran siap Qia?" Surya membuka
percakapan, menerka nerka apakah
pertanyaannya tidak menyinggung aqia.
" siap tidak siap sih, aku sudah terlalau jauh
melarikan diri dan itu tidak baik" jawab Aqia
dengan memandang lurus kedepan, tanpa
menoleh kearah surya.
" ikhlas itu hanya omong kosong, hanya nabi
yang bisa ikhlas. Yang harusnya kamu
lakukan itu melawan bukan malah pasrah
dan ikhlas" jawaban surya memang selalu
seperti itu, sedikit nyelekit namun seratu
persen benar.
" makanya sekarang aku mau melawan surya,
kamu harus selalu siap jadi backinganku!"
Aqia berseru semangat. Menghempaskan
ragunya dan mulai bertekad berani.
"Tidak akan terjadi apa apa, tenang saja. Aku
selalu siap siaga untukmu" tegas Surya agar
ketakutan Aqia berkurang, tidak perlu hilang,
setidanya hanya berkurang walaupun sedikit.
"Maju loo Bali gua gak takut!!" Teriak aqia
setrlah beranjak berdiri mengarah laut.
Surya terkekeh melihat tingkah aqia,
sahabatnya itu sebenarnya memiliki
ketakutan besar dalam dirinya. Tapi lihatlah,
wanita 28 tahun yang kuat ini malah
menangtang takdir.
"Sudah, jangan teriak teriak begitu, nanti
kamu membangunkan orang tidur"surya
menarik tangan Aqia dan membuatnya duduk
kembali.

~~

Tengah malam, setelah berlabuh selama


kurang lebih empat jam, tim Eiger lombok
sampai di bali, di sambut oleh Engga dan
mobil jipnya yang gagah. Engga adalah salah
satu tim Eiger bali yang akan ikut serta dan
banyak membatu tim untuk ekspedisi
beberapa hari kedepan.
"Selamat datang di bali semeton lombok"
sambutan hangat dari Engga.
"Lama tak jumpa kawan, bagaimana
kabarmu?" Sapa Surya sambil berjabat
tangan dengan Engga. Mereka berjabat
tangan saling berkenalan dan bertukar kabar
satu sama lain sembari memindahkan barang
bawaan tim ke mobil jip milik Engga.
"Perjalanan dari Padang Bai ke bascamp
cukup jauh, kalian bisa tidur di mobil sembari
istirahat" Engga menjalankan mobilnya
meninggalkan pelabuhan Padang Bai.
"Terimakasih bli, sudah repot repot
menjemput kami" Aqia membalas dengan
senyum ramah.
Aqia merasa sangat rindu dengan pulau ini,
tidur bukan pilihan yang tepat untuk saat ini,
sedangkan surya dan shinta memilih untuk
melanjutkan tidurnya.

~~

Delapan tahun sudah Aqia tidak menapakkan


kaki di pulau ini, menghindar sebisa
mungkin walaupun sesekali rasa rindu akan
suasana dan pemandangannya datang.
Suasana Bali yang seoi karena sudah tengah
malam, sangat sunyi. Sepanjang perjalanan
menuju bascamp, Aqia merasa bernostalgia
dengan jalannya, hapal betul walaupun sudah
lama tidak kesini. Patung patung dan pura di
pinggir jalan terasa sangat akrab, tidak ada
yang berubah dari pulau ini. Bertanya tanya
apa keputusannya untuk kembali ke sini
adalah keputusan yang benar, apa delapan
tahun sudah cukup untuk dirinya mengenal
kembali pulau ini, apa caranya menantang
takdir kali ini benar atau malah keliru besar?
Pertanyaan demi pertanyaan, kenangan demi
kenangan muncul di kepala Aqia sepanjang
perjalanan.
Tidak terasa perjalanan yang katanya cukup
jauh terasa seperti angin lewat, sampai di
bascamp, mereka tidak banyak mengobrol
karena kelelahan, mereka memutuskan untuk
beristirahat dan melanjutkan berbincang
membahas rencana ekspedisi besok pagi.
"Ada dua kamar yang sudah disiapkan, disini
mbok aqia dan shinta. Sebelahnya untuk
surya." Engga menuntun mereka dan
meminta mereka untuk istirahat.
"Selamat beristirahat, sampai jumpa besok
pagi"
"Sekali lagi terima kasih bli". Sekali lagi Surya
mewakili mereka berterima kasih sebagai
penutup obrolan malam ini, Engga
memutuskan kembali ke rumahnya yang
katanya tidak jauh dari bascamp, sedangkan
Aqia, surya dan shinta bermalam di bascamp.
Bab 2. Kembali
Pagi datang dengan cepat, Aqia bangun dan
beranjak menuju teras bascamp untuk
menghirup udara segar pagi ini. Tidur mereka
cukup nyenyak karena perjalanan tadu
malam yang cukup melelahkan. Engga yang
sedari pagi buta sudah di bascamp menyapa
Aqia. "Selamat pagi mbok, mari sarapan dulu,
aku sudah siapkan teh hangat dan pie susu".
"Terima kasih bli, sudah repot repot" jawab
Aqia.
Engga dan Aqia duduk di kursi depan teras
sambil menikmati saparan yang sudah
disiapkan Engga sembari berbincang ringan
mengenai rencana mereka kedepannya, kabar
baik dari Engga yang ternyata sebentar lagi
akan meminang kekasihnya, setelah ekspedisi
ini selesai.
Katanya mereka sudah pacaran 5 tahun
lamanya. Mereka sangat luar biasa, bisa
bertahan selama itu untuk suatu hubungan.
"Gadis Bali dengan segala pesonanya ada
semua pada dirinya Mbok. Aku tidak sanggup
membayangkan jika akhirnya bukan dia
jodohku" Engga menceritakan kekasihnya
dengan wajah semeringas penuh makna.
"Sayangi dia dengan tulus ya Bli. Aku
berharap kalian berjodoh sampai maut
memisahkan" senang rasanya mendengar
kisah cinta sejati yang nyata seperti ini. Aqia
yang enggan percaya dengan cinta, tapi
dengan mendengar kisah seperti ini, ia selalu
berharap cinta seperti ini akan datang
padanya suatu hari nanti.
Satu persatu teman teman bangun dan keluar
untuk sarapan, Engga beranjak dari kursinya,
pergi membuatkan teh untuk teman teman
yang lain.
“hari ini kita akan berbelanja logistik, ada
pasar tradisional dekat sini” Surya
menjelaskan rencana hari ini.
“Dua teman lainnya sudah menunggu kita di
sana” lanjut Enggan.
“iya, aku sudah menyiapkan list apa saja yang
akan kita beli nanti” saut Shinta yang baru
saja keluar dengan membawa buku kecil.
“Silahkan dibaca, mungkin ada yang ingin
menambahkan” lanjutnya.
Sembari menghabiskan sarapan Engga dan
Surya membaca buku kecil milik Shinta,
mereka mencoret serta menambahkan
sesuatu, merevisinya.

~~

Keheningan di tengah keramaian, di pasar


tradisional Bali dengan menyan dan
sesembahan yang menjadi ciri khasnya.
Suasana ricuh pasar pada pagi hari, Suara
klakson saling beradu ribut, para penjual dan
pembeli beradu tawar menawar. Suara peluit
tukang parkir yang sibuk mengatur lalu lintas
pasar yang padat dan ramai. Aqia berdiri
ditengah keramaian itu, memandang lurus
kedepan, menganga, tidak percaya apa yang
ada didepannya.
Aqia beberapa kali di tegur Shinta yang di
sebelahnya, tidak kunjung sadar dari
lamunanya.
“Aqia!, heiii” Shinta menggoyangkan tubuh
Aqia, tidak ada respon. Hingga gerombolan
manusia datang menghampirinya, teguran
mereka memecah lamunan Aqia.
Lima belas menit lalu mereka sampai di pasar
dan rencana bertemu teman Engga yang akan
ikut pada perjalanan kita kali ini. Engga
terlihst sibuk menelpon seseorang, berseru
agar mereka segera sampai. Kebiasaan ngaret
orang indonesia memang sudah mendarah
daging.
"Maaf atas ketidak nyamannya teman teman,
katanya mereka ada urusan mendadak
karena itu mereka sedikit terlambat" Engga
berkata lirih, terlihat merasa tidak enak hati
kepada Aqia dan teman teman.
"Tidak perlu minta maaf, rencana manusia
memang dirancang tuhan untuk tidak 100%
berjalan lancar kan" Surya menjawab Engga
dengan sarkas. Kebiasaan surya yang suka
berbicara sarkas tanpa peduli situasi.
"Selamat datang teman teman, maaf kami
baru bisa bergabung hari ini!" Bumi, salah
satu dari mereka menyapa duluan.
"Ah tidak masalah kawan, kamukan katanya
ada urusan penting. Lagi pula ada Engga yang
menemani kami " Surya membalas sapaan
mereka. Lalu mereka bersalaman satu
persatu.
Aqia berusaha ramah dan mengendalikan
emosinya, berusaha terlihat tidak ada apa apa
seolah dia dan Bumi baru bertemu untuk
pertama kalinya. Engga memperkenalkan
mereka satu persatu.
"tak kenal maka tak sayang" katanya sembari
mereka semua berjabat tangan.

~~

Sekarang Aqia dan teman-temannya dari


Lombok serta Bumi dan teman-temannya dari
Bali sedang ada eskpedisi untuk acara 17 an
tahun ini. Aqia, shinta, dan surya sebagai tim
Eiger dari Lombok ditugaskan untuk
menyusuri atap Bali dan Ntb, dibantu oleh
tim eiger Bali yaitu Engga dan putu. Bumi
sebenarnya tidak ada dalam rencana, tidak
ada namanya tercantum pada proposal
ekspedisi ini. Sebab itu Aqia cukup terkejut
dengan kehadirannya.
Cukup rasanya berkenalan dan menyapa satu
sama lain, mereka beranjak masuk kedalam
pasar untuk membeli keperluan logistik
untuk mendaki gunung Agung besok pagi.
Mereka berjalan masuk kedalam pasar, mulai
dengan membeli makanan kemasan seperti
madu, coklat, tepung, eneegen, serta sarden
kaleng dan dilanjutkan dengan sayur
sayuran.
"Perjalanan kali ini kalian tidak perlu
khawatir masalah makanan, ada chef gunung
handal yang akan ikut kali ini" putu
menyenggol tangan Bumi sembari memilih
sayuran.
"Oh iya, benarkah begitu Bumi?" Shinta
terlihat antusias dengan kabar itu. Karena
pada tim dari Lombok, shintalah yang
berperan sebagai chefnya.
"Iya, santai saja. Nanti kalian tinggal duduk
manis menerima masakanku" dengan
bangganya Bumi menjawab dan mengangkat
worter yang ia pegang.
Aqia berada dibarisan paling balakang,
ditemani Surya. Dia tidak banyak biacara,
hanya mengikuti tim kemanapun mereka
pergi. Aqia masih mencerna keadaannya
sekarang, masih bingung dan bertanya tanya,
membatin serta memberi sumpah serapah
pada takdir dan semesta. Surya yang
menyadari tingkah Aqia yang aneh dan
sebenarnya mengetahui apa yang terjadi
antara Aqia dan Bumi sigap menemaninya.
Tidak banyak bertanya, hanya cukup berjalan
disampingnya agar Aqia merasa tidak sendiri.
Karena tidak ingin membuang buang waktu,
selesai berbelanja logistik, mereka kembali ke
bascamp untuk packing. Gunung Agung
merupakan gunung yang tidak memiliki
kaldera seperti Rinjani atau Mahameru, sebab
itu diperlukan pasokan air yang banyak dan
sebisa mungkin untuk memasak makanan
kering, tanpa kuah untuk menghemat air.
Engga memberi tahu bahwa mereka akan
melewati jalur Pura Pasar Agung.
"Waah katanya jalur ini paling sulit dari
semua jalur" shinta terlihat ragu, musabab
sering mendengar kabar dan cerita buruk
mengenai jalur ini.
"Tidak perlu khawatir, jalur ini sudah banyak
berubah dari beberapa bulan lalu" Putu
menjelaskan "karena sempat di tutup
pemerintah, kami para cagar alam
mengevaluasi jalur dan memperbaiki agar
tidak terlalu ekstrim, memang di beberapa
titik memerlukan webing, tapi tidak sebanyak
dulu"
"Cukup lama tidak ke Agung, apa puncaknya
masih seindah dulu? " Aqia membuka suara
setelah dari diamnya sejak di pasar tadi.
"Tentu saja, pilihan kamu untuk kembali
kesini tidak salah" Surya mendahului Engga
menjawab Aqia, berusaha mengembalikan
semangatnya seperti tadi malam.
"Sudah pernah Ke Agung mbok?" Tanya putu
kepada Aqia.
"Dulu waktu masih kuliah, aku sering ke bali,
terutama ke Agung. Tapi sudah cukup lama
aku tidak pernah ke sana lagi" jelas Aqia.

Selesai packing, mereka memutuskan untuk


tidur lebih awal, mengetahui esok hari mereka
akan menghadapi perjalanan yang panjang.
Aqia tidak bisa tidur, selalu saja begitu. Setiap
akan mendaki gunung Aqia selalu mengalami
insomnia, sudah minum obat tidur tapi tetap
saja tak mempan. Aqia beranjak dari tempat
tidur dan memutukan berdiri di pagar teras
bascamp. Memandang gelap yang ada
didepannya.
"Apa kabar?" Suara yang tidak asing
memecah lamunan Aqia. Ternyata sedari tadi
Bumi telah memperhatikan Aqia dari dalam
bascamp.
"Baik, biasa saja. Kabarku selalu biasa saja,
tidak ada yang berubah" Aqia menjawab tanpa
menoleh, tidak berani menatap Bumi,
tepatnya belum berani.
“Mamiq sama inaq bagaimana?” sambung
Bumi.
“Mereka sehat, masih seperti dulu” jawab Aqia
sesingkat mungkin.
"Kamu akan terkejut melihat Agung yang
sekarang" Bumi sangat memahami bagaimana
memancing antusian dan semangat Aqia.
"Agung menang selalu indah kan, aku akan
lebih terkejut jika tiba tiba Agung menghilang
dari dunia ini." Masih memandang lurus
kedepan, tubuh Aqia serasa beku, nafasnya
sedikit terganggu, jantugnya berdebar tanpa
sebab, entah disebut apa perasaan aneh itu.
“kamu hebat Aqia” bisik Bumi, berkata pelan
seolah ingin didengar tapi ragu.
“Hah? Kamu bilang sesuatu?” bingung Aqia
yang hanya mendengar gumaman dari Bumi,
tidak jelas. Bumi hanya mengelak begitu
ditanya Aqia, tidak jadi mengutarakan isi
hatinya.
Berbincang dengan Bumi menguras energi,
suasana canggung menyelimuti mereka
berdua. sudah lama sekali Aqia tidak
merasakan perasaan ini. Aqia membatin
untuk menolak keras perasaan yang datang
itu, melawan diri sendiri untuk sadar akan
delapan tahunnya yang tidak boleh sia sia.
Tengah malam sudah, Bumi memakasa Aqia
untuk tidur, "tutup saja matamu, nanti juga
kamu terlelap dengan sendirinya" karena
kurang tidur bisa menghambat perjalan esok
hari. Tidak ingin berdebat panjang dengan
Bumi, Aqia tidak banyak perotes dan
beranjak masuk, bersiap untuk melanjutkan
tidur, maksudnya berusaha tidur.

Bab 3. Gunung Agung


Tidak mau membuang buang waktu . Dini hari Mereka
menuju pura pasar agung diantarkan oleh sepupu Engga
menggunakan jipnya yang gagah. Untuk menuju gerbang
pendakian, yaitu Pura Pasar Agung mereka melewati jalan
yang curam dan berkelok serta kabut, tidak butuh waktu
lama akhirnya mereka sampai pada pukul 8 pagi. Suasana
pura sangat sejuk dan damai. Banyak gadis gadis bali yang
sedari dini hari berada di pura, bersiap untuk
sembahyang. Embun pagi menerpa halus wajah mereka,
kantuk yang sempat datang selama perjalanan seketika
hilang.

Setelah mengeluarkan barang bawaan, Bumi menuntun


mereka untuk sarapan terlebih dahulu di rumah
kerabatnya yang berada tepat di samping gerbang pura
sembari Engga melalukan registrasi, katanya "perjalanan
akan lebih mudah jika di awali sarapan".

"Baiklah, ini pertama kalinya aku mendaki Agung dengan


jalur ini" gumama shinta kepada Aqia yang berada di
sampingnya.

"Kau pikir setelah delapan tahun aku masih mengingat


treknya? Balas Aqia dengan sedikit kesal, sebab sedari pagi
shinta terus merengek dengan jalur ini.

"Tidak ada yang perlu di khawatirkan, kami semua sudah


menguasai jalur ini, terlebih lagi dari semua jalur. Pura
Pasar Agung yang paling cepat." Jelas putu yang sedari tadi
menguping pembicaraan Aqia dan Shinta.

Setelah sarapan, mereka bersiap memasang tas dan ceries


mereka, memastikan semua sudah nyaman dari ujung
kepala sampai kaki, menekuk tangan dan kaki mereka,
perengan. Surya dan p
Putu yang berperan sebagai dokumenter segera
mempersiapkam kamera, memastiakn kamera yang
mereka bawa berfungsi dengan baik.
Sebelum memulai pendakian, seluruh tim berkumpul
memebuat lingkaran, hendak berdoa. Kalau kata Bung
Fiersa besari"berdoa tidak akan pernah selesai".
"Semoga perjalanan kita berjalan lancar, sehat pergi
maupun pulang" Surya memimpin doa, melontarkan kata
kata positif yang membangun semangat.

Berdoa selesai, mereka mengumpulkan tangan ditengah,


berseru bersama " EIGER INDONESIA, GUNUNG AGUNG!"

"Mari kawan kawan, sekarang adalah cuaca yang tepat


untuk mendaki" seru Surya sembari memandang langit.
"Bersahabatkan gunung Agung, aku sudah lama
merindukanku kawan" gumam aqia sembari mengepalkam
yangannya.

Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Bali, selain


itu gunung Agung di anggap gunung yang sakral dan suci
oleh penduduk Bali. Pertama kali meletus pada tahun 1710
dan letusan paling dasyat yang menewaskan lebih dari
1000 nyawa adalah pada tahun 1963. Gunung ini masih
aktif, sesekali menyemburkan asap erupsi. Bahkan gunung
Agung sempat ditutup oleh wali kota karena dianggap
tempat suci yang tidak boleh dikunjungi siapapun selain
penduduk Bali, itupun jika dengan alasan ibadah. tetapi
dengan semua itu, gunung Agung masih ramai di kunjungi
para pendaki.

Saat gunung Agung ditutup, banyak sekali orang yang


dirugikan, bukan hanya turis dan pengunjung. Orang yang
paling rugi adalah masyarakat sekitar, kebijakan
pemerintah itu harus membuat pekerjaan mereka hilang.
Sebagian besar masyarakat di kaki gunung Agung memang
berpropesi sebagai poter atau guide. Gunung ditutup,
pendaki hilang, begitu juga dengan pekerjaan mereka.
Namun setelah berganti wali kota, semua gunung di Bali
termasuk Agung kembali di buka. Para poter dan guide
serta para cagar alam mulai menata ulang jalur dan
kembali mendapat perkejaan mereka.

Pendakian mereka disambut dengan anak tangga, kata


Bumi "anak tangga ini berjumlah 300 anak tangga". Kalau
tidak percaya," hitung aja sendiri" sambung Bumi melihat
respon Shinta yang terkejud tidak percaya.

Tiga puluh menit pertama pendakian memang titip balik


fisik pendaki, ketika sudah lewat tiga puluh menit, tubuh
mulai panas, detak jantung mulai stabil dan tubuh mulai
terbiasa berjalan. Setelah melewati 300 anak tangga
seperti kata Bumi, jalur mulai berupa tanah. Sebelum
melanjutkan pendakian, Bumi, Engga dan Putu meminta
waktu sebentar untuk sembahyang dan meminta izin di
Pura Pasar Agung.

"Setiap kali kami mendaki, harus sempat bersinggah di


pura untuk meminta izin, agar pendakian bejalan lancar
dan kita semua dalam lindungan" jelas Engga selepas
sembahyang.
"Kami sudah meminta izin untuk kita semua, semoga saja
pendakian kita berjalan lancar samapi pulang" sambung
Bumi.

"Terima kasih bli, kami sangat menghargai" jawab Surya.


Saling toleransi dan mengerti adab setiap tempat ibadah
orang lain menang harus dilakukan, terlebih mereka
datang bukan untuk ibadah namun untuk menantang
gunung, berusaha menaklukannya.

Jalur pendakian mulai berubah, tidak lagi anak tangga,


namun tanah dan hutan basah yang mulai terjal. Setiap
tiga puluh menit sampai satu jam sekali mereka berhenti
untuk meluruskan kaki.

"Mbok Aqia memiliki fisik yang kuat" ujar Engga disela


istirahat.

"Delapan tahun sibuk mendaki gunung, wajar saja kan"


sahut Surya yang baru saja bergabung untuk istirahat.

"Ini baru satu jam pertama bli, jalur batu yang menyiksa
sudah terbayang sejak tadi" Jawab Aqia.

Tim sesekali terbagi menjadi dua, Aqia berada di barisan


depan bersama Engga dan Surya, sedangkan Shinta
bersama Bumi dan Putu di barisan belakang. Formasi ini
sudah menjadi ketetapan tim mereka, Bumi dari dulu
selalu berperan menjadi swiper, dan Engga sebagai Leader.
Aqia menempatkan diri, berusaha memisah diri dari Bumi,
bukannya masih membencinya, tapi Aqia hanya belum
siap. Karena itu, demi kenyamanan pendakian Aqia
memutuskan untuk selalu bersama Surya, agar dia bisa
tetap berpikir jernih.

Satu jam pertama mereka sampai di pos 1, beristirahat


bergabung dengan tim belakang. Jalur yang dilewati sudah
mulai menanjak dan memasuki hutan basah.

"Setelah ini treknya akan seperti ini terus, minim bonus"


kata Engga sembari meluruskan kakinya.

"Maksudnya?" Tanya Shinta

"Jalurnya akan terus nanjak Ta, seperti ini, bahkan lebih


parah" jawab Aqia menakut nakuti Shinta.

"Hahaha, tidak seburuk itu kok mbok, dari tadi saya


perhatikan kalian memiliki fisik yang kuat, pasti
melewatinya akan mudah" saut Putu.

Setelah merasa cukup beristirahat, mereka melanjutkan


perjalanan, "tidak usah berlama lama jika hanya ingin
singgah, nanti terlanjur nyaman" kata Surya, berdiri
memasang kembali cariernya.

Dua jam perjalanan, mereka sudah sampai persimpangan


pipa saluran air. Pipa yang terlihat cukup berumur sudah
tidak terpakai lagi, tidak berfungsi. Dan pipa pararel yang
disimpangnya sebagai pengganti. Disekitarnya ada
genangan air, katanya masih aman untuk diminum. Mereka
sempat mengisi ulang botol kosong untuk menambah
persediaan air.

Terik mentari menusuk kulit, bukan takut kulit menjadi


hitam, tapi masalah stamina yang dikuras habis
olehnya.Menuju camping ground jalur tanah penuh
pepohonan, mereka digiring menuju jalur bebatuan, jalur
yang dilewati semakin terjal, semua sudah mulai
kelelahan, terutama shinta yang sudah tertinggal jauh di
belakang bersama Bumi.

"Sudah kenal lama mbok sama Aqia?" Tanya Bumi disela


istirahat mereka.

"Aku kenal Aqia baru tahun kemarin, sejak Aqia bekerja di


Eiger" jawab Aqia setelah meneguk air minumnya

"Kenapa bli? Naksir mbok Aqia ya? Atau nomer


handphonenya?" Goda Shinta membuat Bumi tersenyum
kecut, canggung.

"Tidak, hanya penasaran saja, keliatannya dia masih dekat


dengan Surya" jawab Bumi, berusaha mengelak.

"Mereka sudah seperti keluarga banget Bli, katanya sedari


SMP sudah saling kenal" shinta menjelaskan. "Surya yang
membawa Aqia pulang dan kerja du Eiger" lanjutnya.
"Bawa pulang? Emang Aqia pergi kemana"? Tnya Bumi
cukup penasaran.

"Yang Surya ceritakan sih, mbok Aqia sudah delapan tahun


tidak pulang kerumah, Lombok" lanjut Shinta, menjawab
pertanyaan Bumi.

Delapan tahun berarti sejak saat itu, guman Bumi dalam


hati. Dan hanya meng iyakan jawaban Shinta, menutup
pembicaraan. Tidak lama beristirahat, mereka mulai
berusaha menyusul tim, berharap bisa sampai sebelum
senja.

Beberapa menit dari simpang pipa air, jalur mulai


menanjak parah, sangat memguras tenaga. Tapj setelah
itu, mereka sampai di tempat "air terjun musiman"
biasanya disebut seperti itu oleh para pendaki. Karena jika
beruntung, air terjun akan terlihat sangat indah, pelangi
terkadang muncul disela percikan airnya.

"Air terjun ini mengalir menuju mata air yang asa di bawah
tadi" jelas Engga. Mereka semua memutuskan untuk
makan siang disana, sekalian mengambil gambar dengan
view air terjun yang indah. Kali ini seluruh tim sudah
berkumpul, memutuskan untuk beristirahat bersama.

Cukup rasanya mengambil gambar dan beristirahat,


saatnya mereka melanjutkan perjalanan. Empat jam telah
berlalu, camping ground sebentar lagi akan terlihat,
setidaknya membutuhkan waktu satu sampai satu jam
setengah. "Semangat semua, sedikit lagi, kita harus bisa
menikmat sunset di camping ground!" teriak Engga,
menyemangati seluruh tim.

Tidak kalah semangat dengan Engga, Aqia sedari tadi


sudah siap memasang tas cariernya, siap menunggu
perintah jalan dari leader. Pendakian gunung bukan
tentang seberapa cepat mencapai puncak, atau seberapa
kuat fisikmu untuk bersaing dengan pendaki lain. Tapi
tentang seberapa kuat hati dan tekad untuk menaklukan
gunung, serta seberapa mengerti betapa berharganya
teman saat mendaki. Puncak hanyalah bonus, menikmati
perjalanan adalah yang pasti. Agung memang sudah sering
Aqia daki, tapi setiap kembali ke Agung, cerita yang
diberikan selalu berbeda.

"Ayo kawan semua, kita pasti bisa!" Sahut surya,


menyambung kalimat Engga barusan sambil mengangkat
tangganya yang memegang trekingpoll.

"Ayo mbok, sedikit lagi" kata Putu sambil menepuk pundak


Shinta, memyemangati. Karena diantara seluruh tim,
shinta memiliki fisik paling lemah, namun itu tidak
membuat tim terbebani, malah membuat tim sadar dan
mengerti menikmat jalur lebih penting dari puncak.

"Siap bli, pokoknya aku harus bisa menikmati sunset di


Agung, harus!!" Seru Shinta, menirukan gaya Surya.
Sesuai perkiraan, satu jam lebih sedikit, mereka sampai di
camping ground tepat pukul empat sore. Begitu sampai,
Engga, Putu, serta Surya sigap membangun tenda agar
lebih cepat istirahat dan tidak di tinggal senja. Tempat
membangun tenda menang tidak luas, munkin cukup
untuk lima sampai enam tenda saja. Untunya mereka
datang ketika pendakian sepi, jadi bisa leluasa memasang
tenda. Hanya dua tenda, tidak membutuhkan waktu lama,
sekarang mereka telah menggelar kursi dan meja
memghadap senja, sembari memasak makan malam untuk
dinikmati bersama.senja.

"Indah sekali ya tuhan, sangat indah" gumam Shinta,


kagum melihat senja.

"Tidakkah lelah dan letihmu hilang ta?, menikmati senja


seperti ini sangat membantu. Lelah dan letih di tubuhku
seketika hilang" sambung Aqia, mereka duduk berselahan
memandamg senja. Shinta mengangguk, setuju dengan
pernyataan Aqia.

"Tidak pernah bosan, dimanapun menyaksilannya senja


memang selalu indah" Saut Surya, bergabung dengan
Shinta dan Aqia, dan tidak lama Engga, putu serta bumi
ikut bergabung. Duduk berjejer, tidak banyak bicara, hanya
diam. Masing masing dari mereka menikmati senja,
tenggelam bersamanya.

Malam tiba, enegeri hari ini cukup terkuras. Sugesti dari


senja memang membuat tubuh terada segar kembali, tapi
itu hanya sugesti. Tubuh tidak bisa berbohong, mereka
butuh istirahat. Sebelum bersiap tidur, Bumi dan Shinta
mulai memasak untuk sarapan sebelum Summit. Makanan
tidak perlu berat, yang penting cukup nutrisi untuk mengisi
tenaga. Karena untuk summit kali ini akan menguras
tenaga lebih dari hari ini.

Aqia dan Shinta berada di satu tenda, dan sisanya Engga,


Bumi, dan putu berada di tenda yang satunya. Sebelum
tidur, Engga memberikan arahan selaku Leader "Kita akan
summit pukul dua pagi, sebagiknya begitu masuk tenda
kita semua langsung tidur, jangan terlalh banyak
berbincang. Karena besok kita akan menghadapai jalur dan
trek yang cukup sulit" jelas Engga.

"Terutama kamu Aqia, jangan bergadang" sambung Surya,


mengingatkan Aqia.

"Tenang saja, aku sudah membawa obat tidur" jawab Aqia


santai.

"Sepertinya sudah jelas semua, karena makanan untuk


sarapan sudah ada, besok setengah dua pagi akan aku
bangunkan." Pinta Engga, sekaligus kalimat terakhir,
penutup sebelum tidur. Semua tim masuk tenda,
menyiapkan tempat tidur, memasang sleeping bad dan
segera memejamkan mata. Berusaha untuk tidur.
~~

Sebelum matahari terbit, pagi buta, Engga membangunkan


tim, tepat pukul setengah dua pagi. Mereka bergegas
bangun, bersiap siap untuk summit. Setengah jam
dihabiskan untuk bersiap dan sarapan serta pemanasan,
agar badan dan mental siap.

Tepat pukul dua pagi, mereka memulai pendakian.


"Sebelum mulai summit pagi ini, marilah kita berdoa agar
semua kita dimudahkan" Engga memimpin doa, jangan
pernah lupa untuk berdoa apa lagi sedang didalam alam
seperti ini, pengangan mereka selain diri sendiri ya Tuhan.

"Perjalanan kita akan menghabiskan kurang lebih 5 jam


perjalanan, saya yakin dengan melihat fisik kalian kemarin,
kita bisa sampai dipunjak pukul 7 pagi" jelas Engga,
memberikan arahan kepada tim.

"Semangat semuanya, kita pasti bisa!" Seru Bumi,


berteriak. Membangun semangat tim

"Semangat!" Seru seluruh tim, mengalirkan semangat


Bumi.

Beberapa menit pertama mereka dihadapi oleh jalur yang


kurang lebih sama dengan jalur kemarin sebelum sampai
campingground, hari masih gelap, senter sudah tertempel
pada kepala mereka masing masing. Dingin menusuk
tulang, kabut menyelimuti mereka, jaket gunung yang
mereka kenakan masih bisa ditembus dingin. Tapi dengan
terus berjalan, suhu tubuh dapat bertambah, mengurangi
dingin.

"Sebelum matahari terbit kita harus bisa setengah jalan,


karena lebih susah jalan sewaktu panas terik dari pada
sewaktu dingin" ucap Engga, berusaha membuat tim tetap
berjalan

"Sepertinya kita akan terlambat datang tapi itu bukan


masala" lanjut putu.
"Tidak perlu terburu buru, kameramen sepertinya dua kali
lebih lelah dari kita" sela Bumi sembari menyenggol Putu
dan Surya yang sibuk dengan kamera. Sedari kemarin
merekalah yang paling bekerja keras dari seluruh tim.
Mereka bolah balik mencari angel kamera, bolak balik
merekam semua kejadian yang harus direkam. Mengingat
pendakian kali ini adalah sebuah misi, sebuah eskpedisi
yang harus diselesaikan.

Matahari mulai terbit, Aqia memberhentikan langkahnya,


menghadap belakang.
"Liahtlah bli, sunrise!" Seru Aqia dengan semangat sambil
menunjuk sang mentari pagi yang baru saja menampakan
sosoknya ke dunia.

"Waaaw, indah. Berhenti semuanya" Perintah Engga.


Seluruh tim berhenti sejenak. Berbalik dan memandang
sang mentari. Lengang sejenak, tidak ada satu patah kata
pun, senyap, mereka semua tenggelam dalam mentari.
Putu dan Surya sigap menyalakan kamera, mengabadikan
momen langka yang tidak semua manusia dapat
menyaksikannya.

"Mari kita beristirahat disini, kalian harus mengambil


gambar, jangan sampai tidak" seru Putu.

"Aku akuu!" Shinta melangkah maju kede0an dan mulai


berpose. Surya dan Putu sebagai kameramen sibuk
bergantian memfoto teman temannya. Tidak ada salahnya
berhenti sejenak untuk mengabadikan momen, tidak ada
salahnya berhenti sejenak untuk mengambil nafas dan
memulihkan stamina, puncak Agung tidak akan pernah
hilang, puncak Agung selalu menunggu untuk didatangi.

Setengah jam berlalu, Engga memerintahkan tim untuk


bersiap siap untuk melanjutkan perjalanan sudah 4 jam
sejak mereka mulai summit. Tenaga sudah mulai terkuras
habis, matahari mulai memancarkan panasnya. Jalur mulai
bercanda, bebatuan mendominasi jalur, sesekali batu krikil
berjatuhan mengenai mereka. Debu dari pasir mulai
menganggu pernafasan.

"Ini serius masih jauh bli?" Tanya sinta dengan pasrah,


tubuhnya mulai memberi isyarat untuk menyerah. Air yang
dibawa Shinta hampir habis.
"Sebentar lagi, kira kira dua jam lagi kita sampai" jelas Putu
sembari menambahkan stok air milik Shinta.

"Kita sudah tertinggal jauh dengan yang lain, rasanya ingin


putar balik saja" keluh Shinta, hampir menyerah.

"Sebentar lagi, di balik batu itu, sepertinya kita di tunggu di


sana, karena disana harus menggunakan waebing, mereka
tidak bisa meninggalkan kita" terang Putu.

Hampir sepuluh menit Shinta duduk dibawah terik


matahari yang mulai tinggi. Shinta bangkit setelah merasa
lebih baik. Putu yang menemani Shinta memberi
semangat, mendorong punggung shinta agar langkahnya
lebih ringan.

Sementara di depan sana, entah karena apa. Aqia berjalan


didepan Bumi. Entah bagaimana Aqia tertinggal, Surya dan
Engga jauh didepan.

"Bagaimana Qia, masih suka Agung? Tanya Bumi.

"Lelahnya ini yang buat aku suka Agung, makin sulit


diberikan jalur, makin suka" jawab Aqia, tangannya
merampas air yang di pengang Bumi, air miliknya masih
banyak, tapi rumput tetangga selalu lebih hijau.

"Airmu terlihat lebih segar" ungkap Aqia setelah meneguk


air milik bumi.
"Sama saja Qia, miliku atau milikmu sama sama air " ketus
Bumi dengan nada bercanda, seolah tidak terima airnya di
rampas Aqia.

Seiring berjalannya waktu, Aqia dan Bumi mulai banyak


berinteraksi, rasa canggung yang menyelimuti mereka
mulai memudar. Seperti halnya teman lama yang pernah
dekat, candaan mereka selalu satu arah, baik Aqia maupun
Bumi saling menikmati obrolan, perjalann yang
melelahkan ini terasa lebih ringan dengan candaan
mereka.

Mereka semua berkumpul sebelum melewati jurang


dengan waebing. Engga dan Bumi membantu satu persatu
dari mereka untuk lewat. "Ternyata ini tebing yang dari
tadi kita lihat, sedikit seram" ucap Aqia begitu melihat
tebing yang akan mereka lewat. Shinta yang pertama,
karena biar dia bisa istirhatat menunggu yang lain nanti di
atas. Disambung dengan Aqia, lalu putu dan Surya.

"Sekarang jalan denganku saja"ucap Surya setelah


melewati waebing.
"Kamu yang meninggalkan aku Surya" jawab Aqia dengan
nada kesal.
"Aku bukannya mau meninggalkanmu, tapi raut wajahmu
terlihat jelas kamu mengusirku, menyuruhku pergi jauh
jauh" ungkap Surya lebih kesal lagi.
"Tau dari mana Suryaa?"
"Aku sudah mengenalmu dari masih kecil ya, penilaianku
tentangmu tidak pernah salah" tegas Surya.
"Baiklah, aku yang salah, maaf" tutur Aqia, segera
menyelesaiakn perdebatan.

Surya sangat ingin Aqia dan Bumi berteman lagi, berdamai.


Tapi Surya kenal betul Aqia, ia segampang membolak
balikkan telapak tangan untuk luluh dengan Bumi. Surya
sangat tau perjuangan dan sakitnya Aqia selama ini, jahat
jika ia tidak membantunya untuk tidak jatuh kelubang yang
sama.

Tidak berlama lama setelah melewati tebing, mereka


semua bergegas melanjutkan perjalanan, puncak tinggal
sebentar lagi.
"Lihat mbok, itu puncaknya" Seru Putu memberitahu
Shinta agar bisa lebih semangat
"Itu terlihat masih sangat jauh" gumam shinta sambil
mengeluh.
"Tidak jauh, hanya tiga puluh menit lagi" lanjut Putu, tidak
menyerah menyemangati temannya.

Sepuluh menit berjalan, tim terpisah lagi. Surya menemani


Aqia dibalakangnya bersama Engga, seperti yang dia
minta. Sementara Bumi bersama Putu dan Shinta berada
di barisan paling belakang. Surya mendorong punggung
Aqia, membantu agar langkahnya lebih ringan.
"Beban hidupmu menang sudah cukup berat, doronganmu
sangat membantu" ucap Aqia
"Biar cepat sampai puncak" sambung Surya
"Iya terima kasih Suryaa!" Ucap Aqia dengan
membukkukkan badan, sarkas.

Pukul tujuh pagi, setelah berjalan lima jam lamanya, Aqia


yang pertama sampai puncak, berdiri tegak menganggkat
tangannya. Disusul Surya dibelakangnya. Air mata tidak
bisa di tahan, rasa rindu yang sudah tumpah bersama air
mata. Aqia menangis, berbalik lalu memeluk Surya.
Perasaan ini sungguh bagian paling Aqia sukai dari
mendaki, yaitu menyentuh puncak.

"Akhirnya surya, akhirnyaa puncak Agung lagi" isak tangis


Aqia dipelukan Surya.

"Kamu hebat Qia, kamu sangat hebat, aku bangga


padamu" ucap Surya sembari merangkul Aqia.

Disusul Engga dan yang lainnya, semua dari mereka


akhirnya sampai puncak. Shinta yang limat menit sebelum
puncak sudah terharu dan mulai meneteskan air mata
tidak percaya, kali pertamanya mendaki Agung, kali
pertamanya menginjakkan kaki di puncak Agung. Aqia
menyambut Shinta, memeluknya lalu memberinya
selamat. Mereka semua berjejer saling merangkul, terharu
karena sudah sampai puncak. Puncak memang bonus dari
pendakian, setiap kali mendapatkanya apa lagi dengan
pemandangan lautan awan yang indah, disebrang terlihat
puncak gunung Rinjani beridiri kokoh, dan di lain sisinya
terlihat puncak gunung Batur, tetangga dari Gunung
Agung. Surya dengan sigap menerbangkan Drone,
mengelilingi puncak Agung dengan pemandangan seluruh
tim yang sedang merangkul satu sama lain.

~~

Setengah jam berada dipuncak yang dingin dan panas.


Mereka semua ingin berlama lama, akan tetapi tubuh
berkata lain. Berkemas setelah menyantap bekal dan puas
mengambil gambar. Mereka semua mulai bergegas turun.
Tenda dan barang ditinggalkan ditempat camp, semoga
tidak di acak acak monyet. Waktu turun memang tidak
sebanding dengan naiknya. Hanya butuh dua jam saja,
panas menyengat kulit, dipadukan dengan rasa dingin.
Cuaca yang lumrah ditemukan pada setiap gunung.

Mereka turun bersama sama, tidak ada yang terpisah lagi.


Engga memimpin, dan Bumi berada dipaling belakang
barisan. Semenjak dari tebing tadi Surya selalu dibelakang
Aqia, tidak mau bertukar posisi dengan Bumi. Untungnya
ia berperan sebagai kameramen, jadi ia memiliki alasan
kuat untuk tetap di barisan depan.

Tidak banyak istirahat ketika turun, karena yang mereka


dambakan hanya jstirahat didalam tenda, memasak dan
makan. Tidak ada wakfu untuk istirahat di tengah tebing
yang panas.
Sampai di tenda, mereka semua duduk meluruskan kaki
agar tidan keram. Melepas sepatu dan kaos kaki. Sembari
melepas lelah, Shinta dan Bumi mulai memasak, dibantu
dengan yang lain. Aqia dan yang lain hanya bisa membantu
mengupas, dan mekotong. Sisanya Shinta dan Bumi yang
kerjakan. Sementara menunggu makanan, agar tidak
membuang buang waktu. Aqia mulai packing, sekalian
memakcing barang milik Shinta. Begitu juga dengan Surya,
Putu , dan Engga. Memacking tas cerier dan mulau
membongkat tenda. Mereka akan langsung turun
kebahwah kaki gunung dan langsung pulang ke basecamp.

Setelah selesai makan dan packing, mereka mulai


perjalanan menuruni gunung. Perjalanan pulang memang
selalu terasa singkat. Bagian dari pendakian yang sangat
Aqia benci, pulang. Rasanga hampa, tidak semangat lagi.
Kalau di gunung Aqia ingin berlama lama, dua hari sangat
tidak cukup. Tapi Aqia harus profesional, ini bukan hanya
tentangnya.

"Mbok tumben dibelakang? Ada yang sakit?" Tanya Putu


yang bersama Aqia berada di barisan paling belakang.

"Tidak ada Bli, Kalau turun, aku lebih sukaa berlama lama,
tidak rela rasanya meninggalkan gunung" jawab Aqia.

"Kebiasaanmu belum berubah, masih sama saja" saut


Bumi yang sedari tadi mengikuti Aqia dari belakang.

"Memangnya apa yang harus berubah? Aqia tetaplah


Aqia" ketus Surya mendahului Aqia menjawab.
"Iya bang, tidak perlu marah marah" balas Bumi tidak
kalah ketusnya.

"Memangnya mbok Aqia biasanya berubah jadi apa?


Wonder women?" Sela Putu berusaha mencairkan suasana

"Dia lebih dari strong women apa lagi wonder women"


jawab Surya merangkul pundak Aqia.

Surya selalu berusaha agar Bumi dan Aqia tidak


berinteraksi, memang dirinya sangat tidak berhak untuk
hubungan mereka, tapi mengingat bagaimana Bumi
memperlakukan Aqia dulu, rasanya tidak adil sekali Bumi
sekarang bersikap seolah tidak pernah terjadi apa apa dan
tidak merasa bersalah sedikitpun.

Sementara Shinta dan Engga sudah jauh di depan, Shinta


buru buru turun, katanya ingin mandi dan istirahat, tidak
betah ada digunung. Shinta memang baru suka naik
gunung ketika bekerja di Eiger, walaupun baru memulai
shinta sudah mendaki banyak gunung. Semua gunung yang
ada di Lombok sudah ia daki dan beberapa gunung
populer di pulau jawa, seperti Merbabu, Prau dan
Mahameru.

Hanya butuh waktu tiga jam untuk menuruni Agung,


sementara Shinta dan Engga sudah setengah jam
menunggu di gerbang pendakian.
"Aqia kamu lama sekali" teriak Shinta menyambut
kesatangan Aqia.

"Kamu yang terlalu cepat Ta, perjalanan pulang itu harus


dinikmati" jawab Aqia yang baru sampai, lelah.

"Kalian istirahat saja dulu, jemputan kita masih


diperjalanan" ucap Engga begitu Aqia dan yang lain
sampai.

Setengah jam menunggu, mereka sempat membersihkan


kaki dan tangan, serta membasuh muka. Mobil Jip milik
engga datang dengan gagah, suara klaksonnya terdengar
dari jarak 500 m.
"Maaf Bli, aku terlambat" ucap sepupu Engga begitu turun
dari mobil
"Tidak apa, kami bisa bersih bersih selagi menunggumu"
jawab Surya.
Barang-barang dengan sigap sepupu Engga masukkan
kedalam mobil, setelah semua sudah berkumpul dam
ceckout, mereka bergegas berangkat pulang ke basecamp
Eiger.

Anda mungkin juga menyukai