Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filosofi Pendidikan Program Studi PPG
Prajabatan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu :
Dr. Eneng Martini, M.Pd.
Disusun Oleh :
1. Aisyah Nur Rohman
2. Alifiya Salsabila
3. Hilda Cahayati Dewi
4. Muhammad Fahrul Al Gani
5. Sri Nurdiani
6. Zahra Ihsani Izzatunnisa
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolonganNya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehinggan penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai pemenuhan tugas dari mata kuliah Filosofi
Pendidikan dengan judul “Analisis Tantangan Pedagogis dan Pendidikan yang
Membelenggu sebagai Ikhtiar Perwujudan Kermedekaan Peserta Didik”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan tugas mata kuliah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
berdasarkan hasil laporan dari PISA (The Program for International Student Assesment)
dan TIMSS (International Mathematics and Science Survey) menunjukkan bahwa
Indonesia menempati peringkat 10 dari bawah (Kompasiana, 2022). Hal tersebut
menunjukan bahwa di Indonesia praktik pendidikan masih membelenggu peserta didik.
Maka dari itu perlu adanya perubahan agar peserta didik dapat terbebas dari belenggu.
Pada saat ini kebebasan pendidikan berfokus pada pembelajaran abad 21 dengan
pembelajaran yang berfokus pada peserta didik. Pada pendidikan abad 21 pendidikan
dikemas secara bebas dan Merdeka untuk menyesuaikan diri ditengah era globalisasi
yang ditandai dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Atmaranti,
2023). Oleh karena itu, dengan sendirinya pada abad 21 harus memiliki kualitas sumber
daya manusia yang unggul. Gaya pembelajaran yang diberikan pada abad 21 atau disebut
masa pengetahuan ini, harus disesuaikan dengan kebutuhan pada saat ini dan kedepannya.
Pada praktik pembelajaran abad 21, guru dan peserta didik secara bebas
menentukan model, media, maupun bahan ajar, merumuskan bersama tujuan
pembelajaran yang akan dicapai. Pendidikan yang memerdekakan dalam pelaksanannya
memang tidak ada pemaksaan, murid bebas memilih cara belajar atau teknik apa yang ia
mau. Akan tetapi guru perlu juga memberikan penguatan kepada murid bahwa kebebasan
yang dimaksud itu tetap ada proses yang baik sehingga output yang dihasilkan juga
maksimal (Satir, 2016).
Guru dan peserta didik tidak lagi hanya sekedar objek namun sebagai subjek ajar
sedangkan guru berperan sebagai fasilitator bagi peserta didiknya yang memiliki ragam
2
perbedaan. Pendidikan dapat dikemas untuk dijadikan tempat menemukan dan
mengembangkan potensi peserta didik (Satir, 2016). Dalam melepaskan pendidikan yang
membelenggu perlu adanya kerja sama antara guru dan peserta didik. Guru berperah
sebagai fasilitator bagi peserta didik untuk meningkatan potensi yang ada pada peserta
didik agar dapat berkembang dengan baik.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Praktik pendidikan saat ini yang ‘membelenggu’ kemerdekaan peserta didik
dalam belajar dengan melihat perjalanan pendidikan nasional sebelum
kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan
4
pendidikan model hirarki berakibat pada perkembangan dunia pendidikan yang
bukan merupakan tuntutan zaman tetapi lebih mementingkan kepentingan dari
pemerintah Hindia Belanda.
Pada hakikatnya pendidikan yang diterapkan di Indonesia pada masa kolonial
memiliki ciri-ciri pokok. Ciri ciri tersebut meliputi
5
semua sekolah belanda, membuat sekolah-sekolah baru dan merubah serta menetapkan
berbagai kebijakan dan peraturan. Selain itu, menghapuskan sistem kasta (golongan)
sehingga rakyat yang berada pada golongan bawah bisa bersekolah. Namun, pada
akhirnya perubahan dari sistem, kebijakan dan peraturan ini malah mempersulit rakyat
untuk bisa bersekolah. Tidak hanya rakyat pada guru yang terbiasa menggunakan sistem
pendidikan yang di buat Belanda dibuat bodoh oleh sistem yang baru dan tidak mereka
pahami. Selain itu, dampak yang amat terasa yaitu berkurangnya jumlah sekolah akbat
dari penutupan sekolah Belanda yang di lakukan jepang. (Ramadhani, 2021:21).
Dengan hal ini, dalam sejarah bangsa Indonesia masa pendudukan Jepang di
Indonesia merupakan salah satu periode paling singkat tetapi amat kelam salah satunya
dapat dilihat pada bidang pendidikan. Namun, di dalam benak rakyat Indonesia Jepang
merupakan pembebas dari belenggu penjajahan Belanda, pada awalnya. Kemudian dalam
pendidikan Indonesia penerapan slogan 3A (Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia,
Jepang Pemimpin Asia) merupakan propaganda Jepang sangat jelas. Tidak hanya itu,
bangsa Indonesia juga dibuat percaya oleh Jepang mengklaim diri sebagai “saudara tua”
bangsa Indonesia (Muhajir, et. al, 2021). (Rifa'i, 2019)
Namun, disamping itu Jepang juga memberikan dampak positif bagi pendidikan
Indonesia, seperti dengan melepaskan Indonesia dari belenggu kekuasaan Belanda,
Jepang telah merubah sistem dan kebijakan pendidikan Indonesia buatan Belanda yang
sangat tidak menguntungkan masyarakat golongan bawah. Selain itu, Jepang juga telah
membukakan mata dan memberikan dorongan (dengan kekejamannya) bagi masyarakat
Indonesia untuk terus berjuang dan berambisi agar dapat merdeka seutuhnya.
3) Pergerakan dan perjuangan kalangan intelektual dalam bidang pendidikan pada
masa penjajahan:
a) Lahirnya Budi Utomo (20 Mei 1908)
Perkumpulan ini meminta kepada pemerintah kolonial agar dapat
memperbanyak berdirinya sekolah-sekolah untuk kalangan anak-anak
bumiputera. Isi pendidikannya disesuaikan dengan kebudayaan bangsa Indonesia
b) Gerakan Muhamadiyah (18 November 1912)
Tujuannya adalah untuk menyiapkan kader-kader yang berilmu pengetahuan
dan taat kepada agama islam
6
c) Sekolah Khusus Perempuan yang diprakarsai oleh R.A Kartini (1903)
d) Sakola Istri atau sekolah untuk para istri yang diprakarsai oleh Dewi Sartika
(1904)
e) Sekolah Gadis yang diprakarsai oleh Rohana Kudus (1905)
f) Taman Siswa (3 Juli 1992)
Taman siswa lahir sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan kolonial yang
berat sebelah. Janji pendidikan untuk rakyat bumiputera masih merupakan
janji kosong saja. Disamping itu Ki Hajar Dewantara mendirikan taman siswa
berpendapat bahwa rakyat Indonesia harus menggalang persatuan dan jiwa
“suatu bangsa” atau berjiwa nasionalisme. Hanya dengan inilah cita-cita
kemerdekaan akan tercapai, yang ditempuh melalui pendidikan.
g) INS atau Indonesiach Nederlandsche School (31 Oktober 1926) yang diprakarsai
oleh Mohamad Syafei (Rifa’I, 2019:99)
B. Perjalanan Pendidikan Nasional sesudah Kemerdekaan
Kurikulum menjadi bagian terpenting pendidikan. Searah dengan
kemajuan pendidikan yang terus meningkat pada semua jenis dan jenjang
pendidikan di Indonesia. Secara resmi, kurikulum sejak zaman Belanda sudah
diterapkan di sekolah, artinya kurikulum sudah diterapkan sejak saat penjajahan
Belanda. Kurikulum adalah alat yang digunakan untuk menggapai tujuan
pendidikan dan sebagai rujukan didalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum
menunjukkan dasar atau pandangan hidup suatu bangsa. Bentuk kehidupan yang
akan digunakan oleh bangsa tersebut akan ditentukan oleh kurikulum yang
digunakan di negara tersebut.
Kurikulum di Indonesia setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 telah
mengalami 10 kali perubahan diantaranya adalah pada tahun 1947, 1952, 1964,
1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013 dan kurikulum merdeka.
a. Masa Orde Lama (1945 – 1965)
1) Kurikulum 1947, “Rentjana Pelajaran 1947”
Kurikulum 1947 bersifat politisi adalah satu ciri kurikulum 1947 karena
dari awalnya berkiblat pendidikan belanda yang durubah untuk kepentingan
nasional. Sekolah-sekolah dibangun dengan membedakan layanan pendidikan
7
bagi anak-anak Belanda, anak-anak timur asing dan anak pribumi. Golongan
pribumi dibagi menjadi golongan strata sosial bawah dan priyai. Pelaksanaan
kurikulum 1947 tidak menekankan pada aspek kognitif namun hanya
mengutamakan pendidikan karakter seperti membangun rasa nasionalisme.
Aspek selanjutnya yang menjadi tujuan utama dalam kurikulum Rentjana
pelajaran 1947. Struktur program dalam Rentjana pelajaran 1947 dibagi
menjadi dua bagian, yaitu struktur program menggunakan bahasa daerah dan
bahasa Indonesia. Adapun struktur mata pelajaran pada kurikulum Rentjana
pelajaran 1947 bersifat terpisah-pisah atau dalam konteks kurikulum disebut
dengan separated curriculum
2) Kurikulum 1952 “Rentjana Pelajaran Terurai 1952”
Kurikulum ini lebih memerinci setiap mata pelajaran yang kemudian di beri
nama “Rentjana Pelajaran Terurai 1952” dan belum menggunakan istilah
kurikulum. Kerangka kurikulum 1952 reatif sama dengan kurikulum 1947.
Namun demikian, sistem pendidikan nasional sudah menjadi tujuan kurikulum
ini. UU No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah mempengaruhi munculnya kurikulum 1950 ini.
3) Kurikulum 1964 Rentjana Pendidikan 1964
Kurikulum di Indonesia pada tahun 1964 mengalami penyempurnaan kembali.
Konsep pembelajaran aktif, kreatif dan produktif menjadi isu-isu yang
dikembangkan pada Rentjana Pendidikan 1964. Konsep tersebut mewajibkan
setiap sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan
pemecah masalah (problem solving) terhadap berbagai masalah yang ada.
b. Masa Orde Baru (1966-1998)
1) Kurikulum 1968
Sifat politis melekat erat pada awal munculnya kurikulum 1968, mengganti
kurikulum 1964 yang dicitrakan sebagai hasil dari pemerintahan “Orde Lama”.
Jika dilihat dari aspek tujuannya, upaya untuk meningkatkan rasa cinta tanah
air, kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan jasmani,
moral, budi pekerti dan keyakinan beragama lebih di tekankan pada kurikulum
1968. Perubahan dari panca wardana menjadi pembinaan jiwa pancasila terjadi
8
pada kurikulum 1968. UUD 1945 menjadi kiblat dalam penerapan kurikulum
ini secara murni dan konsekuen. Jumlah dari keseluruhan mata pelajaran pada
kurikulum 1968 berjumlah sembilan mata pelajaran. Pelajaran di kurikulum ini
bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan nyata yang terjadi di
lapangan
2) Kurikulum 1975
Pembangunan nasional melatarbelakangi kelahiran kurikulum 1975 akibat dari
banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi, terutama sejak tahun 1969.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi program maupun kebijakan
pemerintah yang mengakibatkan pembaharuan tersebut.15F Kurikulum 1975
merupakan kurikulum yang bersifat sentralistik atau dibuat oleh pemerintah
pusat dan sekolah-sekolah hanya menjalankan. Kurikulum 1975 berprinsip
tujuan dari pendidikan harus efektif dan efisien. Kurikulum 1975 banyak
mendapatkan kritik dari pelaksana di lapangan.
3) Kurikulum 1984 Kurikulum 1975 yang Disempurnakan
Kurikulum 1984 merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975 dan
mengunakan pendekatan proses. Dalam hal ini faktor tujuan tetap penting
meskipun sudah menggunakan pendekatan proses. Kurikulum ini juga sering
disebut "Kurikulum 1975 yang disempurnakan". Subjek belajarnya adalah
siswa. Model seperti ini yang dinamakan aktif learning karena siswa yang akan
selalu aktif dalam pembelajaran. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan. Namun banyak sekolah yang menerapkan
dengan baik dan alhasil siswa tidak melaksanakan pembelajaran dengan baik
dan hanya gaduh di kelas.
4) Kurikulum 1994 (Separate Subject Curriculum)
Kurikulum 1975 dan kurikulum 1984 dipadukan menjadi kurikulum 1994.
Kurikulum 1994 dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no.2 tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada kurikulum ini terjadi perubahan dari
sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang
pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi
kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
9
Tujuan pengajaran kurikulum ini yaitu lebih berorientasi pada materi pelajaran
dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. (Insani,
2019:46)
c. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Reformasi (1999-Sekarang)
1) Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)
Kurikulum ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
karena sekolah diberi kewenangan untuk menyusun silabus yang
dikehendaki sesuai dengan kebutuhan sekolah tersebut. Pendidikan berbasis
kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk
mengerjakan tugas –tugas sesuai dengan standar performansi yang telah
ditetapkan, sehingga hasilnya bisa dirasakan peserta didik, berupa penguasaan
terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diharapkan mampu untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan
minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dengan penuh tanggung
jawab.
2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum 2006
disusun untuk menjalankan amanah yang tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 24 tahun 2006 tentang
pelaksanaan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang
ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan pertimbangan dari
komite sekolah. Pemberlakuan kurikulum ini sepenuhnya diserahkan kepada
sekolah, yang artinya tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau
Dapartemen Pendidikan Nasional. Dalam kurikulum 2006 terdapat sejumlah
mata pelajaran serta ilmu pengetahuan yang harus ditempuh siswa untuk
mencapai suatu tingkat tertentu (naik kelas) atau untuk memperoleh ijazah.
10
3) Kurikulum 2013
Merupakan kurikulum yang berbasis karakter dengan tujuan untuk
meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang megarah pada budi
pekerti dan akhlak mulia peserta didik yang sesuai dengan Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) pada satuan pendidikan. Melalui kurikulum 2013 pemerintah
mengharapkan peserta didik mampu meningkatkan pengetahuan, menerapkan
nilai-nilai budi pekerti dan akhlak mulia sehingga dapat terwujud dalam
kehidupan sehari-hari. (Ananda, Hudaidah, 2021: 106)
4) Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka atau kurikulum 2022 merupakan perbaikan dari
kurikulum 2013. Kurikulum ini diresmikan oleh Kementrian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi Reublik Indonesia (Kemendikbud Ristek
RI). Tujuan kurikulum ini adalah mengoptimalkan tersebarluasnya pendidikan
di Indonesia dengan pembelajaran intrakulikuler yang beragam (Dikdasmen,
2022). Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) menekankan pada
pembelajaran yang nyaman, mandiri, aktif, memiliki karakter, bermakna,
merdeka dan lain-lain. Guru memiliki kebebasan dalam menentukan perangkat
ajar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan minat belajar peserta didik (Inn
(Atmaranti, 2023)ayati, 2022: 295)
Adapun karakteristik Kurikulum Merdeka,
a. mencetak Profil Pelajar Pancasila melalui pembelajaran berbasis proyek
untuk mengembangkan keterampilan dan karakter peserta didik
b. Memfokuskan pada materi pokok (esensial) sehingga materi dasar seperti
literassi dan numerasi mendapat kompetensi yang mendalam
c. Pembelajaran lebih fleksibel dengan pembelajaran terdeferensiasi sesuai
konteks dan muatan local serta sesuai dengan kemaampuan peserta didik
(Dikdasmen,2022)
C. Praktik Pendidikan yang Membelenggu Peserta Didik
Dewasa ini pendidikan tidak bebas, permasalahan pendidikan yang cukup
tajam adalah ketidakjelasan arah pendidikan yang diprogramkan secara nasional.
Hasil yang diharapkan bangsa belum jelas, pendidikan belum mampu
11
menghasilkan manusia yang seutuhnya. Hal ini tidak lepas dari proses pendidikan
yang diterimanya. Pendidikan harusnya bersifat dialogis, namun realitanya proses
pendidikan masih bersifat monologis. Akibatnya, potensi yang dimiliki peserta
didik tidak bisa tumbuh sebagaimana mestinya. Begitu banyaknya perubahan
kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah juga tidak serta merta menjadikan
praktik pendidikan dapat memerdekakan peserta didik dalam belajar terdapat
beberapa praktik yang dapat membelenggu kemerdekaan peserta didik.
diantaranya yaitu:
12
peserta didik. Peserta didik akan terbebani dengan sejumlah materi yang
harus dikuasainya.
3) Metode Pembelajaran yang Monoton
Metode pembelajaran yang dipakai oleh guru terkadang masih monoton,
turut menjadikan pendidikan yang tidak merdeka karena ini berarti tidak ada
perubahan dan inovasi, dengan kata lain metode ini dilakukan begitu saja tidak
ada perbedaan saat menyampaikan materi. Padahal, metode pembelajaran yang
digunakan sangatlah berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Pasalnya proses
pembelajaran adalah kegiatan yang bernilai edukatif, dimana terjadi interaksi
antara siswa dan guru. Metode pembelajaran yang monoton menjadikan peserta
didik sulit untuk mengembangkan apa yang diinginkannya, sehingga peserta didik
kesulitan untuk berkreasi terhadap pemikirannya. Peserta didik selama dalam
proses pembelajaran tentu tidak boleh mendapatkan suatu penekanan yang
menyebabkan anak didik segan untuk berkreasi, akan tetapi pendidik harus
senantiasa menciptakan suasana yang harmonis selama dalam proses pendidikan
dan pengajaran berlangsung melalui metode pembelajaran yang beragam yang
membuat nyaman peserta didik dalam belajar (Nurhuda, 2019:133).
2.2 Model-model pendidikan saat ini yang dapat melepaskan “belenggu” yang
belum memerdekakan peserta didik
1) Teladan
2) Pembiasaan
3) Pengajaran
4) Perintah, paksaan, dan hukum
5) Sikap utama
13
6) Pengamalan lahir dan batin
Pada pelaksanaan pendidikan yang memerdekakan peserta didik, maka guru perlu
mengenal karakteristik peserta didik, dalam proses pengenalan karakter peserta didik
maka guru perlu melakukan pendekatan terhadap peserta didik, penentuan model-
model pembelajaran yang harus disesuaikan dengan karakter peserta didik agar
terwujudnya kemerdekaan peserta didik. Model pembelajaran yang dapat digunakan
untuk terwujudnya kemerdakaan dalam pembelajaran yaitu Project Based Learning
dan Problem Based Learning.
14
b. Karakteristik Project Based Learning (PjBL)
Project Based Learning (PjBL) memiliki karakteristik, diantaranya:
a) Centrality atau terpusat, artinya metode ini berpusat pada peserta didik.
PjBL ini menuntut peserta didik untuk aktif saat kegiatan pembelajaran
berlangsung.
b) Driving Quastion atau memberikan pertanyaan, artinya guru memberikan
pertanyaan kepada peserta didik. Pertanyaan tersebut untuk dijawab oleh
peserta didik dengan melakukan tahapan ilmiah.
c) Constructive Investigation, artinya peserta didik melakukan investigasi
pada permasalahan yang diberikan oleh guru untuik dianalisis dan
kemudian mencari solusi untuk mengatasi suatu permasalahan tersebut.
d) Autonomy, artinya bahwa dalam model PjBL peserta didik memiliki hak
otonom yaitu melakukan apa saja untuk menjalankan proyek atau
permasalahan yang diberikan oleh guru. Guru hanya menjadi fasilitator
bila mana peserta didik memerlukan suatu bantuan.
e) Realisme, yaitu prpyek atau permasalah ini bersifat yang ada di dalam
kehidpan sehari-hati atau di dunia nyata (Daryanto dan Rahardjo, 2012).
B. Problem Based Learning (PBL)
15
a) Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kemampuan
memecahkan masalah dan mengembangkan keaktifan siswa serta
membangun pengetahuan peserta didik
b) Mengembangkan kemandirian belajar dan keterampilan sosial peserta
didik. Kemandirian dan keterampilan sosial peserta didik dapat terbentuk
ketika peserta didik berkolaborasi untuk mengidentifikasi masalah dan
menyelesaikan masalah.
c) Membangun dan mengembangkan tiga ranah pembelajaran yaitu, kognitif
(knowledges), psikomotorik (skill), dan afektif (attitudes) Sofyan et al.,
(2017, hal. 53).
16
2.3 Model pendidikan yang dapat melepaskan belenggu dan memerdekakan
peserta didik
17
atau memfasilitasi siswa dalam belajar dan guru juga harus bisa membangkitkan
semangat siswa dan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Ada empat aspek yang dapat guru kendalikan dalam pembelajaran berdiferensiasi
diantaranya adalah: produk, proses, konten, dan iklim atau lingkungan saat pembelajaran
di kelas (Syarif, 2020). Guru bisa mendesain pada keempat elemen tersebut untuk
dimasukkan ke pada pembelajaran kelas, karena Guru memiliki kemampuan dan
kesempatan dalam mengubah hal tersebut berdasarkan gaya belajar siswa (Fembriani,
2022).
18
Dalam melakukan pembelajaran berdiferesiasi dilakukan melalui model Project
Based Learning (PjBL) atau Problem Based Learning (PBL) karena sesuai dengan
kebutuhan dan minat siswa. Saat menggunakan Project Based Learning (PjBL) atau
Problem Based Learning (PBL) berfokus pada differsiansi produk yang dihasilkan siswa
disesuaikan dengan minat siswa. Model Project Based Learning (PjBL) menuntut peserta
didik dapat melakukan kreativitas, kemampuan berpikir kritis, eksplorasi, dan mendorong
peserta didik untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar (Martati, 2022). Problem
Based Learning mengenalkan siswa pada suatu kasus yang memiliki keterkaitan dengan
materi yang dibahas. Siswa kemudian akan diminta untuk mencari solusi untuk
menyelesaikan kasus/masalah tersebut.
Dalam memunjang model ini mengunakan 2 metode yaitu ceramah dan diskusi.
Metode ceramah adalah salah satu pendekatan pengajaran di mana guru memberikan
informasi, penjelasan, atau presentasi kepada siswa. Ceramah digunakan agar siswa
memiliki dasar pengetahuan kepada siswa. Metode Diskusi adalah salah satu metode
pembelajaran yang efektif dan berpusat pada interaksi antara peserta didik. Metode
diskusi dalam konteks pembelajaran memungkinkan para peserta didik untuk terlibat
secara aktif dalam pertukaran ide, pandangan, dan informasi. (Maurin, 2018).
19
BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
20
3.2 Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Atmaranti, R. (2023). Pembebasan Pendidikan yang Membelenggu pada Pendidikan
Abad 21. National Conference for Ummah (Ncu), 01, 212–216.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2023) Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Hamzah, M. R., Mujiwati, Y., Zuhriyah, F. A., & Suryanda, D. (2022). Kurikulum
Merdeka Belajar sebagai Wujud Pendidikan yang Memerdekakan Peserta Didik.
Arus Jurnal Pendidikan, 2(3), 221–226. https://doi.org/10.57250/ajup.v2i3.112
https://cendekia.soloclcs.org/index.php/cendekia/article/view/81
https://e-journal.hamzanwadi.ac.id/index.php/jhm/article/view/3410
https://e-jurnal.iainsorong.ac.id/index.php/Al-Riwayah/article/view/115
https://jurnal.uisu.ac.id/index.php/mkd/article/view/3665
https://kbbi.web.id/
https://stai-binamadani.e-journal.id/jurdir/article/view/406
https://www.ejournal.jendelaeduk asi.id/index.php/JJP/article/view/ 6
22
Innayati, U. (2022). Konsep dan Implementasi Kurikulum Merdeka pada Pembelajaran
Abad-21 di SD/MI. International Conference on Islamic Education.
https://proceeding.iainkudus.ac.id/index.php/ICIE/article/view/241
Maurin. (2018). Metode Ceramah Plus Diskusi dan Tugas Untuk Meningkatkan Aktivitas
Belajar Siswa. Al-Aulad: Journal of Islamic Primary Education, 1 (2), 2018, 65-76
Muhajir, & Gultom. (2021). Memori Sejarah dan Warisan Pendudukan Jepang di
Sumatera Timur Sebagai Potensi Wisata Sejarah.
23
Ramadhani, S. (2021). Sejarah Perkembangan Pendidikan Indonesia Pada Masa
Penjajahan Jepang.
Rifa'i, M. (2019). Sejarah Pendidikan Nassional dari Masa Klasik Hingga Modern.
Yogyakarta: Ae-Ruzz
Sardiman, (2010). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Setiawan, A. N., & Maunah, B. (2023). Dasar-Dasar History Sistem Pendidikan Nasional.
Cendekia.
Sofyan, H., Wagiran, Komariah, K., & Triwiyono, E. (2017). Problem Based Learning
dalam Kurikulum 2013. In Uny Press, Yogyakarta (Vol. 4, Nomor 1).
https://news.ge/anakliis-porti-aris-qveynis-momava
Susanty, S. (2020). Inovasi Pembelajaran Daring Dalam Merdeka Belajar. Jurnal Ilmiah
Hospitality, 9(2), 157–166. https://doi.org/10.47492/jih.v9i2.2 89
Syarif, M. I. (2020). Disrupsi Pendidikan IPA Sekolah Dasar dalam Menyikapi Merdeka
Belajar dan Kampus Merdeka Menuju New Normal Pasca COVID-19. Jurnal
Basicedu, 4(4), 927–937. https://doi.org/10.31004/basicedu .v4i4.487
Wahyuningsari, D., Mujiwati, Y., Hilmiyah, L., Kusumawardani, F., & Sari, I. P. (2021).
Pembelajaran Berdiferensiasi Dalam Rangka Mewujudkan Merdeka Belajar. Jurnal
Jendela Pendidikan, 2(4), 529–535.
24