Berduka
atau bersedih dapat disebabkan karena kehilangan seseorang, perubahan situasi, hubungan,
bahkan bisa karena penyalahgunaan zat. Anak-anak bisa bersedih karena perceraian kedua
orangtuanya. Seorang istri bisa berduka karena kematian suaminya. Remaja bisa bersedih karena
putus hubungan dengan kekasihnya. Atau bahkan kita bisa saja berduka setelah mendengarkan
kabar bahwa kita menderita penyakit terminal dan sedang menunggu waktu saja hingga
meninggal. Perasaan berduka ini merupakan hal yang wajar. Merasa sedih hingga marah karena
kehilangan seseorang, atau terjadi situasi yang tidak kita harapkan seringkali membuat kita
merasa tidak mampu melanjutkan hidup. Oleh karena itu, perasaan berduka walaupun
merupakan fenomena humanis yang umum, tetap harus dipahami dan diperhatikan sebagai
Secara umum, seseorang yang berduka bisa menunjukkan gejala baik secara fisik, sosial hingga
spiritual. Seperti menangis, sulit tidur, sakit kepala, nyeri di sekujur tubuh, kehilangan nafsu
makan menjauhkan diri dari teman dan keluarga, khawatir/cemas, frustasi, menyesal, marah,
stress, hingga perilaku tidak normal. Seseorang juga dapat menunjukkan gejala spiritual seperti
Seorang psikiatris asal Swiss, Kubler-Ross mengemukakan 5 fase berduka yang bisa terjadi pada
1. Denial (Penolakan)
Penolakan merupakan fase awal kita untuk bertahan ketika dihadapkan oleh kehilangan. Bisa
jadi kita merasa bahwa hidup tidak masuk akal, atau tidak ada artinya. Kita mulai menolak kabar
yang kita dengar hingga di titik kita merasa lumpuh tidak ingin berpikir apa-apa. Secara umum
pada fase ini kita menjadi bertanya-tanya bagaimana hidup kita kelak akan berjalan jika situasi
berbeda terjadi. Kita tidak siap ketika tahu bahwa hidup yang kemarin kita lalui dengan baik bisa
Sebagai contoh, Jika kita didiagnosis dengan penyakit mematikan, kita percaya bahwa berita itu
tidak benar, menganggap bahwa bisa jadi terjadi kekeliruan pada hasil pemeriksaan diagnostik,
dan bahkan menuduh tertukar dengan sampel orang lain. Contoh lain ketika mendengar kabar
kematian orang yang kita sayangi, kita bisa saja mempercayai pada harapan palsu bahwa sosok
yang meninggal itu bukan orang yang kita kenal, atau menganggap bahwa ia hanya tidur dan
Pada fase penolakan, kita tidak lagi hidup di realita yang sesungguhnya, melainkan pada realita
yang kita harapkan. Menariknya, justru pada fase penolakan ini bisa membantu kita untuk
bertahan melawan rasa sedih dan kehilangan. Daripada merasakan luapan emosi karena
kehilangan, kita justru menolaknya, tidak menerima hal tersebut hingga secara tidak sadar
penolakan tersebut dapat menurunkan intensitas perasaan sedih yang melanda. Hal ini bisa
disebut sebagai mekanisme pelindungan diri. Oleh karena itu, jika mendapati seseorang
mengungkapkan penolakannya akan stuasi kehilangan, cukup kita dengarkan dan biarkan ia
mengungkap perasaannya hingga penolakan dan keterkejutan yang ia rasakan memudar. Pada
titik ini, apabila ia dapat melaluinya maka proses penyembuhan bisa dimulai.
2. Anger (Marah)
Ketika kita sudah mulai hidup di realita yang sesungguhnya, kita mungkin akan mulai merasakan
marah. Pada fase ini kita akan bertanya-tanya, ‘kenapa saya?’, ‘ hidup tidak adil!’. Kemudian
kita mulai menyalahkan orang sekitar sebagai penyebab kita kehilangan, atau bahkan kita
melampiaskan marah kita ke keluarga atau teman terdekat karena kita percaya bahwa kejadian
tersebut tidak mungkin terjadi pada kita. Para profesional kesehatan jiwa mengatakan bahwa fase
ini merupakan fase yang sangat penting dalam tahap berduka. Melampiaskan perasaan marah
merupakan respon yang normal. Kita semua setuju bahwa memendam perasaan marah sangatlah
tidak sehat. Semakin kita merasakan marah, maka semakin cepat perasaan marah itu akan hilang
yang dsusul akan semakin cepat juga kita mulai dapat menerima. Pada fase ini, orang yang
berduka beresiko melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain, oleh
karena itu pertimbangkan untuk menjauhkan barang-barang yang berpotensi membahayakan dari
Pernahkan kita melakukan penawaran dengan tuhan ketika sesuatu buruk terjadi? Sebagai
contoh, ‘Tuhan, apabila penyakit ini Engkau sembuhkan, saya berjanji akan menjadi anak yang
baik dan berbakti pada orang tua.’ Ini adalah fase penawaran, yaitu ketika kita percaya pada
harapan palsu, berusaha melakukan negoisasi agar hal yang buruk tersebut benar-benar tidak
terjadi. Kita dengan sangat putus asa berharap agar semua kembali normal meskipun harus
melakukan perubahan besar dalam hidup. Pada fase ini, pikiran-pikiran kita akan dipenuhi oleh
berbagai alternatif ‘bagaimana jika’ terhadap situasi yang terjadi saat ini. ‘bagaimana jika saya
melarangnya pergi malam-malam, kalau begitu ia tidak akan kecelakaan’, atau ‘bagaimana jika
saya tidak ikut percaya dengan kata-kata penipu itu, maka saya tidak akan kehilangan uang 1
4. Depression (Depresi)
Depresi seringkali diartikan sebagai kesedihan. Padahal depresi dan kesedihan merupakan hal
yang berbeda. Pada fase depresi, seseorang tidak hanya merasa sedih, tapi juga merasa buntu,
tidak mau beraktivitas serta tidak berdaya dalam hidup. Ia merasa bahwa tidak ada gunanya ia
melanjutkan hidup yang tidak lagi sama setelah kehilangan. Pemikiran untuk bunuh diri perlu
diwaspadai pada fase ini, karena tidak sedikit pikiran mereka akan dipenuhi oleh keinginan
menyelesaikan hidup dengan jalan pintas. Oleh karena itu, sebagai pendamping sebaiknya kita
jauhkan seseorang yang sedang depresi dari benda-benda yang berpotensi membahayakan diri
5. Acceptance (Penerimaan)
Fase paling terakhir adalah fase penerimaan, dimana seseorang akan mulai menyadari realita
baru dan bersiap untuk melanjutkan hidup. Pada fase ini, penerimaan yang dimaksud bukanlah
tentang ‘iya benar istriku meninggal’, atau ‘ya sudah saya bentar lagi mati’ dan sebagainya. Tapi
lebih ke meyakini bahwa ia akan baik-baik saja dengan kenyataan ini. ‘saya akan melawan
penyakit ini sebaik mungkin, dan meninggal tanpa penyesalan’. Seseorang yang sudah
menerima, bisa jadi akan tetap teringat dan bersedih kembali, namun ia yakin bahwa dibalik hari
buruk pasti ada hari bahagia, sehingga tidak ada kesedihan yang berlarut-larut.
Dengan memahami 5 fase diatas diharapkan kita baik sebagai yang merasakan sendiri maupun
sebagai pendamping, akan lebih menghargai proses seseorang dalam berkabung, tidak
menghakimi serta tidak semena-mena. Kita akan lebih mengerti bahwa yang mereka rasakan itu
wajar dan valid, tidak berlebihan. Pada kasus yang berat, ketika seseorang itu tidak bisa beranjak
ke fase penerimaan dalam jangka waktu yang lama, maka kita bisa meminta bantuan profesional
seperti psikolog atau psikiater untuk dilakukan konseling, terutama apabila kita menemukan
gejala-gejala keinginan untuk bunuh diri hingga perubahan perilaku yang tidak seperti biasanya.
Terapi konseling, dukungan keluarga dan lingkungan akan menjadi kombinasi yang tepat untuk
membantu kita melalui kondisi ini dengan baik sehingga kita bisa melanjutkan hidup yang
berkualitas.
Referensi: https://www.psycom.net