PAPER
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling
Dosen Pengampu :
Mulawarman. S.Pd., M.Pd., Ph.D.
Eni Rindi Antika. M.Pd.
Disusun Oleh :
Amanda Ayuningtias 1301421026
Niswatul Birra 1301421028
Muhammad Akbar Hidayat 1301421058
Salma Nurul Baidho 1301421060
Rizky Dwi Andini 1301421086
Najwa Husniyatin Nadhiroh 1301421090
Tujuan Konseling
SFBC menawarkan beberapa bentuk tujuan:
- Mengubah cara pandang situasi atau kerangka pikir
- Mengubah situasi masalah dan menekankan pada kekuatan dan
sumber daya konseli
- Konseli didorong untuk terlibat dalam perubahan atau “ solution
talk”, dari pada “ problem talk” dengan asumsi bahwa apa yang
dibicarakan adalah sebagian besar apa yang akan dihasilkan
- Berbicara tentang perubahan dapat menghasilkan perubahan.
Secepat individu belajar untuk berbicara dalam istilah kemampuan
dan kompetensi mereka, apa sumber daya dan kekuatan yang
mereka miliki, dan apa yang siap mereka lakukan dan
mengerjakannya, mereka dapat mencapai hal utama dalam
konseling.
-
6. Peran dan Fungsi Konselor
Konseling singkat berfokus solusi ini menekankan bahwa klien memiliki
peran sepenuhnya dalam proses terapi, konseli adalah orang yang akan
menentukan arah dan tujuan percakapan. Pada bagian peran dan fungsi konselor
konseli, Corey menjelaskan bagaimana peran dan fungsi seorang konselor
terhadap konseli, yaitu sebagai berikut :
a. Terapis ahli digantikan oleh klien sebagai ahli, terutama ketika
menentukan apa yang diinginkan klien dalam hidup mereka.
b. Proses terapi melibatkan pemikiran klien tentang masa depan mereka dan
apa yang mereka inginkan berbeda dalam hidup mereka.
c. Terapis mengadopsi posisi tidak tahu untuk menempatkan klien dalam
posisi menjadi ahli tentang hidup mereka sendiri.
d. Terapis menciptakan iklim saling menghormati, dialog, mengungatkan
(affirmation) dimana klien mengalami kebebasan untuk membuat,
mengeksplorasi dan bersama menulis cerita-cerita mereka.
e. Terapis membantu untuk klien membayangkan bagaimana mereka ingin
hidup menjadi berbeda dan apa yang diperlukan untuk membuat
perubahan dalam hidup klien.
f. Terapis juga mengajukan pertanyaan sehingga menghasilkan jawaban
yang akan dikembangkan untuk pertanyaan selanjutnya.
Pandangan Corey pun kemudian diulas kembali oleh Shazer dan menyimpulkan
kembali dengan menggambarkan hubungan yang mungkin akan berkembangan antara
konselor dan klien, yaitu :
7. Hubungan Terapeutik
Seperti halnya pendekatan atau teori konseling yang lain, keberadaan
pendekatan SFBC juga didasarkan pada landasan-landasan filosofis tertentu yang
pada akhirnya menjadi paradigma dalam mengembangkan model dan teori SFBC
yang ada pada saat ini. Secara filosofis, pendekatan SFBC didasari oleh suatu
pandangan bahwa sejatinya kebenaran dan realitas bukanlah sesuatu yang bersifat
absolut namun realitas dan kebenaran itu dapat dikonstruksikan.
Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu
ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan kepada
suatu fenomena tertentu. Dengan demikian, realitas dan kebenaran yang kita
bangun (realitas yang kita konstruksikan) adalah hasil dari budaya dan bahasa
kita. Apa yang dikemukakan tersebut merupakan beberapa pandangan yang
dilontarkan oleh para penganut konstruktivisme sosial yang mengembangkan
paradigmanya berdasarkan pandangan filosofis postmodern. Dalam perspektif
terapeutik, konstruktivisme sosial merupakan sebuah perspektif terapeutik dengan
suatu pandangan postmodern yang menekankan pada realitas konseli tanpa
memperdebatkan apakah hal tersebut akurat atau rasional (Weishaar, 1993 dalam
Corey, 2013).
8. Tahap-tahap konseling
Tahapan pendekatan Solution-Focused Brief Counseling (SFBC) agar bisa
digunakan dengan maksimal. Tahapan tersebut menurut Seligman (dalam
Mulawarman, 2014:70) sebagai berikut :
1. Establishing Relationship (MembangunHubungan Baik).
membina hubungan baik antara konselor dengan konseli untuk
berkolaborasi, dengan menggunakan topik netral sehingga bisa
membangun kemungkinan-kemungkinan dan kekuatan konseli untuk
mebangun solusi.
2. Identifying a solvable complaint (Mengidentifikasi Permasalahan yang
Bisa Ditemukan Solusinya)
memberikan pertanyaan kepada konseli sehingga mengetahui
penyebab konsep diri akademiknya menjadi negatif, dan mengetahui latar
belakang konseli sehingga bisa memberikan kemungkinan- kemungkinan
yang bisa digunakan sebagai solusi untuk merubah konsep diri
akademiknya menjadi positif.
3. Establishing goals (Menetapkan Tujuan)
memberikan pertanyaan keajaiban kepada konseli seperti
“seandainya kamu memiliki nilai yang baik apa yang kamu rasakan ?”
sehingga untuk mengetahui tujuan konseli untuk meningkatkan konsep
diri akademiknya.
4. Designing and Implementing (Merancang dan Menetapkan Intervensi).
pada tahap ini konseli diberikan intervensi untuk meningkatkan
konsep diri akademiknya, seperti dengan pengecualian situasi apa yang
bisa membuat dia bisa menemukan solusi agar meningkatnya konsep diri
akademiknya dan dijadikan tugas untuk konseli.
5. Termination, Evaluation and Follow-up (Pengakhiran, Evaluasi, dan
Tindak Lanjut).
pada tahapan ini konselor memberikan pertanyaan berskala untuk
mengetahui peningkatan konsep diri akademik siswa pada saat sebelum
dan setelah konseling. Melakukan perjanjian konseling kembali jika tujuan
peningkatan konsep diri tersebut masih dirasa perlu.
9. Teknik-teknik spesifik konseling
A. Pertanyaan Pengecualian (Exception Question)
Dalam Mulawarman (2019) dijelaskan bahwa dalam pendekatan
SFBC terdapat suatu asumsi bahwa dalam kehidupan konseli ketika
permasalahan yang mereka alami tidak terus-menerus ada sepanjang
waktu, dimana saat yang demikian disebut pengecualian (exceptions).
Exceptions merupakan pengalaman-pengalaman di masa lalu dalam
kehidupan konseli, di mana saat-saat tersebut merupakan saat-saat yang
ketika muncul masalah, tapi karena sesuatu hal, permasalahan itu tidak
muncul (de Shazer, 1985 dalam Corey, 2016). Konselor SFBC
memberikan pertanyaan-pertanyaan pengecualian untuk mengarahkan
konseli pada saat di mana permasalahan tersebut tidak ada. Contoh dari
pertanyaan pengecualian seperti "kapan terakhir Anda merasakan
rileks/bahagia (dan seterusnya)?", "Adakah saat-saat dimana dirimu
merasakan sedikit berkurang atas permasalahan yang kamu alami?",
"Menurutmu apa yang telah kamu lakukan dalam rangka penyelesaian
masalah mu walaupun hanya menyelesaikan sedikit dari masalah yang
kamu hadapi?". Dengan pertanyaan- pertanyaan tersebut konseli diajak
untuk membangun kembali pandangannya dalam memecahkan suatu
masalah sekaligus konseli mencermati faktor-faktor yang penting
(terutama faktor yang bersifat internal/ dalam dirinya) di masa lampau, di
mana dirinya mampu menghadapi masalah yang dialaminya.
B. Pertanyaan Keajaiban (Miracle Question)
Pertanyaan mukjizat atau pertanyaan keajaiban adalah suatu
bentuk pertanyaan yang meminta individu untuk membayangkan atau
berimajinasi di masa depan ketika masalah yang mereka hadapi saatini
terpecahkan (Corey, 2016; Macdonald, 2007; Sklare, 2014 dalam
Mulawarman, 2019). Konseli diminta untuk membayangkan bahwa suatu
"keajaiban atau mukjizat" membuka suatu kesempatan untuk
kemungkinan-kemungkinan penyelesaian masalah di masa depan. Konseli
didorong untuk membiarkan dirinya sendiri bermimpi tentang suatu
cara/jalan untuk mengidentifikasi jenis-jenis perubahan yang paling
mereka inginkan. Pertanyaan ini memiliki fokus masa depan di mana
konseli dapat mulai untuk mempertimbangkan kehidupan yang berbeda
yang tidak didominasi atau berkutat pada masalah-masalah yang terjadi di
masa lalu maupun masalah yang terjadi saat ini, namun suatu kondisi yang
mengarah pada perbaikan hidup yang lebih baik di masa mendatang.
Konseli kemudian didorong untuk melakukan hal- hal yang berbeda yang
telah dipikirkan berdasarkan hasil imajinasinya atau merenungkan “apa
yang menjadi berbeda" sehingga kondisinya lebih baik di masa mendatang
meskipun permasalahannya masih dirasakan.
C. Pertanyaan Berskala (Scalling Question)
Pertanyaan berskala adalah pertanyaan yang dirancang untuk
memfasilitasi konseli dalam mengetahui seberapa besar perubahan atau
kemajuan yang telah dicapai dalam mencapai tujuan penyelesaian
masalahnya (Corey, 2016; Sklare, 2014 dalam Mulawarman, 2019).
Dengan pertanyaan berskala memungkinkan konseli untuk lebih
memperhatikan apa yang mereka telah lakukan dan bagaimana mereka
dapat mengambil langkah yang akan mengarahkan pada
perubahan-perubahan yang mereka inginkan. Konselor SFBC selalu
menggunakan scalling questions ketika perubahan dalam pengalaman
seseorang tidak dapat diamati dengan mudah, seperti perasaan, suasana ha
(mood), atau komunikasi.
D. Rumusan Tugas Sesi Pertama (Formula First Session Task)
FFST adalah suatu format tugas yang diberikan oleh konselor
kepada konseli untuk diselesaikan antara sesi pertama dan sesi kedua.
Konselor dapat berkata "di antara saat ini dan pertemuan kita selanjutnya,
saya berharap Anda dapat mengamati, sehingga Anda dapat menjelaskan
pada saya pada pertemuan yang akan datang, tentang apa yang terjadi pada
(keluarga, hidup, pernikahan, hubungan) Anda yang harapkan terus
terjadi” (de Shazer, 1985, hlm. 137 dalam Corey, 2016). Pada sesi kedua,
konseli dapat ditanya tentang apa yang telah mereka amati dan apa yang
mereka inginkan dapat terjadi di masa mendatang (Mulawarman, 2019).
E. Umpan Balik (Feedback)
Para praktisi SFBC pada umumnya mengambil waktu 5 sampai 10
menit pada akhir setiap sesi untuk menyusun suatu ringkasan pesan untuk
konseli. Selama waktu ini konselor memformulasikan umpan balik yang
akan diberikan pada konseli. Dalam pemberian umpan balik ini memiliki
tiga bagian dasar, yaitu sebagai pujian atau penghargaan (compliment),
jembatan penghubung dan pemberian tugas. Pujian merupakan suatu
pernyataan yang tulus (tidak dibuat- buat) tentang apa yang sudah
dilakukan oleh klien yang mengarah pada solusi-solusi yang efektif.
Kedua, suatu jembatan penghubung dari pujian awal pada tugas yang akan
diberikan. Jembatan ini berisi tentang dasar pemikiran pemberian tugas.
Ketiga, pemberian tugas pada klien, yang dapat dianggap sebagai
pekerjaan rumah (PR). Tugas yang dapat diamati (observasional)
mendorong klien untuk dengan mudah menaruh perhatian pada beberapa
aspek dari hidup mereka. Proses pemantauan diri (self-monitoring) ini
membantu klien untuk mencatat perbedaan-perbedaan ketika segala
sesuatu menjadi lebih baik, secara khusus perbedaan tentang cara mereka
berpikir, merasa, atau berperilaku (Mulawarman, 2019).
F. Presession Change Question (Pertanyaan Perubahan Pra-Pertemuan)
Pertanyaan perubahan pra-pertemuan dimaksudkan untuk
menemukan pengecualian/mengeksplorasi solusi yang telah diupayakan
konseli sebelum pertemuan konseling. Tujuannya menciptakan harapan
terhadap perubahan, menekankan peran aktif dan tanggung jawab konseli
dan menunjukkan bahwa perubahan bisa terjadi di luar ruang konseling
(Mulawarman, 2019).
10. Kesimpulan
Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling,
SFBC). Pendekatan ini dikembangkan oleh Steve de Shazer, Insoo Kim Berg, dan
tim mereka di Brief Family Therapy Center di Milwaukee, Amerika Serikat.
Pendekatan SFBC didasarkan pada keyakinan bahwa klien memiliki kekuatan
internal dan sumber daya yang dapat membantu mereka mengatasi masalah
mereka. Konselor SFBC bertujuan untuk membantu klien mengidentifikasi tujuan
mereka, membangun kekuatan mereka, dan mengembangkan strategi praktis
untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
SFBC dibangun atas dasar asumsi optimis bahwa setiap manusia adalah
sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan dalam mengkonstruk solusi yang
dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan optimal. Konseling singkat
berfokus solusi ini menekankan bahwa klien memiliki peran sepenuhnya dalam
proses terapi, konseli adalah orang yang akan menentukan arah dan tujuan
percakapan. Pada bagian peran dan fungsi konselor konseli. Terdapat beberapa
teknik teknik dalam SFBC seperti : Exception Question, Scalling Question,
Formula First Session Task, Miracle Question, Feedback, Pertanyaan Perubahan
Pra-Pertemuan
DAFTAR PUSTAKA