Anda di halaman 1dari 6

Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi Pada Anak-Anak

Umi Maslakhatun1

Guidance and Counseling, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia


Umi91@student.upi.edu

Abstract: SFBC adalah pendekatan yang relatif baru dalam dunia konseling. Diperkenalkan oleh
deShazer dan institusinya pada tahun 1980an, SFBC berbasis pada kekuatan klien dan berfokus pada solusi
daripada eksplorasi mendalam tentang sejarah masalah klien. Pendekatan ini telah bayak diaplikasikan di
berbagai seting dan terbukti telah diteliti untuk menangani masalah kesehatan mental keluarga, remaja dan
anak-anak. Konseling SFBC relevan untuk diterapkan pada anak-anak dengan kemampuan kognitif yang
memadai. Penerapan konseling pada anak-anak diintegrasikan dengan terapi bermain.

Key-words:.SFBC, terapi bermain, anak-anak

*Corresponding author
E-Mail: umi91@student.upi.edu

1. Pendahuluan:
Pendekatan konseling singkat berfokus solusi (SFBC) diperkenalkan oleh Steve
DeShazer pada tahun 1980an (Prout & Fedewa, 2001; DeShazer, 1985, 1988, 1991,
1994; DeShazer dkk.,1986), InsooKim Berg (Berg, 1994; Berg & DeJong, 1996; Berg &
Miller, 1992) dan rekan penelitiannya (e.g., Miller, Hubble, & Duncan, 1996; Walter &
Peller, 1992), di Pusat Terapi Keluarga Singkat (Brief Family Therapy Center) lebih dari
15 tahun (Franklin, dkk. 2001, 2008). Konseling SFBC merupakan pendekatan yang
relatif baru dalam dunia konseling (Brasher, 2009).
Konseling singkat berfokus solusi adalah pendekatan postmodern berbasis kekuatan yang
didasarkan pada keyakinan bahwa klien adalah individu yang memiliki kekuatan dan
kapasitas yang dapat diakses dan dikembangkan untuk membuat kehidupan lebih
memuaskan (Corcoran & Stephenson, 2000; Leggett, 2007; 2008). Klien juga diyakini
sebagai agen perubahan yang kompeten dan mandiri (Daki & Savage, 2010). Mereka
memiliki sumber daya dan keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan kesulitan.
Peran konselor adalah membangun hubungan kolaboratif dengan klien dan
mengartikulasikan keinginan mereka (Legget, 2009).
Sebagai terapi jangka pendek SFBC lebih menekankan solusi daripada eksplorasi
mendalam tentang asal usul masalah. Umumnya konseling berlangsung antara 4-6 sesi
(Jones, dkk, 2009; Lama & Yuen, 2008). Sejumlah penelitian mengakui keberhasilan
SFBC sebagai pendekatan yang tidak memakan waktu lama namun menghasilkan efek
yang signifikan. SFBC telah banyak diterapkan berbagai seting seperti sekolah, pusat
kesehatan mental, lembaga sosial, rumah sakit, dan perawatan di perumahan (Miller,
dkk, 1996; Stobie, Boyle & Woolfson, 2005).
SFBC telah diterapkan secara luas untuk menangani masalah pasangan dan keluarga
(Chung & Yang, 2004; Huang, Zimmerman, dkk., 1996; dan Keney, 2010), masalah
kesehatan mental orang dewasa (Knekt & Lindfors, 2004; Rhee, Merbaum, Strube &
Self 2005; Smock, dkk., 2008, dan Zhang, dkk., 2010), dan banyak diterapkan pada
anak-anak khususnya masalah akademik dan masalah perilaku (Daki & Savage, 2010;
Franklin, Moore & Hopson, 2008; Corcoran, 2006; Fearrington, McCallum & Skinner,
2011; dan Ciuffardi, Scavelli & Leonardi, 2013).
2. Kerangka Teoritik SFBC
Menurut teori SFBC manusia akan terus merasa buruk jika mereka tidak melakukan
perubahan perilaku ke arah yang positif dalam kehidupan mereka. Kunci untuk merasa
lebih baik adalah fokus pada “apa” yang dapat dilakukan. Teori SFBC meyakini bahwa
manusia dapat melakukan dengan baik di masa sekarang dan di masa yang akan datang.
Konselor pada konseling SFBC percaya bahwa manusia bisa saja terperosok ke dalam
masalah yang belum terselesaikan di masa lalu serta kegagalan yang menghambat masa
sekarang tetapi manusia dapat membuat perubahan yang lebih baik di masa depan. SFBC
mungkin merupakan satu-satunya konseling yang mengutamakan orientasi masa depan
daripada masa sekarang.
Teori SFBC melihat konseli sebagai manusia yang bebas membuat pilihan. Konseli
bukanlah korban keturunan dan lingkungannya. Konselor SFBC memiliki pandangan
positif terhadap klien seperti pandangan pengikut Rogerian. Manusia pada dasarnya
memiliki fitrah baik, memiliki kekuatan untuk mengatasi kejahatan dan dapat memilih
perilaku yang baik. Manusia juga pada dasarnya bersifat rasional. Manusia memiliki
kapasitas untuk memecahkan masalah mereka sendiri dan mengatasi pengaruh irrasional
dalam kebiasaan mereka.
Henderson dan Thompson (2010) menyatakan bahwa konselor SFBC bekerja
berdasarkan konsep-konsep tentang hakikat alami manusia bahwa:
1) Manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki fitrah kebaikan, mampu
berpikir rasional, mampu melakukan perubahan ke arah positif, dan bebas untuk
membuat pilihan. Namun, tanpa arah dari konselor timbul keinginan secara alami
untuk melakukan hal-hal negative dalam kehidupan mereka.
2) Konselor membawa klien fokus dari hal-hal yang negatif ke arah positif
3) Manusia memiliki kapasitas untuk bertindak berdasarkan akal sehat jika diberi
kesempatan untuk menggunakan akal sehatnya serta mengidentifikasi strategi
pemecahan masalah.
4) Manusia akan merespon konseling dengan lebih baik ketika mereka dapat
membuat perubahan positif dalam kehidupan mereka.
5) Manusia akan merespon lebih baik terhadap orientasi konseling saat ini dan di
masa depan.
Oleh karena itu, individu yang sehat menurut teori SFBC adalah individu yang
memandang dirinya memiliki kemampuan, kapasitas untuk membangun, merancang dan
menemukan solusi-solusi sehingga dapat menyelesaikan masalahnya. Sedangkan individu
yang bermasalah adalah individu yang mengonstruk kelemahan diri,  dengan cara
mengonstruk cerita yang diberi label “masalah” dan meyakini bahwa ketidakbahagiaan
berpangkal pada dirinya dan berkutat pada masalah dan merasa tidak mampu 
menggunakan solusi yang dibuatnya.
Tujuan utama pendakatan SFBT adalah; mengembangkan hubungan klaboratif dengan
klien, memformulasikan tujuan konkrit berdasarkan pada harapan klien terhadap
pelaksanaan konseling, dan membangun solusi melalui sumber daya dan kekuatan yang
dimiliki klien (Prout & Pedewa, 2015). Namun De Jong & Berg (2008) menyarankan
bahwa yang paling penting dari tujuan konseling adalah a) tujuan yang ditetapkan harus
penting bagi konseli; apa yang mereka inginkan, b) tujuan harus dinyatakan dalam pola
interaksi; konselor dapat menanyakan secara langsung kepada konseli dala proses
konseling, dan c) tujuan harus mencirikan situasi yang membuat konseli melihat
kemungkinan yang lebih; konseli akan membuat pilihan untuk membatasi apa yang
berbeda yang ingin mereka lakukan.
Konseling SFBC bekerja dalam model interaksi kolaboratif. Konselor tidak memandang
dirinya sebagai seorang yang ahli tetapi percaya bahwa klien lebih mengetahui tentang
kehidupannya. De Jong dan Berg (2008) menyarankan bahwa konselor sebaiknya
membangun keterampilan “tidak tahu” di mana keterampilan ini akan menggiring klien
untuk lebih tahu tentang kehidupan mereka. Konselor lebih menggunakan keterampilan
mendengarkan, meringkas, memperhatikan petunjuk kemungkinan. Tujuan utamanya
adalah untuk menciptakan percakapan yang memotivasi dan memobilisasi.
Konseling SFBC merupakan teknik yang sederhana untuk diterapkan dan dapat
digunakan oleh konsleor dengan level keahlian yang berbeda-beda untuk menghasilkan
kepuasan pada klien (Brasher, 2009). Birdsall & Miller (2002) menyatakan bahwa ada
lima pertanyaan yang dapat digunakan oleh konselor sebagai metode konseling SFBC
yaitu: (a) coping questions, (b) exeption-finding questions, (c) the miracle questions, (d)
scaling questions, and (e) task-development questions.

Coping Questions
Birdsall & Miller (2002) menggambarkan pertanyaan koping sebagai pertanyaan yang
membantu konseli fokus pada apa yang telah mereka lakukan untuk mengatasi masalah
mereka. Pertanyaan ini membantu konseli menempatkan perhatian pada pikiran konseli
yang semula penuh dengan rasa gagal menuju ke pikiran yang penuh positif. Contoh
kalimat pertanyaan koping “Ketika kamu memikirkan masa-masa sulit lainnya dalam
hidup, apa yang mebuat kamu bisa melaluinya?”, “menurut kamu bagaimana kamu bisa
melewati masa-masa sulit?”, “Dimana kamu menemukan kekuatan untuk terus
mencoba?”. Pertanyaan koping membantu menemukan dan membangun kemampuan
coping dan sumber daya konseli (Prout & Henderson, 2015).

Exeption-finding Questions
Konselor SFBC menanyakan pertanyaan-pertanyaan exception untuk mengarahkan
konseli pada waktu ketika masalah tersebut tidak ada. Exception merupakan pengalaman-
pengalaman masa lalu dalam hidup konseli ketika terbebas dari masalah. Pertanyaan
exception misalnya “Apakah kamu pernah mengalami sebuah permasalahan dan kamu
mampu mengatasinya?”, jika pertanyaan pengecualian ini teridentifikasi konselor
selanjutnya dapat mengajukan “apa, kapan dan dimana” Pertanyaan pengecualian
membantu konseli memperjelas perubahan, memiliki kekuatan dan kemampuan
menyelesakan masalah, memberikan bukti nyata penyelesaian dan membantu konseli
menemukan kekuatan dirinya yang terlupakan.

The Miracle Questions


Pertanyaan keajaiban mengarahkan konseli untuk berimajinasi apa yang akan terjadi jika
suatu masalah yang dihadapi secara ajaib terselesaikan. Teknik ini memperjelas tujuan
dan menyoroti masalah dengan merangsang konseli untuk mengimajinasikan suatu solusi
dan memberantas hambatan dalam penyelesaian masalah serta membangun harapan
terhadap terjadinya perubahan. Contoh pertanyaan keajaiban yaitu “Bayangkan pada
suatu malam saat kamu sedang tidur, terjadi suatu keajaiban dan semua masalah yang
sedang kamu alami terselesaikan. Bagaimana kamu tahu bahwa masalahmu
terselesaikan?” (Birdsall & Miller, 2002).

Scaling Questions
Teknik ini merupakan teknik bertanya yaitu meminta konseli membuat abstrak yang
menjadi konkrit, yang samar menjadi jelas, dengan meng-angka-kan kekuatan, masalah,
keadaan, atau perubahan konseli. Misalnya konselor bertanya “Pada suatu skala dengan
rentang 1 sampai 10, di mana 1 berarti kamu tidak memiliki kendali sama sekali terhadap
masalahmu, lalu pada angka 10 berarti kamu memiliki kendali penuh terhadap
masalahmu, lalu pada rentang angka yang mana kamu akan menempatkan dirimu dalam
skala tersebut?” dan “Apa yang kamu perlukan agar kamu dapat naik dalam skala
tersebut?”.

Compliment
Konselor dapat memberikan pesan yang dirancang untuk memberikan pujian,
penghargaan atas kelebihan, kemajuan, dan karaktersitik positif bagi pencapaian tujuan
konseli. Teknik ini diberikan sebelum konseli diberi tugas menjelang akhir pertemuan
konseling.

Task-development Questions
Task-development questions adalah suatu format tugas yang diberikan kepada konseli
untuk diselesaikan. Terapi dapat bertanya “Diantara saat ini dan pertemuan kita
selanjutnya, saya berharap kamu dapat menjelaskan pada saya pada pertemuan yang akan
datang tentang apa yang terjadi pada (keluarga, hidup, pernikahan, hubungan) kamu yang
diharapkan akan terus terjadi?”. Pada sesi kedua konslor dapat bertanya pada konseli apa
yang telah mereka amati da apa yang mereka inginkan dapat terjadi di masa depan.

Feedback

Konselor SFBC umunya mengambil waktu sedikitnya 5-10 menit pada akhir sesi
konseling untuk menyusun suatu ringkasan pesan untuk konseli. Selama waktu ini
konselor memformulasikan umpan balik yang diberikan pada konseli. Dalam pemberian
umpan balik ini memiliki tiga bagian dasar yaitu sebagai pujian, jembatan penghubung,
dan pemberian tugas.

3. Penerapan SFBC Pada Anak-Anak

Konseling SFBC relevan untuk diterapkan pada anak-anak yang memiliki kemampuan
kognitif memadai. Kemampuan kognitif diperlukan agar anak dapat menggambarkan
masalahnya dan bahasa yang mereka gunakan menjadi alat yang penting dalam
membangun solusi (Nims, 2007). Bahasa akan menggambarkan tujuan terapi dan
mengetahui langkah apa yang akan diambil anak-anak untuk mencapai tujuan mereka.
Oleh karena itu penerapan konseling ini sebaiknya diberikan untuk anak-anak dengan
usia 5 tahun ke atas karena usia ini merupakan usia perkembangan dan anak sudah dapat
diajak berbicara. Konseling SFBT tidak direkomendasikan untuk anak di bawah usia
anak-anak TK mengingat konseling ini berfokus solusi di mana kemampuan kognitif anak
sangat menentukan proses konseling.
Pendekatan konseling SFBT telah terbukti efektif digunakan untuk membantu
permasalahan anak-anak seperti efektif digunakan untuk mengatasi maslalah perilaku
siswa (Franklin & Hopson, 2008), masalah depresi dan kecemasan (Bond, C., Woods, K.,
Humprey, N., Symes, W., & Green, L., 2013), trauma (Bannik, 2008), masalah gangguan
bicara atau gagap (Nicholas, 2014).
Penerapan konseling SFBT pada anak-anak diintegrasikan dengan terapi bermain.
Selekman (Nims, 2007) menyajikan model yang menggabungkan unsur-unsur terbaik dari
modifikasi teknik bermain dan terapi seni tradisional dengan konseling berfokus solusi
pada anak-anak. Dari hasil konselingnya Selekmen mendapat respon positif dari kalangan
anak-anak dan orang tua, mereka mendapatkan kepuasan dari konseling tersebut.
Penggunaan seni/gambar
Marty, seorang anak berusia 10 tahun yang mengalami kemarahan. Dia baru-baru ini
memiliki sebuah indisen di lapangan tenis. Dia menjadi sangat marah kepada pelatihnya
dan adu argument dengan pelatihnya. Ketidakmapuan Marty untuk mengendalikan
emosinya dapat membahayakannya. Konselor memintanya untuk menggambar objek
yang menggambarkan kemarahannya. Marty menggambar petir yang berarti
menggambarkan emosinya. Kemudian dia membuat gambar menjadi tenang, yaitu dia
menggambar sebuah sungai yang bergerak lambat. Konselor bertanya pada Marty “Apa
yang akan kamu lakukan di lapangan tenis jika berlaku secara tenang?”, Berperilaku
tenang menjadi tujuan konseling. Penetapan tujuan sangat penting untuk membantu anak
memiliki gambar tujuan yang jelas. Jika anak bisa memvisualisasikan tujuan, maka akan
memudahkan pencapaian tujuan (Nims, 2007).

Penggunaan Sandtray
Jika konseling menggunakan sandtray, konselor dapat meminta anak untuk membuat
dunianya (gambaran tentang dunia anak). Hal ini dilakukan untuk membangun hubungan
dan melibatkan anak dalam konseling. Konselor kemudian mentapkan tujuan konseling.
Konselor dapat menginstruksikan anak “Buatlah miniature dunia kamu saat ini”,
“Bagaimana kamu ingin membuat dunia sedikit lebih baik?”, “Buatlah sandtray yang
ingin kamu miliki dan berbeda dengan duniamu saat ini”, “Sekarang tunjukkan apa yang
akan kamu lakukan pada sandtray yang memiliki dunia berbeda ini?”. Misalnya kasus
Jamie seorang anak berusia 9 tahun. Ia dirujuk konseling karena memiliki masalah di
rumah. Ketika ditanya apa yang akan menjadi lebih baik di rumah, Jamie berbicara
tentang ruangan yang bersih. Jamie menggunakan sandtray untuk menunjukkan ruangan
bersih seperti apa yang dia inginkan. Mampu melakukan aktivitas membersihkan kamar
adalah tujuan dari sesi konseling (Nims, 2007).

Penggunakan Boneka Puppet


Boneka adalah salah satu alat paling berguna dalam konseling dengan anak-anak, karena
boneka secara alami menarik dan menyenangkan. Boneka berfungsi membantu anak
mengekspresikan ketika mereka mengalami kesulitan mengungkapkan secara verbal.
Contoh kasus Mary seorang anak berusia 8 tahun dirujuk oleh gurunya. Orang tuanya
melaporkan bahwa dia semakin agresif dan tidak kooperatif di rumah. Sedangkan dia
menunjukan perilaku yang baik di sekolah. Orang tua Mary telah bercerai. Pada awal sesi
konseling Konselor melibatkan Mary untuk membuat boneka yang terbuat dari dua
potong bahan dan dijahit bersama-sama. Konselor meminta Mary untuk menggunakan
spidol untuk menggambar wajah bonekanya. Konselor meminta Mary menggambar wajah
yang mewakili perasaanya saat itu. Dia mengambar ekspresi wajah yang sedih. Mary
berbicara kepada konselor bahwa Dia merasa sedih karena Mary harus pindah ke
rumahnya yang baru. Konselor meminta boneka Mary memikirkan apa yang akan dia
lakukan jika dia tidak sedih lagi. Mary mencertakan bahwa dia akan bersenang-senang
dan mengunjungi taman bersama ibunya seperti saat-saat sebelum ibunya bercerai. Mary
berbicara tentang bagaimana dia kan bertindak berbeda ketka melakukan hal-hal
menyenangkan. Perilaku ini menjadi tujuan sesi konseling (Nims, 2007).

Selain menggunakan terapi bermain konseling SFBC juga dapat dipadukan dengan
storytelling (bercerita) dan bahasa kreatif. Ciuffardi, Scavelli, dan Leonardi (2013)
meneliti tentang penerapan model SFBC dengan teknik bercerita (storytelling) dan bahasa
kreatif untuk memberikan layanan dukungan psikologis pada anak-anak. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa model SFBC dengan teknik bercerita (storytelling) dan
bahasa kreatif, anak-anak menjadi lebih memahami situasi mereka. Metode bercerita
mendorong siswa untuk mengenali kekuatan dan sumber daya anak-anak kemudian
menerapkannya untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan mereka.

4. Kesimpulan

Pendekatan teori konseling didasarkan pada pandangan bahwa konseli adalah individu
yang memiliki kekuatan dan sumber daya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan
mampu bergerak ke arah perubahan yang lebih baik di masa depan. Konseli yang
bermasalah menurut teori ini adalah koseli yang memiliki keyakinan rendah terhadap
kemampuannya serta tidak berusaha bergerak dari masalahnya sehingga tidak memiliki
kemampuan untuk menemukan solusi atas permasalahannya. Penggunaan pertanyaan
juga memainkan peranan penting dalam mendorong konseli menggali sumber daya serta
kekuatannya, menetapkan tujuan dan harapan yang diinginkan dalam konseling.
Penerapan konseling ini sangat cocok diberikan untuk anak-anak dengan minimal usia 5
tahun ke atas karena usia ini merupakan usia perkembangan. Konseling SFBT tidak
direkomendasikan untuk anak di bawah usia TK mengingat konseling ini berfokus solusi
di mana kemampuan kognitif anak sangat menentukan proses konseling. Konseling SFBC
yang diterapkan kepada anak-anak diintegrasikan ke dalam permainan hal ini bertujuan
agar konseling berjalan menyenangkan sehingga anak antusias selama mengikuti sesi
konseling dan pada gilirannya konselor dapat menggali masalah anak secara mendalam.

5. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Pengelola Dana Keuangan (LPDP)


Kementrian Keuangan Indonesia, yang telah mendanai dan mendukung terselesainya
artikel ini. Penulis merupakan mahasiswa penerima beasiswa LPDP Indonesia dan saat ini
sedang menempuh pendidikan Magister di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung,
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai