Anda di halaman 1dari 20

ANDREAS KRISTIANTO

Penulis:
SYEH AMONGRAGA EROTICISM
Andreas Kristianto
Study of the Mystical Theology and Sexuality
Afiliasi:
Sekolah Tinggi Agama
in Serat Centhini
Kristen Marturia

Korespondensi:
andreassiwi1305@gmail.
Abstract
com
This article attempts to explore the eroticism of Syeh Amongraga in
Serat Centhini. The author uses Serat Centhini edited by Karkono
Partokusumo (1985) and the latest contemporary novel by Elizabeth
D. Inandiak with the title Centhini: Kekasih yang Tersembunyi (2018).
This paper is a qualitative descriptive study using the perspective of
reviewing mystical theology and sexuality. The result suggests that
Serat Centhini is a Javanese literary work containing erotic spirituality
concerning the idea of “ngudi kasampurnaan” (seeking perfection),
“manunggaling kawula lan Gusti” (integrating the servant with God),
“pamongraga lan pamongrasa” (guardian body and guardian mystic
feeling), and erotic celebrations. The study of the Centhini opens a new
horizon in contextual theology to view sexuality positively, especially
in its encounter with the bible book Song of Songs.

Keywords: Serat Centhini, sexuality, Song of Songs, spirituality,


Amongraga.

EROTIKA SYEH AMONGRAGA

Kajian Teologi Mistik dan Seksualitas


© ANDREAS dalam Serat Centhini
KRISTIANTO

DOI: 10.21460/gema.
2021.62.607 Abstrak

This work is licenced


Artikel ini berupaya untuk menggali erotika Syeh Amongraga dalam
under a Creative
Commons Attribution- Serat Centhini. Penulis menggunakan karya teks Serat Centhini
NonCommercial 4.0 edisi Karkono Partokusumo (1985) dan novel kontemporer terbaru
International Licence.
karya Elizabeth D. Inandiak dengan judul Centhini: Kekasih yang

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 197


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

Tersembunyi (2018). Tulisan ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan
perspektif tinjauan teologi mistik dan seksualitas. Hasilnya adalah Serat Centhini menjadi karya
sastra Jawa yang mengandung spiritualitas erotis, spiritualitas yang menyangkut gagasan tentang
“ngudi kasampurnan” (mencari kesempurnaan), “manunggaling kawula lan Gusti” (menyatunya
hamba dengan Tuhan), “pamongraga lan pamongrasa” (pemeliharaan tubuh dan pemeliharaan
rasa), dan perayaan erotis. Kajian Serat Centhini ini membuka cakarawala baru dalam teologi
kontekstual untuk memandang seksualitas secara positif, khususnya dalam perjumpaannya
dengan kitab Kidung Agung.

Kata-kata kunci: Serat Centhini, seksualitas, Kidung Agung, spiritualitas, Amongraga.

PENDAHULUAN sedang seksualitas adalah entitas seksual yang


berkaitan dengan berbagai dimensi yang luas,
Seksualitas dan spiritualitas (baca: agama) seperti: dimensi biologis, psikologis, sosial,
sering kali menempati dua kutub yang saling kultural, dan historis (Seidman 2011, 1–12).
bertolak belakang dan saling menjauh. Dikotomi antara seksualitas dan spi-
Bahkan dalam kajian-kajian keagamaan, ritualitas menyebabkan diskursus mengenai
seksualitas hampir tidak mendapat tempat erotika masih sering disalahartikan sebagai
secara memadai, kecuali sebagian kecil pornografi, yaitu tindakan yang mengarah
permasalahan yang dibahas pada konteks kepada hawa nafsu yang bersifat “buruk” dan
khusus, seperti peristiwa pernikahan, yang “jahat”, merusak (destruktif) dan dipandang
mana kajian dan kontennya pun bersifat sebagai sesuatu yang tabu, sehingga tidak
normatif-dogmatis. Selain itu, hampir pantas untuk dibicarakan dan harus dihindari.
setiap hari media memuat berita tentang Selama berabad-abad lamanya, dikotomi
kekerasan seksual, penggerebekan lokalisasi tersebut juga mewarnai konstruksi berpikir
PSK (Pekerja Seks Komersial), kecaman mengenai tubuh dan roh (lih. Robert 1993,
pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat 65–66).1 Pada titik ini seksualitas lantas
terhadap tindakan prostitusi, praktik aborsi, menjadi persoalan spiritualitas yang penting
diskriminasi kepada LGBTI (Lesbian, Gay, dan aktual bagi setiap manusia. Pemaknaan
Biseksual, Transgender, dan Interseks) dan tentang seksualitas dan erotika tidak hanya
informasi lainnya mengenai masalah-masalah sekadar dimensi fisik saja, tetapi juga
seksualitas dan ketubuhan. Tak jarang menyangkut soal dimensi spiritual. Mengkaji
persoalan seks dieksploitasi sebagai sebuah erotika dalam dimensi spiritualitas (teologi
komoditi, sehingga pereduksian pengertian mistik) menjadi salah satu bentuk perlawanan
orang terhadap seksualitas menjadi sekadar (counter) terhadap pendangkalan makna
genitalitas (fisik dan biologis) belaka. Padahal akibat gencarnya komersialisasi seks dan
istilah seks mengacu kepada perbedaan mengembalikan seksualitas pada nilai dan
biologis pria-wanita (baca: jenis kelamin), kedudukan yang esensial dalam diri manusia.

198 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

Masalah seksualitas merupakan Tambangraras, putri seorang kyai


pesantren. Di sisi lain, tembang-tembang
masalah yang fundamental dan tidak dapat yang erotik dan kasar, yang konon digarap
dilepaskan dari konstruksi sosial masyarakat oleh Putra Mahkota Surakarta Adiningrat
sendiri, Anom Amengkunegara III, karena
yang membentuknya (Amiruddin 2003, 91– ketiga pujangga yang ditugasi menyusun
92). Agama-agama lokal sangat peduli tentang Sang Suluk itu sendiri terganggu oleh
adegan-adegan yang terlalu “liar”
tema seksualitas dan spiritualitas, di mana (Inandiak 2018, 2).
kedua tema tersebut dapat disandingkan dan
dipersatukan. Seksualitas mendapat tempat Tulisan ini mengkaji erotika Syeh
terhormat di dalam agama-agama lokal, Amongraga dalam Serat Centhini dengan

seperti di dalam aliran penghayat (tradisi menggunakan metode deskriptif dan analisa
kritis. Saya menggunakan karya Karkono
lokal Jawa). Misalnya dalam budaya Jawa,
Partokusumo atau Kamajaya melalaui
erotisme diwujudkan dalam berbagai macam
Yayasan Centhini Yogyakarta (1985) dan versi
karya seni, seperti: tulisan-tulisan sastra, seni
novel kontemporer yang ditulis oleh Elizabeth
tari, seni rupa, seni drama, atau seni teater
D. Inandiak dengan judul Centhini: Kekasih
(Rochkayatmo 1994, 75).2 Karya sastra adalah
Yang Tersembunyi (2018). Penelitian ini
wujud dari sebuah interaksi sosial suatu
merupakan penelitian kualitatif interpretatif
masyarakat. Kebudayaan adalah keseluruhan
dengan menggunakan perspektif teologi
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
mistik dan seksualitas. Dengan harapan,
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
adanya penemuan gagasan spritualitas di
secara keseluruhan (Koentjaraningrat 1969,
dalam teks-teks erotis yang terkandung dalam
193). Sastra Jawa tidak bisa dilepaskan
Serat Centhini. Pada bagian akhir, saya akan
dengan ikon Serat Centhini, yang muncul
merefleksikan teologi erotisme dalam kitab
pada abad ke-19. Karya ini adalah karya yang
Kidung Agung sebagai perbandingan dalam
monumental, secara eksploratif membahas
kajian mistik Kristiani.
erotisme masyarakat Jawa.
Serat Centhini berbentuk tembang
atau puisi berisi tentang ajaran-ajaran/nilai
SEKILAS MENGENAI SERAT CEN-
hidup dengan nuansa erotis yang begitu
THINI DAN PERJUMPAANNYA DE-
kental. Inandiak mengatakan demikian:
NGAN THEOSOFI ISLAM
Serat Centhini sering kali dijuluki sebagai
karya sastra adiluhung yang erotik dan Serat Centhini merupakan sebuah ensi-
mistik. Bagi beberapa ahli Jawa, Serat
Centhini adalah suatu karya yang terlalu klopedia mengenai dunia adat kebiasaan
suci untuk diterjemahkan, sedang bagi
masyarakat Jawa. Di dalamnya mengandung
pakar-pakar lain, Serat Centhini terlalu
kotor.... Seolah-olah Serat Centhini berbagai macam hal, mulai dari persoalan
dibagi-bagi menjadi dua pihak: di satu
agama, kebatinan, makanan, adat istiadat,
sisi, tembang-tembang yang mistik dan
halus yang disusun oleh tiga pujangga tata cara membangun rumah, pertanian,
Keraton Surakarta diiringi tokoh-tokoh
cerita-cerita kuno tanah Jawa, dan perkara-
mistik dan halus juga seperti Amongraga,
putra mahkota Sunan Giri, dan istrinya perkara seksual. Proses penulisannya terjadi

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 199


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

pada zaman Pakubuwana V, yang mana saat pengetahuan pada masa itu, termasuk di
itu masih menjadi putra mahkota bergelar, dalamnya mistik-theosofi Islam (Irfan Riyadi
KGPA Amangkunagara. Sejak ditulis pada 2013, 34–35; Brakel 2004, 11–17).
tahun 1815, Serat Centhini ditengarai Nilai-nilai yang terkandung di dalam
mempunyai beberapa versi, seperti misalnya Serat Centhini menjadi pelajaran di pesantren-
versi: Centhini Pegon, Centhini Jalalem, pesantren Islam, khususnya kelompok NU
dan Centhini versi Madura (Wirodono (Nahdlatul Ulama). Inandiak dalam risetnya
2011, 9). Secara keseluruhan, Serat Centhini tentang Serat Centhini mengajukan beberapa
biasa disebut sebagai Suluk Tambangraras. pertanyaan kepada Gus Dur.4 Gus Dur
Penulisnya terdiri dari Ki Ngabehi mengungkapkan bahwa Serat Centhini bukan
Ranggasutrasna, Raden Tumenggung milik khusus orang Jawa, tetapi juga dikenal
Sastranegara, dan Ki Ngabehi Sastradipura. di Madura, di pesantren-pesantren, terutama
Dari berbagai persoalan kehidupan yang di Sumenep, ada yang ditulis dalam bahasa
terkandung dalam Serat Centhini, terdapat Jawa, tetapi juga ada yang berbahasa Arab,
kisah-kisah erotis yang menarik untuk dengan judul Pamongraga lan Pamongrasa
dikaji dan diteliti lebih mendalam. Alasan (pemeliharaan tubuh dan pemeliharaan rasa)
utamanya adalah karena kisah penceritaan (Inandiak 2018, 8). Hal ini menunjukkan
tersebut nampak bertentangan dengan bahwa Serat Centhini mengalami perjumpaan
budaya tradisional Jawa yang cenderung dengan Islam (sinkretisme) dan saling
enggan terbuka terhadap segala perkara yang memengaruhi. Warna Islam, kemudian
berkonotasi seksual (Demartono 2010, 15). terlihat di semua bidang, tak terkecuali bidang
Alur ceritanya diawali dengan cerita kesusastraan, yaitu Serat Centhini (Muslifah
kekalahan Kerajaan Giri oleh Kerajaan 2013, 5–11).
Mataram.3 Sunan Giri adalah tokoh ulama Di dalam Serat Centhini, religiusitas
yang terkemuka dan tersohor di tanah Jawa. menjadi topik yang penting di dalam laku
Sunan Giri adalah anak dari Syeh Walilanang spiritualitas masyarakat Jawa. Religiusitas
(Jeddah Arab Saudi) menikah dengan putri tersebut tercermin dalam tuntunan yang
Blambangan Jawa Timur (Inandiak 2018, 14– bersifat lahiriah maupun batiniah. Contoh
15). Semua ulama dari Jawa, Sunda, Bugis, pengaruh dari Islam, misalnya tuntunan
hingga pulau-pulau yang jauh seperti Ambon, berwudu, tentang sembahyang, tentang
Ternate, datang sujud kepada Sunan Giri. perlunya salat, tentang Dzat Hyang Widi,
Orang menyebutnya sebagai khalifatullah perincian tentang “sipat rong puluh”,
dan daerah kekuasaanya sebagai negeri Islam disinggung pula tentang pengetahuan terkait
Jawa (Inandiak 2018, 23). Saat itu Kerajaan turunnya Lailatul Qadar, keterangan tentang
Majapahit menitahkan Gajah Mada untuk ganjaran orang hafal Al-Qur’an, keterangan
menundukkan kekhalifahan Jawa, akibatnya tentang mandi pada hari Rebo wekasan pada
Kerajaan Giri mengalami kehancuran. Karya bulan Sapar serta puasa sunah, juga tentang
ini mengandung banyak sekali tema-tema urutan cara mandi dan doanya (Tirto.id

200 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

2016). Karena kandungan isi Serat Centhini Mustikaning rahsa mulya


rinêksa pra jawatadi
yang begitu luas dan menyeluruh, maka serat aran Sang Hyang Otapatra
ini sering disebut sebagai “Ensiklopedia Sang Hyang Gambira sêsilih

Kebudayaan Jawa” atau merupakan induk ‘Permata/emas (alat kelamin perempuan) rasa mulia
“sumber” ilmu pengetahuan yang memuat dijaga para dewa luhur
disebut Sang Hyang Otapatra
semua kawruh (ilmu) pengetahuan Jawa Sang Hyang Gambira namanya’
(Serat Centhini III, Pupuh 190, Kinanthi, bait 24)
(Marsono 2008, 1).
Erotisme dan religiusitas dalam Serat Dalam pupuh 190 di atas, terdapat
Centhini mengandung muatan ajaran Islam, metafora alat seksual perempuan yang
yaitu terkait tentang ilmu fikih (hukum Islam) disebut mustika yang artinya ‘permata/emas’.
dan ajaran tasawuf (kebatinan Islam). Dalam Menurut saya, metafora ini memperlihatkan
khazanah sastra suluk, termasuk dalam sesuatu yang berharga karena dijaga oleh Sang
Serat Centhini terdapat susunan empat jalan Hyang Otopatra dan Sang Hyang Gambira.
menuju kesempurnaan hidup, yaitu: syari’at, Bisa disimpulkan, alat kelamin perempuan
tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Keempat jalan tidak hanya persoalan fisik/genital saja, tetapi
ini harus dijalani, tidak terpisahkan, bahkan menyangkut dimensi sakralitas keilahian.
bergantung satu dengan yang lain (Naif
Mêlar-mingkus daya wiwaraning
2016, 98). Tingkatan mistik tercapai berkat baga kang wus (m)bathok
ajaran-ajaran Amongraga yang diambil dari … angsal ing prang tandhing
kudu nganggo lagu
mistisisme Islam dan asmaragama (seni
bercinta Jawa). Ajaran Islamnya bersumber ‘Buka tutup daya pintu
kemaluan yang sudah seperti batok
dari buah pikir sufi Timur Tengah, seperti: dan ketika berperang
harus memakai irama’
Al-Jili, Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghazali,
(Serat Centhini III, Pupuh 193, Mijil bait 13)
dan Rumi, sedangkan ajaran asmaragama
bersumber dari tradisi tantrisme dan falsafah Selain disebut sebagai mustika, di
Jawa Kuno (Historia 2012). dalam Pupuh 193, metafora alat seksual
perempuan disebut wiwaraning baga yang
artinya ‘pintu/gerbang kemaluan perempuan’.
EROTIKA SYEH AMONGRAGA DAN Tindakan persenggamaan diungkapkan secara
METAFORA SEKSUAL metafora, yaitu prang tandhing (peperangan)
di rananggana (medan perang).
Di dalam Serat Centhini terdapat istilah- Pamudharing rahsa putih
istilah mulai dari kasmaran (saling menyukai), sarta soking rahsa mêrta
asrêp kalangkung nikmate
asmaragama (seni bersenggama), birahi, duk mangkono angganda rum
gandrung, wuyung, tresna semi, saresmi
‘Lepasnya rasa putih
(hubungan seksual), dan lain-lain. Metafora- serta tumpahnya rasa menenteramkan
menyejukkan sangat nikmatnya
metafora seksual tertulis dalam Pupuh 190: ketika itu tercium bau harum’
(Serat Centhini III, Pupuh 191, Asmaradana, bait 31)

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 201


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

Dari penuturan di atas, terdapat tentang asal-usul benihmu


manusia sebenarnya
penggambaran tentang alat seksual laki-laki disebut dalam peribahasa’
yang mengeluarkan air mani seperti rahsa (Serat Centhini III, Pupuh 191, Asmaradana 21)

putih (rasa putih). Pada larik berikutnya


Dari penuturan di atas, Serat Centhini
dikatakan asrep kalangkung nikmate
menggambarkan adanya hakikat manusia
(menyejukkan nikmat sekali) dan angganda
yang terdalam, yaitu bibit kawite (asal mula
rum (mengeluarkan bau harum).
terjadinya). Kawruh seks (mengetahui tentang
Dari pembacaan Serat Centhini di
seks) adalah gagasan yang diajarkan oleh
atas, kita melihat adanya cerita-cerita dari
Serat Centhini dalam memaknai kehidupan.
pengarang dengan menggunakan bahasa estetis.
Menurut saya, ini adalah kekuatan dari sebuah Sing sapa wonge tan uning
marang wiji asalira
bahasa sastra, yang diwujudkan dari kata- sayêktine nora wêruh
kata yang mempesona, penuh getaran sensual mring jati paraning sêdya
kang têmbe wêkasannya
dan erotisme. Saya melihat bahwa warisan kacrita kurang satuhu
dari Serat Centhini ini memberikan efek bagi mring sampurnaning kamuksan

pembaca tentang paparan seksualitas yang ‘Barang siapa tidak mengenal


terhadap benih asalmu
indah, menarik, dan tidak vulgar, serta layak sebenarnya tidak mengetahui
dijadikan sebagai warisan budaya yang penting. tujuan sejati manusia hidup
besok akhirnya
Konsep spiritual Jawa yang penuh dengan dikatakan sungguh tidak mengetahui
metafora seksual juga selalu mengaitkan dengan terhadap kesempurnaan kematian’
(Serat Centhini III, Pupuh 191, Asmaradana 22)
nama-nama dewa, istana para dewa yang
indah, benda-benda perang, atau benda yang Serat Centhini menjelaskan tentang
dianggap suci/sakral oleh para raja atau dewa. hakikat tentang sangkan (asal-usul) dan
Jadi tindakan seksual tidak hanya berkaitan paran (tujuan akhir hidup) yang akan dilalui
dengan aspek fisik/biologis semata, tetapi ada oleh manusia. Ada ajaran tentang pencapaian
relasi dengan yang lebih suci, agung (sakral). kesempurnaan manusia dan kebersamaan
Serat Centhini mengajarkan bahwa tindakan dalam sebuah senggama sebagai laku untuk
seksual dapat dipergunakan sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan yawiji dengan sang
mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti halnya pencipta (Inandiak 2008, 74).
tertulis dalam Pupuh 191: Dalam novel Inandiak, Centhini:
Pamarsudining sarêsmi Kekasih yang Tersembunyi, Amongraga
kang wus sun-gêlar sadaya
kanggo srana lantarane beristirahat di Gunung Lawu, berlindung di
dènnya yun angawruhana bagian bawah candi. Di dalam mimpinya dia
mring asal wijinira
manungsa sajatinipun berjumpa dengan seorang perempuan yang
kasbut têmbung paribasan telanjang. Tubuh yang erotis, berdandan
‘Ilmu tentang senggama perhiasan, dan menari di hadapan Amongraga.
yang sudah saya ajarkan Perempuan itu melantunkan syair dendang
sebagai sarana peyebabnya
olehnya ingin mengetahui kepada Amongraga:

202 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

Kamu yang ingin memanunggalkan dalam paduan ilahi tempuh sejak takdir mencampakkanmu
Keteduhan dengan panas, malam dengan siang, ke dalam pengembaraan. Jalan ini
Tak kan pernah menjemur tubuh malaikat agungnya mengaitkan Ma’rifat dengan Hakikat
Pada merah surya yang dinamai asmara ini! (Inandiak 2018, 210).

Lihat! Pahit mandul kenikmatanmu


Merusak dahaga keindahanmu dan mengakukan
Dalam Serat Centhini, wejangan
kulitmu, yang berkaitan dengan hakikat dan ma’rifat
Dan angin amuk nafsu berahi
Menggigilkan dagingmu bagai panji tua menekankan bahwa untuk mencapai hidup
yang sempurna dan mati sempurna, orang
Jauh dari bangsa-bangsa bernyawa, mengembara,
terpidana harus memegangi secara teguh prinsip-
Tak kamu rusakah mulutku mekar menghampirimu? prinsip hidup yang terdiri dari empat jalan
Kamu, jiwaku dan hatiku, segalaku dan separoku,
Manusia, kemari! Lari hindari kekekalan yang kau tersebut (Karkono 1985, 83), sehingga ajaran
bawa dalam dirimu! atau nilai spiritualitas ini menjadi bagian
(Inandiak 2018, 197–198).
kehidupan spiritualitas masyarakat Jawa.
Dalam Serat Centhini terdapat susunan Kisah monumental (puncak)
empat jalan menuju kesempurnaan hidup, Amongraga dalam pergulatan laku
yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. spiritualitas tercermin dalam perjumpaannya
Keempat jalan ini harus dijalani, tidak dengan Tambangraras. Inandiak memberikan
terpisahkan, bahkan bergantung satu dengan judul “Empat Puluh Malam dan Satunya
yang lain. Tetapi kedua jalan terakhir, yaitu Hujan” (Inandiak 2018, 184). Inandiak
hakikat dan ma’rifat adalah jalan yang hanya mengatakan begini:
bisa dilalui oleh orang-orang dengan tahap Dalam Empat Puluh Malam dan Satunya
di mana manusia telah menyatukan dirinya Hujan... Sebenarnya, erotika adalah se-
buah penyutradaraan, pementasan hasrat
dengan Tuhan, tahap mencapai manunggaling sanggama. Untuk berkembang, erotika
kawula lan Gusti. Seperti tulisan Inandiak di perlu panggung. Lalu panggung yang
paling hebat dalam Centhini adalah
atas, “Kamu yang ingin memanunggalkan ranjang pengantin, tempat Amongraga dan
dalam panduan yang ilahi.” Dalam tahap ini, Tambangraras berbaring selama empat
puluh malam tanpa bersetubuh (Inandiak
jiwa manusia bersatu dengan jiwa semesta, 2012, 10).
tindakan manusia menjadi laku spiritualitas.
Dalam pengenalannya tentang Terdapat banyak ajaran yang
perjalanan mistik manunggaling kawula lan disampaikan Amongraga kepada istrinya.
Gusti, Amongraga mendapatkan wejangan Sepanjang malam, Amongraga dengan
dari Ki Panurta di Padepokan Wanamarta. Ki telanjang di buritan ranjang mengajarkan
Panurta mengatakan demikian: nilai-nilai hidup kepada Tambangraras.
Tambangraras merasakan kedahagaan
Ilmumu cerminan tiga susun atap masjid.
Atap pertama, yang langsung melindungi akan ilmu dari Amongraga. Tambangraras
kepala umat adalah atap Syariah yang memperhatikan bentuk lingga suaminya dan
diwariskan ayahmu di Giri secara tegas.
Atap kedua, di atasnya adalah atap Hakikat Amongraga bercerita kepada istrinya: “Kita
dari semua kebenaran yang diwejangkan
tidak mengerti bahwa roh adalah raga, kita
Ki Karang kepadamu di padepokannya.
Atap teratas itu adalah jalan yang kamu mengintai tanpa pernah menemukan roh.

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 203


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

Orang yang menonton, itu ditonton, orang Kau dan aku, orang menganggapnya dua
tubuh, ini aneh. Memang benar kita dua
yang melihat, itu dilihat.” Bagi Amongraga, asma tapi satu zat tunggal. Sesungguhnya,
bila kita belajar untuk melihat dengan mata kita bukan dua dalam satu, tapi satu dalam
dua... Selain itu, rasa adalah manis di
batin, menyatu dengan kekuasaan Niskala, lidah, rabaan di kulit, bunyi di telinga, sari
maka raga kita sendiri pun seolah menjadi di sumsum, bau-bauan di hidung, makna
di kepala, gerak di hati, penglihatan di
niskala. Bahkan orang yang berilmu dalam mata. Rasa itulah rahasia yang dicapkan
perjalanan mendaki gunung akan meletakkan Allah di kalbu. Karena rasalah orang
mengenali (Inandiak 2018, 255).
cermin di hatinya dan di sana ia akan melihat
pantulan kebesaran gunung-gunung. Raga Amongraga memperlihatkan bahwa
itu seperti obor, roh nyalanya, ilmu asapnya, persetubuhan adalah manunggal, bersatu
zat cahayanya. Padahal nyala tidak dapat dengan yang ilahi. Bahkan ketika tubuh itu
dipisahkan dari obor maupun asap atau menyatu, bersama-sama keduanya menggurat
cahaya (Inandiak 2018, 242–243). mandala asmara (Inandiak 2018, 258).
Menurut saya, dengan mengkaji karya Inandiak mengatakan begini:
Inandiak, Serat Centhini memperlihatkan Dari malam ke malam, ajaran-ajaran
pesonanya karena memadu perjalanan rohani Tasawuf dan asmaragama (persetubuhan)
silih berganti, supaya Amongraga
sebagai bentuk penghayatan atas rasa nyawiji dan Tambangraras menjadi jinak satu
(senggama) yang bisa direfleksikan sebagai terhadap lainnya dalam ketelanjangan
tubuh mereka, dan menyingkap cadar
penyatuan abdi dan Gustinya (hamba dan roh mereka dengan ketegangan syahwat
Tuhan). Selain, bersatunya tubuh dan roh serta batin. Dari malam ke malam, erotik
dan mistik, tasawuf dan asmaragama
dalam manunggaling kawula lan Gusti, berkembang berbarengan sehingga pada
Amongraga juga berbicara tentang cinta akhirnya mistik terbakar oleh api erotika
dan erotika terbakar oleh nyala mistik.
dan kenikmatan. Amongraga membedakan Dua-duanya musnah. Yang tersisa hanya
kematian kecil dan besar. Kematian kecil cahaya. Cahaya sayap-sayapnya Sang
Eros (Inandiak 2012, 12–13).
adalah saat tubuh kekasih bersenggama dengan
tubuh terkasih, dalam kilat kenikmatan, roh Pasca pengembaraan empat puluh
ditelan raga dan padam (Inandiak 2018, malam itu, hujan hangat turun pada malam
243). Lalu bagaimana kita bisa menikmati itu. Setelah melakukan persetubuhan,
cinta? Dalam bercinta, haruslah kita jadikan Amongraga pergi mencari kedua adiknya,
tubuh kita bait untuk berbicara pada roh. dia menuliskan surat kepada Tambarangraras
Amongraga mengatakan: “Cinta adalah begini: “Kekasihku, di jalan ada jumpa
karya agung yang mengubah nafsu menjadi dan sua kembali. Tetapi orang berjalan
nafas, itulah kematian besar, kenikmatan sendiri-sendiri. Kupikul ragaku menempuh
di luar kenikmatan tubuh” (Inandiak 2018, kemegahan Suluk dan kamulah laras Suluk
244). Tubuh mempunyai tanda utama yang itu. Kamu mengira aku pergi padahal aku
menghubungkan dengan asma Allah. Artinya, mengembara di dalam dirimu” (Inandiak
tubuh manusia terhubung dengan sifat-sifat 2018, 271). Menurut saya, seksualitas Jawa
Allah. Amongraga mengatakan demikian: dalam Serat Centhini ini bukan hanya soal

204 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

kontemplasi erotis tetapi petualangan yang dan kesejahteraan lahir-batin sesuai dengan
penuh gairah, lengkap dengan peristiwa sifat dan cita-cita yang terkandung di dalam
sensasional yang mendebarkan, penjelajahan kebudayaan Jawa (Kamajaya 1996, 1).
dunia mistik yang mengungkapkan adanya Terkait dengan ngudi kasampurnan,
kehadiran ilahi yang “menubuh” dalam spiritualitas Jawa merupakan spiritualitas
perjumpaan erotis. yang berbicara tentang sangkan paraning
dumadi. Spiritualitas sangkan paraning
dumadi adalah nilai yang menunjukkan
ANALISA SERAT CENTHINI MENU- adanya daya hidup yang dinamakan sukma,
RUT TEOLOGI MISTIK yang bergerak menuju dan bersatu dalam
daya hidup yang diberi nama kesempurnaan.
1. Spiritualitas Ngudi Kasampurnan (Men- Sangkan paraning dumadi juga dimaknai
cari Kesempurnaan) dan Manunggaling suatu ajaran yang tempatnya tidak di dalam
Kawula lan Gusti (Menyatunya Hamba alam kawruh yang menangani kanoragan,
dan Tuhan) melainkan menangani gerak rohani untuk
menyatu di dalam arus kehidupan secara
Spiritualitas Jawa adalah spiritualitas yang benar-benar hidup sebagai kenyataan hidup
menekankan pentingnya kesempurnaan hidup, sejati (Koesnoe 2007, 55). Spiritualitas
di mana manusia merenungkan dirinya dalam Jawa tentang kesempurnaan hidup atau
rangka menemukan integritas dirinya dalam ngudi kasampurnan dan ngelmu sangkan
kaitan dengan Tuhan (Kusbandriyo 2007, 13). paraning dumadi dalam Serat Centhini
Dalam perspektif Jawa, pengetahuan filsafat/ tercermin melalui kisah pengembaraan Syeh
nilai-nilai hidup senantiasa hanya merupakan Amongraga.
sarana untuk mencapai kesempurnaan, Menurut Syeh Amongraga manusia
sehingga dapat dirumuskan bahwa filsafat diciptakan di dunia ini harus mengetahui
berarti cinta kesempurnaan (Kusbandriyo asalnya, barang siapa mengetahui dirinya,
2007, 13). Orang Jawa menyebutnya sebagai sesungguhnya ia mengetahui Tuhan. Kesatuan
ngudi kasampurnan, di mana manusia dengan Yang Ilahi, menjadi manusia Jawa
mencurahkan seluruh eksistensinya, baik eling (ingat) akan asal-usulnya dan orang
jasmani maupun rohani, baik tubuh maupun Jawa mencapai kawruh sangkan paraning
roh, untuk mencapai tujuan itu (Ciptoprawiro dumadi, pengertian tentang asal-usul dan
1986, 21). Berdasarkan gagasan tentang ngudi tujuan segala makhluk di tengah dunia
kasampurnan, Serat Centhini berisi ajaran- (Saksono dan Dwiyanto 2011, 69–70). Bagi
ajaran tentang kesempurnaan hidup. Serat Serat Centhini, tubuh terkoneksi dengan asma
Centhini memuat kawruh Jawa, di mana tidak Allah (sifat-sifat Allah). Bagi Amongraga,
hanya sekadar mengandung pengetahuan tubuhnya dan tubuh istrinya Tambangraras
saja, melainkan kebijaksanaan dengan tujuan adalah dua tubuh, tetapi satu zat tunggal.
hakiki yang berkaitan dengan keselamatan Orang Jawa menghayati diri sebagai makhluk

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 205


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

yang pada dasarnya satu dengan Tuhan, yang Amongraga ini ada dalam tahap hakikat dan
terdapat dalam ungkapan, Jumbuhing kawula ma’rifat, lebih menekankan makna-makna
Gusti, pamoring kawula Gusti” (Suseno dan yang esoteris dalam relasinya dengan olah
Reksosusilo 1983, 74). batin dan spiritualitas.
Dalam buku Howard Rice yang Dalam spiritualitas erotisme, tubuh/
berjudul Reformed Spirituality (2011, rupa memiliki arti yang mendalam. Dalam
35–36), seksualitas bisa menjadi jalan kita Serat Centhini dikatakan, “Barang siapa
mengalami Yang Ilahi, melalui perantaraan melihatku akan kubawa ke falak nuraninya,
orang lain. Ada relasi langsung antara ke asma yang mengenali Gustinya. Akan
spiritualitas dan seksualitas. Ketika kita kubawa ke rupa yang harus dipelihara agar
terlibat secara seksual dalam hubungan erat Allah memperlihatkan Diri dalam rupa.”
dan terikat dengan seseorang, maka kita akan Menurut saya, hal ini memperlihatkan
menemukan gambaran yang menyeluruh bahwa erotika menjadi sarana manusia untuk
mengenai hubungan kita dengan Tuhan, sebab mengeksplorasi cara-cara baru mencintai
seksualitas adalah pengungkapan kebutuhan manusia dan mencintai Tuhan secara intim.
kita akan reuni dan kelengkapan yang hanya Dalam buku Anatomi Rasa, Ayu Utami
dapat dipuaskan oleh kedekatan dengan yang menjelaskan tentang gagasan caturwarna
lain (Singgih 2020, 104). Di dalam relasi dalam kepribadian orang Jawa, di mana nafsu
tersebut, manusia yang saling mencinta, yang bersemayam di hati mampu diolah dalam
menyatu dalam Yang Ilahi. pramana, sebab musab kehidupan. (Utami
Di dalam relasi yang menyatu dengan 2019, 51–69). Saat melihat pancamaya
Yang Ilahi, Serat Centhini mengajarkan (lima kekuatan Sang Agung), saat itulah
tentang nilai manunggaling kawula lan Gusti. maya menjadi pencerahan dan pancarannya
Gagasan ini merupakan hasil penghayatan menuntun ke aku sejati dan Yang Ilahi
dari fanafiLah, di mana merupakan gubahan (Inandiak 2018, 174). Di dalam Serat Centhini
ajaran tasawuf tentang tenggelamnya Jawa, tubuh tidak hanya sebatas fisik/organ
kesadaran manusia dalam lautan serba Tuhan, seksual saja, tetapi cerminan ilahi. Tubuh/
fana biLah, fiLah, dan liLah (Naif 2016, 102). wajah adalah representasi ilahi. Inandiak
Dalam tahap ini, jiwa manusia bersatu dengan melukiskan demikian:
jiwa semesta. Inilah yang disebut bagaimana Sang Resi di akhir-akhir memberikan
manusia mengetahui Tuhan dari dekat, pesan begini, “Kesempurnaan rupamu
tergantung kebersihan cerminmu, kamu
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. yang harus menggosoknya. Yang Esa tidak
Sinar ilahi menyinari ke dalam hati sanubari akan ditembus oleh ketidaksempurnaan
cermin. Yang Esa tidak dapat dikenali,
dan melimpahi setiap bagian tubuh dengan maka Ia menanamkan pramana rahasia-
berkas cahaya yang menentramkan. Dalam Nya dan mengutusnya merupa dalam
setiap manusia. Begitulah bumi
ajaran Amongraga, persetubuhan melibatkan sezatnya dan selebihnya tergambar pada
tubuhmu...” (Inandiak 2018, 176).
roh, roh yang memadu cinta dengan tubuh.
Menurut saya, apa yang menjadi wejangan

206 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

2. Spiritualitas Pamongraga dan Pamong- pada kepentingan diri sendiri. Nafsu birahi
rasa bisa melahirkan keserakahan dan kerakusan.
James B. Nelson dalam bukunya
Serat Centhini menjadi serat luhur, justru
Embodiment: An Approach to Sexuality and
karena kita akan mengalami pamong raga
Christian Theology mengatakan bahwa tubuh
(pemeliharaan tubuh) dan pamong rasa
manusia memiliki dimensi pikiran, perasaan,
(pemeliharaan rasa). Yang Ilahi menuntun
hati, dan spiritualitas, semuanya saling
dalam kesadaran niskala untuk menghidupi
terkait satu dengan yang lain (Nelson 1978,
apa yang menjadi pengembaraan “jihad
31–32). Gagasan ini juga dihayati dalam
besar”: jihad pergulatan batin dan nafsu
Serat Centhini tentang agama trirasa. Raga,
birahi manusia. Pertanyaannya adalah
ucap, dan kalbu yang tidak terpisahkan dalam
apa yang menjadi problem nafsu birahi
diri manusia, semua mengalir dalam tarikan
(istilah Serat Centhini adalah “tersesat
nafas yang menghidupkan. Menurut saya,
raga”) dalam spiritualitas? Menurut saya
apa yang terjadi di ranjang pengantin antara
ada beberapa persoalan: Pertama, manusia
Syeh Amongraga dan Tambangraras adalah
lain diperlakukan sebagai objek dan bukan
pengalaman inkarnasional, di mana kesatuan
manusia seksual yang utuh dan otonom. Dalam
spiritual atau mistik di antara Yang Ilahi
bahasa Inggris dikenal dengan istilah lust.
dengan manusia terjadi. Pengalaman Yang
Lust berkaitan dengan power, yang membuat
orang lain tidak dilihat sebagai subjek, Ilahi bisa dianugerahkan kepada kita melalui

tetapi orang lain harus ditundukkan dengan orang lain yang mencintai kita sedemikian
kekuasaan. Lust tidak melibatkan passion, rupa sehingga mereka mewakili cinta Tuhan
komitmen, penyerahan diri, komunikasi, kepada kita (Rice 1991, 35–37).
dan penghargaan. Tidak melibatkan roh Dalam Serat Centhini diperlihatkan
dalam relasi percintaan sehingga di dalam bahwa relasi seksual mengantarkan seorang
spiritualitas yang inkarnasional (menubuh), di menuju jalan pencerahan. Hal ini disebut
dalam relasi cinta, mengenal aspek keakraban sebagai sadhana (persembahan). John
(communion), ada pengenalan yang dalam, Woodroffe (2003, 113) mengatakan, “Just as
yang menyatu dalam persetubuhan dan all the efforts of a great charioteer who has
menyatu dengan ilahi (Nelson 1978, 34–35). with him an army complete in all its four
Dalam upaya mistik, manusia harus mengatasi component parts (infantry, cavalry, elephant
segi badani, seperti emosi dan naluri, nafsu corps and the chariots) are useless if he be
dan rasionalitas duniawi, agar batinnya bebas himself unarmed, so all the learning of a pandit
untuk bersatu kembali dengan asal-muasal of mighty intellect is but a vain thing if he
dan agar di dalam hatinya ia mengalami be not equally possessed of the power which
kemanunggalan (Mulder 1983, 14). Kedua, arises from sadhana.” Kesenangan seksual
dalam bahasa Yunani, nafsu birahi disebut yang dilakukan tidak berdampak secara
dengan ephitumia, yaitu sebuah rasa yang spiritual tanpa ada kemauan untuk menggali
haus dan kecanduan berlebihan yang berpusat ke dalam batin (olah batin). Penikmatan relasi

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 207


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

seksual menjadi sadhana apabila terarah pada menjadi sebuah batu loncatan untuk menuju
olah batin, sehingga harmoni akan muncul. babak berikutnya (laku spiritual). Tindakan
Saat relasi seksual menjadi tujuan, maka seksual akan mengantar seseorang menuju
dimensi spiritualnya menghilang, tetapi saat samadhi, menuju pada kebahagiaan sejati.
relasi seksual menjadi meditatif, tindakan
seksual berubah menuju dimensi spiritual 3. Spiritualitas Pembebasan dan Perayaan
(Osho 1990, 32). Erotika
Kehidupan seksual juga merupakan
Tidak hanya dipengaruhi oleh ajaran Islam
salah satu faktor yang menentukan kebahagia-
yang kuat, Serat Centhini juga dibentuk
an bagi suatu pasangan. Kehidupan seksual
oleh nilai-nilai Hindu. Khususnya berkaitan
yang harmonis merupakan kehidupan seksual
dengan ajaran moksa, di mana menjadi tujuan
yang bisa dinikmati oleh pasangan secara
akhir dan tertinggi dalam kehidupan spiritual
bersama-sama. Serat Centhini memberikan
manusia. Moksa menurut Zoetmulder (1994,
gambaran tentang tujuan kebahagiaan
672) berarti emansipasi, pembebasan,
yang lebih tinggi (Ikang prayoga maglis
kelepasan, kelepasan akhir dari ikatan
kahyunia yan mangkana). Osho (2004, 108)
samsara. Seksualitas menjadi kajian liberatif
mengatakan sebagai berikut, “Joy has there
dalam laku spiritualitas. Sedangkan Svami
planes. The first is what we call pleasure,
Vivekananda (dalam Mumukshananda 2001,
pleasure is of the body. The second is 74) mengatakan, “Freedom is the one goal of
happiness; happiness is of the mind. The third nature, sentient or insentient, consciously or
is bliss; bliss is of the spirit, spiritual. But they unconsciously everything is struggling toward
all share one reality and the reality is joy.” Joy that goal. The freedom which the saint seeks
(kenikmatan) yang dialihkan ke dalam bahasa is the enjoyment to infinite, unspeakable bliss.
tubuh akan menjadi pleasure (kesenangan). That freedom is God. It is the same happiness
Joy yang diterima melalui pikiran menjadi as in everything else” (Sumertini 2020,
happiness (kebahagiaan). Kenikmatan 10). Moksa dipandang sebagai kebebasan
dapat dicapai melalui kesenangan badani, (freedom), bebas dari sesuatu yang sementara
kebahagiaan pikiran, dan kebahagiaan jiwa. (finite) dan menemukan yang tak terbatas
Kemungkinan yang sulit adalah memahami (infinite), berada dalam keadaan yang paling
bahwa pleasure yang ragawi juga merupakan membahagiakan dan kebahagiaan tersebut
kenikmatan ilahi. Namun, semua ini hanya tidak terpengaruh oleh keadaan apa pun.
dapat dimengerti apabila pemisahan antara Objek indrawi sifatnya sementara, sehingga
yang duniawi dan rohani tidak ada lagi. visi ilahi dibutuhkan untuk menyadari akan
Oleh sebab itu, Serat Centhini mengajarkan kebahagiaan yang lebih tinggi. Orang yang
bahwa tindakan seksual adalah tindakan yang memiliki visi ilahi tidak lagi terikat dengan
mengantar seseorang menuju kebahagiaan kenikmatan duniawi. Dikarenakan tindakan
sejati, di mana pleasure (kesenangan) yang seks telah ditransformasi menuju kesadaran
sifatnya duniawi apabila ditransformasi akan ilahi.

208 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

Bicara tentang erotisme dan sakral (sacred power). Eros is one of God’s
pembebasan, dalam kajian teologi mistik, Names (Soelle 2001, 113). Soelle melihat
Dorothee Soelle seorang teolog Jerman bahwa di zaman modernitas, individualisme/
dalam bukunya The Silent Cry: Mysticism ego, dominasi, dan kontrol atas orang lain
and Resistance mengatakan bahwa salah satu membuat tubuh menjadi teralienasi. Seperti
lokus manusia adalah erotisme, dalam banyak halnya orang Jawa yang menghayati bahwa
teks mistik ada beragam ungkapan mengenai hidup manusia itu menolak individualitas,
cinta mistik untuk Allah yang tak terpisahkan karena individualitas memisahkan dari
dengan eros pada manusia (Soelle 2001, kesatuan asali seluruh kosmos dengan hakikat
225–226). Dalam bercinta, tubuh manusia yang terdalam (Suseno dan Reksosusilo 1983,
menjadi tempat untuk berkomunikasi kepada 97). Soelle mengatakan:
roh. Dengan melibatkan roh, maka relasi
Only in this way can love impart
yang terjadi adalah relasi yang mutual dalam participation in sacred power, in the
sacred power of the holy. This power is
keakraban persekutuan (communion). Bagi called holy because its nature is not to rule
Soelle, dalam erotisme yang terjadi adalah over others or to exercise domination that
is sustained by domination. It is “holy”
relasi sejajar yang mutual: giving and taking, because it is in essence a sharing of power,
desiring and claiming, being loved and an empowerment in which everyone has
a share in the power of life... A mystical
loving continually flow one into the other, understanding of the erotic relationship
tanpa pretensi bahwa yang satu lebih unggul must reflect in a new way activity and
passivity, giving and taking, singleness
daripada yang lain (Soelle 2001, 129). Di sini and duality (Soelle 2001, 128).
spiritualitas erotis bersifat liberatif, relasi
yang mutual satu dengan yang lain. Dalam tulisan Matthew Fox
Soelle mengutip pandangan Hildegard “Compassion: Interdependence, Celebration
von Bingen dalam tulisannya tentang and The Recovery of Eros”, Fox memisahkan
eroticism bahwa bicara tentang libido eros dari pornografi yang mana cinta sejati
manusia di dalam metafora birahi dan hasrat, melibatkan perasaan dan tidak hanya sensasi
hal itu digunakan untuk memberi nama (Fox 1983, 281). Pemulihan kata eros adalah
pada kekuatan ilahi (the divine energy) pemulihan perasaan (recovery), dia melihat
(Soelle 2001, 113). Dia tidak setuju dengan eros menyatu dengan via creativa, yang mana
pandangan teolog Swedia yang bernama mengajarkan kepada kita perayaan erotis
Andres Nygren yang mengintepretasikan eros (erotic celebration), creating dan justice-
dan agape secara hierarkis (Soelle 2001, 115). making (Fox 1983, 282). Fox mengutip
Seakan-akan kasih agape menjadi kasih yang Master Eckhart dalam bukunya yang berjudul
tinggi dibandingkan dengan eros. Saya lebih Original Blessing (1983) soal istilah sunder
melihat kasih eros bukan dalam perspektif warumbe (to live without a why), yaitu hidup
hierarkis/bertingkat-tingkat, tetapi lebih tanpa alasan mengapa. Fox menambahkan
kepada spektrum yang saling berkelindan. bahwa ketika menghidupi sunder warumbe,
Justru eros adalah sumber kekuatan yang juga menghidupi to work without a why (kerja

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 209


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

tanpa alasan mengapa) dan to love without a tubuh dan seksualitas perempuan yang
why (cinta tanpa alasan mengapa) (Fox 1983, tergambar dalam Kidung Agung bertentangan
284). Justru dengan eros, kita merespon pathos dengan konstruksi tentang seksualitas yang
(penderitaan) dan tragedi manusia. Apa yang bernuansa patriarki yang dibangun oleh
tertulis dalam Serat Centhini merupakan kekristenan (Natar 2015, 249–269). Kidung
realitas kehidupan masyarakat pada saat Serat Agung menghadirkan pandangan yang tidak
Centhini itu ditulis, yaitu sekitar tahun 1814 biasa dari seksualitas pada umumnya bahwa
Masehi. Serat Centhini merupakan bagian fokusnya tidak kepada upaya reproduksi
dari karya sastra yang menggambarkan (menghasilkan keturunan), tetapi lebih
realitas kehidupan masyarakat Jawa (Warren menekankan “rekreasi” (fantasi seksual)
1989, 109). Dengan demikian, Serat Centhini dalam menikmati setiap hal-hal berbau erotis.
memperlihatkan dimensi liberatif di tengah Kidung Agung menjadi nyanyian
dominasi budaya patriarki dan individualitas yang dilantunkan oleh sepasang kekasih,
ego, khususnya berkaitan dengan seksualitas. tetapi dapat juga dinyanyikan oleh seluruh
pasangan dari berbagai macam tempat dan
dunia dan bertahan berabad-abad lamanya
TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALI- sampai sekarang (Exum 2005, 8). Di dalam
TAS DALAM KIDUNG AGUNG: puisi yang sarat dengan erotisme itu, yang
KAJIAN SPIRITUALITAS INKARNA- diumbar tidak hanya hasrat dan libido seksual
SIONAL saja, tetapi mempertunjukkan juga visi
cinta yang dimiliki oleh sepasang kekasih.
Tidak hanya di dalam Serat Centhini saja Misalnya di dalam Kidung Agung 7:2–9,
spiritualitas erotis menjadi tuntunan raga dan tidak begitu tergambarkan, apakah status para
tuntunan rasa, tradisi Kristiani juga mengenal kekasih ini, dari mana mereka berasal dan apa
kitab Kidung Agung. Kitab di Perjanjian yang menjadi latar belakang mereka. Relasi
Lama yang mengandung kata-kata erotis, macam apa yang ada dalam kehidupan cinta
berbau sensual dan pembaca diajak untuk mereka? Apakah mereka suami-istri? Apakah
menyelami kisah asmara sepasang lelaki dan mereka sedang berpacaran? Ketidakjelaskan
perempuan yang bergelora hasrat (desire). identitas ini justru semakin memperlihatkan
Terlebih lagi, para kekasih yang dimabuk esensi/makna dari hasrat (erotisme) jauh
asmara di dalam Kidung Agung ini tidak lebih dominan dari status mereka. Tiwery
memiliki identitas (anonim), tetapi justru mengatakan bahwa pasal 7 ini berisi ekspresi
mengundang “pembaca” untuk merasakan cinta sang lelaki yang dimetaforakan sebagai
kemiripan hasrat dari setiap tindakan erotis laki-laki yang berwibawa dengan kemewahan
yang dilakukan. Perempuan digambarkan dan kemasyhuran sebagai tokoh sentral dalam
begitu proaktif, dengan mengatakan, “Kiranya kisah ini terhadap perempuan pujaannya (ay.
ia mencium aku dengan kecupan!” (Kid. 1: 1–9) (Tiwery 2015, 3).
2). Asnath Natar mengatakan bahwa realitas Pujian sang kekasih dimulai dengan,

210 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

“pusarmu seperti cawan yang bulat” (ay. 3:16 dan 4:7, di mana perempuan akan
2), kata pusar sebenarnya merujuk kepada birahi terhadap suaminya dan suaminya
bagian luar vagina (Pope 1977, 617). Lalu, akan berkuasa atasnya. Kalau dalam konteks
“yang tak kekurangan anggur campur”, kata Kidung Agung, kata tsuqatu ini tidak dalam
anggur campur diartikan sebagai cairan posisi/dominasi laki-laki atas perempuan,
vagina yang keluar dari seorang perempuan tetapi menjadi kenikmatan eros dalam
ketika hasrat seksualnya muncul (Murphy percintaan. Perempuan tidak digambarkan
1990, 182). Bahkan yang menarik adalah secara pasif dalam menikmati erotisme,
sang pujaan tidak hanya memuji keindahan tetapi justru mengatakan: “Mari kekasihku,
buah dada, tetapi juga mengungkapkan kita pergi ke padang, bermalam di antara
hasrat terhadap buah dada kekasihnya. Hal bunga-bunga pacar” (ay. 11). Tidak ada
ini tergambar dalam, “Aku ingin memanjat ketabuan dalam kenikmatan eros, yang ada
pohon korma itu dan memegang gugusan- adalah keterbukaan dan tanpa malu-malu.
gugusannya. Kiranya buah dadamu seperti Tiwery menyitir pandangan Carey Ellen
gugusan anggur” (ay. 8). Mengapa buah yang mengungkapkan bahwa woman desire
dada menjadi rujukan estetis sekaligus hasrat yang muncul dalam Kidung Agung adalah
erotis? Hal ini bisa merujuk dalam tradisi a startling voice (suara yang mengejutkan)
Kitab yang lain seperti Amsal, “Biarlah buah (Tiwery 2015, 5). Jadi birahi/hasrat di sini
dadanya senantiasa memuaskan engkau” menjadi penggerak dalam proses mencinta.
(Ams. 5:9). Jadi ada relasi timbal balik, sang Tanpa desire, cinta menjadi hambar laksana
kekasih pria mengagumi keindahan tubuh dan gurun pasir gersang tak berair, bahkan cinta
menyatakan hasratnya (ay. 6–8), sementara berubah menjadi pelampiasan nafsu dan
itu kekasih perempuan menyatakan hasratnya bersifat objektif semata (Tiwery 2015, 5).
untuk memberikan cintanya pada kekasihnya Erotisme yang diwujudkan melalui
(ay. 12), “Mari, kita pergi pagi-pagi ke kebun hasrat dipandang sebagai sesuatu yang
anggur dan melihat apakah pohon anggur estetis, memiliki dorongan makna dan
sudah berkuncup, apakah sudah mekar sekaligus spiritual. Hasrat adalah kekuatan
bunganya, apakah pohon-pohon delima sudah yang menyelinap di dalam jiwa yang
berbunga! Di sanalah aku akan memberikan membangkitkan keindahan dan spiritualitas.
cintaku kepadamu!” Hasrat mampu membawa erotisme dan
Uniknya, Kidung Agung 7:2–8:2 intimitas bertemu dalam perjumpaan yang
tidak dilihat sebagai dosa/tindakan amoral, inkarnasional. Tetapi kita harus menyadari
meskipun merujuk pada hasrat seksual bahwa dalam budaya patriarki, desire
sepasang kekasih baik laki-laki ataupun terkadang diinterupsi oleh tradisi, norma
perempuan. Tertulis, “kepunyaan kekasihku sosial, dan dogma agama yang kurang memberi
aku, kepadaku gairahnya tertuju” (ay. 10). ruang kebebasan bagi kaum perempuan
Kata gairah berasal dari bahasa Ibrani untuk menyatakan cintanya (Tiwery 2015,
tsuqatu, yang muncul juga dalam Kejadian 9). Oleh sebab itu, tindakan cinta tidak

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 211


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

hanya memberikan raga saja, tetapi juga Gusti). Tubuh terkoneksi dengan sifat-sifat
hidup dan karya, sehingga mencintai menjadi Allah di dalam merayakan cinta yang liberatif
undangan untuk menghidupi spiritualitas (pembebasan). Di dalam cinta, erotisme
yang inkarnasional. David M. Carr dalam menjadi penggerak dalam proses mencinta.
bukunya The Erotic Word: Sexuality, Hasrat seperti dalam Kidung Agung membawa
Spiritualty and The Bible, mengatakan bahwa erotisme dan intimitas bertemu dalam
eros adalah spiritualitas yang mendasar untuk perjumpaan yang inkarnasional (menubuh)
menjangkau, terkoneksi dengan tubuh, dan karena Allah adalah Sang Eros. Surat terakhir
membuat kita bertanggung jawab dengan Amongraga kepada Tambangraras menjadi
yang lain (Carr 2003, 47). Dengan demikian, pesan yang berharga, “Kamu mengira aku
siapa pun manusia baik tua atau pun muda, pergi padahal aku mengembara di dalam
kaya atau miskin, tanpa terkecuali memiliki dirimu.”
potensi untuk membangun keintiman yang
erotis satu dengan yang lain. Di situlah kata-
kata Kidung Agung 8:6b menjadi relevan, DAFTAR PUSTAKA
“Karena cinta kuat seperti maut, kegairahan
gigih seperti dunia orang mati, nyalanya Buku

adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan!” Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa.
Jakarta: Balai Pustaka.
Exum, J. Cheryl. 2005. Song of Songs: A
SIMPULAN
Commentary. Louisville: John Knox
Press.
Demikianlah upaya membangun kajian
Fox, Matthew. 1983. Original Blessing: A
teologi mistik dan seksualitas dalam erotika
Primer in Creation Spirituality. New
Serat Centhini Jawa. Dalam spiritualitas,
York: Bear & Company, Inc.
tubuh/raga, roh ataupun jiwa tidak terpisahkan
Garton, Stephen. 2004. Histories of Sexuality:
satu dengan yang lain. Serat Centhini
Antiquity to Sexual Revolution.
mengajarkan bahwa Yang Ilahi menuntun
London: Equinox.
dalam kesadaran niskala, yaitu pemeliharaan
Goss, Robert. 1993. Jesus Acted Up: A Gay
raga (pamongraga) dan pemeliharaan rasa
and Lesbian Manifesto. New York:
(pamongrasa). Dalam bercinta, tubuh
Harper San Fransisco.
berinteraksi dengan roh dan roh yang memandu
cinta kepada tubuh (ngudi kasampurnan). Haryatmoko. 2011. Etika Publik. Jakarta:
Relasi yang terjadi adalah relasi yang akrab Gramedia Pustaka Utama.
di dalam persekutuan (communion). Manusia Hershberger, Anne K. (ed). 2008. Seksualitas:
mengalami kemanunggalan, menyatu dengan Pemberian Allah. Jakarta: BPK
ilahi dan menyatu dengan kosmos dan hakikat Gunung Mulia.
yang terdalam (manunggaling kawula lan Hoed, Benny H. 2001. Dari Logika Tuyul ke

212 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

Erotisme. Magelang: Indonesia Tera. Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup
Inandiak, D. Elizabeth. 2008. Centhini: Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta:
Kekasih yang Tersembunyi. Gramedia.
Yogyakarta: Babad Alas (Yayasan Mumukshananda, Syami. 1992. The Complete
Lokapala). Works of Svami Vivekananda.
Inandiak, D. Elizabeth. 2012. “Dari Erotika Calcuta: Advaita Ashram.
ke Sir Centhini.” Makalah untuk Murphy, Roland E. 1990. The Song of
Seri Kuliah Umum tentang Erotika: Songs (Hermeneia: A Critical and
“Erotika Nusantara: Serat Centhini”, Historical Commentary on the Bible).
Serambi Salihara, 10 Maret 2012. Philadelphia: Fortress Press.
Inandiak, Elizabeth. 2018. Centhini: Kekasih Nelson, James B. 1978. Embodiment: An
yang Tersembunyi. Jakarta: KPG Approach to Sexuality and Christian
Kepustakaan Populer Gramedia. Theology. Minnesota: Augsburg
Kamajaya, Karkana. 1996. Serat Publishing House.
Centhini sebagai Sumber Inspirasi Osho. 1990. The Psychology of the Esoteric
Pengembangan Sastra Jawa. (Psikologi Alam Gaib). Bandung:
Semarang: Kongres Bahasa Jawa II. Book Publishing Agreement.
Karkono, H. dan Partokusumo, K. 1985. Osho. 2004. Joy: The Happiness that Comes
Serat Centhini Jilid 1-12. Yogyakarta: from Within. USA: Osho International
Yayasan Centhini. Foundation.
Koentjaraningrat. 1969. Pengantar Pope, Marvin H. 1977. The Anchor Bible:
Antropologi. Jakarta: Aksara. Song of Songs. New York: Doubleday
Koesnoe, Moh. 2007. “Sangkan Paraning & Company.
Dumadi: Sebagai Filsafat dan Ngelmu.” Primus, Antonius. 2014. “Dekonstruksi Tubuh:
Dalam Soenarko Setyodarmojo, ed., Menempatkan Tubuh dalam Fungsi
Menggali Filsafat dan Budaya Jawa, Fundamentalnya.” Dalam Primus,
55. Surabaya: Lembaga Javanologi Antonius, ed., Tubuh dalam Balutan
Surabaya. Teologi: Membuka Selubung Seksualitas
Kusbandriyo, Bambang. 2007. “Pokok-Pokok Tubuh Bersama Paus Yohanes Paulus II,
Filsafat Jawa.” Dalam Soenarko 56–57. Jakarta: Obor.
Setyodarmojo, ed., Menggali Filsafat Rice, Howard L. 1991. Reformed Spirituality:
dan Budaya Jawa, 13. Surabaya: An Introduction for Believers.
Lembaga Javanologi Surabaya. Louisville: Westminster/John Knox
Marsono. 2008. “Centhini: Karya Masterpiece Press.
Pujangga Jawa.” Makalah Seminar Robert, Goss. 1993. Jesus Acted Up: A Gay
Centhini. Yogyakarta: Fakultas Ilmu and Lesbian Manifesto. New York:
Budaya UGM. Harper San Fransisco.

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 213


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

Saksono, Ignas G. 2014. Tuhan dalam Budaya Wahyudi, Agus. 2015. Serat Centhini 5:
Jawa. Yogyakarta: Kaliwangi. Pertobatan Cebolang dan Syeh
Saksono, Ignas G. dan Dwiyanto, Djoko. Amongraga Menjemput Jodoh.
2011. Terbelahnya Kepribadian Yogyakarta: Cempaka.
Orang Jawa: Antara Nilai-Nilai Luhur Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1989.
dan Praktik Kehidupan. Yogyakarta: Teori Kesusasteraan. Terjemahan
Keluarga Besar Marhaenis DIY. dari Theory of Literature oleh Melani
Seidman, Steven. 2011. Introduction the Budianta. Jakarta: Gramedia.
New Sexual Studies. USA & Canada: Wirodono, Sunardian. 2011. Centhini Sebuah
Routledge. Novel Panjang: 40 Malam Mengintip
Singgih, Emanuel G. 2005. “Merehabilitasi Sang Pengantin. Yogyakarta: Diva
Teologi Mistik: Pertimbangan Press.
dari sudut Protestantisme.” Dalam Woodroff, Sir John. 1990. Principles of
Mengantisipasi Masa Depan: Tantra. The Theosophical Society
Berteologi dalam Konteks di Awal Adyar Madras: Vasantra Press.
Milenium III, 366–384. Jakarta: BPK Zoetmulder, P.J. 1994. Kamus Jawa Kuno-
Gunung Mulia. Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Singgih, Emanuel G. 2019. “Spiritualitas
dan Seksualitas Lintas Agama untuk Jurnal
Semua (Termasuk LGBT).” Dalam
Stephen Suleeman dan Amadeo D. Amiruddin, Mariana. 2003. “Sex dan
Udampoh, eds., Siapakah Sesamaku: Text (Sexts): Konsep Pembebasan
Pergumulan Teologi dengan Isu-isu Seksualitas Perempuan Lewat Sastra.”
Keadilan Gender, 91–106. Jakarta: Jurnal Perempuan, no. 30: 90–105.
BPK Gunung Mulia. Brakel, L. F. 2004. “Islam and Local
Soelle, Dorothee. 2001. The Silent Traditions: Syncretic Ideas and
Cry: Mysticism and Resistance. Practices.” Indonesia and the Malay
Minneapolis: Fortress Press. World, vol. 32, no. 92: 5–20.
Suhadi. 2011. Sastra Kita, Kritik, dan Delmalia. 2015. “Kesenian Ronggeng Group
Lokalitas. Jakarta: Penerbit Komodo Senandung Rindu di Kecamatan
Books. Gunung Tuleh Kabupaten Pasaman
Suseno, Franz Magnis. 1988. Etika Jawa: Barat.” Humanus, no. 20: 128–137.
Sebuah Analisa Falsafi tentang Demartono, A. 2013. “Seks, Gender dan
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Seksualitas Lesbian.” Gender, vol. 1,
Gramedia. no. 1: 11–20.
Utami, Ayu. 2019. Anatomi Rasa. Jakarta: Irfan Riyadi, Muhammad. 2013. “Kontroversi
Gramedia. Theosofi Islam Jawa Dalam Manuskrip

214 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021


ANDREAS KRISTIANTO

Kapujanggan.” Al-Tahrir, vol. 13: 21– Website


41.
Demartono, A. 2010. “Sexuality.” Diakses 3
Mamahit, Ferry Y. 2002. “Polarisasi
Agustus 2020. http://argyo.staff.uns.
Dikotomis Agape dan Eros: Suatu
ac.id/files/2010/08/seksualitas-undip.
Analisa Kritis Terhadap Teologi Kasih
pdf.
Agustinus.” Veritas, vol. 3, no. 1: 61–
Historia. 2012 “Meleburkan Seks dan
72.
Mistik.” Diakses 11 Desember 2019.
Muslifah, Siti. 2013. “Akulturasi Budaya
https://historia.id/kultur.
Timur Tengah ke Indonesia dan
Tirto.id. 2016. “Religiusitas dalam Serat
Pengaruhnya dalam Kesusastraan:
Centhini.” Diakses 11 Desember 2019.
Studi Kasus pada Serat Centhini.”
https://tirto.id/religiusitas-dalam-
Jurnal CMES, vol. VI, no. 1: 103–111.
serat-centhini-bUhC.
Naif, Fauzan. 2016. “Syeh Amongraga: Tokoh
Mistik Jawa dalam Serat Centhini.”
Jurnal Refleksi, vol. 16, no. 1: 91– Catatan:
105. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 1
Dikotomi antara tubuh dan roh menyebabkan
Natar, Asnath N. 2015. “Realitas Perempuan diskursus seputar erotisme, hasrat dan seksualitas
mewarisi praktik-praktik anti-seksual di dalam
dalam Kidung Agung Menurut Teologi
kekristenan. Seperti halnya, pandangan Hieronimus
Feminis.” Diskursus, vol. 14, no. 2:
yang percaya bahwa kesenangan seksual yang
249–269. berlebihan dalam pernikahan merupakan sebuah bentuk
Rochkyatmo, Amir. 1994. “Unsur Erotis zina. Goss melihat bahwa dikotomi ini dipengaruhi
oleh pandangan Neoplatonis yang memisahkan tubuh
di dalam Teks Babad.” Erotisme
dan roh ini melahirkan pandangan sexless spirituality
dalam Sastra dan Bahasa, Lembaran (spiritualitas tanpa aktivitas seks).
Sastra Universitas Indonesia, no. 23, 2
Erotisme dalam karya masa lampau masyarakat
November: 74–91. Jawa sebenarnya bisa dilihat lewat relief-relief candi.
Candi Borobudur (800 M) dan Prambanan (856
Sumertini, Ni Wayan. 2020. “Garbhadhana
M) menggambarkan sosok wanita tanpa menutup
Samskara: Perspektif Seks dalam
payudara. Hal yang sama juga tergambar dalam arca
Veda.” Sanjiwani: Jurnal Filsafat, vol. Dewi Durga di Museum Radyapustaka, Surakarta.
11, no. 1: 1–11. Lebih jelas lagi pada Candi Sukuh (1437 M) dan Ceto
(1475 M) di Karanganyar. Eksplorasi alat kelamin
Tanner, J. Paul. 1997. “The History of
secara terang-terangan tanpa unsur simbolik (lih.
Interpretation of the Song of Songs.” Suhadi 2011, 3–77).
Bibliotheca Sacra, vol. 154, January– 3
Kekalahan Kerajaan Giri oleh Mataram,
March: 23–46. Illionis: American membuat anak-anak Sunan Giri melarikan diri.
Theological Library Association. Mereka antara lain Jayengresmi (Syeh Amongraga),
Jayengsari, dan Niken Rangcangkapti. Pada saat
Tiwery, Weldemina Y. 2015. “Desire of Love:
pertempuran mencapai puncaknya, Jayengresmi/Syeh
Menafsir Kidung Agung 7:10–8:4”, Amongraga mencari Jayengsari dan Rancangkapti,
Gema Teologi, vol. 39, no. 1: 1–14. kedua adik kandungnya. Ia bermaksud membawa

GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021 215


EROTIKA SYEH AMONGRAGA: KAJIAN TEOLOGI MISTIK DAN SEKSUALITAS DALAM SERAT CENTHINI

mereka dalam pelariannya, namun ia tidak Cebolang, melarikan diri dan ditemani dengan empat
menemukannya di istana yang kini sudah menjadi santri (lih. Inandiak 2018, 4–12).
kobaran api. Akhirnya, Jayengsari dan Rancangkapti 4
Gus Dur adalah presiden RI ke-4, yang berasal
tiba di Kerajaan Sokayasa. Pada saat yang bersamaan, dari latar belakang pesantren NU (Nahdlatul Ulama).
anak Syeh Akhadiyat (Kerajaan Sokayasa), yaitu

216 GEMA TEOLOGIKA Vol. 6 No. 2, Oktober 2021

Anda mungkin juga menyukai