NIM 362321302037
STUDI
Tugas
MANDIRI
Dosen Pengampu bapak Anies Fauzi,M.Pd.I
Windows User
[Pick the date]
JURNAL EDUCATIVE: Journal of Educational Studies Vol.3, No.1, Januari-Juni 2018
Kata Pengantar
Puji dan syukur senantiasa kami ucapkan kepada Allah SWT atas ridha dan rahmat- Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan hasil review jurnal.
Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Anis Fauzi, M.Pd.I yang telah
membimbing dan membantu kami dalam proses penyusunan hasil review jurnal ini.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman yang telah membantu baik
secara moral maupun material sehingga hasil review jurnal ini dapat terwujud.
hasil review jural ini akan menjelaskan atau membahas ketiga jurnal dengan jurnal pertama
berjudul “Nilai-nilai ISLAM DAN ESTETIKA YANG TERDAPAT PADA LAMPU COLOK PADA
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dan kesalahan dalam hasil review jurnal
yang disusun. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas kesalahan tersebut. Kritik dan saran
dari pembaca senantiasa ditunggu oleh penulis guna meningkatkan kualitas tulisan ke
depannya.
DAFTAR ISI
Kata pengantar................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................2
REVIEW JURNAL...............................................................................................3
I. JURNAL 1............................................................................................3
II. JURNAL 2............................................................................................6
III. JURNAL 3............................................................................................9
REVIEW JURNAL
JURNAL 1
JURNAL 2
JOURNAL 3
Email: hesti_yulianti94@yahoo.co.id
Email: cecep.daruliwan@gmail.com
Saeful Millah
Email: saeful.millahcms@gmail.com
Abstrak
Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan mutu hasil belajar siswa pada mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam. Alternatif yang ditawarkan untuk mencapai tujuan itu adalah
dengan memperkenalkan metode giving question and getting answer. Penelitian ini menggunakan
metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) model Kurt Lewin. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi dan tes. Penelitian Tindakan Kelas di kelas VIII H SMP Negeri 1 Baregbeg
Kabupaten Ciamis. Langkah-langkah analisis data sebagai berikut: seleksi data, pengoreksian data
dan pembobotan data. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa metode giving question and getting
answer berhasil meningkatkan mutu
Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan salah satu upaya yang sangat mendasar dalam
pengembangan sumber daya manusia. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, pendidikan
diharapkan melahirkan sumber daya manusia yang unggul. Pendidikan hendaknya menumbuhkan
dan mengembangkan kemampuan intelektual, sosial dan personal. Tiga kemampuan ini dibangun
bukan hanya berlandaskan rasio dan logika saja, tetapi melibatkan aspek lain, yaitu inspirasi,
kreativitas, moral, intuisi dan spiritual (Suprijono, 2012, p. 6).
Bila ditelusuri secara mendalam, proses belajar-mengajar merupakan inti dari proses
pendidikan karena di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen pengajaran.
Sebagaimana dikemukakan (Ali, 2002, p. 4), komponen-komponen itu dikelompokkan kedalam tiga
kategori utama, yaitu: guru, isi atau materi pelajaran, dan peserta didik. Interaksi antara ketiga
komponen utama tersebut melibatkan sarana dan prasarana, seperti metode, media, dan penataan
tempat lingkungan belajar sehingga tercipta situasi proses belajar-mengajar yang memungkinkan
tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.
Berbicara mengenai proses pembelajaran, tidak lepas dari fungsi dan peranan seorang guru.
Peran guru sangat vital dalam menentukan output pendidikan. Dalam suatu kegiatan pembelajaran,
guru hendaknya lebih memberdayakan peserta didik dalam kegiatan tersebut. Karena itulah guru
harus mendesain pembelajaran sedemikian rupa sehingga bisa terjadi pembelajaran yang
demokratis, berkarakter dan menyenangkan.
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting
untuk menyiapkan peserta didik dalam hal memahami, menghayati, dan mengimani hingga
mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan. Hal ini senada
dengan apa yang dikemukakan oleh (Majid & Andayani, 2004, p. 130), “PAI adalah usaha sadar
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar dapat memahami apa yang terkandung dalam Islam
secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta tujuannya, dan dapat mengamalkannya”.
PAI adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat
memahami ajaran agama Islam secara menyeluruh. Lalu peserta didik menghayati tujuan yang pada
akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup (Daradjat, 1996, p.
86).
Menurut Propenas 2000-2004 (UU No. 25 Tahun 2000) menyatakan bahwa PAI di sekolah
umum (TK, SD, SMP, SMA) bertujuan untuk meningkatkan keimanan melalui pemberian dan
pemupukan pengetahuan, penghayatan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaan serta
pembinaan akhlak manusia dan budi pekerti luhur (Azizi, 2003, p. 75).
PAI yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilainilainya agar menjadi way
of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Pengertian ini dapat berwujud : (1) segenap kegiatan
yang dilakukan seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam
menanamkan atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai
pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam keterampilan
hidupnya sehari-hari; (2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih
yang dampaknya ialah tertanamnya atau tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilainilainya pada
salah satu atau beberapa pihak (Muhaimin, 2006, p. 5:6).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa PAI adalah suatu usaha untuk
membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran agama Islam secara
menyeluruh.
Menurut Arif (2008, p. 45), tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha
atau kegiatan selesai. Tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan dan sari pati dari
seluruh renungan pedagogik. Dengan demikian tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat
menentukan jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua
kegiatan pendidikan dilaksanakan.
Kurdi (2006, p. 13) merumuskan bahwa tujuan dasar PAI adalah dalam rangka membekali
kepribadian peserta didik ke arah yang lebih baik, agar secara spiritual telah bersemayam dalam
dirinya dan secara psikologis serta sosial mampu beradaptasi dengan lingkungan. Menurut Hamdani
dalam (Zulkarnain, 2008, p. 19), tujuan PAI yaitu sebagai pengabdian diri manusia kepada pencipta
alam dengan tidak melupakan kehidupan dunia.
Adapun Omar Muhammad Attoumy Asy-Syaebani tujuan PAI ada 4 ciri pokok: 1) Sifat dan
corak agama dan akhlak; 2) Sifat keseluruhan yang mencakup segala aspek pribadi peserta didik dan
semua aspek perkembangan masyarakat; 3) Sifat keseimbangan, keselarasan, tidak adanya
pertentangan antara unsur-unsur dan cara pelaksanaannya; 4) Sifat realistik dan dapat dilaksanakan,
penekanan pada perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku dan pada kehidupan(Achmadi,
2005, p. 91).
Tujuan umum PAI lebih bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah
yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan
kepribadian peserta didik sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh
(Achmadi, 2005, p. 91).
Untuk mencapai tujuan umum tersebut tidak akan dapat dicapai sekaligus, akan tetapi
membutuhkan proses dan waktu yang panjang dengan tahap-tahap tertentu, sedangkan tiap tahap
yang dilalui juga mempunyai tujuan tertentu yang disebut dengan tujuan khusus. Adapun tujuan
khusus PAI bersifat relatif sehingga memungkinkan untuk diadakannya perubahan dimana sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan. Adapun tujuan PAI tersebut adalah sebagai berikut: 1) Peserta
didik bergairah beribadah; 2) Peserta didik mampu membaca Al-Qur’an; 3) Penanaman rasa agama
pada peserta didik; 4) Menanamkan rasa cinta pada Allah dan Rasul-Nya; 5) Memperkenalkan ajaran
Islam yang bersifat global seperti rukun Islam, rukun iman dan lain-lain merupakan materi pokok; 6)
Membiasakan peserta didik berakhlak mulia, melatih peserta didik untuk mempraktikan ibadah yang
praktis dan membiasakan contoh teladan yang baik (Zuhairini, 1993, p. 36). Jadi tujuan pembelajaran
PAI adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta memiliki
pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah.
Majid & Andayani (2004, p. 134:135) menyebutkan kurikulum PAI untuk sekolah atau
madrasah berfungsi sebagai berikut: 1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada
dasarnya kewajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam
keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui
bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang
secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya; 2) Penanaman nilai, sebagai pedoman
hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat; 3) Penyesuaian mental, yaitu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat
mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam; 4) Perbaikan, yaitu memperbaiki
kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam
keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran Islam dalam kehidupan seharihari; 5) Pencegahan,
yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat
membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya; 6) Pengajaran, tentang ilmu
pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan tidak nyata), sistem dan fungsionalnya; 7)
Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan peserta didik yang memiliki bakat khusus di bidang agama
Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk
dirinya sendiri dan bagi orang lain. Jadi, fungsi pembelajaran PAI untuk sekolah atau madrasah
adalah sebagai pengembangan, penanaman nilai, penyesuaian mental, perbaikan, pencegahan,
pengajaran dan penyaluran.
Ruang lingkup pendidikan Islam tidak mengenal batas umur dan perbedaan jenis kelamin
bahkan tempat dan masa. Pendidikan sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas
karena di dalamnya banyak segisegi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik langsung maupun tidak
langsung (Nafis, 2011, p. 26:30). Adapun segi-segi dan pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan
Islam sekaligus menjadi ruang lingkup pendidikan Islam adalah: 1) Perbuatan mendidik itu sendiri.
Maksud dari perbuatan mendidik di sini adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap
yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi atau mengasuh peserta didik. Dalam
perbuatan mendidik ini sering disebut dengan istilah tahzib; 2) Dasar dan tujuan pendidikan Islam.
Landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam. Semua hal
yang masuk dalam proses pendidikan harus bersumber dan berlandaskan dasar tersebut. Dengan
dasar dan sumber ini, peserta didik akan dibawa dengan sesuai dasar dan sumbernya; 3) Peserta
didik. Pihak yang merupakan obyek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena segala
tindakan pendidikan diarahkan pada tujuan dan cita-cita pendidikan Islam. 4) Pendidik. Secara
singkat dapat dikatakan sebagai subyek pelaksana proses pendidikan. Pendidik akan dapat
membawa suatu pendidikan pada baik dan buruknya, sehingga peranan pendidik dalam
keberhasilan pendidikan sangat menentukan; 5) Materi dan kurikulum pendidikan Islam. Bahan-
bahan atau pengalaman-pengalaman pendidikan, yang sudah tersusun secara sistematis dan
terstruktur untuk disampaikan dalam proses pendidikan kepada peserta didik; 6) Metode pendidikan
Islam. Cara dan pendekatan yang dirasa paling tepat dan sesuai dalam pendidikan untuk
menyampaikan bahan dan materi pendidikan kepada peserta didik. Metode ini digunakan untuk
mengolah, menyusun, dan menyajikan materi pendidikan, supaya materi dapat dengan mudah
diterima peserta didik sesuai dengan karakteristik dan tahapan peserta didik; 7) Evaluasi pendidikan
Islam. Caracara yang digunakan untuk menilai hasil pendidikan yang sudah dilakukan. Pada
pendidikan Islam, umumnya tujuan tidak semuanya dapat dicapai seketika dan sekaligus, melainkan
melalui proses tahapan tertentu; 8) Alat-alat pendidikan Islam. Alat-alat yang digunakan selama
proses pendidikan dilaksanakan, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan tepat; 9) Lingkungan
pendidikan Islam. Keadaan-keadaan dan tempat-tempat yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan
serta keberhasilan suatu pendidikan (Nafis, 2011, p. 26:30).
Pelajaran PAI yang dipelajari di sekolah berperan sangat penting dalam memberikan
pemahaman terhadap peserta didik, sehingga setelah mereka mengetahui dan memahami materi
yang diberikan diharapkan mereka mampu menerapkannya dalam kehidupan nyata. Mengingat
pentingnya peranan pendidikan Islam dalam kehidupan nyata, maka sekolah perlu meningkatkan
berbagai usaha untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Menurut Suprijono (2009, p. 5), bentuk hasil belajar dapat berbentuk pola-pola perbuatan,
internalisasi nilai-nilai, pemahaman terhadap pengertianpengertian, terbentuknya sikap-sikap,
apresiasi dan keterampilan. Dengan demikian, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara
komprehensif, meliputi seluruh aspek kemanusiaan. Hasil belajar tersebut tidak dilihat secara
terpisah-pisah, tetapi terintegrasi secara menyeluruh.
Hasil belajar tidak dapat dipisahkan dari perbuatan belajar, karena belajar merupakan suatu
proses. Bagi peserta didik, belajar merupakan suatu kewajiban, adapun berhasil tidaknya sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Belajar pada manusia adalah interaksi aktif dengan lingkungan yang
disertai dengan aktivitas mental yang menimbulkan perubahan-perubahan dalam aspek kognitif,
afektif dan psikomotor. (Winkel, 1996, p. 193). Adapun pengertian hasil belajar yang dikemukakan
oleh beberapa ahli, di antaranya: 1) hasil belajar adalah hasil penilaian pendidikan tentang kemajuan
setelah melakukan aktivitas belajar atau merupakan akibat dari kegiatan belajar (Djamarah & Zain,
2006, p. 119); 2) hasil belajar adalah tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah
(Dimayati & Mudjiono, 2006, p. 3): 3) Indikator bahwa seseorang telah berhasil belajar adalah
tampaknya perubahan perilaku dalam dirinya (Wahidmurni, 2010, p. 18); 4) hasil belajar adalah hasil
belajar adalah kompetensi-kompetensi yang dimiliki siswa setelah melakukan interaksi dengan
lingkungan belajaranya (Sudjana, 2010, p. 22); 5) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai,
pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan (Suprijono, 2009, p. 5).
Gagne (Suprijono, 2009, p. 5:6) mengemukakan bahwa hasil belajar berupa: a) Informasi verbal
yaitu kepasitas mengungkapkan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis; b) Keterampilan
intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang; c) Strategi kognitif yaitu
kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri; d) Keterampilan motorik
yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani; e) Sikap yaitu kemampuan menerima atau
menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.
Sopiatin & Sahroni (2011, p. 67:68) mengemukakan bahwa hasil belajar dalam rangka studi
dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut Hamalik
(2008, p. 66:70), kegiatan belajar mengajar di dalamnya seperti mengorganisasi pengalaman belajar,
menilai proses dan hasil belajar, termasuk dalam cakupan tanggung jawab guru dalam pencapaian
hasil belajar peserta didik. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom, hasil belajar dalam rangka studi
dicapai melalui tiga kategori ranah, antara lain kognitif, afektif dan psikomotorik. Adapun
perinciannya adalah sebagai berikut:
Pertama, ranah kognitif. Ranah ini berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6
aspek yaitu: 1) Pengetahuan (Knowledge). Pengetahuan adalah aspek yang paling dasar dalam
taksonomi Bloom, seringkali disebut juga aspek ingatan (recall). Dalam jenjang ini kemampuan
seseorang dituntut untuk dapat mengenali atau mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah-istilah
dan lain sebagainya tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya (Daryanto, 2007, p. 103); 2)
Pemahaman (Comprehension). Kemampuan ini umumnya mendapat penekanan dalam proses
belajarmengajar. Peserta didik dituntut memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui
apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa keharusan
menghubungkannya dengan hal-hal lain. Bentuk soal yang sering digunakan untuk mengukur
kemampuan ini adalah pilihan ganda dan uraian (Daryanto, 2007, p. 106); 3) Penerapan
(Application). Jenjang kemampuan ini dituntut kesanggupan ide-ide umum, tata cara ataupun
metode-metode, prinsip-prinsip serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret. Pengukuran
kemampuan ini umumnya menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Melalui pendekatan ini
peserta didik dihadapkan dengan suatu masalah yang perlu dipecahkan dengan menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya. Bentuk soal yang sesuai untuk mengukur aspek penerapan antara lain
pilihan ganda dan uraian (Daryanto, 2007, p. 109). 3) Analisis (Analysis). Jenjang kemampuan ini
seseorang dituntut untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-
unsur atau komponen-komponen pembentuknya. Dengan jalan ini situasi atau keadaan tersebut
menjadi lebih jelas. Bentuk soal yang sesuai untuk mengukur kemampuan ini adalah pilihan ganda
dan uraian. Kemampuan analisis diklasifikasi atas tiga kelompok, yaitu analisis unsur, analisis
hubungan dan analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi (Daryanto, 2007, p. 110:111); 4) Sintesis
(Synthesis). Sintesis adalah kemampuan merangkum berbagai komponen atau unsur sehingga
menjadi sesuatu yang baru. Pada jenjang ini seseorang dituntut untuk dapat menghasilkan sesuatu
yang baru dengan jalan menggabungkan berbagai faktor yang ada. Hasil yang diperoleh dari
penggabungan ini dapat berupa tulisan dan rencana atau mekanisme(Daryanto, 2007, p. 112); 5)
Penilaian (evaluation). Jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat mengevaluasi situasi,
keadaan, pernyataan atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu. Yang penting dalam evaluasi
ialah menciptakan kondisinya sedemikian rupa sehingga peserta didik mampu mengembangkan
kriteria, standar atau ukuran untuk mengevaluasi sesuatu. (Daryanto, 2007, p. 113).
Kedua Ranah afektif. Ranah ini berkenaan dengan sikap dan nilai serta meliputi lima jenjang
kemampuan, yaitu: 1) Menerima (Receiving). Menerima diartikan sebagai kesediaan peserta didik
untuk memperhatikan fenomena atau stimulus tertentu. Yakni semacam kepekaan dalam menerima
rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada peserta didik dalam bentuk masalah, situasi,
gejala dan lain-lain. Dalam sub-ranah ini dapat berupa kepedulian terhadap keberadaan suatu
stimulus, keinginan untuk menerimanya dan memperhatikan secara selektif terhadap bagian dari
stimulus tersebut (Abdullah, 2012, p. 31); 2) Menanggapi (Responding). Menanggapi diartikan
sebagai adanya partisipasi aktif dalam diri peserta didik terhadap sesuatu. Pada tahap ini peserta
didik tidak hanya memperhatikan terhadap fenomena tertentu, tetapi juga memberikan reaksi
dengan cara tertentu. Hasil belajar dalam sub-ranah ini antara lain berupa kesediaan merespon
sesuai dengan yang diintruksikan, kemauan melakukan lebih dari yang diminta dan adanya kepuasan
dalam memberikan respon (Abdullah, 2012, p. 32); 3) Penilaian (Valuing). Penilaian berkenaan
dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus. Dalam evaluasi ini termasuk di
dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang atau pengalaman untuk menerima nilai dan
kesepakatan terhadap nilai tersebut. Hasil belajar dalam sub-ranah ini ditunjukkan dengan tingkah
laku yang stabil dan konsisten sehingga nilai-nilai yang ada dibalik tingkah laku itu dapat
diidentifikasi (Abdullah, 2012, p. 33); 4) Organisasi (Organization). Organisasi dapat dipahami sebagai
usaha mempertemukan berbagai nilai yang berbeda dengan tanpa dikonflikkan, kemudian
dikembangkan sistem nilai yang secara internal konsisten. Dengan demikian, penekananya dalam hal
ini adalah membandingkan, menghubungkan dan mengambil sintesis dari berbagai nilai tersebut
(Abdullah, 2012, p. 34); 5) Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai (Characterization by a
value or value complex). Pada level ini, peserta didik telah mempunyai sistem nilai yang
mengendalikan tingkah lakunya dalam waktu yang relatif lama untuk mengembangkan suatu gaya
hidup (life style). Hasil belajar dalam subranah ini berupa berbagai aktivitas namun tekanannya
adalah bahwa tingkah laku yang ditampilkan itu merupakan karakteristik dari peserta didik tersebut
(Abdullah, 2012, p. 34).
Pencapaian ketiga ranah hasil belajar tersebut, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Secara
umum faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar
individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar (Baharudin & Wahyuni, 2015, p. 22:23).
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi
hasil belajar. Faktor ini meliputi faktor fisiologis dan psikologis. 1) Faktor fisiologis adalah faktor yang
berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu
keadaan jasmani dan keadaan fungsi jasmani; 2) Faktor psikologis adalah keadaan psikologis
seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang
mempengaruhi hasil belajar yaitu: a) Kecerdasan/intelegensi peserta didik. Kecerdasan sebagai
kemampuan psiko-fisik dalam mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan
melalui cara yang tepat. Semakin tinggi tingkat intelegensi seorang individu, semakin besar peluang
individu tersebut meraih sukses dalam belajar; b) Motivasi. Motivasi adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar peserta didik. Motivasi dapat mendorong peserta didik
untuk melakukan kegiatan belajar; c) Minat. Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu; d) Sikap. Sikap adalah gejala
internal yang berdimensi efektif berupa kecenderungan untuk meraksi atau merespon dengan cara
yang relatif tetap terhadap objek. Sikap individu dapat mempengaruhi hasil belajarnya; e) Bakat.
Bakat didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai
keberhasilan pada masa yang datang. Individu yang memiliki bakat tertentu akan lebih mudah
menyerap segala informasi yang berhubungan dengan bakat yang dimilikinya.
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang ada di luar diri individu. Faktor-faktor internal yang
mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor
lingkungan non-sosial (Baharudin & Wahyuni, 2015, p. 32). Lingkungan sosial meliputi: a) Lingkungan
sosial sekolah seperti guru, administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi proses
belajar seorang peserta didik; b) Lingkungan sosial masyarakat, kondisi lingkungan masyarakat,
tempat tinggal peserta didik akan mempengaruhi belajar peserta didik; c) Lingkungan sosial
keluarga, lingkungan ini sangat mempengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat
orang tua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi
dampak terhadap aktivitas belajar peserta didik.
Adapun Lingkungan non-sosial meliputi: a) Lingkungan alamiah, seperti lokasi udara yang
segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau atau tidak terlalu gelap dan suasana
yang sejuk dan tenang. Apabila kondisi tidak mendukung, maka proses belajar peserta didik akan
terhambat; b) Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan menjadi dua
macam. Pertama, hardware seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapang
olahraga dan sebagainya. Kedua, software seperti kurikulum sekolah, peraturan sekolah, buku
panduan, silabus, dan lain sebagainya; c) Faktor materi pelajaran (yang diajarkan kepada peserta
didik). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan perkembangan peserta didik, begitu juga dengan
strategi mengajar guru hendaknya disesuaikan dengan kondisi perkembangan peserta didik.
Adapun menurut Kamal (2006, p. 48:53), hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik
dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini :
Pertama, tujuan. Tujuan adalah pedoman, sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam
kegiatan belajar mengajar. Tercapainya tujuan berarti keberhasilan dalam pengajaran, karena itulah
perumusan tujuan akan mempengaruhi kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru dan secara
langsung guru mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik. Akan tetapi, jika kegiatan belajar
peserta didik dan kegiatan mengajar guru bertentangan, dengan sendirinya tujuan pengajaran akan
gagal dicapai.
Kedua, guru. Pandangan guru terhadap peserta didik akan mempengaruhi kegiatan belajar
mengajar di kelas. Guru memandang peserta didik sebagai makhluk individual dengan segala
perbedaannya, akan berbeda dengan guru yang memandang peserta didik sebagai makhluk sosial.
Ketiga, peserta didik. Keberhasilan peserta didik yang beraneka ragam mempengaruhi kegiatan
belajar mengajar berikut hasil dari kegiatan itu sendiri, yaitu keberhasilan belajar mengajar.
Keempat, kegiatan pengajaran. Pola umum kegiatan pengajaran adalah terjadinya interaksi
antara guru dan peserta didik dengan bahan sebagai perantaranya. Strategi penggunaan metode
mengajar amat menentukan kualitas hasil belajar mengajar. Bermacam-macam penggunaan strategi
mengajar akan menghasilkan hasil belajar mengajar yang berlainan kualitasnya.
Kelima, bahan dan alat evaluasi. Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat dalam
kurikulum yang sudah dipelajari oleh peserta didik untuk kepentingan ulangan. Masing-masing alat
evaluasi tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan, maka dalam prakteknya sering merupakan
penggabungan lebih dari satu alat evaluasi.
Keenam, suasana evaluasi. Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaksanakan di dalam kelas dengan
melibatkan seluruh peserta didik dengan dipantau oleh para pengawas. Selama pelaksanaan
evaluasi, selama itu pula pengawas mengamati semua sikap, gerak gerik yang dilakukan oleh peserta
didik. Namun dalam kenyataannya sikap pengawas berbeda-beda, ada yang ketat dan ada yang
longgar, dan sikap anak pun berbeda-beda juga, ada yang jujur dan ada yang tidak jujur, sehingga
ada yang berani mencontek atau meminta bantuan kepada teman-temannya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi hasil
belajar, secara garis besar faktor-faktor tersebut adalah faktor internal (bersumber dari dalam diri)
seperti sikap, minat, bakat, motivasi, kesiapan mental dan faktor lainnya yang kesemuanya berasal
dari dalam diri sendiri. Adapun selanjutnya yaitu faktor eksternal (bersumber dari luar diri) seperti
tempat belajar, sarana belajar, bahan pelajaran, personil, kurikulum, metode pembelajaran dan
sebagainya.
Penilaian dalam proses pembelajaran meliputi: 1) Evaluasi formatif adalah penilaian yang
dilakukan guru setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari oleh peserta didik. Penilaian formatif
disebutkan dengan istilah penilaian pada akhir satu pelajaran. Penilaian ini berfungsi untuk
mengetahui sejauh mana ketercapaian tujuan intruksional khusus yang telah ditentukan dalam
standar kompetensi; 2) Evaluasi sumatif adalah penilaian yang diselenggarakan oleh guru setelah
satu jangka waktu tertentu. Penilaian sumatif berguna untuk memperoleh informasi tentang
keberhasilan belajar peserta didik yang dipakai sebagai masukan utama untuk menentukan nilai
lapor atau nilai akhir semester; 3) Pelaporan hasil penilaian, yaitu setelah memberikan evaluasi
formatif dan sumatif, setiap tengah semester atau akhir semester guru harus memasukan ke dalam
buku lapor yang merupakan laporan hasil kerja; 4) Pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan,
yaitu apabila seorang peserta didik dalam ulangan (tes formatif atau tes sumatif) mencapai nilai
kurang dari 6,00 atau daya upaya serapnya kurang dari 60% maka yang bersangkutan harus
melakukan perbaikan. Tujuan ulangan perbaikan adalah agar peserta didik memperoleh penguasaan
yang baik terhadap tujuan pembelajaran yang harus dicapai, dengan memberikan tugas tambahan
kepada peserta didik yaitu mengerjakan kembali soal. Bagi peserta didik yang sudah mencapai
standar kompetensi, sekurang-kurangnya 60 % dapat diberikan pengayaan, apabila masih ada waktu
untuk satu pelajaran tertentu sebelum beralih kepada materi lain (Suryobroto, 2002, p. 53).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) model Kurt Lewin. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan tes. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran PAI. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran PAI. Penelitian Tindakan Kelas di kelas
VIII H SMP Negeri 1 Baregbeg Kabupaten Ciamis.
Kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran juga mengalami peningkatan. Dari tiga
siklus yang telah dilaksanakan dalam penelitian tindakan kelas ini, pelaksanaan proses pembelajaran
semakin baik. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap siklusnya terdapat beberapa
kekurangan yang menjadi catatan bagi peneliti. Pada siklus I yaitu mengenai aspek apersepsi,
intonasi suara, cara membangkitkan perhatian peserta didik dan hubungan emosional dengan
peserta didik, siklus II masih mengenai intonasi suara dan hubungan emosional dengan peserta didik,
dan siklus III semua aspek harus ditingkatkan lagi. Berdasarkan penilaian observer, pada
pembelajaran siklus I nilai rata-ratanya mencapai 83,71 siklus II mencapai 87 dan siklus III mencapai
90,28.
Hasil belajar peserta didik pada pembelajaran PAI dengan menerapkan metode Giving
Question and Getting Answer juga mengalami peningkatan. Berdasarkan penelitian tindakan kelas
yang telah dilakukan hasilnya semakin meningkat. Karena kekurangan-kekurangan yang terjadi dari
siklus I sampai siklus III dapat peneliti atasi dengan baik. Seperti dalam kegiatan proses
pembelajaran, peneliti mengkombinasikan metode Giving Question and Getting Answer dengan
metode permainan agar siswa tidak merasa bosan, selain itu juga melakukan ice breaking untuk
menambah semangat belajar peserta didik. Hal itu dapat dilihat dari hasil tes akhir bahwa dari
seluruh peserta didik menunjukkan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 60. Hasil belajar peserta
didik dapa siklus I mendapat nilai rata-rata 75,29 pada perhitungan 24 orang sudah tuntas dan 10
orang yang belum tuntas dari nilai KKM yang telah ditentukan, siklus II dengan nilai rata-rata 78,94
pada perhitungan 28 orang sudah tuntas dan 6 orang yang belum tuntas dari nilai KKM yang
ditentukan, siklus III dengan nilai rata-rata 84,85 pada perhitungan 31 orang sudah tuntas dan 3
orang belum tuntas dari nilai KKM yang ditentukan.
Penelitian ini berhasil membuktikan dugaan bahwa metode giving question dan getting answar
dapat membantu meningkatkan hasil belajar. Berkaitan dengan hasil belajar, ditemukan di lapangan
bahwa hasil belajar PAI di SMP Negeri 1 Baregbeg masih ada yang belum tuntas bila berstandar pada
KKM yang ditetapkan sekolah sebesar 72. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru
PAI di SMP Negeri 1 Baregbeg pada 10 April 2018 ditemukan dari jumlah peserta didik kelas VIII H
yang berjumlah 34 peserta didik, yang mencapai ketuntasan belajar sebanyak 17 atau 50% dan
peserta didik yang belum mencapai ketuntasan sebanyak 17 atau 50%. Hasil ini menunjukkan bahwa
ketuntasan belajar peserta didik belum mencapai target sebagaimana yang telah ditetapkan yaitu
72.
Rendahnya hasil belajar peserta didik disebabkan karena penerapan metode yang belum
dilaksanakan secara maksimal, ini dapat dilihat dalam praktiknya peserta didik diperintahkan
mencatat materi dan mendengarkan penjelasan guru sampai jam pelajaran selesai, sehingga belum
dapat mengaktifkan peserta didik secara penuh dalam proses belajar mengajar.
Cara belajar seperti ini dapat menyebabkan peserta didik cepat jenuh, bosan, dan kurang
semangat dalam mengikuti pembelajaran, kemudian menyebabkan pembelajaran PAI menjadi
kurang menarik. Sebagai konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah bila tidak diupayakan
perbaikan mutu proses pembelajaran dengan perbaikan metode pembelajaran tentu hasil belajar
peserta didik pada mata pelajaran PAI menjadi tidak baik
. Berdasarkan masalah di atas perlu kiranya diperkenalkan sebuah metode pembelajaran yang
lebih menitikberatkan keaktifan dan berorientasi pada peserta didik. Salah satu metode
pembelajaran yang lebih banyak melibatkan keikutsertaan peserta didik dalam proses belajar adalah
metode pembelajaran Giving Question and Getting Answer. Hal ini sesuai dengan pandangan
Suprijono (2012, p. 107) mengemukakan bahwa Giving Question and Getting Answer ditemukan
oleh Spancer Kagan, orang berkebangsaan Swiss pada tahun 1963 merupakan metode pembelajaran
yang dapat merangsang, memancing serta mengajak peserta didik untuk ikut berpartisipasi aktif.
Metode pembelajaran ini dikembangkan untuk melatih peserta didik memiliki kemampuan dan
keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan. Metode ini juga dapat digunakan sebagai tolak
ukur untuk menetapkan kadar pengetahuan setiap peserta didik dalam suatu kelas. Juga pandangan
Hamruni (2011, p. 171) mengemukakan bahwa Giving Question and Getting Answer adalah strategi
atau metode pembelajaran yang diarahkan untuk melibatkan peserta didik dalam meninjau ulang
materi pelajaran dari pelajaran sebelumnya atau di akhir pertemuan. Adapun menurut Suprijono
(2012, p. 107), Giving Question and Getting Answer adalah metode pembelajaran yang
dikembangkan untuk melatih peserta didik memiliki kemampuan dan keterampilan bertanya dan
menjawab pertanyaan.
Nasih & Nurkolidah (2009, p. 54) mengemukakan bahwa secara umum tanya jawab ini berguna
untuk mencapai banyak tujuan, antara lain: 1) Memotivasi peserta didik untuk berbuat dan
menunjukkan kebenaran serta membangkitkan semangat untuk maju; 2) Mengetahui penguasaan
peserta didik terhadap pengetahuan yang telah lalu agar guru dapat menghubungkannya dengan
topik bahasan yang baru atau memeriksa efektivitas pengajaran yang dijalaninya; 3) Menguatkan
pengetahuan dan gagasan pada pelajaran dengan memberi kesempatan untuk mengajukan
persoalan yang belum dipahami dan guru mengulang bahan pelajaran yang berkaitan dengan
persoalan tersebut. Sementara itu Suprijono (2012, p. 20) mengemukakan bahwa ada beberapa
kelebihan metode Giving Question and Getting Answer yaitu: 1) Suasana pembelajaran menjadi
aktif, karena dengan menerapkan metode Giving Question and Getting Answer dalam pembelajaran,
peserta didik akan menjadi aktif, artinya mereka akan banyak terlibat selama proses pembelajaran
berlangsung; 2) Peserta didik mendapat kesempatan baik secara individu maupun kelompok untuk
menanyakan hal-hal yang belum dimengerti menyangkut materi yang telah disampaikan; 3) Guru
dapat mengetahui penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah disampaikan. Hal tersebut
dapat diketahui dari kemampuan peserta didik dalam menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh
temanya ataupun guru, dan kemampuan peserta didik dalam mengungkapkan gagasan-gagasan
yang ia sampaikan ketika proses pembelajaran berlangsung; 4) Mendorong peserta didik untuk
berani mengajukan pendapatnya, karena untuk menumbuhkan keberanian bertanya bagi peserta
didik itu tidak mudah, kebanyakan peserta didik itu malu untuk bertanya. Tetapi dengan
menerapkan metode ini, peserta didik dapat terdorong hatinya untuk mengajukan pertanyaan.
Suprijono (2012, p. 21) mengemukakan bahwa ada beberapa kekurangan metode Giving Question
and Getting Answer yaitu: 1) Pertanyaan yang disampaikan oleh peserta didik itu hanya hafalan saja,
artinya pertanyaan yang telah disampaikan bisa saja terlupakan atau mungkin sengaja untuk
dilupakan; 2) Proses tanya jawab yang berlangsung secara terus menerus akan menyimpang dari
pokok bahasan yang sedang dipelajari. Pertanyaan yang disampaikan oleh peserta didik itu dan
bahkan jawaban yang diberikan itu bisa saja keluar dari materi yang diajarkan jika pertanyaan terlalu
banyak; 3) Guru tidak mengetahui secara pasti apakah anak yang tidak mengajukan pertanyaan
ataupun menjawab telah memahami dan menguasai materi yang telah diberikan atau tidak.
Suprijono (2009, p. 107:108) menyebutkan langkah-langkah metode pembelajaran Giving Question
and Getting Answer sebagai berikut: 1) Bagikan dua potong kertas kepada peserta didik; 2) Mintalah
kepada peserta didik menuliskan kartu itu (1) kartu menjawab (2) kartu bertanya; 3) Pertanyaan bisa
berasal dari peserta didik maupun guru. Jika pertanyaan berasal dari peserta didik, maka peserta
didik diminta menyerahkan kartu bertuliskan kartu bertanya; 4) Setelah pertanyaan diajukan,
mintalah kepada peserta didik memberi jawaban. Setiap peserta didik yang hendak menjawab
diwajibkan menyerahkan kartu yang bertuliskan kartu menjawab. Perlu diingat, setiap peserta didik
yang hendak menjawab maupun bertanya harus menyerahkan kartu itu kepada guru.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan peneliti pada pembelajaran PAI dengan
menerapkan metode Giving Question and Getting Answer yang dilaksanakan di kelas VIII H SMP
Negeri 1 Baregbeg Kabupaten Ciamis, maka peneliti menyimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama,
penyusunan perencanaan pembelajaran PAI di kelas VIII H SMP Negeri 1 Baregbeg Kabupaten Ciamis
dengan menerapkan metode pembelajaran Giving Question and Getting Answer mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi pada siklus I mencapai nilai rata-rata 81,54,
siklus II mencapai nilai 85,27 dan siklus III mencapai nilai 88,09. Kedua, pelaksanaan proses
pembelajaran pada mata pelajaran PAI di kelas VIII H SMP Negeri 1 Baregbeg Kabupaten Ciamis
dengan menerapkan metode Giving Question and Getting Answer mengalami peningkatan. Hal ini
dapat dilihat berdasarkan penilaian observer pada pembelajaran siklus I dengan nilai rata-rata
mencapai 83,71, siklus II mencapai 87 dan siklus III mencapai 90,28. Ketiga, Hasil belajar peserta
didik kelas VIII H SMP Negeri 1 Baregbeg Kabupaten Ciamis setelah mengukuti pembelajaran PAI
dengan menerapkan metode pembelajaran Giving Question and Getting Answer mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil siklus I mendapat nilai rata-rata 75,29, siklus II dengan
nilai rata-rata 78,94, dan siklus III dengan nilai rata-rata 84,85.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (2002). Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Baharudin, & Wahyuni. (2015). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: ArRuzz Media.
Cipta.
Djamarah, S. B., & Zain, A. (2006). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
215
Sopiatin, P., & Sahroni, S. (2011). Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam.
Algesindo.
Algesindo.
Sulhan, N., & et.al. (2012). Panduan Mengajar Akidah Akhlak Madrasah
Cipta.
Abstrak: Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah proses pengalihan (transfer) pengetahuan,
pemahaman, nilai-nilai dan pengamalan ajaran Islam secara terencana, sistemik, dan berkelanjutan.
Dengan kata lain, PAI adalah upaya menumbuhkembangkan fitrah anak didik yang dibawa sejak lahir
menjadi sebuah kemampuan dan kekuatan yang dapat melahirkan kompetensi yang profesional.
Fitrah di satu sisi dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan (potensi) untuk mengetahui,
memahami dan mengamalkan ajaran Islam baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah Allah
di muka bumi. Untuk menumbuhkembangkan fitrah ini, maka PAI harus dapat mengarahkan dan
membimbing anak didik sesuai dengan ajaran Islam. Satu hal yang sangat urgen dalam pelaksanaan
PAI adalah harus berdasarkan kepada penanaman moral Islam dengan menitikberatkan kepada
penanaman dan pembiasaan moral action dalam kehidupan anak didik. Ini didasarkan pada asumsi
bahwa intisari ajaran Islam adalah pengamalan dan praktek akhlaq al-karîmah.
Pendahuluan
Evaluasi merupakan suatu tahapan akhir dari suatu proses pembelajaran, yang dengannya
dapat diketahui keberhasilan proses pembelajaran tersebut sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Oleh karenanya, evaluasi merupakan kegiatan yang tak kalah pentingnya dari proses pembelajaran.
Sedangkan aspek afektif menyangkut kemampuan anak didik untuk menerima, berpartisipasi,
menilai, mengorganisasi, serta membentuk pola hidup. Selanjutnya, aspek psikomotorik menyangkut
kemampuan anak didik untuk melakukan persepsi, melakukan gerakan terbimbing, melakukan
gerakan yang terbiasa, melakukan gerakan yang kompleks, melakukan penyesuaian pola gerakan
dan mengembangkan kreativitas.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah proses pendidikan yang dilakukan pendidik
untuk membekali anak didik dengan pengetahuan, pemahaman, penghayatan pengamalan ajaran
Islam. Dalam hal ini pembelajaran PAI harus menempatkan ajaran Islam sebagai suatu obyek kajian
yang melihat Islam sebagai sebuah sistem nilai dan sistem moral yang tidak hanya diketahui dan
dipahami, tapi juga dirasakan serta dijadikan sebuah aksi dalam kehidupan anak didik.
Untuk mencapai idealitas di atas, maka harus dirumuskan sebuah sistem evaluasi
pembelajaran PAI yang tidak hanya melihat Islam sebagai sebuah pengetahuan dan atau
pemahaman, tapi lebih dari itu yaitu mengevaluasi dengan memandang Islam sebagai sebuah aksi
moral.
berdasarkan suatu kriteria tertentu.3 Selanjutnya Davies menyatakan bahwa evaluasi merupakan
proses memberikan/menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan bagi suatu
proses, obyek dan lain-lain.4 Edwind dan Gerald, dalam bukunya Essentials of Educational
Evaluation, menjelaskan bahwa evaluasi adalah “refer to the act or prosess to determining the value
of something,5 Jadi evaluasi atau penilaian merupakan suatu tindakan atau suatu proses untuk
menentukan nilai dari sesuatu.
Dari berbagai definisi di atas, dapat ditegaskan bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan untuk
menentukan dan atau memberikan nilai terhadap suatu proses dengan mengunakan kriteria-kriteria
tertentu untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Evaluasi atau penilaian harus dilaksanakan secara tepat, cermat dan akuntabel. Sebab evaluasi
yang demikian akan dapat menggambarkan kemajuan belajar siswa secara obyektif, sehingga tidak
akan merugikan baik diri siswa itu sendiri maupun stakeholder yang lainnya, termasuk masyarakat
dan negara. Jika evaluasi berjalan sebagaimana tersebut di atas, maka evaluasi akan terhindar dari
kekeliruan penilaian.
Oleh karena itu, agar evaluasi dapat dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan, maka para
penilai (evaluator) harus mengikuti prinsip-prinsip evaluasi yang telah ditentukan, yaitu:
a.Prinsip Keterpaduan
Kegiatan penilaian berkaitan erat dengan kegiatan-kegiatan pengajaran lainnya. Oleh karena itu,
kegiatan penilaian tidak boleh lepas dari kegiatan pengajaran. Jika prinsip ini tidak terpenuhi, maka
penilaian tidak akan memberikan makna apa-apa. Dengan demikian, dalam kegiatan penilaian harus
memperhatikan tujuantujuan instruksional serta bahan ajar yang diajarkan pada siswa, sehingga
setiap butir soal yang dibuat tidak boleh keluar dan menyimpang dari aspek-aspek bahan ajar
tersebut.
b. Prinsip Kelengkapan
Penilaian harus dilakukan secara menyeluruh sesuai dengan tujuan penilaian dan ruang lingkup
bahan ajar yang ingin diungkap, sehingga dapat memberikan informasi yang memadai. Selain itu,
teknik dan instrumen yang digunakan juga harus sesuai. Dari aspek perilaku yang diungkap, evaluasi
harus mencakup keseluruhan bahan ajar dan kedalaman tingkah laku yang semestinya diungkap. Hal
ini tidak berarti bahwa semua bahan ajar harus diteskan, tetapi aspek-aspek yang akan dievaluasi
merupakan representasi dari seluruh bahan ajar yang akan diungkap. Dengan demikian, teknik dan
instrumen yang dipilih dan akan digunakan bisa saja hanya satu teknik dan instrumen, yang penting
hal tersebut mampu mengungkap data atau informasi secara lengkap sebagaimana yang diharapkan.
c. Prinsip Kesinambungan
d. Prinsip Obyektifitas
Evaluasi yang dilakukan guru harus dilakukan secara tepat berdasarkan data obyektif kemajuan
belajar siswa, bukan berdasarkan pengamatan dan pertimbangan subyektif guru. Dengan demikian,
evaluasi harus menggambarkan kemampuan obyektif siswa yang sebenarnya, bukan berdasarkan
suka dan tidak suka guru kepada para siswanya. Obyektivitas juga mengarah kepada perlakuan yang
sama dan adil kepada semua murid yang dievaluasi dengan memberikan penilain yang fair.
e. Prinsip Relevansi
Dengan hasil evaluasi, pengambilan keputusan penilaian harus didasarkan pada data yang
relevan dengan tujuan penilaian.7 Dengan demikian, perlu adanya kesesuaian antara tujuan
evaluasi, data yang dijadikan dasar pengambilan keputusan dan instrumen yang digunakan.
f. Prinsip Keteraturan
Dalam melakukan evaluasi, kita harus mengetahui dan memperhatikan prosedur dan langkah-
langkah evaluasi yang seharusnya dilakukan. Kita tidak boleh mengambil keputusan evaluasi
sebelum adanya data yang dapat dipercaya. Juga kita tidak dapat memperoleh data yang memadai
kalau tidak menggunakan instrumen pengumpul data yang memenuhi syarat. Selain itu, kita tidak
akan dapat mengembangkan instrumen secara baik jika tidak mengetahui tujuan evaluasi dan aspek-
aspek perilaku yang semestinya diungkap. Dengan demikian, sebelum melakukan evaluasi, harus
mengikuti beberapa aturan dan urutan yang telah ditentukan agar hasil evaluasi akuntabel. Dalam
konteks ajaran Islam ditegaskan bahwa setiap sesuatu terdapat aturan main dan ketetapan yang
harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan dan kadar masing-masing.8
Pertanyaan ini diperinci dengan sub pertanyaan; 1) siapa yang akan diuji?; 2) untuk apa mereka
diuji?; 3) menggunakan tes skor apa?; 4) bagaimana individu mendapatkan kemampuan dari apa
yang diteskan kepada mereka?; 5) apa judul tes yang mengekspresikan tujuan tes itu?. Untuk siapa
tes itu dilakukan itu berkaitan dengan sasaran tes, yaitu peserta tes (anak didik). Dalam hal ini
perancang tes harus mengetahui pada level mana anak didik yang akan dites. Sedangkan untuk apa
tes itu dilakukan berkaitan dengan fungsi atas yaitu selektif, penempatan, diagnostik, dan pengukur
keberhasilan.11 Selanjutnya, kemampuan apa yang diharapkan dari tes yang dilakukan berkaitan
dengan tujuan pembelajaran bidang studi yang bersangkutan, dan ini harus mengacu pada Satuan
Acara Pembela- jaran (SAP) yang di dalamnya telah terumuskan kemampuan (kompetensi) apa yang
diinginkan. Judul tes juga sebaiknya yang menjadi arah bagi pelaksaan tes. Sebagai contoh sebuah
tes prestasi belajar pada bab ‘Thahârah’ untuk mata pelajaran Fiqh. Dengan demikian tes harus
diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan testee tentang persoalan-persoalan
thahârah pada mata pelajaran Fiqh.
Pertanyaan di atas dapat dipecah menjadi sub pertanyaan sebagai berikut: 1) Wilayah bidang
studi apa dan subwilayah bidang studi apa dari isi (content) yang dapat tercover oleh tes?; 2) Berapa
banyak item yang akan ditulis pada tiap-tiap wilayah bidang studi tadi?; 3) Aspek kemampuan apa
yang dikehendaki dari masing-masing item melalui tes?; 4) Berapa banyak item yang akan ditulis
untuk masing-masing aspek?; 5)Apa yang akan menjadi sumber pemikiran atas masing-masing
item?; dan 6) Kriteria untuk menjadikan sumber-sumber tertentu dalam penulisan item-item
tersebut?. Spesifikasi bagi sebuah tes prestasi kependidikan harus terdiri dari outline rinci bidang
kajian ilmu pengetahuan atau kemampuan yang diteskan. Spesifikasi juga harus memberikan indikasi
berapa banyak item yang diinginkan bagi masing-masing bidang kajian dan rasio penyebaran item-
item itu. Tes tipe ini juga harus terdiri dari item-item yang menggambarkan aspek keberhasilan,
pemahaman akan istilah-istilah, pengetahuan tentang fakta-fakta dan generalisasi, kemampuan
untuk menjelaskan, memprediksi, memecahkan berbagai persoalan dan lain-lain. Selanjutnya
spesifikasi harus mengidentifikasi sumber-sumber untuk menemukan ide-ide baru dalam penulisan
item pertanyaan. Untuk itu diperlukan kriteria tertentu dalam memberikan petunjuk dalam menulis
item, yang secara umum adalah ide-ide yang diseleksi harus yang paling produktif dan merupakan
informasi yang paling berguna bagi anak didik untuk memahami elemen pengetahuan dan
kemampuan terpenting dalam bidang studi yang akan diujikan.
Pertanyaan di atas dapat dirinci dengan sub pertanyaan dibawah ini: 1) Bentuk apakah tes yang
akan digunakan dan mengapa menggunakan bentuk tes ini?; 2) Seberapa lama waktu tes yang
dibutuhkan ? dan mengapa?; 3) Berapa banyak item-item tes yang akan masuk? dan mengapa?.
Masing-masing bentuk dari tes mempunyai kelebihan, di samping kekurangan dalam keadaan
tertentu, seorang perancang tes harus menentukan bentuk tes dan mengapa menggunakan bentuk
tes tersebut. Jika jam pelajaran atau waktu ujian tidak menentukan lamanya tes, ini dapat
ditentukan oleh tingkat akurasi yang diinginkan dalam memberikan skor, atau kemungkinan durasi
yang dibutuhkan oleh yang diuji dalam berusaha menjawab. Kebanyakan tes objektif membutuhkan
kurang-lebih dua jam. Makin lama waktu tes, maka akan semakin teliti skor tes. Jumlah item
pertanyaan yang masuk dalam durasi tertentu akan tergantung kepada bentuk dari item yang dipilih,
kompleksitas proses berpikir yang terlibat dalam seleksi sebuah jawaban, dan tingkat kecepatan
yang diuji dalam menjawab tes dapat menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan skor.
Seorang yang merancang tes harus mempunyai kualifikasi dalam bidang studi yang diteskan.
Dalam pengembangan tes, penting adanya review dalam penulisan item-item dari orang lain yang
juga ahli dalam bidang itu. Jika mungkin item-item itu seharusnya diujicobakan dengan semisal orang
yang akan diujikan secara sederhana. Seorang penulis item yang baik, memahami seluruh bahan
mata pelajaran (sub pembahasan) bidang studi yang akan diteskan. Ia mengenal dan menguasi
problem- problem yang dihadapi murid dan kesalahpahaman yang mereka dapati sewaktu
mempelajari mata pelajaran itu. Ia juga mampu dalam mengungkapkan konsepkonsep dan ide-ide
secara jelas dan akurat, dan ia menguji dengan tes yang baik dengan menggunakan berbagai model
item. Kemampuan semacam ini harus dimiliki seorang yang akan melaksanakan dengan penulisan
dan review item-item. Seorang yang ditugaskan untuk mereview item-item tersebut dapat
merekomendasikan bahwa item-item itu diterima, ditolak atau direvisi. Rekomendasi untuk menolak
item-item itu harus disertai identifikasi terhadap kesalahan yang serius sehingga item-item itu tidak
dapat diteruskan. Sedangkan item-item yang direvisi harus disertai perbaikan/perubahan yang
dinginkan. Hanya item-item yang mempunyai kesalahan paling serius yang diberi catatan dan
dikoreksi. Proses review dapat efektif dan efisien jika hal itu dilakukan dengan komunikasi tertulis
dan dengan ditambah dengan diskusi (penjelasan lisan). Kerja sama yang baik antara pereview dan
perancang tes akan menghasilkan instrumen tes yang diinginkan. Tujuan dari tes uji coba adalah
menemukan kelemahan tes yang dibuat oleh perancang tes maupun pereview. Ketidaktelitian dan
ambiguitas mungkin dapat menyebabkan item pertanyaan terlalu sulit, atau clue yang tidak
disengaja menyebabkan tes terlalu mudah. Ide yang diteskan mungkin terlalu dikenal atau terlalu
tidak dikenal. Dengan keadaan tersebut maka tidak dapat dibedakan antara prestasi yang sangat
tinggi dengan prestasi yang sangat rendah.
Dalam tes obyektif dapat digunakan mesin/alat penyekoran hasil tes yang cepat akurat dan
terpercaya. Sedangkan dalam tes essay harus disusun jawaban tes itu yang memilki susunan tertentu
yang dapat menjamin ketelitian dan keadilan. Dalam sebuah tes yang cepat (yaitu tes yang banyak
murid tidak dapat menyelesaikan dalam waktu yang disediakan), maka direkomendasikan “koreksi
terhadap jawaban tebakan”. Dengan cara ini tidak memberikan kesempatan kepada murid untuk
menebak dalam menjawab secara sembarangan. Tebakan yang sembarangan akan mengurangi
terhadap skor tes secara keseluruhan. Namun dalam kebanyakan tes prestasi dan perilaku dihindari
tes yang waktunya sangat cepat. Dalam tes yang tidak cepat (cukup lama dalam menyelesaikan tes)
koreksi terhadap jebakan tidak diperlukan.
1. Untuk menguji daya kemampuan manusia yang beriman terhadap berbagai macam problema
kehidupan yang dialami.15
2. Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah
diaplikasikan oleh Rasulullah SAW kepada ummatnya, seperti evaluasi yang dilakukan oleh Nabi
Sulaiman kepada burung hud hud.
3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keimanan dan ke-Islaman seseorang, seperti
evaluasi yang dilakukan Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail.17
4. Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia tentang pelajaran yang telah diberikan Allah
kepada mereka, seperti evaluasi yang dilakukan Allah terhadap Nabi Adam yang telah diajarkan
namanama sesuatu dan diperintahkannya kepada para malaikat.18
5. Memberikan kabar gembira (tabsyîr) bagi yng berkelakuan baik dan memberikan ancaman
(tandzîr) bagi manusia yang berperilaku buruk.19 Sedangkan sasaran evaluasi PAI pada ranah afektif
secara garis
3. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitar.
4. Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakt
serta selaku khalifah Allah SWT.20
Dalam konteks pembelajaran PAI, maka pengembangan evaluasi belajar diarahkan pada
pengembangan moral Islam (akhlaq) dalam kerangka pengembangan fitrah penciptaan manusia.
Fitrah penciptaan manusia ditekankan kepada
fitrah manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai ‘âbid, yaitu beribadah kepada Allah SWT dan
sebagai khalifah, yaitu memakmurkan dan membangun kehidupan manusia di muka bumi.
Dalam kaitan ini, Hasan Langgulung menegaskan bahwa ketika Allah meniupkan roh (ciptaan)-Nya
kepada diri manusia, maka pada saat itulah manusia memiliki sifat-sifat ketuhanan sebagaimana
yang terdapat dalam al-asmâ’ al-husnâ. Hanya saja, kalau Allah bersifat Maha, maka manusia itu
hanya mempunyai sifat sebagian darinya.
Misalnya Allah bersifat Maha Mendengar, maka manusia bersifat mendengar. Allah bersifat Maha
Mengetahui, maka manusia bersifat mengetahui. Allah bersifat Maha Melihat, manusia bersifat
melihat, dan seterusnya.21
Sementara itu Muhaimin memberikan pengertian yang sangat luas terhadap konsep fitrah.
Fitrah meliputi fitrah beragama, fitrah berakal budi, fitrah kebersihan dan kesucian, fitrah bermoral
dan berakhlaq, fitrah kebenaran, fitrah kemerdekaan, fitrah keadilan, fitrah persamaan, fitrah
individu, fitrah sosial, fitrah seksual, fitrah ekonomi, fitrah politik, dan fitrah seni.22
Moral selain dapat didekati dari aspek kognitif (penalaran moral), dapat juga dikaji dari aspek
afektif (perasaan moral), yang secara integratif aspek-aspek tersebut dapat mendorong terjadinya
tindakan atau perilaku moral. Hubungan di antara aspek-aspek tersebut dapat dijadikan acuan studi
tentang moral dan dapat digunakan oleh guru atau perancang pembelajaran sebagai pedoman
dalam mengembangkan komponen-komponen pembelajaran moral, seperti merumuskan tujuan
pembelajaran yang diinginkan, strategi pembelajaran moral, dan menyusun alat evaluasi hasil
belajar. Pembelajaran moral dapat didekati dari aspek kognitif sebagai unsur pemahaman moral
atau penalaran moral, yaitu jenis kemampuan kognitif yang dimiliki seseorang untuk
mempertimbangkan, menilai dan memutuskan suatu perbuatan berdasarkan prinsip-prinsip moral
seperti baik atau buruk, etis atau tidak etis, benar atau salah. Pembelajaran moral untuk
mengembangkan aspek afektif sebagai unsur perasaan moral, terwujud dalam suatu kemampuan
untuk mengambil sudut pandang orang lain untuk menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain,
merupakan sumber kesadaran akan hak-hak orang lain dan kewajiban diri sendiri dalam
hubungannya dengan alam sekitarnya Pembelajaran untuk mengembangkan aspek perilaku sebagai
tindakan moral, merupakan kemampuan untuk melakukan interaksi sosial dalam mengambil peran
sosial serta menyelesaikan pertentangan peran yang berkaitan dengan nilai-nilai moral seperti
keadilan, persamaan, keseimbangan dan lain-lain.24 Penekanan aspek moral ini bukan hanya
terbatas pada pengetahuan tentang moral (pengetahuan bahwa sifat dan perilaku itu baik atau
tidak), tapi lebih pada perasaan bermoral, yaitu menjadikan moral sebagai pribadi seseorang dan
selanjutnya harus diarahkan kepada aksi moral, yaitu moral dijadikan sebagai sebuah aksi (perilaku
nyata) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran nilai dikenal dengan beberapa strategi
yang-- menurut Muhaimin--terdiri dari empat strategi yaitu: 1) pembelajaran nilai dengan
menggunakan strategi tradisional, yaitu dengan memberikan nasihat atau indoktrinasi; 2)
pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi bebas, sebagai kebalikan dari strategi tradisional,
yaitu memberikan kesempatan kepada murid untuk memilih moral yang baik dan tidak baik; 3)
pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi reflektif, menggabungkan antara pendekatan
teoritik dan empirik atau deduktif ke induktif; dan 4) pembelajaran nilai dengan menggunakan
strategi transinternal, yaitu cara pembelajaran dengan mengunakan transformasi nilai , transaksi,
transinternalisasi.26 Beberapa strategi di atas dapat dijabarkan dalam berbagai pendekatan, yaitu
sebagai berikut: 1) pendekatan pengalaman, yaitu dengan memberikan pengalaman
moral/keagamaan dalam penanaman nilainilai keagamaan; 2) pendekatan pembiasaan, yaitu
memberikan kesempatan kepada anak didik untuk dapat mengamalkan ajaran Islam dan akhlak yang
mulia; 3) pendekatan emosional, yaitu menggugah perasaan anak didik dalam menghayati, meyakini
ajaran Islam sehingga anak didik termotivasi secara suka rela untuk melaksanakan ajaran Islam; 4)
pendekatan rasional, yaitu memberikan pengertian rasional dalam memahami ajaran Islam; 5)
pendekatatan fungsional, yaitu memberikan penanaman dan pemahaman akan manfaat ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan al Qur’an yang menegaskan bahwa agama
Islam diturunkan dengan misi untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam; dan 6) pendekatan
keteladanan, yaitu memberikan contoh dan teladan yang baik kepada anak didik. Keteladanan inilah
yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam kehidupan sehari-sehari
terutama dalam melaksanakan dakwah Islam.
Penutup
Aryanti Agustina
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Baturaja E-mail : yantibaturaja5@gmail.com
Abstract
This research was conducted in a class action SMA 3 OKU concerning the ability of teachers
to implement the use of teaching materials. The formulation of the problem in research is how
the teacher's ability by applying the use of teaching materials in SMA Negeri 3 Ogan Ogan
Ulu. Thestudy of this class action planned to take place in the second cycle of the meeting to each
cycle 3 times meeting. The results showed that the frequency of planning is 64.67, the
frequency of execution is
66.67 and frequency of assessment was 80.42. The researchers suggestion is to conduct
quality improvement in implementing the use of teaching materials ranging from planning and
implementation to the assessment so that teachers have the professional ability to perform the
duties of professionalism, especially in the design and planning of teaching materials that will be
given to students.
Abstrak
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan di SMA Negeri
3 OKU yang menyangkut tentang kemampuan guru menerapkan penggunaan
bahan ajar. Adapun rumusan masalah dalam penelitian adalah Bagaimana
kemampuan guru menerapakan penggunaan bahan ajar oleh di SMA Negeri 3
Ogan Komering Ulu. Penelitian tindakan kelas ini direncanakan berlangsung
dalam 2 siklus dengan pertemuan untuk masing-masing siklus sebanyak 3 kali
pertemuan. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi untuk
perencanaan adalah 64,67, frekuensiuntuk pelaksanaan adalah 66,67 dan frekuensi
untuk penilaian adalah 80,42. Adapun saran peneliti adalah untuk melakukan
peningkatan kualitas dalam menerapkan penggunaan bahan ajar mulai dari
perencanaan dan pelaksanaan sampai pada penilaian sehingga guru memiliki
kemampuan profesional untuk melaksanakan tugas-tugas keprofesiannya
terutama dalam mendesain dan merencanakan bahan-bahan ajar yang akan
diberikan kepada siswa.
pembelajaran siswa aktif (CBSA). Berbagai dapat mempelajari gunung berapi, kehidupan
sumber dapat kita gunakan untuk di laut, di hutan belantara melalui siaran
mendapatkan materi pembelajaran dari setiap televise; (7). Lingkungan ( alam, sosial, senibudaya,
standar kompetensi dan kompetensi dasar. teknik, industri, ekonomi. Berbagai lingkungan
Sumber-sumber dimaksud dapat disebutkan seperti lingkungan alam, lingkungan social,
berikut ini : (1) Buku Teks. Buku teks yang lengkungan seni budaya, teknik, industri, dan
diterbitkan oleh berbagai penerbit dapat dipilih lingkungan ekonomi dapat digunakan sebgai
untuk digunakan sebagai sumber bahan ajar. sumber bahan ajar. Untuk mempelajari abrasi
Buku teks yang digunakan sebagai sumber atau penggerusan pantai, jenis pasir,
bahan ajar untuk suatu jenis matapelajaran gelombang pasang misalnya kita dapat
tidak harus hanya satu jenis, apa lagi hanya menggunakan lingkungan alam berupa pantai
berasal dari satu pengarang atau penerbit. sebagau sumber.
Gunakan sebanyak mungkin buku teks agar
dapat diperoleh wawasan yang luas; (2) Laporan Bahan ajar adalah seperangkat materi
hasil penelitian. Laporan hasil penelitian yang atau substansi pembelajaran yang disusun
diterbitkan oleh lembaga penelitian atau oleh secara sistematis, menampilkan sosok utuh
para peneliti sangat berguna untuk dari kompetensi yang akan dikuasai oleh
mendapatkan sumber bahan ajar yang atual peserta didik serta memiliki banyak fungsi.
atau mutakhir; (3). Jurnal (penerbitan hasil Fungsi bahan ajar tersebut dikategorikan
penelitian dan pemikiran ilmiah); Penerbitan menjadi tiga, yaitu : 1). Fungsi bahan ajar
berkala yang berisikan hasil penelitian atau bagi pendidik, antara lain dapat menghemat
hasil pemikiran sangat bermanfaat untuk waktu mengajar, mengubah peran pendidik
digunakan sebagai sumber bahan ajar. Jurnal- menjadi seorang fasilitator, proses
jurnal tersebut berisikan berbagai hasil pembelajaran menjadi lebih efektif yang harus
penelitian dan pendapat dari para ahli di menjabarkan materi pokok menjadi bahan ajar
bidangnya masing-masing yang telah dikaji yang terperinci; 8). Penerbitan berkala seperti
kebenarannya. (4). Pakar bidang studi. Pakar harian, mingguan, dan bulanan. Penerbitan
atau ahli bidang studi penting digunakan berkala seperti Koran banyak berisikan
sebagai sumber bahan ajar. Pakar tadi dapat informasi yang berkenaan dengan bahan ajar
dimintai konsultasi mengenai kebenaran suatu matapelajaran. Penyajian dalam koran-
materi atau bahan ajar, ruang lingkup, koran atau mingguan menggunakan bahasa
kedalaman, urutan, dsb; (5). Profesional. popular yang mudah dipahami. Karena itu
Kalangan professional adalah orang-orang baik sekali apa bila penerbitan tersebut
yang bekerja pada bidang tertentu. Kalangan digunakan sebagai sumber bahan ajar; 3).
perbankan misalnya tentu ahli di bidang Internet. Bahan ajar dapat pula diperoleh
ekonomi dan keuangan. Sehubungan dengan melalui jaringan internet. Di internet kita dapat
itu bahan ajar yang berkenaan dengan eknomi memperoleh segala macam sumber bahan ajar.
dan keuangan dapat ditanyakan pada orang- Bahkan satuan pelajaran harian untuk berbagai
orang yang bekerja di perbankan; (6). Buku matapelajaran dapat kita peroleh melalui
kurikulum. Buku kurikulm penting untuk internet. Bahan tersebut dapat dicetak atau
digunakan sebagai sumber bahan ajar. Karena dikopi; 4). Media audiovisual (TV, Video,
berdasar kurikulum itulah standar kompetensi, VCD, kaset audio). Berbagai jenis media
kompetensi dasar dan materi bahan dapat audiovisual berisikan pula bahan ajar untuk
ditemukan. Hanya saja materi yang tercantum berbagai jenisdan interaktif serta sebagai alat
dalam kurikulum hanya berisikan pokok- evaluasi pencapaian hasil belajar.
pokok materi. Gurulah mata pelajaran. Kita
dengan harapan bermanfaat bagi semua kemampuan yang dimilki sekaligus sebagai alat
pihak yang berkepentingan dengan evaluasi penguasaan hasil belajar karena setiap
pengembangan bahan ajar, seperti kepala hasil belajar dalam bahan ajar akan selalu
sekolah, guru, pengawas sekolah maupun dilengkapi dengan sebuah evaluasi guna
pembina pendidikan lainnya. Bagi kepala mengukur penguasaan kompetensi.
sekolah buku ini dapat dijadikan bahan
pembinaan bagi guru yang mengalami Jenis-Jenis Bahan Ajar
kesulitan dalam mengembangkan bahan ajar. 5
Berdasarkan bentuknya bahan ajar
Bagi pengawas sekolah atau para dibedakan menjadi empat jenis, yaitu sebagai
pembina pendidikan lainnya keberadaan buku berikut. (1) Bahan ajar cetak, yaitu bahan yang
pedoman ini pasti bermanfaat. Karena setiap disiapkan dalam kertas (printed), misalnya
pengawas harus mengetahui berbagai hal yang handout, buku teks, modul, lembar kerja
dilakukan oleh guru, sehingga jika terdapat
siswa, brosur, leaflet, foto, dan model atau
kesulitan yang dialami oleh guru, pengawas
market. (2) Bahan ajar dengar (audio) yaitu
dapat segera membantunya. Dengan membaca
bahan ajar dengan sistem yang menggunakan
buku pedoman ini pengawas akan
sinyal radio, misalnya kaset, radio, piring hitam
mendapatkan pemahaman dan masukan-
atau compact disk audio. (3) Bahan ajar pandang
masukan tentang bahan ajar yang dapat
(audiovisual) yaitu bahan ajar dengan sistem
dikembangkan oleh guru dalam meningkatkan
kualitas kegiatan belajar mengajar. Dengan sinyal audio yang dikombinasikan dengan
demikian maka pengawas akan mendapatkan gambar bergerak, misalnya video compact disk
bekal dalam melaksanakan tugas dan film. (4) Bahan ajar interaktif, yaitu bahan
kepengawasan yaitu membina guru dalam ajar yang dikombinasikan dari dua atau lebih
mengembangkan bahan ajar. media (audio, teks, gambar, animasi, dan
video) contohnya compact disk interactive.
Guna menghasilkan tamatan yang 6
Prawotodan Andi, Panduan Kreatif Membuat
mempunyai kemampuan sesuai standard
kompetensi lulusan, diperlukan pengembangan Bahan Ajar Inovatif: Menciptakan Metode
pembelajaran untuk setiap kompetensi secara Pembelajaran yang Menarik dan Menyenangkan.
sistematis, terpadu, dan tuntas. Diva Press, 2011 h 40-41
Mengingat ada 3 tugas utama dosen bernilai besar; e). Pembaca dapat mengatur
dalam pembelajaran. Pertama, merancang tempo secara mandiri.
rencana pembelajaran termasuk diantaranya
tugas membuat bahan ajar (buku ajar). Kedua, Menurut Bandono (2009) penyusunan
melaksanakan pembelajaran dan ketiga, bahan ajar cetak memperhatikan hal-hal
melakukan evaluasi terhadap pencapaian sebagai berikut : 1). Susunan tampilan; 2).
belajar peserta didiknya. Terlihat jelas bahwa Bahasa yang mudah; 3). Menguji pemahaman;
menulis buku ajar adalah sebagai keniscayaan 4). Stimulan; 5). Kemudahan dibaca; 6).
dari para dosen dalam menyusun rencana Materi instruksional.
pembelajaran. Jadi, agak aneh jika seorang
Banyak sekali jenis bahan ajar cetak yang
dosen yang selama karirnya tidak pernah
bisa digunakan dalam proses pembelajaran,
sekalipun menulis buku ajar. Hehe..
antara lain adalah handout, modul, buku teks,
Intinya, buku ajar disusun sesuai dengan lembar kegiatan siswa, model (maket), poster
mata kuliah tertentu, diterbitkan secara resmi dan brosur.
dan disebarluaskan, artinya buku tersebut
Handout
haruslah ber-ISBN. Untuk kebutuhan promosi
Menurut Andi Prastowo handout
kenaikan pangkat, buku ajar dihargai dengan
merupakan bahan pembelajaran yang sangat
angka kredit sebesar 20 poin, dan masuk
ringkas, bersumber dari beberapa literatur
dalam kategori pendidikan (A).
yang relevan terhadap kompetensi dasar dan
Menurut Mulyasa (2006), bentuk-bentuk
materi pokok yang diajarkan kepada peserta
bahan ajar atau materi pembelajaran antara
didik. Pada umumnya handout berfungsi
lain:
untuk membantu peserta didik agar tidak perlu
Bahan ajar cetak (Printed)
mencatat, sebagai pendamping penjelasan
Bahan ajar cetak dapat ditampilkan pendidik, sebagai bahan rujukan peserta didik,
dalam berbagai bentuk. Jika bahan ajar cetak memotivasi peserta didik agar lebih giat
tersusun secara baik maka bahan ajar akan belajar, pengingat pokok-pokok materi yang
mendatangkan beberapa keuntungan seperti diajarkan, memberi umpan balik dan menilai
yang dikemukakan oleh Steffen Peter hasil belajar.
Ballstaedt, (1994) yaitu: 1). Bahan tertulis
Modul
biasanya menampilkan daftar isi, sehingga Modul adalah sebuah buku yang ditulis
memudahkan bagi seorang guru untuk
dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar
menunjukkan kepada peserta didik bagian secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan
mana yang sedang dipelajari; 2). Biaya untuk guru, sehingga modul berisi paling tidak
pengadaannya relatif sedikit.
tentang : (1). Petunjuk belajar (Petunjuk
siswa/guru); (2). Kompetensi yang akan
Bahan tertulis cepat digunakan dan
dicapai; (3). Content atau isi materi; (4).
dapat dipindah-pindah secara mudah. a).
Informasi pendukung; (5). Latihan-latihan; (6).
Susunannya menawarkan kemudahan secara
Petunjuk kerja, dapat berupa Lembar Kerja
luas dan kreativitas bagi individu; b). Bahan
(LK); (7). Evaluasi; (8). Balikan terhadap hasil
tertulis relatif ringan dan dapat dibaca di mana
evaluasi.
saja. c). Bahan ajar yang baik akan dapat
memotivasi pembaca untuk melakukan Pembelajaran dengan modul juga
aktivitas, seperti menandai, mencatat, memungkinkan peserta didik yang memiliki
membuat sketsa; d). Bahan tertulis dapat kecepatan tinggi dalam belajar akan lebih cepat
dinikmati sebagai sebuah dokumen yang menyelesaikan satu atau lebih kompetensi
dasar dibandingkan dengan peserta didik bersistem atau cetakan yang hanya terdiri atas
lainnya. Selain itu, juga meningkatkan beberapa halaman dan dilipat tanpa dijilid atau
kemampuan peserta didik untuk belajar sendiri selebaran cetakan yang berisi keterangan
tanpa tergantung kepada kehadiran pendidik. singkat tetapi lengkap tentang perusahaan atau
organisasi (Kamus besar Bahasa Indonesia,
Buku teks
Edisi Kedua, Balai Pustaka, 1996).
Buku teks pelajaran pada umumnya
merupakan bahan tertulis yang menyajikan Dengan demikian, maka brosur dapat
ilmu pengetahuan atau buah pikiran dari dimanfaatkan sebagai bahan ajar, selama sajian
pengarangnya yang disusun secara sistematis brosur diturunkan dari kompetensi dasar yang
berdasarkan kurikulum yang berlaku. Buku harus dikuasai oleh siswa. Mungkin saja brosur
teks berguna untuk membantu pendidik dalam dapat menjadi bahan ajar yang menarik, karena
melaksanakan kurikulum karena disusun bentuknya yang menarik dan praktis. Agar
berdasarkan kurikulum yang berlaku, menjadi lembaran brosur tidak terlalu banyak, maka
pegangan guru dalam menentukan metode brosur didesain hanya memuat satu
pengajaran dan memberikan kesempatan bagi kompetensi dasar saja. Ilustrasi dalam sebuah
peserta didik untuk mengulangi pelajaran atau brosur akan menambah menarik minat peserta
mempelajari pelajaran baru. didik untuk menggunakannya.
Lembar kegiatan siswa Leaflet
Lembar kegiatan siswa (student work sheet) Leaflet adalah bahan cetak tertulis
adalah lembaran-lembaran berisi tugas yang berupa lembaran yang dilipat tapi tidak
harus dikerjakan oleh peserta didik. Lembar dimatikan/dijahit. Agar terlihat menarik
kegiatan biasanya berupa petunjuk atau biasanya leaflet didesain secara cermat
langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu dilengkapi dengan ilustrasi dan menggunakan
tugas. Suatu tugas yang diperintahkan dalam bahasa yang sederhana, singkat serta mudah
lembar kegiatan harus jelas kompetensi dasar dipahami. Leaflet sebagai bahan ajar juga harus
yang akan dicapainya. LKS berfungsi untuk memuat materi yang dapat menggiring peserta
meminimalkan peran pendidik dan didik untuk menguasai satu atau lebih KD.
mengaktifkan peran peserta didik,
Wallchart
mempermudah peserta didik untuk memahami
Wallchart adalah bahan cetak, biasanya
materi yang diberikan dan kaya akan tugas
berupa bagan siklus/proses atau grafik yang
untuk berlatih.
bermakna menunjukkan posisi tertentu. Agar
Model (maket) wallchart terlihat lebih menarik bagi siswa
Model (maket) merupakan bahan ajar maupun guru, maka wallchart didesain dengan
yang berupa tiruan benda nyata untuk menggunakan tata warna dan pengaturan
menjembatani berbagai kesulitan yang bisa proporsi yang baik. Wallchart biasanya masuk
ditemui, apabila menghadirkan objek atau dalam kategori alat bantu melaksanakan
benda tersebut langsung ke dalam kelas, pembelajaran, namun dalam hal ini wallchart
sehingga nuansa asli dari benda tersebut masih didesain sebagai bahan ajar.
bisa dirasakan oleh peserta didik tanpa
Foto/Gambar
mengurangi struktur aslinya, sehingga
Foto/gambar memiliki makna yang
pembelajaran menjadi lebih bermakna.
lebih baik dibandingkan dengan tulisan.
Brosur Foto/gambar sebagai bahan ajar tentu saja
Brosur adalah bahan informasi tertulis diperlukan satu rancangan yang baik agar
mengenai suatu masalah yang disusun secara setelah selesai melihat sebuah atau serangkaian
Prio.
Mei 2015.