Revisi III Lokataru Membunuh Pikiran Rocky 2
Revisi III Lokataru Membunuh Pikiran Rocky 2
Editor
Delpedro Marhaen
Penyusunan
September–Oktober 2023
Lokataru Foundation
Jl. Tebet Timur Dalam VIII L No.25,
Kelurahan Tebet Timur, Kecamatan. Tebet,
Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820.
Telp : (021) 22909991
Email : lokatarufoundation@gmail.com
Daftar Isi 3
I. Pendahuluan 5
II. Metode Penelitian 8
III. Hasil Temuan dan Analisis 9
A. Pola 11
B. Bentuk Serangan 16
1. Laporan Pidana 18
2. Gugatan Perdata 24
3. Demonstrasi 28
4. Pemboikotan 29
5. Serangan Terhadap Keamanan Pribadi 30
C. Aktor 31
IV. Kesimpulan 38
Daftar Pustaka 40
T
ulisan ini secara khusus membahas tentang serangan
terhadap hak kebebasan berpikir dan bersikap, hak
kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak
kebebasan berserikat dan berkumpul akibat partisipasi seseorang dalam
mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan. Salah satu figur
yang akan dikaji dalam dinamika ini adalah Rocky Gerung. Sebagai
seorang intelektual, akademisi, dan aktivis demokrasi di Indonesia,
Rocky Gerung telah lama menyuarakan pandangan dan kritiknya
terhadap berbagai isu sosial dan politik di Indonesia (Rahmawati et al.,
2021). Namun, dalam lima tahun terakhir, partisipasi Rocky Gerung
di ruang publik kerap berujung pada laporan pidana, gugatan perdata,
boikot, dan bentuk-bentuk serangan lain terhadap hak-haknya sebagai
warga negara.
Beberapa kasus serangan terhadap Rocky Gerung yang
menyorot perhatian publik, antara lain kasus kitab suci fiksi (2018),
tuduhan menghina Agus Salim (2019), tuduhan cuitan Pilpres curang
(2019), tuduhan cuitan menghina marga Laoly (2020), tuduhan ujaran
kebencian terhadap Romo Benny (2021) dan yang terbaru adalah
tuduhan menghina Presiden Joko Widodo (2023). Semua kasus
tersebut berawal dari kritik yang disampaikan oleh Rocky Gerung di
ruang publik, namun dipandang berbeda oleh lawan-lawan politiknya.
Pernyataan Rocky Gerung dianggap telah melakukan pencemaran
nama baik, fitnah, berita bohong dan memicu permusuhan antar suku,
agama, ras dan antar golongan.
Sumbangsih pemikiran dan keberaniannya dalam menyampaikan
pemikiran-pemikiran kritis terutama dalam mengkritik penguasa,
membuat Rocky Gerung semakin dikenal dan banyak diikuti oleh
publik. Selain itu, ia juga sering menjadi saksi ahli dalam beberapa
kasus yang berkaitan dengan hak kebebasan kebebasan berpikir, dan
hak kebebasan berpendapat. Ia menegaskan bahwa pemikiran hanya
bisa dibalas dengan pemikiran kembali, bukan dengan pelaporan
hukum, intimidasi, serangan digital dan lainnya (Gerung, 2010).
Tindakan ini mencerminkan perjuangan membela hak kebebasan
berpikir dan kebebasan berpendapat yang merupakan hak dasar setiap
warga negara.
A. Pola
Bagian ini menjelaskan bagaimana pola tindakan serangan
terhadap Rocky Gerung terjadi. Pola ini terdiri dari beberapa
unsur yang kemudian saling berhubungan menjadi satu kesatuan
struktur, yang kami sebut sebagai tindakan “serangan” yang
berulang. Struktur ini telah membangun sebuah ekosistem yang
dihuni dan berkelindan di antara partai politik, tokoh politik,
organisasi relawan, organisasi masyarakat bahkan organisasi
kedaerahan. Merekalah yang menjadi dirigen dalam orkestra
aksi-aksi penyerangan terhadap tokoh-tokoh oposisi, aktivis
B. Bentuk Serangan
Bagian ini menjelaskan berbagai bentuk serangan yang
dialami oleh Rocky Gerung. Seperti yang telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya, serangan yang dimaksud di sini
adalah tindakan pembalasan atau reprisals, yakni tindakan
yang dilakukan baik dengan kekerasan maupun menggunakan
hukum untuk membatasi, mengintimidasi, atau membungkam
partisipasi warga di ruang publik. Hal ini dapat berupa serangan
langsung (direct), tidak langsung (non direct), dan menyambung
(domino effect). Guna memudahkan identifikasi dan analisis,
kami mengkategorikan berbagai bentuk serangan tersebut ke
dalam lima bentuk utama, yaitu (1) boikot; (2) demonstrasi atau
protes; (3) gugatan perdata; (4) laporan pidana; (5) serangan
terhadap keamanan pribadi, termasuk serangan digital.
Dalam bentuk pemboikotan terdapat 14 kasus, yang
merujuk pada pelarangan, penolakan, dan pembatalan kegiatan
yang menghadirkan Rocky Gerung. Kemudian ada 23 kasus
demonstrasi yang sebagian besar bertujuan untuk menuntut
agar Rocky Gerung segera dipenjarakan dan beberapa lainnya
menolak atau mengusir kedatangan Rocky Gerung. Dalam
penggunaan instrumen hukum, terdapat 3 gugatan perdata
terkait gugatan perbuatan melawan hukum Rocky Gerung.
1. Laporan Pidana
Bentuk serangan dalam bentuk laporan pidana
menjadi cara yang paling banyak digunakan untuk
membunuh pemikiran dan pendapat Rocky Gerung.
Pada tahun 2023, serangan dalam bentuk laporan pidana
mendominasi sebagai respon pembalasan atas kritik Rocky
Gerung terhadap Presiden Joko Widodo terkait Ibu Kota
Nusantara (2023). Setidaknya terdapat 25 laporan pidana
terhadap Rocky Gerung yang tersebar di sejumlah kota di
Indonesia terkait kasus ini.
Selain mendominasi di tahun ini, pada tahun-tahun
sebelumnya instrumen penggunaan hukum pidana untuk
memburu Rocky Gerung juga pernah terjadi. Argumentasi
yang digunakan para pelapor pun cenderung serupa, yakni
terkait dugaan pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan,
penistaan agama, dan permusuhan antar suku, agama, ras,
dan golongan. Laporan pidana terhadap Rocky Gerung
dalam lima tahun terakhir berdasarkan kasus-kasus yang
menyita perhatian publik, antara lain:
2. Gugatan Perdata
Modus baru serangan terhadap Rocky Gerung dalam
lima tahun terakhir adalah gugatan perdata. Dalam kasus
dugaan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo (2023),
ada tiga gugatan perdata yang ditujukan kepada Rocky
Gerung terkait gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).
Gugatan tersebut berasal dari Dewan Pimpinan Pusat Taruna
Merah Putih (DPP TMP) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
gugatan dari Advokat David Tobing di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, dan gugatan dari Perhimpunan Pembela
Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan) di
Pengadilan Negeri Cibinong.
Gugatan-gugatan perdata tersebut memunculkan
berbagai pandangan terkait mekanisme proses hukum
atas dugaan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama
baik, di mana beberapa pihak setuju dengan mekanisme
3. Demonstrasi
Setelah dihujani berbagai laporan hukum, baik
pidana maupun perdata, terjadi 23 aksi demonstrasi di
berbagai kota di Indonesia. Mereka berdemonstrasi untuk
mendesak polisi segera menindaklanjuti proses hukum dan
memenjarakan Rocky Gerung. Aksi unjuk rasa ini banyak
dilakukan di depan kantor polisi di wilayah demonstrasi
masing-masing, baik di tingkat Polres, Polda, bahkan di
Jakarta, dilakukan di Mabes Polri.
Selain sebagai upaya untuk mendesak agar Rocky
Gerung diproses secara hukum, kuat dugaan bahwa aksi
unjuk rasa tersebut digerakkan oleh pihak pelapor atau
pihak-pihak yang tidak terima dengan pernyataan Rocky
Gerung agar tercipta situasi seolah-olah terjadi kekacauan
akibat ucapan Rocky Gerung. Tindakan seperti ini dalam
beberapa kasus memang lazim digunakan sebagai modus
untuk mematikan pemikiran dan pendapat warga terkait
kritik terhadap pejabat publik dan kepentingan umum.
Situasi keonaran inilah yang menjadi argumen penguat
terpenuhinya delik “keonaran”.
Jika polisi hanya melihat peristiwa yang tampak
sebagai kekacauan, padahal terjadi secara non-organik,
maka polisi akan terjerumus dalam pemahaman bahwa
kritik tidak boleh dilontarkan untuk menjaga stabilitas
dan keamanan. Dengan pandangan seperti itu, civic space
akan mudah direpresi dengan argumen serupa, yang
menguntungkan bagi pihak yang berkuasa untuk bebas
dari kritik. Pembatasan semacam ini pernah kita alami
pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB),
ketika warga terancam oleh sejumlah aturan dan tindakan
4. Pemboikotan
Serangkaian pemboikotan terhadap semua kegiatan
yang menghadirkan Rocky Gerung, baik seminar, diskusi,
ceramah dan lainnya telah terjadi dalam lima tahun
terakhir. Dalam pantauan kami, setidaknya ada 18 kasus
pemboikotan terhadap kegiatan yang melibatkan Rocky
Gerung. Bentuk pemboikotan bisa bermacam-macam,
seperti menduduki lokasi acara, menutup akses menuju
lokasi acara, melakukan demonstrasi di lokasi acara,
membuat kegaduhan di lokasi acara, hingga kekerasan.
Seperti yang terjadi pada tahun 2018, seminar yang
akan diselenggarakan di Pangkal Pinang, Bangka Belitung
dan Palembang, Selatan terpaksa dibatalkan karena adanya
penolakan dari sejumlah pihak di lokasi acara. Penolakan
tersebut kemudian menjadi dasar bagi pemilik lokasi dan
pihak kepolisian untuk tidak mengeluarkan izin. Padahal
diskusi yang hendak digelar dalam seminar tersebut
merupakan seminar pemahaman sosial politik yang terbuka
untuk umum, sehingga bukan pertemuan tertutup yang
berpotensi membahayakan negara.
Sebelumnya, pada tahun 2019 Rocky Gerung juga
ditolak kedatangannya oleh warga Sorong yang tergabung
dalam Masyarakat untuk Toleransi Beragama. Mereka
menilai kegiatan yang akan diisi oleh Rocky sarat dengan
kepentingan kelompok tertentu dan dapat merusak
persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, mereka meminta
pihak kepolisian untuk tidak mengeluarkan izin kegiatan
yang akan dihadiri oleh Rocky Gerung (Andrew, 2019).
Yang terbaru terjadi pada tahun 2023, Rocky Gerung
menelan pil pahit karena harus mengalami “pawai”
penolakan dari sejumlah kota yang dikunjunginya. Tujuan
C. Aktor
Bagian ini menjelaskan identifikasi aktor-aktor yang
melakukan penyerangan terhadap Rocky Gerung. Kemudian
dianalisis untuk menunjukkan peran, relasi, dan kepentingan
aktor-aktor tersebut. Identifikasi aktor juga dimaksudkan untuk
melihat kedekatan (proximity) mereka dengan tokoh politik,
partai politik, dan afiliasinya dengan entitas lain. Identifikasi
ini dimaksudkan untuk melihat motif yang melatarbelakangi
penyerangan tersebut, apakah motif politik, ideologi, atau motif
non-organik (rekayasa).
Dari 76 kasus serangan terhadap Rocky Gerung yang
terhimpun, terdapat 101 aktor yang melakukan tindakan
serangan. Aktor tersebut beragam, yakni tokoh politik, partai
politik. organisasi kemasyarakatan, organisasi kedaerahan,
relawan atau sayap partai politik, kelompok semu, pihak kampus,
polisi, orang tidak dikenal dan sisanya tidak teridentifikasi.
Adapun jumlah aktor yang melakukan tindakan serangan
terhadap Rocky Gerung adalah sebagai berikut:
IV. Kesimpulan
Sejak tahun 2018, bahkan bisa jadi jauh sebelumnya, telah
terjadi serangkaian upaya untuk membunuh pemikiran dan pendapat
Rocky Gerung. Upaya pembunuhan pemikiran dan pendapat Rocky
Gerung di ruang publik tersebut dilakukan dengan pola, melibatkan
sederet pihak, baik aktor politik maupun tokoh masyarakat, relawan,
simpatisan, polisi hingga penggunaan massa untuk menciptakan situasi
seolah-olah Rocky Gerung telah melakukan tindakan yang berbahaya
dan dapat memecah belah bangsa. Dengan upaya penciptaan kondisi
seperti itu, Rocky Gerung dipaksa untuk bungkam, baik melalui
instrumen non-hukum seperti intimidasi, boikot, demonstrasi dan
lainnya, maupun dengan instrumen hukum seperti laporan pidana dan
perdata.
Laporan ini menguraikan upaya-upaya yang dilakukan dalam
mematikan pemikiran dan pendapat Rocky Gerung. Meliputi pola,
bentuk, dan aktor yang pada akhirnya membentuk satu kesatuan yang
sistematis dalam melancarkan serangan untuk membuat Rocky Gerung
bisa jadi tidak berdaya. Serangan terhadap Rocky Gerung hanyalah
salah satu dari sekian banyak faktor yang mengindikasikan bahwa
ruang sipil di Indonesia berada pada titik yang mengkhawatirkan.
Kerangka hukum yang melindungi hak atas kebebasan berpikir
dan bersikap, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta
hak untuk berserikat dan berkumpul, yang telah berulang kali disebut