Anda di halaman 1dari 3

Jauh sebelum tahun 1944, negara-negara di dunia lebih memilih emas ketimbang uang kertas

sebagai alat ukur dalam perdagangan bilateral pun multilateral.

Sebelum transaksi terjadi, pelaku jual beli bakal menukarkan uang kertas mereka di kantor-kantor
resmi pemerintahan yang menjadi tempat penyimpanan emas cadangan. Sistem ini lazim dikenal
dengan nama “Gold Standard”.

Keuntungan dari menggunakan emas sebagai alat tukar perdagangan memang banyak. Emas
memberikan efek stabilisasi pada ekonomi. Pemerintah sebuah negara tak perlu mencetak uang
berlebih, hanya sebanyak jumlah emas yang dimiliki.

Tentu saja, langkah ini mampu menghambat laju inflasi dan mengecilkan defisit anggaran serta
utang.

Emas juga membuat sebuah negara menjadi lebih produktif. Ketika mereka lebih sering melakukan
perdagangan, atau dalam hal ini mengekspor, maka emas yang didapat akan semakin banyak.
Investasi pun meningkat.

Tapi emas juga punya kerugian. Situs ensiklopedia menyebut salah satunya adalah tidak adanya
fleksibilitas dalam hal penyediaan uang. Alhasil, ukuran sehat tidaknya sebuah negara menjadi sumir.

Selain itu, penggunaan emas sebagai alat perdagangan internasional juga menciptakan persaingan
tidak sehat antara negara-negara yang tidak bisa memproduksi pun membeli emas.

Ketidakpastian ini yang kemudian menginisiasi Perjanjian pada 1944. Mereka yang ada di balik
perjanjian ini adalah negara-negara sekutu Amerika Serikat dalam Perang Dunia II, yakni Britania
Raya, Prancis, Uni Soviet, dan Tiongkok.

Melalui perjanjian ini, negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara paling maju itu berjanji
akan mengontrol nilai tukar antara mata uang lokal dengan Dolar Amerika Serikat (AS).

Jika nilai mata uang sebuah negara menjadi terlalu lemah terhadap dolar, maka bank sentral negara
yang termaksud bakal mengintervensi dengan cara membeli mata uangnya sendiri di pasar valuta
asing.

Mengapa tiba-tiba Dolar AS yang menjadi dasar acuan?

Hal ini berhubungan lagi dengan Gold Standard. Ketika itu, AS menjadi negara dengan cadangan
emas terbesar, nyaris tiga perempat dari seluruh cadangan di muka bumi.

Sementara, tak ada satu pun negara yang memiliki uang lebih banyak, atau paling tidak setara,
dengan semua emas yang dimiliki AS. Catatan menyebut, harga satu dolar AS saat itu setara dengan
1 per 35 ons emas.

Akhirnya, negara-negara yang terlibat dalam Bretton Woods menyepakati dolar sebagai alat
pembayaran resmi menggantikan emas, meski masa transisinya berjalan lambat.

Efek samping dari perjanjian ini muncul. Nilai dolar menjadi lebih dominan dibandingkan mata uang
lainnya. Permintaan terhadap dolar pun melonjak, meski nilai emasnya tidak berubah. Perbedaan
nilai ini yang perlahan menjadi cikal dari runtuhnya Bretton Woods.

Jelang tahun 1970, sejumlah negara mengalami defisit perdagangan akibat nilai dolar yang
terlampau tinggi ketimbang emas. Inflasi pun muncul lantaran kenaikan komoditas impor seperti
minyak.
Tuntutan kepada AS untuk menaikkan harga emas sesuai dengan nilai dolar yang dimiliki sejumlah
negara pun memuncak. Tahun 1971, Presiden AS Richard Nixon membatalkan kebijakan penukaran
emas dengan dolar. Kebijakan ini dikenal dengan nama “nixon-shock”.

Akan tetapi, kebijakan itu sudah terlanjur membuat dolar ada di mana-mana.

Menggantikan dengan Euro dan Yuan (Renminbi)?

Mantan Gubernur Bank Sentral AS Alan Greenspan berujar Dolar AS kemungkinan diganti dengan
Euro. Hal ini merujuk pada data tahun sebelumnya yang menunjukkan 25 persen dari cadangan
devisa di seluruh bank sentral dunia disimpan dalam Euro.

Bukan hanya itu, sebanyak 39 persen transaksi lintas benua dilakukan dalam Euro, berbanding tipis
dari dolar sebanyak 43 persen. Beberapa negara di dunia, khususnya yang berada dalam kawasan
Uni Eropa, mulai menggunakan Euro sebagai mata uang utamanya.

Sayang, kemunculan Euro tak serta merta membuat dolar terpuruk. Sebab, kehancuran dolar baru
bisa terjadi jika seluruh ekonomi global hancur.

Di samping itu, AS adalah konsumen yang setia. Negara-negara yang menginginkan dolar hancur di
sisi lain menginginkan AS tetap membeli produk mereka.

Yuan (RMB) pun demikian. Akhir 2015, Dana Moneter Internasional (IMF)
menggelar pertemuan untuk membahas apakah RMB layak dan bebas digunakan dalam transaksi
internasional.

Ketika itu, IMF menimbang untuk memberikan jatah 13 persen bagi RMB untuk masuk dalam special
drawing rights (SDR). SDR adalah mata yang ditetapkan IMF yang nilainya mengacu pada
sekumpulan mata uang utama dunia.

Akan tetapi, proteksionisme yang diberlakukan Tiongkok membatasi kepercayaan negara lain
terhadap RMB. Oleh karenanya, saat itu IMF mengimbau Tiongkok untuk segera mereformasi sistem
ekonomi yang berlaku di negaranya itu.

Dolar tetap yang paling perkasa

Lepas dari dolar memang sulit. Siapa pun presidennya, AS tetap menjadi negara dengan ekonomi
terbesar. Sekitar 580 miliar dolar AS dalam bentuk tunai berputar di luar AS. Jumlah itu setara
dengan 65 persen dari seluruh dolar yang ada.

Uang tunai hanya satu dari sekian banyak indikasi dolar sebagai mata uang dunia. Lebih dari satu
pertiga PDB di dunia datang dari negara-negara yang mematok mata uang mereka dengan dolar.

Dalam pasar valuta asing, dolar adalah penguasa. Lebih dari 85 persen pasar valas melibatkan dolar.
Selain itu, 39 persen dari utang yang ada di dunia diterbitkan dalam bentuk dolar.

Lalu, mungkinkah dolar tergeser? Mungkin saja. Selama mata uang tandingan itu berasal dari negara
dengan kekuatan ekonomi yang besar.

Selain itu, sambung penjelasan Forex Indonesia, mata uang itu harus berasal dari negara yang
memiliki kekuatan dominan dalam militer. Military Strength Index menunjukkan, AS selama
bertahun-tahun selalu berada di peringkat pertama negara pemegang kekuatan militer terbesar,
setelahnya baru menyusul Rusia dan Tiongkok.

Dan terakhir, mata uang itu harus berasal dari negara yang pintar berdiplomasi.

Anda mungkin juga menyukai