Anda di halaman 1dari 3

Usai Pesta Pernikahan Silpa

Cerpen ini tergabung dalam Antologi Sastrawan NTT “Cerita dari Selat Gonsalu”
Terbitan Kantor Bahasa Prop NTT 2015

Belum seminggu berlalu sejak pesta pernikahan Silpa digelar. Sore itu ia duduk menghadap
tungku api di dapur. Menjaga sebuah periuk besar berisi air. Daster pink bermotif bunga
pemberian kawan kuliahnya sebagai kado pernikahan itu terentang menutupi permukaan
lantai tanah yang didudukinya. Selembar kipas berbahan anyaman daun lontar di tangan
kanan diayunkan sekenanya. Menggiring angin menghembuskan api. Nyala api menjilat-jilat
pantat periuk. Asapnya mengepul menyesaki dapur. Asap yang betul-betul menoreh perih di
mata. Tapi baginya, rasa perih di mata itu baik. Sengaja dibiarkannya menyatu dengan
ketakutan dan sakit hati yang mencekam. Melebur dalam bulir air matanya yang merebak
keluar.
Suhu di dapur sungguh menggerahkan bahkan panas. Tapi badan Silpa gemetar. Bergetar
dalam isakan tangis.
Air yang dijerangkannya dalam periuk besar itu sudah mendidih sejak tadi. Namun ia tak
peduli. Ia terus saja mengipasi api. Sebab rasa-rasanya ia tak sanggup beranjak dari
tempatnya sekarang. Suara teriakan dan bentakan serta makian yang terdengar dari ujung
ruang tamu seakan menekannya hingga tak kuat, sekalipun hanya untuk beranjak dari tempat
duduknya. Di sana para paman suaminya sedang bertikai hebat. Sekalipun belum begitu
mengusai bahasa daerah suaminya, namun sedikit-sedikit ia bisa menangkap maksud dari
kata-kata yang dilontarkan seorang akan lain.
Dirinya tersangkut di sana. Bukan saja disangkut-pautkan, tapi ditembak sebagai penyebab
utama. Di sana namanya berulangkali disebut disertai nominal rupiah yang tentu diucapkan
dalam bahasa Indonesia. Hal itulah yang mengiris-iris hatinya. Namanya bersanding dengan
rupiah. Sudah jadi apakah dirinya sekarang yang belum sempat disadarinya?
Lewat pintu sempit di samping dapur ia menoleh ke suaminya yang sedang berpeluh
membelah kayu di halaman. Kenapa ia seakan tak peduli pada pertikaian hebat para
pamannya yang terus menyebut nama istrinya dengan umpatan demikian kasar. Betapa
suaminya menanggapi situasi itu semacam ia mendengar sambil lalu sebuah perselisihan para
bocah berebutan kelereng atau gasing.
Mendadak ia kangen ibunya, juga bapak, dan saudara-saudaranya. Mereka sudah pulang
seminggu lalu setelah mengantarnya ke rumah ini beserta dengan sejumlah perabotan rumah
tangga di hari usai pesta pernikahannya. Dan ah, mestinya ia ingat, “Ibu suamimu adalah
ibumu sekarang. Sanaknya adalah sanakmu juga,” pesan ibunya.
Iklan
Sambil tetap mengipasi api, Silpa mencuri pandang ke arah ibu mertuanya yang duduk tak
jauh darinya. Ia tak bersuara. Hanya sibuk mengupasi kulit kacang kering di atas nyiru.
Perempuan yang telah lama ditinggal pergi suaminya itu sudah merasa bersyukur pernikahan
putra tunggalnya dapat terlaksana atas tanggungan saudara-saudara laki-lakinya. “Kau tak
usah kuatir. Kau satu-satunya saudara perempuan kami. Putramu adalah tanggung jawab
kami. Kami akan menyelesaikannya,” itu penegasan salah satu di antara mereka sebelum
pesta pernikahan digelar.
Pernyataan itu yang dipegangnya sehingga ia tak perlu merasa ikut campur akan penyelesaian
masalah. “Aku tak bisa berbicara banyak lagi sekarang. Sebab itu urusan mereka,” ia pernah
berkata beberapa hari yang lalu menanggapi gelagat yang sudah mulai tercium sejak usai
pesta pernikahan.
“Hai, Silpa… Kenapa kau biarkan api terus berkobar begitu?” teriakan suaminya yang tiba-
tiba nyaris membuatnya terjengkang dari bangku kecil yang diduduki.
Spontan Silpa melihat tungku di depannya. Kaget ia nyala apa memang berkobar. Menjilat-
jilat tak hanya pantat periuk, tapi badan periuk bahkan hingga ke penutupnya yang juga sudah
hitam berjelaga.
“Kau tidak lihat bagaimana capeknya aku membelah setumpuk kayu itu hanya untuk kau
boros-boroskan macam begini?” dengan murka suaminya menunjuk setumpuk kayu yang
sudah dibelah di luar.
Tanpa menoleh ke arah suaminya, Silpa cepat-cepat menyerakan kembali potongan-potongan
kayu itu agar tak bertumpuk dan berkurang nyala apinya. Segera ia memaksa diri bangkit dan
menyeret kakinya menuju ke kamar mandi. Menghindari sorot tajam mata suaminya, serta
tatapan sayu ibu mertuanya. Di kamar mandi itulah ia mencipratkan bergayung-gayung air ke
wajahnya. Airmatanya menderas turun seturut air yang jatuh ke lantai kamar mandi.
Belum seminggu ini pula Silpa mulai mengakrabi kampung ini dan para penduduknya.
Dahulu ia pernah diajak datang. Tapi hanya untuk menengok sebentar kemudian pergi lagi.
Dahulu ketika ia datang, sambutan keluarga calon suaminya begitu hangat. Begitu
mengenangkan. Sehingga dipikirnya mereka akan menerima dengan hangat juga ketika ia
jadi menikah nanti.
Aku tak sabar menanti hari selesainya sekolahku. Dambanya ketika itu. Agar tak ada
hambatan aku bisa bergabung dengan kekasih hatiku dan keluarganya. Ah, keluarga besar
yang menyenangkan.
Maka dijalaninya masa kuliah sebaik-baiknya dengan angan bahagia yang tak sekejap pun
menghilang dari benak. Setelah ini, ia akan menikah. Bukankah itu sempurna? Ia tersenyum
membayangkan hari depan.
Proses kuliahnya memang tak mudah. Tugasnya banyak. Dosennya galak. Sebentar saja
terlambat mengumpulkan tugas, nilai berkurang. Bahkan bisa-bisa tidak lulus mata kuliah
bersangkutan. Sedang ia tidak mau tidak lulus. Sebab itu akan semakin memperlama masa
kuliahnya. Sedang ia ingin cepat-cepat selesai. Maka di kepalanya selalu digaung-gaungkan,
“Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Lalu ia akan merasa antusias
menjalani hari-hari perkuliahannya. Segala tugas diusahakannya selesai dan dikumpul tepat
waktu. Kalau ada ujian ia akan belajar semalam suntuk biar nilainya tidak fail.
Kerja kerasnya pun membuatnya mengembangkan senyum pada suatu hari. Ia dikukuhkan
sebagai salah seorang wisudawati di kampusnya. Demikianlah pada hari itu juga diadakan
pesta syukuran wisuda di rumah ayah ibunya. Ia mengundang sanak saudara, teman-teman,
dan para tetangga, para dosen yang membimbing dan menguji hasil tugas akhirnya, teman
dari saudara-saudarinya, hingga ketika yang datang pun tak sekadar para undangan, tapi
bahkan mereka yang disebut rompe* pun hadir memeriahkan acara pestanya. Sebuah pesta
syukuran wisuda yang sangat meriah. Dengan spanduk ucapan selamat berukuran raksasa,
aneka makanan yang berlimpah ruah, beberapa petak tenda beratap terpal, paketan sound
system lengkap yang speakernya disusun berundak-undak, dan kumpulan berbagai lagu dari
para artis internasional, nasional, hingga artis lokal yang berbahasa indah maupun yang hanya
meracau dalam iringan satu dua alat musik lalu disebut lagu.
Malam itu juga di tengah hingar-bingar pe sta, oleh sang pemandu acara diumumkan dengan
bangga bahwa setelah satu hari bahagia ini, akan segera disusul lagi hari bahagia lainnya
yaitu acara maso minta* dan pernikahan ‘sang bintang kita malam ini’ bulan depan. Semua
hadirin spontan riuh bertepuk tangan. Tak sedikit pula yang bersuit gembira. Serta-merta dari
atas panggung diperkenalkan seorang laki-laki yang sejak siang tadi terlihat selalu
mendampingi Silpa baik di area kampus hingga di tempat pesta, di ruang dandan, di dapur,
maupun di depan ketika Silpa maju menyampaikan pidato, ataupun ketika mereka terjun
melantai bersama di arena dansa. Silpa menyunggingkan senyumnya yang menawan, dan
sang lelaki sambil membungkukan badannya ia memberikan senyum hormat kepada para
hadirin.
Sementara di antara bangku hadirin, ada beberapa gadis yang berdecak kagum dan saling
berbisik, “Betapa beruntungnya jadi Silpa”. Seorang yang lain pun menyambung, “Ya,
setelah tamat kuliah langsung dapat calon dan menikah”. Lalu mereka pun saling
mengangguk satu sama lain. Masing-masing mengembangkan senyum. Berbeda cara senyum,
namun melambangkan hal yang sama. Mereka ingin juga seberuntung Silpa.

Anda mungkin juga menyukai