TEKNOLOGI AGROINDUSTRI
Oleh :
Artha Tri Wita Tampubolon (135220012)
Hellena Tiara Mahardhika (135220062)
Melvin Adrian Gohong (135220082)
Vivit Khotimatun Nisa (135220099)
Dicky Setiawan (135220100)
B. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh penyortiran, pembersihan, dan pelapisan edible
coating pada komoditas yang diamati dengan membandingkan warna,
aroma, tekstur, dan berat dengan perlakuan penyimpanan suhu ruangan
dan suhu dingin.
2. Mengetahui pengaruh pengolahan minimal (Minimally Process) dengan
perlakuan penyimpanan suhu ruangan dan suhu dingin pada komoditas
yang diamati dengan membandingkan warna, aroma, tekstur, dan berat.
3. Mengetahui pengaruh blanching dengan cara boiling, steaming, dan
tanpa blanching serta dikemas dengan perlakuan penyimpanan suhu
ruangan dan suhu dingin dengan membandingkan warna, aroma, dan
tekstur.
4. Mengetahui pengaruh perendaman garam, dan kapur sirih serta dikemas
dengan aluminium foil dan plastic pada komoditas yang diamati dengan
membandingkan tampilan, tekstur, rasa dan aroma pada pengolahan
keripik.
5. Mengetahui pengaruh kemasan pada komoditas singkong yang diamati
dengan membandingkan rasa, tekstur, dan aroma.
BAB II
PEMBAHASAN
-definisi
-tujuan
-jelaskan produk/komoditas yang digunakan
-jelaskan kemasan yang digunakan
-termasuk pengolahan level berapa dan jelaskan,
2. Alat dan Bahan
a. Alat
b. Bahan
3. Cara Kerja
-disertai dengan diagram alir proses
5. Hasil dan Pembahasan
- tabel pengamatan
-penjelasan tabel disertai foto pengamatan
-perbandingan perlakuan kemasan.
-perbandingan perlakuan penyimpanan
-awet yang mana?
-layak makan yang mana?
C. Acara III Blanching
1. Landasan Teori
-definisi
-tujuan
-jelaskan produk/komoditas yang digunakan
-jelaskan kemasan yang digunakan
-termasuk pengolahan level berapa dan jelaskan,
2. Alat dan Bahan
a. Alat
b. Bahan
3. Cara Kerja
-disertai dengan diagram alir proses
6. Hasil dan Pembahasan
-tabel pengamatan
-penjelasan tabel disertai foto pengamatan
-tujuan steam dan definisi
-tujuan rebus dan definisi
-perbandingan perlakuan cara blanching
-perbandingan perlakuan penyimpanan
-awet yang mana?
-layak makan yang mana
ACARA IV
PEMBUATAN KRIPIK KENTANG
A. Landasan Teori
Keripik kentang merupakan produk olahan kentang yang paling
banyak digemari dengan tekstur kering renyah dan dibuat melalui
beberapa tahapan proses yaitu, pengupasan, pengirisan, perendaman dan
penggorengan. Ciri keripik kentang yang merupakan produk goreng
adalah permukaannya kering dan menyerap minyak goreng. Keripik
kentang biasanya digoreng menggunakan metode pan frying (sistem
gangsa) dan deep fat frying (sistem penggorengan biasa). Beberapa
proses pada pembuatan keripik kentang mengakibatkan adanya weight
loss pada bahan, sehingga bahan akan mengalami penurunan bobot
akhir. Perpindahan kalor juga terjadi pada bahan selama proses
pembuatan keripik kentang yang mengakibatkan perpindahan panas dari
bahan dan lingkungan (Adhamatika, dkk., 2023).
Produksi keripik kentang membawa manfaat ekonomis yang
signifikan. Dengan mengolah kentang menjadi keripik, industri ini
menambah nilai ekonomis produknya. Hal ini memberikan keuntungan
bagi pemilik modal dan pekerja dalam industri keripik. Selain itu,
kegiatan ini juga menguntungkan bagi para konsumen yang dapat
menikmati keripik dengan cita rasa yang lezat (Saputra, 2022).
C. Cara Kerja
1) Menyiapkan 2 larutan rendaman, yaitu air mineral dan air kapur
sirih. Langkah membuat rendaman air kapur sirih:
a. Meletakkan kapur sirih 10 gram di dalam gelas lalu menuangkan
air 40 ml
b. Mengaduk rata campuran air dan kapur sirih, lalu mendiamkan
hingga kapur mengendap
c. Terlihat dua lapis dalam rendaman, yaitu kapur yang mengendap
dan air bening
d. Bagian bening inilah yang merupakan air kapur sirih yang
digunakan sebagai bahan campuran rendaman kentang
e. Mencampurkan 500 ml air dengan 1 sdt garam dan 2 sdm larutan
kapur sirih dalam baskom
2) Menyiapkan kentang yang akan diuji untuk masing masing
perlakuan rendaman sebanyak 250 gr
3) Melakukan peeling dan slicing pada kentang
4) Merendam semua sampel dalam larutan rendaman (air mineral dan
air kapur sirih) selama 15 menit
5) Membilas irisan kentang yang telah direndam dengan air bersih
sebelum digoreng
6) Menggoreng irisan kentang ke dalam minyak panas
7) Setelah berwarna kekuningan, mengangkat dan meniriskan kentang
di atas nampan/tissue
8) Mengemas keripik setiap perlakuan rendaman ke dalam kemasan
aluminium foil dan plastik PP lalu memberi label
Keterangan :
5 : Sangat Suka 3 : Netral 1 : Sangat Tidak Suka
4 : Suka 2 : Tidak Suka
Tabel 4.2 Pengamatan Keripik Kentang pada Kemasan Plastik PP (polypropylene)
Pengamatan Larutan Tampilan Tekstur Rasa Aroma Keterangan
Perendam
Pengamatan Keripik berwarna golden brown dengan tekstur
Hari ke-0 Air Garam 5 4 5 5 renyah, memiliki rasa yang asin dan gurih dan
beraroma seperti kentang pada umumnya.
(Selasa, 27 Air Kapur Keripik berwarna golden brown dengan tekstur
Februari 2024) Sirih 5 5 5 5 renyah, memiliki rasa yang asin dan gurih dan
beraroma seperti kentang pada umumnya.
Pengamatan Keripik berwarna golden brown dengan tekstur yang
Hari ke-3 Air Garam 5 4 4 3 renyah, muncul rasa yang asin dan dan aroma
(Selasa, 29 kentang mulai berkurang.
Februari 2024) Air Kapur Keripik berwarna golden brown dengan tekstur
Sirih 5 4 4 3 renyah, memiliki rasa yang asin dan dan aroma
kentang mulai berkurang.
Pengamatan Keripik berwarna golden brown dengan tekstur yang
Hari ke-6 Air Garam 5 3 3 3 lebih lunak, memiliki rasa yang lebih asin dan aroma
(Senin, 2 Maret kentang masih sama dengan hari ke 3, aroma mulai
2024) kentang alami mulai menghilang.
Air Kapur Keripik berwarna golden brown dengan tekstur
Sirih 5 4 3 3 yangrenyah , memiliki rasa yang lebih asin serta
aroma kentang alami mulai hilang.
Keterangan :
5 : Sangat Suka 3 : Netral 1 : Sangat Tidak Suka
4 : Suka 2 : Tidak Suka
Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4
Pengamatan Pengamatan Pengamatan
Keripik Kentang Keripik Kentang Keripik Kentang
pada Kemasan pada Kemasan pada Kemasan
Aluminium Foil Aluminium Foil hari Aluminium Foil hari
hari ke-0 ke-3 ke-6
A. Landasan Teori
Tape adalah makanan yang dibuat melalui proses fermentasi dari
bahan-bahan seperti singkong yang telah direndam dalam air dan
dibiarkan mengalami fermentasi oleh ragi atau bakteri tertentu. Tape ubi
kayu merupakan produk pangan olahan tradisional yang sudah menjadi
makanan khas Indonesia (Asnawi dkk, 2019). Proses fermentasi ini
mengubah karbohidrat dalam bahan-bahan tersebut menjadi asam laktat
yang memberikan rasa asam dan aroma khas pada tape. Tape memiliki
tekstur yang lembut hingga kenyal dan memiliki rasa manis dengan
sedikit rasa asam yang khas (Asnawi dkk, 2019).
Tujuan utama dari pembuatan tape adalah menciptakan makanan
dengan ciri khas rasa, aroma, dan tekstur sekaligus memberikan nilai
gizi tambahan melalui proses fermentasi (Utamie Lestari, 2019). Proses
fermentasi tidak hanya menciptakan makanan yang lezat, tetapi juga
meningkatkan nilai gizinya dengan menambahkan nutrisi tambahan
seperti vitamin B kompleks dan probiotik. Selain itu, pembuatan tape
juga melibatkan pemanfaatan sumber daya lokal yang melimpah, seperti
singkong dan beras ketan yang mendukung penggunaan sumber daya
alam yang ada serta ekonomi lokal. Melalui proses fermentasi yang telah
lama digunakan sebagai metode pengawetan makanan, tape dapat
bertahan lebih lama dibandingkan dengan bahan mentahnya,
menjadikan tape pilihan yang praktis dan ekonomis. Fermentasi juga
memberikan rasa asam dan aroma khas pada tape, yang menambah nilai
sensori dan keunikan produk tape, menjadikannya camilan atau
hidangan yang diminati banyak orang (Berlian dkk, 2017).
Komoditas yang digunakan dalam pembuatan tape biasanya
berasal dari berbagai sumber bahan baku yang mengandung karbohidrat
seperti singkong atau ubi kayu yang merupakan bahan baku tape yang
paling umum di Indonesia. Singkong merupakan umbi atau akar pohon
yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang
50-80 cm, tergantung dari jenis singkong. Daging umbinya berwarna
putih atau kekuning-kuningan. Tape singkong memiliki tekstur yang
lembut, rasa yang manis, dan aroma yang khas. (Zulfa dkk, 2021).
Tape singkong memiliki sifat yang mudah rusak jika diberlakukan
perlakuan yang tidak sesuai. Salah satu perlakuan penting untuk
menjaga kualitas tape singkong adalah dengan menggunakan kemasan
yang sesuai. Kemasan tersebut berguna sebagai pelindung bagi produk
sehingga tidak mengganggu nilai produk ketika hendak dikonsumsi.
Daun pisang dapat digunakan sebagai pembungkus bakal tapai, selain
itu dapat juga menggunakan plastik. Pembungkusan dengan daun pisang
adalah agar suasananya menjadi aerob karena proses fermentasi dapat
berlangsung baik jika suasananya aerob. Selain itu daun pisang juga
bagus digunakan karena untuk kebutuhan aerasi selama proses
fermentasi, dimana proses fermentasi tersebut akan menghasilkan gas
CO2 (Hidayah, 2021).
Kemasan kedua yang dipakai tape singkong adalah besek. Besek
merupakan wadah yang dibuat dari jalinan bambu yang membentuk pola
anyaman. Struktur besek dapat menyerap kelembaban dan zat-zat yang
dihasilkan selama proses fermentasi, seperti cairan dan gas. Ini
membantu menjaga kondisi lingkungan yang optimal untuk
pertumbuhan mikroorganisme yang diperlukan dalam fermentasi.
Material besek yang alami dapat memberikan aroma dan rasa khas pada
tape yang dihasilkan. Tidak hanya itu, besek juga dapat meratakan
kematangan dari singkong. Hal ini terjadi karena pematangan singkong
membutuhkan panas alami dari angin. Angin dihembuskan dari ventilasi
anyaman bambu secara menyeluruh sehingga kematangan juga merata.
Besek juga memiliki keuntungan tersendiri bagi konsumen karena dapat
dipakai berkali kali dan tidak mencemari lingkungan (Natadjaja dkk,
2017).
Tahapan atau level dalam proses perubahan bentuk dalam
kegiatan agroindustri hasil pertanian terdiri dari empat tingkatan.
Masing-masing tingkatan atau level terdiri dari beberapa aktivitas
pengolahan. Pengolahan hasil pertanian level III terdiri dari pemasakan,
pasteurisasi, pengalengan, penguapan, pembekuan, penenunan,
fermentasi, ekstraksi, dan perakitan (Listya, 2021). Salah satu hasil
pengolahan level III yaitu tape singkong. Termasuk dalam level III
karena tape singkong dibuat melalui proses fermentasi. Proses
fermentasi merupakan suatu metode pengolahan bahan pangan yang
melibatkan perubahan kimia yang terjadi secara alami atau dengan
bantuan mikroorganisme seperti ragi. Dalam fermentasi singkong, ragi
digunakan untuk mengubah zat pati yang terdapat dalam singkong
menjadi bentuk yang lebih sederhana, seperti gula, alkohol, dan asam-
asam organik (Erika, 2022).
b. Bahan
1) Singkong
2) Ragi tape
3) Besek
4) Daun pisang
5) Tusuk gigi
C. Cara Kerja
1) Mengupas singkong, mencuci, kemudian memotong singkong
2) Mengukus singkong lalu mendinginkan
3) Mencampur singkong dengan ragi, dan mengaduk hingga rata
4) Diagram Alir
E. Pembahasan
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimiawi dari senyawa-
senyawa organik (karbohidrat, lemak, protein, dan bahan organik lain)
baik dalam keadaan aerob maupun anaerob, melalui kerja enzim yang
dihasilkan oleh mikroba. Mekanisme fermentasi tape yaitu pati di
hidrolisis oleh enzim amilase yang dihasilkan oleh kapang, khamir,
atau bakteri yang bersifat amilolitik. Mikroorganisme yang hadir akan
memetabolisme senyawa nutrisi yang terdapat pada tape singkong,
proses fermentasi tape khamir akan menghidrolisis pati menjadi gula
sederhana yang selanjutnya akan difermentasi sehingga menghasilkan
alkohol dan sejumlah komponen flavor yang menjadi khas pada tape.
Ragi tape mengandung mikroba yang membantu proses fermentasi
tape singkong. Ragi tape juga mengandung protein sel tunggal.
Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi tape singkong berasal
dari bahan yang dicampur dengan ragi yang mengandung khamir
Saccharomyces cerevisiae. Khamir ini berfungsi untuk mengubah pati
dalam tape menjadi alkohol. Ragi berperan membantu proses
penguraian pati menjadi gula sehingga tape singkong memiliki rasa
manis (Fathur, 2019). Ragi sangat berperan penting dalam industri
makanan dan minuman, seperti dalam pembuatan roti, bir, tempe, dan
tape, karena kemampuannya menghasilkan karbon dioksida dan
alkohol dari proses fermentasi gula. Sejalan dengan teori tersebut, pada
praktikum yang telah dilakukan, ragi yang mengandung khamir
Saccharomyces cerevisiae berhasil mengubah pati dalam tape menjadi
alkohol yang memberikan rasa manis pada tape (Utamie, 2019).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan daun pisang sekala
perubahan tampilan tape cenderung signifikan. Perlakuan tape pada
daun pisang mengalami perubahan tampilan dari pengamatan hari ke-
0 sampai pada hari ke-6. Pada tampilan tape yang dikemas
menggunakan daun pisang pada hari ke-0 memiliki tampilan berwarna
putih karena tape di selimuti oleh ragi, kemudian pada hari ke-3 tape
sudah mengalami fermentasi yang mengakibatkan berubahnya warna
tape yang semula putih tertutup ragi, menjadi berwarna kuning yang
mengindikasikan bahwa tape sudah matang dan sudah terfermentasi
sempurna. Memasuki hari ke-6, fermentasi tape sudah terlalu matang
sehingga menyebabkan tape berair dan mengandung lebih banyak
alkohol, meskipun warnanya masih sama kuning seperti hari ke-3. Hal
yang menyebabkan fermentasi tape lebih cepat adalah daun pisang
yang tertutup dengan rapat sehingga tidak ada udara yang masuk. Daun
pisang juga mengandung polifenol yang berperan dalam
memaksimalkan proses fermentasi yang terjadi dan membuat mikroba
pada ragi bekerja maksimal dalam mengubah etanol menjadi asam
asetat (Pratiwi, 2019).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan daun pisang,
Perlakuan tape pada daun pisang mengalami perubahan tekstur yang
fluktuatif. Dari pengamatan hari ke-0 sampai pada hari ke-6. Pada
tekstur tape yang yang dikemas menggunakan daun pisang pada hari ke-
0 yang awalnya memiliki tekstur yang keras berubah menjadi lembek
pada hari ke-6. Hal ini sesuai dengan teori karena perlakuan pada daun
pisang mengalami fermentasi yang lebih cepat dimana daun pisang
memiliki polifenol yang berperan untuk memaksimalkan proses
fermentasi yang terjadi dan membuat mikroba pada ragi bekerja
maksimal dalam mengubah etanol menjadi asam asetat, selain itu daun
pisang memiliki rongga yang tertutup dengan rapat sehingga tidak ada
udara yang masuk dan mengganggu proses fermentasi (Pratiwi, 2019).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan daun pisang, perlakuan
tape pada daun pisang mengalami perubahan rasa yang fluktuatif. Hal
ini dibuktikan pada pengamatan hari ke-0 memiliki rasa yang hambar
berubah menjadi rasa yang manis pada hari ke-6. Hal ini sesuai dengan
teori karena perubahan rasa pada tape ini disebabkan oleh kontaminasi
bakteri asam laknat selama proses fermentasi. Jenis bakteri ini akan
mengubah gula menjadi asam laknat yang memberikan rasa asam atau
manis pada tape. Pada proses fermentasi, mikroorganisme seperti
kapang, kamir dan bakteri mengurangi kandungan pati dan karbohidrat
kompleks didalam singkong menjadi gula sederhana seperti glukosa dan
fluktosa, kedua jenis gula tersebut memiliki rasa manis sehingga tape
berubah rasa dari hambar menjadi manis (Dwiarini, 2017).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan daun pisang,
perlakuan tape pada daun pisang mengalami perubahan aroma yang
signifikan. Hal ini dibuktikan pada pengamatan hari ke-0 memiliki
aroma seperti singkong rebus berubah menjadi aroma alkohol pada hari
ke-6. Hal ini sesuai dengan teori karena perubahan aroma pada tape
diakibatkan oleh bakteri saccharomyces pada proses fermentasi yang
dimiliki oleh ragi dan berfungsi untuk mengubah gula menjadi alkohol
pada singkong (Kanino, 2019).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan daun pisang,
perlakuan tape pada daun pisang mengalami perubahan bobot yang tidak
terlalu signifikan. Hal ini dibuktikan pada pengamatan hari ke-0
memiliki bobot 40 gram berubah menjadi 37 gram. Hal ini sesuai
dengan teori karena terjadi penguapan air pada proses fermentasi. Selain
itu penyusutan bobot juga disebabkan oleh penguapan selama
penyimpanan, dimana setelah tape singkong selesai dibuat akan
disimpan sebelum dikonsumsi dan selama penyimpanan, penguapan air
masih tetap berlanjut yang diakibatkan oleh suhu dan kelembapan
lingkungan sekitar tempat penyimpanan (Sulistyanto, 2016).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan besek, perlakuan
tape pada besek tidak mengalami perubahan tampilan yang signifikan.
Hal ini dibuktikan pada pengamatan hari ke-0 memiliki tampilan yang
sama seperti pada daun pisang karena tape belum mengalami
fermentasi. Kemudian, pada hari ke-3 sampai ke-6 tape tetap tidak
berubah tampilannya karena tape mengalami fermentasi yang tidak
sempurna. Hal itu terjadi karena besek tidak tertutup rapat sehingga ada
oksigen dari luar yang masuk ke dalam besek dan mengganggu
fermentasi tape, sehingga tampilan warna tape tetap sama dominan putih
pucat (Winarno, 2017).
Berdasarkan pengamatan, tape yang dikemas menggunakan
besek mengalami perubahan tekstur yang signifikan. Pada hari ke-0 tape
masih memiliki tekstur yang lembut karena belum terjadi fermentasi,
kemudian pada hari ke-3 sampai ke-6, tape memiliki tekstur yang sedikit
keras. Hal ini disebabkan karena besek memiliki rongga yang
menyebabkan terjadinya pertukaran dengan udara luar sehingga hal ini
menyebabkan CO2 hasil fermentasi tidak dapat keluar dengan lancar
dari tape. Akibatnya tekstur tape menjadi padat dan keras (Pangestuti
dkk., 2018).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan besek memiliki
perubahan rasa yang fluktuatif. Rasa yang dihasilkan pada hari ke-0
merupakan rasa khas dari singkong kukus pada umumnya. Pada hari ke-
3 rasa yang dihasilkan dari tape merupakan rasa manis dengan sedikit
rasa kecut dan pahit karena sudah terjadi fermentasi, kemudian pada hari
ke-6 rasa kecut nya lebih dominan daripada manisnya. Rasa tape yang
disimpan di besek rasanya tidak semanis rasa tape yang disimpan pada
daun pisang, hal ini disebabkan karena suhu dan kelembaban daun
pisang sesuai untuk aktivitas enzim dan mikroba pemfermentasi tape.
Sementara lingkungan besek berongga kurang ideal, yang membuat
fermentasi kurang sempurna (Malonda dkk., 2018).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan besek memiliki
perubahan bobot yang signifikan. Hal ini dibuktikan pada pengamatan
hari ke-0 memiliki bobot 40 gram menjadi 27 gram pada hari ke-6. Hal
ini sesuai dengan teori karena kemasan besek yang memiliki rongga
tidak mampu menahan kadar air yang ada di dalam tape, sehingga kadar
air yang ada di dalam tape berkurang dan menyebabkan perubahan
bobot yang signifikan (Andriawan, 2019).
Berdasarkan pengamatan tape pada kemasan besek memiliki
perubahan aroma yang tidak terlalu signifikan. Hal ini dibuktikan pada
pengamatan hari ke-0 memiliki aroma seperti singkong rebus menjadi
memiliki aroma sedikit alkohol pada hari ke-6. Hal ini sesuai dengan
teori karena proses fermentasi yang tidak maksimal oleh kemasan besek
pada proses fermentasi tape. Akibatnya proses perombakan pati menjadi
gula oleh khamir berjalan tidak maksimal. Besek menyebabkan gas
karbon dioksida hasil fermentasi mudah menguap keluar sehingga
perubahan aroma alkohol yang tidak maksimal pada tape singkong
(Rasdiman, 2018).
Berdasarkan pembahasan di atas, hasil tape yang paling sempurna
yaitu pada perlakuan daun pisang pada hari ke-3 hal ini disebabkan
karena daun pisang memiliki struktur yang mampu mempertahankan
suhu dan kelembaban yang optimal untuk proses fermentasi tape. Selain
itu perlakuan daun pisang pada hari ke-3 merupakan waktu yang sesuai
untuk lamanya proses fermentasi sehingga tape yang dihasilkan lebih
bagus dan layak untuk di konsumsi. Perlakuan penyimpanan kemasan
yang paling awet untuk tape yaitu pada kemasan daun pisang, karena
daun pisang tidak menyimpan banyak udara dan lebih tertutup sehingga
fermentasi yang terjadi lebih maksimal. Perlakuan penyimpanan
kemasan besek tidak awet karena besek memiliki rongga sehingga
menyebabkan udara dari luar masuk ke dalam besek dan menyebabkan
hasil oksidasi dari fermentasi tape hilang dan tergantikan dengan udara
luar ( Purnomo, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Adhamatika, A., Brilliantina, A., Sari, E. K. N., Wijaya, R., Triardianto, D., &
Sucipto, A. (2023). Analisis Neraca Massa dan Energi Pembuatan Keripik
Kentang (Solanum tuberosum L). JUSTER: Jurnal Sains dan Terapan. 2(1)
: 69-76.
Ahmad, R.S., M. Moulia., S. Vartom. 2022. Pengaruh Suhu dan Lama Waktu
Penggorengan Keripik Terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Pangan. 8(2) : 73 - 82.
Erika, D. 2022. Uji Sensoris dan Ph Tapai Singkong (Mnihot esculenta L) dengan
Fermentasi aerasi. Jurnal Ilmiah Batahpa. 1(1) : 23-28.
Fajriyani, A. 2018. Nilai TBA, FFA, kadar air dan sifat sensori keripik kentang
berdasarkan jenis kemasan dan lama penyimpanan (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Semarang).
Habibi, N.A., S. Fathia., C.T. Utami. 2019. Perubahan Karakteristik Bahan Pangan
pada Keripik Buah dengan Metode Freeze Drying (Review). Jurnal Sains
Terapan. 5(2) : 67 – 76.
Islami, R. (2018). Pembuatan ragi tape dan tape. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Agrokompleks, 2.
Mandei, J., A. Nuryadi. 2017. Pengaruh Cara Perendaman dan Jenis Kentang
Terhadap Mutu Keripik Kentang. Jurnal Penelitian Teknologi Agroindustri.
9 (2) : 123 - 136
Natadjaja, L dan E.C. Yuwono. 2017. Kearifan Lokal Kemasan Penganan
Tradisional. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Putra, N., N. Purwadini., D. Kristiastuti. (2020) Analisis Jenis Dan Desain Kemasan
Snack Keripik Singkong Terhadap Minat Beli Konsumen. Jurnal Tata
Boga. 9(2) : 701–707.
Sarungallo, Z. 2021. Evaluasi Perubahan Kadar Air, Tekstur, dan Rasa Sagu
Lempeng dalam Berbagai Kemasan Plastik Selama Penyimpanan. Jurnal
Agrotek. 1(2), 102-111
Sinurat, E., Tengker, M.F., dan Kurniawan, A. 2019. Aktivitas Enzim Polifenol
Oksidase pada Varietas Ubi Kayu dari Deliserdang. Agroekoteknologi
Tropika Lembab, 2(3), 233-241.
Sinurat., Y., N., Bagus dan Y., Yuli. 2019 ” Peningkatan Hasil Belajar Passing Atas
Bola Voli, Siswa SMK Melalui Variasi Pembelajaran” Jurnal l Publikasi
Pendidikan. Vol 9, No 2. 125-133
Utamie Lestari. 2019. Pengaruh Penambahan Gula Terhadap Sifat Kimia Dan
Tingkat Kesukaan Tape Beras Merah, Beras Hitam, Dan Beras Ketan.
Yudiastuti, S. O., Wijaya, R., & Syahputra, M. (2022). Efektivitas reduksi total
bakteri pada edamame (Glycin max (L) Merill) hasil pengolahan minimal
dengan ozon. Juremi: Jurnal Riset Ekonomi, 2(3), 321-330.
Zulfa, C. S., Attika, C., Handayani, D., & Fevria, R. 2021. Pengaruh Lama
Fermentasi Dalam Pembuatan Tape. In Prosiding Seminar Nasional Biologi
(Vol. 1, No. 1, pp. 600-607)