Anda di halaman 1dari 27

ACARA II

IKLIM MIKRO

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Iklim adalah keadaan suhu, kelembaban, awan, hujan, dan sinar
matahari pada suatu daerah dalam jangka waktu yang lama (30 tahun) (KBBI).
Berdasarkan luasan daerahnya, iklim dapat dibagi menjadi iklim makro, iklim
meso, iklim mikro, dan iklim global. Iklim makro adalah iklim dengan cakupan
wilayah yang luas, sedangkan iklim mikro terbatas pada kondisi sekitar obyek
yang diamati. Batas iklim mikro secara vertikal adalah 2 meter diatas dan dibawah
obyek yang diamati. Sedangkan batas horizontal iklim mikro sulit ditentukan.
Untuk dapat mengamati iklim mikro, maka digunakanlah alat-alat
pengamatan cuaca. Alat pengamatan cuaca yang digunakan adalah alat pengukur
suhu udara, alat pengukur suhu tanah, alat pengukur kelembaban relatif udara, dan
alat pengukur intensitas cahaya. Alat-alat tersebut memiliki fungsi dan kegunaan
masing-masing. Pengamatan dilakukan dengan dua kondisi yang berbeda yaitu
tempat yang berkanopi dan tempat yang tidak berkanopi. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana perbedaan keadaan iklim mikro yang ada di daerah yang
berkanopi dan daerah yang tidak berkanopi.

B. Tujuan
1. Mengetahui cara pengukuran beberapa anasir iklim mikro.
2. Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap iklim mikro.
3. Membandingkan hasil pengamatan iklim mikro pada daerah yang berkanopi
dan daerah yang tidak berkanopi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Klimatologi ialah kajian mengenai perubahan iklim di atmosfer dalam


jangka panjang di daerah tertentu. Klimatologi ini biasanya mengukur rata-rata
temperatur, kelembaban, curah hujan, angin, dan tekanan atmosfer. Jangka waktu
klimatologi biasanya dari hari sampai ke tahun (Rusbiantoro, 2008). Iklim sendiri
merupakan keadaan hawa dan cuaca (hujan, dsb) pada suatu daerah. Iklim
dibedakan antara iklim makro dan iklim mikro. Iklim makro berkaitan dengan
peristiwa meteorologis di atmosfer dan di permukaan bumi dalam lingkup daerah
yang luas, seperti di atas benua dan samudra. Iklim mikro adalah iklim dilapiskan
udara dekat permukaan bumi dalam lingkup terbatas, seperti ruang-ruang di dalam
bangunan dan ruang luar sekitar bangunan tidak lebih dari beberapa ratus meter.
Selain terpengaruh iklim makro, iklim mikro juga terpengaruh oleh peristiwa
alami di atas permukaan bumi seperti radiasi pantulan dari permukaan bumi, dan
gerakan angin akibat terhalang benda-benda di permukaan bumi. Terdapat tiga
unsur-unsur alam yang menentukan iklim, yaitu: radiasi matahari, angin, dan
kelembaban dalam bentuk uap air, hujan dan salju (Frick et.al., 2008).
Spektrum radiasi matahari meliputi sinar ultraungu, sinar-sinar yang
dapat ditangkap indra penglihatan, dan sinar inframerah. Sinar inframerah
merupakan media utama energi dalam wujud panas. Energi panas matahari dapat
dikatakan tetap. Jumlah panas yang diterima pada suatu tempat di bumi
tergantung pada tiga hal, yaitu: sudut jatuh sinar matahari, keadaan cuaca di
atmosfer, dan lama waktu penyinaran. Lokasi suatu tempat di bumi menentukan
lamanya penyinaran matahari yang dialami dari hari ke hari dan yang berubah
sepanjang tahun. Perubahan lamanya penyinaran matahari ke bumi diakibatkan
karena sumbu putar bumi membentuk sudut terhadap lintasan edarnya
mengelilingi matahari, sehingga posisi matahari berubah sepanjang tahun. Di
sekitar khatulistiwa, lama penyinaran matahari hampir tetap sepanjang tahun,
yaitu sekitar 12 jam sehari. Makin menjauhi khatulistiwa lama penyinaran
matahari makin bervariasi (Frick et.al., 2008).
Uap air adalah wujud air dalam bentuk gas yang diserap dan menyatu
dengan udara. Penyerapan uap air oleh udara tidak tetap dan dipengaruhi oleh
suhu udara. Makin tinggi suhu udara, makin besar tingkat penyerapan uap air oleh
udara. Di pihak lain, hujan meningkatkan kelembaban udara. Kelembaban udara
merupakan kandungan uap air dalam udara. Kelembaban udara dapat diukur
dengan alat yang disebut hidrometer. Kelembaban udara dinyatakan dengan tiga
ukuran, yaitu kelembaban mutlak, kelembaban spesifik, dan kelembaban relatif
(nisbi). Kelembaban nisbi adalah perbandingan antara tekanan uap yang ada
(aktual) dan tekanan uap maksimum yang dapat dicapai pada temperatur itu.
Kelembaban nisbi dapat pula dinyatakan sebagai perbandingan antara uap air
yang benar-benar ada dalam udara dan jumlah uap air maksimum. Kelembaban
nisbi dinyatakan dalam persen.
Secara fisis, suhu merupakan tingkat gerakan molekul udara. Semakin
cepat gerakan molekul udara, semakin tinggi pula suhunya. Tingkat panas suatu
benda dapat pula dikatakan sebagai suhu. Untuk mengukur suhu udara digunakan
termometer. Skala yang digunakan, yaitu skala Celsius, Fahrenheit, dan kelvin.
Perubahan suhu udara di satu tempat dengan tempat lainnya bergantung pada
ketinggian tempat dan letak lintang. Perubahan suhu karena ketinggian berkisar
antara 0,6⁰C tiap kenaikan 100 m (Frick and Suskiyatno, 2007).
III. METODOLOGI

Praktikum Klimatologi Dasar acara II dilaksanakan pada hari Jum’at


tanggal 14 Oktober 2016 di laboratorium Tanah Kuningan, Departemen Tanah,
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan
pada praktikum tersebut adalah termometer, termohigrometer, stick termometer,
foot candle, statif, dan bor. Termometer digunakan sebagai alat pengukur suhu
udara. Termohigrometer digunakan sebagai alat pengukur kelembaban relatif
udara meskipun juga bisa digunakan sebagai alat pengukur suhu udara juga tetapi
kurang teliti dibandingkan dengan termometer. Stick termometer digunakan untuk
mengukur suhu tanah. Foot candle digunakan sebagai alat pengukur intensitas
cahaya. Statif digunakan sebagai tempat meletakan termometer dan
termohigrometer. Sedangkan bor digunakan untuk melubangi tanah sehingga suhu
tanah pada kedalaman tertentu dapat diukur dengan stick termometer.
Praktikum ini dilaksanakan dengan mengamati keadaan iklim mikro
yang ada di lingkunan sekitar laboratorium. Pengamatan iklim mikro dilakukan di
dua tempat dengan keadaan yang berbeda yaitu tempat yang berkanopi dan
tempat yang tidak berkanopi. Statif dipasang kemudian dilakukan pengukuran
suhu dengan termometer dan kelembaban relatif udara dengan termohigrometer
pada aras 25, 75, dan 150 cm. Suhu udara dan kelembaban relatif udara pada
setiap aras diukur setiap 10 menit mulai dari menit ke-10 sampai menit ke-50.
Suhu tanah diukur dengan stick termometer pada kedalaman 0, 10, dan 20 cm.
Sebelum memasukan stick termometer kedalam tanah, tanah dilubangi terlebih
dahulu dengan bor. Suhu tanah pada setiap kedalaman diukur setiap 10 menit
mulai dari menit ke-10 sampai -menit ke-50. Intensitas cahaya diukur dengan foot
candle dengan cara membuka tutupnya dan mengarahkan bagian reseptornya ke
arah sumber cahaya. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan sebanyak 5 kali
ulangan. Data yang diperoleh ditulis pada board list yang sudah disediakan.
IV. HASIL PENGAMATAN

PARAMETER NO TITIK WAKTU ARAS/JELUK STRATA


PENGAMATAN PENGAMATAN
KANOPI TANPA
KANOPI

SUHU UDARA 1 10 menit 25 cm 300C 350C


(0C) pertama
75 cm 320C 350C

150 cm 310C 350C

2 20 menit 25 cm 29,50C 320C

75 cm 31,50C 320C

150 cm 30,50C 340C

3 30 menit 25 cm 300C 32,50C

75 cm 310C 320C

150 cm 310C 330C

4 40 menit 25 cm 29,50C 310C

75 cm 310C 30,50C

150 cm 300C 320C

5 50 menit 25 cm 290C 310C

75 cm 30,50C 30,50C

150 cm 300C 310C

KELEMBABAN 1 10 menit 25 cm 38% 36%


RELATIF UDARA
75 cm 40% 35%
(%)
150 cm 40% 35%
2 20 menit 25 cm 37% 42%

75 cm 39% 41%

150 cm 41% 40%

3 30 menit 25 cm 42% 42%

75 cm 42% 41%

150 cm 42% 41%

4 40 menit 25 cm 42% 43%

75 cm 42% 45%

150 cm 45% 45%

5 50 menit 25 cm 45% 48%

75 cm 45% 47%

150 cm 46% 47%

SUHU TANAH 1 10 menit 0 cm 31,20C 33,60C


(0C)
10 cm 30,70C 32,50C

20 cm 29,70C 33,70C

2 20 menit 0 cm 29,80C 30,90C

10 cm 29,50C 31,50C

20 cm 28,90C 310C

3 30 menit 0 cm 30,30C 310C

10 cm 29,40C 31,80C

20 cm 28,20C 31,40C
4 40 menit 0 cm 30,40C 300C

10 cm 29,60C 31,10C

20 cm 28,60C 31,80C

5 50 menit 0 cm 300C 30,50C

10 cm 290C 31,10C

20 cm 28,60C 30,10C

INTENSITAS 1 48 FC 100 FC
PENYINARAN
2 54 FC 160 FC
(FC)
3 60 FC 210 FC

4 42 FC 140 FC

5 42 FC 100 FC

V. PEMBAHASAN

Iklim mikro merupakan iklim di lapisan udara yang dekat dengan


permukaan bumi dengan ketinggian kurang lebih 2 meter. Pada keadaan iklim
mikro ini, biasanya gerak udara lebih kecil akibat gesekan dengan permukaan
bumi dan perbedaan suhu yang lebih besar. Iklim mikro terbentuk dari
radiasi matahari dan terestrial, angin, suhu dan kelembaban udara,
serta presipitasi dalam lingkup ruang luar yang kecil (Frick dan
Suskiyatno, 2007).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi iklim mikro.
Faktor tersebut antara lain bentuk relief tanah, sifat tanah,
vegetasi, dan jenis tanah. Daerah yang berkanopi akan memiliki
suhu udara yang lebih rendah, kelembaban tinggi, dan intensitas
penyinaran yang rendah. sedangkan pada daerah yang tidak
berkanopi, suhu udaranya akan lebih tinggi, kelembaban rendah, dan
intensitas penyinaran yang tinggi. Tanaman sendiri juga dapat
mempengaruhi iklim mikro (misalnya kelembaban udara, suhu tanah
dan udara, naungan) yang sejalan dengan pertumbuhan dan
pemanfaatan sumber daya unsur hara dan air yang ada (Reijntjes et
al., 1992).
Mempelajari iklim mikro sangatlah penting, terlebih
dalam bidang pertanian. Kita dapat mengetahui keadaan iklim yang
cocok untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Misalnya saja kita
mengetahui bahwa daerah yang berkanopi memiliki suhu dan
kelembaban yang lebih rendah dibanding daerah yang tidak
berkanopi. Selain itu, tanaman pada daerah yang berkanopi memiliki
nilai evapotranspirasi yang lebih kecil dibanding daerah yang
tidak berkanopi. Modifikasi iklim mikro dapat dilakukan antara
lain dengan membuat bedengan dengan tujuan untuk menjaga
kelembaban tanah, penanaman pohon pelindung yang besar di sekitar
tanaman budidaya untuk melindungi tanaman dari radiasi matahari
yang terlalu besar atau dari tiupan angin, dan penggunaan mulsa
untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi evapotranspirasi.
Penggunaan mulsa selain untuk mengurangi evapotranspirasi, secara
tidak langsung juga bermanfaat untuk menekan pertumbuhan gulma,
sehingga mengurangi persaingan dengan tanaman budidaya. Dengan
mengetahui banyak hal tentang iklim mikro, kita dapat memiliki
peluang yang besar untuk memodifikasinya, sehingga tercipta
keadaan yang sesuai dengan keinginan (Wicklein et al., 2012).
1. Suhu Udara
Suhu udara merupakan salah satu anasir cuaca yang dapat
dikendalikan sesuai dengan kebutuhan. Dalam pembudidayaan tanaman,
suhu udara yang baik untuk pertumbuhan biasanya dimodifikasi
dengan mengatur intensitas radiasi yang mengenai tanaman. Banyak
sedikitnya radiasi matahari yang mengenai tanaman dapat terhalang
oleh awan maupun kanopi dedaunan. Pengaturan yang sedemikian rupa
dapat menghasilkan suhu yang berbeda bagi tanaman.

a. Suhu udara pada aras 25 cm

Suhu udara aras 25 cm


40
35
30
Suhu Udara oC

25
Berkanopi
20
Tidak Berkanopi
15
10
5
0
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 1.1 Grafik suhu udara vs waktu pada aras 25 cm


Berdasarkan grafik di atas, suhu udara pada tempat yang
tidak berkanopi cenderung lebih tinggi dibanding pada tempat yang
berkanopi. Hal ini disebabkan oleh adanya penghalang radiasi
matahari sampai ke bumi pada tempat yang berkanopi. Penghalang
tersebut dapat berupa dedaunan. Akibat adanya kanopi tersebut,
suhu udara pada aras ini tidak dapat secara maksimal ditingkatkan
oleh energi matahari. Pada tempat tak berkanopi, energi radiasi
matahari yang sampai ke bumi tidak terhalang oleh apapun, sehingga
suhu udara di sekitar tempat tersebut lebih tinggi dibandingkan
pada tempat yang berkanopi. Ainy (2012), menyatakan bahwa RTH
(Ruang Terbuka Hijau) yang ditumbuhi oleh vegetasi berbeda seperti
rumput, semak, dan pohon dapat mempengaruhi iklim mikro, yaitu
sebagai pengurang radiasi dan juga mengurangi temperatur. Meskipun
perbedaan vegetasi tersebut memberikan hasil berupa suhu atau
temperatur berbeda, namun intinya vegetasi tersebut berfungsi
untuk menurunkan temperatur. Hal ini menunjukkan bahwa hasil
percobaan sudah sesuai dengan teori, karena kanopi dapat meredam
radiasi matahari yang datang ke permukaan suatu tempat, sehingga
suhu pada tempat tersebut menjadi lebih rendah.

b. Suhu udara pada aras 75 cm

Suhu udara aras 75 cm


36
35
34
33
Suhu udara

Berkanopi
32
Tidak Berkanopi
31
30
29
28
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 1.2. Grafik suhu udara vs waktu pada aras 75 cm


Berdasarkan grafik di atas, suhu udara pada tempat yang
berkanopi lebih rendah dibanding suhu udara pada tempat yang tidak
berkanopi, sama halnya seperti suhu pada aras 25 cm. Hal ini
disebabkan oleh pertukaran udara yang panas dan dingin pada daerah
berkanopi berlangsung lebih lambat karena panas yang diterimanya
tidak dapat secara bebas berpindah karena terhambat oleh adanya
kanopi, yang menyebabkan suhu udara bergerak lebih lambat daripada
tempat yang tidak berkanopi. Pada daerah tak berkanopi, perubahan
suhu berlangsung sangat cepat, hal ini dikarenakan tidak adanya
penghalang radiasi matahari yang sampai ke bumi. Tidak adanya
halangan radiasi matahari pada daerah yang sampai pada daerah yang
tidak berkanopi menjadikan suhu pada tempat tersebut lebih tinggi.
selain itu, suhu udara pada tempat tak berkanopi relatif kurang
stabil karena julmah radiasi yang sampai ke bumi dapat dipengaruhi
oleh faktor awan. Langit yang tertutup awan dapat menyebabkan
berkurangnya radiasi matahari yang sampai ke bumi (Anonim, 2013).
Pada menit ke-40, dapat dilihat bahwa suhu udara pada tempat yang
berkanopi lebih tinggi dibandingkan pada tempat tak berkanopi. Hal
ini dapat disebabkan oleh adanya awan yang menghalangi radiasi
matahari pada waktu tersebut, sehingga suhu yang sampai ke tempat
tersebut lebih rendah.
Hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan teori, dimana
suhu udara pada daerah tak berkanopi akan lebih tinggi dibanding
pada daerah berkanopi. Hal ini karena daerah yang berkanopi mampu
meredam radiasi matahari, sehingga suhunya lebih rendah.

c. Suhu udara pada aras 150 cm

Suhu udara aras 150 cm


36
35
34
33
Suh uudara

32 Berkanopi
31 Tidak Berkanopi
30
29
28
27
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 1.3. Grafik suhu udara vs waktu pada aras 150 cm


Grafik di atas menunjukkan suhu udara pada daerah tak
berkanopi jauh lebih tinggi dibanding pada tempat yang berkanopi,
sama halnya dengan suhu pada aras 25 dan 75 cm. Suhu udara pada
daerah berkanopi relatif lebih rendah dan lebih stabil dibanding
pada daerah tak berkanopi pada aras yang sama karena adanya
penghambatan radiasi matahari oleh vegetasi yang menyebabkan
pengurangan energi matahari yang sampai ke bumi. Suhu udara pada
daerah tak berkanopi lebih relatif lebih tinggi dan kurang stabil
karena radiasi matahari yang diterima ditentukan oleh ada atau
tidaknya awan. Kemudian, dari grafik juga dapat kita lihat bahwa
terjadi penurunan suhu pada daerah tak berkanopi. Hal ini dapat
terjadi karena adanya penutupan oleh awan pada awal pengamatan,
yang menyebabkan radiasi yang masuk lebih kecil dibanding radiasi
yang keluar, sehingga suhu udara mengalami penurunan.

d. Perbandingan suhu pada daerah berkanopi

Pengamatan suhu tempat


berkanopi
33
32
Aras 25
31
Suhu Udara

Aras 75
30 Aras 150
29
28
27
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 1.4. Grafik suhu udara pada daerah berkanopi


Grafik di atas menunjukkan suhu udara tempat berkanopi pada semua
aras, dan yang memiliki suhu paling tinggi adalah aras 75 cm, walaupun nilainya
tidak terlalu berbeda juah dibandingkan aras lain. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
altitude (ketinggian) dan radiasi matahari. Suhu paling tinggi pada aras 75
cm dipengaruhi oleh adanya suhu tanah yang juga memantulkan panas,
sehingga daerah yang lebih tinggi dari tanah mempunyai suhu yang
lebih rendah daripada yang dekat dari tanah. Nilai suhu yang
hampir sama ketiga aras menunjukkan bahwa suhu udara di daerah
berkanopi pada berbagai aras cenderung sama atau stabil, karena
pada lingkungan yang berkanopi intensitas sinar matahari tidak
terlalu banyak. menurut teori, suhu udara akan semakin rendah
seiring dengan semakin tingginya suatu tempat (Jones et al.,
2012), sehingga seharusnya suhu udara paling tinggi adalah pada
aras 25 cm dan paling rendah pada aras 150 cm. Hal ini diakibatkan
karena pada aras 25 cm yang merupakan aras paling rendah, akan
lebih besar kemungkinan terjadinya turbulensi udara oleh permukaan
tanah yang menghasilkan panas, sehingga suhu udaranya lebih
tinggi. Namun, pada grafik dapat kita lihat bahwa suhu udara pada
aras 25 cm adalah yang paling kecil. Hal ini dikarenakan pada
daerah yang berkanopi tersebut terdapat faktor pelindung yang
mengakibatkan anasir iklim di sekitar tempat tersebut relatif
lebih stabil dibandingkan dengan tempat tanpa kanopi. Selain
radiasi matahari yang lebih kecil, pengaruh pergerakan angin juga
akan lebih kecil, sehingga dapat memperkecil kemungkinan
terjadinya turbulensi udara yang menghasilkan panas dan suhu udara
yang lebih tinggi.

e. Perbandingan suhu pada daerah tak berkanopi

Suhu pada tempat tidak berkanopi


36
35
34
33 Aras 25
Suhu udara

32 Aras 75
31 Aras 150
30
29
28
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 1.5. Grafik suhu udara pada tempat tanpa kanopi


Grafik suhu udara untuk area yang tidak berkanopi diatas
menunjukkan bahwa suhu udara untuk aras 75 cm paling rendah diantara aras 25
cm dan 150 cm. Sedangkan pada aras 25 cm, suhu udara lebih rendah dibanding
dengan aras 150 cm. Pada aras 25 cm suhu udara lebih tinggi dari aras 75 cm. Hal
ini disebabkan karena permukaan tanah yang kering dan panas karena terkena
cahaya matahari membuat aras yang semakin dekat dengan permukaan tanah
menjadi lebih tinggi suhu udaranya.Suhu udara tertinggi diperoleh pada aras 150
cm. Suhu udara pada aras 150 lebih tinggi karena intensitas penyinaran matahari
yang didapat juga lebih besar, radiasinya pun lebih besar karena tidak terlindung
oleh tanaman di sekitar. Selain itu, menurut Sari et al. (2012) kecepatan angin
juga berpengaruh terhadap suhu udara karena kecepatan angin. Angin dapat
membawa udara panas dari benda di sekitar pengukuran sehingga akan
mempengaruhi suhu udara.

2. Kelembaban Udara

Kelembaban udara merupakan banyaknya uap air yang dikandung


oleh udara pada suhu dan tekanan tertentu. Kelembaban udara diperlukan tanaman
dalam hal pengontrolan keadaan sekitar agar sesuai dengan aktifitas tanaman. Uap
air diperlukan untuk menjaga lingkungan mikro agar tidak terlalu panas (kering)
maupun basah. Pengukuran kelembaban udara menggunakan kelembaban nisbi
untuk menyatakan nilai kelembaban udara. Kelembaban nisbi sendiri merupakan
perbandingan jumlah uap air yang terkandung terhadap jumlah uap air maksimum
yang dapat ditampung oleh udara pada suhu dan tekanan tertentu. Pengukuran
kelembaban udara pada praktikum ini dilakukan pada dua tempat yang berbeda,
yaitu pada tempat berkanopi dan tempat tak berkanopi pada beberapa nilai
ketinggian di atas permukaan tanah. Pengukuran kelembaban nisbi udara
dilakukan dengan 3 aras yaitu, aras 25 cm, aras 75 cm, dan aras 150 cm serta
pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali setiap 10 menit.

a. Kelembaban Nisbi Udara Aras 25 cm


Kelembaban nisbi udara aras 25

Kelembaban nisbi udara (%)


cm
60
50
40 Berkanopi
30 Tidak Berkanopi
20
10
0
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 2.1. Grafik kelembaban nisbi udara aras 25 cm

Grafik diatas merupakan perbandingan antara hasil pengukuran


kelembaban nisbi udara aras 25 cm pada tempat berkanopi dengan tidak
berkanopi. Grafik diatas menunjukan bahwa hasil pengukuran kelembaban pada
tempat berkanopi dan tidak berkanopi tidak jauh berbeda.. Menurut teori, tempat
dengan suhu yang lebih rendah akan memiliki kelembaban yang tinggi, dan begitu
pun sebaliknya. Hal ini dikarenakan adanya kanopi menyebabkan sinar matahari
tidak dapat diteruskan sampai ke permukaan tanah sehingga suhu udara pada
tempat berkanopi akan lebih rendah sehingga kelembaban naik. Grafik di atas
menunjukkan penyimpangan dimana kelembaban pada tempat yang tidak
berkanopi lebih tinggi dibanding pada tempat berkanopi. Hal ini bisa disebabkan
oleh nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas
kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi
melonjak. Pada daerah yang berkanopi keadaan udara menjadi lebih kering,
sehingga kelembaban nisbi udara cenderung kecil. Sedangkan pada daerah yang
tidak berkanopi cuaca sedikit mendung sehingga sinar matahari terhalang oleh
awan sehingga menyebabkan suhu udara dan kelembaban nisbi menjadi lebih
rendah. Pada menit ke 20 dan 50, kelembaban tempat berkanopi lebih rendah
daripada tempat tidak berkanopi, hal ini disebabkan karena pada saat pengamatan
radiasi matahari yang terpancar di tempat tidak merata sehingga terjadi perbedaan
suhu yang akan mempengaruhi hasil pengukuran kelembaban, serta vegetasi pada
tempat tidak berkanopi lebih banyak yang menyebabkan penurunan suhu pada
tempat tidak berkanopi sehingga kelembaban nisbi menjadi lebih tinggi daripada
tempat berkanopi.

b. Kelembaban Nisbi Udara Aras 75 cm

Kelembaban nisbi udara aras 75


Kelembaban nisbi udara (%)

cm
50
40
Berkanopi
30
Tidak Berkanopi
20
10
0
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 2.2. Grafik kelembaban nisbi udara aras 75 cm


Grafik diatas merupakan perbandingan antara hasil pengukuran
kelembaban nisbi udara aras 75 cm cm pada tempat berkanopi dengan tidak
berkanopi. Grafik diatas menunjukan bahwa hasil pengukuran kelembaban pada
tempat berkanopi dan tidak berkanopi tidak jauh berbeda dengan aras 25 cm.
Kelembaban nisbi udara pada tempat berkanopi mengaami fluktuasi, dimana
terjadi kenaikan dan penurunan. Pada menit ke-10, kelembaban nisbi udara pada
tempat berkanopi lebih tinggi daripada tempat tidak berkanopi. Pada menit ke-20,
40, dan 50 terjadi penurunan kelembaban pada tempat berkanopi, hal ini
dipengaruhi oleh anasir iklim mikro seperti suhu dan radiasi matahari. Pada
kelembaban nisbi udara 75 cm terjadi hal yang sama pada pengukuran pada aras
25 cm yaitu rerata kelembaban pada tempat berkanopi lebih rendah daripada
kelembaban pada tempat tak berkanopi. Hasil pengamatan pada aras 75 cm ini
juga mengalami penyimpangan, seperti pada aras 25 cm. Penyimpangan ini
kemungkinan disebabkan oleh hal yang sama dengan penyebab pada aras 25 cm,
yaitu nisbah antara uap air yang terkandung pada saat itu dengan kapasitas
kandungan maksimum uap air pada suatu temperatur dan tekanan udara menjadi
melonjak, sehingga kelembaban pada tempat tidak berkanopi lebih tinggi.
c. Kelembaban Nisbi Udara Aras 150 cm

Kelembaban nisbi udara aras 150


cm
Kelembaban nisbi udara (%)

50
40
Berkanopi
30
Tidak Berkanopi
20
10
0
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 2.3. Grafik kelembaban nisbi udara aras 150 cm


Grafik diatas merupakan perbandingan antara hasil pengukuran
kelembaban nisbi udara aras 150 cm cm pada tempat berkanopi dengan tidak
berkanopi. Grafik diatas menunjukan bahwa rerata kelembaban pada tempat
berkanopi dan tidak berkanopi tidak jauh berbeda dengan kelembaban nisbi udara
pada aras 25 cm dan 75 cm. Kelembaban nisbi udara aras 150 cm pada tempat
berkanopi dan tidak berkanopi rata-rata mengalami kenaikan pada setiap
menitnya. Hal ini dikarenakan matahari terik terjadi pada jam 13.30-15.00 yang
berarti semakin lama pengukuran dilakukan maka keadaan suhu pada setiap
tempat akan berubah dan menyebabkan kelembaban udara juga berubah.
Pengukuran kelembaban udara pada aras 150 menghasilkan data yang lebih baik
dari pada pengukuran sebelumnya, dimana rata-rata kelembaban pada tempat
berkanopi lebih tinggi daripada kelembaban pada tempat tidak berkanopi. Hal ini
sudah sesuai dengan teori, dimana tempat dengan suhu yang lebih rendah, yaitu
yang berkanopi, memiliki kelembaban yang lebih tinggi dibanding tempat yang
tidak berkanopi. Pada menit ke-50, dapat kita lihat bahwa kelembaban pada
tempat yang berkanopi sedikit lebih rendah dibanding tempat yang tidak
berkanopi. Hal ini dapat kurang sesuai dengan teori, dimana kemungkinan
diakibatkan oleh uap air yang dapat ditampung oleh udara sudah maksimum
karena pada tempat yang tidak berkanopi terjadi penutupan oleh awan pada menit
tersebut yang mengakibatkan kapasitas air di udara menurun, sehingga
kelembabannya meningkat.

d. Kelembaban Nisbi Udara Berkanopi

Kelembaban nisbi udara tempat


berkanopi
Kelembaban nisbi udara (%)

50
40 Aras
25
30
Aras
20 75

10 Aras
150
0
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 2.4. Grafik kelembaban udara pada tempat berkanopi


Grafik diatas merupakan perbandingan antara hasil pengukuran
kelembaban nisbi udara pada tempat berkanopi dengan aras 25, 75, dan 150 cm.
Grafik diatas menunjukan bahwa kelembaban nisbi udara pada aras 150 cm paling
tinggi di setiap menit, kemudian kelembaban nisbi udara pada aras 75 cm, dan
kelembaban nisbi udara pada aras 25 cm paling rendah. Hal ini menunjukan
bahwa semakin tinggi tempat maka semakin tinggi kelembabannya. Kelembaban
udara merupakan banyak nya uap air pada udara, semakin tinggi tempat maka
kemampuan udara udara mengikat uap air menjadi tinggi. Rerata kelembaban
nisbi udara pada tempat berkanopi di aras 25, 75, dan 150 cm semakin lama maka
semakin naik. Hal ini disebabkan karena semakin sore waktu pengukuran maka
suhu udara akan menurun sehingga kelembaban menjadi naik. Hasil pada grafik di
atas sudah sesuai dengan teori, dimana semakin tinggi suatu tempat maka suhunya
makin rendah, sehingga kelembabannya lebih tinggi (Kartasapoetra, 2004).

e. Kelembaban Nisbi Udara Tidak Berkanopi


Kelembaban nisbi udara tempat
tak berkanopi
60

50
Kelembaban nisbi udara (%)

40 Aras 25
Aras 75
30 Aras 150

20

10

0
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Gambar 2.5. Grafik kelembaban nisbi udara tidak berkanopi


Grafik diatas merupakan perbandingan antara hasil pengukuran
kelembaban nisbi udara pada tempat tidak berkanopi dengan aras 25, 75, dan 150
cm. Grafik diatas menunjukan bahwa rerata kelembaban nisbi udara pada aras 25
cm paling tinggi, kemudian kelembaban nisbi udara ara 75 cm, dan paling rendah
kelembaban nibi udara 150 cm. Hasil yang didapat menunjukan keadaan yang
terbalik dari hasil pada tempat berkanopi. Hal ini dikarenakan terdapat anasir
iklim mikro yang mempengaruhi hasil seperti suhu, radiasi matahari, dan vegetasi.
Kelembaban udara semakin lama pengamatan akan semakin tinggi seperti yang
terjadi pada kelembaban tempat berkanopi. Hal ini dikarenakan semakin sore
waktu pengukuran maka intensitas radiasi matahari akan menurun sehingga suhu
udara akan menurun. Ketika suhu udara turun maka kelembaban menjadi naik.

iii. Suhu Tanah


a. Suhu tanah aras 0 cm
Suhu tanah aras 0 cm
34

suhu tanah (oC)


33
32
31 Berkanopi
30 Tidak Berkanopi
29
28
27
10 20 30 40 50

Waktu pengamatan ke- (menit)

Grafik 3.1. Grafik pengamatan suhu tanah pada jeluk 0 cm


Pada pengamatan suhu tanah jeluk 0 cm di atas, suhu tanah pada
daerah berkanopi lebih rendah daripada daerah tanpa berkanopi. Hal tersebut
dikarenakan pada daerah berkanopi adanya naungan dedaunan pohon disekitar,
sehingga dapat menstabilkan suhu udara di sekitar tanah menjadi lebih rendah
daripada di tempat tanpa berkanopi. Apabila suhu udara disekitar permukaan
tanah rendah, maka suhu tanah akan terpengaruhi untuk semakin rendah daripada
suhu tanah bersuhu udara tinggi walau sifat fisik dan kimia tanah tersebut hampir
sama. Hasil yang didapatkan ini sudah sesuai dengan teori yang ada. Suhu dan
kelembaban baik udara maupun tanah sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan
vegetasi yang menutupinya. Daerah yang tertutup vegetasi akan memiliki
kelembaban yang tinggi dan mengakibatkan suhu udara menjadi turun, dan begitu
juga suhu tanah (Noor, 2001).

b. Suhu tanah aras 10 cm


Suhu tanah aras 10 cm
33
32
31
sShu tanah 30
Berkanopi
Tidak Berkanopi
29
28
27
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Grafik 3.2. Grafik pengamatan suhu tanah pada jeluk 10 cm


Pengamatan selanjutnya juga menunjukan bahwa suhu tanah di daerah
tanpa berkanopi lebih tinggi daripada suhu tanah di daerah berkanopi. Hal tersebut
dikarenakan tanah pada daerah berkanopi dapat berpaparan secara langsung
dengan radiasi matahari tanpa adanya gangguan oleh dedaunan pohon
disekitarnya. Radiasi matahari dapat menyebabkan suhu permukaan tanah
menjadi lebih panas dan akan diikuti dengan naiknya suhu tanah di bagian
dalamnya (Sudaryono, 2011)

c. Suhu tanah aras 20 cm

Suhu tanah aras 20 cm


36
34
Suhu tanah

32
Berkanopi
30
Tidak Berkanopi
28
26
24
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Grafik 3.3. Grafik pengamatan suhu tanah pada jeluk 20 cm


Berdasarkan grafik di atas, dapat kita lihat bahwa suhu tanah pada
tempat yang tidak berkanopi lebih tinggi dibanding suhu tanah pada tempat
berkanopi. Hasil pengamatan di atas sesuai dengan teori dimana suhu tanah di
daerah tanpa berkanopi lebih tinggi daripada suhu tanah di daerah berkanopi. Hal
tersebut juga dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia dari tanah yang diamati
memiliki kesamaan baik di daerah berkanopi maupun tidak berkanopi. Ini
berkaitan dengan kandungan air tanah. Tanah dengan kandungan air yang tinggi
akan panas perlahan pada musim hujan, dan cepat pada musim kemarau.
Kandungan air dalam tanah tidak lepas dari kaitannya terhadap struktur tanah,
dimana tanah ang didominasi oleh lempung akan dapat mengikat air lebih banyak
dibanding tanah yang didominasi pasir yang relatif cepat menyerap air, namun
juga cepat meloloskan air. Pada tanah tanpa kanopi mengalami kontak langsung
dengan radiasi matahari sehingga dapat menaikkan suhu tanah dan suhu udara
tersebut, hal ini secara tidak langsung juga menyebabkan kelembaban udara
menjadi rendah (Sudaryono, 2011).

d. Suhu tanah pada tempat berkanopi

Suhu tanah tempat berkanopi


31.5
31
30.5
30
Suh utanah

29.5 Aras 0
29 Aras 10
28.5
Aras 20
28
27.5
27
26.5
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Grafik 3.4. Grafik pengamatan suhu tanah pada areal berkanopi


Berdasarkan grafik pengamatan suhu tanah di atas terlihat jelas bahwa
suhu tanah semakin dalam maka suhu tanah akan semakin turun. Hal ini sudah
sesuai dengan teori yang ada. Penurunan suhu tanah berbanding lurus dengan
kedalaman dikarenakan semakin dalam suhu tanah diukur, maka tingkat porositas
tanah semakin kecil dan kandungan lengas tanah akan semakin naik yang
membuat suhu tanah menjadi semakin rendah. Semakin mendekati permukaan
tanah tingkat porositas tanah semakin naik, sehingga suhu udara di atas tanah
dapat mempengaruhi suhu permukaan tanah. Kelembaban udara juga dapat
mempengaruhi suhu tanah, apabila kelembaban semakin tinggi maka sebaliknya
suhu udara akan semakin rendah dan suhu tanah akan berbanding lurus dengan
suhu udara (Irawan dan June, 2013).

e. Suhu tanah pada tempat tak berkanopi

Suhu tanah tempat tak berkanopi


34
33
32 Aras 0
suhu tanah

31 Aras 10
Aras 20
30
29
28
10 20 30 40 50
Waktu pengamatan ke- (menit)

Grafik 3.5. Grafik pengamatan suhu tanah pada areal tanpa kanopi
Hasil Pengamatan diatas juga menunjukkan bahwa suhu udara
pada tempat tak berkanopi fluktuatif dimana suhu mengalami kenaikan dan
penurunan.. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Seharusnya penurunan
suhu tanah berbanding lurus dengan kedalaman dikarenakan semakin dalam suhu
tanah diukur, maka tingkat porositas tanah semakin kecil dan kandungan lengas
tanah akan semakin naik yang membuat suhu tanah menjadi semakin rendah.
Namun pada pengamatan ini fluktuatif suhu bisa terjadi karena kelembaban tanah
itu sendiri. kelembaban yang tinggi menyebabkan suhu udara menjadi rendah dan
berbanding lurus dengan suhu tanah. Suhu udara pada saat praktikum rata-rata
lebih dari 30o C, yang tergolong tinggi dan cerah serta berawan. Adanya awan
menyebabkan suhu sewaktu-waktu dapat berubah, yang berpengaruh langsung
pada suhu. Saat suhu udara turun akibat adanya awan, suhu tanah juga akan turun,
sedangkan saat tidak ada penutupan oleh awan, maka suhu udara akan kembali
naik, menyebabkan kenaikan suhu tanah.

iv. Intensitas Penyinaran


Intensitas cahaya
250

Intensitas Cahaya Matahari


200

150 Berkanopi
Tidak berkanopi
100

50

0
10 20 30 40 50
Selang waktu pengamatan

Gambar 4.1. Grafik Intensitas penyinaran berkanopi dan tanpa kanopi


Pada grafik tersebut terlihat jelsas perbedaan intensitas cahaya pada tempat
berkanopi dan tidak berkanopi. Kanopi memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap intensitas penyinaran. Data intensitas penyinaran pada daerah berkanopi
jauh lebih rendah daripada intesnsitas penyinaran pada daerah yang tidak
berkanopi. Hal tersebut dikarenakan adanya kanopi (penutup tajuk tanaman)
hanya dapat meneruskan 5-10% sinar datang. Pada daerah tanpa kanopi, sinar
datang tanpa dihalangi oleh tanaman tahunan sehingga menyebabkan penyinaran
di daerah tanpa kanopi relatif stabil. Sedangkan, pada daerah berkanopi banyak
sekali penghalang yang pergerakannya tidsk menentu. Hal ini menyebabkan sinar
yang datang tidak stabil. Hal ini sesuai dengan penelitian Utomo (2011) dalam
“Dinamika Suhu Udara Siang-malam terhadap Fotorespirasi Fase Generatif Kopi
Robusta dibawah Naungan yang Berbeda pada Sistem Agroforesty” yang
menyatakan bahwa Intensitas cahaya dibawah naungan sengon lebih rendah
dibandingan intensitas cahaya dibawah naungan lamtoro dimana naungan sengon
memiliki penutup atau kanopi yang lebih rapat dibandingan naungan lamtoro.

IV. KESIMPULAN

1. Iklim mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia dan organisme yang


hidup di bumi. Oleh karena itu, pengetahuan tentang iklim sangat
dibutuhkan.Cara-cara mengukur anasir cuaca mikro adalah dengan mengukur
suhu udara, kelembaban udara, suhu tanah, kecepatan angin dan intensitas
penyinaran pada cuaca mikro. Alat-alat yang digunakan dalam pengukuran
anasir cuaca mikro adalah : termohigrometer, termometer, biram anemometer,
stick termometer, statif, dan foot candle (sebagai pengukur intensitas cahaya).
2. Faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro antara lain keadaan vegetasi
(jenis, tinggi, kerapatan), bentuk relief mikro tanah, sifat tanah (teksur,
struktur, bahan induk), kelengasan tanah dan penutupan lahan.
3. Iklim mikro pada daerah berkanopi memilikisuhu udara, suhu tanah dan
intensitas penyinaran yang lebih rendah serta kelembaban nisbi udara yang
lebih tinggi, sedangkan daerah tanpa kanopi memiliki suhu udara, suhu tanah,
intensitas penyinaran yang lebih tinggi dan kelembaban nisbi udara yang lebih
rendah.
Daftar Pustaka

Ainy, C. N. 2012. Pengaruh ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro di kawasan
kota Bogor.
<http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61101/A12
cna.pdf?sequence=1&isAllowed=y>. Diakses pada 19 Oktober 2016.

Anonim. 2013. Suhu udara. <https://www.plengdut.com/suhu-udara/490/>.


Diakses pada 19 Oktober 2016

Frick, H and F. X. B. Suskiyatno. 2007. Dasar-Dasar Arsitektur Ekologis.


Kanisius. Yogyakarta.
Frick, Heinz, Antonius A., and AMS Darmawan. 2008. Ilmu fisika bangunan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 198 hlm.

Irawan, A. dan T. June. 2013. Hubungan iklim mikro dan bahan organik tanah
dengan emisi CO2 dari permukaan tanah di hutan alam babahaleka
taman nasional lore lindu, sulawesi tengah. Jurnal Agromet Indonesia
25: 21-31.

Jones, P. D., D. H. Lister, T. J. Osborn, C. Harpham, M. Salmon, and C. P.


Morice. 2012. Hemispheric and large-scale land-surface air
temperature variations: an extensive revision and an update to 2010.
Journal of Geophysical Research Atmospheres 117: 1—17.

Kartasapoetra, G. A. Ir, 2004. Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman.


Jakarta: Bumi

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius:
Yogyakarta.
Reijntjes, C., B. Haverkort, and A. W. Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan.
Kanisius. Yogyakarta.

Rusbiantoro, Dadang. 2008. Global Warming for biginner. Penerbit Niaga


Swadaya. Yogyakarta. 114 hlm.

Sari, O., B. Priyono, dan N. R. Utami. 2012. Suhu, kelembaban, serta produksi
telur itik pada kandang tipe litter dan slat. Unnes Jurnal of Life
Science 1: 95-100.

Sudaryono. 2011. Pengaruh naungan terhadap perubahan iklim mikro pada


budidaya tanaman tembakau rakyat. Jurnal Teknologi Lingkungan 5:
56-60.

Utomo, B. S. 2011. Dinamika Suhu Udara Siang-Malam terhadap Fotorespirasi


Fase Generatif Kopi Robusta dibawah Naungan yang Berbeda pada
Sistem Agroforesty. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian.
Universitas jember. Skripsi.

Wicklein, H. F., D. Christopher., M. E. Carter, and B. H. Smith. 2012. Edge


effects on sapling characteristics and microclimate in a small
temperate deciduous forest fragment. Natural Areas Journal 32(1):
110-116.

Anda mungkin juga menyukai