Anda di halaman 1dari 12

Paradoks Urbanisasi di Bali: Antara Kemajuan dan Ancaman terhadap Keberlanjutan

Budaya dan Lingkungan

Ni Ketut Astiti Widiyanti

“Dalam perjalanan ke kota, kita mungkin menemukan gemerlap yang bersinar, namun
jangan sampai kilau itu memadamkan ingatan akan desa yang memberi kita akar.”

PENDAHULUAN

Paradoks urbanisasi di Bali membuka suatu medan perdebatan yang kompleks, di mana
kemajuan dan ancaman terhadap keberlanjutan budaya dan lingkungan berdampingan. Pulau
Dewata, yang dikenal akan keindahan alam dan warisan budayanya yang kaya, menjadi saksi
perkembangan urbanisasi yang cepat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun urbanisasi
memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi dan modernisasi, paradoks muncul ketika
dampaknya menciptakan tantangan signifikan terhadap kelestarian nilai-nilai budaya dan
keseimbangan lingkungan.

Bali telah lama menjadi destinasi pariwisata yang memukau, menarik jutaan mata yang
terpesona oleh keindahan alamnya yang luar biasa dan kekayaan budayanya yang unik. Namun,
di balik keramaian pariwisata dan daya tarik seni tradisionalnya, muncul sebuah paradoks yang
semakin nyata, yaitu urbanisasi yang pesat. Tercatat selama tahun 1980 hingga 2010, proporsi
penduduk yang tinggal di perkotaan di Bali meningkat tajam dari sekitar 15,0 persen menjadi
lebih dari 60,0 persen (Suntajaya, 2014). Isu tentang semakin pesatnya urbanisasi
memunculkan pertanyaan terkait sejauh mana kemajuan ekonomi dan perkembangan kota
dapat bersaing dengan nilai-nilai keberlanjutan budaya dan lingkungan yang telah membentuk
identitas pulau ini selama berabad-abad? Urbanisasi di Bali tidak hanya menciptakan
perubahan fisik yang mencolok, melainkan juga membangkitkan pertanyaan mendalam tentang
arah pembangunan yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah. Seolah-olah pulau ini berada
di persimpangan antara modernitas dan tradisi, di mana pertumbuhan ekonomi yang cepat
mempertaruhkan keberlangsungan warisan budaya yang kaya dan ekosistem lingkungan yang
rapuh.

Urbanisasi, sebagai tonggak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, telah


membentuk wajah baru Bali. Namun, apakah kemajuan tersebut dapat terjadi tanpa
mengorbankan keberlanjutan budaya dan lingkungan yang telah lama menjadi jiwa pulau Bali?
Dengan menciptakan kontrast antara kemajuan dan ancaman, kita dihadapkan dengan dilema
sejauh mana kita dapat melangkah maju tanpa menghancurkan akar-akar kearifan lokal.
Penting untuk memahami bahwa urbanisasi di Bali tidak sekadar perubahan fisik dalam bentuk
perkotaan yang modern, tetapi juga sebuah perubahan sosial dan budaya yang mendalam.
Tradisi lama dan nilai-nilai lokal seringkali tersingkir oleh arus perkembangan yang tidak
mengenal batas.

Urbanisasi disebabkan oleh adanya perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas-


fasilitas dari pembangunan, khususnya antara daerah pedesaan dan perkotaan. Akibatnya,
wilayah perkotaan menjadi magnet menarik bagi kaum urban untuk mencari pekerjaan.
Mirisnya, sebagian besar kaum urban tersebut diperkirakan tidak memiliki life skill yang
memadai sehingga memunculkan berbagai persoalan. Mulai dari angka pengangguran yang
tinggi, kemiskinan, kriminalitas, perkampungan kumuh, kemacetan, hingga kerawanan sosial
lainnya yang cenderung meningkat.

Rendahnya lapangan pekerjaan di daerah pedesaan menjadi alasan utama penduduk desa
berniat untuk pindah dan mengadu nasib di kota. Minimnya fasilitas di pedesaan juga menjadi
faktor kuat pemicu meningkatnya urbanisasi. Selain itu, standar hidup di pedesaan yang rendah,
ketersediaan fasilitas seperti pendidikan, sarana dan prasarana kesehatan, serta tingkat
pendapatan perkapita juga memiliki peranan penting dalam laju urbanisasi.

Kesenjangan antara modernitas yang berkembang pesat dan kekayaan tradisional Bali
menciptakan suatu dilema yang membingungkan, yang perlu diungkap dan dicari solusinya.
Dalam esai ini, kita akan menyelami lebih dalam ke dalam paradoks urbanisasi di Bali,
membahas dinamika perubahan yang terjadi, serta mengeksplorasi dampaknya terhadap
keberlanjutan budaya dan lingkungan. Analisis mendalam ini tidak hanya akan membuka
wawasan terhadap kompleksitas situasi, tetapi juga memberikan dasar bagi pembahasan
mengenai upaya-upaya yang dapat diambil untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik
antara kemajuan ekonomi dan pelestarian identitas kultural serta ekosistem alam yang unik di
Bali.

PEMBAHASAN

Urbanisasi di Bali
Urbanisasi adalah proses yang terjadi akibat laju pertumbuhan penduduk yang tinggi,
mobilitas demografi dari daerah pedesaan menuju perkotaan terutama yang dapat
menyebabkan perluasan fisik wilayah kota (Widiawaty, 2019). Secara sederhana urbanisasi
dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dari daerah pedesaan menuju daerah perkotaan.
Urbanisasi banyak dipengaruhi oleh proses alami yang meliputi angka kelahiran dan kematian,
bencana alam, perubahan lingkungan, dan masalah sosial ekonomi yang meliputi pendapatan
individu, pendidikan, kesehatan, fasilitas dasar, industrialisasi, serta peraturan pemerintah.
Urbanisasi pada hakikatnya berupa suatu refleksi adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi
serta ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara suatu daerah dengan daerah lainnya
(Hidayati, 2018; Berger & Engzwll, 2020). Individu-individu dari daerah yang fasilitas
pembangunan dan infrastrukturnya kurang baik akan bergerak menuju ke daerah yang memiliki
fasilitas pembangunan serta infrastruktur yang lebih baik (Dickie & Gerking, 1998). Selain itu,
terbatasnya kesediaan sumber daya alam dan kebutuhan ekonomi akan memberikan pengaruh
yang signifikan bagi orang-orang untuk meninggalkan desanya (Pradhan, dkk, 2000; Kanbur
& Venables 2007).

Setiap tahun berjuta-juta orang pindah dari desa ke kota, sekalipun banyak kota besar pada
kenyataannya sudah tidak mampu menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan, perumahan,
serta transportasi lebih dari minimal kepada penduduknya yang sangat padat (Hidayati, 2021).
Urbanisasi dianggap sebagai suatu solusi bagi penduduk untuk dapat mencapai suatu taraf
hidup yang diharapkannya. Namun, banyak dari pelaku urbanisasi yang hanya bermodal nekat
tanpa memiliki keahlian hidup sehingga malah menimbulkan dampak buruk baik bagi desa
yang ditinggalkan maupun bagi kota yang dituju. Dampak buruk dari urbanisasi dapat kita
amati di Pulau Bali yang semakin pesat seiring berjalannya waktu. Pesatnya urbanisasi di Bali
tercermin dari meningkatnya proposi penduduk perkotaan yang hanya 15,0 persen pada tahun
1980 meningkat menjadi 60,0 persen pada tahun 2010 (BPS, 1982, 2012).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2009 tentang


perubahan peraturan pemerintah nomor 27 tahun 1994 tentang pengelolaan perkembangan
kependudukan, pasal 1 (7A) menjelaskan bahwa: Pengarah Mobilitas dan/atau persebaran
penduduk dimaksudkan untuk mewujudkan keseimbangan antara jumlah penduduk dengan
daya dukung alam, daya tampung lingkungan binaan, dan daya tampung lingkungan sosial
secara optimal. Namun pada kenyataannya tujuan tersebut belum tercapai secara optimal. Hal
tersebut tidak luput dari kurangnya kemampuan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan
infrastruktur serta fasilitas yang ada di wilayah desa sehingga berpengaruh besar terhadap
minat masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi ke wilayah perkotaan.

Urbanisasi tentu saja akan mengakibatkan daerah perkotaan di Bali yang sudah padat
penduduknya menjadi lebih padat lagi sehingga akan berdampak over population di daerah
perkotaan. Dengan terjadinya over population, otomatis akan terjadi banyak pengangguran
(Dwiningwarni dkk, 2018; Keynes, 2018). Pengangguran terjadi terutama karena melimpahnya
tenaga kerja kasar atau buruh. Berbeda dengan kondisi perkotaan yang semakin padat, bagi
desa yang ditinggalkan tentu saja akan mengalami penurunan populasi. Produktifitas dari desa
yang ditinggalkan akan semakin menurun karena lebih banyak generasi muda sebagai individu
dengan usia produktif malah memilih untuk pindah ke kota. ancaman terhadap warisan budaya
juga akan sangat terasa, mulai dari penurunan praktik tradisional, upacara adat, hingga tidak
digunakannya bahasa dari desa asal untuk komunikasi sehari-hari.

Warisan Budaya Bali

Bali sebagai pulau yang kaya akan warisan budaya yang luar biasa, mulai dari seni, upacara
adat, hingga filosofi kehidupan. Budaya yang terdapat di Bali pun dalam perkembangan dan
prosesnya selalu dipengaruhi oleh desa, kala, patra dari masing-masing wilayah yang ada di
Bali. Terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara proses pelaksanaan budaya dan tradisi
yang berlangsung di wilayah perkotaan dan wilayah perkotaan. Misalnya terkait gaya hidup
dan nilai budaya. Gaya hidup wilayah perkotaan cenderung lebih modern, dengan pengaruh
gaya hidup global. Nilai-nilai tradisional sering kali mengalami perubahan atau penyesuaian
dengan nilai-nilai yang lebih modern. Sementara di wilayah pedesaan gaya hidup masih sangat
terikat dengan tradisi lokal. Nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, penerapan konsep
menyama-braya, dan kehidupan berdasarkan siklus agrikultur masih sangat dihargai.

Konsep menyama-braya sebagai salah filosofi hidup bermasyarakat di Bali sangat


dijunjung tinggi oleh masyarakat. Masyarakat pedesaan biasanya cenderung masih kental akan
konsep ini. Budaya menyama-braya dijadikan kunci keberhasilan toleransi beragama sehingga
dapat kita amati masyarakat pedesaan cenderung hidup lebih damai, lebih menghargai
perbedaan, serta menjaga integrasi dalam masyarakat. Namun, pesatnya urbanisasi yang
mempengaruhi dinamika dan interaksi masyarakat Bali mulai melunturkan konsep menyama-
braya. Urbanisasi dapat menyebabkan perubahan dalam nilai-nilai budaya dan sistem sosial,
yang pada gilirannya memengaruhi konsep-konsep tradisional. Selain pengaruh terhadap
pengimplementasian konsep tradisional, banyak masyarakat urban yang beranggapan bahwa
desa asal hanyalah “kampung halaman” yang hanya sebagai tempat dimana mereka dilahirkan
dan tumbuh besar bukan sebagai tempat mereka untuk “pulang”. Hal ini tentu saja dapat
dikatakan sangat miris.

Kemudian, dalam pelaksanaan upacara adat di wilayah perkotaan cenderung memiliki


prioritas waktu yang berbeda dan pola hidup yang lebih terburu-buru. Di wilayah pedesaan
tradisi dan upacara adat cendering dipertahankan dengan ketat. Upacara-upacara seperti
Ngaben, Galungan, Kuningan, dan Nyepi dapat diadakan dengan lebih kental di wilayah
pedesaan. Perbedaan yang sangat besar juga dapat kita amati dari bentuk pemukiman. Di
wilayah perkotaan biasanya pemukiman lebih padat dan didominasi oleh bangunan-bangunan
modern. Di wilayah desa memiliki struktur pemukiman yang lebih terbuka dan didominasi oleh
rumah-rumah tradisional dan sangat menjunjung tinggi nilai budaya dan dalam arsitektur
bangunannya biasanya masih didasari oleh Asta Kosala Kosali, keseimbangan kosmologi (Tri
Hita Karana), serta orientasi kosmolgi (Sanga Mandala) (Lestawi, 2016).

Kekayaan warisan budaya Bali bukan hanya mencerminkan keindahan seni dan tarian,
tetapi juga menciptakan fondasi bagi filosofi kehidupan yang mendalam. Warisan ini menjadi
salah satu daya tarik utama pariwisata di Bali dan memainkan peran penting dalam identitas
dan keberlanjutan budaya pulau ini.

Ancaman terhadap Keberlanjutan Budaya

Maraknya urbanisasi di Bali memberikan sejumlah ancaman terhadap keberlanjutan


budaya di pulau ini. Urbanisasi yang pesat diikuti oleh pertumbuhan ekonomi dan perubahan
sosial dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif bagi tradisi dan warisan budaya Bali.
Adapun beberapa ancaman utama dari pesatnya urbanisasi yang terjadi terutama terhadap
keberlanjutan budaya adalah sebagai berikut:

1. Hilangnya Identitas Budaya yang diakibatkan oleh masyarakat urban yang lebih
terpapar pada pengaruh global dan gaya hidup modern sehingga dapat menggantikan
nilai-nilai tradisional.
2. Perubahan Gaya Hidup dan Nilai, migrasi penduduk dari desa ke kota dapat
menyebabkan perubahan dalam gaya hidup dan nilai-nilai budaya, nilai-nilai tradisonal
bisa saja tergeser oleh nilai-nilai yang lebih modern dan konsumeristik.
3. Peleburan tradisi lokal, Urbanisasi memungkinkan terjadinya peleburan tradisi lokal
dengan tren global. Upacara adat dan praktik tradisi budaya dapat menjadi kurang
penting atau bahkan hilang karena urbanisasi yang cepat.
4. Ketidakseimbangan Generasi, Migrasi generasi muda ke kota dapat menyebabkan
ketidakseimbangan generasi di desa. Pemindahan pengetahuan dan keterampilan
tradisional dari generasi tua ke generasi muda dapat terganggu, mengancam
kelangsungan budaya.
5. Komersialisasi Budaya yang disebabkan oleh pertumbuhan industri pariwisata yang
cepat di Bali sehingga menyebabkan pertunjukan-pertunjukan budaya sering kali
disesuaikan untuk memenuhi ekspektasi wisatawan dan malah mengorbankan
autentisitas budaya.
6. Kehilangan Bahasa Tradisional, berdasarkan apa yang bisa kita amati di lapangan, saat
ini penggunaan bahasa tradisonal sudah sangat jarang digunakan, bahkan tidak jarang
anak-anak tidak mengerti sama sekali jika diajak berkomunikasi dengan bahasa
tradisonal. Akibatnya bahasa daerah menjadi terancam punah.
7. Kerusakan situs bersejarah, Pembangunan perkotaan seringkali menyebabkan
kerusakan pada situs-situs bersejarah dan pura-pura yang memiliki nilai budaya dan
religius. Bangunan modern dan infrastruktur dapat merusak keaslian dan integritas
tempat-tempat bersejarah.
8. Kesenjangan sosial dan ketidaksetaraan, Pertumbuhan ekonomi di kota-kota besar tidak
selalu merata, dan ini dapat menghasilkan kesenjangan sosial dan ketidaksetaraan.
Kelompok masyarakat tertentu mungkin mendapatkan manfaat lebih besar sementara
yang lain terpinggirkan.

Pengaruh Urbanisasi Terhadap Lingkungan

Urbanisasi di Bali memberikan berbagai dampak signifikan terhadap lingkungan. Sebagai


contoh di kota yang paling banyak menjadi tujuan urbanisasi yaitu Kota Denpasar yang
letaknya strategis secara ekonomi. Kota Denpasar yang memiliki banyak faktor pemikat ini
mendorong masyarakat desa berkeinginan untuk menikmati arus kehidupan modern dengan
dalih utama mengubah kehidupan untuk menjadi lebih baik (Wijaya, 2001). Dari pesatnya
tingkat urbanisasi yang terjadi di Kota Denpasar memberikan berbagai dampak serta
permasalahan yang kian kompleks. Pertama, adalah terkait penataan ruang kota yang didesain
untuk menghadapi modernisasi, bertambahnya penduduk, dan citra pariwisata Bali yang
terkenal. Kedua adalah masalah kependudukan yang berupa limpahan penduduk transmigrasi
dari daerah lain beserta perangkat aturannya yang selalu menjadi masalah sosial utama di kota
besar. Ketiga adalah masalah lingkungan yang sering dihadapi seperti sampah, kualitas udara,
sumber air yang layak untuk kehidupan, kebutuhan konsumsi bahan bakar, listrik, serta
pemukiman yang layak.

Permasalahan yang timbul dari pesatnya urbanisasi merambat pada permasalahan


pembangunan yang timbul di Kota Denpasar, diantaranya masalah alih fungsi lahan sawah
menjadi pemukiman, kemacetan lalu lintas, sampah yang menimbulkan rawan bencana banjir,
konsumsi penduduk yang diperkirakan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah
penduduk, artinya dimungkinkan pula volume dan keragaman sampah yang dihasilkan juga
meningkat. Namun, meningkatnya pola konsumsi penduduk tidak diiringi dengan peningkatan
hasil pangan akibat dari alih fungsi lahan pertanian sehingga mengancam ketahanan pangan
nasional khususnya di daerah Bali.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi rumah yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat
urban memberikan permasalahan yang serius. Memang pada dasarnya rumah adalah salah satu
hak dasar rakyat dan oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, hal ini telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2011. Namun, pembangunan perumahan dan kawasan pemukiman selalu
menghadapi permasalahan pertahanan bagi masyarakat urban apalagi jika tanah tersebut
merupakan tanah pertanian yang telah di atur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Darmawan, 2020). Sanksi yang
tegas pun telah ditetapkan berupa “Siapa yang melakukan alih fungsi lahan yang dilindungi
bisa dipidana 2-7 tahun dan denda Rp 1 miliar-Rp 7 miliar. Pidana ditambah jika pelakunya
pejabat”. Akan tetapi, penetapan sanksi tersebut seakan belum optimal karena hingga saat ini
masih banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan terutama di daerah
perkotaan akibat dari pesatnya urbanisasi.

Atas dasar pertimbangan ekonomi atau finansial, banyak lahan-lahan pertanian di konversi
menjadi penggunaan non pertanian misalnya pemukiman, perkantoran, jalan, dan sarana
lainnya. Penurunan luas lahan ini selain menimbulkan permasalahan terhadap jumlah pangan
juga akan berdampak pada berbagai konsekuensi ekologis, diantaranya penurunan ruang
terbuka hijau serta berkurangnya daerah resapan air hujan. Dampak dari penurunan ruang
terbuka hijau adalah meningkatnya kadar CO2 di udara sehingga temperatur udara di Kota
Denpaar menjadi semakin panas. Sementara berkurangnya daerah resapan akan menyebabkan
terjadinya banjir karena sebagian besar air hujan akan mengalami run-off dibandingkan dengan
yang terfiltrasi ke dalam tanah. Berkurangnya potensi air tanah juga menjadi konsekuensi dari
berkurangnya daerah resapan air hujan. Pertambahan jumlah pelaku urban dari tahun ke tahun
di satu sisi memerlukan ketersediaan sumber daya lahan yang semakin banyak. Sementara di
sisi lain, pertambahan jumlah penduduk di kota tujuan urbanisasi akan menurunkan kualitas
dan kuantitas sumber daya lahan yang dapat menimbulkan krisis ekologis jika tidak ditangani
secara serius, sistematis, dan berkesinambungan.

Menurunnya kualitas udara akibat tingginya polusi kendaraan juga menjadi salah satu
dampak buruk urbanisasi terhadap lingkungan. Menurut Wikipedia, presentase jumlah
penambahan kendaraan bermotor tiap tahunnya adalah sebesar 29,2% yang menyebabkan
kualitas udara kian menurun. Namun, penambahan presentasi kendaraan tersebut tidak
sebanding dengan daya dukung jaringan infrastruktur terutama jaringan jalan yang hanya
meningkat sekitar 4,68% sehingga menimbulkan permasalahan lain yaitu kemacetan lalu lintas
pada ruas-ruas jalan kota denpasar. Meskipun pemerintah kota mengupayakan solusi untuk
mengatasi permasalahan tersebut dengan membangun jalan lingkar baru di luar pusat kota,
tetapi upaya ini belum dapat memecahkan permasalahan transportasi dalam kota secara
optimal, bahkan menimbulkan masalah lain yang berpengaruh terhadap tata ruang fisik kota
terutama pada land use dan morfologi kota (Suamba & Nurdiantoro, 2014).

Terdapat banyak dampak negatif dari pesatnya urbanisasi terutama dampak pada
lingkungan. Untuk dapat mengatasi dampak-dampak tersebut, maka dibutuhkan perencanaan
perkotaan yang berkelanjutan, pengelolaan sumber daya yang baik, serta partisipasi aktif
masyarakat dalam pelestarian lingkungan. Peran pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan
masyarakat sangat penting dalam memastikan bahwa pertumbuhan urbanisasi dapat
berlangsung sejalan dengan keberlanjutan lingkungan.

Paradoks: Modernitas vs. Tradisi

Modernitas terkadang dianggap sebagai sebuah entitas elementer kebudayaan yang mampu
mendekonstruksi pola pandang manusia atas segala sesuatu yang dicapai selama perjalanan
hidupnya, bahkan ia memberikan situasi berbeda dalam menyikapi masa depan agama, budaya,
dan struktur sosialnya (Encung, 2012). Sebagian besar individu yang beranggapan bahwa
modernitas adalah sesuatu yang menyenangkan dan sangat penting untuk diterapkan. Namun,
sebagai masyarakat Bali yang memiliki berbagai budaya dan tradisi adalah suatu kewajiban
bagi kita untuk tetap melestarikan serta meneruskan tradisi yang ada. Paradoks antara
modernitas dan tradisi dalam konteks urbanisasi menciptakan dinamika yang kompleks dan
sering kali menantang. Urbanisasi, sebagai manifestasi modernitas, membawa perubahan
signifikan dalam struktur sosial, ekonomi, dan budaya suatu masyarakat. Sementara itu, nilai-
nilai tradisional dan warisan budaya yang berakar dalam sejarah sering kali bertentangan
dengan arus modernisasi ini. Maka paradoks antara modernitas dengan tradisi dalam urbanisasi
dapat dikatakan lebih merujuk pada ketidakseimbangan antara dua konsep tersebut yang
muncul selama proses urbanisasi. Urbanisasi mempengaruhi hubungan antara masyarakat dan
budaya, baik tradisional ataupun modern. Dalam proses urbanisasi, masyarakat mengalami
perubahan yang signifikan, termasuk pada perubahan cara berinteraksi satu sama lain dan
dengan lingkungan sekitarnya.

Proses urbanisasi dan modernisasi mengarah krisis identitas dan mengancam kelestarian
budaya. Ketika masyarakat mengalami perubahan yang signifikan dalam proses urbanisasi
maka dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara identitas lokal dan global. Dalam
pelaksanaan kegiatan agama pun urbanisasi sangat berpengaruh. Mulai dari fleksibelitas
pelaksanaan kegiatan keagamaan yang cenderung semakin longgar dan mulai melenceng dari
ajaran kitab suci hingga pengabaian terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam agama. Saat
ini, berbagai hal yang awalnya dianggap dosa dan salah mulai diwajarkan. Dari banyaknya
fenomena tersebut, keajegan dari tradisi di Bali terutama ragam tradisi ketat yang terdapat di
desa mulai dipertanyakan.

Meskipun urbanisasi sering dianggap sebagai indikator kemajuan ekonomi, terdapat


ketimpangan dalam distribusi manfaat ekonomi. Peningkatan ekonomi sering kali tidak merata
dan dapat meningkatkan kesenjangan sosial antara mereka yang mendapat manfaat dari
perkembangan kota dan mereka yang ditinggalkan. Dalam bidang pendidikan, urbanisasi
cenderung akan mempercepat akses pendidikan dan informasi, yang nantinya dapat mengubah
pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai tradisional. Hal ini mulai memunculkan
kesenjangan dalam bagaimana pendidikan modern dapat memberikan akses yang lebih besar
pada pengetahuan global sementara mempertanyakan atau bahkan merusak keyakinan
tradisional. Sementara dalam tantangan lingkungan dan keberlanjutan modernitas urban sering
membawa tantangan lingkungan, seperti polusi dan perubahan iklim. Seperti yang diketahui,
tradisi sering kali menyertakan nilai-nilai konservasi alam dan keberlanjutan. Masyarakat
pelaku urbanisasi biasanya akan kesulitan dalam menyelaraskan antara modernitas dengan
pemeliharaan lingkungan.

Paradoks modernitas vs. tradisi dalam urbanisasi menciptakan panggung kompleks di


mana masyarakat dan kebijakan harus bergerak maju dengan mempertimbangkan kepentingan
jangka panjang budaya serta ekologis dalam konteks perkembangan perkotaan. Kesuksesan
pembangunan kota modern seharusnya tidak hanya diukur dari segi ekonomi, tetapi juga dari
kemampuannya untuk merawat, memperkaya, dan mempertahankan nilai-nilai budaya dan
lingkungan yang membentuk identitas suatu masyarakat.

Upaya Pelestarian dan Keberlanjutan

Upaya pelestarian dan keberlanjutan dalam konteks urbanisasi menjadi krusial untuk
memastikan bahwa pertumbuhan kota berjalan seimbang dan berkelanjutan. Hingga saat ini,
sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, serta lembaga
swasta untuk melakukan pelestarian dan keberlanjutan, namun upaya tersebut belum terbukti
optimal. Kurang optimal nya pelaksanaan upaya pelestarian dan keberlanjutan ini kita lihat dari
semakin banyaknya dampak buruk yang disumbangkan dari proses urbanisasi. Adapun upaya
yang perlu digencarkan untuk dapat meminimalisir dampak negatif dari urbanisasi terutama
bagi desa yang ditinggalkan adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan kawasan terpadu: Pembangunan kawasan terpadu yang terintegrasi


dengan penyediaan hunian vertikal berkepadatan rendah-sedang untuk
mengoptimalkan intensifikasi tata guna lahan dan multifungsi.
2. Meningkatkan perekonomian di desa: Upaya untuk mengembangkan jejaring
perekonomian antara desa dan kota, sehingga aktivitas perekonomian di desa dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan, yang diharapkan dapat mengerem laju
urbanisasi.
3. Manajemen sumber daya alam: Perlu dilakukan manajemen yang baik terhadap sumber
daya alam dan lingkungan hidup, seperti pengelolaan air, pengolahan sampah, dan
pengembangan transportasi/mobilitas berkelanjutan.
4. Penggunaan energi terbarukan: Pemanfaatan energi terbarukan untuk mendukung
keberlanjutan lingkungan.
5. Pengembangan infrastruktur: Pembangunan infrastruktur yang memadai, seperti
administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan hunian layak, yang harus
diakses dengan mudah.

Secara keseluruhan, upaya pelestarian dan keberlanjutan dalam urbanisasi melibatkan


berbagai aspek, mulai dari pengembangan kawasan terpadu hingga manajemen sumber daya
alam, yang bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan kota yang inklusif, berkelanjutan, dan
menjaga keseimbangan antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Selain upaya yang telah
dijabarkan di atas, meningkatkan pemanfaatan ruang terbuka hijau juga sangat penting.
Tercatat hingga saat ini Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan target RTH sebesar 30%
dari luas wilayah, diharapkan kedepannya upaya ini dapat dilaksanakan dengan lebih optimal
sehingga dampak negatif dari urbanisasi yang berupa kerusakan lingkungan dapat
diminimalisir.

PENUTUP

Dalam paradoks urbanisasi di Bali, terdapat tantangan yang signifikan terhadap kelestarian
nilai-nilai budaya dan keseimbangan lingkungan. Urbanisasi di Bali tidak hanya menciptakan
perubahan fisik yang mencolok, melainkan juga membangkitkan pertanyaan mendalam tentang
arah pembangunan yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah. Urbanisasi dapat
menyebabkan perubahan dalam nilai-nilai budaya dan sistem sosial, yang pada gilirannya
memengaruhi konsep-konsep tradisional seperti menyama-braya. Namun, upaya pelestarian
dan keberlanjutan dalam konteks urbanisasi menjadi krusial untuk memastikan bahwa
pertumbuhan kota berjalan seimbang dan berkelanjutan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan
antara lain pengembangan kawasan terpadu, meningkatkan perekonomian di desa, manajemen
sumber daya alam, penggunaan energi terbarukan, dan pengembangan infrastruktur. Dengan
menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara kemajuan ekonomi dan pelestarian identitas
kultural serta ekosistem alam yang unik di Bali, diharapkan dapat menjaga keberlanjutan
budaya dan lingkungan di Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Dickie, M., & Gerking, S. (1998). Interregional wage disparities, relocation costs, and labor
mobility in Canada. Journal of Regional Science, 38(1), 61-87.

Dwiningwarni, S. S., Aslichah, A., Mulyati, T., Aryanto, A., & Titin, T. (2018). Population and
Unemployment: A Population Analysis in East Java Indonesia. International Journal of
Advanced Research in Engineering& Management (IJAREM), 4(9).

Encung. (2012). Tradisi dan Modernitas Perspektif Seyyed Hossein Nars. Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, 2 (1), hal. 201-217.

Hidayati, I. (2018b). Urbanisasi dan Transportasi Massal di Jakarta. Pusat Penelitian


Kependudukan. [Internet]. [Diakses pada 17 Desember 2023]. Dapat diunduh di:
https://kependudukan.brin.go.id/kajian-kependudukan/urbanisasi-dan-
transportasimasal-di-jakarta/.
Hidayati, I. (2021). Urbanisasi dan Dampak Sosial di Kota Besar Indonesia. Jurnal Ilmiah
Ilmu Sosial, 7 (2), hal. 212-221.

Pradhan, B. K., Roy, P. K., Saluja, M. R., & Venkatram, S. (2000). Rural-urban disparities:
Income distribution, expenditure pattern and social sector. Economic and Political
Weekly, 2527- 2539.

Suamba, P. dan Nurdiantoro, E. (2014). Pembangunan Berwawasan Budaya di Kota Denpasar.


Jurnal Pendidikan Geografi, 14 (1), hal. 01-08.

Suntajaya, G. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Urbanisasi di Profinsi


Bali. Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 10 (2), hal.
61-70.

Widiawaty, M. (2020). Faktor-Faktor Urbanisasi di Indonesia. Jurnal Pendidik Geografi, Hal.


1-10.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Denpasar.

https://peraturan.go.id/id/uu-no-41-tahun-2009

https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_41.pdf

Anda mungkin juga menyukai