1 Drs. Muhammad Djumhana, SH, Hukum Perbankan di Indonesia, cetakan ke VI, Bandung : Citra Aditya Bakti,
2012, Hal 424-437
3. Bersifat produktif, karena penggunaan modal yang
diberikan dalam kredit investasi adalah untuk
meningkatkan produktivitas usaha atau bisnis, baik dalam
bentuk perbaikan, penambahan alat atau bahan.
2) Kredit Modal Kerja, Kredit modal kerja adalah pinjaman yang
diberikan oleh pihak bank kepada peminjam yang menginginkan
untuk meningkatkan kapasitas operasi produksi. Sebuah bisnis bisa
diajukan pinjaman kredit modal kerja untuk membeli bahan baku,
membayar upah karyawan atau hal-hal lainnya yang terkait operasi
produksi sebuah perusahaan. Dalam mengajukan pinjaman maka
harus memahami beberapa persyaratan dari bank yang
dipilih.Kredit jenis ini memerlukan jaminan/agunan.
b. Jangka Waktu Kredit
1) Pendek, kredit yang berjangka waktu maksimal 1 tahun.
Bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan,
kredit pembeli, dan kredit wesel. Dapat juga berbentuk kredit
modal kerja, yaitu untuk membiayai kebutuhan modal kerja usaha
atau proyek.
2) Menengah, kredit berjangka waktu antara 1 sampai 3 tahun.
Bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
3) Panjang, kredit dengan jangka waktu lebih dari 3 tahun. Kredit
jangka panjang ini pada umumnya yaitu kredit investasi yang
bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk
melakukan rehabilitasi, ekspansi dan proyek baru.
c. Aktivitas Perputaran Usaha
1) Kredit Pendidikan, bisa dipinjam dalam pembayaran biaya
pendidikan, baik untuk siswa sekolah maupun untuk mahasiswa.
Selain itu, kredit ini juga dapat digunakan untuk membangun
sarana pendidikan.
2) Kredit Profesi, jenis kredit khusus yang biasanya dikeluarkan
untuk profesional dengan tipe pekerjaan tertentu, seperti dosen,
pengacara
3) Kredit Perumahan, masyarakat dapat mengajukan jenis kredit
perumahan untuk membangun atau membeli suatu hunian rumah.
4) Kredit Pertambangan, yang meminjam kredit jenis ini adalah usaha
jenis pertambangan seperti minyak, emas, dan timah dan
sebagainya.
5) Kredit Pertanian, kredit ini diberikan untuk pertanian atau
perkebunan rakyat. Kredit pertanian dibayarkan dalam jangka
pendek, menengah, maupun panjang tergantung kondisi masing-
masing peminjam dan jumlah pinjamannya.
6) Kredit Peternakan, Pinjaman uang ini tergolong ke dalam kredit
peternakan yang bisa berjangka pendek hingga panjang.
7) Kredit Industri, kredit yang ditujukan untuk pembiayaan sektor
perindustrian baik industri kecil, menengah ataupun besar.
d. Kredit berdasarkan Jaminan
1) Kredit tanpa jaminan/agunan
Produk perbankan yang berbentuk diberikannya fasilitas
pinjaman dengan tidak terdapatnya aset yang digunakan sebagai
jaminan atas pinjaman itu.2 Dengan tidak terdapatnya jaminan
yang memberikan jaminan terhadap pinjaman itu maka keputusan
diberikannya kredit yakni berdasar pada histori kredit dari
pemohon kredit secara pribadi, ataupun dengan sebutan lainnya
jika kemampuan melakukan tugas berupa proses dibayarkannya
kembali pinjaman yakni pengganti jaminan.
Pada proses diberinya Kredit Tanpa Agunan oleh bank
pada penerima kredit sesungguhnya berisikan banyak risiko untuk
bank tersebut. Risiko yang akan diperoleh oleh bank yakni
contohnya penerima kredit yang wanprestasi, menghilang,
melakukan penyalahgunaan terhadap kredit, dan juga penerima
kredit yang meninggal dunia. Terhadap risiko yang dialami bank,
pihak bank tidak bisa melaksanakan sita jaminan pada benda yang
dijaminkan oleh nasabah, hal tersebut dikarenakan tidak
terdapatnya jaminan pada proses diberinya Kredit Tanpa Agunan
ini sehingga proses dikembalikannya kredit menjadi hambatan
serta pihak bank sebagai pihak pemberi kredit tidak bisa
melakukan apapun.
Berdasarkan problematika tersebut jika pada proses
disalurkannya kredit modal kerja tanpa agunan ini sendiri pada UU
Perbankan yang berlaku hingga saat ini belum melakukan
pengaturan mengkhusus mengenai baik teknis maupun penjelasan
yang limitatif terkait Kredit Tanpa Agunan ini. Bank Indonesia
sebagai bank sentral pun sampai saat ini tidak menerbitkan aturan
secara limitatif terkait kredit tanpa agunan tersebut.
2) Kredit dengan jaminan/agunan
Guna mengurangi resiko upaya lain yang dapat dilakukan
adalah dengan adanya jaminan dalam proses kredit perbankan,
meskipun tidak wajib namun keberadaan jaminan dalam bidang
perkreditan dipandang penting, karena akan menjamin
terpenuhinya pengembalian dana kredit yang dikeluarkan. Agar
2 Perwirasari, D. P., & Ikrardini, Z. “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Penyaluran Kredit Usaha Rakyat Non
Agunan Ditinjau Dari Sisi Hukum Perikatan”. Jurnal Dialektika Hukum, 2(2), (2020), 148-172, h. 150
pihak bank memiliki keyakinan bahwa debitur akan memenuhi
prestasinya, adanya jaminan dari harta kekayaan debitur dalam
perjanjian kredit merupakan upaya preventif dari bank bahwa
kredit yang telah dicairkan akan dikembalikan oleh pihak debitur.
Dalam praktek jaminan secara umum memiliki kelemahan
bagi kreditur karena tidak ada jaminan kebendaan khusus untuk
jaminan pelunasan hutang oleh debitur, karena disini semua
kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap benda-benda
milik debitur sehingga apabila jumlah lelang benda-benda milik
debitur lebih kecil dari dari jumlah pinjamannya atau karena
banyaknya kreditur yang berkepentingan atas harta benda yang
dimiliki oleh seorang debitur, sehingga berakibat pengembalian
hutang kreditur tidak akan dapat kembali secara utuh.
3 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenana Media, Jakarta, 2005, h.59
4 Drs. Muhammad Djumhana, SH, Hukum Perbankan di Indonesia, cetakan ke VI, Bandung : Citra Aditya Bakti,
2012, Hal 422
Hal-hal yang menjadi perhatian tersebut perlu guna mencegah
adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat (invalidity) sehingga ada saat
dilakukannya perbuatan hukum tersebut jangan sampai melanggar suatu
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pejabat bank
harus dapat memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan
dengan perjanjian kredit telah diselesaikan dan telah memberikan
perlindungan hukum yang memadai bagi bank.
Perjanjian Kredit diatur dalam pasal 1754-1769 KUH Perdata,
dalam bentuk apapun pemberian kredit itu diadakan pada hakikatnya
merupakan salah satu perjanjian pinjam-meminjam. Akan tetapi dalam
praktik perbankan modern, hubungan hukum dalam kredit tidak lagi
semata-mata berbentuk perjanjian pinjam meminjam, melainkan terdapat
campuran bentuk perjanjian lainnya seperti perjanjian pemberian kuasa.
Bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dan bank
lainnya tidaklah sama. Hal tersebut terjadi dalam rangka menyesuaikan
diri dengan kebutuhan tiap-tiap bank. Dengan demikian, perjanjian kredit
tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum. Dalam praktiknya
ada banyak hal yang biasanya di cantumkan dalam perjanjian kredit,
misalnya, definisi istilah-istilah yang akan dipakai didalam perjanjian
terutama dalam perjanjian kredit dengan pihak asing (loan agreement),
jumlah dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran kembali pinjaman
(repayment), juga mengenai ketentuan apabila debitur berhak
mengembalikan pinjaman lebih cepat dari kesepakatan, penetapan bunga
dan denda jika debitur lalai dalam membayar bunga, dan klausul hukum
yang berlaku untuk perjanjian tersebut.
Dengan adanya hal-hal tersebut diatas sehingga perjanjian kredit
dibakukan. Dengan bentuk perjanjian baku tersebut tidaklah menjadi suatu
pengingkaran atas asas kebebasan berkontrak sepanjang tetap
ditegakkannya asas-asas umum perjanjian, seperti syarat-syarat yang wajar
dengan menjunjung keadilan dan adanya keseimbangan para pihak
dengan menghilangkan suatu penekanan kepada pihak lainnya karena
kekuatan yang dimiliki oleh salah satu pihak.
Dengan demikian rumusan perjanjian baku tersebut harus terhindar
dari kandungan unsur-unsur yang mengakibatkan kecurangan yang sangat
berlebihan dan terjadinya suatu pemaksaan karena adanya ketidak
seimbangan kekuatan para pihak, juga harus dihindarkan syarat perjanjian
yang hanya menguntungkan sepihak, atau resiko yang hanya dibebankan
kepada sepihak, serta pembatasan hak dalam menggunakan upaya hukum.
Menurut Ch. Gatot Wardoyo dalam tulisannya SekitarKlausul-
Klausul Perjanjian Kredit Bank, Perjanjian Kredit mempunyai beberapa
fungsi, diantaranya :5
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya
perjanjian kredit yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian
lain yang mengikutinya. Misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-
batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk memonitoring kredit.
b. Jaminan Kredit
Praktik perbankan dalam mendapatkan keyakinan bahwa
debiturnya mempunyai klasifikasi dapat dipercaya setelah melalui
penganalisisan dan penelitian. Dengan acuan 5C yaitu character, capital,
capacity, collateral, condition of economy, 4P yaitu personality, purpose,
prospect dan 3R yaitu Returns, repayment dan risk bearing ability. Dalam
rangka pemberian kreditnya bank juga harus mencari informasi terkait
transaksi calon debitur untuk keperluan perkreditan ataupun untuk
keperluan kegiatan usaha bank secara menyeluruh.
c. Agunan Kredit
Menurut Prof Soebekti, jaminan yang ideal terlihat dari : (Prof
Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia, Cetakan Ketiga, Bandung : Alumni, 1986, hal 29)
1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang
memerlukan.
2. Tidak melemahkan potensi si penerima kredit untuk melakukan
usahanya
3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa jika perlu
mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitur.
Menurut Drs. Soeyatno, dalam perjanjian jaminan kredit harus
memperhatikan hal-hal berikut :
1. Jaminan pokok, terdiri dari barang-barang bergerak maupun tidak
bergerak dan tagihan yang langsung berhubungan dengan aktivitas
usahanya yang dibiayai secara kredit.
2. Jaminan Tambahan,
a. Jaminan pribadi, dibuat secara notariil serta jaminan bank
b. Barang-barang tidak bergerak dan barang-barang yang
bergerak yang tidak dijaminkan sebagai jaminan pokok
pada umumnya berupa sertifikat tanah, BPKb, dan surat
bukti kepemilikan yang lain.
5 Ch. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit bank, Bank dan Manajemen, November-Desember
1992, hal 64-69
3. Jaminan Dokumen yang telah ada dalam penguasaan bank kepada
nasabah tidak diperkenakan. Bila peminjaman tersebut
dimaksudkan untuk keperluan urusan dengan instansi yang
berwenang, nasabah dapat meminta bantuan bank.
d. Penanganan Kredit Bermasalah
Pada dasarnya, kreditur pemegang jaminan kebendaan memiliki
hak untuk mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna
pembayaran utang debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya
berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut dengan wanprestasi.
Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan
yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam KUH Perdata serta
beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
1. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai
berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu
yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk
pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu
yang pasti.
2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang
memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda
jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
3. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur
untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji
(wanprestasi).
Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang
bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi
terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H 6 sebagaimana kami
sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan
penyelesaian secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang
sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan
melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan
hukum (penyelesaian melalui jalur hukum). Penyelesaian secara
administrasi perkreditan antara lain sebagai berikut:
1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit
yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu
termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya
angsuran maupun tidak;
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Cetak Biru, 2006, Bank Perkreditan Rakyat, Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan
Rakyat Bank Indonesia.
Ch. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit bank, Bank dan
Manajemen, November-Desember 1992
Drs. Muhamad Djumhana SH, Hukum Perbankan Indonesia
Drs. Muhammad Djumhana, SH, Hukum Perbankan di Indonesia, cetakan ke VI,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2012
Fuady, Munir, 2003, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Handri, Raharjo, 2010, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kedit , Pustaka Yustisia,
Yogyakarta
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenana Media, Jakarta, 2005
Neni Sri Imaniyati. 2010. Pengantar Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Reika
Aditama.
Nurul Masfuhah. 2016. “Kios Pasar sebagai Objek Jaminan Kredit”, Arena Hukum. Vol.
9 No. 2. Surabaya, FH Universitas Surabaya.
Perwirasari, D. P., & Ikrardini, Z. “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Penyaluran
Kredit Usaha Rakyat Non Agunan Ditinjau Dari Sisi Hukum Perikatan”. Jurnal Dialektika
Hukum, 2(2), (2020), 148-172
Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1991.
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap. Surabaya: Gita Media Press,
2006.
Triandaru, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Burgerlijk Wetboek
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.