DISUSUN OLEH :
Nama : Apriliya Jeli Wandari
NIM : 06091182227018
DOSEN PENGAMPU:
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2024
KEGIATAN PRAKTIKUM
MODEL KEBAKARAN HUTAN
V. Cara kerja
5.1 Tahap Persiapan
5.1.1 Persiapan Bahan
1. Persiapan media tanam, dilakukan 3 hari sebelum dilaksanakan praktikum dengan
cara Masukkan media tanam berupa tanah humus pada setiap terrarium setinggi
+4-6cm lalu Tanami tanaman setinggi 5 cm sebanyak 6 batang pada masing-masing
terrarium dan siram dengan air sebanyak 100 ml dan pastikan tanaman tumbuh dan
dalam keadaan segar saat digunakan.
2. Persiapan bahan bakar, siapkan bahan bakar berupa sabut kelapa, ranting-ranting, dan
serasah pisang yang sudah dalam keadaan kering lalu masukkan ke dalam keranjang
pembakaran.
5.1.2 Persiapan Alat Pemodelan
1. Pasangkan selang aluminium pada satu terrarium.
2. Masukkan 10 ekor jangkrik ke dalam masing-masing terrarium lalu tutup
menggunakan plastik bening.
3. Lubangi plastik bening menggunakan jarum bertangkai dengan jumlah sama poda
masing-masing terrarium.
4. Pasangkan termometer pada masing-masing terrarium.
5. Pasangkan Klem pada Statif.
6. Gantungkan Lampu pada Klem diatas masing-masing terrarium dengan jarak yang
sama lalu nyalakan.
7. Hubungkan selang aluminium yang telah dipasang pala salah satu terrarium pada
tutup tabung pembakaran.
8. Susun tata letak komponen komponen pemodelan seperti pada gambar dibawah ini
VII. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan di Laboratorium Biologi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya menggunakan alat dan bahan yang
sederhana didapatkan rata-rata suhu pada terrarium A (Kontrol) berturut-turut dari menit
ke-10 sampai ke-40 yaitu 35,42; 35,83; 35,97 dan terrarium B (Perlakuan) berturut-turut yaitu
36,2; 36,48; 36,37; 37,1.
Pada terrarium A (Kontrol) dilihat bahwa rerata suhu menunjukkan sedikit
peningkatan. Adapun kondisi pada terrarium A memperlihatkan jangkrik berjalan jalan di
sekitar pepohonan, dan mencari makan, ada juga yang menggaruk badannya, kemudian
tumbuhan tampak hijau segar seperti biasa, yang artinya kondisi ekosistem di dalamnya
berjalan baik. Sedangkan pada terrarium B (Perlakuan) tampak jangkrik mulai mengalami
stress di menit awal dan lama-kelamaan jangkrik lemah, kejang-kejang, dan akhirnya 1 ekor
yang mati serta tumbuhan dari awalnya kuncup bunga berwarna putih, menjadi layu berwarna
kuning-kecoklatan daun hijau segar menjadi layu dan berwarna coklat-gelap.
Fenomena ini disebabkan oleh tinggi rendahnya suhu yang memiliki dampak
langsung terhadap potensi kebakaran. Potensi yang dimaksud adalah besar kecilnya api serta
lamanya kebakaran, yang dipengaruhi oleh pasokan panas (heat supply) untuk
keberlangsungan proses pembakaran bahan bakar (fuel) (Reid et al. 2010).
Pada praktikum ini, terlihat pada terrarium A adanya lampu sebagai model matahari
yang memberikan panas dan cahaya, adanya tumbuhan, tanah, dan jangkrik serta tanpa
perlakuan. Dapat diamati tumbuhan tidak mengalami perubahan kondisi atau tetap terlihat
segar dengan daun hijau dan bunga putih. Jangkrik tidak mengalami perubahan tetap dalam
kondisi normal, bergerak, berjalan, berinteraksi dan melakukan aktivitas lain, tidak ada yang
mati.
Sedangkan pada terrarium B yang diberikan perlakuan dengan diberikan asap dari
hasil pembakaran terlihat adanya perubahan yang teramati pada tumbuhan yaitu dari kondisi
tumbuhan yang segar dengan warna daun hijau dan bunga berwarna putih berubah menjadi
layu, daun hijau tua dan bunga menjadi kecoklatan. Hal ini disebabkan karena adanya asap.
Asap mengandung berbagai zat beracun seperti karbon monoksida, polutan organik persisten,
dan partikel halus yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tumbuhan dan
mengganggu proses fotosintesis. Selain itu, asap juga dapat meningkatkan keasaman tanah
dan mengurangi ketersediaan cahaya matahari, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan. Dari praktikum ini dapat dibuktikan bahwa jika kebakaran hutan
terjadi secara masif dan berkepanjangan, maka dapat mengancam kelangsungan hidup
populasi tumbuhan serta menyebabkan perubahan dalam komposisi dan struktur ekosistem
yang berdampak pada keanekaragaman hayati.
Pada praktikum ini pula, adanya perubahan perilaku serta kondisi jangkrik dalam
terrarium B dari gelisah, mencoba keluar dari terrarium, melompat-lompat, kejang-kejang
hingga ditemukan adanya jangkrik yang mati pada 10 menit ketiga dan seterusnya. Paparan
asap yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan jangkrik dan bahkan
kematian karena asap tersebut mengandung bahan kimia beracun. Salah satunya karbon
monoksida (CO) yaitu gas beracun yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna bahan
organik. Paparan CO dapat menyebabkan keracunan dan kematian pada manusia dan hewan.
Selain itu, asap yang tebal dapat mengurangi ketersediaan cahaya matahari yang
dibutuhkan untuk proses fotosintesis pada tanaman yang menjadi makanan utama jangkrik.
Hal ini dapat mengganggu rantai makanan dan mempengaruhi ketersediaan sumber makanan
bagi jangkrik. Selain itu, asap juga dapat merusak habitat alami jangkrik, seperti daun dan
tanaman tempat mereka bersembunyi dan bertelur.
Faktor asap yang dihasilkan sebagai efek dari pembakaran hutan dan lahan adalah
terciptanya kabut asap. Kabut asap mengurangi kualitas udara di daerah yang terkena kabut
asap. Asap dari kebakaran hutan mempengaruhi semua sektor kehidupan yang terkena
dampak kabut asap. Pengaruh asap kebakaran hutan pada model terrarium dapat dijelaskan
melalui beberapa aspek. Asap mengandung partikel dan gas berbahaya yang dapat
mempengaruhi kesehatan tanah, tumbuhan, dan serangga seperti jangkrik. Dalam konteks
terrarium, asap dapat mengurangi kualitas udara dan cahaya yang mencapai tumbuhan,
mengganggu fotosintesis dan pertumbuhan. Tanah dapat menjadi lebih asam dan kehilangan
nutrisi penting, sementara jangkrik dan organisme lain mungkin mengalami kesulitan
bernapas dan bergerak karena partikel asap. bergerak karena partikel asap.
Suhu juga sangat berpengaruh terhadap temperatur bahan bakar. Bahan bakar dengan
suhu tinggi akan menyala dan terbakar lebih cepat karena energi panas digunakan untuk
menaikkan bahan bakar ke suhu pengapiannya lebih kecil. Suhu bahan bakar yang terkena
sinar matahari (dalam hal ini diibaratkan dalam model lampu bohlam) akan lebih hangat
daripada bahan bakar di tempat teduh, serta lebih kering. Karena alasan ini, bahan bakar yang
tidak dinaungi oleh tajuk pohon umumnya akan lebih hangat dan kering sehingga
menghasilkan api yang berskala lebih besar.
Studi menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan, ekonomi, dan sosial yang signifikan, termasuk dampak negatif terhadap
ekosistem hutan dan kesehatan makhluk hidup. Pembakaran berulang pada lahan gambut,
misalnya, dapat mempengaruhi karakteristik tanah, termasuk sifat fisik dan kimia tanah
gambut, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi ketersediaan air dan nutrisi untuk
tumbuhan.
VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa asap karhutla
memberikan dampak negatif bagi tumbuhan dan hewan di wilayah yang mengalami kebakaran
atau yang terdampak. Asap karhutla mengandung bahan kimia beracun seperti karbon
monoksida, partikel beacun, dan senyawa polutan organik persisten yang membahayakan
kondisi makhluk hidup sekitar, terutama dalam hal ini hewan (jangkrik) dan tumbuhan sebagai
sampel. Pengaruh kebakaran hutan dan asap terhadap tumbuhan dapat menyebabkan dampak
negatif kerusakan jaringan, gangguan proses fotosintesis dan perubahan ketersediaan sumber
daya. Pengaruh kebakaran hutan dan asap terhadap hewan (jangkrik) dapat menyebabkan
dampak negatif berupa gangguan pada sistem pernapasan, penurunan ketersediaan makanan
dan kerusakan habitat. Dari praktikum ini dapat menekankan pentingnya pencegahan
kebakaran hutan melalui pengelolaan hutan yang baik, penegakan hukum dan kesadaran
masyarakat untuk mengurangi resiko kebakaran.
Astuti, Y., Astiani, D., & Herawatiningsih, R. 2020. Pengaruh pembakaran berulang pada lahan
gambut terhadap beberapa karakteristik tanah di Desa Rasau Jaya Umum Kabupaten
Kubu Raya Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari, 8(3), 668-681
Fitria, P., Jauhari, A., & Rianawati, F. 2021. Analisis Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan
Dan Lahan Berbasis Penginderaan Jauh di Kecamatan Karang Intan. Jurnal Sylva
Scienteae, 4(6), 1120.
Saharjo, B. H., & Hasanah, U. 2023. Analisis faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan
lahan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Jurnal Silvikultur Tropika,
14(01), 25-29.
Utami, P. N., & Primawardani, Y. 2021. Upaya Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Hidup
Terhadap Kebakaran Hutan bagi Masyarakat Riau. Jurnal HAM, 12(3), 367-384.
Liu, Y., Stunturf, J., Goodrick, S., & Qi, Y. (2016). Trends in global wildfire potential in
achanging climate. Forest Ecology and Management, 359, 228-236, Rasyid, F.
(2014). Permasalahan dan dampak kebakaran hutan. Jurnal Lingkar Widyaiswara,
1(4): 47-59
Sarmiasih, M. & Pratama, P. Y. (2019). The problematics mitigation of forest and land fire
district (Karhutla) in policy perfective. Journal of Governance and Public Policy, 6
(3) 279-292
VIII. Lampiran