Anda di halaman 1dari 312

PSIKOLOGI INTELIJEN:

Rahasia CIA dalam Proses Analisis Intelijen

Richards J. Heuer, Jr.

Penerjemah: Abdul Qodir Shaleh


Editor: Ilyya Muhsin
Proofreader: Aziz Safa
Desain Cover: TriAT
Desain Isi: Maarif

Penerbit:
PRISMASOPHIE
Modinan Sambilegi 194 RT. 06/54
Maguwoharjo, Depok, Sleman, Jogjakarta
Telp./Fax.: (0274) 4332223
E-mail: arruzzwacana@yahoo.com

ISBN: 979-25-4474-7
Cetakan II, 2017

Didistribusikan oleh:
AR-RUZZ MEDIA GROUP
Jl. Anggrek 97 Sambilegi Lor
Maguwoharjo, Depok, Sleman, Jogjakarta
Telp./Fax.: (0274) 4332044
E-mail: marketingarruzz@yahoo.co.id

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Heuer Jr., Richards J.


Psikologi Intelijen: Rahasia CIA dalam Proses Analisis Intelijen/Richards
J. Heuer Jr.-Jogjakarta: Prismasophie, 2017
312 hlm, 14 X 21 cm
ISBN: 979-25-4474-7
1. Psikologi-Intelijen
I. Judul II. Richards J. Heuer Jr.
Kata Pengantar Penerbit

S iapa pun tahu reputasi CIA dalam dunia intelijen global. Namun,
sebenarnya, apa yang diproses CIA tentu tidak segampang dan
semudah apa yang diperkirakan. Banyak juga setiap produk analisis
intelijen CIA yang salah kaprah dan bahkan menghasilkan sebuah aksi
yang salah dan tidak jarang mendapatkan kecaman dunia. Namun,
CIA tetaplah CIA dengan segala reputasinya dan juga nama besar
Amerika Serikat di belakangnya yang memang sudah menghegemoni
di kancah dunia, apalagi dalam dunia intelijen global.
Sebagai pusat intelijensi Amerika Serikat, CIA diharapkan
mampu memberikan sebuah analisis dan kesimpulan yang tepat
sehingga bisa memberikan sebuah keputusan internasional yang
dapat melindungi berbagai kepentingan Amerika Serikat di seluruh
dunia. CIA juga diharapkan bisa memberikan informasi yang tepat
dan akurat tentang berbagai kejadian yang terjadi di seluruh dunia
untuk tetap bisa menjaga dan melindungi berbagai superioritas dan
kepentingan Amerika di seluruh dunia. Namun pada kenyataannya,
CIA juga dijadikan sapi perah oleh pembuat kebijakan di Amerika
Serikat yang tidak jarang juga ditelikung atas nama perintah tertinggi
Amerika Serikat.
Namun, terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang sangat
menarik dan patut kita pelajari dan pahami bersama, yaitu: Bagaima-
nakah cara CIA dalam memproses sebuah analisis intelijen sehingga
bisa membantu memberikan informasi yang tepat bagi pemerin-
tahan Amerika Serikat dalam melindungi segala kepentingannya
baik di dalam negeri maupun di luar negeri? Bagaimana caranya
CIA memproses informasi yang sering kali tidak jelas atau kabur
dan bersifat ambigu, atau bahkan hanya dalam porsi yang sangat
kecil sekali sehingga menjadi sebuah keputusan besar bagi Amerika
Serikat?
Pada dasarnya, analisis intelijen itu adalah proses psikologis
manusia, lebih tepatnya adalah psikologi kognitif. Paling tidak itulah
yang dinyatakan oleh buku ini. Karena itulah, mengapa yang menjadi
bahasan dalam buku ini adalah sisi manusianya itu sendiri. Segala
sisi kejiwaan dan bahkan bahasan tentang memori atau daya ingat
dan kognisi manusia pun dibahas dalam buku ini, untuk menjadi
sebuah pemahaman mendasar agar bisa memproses informasi yang
memang sudah menjadi tugasnya Komunitas Intelijen. Dari sana
kemudian diharapkan para analis intelijen mampu memproses
informasi untuk membuat keputusan pada informasi yang bahkan
tidak lengkap dan bersifat ambigu.
Lalu bagaimana prosesnya? Tentu buku inilah yang akan
menjelaskannya kepada Anda. Selamat membaca.

Jogjakarta 1 Februari 2008

Redaksi

6
Kata Pengantar Penulis

B uku ini merupakan edisi yang diterbitkan kembali, dengan


beberapa editing, pembaruan, dan berbagai tambahan, berbagai
artikel yang ditulis selama tahun 1978-86 untuk kegunaan internal
dalam Direktorat Intelijen CIA. Empat dari artikel ini juga tampak
dalam jurnal Komunitas Intelijen Studies in Inteligence selama
kerangka waktu tersebut. Informasi yang disampaikan relatif sudah
uzur namun masih relevan dengan pencarian analisis lebih baik yang
tiada pernah berakhir.
Artikel-artikel tersebut didasarkan pada ulasan literatur psikolo-
gi kognitif tentang bagaimana orang memproses informasi untuk
membuat keputusan pada informasi yang tidak lengkap dan ambigu.
Saya menyeleksi berbagai eksperimen dan penemuan yang tampak
masih sangat relevan dengan analisis intelijen dan banyak dibutuh-
kan dalam komunikasi dengan para analis intelijen. Kemudian saya
menerjemahkan berbagai laporan teknis ke dalam bahasa yang para
analis intelijen bisa pahami dan terjemahkan relevansinya dengan
berbagai penemuan ini terhadap masalah yang dihadapi para analis
intelijen.
Hasilnya adalah sebuah kompromi yang mungkin tidak
seluruhnya memuaskan baik bagi psikolog penelitian atau para
analis intelijen. Para psikolog kognitif dan analis keputusan mungkin
komplain dengan proses yang terlalu menyederhanakan, ketika
pembaca bukan psikolog harus menyerap beberapa terminologi baru.
Sayangnya, proses mental begitu kompleks yang membicarakan hal
itu membutuhkan beberapa kosakata khusus. Para analis intelijen
yang membaca dan berpikir secara serius tentang hakikat keahli-
an mereka seharusnya tidak menemui kesulitan dengan buku ini.
Mereka yang tengah membajak tanah baru mungkin membutuh-
kan usaha serius.
Saya sangat mengucapkan terima kasih kepada semua orang
yang terus memberikan komentar dan sarannya terhadap draf buku
ini, terutama: Jack Davis (yang juga memberikan kata pendahulu-
an pada buku ini); empat mantan analis Direktorat Intelijen (DI)
yang nama-namanya tidak bisa disebutkan di sini; kolega saya, Prof.
Theodore Sarbin; dan editor saya di Pusat Studi Intelijen CIA,
Hank Appelbaum. Semua saran substantif dan editorial telah sangat
membantu untuk membuat buku ini menjadi lebih baik.

-Richards J. Heuer, Jr.

8
Kata Pengantar
Oleh Douglas MacEachin1

K ata pembuka saya untuk karya Dick Heuer adalah tentang


18 tahun yang lalu, dan saya tidak pernah melupakan kesan
yang kuat dari peristiwa tersebut terhadap saya nantinya. Itu adalah
tentang peristiwa yang terjadi di tengah-tengah karier saya sebagai
analis intelijen. Setelah satu setengah dekade pengalaman saya
berikutnya, dan kesempatan selama beberapa tahun terakhir untuk
mempelajari berbagai kasus historis dengan keuntungan materi-
al milik lawan utama, yakni mantan rezim Uni Sovyet dan Pakta
Warsawa, pembacaan terhadap presentasi mutakhir Heuer telah
menjadi lebih menggema.
Saya tahu dari perjumpaan pertama bahwa banyak pejabat
CIA cenderung bereaksi secara skeptis terhadap risalat tentang
epistemologi analitis. Ini sangat tidak bisa dipahami. Terlalu sering,
risalat-risalat seperti itu mengakhiri penentuan model-model sebagai
jawaban atas masalah. Model-model ini tampaknya mempunyai
sedikit nilai praktis terhadap analisis intelijen, yang tidak terganti-
kan dalam sebuah seminar, tapi lebih dalam dunia kebijakan yang
berakselerasi cepat. Tapi, itu bukanlah masalah utama yang Heuer

1. Douglas MacEachin adalah mantan Deputi Direktur Intelijen CIA. Setelah 32


tahun bergelut dengan Agen, dia pensiun pada tahun 1997 dan menjadi Anggota
Senior di Sekolah Pemerintahan John F. Kennedy Harvard University.
maksudkan.
Apa yang Heuer uji dengan begitu jelas dan efektif adalah
bagaimana proses pemikiran manusia membangun model-modelnya
sendiri pada saat kita memproses informasi. Ini bukanlah fenomena
unik bagi intelijen; sebagaimana yang penelitian Heuer demonstra-
sikan, itu menjadi bagian dari pemfungsian alamiah dari proses
kognitif manusia, dan itu telah didemonstrasikan lintas negara
yang kisaran medannya berkisar dari kedokteran hingga analisis
stok pasar.
Proses analisis itu sendiri memperkuat fungsi alami otak
manusia ini. Analisis biasanya mencakup penciptaan model-model,
meskipun mereka tidak dilabelkan seperti itu. Kita menguraikan
berbagai pemahaman dan pengharapan tertentu tentang hubung-
an sebab-akibat dan kemudian memproses serta menerjemahkan
informasi melalui model-model atau filter-filter ini.
Diskusi pada Bab 5 tentang batasan-batasan nilai informa-
si tambahan, menurut saya, layak mendapat perhatian khusus
—khususnya untuk organisasi intelijen. Apa yang ia ilustrasikan
sudah terlalu sering, dan informasi yang baru didapat dievaluasi
dan diproses melalui model analisis yang ada, daripada diguna-
kan untuk menetapkan kembali berbagai premis tentang model
itu sendiri. Efek-efek yang merusak dari kecenderungan manusia
alamiah ini berasal dari raison d’etre sebuah organisasi yang dicipta-
kan untuk mendapatkan informasi khusus dan kritis yang hanya
tersedia melalui alat-alat yang tersembunyi, dan untuk menghasil-
kan analisis yang mengintegrasikan informasi khusus ini dengan
basis pengetahuan total.
Saya ragu bahwa beberapa veteran pejabat intelijen akan mampu
membaca buku ini tanpa melihat kasus-kasus yang di dalamnya
proses-proses mental yang digambarkan oleh Heuer mempunyai
pengaruh merugikan bagi kualitas analisis. Berapa banyak waktu yang
telah kami lalui dalam menghadapi segala situasi yang di dalamnya
premis-premis yang masuk akal, yang didasarkan pada keahlian
10
yang solid, telah digunakan untuk mengonstruksi sebuah ramalan
valid yang logis —dengan persetujuan yang sebenarnya sudah
menjadi mufakat— namun akhirnya ramalan tersebut benar-benar
salah? Dalam seberapa banyak hal yang telah kita tentukan, dengan
meninjau hal-hal yang sudah terjadi, bahwa masalah itu tidak dalam
logika tapi dalam fakta bahwa satu premis itu tidak benar meski
tampaknya masuk akal pada waktu itu? Dalam seberapa banyak
contoh yang telah kita akui bahwa premis-premis yang salah tidak
didasarkan secara empiris, tapi lebih pada sebuah kesimpulan yang
dikembangkan dari modelnya sendiri (yang kadang disebut asumsi)?
Dan dalam seberapa banyak kasus yang ia tentukan setelah fakta
bahwa informasi yang tersedia yang telah memberikan sebuah basis
untuk mempertanyakan satu atau lebih premis, dan bahwa sebuah
perubahan terhadap premis-premis yang relevan akan mengubah
model analisis dan menunjukkan hasil yang berbeda?
Pengobatan yang telah diresepkan secara umum terhadap
kekurangan dalam analisis dan perkiraan intelijen —yang kebanyak-
an menjadi ramai setelah “kegagalan” intelijen— merupakan sebuah
peningkatan utama dalam hal keahlian. Penelitian dan kajian-kajian
Heuer yang dia setujui menunjukkan sebuah tantangan serius bagi
kebijakan konvensional tersebut. Data menunjukkan bahwa keahli-
an itu sendiri bukanlah proteksi dari perangkap analitis umum yang
endemik bagi proses pemikiran manusia. Poin ini telah didemonstra-
sikan dalam banyak lapangan di samping analisis intelijen.
Sebuah ulasan mengenai kegagalan intelijen yang terkenal
mendemonstrasikan bahwa perangkap analitis yang menangkap para
ahli sama banyaknya dengan setiap orang. Malahan, data menunjuk-
kan bahwa ketika para ahli menjadi korban perangkap-perangkap
ini, efeknya bisa diperburuk dengan rasa percaya diri yang menempel
dalam keahlian —baik dalam pandangan mereka maupun dalam
persepsi terhadap orang lain.
Berbagai observasi ini tidak boleh ditafsirkan sebagai sebuah
pencemaran nilai keahlian (the value of expertise). Sebaliknya, selama
11
30 tahun lebih dalam bisnis analisis intelijen, saya terbiaskan dengan
pandangan bahwa —sebuah peringatan (warning) informasi tanpa
akhir meskipun dengan beban yang berlebihan (overload)— ada
ketidakbenaran yang terlalu banyak dalam informasi atau keahlian.
Dan berbagai penelitian saya sendiri tentang analisis CIA tengah
nongkrong pada meja yang sama dengan para ahli yang masyhur di
mata publik yang telah memberi saya rasa percaya diri yang besar
yang menyerang isu-isu keahlian yang secara kasar salah tempat.
Perbedaan utamanya adalah bahwa satu kelompok mendapatkan
peningkatan reputasi dalam jurnal, ketika karya yang lain mendapat-
kan reputasi dalam lingkungan tertutup yang para pembacanya
adalah anggota dari audiens paling menantang dalam dunia inteli-
jen —komunitas pembuat kebijakan.
Pesan yang ada dalam presentasi Heuer adalah bahwa informa-
si dan keahlian merupakan sebuah kebutuhan, tapi bukan alat
membuat analisis intelijen yang mencukupi, sehingga menjadi
produk khusus yang dibutuhkan. Sebuah usaha yang dapat diperban-
dingkan harus dilakukan untuk membuahkan sains analisis (the
science of analysis). Usaha ini harus dimulai dengan sebuah pemaham-
an yang jelas tentang kekuatan dan kelemahan yang inheren dalam
mekanisme analitis primer —pikiran manusia— dan dengan cara
itulah informasi diproses.
Saya percaya bahwa ada sebuah elemen kultural signifikan
dalam bagaimana analis intelijen mendefinisikan diri mereka sendiri:
Apakah para ahli substantif yang dipekerjakan oleh CIA, ataukah
kita para analis profesional dan pejabat intelijen yang memiliki
keahlian terletak dalam kemampuan kita beradaptasi dengan cepat
untuk bermacam-macam isu dan masalah serta menganalisisnya
secara efektif? Di dunia yang besar ini, keahlian substantif jauh lebih
banyak dibandingkan keahlian tentang sains analitis dan proses
informasi mental manusia. Dick Heuer memperjelas bahwa perang-
kap proses mental manusia (human mental process) diperuntukkan
bagi para analis yang tidak bisa dieliminasi; mereka adalah bagian
12
dari kita. Apa yang bisa dilakukan adalah melatih orang-orang tersebut
bagaimana mencari dan mengakui tantangan-tantangan mental ini,
dan bagaimana mengembangkan berbagai prosedur yang didesain untuk
mengimbangi mereka.
Dengan menunjukkan sentralitas sains analitik bagi misi
intelijen, sebuah pertanyaan kunci yang buku Heuer miliki adalah:
Dibandingkan dengan area-area urusan kita yang lain, sudahkah kita
menjalankan sebuah usaha yang sepadan terhadap kajian sains analitis
sebagai sebuah syarat profesional? Bagaimana dengan berbagai
komitmen usaha dan sumber daya dalam area ini diperbandingkan
dengan, misalnya, usaha dan komitmen untuk mengembangkan
keterampilan menulis para analis?
Buku Heuer tidak bermaksud untuk menjadi kata terakhir
dalam permasalahan ini. Harapannya, itu akan menjadi stimulan
bagi karya-karya lain selanjutnya.

13
Pendahuluan
Memperbaiki Analisis Intelijen CIA:
Kontribusi Dick Heuer terhadap Analisis
Intelijen
Oleh Jack Davis1

S aya salut kepada Pusat Studi Intelijen CIA atas penerbitan karya
Richards J. Heuer, Jr. tentang psikologi analisis intelijen yang
digunakan untuk generasi baru praktisi dan ilmuwan intelijen.
Gagasan-gagasan Dick Heuer tentang bagaimana memperbai-
ki fokus analisis sangat membantu para analis dalam mengimbangi
keterbatasan pikiran manusia dalam menghadapi masalah-masalah
kompleks, khususnya yang melibatkan informasi yang bersifat
ambigu dan juga para pelaku yang tidak cuma satu serta lingkungan
yang selalu bergerak. Tantangan multi-rupa seperti itu berkembang
biak paska Perang Dingin dunia yang bergolak.
Pesan Heuer kepada para analis bisa diringkas dalam kutipan
dua kalimat pada Bab 4 buku ini:

1. Jack Davis bekerja di Direktorat Intelijen (DI), Dewan Intelijen Nasional, dan
Pejabat Pelatihan selama kariernya di CIA. Dia sekarang adalah seorang kontraktor
independen yang menspesialisasikan diri dalam pengembangan dan pengajaran
tradecraft analitis. Di antara karyanya adalah Uncertainty, Surprise, and Warning
(1996).
Para analis intelijen harus sadar diri terhadap proses penalar-
an mereka. Mereka harus berpikir tentang bagaimana mereka
membuat keputusan dan mencapai kesimpulan, bukan hanya
tentang keputusan dan kesimpulannya sendiri.

Gagasan Heuer bisa diaplikasikan bagi setiap usaha analitis.


Dalam pendahuluan ini, saya akan berkonsentrasi pada pengaruh-
nya —dan juga pada para pemikir perintis dalam lapangan analisis
intelijen— di CIA, karena CIA merupakan institusi yang Heuer dan
pendahulunya, dan saya sendiri, ketahui dengan baik, serta telah
menghabiskan bagian terbesar karier intelijen kami di sana.

A. Kontributor Terkemuka bagi Kualitas Analisis

Analis intelijen, dalam usaha mencari keputusan yang tepat,


selalu berada di bawah tantangan berbagai kompleksitas permasa-
lahan-permasalahan yang mereka tuju dan dari tuntutan-tuntutan
yang dibebankan kepada mereka dalam segi ketepatan waktu dan
isi produksinya. Empat orang agen selama berdekade-dekade yang
lalu selalu berusaha untuk memberikan kontribusi utama tentang
bagaimana menghadapi tantangan ini sehingga mendapatkan kualitas
analisis yang bagus.
Penjelasan singkat tentang empat orang yang telah memberi-
kan pengaruh positif yang sangat besar bagi analisis CIA adalah
Sherman Kent, Robert Gates, Douglas MacEachin, dan Richards
Heuer. Metodologi pemilihan saya sederhana. Saya bertanya pada
diri sendiri: Pandangan-pandangan siapa yang telah memengaruhi
saya selama empat dekade ini saat mempraktikkan, mengajarkan,
dan menulis tentang analisis?

1. Sherman Kent
Kontribusi Sherman Kent terhadap analisis tidak bisa dijabar-
kan hanya dalam sepasang paragraf, dan saya menganjurkan para
pembaca untuk mencari pembahasan yang lebih utuh di mana

16
pun.2 Di sini, saya hanya membahas warisan umumnya bagi profesi
analitis.
Kent, seorang profesor sejarah Eropa di Yale, bekerja di cabang
Penelitian dan Analisis pada Jabatan Pelayanan Strategis selama
Perang Dunia II. Dia menulis sebuah buku berpengaruh, Strate-
gic Intelligence for American World Power, ketika berada di National
War College pada akhir tahun 1940-an. Dia bekerja sebagai Wakil
Ketua dan kemudian sebagai Ketua pada Badan Estimasi Nasional,
sebuah organisasi di bawah DCI, dari 1950 sampai 1967.
Kontribusi terbesar Kent terhadap kualitas analisis adalah
mendefinisikan sebuah tempat yang mulia bagi analis —“pengapli-
kasian instrumen-instrumen nalar dan metode ilmiah” individu yang
penuh pemikiran— dalam sebuah dunia intelijen yang kemudian
kini didominasi oleh para kolektor dan operator. Dalam edisi kedua
(1965) dari Strategic Intelligence, Kent menambah laporannya karena
munculnya abad komputer dan juga kolektor manusia dan teknis
(human and technical collectors) yang menyatakan sentralitas analis:
Apa pun kompleksitas teka-teki yang kita usahakan dan
pecahkan, dan apa pun teknik yang kita gunakan untuk
mengumpulkan potongan-potongan data atau informasi dan
menyimpannya, tidak akan pernah bisa pada suatu waktu
ketika orang yang berpikir bisa digantikan sebagai alat inteli-
jen yang terbaik.

Secara lebih spesifik, Kent menganjurkan aplikasi teknik kajian


“ilmiah” bagi masa lalu untuk menganalisis kekomplekan situasi-
situasi yang terus-menerus dan memperkirakan peristiwa-peristiwa
serupa di masa depan. Hanya dengan analisis “imparsial” yang
setepat-tepatnya yang bisa mengurangi kesenjangan dan ambiguitas
informasi pada peristiwa masa lalu yang panjang dan menunjukkan

2. Lihat, khususnya, esai pendahuluan yang tidak terklasifikasikan dari editor dan
“Penghargaan” oleh Harold P. Ford dalam Donald P. Steury, Sherman Kent and
the Board of National Estimates: Collected Essays (CIA, Center for the Study of
Intelligence, 1994). Dalam konteks ini, selanjutnya akan ditulis Steury, Kent.

17
penjelasan yang paling memungkinkan, yang menurutnya, mengenai
kekuatan pikiran kritis yang bisa kembali kepada peristiwa-peristiwa
yang bahkan tidak berlangsung untuk menentukan pengembangan-
pengembangan yang paling memungkinkan.3
Pada akhirnya, Kent mengembangkan konsep piramida analitis,
yang mengarakterisasi sebuah basis informasi faktual yang luas dan
sisi-sisinya terdiri dari asumsi-asumsi suara, yang kemungkinan besar
pada puncaknya akan terisi skenario masa depan.4
Pada praktiknya yang menarik, Kent harus berjuang melawan
bias-bias birokratis dan ideologis, yang dia akui sebagai halangan
untuk menyuarakan analisis, dan juga harus menghadapi istilah-
istilah bersifat perkiraan yang tidak tepat yang dia lihat sebagai
rintangan untuk membawa pesan-pesan yang jelas kepada pembaca.
Meskipun dia menyadari apa yang sekarang disebut bias kognitif,
tulisan-tulisannya mendorong para analis untuk “membuat sebutan”
tanpa diskusi lebih lanjut tentang batasan-batasan pikiran manusia
yang bisa ditanggulangi.
Tidak banyak agen analis yang membaca Kent sekarang ini.
Tapi, dia mempunyai sebuah pengaruh yang sangat besar bagi
generasi para analis dan manajer periode awal, dan karyanya terus
mendesakkan sebuah pengaruh tidak langsung di antara para prakti-
si profesi analitis.

2. Robert Gates
Bob Gates bekerja sebagai Deputi Direktur Intelijensi Pusat
(1986-1989) dan sebagai DCI (1991-1993). Tapi, pengaruh terbesar
terhadap kualitas analisis CIA berlangsung selama tahun 1982-1986
ketika dia bergugas sebagai Deputi Direktur Intelijen (DDI).

3. Sherman Kent, Writing History, second edition (1967). Edisi pertamanya


dipublikasikan pada 1941, ketika Kent menjadi asisten profesor sejarah di Yale.
Pada bab pertama, “Why History,” dia memperesentasikan berbagai gagasan dan
rekomendasi yang kemudian dia adaptasikan untuk analisis intelijen.
4. Kent, “Estimates and Influence” (1968), dalam Steury, Kent.

18
Pada awalnya, dia terdidik sebagai seorang ilmuwan politik,
dan dia mendapatkan Ph.D. dalam kajian-kajian Soviet di George-
town ketika bekerja sebagai seorang analis di CIA. Sebagai seorang
anggota Dewan Keamanan Nasional selama tahun 1970-an, dia
mendapatkan pandangan yang berharga tentang bagaimana para
pembuat kebijakan menggunakan analisis intelijen. Sebagai orang
yang berinteligensi tinggi, bekerja keras tanpa kenal waktu, dan
terampil dalam seni birokrasi, Gates diangkat sebagai DDI oleh
ketua DCI William Casey. Gates mendapatkan bagian bagus, karena
dia menjadi salah satu dari sedikit orang yang Casey anggap telah
menyebarluaskan berbagai pandangan DCI mengenai apa yang
Casey lihat sebagai defisiensi analis Agensi yang menyolok.5 Sedikit
analis dan manajer yang mau mendengarkan kekritisan Gates yang
sangat pedas terhadap prestasi analitis dalam pidato “pengukuhan-
nya” sebagai DDI pada tahun 1982.
Kebanyakan dari komentar publik mengenai Gates dan analisis
Agensi bertumpu pada tuntutan politisasi yang diajukan kepada-
nya, dan pertahanannya terhadap tuntutan-tuntutan seperti itu,
saat menjalani dengar pendapat dengan Senat untuk menjelaskan
pendapatnya pada tahun 1991 sebagai DCI. Panasnya debat tersebut
malah disikapi secara dingin di antara para analis CIA, seperti yang
terefleksi pada halaman Kajian dalam Intelijensi, jurnal Agensi yang
didirikan oleh Sherman Kent pada tahun 1950-an.6
Saya tahu bahwa tidak ada satu tulisan pun pada masa sebelum-
nya yang menulis tentang kontribusi Gates terhadap analisis Agensi.
Pandangan-pandangan saya dalam gagasan-gagasannya tentang
analisis kemungkinan besar datang melalui sebuah kolabora-

5. Casey, sejak awal masa jabatannya sebagai DCI (1981-1987), mengopinikan


kepada saya bahwa masalah para analis agensi adalah terletak pada kenyataan
bahwa mereka mendudukkan pantat mereka di universitas-universitas untuk
akhirnya mendudukkan pantat mereka di CIA, tanpa melihat dunia nyata.
6. “The Gates Hearings: Politicization and Soviet Analysis at CIA”, Studies in
Intelligence (Spring 1994). “Communication to the Editor: The Gates Hearings:
A Biased Account,” Studies in Intelligence (Fall 1994).

19
si panjang dalam membentuk dan menjalankan kursus pelatihan
Agensi yang berjudul “Seminar on Intelligence Successes and Failures”.7
Selama masa jabatannya di DDI, jarang sekali Anda bisa melakukan
percakapan dengan para analis atau manajer tanpa mengambil sudut
pandang tambahan dan penuh pemikiran, dan sebaliknya, mengenai
apa yang Gates lakukan untuk mengubah analisis CIA.
Gagasan-gagasan Gates dalam menanggulangi apa yang dia
lihat sebagai argumentasi yang tidak koheren, picik, dan lembek
mengarakterisasi pentingnya membedakan antara apa yang para
analis ketahui dengan apa yang mereka percayai —yakni, untuk
menjelaskan apa yang menjadi “fakta” (atau informasi yang dilapor-
kan secara bertanggung jawab) dan apa yang menjadi pendapat para
analis (yang harus didukung secara persuasif dengan bukti-bukti).
Di antara ajaran-ajarannya yang lain harus dicarikan pandang-
an pembanding dari para ahli non-CIA, termasuk para spesialis
akademis dan pejabat pembuat kebijakan, dan untuk menghadir-
kan skenario-skenario alternatif di masa depan.
Meskipun demikian, pengaruh utama Gates datang dari praktik
—dari persangkutan langsungnya dalam mengimplementasikan
gagasan-gagasannya. Menggunakan wewenangnya sebagai DDI, dia
mengulas secara kritis hampir semua pengukuran mendalam dan
artikel-artikel intelijen mutakhir sebelum dipublikasikan. Dengan
bantuan dari deputinya dan dua asisten dari tingkatan manajer junior
yang brilian, Gates memunculkan standar bagi ulasan DDI secara
dramatis —dalam esensinya, dari “penampakan yang baik bagi saya”
untuk “menunjukkan pada saya bukti-bukti Anda”.
Ketika banyak draft yang Gates tolak yang dikirimkan kembali
kepada para manajer yang telah disetujui mereka —yang disertai
dengan berbagai komentar DDI tentang inkonsistensi, kurangnya

7. DCI Casey meminta kantor pelatihan agensi menyediakan seminar ini agar,
setidaknya, para analis bisa belajar dari kesalahan-kesalahan mereka. Sedang DDI
Gates secara hati-hati mengulas pernyataan tentang tujuan-tujuan dari seminar
tersebut, kerangka unit kursus, dan daftar bacaan yang dibutuhkan.

20
kejelasan, adanya banyak bias substantif yang terjadi, dan keputusan-
keputusan dukungan yang sangat lemah— seluruh rangkaian ulasan
menjadi lebih banyak teruji tingkat ketelitiannya. Para analis dan
manajer pun mengeluarkan standar-standar mereka untuk menghin-
dari adanya penolakan dari pihak DDI. Kemajuan karier dan ego
akan menjalani banyak pertaruhan di sini.
Meningkatnya perhatian yang tajam dan cepat yang terjadi pada
para analis dan manajer untuk menyangga segala keputusan substan-
tif mereka kemungkinan tanpa preseden dalam sejarah agensi. Dalam
istilah yang lebih luas, keuntungan proses ulasan yang terintensifi-
kasi menjadi lebih terbatas, karena perhatian yang tidak mencukupi
diberikan untuk mengklarifikasi praktik-praktik tradecraft (keahli-
an) yang akan mempertimbangkan kekuatan analitisnya. Lebih dari
satu peserta dalam proses tersebut yang meneliti bahwa kekurangan
panduan dalam memenuhi standar-standar Gates mengarah pada
sejumlah besar “pemutaran roda” (wheel-spinning).
Pengaruh Gates, seperti halnya Kent, harus dilihat dalam dua
hal. Di satu sisi, sedikit orang sekarang ini yang membaca tulisan
Gates tentang keahlian analisis. Tapi, meskipun proses ulasan
pra-publikasinya tidak diteruskan oleh para suksesornya, namun
kesadaran yang membumi akan standar-standarnya masih mampu
memberikan jeda saat melompat kepada kesimpulan bagi banyak
manajer dan analis yang mendapatkan dan mengalami kritikan tajam
secara langsung dari Gates.

3. Douglas MacEachin
Doug MacEachin, yang menjabat sebagai DDI dari 1993
hingga 1996, berusaha memberikan sebuah bahan esensial bagi
penjaminan implementasi nada standar yang analitis: standar-standar
keahlian korporat (corporate tradecraft) bagi para analis. Keahlian baru
ini khususnya bertujuan untuk menjamin adanya perhatian yang
mencukupi terhadap berbagai tantangan kognitif dalam menaksir
permasalahan-permasalahan yang kompleks.
21
MacEachin menguraikan pandangan-pandangannya tentang
berbagai kesalahan analitis Agensi dan pembetulan-pembetulannya
dalam The Tradecraft of Analysis: Challenge and Change in the CIA.8
Komentar saya tentang berbagai kontribusinya terhadap nada analisis
juga diinformasikan oleh serangkaian pertukaran dengannya pada
tahun 1994 dan 1995.
Bidang keahlian utama MacEachin adalah ekonomi, tapi dia
juga menunjukkan minat yang sangat besar terhadap filsafat. Karier
Agensinya —seperti halnya Gates— melibatkan cakupan tugas yang
luas dalam sebuah jabatan pembuatan kebijakan. Dia terlepas dari
pengalaman ini dengan pandangan-pandangan baru mengenai apa
yang dinamakan intelijen “bernilai tambah” yang berguna bagi para
pembuat kebijakan. Kemudian, sebagai manajer senior CIA yang
bertugas mengurusi permasalahan kontrol senjata, secara teratur dia
menghadapi kader pejabat pembuat kebijakan yang keras hati yang
membuatnya tahu dalam istilah yang kasar tentang apa yang menjadi
dukungan kebijakan efektif dan apa yang tidak.
Pada waktu MacEachin menjadi DDI pada tahun 1993,
kebijakan Gates terhadap kantor pusat DDI mengenai ulasan pra-
publikasi membuat hampir semua kajian analitis DI tidak diteruskan.
MacEachin mengambil sebuah pendekatan berbeda; dia membaca
—hampir kebanyakan di akhir pekan— dan merefleksikan berbagai
tulisan analitis DI yang sudah diterbitkan. Dia tidak suka apa yang
dia temukan. Menurutnya, kira-kira sepertiga tulisan itu bermak-
sud membantu proses pembuatan kebijakan yang mana kebijakan
tersebut tidak mempunyai argumentasi yang kasat mata untuk
mendukung kredibilitas keputusan-keputusan intelijen, dan sepertiga
lainnya merupakan argumentasi yang tidak tepat atau bahkan cacat.
Pengalaman ini, seiring dengan tekanan terhadap CIA untuk mening-
katkan prestasi analitis yang lebih baik dalam rangka bangkit dari

8. Karya ilmiah yang tidak masuk klasifikasi yang dipublikasikan pada 1994 oleh the
Working Group on Intelligence Reform, telah diciptakan pada 1992 oleh Konsorsium
Kajian Intelijen (the Consortium for the Study of Intelligence), Washington, DC.

22
“kegagalan intelijen” berkenaan dengan invasi Irak terhadap Kuwait,
mendorong keputusannya untuk mengeluarkan sebuah usaha besar
baru agar bisa meningkatkan standar-standar analitis.9
MacEachin mengajukan sebuah pendekatan argumenta-
si terstruktur yang disebut “analisis esensial” (linchpin analysis).
Dalam pendekatan ini, dia melontarkan istilah muskular (berotot)
yang didesain untuk mengatasi segala kebencian para profesio-
nal CIA terhadap nomenklatur akademis. Istilah akademis standar
“variabel-variabel kunci” diganti menjadi “para pengendara (drivers)”.
Sedangkan “hipotesis-hipotesis” mengenai para pengendara menjadi
linchpin —asumsi-asumsi yang mendasari argumen— dan ini harus
dipecahkan secara eksplisit. MacEachin juga mendesak bahwa
perhatian yang lebih besar harus diarahkan untuk proses-proses
analitis dalam mewaspadai perubahan para pembuat kebijakan di
lingkungan yang akan meningkatkan berbagai kemungkinan terjadi-
nya skenario alternatif.
MacEachin terus berusaha menciptakan berbagai standar yang
sistematis dan transparan dalam menentukan apakah para analis telah
mendapatkan tanggung jawab mereka terhadap pemikiran kritis.
Untuk memperluas pemahaman dan aplikasi dari standar-standar
tersebut, dia memandatkan penciptaan bengkel kerja (workshop)
mengenai analisis linchpin untuk para manajer dan produksi dari
serangkaian catatan tentang tradecraft analitis. Dia juga menunjuk-
kan bahwa performa DI dalam standar-standar tradecraft harus
bisa dilacak dan pengakuan pun harus diberikan kepada berbagai
penaksiran yang patut mendapatkan acungan jempol. Mungkin
kedengarannya sangat ambisius, namun dia melihat bahwa instruksi
tentang standar-standar analisis dihubungkan dengan sebuah kursus
pelatihan baru, “Tradecraft 2000”. Hampir semua manajer DI dan
para analis mengikuti kursus selama tahun 1996-1997.

9. Diskusi antara MacEachin dan penulis pendahuluan ini terjadi pada tahun
1994.

23
Saat menulis ini (awal 1999), kekuatan inisiatif tradecraft
MacEachin dalam jangka waktu yang lama bahkan tidaklah begitu
jelas. Tapi, kebanyakan dari apa yang dia anjurkan tetap bertahan
begitu lama. Banyak analis DI yang menggunakan variasi-variasi
dalam konsep linchpin untuk menghasilkan berbagai ramalan. Dalam
bidang pelatihan, “Tradecraft 2000” telah digantikan oleh sebuah
jalan baru yang mengajarkan konsep-konsep yang sama terhadap
para analis terbaru. Tapi, contoh-contoh dari apa yang MacEachin
akan labelkan sebagai analisis yang tersubstansiasikan secara lemah
masih saja terlihat. Jelasnya, kewaspadaan terus-menerus dibutuhkan
untuk menjaga analisis seperti itu dari penemuan jalannya menuju
produk-produk DI.

4. Richards Heuer
Dick Heuer kurang terkenal di lingkungan CIA dibandingkan
Kent, Gates, dan MacEachin. Dia tidak mendapatkan sambutan luas
yang Kent bisa nikmati sebagai bapak analisis profesional, dan dia
kurang mempunyai kekuasaan birokratis sebagaimana halnya yang
Gates dan MacEachin bisa nikmati sebagai DDI. Tapi, pengaruhnya
pada kualitas analisis agensi tidak diragukan lagi kemampuannya,
setidaknya sama pentingnya dengan Gates dan MacEachin.
Heuer menerima sebuah gelar dalam bidang filsafat pada
tahun 1950 dari Williams College, di mana, dia mencatat sendiri,
bahwa dia menjadi begitu terpesona dengan pertanyaan epistemolo-
gis yang fundamental, “Apa itu kebenaran dan bagaimana kita bisa
mengetahuinya?” Pada tahun 1951, ketika menjadi seorang lulusan
dari Universitas Berkeley California, dia direkrut sebagai bagian
dari deskripsi impresif CIA selama Perang Korea. Sang perekrut-
nya adalah Richard Helms, veteran OSS dan pemain kunci dalam
pelayanan rahasia Agensi (CIA). Selanjutnya, Helms DCI, menurut
Heuer, tengah mencari kandidat bagi pekerja CIA di antara lulusan
baru dari William College, almamaternya sendiri. Heuer pun
mempunyai sebuah keuntungan tambahan sebagai seorang mantan
24
editor pada surat kabar kampusnya tersebut, sebuah posisi yang
pernah dipegang Helms selama15 tahun.10
Pada tahun 1975, setelah 24 tahun berada di Direktorat
Operasi, Heuer dipindahkan ke DI. Minat akademis awalnya tentang
bagaimana cara kita mengetahui kebenaran dihidupkannya kembali
ketika mendapatkan dua pengalaman. Salah satu pengalaman yang
paling membekas dalam dirinya adalah pada kasus kontroversial
yang terjadi berkenaan dengan pembelotan anggota KGB Soviet
bernama Yuriy Nosenko. Pengalaman lainnya adalah pembelajaran
berbagai pendekatan baru terhadap metodologi ilmu pengetahuan
sosial ketika menghabiskan waktu untuk menyelesaikan gelar master-
nya dalam bidang hubungan internasional di University of Southern
California’s European.
Pada waktu dia pensiun pada tahun 1979, Heuer mengepalai
unit metodologi dalam jabatan analisis politik DI. Dia sebenarnya
mempersiapkan berbab-bab tulisan dalam bukunya sebagai artikel-
artikel individu yang dia tulis antara tahun 1978 hingga 1986.
Namun, kebanyakan artikelnya itu ditulis untuk DI setelah masa
pensiunnya. Dia memperbarui artikel-artikel tersebut dan mempersi-
apkan beberapa bahan baru untuk dimasukkan ke dalam buku ini.

a. Berbagai Gagasan Utama Heuer


Tulisan-tulisan Dick Heuer mengandung tiga hal yang
fundamental tentang tantangan-tantangan kognitif yang pasti akan
dihadapi oleh para analisis intelijen:
Pikiran “dihubungkan” secara lemah untuk berhadapan secara
efektif baik dengan ketidakpastian inheren (kabut alami yang
mengelilingi berbagai permasalahan intelijen yang kompleks
dan yang tidak menentukan) dan menginduksi ketidakpas-
tian (kabut buatan manusia yang dibuat dengan penolakan
dan berbagai muslihat).

10. Surat kepada penulis pendahuluan ini pada tahun 1998.

25
Bahkan meningkatnya kesadaran kognitif dan berbagai bias
“tidak bermotivasi” yang lain, seperti kecenderungan untuk melihat
informasi yang menegaskan sebuah keputusan yang sudah diputus-
kan secara lebih gamblang daripada melihat informasi “yang belum
ditegaskan”, hanya sedikit membantu para analis dalam mengha-
dapi ketidakpastian secara efektif.
Berbagai alat dan teknik yang menggerakkan pikiran para analis
untuk mengaplikasikan tingkatan pemikiran kritis yang lebih ting-
gi bisa secara substansial memperbaiki analisis mengenai berbagai
persoalan kompleks tentang informasi yang tidak komplet, bersifat
ambigu, dan sering kali sangat terdistorsi. Berbagai contoh kunci
mengenai alat-alat intelektual seperti itu mencakup teknik-teknik
penstrukturan informasi, menantang berbagai asumsi, dan meng-
eksplorasi berbagai interpretasi alternatif.
Bagian berikut ini berasal dari artikel Heuer pada tahun 1980
yang berjudul “Perception: Why Can’t We See What Is There to be
Seen?” menunjukkan bahwa berbagai gagasannya itu serupa dengan
atau kompatibel dengan berbagai konsep analisis linchpin-nya
MacEachin.
Dalam berbagai kesulitan inheren yang ada dalam pemroses-
an informasi kompleks yang manusiawi, sebuah sistem manajemen
yang bijaksana seharusnya:
o Mendorong berbagai produk yang (a) jelas-jelas menggam-
barkan berbagai asumsi mereka dan rantai kesimpulan, dan
(b) mengkhususkan tingkat dan sumber ketidakpastian yang
tercakup dalam berbagai kesimpulan tersebut.
o Menekankan berbagai prosedur yang menampakkan dan
mengelaborasi sudut pandang alternatif —perdebatan analitis,
lawan bagi kepentingannya (devil’s advocates), pengungkap-
an pendapat interdisipliner, analisis kompetitif, ulasan tajam
terhadap produksi dalam kantor (intra-office), dan mendo-
rong munculnya (elicitation) keahlian dari luar.

26
Heuer menekankan kedua nilai tersebut dan bahaya model-
model mental, atau berbagai mind-set. Dalam bab pembukaan buku
ini, yang berjudul, “Pemikiran tentang Pemikiran,” dia mencatat
bahwa:
[Para analis] mengonstruksi versi “realitas” mereka sendiri
atas dasar informasi yang telah disediakan oleh indra, tapi
input sensoris ini dimediasi oleh proses mental yang kompleks
yang menentukan informasi yang mana yang diikuti,
bagaimana mengaturnya, dan pemaknaan apa yang dilekatkan
terhadapnya. Apa yang orang rasakan, bagaimana mereka siap
merasakannya, dan bagaimana mereka memproses informasi
ini setelah menerimanya semuanya dipengaruhi secara kuat
oleh pengalaman masa lalu, pendidikan, nilai-nilai kultural,
syarat-syarat peran, dan norma-norma organisasional, dan
juga oleh berbagai informasi yang diterima secara spesifik.

Proses ini mungkin divisualisasi ketika merasakan dunia melalui


sebuah lensa atau layar yang menyalurkan dan memfokuskan serta
karenanya mungkin mendistorsi berbagai citra yang telah terlihat.
Untuk mencapai citra yang sejelas mungkin… para analis membutuh-
kan lebih dari sekadar informasi…. Mereka juga harus memahami
lensa-lensa apa yang telah dilalui oleh informasi ini. Lensa-lensa ini
dikenal dengan banyak istilah —model-model mental, berbagai
mind-set, berbagai bias, atau berbagai asumsi analitis.
Pada dasarnya, Heuer melihat adanya keandalan dari model-
model mental untuk menyederhanakan dan menerjemahkan realitas
sebagai sebuah mekanisme konseptual yang tidak bisa dihindari bagi
para analis intelijen —yang sering kali berguna, tapi adakalanya
juga membawa risiko (hazardous). Apa yang dibutuhkan bagi para
analis, dalam pandangan Heuer, adalah sebuah komitmen untuk
menantang, memperhalus, dan menantang kembali segala model
mental yang mereka gunakan, tepatnya karena langkah-langkah
ini merupakan pusat bagi interpretasi yang kompleks dan berbagai
persoalan yang ambigu.

27
Melalui buku ini, Heuer sangat kritis terhadap berbagai resep
ortodoks mengenai “informasi yang semakin lama semakin baik”
untuk mengobati segala ketidakpuasan dalam melakukan analisis.
Dia menekankan bahwa perhatian yang lebih besar harus diupaya-
kan dalam melakukan eksploitasi informasi secara lebih intensif yang
sudah ada di tangan, dan pada saat melakukannya, para analis harus
terus menantang dan merevisi berbagai model mental mereka.
Heuer melihat pencitraan cermin (mirror-imaging) sebagai
sebuah contoh bagi perangkat kognitif yang tidak bisa dihindari.
Tidak masalah betapa banyak ahli analis yang menggunakannya
untuk menerjemahkan sistem nilai berbagai entitas asing, ketika
bukti-bukti yang kuat cenderung menjadi tidak valid lagi pada
proyek mind-set (pola pikir) para analis sendiri yang telah diambil
alih. Dalam Bab 4, Heuer mengamati:
Untuk melihat berbagai pilihan yang dihadapi oleh para
pemimpin asing ketika para pemimpin ini melihat mereka,
maka orang harus memahami nilai-nilai dan asumsi-
asumsi mereka dan bahkan berbagai kesalahan persepsi dan
ketidakmengertian mereka. Tanpa pandangan seperti itu,
penerjemahan keputusan-keputusan atau pun peramalan
keputusan-keputusan di masa depan dari para pemimpin
asing tersebut sering kali tidak lebih dari sekadar spekula-
si yang diinformasikan secara parsial. Namun yang sering
terjadi, perilaku orang asing sering kali tampak “tidak
rasional” atau “tidak dalam minat terbaik mereka”. Berbagai
kesimpulan seperti itu sering kali mengindikasikan bahwa
para analis telah memproyeksikan berbagai nilai dan kerang-
ka kerja konseptual Amerika di atas para pemimpin dan
masyarakat asing, daripada memahami logika situasi seperti
yang tampak pada diri mereka.

b. Mempersaingkan Berbagai Hipotesis


Untuk mengimbangi risiko yang menyertai para analis yang
memang tidak bisa dihindari dalam mencari jalan lain melakukan
pencitraan cermin, Heuer mengajukan pendapat untuk melihat
28
berbagai kalkulasi para analis mengenai keyakinan dan perilaku orang
asing sebagai hipotesis yang bisa ditantang. Berbagai hipotesis alterna-
tif harus dipertimbangkan secara hati-hati —khususnya hipotesis
yang tidak bisa disangkal atas dasar informasi yang tersedia.
Konsep Heuer mengenai “Analisis Mempersaingkan Berbagai
Hipotesis (Analysis of Competing Hypotheses/ACH)” ada di antara
berbagai kontribusi paling penting Heuer terhadap perkembang-
an sebuah metodologi analisis intelijen. Inti ACH adalah gagasan
tentang kompetisi di antara serangkaian hipotesis yang memung-
kinkan untuk melihat satu hipotesis yang berhasil memenangkan
sebuah pengujian tentang kompatibilitasnya terhadap informasi
yang tersedia. Hipotesis yang menang tersebut —hipotesis-hipote-
sis yang tidak tersangkalkan— disubjeksikan untuk pengujian
selanjutnya. ACH, Heuer mengakui, tidak akan selalu menghasilkan
jawaban yang benar. Tapi ia bisa membantu para analis menang-
gulangi masalah batasan-batasan kognitif yang didiskusikan dalam
bukunya.
Sebagian analis yang menggunakan ACH mengikuti metodo-
logi delapan langkah Heuer secara utuh. Sering kali, mereka
menggunakan beberapa unsur ACH —khususnya menggunakan
informasi yang tersedia untuk meragukan berbagai hipotesis yang
analis rasa paling mereka sukai.

c. Penolakan dan Penipuan


Peretasan jalan yang dilakukan Heuer dalam menentang
penolakan dan penipuan (D&D= Denial and Deception) tidak
dimasukkan ke dalam sebuah bab terpisah dalam buku ini. Tapi,
referensi singkatnya sungguh persuasif dalam buku ini.
Dia menyatakan, misalnya, bahwa para analis sering kali
menolak kemungkinan penipuan yang disebabkan karena mereka
melihat tidak ada bukti darinya. Dia kemudian mendesak bahwa
penolakan tidak dijustifikasi di bawah lingkungan-lingkungan
seperti ini. Jika penipuan atau kecurangan direncanakan dengan baik
29
dan dilakukan dengan patut, orang seharusnya tidak berharap bisa
melihat bukti darinya secara siap secara langsung. Menolak suatu
hipotesis yang masuk akal namun belum terbukti dan juga terlalu
awal cenderung bias pada analisis berikutnya, sebab orang kemudian
tidak mencari bukti yang mungkin bisa mendukungnya. Kemung-
kinan melakukan kecurangan tidak harus ditolak sampai ia dibantah,
atau setidaknya sampai sebuah penelitian sistematis terhadap bukti
yang telah dibuat namun tidak satu pun yang ditemukan.

d. Pengaruh Heuer
Pengaruh Heuer terhadap tradecraft analitis dimulai dengan
artikelnya yang pertama. Pejabat CIA yang melakukan pelatihan
pada tahun 1980-an sebagai bagian dari pencarian Pintu Masuk
DDI (DDI Gates) untuk analisis yang dimanfaatkan membentuk
rencana-rencana pelajaran mereka sebagian dengan berdasarkan atas
penemuan-penemuan Heuer. Di antara bagian-bagian ini adalah
sebuah seminar tentang kesuksesan dan kegagalan intelijen serta
hal lain berkenaan dengan analisis intelijen. Bagian-bagian tersebut
memengaruhi skor para analis DI, sehingga banyak dari mereka yang
sekarang berada dalam tingkatan manajerial. Para desainer dan guru
Tradecraft 2000 jelas-jelas juga dipengaruhi oleh Heuer, seperti yang
terefleksi dalam seleksi bacaan, studi kasus, dan latihan kelas.
Karya Heuer tetap menjadi rujukan dalam daftar bacaan dan
dalam rencana-rencana pelajaran bagi pelatihan DI yang ditawarkan
kepada semua analis baru, dan juga bagian tentang analisis peringat-
an dan tentang menentang penolakan dan kecurangan. Para analis
dan manajer senior pun secara langsung menyebarluaskan pemikir-
an Heuer melalui artikel-artikelnya, atau melalui kursus pelatihan,
yang terus melanggengkan pemikiran-pemikirannya bagi para analis
baru.

30
B. Berbagai Rekomendasi

Nasihat Heuer kepada para pemimpin, manajer, dan analis


agen adalah: Untuk menjamin perbaikan yang terus-menerus dalam
menaksir permasalahan-permasalahan kompleks, analisis yang harus
diperlakukan sebagai lebih dari sebuah proses yang substantif dan
organisasional. Perhatian juga harus dicurahkan kepada teknik-
teknik dan alat-alat dalam menanggulangi berbagai batasan inheren
dari mesin mental para analis. Dia mendesak para pemimpin agen
untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Membentuk sebuah lingkungan organisasional yang mempro-
mosikan dan memberikan jenis pemikiran kritis yang dia anjurkan
—atau misalnya, analisis mengenai permasalahan-permasalahan sulit
yang mempertimbangkan secara mendalam serangkaian hipotesis
yang masuk akal dibandingkan memperkenankan hipotesis pertama
yang kredibel yang dianggap sudah mencukupi.
Memperluas pendanaan bagi penelitian mengenai peran
permainan proses mental seperti itu dalam pembentukan keputus-
an-keputusan analitis. Sebuah agensi yang bersandar pada
prestasi kognitif yang tajam oleh para analisnya harus tetap mengikuti
berbagai kajian tentang bagaimana pikiran itu bekerja —yaitu,
tentang bagaimana para analis mencapai keputusan-keputusan.
Mendorong pengembangan alat-alat untuk membantu para
analis dalam menaksir informasi. Mengenai permasalahan yang
sulit, mereka membutuhkan bantuan dalam memperbaiki model-
model mental mereka dan dalam memperoleh penemuan-penemuan
tajam dari informasi yang telah mereka punyai; mereka membutuh-
kan bantuan seperti itu setidaknya sebanyak yang mereka butuhkan
dalam memperoleh lebih banyak informasi.
Saya menawarkan beberapa observasi dan rekomendasi yang
bersifat menyimpulkan, yang berakar dari berbagai penemuan Heuer
dan mempertimbangkan berbagai pertukaran kompromis yang sulit
dihadapi para profesional intelijen:

31
Menentukan serangkaian standar tradecraft yang seragam yang
didasarkan pada pandangan-pandangan dalam buku ini. Para pimpin-
an harus tahu jika para analis telah melakukan pekerjaan kognitif
mereka sebelum mengambil tanggung jawab korporat bagi keputus-
an-keputusan mereka. Meskipun setiap permasalahan analitis bisa
dilihat sebagai salah satu jenis, saya menduga bahwa hampir semua
topik tersebut sesuai dengan selusin pola tantangan yang kembali
berulang berdasarkan pada variasi-variasi dalam ketidakpastian
substantif dan sensitivitas kebijakan. Standar-standar korporat harus
dibentuk untuk masing-masing kategori seperti itu. Dan yang tersem-
bunyi seharusnya diserahkan kepada para manajer untuk menjelaskan
mengapa sebuah penugasan analitis yang ditunjuk membutuhkan
deviasi atau penyimpangan dari standar-standar yang sudah ditentu-
kan. Saya meyakini bahwa jika standar-standar tradecraft tersebut
dibuat seragam dan transparan, waktu yang dihemat oleh batasan
ulasan personalistik mengenai analisis perubahan haluan yang cepat
(misalnya, “Ia membaca lebih baik bagi saya dengan cara ini”) bisa
“diadopsikan kembali” dalam melakukan perang secara lebih efisien
terhadap kesulitan kognitif yang potensial. (“Mengenai poin 3,
silakan bicarakan berbagai asumsi Anda.”)
Beri perhatian lebih kepada “Keraguan”. Para pemimpin inteli-
jen dan pembuat kebijakan seharusnya, dalam mempertimbangkan
adanya hambatan kognitif dalam menyuarakan analisis, membentuk
aturan-aturan dasar yang memampukan para analis, setelah melaku-
kan klarifikasi terhadap permasalahan tersebut dengan cara terbaik,
untuk mengekspresikan keraguan secara lebih terbuka. Mereka
seharusnya didorong untuk mendaftar kesenjangan dalam informa-
si dan hambatan-hambatan lain untuk mendapatkan keputusan.
Kesimpulan seperti “Kita tidak mengetahui” atau “Ada beberapa
cara valid yang potensial dalam menilai permasalahan ini” seharus-
nya diakui sebagai lencana analisis, bukan sebagai kelalaian tugas
analitis.

32
Temukan sepasang penerus Dick Heuer. Danai penelitiannya.
Perhatikan penemuan-penemuan mereka.

33
Daftar Isi

Kata Pengantar Penerbit................................................... 5


Kata Pengantar Penulis ................................................... 7
Kata Pengantar: Oleh Douglas MacEachin....................... 9
Pendahuluan: Oleh Jack Davis......................................... 15
Daftar Isi........................................................................... 35

Bagian Pertama
Mesin Mental Kita

Bab 1 Berpikir Tentang Pemikiran................................. 41


Bab 2 Persepsi: Mengapa Kita Tidak Bisa Melihat Apa
yang Terlihat Ada di Sana? ................................ 51
Bab 3 Memori: Bagaimana Cara Kita Mengingat Apa
yang Kita Ketahui? ............................................. 65
A. Berbagai Komponen Sistem Memori ............. 65
B. Memori dan Analisis Intelijen ........................ 78
C. Perentangan Batasan-Batasan Memori Bekerja 79
D. Memori Bisa Merugikan dan juga Membantu 83
Bagian II
Alat untuk Berpikir

Bab 4 Berbagai Strategi bagi Keputusan Analitis:


Melebihi Batasan-Batasan Informasi yang Tidak
Utuh .................................................................... 89
A. Berbagai Strategi Menghasilkan dan
Mengevaluasi Hipotesis ................................. 90
B. Hubungan di Antara Berbagai Strategi........... 105
C. Berbagai Strategi untuk Memilih di Antara
Hipotesis ....................................................... 106
D. Kegagalan Menolak Hipotesis ........................ 111
E. Kesimpulan.................................................... 115
Bab 5 Apakah Anda Benar-Benar Membutuhkan Lebih
Banyak Informasi?.............................................. 117
A. Sebuah Eksperimen: Bertaruh pada Pacuan
Kuda.............................................................. 120
B. Pemodelan Keputusan Para Ahli .................... 123
C. Kapan Informasi Baru Memengaruhi
Keputusan Kita?............................................. 126
D. Mozaik Teori Analisis .................................... 132
E. Kesimpulan ................................................... 134
Bab 6 Menjaga Pikiran Tetap Terbuka............................ 135
A. Memahami Jejak Mental ............................... 137
B. Alat-Alat Mental ............................................ 140
C. Lingkungan Organisasional ........................... 155
Bab 7 Menstrukturkan Masalah-Masalah Analitis ......... 163
A. Struktur Masalah ........................................... 168
B. Matriks Pembelian Mobil .............................. 170
C. Kesimpulan.................................................... 175

36
Bab 8 Analisis Terhadap Berbagai Hipotesis yang
Bersaing ............................................................. 177

Bagian Ketiga
Bias-Bias Kognitif

Bab 9 Apa itu Bias-Bias Kognitif?................................. 201


Bab 10 Bias-Bias dalam Evaluasi Bukti........................... 205
A. Kejelasan Kriteria........................................... 206
B. Ketiadaan Bukti ............................................ 211
C. Sangat Sensitif terhadap Konsistensi............... 213
D. Mengatasi Bukti dari Akurasi yang Tidak
Pasti .............................................................. 215
E. Ketekunan Kesan Berdasarkan Bukti yang
Terdiskreditkan ............................................. 218
Bab 11 Bias-Bias dalam Persepsi Sebab Akibat..............223
A. Bias-Bias yang Sesuai dengan Penjelasan-
Penjelasan Kausal........................................... 226
B. Bias Persepsi yang Didukung dari Arah yang
Tersentralisasi................................................. 229
C. Keserupaan Sebab dan Akibat ........................ 231
D. Sebab-Sebab Perilaku Internal vs Eksternal .... 234
E. Membanggakan Pentingnya Diri Kita Sendiri 240
F. Korelasi yang Dibuat-buat.............................. 242
Bab 12 Bias-Bias dalam memperkirakan Berbagai
Probabilitas......................................................... 253
A. Aturan Ketersediaan ...................................... 253
B. Penjangkaran (Anchoring)............................... 258
C. Ekspresi Ketidakpastian ................................. 261
D. Menaksir Probabilitas Sebuah Skenario.......... 266

37
Bab 13 Bias-Bias Peninjauan Kembali dalam Evaluasi
Pelaporan Intelijen............................................... 273
A. Perspektif Analis ............................................ 276
B. Perspektif Konsumen ..................................... 279
C. Perspektif Pengawas ....................................... 281
D. Diskusi tentang Eksperimen .......................... 285

Bagian IV
Kesimpulan

Bab 14 Memperbaiki Analisis Intelijen............................. 293


A. Daftar bagi Para Analis .................................. 294
B. Manajemen Analisis....................................... 299
C. Garis Bawah (The Bottom Line)...................... 310
Biografi Penulis................................................................ 311

38
Bagian Pertama
Mesin Mental Kita
Bab 1
Berpikir Tentang Pemikiran

Mengenai beragam masalah yang mengganggu analisis intelijen yang


akurat, masalah yang inheren dengan proses mental manusia sebenarnya
berada di antara masalah yang paling penting dan sulit untuk dihada-
pi. Analisis intelijen pada dasarnya merupakan sebuah proses mental, tapi
memahami proses ini selalu diganggu dengan kurangnya kesadaran yang
sesadar-sadarnya akan cara kerja pikiran kita sendiri.
Sebuah penemuan dasar mengenai psikologi kognitif menjelaskan bahwa
orang tidak mempunyai banyak pengalaman kesadaran tentang apa yang
terjadi dalam pikiran manusia. Banyak fungsi yang dihubungkan dengan
persepsi, memori, dan pemrosesan informasi yang dilakukan sebelum-
nya dan secara independen terhadap berbagai arah kesadaran. Apa yang
tampak secara spontan dalam kesadaran adalah hasil pemikiran, bukan
proses pemikiran.
Kelemahan dan bias-bias yang inheren dalam proses pemikiran manusia
bisa didemonstrasikan melalui eksperimen-eksperimen yang didesain secara
saksama. Kelemahan dan bias-bias tersebut bisa dikurangi dengan aplika-
si alat-alat dan teknik-teknik kesadaran yang seharusnya ada dalam alat
keahlian analitis dari semua para analis intelijen.

“K etika kita berbicara memperbaiki pikiran, kita biasanya


langsung tertuju pada penerimaan informasi atau pengeta-
huan, atau terhadap jenis pemikiran yang seharusnya orang punya,
dan bukan pada pemfungsian pikiran yang aktual. Kita membutuh-
kan sedikit waktu untuk melakukan monitoring terhadap pemikiran
kita dan membandingkannya dengan sebuah keidealan yang lebih
memuaskan.”1
Ketika kita berbicara memperbaiki analisis intelijen, biasanya
kita langsung tertuju pada kualitas penulisan, jenis produk analitis,
hubungan-hubungan di antara para analis intelijen, dan konsumen
intelijen itu sendiri, atau organisasi proses analitis. Sedikit perhati-
an yang dicurahkan untuk memperbaiki bagaimana cara para analis
berpikir.
Berpikir secara analitis merupakan sebuah keterampilan seperti
halnya tukang kayu atau mengendarai sebuah mobil. Itu bisa diajar-
kan, bisa dipelajari, dan juga bisa diperbaiki dengan cara praktik.
Tapi, sebagaimana berbagai keterampilan yang lain, seperti mengen-
darai sebuah sepeda, hal ini tidak hanya dipelajari dengan duduk
di dalam sebuah kelas dan diajarkan bagaimana cara melakukan-
nya. Para analis belajar dengan melakukan praktik. Banyak orang
mencapai setidaknya tingkat prestasi analitis yang bisa diterima
secara minimal dengan sedikit usaha sadar yang melebihi penyelesai-
an pendidikan mereka. Dengan usaha dan kerja keras seperti itulah,
para analis bisa mencapai sebuah tingkat yang mengagumkan melebi-
hi apa yang datang secara alamiah.
Pelaksanaan secara teratur memperluas daya tahan, tapi tidak
memperbaiki teknik tanpa panduan ahli. Dengan cara yang sama,
panduan ahli mungkin dibutuhkan untuk memodifikasi perilaku
analitis yang terbentuk lama untuk mencapai sebuah tingkat analitis
yang optimal dan mengagumkan. Seorang staf pelatihan analitis
membantu para analis muda mengasah keahlian (tradecraft) analitis
mereka yang akan menjadi sebuah suplemen bernilai bagi pengajar-
an di ruang kelas.
Satu kunci bisa belajar dengan sukses adalah dengan motivasi.
Beberapa analis terbaik CIA mengembangkan berbagai keterampil-
an mereka sebagai konsekuensi dari kegagalan analitis yang mereka

1. James L. Adams, Conceptual Blockbusting: A Guide to Better Ideas (New York:


W.W. Norton, second edition, 1980), hlm. 3.

42
alami pada awal karier mereka. Kegagalan memotivasi mereka untuk
menjadi lebih sadar diri tentang bagaimana mereka melakukan
analisis dan mempertajam proses pemikiran mereka.
Buku ini bertujuan untuk membantu para analis intelijen
mencapai sebuah tingkat prestasi yang lebih tinggi. Buku ini akan
menunjukkan bagaimana orang membuat keputusan-keputusan
berdasarkan pada informasi yang tidak lengkap dan bersifat ambi-
gu, dan juga menawarkan cara-cara dan konsep-konsep sederhana
dalam memperbaiki keterampilan-keterampilan analitis.
Bagian I mengidentifikasi beberapa abatasan yang inheren
dalam proses mental manusia. Bagian II membahas cara-cara
dan berbagai pendekatan keahlian analitis yang sederhana dalam
memecahkan masalah batasan ini dan berpikir secara lebih sistema-
tis. Bab 8, “Analisis terhadap Berbagai Hipotesis yang Bersaing”,
tidak disangsikan lagi merupakan bab tersendiri yang paling penting.
Bagian III menghadirkan informasi tentang berbagai bias kognitif —
istilah teknis untuk kesalahan-kesalahan mental yang bisa diprediksi
yang disebabkan oleh strategi-strategi pemrosesan informasi yang
disederhanakan. Sedangkan bab terakhir membahas tentang berbagai
daftar untuk para analis dan juga berbagai rekomendasi tentang
bagaimana para manajer analisis intelijen bisa membantu mencip-
takan sebuah lingkungan yang bisa menumbuhkan prestasi analisis
yang mengagumkan.
Herbert Simon adalah orang pertama yang mengembang-
kan konsep rasionalitas “terikat” atau terbatas.2 Disebabkan karena
batasan-batasan dalam kapasitas mental manusia, menurut argumen-
nya, pikiran tidak bisa mengatasi secara langsung kompleksitas
dunia. Agaknya, kita harus mengonstruksi sebuah model realitas
mental yang sederhana dan kemudian bekerja dengan model ini.
Kita menunjukkan reaksi secara rasional dalam menegaskan model
mental kita, tapi model ini tidak selalu teradaptasikan dengan baik

2. Herbert Simon, Models of Man, 1957.

43
menjadi syarat-syarat dunia nyata. Konsep tentang rasionalitas
terikat telah diakui secara luas, meskipun tidak secara universal, baik
sebagai sebuah cara memerankan keputusan dan pilihan manusia
yang akurat maupun sebagai sebuah penyesuaian yang bijaksana
terhadap batasan-batasan yang inheren dalam bagaimana fungsi
pikiran manusia itu bekerja.3
Banyak penelitian psikologis tentang persepsi, memori, rentang
perhatian, dan kapasitas penalaran yang mendokumentasikan
batasan-batasan dalam “mesin mental” kita yang diidentifikasi oleh
Simon. Banyak ilmuwan yang telah mengaplikasikan pandangan-
pandangan psikologis ini ke dalam perilaku politik internasional.4
Perspektif psikologis yang sama mendasari beberapa tulisan mengenai
kegagalan intelijen dan keterkejutan strategis.5

3. James G. March., “Bounded Rationality, Ambiguity, and the Engineering of


Choice,” dalam David E. Bell, Howard Raiffa, and Amos Tversky, eds., Decision
Making: Descriptive, Normative, and Prescriptive Interactions (Cambridge University
Press, 1988).
4. Di antara ilmuwan awal yang menulis tentang subjek ini adalah Joseph De Rivera,
The Psychological Dimension of Foreign Policy (Columbus, OH: Merrill, 1968);
Alexander George and Richard Smoke, Deterrence in American Foreign Policy
(New York: Columbia University Press, 1974); and, Robert Jervis, Perception and
Misperception in International Politics (Princeton, NJ: Princeton University Press,
1976).
5. Christopher Brady, “Intelligence Failures: Plus Ca Change. . .” Intelligence and
National Security, Vol. 8, No. 4 (October 1993); N. Cigar, “Iraq’s Strategic
Mindset and the Gulf War: Blueprint for Defeat,” The Journal of Strategic Studies,
Vol. 15, No. 1 (March 1992); J. J. Wirtz, The Tet Offensive: Intelligence Failure in
War (New York, 1991); Ephraim Kam, Surprise Attack (Harvard University Press,
1988); Richard Betts, Surprise Attack: Lessons for Defense Planning (Brookings,
1982); Abraham Ben-Zvi, “The Study of Surprise Attacks,” British Journal of
International Studies, Vol. 5 (1979). Iran: Evaluation of Intelligence Performance
Prior to November 1978 (Staff Report, Subcommittee on Evaluation, Permanent
Select Committee on Intelligence, US House of Representatives, January 1979);
Richard Betts, “Analysis, War and Decision: Why Intelligence Failures Are
Inevitable,” World Politics, Vol. 31, No. 1 (October 1978); Richard W. Shryock,
“The Intelligence Community Post-Mortem Program, 1973-1975,” Studies
in Intelligence, Vol. 21, No. 1 (Fall 1977); Avi Schlaim, “Failures in National
Intelligence Estimates: The Case of the Yom Kippur War,” World Politics, Vol. 28
(April 1976); Michael Handel, Perception, Deception, and Surprise: The Case of the

44
Buku ini berbeda dari karya-karya tersebut dalam dua respek.
Buku ini menganalisis setiap masalah dari perspektif analis inteli-
jen daripada dalam perspektif pembuat kebijakan. Dan buku ini
juga mendokumenkan pengaruh proses-proses mental yang lebih
besar melalui berbagai eksperimen dalam psikologi kognitif daripa-
da melalui contoh-contoh dari sejarah diplomatis dan militer.
Fokus sentral buku ini adalah untuk menjelaskan peran peneliti
dalam menentukan apa yang telah diteliti dan bagaimana ia diterje-
mahkan. Orang mengonstruksi versi “realitas” mereka sendiri atas
dasar informasi yang disediakan oleh indra, tapi input sensoris ini
dimediasi oleh proses mental yang kompleks yang menentukan
mana informasi yang dihadirkan, bagaimana informasi tersebut
disusun, dan makna apa yang disematkan kepadanya. Apa yang
orang rasakan, bagaimana mereka siap merasakannya, dan bagaima-
na mereka memproses informasi ini setelah menerimanya itu semua
sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, pendidikan, nilai-nilai
kultural, syarat-syarat peran, dan norma-norma organisasional, dan
juga oleh beberapa hal yang spesifik dari informasi yang diterima.
Proses ini mungkin divisualisasikan seperti merasakan dunia
melalui sebuah lensa atau layar yang menyalurkan dan memfokus-
kan serta mungkin mendistorsi berbagai citra yang terlihat. Untuk
mencapai citra China yang sejelas mungkin, misalnya, para analis
membutuhkan lebih banyak informasi tentang China. Mereka juga
harus memahami lensa-lensa mereka sendiri melalui informasi-
informasi yang telah mereka lihat ini. Lensa-lensa ini dikenal dengan
banyak istilah —model-model mental, pola pikir, bias-bias, atau
asumsi-asumsi analitis.
Dalam buku ini, istilah model mental dan pola pikir (mindset)
digunakan kurang lebih saling berkaitan, meskipun model mental
kemungkinan lebih berkembang dan terartikulasikan daripada pola

Yom Kippur War (Jerusalem: Leonard Davis Institute of International Relations,


Jerusalem Paper No. 19, 1976); Klaus Knorr, “Failures in National Intelligence
Estimates: The Case of the Cuban Missiles,” World Politics, Vol. 16 (1964).

45
pikir. Sebuah asumsi analitis menjadi salah satu bagian dari model
mental atau pola pikir. Bias-bias yang didiskusikan dalam buku
ini berasal dari bagaimana pikiran itu bekerja dan independen dari
beberapa model mental atau pola pikir yang substantif.
Sebelum memperoleh sebuah lisensi praktik, para psikoanalis
harus menjalani psikoanalisis terhadap diri mereka sendiri agar bisa
menjadi lebih sadar tentang bagaimana kepribadian mereka sendiri
bisa berinteraksi saat observasi dan kondisi-kondisi observasi mereka
terhadap yang lain. Praktik psikoanalisis tidak selalu berhasil yang
prosedurnya harus selalu disamakan oleh intelijen dan komunitas
penentu kebijakan luar negeri. Tapi, analogi menyoroti sebuah poin
yang menarik: Analis intelijen harus memahami diri mereka sendiri
sebelum mereka bisa memahami orang lain. Pelatihan yang dilaku-
kan bertujuan untuk (a) meningkatkan kesadaran diri mengenai
masalah-masalah umum tentang bagaimana orang merasa dan
membuat berbagai keputusan analitik mengenai peristiwa-peristiwa
asing, dan (b) memberikan panduan dan praktik dalam mengatasi
segala permasalahan ini.
Tidak cukup pelatihan yang difokuskan dalam tujuan ini —
yaitu proses pemikiran terhadap diri analis sendiri. Pelatihan analis
intelijen berarti instruksi dalam prosedur-prosedur organisasio-
nal, teknik-teknik metodologis, atau topik-topik substantif. Waktu
pelatihan yang lebih banyak harus dilakukan untuk mendapatkan aksi
mental dalam proses berpikir atau menganalisis. Agaknya, diasumsi-
kan secara tidak benar bahwa para analis mengetahui bagaimana cara
menganalisis. Buku ini dimaksudkan untuk mendukung pelatihan
yang menguji proses pemikiran dan penalaran yang tercakup dalam
analisis intelijen.
Seperti yang akan dibahas dalam bab selanjutnya, berbagai pola
pikir dan model mental itu tidak bisa dihindari. Pada esensinya,
keduanya merupakan sebuah penyulingan dari semua yang telah kita
pikir kita ketahui tentang suatu subjek. Masalahnya adalah bagaima-
na menjamin bahwa pikiran tetap terbuka pada berbagai interpretasi
46
alternatif dalam suatu perubahan dunia yang begitu cepat.
Kerugian dari sebuah “pola pikir (mind-set)” adalah bahwa ia
bisa mewarnai dan mengontrol persepsi kita dalam pengertian bahwa
seorang spesialis yang berpengalaman mungkin ada di antara yang
terakhir dalam melihat apa yang benar-benar terjadi ketika peristi-
wa-peristiwa mengirimkan sebuah umpan balik yang baru dan tidak
diharapkan. Ketika menghadapi pergantian paradigma yang utama,
analis yang tahu banyak tentang suatu subjek sebenarnya mempunyai
banyak hal yang belum ia pelajari. Ini tampak terjadi sebelum reunifi-
kasi Jerman, misalnya. Sebagian spesialis Jerman harus didesak oleh
para supervisor mereka yang lebih generalis untuk menerima signifi-
kansi perubahan dramatis dalam maju menuju reunifikasi Jerman
Barat dan Jerman Timur.
Keuntungan “pola pikir” adalah bahwa ia membantu para analis
mendapatkan produksi tepat pada waktunya dan menjaga segala hal
tetap efektif di antara peristiwa-peristiwa menentukan tersebut yang
menjadi judul bab dalam buku-buku sejarah.6
Pada generasi yang lalu, sedikit analis intelijen yang sadar diri
dan introspektif terhadap proses di mana mereka melakukan analisis
di dalamnya. Kebijaksanaan yang diterima adalah teori pengetahuan
“common sense” —bahwa untuk merasakan berbagai peristiwa secara
akurat hanya memerlukan mata terbuka, memandang fakta-fakta,
dan membersihkan diri dari semua prakonsepsi dan prasangka agar
bisa membuat sebuah keputusan yang objektif.
Saat ini, ada sebuah peningkatan pemahaman yang besar bahwa
para analis intelijen tidak lagi mendekati tugas-tugas mereka dengan
pikiran-pikiran yang kosong. Mereka memulainya dengan seperang-
kat asumsi tentang bagaimana segala peristiwa berlangsung secara
normal dalam area yang menjadi tanggung jawab mereka. Meskipun
pandangan yang telah berubah ini telah menjadi kebijaksanaan

6. Redaksi ini berasal dari diskusi dengan veteran analis CIA, pengarang, dan guru,
Jack Davis.

47
yang konvensional, namun Komunitas Intelijen hanya memulainya
dengan menggores-gores permukaan dari berbagai implikasinya.
Jika pemahaman para analis terhadap berbagai peristiwa sangat
dipengaruhi oleh pola pikir atau model mental melalui apa yang
mereka rasakan dari peristiwa-peristiwa tersebut, haruskah tidak
ada penelitian lanjutan untuk mengeksplorasi dan mendokumen-
kan dampak dari model-model mental yang berbeda?7
Reaksi Masyarakat Intelijen terhadap banyaknya masalah ada-
lah mengoleksi lebih banyak informasi, meskipun para analis dalam
banyak kasus sudah mempunyai lebih banyak informasi daripa-
da yang bisa mereka cerna. Apa yang para analis butuhkan adalah
benar-benar informasi yang lebih berguna —HUMINT yang paling
dapat diandalkan dari orang yang banyak mengetahui— untuk
membantu mereka membuat keputusan-keputusan yang bagus.
Atau mereka membutuhkan sebuah model mental yang lebih akurat
dan alat analitis yang lebih baik untuk membantu mereka menyor-
tir, memahami, dan mendapatkan banyak informasi yang ada yang
bersifat ambigu dan konfliktual.
Penelitian psikologis juga menawarkan kepada para analis
intelijen pandangan-pandangan tambahan yang melebihi ruang ling-
kup buku ini. Masalah-masalah tidak dibatasi dengan bagaimana

7. Karya Graham Allison tentang Krisis Misil Kuba (Essence of Decision, Little, Brown
& Co., 1971) adalah sebuah contoh dari apa yang saya punya dalam pikiran.
Allison mengidentifikasi tiga asumsi alternatif tentang bagaimana pemerintahan
bekerja —model aktor rasional, model proses organisasional, dan model politik
birokratis. Dia kemudian menunjukkan bagaimana berbagai asumsi implisit
seorang analis tentang model yang paling patut dalam menganalisis perilaku
pemerintahan asing yang bisa menyebabkannya fokus pada bukti berbeda dan
berakhir pada kesimpulan yang berbeda. Contoh lainnya adalah analisis saya
sendiri terhadap lima jalan alternatif dalam membuat keputusan-keputusan
kontra intelijen dalam kasus kontroversial tentang pembelot KGB Yuriy Nosenko:
Richards J. Heuer, Jr., “Nosenko: Five Paths to Judgment,” Studies in Intelligen-
ce, Vol. 31, No. 3 (Fall 1987), yang aslinya diklasifikasikan rahasia tapi kemudian
dianggap tidak rahasia lagi dan kemudian dipublikasikan dalam H. Bradford
Westerfield, ed., Inside CIA’s Private World: Declassified Articles from the Agency’s
Internal Journal 1955-1992 (New Haven: Yale University Press, 1995).

48
para analis merasakan dan memproses informasi. Para analis inteli-
jen sering kali bekerja dalam kelompok-kelompok kecil dan selalu
dalam konteks organisasi yang luas dan birokratis. Masalah-masalah
yang inheren dalam proses itu terjadi pada tiga tingkatan —indivi-
dual, kelompok kecil, dan organisasi. Buku ini memfokuskan pada
masalah-masalah inheren dalam proses mental para analis, lantaran
kemungkinan hal ini adalah yang paling merugikan. Para analis bisa
meneliti dan mendapatkan sebuah rasa untuk masalah-masalah ini
dalam proses kelompok kecil dan organisasional, tapi itu menjadi
sangat sulit, dan yang terbaik, menjadi sadar diri terhadap pekerja-
an yang melibatkan pikiran kita sendiri.

49
Bab 2
Persepsi: Mengapa Kita Tidak Bisa
Melihat Apa yang Terlihat Ada di Sana?

Proses persepsi menghubungkan orang dengan lingkungan mereka dan


kritis terhadap pemahaman akurat mengenai dunia tentang kita. Anali-
sis intelijen yang akurat jelas membutuhkan persepsi yang akurat. Bahkan
penelitian terhadap persepsi manusia mendemonstrasikan bahwa proses itu
dikelilingi dengan banyak kesulitan. Lagi pula, lingkungan di bawah ana-
lisis intelijen tepatnya dilakukan di bawah lingkungan yang di dalamnya
persepsi akurat cenderung menjadi yang paling sulit. Bab ini mendiskusi-
kan persepsi secara umum, kemudian mengaplikasikan informasi ini dengan
menjelaskan beberapa kesulitan dalam analisis intelijen.1

O rang cenderung berpikir tentang persepsi sebagai sebuah proses


yang pasif. Kita melihat, mendengar, membau, mengecap, dan
merasakan stimuli yang menimpa indra-indra kita. Kita berpikir
bahwa jika kita semua objektif, kita mencatat apa yang sebenar-
nya ada di sana. Bahkan persepsi bila didemonstrasikan merupakan
suatu proses yang aktif dibandingkan pasif; ia mengonstruksi daripa-
da mencatat “realitas”. Persepsi mengimplikasikan pemahaman dan
juga kesadaran. Ia adalah sebuah proses mengenai kesimpulan yang
di dalamnya orang bisa membangun versi realitas diri mereka sendiri
atas dasar informasi yang tersedia melalui lima indra mereka.

1. Versi paling awal dari artikel ini dipublikasikan sebagai bagian dari “Cognitive
Factors in Deception and Counterdeception,” dalam Donald C. Daniel and
Katherine L. Herbig, eds., Strategic Military Deception (Pergamon Press, 1982).
Seperti yang sudah dicatat, apa yang orang pada umumnya
dan para analis pada khususnya rasakan, dan bagaimana mereka siap
merasakannya, itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
mereka, pendidikan, nilai-nilai kultural, dan syarat-syarat peran, dan
juga oleh stimuli yang terekam oleh organ-organ reseptor mereka.

Gambar 1

Banyak eksperimen yang telah dilakukan untuk menunjukkan


tingkatan yang luar biasa tentang informasi yang didapatkan oleh
seorang peneliti yang bergantung pada asumsi-asumsi dan prakon-
sepsi-prakonsepsi peneliti sendiri. Misalnya, ketika Anda melihat
Gambar 1 di atas, apa yang Anda lihat? Sekarang lihat footnote untuk
suatu gambaran tentang apa yang sebenarnya ada di sana.2 Apakah
Anda merasa Gambar 1 adalah gambar yang benar? Jika demikian,
Anda mempunyai kekuatan observasi yang luar biasa, beruntung,
atau mampu melihat gambar sebelumnya. Eksperimen sederhana
ini mendemonstrasikan salah satu prinsip yang paling fundamen-
tal mengenai persepsi:

Kita cenderung merasakan apa yang kita harap rasakan


Akibat wajar dari prinsip ini adalah mengambil lebih banyak
informasi, dan informasi yang lebih banyak tidak ambigu, untuk
mengakui fenomena tidak diharapkan daripada yang diharapkan.

2. Artikel yang ditulis dua kali ini masing-masing ditulis dalam tiga frasa. Artikel
ini umumnya dipandang rendahan karena persepsi dipengaruhi oleh berbagai
pengharapan kita tentang bagaimana frasa-frasa familiar ini ditulis secara
normal.

52
Satu eksperimen klasik dalam mendemonstrasikan pengaruh
pengharapan pada persepsi adalah dengan menggunakan kartu
bermain, yakni dengan menyembunyikan kartu sekop warna merah
dan kartu hati hitam. Gambar-gambar kartu ditampakkan secara
singkat pada suatu layar dan, tidak ada gunanya dikatakan, subjek-
subjek tes mengidentifikasi kartu-kartu normal secara lebih cepat
dan akurat daripada kartu yang tidak normal. Setelah subjek-subjek
tes menjadi sadar akan eksistensi kartu sekop merah dan hati hitam,
penampilan mereka dengan kartu yang disembunyikan tersebut
membaik, tapi masih tidak mendekati kecepatan atau akurasi dengan
kartu-kartu normal yang bisa diidentifikasi.3
Eksperimen ini menunjukkan bahwa pola-pola pengharapan
menjadi begitu terkait secara mendalam sehingga pola-pola pengha-
rapan tersebut terus saja memengaruhi persepsi yang bahkan ketika
orang disinyalkan dengan dan mencoba untuk memerhatikan
eksistensi data yang tidak sesuai denan prakonsepsi-prakonsep-
si mereka. Mencoba menjadi objektif tidaklah menjamin persepsi
yang akurat.
Posisi subjek tes mengidentifikasi kartu bermain tersebut
analog dengan yang analis intelijen atau pemimpin pemerintahan
coba pertimbangkan mengenai alur kertas yang melintasi mejanya.
Apa yang sebenarnya dirasakan dalam alur kertas tersebut, dan juga
bagaimana ia diinterpretasikan, sebagian tergantung setidaknya
pada pola pengharapan analis. Para analis tidak hanya mempunyai
berbagai pengharapan mengenai warna kartu hati dan sekop. Mereka
mempunyai seperangkat asumsi dan pengharapan tentang motiva-
si orang dan proses pemerintahan di negara-negara asing. Berbagai
peristiwa yang konsisten dengan berbagai pengharapan ini dirasakan
dan diproses dengan mudah, ketika peristiwa-peristiwa yang berkon-
tradiksi sebelumnya cenderung diabaikan atau terdistorsi dalam

3. Jerome S. Bruner and Leo Postman, “On the Perception of Incongruity: A


Paradigm,” dalam Jerome S. Bruner and David Kraut, eds., Perception and
Personality: A Symposium (New York: Greenwood Press, 1968).

53
persepsi. Tentunya, distorsi ini merupakan sebuah proses yang
tanpa sadar atau pra-sadar, seperti yang terilustrasi dengan bagaima-
na Anda yang agak mengabaikan kata-kata tambahan dalam segitiga
Gambar 1.
Kecenderungan orang untuk merasakan apa yang mereka
harap bisa rasakan itu lebih penting dibandingkan kecenderungan
merasakan apa yang mereka ingin rasakan. Kenyataannya, mungkin
tidak ada kecenderungan nyata menuju pemikiran yang diingin-
kan. Bukti yang biasanya disebutkan mendukung klaim bahwa
orang cenderung merasakan apa yang mereka ingin rasakan yang
bisa secara umum sama-sama diterangkan dengan baik oleh tesis
pengharapan.4
Berbagai pengharapan mempunyai banyak sumber yang
bermacam-macam, termasuk pengalaman masa lalu, pelatihan
profesional, dan norma-norma kultural dan organisasional. Semua
pengaruh ini memengaruhi para analis untuk mencurahkan perhati-
an khusus pada jenis-jenis informasi tertentu dan untuk mengakui
serta menerjemahkan informasi ini dalam cara-cara tertentu. Persep-
si juga dipengaruhi oleh konteks di mana itu terjadi. Lingkungan
yang berbeda membangkitkan seperangkat pengharapan yang
berbeda. Orang yang lebih membiasakan diri mendengar langkah
kaki di belakang mereka ketika berjalan di suatu lembah di malam
hari dibandingkan di sepanjang jalanan kota di siang hari, dan
makna yang diatributkan pada nada suara kaki itu akan bervaria-
si di bawah lingkungan yang berbeda ini. Seorang analis intelijen
militer mungkin berusaha merasakan indikator-indikator konflik
yang potensial.
Pola-pola pengharapan mengatakan pada para analis, secara
tanpa sadar, apa yang dicari, apa yang penting, dan bagaimana
menerjemahkan apa yang terlihat. Pola-pola ini membentuk sebuah

4. Dalam membahas berbagai bukti ambigu mengenai dampak dari hasrat dan
ketakutan dalam keputusan, lihat Robert Jervis, Perception and Misperception in
International Politics (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1976), Bab 10.

54
pola pikir yang memengaruhi para analis untuk berpikir dalam cara-
cara tertentu. Sebuah pola pikir adalah sama dengan sebuah layar
atau lensa yang dengannya orang bisa merasakan dunia.
Ada sebuah kecenderungan untuk berpikir tentang sebuah pola
pikir sebagai sesuatu yang buruk, sehingga harus dihindari. Menurut
garis argumen ini, orang seharusnya mempunyai sebuah pikiran
terbuka dan hanya dipengaruhi oleh fakta-fakta daripada dengan
gagasan-gagasan yang diidealkan! Itulah sebuah keidealan yang tidak
bisa dijangkau. Tidak ada kebenaran dalam bentuk “fakta-fakta
kasus”. Yang ada hanyalah sebuah subset (perangkat yang dikombi-
nasikan dengan perangkat lain) yang sangat selektif dari keseluruhan
massa data yang telah tergantung pada sesuatu yang diambil sebagai
fakta-fakta dan keputusan-keputusan yang relevan dengan pertanya-
an dalam persoalan tersebut.
Sebenarnya, pola pikir tidak baik dan tidak pula buruk; hanya
saja pola pikir itu tidak bisa dihindari. Orang tidak mempunyai cara
yang bisa dirasakan dalam mengatasi volume stimuli yang menimpa
indra-indra mereka, atau dengan volume dan kompleksitas data
yang harus mereka analisis, tanpa beberapa jenis prakonsepsi yang
menyederhanakan tentang apa yang diharapkan, apa yang penting,
dan apa yang dihubungkan dengan apa. “Ada sebutir kebenaran
dalam peribahasa yang sebaliknya merusak bahwa sebuah pikiran
yang terbuak itu adalah pikiran yang kosong.”5 Para analis tidak
mencapai analisis objektif dengan menghindari segala prakonsep-
si; itu akan menjadi ketidaktahuan atau khayalan diri. Objektivitas
dicapai dengan membuat berbagai asumsi dan penalaran dasar
seeksplisit mungkin sehingga mereka bisa ditantang oleh yang lain
dan para analis bisa menguji validitas mereka.
Salah satu karakteristik pola pikir yang paling penting adalah:

5. Richard Betts, “Analysis, War and Decision: Why Intelligence Failures are
Inevitable”, World Politics, Vol. XXXI (October 1978), hlm. 84.

55
Pola pikir cenderung cepat membentuk namun
menentang perubahan.
Gambar 2 di bawah mengilustrasikan prinsip di atas dengan
menunjukkan bagian dari serangkaian lebih panjang dari gambaran
yang termodifikasi secara progresif yang mengubah sedikit demi
sedikit dari seorang laki-laki menjadi seorang wanita.6 Gambar
tangan kanan dalam baris atas, ketika dilihat sendiri, mempuny-
ai kesempatan-kesempatan yang sama yang dirasakan sebagai
seorang laki-laki atau seorang perempuan. Ketika subjek-subjek tes
menunjukkan seluruh rangkaian gambaran satu demi satu, persepsi
mereka terhadap gambar berlanjut ini dibiaskan menurut akhir dari
rangkaian yang dimulai dari awal. Subjek-subjek tes yang dimulai
dengan melihat sebuah gambaran yang jelas-jelas seorang laki-laki
dibiaskan selanjutnya untuk melihat seorang laki-laki lama setelah
seorang “peneliti objektif” (misalnya, seorang peneliti yang hanya
melihat sebuah gambaran) mengakui bahwa orang itu sekarang
adalah seorang wanita. Dengan cara yang serupa, subjek-subjek
tes yang dimulai dari gambar wanita di akhir rangkaian dibiaskan
selanjutnya untuk melihat seorang wanita. Ketika seorang peneli-
ti membentuk sebuah citra —yaitu, ketika dia mengembangkan
sebuah pola pikir atau pengharapan berkenaan dengan fenomena
yang diteliti— ini mengondisikan berbagai persepsi masa depan
mengenai fenomena tersebut.

6. Gambar dirancang oleh Gerald Fisher pada tahun 1967.

56
(Gambar 2: Kesan yang Menuntut Perubahan)

Inilah basis bagi prinsip umum persepsi yang lain:

Informasi baru diasimilasi menjadi citra-citra yang ada


Prinsip ini menjelaskan mengapa perubahan perlahan-lahan
dan evolusioner sering kali berlangsung tanpa perhatian. Prinsip
tersebut juga menjelaskan fenomena bahwa seorang analis inteli-
jen yang mengerjakan tugasnya mengenai suatu topik atau negara
untuk kali pertama mungkin menghasilkan pandangan-pandangan
akurat yang telah dipandang remeh oleh para analis berpengala-
man yang telah bekerja pada masalah yang sama selama 10 tahun.
Perspektif yang segar kadang kala berguna; pengalaman masa lalu
bisa menghalangi dan juga bisa membantu analisis. Kecenderungan
untuk mengasimilasi data baru menjadi citra-citra yang sudah ada
sebelumnya (pra-eksis) ini adalah lebih besar yang “semakin ambigu
suatu informasi tersebut, akan semakin percaya diri sang aktor
melakukan validitas citranya, dan semakin besar pula komitmennya
terhadap pandangan yang terbentuk.7

7. Jervis, Perception and Misperception, hlm. 195.

57
(Gambar 3: Sulit melihat informasi yang sama dari perspektif yang
berbeda)

Gambar pada Gambar 3 memberikan pembaca sebuah kesempat-


an untuk menguji dirinya sendiri dalam hal persistensi terhadap
citra-citra yang terbentuk.8 Mari kita lihat Gambar 3. Apa yang Anda
lihat —seorang wanita tua ataukah seorang wanita muda? Sekarang
lihat lagi jika Anda bisa menyusun kembali data tersebut secara visual
dan mental untuk membentuk sebuah citra yang berbeda —bahwa
citra itu seorang perempuan muda jika persepsi asli Anda adalah
seorang wanita tua, atau wanita tua jika Anda pertama kali merasakan
wanita muda. Jika perlu, lihatlah catatan kaki untuk mendapatkan
petunjuk dalam membantu Anda mengidentifikasi citra-citra yang
lain.9 Selain itu, latihan ini mengilustrasikan prinsip bahwa pola pikir
itu cepat dalam membentuk tapi menentang perubahan.

8. Gambar ini awalnya dipublikasikan dalam majalah Puck pada tahun 1915 sebagai
sebuah kartun berjudul “My Wife and My Mother-in-Law.”
9. Hidung, mulut, dan mata wanita tua berturut-turut merupakan dagu, kalung,
dan telinga wanita muda. Wanita tua dilihat dalam profil yang tampak dari sisi
kiri. Sedangkan wanita muda juga terlihat dari sisi kiri, tapi kita melihatnya
sebagian besar dari belakang sehingga banyak karakteristik wajahnya tidak
kelihatan. Bulu matanya, hidung, dan lengkungan pipinya mungkin terlihat
berada di atas hidung wanita tua.

58
Ketika Anda melihat gambar 3 dari kedua perspektif, cobalah
menggantinya bolak-balik dari satu perspektif ke perspektif yang
lain. Apakah Anda memerhatikan beberapa kesulitan utama dalam
membuat perubahan ini? Salah satu karakter perbuatan mental
yang paling sulit adalah mengambil badan data yang sudah famili-
ar buat kita dan menyusunnya kembali secara visual dan mental
untuk merasakannya dari sebuah perspektif yang berbeda. Bahkan
ini adalah apa yang para analis intelijen secara konstan persyaratkan
untuk dilakukan. Agar bisa memahami berbagai interaksi internasio-
nal, para analis harus memahami situasi-situasi seperti yang tampak
pada masing-masing kekuatan yang berlawanan, dan secara konstan
menggantinya bolak-balik dari satu perspektif ke perspektif yang lain
ketika mereka mencoba untuk memahami bagaimana masing-masing
sisi menerjemahkan serangkaian interaksi yang terus-menerus.
Cobalah merasakan sebuah interpretasi berbagai peristiwa interna-
sional lawan, dan juga berbagai interpretasi Amerika Serikat pada
peristiwa yang sama, yang diperbandingkan untuk bisa melihat baik
sisi wanita muda dan wanita tua pada gambar 3. Ketika peristiwa-
peristiwa telah dirasakan dalam satu cara, ada sebuah penentangan
alamiah terhadap perspektif yang lain.
Sebuah poin yang berkaitan penting bagi pengaruh kondisi-
kondisi persepsi yang di bawah standar (substandard). Prinsip
dasarnya adalah:

Sebuah penyingkapan awal yang mengaburkan atau


stimuli ambigu bercampur dengan persepsi akurat
bahkan setelah informasi yang semakin lama semakin
lebih baik telah tersedia
Pengaruh ini telah didemonstrasikan secara eksperimental
dengan cara melakukan proyeksi ke atas sebuah gambaran layar yang
menggambarkan subjek-subjek harian seperti anjing yang berdiri di
atas rumput, atau pipa pembakaran, dan pandangan udara dari suatu

59
jalan raya persimpangan semanggi.10 Proyeksi awal dikaburkan dalam
tingkatan yang bervariasi, dan gambaran tersebut kemudian dibawa
ke dalam fokus secara perlahan untuk menentukan poin tes subjek
apa yang bisa mengidentifikasinya secara benar.
Eksperimen ini menunjukkan dua hal. Pertama, mereka yang
mulai bisa memandang gambar ketika kebanyakan dari mereka
keluar dari fokus akan mempunyai kesulitan lebih besar dalam
mengidentifikasinya ketika mereka menjadi lebih jelas dibanding-
kan mereka yang mulai memandangnya pada suatu tahapan yang
kurang kabur. Dengan kata lain, semakin kabur pada saat pertama
melihatnya, akan semakin jelas gambaran yang harus terjadi sebelum
orang bisa mengakuinya. Kedua, semakin orang lebih menampak-
kan sebuah gambaran yang kabur, akan semakin jelas gambaran yang
harus terjadi sebelum mereka bisa mengakuinya.
Apa yang terjadi dalam eksperimen ini adalah apa yang kiranya
terjadi dalam kehidupan nyata; meskipun stimulinya bersifat ambigu,
orang tetap membentuk beberapa jenis hipotesis tentatif tentang
apa yang mereka lihat. Semakin lama mereka menampakkan citra
yang terkaburkan ini, semakin besar rasa percaya diri mereka dalam
mengembangkan kesan awal yang kemungkinan salah ini, sehingga
semakin besar pula pengaruh kesan awal ini pada persepsi-persepsi
selanjutnya. Untuk suatu saat, ketika gambaran menjadi lebih jelas,
tidak ada kontradiksi yang jelas; data baru diasimilasikan ke dalam
citra sebelumnya dan interpretasi awal dipertahankan sampai kontra-
diksinya menjadi begitu jelas yang itu bisa memperkuat dirinya
sendiri atas kesadaran kita.
Kesan awal tapi salah cenderung bertahan lama, karena jumlah
informasi yang diperlukan untuk membuat sebuah hipotesis menjadi
tidak berlaku lagi dan sangat lebih besar dibandingkan jumlah
informasi yang dibutuhkan untuk membuat sebuah interpreta-

10. Jerome S. Bruner and Mary C. Potter, “Interference in Visual Recognition,”


Science, Vol. 144 (1964), hlm. 424-25.

60
si awal. Masalahnya bukanlah pada adanya kesulitan yang inheren
dalam pengambilan persepsi atau gagasan-gagasan baru, tapi
persepsi-persepsi yang terbentuk juga begitu sulit untuk berubah.
Orang membentuk kesan-kesan atas dasar sangat sedikit informa-
si, tapi ketika terbentuk, mereka tidak menolak atau mengubahnya
kecuali kalau mereka mendapatkan bukti yang lebih solid. Para
analis mungkin berusaha membatasi pengaruh yang merugikan dari
kecenderungan ini dengan menunda keputusan selama mungkin
ketika informasi baru diterima.

Berbagai Implikasi Bagi Analisis Intelijen


Memahami hakikat persepsi mempunyai implikasi signifi-
kan bagi pemahaman akan hakikat dan batasan analisis intelijen.
Lingkungan di bawah persepsi akurat yang merupakan lingkung-
an yang paling sulit sebenarnya adalah lingkungan di mana analisis
intelijen pada umumnya lakukan —menghadapi situasi-situasi yang
sangat ambigu atas dasar informasi yang diproses secara tambal
sulam di bawah tekanan keputusan awal. Ini adalah sebuah resep
bagi persepsi yang tidak akurat.
Intelijen berusaha menjelaskan yang tidak diketahui. Dengan
merujuk pada definisinya, analisis intelijen selalu berhadapan dengan
situasi yang sangat ambigu. Seperti yang telah dicatat sebelumnya,
semakin besar ambiguitas stimuli, akan semakin besar pula pengaruh
pengharapan-pengharapan dan citra-citra yang sudah ada sebelumnya
bagi persepsi terhadap stimuli tersebut. Jadi, meskipun perjuangan
maksimal untuk mendapatkan objektivitas, namun prakonsepsi para
analis intelijen sendiri kemungkinan menggunakan sebuah pengaruh
yang lebih besar bagi produk analitis daripada dalam lapangan-lapang-
an lain di mana seorang analis bekerja dengan informasi yang kurang
ambigu dan kurang penuh pertentangan.
Selain itu, analis intelijen ada di antara orang pertama yang
melihat masalah-masalah baru pada tahapan awal ketika bukti yang
ada sebenarnya sangatlah tidak jelas. Para analis kemudian mengikuti
61
sebuah masalah sebagai bukti tambahan yang diterima dan gambar-
an yang secara perlahan menjadi jelas —seperti yang terjadi dengan
subjek-subjek tes dalam eksperimen yang mendemonstrasikan bahwa
penyingkapan awal terhadap stimuli yang kabur bercampur dengan
persepsi akurat yang bahkan setelah informasi yang semakin lama
semakin baik sudah tersedia. Jika hasil eksperimen ini bisa digenerali-
sasikan agar bisa diaplikasikan oleh analis intelijen, maka eksperimen
tersebut menunjukkan bahwa seorang analis yang mulai meneliti
sebuah situasi masalah potensial pada suatu tahapan awal dan tidak
jelas akan berada pada posisi yang tidak menguntungkan ketika
diperbandingkan dengan yang lain, seperti pembuat kebijakan, yang
memiliki penyingkapan pertama yang mungkin datang pada sebuah
tahapan lanjutan ketika informasi yang semakin lama semakin lebih
baik itu tersedia.
Tanda terima informasi dalam pertambahan kecil terhadap
waktu juga memfasilitasi asimilasi informasi ini ke dalam pandangan
analis yang ada. Tidak satu item informasi pun yang bisa mencukupi
dalam mendorong analis untuk mengubah sebuah pandangan
sebelumnya. Pesan kumulatif yang inheren dalam banyak potong-
an informasi mungkin menjadi signifikan tapi dilemahkan ketika
informasi ini tidak diuji sebagai suatu keseluruhan. Ulasan Komuni-
tas Intelijen tentang penampilannya sebelum Perang Arab Israel
tahun 1973 mencatat:
Masalah analisis tambahan —khususnya ketika ia teraplika-
si pada proses intelijen mutakhir— juga bekerja dalam suatu
periode permusuhan sebelumnya atas dasar pengambilan
hari, yang segera memperbandingkannya dengan bahan yang
diterima pada hari sebelumnya. Mereka kemudian dihasil-
kan dalam item-item ‘mode garis majelis’ yang mungkin
merefleksikan intuisi perseptif tapi [tidak] bertambah dari
suatu pertimbangan sistematis terhadap suatu badan teraku-
mulasi dari bukti yang terintegrasi.11

11. The Performance of the Intelligence Community Before the Arab-Israeli War of
October 1973: A Preliminary Post-Mortem Report, December 1973. Petikan

62
Dan akhirnya, analis intelijen beroperasi dalam suatu lingkung-
an yang mendesakkan tekanan kuat untuk apa yang para psikolog
sebut dengan penutupan prematur (premature closure). Konsumen
yang menuntut analisis interpretatif yang paling besar dalam dua
atau tiga hari setelah sebuah peristiwa terjadi. Sistem mengharuskan
analis intelijen menghasilkan suatu diagnosis yang hampir instan di
hadapan informasi yang cukup keras, dan latar belakang informasi
yang lebih luas mungkin dibutuhkan untuk mendapatkan perspek-
tif, yang tersedia untuk membuat mungkin sebuah keputusan yang
terbentuk dengan baik. Diagnosis ini hanya bisa didasarkan pada
berbagai prakonsepsi analis tentang bagaimana dan mengapa segala
peristiwa itu berlangsung secara normal dalam suatu masyarakat
yang sudah ditentukan.
Ketika waktu berlalu dan banyak informasi sudah diterima,
pandangan yang segar terhadap semua bukti mungkin menunjuk-
kan sebuah penjelasan yang berbeda. Bahkan, berbagai eksperimen
persepsi mengindikasikan bahwa sebuah keputusan awal pengaruh-
nya bisa merugikan pembentukan segala persepsi di masa depan.
Ketika seorang peneliti berpikir dia mengetahui apa yang tengah
terjadi, persepsi ini cenderung menentang perubahan. Data baru
yang diterima secara tambal sulam bisa disesuaikan dengan mudah
ke dalam suatu citra seorang analis sebelumnya. Bias perseptual ini
diperkuat oleh tekanan organisasional yang menyukai interpreta-
si yang konsisten; ketika analis melakukan penulisan, analis dan
organisasi pun mempunyai sebuah kepentingan khusus dalam
mempertahankan penilaian asli.
Para analis intelijen yang melakukan apa yang mereka lakukan
merupakan testimoni bagi keputusan secara umum, pelatihan, dan
dedikasi dalam menjalankan suatu tugas sulit yang bisa saja mengece-
wakan.

satu paragraf dari post-mortem ini, seperti yang dikutip dalam teks di atas, telah
disetujui untuk dipublikasikan, seperti yang tertera pada judul dari post-mortem,
meskipun dokumen tersebutu secara keseluruhan tetap terklasifikasikan.

63
Masalah-masalah yang dikerangkakan di sini mempunyai
berbagai implikasi bagi manajemen dan juga perilaku analisis.
Berbagai kesulitan yang dimaksud itu inheren dalam proses informa-
si kompleks manusia, sebuah sistem manajemen yang bijaksana
seharusnya:
• Mendorong produk-produk yang jelas-jelas menggambarkan
asumsi-asumsi dan rangkaian-rangkaian kesimpulan mereka
dan menentukan tingkat dan sumber ketidakpastian yang
tercakup dalam kesimpulan-kesimpulan tersebut.
• Mendukung analisis yang menguji kembali secara periodik
masalah-masalah kunci dari bawah ke atas agar bisa
menghindari perangkap pendekatan tambahan (incremental
approach).
• Menekankan berbagai prosedur yang membongkar dan
mengelaborasi berbagai sudut pandang alternatif.
• Mendidik konsumen tentang batasan-batasan dan juga
berbagai kapabilitas analisis intelijen; mendefinisikan
seperangkat pengharapan realistis sebagai sebuah standar
dalam membuat keputusan pelaksanaan analitis.

64
Bab 3
Memori: Bagaimana Cara Kita
Mengingat Apa yang Kita Ketahui?

Perbedaan di antara pelaksanaan analitis yang lebih kuat dan lebih lemah
sebagian besar bisa dihubungkan dengan perbedaan dalam pengorgani-
sasian data dan pengalaman dalam memori jangka panjang para analis.
Kandungan memori membentuk sebuah input berkelanjutan ke dalam pro-
ses analitis, dan sesuatu yang memengaruhi apa yang informasi ingat atau
dapatkan kembali dari memori juga memengaruhi hasil dari analisis.
Bab ini membahas berbagai kapabilitas dan batasan dari beberapa
komponen sistem memori. Penyimpanan informasi sensoris dan memori
jangka pendek dikelilingi oleh beberapa batasan kapasitas, ketika memori
jangka panjang, untuk semua tujuan praktisnya, mempunyai kapasi-
tas tidak terbatas secara virtual. Dengan memori jangka panjang, segala
masalah berkenaan dengan mendapatkan informasi ke dalamnya dan
mendapatkan kembali informasi sekali di dalam sana, bukan batasan fisik
pada jumlah informasi yang mungkin disimpan. Memahami bagaimana
memori bekerja memberikan wawasan ke dalam beberapa kekuatan dan
kelemahan analitis.

A. Berbagai Komponen Sistem Memori

Secara umum, apa yang disebut dengan memori bukanlah


sebuah fungsi yang tunggal dan sederhana. Memori merupakan
sebuah sistem yang luar biasa kompleks berkenaan dengan berbagai
komponen dan proses yang bermacam-macam. Setidaknya ada tiga,
dan kemungkinan lebih, proses memori yang berbeda. Yang paling
penting dari sudut pandang bahasan ini dan yang didokumentasi-
kan dengan cara terbaik oleh penelitian ilmiah adalah Penyimpanan
Informasi Sensoris (SIS: Sensory Information Storage), Memori Jangka
Pendek (STM: Short-Term Memory), dan Memori Jangka Panjang
(LTM: Long-Term Memory).1
Masing-masing proses memori tersebut berbeda dalam hal
fungsi, pembentukan informasi yang dilakukan, panjang waktu
informasi yang dipertahankan, dan jumlah kapasitas penanganan
informasi. Para peneliti memori juga mengusulkan eksistensi sebuah
mekanisme interpretatif dan keseluruhan monitor atau mekanisme
kontrol memori sebagai fakta yang memandu interaksi di antara
berbagai unsur sistem memori yang beragam.

1. Penyimpanan Informasi Sensoris (SIS)


Penyimpanan informasi sensoris mempertahankan berbagai
citra sensoris untuk beberapa puluh detik setelah mereka dirasakan
oleh organ-organ sensoris. Pemfungsian SIS mungkin bisa diamati
jika Anda menutup mata Anda, kemudian buka dan tutup kembali
sekencang mungkin. Ketika mata Anda tertutup, perhatikan
bagaimana citra visual bertahan untuk seper-sekian detik sebelum
memudar. Penyimpanan informasi sensoris tersebut menjelaskan
mengapa sebuah syuting film berada pada 16 frame per detik yang
terpisah yang tampak seperti gerakan berlanjut daripada serang-
kaian gambar film. Sebuah jejak visual pada umumnya tersimpan
dalam SIS selama sekitar seperempat detik. Tidaklah mungkin untuk
memperluas waktu tersebut secara sadar, sehingga informasi sensoris

1. Para peneliti memori tidak menggunakan terminologi yang seragam. Penyimpanan


informasi sensoris juga dikenal dengan daftar sensoris, pusat sensoris, dan memori
eidetik (memori yang mampu mengingat dengan keakuratan yang mengejutkan)
dan ekhoik. Memori jangka pendek dan jangka panjang juga merujuk pada
memori primer dan sekunder. Sebuah ragam istilah yang lain digunakan juga.
Saya mengadopsi terminologi tersebut yang digunakan oleh Peter H. Lindsay dan
Donald A. Norman dalam tulisan mereka Human Information Processing (New
York: Academic Press, 1977). Keseluruhan bab ini tergambar dengan gamblang
dari Bab 8 hingga 11 daru buku Lindsay dan Norman tersebut.

66
bisa dipertahankan dalam SIS. Fungsi SIS adalah memampukan otak
untuk bisa bekerja dalam memproses sebuah peristiwa sensoris yang
lebih lama daripada durasi peristiwa itu sendiri.

2. Memori Jangka Pendek (STM)


Informasi berlangsung dari SIS menuju memori jangka pendek,
yang lagi-lagi merupakan perlintasan yang bertahan hanya dalam
periode waktu yang pendek —beberapa detik atau menit. Jika SIS
mempertahankan citra yang komplet, maka STM hanya menyimpan
interpretasi terhadap citra tersebut. Jika suatu kalimat dibicara-
kan, SIS tetap menyimpan suara kalimat tersebut, sedangkan STM
hanya mempertahankan kata-kata yang dibentuk oleh suara kalimat
tersebut.
Seperti halnya SIS, memori jangka pendek mempertahankan
informasi secara temporer, yang menantikan pemrosesan selanjut-
nya. Pemrosesan ini mencakup segala keputusan berkenaan dengan
makna, relevansi, dan signifikansi, dan juga berbagai aksi mental yang
perlu mengintegrasikan berbagai bagian informasi terpilih ke dalam
memori jangka panjang. Ketika seseorang segera melupakan nama
seseorang yang baru saja diperkenalkan atau berkenalan dengan-
nya, itu disebabkan karena nama orang tersebut tidak ditransfer dari
memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang.
Karakteristik sentral STM adalah batasan sederhana pada kapa-
sitasnya. Seseorang yang diminta mendengarkan dan mengulangi
serangkaian nama atau angka berjumlah 10 atau 20 pada normalnya
hanya bisa melafalkan lima atau enam angka saja. Pada umumnya, itu
berlangsung lima atau enam. Jika orang memfokuskan diri pada item
pertama, STM menjadi dipenuhi dengan usaha ini, dan orang itu
tidak bisa berkonsentrasi pada item terakhir sehingga dia tidak akan
bisa menyebutkan item terakhir tersebut. Orang membuat sebuah
pilihan di mana memfokuskan perhatian mereka. Mereka bisa ber-
konsentrasi pada mengingat atau menerjemahkan atau melakukan
pencatatan mengenai informasi yang baru diterima beberapa saat
67
yang lalu, atau mencurahkan perhatian pada informasi yang baru saja
diterima. Batasan-batasan terhadap kapasitas memori jangka pendek
sering kali menghalangi melakukan semuanya sekaligus.
Mendapatkan kembali informasi dari STM dilakukan secara
langsung dan segera, sebab informasi tidak pernah tertinggal dalam
pikiran sadar. Informasi bisa dipertahankan dalam STM secara
tidak pasti dengan suatu proses “pengulangan” —mengulangi lagi
dan lagi. Tapi, ketika melakukan pengulangan beberapa item agar
bisa menyimpannya dalam STM, orang tidak bisa secara simultan
menambahkan item-item baru. Batasan sederhana terhadap sejumlah
informasi yang bisa disimpan dalam STM pada satu waktu itu
bersifat fisiologis, dan tidak ada cara untuk menguasainya. Ini
adalah sebuah hal penting yang akan dibahas nanti dalam hubung-
annya dengan memori bekerja dan kegunaan bantuan memori (daya
ingat) eksternal.

3. Memori Jangka Panjang (LTM)


Beberapa informasi yang disimpan dalam STM diproses ke
dalam memori jangka panjang. Informasi mengenai pengalam-
an masa lalu disimpan dalam ceruk pikiran dan harus didapatkan
kembali sebelum ia bisa digunakan. Berkebalikan dengan pengingat-
an segera terhadap pengalaman sekarang dari STM, mendapatkan
kembali informasi dari LTM bersifat tidak langsung dan kadang
kala sulit.
Kehilangan detail ketika stimuli sensoris diinterpretasikan dan
dilalui dari SIS menuju STM dan kemudian menjadi LTM merupa-
kan dasar bagi adanya fenomena persepsi selektif yang dibahas dalam
bab sebelumnya. Ia menentukan batasan-batasan pada tahapan-
tahapan analisis berikutnya, karena data yang hilang tidak pernah bisa
didapatkan kembali. Orang tidak pernah bisa mengambil kembali
pemikiran mereka terhadap apa yang sebenarnya ada dalam penyim-
panan informasi sensoris atau memori jangka pendek. Mereka hanya
bisa mendapatkan kembali interpretasi-interpretasi dari apa yang
68
mereka pikir ada seperti yang tersimpan dalam LTM.
Tidak ada batasan praktis akan jumlah informasi yang mungkin
tersimpan di LTM. Batasan-batasan LTM terletak pada sulitnya
melakukan pemroresan informasi ke dalamnya dan mendapatkan
kembali informasi darinya. Subjek-subjek ini akan dibahas nanti.
Tiga proses memori tersebut mengandung ruang penyim-
panan informasi atau database yang kita sebut memori, tapi sistem
memori total harus mencakup karakteristik lain juga. Sebagian proses
mental harus menentukan informasi apa yang berlangsung dari SIS
menjadi STM dan dari STM menjadi LTM; memutuskan bagaima-
na mencari basis data LTM dan memutuskan apakah pencarian
memori selanjutnya kemungkinan menjadi produktif; memperkira-
kan relevansi informasi yang didapatkan kembali; dan mengevaluasi
secara potensial data-data yang berkontradiktif.
Untuk menjelaskan operasi sistem memori total, para psikolog
memosisikan eksistensi sebuah mekanisme interpretatif yang berope-
rasi pada basis data dan sebuah monitor atau mekanisme kontrol
pusat yang memandu dan meramalkan pelaksanaan keseluruhan
sistem. Sedikit yang diketahui dari mekanisme ini dan bagaimana
mereka berhubungan dengan proses mental yang lain.
Meskipun banyak penelitian mengenai memori, namun hanya
sedikit persetujuan terhadap banyaknya perkara yang kritis. Apa
yang dipresentasikan di sini kemungkinan merupakan denominator
umum yang paling lambat yang para peneliti akan setujui.
Pengaturan informasi dalam memori jangka panjang. Secara
fisik, otak mengandung kurang lebih 10 miliar saraf, yang masing-
masing saraf analog dengan kemampuan sebuah chip komputer yang
dapat menyimpan informasi. Masing-masing sel saraf mempunyai
lengan mirip tentakel gurita yang disebut akson dan dendrit. Impuls-
impuls listrik mengalir melalui lengan-lengan ini dan diangkut oleh
zat-zat kimiawi yang berfungsi sebagai neurotransmiter melintasi
apa yang disebut kesenjangan sinaptik di antara neuron. Memori-
memori tersimpan sebagai pola hubungan-hubungan di antara sel
69
saraf. Ketika dua sel saraf diaktifkan, hubungan-hubungan atau
“sinaps-sinaps” di antara mereka diperkuat.
Ketika Anda membaca bab ini, pengalaman sebenarnya
menyebabkan berbagai perubahan fisik dalam otak Anda. “Dalam
hitungan detik, beberapa sirkuit baru dibentuk yang bisa mengubah
selamanya cara Anda berpikir tentang dunia.”2
Memori merekam pengalaman dan berbagai pikiran sepanjang
hidup. Mekanisme mendapatkan kembali data massif seperti itu,
seperti sebuah perpustakaan atau sistem komputer, harus mempunyai
sebuah struktur pengaturannya sendiri; dengan kata lain, informasi
yang memasuki sistem tidak akan pernah bisa didapatkan kembali.
Bayangkan Perpustakaan Kongres jika tidak ada sistem peng-indeks-
annya
Ada penelitian yang patut dipertimbangkan tentang bagaimana
informasi disusun dan direpresentasikan dalam memori, tapi pene-
muan-penemuan tersebut tetaplah spekulatif. Penelitian mutakhir
memfokuskan pada bagian-bagian otak yang memproses berbagai
jenis informasi yang beragam. Ini ditentukan dengan melakukan
pengujian pada pasien yang menderita kerusakan otak dari stro-
ke hingga trauma atau dengan menggunakan Pencitraan Resonansi
Magnetik fungsional (fMRI) yang “menerangi” bagian aktif otak
ketika seseorang berbicara, membaca, menulis, atau mendengar.
Tidak ada satu pun teori mutakhir yang tampaknya bisa
meliputi kisaran kompleksitas proses memori secara utuh, yang
mencakup memori untuk pandangan dan suara, untuk perasaan,
dan juga untuk sistem keyakinan yang mengintegrasikan informasi
pada sejumlah besar konsep. Namun, manfaat penelitian tersebut
malah untuk tujuan lain, dan kebutuhan-kebutuhan para analis dila-
yani dengan pelayanan terbaik dengan sebuah citra sangat sederhana
tentang struktur memori.

2. George Johnson, In the Palaces of Memory: How We Build the Worlds Inside Our
Heads. (Vintage Books, 1992), hlm. xi.

70
Bayangkan bahwa memori itu sebagai sebuah jaring laba-laba
yang masis dan multidimensional. Citra ini menangkap, untuk
tujuan buku ini, properti informasi yang paling penting apa yang
mungkin tersimpan dalam memori —keterhubungannya. Satu
pikiran mengarah pada pikiran yang lain. Karena itu, akan men-
jadi mungkin untuk memulai pada satu titik dalam memori dan
mengikuti sebuah jalan yang mungkin berbentuk labirin untuk
menjangkau beberapa titik yang lain. Informasi didapatkan kem-
bali dengan melacak melalui jaringan di antar hubungan ke tempat
di mana ia tersimpan.
Kemampuan mendapatkan kembali informasi tersebut dipenga-
ruhi oleh sejumlah lokasi di mana informasi itu tersimpan serta
jumlah dan kekuatan jalan-jalan yang dilalui informasi ini kepada
konsep lain yang mungkin diaktifkan oleh informasi yang tengah
masuk. Semakin sering suatu jalan dilalui, semakin kuat jalan itu
jadinya dan akan semakin siap menyediakan informasi yang terletak
di sepanjang jalan itu. Jika orang tidak berpikir tentang suatu subjek
untuk beberapa waktu, mungkin sulit untuk mengingatnya secara
detail. Setelah memikirkan cara kita kembali kepada konteks yang
sesuai dan menemukan lokasi umum dalam memori kita, antarhu-
bungan atau interkoneksi menjadi lebih siap tersedia. Kita mulai
mengingat nama-nama, tempat-tempat, dan berbagai peristiwa yang
tampaknya telah terlupakan.
Ketika orang mulai berpikir tentang suatu masalah dalam satu
cara, sirkuit mental atau jalan-jalan yang sama kembali mengaktif-
kan dan memperkuat masing-masing ketika mereka memikirkan
tentangnya. Ini memfasilitasi upaya mendapatkan kembali informasi
tersebut. Namun, jalan-jalan yang sama ini juga menjadi jejak men-
tal yang membuatnya sulit untuk menyusun kembali informasi yang
secara mental seperti itu karena melihatnya dari perspektif yang ber-
beda. Itu menjelaskan mengapa, dalam bab sebelumnya, ketika Anda
melihat gambar wanita tua menjadi begitu sulit untuk melihat gam-
bar wanita muda, atau sebaliknya. Bab berikutnya akan membahas
71
berbagai cara menghapuskan berbagai jejak mental seperti itu.
Satu manfaat dari pengaturan memori adalah apa yang sebagian
psikolog kognitif sebut dengan sebuah “skema”. Skema adalah bebera-
pa pola hubungan di antara data yang tersimpan di dalam memori. Itu
adalah beberapa rangkaian gumpalan (node) dan menghubungkan
di antara mereka dalam jaring laba-laba memori yang menggantung
bersama dengan begitu kuat yang mereka bisa dapatkan kembali dan
gunakan lebih kurang sebagai suatu unit tunggal.
Misalnya, seseorang mungkin mempunyai sebuah skema untuk
suatu tiang yang ketika diaktifkan segera akan menyediakan dalam
memori suatu pengetahuan tentang berbagai properti sebuah tiang
dan apa yang membedakan sebuah tiang, katakanlah, dengan se-
buah kedai minuman. Itu membuat memori mengingat kembali
berbagai tiang spesifik yang mungkin pada gilirannya menstimulasi
berbagai memori tentang dahaga, rasa bersalah, atau perasaan atau
lingkungan yang lain. Orang juga mempunyai skemata (jamak dari
skema) untuk konsep-konsep abstrak seperti sistem ekonomi sosialis
dan apa yang membedakannya dari sistem kapitalis atau komunis.
Skemata untuk fenomena seperti kesuksesan atau kegagalan dalam
membuat sebuah perkiraan intelijen yang akurat akan mencakup
hubungan dengan berbagai unsur memori tersebut yang menjelas-
kan berbagai sebab dan implikasi khusus terhadap kesuksesan atau
kegagalan. Juga harus menjadi skemata untuk memproses hubung-
an memori-memori tersebut dengan berbagai langkah berbeda yang
tercakup dalam pembagian yang panjang, analisis regresi (kemun-
duran), atau hanya sekadar membuat kesimpulan dari bukti dan
menulis sebuah laporan intelijen.
Beberapa poin yang dimaksud dalam memori mungkin
dihubungkan dengan banyak skemata berbeda yang saling tumpang-
tindih. Sistem ini sangatlah kompleks dan tidak dipahami dengan
baik.
Konsepsi terhadap sebuah skema ini begitu umum sehingga ia
meminta banyak pertanyaan penting mengenai minat para peneliti
72
memori, namun ia juga yang terbaik yang bisa dilakukan terhadap
keadaan pengetahuan mutakhir yang diajukan. Ia melayani tujuan
penekanan bahwa memori mempunyai struktur. Ia juga menunjuk-
kan bahwa pengetahuan dihubungkan dalam memori yang secara
kritis penting dalam menentukan informasi apa yang didapat-
kan dalam merespons berbagai stimulus dan bagaimana informasi
tersebut digunakan dalam penalaran.
Konsep-konsep dan skemata yang tersimpan dalam memori
melatih sebuah pengaruh tentang formasi persepsi dari data sensoris.
Cobalah Anda lihat kembali eksperimen yang dibahas dalam bab
sebelumnya di mana berbagai subjek tes diperlihatkan sangat singkat
dalam memainkan kartu yang telah dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga kartu hati berwarna hitam dan kartu sekop berwarna merah.
Ketika yang tersimpan dalam SIS hanya berlangsung sepersekian
detik, kartu sekop benar-benar warna merah. Dalam latihan menerje-
mahkan kesan sensoris dan mentrasfernya ke dalam STM, kartu
sekop menjadi hitam karena sistem memori tidak siap menyediakan
skema bagi kartu sekop warna merah sehingga tidak bisa disesua-
ikan dengan kesan sensoris. Jika informasinya tidak sesuai dengan
apa yang orang ketahui, atau yang mereka pikir mereka tahu, mereka
akan mempunyai kesulitan yang besar dalam memprosesnya.
Kandungan skemata dalam memori adalah sebuah faktor prinsi-
pil yang membedakan kemampuan analitis antara yang lebih kuat
dengan yang lebih lemah. Ini dengan tepat diilustrasikan oleh sebuah
eksperimen dengan para pemain catur. Ketika seorang grandmas-
ter dan master catur serta pemain catur biasa diberikan waktu lima
sampai sepuluh detik mencatat posisi 20 sampai 25 buah catur
yang ditempatkan secara acak di atas papan catur, master catur dan
pemain biasa serupa dalam kemampuan untuk mengingat berbagai
posisi hanya sekitar enam buah catur. Jika posisi buah catur diambil
dari sebuah permainan yang sebenarnya (tidak tahu untuk subjek
tes), maka grandmaster dan master biasanya mampu mereproduk-
si hampir semua posisi tanpa kesalahan, ketika pemain biasa hanya
73
mampu menempatkannya dengan benar hanya dalam setengah lusin
buah catur.3
Kemampuan unik dari para master catur yang tidak muncul
dari sebuah prestasi yang murni karena memori diindikasikan oleh
ketidakmampuan para master dalam mengingat berbagai posisi
yang ditempatkan secara acak. Prestasi pengecualian mereka dalam
mengingat posisi dari permainan yang sebenarnya berasal dari
kemampuan mereka yang bisa segera merasakan pola-pola yang
membuat mereka mampu memproses banyak potongan informa-
si bersamaan sebagai sebuah skema atau potongan yang tunggal.
Master catur menyediakan dalam memori jangka panjang mereka
banyak skemata yang menghubungkan posisi individu bersamaan
dengan pola-pola yang koheren. Ketika posisi buah catur di papan
sesuai dengan sebuah skema yang tersusun, sangatlah mudah bagi
sang master untuk mengingat tidak hanya posisi-posisi buah catur
tersebut, tapi juga hasil permainan sebelumnya di mana ia mampu
untuk mengingat di mana posisi buah-buah catur tersebut. Dengan
cara yang sama, kemampuan unik dari master analis bisa dikait-
kan dengan skemata dalam memori jangka panjang mereka yang
membuat mereka mampu merasakan pola-pola dalam data yang
sebelumnya tidak mampu dideteksi oleh peneliti (berkemampu-
an) rata-rata.
Mendapatkan informasi ke dalam dan ke luar Memori
Jangka Panjang. Proses ini sangat berguna untuk mengetahui
seberapa bagus seseorang mempelajari sesuatu yang dipikirkan yang
tergantung pada seberapa lama ia tersimpan dalam memori jangka
pendek atau jumlah waktu saat mereka mengulang-ulangi informa-
si tersebut untuk diri mereka sendiri. Bukti-bukti penelitian saat ini
menunjukkan bahwa faktor-faktor ini memainkan peran yang sangat
penting. Pengulangan yang terus-menerus tidak menjamin bahwa

3. A. D. deGroot, Thought and Choice in Chess (The Hague: Mouton, 1965) dikutip
oleh Herbert A. Simon, “How Big Is a Chunk?” Science, Vol. 183 (1974), hlm.
487.

74
sesuatu akan bisa diingat. Faktor kunci dalam mentransfer informasi
dari memori jangka pendek menuju memori jangka panjang adalah
perkembangan dari berbagai asosiasi di antara informasi baru dan
skemata yang sudah tersedia dalam memori. Hal ini pada giliran-
nya tergantung pada dua variabel: tingkat informasi yang dipelajari
yang berhubungan dengan suatu skema yang sudah ada, dan tingkat
pemprosesan yang diajukan terhadap informasi baru.
Ambil sedikit waktu untuk mencoba mengingat item-item ber-
ikut dari sebuah daftar belanjaan: roti, telur, mentega, saus dingin
yang pedas (salami), jagung, selada, sabun, selai, ayam, dan kopi.
Kesempatannya adalah, Anda akan mencoba untuk membakar kata-
kata tersebut ke dalam pikiran Anda dengan mengulanginya lagi dan
lagi. Pengulangan seperti itu, atau terus melakukan latihan, memang
efektif dalam mempertahankan informasi dalam STM, tapi hal itu
tidak efektif dan sering kali menjadi alat yang tidak efektif dalam men-
trasfernya ke dalam LTM. Daftar tersebut sulit untuk diingat, karena
ia tidak cocok dengan skema yang sudah ada dalam memori.
Kata-kata tersebut sudah akrab di telinga kita, tapi Anda tidak
menyediakannya dalam memori sebuah skema yang menghubung-
kan kata-kata tersebut dalam kelompok partikular ini satu sama lain.
Jika daftar tersebut diubah menjadi jus, sereal, susu, gula, lemak
babi (bacon), telur, roti panggang, mentega, selai, dan kopi, tugas
mengingat itu akan menjadi jauh lebih mudah, karena data tersebut
kemudian akan cocok dengan sebuah skema yang ada —item-item
tersebut biasanya dimakan untuk sarapan pagi. Daftar seperti itu bisa
diasimilasikan ke dalam pusat pengetahuan Anda yang sudah ter-
sedia dengan sedikit kesulitan, hanya master catur saja yang secara
cepat mengasimilasikan posisi-posisi banyak pemain catur.
Kedalaman memproses merupakan variabel penting kedua
dalam menentukan seberapa bagus informasi itu tersimpan.
Kedalaman memproses mengacu kepada sejumlah usaha dan kapasi-
tas kognitif yang digunakan dalam memproses informasi, serta
jumlah dan kekuatan asosiasi-asosiasi yang tertempa di antara data
75
yang dipelajari dan pengetahuan yang sudah ada dalam memori.
Dalam berbagai eksperimen untuk menguji seberapa bagus orang
mengingat suatu daftar kata-kata, subjek tes mungkin diminta
untuk melakukan tugas-tugas berbeda yang merefleksikan tingkat
pemrosesan yang berbeda. Tugas ilustratif berikut ini terdaftar dalam
urutan kedalaman pemrosesan mental yang dibutuhkan: katakanlah
berapa banyak huruf yang ada dalam masing-masing kata pada daftar
tersebut, berikan sebuah kata yang berima atau bersajak dengan
masing-masing kata, yang membuat sebuah gambaran mental dari
masing-masing kata, dan menciptakan sebuah cerita yang mengga-
bungkan masing-masing kata.
Hal itu menunjukkan bahwa semakin dalam proses yang dilaku-
kan, semakin besar kemampuan untuk mengingat kata-kata pada
suatu daftar. Hasil ini mempertahankan kebenaran tanpa memerha-
tikan apakah subjek-subjek tes telah diinformasikan sebelumnya dan
yang menjadi tujuan dari eksperimen tersebut adalah untuk menguji-
nya dalam daya ingat mereka. Menasihatkan subjek-subjek tes untuk
memperkirakan sebuah tes menciptakan hampir tidak ada perbedaan
dalam prestasi mereka, yang barangkali karena ia hanya mengarah-
kan mereka kepada berlatih informasi dalam memori jangka pendek,
yang tidak efektif saat diperbandingkan dengan bentuk-bentuk
pemrosesan yang lain.
Ada tiga cara yang mungkin sebuah informasi bisa dipelajari
atau dikaitkan dengan memori: dengan dihafalkan tanpa berpikir,
asimilasi, atau menggunakan alat bantu menghafal. Masing-masing
dari prosedur ini akan dibahas di bawah.4
Dengan menghafal tanpa berpikir (By Rote). Bahan-bahan
yang dipelajari diulang-ulang secara verbal dengan frekuensi yang
mencukupi yang kemudian bisa diulangi dengan memori tanpa
menggunakan bantuan memori. Ketika informasi dipelajari dengan

4. Bahasan ini diulas dalam Francis S. Bellezza, “Mnemonic Devices: Classifica-


tion, Characteristics, and Criteria” (Athens, Ohio: Ohio University, manuskrip
sebelum publikasi, Januari 1980).

76
cara menghafal seperti ini, ia membentuk sebuah skema terpisah
yang tidak terkait-kelindan dengan pengetahuan yang telah dipegang
sebelumnya. Yaitu, pemrosesan mental menambah sedikit dengan
cara elaborasi terhadap informasi baru, dan informasi baru tersebut
menambah sedikit terhadap elaborasi skemata yang ada. Belajar
dengan menghafal merupakan teknik yang mengandalkan kekuat-
an fisik. Tampaknya teknik ini menjadi cara mengingat yang kurang
efisien.
Dengan asimilasi. Informasi yang dipelajari dengan asimila-
si ketika struktur atau substansi informasi tersebut sesuai dengan
beberapa skema memori yang sudah dimiliki oleh sang pembelajar.
Informasi baru diasimilasikan atau dihubungkan dengan skema yang
ada dan bisa diingat secara siap pada saat mengakses pertama kali
skema yang sudah tersedia tersebut dan kemudian mengonstruksi
informasi baru tersebut. Asimilasi mencakup pembelajaran dengan
pemahaman, dan itulah metode yang diharapkan, tapi metode ini
hanya bisa digunakan untuk mempelajari informasi yang mempunyai
keterkaitan dengan pengalaman kita sebelumnya.
Dengan menggunakan alat bantu mengingat (a mnemonic device).
Alat bantu mengingat merupakan alat yang berusaha mengatur atau
mengodekan informasi dengan tujuan untuk membuatnya menjadi
lebih mudah diingat. Seorang siswa SMA menjalani sebuah tes
geografi mungkin menggunakan akronim “HOMES” sebagai alat
bantu mengingat huruf pertama dari masing-masing Danau Besar
—Huron, Ontario, dan seterusnya.
Untuk mempelajari daftar toko pangan pertama dari kata-
kata yang tidak saling berkaitan, Anda akan menciptakan beberapa
struktur untuk menghubungkan kata-kata tersebut dengan satu
sama lain dan/atau dengan informasi yang sudah ada dalam LTM.
Anda mungkin membayangkan diri Anda tengah berbelanja atau
meletakkan item-item dan secara mental gambaran di mana mere-
ka dilokasikan pada rak di toko atau di dapur. Atau mungkin Anda
bisa membayangkan sebuah cerita mengenai satu atau lebih daging
77
yang termasuk dalam semua item tersebut. Beberapa bentuk pem-
rosesan informasi dalam cara ini menjadi bantuan yang lebih efektif
untuk menyimpan informasi daripada melakukan pengulangan
untuk menghafalkannya. Bahkan sistem tersebut lebih efektif yang
dengan cepat bisa mengingat daftar nama-nama atau kata-kata yang
telah ditemukan oleh para ahli memori, tapi ini membutuhkan bebe-
rapa kajian dan praktik dalam pelaksanaannya.
Alat bantu menghafal sangatlah berguna untuk mengingat
informasi yang tidak sesuai dengan struktur atau skema konseptu-
al yang sesuai yang sudah ada dalam memori. Ini bekerja dengan
memberikan sebuah struktur yang sederhana dan artifisial yang
mana informasi yang telah dipelajari kemudian dihubungkan. Alat
bantu menghafal menyediakan “kategori-kategori file” mental yang
menjamin kemampuan mendapatkan kembali informasi. Untuk
mengingat, pertama-tama ambillah alat bantu mengingat, kemudi-
an akses informasi yang diharapkan.

B. Memori dan Analisis Intelijen

Memori analis memberikan input berkelanjutan kepada proses


analitis. Input ini ada dalam dua jenis—informasi faktual tambahan
tentang latar belakang dan konteks sejarah, dan skemata yang para
analis gunakan untuk menentukan pemaknaan informasi baru yang
dibutuhkan. Informasi dari memori mungkin mendorong dirinya
sendiri pada kesadaran sang analis tanpa ada usaha disengaja oleh
sang analis untuk mengingatnya; atau, mengingat informasi mungkin
membutuhkan waktu dan ketegangan yang patut dipertimbangkan.
Dalam kasus lain, segala sesuatu yang memengaruhi informasi apa
yang diingat atau diambil kembali dari memori juga memengaru-
hi analisis intelijen.
Keputusan merupakan produk bersama dari informasi yang
tersedia dan apa yang para analis bawa kepada analisis informa-
si ini. Sebuah pendokumentasian eksperimen membedakan antara

78
master catur dengan pemain catur biasa yang telah dibahas di atas.
Penelitian serupa dengan dokter medis yang mendiagnosa penyakit
yang mengindikasikan bahwa perbedaan di antara pelaku yang lebih
lemah dengan yang lebih kuat terletak pada pengaturan informa-
si dan pengalaman dalam memori jangka panjang.5 Hal yang sama
juga berlaku bagi para analis intelijen. Pengetahuan substantif dan
pengalaman analitis menentukan pusat memori dan skemata yang
sang analis gambarkan untuk menghasilkan dan mengevaluasi
berbagai hipotesis. Kuncinya bukanlah sebuah kemampuan sederha-
na untuk mengingat fakta-fakta, tapi kemampuan untuk mengingat
pola-pola yang menghubungkan fakta-fakta dengan fakta yang
lain dan juga dengan konsep-konsep yang lebih luas—dan untuk
mempekerjakan berbagai prosedur yang memfasilitasi proses ini.

C. Perentangan Batasan-Batasan Memori Bekerja

Informasi yang terbatas tersedia pada apa yang secara umum


dipikirkan sebagai “memori bekerja”—kumpulan informasi yang
seorang analis pertahankan di bagian terdepan dalam pikiran ketika
dia melakukan analisis. Konsep umum memori bekerja tampak
jelas dari introspeksi personal. Dalam tulisan bab ini, saya sangat
sadar tentang berbagai ketidakleluasaan kemampuan saya untuk
menjaga banyak potongan informasi dalam pikiran ketika bereks-
perimentasi dengan berbagai cara untuk mengatur informasi ini dan
mencari kata-kata yang mengungkapkan pikiran-pikiran saya. Untuk
membantu mengimbangi keterbatasan saya dalam memori bekerja
ini, saya telah mengumpulkan sejumlah besar catatan tertulis yang
mengandung berbagai gagasan dan paragraf setengah tertulis. Hanya
dengan menggunakan bantuan memori eksternal seperti itulah saya
mampu menanggulangi volume dan kompleksitas informasi yang

5. Arthur S. Elstein, Lee S. Shulman & Sarah A. Sprafka, Medical Problem Solving:
An Analysis of Clinical Reasoning (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1978), hlm. 276.

79
ingin saya gunakan.
Sebuah artikel terkenal yang ditulis lebih dari 40 tahun yang
lalu, berjudul, “The Magic Number Seven--Plus or Minus Two”,
berpendapat bahwa tujuh—kurang atau lebih dua— adalah jumlah
hal-hal yang orang bisa ingat dalam kepala mereka sekaligus.6 Batasan
yang bekerja pada memori bekerja menjadi sumber banyak masalah.
Orang mempunyai kesulitan dalam merenggut sebuah masalah
dalam seluruh kompleksitasnya. Inilah sebabnya mengapa kita
kadang kala mempunyai masalah dalam membentuk pikiran-pikiran
kita. Misalnya, kita pertama kali berpikir tentang berbagai argumen
yang mendukung, dan kemudian tentang argumen-argumen yang
melawan, dan kita tidak bisa menjaga semua keuntungan dan
kemalangan dalam kepala kita pada saat yang bersamaan untuk
mendapatkan sebuah ulasan tentang bagaimana mereka menjadi
seimbang satu sama lain.
Teknik yang direkomendasikan dalam menanggulangi batasan
memori bekerja ini disebut dengan mengeksternalisasi masalah—
mengeluarkannya dari kepala seseorang dan menuliskannya ke kertas
dalam bentuk sederhana yang menunjukkan unsur-unsur utama dari
masalah tersebut dan bagaimana mereka berhubungan satu sama
lain. Bab 7, “Menstrukturkan Masalah-Masalah Analitis”, membahas
tentang berbagai cara dalam melakukan hal ini. Mereka semua
mencakup memecahkan suatu masalah ke dalam bagian-bagian
komponennya dan kemudian mempersiapkan sebuah “model”
sederhana yang menunjukkan bagaimana bagian-bagian tersebut
berhubungan secara keseluruhan. Ketika bekerja pada suatu bagian
kecil masalah, model tersebut menjaga satu dari pandangan keselu-
ruhan yang hilang.
Suatu model sederhana tentang masalah analitis memfasili-
tasi asimilasi informasi baru ke dalam memori jangka panjang; ia

6. George A. Miller, “The Magical Number Seven—Plus or Minus Two: Some


Limits on our Capacity for Processing Information.” The Psychological Review,
Vol. 63, No. 2 (March 1956).

80
memberikan sebuah struktur kepada sedikit atau potongan informasi
yang bisa dihubungkan. Model tersebut menegaskan kategori-katego-
ri bagi penyimpanan informasi dalam memori dan mendapatkannya
kembali sesuai keinginan. Dengan kata lain, ia bekerja seperti sebuah
alat bantu menghafal yang memberikan pengait untuk menggan-
tung informasi sehingga informasi tersebut bisa ditemukan ketika
dibutuhkan.
Model itu pada awalnya merupakan sebuah konstruk yang
artifisial, seperti akronim ”HOMES” yang telah dibahas di atas.
Namun, dengan pemakaian, ia menjadi sebuah bagian integral dari
satu struktur konseptual—seperangkat skemata yang digunakan
dalam memproses informasi. Pada poin ini, mengingat informa-
si baru terjadi dengan asimilasi dibandingkan dengan alat bantu
menghafal. Ini memperluas kemampuan untuk mengingat dan
membuat pilihan dari volume informasi yang lebih besar dalam
suatu ragam cara yang lebih besar dibandingkan yang akan menjadi
mungkin sebaliknya.
“Memperkeras Kategori-Kategori”. Proses-proses memori
cenderung bekerja dengan kategori-kategori yang digeneralisa-
sikan. Jika orang tidak mempunyai sebuah kategori yang sesuai
untuk sesuatu, mereka kemungkinan besar tidak akan merasakan-
nya, menyimpannya dalam memori, atau mampu mengingatnya
kembali dari memori nantinya. Jika kategori-kategori digambarkan
secara tidak benar, orang kemungkinan merasakan dan mengingat
berbagai hal secara tidak akurat. Ketika informasi tentang fenome-
na yang berbeda tersebut berbeda dalam berbagai hal yang penting
meskipun telah tersimpan dalam memori di bawah suatu konsep
tunggal, kesalahan-kesalahan dalam analisis mungkin akan terjadi.
Misalnya, banyak peneliti urusan internasional yang mempunyai
kesan bahwa komunisme adalah sebuah gerakan monolitik, yang
bergerak sama di mana pun dan dikontrol dari Moscow. Semua
negara komunis dikelompokkan bersama dalam sebuah kategori
tunggal dan tidak terbedakan yang disebut “komunisme internasi-
81
onal” atau “blok komunis”. Pada tahun 1948, ini mengarah pada
peremeh-temehan Amerika Serikat terhadap pentingnya kereta-
kan antara Stalin dan Tito. Menurut satu sumber, itu “mungkin
itu membantu menerangkan mengapa banyak pikiran orang Barat,
termasuk para ilmuwan, yang tetap relatif buta dengan eksistensi dan
signifikansi perbedaan Sino-Soviet jauh sebelum mereka membuat
manifes dalam bidang formula ideologis.”7
“Memperkeras kategori-kategori” merupakan sebuah kelema-
han analisis yang umum. Perbedaan yang jelas antara kategori dan
toleransi tentang ambiguitas memberi andil kepada analisis yang
lebih efektif.
Segala hal yang Memengaruhi Apa yang Diingat. Faktor-
faktor yang memengaruhi bagaimana informasi disimpan dalam
memori dan faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan untuk
mendapatkan kembali informasi kelak mencakup: informasi yang
tersimpan pertama kali tentang suatu topik yang ditentukan, jumlah
perhatian yang terfokus pada informasi tersebut, kredibilitas informa-
si, dan pentingnya memperhubungkan informasi pada momen
penyimpanan. Dengan memengaruhi kandungan memori, semua
faktor ini juga memengaruhi hasil dari analisis intelijen.
Bab 12 tentang “Bias-bias dalam Memperkirakan berbagai
Probabilitas” menggambarkan bagaimana ketersediaan dalam
memori memengaruhi berbagai keputusan tentang berbagai
probabilitas. Semakin seseorang bisa menyebutkan sebuah fenome-
na, semakin mungkin fenomena tersebut akan tampak. Ini benar,
meskipun kemampuan untuk mengingat contoh-contoh masa lalu
dipengaruhi oleh kejelasan informasi, bagaimana sesuatu itu terjadi
baru-baru ini, pengaruhnya pada kesejahteraan pribadi seseorang,
dan banyak faktor lain yang tidak berkaitan dengan kemungkinan
aktual dari fenomena tersebut.

7. Robert Tucker, “Communist Revolutions, National Cultures, and the Divided


Nations,” Studies in Comparative Communism (Autumn 1974), hlm. 235-245.

82
Memori Jarang Berubah Secara Retroaktif (Berlaku Surut).
Para analis sering kali menerima informasi baru yang seharusnya,
secara logis, menyebabkannya mengevaluasi kembali kredibilitas
atau signifikansi informasi sebelumnya. Idealnya, informasi yang
paling awal seharusnya menjadi yang paling menonjol dan siap
tersedia dalam memori, atau kurang lebih demikian. Tapi, itu tidak
bekerja dengan cara seperti itu. Sayangnya, memori-memori jarang
yang ditaksir kembali atau disusun kembali secara retroaktif dalam
menjawab informasi baru. Misalnya, informasi yang dilewatkan
sebagai informasi yang tidak penting atau tidak relevan, karena ia
tidak sesuai dengan pengharapan-pengharapan analis sehingga tidak
bisa menjadi lebih diingat, meskipun sang analis mengubah pemiki-
rannya untuk menunjukkan di mana informasi yang sama, yang
diterima hari ini, yang akan diakui sebagai informasi yang sangat
signifikan.

D. Memori Bisa Merugikan dan juga Membantu

Memahami bagaimana memoribekerja memberikan bebera-


pa pandangan ke daam hakikat kreativitas, keterbukaan terhadap
informasi baru, dan penghancuran berbagai pola piker. Semua
yang tercakup membuat hubungan-hubungan baru dalam jaring
laba-laba memori—hubungan-hubungan di antara fakta-fakta,
konsep-konsep, dan skemata yang sebelumnya tidak dihubungkan
atau hanya secara lemah terhubungkan.
Kursus pelatihan bagi para analis intelijen kadang-kadang
memfokuskan pada percobaan untuk membuka pola pikir para
analis yang sudah terbentuk, agar mereka bisa melihat masalah-
masalah dari berbagai perspektif berbeda agar supaya memberikan
sebuah guncangan yang lebih terbuka terhadap berbagai penjelas-
an alternatif. Lebih sering daripada tidak, reaksi para analis yang
berpengalaman adalah bahwa mereka telah menghabiskan waktu
20 tahun untuk mengembangkan pola pikir mereka yang sekarang,

83
yang berjalan dengan baik bagi mereka, dan mereka pun melihat
bahwa tidak ada keinginan untuk mengubahnya. Para analis seperti
itu memandang diri mereka sendiri, yang sering kali secara akurat,
seperti yang bisa diperbandingkan dengan seorang master catur.
Mereka percaya informasi yang terpatri dalam memori jangka
panjang mereka mengizinkan mereka untuk merasakan pola-pola
dan membuat kesimpulan yang melebihi jangkauan para peneliti
yang lain. Dalam satu pengertian, mereka sungguh-sungguh benar
dalam tidak menginginkan perubahan; malahan, itulah skemata
atau pola pikir mereka yang memampukan mereka untuk mencapai
apa pun kesuksesan yang mereka rasakan dalam membuat berbagai
keputusan analitis.
Namun, ada sebuah perbedaan krusial di antara master catur
dengan master analis intelijen. Meskipun master catur mengha-
dapi lawan yang berbeda dalam masing-masing pertandingan,
lingkungan pada masing-masing kontes tetaplah tidak berubah dan
stabil: gerakan yang tidak diizinkan dari batang-batang catur yang
bermacam-macam sudah ditentukan dengan pasti, dan aturan-
aturannya juga tidak bisa diubah tanpa sepengetahuan sang master.
Ketika master catur mengembangkan sebuah skema yang akurat,
tidak ada kebutuhan untuk mengubahnya. Namun, analis intelijen
harus menghadapi dunia yang berubah dengan sangat cepat. Banyak
negara yang sebelumnya menjadi lawan Amerika Serikat kini menjadi
sekutu formal atau de facto kita. Pemerintahan Amerika dan Rusia
serta masyarakat tidak sama saat ini ketika mereka berada 20 atau
bahkan 10 tahun yang lalu. Skemata yang valid di masa lalu kini
tidak lagi menjadi fungsional di masa depan.
Mempelajari skemata baru sering kali tidak membutuhkan
pembelajaran terhadap yang sudah ada, dan ini sangatlah sulit.
Akan selalu lebih mudah untuk mempelajari sebuah kebiasaan baru
dibandingkan tidak mempelajari yang lama. Skemata dalam memori
jangka panjang sangatlah esensial untuk mengefektifkan analisis
yang juga menjadi sumber prinsipil kelembaman dalam mengakui
84
dan mengadaptasi sebuah perubahan lingkungan. Bab 6, “Menjaga
Pikiran Tetap Terbuka”, mengidentifikasi alat-alat untuk mengha-
dapi masalah ini.

85
Bagian II
Alat untuk Berpikir
Bab 4
Berbagai Strategi bagi Keputusan
Analitis: Melebihi Batasan-Batasan
Informasi yang Tidak Utuh

Ketika para analis intelijen membuat keputusan-keputusan analitis yang


penuh pemikiran, bagaimana mereka melakukannya? Dalam mencari
jawaban dari pertanyaan ini, bab ini membahas berbagai kekuatan dan
batasan dari logika situasional, teori, perbandingan, dan pencelupan seder-
hana dalam data sebagai strategi untuk membangkitkan dan mengevaluasi
berbagai hipotesis. Bagian akhir membahas berbagai strategi alternatif
dalam memilih di antara berbagai hipotesis. Satu strategi sering kali
digunakan oleh para analis intelijen yang tergambarkan sebagai “memu-
askan”—memilih hipotesis pertama yang tampak cukup baik dibandingkan
mengidentifikasi secara hati-hati semua hipotesis yang memungkinkan dan
menentukan yang paling konsisten dengan bukti-bukti.1

P ara analis intelijen seharusnya menjadi sadar diri terhadap


proses penalaran mereka. Mereka seharusnya berpikir tentang
bagaimana mereka membuat keputusan-keputusan dan mencapai
kesimpulan-kesimpulan, yang tidak hanya tentang keputusan-
keputusan dan kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri. Kamus
Webster mendefinisikan keputusan sebagai tiba pada suatu
“keputusan atau kesimpulan tentang dasar berbagai indikasi dan
kemungkinan-kemungkinan ketika fakta-fakta menjadi tidak jelas

1. Sebuah versi awal dari bab ini dipublikasikan sebagai sebuah artikel yang tidak
terklasifikasi dalam Studies in Intelligence pada tahun 1981, dengan judul,
“Strategies for Analytical Judgment.”
diketahui dengan pasti.”2 Keputusan adalah apa yang para analis
gunakan untuk memenuhi berbagai jarak dalam pengetahuan
mereka. Ia perlu melampaui informasi yang tersedia dan menjadi
alat-alat prinsipil dalam menanggulangi ketidakpastian. Ia selalu
mencakup sebuah lompatan analitis, dari yang dikenal menjadi
tidak pasti.
Keputusan adalah sebuah bagian integral dari sebuah analisis
intelijen. Ketika tujuan optimal dari koleksi intelijen adalah pengeta-
huan yang komplet, namun pada praktiknya tujuan ini jarang
tercapai. Hampir dengan definisi misi intelijen tersebut, permasa-
lahan-permasalahan intelijen mencakup ketidakpastian yang patut
dipertimbangkan. Jadi, analis umumnya selalu mendapati ketidak-
pastian, keambiguan, dan sering kali dengan data yang kontradiktif.
Fungsi analis intelijen mungkin tergambarkan sebagai melebi-
hi batasan-batasan informasi yang tidak komplet melalui latihan
keputusan analitis.
Hakikat puncak keputusan tetaplah sebuah misteri. Namun,
sangatlah mungkin mengidentifikasi strategi yang bermacam-
macam yang para analis gunakan untuk memproses informasi ketika
mereka berpersiap untuk mengeluarkan keputusan. Strategi-strate-
gi analitis menjadi penting, karena hal itu memengaruhi data yang
orang hadirkan. Mereka menentukan di mana analis menyinari
cahaya pencariannya, dan ini pastilah memengaruhi hasil dari proses
analitis tersebut.

A. Berbagai Strategi Menghasilkan dan Mengevaluasi


Hipotesis

Buku ini menggunakan istilah hipotesis dalam pengertian yang


paling luas sebagai sebuah penjelasan atau kesimpulan potensial yang
diuji dengan pengumpulan dan penghadiran bukti-bukti. Pengujian

2. Webster’s New International Dictionary, kamus lengkap, 1954.

90
terhadap bagaimana analis menghasilkan dan mengevaluasi hipote-
sis-hipotesis mengidentifikasi tiga strategi prinsipil —aplikasi teori,
logika situasional, dan perbandingan— yang masing-masing dibica-
rakan secara panjang lebar nanti. Suatu “bukan strategi”, penyelaman
data dan membiarkan data berbicara untuk dirinya sendiri, juga akan
dibahas. Daftar strategi-strategi analitis ini tidaklah mendalam. Strate-
gi-strategi yang lain mungkin mencakup, misalnya, pemproyeksian
kebutuhan-kebutuhan psikologis seseorang di atas data yang ada, tapi
diskusi ini tidaklah menaruh perhatian kepada patologi keputusan
yang salah. Agaknya, tujuannya adalah untuk memahami beberapa
jenis analisis secara teliti dan penuh kesungguhan yang berharap bisa
ditemukan di antara kader analis intelijen yang berhadapan dengan
berbagai permasalahan yang sangat kompleks.

1. Logika Situasional
Ini merupakan mode pengoperasian paling umum bagi analis
intelijen. Menghasilkan dan menganalisis hipotesis dimulai dengan
mempertimbangkan berbagai unsur konkret dari situasi yang
berkembang, daripada dengan melakukan generalisasi-generalisa-
si luas yang mencakup berbagai kasus yang banyak serupa. Situasi
diakui sebagai salah satu jenis, sehingga ia harus dipahami dalam
pengertian logika uniknya sendiri, dibandingkan sebagai satu contoh
bagi sebuah kelas yang luas terhadap berbagai peristiwa yang bisa
diperbandingkan.
Dengan memulai dengan fakta-fakta terkenal dari situasi yang
berlangsung dan dengan memahami kekuatan-kekuatan kerja yang
unik pada waktu dan tempat tertentu, para analis berusaha mengiden-
tifikasi berbagai anteseden atau konsekuensi logis dari situasi ini.
Sebuah skenario dikembangkan yang dilekatkan secara bersamaan
sebagai sebuah narasi yang masuk akal. Para analis mungkin bekerja
ke belakang untuk menjelaskan sumber-sumber atau sebab-sebab
terjadinya peristiwa yang tengah berlangsung atau bekerja ke depan
untuk memperkirakan hasil-hasil di masa depan.
91
Logika situasional umumnya memfokuskan pada pelacakan
hubungan sebab-akibat atau —ketika berhadapan dengan perilaku
yang menentukan— hubungan alat-tujuan. Para analis mengiden-
tifikasi tujuan-tujuan yang dikejar dan menjelaskan mengapa
aktor-aktor asing percaya akan alat tertentu yang akan mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
Kekuatan partikular dari logika situasional adalah aplikabilitas-
nya yang luas dan kemampuannya untuk mengintegrasikan sebuah
volume besar dari detail-detail yang relevan. Beberapa situasi, betapa
pun uniknya, mungkin dianalisis dengan cara ini.
Logika situasional sebagai sebuah strategi analitis juga
mempunyai dua kelemahan prinsipil. Pertama adalah begitu sulit
untuk memahami proses mental dan birokratis para pemimpin
dan pemerintahan luar negeri. Untuk melihat pilihan-pilihan yang
dihadapi oleh para pemimpin asing ketika para pemimpin ini
melihatnya, orang harus memahami nilai-nilai dan asumsi-asumsi
mereka serta bahkan berbagai kesalahpersepsian dan kesalahpa-
haman mereka. Tanpa pandangan seperti itu, menerjemahkan
berbagai keputusan atau peramalan keputusan di masa depan oleh
para pemimpin luar negeri tersebut sering kali sedikit lebih daripa-
da spekulasi yang terinformasikan secara parsial. Karena terlalu
seringnya, perilaku yang dilakukan oleh pemerintahan atau masyara-
kat luar negeri tersebut tampak “tidak rasional” atau “tidak dalam
kepentingan terbaik mereka”. Berbagai kesimpulan seperti itu sering
kali mengindikasikan para analis telah memproyeksikan nilai-nilai
dan kerangka kerja konseptual Amerika di atas para pemimpin dan
masyarakat luar negeri, daripada memahami logika situasi seperti
yang tampak pada mereka.
Kelemahan kedua adalah bahwa logika situasional gagal
mengeksploitasi pengetahuan teoretis yang bersumber dari kajian
terhadap fenomena serupa di negara lain dan pada periode waktu
yang lain. Subjek gerakan separatis nasional mengilustrasikan hal
ini. Nasionalisme adalah sebuah masalah klasik sejak berabad-abad
92
lamanya, tapi kebanyakan demokrasi industrial Barat telah memper-
timbangkan berbagai komunitas nasional yang terintegrasi dengan
baik ini. Bahkan, tahun-tahun belakangan ini, telah tampak sebuah
peningkatan dalam tekanan dari kelompok etnis minoritas yang
mencari kemerdekaan atau otonomi. Mengapa fenomena ini terjadi
baru-baru ini di Skotlandia, Prancis selatan dan Corsica, Quebec,
Belgia, dan Spanyol —dan juga di negara-negara Dunia Ketiga yang
kurang stabil di mana hal itu mungkin diharapkan?
Menghadapi topik ini dalam sebuah mode logika situasi,
seorang analis negara akan menguji politik, ekonomi, kelompok
sosial, yang memiliki kepentingan-kepentingan yang menjadi
taruhan dalam negara. Berdasarkan posisi kekuatan relatif dari
berbagai kelompok ini, berbagai interaksi dinamis di antara mereka,
dan berbagai kecenderungan atau perkembangan terantisipasi yang
mungkin memengaruhi berbagai posisi masa depan dari partai-partai
yang berkepentingan, maka sang analis akan berusaha mengidenti-
fikasi kekuatan-kekuatan yang berkuasa yang pada akhirnya akan
menentukan hasil.
Sangatlah mungkin menulis dalam cara ini sebuah kajian
tentang gerakan separatis secara detail dan tanpa terinformasikan
dengan baik dalam suatu negara ketika mengabaikan fakta bahwa
konflik etnis sebagai sebuah fenomena generik telah menjadi subjek
dari kajian teoretis yang patut dipertimbangkan. Dengan mengka-
ji fenomena serupa di banyak negara, orang bisa menghasilkan dan
mengevaluasi berbagai hipotesis mengenai akar penyebab yang
mungkin tidak dipertimbangkan oleh seorang analis yang hanya
tengah menghadapi logika sebuah situasi tunggal. Misalnya, untuk
tingkatan apa kebangkitan sentimen etnis yang sudah terkubur lama
itu muncul dari sebuah reaksi terhadap homogenisasi kultural yang
menyertai sistem komunikasi massa modern?
Menganalisis banyak contoh terhadap suatu fenomena serupa,
seperti yang akan dibahas di bawah ini, memampukan orang untuk
menyelidiki sebab-sebab yang lebih fundamental daripada yang secara
93
normal mereka identifikasi dengan penampakan logika situasional,
dari perspektif analisis teoretis yang lebih luas, menjadi gejala-gejala
yang mengindikasikan kehadiran faktor-faktor kausal yang lebih
fundamental. Sebuah pemahaman yang lebih baik terhadap sebab
fundamental ini sangatlah penting bagi peramalan yang efektif,
khususnya terhadap kisaran tempat yang lebih luas. Ketika logika
situasional mungkin menjadi pendekatan terbaik dalam memper-
kirakan berbagai perkembangan jangka pendek, sebuah pendekatan
yang lebih teoretis dibutuhkan ketika perspektif analitis bergerak
selanjutnya menuju masa depan.

2. Mengaplikasikan Teori
Teori adalah sebuah istilah akademis yang tidak banyak menjadi
mode dalam Komunitas Intelijen, tapi dalam beberapa pembicaraan
tentang keputusan analitis, istilah ini tidak bisa dihindari. Dalam satu
makna populer dari istilah ini, “teoretis” dihubungkan dengan istilah
“tidak praktis” dan “tidak realistis”. Tidak ada gunanya mengatakan,
istilah itu digunakan di sini dalam suatu pengertian yang sungguh-
sungguh berbeda.
Sebuah teori adalah sebuah generalisasi berdasarkan pada kajian
tentang banyak contoh dari beberapa fenomena. Ia menentukan
bahwa ketika seperangkat kondisi tertentu muncul, kondisi-kondisi
tertentu yang lain akan mengikuti baik dengan kepastian maupun
dengan beberapa tingkat probabilitas. Dengan kata lain, berbagai
kesimpulan diputuskan untuk mengikuti seperangkat kondisi dan
sebuah penemuan bahwa kondisi-kondisi ini teraplikasi dalam kasus
spesifik yang telah dianalisis. Misalnya, Turki adalah sebuah negara
berkembang dalam posisi yang sangat strategis dan juga sulit. Ini
menyatakan seperangkat kondisi yang mengimplikasikan berbagai
kesimpulan mengenai peran militer dan hakikat proses politik dalam
negara tersebut, karena para analis mempunyai sebuah hal yang
implisit jika tidak eksplisit dalam memahami bagaimana faktor-faktor
ini secara normal berkaitan.
94
Apa yang kaum akademik pahami dengan teori benar-benar
hanya sebuah versi yang lebih eksplisit dari apa yang analis intelijen
pikirkan tentang pemahaman dasar mereka mengenai bagaimana
individu-individu, institusi-institusi, dan sistem-sistem politik secara
normal menunjukkan reaksi.
Ada keuntungan dan juga kekurangan dalam mengaplikasi-
kan teori dalam analisis intelijen. Satu keuntungannya adalah bahwa
“teori mengekonomisasi pemikiran”. Dengan mengidentifikasi unsur-
unsur kunci terhadap suatu masalah, teori memampukan seorang
analis untuk melihat melebihi perkembangan sementara hari ini,
untuk mengakui berbagai kecenderungan yang mana yang dangkal
dan mana yang signifikan, dan juga untuk meramalkan berbagai
perkembangan masa depan yang sekarang ini masih dalam bentuk
bukti-bukti yang sedikit konkret.
Pertimbangkan, misalnya, proposisi teoretis bahwa perkem-
bangan ekonomi dan pemasukan berbagai ide asing secara massif
dalam suatu masyarakat feodal akan menciptakan ketidakstabil-
an politik. Proposisi ini tampaknya terbentuk dengan baik. Ketika
diaplikasikan kepada negara Saudi Arabia, hal itu menunjukkan
bahwa masa-masa monarki Saudi bisa dihitung, meskipun para analis
tentang ruang lingkup Saudi yang menggunakan logika situasional
menemukan sedikit atau bahkan tidak ada bukti sama sekali tentang
suatu ancaman yang berarti bagi kekuatan dan posisi keluarga keraja-
an. Jadi, aplikasi terhadap proposisi teoretis yang secara umum
diterima memampukan para analis untuk meramalkan suatu hasil
di mana berbagai “bukti kokoh” malah mulai tidak berkembang. Ini
adalah sebuah kekuatan penting bagi analisis teoretis ketika terapli-
kasi pada masalah-masalah dunia nyata.
Bahkan, contoh yang sama ini juga mengilustrasikan sebuah
kelemahan umum dalam mengaplikasikan teori kepada analisis
fenomena politik. Berbagai proposisi teoretis sering kali gagal untuk
menentukan kerangka waktu dalam berbagai perkembangan yang
mungkin diantisipasi untuk terjadi. Masalah analitis dengan respek
95
kepada Saudi Arabia tidaklah begitu banyak apakah monarki itu
pada akhirnya akan digantikan, ketika atau di bawah kondisi-kondisi
apa yang mungkin terjadi ini. Elaborasi selanjutnya terhadap teori
berhubungan dengan perkembangan ekonomi dan berbagai ide luar
negeri terhadap instabilitas politik dalam masyarakat feodal yang
akan mengidentifikasi berbagai indikator peringatan awal yang para
analis mungkin cari. Berbagai indikator seperti itu akan memberi-
kan panduan dalam koleksi intelijen dan analisis data sosio-politik
dan sosio-ekonomi serta mengarah pada berbagai hipotesis mengenai
kapan atau di bawah lingkungan-lingkungan apa suatu peristiwa itu
mungkin terjadi seperti itu.
Tapi jika teori memampukan para analis melampaui batasan-
batasan data yang tersedia, mungkin hal itu juga bisa memberikan
basis bagi pengabaian bukti-bukti yang benar-benar menjadi indika-
si terjadinya peristiwa di masa depan. Anggaplah berbagai proposisi
teoretis berikut yang dipandang dari sudut agitasi populer terhadap
Shah Iran pada akhir 1970-an: (1) Ketika posisi seorang penguasa
otoritarian terancam, dia akan mempertahankan posisinya dengan
kekuatan jika perlu. (2) Seorang penguasa otoritarian menikmati
dukungan utuh dari kekuatan militer dan keamanan yang efektif
yang tidak bisa dilengserkan dengan pendapat dan agitasi populer.
Beberapa akan menentang proposisi-proposisi ini, bahkan ketika
diaplikasikan kepada Iran di akhir tahun 1970-an, mereka mengarah
pada para spesialis Iran untuk salah menilai berbagai kesempat-
an Shah dalam mempertahankan mahkota meraknya. Jika tidak
banyak para spesialis seperti itu yang tampak meyakini bahwa Shah
tetap kuat dan bahwa dia akan menghukum perbedaan pendapat
ketika ia mengancam untuk keluar dari kontrol. Banyak yang tetap
melakukannya dengan cara meninjau kembali apa yang tampak telah
menjadi bukti kuat bagi yang sebaliknya.
Persistensi dari berbagai asumsi ini dengan mudah dipahami
dalam istilah-istilah psikologis. Ketika bukti-bukti itu kurang atau
bersifat ambigu, para analis mengevaluasi berbagai hipotesis dengan
96
menggunakan latar belakang pengetahuan umumnya mengenai
hakikat sistem dan perilaku politik. Bukti tentang kekuatan Shah
dan tujuannya untuk menghukum banyak orang yang tidak sepakat
adalah ambigu, tapi monarki Iran adalah sebuah kekuasaan otoritarian,
dan rezim otoritarian diasumsikan mempunyai karakteristik-karakte-
ristik tertentu, seperti yang tercatat dalam berbagai proposisi yang
telah diungkapkan sebelumnya. Jadi, berbagai keyakinan tentang
Shah dilekatkan dalam asumsi-asumsi yang luas dan persuasif tentang
hakikat rezim otoritarian per se. Ketika seorang analis percaya terhadap
dua proposisi yang telah diterangkan di atas, maka ia akan mengam-
bil lebih banyak bukti, termasuk berbagai bukti yang lebih tidak
ambigu, untuk berpendapat bahwa Shah akan digulingkan daripada
membenarkan konfidensi berlanjut di masa depannya.3
Gambar 4 di bawah ini mengilustrasikan secara grafis perbeda-
an antara teori dan logika situasional. Logika situasional memandang
bukti dalam satu Negara mengenai berbagai permasalahan ganda
yang saling berkaitan, seperti yang telah ditunjukkan oleh kolom
yang dicetak tebal. Inilah sebuah pendekatan sains sosial yang
tipikal.

3. Bahkan dalam tinjauan kembali terhadap dua proposisi ini masih tampak valid,
yang mana hal itu menjadi sebab mengapa beberapa aspek-aspek kejatuhan Shah
tetaplah luar biasa. Pada prinsipnya, ada tiga alasan memungkinkan mengapa
asumsi-asumsi teoretis yang tampak valid ini gagal menghasilkan sebuah perkiraan
akurat di Iran: (1) Satu atau lebih kondisi-kondisi awal diusulkan menjadi fakta
oleh teori yang pada kenyataannya tidak berguna —misalnya, Shah tidak benar-
benar seorang penguasa autoritarian. (2) Teori itu hanya sebagian valid, di mana
ada lingkungan-lingkungan tertentu di bawah teori yang berguna dan tidak
berguna. Kondisi-kondisi membatasi ini harus dispesifikasikan. (3) Teori itu
pada dasarnya valid, tapi orang tidak bisa berharap keakuratan 100 persen dari
teori-teori ilmu pengetahuan sosial, yang berhadapan dengan lingkungan yang
probabilistik. Orang tidak bisa meramalkan semua lingkungan yang mungkin
menyebabkan sebuah pengecualian bagi aturan-aturan umum, sehingga yang
terbaik yang bisa diharapkan adalah bahwa kondisi-kondisi yang diberikan akan
mengarah pada hasil khusus yang terjadi kapan pun.

97
Namun, perbedaan antara teori dan logika situasional tidaklah
sejelas yang mungkin tampak dari grafis di atas. Analisis logika situasi
juga menggambarkan dengan sangat susah tentang berbagai asumsi
teoretis. Bagaimana analis menyeleksi berbagai unsur yang lebih
signifikan dari unsur-unsur ini, tanpa beberapa teori implisit yang
mengaitkan berbagai kemungkinan hasil tertentu terhadap kondisi-
kondisi tertentu yang terjadi sebelumnya?
Misalnya, jika analis memperkirakan hasil pemilihan akan datang
dengan tidak mempunyai data poling mutakhir, maka ia perlu melihat
ke belakang pada pemilihan masa lalu, mengkaji berbagai kampanye,
dan berbagai peristiwa yang memengaruhi perilaku pemilih. Dalam
melakukan hal itu, analis melakukannya dari seperangkat asumsi
tentang hakikat manusia dan apa yang mengendalikan orang dan
kelompok. Asumsi-asumsi ini membentuk bagian sebuah teori tentang
perilaku politik, tapi ia merupakan jenis teori berbeda daripada yang
dibahas di bawah analisis teoretis. Ia tidak menjelaskan keseluruh-
an situasi, tapi hanya tambahan kecil situasi, dan mungkin tidak
digunakan melebihi negara spesifik yang diteliti. Selanjutnya, hal itu
mungkin akan tetap jauh lebih implisit, daripada menjadi sebuah
98
poin analisis.

3. Perbandingan Dengan Berbagai Situasi Sejarah


Pendekatan ketiga yang melampaui informasi yang tersedia
adalah perbandingan. Seorang analis mencari pemahaman dari
berbagai peristiwa sekarang dengan memperbandingkan peristiwa-
peristiwa tersebut dengan berbagai preseden sejarah pada negara
yang sama, atau dengan berbagai peristiwa yang sama dengan
negara-negara lain. Analogi adalah satu bentuk perbandingan.
Ketika sebuah situasi sejarah dianggap diperbandingkan dengan
lingkungan-lingkungan yang terjadi sekarang, para analis menggu-
nakan pemahaman mereka terhadap preseden sejarah untuk mengisi
berbagai kesenjangan dalam pemahaman mereka terhadap situasi
sekarang. Berbagai unsur peristiwa sekarang yang tidak dikenal
diasumsikan sama dengan unsur-unsur yang dikenal dari preseden
sejarah atau peristiwa yang lalu. Jadi, para analis beralasan bahwa
kekuatan yang sama tengah berlangsung, bahwa hasil dari situasi
sekarang kemungkinan sama dengan hasil dari situasi historis atau
situasi masa lalu, atau bahwa sebuah kebijakan tertentu dibutuh-
kan agar bisa menghindari hasil yang sama seperti yang terjadi di
masa lalu.
Pendekatan perbandingan berbeda dengan pendekatan logika
situasional, karena situasi sekarang ditafsirkan dari sudut pandang
model konseptual yang lebih kurang eksplisit yang diciptakan dengan
melihat berbagai situasi serupa di waktu atau tempat yang lain. Ia
berbeda dari analisis teoretis dalam hal bahwa model konseptual
ini didasarkan pada satu kasus atau hanya beberapa kasus, daripa-
da dengan banyak kasus yang serupa. Perbandingan mungkin juga
digunakan untuk menghasilkan teori, tapi ini merupakan jenis
teorisasi yang lebih sempit yang tidak bisa divalidasi dan juga genera-
lisasi diduga berasal dari banyak kasus yang bisa diperbandingkan.
Penalaran dengan perbandingan adalah sebuah jalan pintas
yang nyaman, satu pilihan ketika tidak ada data maupun teori yang
99
tersedia untuk strategi-strategi analitis yang lain, atau hanya karena
ia lebih mudah dan kurang menghabiskan waktu dibandingkan
dengan analisis yang lebih detail. Sebuah analisis komparatif yang
saksama dimulai dengan mengkhususkan unsur-unsur kunci dari
situasi sekarang. Analis kemudian mencari satu atau lebih preseden-
preseden historis yang mungkin mengungkapkan keterangan saat
sekarang ini. Namun sering kali, sebuah preseden historis mungkin
menjadi jelas dan kuat yang ia menekankan dirinya sendiri atas sebuah
pemikiran seseorang dari permulaan, yang mengondisikan mereka
untuk merasakan masa sekarang khususnya dalam hal keserupaan-
nya dengan masa lalu. Inilah penalaran dengan analogi. Sebagaimana
yang Robert Jarvis nyatakan, “Analogi-analogi sejarah sering kali
mendahului, daripada mengikuti, sebuah analisis saksama terhadap
satu situasi.”4
Kecenderungan untuk menghubungkan berbagai peristiwa
kontemporer dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya sebagai satu
panduan untuk memahami yang paling kuat. Perbandingan memban-
tu mencapai pemahaman dengan mengurangi yang kurang familiar
menjadi familiar. Dalam ketiadaan data yang membutuhkan sebuah
pemahaman penuh terhadap situasi sekarang, penalaran dengan per-
bandingan mungkin hanya menjadi pendekatan alternatif. Namun,
siapa pun yang mengambil pendekatan ini, harus sadar terhadap ter-
jadinya potensi kesalahan yang signifikan. Bagian ini adalah sebuah
pengakuan implicit terhadap kurangnya informasi yang cukup untuk
memahami situasi sekarang dalam kebenarannya sendiri, dan kurang-
nya teori yang relevan untuk menghubungkan situasi sekarang dengan
banyak situasi lain yang dapat diperbandingkan.
Yang pasti, kesulitannya adalah, dalam bentuk tertentu, dua
situasi ini benar-benar bisa diperbandingkan. Karena keduanya
ekuivalen dengan beberapa respek, ada sebuah kecenderungan

4. Robert Jervis, “Hypotheses on Misperception,” World Politics 20 (April 1968),


hlm. 471.

100
untuk menalar bahwa mereka ekuivalen dengan semua respek, dan
mengasumsikan bahwa situasi sekarang akan mempunyai hasil yang
sama atau serupa sebagai situasi sejarah. Ini menjadi sebuah asumsi
valid hanya ketika didasarkan pada analisis mendalam terhadap
situasi sekarang dan preseden sejarah untuk menjamin bahwa
mereka benar-benar bisa diperbandingkan dalam semua respek
yang relevan.
Dalam sebuah buku kecil yang seharusnya diakrabi oleh semua
analis intelijen, Ernest May melacak pengaruh analogi historis
terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.5 Dia mendapati
bahwa disebabkan karena penalaran dengan analogis, pembuat
kebijakan di Amerika Serikat cenderung menjadi mundur satu
generasi ke belakang, yang menentukan untuk menghindari kesalah-
an-kesalahan dari generasi sebelumnya. Mereka mengejar berbagai
kebijakan yang akan menjadi yang paling sesuai dengan situasi
historis, tapi tidak perlu mengadaptasi dengan baik terhadap situasi
sekarang.
Para pembuat kebijakan dalam tahun 1930-an misalnya,
memandang situasi internasional sebagai analog dengan sebelum
Perang Dunia I. Akibatnya, mereka mengikuti sebuah kebijakan
isolasi yang akan menjadi sesuai dengan mencegah pelibatan Amerika
dengan Perang Dunia yang pertama, tapi gagal untuk mencegah yang
kedua. Agresi komunis setelah Perang Dunia II dipandang sebagai
analog dengan agresi Nazi, yang mengarah pada sebuah kebijakan
penahanan yang bisa mencegah Perang Dunia II.
Yang paling mutakhir, analogi Vietnam telah digunakan secara
berulang-ulang selama bertahun-tahun untuk menentang partisipa-
si Amerika Serikat terhadap Perang Teluk —sebuah analogi buruk,
karena daerah operasi di mana perang terjadi benar-benar berbeda
dengan medan di Kuwait/Irak dan di sana lebih banyak menjadi

5. Ernest May, `Lessons’ of the Past: The Use and Misuse of History in American Foreign
Policy (New York: Oxford University Press, 1973).

101
hadiah kami sebagaimana yang diperbandingkan dengan Vietnam.
May berargumen bahwa para pembuat kebijakan sering kali
merasakan masalah-masalah dalam hal analogi-analogi dengan masa
lalu, tapi mereka biasanya memanfaatkan sejarah dengan cara yang
buruk:
Ketika mengambil jalan analogi, mereka cenderung meraih
yang pertama yang datang ke dalam pikiran. Mreka tidak
meneliti secara lebih luas. Tidak pula mereka berhenti sejenak
untuk menganalisis kasus tersebut, menguji kesesuaiannya,
atau bahkan bertanya dengan cara-cara apa hal itu mungkin
bisa menyesatkan.6

Sebagaimana yang diperbandingkan dengan para pembuat


kebijakan, analis intelijen mempunyai lebih banyak waktu yang
tersedia untuk “menganalisis daripada menganalogisasi”. Analis
intelijen cenderung menjadi sejarawan yang baik, dengan sejumlah
besar preseden historis tersedia saat dibutuhkan. Semakin besar
jumlah analogi-analogi potensial yang seorang analis punya dalam
penyelesaiannya, semakin besar pula kemungkinan penyeleksi-
an terhadap yang sesuai. Semakin dalam pengetahuan seorang
analis, semakin besar kesempatan analis akan merasakan perbeda-
an-perbedaan dan juga berbagai keserupaan di antara dua situasi.
Bahkan di bawah lingkungan-lingkungan terbaik, berbagai kesimpul-
an yang didasarkan pada perbandingan dengan satu situasi analogis
tunggal kemungkinan lebih mudah mendapatkan kesalahan daripa-
da bentuk-bentuk kesimpulan yang lain.
Penggunaan analisis komparatif yang paling produktif adalah
untuk menunjukkan berbagai hipotesis dan menyoroti berbagai
perbedaan, namun tidak untuk menggambarkan berbagai kesimpul-
an. Perbandingan bisa menunjukkan kehadiran atau pengaruh
variabel-variabel yang tidak secara siap tampak dalam situasi
sekarang, atau menstimulasi imajinasi untuk merasakan berbagai

6. Ibid., hlm. xi.

102
penjelasan atau hasil-hasil yang memungkinkan yang mungkin
tidak terjadi sebaliknya bagi analis. Singkatnya, perbandingan bisa
menghasilkan hipotesis-hipotesis yang kemudian memandu peneli-
tian bagi informasi tambahan untuk menegaskan atau menolak
hipotesis-hipotesis ini. Namun itu seharusnya tidak membentuk basis
bagi berbagai kesimpulan, kecuali kalau melalui analisis terhadap
situasi-situasi yang telah dijelaskan yang benar-benar telah mereka
perbandingkan.

4. Penerjunan Data
Para analis kadang kala menggambarkan prosedur pekerja-
an mereka sebagai penerjunan diri mereka sendiri ke dalam data
tanpa menyesuaikan data ke dalam pola yang sudah dipertim-
bangkan sebelumnya. Pada beberapa hal, suatu pola yang nyata
(atau jawaban atau penjelasan) muncul secara spontan, dan analis
kemudian kembali kepada data untuk memeriksa betapa baiknya
data mendukung keputusan ini. Menurut pandangan ini, objekti-
vitas membutuhkan analis untuk menekan berbagai pendapat atau
prakonsepsi personal, sehingga hanya dipandu oleh “fakta-fakta”
dari kasus tersebut.
Berpikir analisis dalam cara ini mengabaikan fakta bahwa
informasi tidak bisa berbicara untuk dirinya sendiri. Signifikan-
si informasi selalu menjadi fungsi bersama dari hakikat informasi
dan konteks yang di dalamnya ia diinterpretasikan. Konteks diberi-
kan oleh analis dalam bentuk seperangkat asumsi dan berbagai
pengharapan mengenai perilaku manusia dan organisasi. Berbagai
prakonsepsi ini merupakan determinan-determinan kritis yang mana
informasi dianggap relevan dan bagaimana ia diinterpretasikan.
Tentunya, ada banyak lingkungan yang di dalamnya analis
tidak punya pilihan lain selain menerjunkan dirinya sendiri dalam
data. Jelasnya, seorang analis harus mempunyai sebuah basis pengeta-
huan untuk bekerja dengannya sebelum memulai analisis. Ketika
menghadapi suatu subjek baru dan tidak dikenal, akumulasi dan
103
ulasan informasi yang tidak kritis dan relatif tidak selektif menjadi
suatu langkah pertama yang sesuai. Tapi, ini merupakan sebuah
proses penyerapan informasi, bukan menganalisisnya.
Analisis dimulai ketika analis secara sadar memasukkan dirinya
sendiri ke dalam proses menyeleksi, memilah, dan menyusun
informasi. Seleksi dan penyusunan ini hanya bisa diselesaikan
menurut asumsi-asumsi dan prakonsepsi-prakonsepsi sadar atau
bawah sadar.
Pertanyaannya bukanlah apakah asumsi-asumsi dan berbagai
pengharapan seseorang yang ada sebelumnya itu memengaruhi
analisis, tapi apakah pengaruh ini dibuat eksplisit atau tetap implisit.
Perbedaan tampak menjadi penting. Dalam penelitian untuk
menentukan bagaimana para dokter membuat diagnosis medis,
para dokter yang menjadi subjek tes diminta untuk menggambarkan
strategi analitis mereka. Mereka yang dipaksa melakukan pengum-
pulan data secara saksama sebagai metode analitis prinsipil mereka
secara signifikan kurang akurat dalam mendiagnosis dibandingkan
mereka yang menggambarkan diri sendiri sebagai bagian dari strate-
gi analitis mereka seperti mengidentifikasi dan menguji berbagai
hipotesis.7 Lagi pula, koleksi data tambahan melalui ketelitian yang
lebih besar dalam sejarah medis dan pengujian fisik tidak mengarah
pada meningkatnya akurasi diagnosis.8
Orang mungkin berspekulasi bahwa para analis yang mencari
objektivitas yang lebih besar dengan memaksakan pengaku-
an terhadap input subjektifnya sendiri mempunyai input yang
kurang valid. Objektivitas didapatkan dengan membuat asumsi-
asumsi eksplisit, sehingga mereka bisa diuji dan diragukan, namun
tidak dengan usaha-usaha jelas untuk mengeliminasi mereka dari

7. Arthur S. Elstein, Lee S. Shulman, and Sarah A. Sprafka, Medical Problem


Solving: An Analysis of Clinical Reasoning (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1978), hlm. 270.
8. Ibid., hlm. 281. For more extensive discussion of the value of additional
information, see Chapter 5, “Do You Really Need More Information?”

104
analisis.

B. Hubungan di Antara Berbagai Strategi

Tidak ada strategi yang perlu lebih baik daripada yang lain.
Agar bisa menghasilkan semua hipotesis yang relevan dan membuat
maksimal penggunaan semua informasi yang secara potensial relevan,
akan diharapkan untuk menggunakan semua dari tiga strategi di awal
fase penghasilan hipotesis terhadap suatu proyek penelitian. Sayang-
nya, para analis umumnya kekurangan kecenderungan atau waktu
untuk melakukan hal yang sedemikian itu.
Banyak analis yang berbeda mempunyai perilaku dan kesenang-
an analitis yang berbeda dalam menggunakan strategi analitis. Ketika
sebuah generalisasi yang luas yang mengizinkan sejumlah pengecuali-
an, para analis berlatih dalam area kajian atau sejarah yang cenderung
memilih logika situasional, ketika mereka dengan latar belakang sains
sosial yang kuat kemungkinan lebih senang membawa pandang-
an-pandangan komparatif dan teoretis kepada cara kerja mereka.
Komunitas Intelijen secara keseluruhan jauh lebih kuat dalam logika
situasional daripada dalam teori. Dalam keputusan saya, para analis
intelijen tidak cukup menggeneralisasi, sebagai lawan dari banyak
ilmuwan akademis yang menggeneralisasi terlalu banyak. Pengguna-
an generalisasi ini secara khusus memang tepat dalam analisis politik,
dan bukannya keseluruhan mengarah pada ketidaktersediaan teori
politik yang bisa diaplikasikan. Pandangan-pandangan teoretis yang
tersedia sering kali tidak diketahui atau setidaknya tidak digunakan
oleh para analis intelijen politik.
Perbedaan dalam strategi analitis mungkin menyebabkan
perbedaan-perbedaan fundamental dalam perspektif di antara para
analis intelijen dengan sebagian pembuat kebijakan untuk siapa
mereka menulis. Pejabat pada tingkatan yang lebih tinggi yang tidak
ahli pada subjek permasalahan akan menggunakan jauh lebih banyak
teori dan perbandingan dan kurang menggunakan logika situasio-

105
nal dibandingkan dengan para analis intelijen. Sebagian pembuat
kebijakan atau manajer senior lainnya yang kekurangan pengetahuan
dasar tentang spesialis dan tidak mempunyai waktu untuk kedetailan
harus, terhadap kebutuhan, menghadapi berbagai generalisasi luas.
Banyak keputusan yang harus dibuat, dengan sangat sedikit waktu
untuk mempertimbangkan masing-masing dari keputusan tersebut
dibandingkan yang tersedia untuk analis intelijen. Ini mengharuskan
pembuat kebijakan untuk mengambil sebuah pendekatan yang lebih
konseptual, untuk berpikir dalam sudut pandang teori-teori, model-
model, atau analogi-analogi yang meringkaskan sejumlah detail yang
besar. Apakah ini merepresentasikan kepuasan atau penyederhana-
an yang berlebihan tergantung pada kasus individu dan mungkin
apakah orang setuju atau tidak setuju dengan keputusan-keputus-
an yang dibuat. Dalam banyak peristiwa, para analis intelijen akan
melakukan yang terbaik untuk mengambil fenomena ini ke dalam
laporan ketika menulis bagi para konsumen mereka.

C. Berbagai Strategi untuk Memilih di Antara Hipotesis

Sebuah proses analitis yang sistematis membutuhkan seleksi


di antara berbagai hipotesis alternatif, dan di sinilah praktik analitis
sering kali menyimpang secara signifikan dari yang ideal dan dari
norma-norma metode ilmiah. Yang ideal adalah untuk menghasilkan
seperangkat penuh hipotesis, yang secara sistematis mengevaluasi
masing-masing hipotesis, dan kemudian mengidentifikasi hipote-
sis yang memberikan kesesuaian terbaik bagi data. Metode ilmiah,
karena bagian-bagiannya, mengharuskan orang berusaha untuk
menyangkal berbagai hipotesis daripada menegaskannya.
Dalam praktiknya, strategi-strategi lain umumnya diguna-
kan. Alexander George telah mengidentifikasi sejumlah strategi
yang kurang lebih optimal dalam membuat keputusan-keputus-
an dalam berhadapan dengan informasi yang tidak lengkap serta
nilai-nilai dan tujuan-tujuan ganda dan bersaing. Ketika George

106
menyusun strategi-strategi ini sebagai hal yang bisa diaplikasikan
terhadap bagaimana para pembuat kebijakan memilih di antara
berbagai kebijakan alternatif, maka banyak juga yang bisa diaplika-
sikan pada bagaimana para analis intelijen memutuskan di antara
berbagai hipotesis analitis alternatif.
Strategi-strategi relevan yang George identifikasi adalah:
1. “Pemuasan” —menyeleksi alternatif yang teridentifikasi per-
tama kali yang tampak “cukup baik” daripada menguji semua
alternatif untuk menentukan yang mana yang “terbaik”.
2. Inkrementalisme —terfokus pada sebuah kisaran alternatif
sempit yang merepresentasikan perubahan marginal, tanpa
mempertimbangkan kebutuhan akan perubahan dramatis
dari sebuah posisi yang ada.
3. Konsensus —memilih untuk alternatif yang akan mendatang-
kan persetujuan dan dukungan yang lebih besar. Menceritakan
bos tentang apa yang dia ingin dengar adalah satu versi dari
hal ini.
4. Penalaran dengan analogi —memilih alternatif yang tampak
yang kemungkinan besar untuk menghindari beberapa
kesalahan sebelumnya atau untuk menduplikatkan sebuah
kesuksesan yang digapai sebelumnya.
5. Bersandar pada seperangkat prinsip atau peribahasa yang
membedakan sebuah alternatif yang “bagus” dari yang
“jelek”.9
Analis intelijen mempunyai pilihan menantang yang lain bagi
para pembuat kebijakan: untuk menghindari keputusan dengan
menggambarkan situasi mutakhir, mengidentifikasi alternatif-
alternatif, dan membiarkan konsumen intelijen membuat keputusan
tentang alternatif mana yang kemungkinan besar dipilih. Kebany-

9. Alexander George, Presidential Decisionmaking in Foreign Policy: The Effective Use


of Information and Advice (Boulder, CO: Westview Press, 1980), Chapter 2.

107
akan dari strategi ini tidak dibahas di sini. Paragraf berikut ini
hanya memfokuskan diri pada satu strategi yang tampak paling
prevalen atau lazim dengan analisis intelijen. Strategi tersebut adalah
“pemuasan”.

Strategi “Pemuasan”

Berdasarkan pengalaman dan diskusi pribadi dengan para


analis, saya akan menunjukkan bahwa banyak analisis dilakukan
dengan cara yang sangat serupa dengan mode pemuasan (menyelek-
si alternatif yang teridentifikasi pertama kali yang tampak “cukup
bagus”).10 Analis mengidentifikasi apa yang kemungkinan besar
tampak menjadi hipotesis —yaitu, perkiraan, penjelasan, atau
deskripsi sementara terhadap situasi yang tampak paling akurat.
Data dikumpulkan dan disusun menurut apakah data-data tersebut
mendukung keputusan sementara ini, dan hipotesis diterima jika ia
tampak memberikan sebuah kesesuaian yang masuk akal terhadap
data. Analis yang hati-hati akan membuat sebuah ulasan cepat
terhadap berbagai hipotesis lain yang memungkinkan dan terhadap
bukti-bukti yang tidak diperhitungkan oleh keputusan yang paling
dipilih untuk menjamin bahwa dia tidak meremehkan beberapa
pertimbangan yang penting.
Pendekatan ini mempunyai tiga kelemahan: persepsi selektif yang
dihasilkan dari fokus pada satu hipotesis, kegagalan untuk menghasil-
kan seperangkat hipotesis bersaing (competing hypothesis) yang lengkap,
dan sebuah fokus pada bukti-bukti yang menegaskan daripada hipote-
sis-hipotesis yang tidak tertegaskan. Masing-masing dari kelemahan
tersebut akan dijelaskan berikut ini.
Persepsi Selektif. Berbagai hipotesis sementara memberikan
sebuah fungsi yang berguna dalam membantu analis menyeleksi,

10. Konsep “pemuasan”, dengan mencari sebuah kepuasan daripada solusi optimal,
dikembangkan oleh Herbert A. Simon dan secara luas digunakan dalam literatur
mengenai analisis keputusan.

108
menyusun, dan mengatur informasi. Mereka mempersempit ruang
lingkup permasalahan sehingga analis bisa fokus secara efisien pada
data yang paling relevan dan penting. Berbagai hipotesis berlaku
sebagai pengaturan kerangka kerja dalam memori bekerja dan
dengan demikian memfasilitasi pengingatan kembali informasi dari
memori. Pendeknya, mereka merupakan unsur-unsur esensial bagi
proses analitis. Tapi, kegunaan fungsional mereka juga menghabis-
kan banyak biaya, karena sebuah hipotesis berfungsi sebagai filter
perseptual. Para analis, seperti kebanyakan orang pada umumnya,
cenderung melihat apa yang mereka cari dan meremehkan apa yang
secara spesifik tidak termasuk dalam strategi pencarian mereka.
Mereka cenderung membatasi dalam memproses informasi hanya
pada yang relevan dengan hipotesis yang ada sekarang. Jika hipotesis
tersebut tidak benar, informasi tersebut mungkin dihilangkan yang
akan menunjukkan sebuah hipotesis baru atau yang termodifikasi.
Kesulitan ini bisa diatasi dengan pertimbangan simultan
terhadap berbagai hipotesis ganda (multiple hypotheses). Pendekatan
ini dibahas secara teperinci pada Bab 8. Pendekatan ini mempunyai
keuntungan dalam memfokuskan perhatian pada item-item bukti
yang mempunyai nilai diagnosis terbesar dalam perbedaan di antara
validitas berbagai hipotesis bersaing. Banyak bukti yang konsis-
ten dengan beberapa hipotesis yang berbeda, dan fakta ini dengan
mudah diabaikan ketika para analis hanya fokus pada satu hipote-
sis pada satu waktu —khususnya jika fokus mereka adalah berusaha
menegaskan daripada menyangkal apa yang kemungkinan besar
tampak menjadi jawabannya.
Kegagalan Menghasilkan Hipotesis yang Layak. Jika hipo-
tesis-hipotesis sementara menentukan kriteria pencarian informasi
dan menilai relevansinya, maka yang mengikutinya adalah bah-
wa orang mungkin mengabaikan jawaban yang tepat jika ia tidak
dicakup dalam beberapa hipotesis yang telah dipertimbangkan.
Penelitian terhadap generasi hipotesis menunjukkan bahwa pres-

109
tasi pada tugas ini sangat tidak mencukupi.11 Ketika dihadapkan
dengan sebuah masalah analitis, orang mungkin tidak mampu atau
tidak mengambil waktu untuk mengidentifikasi kisaran penuh dari
jawaban yang potensial. Prestasi analitis mungkin diperluas seca-
ra signifikan oleh perhatian yang lebih saksama terhadap tahapan
proses analitis ini. Para analis harus mengambil lebih banyak wak-
tu untuk mengembangkan seperangkat penuh hipotesis bersaing,
dengan menggunakan semua dari tiga strategi yang telah dibahas
sebelumnya —teori, logika situasional, dan perbandingan.
Kegagalan Mempertimbangkan Kediagnositasan Bukti.
Dalam ketiadaan seperangkat lengkap hipotesis alternatif, tidaklah
mungkin mengevaluasi “kediagnositasan” bukti-bukti. Sayang-
nya, banyak analis yang tidak akrab dengan konsep kediagnositasan
bukti. Ia mengacu pada sejumlah item bukti yang membantu analis
menentukan kemungkinan relatif dari berbagai hipotesis alterna-
tif.
Sekadar ilustrasi, suhu tinggi kemungkinan mempunyai
nilai yang besar dalam perkataan seorang dokter bahwa seorang
pasien sakit, tapi hal itu mempunyai nilai yang sedikit relatif dalam
menentukan penyakit mana yang pasien itu derita. Karena suhu
tinggi konsisten dengan banyak hipotesis yang memungkinkan
tentang penyakit sang pasien, maka ia mempunyai nilai diagnosa
yang terbatas dalam menentukan penyakit mana (hipotesis) yang
kemungkinan besar orang itu derita.
Bukti akan bersifat diagnosis ketika ia memengaruhi sebuah
keputusan analitis pada kemungkinan relatif dari beragam hipotesis.
Jika sebuah item bukti tampak konsisten dengan semua hipotesis,
mungkin ia tidak mempunyai nilai diagnosis sama sekali. Merupa-
kan sebuah pengalaman umum untuk menelusuri bukti-bukti yang
paling tersedia yang benar-benar sangat tidak membantu, sebagai-

11. Charles Gettys et al., Hypothesis Generation: A Final Report on Three Years
of Research. Technical Report 15-10-80. University of Oklahoma, Decision
Processes Laboratory, 1980.

110
mana ia yang bisa direkonsiliasikan dengan semua hipotesis.

D. Kegagalan Menolak Hipotesis

Metode ilmiah didasarkan pada prinsip penyangkalan hipote-


sis, ketika untuk sementara hanya menerima hipotesis-hipotesis
yang tidak bisa disangkal. Analisis intuitif, dengan perbandingan,
umumnya mengonsentrasikan pada penegasan sebuah hipotesis dan
umumnya menyampaikan lebih banyak bukti yang mendukung
sebuah hipotesis daripada bukti yang memperlemahnya. Idealnya,
yang sebaliknya akan menjadi benar. Ketika para analis biasanya tidak
bisa mengaplikasikan berbagai prosedur statistik terhadap metodo-
logi ilmiah untuk menguji berbagai hipotesis mereka, maka mereka
bisa dan seharusnya mengadopsi strategi konseptual dalam berusaha
untuk menyangkal daripada menegaskan hipotesis-hipotesis.
Ada dua aspek terhadap masalah ini: orang pada dasarnya
tidak berusaha melemahkan bukti, dan ketika bukti seperti itu
diterima, bukti tersebut cenderung diabaikan. Jika ada beberapa
pertanyaan seputar yang pertama, pertimbangkan betapa sering
orang menguji keyakinan-keyakinan politik dan keagamaan mereka
dengan membaca surat kabar dan buku-buku yang merepresentasi-
kan sebuah sudut pandang yang berlawanan. Mengenai yang kedua,
yang telah kami bahas dalam Bab 2, “Persepsi: Mengapa Kita Tidak
Bisa Melihat Apa yang Terlihat Ada di Sana?” Ada kecederungan
untuk mengakomodasi informasi baru terhadap berbagai gambaran
yang ada. Ini mudah dilakukan jika informasi mendukung sebuah
hipotesis yang diterima sebagai hal yang valid, ketika informasi yang
memperlemahnya dinilai menjadi reliabilitas yang bisa dipertanyakan
atau sebuah anomali yang tidak penting. Ketika informasi diproses
dengan cara ini, sangatlah mudah “menegaskan” hampir beberapa
hipotesis yang orang sudah yakini kebenarannya.
Terlepas dari perangkap psikologis yang tercakup dalam
pencarian bukti-bukti penegasan, sebuah poin logis penting juga

111
harus dipertimbangkan. Penalaran logis yang mendasari metode
ilmiah terhadap penolakan hipotesis adalah bahwa “….tidak ada hal
menegaskan terhadap suatu hukum yang merupakan suatu hal yang
membuktikan, tapi beberapa hal yang tidak menegaskan merupa-
kan sebuah hal yang memfalsifikasikan.”12 Dengan kata lain, sebuah
hipotesis tidak akan pernah bisa dibuktikan oleh penyebutan dari
suatu isi bukti yang besar yang konsisten dengan hipotesis tersebut,
karena isi bukti yang sama mungkin juga menjadi konsisten dengan
hipotesis-hipotesis yang lain. Namun, sebuah hipotesis mungkin saja
disangkal dengan pengungkapan item bukti tunggal yang tidak bisa
disamakan dengannya.
P. C. Wason melakukan serangkaian eksperimen untuk
menguji pandangan bahwa orang pada umumnya mencari bukti yang
menegaskan daripada yang tidak menegaskan.13 Desain eksperimen-
tal yang didasarkan pada poin di atas menunjukkan bahwa validitas
sebuah hipotesis hanya bisa diuji dengan berusaha menyangkalnya
daripada menegaskannya. Subjek-subjek tes diberikan rangkaian tiga
angka, 2-4-6, dan diminta untuk menemukan aturan yang diguna-
kan untuk menghasilkan rangkaian ini. Agar bisa melakukan hal yang
seperti itu, mereka diperbolehkan untuk menghasilkan rangkaian tiga
angkanya sendiri dan meminta para peneliti apakah ini sudah sesuai
dengan aturan atau belum. Mereka didorong untuk menghasilkan
dan bertanya tentang seberapa banyak rangkaian yang telah mereka
harapkan dan diinstruksikan untuk berhenti hanya ketika mereka
yakin bahwa mereka telah menemukan aturan tersebut.
Tentunya ada banyak aturan yang memungkinkan yang bisa
jadi menerangkan rangkaian 2-4-6. Subjek-subjek tes memformu-
lasikan beberapa hipotesis sementara seperti rangkaian menarik dari
angka-angka tersebut, atau beberapa rangkaian dipisahkan oleh dua
digit. Sebagaimana yang diharapkan, subjek-subjek tes umumnya

12. P. C. Wason, “On the Failure to Eliminate Hypotheses in a Conceptual Task,”


The Quarterly Journal of Experimental Psychology, Vol. XII, Part 3 (1960).
13. Wason, ibid.

112
mengambil pendekatan percobaan yang salah untuk menegas-
kan daripada mengeliminasi hipotesis-hipotesis seperti itu. Untuk
menguji hipotesis tersebut, aturannya adalah rangkaian menaik dari
angka-angka tersebut, misalnya, mereka mungkin bertanya jika
rangkaian 8-10-14 sudah sesuai dengan aturan.
Para pembaca yang mengikuti penalaran pada poin ini akan
mengakui bahwa hipotesis ini tidak pernah bisa dibuktikan dengan
penghitungan contoh-contoh rangkaian menaik dari angka-angka
yang telah ditemukan untuk menyesuaikan dengan pencarian aturan.
Orang hanya bisa menyangkal hipotesis dengan menyebutkan sebuah
rangkaian menaik dari angka ganjil dan mempelajari bahwa ini
sangatlah sesuai dengan aturan tersebut.
Aturan yang benar adalah tiga angka menaik, baik angka ganjil
maupun genap. Disebabkan karena strategi pencarian bukti menegas-
kan, hanya enam dari 29 subjek tes dalam eksperimen Wason yang
benar untuk kali pertama mereka pikir mereka telah menemukan
aturannya. Ketika eksperimen yang sama ini diulangi oleh seorang
peneliti yang berbeda untuk suatu tujuan yang agak berbeda, maka
tidak ada seorang pun dari 51 subjek tes yang mempunyai jawaban
benar untuk kali pertama mereka pikir mereka telah menemukan
aturan tersebut.14
Dalam eksperimen Wason, strategi pencarian bukti yang
menegaskan daripada yang menyangkal sangatlah menyesatkan,
karena rangkaian 2-4-6 itu konsisten dengan sejumlah besar hipotesis
seperti itu. Sangatlah mudah bagi para subjek tes untuk mendapat-
kan bukti menegaskan untuk hampir beberapa hipotesis yang telah
mereka coba tegaskan. Sangatlah penting mengakui bahwa situasi-
situasi yang bisa diperbandingkan, ketika bukti itu konsisten dengan
beberapa hipotesis yang berbeda, sangatlah umum dalam analisis
intelijen.

14. Harold M. Weiss and Patrick A. Knight, “The Utility of Humility: Self-Esteem,
Information Search, and Problem-Solving Efficiency,” Organizational Behavior
and Human Performance, Vol. 25, No. 2 (April 1980), hlm. 216-223.

113
Coba pertimbangkan daftar-daftar beberapa indikator peringat-
an dini, misalnya. Mereka didesain untuk menjadi indikatif terhadap
serangan yang akan datang. Namun, sangat banyak dari indikator
tersebut yang juga konsisten dengan hipotesis bahwa gerakan-gerakan
militer merupakan sebuah gertak sambal untuk mendesakkan tekanan
diplomatis dan bahwa tidak ada aksi militer yang akan dilakukan
nantinya. Ketika para analis menggunakan hanya salah satu dari
hipotesis ini dan mencari bukti untuk menegaskannya, mereka sering
kali akan tersesat.
Bukti-bukti yang tersedia bagi analis intelijen ada dalam satu
pengertian penting yang berbeda dari bukti yang tersedia bagi
subjek-subjek tes yang berusaha meminta aturan rangkaian angka.
Analis intelijen biasanya menghadapi masalah-masalah yang di
dalamnya bukti hanya mempunyai sebuah hubungan probabilistik
terhadap hipotesis yang telah dipertimbangkan. Jadi, jarang sekali
ada kemungkinan untuk mengeliminasi beberapa hipotesis secara
keseluruhan, karena banyak orang yang bisa berkata bahwa sebuah
hipotesis yang diberikan kemungkinan tidak memberikan hakikat
bukti, dan bukan itu yang menjadi tidak mungkin.
Ini memperlemah kesimpulan-kesimpulan yang bisa digambar-
kan dari sebuah strategi yang bertujuan mengeliminasi berbagai
hipotesis, tapi itu tidak dalam beberapa cara yang membenarkan
sebuah strategi yang bertujuan untuk menegaskannya.
Lingkungan-lingkungan dan data yang tidak mencukupi
sering kali menghalangi aplikasi prosedur-prosedur ilmiah yang
setepat-tepatnya dalam analisis intelijen —termasuk, khususnya,
metode-metode statistik bagi pengujian berbagai hipotesis. Namun,
tentunya tidak ada alasan mengapa strategi konseptual dasar dalam
mencari bukti-bukti sebaliknya tidak bisa digunakan. Sebuah strate-
gi analitis yang optimal mengharuskan para analis untuk mencari
informasi untuk tidak memperkuat teori-teori favorit mereka,
bukannya menggunakan sebuah strategi yang memuaskan yang
membolehkan penerimaan hipotesis pertama yang tampak konsis-
114
ten dengan bukti-bukti tersebut.

E. Kesimpulan

Ada perkiraan kegagalan intelijen yang sangat detail, tapi


berbagai deskripsi bisa diperbandingkan terhadap kesuksesan
intelijen. Dalam mengulas literatur tentang kesuksesan intelijen,
Frank Stech menemukan banyak contoh kesuksesan, tapi hanya
tiga laporan yang memberikan cukup detail metodologis untuk
memancarkan cahaya pada proses-proses dan metode-metode
intelektual yang berkontribusi terhadap kesuksesan tersebut. Ini
berhadapan dengan usaha-usaha intelijen Amerika dan Inggris
yang sukses selama Perang Dunia II untuk menganalisis propagan-
da Jerman, memprediksi gerakan-gerakan bawah laut Jerman, dan
memperkirakan berbagai kapabilitas dan tujuan di masa depan dari
Angkatan Udara Jerman.15
Stech mencatat bahwa dalam masing-masing usaha yang sangat
sukses ini, para analis menggunakan prosedur-prosedur yang “…
memfasilitasi formulasi dan menguji masing-masing perkiraan
hipotetis alternatif yang lain dari berbagai tujuan musuh. Masing-
masing dari tiga laporan itu menekankan pada pengaduan berbagai
hipotesis yang berkompetisi terhadap bukti-bukti tersebut.”16
Evaluasi simultan terhadap hipotesis-hipotesis ganda dan
bersaing mengizinkan sebuah analisis yang lebih sistematis dan
objektif daripada yang mungkin terjadi ketika seorang analis

15. Alexander George, Propaganda Analysis: A Study of Inferences Made From Nazi
Propaganda in World War II (Evanston, IL: Row, Peterson, 1959); Patrick Beesly,
Very Special Intelligence: The Story of the Admiralty’s Operational Intelligence
Center 1939-1945 (London: Hamish Hamilton, 1977); and R. V. Jones, Wizard
War: British Scientific Intelligence 1939-1945 (New York: Coward, McCann &
Geoghegan, 1978).
16. Frank J. Stech, Political and Military Intention Estimation: A Taxonometric Analysis,
Final Report for Office of Naval Research (Bethesda, MD: MATHTECH, Inc.,
November 1979), p. 283.

115
memfokuskan pada suatu perkiraan atau penjelasan yang tunggal
dan berkemungkinan banyak. Evaluasi simultan terhadap hipote-
sis-hipotesis tunggal dan bersaing memerlukan ketegangan kognitif
yang jauh lebih besar daripada pengujian sebuah hipotesis tunggal
dan banyak kemungkinannya. Memakai hipotesis ganda dalam
memori bekerja dan mencatat betapa masing-masing item dari bukti-
bukti itu sesuai dengan masing-masing hipotesis yang menambahkan
kepada sebuah tugas kognitif yang berat. Itulah sebabnya mengapa
pendekatan ini jarang digunakan dalam analisis intuitif terhadap
permasalahan-permasalahan yang kompleks. Namun, itu bisa disele-
saikan dengan bantuan prosedur sederhana yang digambarkan dalam
Bab 8, “Analisis Terhadap Berbagai Hipotesis yang Bersaing”.

116
Bab 5
Apakah Anda Benar-Benar
Membutuhkan Lebih Banyak Informasi?

Berbagai kesulitan yang berkaitan dengan analisis intelijen sering kali dise-
babkan oleh ketidakcukupannya informasi yang tersedia. Jadi, Komunitas
Intelijen Amerika Serikat sangat mencurahkan energinya untuk memper-
baiki sistem pengumpulan intelijen ketika para manajer analisis menyesali
secara komparatif begitu sedikitnya waktu yang dihabiskan untuk mem-
perluas sumber daya analitis, memperbaiki metode-metode analitis, atau
mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam proses kognitif yang men-
cakup pembuatan berbagai keputusan analitis. Bab ini mempertanyakan
berbagai asumsi yang sering kali implisit bahwa kekurangan informasi
merupakan tantangan prinsipil untuk mengakuratkan berbagai keputus-
an intelijen.1

D engan menggunakan para ahli dalam berbagai bidang


sebagai subjek tes, para psikolog eksperimental telah menguji
hubungan di antara sejumlah informasi yang tersedia bagi para
ahli, akurasi keputusan yang telah mereka dasarkan kepada

1. Ini adalah versi revisi dari sebuah artikel yang dimuat di Studies in Intelligence, Vol.
23, No. 1 (Spring 1979). Artikel Studies in Intelligence tersebut terakhir dicetak
ulang di H. Bradford Westerfield, ed., Inside CIA’s Private World: Declassified
Articles from the Agency’s Internal Journal, 1955-1992 (New Haven: Yale University
Press, 1995). Sedangkan versi yang agak berbeda dipublikasikan di The Bureaucrat,
Vol. 8, 1979, dengan judul “Improving Intelligence Analysis: Some Insights on Data,
Concepts, and Management in the Intelligence Community.” Untuk buku ini, porsi
artikel asli mengenai perbaikan analisis intelijen akan dibahas di Bab 14 tentang
“Memperbaiki Analisis Intelijen”.
informasi ini, dan rasa percaya diri para ahli dalam akurasi keputus-
an-keputusan ini. Kata ‘informasi’, seperti yang telah digunakan
dalam konteks ini, mengacu pada totalitas material seorang analis
yang telah tersedia untuk bekerja bersama dalam membuat sebuah
keputusan.
Penemuan-penemuan kunci dari penelitian ini adalah:
1. Ketika seorang analis berpengalaman mempunyai informasi
minimal yang dibutuhkan untuk membuat sebuah keputus-
an yang terinformasikan, mendapatkan informasi tambahan
pada umumnya tidak memperbaiki akurasi dari perkiraan-
nya. Namun, informasi tambahan telah menjadikan sang
analis lebih percaya diri dalam keputusan yang telah dibuat-
nya, bahkan ada yang sangat percaya diri.
2. Analis yang telah berpengalaman mempunyai sebuah pema-
haman yang tidak sempurna terhadap informasi apa yang
telah mereka benar-benar gunakan dalam membuat kepu-
tusan-keputusan. Mereka tidak sadar pada tingkatan
keputusan-keputusan mereka yang ditentukan oleh beberapa
faktor dominan, daripada ditentukan oleh integrasi sistema-
tis dari suatu informasi yang tersedia. Para analis sebenarnya
menggunakan informasi yang tersedia daripada yang mereka
pikir telah mereka lakukan.
Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, berbagai penemu-
an eksperimental seharusnya tidak harus diterima pada nilai
permukaannya saja. Misalnya, lingkungan-lingkungan yang ada di
mana informasi tambahan yang bekerja di dalamnya memberikan
andil bagi analisis yang lebih akurat. Namun, ada juga lingkungan-
lingkungan yang di dalamnya ada informasi tambahan —khususnya
informasi yang berlawanan— yang mengurangi daripada mening-
katkan rasa percaya diri pada seorang analis.
Untuk menafsirkan berbagai penemuan dalam berbagai eksperi-
men ini yang terasa mengganggu namun tidak mengejutkan, perlu

118
mempertimbangkan empat jenis informasi berbeda dan membica-
rakan nilai relatif mereka dalam memberikan andil bagi akurasi
keputusan-keputusan analitis. Juga membantu dalam membedakan
analisis yang di dalamnya segala hasil yang didapatkan dikendali-
kan oleh data dari analisis yang telah diarahkan oleh kerangka kerja
konseptual yang digunakan untuk menafsirkan data.
Memahami hubungan kompleks antara jumlah informa-
si dengan akurasi keputusan mempunyai implikasi-implikasi bagi
semua manajemen dan perilaku analisis intelijen. Pemahaman seperti
itu menunjukkan prosedur analitis dan inisiatif manajemen yang
mungkin benar-benar memberikan andil bagi keputusan analitis
yang lebih akurat. Hal itu juga menunjukkan bahwa sumber daya
yang dibutuhkan untuk mencapai sebuah pemahaman yang lebih
baik dari keseluruhan proses analitis mungkin dialihkan secara
menguntungkan dari beberapa program koleksi intelijen yang lebih
mahal.
Berbagai penemuan ini mempunyai relevansi yang luas mele-
bihi Komunitas Intelijen. Analisis informasi untuk mendapatkan
sebuah pemahaman yang lebih baik mengenai perkembangan-per-
kembangan masa kini dan untuk memperkirakan hasil-hasil di masa
depan adalah sebuah komponen pembuatan keputusan yang esensial
dalam beberapa lapangan. Faktanya, berbagai eksperimen psikologis
yang paling relevan telah dilakukan dengan para ahli dalam lapang-
an yang berbeda seperti itu, seperti diagnosis medis dan psikologis,
analisis pasar saham, peramalan cuaca, dan proses memprediksi
pemenang pacuan kuda. Berbagai eksperimen tersebut merefleksi-
kan proses mendasar manusia yang memengaruhi analisis terhadap
beberapa subjek.
Orang mungkin melakukan eksperimen untuk mendemon-
strasikan fenomena ini dalam beberapa lapangan yang mana di
dalamnya para ahli menganalisis sejumlah jenis informasi yang
bisa diidentifikasi dan diklasifikasi yang sifatnya terbatas untuk
membuat keputusan-keputusan atau perkiraan-perkiraan yang
119
bisa diperiksa keakuratannya sesudah itu. Analis pasar saham,
misalnya, umumnya bekerja dengan informasi yang berkaitan
dengan rasio harga pendapatan, margin keuntungan, pendapatan
per bagian, volume pasar, serta tingkat resistensi dan dukungan,
dan itu relatif mudah mengukur secara kuantitatif akurasi predik-
si-prediksi yang dihasilkan. Dengan mengontrol informasi yang
dibuat tersedia bagi sekelompok ahli dan kemudian memerik-
sa akurasi keputusan-keputusan yang didasarkan pada informasi
ini, akan memungkinkan untuk menginvestigasi bagaimana orang
menggunakan informasi untuk sampai pada keputusan-keputus-
an analitis.

A. Sebuah Eksperimen: Bertaruh pada Pacuan Kuda

Deskripsi tentang satu eksperimen seperti berusaha untuk


mengilustrasikan prosedurnya.2 Delapan orang yang mempre-
diksi pemenang dalam pacuan kuda (horserace handicappers) yang
berpengalaman ditunjukkan dalam suatu daftar dari 88 variabel
yang terletak pada suatu bagan prestasi masa lalu yang khas —
misalnya, berat yang dibawa; persentase pacuan yang telah kuda
selesaikan pertama, kedua, atau ketiga pada tahun sebelumnya;
catatan prestasi sang joki; dan jumlah hari ketika kuda tersebut
terakhir berlomba. Masing-masing orang yang memprediksi
pemenang (handicapper) diminta untuk mengidentifikasi, pertama,
apa yang dia anggap menjadi lima item informasi yang paling
penting —dia akan berharap bisa memprediksi sebuah lomba jika
dia dibatasi hanya lima item informasi per kuda. Masing-masing
kemudian diminta untuk menyeleksi 10, 20, dan 40 variabel yang
paling penting yang dia akan gunakan jika terbatas pada tingkat-
an informasi tersebut.

2. Paul Slovic, “Behavioral Problems of Adhering to a Decision Policy,” manuskrip


yang tidak dipublikasikan, 1973.

120
Pada titik ini, sang prediktor (handicapper) diberikan data yang
benar (tersterilisasi sehingga kuda-kuda dan lomba yang sebenarnya
tidak bisa diidentifikasi) untuk 40 pacuan yang lalu dan diminta
untuk memeringkatkan lima kuda terbaik dalam masing-masing
pacuan agar diharapkan mencapai finish. Masing-masing prediktor
diberikan data dalam tambahan 5, 10, 20, dan 40 variabel yang dia
anggap paling berguna. Jadi, dia memprediksikan masing-masing
lomba empat kali —masing-masing lomba dengan empat tingkat
informasi yang berbeda. Untuk setiap prediksi, masing-masing
prediktor memberikan suatu nilai dari 0 sampai 100 persen untuk
mengindikasikan tingkat konfidensi dalam keakuratan prediksi-
nya.
Ketika prediksi-prediksi sang prediktor diperbandingkan
dengan hasil sebenarnya dari 40 pacuan ini, jelaslah bahwa akurasi
rata-rata dari prediksi tersebut tetaplah sama tanpa melihat seberapa
banyak informasi yang prediktor punya. Tiga prediktor sebenar-
nya menunjukkan akurasi yang kurang ketika jumlah informasi
meningkat, yang dua memperbaiki akurasi mereka, dan yang tiga
tidak berubah. Namun, semua yang diekspresikan secara mantap
meningkatkan konfidensi dalam keputusan-keputusan mereka
ketika semakin banyak informasi yang telah diterima. Hubungan
antara jumlah informasi, akurasi prediksi sang prediktor terhadap
pemenang tempat pertama, dan konfidensi sang prediktor dalam
prediksi mereka ini ditunjukkan dalam Gambar 5.

121
Hanya dengan lima item informasi, konfidensi sang prediktor
sangat tersesuaikan dengan akurasi mereka, tapi mereka menjadi
sangat percaya diri ketika informasi tambahan diterima.
Hubungan yang sama antara jumlah informasi, akurasi, dan
konfidensi analis telah ditegaskan oleh berbagai pengalaman yang
serupa dalam lapangan-lapangan yang lain.3 Dalam satu eksperi-
men dengan psikologis klinis, sebuah salinan kasus psikologis dibagi
menjadi empat bagian yang merepresentasikan periode-periode
kronologis yang suksesif dalam kehidupan individu yang relatif
normal. Tiga puluh dua psikolog dengan tingkat pengalaman yang
3. Untuk sebuah daftar referensi, lihat Lewis R. Goldberg, “Simple Models or
Simple Processes? Some Research on Clinical Judgments,” American Psychologist,
23 (1968), hlm. 261-265.

122
berbeda diminta untuk membuat keputusan-keputusan atas dasar
informasi ini. Setelah membaca masing-masing bagian dari salinan
kasus tersebut, para psikolog menjawab 25 pertanyaan (yang di
dalamnya ada jawaban-jawaban yang diketahui) tentang kepriba-
dian subjek salinan tersebut. Seperti dalam eksperimen-eksperimen
yang lain, meningkatnya informasi yang dihasilkan disertai dengan
munculnya rasa percaya diri yang kuat, namun akan terjadi pening-
katan yang tidak berarti dalam tingkat akurasinya.4
Serangkaian eksperimen untuk menguji proses mental dari
para dokter medis dalam mendiagnosis penyakit mendapati sedikit
hubungan antara ketelitian pengumpulan data dengan akurasi
diagnosis. Para siswa kedokteran yang memiliki strategi peneliti-
an yang tergambarkan diri yang menitikberatkan sepenuhnya pada
koleksi informasi (seperti yang dilawankan dengan pembentukan
dan pengujian berbagai hipotesis) secara signifikan akan berada di
bawah rata-rata dalam akurasi diagnosis mereka. Dengan demikian,
jelas bahwa formulasi eksplisit dari berbagai hipotesis akan mengarah
pada pencarian informasi yang lebih efisien dan efektif.5

B. Pemodelan Keputusan Para Ahli

Pertanyaan signifikan lain berkenaan dengan tingkat pemaham-


an akurat yang para analis miliki terhadap proses mental mereka
sendiri adalah seberapa bagus pandangan mereka tentang bagaima-
na sebenarnya mereka membuat keputusan dengan bukti seperti
itu? Untuk setiap situasi yang dianalisis, mereka mempunyai sebuah
“model mental” yang implisit yang mengandung berbagai keyakin-
an dan asumsi mengenai variabel-variabel yang paling penting dan

4. Stuart Oskamp, “Overconfidence in Case-Study Judgments,” Journal of Consulting


Psychology, 29 (1965), hlm. 261-265.
5. Arthur S. Elstein et al., Medical Problem Solving: An Analysis of Clinical Reasoning
(Cambridge, MA and London: Harvard University Press, 1978), hlm. 270 dan
295.

123
bagaimana variabel-variabel tersebut dihubungkan satu sama lain.
Jika sang analis mempunyai pandangan yang baik ke dalam model
mental mereka sendiri, mereka seharusnya mampu mengidentifika-
si dan menggambarkan berbagai variabel yang telah mereka anggap
paling penting itu dalam membuat berbagai keputusan.
Namun, ada sebuah bukti eksperimental yang kuat bahwa
pandangan diri seperti itu biasanya mengandung kesalahan. Para
ahli merasakan proses mengambil keputusannya sendiri, termasuk
jumlah jenis informasi berbeda yang diperhitungkan, sebagai
sesuatu yang lebih kompleks dibandingkan yang ada dalam kasus
yang sebenarnya. Para ahli sangat menaksir terlalu tinggi penting-
nya faktor-faktor yang hanya mempunyai satu pengaruh minor bagi
keputusan mereka dan meremehkan tingkatan keputusan-keputusan
mereka yang didasarkan pada variabel-variabel yang besar. Pendek-
nya, model mental seseorang lebih sederhana dibandingkan yang
mereka pikir, dan para analis tidak sadar tidak hanya pada variabel-
variabel yang seharusnya mempunyai pengaruh yang lebih besar, tapi
juga pada variabel-variabel yang sebenarnya mempunyai pengaruh
yang lebih besar.
Semua ini telah didemonstrasikan oleh berbagai eksperimen
yang di dalamnya para analis diminta untuk membuat berbagai
perkiraan kuantitatif tentang sejumlah kasus yang relatif besar
dalam area keahlian mereka, dengan masing-masing kasus dinyata-
kan dengan sejumlah faktor yang bisa dikuantifikasi. Dalam satu
eksperimen, misalnya, analis pasar modal diminta untuk mempre-
diksi apresiasi harga jangka panjang untuk 50 sekuritas, dengan
masing-masing sekuritas digambarkan dalam istilah-istilah seperti
itu sebagai rasio harga/pendapatan, trend pertumbuhan pendapat-
an korporat, dan hasil dividen.6 Setelah menyelesaikan tugas ini,
sang analis diminta untuk menjelaskan bagaimana mereka mencapai

6. Paul Slovic, Dan Fleissner, and W. Scott Bauman, “Analyzing the Use of
Information in Investment Decision Making: A Methodological Proposal,” The
Journal of Business, 45 (1972), hlm. 283-301.

124
kesimpulan-kesimpulan mereka, termasuk seberapa banyak bobot
yang mereka masukkan kepada masing-masing variabel tersebut.
Mereka diinstruksikan untuk menjadi cukup eksplisit, sehing-
ga orang lain bisa melalui informasi yang sama dan menggunakan
aturan-aturan keputusan yang sama serta tiba pada kesimpulan-
kesimpulan yang sama.
Agar bisa membandingkan rasionalisasi verbal ini dengan
kebijakan keputusan yang terefleksi dalam keputusan-keputusan
sebenarnya yang dilakukan oleh sang analis pasar modal, maka
analisis regresi ganda atau prosedur-prosedur statistika serupa yang
lain bisa digunakan untuk mengembangkan sebuah model matematis
tentang bagaimana setiap analis yang sebenarnya dihimpit dan
mengombinasikan informasi pada variabel-variabel yang relevan.7
Telah ada setidaknya delapan kajian terhadap tipe ini dalam
lapangan yang berbeda,8 termasuk satu prediksi tentang pertumbuh-
an sosioekonomi masa depan negara-negara kurang berkembang.9
Model matematis berdasarkan pada keputusan-keputusan aktual
sang analis tanpa kecuali merupakan sebuah deskripsi yang lebih
akurat terhadap pembuatan keputusan sang analis daripada deskripsi
verbal sang analis sendiri tentang bagaimana keputusan-keputusan
itu dibuat.
Meskipun eksistensi fenomena ini telah cukup didemonstra-
sikan, namun sebab-sebabnya tidak cukup bisa dipahami dengan
baik. Literatur dari eksperimen-eksperimen ini hanya mengandung
penjelasan spekulatif berikut ini:

7. Untuk sebuah diskusi tentang metodologi, lihat Slovic, Fleissner, and Bauman,
op. cit.
8. Untuk suatu daftar referensi, lihat Paul Slovic and Sarah Lichtenstein, “Comparison
of Bayesian and Regression Approaches to the Study of Information Processing
in Judgment,” Organizational Behavior and Human Performance, 6 (1971), hlm.
684.
9. David A. Summers, J. Dale Taliaferro, and Donna J. Fletcher, “Subjective vs.
Objective Description of Judgment Policy,” Psychonomic Science, 18 (1970), hlm.
249-250.

125
Mungkin perasaan kita berkata bahwa kita bisa memper-
timbangkan sekumpulan faktor berbeda yang terjadi, karena
meskipun kita ingat bahwa dalam beberapa waktu atau waktu
yang lain kita telah menghadirkan masing-masing faktor
yang berbeda, namun kita gagal memerhatikan bahwa ia
jarang selain satu atau dua yang kita pertimbangkan dalam
satu waktu.10

C. Kapan Informasi Baru Memengaruhi Keputusan


Kita?

Untuk mengevaluasi relevansi dan signifikansi penemuan-pene-


muan eksperimental ini dalam konteks pengalaman-pengalaman
analis intelijen, perlu membedakan empat jenis informasi tamba-
han yang seorang analis mungkin terima:
1. Detail tambahan tentang variabel-variabel yang sudah ter-
cakup dalam analisis: Banyak intelijen buruk yang ternyata
gagal masuk ke dalam kategori ini. Orang tidak akan berharap
informasi pelengkap seperti itu bisa memengaruhi keseluruhan
akurasi keputusan analis, dan itu dengan mantap bisa dipahami
bahwa detail-detail selanjutnya adalah konsisten dengan infor-
masi sebelumnya yang meningkatkan konfidensi analis. Analisis
terhadap kedalaman detail-detail yang bisa dipertimbangkan
sudah tersedia untuk mendukung berbagai kesimpulan yang
cenderung menjadi lebih persuasif terhadap pengarang-penga-
rang mereka dan juga kepada para pembacanya.
2. Identifikasi variabel-variabel tambahan: Informasi menge-
nai variabel-variabel tambahan memberikan kepada sang
analis pertimbangan terhadap faktor-faktor lain yang mung-
kin memengaruhi situasi. Inilah jenis informasi tambahan

10. R. N. Shepard, “On Subjectively Optimum Selection Among Multiattribute


Alternatives,” in M. W. Shelly, II and G. L. Bryan, eds., Human Judgments and
Optimality (New York: Wiley, 1964), hlm. 166.

126
yang digunakan dalam eksperimen prediktor pacuan kuda.
Eksperimen-eksperimen lain telah menggunakan beberapa
kombinasi variabel-variabel tambahan dan detail-detail tam-
bahan pada variabel-variabel yang sama. Penemuan bahwa
keputusan-keputusan didasarkan pada variabel-variabel yang
sedikit kritis daripada terhadap keseluruhan spektrum bukti
yang membantu menerangkan mengapa informasi pada varia-
bel-variabel tambahan itu tidak secara normal memperbaiki
akurasi yang prediktif. Biasanya, dalam situasi ketika diketa-
hui ada kesenjangan-kesenjangan dalam pemahaman seorang
analis, sebuah laporan tunggal mengenai beberapa faktor baru
dan sebelumnya yang tidak dipertimbangkan —misalnya,
sebuah laporan autoritatif pada sebuah keputusan kebijakan
atau coup d’etat yang terencana— akan mempunyai dampak
besar pada keputusan analis. Laporan seperti itu akan jatuh
pada satu dari dua kategori informasi baru selanjutnya.
3. Informasi mengenai nilai yang diatributkan pada variabel-
variabel yang sudah tercakup dalam analisis: Sebuah
contoh dari informasi seperti itu akan membuat prediktor
pacuan kuda belajar bahwa seekor kuda yang dia pikir akan
membawa 110 pound sebenarnya akan hanya membawa
106 pound. Laporan intelijen mutakhir cenderung mengha-
dapi jenis informasi ini; misalnya, seorang analis mungkin
mempelajari bahwa sebuah kelompok orang yang tidak setuju
lebih kuat daripada yang telah diantisipasi. Fakta-fakta baru
memengaruhi akurasi keputusan-keputusan ketika mereka
menghadapi perubahan-perubahan dalam variabel-variabel
yang kritis perkiraannya. Konfidensi analis dalam keputus-
an-keputusan yang didasarkan pada informasi seperti itu
dipengaruhi oleh konfidensi mereka dalam akurasi informa-
si dan juga dengan jumlah informasinya.
4. Informasi mengenai variabel-variabel yang paling
127
penting dan bagaimana mereka menghubungkannya
satu sama lain: Pengetahuan dan asumsi-asumsi mengenai
variabel-variabel mana yang paling penting dan bagaima-
na mereka diinterelasikan mengandung model mental yang
mengatakan kepada analis bagaimana menganalisis data
yang diterima. Investigasi eksplisit dari hubungan seperti itu
merupakan satu faktor yang membedakan penelitian sistema-
tis dari pelaporan intelijensi mutakhir dan intelijen yang
buruk. Dalam konteks eksperimen prediktor pacuan kuda,
misalnya, prediktor harus menyeleksi variabel-variabel mana
yang termasuk dalam analisis mereka. Apakah beban yang
dibawa oleh seekor kuda itu lebih, atau kurang, yang penting
daripada beberapa variabel lain yang memengaruhi prestasi
kuda? Beberapa informasi yang memengaruhi keputusan ini
memberi pengaruh terhadap cara prediktor menganalisis data
yang tersedia; yaitu, ia memengaruhi model mentalnya.
Akurasi dari sebuah keputusan analis tergantung pada akurasi
dari model mental kita (jenis informasi keempat telah dibahas di atas)
dan akurasi nilai-nilai yang dimasukkan ke dalam variabel-variabel
kunci dalam model tersebut (jenis informasi ketiga telah dibahas di
atas). Detail-detail tambahan pada variabel-variabel yang sudah ada
dalam model mental analis dan informasi pada variabel-variabel lain
yang kenyataannya tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap
keputusan kita (jenis informasi pertama dan kedua) mempuny-
ai sebuah pengaruh yang tidak berarti bagi akurasi, tapi mampu
membentuk bagian terbesar dari bahan mentah para analis yang
bekerja dengannya. Jenis-jenis informasi ini meningkatkan konfiden-
si, karena berbagai kesimpulan tampaknya didukung oleh sejumlah
besar badan data seperti itu.
Bahasan tentang informasi baru ini menjadi basis dalam
membedakan dua jenis analisis: analisis yang dikendalikan data
(data-driven analysis) dan analisis yang dikendalikan secara konsep-

128
tual (conceptually-driven analysis).

1. Analisis yang Dikendalikan Data (Data-Driven


Analysis)
Dalam jenis analisis ini, akurasi tergantung utamanya pada
akurasi dan kelengkapan data yang tersedia. Jika orang membuat
asumsi yang masuk akal bahwa model analitis itu benar dan asumsi
selanjutnya yang analis secara layak gunakan model ini ke dalam
data, maka akurasi keputusan analitis tergantung seluruhnya pada
akurasi dan kelengkapan data.
Menganalisis kesiapan tempur sebuah divisi militer adalah
sebuah contoh analisis yang dikendalikan data. Dalam menganalisis
kesiapan tempur, aturan dan prosedur yang diikuti relatif menjadi
terbentuk dengan baik. Totalitas prosedur-prosedur ini mengan-
dung sebuah model mental yang memengaruhi persepsi intelijen
yang dikumpulkan pada unit tersebut dan memandu keputusan
mengenai informasi apa yang penting dan bagaimana informasi ini
harus dianalisis untuk sampai pada keputusan-keputusan mengenai
kesiapan.
Banyak unsur model mental yang bisa dibuat eksplisit sehing-
ga analis lain bisa diajarkan untuk memahaminya dan mengikuti
prosedur analisis yang sama dan sampai pada hasil yang sama atau
serupa. Inilah persetujuan yang luas, meskipun bukan persetujuan
yang universal, tentang apa yang layak dari model ini. Ada standar-
standar yang relatif objektif bagi penilaian kualitas analisis, lantaran
berbagai kesimpulannya mengikuti secara logis aplikasi model yang
tersetujui pada data yang tersedia.

2. Analisis yang Dikendalikan Secara Konseptual


(Conceptually-Driven Analysis)
Analisis yang dikendalikan secara konseptual merupakan
akhir spektrum yang berlawanan dari analisis yang dikendali-

129
kan data. Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab tidak mempunyai
ikatan-ikatan yang rapi, dan ada banyak yang tidak dikenal. Jumlah
variabel-variabel yang secara potensial relevan dan hubungan yang
dipahami secara tidak sempurna dan bermacam-macam di antara
variabel-variabel ini melibatkan analis dalam kompleksitas dan
ketidaktentuan yang sangat besar. Ada sedikit teori yang diujikan
untuk menginformasikan kepada sang analis mengenai potongan-
potongan informasi yang banyak sekali yang paling penting dan
bagaimana mereka seharusnya dikombinasikan untuk sampai pada
keputusan-keputusan yang probabilistik.
Dalam ketiadaan skema analitis yang disetujui, analis diting-
galkan dengan peralatan mereka sendiri. Mereka menafsirkan
informasi dengan bantuan model-model mental yang sangat implisit
daripada eksplisit. Berbagai asumsi mengenai kekuatan-kekuatan
politis dan proses-proses dalam negara subjek mungkin tidak tampak
bahkan bagi analis. Model-model seperti itu tidak representatif bagi
sebuah konsensus analitis. Para analis lain menguji data yang sama
yang mungkin mencapai berbagai kesimpulan yang berbeda, atau
mencapai berbagai kesimpulan yang sama tapi berbeda alasannya.
Analisis ini dikendalikan secara konseptual, karena hasilnya tergan-
tung setidaknya pada kerangka kerja konseptual yang digunakan
untuk menganalisis data sebagaimana halnya pada data itu sendiri.
Untuk mengilustrasikan perbedaan selanjutnya antara analisis
yang dikendalikan data dengan yang dikendalikan secara konseptual,
sangatlah penting mempertimbangkan fungsi analis yang bertang-
gung jawab bagi intelijen mutakhir, khususnya intelijen politik
mutakhir sebagai hal yang jelas dari penelitian jangka panjang.
Kerutinan harian yang dikendalikan oleh datangnya berita jasa
kabel, berita-berita dari kedutaan besar, dan laporan sumber-sumber
rahasia dari luar negeri harus diinterpretasikan agar bisa disebarkan
kepada para konsumen di seluruh Komunitas Intelijen. Meskipun
laporan intelijen mutakhir dikendalikan oleh datangnya informa-
si, ini bukan apa yang dimaksud dengan analisis yang dikendalikan
130
data. Sebaliknya, tugas analis intelijen mutakhir sering kali sangat-
lah dikendalikan konsep. Analis harus memberikan interpretasi yang
segera terhadap berbagai peristiwa mutakhir yang sering kali tidak
diharapkan. Terpisah dari pusat latar belakang informasinya, analis
mungkin tidak mempunyai data dibandingkan laporan pertama yang
biasanya tidak lengkap. Di bawah kondisi seperti ini, interpretasi
didasarkan pada sebuah model mental implisit tentang bagaimana
dan mengapa berbagai peristiwa secara normal berlangsung dalam
negara yang menjadi tanggung jawab sang analis. Akurasi keputus-
an tergantung hampir secara eksklusif pada akurasi model mental,
karena ada sedikit basis yang lain dalam membuat keputusan.
Perlu juga mempertimbangkan bagaimana model mental ini
mendapatkan ujian terhadap realitas, dan bagaimana ia bisa diubah
untuk memperbaiki akurasi keputusan analitis. Dua hal yang
membuat sulit untuk mengubah model mental seseorang. Pertama
adalah hakikat persepsi manusia dan pemrosesan informasi. Kedua
adalah kesulitan, dalam banyak lapangan, dalam mempelajari apa
yang benar-benar menjadi model yang akurat.
Sebagian disebabkan karena hakikat persepsi manusia dan
pemrosesan informasi, keyakinan-keyakinan terhadap semua jenis
yang cenderung menuntut perubahan. Ini khususnya benar dalam
berbagai asumsi implisit dan kebenaran-kebenaran yang dianggap
sebagai bukti diri yang memainkan sebuah peran penting dalam
pembentukan model-model mental. Para analis sering kali terkejut
karena harus mempelajari apa yang menjadi kebenaran-kebenar-
an bukti diri yang sama sekali bukan bukti diri bagi orang lain,
atau kebenaran bukti diri itu pada satu titik waktu mungkin secara
umum diakui sebagai asumsi yang tidak terinformasikan 10 tahun
kemudian.
Informasi yang konsisten dengan pola pikir yang ada dirasakan
dan diproses secara mudah dan mendorong berbagai keyakinan
yang ada. Karena pikiran bergerak secara instingtif atas konsisten-
si, informasi yang tidak konsisten dengan citra mental yang ada
131
cenderung diabaikan, dirasakan dalam sebuah cara yang terdistor-
si, atau terasionalisasi untuk menyesuaikan berbagai asumsi dan
keyakinan yang ada.11
Belajar untuk membuat keputusan-keputusan yang lebih baik
melalui pengalaman mengasumsikan umpan balik sistematis pada
akurasi keputusan-keputusan sebelumnya dan sebuah kemampuan
untuk menghubungkan akurasi sebuah keputusan dengan konfigu-
rasi variabel-variabel partikular yang mendesak seorang analis untuk
membuat keputusan itu. Dalam praktiknya, para analis inteli-
jen mendapatkan sedikit umpan balik, dan bahkan ketika mereka
belajar bahwa sebuah peristiwa yang telah mereka ramalkan sebenar-
nya terjadi atau gagal terjadi, mereka secara tipikal tidak tahu pasti
atas apa yang telah terjadi untuk alasan-alasan yang telah mereka
ramalkan. Jadi, sebuah pengalaman personal analis mungkin menjadi
panduan lemah bagi penglihatan kembali terhadap mode mental-
nya sendiri.12

D. Mozaik Teori Analisis

Pemahaman terhadap proses analitis telah terdistorsi oleh meta-


fora mozaik yang biasanya digunakan untuk menggambarkannya.
Menurut teori mozaik intelijen, potongan-potongan kecil informasi

11. Ini tentu mengacu pada proses-proses bawah sadar. Bukan analis yang akan secara
sadar mendistorsi informasi yang tidak sesuai dengan keyakinan-keyakinannya
yang sudah dipertimbangkan sebelumnya. Aspek-aspek penting dari persepsi dan
pemrosesan informasi baru terjadi sebelumnya dan secara independen terhadap
beberapa arahan sadar, dan berbagai kecenderungan yang digambarkan di sini
sebagian besar merupakan hasil dari proses-proses bawah sadar atau prasadar
ini.
12. Sebuah poin yang sama telah dibuat dalam membantah keyakinan dalam
kebijaksanaan terakumulasi dari guru kelas. “Sebenarnya sangatlah sulit bagi para
guru untuk mengambil manfaat dari pengalaman. Mereka hampir tidak pernah
belajar tentang kesuksesan atau kegagalan jangka panjang mereka, dan berbagai
efek jangka pendek mereka tidak secara mudah terlacak dalam praktik-praktik
dari yang telah mereka munculkan.” B. F. Skinner, The Technology of Teaching
(New York: Appleton-Century Crofts, 1968), hlm. 112-113.

132
dikumpulkan yang, ketika diletakkan bersama seperti sebuah mozaik
atau puzzle potongan gambar, akhirnya memampukan analis untuk
merasakan sebuah gambaran realitas yang jelas. Analogi menunjukkan
bahwa perkiraan yang akurat sangat tergantung pada kepemilikan
semua potongan, yaitu potongan informasi yang akurat dan relatif
lengkap. Sangat penting mengumpulkan dan menyimpan potong-
an-piotongan kecil informasi, karena ada bahan mentah dari yang
telah dibuat oleh gambaran tersebut; orang tidak pernah tahu keti-
ka ia akan menjadi mungkin bagi seorang analis yang cerdik untuk
menyesuaikan sepotong informasi ke dalam puzzle. Bagian yang rasio-
nal bagi sistem pengumpulan intelijen teknis yang besar berakar dari
dalam teori mozaik ini.
Pandangan-pandangan dari psikologi kognitif menunjukkan
bahwa analis intelijen tidak bekerja dengan cara ini dan bahwa tugas
analitis yang paling sulit tidak bisa didekati dengan cara ini. Para
analis umumnya menemukan potongan-potongan yang tampak
sesuai dengan banyak gambar yang berbeda. Sebagai pengganti dari
suatu gambar yang muncul dari peletakan semua gambar bersamaan,
para analis secara tipikal membentuk sebuah gambar pertama dan
kemudian menyeleksi potongan-potongan tersebut agar bisa sesuai.
Perkiraan-perkiraan akurat setidaknya tergantung pada banyak
model mental yang digunakan dalam membentuk gambar sebanyak
jumlah potongan puzzle yang telah dikumpulkan.
Sebuah analogi yang lebih akurat dalam menggambarkan
bagaimana analis intelijen harus bekerja adalah diagnosis medis.
Dokter mengobservasi berbagai indikator (gejala-gejala) yang terjadi,
dengan menggunakan pengetahuan, khususnya terhadap cara kerja
tubuh untuk mengembangkan berbagai hipotesis yang mungkin
menjelaskan berbagai observasi ini, melakukan uji coba untuk
mengumpulkan informasi tambahan agar bisa mengevaluasi berbagai
hipotesis, kemudian membuat sebuah diagnosis. Analogi medis ini
memfokuskan perhatian pada kemampuan mengidentifikasi dan
mengevaluasi semua hipotesis yang masuk akal. Koleksi difokuskan
133
secara sempit pada informasi yang akan membantu untuk mendis-
kriminasi probabilitas relatif dari pergantian hipotesis.
Untuk tingkatan bahwa analogi medis menjadi panduan yang
lebih layak untuk memahami proses analitis, ada berbagai implikasi
bagi alokasi sumber daya intelijen yang terbatas. Ketika analisis dan
koleksi keduanya menjadi penting, analogi medis menghubungkan
yang lebih bernilai kepada analisis dan yang kurang bernilai pada
koleksi daripada metafora mozaik.

E. Kesimpulan

Bagi para pemimpin dan manajer intelijen yang mencari


sebuah produk intelijen yang bermanfaat, penemuan-penemuan ini
menawarkan sebuah pengingat yang tujuan ini bisa dicapai dengan
memperbaiki analisis dan juga pengumpulan data. Ini tampak
menjadi batasan-batasan praktis yang inheren tentang seberapa
banyak yang bisa didapatkan oleh usaha-usaha untuk memperbai-
ki pengumpulan. Sebaliknya, lapangan yang terbuka dan subur ada
untuk usaha-usaha imajinatif dalam memperbaiki analisis.
Usaha-usaha ini seharusnya fokus pada perbaikan model-model
mental yang digunakanoleh para analis untuk menafsirkan informa-
si dan proses-proses analitis yang berusaha mengevaluasinya. Ketika
ini menjadi sulit dicapai, hal itu sangatlah kritis bagi analisis intelijen
yang efektif yang bahkan perbaikan-perbaikan kecil bisa mempunyai
manfaat yang besar. Berbagai rekomendasi spesifik dimasukkan
dalam tiga bab selanjutnya dan juga pada Bab 14, “Memperbaiki
Analisis Intelijen”.

134
Bab 6
Menjaga Pikiran Tetap Terbuka

Pikiran-pikiran itu seperti parasut. Mereka hanya berfungsi ketika mereka


terbuka. Setelah mengulas bagaimana dan mengapa berpikir mendapat-
kan salurannya ke dalam jejak mental, bab ini ingin melihat alat-alat
mental untuk membantu para analis menjaga pikiran tetap terbuka, mem-
pertanyakan asumsi-asumsi, melihat perspektif berbeda, mengembangkan
gagasan-gagasan baru, dan mengakui ketika tiba waktunya mengubah
pikiran-pikiran mereka.
Sebuah gagasan baru adalah permulaan, bukan akhir, dari proses kreatif.
Ia harus melompati banyak gawang sebelum dilahirkan sebagai sebuah
produk atau solusi organisasional. Iklim organisasional memainkan peran
krusial dalam menentukan apakah gagasan-gagasan baru itu bergelem-
bung di permukaan atau mengalami tekanan.

K egagalan intelijen utama biasanya disebabkan oleh kegagal-


an analisis, bukan kegagalan koleksi. Informasi yang relevan
dilalaikan, disalahtafsirkan, diabaikan, ditolak, atau diremehkan
karena ia gagal menyesuaikan diri dengan model mental atau
pola pikir yang berlaku.1 “Sinyal-sinyal” hilang dalam “kegaduh-

1. Christopher Brady, “Intelligence Failures: Plus Ca Change. . .” Intelligence and


National Security, Vol. 8, No. 4 (October 1993). N. Cigar, “Iraq’s Strategic
Mindset and the Gulf War: Blueprint for Defeat,” The Journal of Strategic Studies,
Vol. 15, No. 1 (March 1992). J. J. Wirtz, The Tet Offensive: Intelligence Failure in
War (New York, 1991). Ephraim Kam, Surprise Attack (Harvard University Press,
1988). Richard Betts, Surprise Attack: Lessons for Defense Planning (Brookings,
1982). Abraham Ben-Zvi, “The Study of Surprise Attacks,” British Journal of
International Studies, Vol. 5 (1979). Iran: Evaluation of Intelligence Performance
Prior to November 1978 (Staff Report, Subcommittee on Evaluation, Permanent
an”.2 Bagaimana bisa kita menjamin bahwa para analis tetap
terbuka bagi pengalaman baru dan mengakuinya ketika pandang-
an-pandangan yang dipertahankan lama atau kebijaksanaan
konvensional harus direvisi dalam merespons sebuah perubah-
an dunia?
Keyakinan-keyakinan, asumsi-asumsi, konsep-konsep, dan
informasi yang didapatkan kembali dari memori membentuk sebuah
pola pikir atau model mental yang memandu persepsi dan mempro-
ses informasi baru. Hakikat bisnis intelijen mendesak kita untuk
menghadapi segala permasalahan di tahapan awal ketika informa-
si yang sukar dipahami tidaklah lengkap. Jika tidak ada jarak dalam
informasi tentang suatu persoalan atau situasi, dan tidak ada ambigu-
itas, maka ia tidak akan menjadi sebuah masalah intelijen yang
menarik. Ketika informasi berkurang, para analis sering kali tidak
mempunyai pilihan, tapi sangat menyandarkan diri pada keyakinan-
keyakinan dan asumsi-asumsi sebelumnya tentang bagaimana dan
mengapa segala peristiwa secara normal terjadi dalam suatu negara
yang ditentukan.
Sebuah pola pikir itu bisa tidak baik atau tidak pula buruk. Ia
tidak bisa dihindari. Pada esensinya, ia adalah sebuah penyulingan
terhadap semua yang para analis pikir mereka ketahui tentang suatu
subjek. Ia membentuk lensa-lensa melalui apa yang mereka rasakan

Select Committee on Intelligence, US House of Representatives, January 1979).


Richard Betts, “Analysis, War and Decision: Why Intelligence Failures Are
Inevitable,” World Politics, Vol. 31, No. 1 (October 1978). Richard W. Shryock,
“The Intelligence Community Post-Mortem Program, 1973-1975,” Studies
in Intelligence, Vol. 21, No. 1 (Fall 1977). Avi Schlaim, “Failures in National
Intelligence Estimates: The Case of the Yom Kippur War,” World Politics, Vol. 28
(April 1976). Michael Handel, Perception, Deception, and Surprise: The Case of the
Yom Kippur War (Jerusalem: Leonard Davis Institute of International Relations,
Jerusalem Paper No. 19, 1976). Klaus Knorr, “Failures in National Intelligence
Estimates: The Case of the Cuban Missiles,” World Politics, Vol. 16 (1964).
2. Roberta Wohlstetter, Pearl Harbor: Warning and Decision (Stanford University
Press, 1962). Roberta Wohlstetter, “Cuba and Pearl Harbor: Hindsight and
Foresight,” Foreign Affairs, Vol. 43, No. 4 (July 1965).

136
di dunia, dan ketika terbentuk, ia menuntut perubahan.

A. Memahami Jejak Mental

Bab 3 tentang memori menyarankan pemikiran tentang


informasi dalam memori sebagai sesuatu yang agak saling terhubung-
kan seperti sebuah jaring laba-laba raksasa dan multidimensional.
Sangatlah mungkin menghubungkan beberapa titik dalam jaring ini
kepada titik yang lain. Ketika sang analis sering kali menghubungkan
titik yang sama, mereka membentuk sebuah jalan yang membuatnya
lebih mudah untuk mengambil rute di masa depan. Ketika mereka
mulai berpikir sepanjang saluran tertentu, mereka cenderung terus
memikirkan cara yang sama dan jalan yang mungkin menjadi sebuah
kebiasaan. Jalan yang tampak seperti jalan yang jelas dan alamiah.
Informasi dan konsep-konsep yang berlokasi dekat jalan itu sudah
siap sedia, sehingga berbagai citra yang sama tetap muncul. Informa-
si yang tidak berlokasi di dekat jalan itu kemungkinan akan lambat
datang kepada pikiran.
Berbicara tentang pemecahan berbagai pola pikir, atau kreati-
vitas, atau bahkan keterbukaan terhadap informasi baru sebenarnya
berbicara tentang pemintalan hubungan-hubungan baru dan jalan-
jalan baru melalui jaring memori. Inilah hubungan-hubungan
di antara fakta-fakta dan konsep-konsep, atau di antara skemata
untuk mengatur fakta-fakta atau konsep-konsep, yang tidak secara
langsung terhubungkan atau yang sudah terhubungkan sebelum-
nya tapi belum erat.
Berbagai gagasan baru berasal dari asosiasi unsur-unsur lama
dalam berbagai kombinasi baru. Unsur-unsur pemikiran sebelum-
nya yang jauh tiba-tiba menjadi terhubungkan dengan suatu
kombinasi baru dan berguna.3 Ketika hubungan dibuat, cahaya pun
menyingsing. Kemampuan untuk membawa informasi yang tidak

3. S. A. Mednick, “The Associative Basis of the Creative Process,” Psychological


Review, Vol. 69 (1962), hlm. 221.

137
terhubungkan sebelumnya dengan ide-ide yang bersamaan dalam
cara-cara yang penuh makna inilah yang menandai hadirnya analis
yang berpikiran terbuka, imajinatif, dan kreatif.
Untuk mengilustrasikan bagaimana pikiran bekerja, anggap-
lah pengalaman pribadi saya dengan sejenis rintangan mental yang
familiar dengan semua para analis —rintangan penulis. Saya sering
kali harus menghancurkan rintangan mental ketika menulis. Segala
sesuatunya berlangsung baik sampai saya datang pada satu paragraf
dan mendapatkan diri saya tertusuk. Saya menuliskan sesuatu,
tidak benar-benar mengetahuinya, tapi hanya tidak bisa berpikir
tentang suatu cara yang lebih baik untuk mengatakannya. Namun,
saya mencoba mengubah paragraf tersebut, yang pada dasarnya
masih datang dengan cara yang sama. Pemikiran saya pun menjadi
terhubungkan, dan saya tidak bisa menguraikan pola pemikiran yang
partikular tersebut untuk menuliskannya secara berbeda.
Sebuah respons umum terhadap masalah ini adalah beristi-
rahat, bekerja pada sesuatu yang berbeda untuk sementara waktu,
dan kemudian kembali pada bagian yang sulit. Dengan berjalannya
waktu, jalan itu menjadi kurang berat dan ia menjadi lebih mudah
untuk membuat hubungan-hubungan yang lain.
Saya juga menemukan solusi yang lain. Saya mendesak diri
saya untuk membicarakannya keras-keras. Saya menutup pintu
kantor saya —saya malu jika orang lain mendengar pembicaraan
saya dengan diri saya sendiri— dan kemudian berdiri serta berjalan
berkeliling dan mulai berkata. Saya berkata, oke, “Apa yang menjadi
inti dari paragraf ini? Apa yang tengah engkau coba komunikasikan?”
Saya menjawab pertanyaan diri saya sendiri dengan keras seperti
halnya berbicara dengan orang lain. “Intinya adalah saya tengah
mencoba memahami bahwa itu adalah….,” dan kemudian ia datang.
Mengatakannya secara keras menghancurkan rintangan, dan kata-
kata mulai datang bersamaan dengan cara yang berbeda.
Penelitian mutakhir menjelaskan mengapa ini terjadi. Para
ilmuwan telah mempelajari bahwa bahasa tertulis dan bahasa terucap
138
diproses dalam bagian otak yang berbeda.4 Mereka mengaktifkan
saraf-saraf yang berbeda.

• Latihan Memecahkan Masalah


Sebelum membahas bagaimana para analis bisa menjaga pikiran
mereka tetap terbuka terhadap informasi baru, mari kita melaku-
kan pemanasan terhadap topik ini dengan sebuah latihan singkat.
Tanpa mengangkat pensil dari kertas, gambarkan tidak lebih dari
empat garis lurus yang akan melintasi semua sembilan titik dalam
Gambar 6.5

Setelah mencoba memecahkan teka-teki pada diri Anda sendiri,


cobalah lihat ke akhir dari bab ini untuk jawaban dan bahasan lebih
lanjut. Kemudian anggaplah bahwa analisis intelijen terlalu sering
terbatasi oleh berbagai ketidakleluasaan atau “sangkar pikiran” yang
serupa, tanpa sadar, dan menekan diri.
Anda tidak harus dibatasi oleh kebijaksanaan konvensional.
Kebijaksanaan konvensional sering kali salah. Anda tidak harus
perlu dibatasi oleh berbagai kebijakan yang ada. Mereka kadang bisa
diubah jika Anda menunjukkan alasan yang bagus untuk melaku-

4. Jerry E. Bishop, “Stroke Patients Yield Clues to Brain’s Ability to Create Language,”
Wall Street Journal, Oct. 12, 1993, hlm. A1.
5. Puzzle ini berasal dari James L. Adams, Conceptual Blockbusting: A Guide to Better
Ideas. Second Edition (New York: W. W. Norton, 1980), hlm. 23.

139
kannya. Anda tidak harus perlu dibatasi oleh syarat-syarat analitis
khusus yang telah diberikan kepada Anda. Para pembuat kebijakan
yang mengeluarkan syarat-syarat tersebut mungkin tidak mempunyai
pikiran melalui kebutuhan-kebutuhannya atau syarat-syarat yang
mungkin agak memutarbalikkan perkataan ketika ia ditetapkan
melalui beberapa eselon hingga sampai kepada Anda untuk melaku-
kan pekerjaan tersebut. Anda mungkin mempunyai pemahaman
yang lebih baik daripada pembuat kebijakan tentang apa yang dia
perlukan, atau seharusnya punyai, atau apa yang mungkin dilaku-
kan. Anda seharusnya tidak ragu-ragu untuk kembali kepada rantai
komando dengan sebuah saran untuk melakukan sesuatu yang sedikit
berbeda daripada yang telah dimintakan kepada Anda.

B. Alat-Alat Mental

Orang menggunakan beragam alat fisik seperti palu dan berusa-


ha untuk memperluas kapasitas mereka dalam melakukan tugas-tugas
fisik yang berbeda. Orang bisa juga menggunakan alat-alat mental
sederhana untuk memperluas kemampuan mereka melaksanakan
tugas-tugas mental. Alat-alat ini membantu menanggulangi segala
batasan dalam mesin mental manusia untuk persepsi, memori, dan
kesimpulan. Beberapa bagian selanjutnya dari bab ini membahas
alat-alat mental untuk membuka pikiran-pikiran para analis terhadap
berbagai gagasan baru, sehingga pada bab selanjutnya (Bab 7) bisa
membahas alat-alat mental untuk menstrukturkan berbagai masalah
analitis.

1. Mempertanyakan Berbagai Asumsi


Merupakan kebenaran yang tidak bisa disangkal lagi bahwa para
analis harus mempertanyakan asumsi-asumsi mereka. Pengalaman
mengatakan kepada kita bahwa ketika keputusan-keputusan analitis
berakhir dengan kesalahan, biasanya hal itu bukanlah karena informa-
si yang salah. Itu disebabkan karena seorang analis membuat satu
140
atau lebih asumsi salah yang tidak mengalami tantangan. Masalahnya
adalah bahwa para analis tidak bisa mempertanyakan segala sesuatu,
sehingga di manakah mereka memfokuskan perhatian mereka?
Analisis Sensitivitas. Satu pendekatan adalah untuk melaku-
kan sebuah analisis sensitivitas informal. Seberapa sensitifnya
keputusan puncak untuk mengubah beberapa variabel utama atau
mengendalikan kekuatan dalam analisis? Asumsi-asumsi esensial
yang mengendalikan analisis adalah yang harus dipertanyakan. Para
analis seharusnya mempertanyakan diri mereka sendiri apa yang
bisa terjadi ketika membuat beberapa asumsi yang sudah keting-
galan zaman ini, dan bagaimana mereka bisa mengetahui hal ini
sudah tidak terjadi. Mereka seharusnya mencoba untuk menyang-
kal asumsi-asumsi mereka daripada menegaskannya. Jika seorang
analis tidak bisa memikirkan sesuatu yang akan menyebabkan sebuah
perubahan pikiran, pola pikirnya mungkin menjadi begitu berurat
akar sangat dalam sehingga para analis tidak bisa melihat bukti-bukti
yang berkonflik. Satu keuntungan dari pendekatan hipotesis bersaing
yang dibahas dalam Bab 8 adalah bahwa ia membantu mengidenti-
fikasi asumsi-asumsi esensial yang melancarkan sebuah kesimpulan
dalam satu arah atau arah yang lain.
Mengidentifikasi Model-Model Alternatif. Para analis
seharusnya mencoba untuk mengidentifikasi model-model alterna-
tif, kerangka kerja konseptual, atau berbagai interpretasi data dengan
mencari sampai dapat individu-individu yang tidak setuju dengan
mereka daripada mereka yang setuju. Banyak orang tidak melaku-
kan hal itu terlalu sering. Sangatlah lebih nyaman berbicara dengan
orang-orang dalam satu kantor yang berbagi pola pikir dasar yang
sama. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai sebuah masalah
kebijakan, dan itu telah dilakukan dalam beberapa jabatan di masa
lalu, untuk membantu mengatasi kecenderungan ini.
Setidaknya satu komponen Direktorat Intelijen, misalnya, telah
mempunyai sebuah proses ulasan sebanding yang di dalamnya tidak
ada seorang pengulas pun yang berasal dari cabang yang mengha-
141
silkan laporan itu. Yang rasional dari hal ini adalah bahwa seorang
kolega dan supervisor analis kemungkinan berbagi sebuah pola pikir
yang umum. Karena itu, inilah individu-individu yang setidaknya
mungkin menaikkan isu-isu fundamental yang menantang validitas
analisis tersebut. Untuk menghindari masalah pola pikir ini, masing-
masing laporan peneliti diulas oleh sebuah komite tiga analis dari
cabang-cabang lain yang menangani negara-negara atau isu-isu yang
lain. Tidak seorang pun dari mereka yang mempunyai pengetahu-
an yang terspesialisasi terhadap subjek tersebut. Namun, mereka
merupakan para analis yang sangat terlatih. Tepatnya, karena mereka
tidak terbenam dalam permasalahan yang dipertanyakan, dan mereka
mampu dengan lebih baik mengidentifikasi berbagai asumsi tersem-
bunyi dan alternatif-alternatif lain, serta untuk memutuskan apakah
analisis cukup mendukung kesimpulan atau tidak.
Waspada Terhadap Gambaran Cermin. Satu jenis asumsi
yang seorang analis harus selalu akui dan pertanyakan adalah
pencitraan cermin (mirror-imaging) —mengisi kesenjangan dalam
pengetahuan analis sendiri dengan mengasumsikan bahwa sisi
lainnya kemungkinan bertindak dalam suatu cara tertentu, karena
itu adalah bagaimana Amerika Serikat akan bertindak di bawah
lingkungan yang serupa. Mengatakan, “Jika aku adalah seorang
pejabat intelijen Rusia…” atau “Jika aku menjalankan Pemerintah-
an India…” adalah pencitraan cermin. Para analis mungkin harus
melakukan itu ketika mereka tidak tahu bagaimana pejabat intelijen
Rusia atau Pemerintahan India benar-benar berpikir. Tapi pencitra-
an cermin membawa pada asumsi-asumsi berbahaya, karena orang
dalam budaya-budaya lain tidak memikirkan cara yang kita lakukan.
Asumsi yang sering mereka lakukan adalah apa yang Laksamana
David Jeremiah, setelah mengulas kegagalan Komunitas Intelijen
dalam memprediksi ujicoba senjata nuklir India, istilahkan “Setiap
orang berpikir seperti pola pikir kita”.6

6. Jim Wolf, “CIA Inquest Finds US Missed Indian `Mindset’,” UPI wire service,

142
Kegagalan memahami bahwa orang lain merasakan kepenting-
an-kepentingan nasional mereka secara berbeda dengan cara kita
merasakan kepentingan-kepentingan mereka adalah sebuah sumber
masalah yang konstan dalam analisis intelijen. Pada tahun 1977,
misalnya, Komunitas Intelijen dihadapkan dengan bukti dari apa
yang tampak pada tempat ujicoba senjata nuklir Afrika Selatan.
Banyak dalam Komunitas Intelijen, khususnya mereka yang banyak
mengetahui tentang Afrika Selatan, cenderung menolak bukti ini
atas dasar bahwa “Pretoria tidak menginginkan sebuah senjata
nuklir, karena tidak ada musuh yang membuat mereka secara efektif
menggunakannya.”7 Perspektif Amerika Serikat terhadap apa yang
ada dalam kepentingan-kepentingan nasional negara lain biasanya
tidak relevan dengan analisis intelijen. Keputusan harus didasarkan
pada bagaimana negara lain merasakan kepentingan nasionalnya.
Jika sang analis tidak bisa mendapatkan pandangan ke dalam apa
yang negara lain itu pikirkan, pencitraan cermin mungkin menjadi
alternatif, tapi para analis seharusnya jangan pernah merasa terlalu
percaya diri pada jenis keputusan tersebut.

2. Melihat Perspektif-Perspektif yang Berbeda


Area masalah lain adalah memandang data yang familiar dari
suatu perspektif yang berbeda. Jika Anda bermain catur, Anda tahu
Anda bisa melihat pilihan-pilihan Anda sendiri dengan sangat baik.
Akan jauh lebih sulit melihat semua bidak di papan sebagaimana
lawan Anda melihatnya, dan mengantisipasi bagaimana lawan Anda
bereaksi terhadap gerakan Anda. Itulah situasi yang para analis hadapi
ketika mereka tengah mencoba melihat bagaimana aksi-aksi pemerin-
tah Amerika Serikat melihat dari perspektif negara lain. Para analis
secara konstan harus bergerak maju mundur, melihat situasi pertama
dari perspektif Amerika Serikat dan kemudian dari perspektif negara

June 3, 1998.
7. Diskusi dengan Robert Jaster, mantan Pejabat Intelijen Nasional bagi Afrika
Selatan.

143
lain. Ini sulit dilakukan, sebagaimana Anda melihat gambaran wanita
muda/wanita tua dalam Bab 2 mengenai persepsi.
Beberapa teknik melihat perspektif alternatif mengeksploita-
si prinsip umum yang datang pada masalah dari sebuah arah yang
berbeda dan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan berbeda.
Teknik-teknik ini menghancurkan pola pikir Anda yang sudah
terbentuk dengan menyebabkan Anda memainkan sebuah peran
berbeda dan tidak biasa.
Berpikir ke Belakang. Satu teknik mengeksplorasi daerah
baru adalah berpikir ke belakang. Seperti halnya latihan intelektu-
al, mulailah dengan sebuah asumsi bahwa beberapa peristiwa yang
Anda tidak harapkan benar-benar terjadi. Kemudian, letakkan diri
Anda sendiri ke masa depan, melihat kembali untuk menjelaskan
bagaimana ini bisa terjadi. Pikirkan apa yang harus terjadi enam
bulan atau setahun lebih awal untuk membentuk tahapan bagi hasil
tersebut, apa yang harus terjadi pada enam bulan atau satu tahun
sebelum itu untuk mempersiapkan jalannya, dan kemudian kembali
ke masa sekarang.
Berpikir ke belakang mengubah fokus dari apakah sesuatu itu
mungkin terjadi menjadi bagaimana ia mungkin terjadi. Meletak-
kan diri Anda sendiri ke masa depan menciptakan sebuah perspektif
berbeda yang menjaga Anda untuk berlabuh di masa sekarang. Para
analis akan sering kali menemukan, dengan keterkejutan mereka,
bahwa mereka bisa mengonstruksi sebuah skenario yang sangat
masuk akal bagi sebuah peristiwa yang sebelumnya mungkin tidak
mereka pikirkan. Berpikir ke belakang sangatlah bermanfaat bagi
peristiwa-peristiwa yang mempunyai sebuah kemungkinan yang
rendah, tapi konsekuensi-konsekuensi yang sangat serius harus
terjadi, seperti keruntuhan atau penggulingan monarki Saudi.
Bola Kristal. Pendekatan bola kristal cara kerjanya sama
dengan berpikir ke belakang.8 Bayangkan bahwa sebuah sumber

8. Jon Fallesen, Rex Michel, James Lussier, and Julia Pounds, “Practical Thinking:

144
intelijen yang “sempurna” (seperti sebuah bola kristal) berkata
kepada Anda sebuah asumsi tertentu yang salah. Anda kemudian
harus mengembangkan sebuah skenario untuk menjelaskan bagaima-
na ini bisa menjadi benar. Jika Anda bisa mengembangkan sebuah
skenario yang masuk akal, ini menunjukkan asumsi Anda terbuka
bagi beberapa pertanyaan.
Permainan Peran. Permainan peran biasanya mengatasi
berbagai ketidakleluasaan dan hambatan yang membatasi kisaran
pemikiran seseorang. Bermain sebuah peran mengubah “di manakah
Anda duduk”. Ia juga memberikan orang lisensi untuk berpikir dan
bertindak secara berbeda. Dengan hanya mencoba membayangkan
bagaimana para pemimpin atau negara lain akan berpikir dan bereak-
si, yang para analis sering kali lakukan, bukanlah permainan peran.
Orang harus benar-benar memerankan tokoh-tokoh peran itu dan
menjadi, dalam suatu pemahaman, orang yang memiliki peran yang
diasumsikan. Itu hanyalah “kehidupan” peran yang menghancurkan
sebuah perangkat mental normal sang analis dan membolehkan-
nya menghubungkan berbagai fakta dan gagasan kepada orang lain
dengan cara-cara yang berbeda dari pola-pola biasanya. Seorang
analis tidak bisa diharapkan untuk melakukan ini sendirian; interak-
si kelompok sangatlah dibutuhkan, dengan para analis berbeda yang
memainkan peran yang berbeda, biasanya dalam konteks simulasi
atau permainan yang tersusun.
Banyak permainan yang dilakukan Departemen Pertahanan
dan dalam dunia akademis yang mengelaborasi dan membutuh-
kan prosedur persiapan yang substansial. Namun, itu tidak harus
mengikuti prosedur tersebut. Prosedur persiapan bisa dihinda-
ri dengan memulai permainan dengan situasi sekarang yang sudah
diketahui para analis, daripada dengan sebuah skenario nasional
yang harus dipelajari pesertanya terlebih dahulu. Hanya satu laporan

Innovation in Battle Command Instruction” (Technical Report 1037, US Army


Research Institute for the Behavioral and Social Sciences, January 1996).

145
intelijen bergagasan saja yang mencukupi untuk memulai aksi dalam
permainan tersebut. Dalam pengalaman saya, memang mungkin
untuk mempunyai sebuah permainan politik yang berguna dalam
hanya satu hari dengan hampir tidak ada investasi dalam prosedur
persiapan.
Permainan tidak memberikan “hak” untuk menjawab, tapi
biasanya ia menyebabkan pemain melihat beberapa hal dalam suatu
cahaya baru. Para pemain menjadi sangat sadar bahwa “di mana Anda
berdiri tergantung pada di mana Anda duduk.” Dengan mengubah
peran-peran, para peserta melihat masalah dalam suatu konteks
berbeda. Ini membebaskan pikiran untuk berpikir secara berbeda.
Penentang suatu kebijakan (Devil’s Advocate). Devil’s
Advocate adalah seseorang yang mempertahankan sebuah sudut
pandang minoritas. Dia mungkin tidak setuju dengan pandangan
itu, tapi mungkin memilih atau ditugaskan untuk merepresentasi-
kannya sekuat mungkin. Tujuannya adalah menunjukkan berbagai
interpretasi berkonflik dan menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi
dan citra-citra alternatif membuat dunia tampak berbeda. Ia sering
kali membutuhkan waktu, energi, dan komitmen untuk melihat
bagaimana dunia kelihatan dari sebuah perspektif yang berbeda.9
Bayangkan bahwa Anda adalah bos di sebuah fasilitas Amerika
Serikat di luar negeri dan dicemaskan dengan kemungkinan adanya
serangan teroris. Respons staf standar akan mengulas ukuran-ukuran
yang ada dan memutuskan kecukupannya. Mungkin ada tekanan
—yang halus atau sebaliknya— dari tanggung jawab atas rencana
seperti itu untuk mendapatkan kepuasan mereka. Sebuah pendekatan
alternatif atau tambahan akan terbentuk untuk menamai indivi-
du atau kelompok kecil sebagai pendukung setan yang bertugas
untuk mengembangkan rencana-rencana aktual dalam mengada-

9. Untuk sebuah diskusi menarik tentang kekuatan dan kelemahan potensial dari
pendekatan “Devil’s Advocate”, lihat Robert Jervis, Perception and Misperception in
International Politics (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1976), hlm. 415-
418.

146
kan serangan seperti itu. Tugas untuk berpikir seperti seorang teroris
membebaskan orang-orang yang ditunjuk untuk berpikir secara
tidak konvensional dan menjadi kurang segan tentang penemuan
kelemahan dalam sistem yang mungkin memalukan para kolega,
karena tidak menutupi kelemahan-kelemahan seperti itu adalah
tugas yang diemban.
Istilah devil’s advocacy mempunyai sejarah kontroversial dalam
Komunitas Intelijen. Cukup hanya berkata bahwa ia adalah kompeti-
si di antara pandangan-pandangan yang berkonflik merupakan
pernyataan yang sehat dan harus didukung; perang politik yang
habis-habisan merupakan kontraproduktif.

3. Mengenali Kapan Mengubah Pikiran Anda


Sebagai sebuah aturan umum, orang terlalu lamban mengubah
pandangan yang sudah terbentuk sebagai lawan bagi kehendak untuk
mengubahnya dengan cepat. Pikiran manusia itu bersifat konserva-
tif. Ia menutut perubahan. Asumsi-asumsi yang bekerja dengan baik
di masa lalu terus digunakan untuk situasi-situasi baru lama setelah
mereka telah menjadi ketinggalan zaman.
Belajar dari rasa terkejut. Sebuah kajian dari para manajer
senior dalam industri mengidentifikasi bagaimana para manajer
yang sangat sukses menyerang balik kecenderungan konservatif ini.
Mereka melakukannya menurut kajian tersebut.
Dengan memberikan perhatian yang penuh pada perasaan keterkejutan
mereka ketika sebuah fakta partikular tidak sesuai dengan pemahaman
mereka sebelumnya, mereka pun kemudian menyoroti daripada menolak
kebaruan. Meskipun rasa terkejut membuat mereka merasa tidak nyaman,
namun itu membuat mereka mengambil sebab (dari rasa terkejut tersebut)
secara serius dan mempertanyakannya…. Daripada menolak, meremeh-
kan, atau mengabaikan diskonfirmasi (terhadap pandangan mereka
sebelumnya), para manajer senior yang sukses tersebut sering kali memper-
lakukannya secara bersahabat dan dengan suatu cara yang menyenangkan
dan itu semua disebabkan oleh rasa terkejut yang tidak nyaman tersebut.
Sebagai akibatnya, para manajer ini sering kali merasakan situasi-situasi

147
baru atasnya dan dalam suatu kerangka pikiran yang relatif tidak terdis-
torsi oleh berbagai gagasan yang picik.10

Para analis seharusnya mengingat-ingat catatan berbagai peristi-


wa yang tidak diharapkan dan berpikir keras tentang apa yang
telah menjadi hikmah di balik peristiwa tersebut, bukannya malah
mengabaikan atau menjelaskannya. Sangatlah penting memper-
timbangkan apakah rasa terkejut ini, betapa pun kecilnya, adalah
konsisten dengan beberapa hipotesis alternatif. Satu peristiwa yang
tidak diharapkan mungkin mudah diabaikan, tapi sebuah pola rasa
terkejut mungkin menjadi tanda pertama bahwa pemahaman kita
terhadap apa yang tengah terjadi membutuhkan beberapa penyesuai-
an, yang berada dalam ketidakutuhan, dan mungkin benar-benar
menjadi pemahaman yang salah.
Asumsi-Asumsi Strategis Versus Indikator-Indikator
Taktis. Abraham Ben-Zvi menganalisis lima kasus kegagalan dalam
meramalkan serangan rasa terkejut.11 Dia membuat sebuah perbeda-
an berguna di antara perkiraan yang didasarkan pada asumsi-asumsi
strategis dengan perkiraan yang didasarkan pada berbagai indikasi
taktis. Contoh asumsi-asumsi strategis termasuk keyakinan Amerika
Serikat pada tahun 1941 bahwa Jepang berharap menghindari perang
dengan semua harganya, karena ia mengakui superioritas militer
Amerika Serikat, dan keyakinan Israel pada tahun 1973 bahwa
bangsa Arab tidak akan menyerang Israel sampai mereka mendapat-
kan kekuatan udara yang cukup untuk menjamin kontrol terhadap
kawasan udara mereka. Sedangkan peristiwa mutakhirnya adalah tes
nuklir India pada tahun 1998., yang secara luas dipandang sebagai
sebuah kejutan dan, setidaknya sebagian, sebagai sebuah kegagal-
an dari para ahli untuk memperingatkan ujicoba serupa di masa

10. Daniel J. Isenberg, “How Senior Managers Think,” in David Bell, Howard Raiffa,
and Amos Tversky, Decision Making: Descriptive, Normative, and Prescriptive
Interactions (Cambridge University Press, 1988), hlm. 535.
11. Abraham Ben-Zvi, “Hindsight and Foresight: A Conceptual Framework for the
Analysis of Surprise Attacks,” World Politics, April 1976.

148
mendatang. Asumsi strategis yang salah adalah bahwa pemerin-
tahan baru India diminta untuk tidak melakukan ujicoba senjata
nuklir mereka jika tidak ingin terkena sanksi ekonomi dari Amerika
Serikat.12
Berbagai indikator taktisnya adalah laporan-laporan persiapan
spesifik atau maksud untuk memulai aksi bermusuhan atau, dalam
kasus India, laporan-laporan persiapan atas sebuah ujicoba nuklir.
Ben-Zvi menemukan bahwa kapan pun asumsi-asumsi strategis
dan indikator-indikator taktis terhadap serangan yang akan datang
dijumpai, sebuah ancaman segera akan dirasakan dan ukuran-
ukuran yang bersifat pencegahan yang sesuai harus segera diambil.
Ketika ketidaksesuaian ada di antara asumsi-asumsi strategis dan
indikator-indikator taktis dalam lima kasus yang Ben-Zvi analisis,
asumsi-asumsi strategis selalu yang menang, dan mereka tidak pernah
dievaluasi kembali ditinjau dari segi meningkatnya aliran informasi
yang berkontradiksi. Ben-Zvi menyimpulkan bahwa berbagai indika-
tor taktis seharusnya ditingkatkan bobotnya dalam proses pembuatan
keputusan. Pada tingkatan minimal, munculnya indikator-indikator
taktis yang berkontradiksi dengan asumsi-asumsi strategis seharus-
nya menjadi pemicu bagi adanya tingkat kewaspadaan intelijen yang
lebih tinggi. Itu mungkin mengindikasikan bahwa sebuah keterke-
jutan yang lebih besar akan terjadi.
Bab 8, “Analisis terhadap Berbagai Hipotesis yang Bersaing”,
memberikan sebuah kerangka kerja dalam mengidentifikasi rasa
terkejut dan mempertimbangkan indikator-indikator taktis serta
bentuk-bentuk bukti mutakhir yang lain terhadap asumsi-asumsi
dan keyakinan-keyakinan yang sudah bertahan lama.

12. Transkrip dari konferensi berita Laksamana David Jeremiah mengenai prestasi
Komunitas Intelijen berkenaan dengan ujicoba nuklir India, paragraf keempat
dan kelima dan juga Q dan A pertama, 2 Juni 1998.

149
4. Menstimulasi Pemikiran Kreatif
Imajinasi dan kreativitas memainkan peran penting dalam
analisis intelijen, seperti halnya dalam kebanyakan bidang usaha
manusia lainnya. Berbagai keputusan intelijen membutuhkan
kemampuan untuk mengimajinasikan sebab-sebab dan hasil-hasil
yang memungkinkan terhadap suatu situasi mutakhir. Semua hasil
yang memungkinkan tidak ditentukan. Para analis harus memikir-
kannya dengan membayangkan berbagai skenario yang menjelaskan
secara lengkap bagaimana mereka mungkin terjadi. Dengan cara yang
sama, imajinasi dan juga pengetahuan dibutuhkan untuk merekon-
struksi bagaimana sebuah masalah tampak dari sudut pandang
pemerintahan luar negeri. Kreativitas dibutuhkan untuk memper-
tanyakan segala hal yang telah lama dianggap benar. Fakta bahwa
apel jatuh dari pohon sudah diketahui oleh setiap orang. Kejenius-
an kreatif Newton adalah karena mempertanyakan “mengapa?”
Para analis intelijen terlalu diharapkan untuk memunculkan
pertanyaan-pertanyaan baru yang mengarah pada identifikasi
hubungan-hubungan yang tidak dikenali sebelumnya atau untuk
memungkinkan hasil-hasil yang tidak diramalkan sebelumnya.
Sebuah produk analitis yang kreatif menunjukkan sebuah
pengamatan yang tajam dalam menemukan cara-cara yang imajina-
tif atau inovatif —tapi juga akurat dan efektif— untuk memenuhi
beberapa syarat analisis utama: mengumpulkan informasi,
menganalisis informasi, mendokumentasikan bukti-bukti, dan/
atau menghadirkan kesimpulan-kesimpulan. Penyediaan sumber
data yang tidak biasa, mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan
baru, mengaplikasikan metode-metode analitis yang tidak biasa,
dan mengembangkan jenis-jenis produk baru atau cara-cara baru
menyesuaikan analisis dengan berbagai kebutuhan konsumen adalah
semua contoh bagi aktivitas kreatif.
Inteligensi seseorang, yang diukur dengan tes IQ, mempunyai
sedikit yang harus dilakukan dengan kreativitas, tapi lingkungan

150
organisasional menjalankan sebuah pengaruh utama. Gagasan-
gagasan baru tapi layak kemungkinan besar dimunculkan dalam
suatu iklim organisasional yang memelihara perkembangan dan
komunikasi mereka.
Pandangan lama bahwa kreativitas adalah sesuatu yang telah
ada sejak lahir, dan bahwa ia tidak bisa diajarkan atau dikembang-
kan, sama sekali tidaklah benar. Ketika bakat alami, per se, adalah
penting dan mungkin bersifat abadi, sangatlah mungkin untuk
belajar menggunakan bakat bawaan seseorang secara lebih produk-
tif. Dengan pemahaman, praktik, dan usaha sadar, para analis bisa
belajar menghasilkan kerja yang lebih imajinatif, inovatif, dan
kreatif.
Ada satu inti literatur yang besar tentang kreativitas dan
bagaimana menstimulasinya. Setidaknya, setengah lusin metode
berbeda telah dikembangkan untuk pengajaran, pemfasilitasan,
atau pembebasan pemikiran kreatif. Semua metode bagi pengajar-
an atau pemfasilitasan kreativitas didasarkan pada asumsi bahwa
proses pemikiran bisa dipisahkan dari kandungan pemikiran. Orang
mempelajari berbagai strategi mental yang bisa digunakan bagi
beberapa subjek.
Bukanlah tujuan kami di sini untuk mengulas secara komersial
berbagai program yang tersedia bagi perluasan kreativitas. Pendekat-
an-pendekatan programatis seperti itu bisa digunakan secara lebih
bermakna bagi masalah-masalah pengembangan produk baru,
periklanan, atau manajemen daripada untuk analisis intelijen.
Namun, sangatlah relevan membicarakan beberapa prinsip dan
teknik-teknik kunci yang program-program ini umumnya punyai,
dan analis intelijen baik individu maupun kelompok bisa menggu-
nakannya dalam kerja mereka.
Para analis intelijen harus menghasilkan gagasan-gagasan
berkenaan dengan sebab-sebab potensial atau penjelasan-penjelasan
dari berbagai peristiwa, kebijakan-kebijakan yang mungkin dikejar
atau aksi-aksi yang diambil oleh sebuah pemerintahan asing, hasil
151
yang memungkinkan dari sebuah situasi yang ada, dan berbagai
variabel yang akan memengaruhi hasil-hasil yang sebenarnya telah
dihasilkan. Para analis juga butuh bantuan untuk menyentakkan
berbagai jejak mental mereka, menstimulasi memori-memori atau
imajinasi-imajinasi mereka, dan untuk merasakan berbagai peristi-
wa familiar dari sebuah perspektif baru.
Berikut ini adalah beberapa prinsip dan teknik pemikiran
kreatif yang bisa digunakan dalam analisis intelijen.
Menunda Keputusan. Tidak diragukan lagi, prinsip menunda
keputusan adalah yang paling penting. Fase menghasilkan gagasan
dalam analisis seharusnya dipisahkan dari fase evaluasi gagasan,
dengan evalusi yang ditunda sampai semua gagasan yang memung-
kinkan telah dikeluarkan. Pendekatan ini berjalan terbalik dengan
prosedur pemikiran normal terhadap gagasan dan mengevaluasinya
dengan persetujuan. Menstimulasi imajinasi dan pemikiran kritis
keduanya adalah penting, tapi mereka tidak bisa dicampur-adukkan
dengan baik. Perilaku yang bersifat memutuskan memperkecil
imajinasi, apakah ia memanifes dalam dirinya sendiri dalam bentuk
sensor terhadap diri dari gagasan seseorang atau ketakutan terhadap
evaluasi kritis oleh para kolega atau supervisor. Penghasilan gagasan
harus menjadi proses yang bebas bergerak, tidak terbatasi, dan tidak
dikritik.
Berdasarkan definisinya, berbagai gagasan baru tidaklah
konvensional, dan karenanya kemungkinan besar ditekan, baik
secara sadar maupun tidak sadar, kecuali gagasan-gagasan baru itu
lahir dalam suatu lingkungan yang aman dan terlindungi. Keputus-
an kritis seharusnya ditunda sampai setelah tahapan penghasilan
gagasan analisis telah dilengkapi. Serangkaian gagasan seharusnya
ditulis dan kemudian mengevaluasinya kemudian. Ini digunakan
untuk mencari gagasan-gagasan oleh individu-individu dan juga
dalam proses pengungkapan pendapat (brainstorming) dalam suatu
kelompok. Keluarkan semua gagasan pada tabel sebelum mengeva-
luasinya.
152
Kuantitas Mengarah pada Kualitas. Prinsip kedua adalah
kuantitas gagasan pada akhirnya mengarah pada kualitas. Ini didasar-
kan pada asumsi bahwa gagasan-gagasan pertama yang datang kepada
pikiran akan menjadi gagasan yang paling umum atau yang paling
biasa. Sangatlah perlu menjalankan gagasan-gagasan konvensional
ini sebelum tiba gagasan-gagasan yang orisinil atau yang berbeda.
Orang mempunyai cara-cara tersendiri dalam berpikir, cara-cara
yang terus mereka gunakan, karena cara-cara tersebut tampak
berhasil di masa lalu. Mungkin juga respons-respons kebiasaan ini,
yang datang pertama kali kepada pikiran, adalah respons terbaik
sehingga pencarian selanjutnya tidak dibutuhkan lagi. Namun,
dalam mencari gagasan-gagasan baru yang bisa digunakan, orang
harus berusaha menghasilkan gagasan sebanyak mungkin sebelum
mengevaluasinya.
Tidak Ada Batasan yang Membebani Diri. Prinsip ketiga
adalah bahwa pemikiran seharusnya diperkenankan —malahan
dipaksakan— untuk kisaran yang sebebas mungkin. Perlu untuk
membebaskan diri sendiri dari batasan-batasan yang membebani diri,
apakah itu berasal dari kebiasaan analitis, perspektif terbatas, norma-
norma sosial, berbagai halangan emosional, atau apa pun.
Fertilisasi lintas gagasan. Prinsip keempat dari pemecah-
an masalah yang kreatif adalah bahwa fertilisasi lintas gagasan itu
penting dan perlu. Gagasan-gagasan harus dikombinasikan satu sama
lain untuk membentuk gagasan yang semakin lama bahkan semakin
lebih baik. Jika pemikiran kreatif mencakup penempaan hubung-
an-hubungan baru di antara konsep-konsep yang sebelumnya tidak
berhubungan atau yang terhubung secara lemah, maka kreativitas
akan distimulasikan oleh beberapa aktivitas yang membawa lebih
banyak konsep ke dalam penjajaran terhadap yang lainnya dengan
cara-cara yang segar. Interaksi dengan para analis lain menjadi satu
mekanisme dasar untuk hal ini. Sebagai sebuah aturan umum,
orang menghasilkan gagasan-gagasan lebih kreatif ketika berinter-
aksi dengan orang lain; mereka membantu membangun dan
153
mengembangkan gagasan-gagasan satu sama lain. Interaksi personal
menstimulasi berbagai asosiasi baru di antara berbagai gagasan. Ia
juga memengaruhi usaha yang lebih besar dan membantu memper-
tahankan konsentrasi terhadap tugas tersebut.
Berbagai komentar mengenai proses-proses kelompok ini
tidaklah berarti mencakup pertemuan-pertemuan komite atau proses-
proses koordinasi standar yang mendesakkan konsensus berdasarkan
pada denominator persetujuan umum yang paling rendah. Kata-
kata positif saya tentang interaksi kelompok utamanya dipergunakan
untuk sesi pengungkapan pendapat (brainstorming) yang bertujuan
untuk menghasilkan gagasan baru dan yang di dalamnya, menurut
prinsip pertama yang telah dibahas di atas, semua kritisisme dan
evaluasi ditangguhkan sampai setelah tahapan penghasilan gagasan
dilengkapi.
Memikirkan segala hal di luar juga mempunyai keuntungan-
nya sendiri: pikiran individu cenderung menjadi terstrukturkan dan
sistematik daripada interaksi dalam suatu kelompok. Hasil-hasil
yang optimal datang dari pengubahan di antara pemikiran individu
dengan usaha tim, dengan menggunakan interaksi kelompok untuk
menghasilkan gagasan-gagasan yang mendukung pemikiran indivi-
du. Satu kelompok yang bermacam-macam jelas lebih disukai bagi
seorang yang homogen. Sebagian peserta kelompok harus menjadi
analis yang tidak tertutup pada masalah, sepanjang gagasan-gagasan
mereka kemungkinan lebih merefleksikan pandangan-pandangan
yang berbeda.
Evaluasi Gagasan. Semua teknik kreativitas disangkutpa-
utkan dengan penstimulasian aliran berbagai gagasan. Tidak ada
teknik yang bisa diperbandingkan bagi penentuan gagasan-gagasan
mana yang terbaik. Oleh karena itu, prosedurnya bertujuan untuk
menghasilkan gagasan daripada evaluasi gagasan. Namun, prosedur
yang sama berusaha membantu evaluasi dalam pengertian bahwa
kemampuan untuk menghasilkan yang lebih alternatif membantu
orang melihat berbagai konsekuensi, reaksi, dan efek-efek yang lebih
154
potensial yang gagasan atau aksi tunggal mungkin perlukan.

C. Lingkungan Organisasional

Sebuah gagasan baru bukanlah produk akhir dari proses


kreatif. Agaknya, ia merupakan permulaan dari apa yang kadang-
kadang menjadi proses penerjemahan sebuah gagasan yang panjang
dan berbelit-belit menjadi sebuah produk yang inovatif. Gagasan
harus dikembangkan, dievaluasi, dan dikomunikasikan kepada yang
lain, dan proses ini dipengaruhi oleh setting organisasional yang
menjadi tempat ia berlangsung di dalamnya. Gagasan baru yang
secara potensial berguna harus mengabaikan sejumlah rintangan di
hadapannya yang tercakup sebagai sebuah produk organisasional.
Paragraf berikut ini menggambarkan beberapa penelitian
mendetail yang dilakukan oleh Frank Andrews untuk menginvesti-
gasi hubungan antara kemampuan kreatif, latar belakang organisasi,
dan produk-produk penelitian inovatif.13 Subjek-subjek peneliti-
an ini adalah 115 ilmuwan, yang masing-masing dari mereka telah
mengarahkan sebuah proyek penelitian yang berhadapan dengan
aspek-aspek penyakit psikologis-sosial. Para ilmuwan ini diberikan
ujicoba yang terstandarisasi yang mengukur kemampuan kreatif dan
inteligensi. Mereka juga diminta untuk mengisi angket yang ekstensif
berkenaan dengan lingkungan di mana penelitian tersebut dilaku-
kan. Sebuah panel juri dibentuk yang beranggotakan para ilmuwan
terkemuka dalam lapangan sosiologi medis yang diminta untuk
mengevaluasi hasil-hasil terpublikasikan yang terpenting dari setiap
115 proyek penelitian tersebut.
Juri mengevaluasi hasil-hasil penelitian atas dasar produktivi-
tas dan inovasi. Produktivitas didefinisikan sebagai “suatu tingkatan
di mana penelitian merepresentasikan adanya tambahan pengeta-

13. Frank M. Andrews, “Social and Psychological Factors Which Influence the
Creative Process,” in Irving A. Taylor and Jacob W. Getzels, eds., Perspectives in
Creativity (Chicago, Aldine Publishing, 1975).

155
huan sepanjang lini penelitian yang sudah terbentuk atau sebagai
perluasan bagi teori sebelumnya.” Sedangkan keinovasian didefini-
sikan sebagai “tambahan pengetahuan melalui lini penelitian baru
atau pengembangan berbagai pernyataan teoretis baru dari berbagai
penemuan yang tidak eksplisit pada teori sebelumnya.”14 Dengan
kata lain, inovasi mencakup pemunculan berbagai pertanyaan baru
dan pengembangan pendekatan-pendekatan baru untuk tambahan
pengetahuan, seperti yang sudah jelas dari pekerjaan produktif dalam
suatu kerangka kerja yang sudah terbentuk. Definisi yang sama ini
berguna bagi inovasi dalam analisis intelijen.
Andrews sebenarnya tidak menemukan hubungan antara
kemampuan kreatif ilmuwan dengan keinovasian penelitian mereka.
(Tidak ada juga hubungan antara tingkat inteligensi dengan keinova-
sian.) Mereka yang mempunyai skor tinggi dalam tes kemampuan
kreatif tidak perlu menerima peringkat yang tinggi dari juri yang
mengevaluasi keinovasian pekerjaan mereka. Sebuah penjelas-
an pentingnya adalah bahwa baik kemampuan kreatif maupun
inovasi, atau keduanya, tidak bisa diukur secara akurat, tapi Andrews
mendesak secara persuasif bagi pandangan yang lain. Berbagai faktor
sosial dan psikologis mempunyai sebuah efek yang sangat besar pada
langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menerjemahkan kemampu-
an kreatif ke dalam suatu produk penelitian inovatif bahwa tidak
ada efek yang bisa diukur yang bisa dilacak ke dalam kemampu-
an kreatif itu sendiri. Agar bisa mendokumenkan kesimpulan ini,
Andrews menganalisis data dari angket-angket yang di dalamnya
para ilmuwan menggambarkan lingkungan kerja mereka.
Andrews mendapati bahwa para ilmuwan memiliki kemampu-
an yang lebih kreatif dengan menghasilkan pekerjaan yang lebih
inovatif hanya di bawah kondisi-kondisi menyenangkan berikut:
• Ketika ilmuwan merasa dirinya sendiri bertanggung jawab
dalam memprakarsai aktivitas-aktivitas baru. Kesempatan

14. Ibid., hlm. 122.

156
inovasi, dan dorongan terhadapnya —tidaklah mengejutkan—
merupakan variabel-variabel yang penting.
• Ketika ilmuwan mempunyai kontrol yang patut diperhitungkan
atas pembuatan keputusan berkenaan dengan program
penelitiannya —dengan kata lain, kebebasan membentuk
tujuan, memecat asisten penelitiannya, dan menggunakan
dana. Di bawah lingkungan seperti ini, sebuah gagasan baru
kemungkinan kurang diperiksa sebelum ia dikembangkan
menjadi sebuah produk yang kreatif dan berguna.
• Ketika ilmuwan merasa aman dan nyaman dalam peran
profesionalnya. Berbagai gagasan baru sering kali mengganggu,
dan mengejarnya membawa risiko kegagalan. Orang
kemungkinan besar lebih mempercepat gagasan baru jika
mereka merasa aman dalam posisi mereka.
• Ketika kesuperioran administratif ilmuwan “tetap berada di
jalannya”. Penelitian kemungkinan menjadi lebih inovatif
ketika kesuperioran membatasi dirinya sendiri untuk
mendukung dan memfasilitasi daripada pelibatan langsung.
• Ketika proyek relatif kecil dalam hal jumlah orang-orang
yang terlibat, anggaran, dan durasi waktu. Ukuran yang kecil
menaikkan fleksibilitas dan ini pada gilirannya lebih kondusif
bagi kreativitas.
• Ketika ilmuwan sibuk dengan aktivitas-aktivitas lain, seperti
mengajar atau administrasi yang lain, selain menjalankan
proyek penelitian. Pekerjaan lain mungkin memberikan
stimulasi berguna atau membantu orang mengidentifikasi
berbagai kesempatan untuk mengembangkan atau
mengimplementasikan berbagai gagasan baru. Beberapa
waktu yang jauh dari tugas, atau sebuah periode inkubasi,
pada umumnya diakui sebagai bagian dari proses kreatif.

157
Pentingnya salah satu faktor ini tidaklah begitu besar, namun
pengaruhnya bisa menjadi berakumulasi. Kehadiran semua atau
banyak dari kondisi-kondisi ini mendesakkan pengaruh menyenang-
kan yang sangat kuat terhadap proses kreatif. Sebaliknya, ketiadaan
kondisi-kondisi ini membuatnya benar-benar tidak mungkin yang
bahkan para ilmuwan paling kreatif pun tidak bisa mengembangkan
berbagai gagasan baru mereka ke dalam hasil-hasil penelitian yang
inovatif. Di bawah kondisi yang tidak menyenangkan, para ilmuwan
yang secara kreatif paling bagus bahkan menghasilkan pekerjaan
yang kurang inovatif daripada kolega-kolega mereka yang kurang
imajinatif, yang barangkali karena mereka mengalami rasa frustrasi
yang lebih besar dengan lingkungan pekerjaan mereka.
Ringkasnya, tingkat bakat kreatif bawaan mungkin menjadi
sebuah prakondisi yang penting bagi pekerjaan inovatif, tapi kemung-
kinan hal itu tidak memberikan nilai yang begitu banyak, kecuali
lingkungan organisasional di mana ia bekerja mampu memperta-
hankan pengembangan dan pengomunikasian berbagai gagasan
baru. Di bawah lingkungan yang tidak menyenangkan, saraf-saraf
kreatif seseorang kemungkinan akan mendapatkan ekspresi di luar
organisasi tersebut.
Tentunya ada pengecualian terhadap aturan tersebut. Sebagi-
an kreativitas terjadi bahkan pada saat menghadapi perlawanan
yang sangat kuat. Sebuah lingkungan yang buruk bisa memberikan
stimulasi, pembangkitan, dan tantangan. Sebagian orang mendapat-
kan kepuasan dari memandang diri mereka sebagai petarung sendiri
dalam hutan belantara, tapi ketika datang berkonflik di antara sebuah
organisasi besar dengan seorang individu kreatif di dalamnya, organi-
sasi itu pada umumnya akan menang.
Mengakui peran lingkungan organisasional dalam mensti-
mulasi atau memaksakan kreativitas menunjukkan jalan bagi satu
perangkat ukuran yang jelas untuk memperluas prestasi organisasio-
nal yang kreatif. Para manajer analisis, dari supervisor eselon satu
hingga Direktur Pusat Intelijen, seharusnya mengambil langkah
158
memperkuat dan memperluas persepsi di antara para analis yang
mempunyai berbagai gagasan baru. Ini tidaklah mudah; kreativitas
secara tidak langsung menyatakan kritisisme terhadap apa yang sudah
ada. Karena itu, ia secara inheren mengganggu bagi gagasan-gagasan
yang sudah terbentuk dan praktik-praktik organisasionalnya.
Khususnya dalam jabatannya sendiri, seorang analis harus
menikmati perasaan aman, sehingga berbagai gagasan yang
dikembangkan secara parsial mungkin diekspresikan dan diumpan-
kan kepada yang lain dalam bentuk papan bersuara dengan
ketakutan minimal terhadap kritikan atau ejekan untuk mengalih-
kannya dari ortodoksi yang terbentuk. Dalam permulaannya, sebuah
gagasan baru itu bersifat lemah dan rentan terkena kritik. Ia harus
dipelihara, dikembangkan, dan diujicoba dalam suatu lingkungan
yang terproteksi sebelum ditampakkan pada realitas kritik publik
yang keras. Dan merupakan tanggung jawab supervisor dan kolega
jabatan sang analis untuk memberikan lingkungan yang aman ini.

Kesimpulan

Kreativitas, dalam pengertian gagasan-gagasan baru dan


berguna, paling tidak sama pentingnya dalam analisis intelijen
dengan usaha keras manusia di bidang pekerjaan lainnya. Berbagai
prosedur memperluas pemikiran inovatif tidaklah baru. Para pemikir
kreatif telah mempekerjakan mereka dengan sukses selama berabad-
abad. Hanya unsur-unsur baru —dan bahkan mereka sebenarnya
tidaklah baru lagi— menjadi dasar dari prosedur-prosedur ini dalam
teori psikologis untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa mereka
bekerja, dan formalisasi mereka dalam program-program kreativi-
tas yang sistematis.
Mempelajari teknik-teknik pemecahan masalah yang kreatif
tidak mengubah bakat-bakat asli bawaan analis sejak lahir, tapi
membantu seorang analis mencapai kepotensialannya yang utuh.
Banyak orang mempunyai kemampuan untuk menjadi lebih inovatif

159
daripada yang mereka sendiri sadari. Keefektifan prosedur-prosedur
ini tergantung, dalam ukuran yang besar, pada motivasi, kendali, dan
ketekunan analis sendiri dalam mengambil waktu yang dibutuhkan
untuk analisis yang penuh pemikiran, meskipun banyak tekanan dari
tugas sehari-hari, surat, dan pelaporan intelijen mutakhir.
Perilaku yang mengandung pertanyaan adalah prasyarat bagi
keberhasilan pencarian gagasan-gagasan baru. Beberapa analis yang
percaya diri sudah mengetahui jawabannya, dan jawaban ini tidak
berubah, yang kemungkinan besar tidak menghasilkan pekerjaan
yang inovatif atau imajinatif. Prasyarat lain bagi kreativitas adalah
cukupnya kekuatan karakter untuk menunjukkan gagasan-gagasan
baru kepada orang lain, yang kemungkinan besar akan mendapatkan
kejadian penolakan atau bahkan tertawaan. “Gagasan-gagasan orang
kreatif sering kali membawa mereka kepada konflik langsung dengan
berbagai kecenderungan masa mereka, dan mereka membutuhkan
dorongan untuk mampu berpijak dengan kaki sendiri.”15

Puzzle sembilan titik dalam Gambar 6 di atas dan di awal


bab ini sulit dipecahkan hanya jika orang mendefinisikan masalah
secara sempit. Angka yang mengejutkan dari orang yang berasumsi
bahwa mereka tidak beranggapan membiarkan pensil bergerak ke
luar persegi bayangan yang digambarkan di sekitar sembilan titik
tersebut.

15. Robin Hogarth, Judgment and Choice (New York: Wiley, 1980), hlm. 117.

160
Beberapa keterbatasan bawah sadar ini hanya ada dalam pikiran
orang yang memecahkan masalah; ia tidak ditentukan dalam defini-
si masalah tersebut. Dengan tidak ada batasan pada panjang garis,
seharusnya relatif mudah untuk menawarkan jawaban yang ditunjuk-
kan pada Gambar 7 di atas.

Keterbatasan umum dan bawah sadar lainnya adalah asumsi


bahwa garis-garis itu harus melalui pusat titik. Ketidakleluasaan ini
juga hanya ada dalam pikiran orang yang memecahkan masalah.
Tanpanya, solusi tiga baris dalam Gambar 8 menjadi agak jelas.

161
Penghalang mental yang lebih halus dan tentu lebih
dapat menembus adalah asumsi bahwa masalah-masalah seperti
itu harus diselesaikan dalam dua bidang dimensional. Dengan
menggulung kertas membentuk sebuah silinder, akan menjadi
mungkin menggambarkan sebuah garis lurus tunggal yang ber-
bentuk spiral melalui semua dari sembilan titik tersebut, dan
hal ini ditunjukkan dalam Gambar 9.

162
Bab 7
Menstrukturkan Masalah-Masalah
Analitis

Bab ini membahas beragam struktur bagi dekomposisi dan pengeksterna-


lisasian masalah-masalah analitis yang kompleks ketika kita tidak bisa
menjaga semua factor-faktor yang relevan dalam wilayah depan kesadar-
an kita pada saat yang sama.
Dekomposisi berarti pemecahan sebuah masalah ke dalam bagian-bagian
komponennya. Sedangkan eksternalisasi berarti mengeluarkan masalah dari
kepala-kepala kita dan membawanya kepada bentuk yang dapat kelihat-
an sehingga kita bisa memanfaatkannya.

B ahasan tentang memori bekerja pada Bab 3 mengindikasi-


kan bahwa “Angka Ajaib Tujuh—Kurang Lebih Dua”1 adalah
jumlah hal-hal yang kebanyakan orang bisa mengingatnya dalam
memori bekerja dalam satu waktu. Untuk mengalami pembatas-
an ini pertama kali pada memori bekerja ketika melakukan sebuah
tugas mental, cobalah menggandakan dalam kepala Anda pasangan
dari angka-angka dua digit —misalnya, 46 kali 78. Di atas kertas,
ini adalah sebuah masalah sederhana, tapi banyak orang tidak bisa
menjaga jalur dari banyak angka dalam kepala mereka.
Kapasitas terbatas dari memori bekerja merupakan sumber
dari banyak masalah dalam melakukan analisis intelijen. Sangatlah

1. George A. Miller, “The Magical Number Seven, Plus or Minus Two: Some Limits
on our Capacity for Processing Information.” The Psychological Review, Vol. 63,
No. 2 (March 1956).
berguna untuk mempertimbangkan bagaimana analisis yang rumit
bisa didapatkan, dan bagaimana kompleksitas mungkin melebihi
memori bekerja Anda dan menghalangi kemampuan Anda untuk
membuat keputusan-keputusan akurat. Gambar 10 mengilustrasikan
bagaimana kompleksitas meningkat secara geometris dalam bentuk
angka-angka variabel dalam suatu masalah analitis yang meningkat.
Persegi bersisi empat menunjukkan bahwa kteika sebuah masalah
hanya mempunyai empat variabel, ada enam kesalingterhubungan
yang memungkinkan di antara variabel-variabel tersebut. Dengan
bentuk segi lima, lima variabel mempunyai 10 kesalingterhubung-
an yang memungkinkan. Dengan enam dan delapan variabel, secara
berturut-turut, ada 15 dan 28 kesalingterhubungan yang memung-
kinkan di antara variabel-variabel.

Gambar 10
Angka hubungan yang memungkinkan di antara variabel-variabel tumbuh
secara geometris sebagai angka-angka variabel yang meningkat.

Ada dua alat dasar dalam menghadapi kompleksitas dalam


analisis —pembusukan dan eksternalisasi.
Dekomposisi berarti pemecahan sebuah masalah ke dalam
bagian-bagian komponennya. Dan sesungguhnya, itulah esensi
dari analisis. Webster’s Dictionary mendefinisikan analisis sebagai
pembagian dari keseluruhan yang kompleks ke dalam bagian-bagian

164
atau unsur-unsurnya.2
Ruh analisis keputusan adalah membagi dan menaklukkan:
Dekomposisi sebuah masalah kompleks ke dalam masalah-masalah
lebih sederhana, mendapatkan pemikiran langsung seseorang dalam
masalah-masalah yang lebih sederhana ini, dan merekatkan analisis-
analisis ini bersamaan dengan sebuah perekat logis.3
Eksternalisasi berarti mengeluarkan masalah yang membusuk
dari kepala seseorang dan menuliskannya ke atas kertas atau pada
layar komputer dalam bentuk yang disederhanakan yang menunjuk-
kan variabel-variabel, parameter-parameter, atau unsur-unsur utama
dari masalah tersebut dan bagaimana mereka menghubungkannya
satu sama lain. Menuliskan masalah perkalian, 46 kali 78, adalah
sebuah contoh sangat sederhana dalam mengeksternalisasi sebuah
masalah analitis. Ketika ia dituliskan di atas kertas, orang bisa dengan
mudah memanipulasi satu bagian masalah pada suatu waktu dan
sering kali menjadi lebih akurat daripada ketika mencoba mengali-
kan angka-angka dalam kepala seseorang.
Saya menyebut gambaran ini sebuah gambar terhadap masalah
Anda. Yang lain menyebutnya membuat sebuah model ke dalam
masalah Anda. Itu bisa menjadi sesederhana membuat daftar pro
dan kontra.
Rekomendasi ini mengimbangi batasan-batasan memori bekerja
dengan melakukan pembusukan dan eksternaliassi masalah-masalah
analitis yang tidak baru. Kutipan berikut adalah dari sebuah surat
Benjamin Franklin yang ditulis pada tahun 1772 kepada ilmuwan
Inggris terkenal Joseph Priestley, sang penemu oksigen:
Dalam urusan yang begitu sangat penting bagi Anda, di
mana di dalamnya Anda meminta nasihat saya, saya tidak
bisa memberikan cukup premis, menasihatkan Anda apa yang
menentukan, tapi jika Anda mau, saya akan katakan pada
Anda mengenai hal itu. Ketika kasus-kasus sulit itu terjadi,

2. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, 1988.


3. Howard Raiffa, Decision Analysis (Reading, MA: Addison-Wesley, 1968).

165
mereka akan sulit. Ringkasnya, karena ketika kita mempunyai
mereka di bawah pertimbangan, semua alasan pro dan kontra
tidaklah ada pada pikiran pada saat yang bersamaan, tapi
kadang-kadang satu perangkat menghadirkan diri mereka
sendiri, dan di waktu yang lain adalah perangkat yang lain,
yang pertama itulah yang muncul dalam pandangna. Karena
itu, tujuan-tujuan atau kecenderungan-kecenderungan yang
beragam secara alternatif berlaku, dan ketidakpastianlah yang
membingungkan kita.

Untuk mendapatkan semua ini, cara saya adalah membagi dua


selembar kertas dengan satu baris ke dalam dua kolom; menulis-
kan satu Pro pada satu kolom dan kolom yang lain dengan Kontra.
Kemudian, selama tiga atau empat hari pertimbangan, saya meletak-
kan di bawah kepala yang berbeda berbagai petunjuk singkat pada
motif yang berbeda, yang ada pada waktu berbeda yang terjadi pada
saya, atau terhadap ukuran tersebut.
Ketika saya mendapatkan mereka semua bersamaan dalam
satu pandangan, saya berusaha keras untuk memperkirakan
bobot masing-masing mereka; dan di mana saya mendapat-
kan dua, satu pada masing-masing sisi, yang tampak sama,
lalu saya menghapus keduanya. Jika saya mendapati satu
alasan pro yang sama dengan dua alasan yang kontra,
saya menghapus ketiganya…dan saat memprosesnya saya
mendapati panjang di mana ada keseimbangan di sana; dan
jika, setelah sehari atau dua hari pertimbangan selanjutnya,
tidak ada yang baru yang penting yang terjadi pada sisi yang
lain, saya pun datang untuk sebuah determinasi yang sesuai
dengan hal itu.

Dan, meskipun kadar alasan-alasan itu tidak bisa diambil


dengan presisi kuantitas yang bersifat aljabar, maka ketika
masing-masing telah dipertimbangkan, secara terpisah atau
perbandingan, dan seluruhnya terpampang di hadapan saya,
maka saya pikir saya bisa memutuskan yang lebih baik,
dan saya kurang bisa diandalkan untuk membuat langkah
yang gegabah, dan kenyataannya saya telah mendapatkan

166
keuntungan yang besar dari jenis perumusan ini….4

Yang patut diperhatikan bahwa Franklin selama 200 tahun yang


lalu telah mengidentifikasi masalah keterbatasan memori bekerja
dan bagaimana ia memengaruhi kemampuan seseorang dalam
membuat keputusan-keputusan. Sebagaimana yang telah Franklin
catat, masalah keputusan adalah masalah yang sulit, karena orang
tidak bisa menjaga semuanya sekaligus dalam pikiran pada saat yang
bersamaan. Kita fokus pada satu perangkat argumen yang pertama
dan kemudian pada perangkat argumen yang selanjutnya, “…karena
tujuan-tujuan atau kecenderungan-kecenderungan yang beragam
secara alternatif berlaku, dan ketidakpastianlah yang membingung-
kan kita.”
Franklin juga mengidentifikasi solusi —mengeluarkan semuanya
sekaligus dari kepalanya dan kemudian menuliskannya ke atas kertas
dalam bentuk yang bisa dilihat dan ringkas. Fakta bahwa topik ini
menjadi bagian dari dialog di antara individu-individu termasyhur
tersebut merefleksikan jenis orang seperti apa yang menggunakan
alat-alat analitis seperti itu. Batasan-batasan mendasar yang dimiliki
memori bekerja akan memengaruhi setiap orang. Hanya analis yang
lebih cerdik dan berhati-hati saja yang paling sadar akan hal ini dan
kemungkinan besar akan mengakui nilai yang didapatkan dengan
menggunakan alat-alat yang sangat sederhana ini.
Meletakkan berbagai gagasan ke dalam bentuk yang dapat
dilihat menjamin bahwa mereka akan berlangsung. Mereka akan
bertebaran selama berhari-hari untuk mendorong Anda menuju
pemikiran-pemikiran selanjutnya. Daftar-daftar pun menjadi efektif,
karena mereka mengeksploitasi kecenderungan orang untuk menjadi
sedikit kompulsif —kami ingin tetap menambahkannya. Dan dengan
cara tersebut, mereka membiarkan kami lepas dari jawaban yang jelas
dan sudah menjadi kebiasaan, sehingga kami bisa menambahkan

4. J. Bigelow, ed., The Complete Works of Benjamin Franklin (New York: Putnam,
1887), hlm. 522.

167
pada daftar tersebut dengan pemikiran mengenai gagasan-gagasan
yang lain melebihi gagasan yang pertama kali muncul ke dalam
pikiran. Orang yang spesialis dalam hal kreativitas telah meneli-
ti bahwa “untuk tujuan menggerakkan pikiran-pikiran kita, pensil
bisa menjadi linggis”5 —hanya dengan menuliskan segala hal dan
membuat daftar yang menstimulasi asosiasi-asosiasi baru.
Dengan unsur-unsur kunci dari sebuah masalah yang ditulis-
kan dalam beberapa bentuk yang dipersingkat, akan jauh lebih
mudah bekerja dengan masing-masing bagian tersebut ketika masih
menjaga masalah sebagai satu pandangan keseluruhan. Para analis
bisa secara umum mempertimbangkan lebih banyak faktor daripada
ketika membuat sebuah keputusan global. Mereka bisa memani-
pulasi unsur-unsur individual dari masalah tersebut sehingga bisa
menguji banyak alternatif yang tersedia melalui penyusunan kembali,
pengombinasian, atau pemodifikasian mereka. Variabel-variabel
mungkin diberikan lebih banyak bobot atau terhapuskan, hubungan-
hubungan kausal yang terkonseptualisasikan, atau kategori-kategori
konseptual yang didefinisikan ulang. Pemikiran-pemikiran seperti
itu mungkin muncul secara spontan, tapi hal itu kemungkinan besar
terjadi ketika seorang analis melihat pada masing-masing unsur,
satu demi satu, dan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
didesain untuk mendorong dan memfasilitasi pertimbangan terhadap
berbagai interpretasi alternatif.

A. Struktur Masalah

Apa pun yang mempunyai bagian juga mempunyai sebuah


struktur yang menghubungkan bagian-bagian ini dengan bagian
yang lain. Salah satu dari langkah pertama dalam melakukan analisis
adalah menentukan sebuah struktur yang layak bagi masalah analitis,
sehingga orang kemudian bisa mengidentifikasi bagian-bagian yang

5. Alex Osborn, Applied Imagination, Revised Edition (New York: Scribner’s, 1979),
hlm. 202.

168
bermacam-macam tersebut dan mulai mengumpulkan informa-
si tentang mereka. Karena ada banyak jenis masalah analitis yang
berbeda, ada juga banyak cara yang berbeda dalam menstruktur-
kan analisis.
Daftar-daftar seperti yang Franklin buat menjadi salah satu
struktur yang paling sederhana. Seorang analis intelijen mungkin
membuat daftar-daftar variabel yang relevan, indikator peringatan
dini, penjelasan-penjelasan alternatif, hasil-hasil yang memungkin-
kan, faktor-faktor seorang pemimpin luar negeri yang mengambil
pertimbangan ketika membuat sebuah keputusan, atau argumen-
argumen untuk dan terhadap sebuah penjelasan atau hasil yang
sudah ditentukan.
Alat-alat lain dalam menstrukturkan sebuah masalah termasuk
daftar isi, tabel, diagram-diagram, diagram pohon (tree diagram), dan
matrik-matrik, dengan banyak sub-spesies untuk masing-masingnya.
Misalnya, diagram pohon mencakup diagram pohon keputusan dan
diagram pohon kesalahan. Sedangkan diagram mencakup diagram
kausal, diagram pengaruh, bagan alir, dan peta kognitif.
Mempertimbangkan semua alat tersebut adalah melebihi ruang
lingkup buku ini, tapi beberapa alat seperti itu telah dibahas. Bab 11,
“Bias-bias dalam Persepsi Sebab Akibat”, mempunyai sebuah bagian
tentang Korelasi Bayangan yang menggunakan tabel kontingensi
(2x2) untuk menstrukturkan analisis pertanyaan: Apakah penipu-
an kemungkinan besar terjadi ketika taruhan menjadi sangat tinggi?
Bab 8, “Analisis terhadap Berbagai Hipotesis Bersaing”, merupa-
kan bab yang sangat penting dalam buku ini. Ia merekomendasikan
untuk menggunakan sebuah matriks dalam menyusun bukti-bukti
untuk dan terhadap hipotesis-hipotesis bersaing agar dapat menjelas-
kan apa yang tengah terjadi sekarang atau memperkirakan apa yang
akan terjadi di masa depan.
Diskusi di bawah ini juga menggunakan sebuah matriks untuk
mengilustrasikan dekomposisi dan eksternalisasi serta dimaksudkan
untuk mempersiapkan Anda untuk melangkah ke bab selanjut-
169
nya tentang “Analisis terhadap Berbagai Hipotesis Bersaing”. Ia
mendemonstrasikan bagaimana menggunakan alat-alat ini dengan
suatu jenis keputusan yang secara umum dihadapi dalam kehidup-
an pribadi kita.

B. Matriks Pembelian Mobil

Dalam memilih di antara pembelian-pembelian alternatif,


seperti ketika membeli sebuah mobil, komputer baru, atau sebuah
rumah, orang sering ingin memaksimalkan kepuasan mereka pada
sejumlah dimensi yang kadang mengandung unsur konflik. Mereka
ingin sebuah mobil dengan harga yang serendah mungkin, dengan
biaya perawatan yang seminimal mungkin, nilai jual kembali yang
sangat tinggi, gaya yang semenarik mungkin, penanganan terbaik,
jarak mil gas yang terbaik, ruang bagasi yang lebih besar, dan seterus-
nya. Mereka tidak bisa mempunyai itu semua, sehingga mereka
harus memutuskan apa yang paling penting dan membuat berbagai
keputusan kompromis. Sebagaimana yang Ben Franklin katakan,
pilihan kadang-kadang menjadi sulit. Kita terombang-ambing di
antara satu pilihan dengan pilihan yang lain, karena kita tidak bisa
menggunakan memori bekerja pada satu waktu yang sama dengan
semua karakteristik dari semua pilihan kita tersebut. Kita memikir-
kan yang pertama kali muncul dan kemudian memikirkan yang
lain.
Untuk menangani masalah ini secara analitis, berikut ini prinsip
membagi dan menaklukkan (divide-and-conquer principle) dan
“menggambarkan sebuah gambaran” masalah sebagai satu keseluruh-
an yang membantu Anda mengidentifikasi dan membuat berbagai
keputusan kompromis. Komponen bagian-bagian masalah pembeli-
an mobil adalah mobil yang tengah Anda pertimbangkan untuk
dibeli dan segala atribut atau dimensi yang Anda ingin maksimal-
kan. Setelah mengidentifikasi berbagai atribut yang diinginkan yang
akan memengaruhi keputusan Anda, pertimbangkanlah bagaimana

170
masing-masing mobil memberikan ukuran terhadap masing-masing
atribut ini. Matriks adalah alat yang sesuai untuk menjaga jalur
keputusan Anda mengenai masing-masing mobil dan atributnya,
dan kemudian meletakkan kembali semua bagian bersama-sama
untuk membuat sebuah keputusan.
Mulailah dengan mendaftar atribut-atribut penting yang ingin
Anda maksimalkan, seperti yang ditunjukkan dalam contoh pada
Gambar 11

Selanjutnya, mengukur relatif pentingnya masing-masing


atribut dengan membagi 100 persen di antara mereka. Dengan
kata lain, tanyakan pada diri Anda persentase keputusan apa yang
harus didasarkan pada harga, gaya, dan seterusnya. Ini mendorong
Anda untuk mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan relevan dan
membuat keputusan-keputusan yang mungkin Anda abaikan jika
Anda tidak memecahkan masalah dengan cara ini. Sebenarnya
seberapa pentingnya harga versus gaya? Apakah Anda benar-benar
peduli terhadap apa yang tampak dari luarnya, ataukah Anda sangat
mencari kenyamanan di dalam dan tentang cara mengendarainya?
Haruskah unsur keselamatan yang dimasukkan ke dalam daftar
atribut-atribut penting Anda? Karena jarak mil gas yang lemah bisa
diimbangi dengan harga perawatan yang lebih rendah, mungkin
keduanya harus dikombinasikan ke dalam satu atribut yang disebut

171
biaya operasi.

Langkah ini mungkin menghasilkan suatu hasil yang serupa


dengan Gambar 12, tergantung pada pilihan-pilihan pribadi Anda.
Jika Anda melakukan ini bersama dengan pasangan Anda, basis yang
pasti terhadap beberapa perbedaan pendapat akan menjadi segera
tampak dan bisa diperhitungkan.
Selanjutnya, identifikasi mobil-mobil yang tengah Anda pertim-
bangkan dan putuskan masing-masing peringkat dari yang pertama
hingga enam dari atribut yang ditunjukkan dalam Gambar 12.
Buatlah sebuah matriks seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 13
dan bekerjalah melintasi baris-baris matriks. Untuk masing-masing
atribut, ambil 10 poin dan membaginya di antara tiga mobil yang
didasarkan pada seberapa baik mereka menemukan syarat-syarat
dari atribut tersebut. (Ini sama dengan mengambil 100 persen dan
membaginya di antara mobil-mobil, tapi ia menjaga angka-angka

172
yang lebih rendah ketika Anda beranjak pada langkah selanjut-
nya.)
Anda sekarang mempunyai sebuah gambaran dari masalah
analitis Anda —nilai perbandingan yang Anda atributkan untuk
masing-masing atribut utama dari sebuah mobil baru dan sebuah
perbandingan tentang bagaimana mobil-mobil yang bermacam-
macam itu memuaskan atribut-atribut yang mereka harapkan. Jika
Anda telah memangkasnya menjadi tiga alternatif, matriks Anda
akan tampak seperti Gambar 13:

Ketika semua sel dari matriks itu telah diisi, Anda kemudi-
an bisa menghitung mobil mana yang terbaik buat pilihan Anda.
Kalikan persentase nilai yang telah Anda tetapkan untuk masing-
masing atribut dengan nilai yang Anda tetapkan untuk atribut pada
masing-masing mobil, yang menghasilkan hasil dalam Gambar 14.
Jika nilai persentase yang telah Anda tetapkan untuk masing-masing
atribut yang secara akurat merefleksikan pilihan-pilihan Anda, dan
jika masing-masing mobil telah dianalisis secara akurat, maka analisis

173
menunjukkan bahwa Anda akan mendapatkan kepuasan yang lebih
besar dari pembelian mobil tersebut dibandingkan alternatif-alterna-
tif yang lain.

Pada poin ini, Anda melakukan sebuah analisis sensitivitas


untuk menentukan apakah perubahan-perubahan yang masuk akal
dalam beberapa nilai dalam matriks akan melancarkan keputus-
an untuk sebuah mobil yang berbeda. Misalnya, asumsikan bahwa
pasangan Anda menempatkan nilai yang berbeda daripada yang
Anda tetapkan mengenai pentingnya harga versus gaya. Anda bisa
memasukkan nilai-nilai persentase pasangan Anda untuk dua atribut
tersebut dan melihat jika itu membuat sebuah perbedaan dalam
keputusan. (Misalnya, orang bisa mengurangi pentingnya harga
menjadi 20 persen dan meningkatkan persentase gaya menjadi 30
persen. Itu masih tidak benar-benar cukup untuk mengubah pilihan
menjadi Mobil 2, yang angkanya lebih tinggi pada gaya.)
174
Ada sebuah nama teknis bagi jenis analisis ini. Ia disebut Analisis
Kegunaan Multi Atribut (Multiattribute Utility Analysis), dan ada
program komputer yang kompleks untuk melakukannya. Namun,
dalam bentuknya yang disederhanakan, ia hanya membutuhkan
pensil dan kertas dan aritmetika di SMA. Itu merupakan struktur
yang sesuai bagi beberapa keputusan pembelian yang di dalamnya
Anda harus membuat keputusan yang bersifat kompromis di antara
pilihan-pilihan yang berkompetisi ganda.

C. Kesimpulan

Contoh pembelian mobil merupakan sebuah pemanasan untuk


bab berikutnya. Ia mengilustrasikan perbedaan di antara hanya
duduk dan berpikir tentang sebuah masalah dengan benar-benar
menganalisis sebuah masalah. Esensi analisis adalah memilah suatu
masalah ke dalam bagian-bagian komponennya, menaksir bagian-
bagiannya secara terpisah, kemudian meletakkan bagian-bagian itu
kembali bersama untuk membuat sebuah keputusan. Matriks dalam
contoh ini membentuk sebuah “gambar” dari suatu masalah yang
kompleks dengan mengeluarkannya dari kepala kita dan menulis-
kannya di atas kertas dalam suatu bentuk logis yang memampukan
Anda untuk mempertimbangkan masing-masing bagian secara
individual.
Pastinya Anda tidak ingin melakukan jenis analisis ini bagi
semua keputusan pribadi Anda sehari-hari atau utuk setiap keputus-
an intelijen. Anda mungkin berharap melakukannya untuk suatu
keputusan yang secara khusus penting, sulit, atau kontroversial, atau
ketika Anda harus meninggalkan sebuah jejak audit yang menunjuk-
kan bagaimana Anda tiba pada suatu keputusan. Bab selanjutnya
menggunakan pendekatan dekomposisi (pembusukan), eksterna-
lisasi, dan struktur matriks untuk menangai suatu jenis masalah
intelijen yang umum sifatnya.

175
Bab 8
Analisis Terhadap Berbagai Hipotesis
yang Bersaing

Analisis terhadap berbagai hipotesis yang bersaing, yang kadang dising-


kat dengan ACH (Analysis of Competing Hypotheses), merupakan alat
untuk membantu keputusan terhadap permasalahan-permasalahan penting
yang membutuhkan pertimbangan saksama mengenai penjelasan-penje-
lasan atau kesimpulan-kesimpulan alternatif. Ia membantu seorang analis
dalam mengatasi, atau setidaknya meminimalisasi, beberapa batasan kog-
nitif yang membuat analisis intelijen yang diketahui sebelumnya begitu
sulit untuk dicapai.
ACH adalah prosedur delapan langkah yang didasarkan pada pandang-
an-pandangan dasar dari psikologi kognitif, analisis keputusan, dan
metode ilmiah. Yang mengejutkan, ia adalah sebuah proses yang efektif
dan terbukti mampu membantu para analis menghindari berbagai jebakan
analitis yang biasa terjadi. Disebabkan karena kecermatannya, ia sangat
sesuai dengan permasalahan-permasalahan kontroversial ketika para
analis ingin meninggalkan sebuah jejak audit untuk menunjukkan apa
yang telah mereka pertimbangkan dan bagaimana mereka bisa tiba pada
keputusan mereka.1

K etika bekerja pada permasalahan-permasalahan intelijen yang


sulit, efeknya membuat para analis memilih di antara bebera-
pa hipotesis alternatif. Yang mana dari beberapa penjelasan yang
memungkinkan itu yang mengandung kebenaran? Yang mana dari

1. Prosedur analisis terhadap hipotesis bersaing (ACH) dikembangkan oleh penulis


agar bisa dimanfaatkan oleh para analis intelijen dalam menghadapi seperangkat
masalah sulit yang khusus.
hasil-hasil yang memungkinkan itu yang mempunyai kemungkinan
paling besar? Sebagaimana yang telah dicatat sebelumnya, buku ini
menggunakan istilah “hipotesis” dalam pengertian yang paling luas
sebagai sebuah penjelasan atau kesimpulan yang potensial bahwa itu
diujicoba dengan mengumpulkan dan menghadirkan bukti-bukti.
Analisis terhadap berbagai hipotesis yang bersaing (ACH)
membutuhkan seorang analis untuk mengidentifikasi secara eksplisit
semua alternatif yang masuk akal dan membuatnya berkompeti-
si terhadap satu sama lain demi kepentingan sang analis, daripada
mengevaluasi kemasuk-akalan mereka dalam satu waktu.
Cara yang paling banyak analis lakukan dalam pekerjaan mereka
adalah memilih apa yang mereka anggap secara intuitif paling banyak
kemungkinan jawabannya, kemudian melihat informasi yang tersedia
dari sudut pandang apakah ia mendukung jawaban ini atau tidak.
Jika bukti-bukti itu tampak mendukung hipotesis yang favorit, sang
analis menepuk punggung diri mereka sendiri (Lihat, aku mengeta-
huinya sepanjang waktu!) dan tidak melihat yang selanjutnya. Jika
bukti tersebut tidak mendukung, mereka menolak bukti-bukti itu
sebagai menyesatkan atau mengembangkan hipotesis-hipotesis lain
dan kembali melakukan prosedur yang sama. Para analis keputusan
menyebut ini dengan suatu strategi pemuasan. (Lihat Bab 4, Berbagai
Strategi bagi Keputusan Analitis) Pemuasan bermakna mengam-
bil solusi pertama yang tampak memuaskan, daripada terus saja
menggunakan semua kemungkinan untuk mengidentifikasi solusi
yang paling baik. Mungkin saja ada beberapa solusi yang tampak
memuaskan, tapi hanya ada satu solusi yang terbaik.
Bab 4 membahas kelemahan-kelemahan dari pendekatan ini.
Perhatian utamanya adalah bahwa jika fokus utama para analis pada
usaha untuk menegaskan satu hipotesis yang mereka pikir kemung-
kinan benar, mereka bisa dengan mudah akan tersesat oleh fakta
bahwa ada banyak bukti seperti itu yang mendukung sudut pandang
mereka. Mereka gagal mengakui bahwa kebanyakan dari bukti ini
juga konsisten dengan berbagai penjelasan atau kesimpulan lain, dan
178
bahwa berbagai alternatif yang lain ini tidak disangkal.
Evaluasi simultan terhadap hipotesis-hipotesis ganda dan
bersaing ini sangatlah sulit dilakukan. Untuk menyimpan tiga
sampai lima atau bahkan tujuh hipotesis dalam memori bekerja dan
mencatat bagaimana masing-masing item informasi cocok dengan
masing-masing hipotesis akan melebihi kemampuan-kemampuan
mental dari kebanyakan orang. Ia mengambil ketangkasan mental
yang jauh lebih besar daripada daftar bukti-bukti yang mendukung
satu hipotesis yang diputuskan sebelumnya sebagai jawaban yang
paling mungkin. Meskipun demikian, ia bisa diselesaikan dengan
bantuan prosedur-prosedur sederhana yang telah dibahas di sini.
Berikut ini adalah kerangka proses ACH selangkah demi selang-
kah.
Langkah 1
Mengidentifikasi berbagai hipotesis yang memungkin-
kan untuk dipertimbangkan. Gunakan sekelompok
analis dengan perspektif berbeda untuk mengilhami
berbagai kemungkinan.
Penelitian psikologis tentang bagaimana manusia mulai
menghasilkan berbagai hipotesis menunjukkan bahwa manusia
sebenarnya agak lemah dalam pemikiran terhadap semua kemung-
kinan tersebut.2 Jika seseorang tidak menghasilkan hipotesis yang
benar untuk pertimbangan, maka jelas dia tidak akan mendapat-
kan jawaban yang benar.

Langkah Demi Langkah Menyusun Kerangka Analisis


terhadap Berbagai Hipotesis yang Bersaing
1. Identifikasi berbagai hipotesis yang memungkinkan untuk dipertim-
bangkan. Gunakan sekelompok analis dengan perspektif berbeda

2. Charles Gettys et al., Hypothesis Generation: A Final Report on Three Years of


Research, Technical Report 15-10-80 (University of Oklahoma, Decision Processes
Laboratory, 1980).

179
agar bisa mengilhamkan berbagai kemungkinan.
2. Buatlah sebuah daftar bukti dan argumen yang signifikan untuk
dan terhadap masing-masing hipotesis.
3. Persiapkan sebuah matriks dengan berbagai hipotesis melintasi
sisi atas dan bawah bukti. Analisis “kediagnositasan” bukti-bukti
dan argumen-argumen —yaitu, mengidentifikasi item-item mana
yang paling berguna dalam memutuskan kemungkinan relatif dari
berbagai hipotesis.
4. Perhalus matriks tersebut. Pertimbangkan kembali hipotesis-
hipotesis dan hapus bukti-bukti dan argumen-argumen yang tidak
mempunyai nilai diagnostik.
5. Gambarkan kesimpulan-kesimpulan sementara tentang kemungkin-
an relatif dari masing-masing hipotesis. Teruslah dengan mencoba
menyangkal berbagai hipotesis daripada membuktikannya.
6. Analisis betapa sensitifnya kesimpulan Anda yang menjadi sebuah
item bukti yang bersifat kritis. Pertimbangkan konsekuensi-
konsekuensi bagi analisis Anda jika bukti tersebut adalah salah,
menyesatkan, atau menjadi subjek bagi sebuah interpretasi yang
berbeda.
7. Laporkan berbagai kesimpulan. Bahaslah kemungkinan relatif dari
semua hipotesis yang tidak hanya satu kemungkinan yang paling
dipilih.
8. Identifikasi tonggak bersejarah bagi penelitian masa depan yang
mungkin mengindikasikan bahwa segala peristiwa mengambil
sebuah jalan yang berbeda daripada yang diharapkan.
Sangatlah berguna untuk memperjelas perbedaan antara
tahapan analisis hasil hipotesis dengan evaluasi hipotesis. Langkah
1 tentang proses analitis yang direkomendasikan adalah untuk
mengidentifikasi semua hipotesis yang pantas mendapatkan
pemeriksaan yang teperinci. Pada tahapan hasil hipotesis awal
ini, sangatlah penting untuk mengumpulkan sekelompok analis
dengan latar belakang dan perspektif yang berbeda. Pengungka-

180
pan pendapat dalam suatu kelompok menstimulasi imajinasi dan
mungkin menghasilkan berbagai kemungkinan yang anggota-
anggota individu dari kelompok tersebut tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Diskusi pertama dalam kelompok harus mendatang-
kan setiap kemungkinan, tanpa mempersoalkan betapa jauhnya
ia, sebelum memutuskan kemungkinan atau kemungkinan yang
dikerjakan. Hanya ketika semua kemungkinan ada di meja saja yang
seharusnya Anda fokuskan untuk kemudian diputuskan dan diselek-
si hipotesis-hipotesis tersebut agar selanjutnya bisa diuji dalam detail
yang lebih besar dalam analisis berikutnya.
Ketika penyaringan di luar hipotesis yang tampaknya tidak
mungkin yang Anda tidak ingin membuang-buang waktu dengannya,
sangatlah perlu membedakan hipotesis yang tampak untuk disang-
kal (disproved) dari hipotesis yang hanya tidak terbukti (unproven).
Bagi hipotesis yang tidak terbukti, maka tidak ada bukti yang benar.
Sedangkan bagi hipotesis yang disangkal, ada bukti positif yang salah.
Sebagaimana yang telah dibahas dalam Bab 4, “Berbagai Strategi
bagi Keputusan Analitis”, dan bahasan pada Langkah 5 nanti, Anda
harus mencari bukti-bukti yang menyangkal hipotesis. Penolakan
dini terhadap yang tidak terbukti, tapi tidak disangkal, maka hipote-
sis membiaskan analisis berikutnya, karena orang kemudian tidak
mencari bukti-bukti yang mungkin mendukung mereka. Hipote-
sis-hipotesis yang tidak terbukti harus dijaga agar tetap berlangsung
sampai mereka bisa disangkal.
Satu contoh dari sebuah hipotesis yang sering kali jatuh pada
kategori tidak terbukti tapi tidak disangkal ini adalah hipote-
sis seorang penentang yang tengah mencoba menipu kita. Anda
mungkin menolak kemungkinan penolakan dan penipuan tersebut,
karena Anda tidak melihat adanya bukti-bukti darinya, tapi penipuan
tidak dibenarkan di bawah lingkungan ini. Jika penipuan direnca-
nakan dengan baik dan diimplementasikan secara benar, seharusnya
Anda jangan berharap untuk segera siap menemukan bukti darinya.
Kemungkinan itu seharusnya tidak ditolak sampai ia disangkal, atau
181
setidaknya sampai setelah sebuah pencarian bukti yang sistematis
telah dibuat dan tidak ada satu pun yang ditemukan.
Tidak ada jumlah hipotesis yang “benar” untuk dipertim-
bangkan. Jumlah itu tergantung pada hakikat masalah analitis dan
betapa majunya Anda dalam menganalisisnya. Sebagai sebuah aturan
umum, semakin besar tingkat ketidakpastian Anda, atau semakin
besar pengaruh kebijakan terhadap kesimpulan Anda, akan semakin
banyak alternatif yang mungkin Anda harap bisa pertimbangkan.
Mungkin lebih dari tujuh hipotesis yang tidak bisa dikendalikan;
jika ada banyak alternatif seperti ini, mungkin bisa dinasihatkan
bagi beberapa kelompok di antara mereka untuk memotong analisis
pertama Anda.
Step 2
Buatlah sebuah daftar bukti dan argumen yang signifi-
kan untuk dan terhadap masing-masing hipotesis
Dalam pemasangan daftar berbagai bukti dan argumen-
argumen yang relevan, istilah-istilah ini harus ditafsirkan dengan
sangat luas. Mereka merujuk pada semua faktor yang mempunyai
sebuah pengaruh pada keputusan-keputusan Anda terhadap hipotesis
tersebut. Jangan membatasi diri Anda sendiri untuk mengonkretkan
bukti-bukti dalam pelaporan intelijen sekarang ini. Juga masukk-
an berbagai asumsi Anda atau deduksi-deduksi logis Anda tentang
tujuan-tujuan, maksud-maksud, atau prosedur-prosedur standar dari
orang atau kelompok atau negara lain. Asumsi-asumsi ini mungkin
menghasilkan berbagai prakonsepsi kuat yang kemungkinan besar
bisa menghasilkan hipotesis. Asumsi-asumsi seperti itu sering kali
mengendalikan keputusan final Anda, sehingga sangatlah penting
memasukkan mereka dalam daftar “bukti-bukti”.
Pertama-tama, daftarlah bukti-bukti umum yang beraplika-
si pada semua hipotesis. Kemudian pertimbangkan masing-masing
hipotesis secara individual, mendaftar faktor-faktor yang cenderung
mendukung atau berkontradiksi satu sama lain. Anda secara umum

182
akan mendapati bahwa masing-masing hipotesis mengarahkan Anda
untuk mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan berbeda dan, karena-
nya, mencari-cari bukti-bukti yang agak berbeda.
Untuk masing-masing hipotesis, tanyakan diri Anda sendiri
pertanyaan ini: Jika hipotesis ini adalah benar, apakah saya harus
berharap bisa melihat atau tidak melihatnya? Apakah semua hal
yang harus terjadi, ataukah mungkin masih terjadi, dan orang
tersebut harus berharap untuk melihat bukti-bukti tersebut? Jika
Anda tidak melihat bukti-bukti ini, mengapa tidak? Apakah karena
ia tidak terjadi, tidak secara normal bisa diteliti, ia disembunyikan
dari Anda, ataukah karena Anda atau para kolektor intelijen tidak
mencarinya?
Catat ketiadaan bukt-bukti dan juga keberadaannya. Misalnya,
ketika mempertimbangkan kemungkinan serangan militer oleh
musuh, langkah-langkah musuh yang tidak mempersiapkan
pasukannya untuk menyerang mungkin menjadi lebih signifikan
daripada langkah-langkah yang bisa diteliti yang telah diambil. Ini
mengingatkan kita pada kisah Sherlock Holmes tentang tanda-tanda
vital berupa anjing yang tidak menggonggong di malam hari. Perhati-
an orang cenderung terfokus pada apa yang dilaporkan daripada apa
yang tidak dilaporkan. Ia membutuhkan sebuah usaha sadar untuk
berpikir tentang apa yang telah terlupakan tapi harus dihadirkan jika
sebuah hipotesis yang sudah ditentukan adalah benar.
Langkah 3
Persiapkan sebuah matriks dengan hipotesis-hipotesis yang
melintasi bukti bagian bawah dan atas. Analisis “kediagno-
sitasan” bukti-bukti dan argumen-argumen tersebut, yaitu,
mengidentifikasi setiap item yang paling berguna dalam
memutuskan kemungkinan relatif dari hipotesis-hipotesis
alternatif.
Langkah 3 mungkin menjadi unsur paling penting dari prosedur
analitis ini. Ia juga menjadi langkah yang berbeda kebanyakan dari

183
pendekatan analisis yang natural dan intuitif, dan karenanya langkah
itulah yang kemungkinan besar Anda abaikan atau salah pahami.
Prosedur pada Langkah 3 adalah mengambil hipotesis dari
Langkah 1 serta bukti-bukti dan argumen-argumen dari Langkah
2 dan meletakkan informasi ini pada suatu format matriks, dengan
hipotesis yang melintasi bukti dan argumen-argumen pada sisi atas
dan bawah. Ini memberikan sebuah ulasan tentang semua komponen
signifikan dari masalah analitis Anda.
Kemudian analisis betapa masing-masing potong bukti
berhubungan dengan masing-masing hipotesis. Ini berbeda dari
prosedur normal, yang melihat satu hipotesis pada satu waktu
agar bisa mempertimbangkan betapa baiknya bukti-bukti yang
mendukung hipotesis-hipotesis tersebut. Itu akan dilakukan nanti,
dalam Langkah 5. Sekarang ini, dalam Langkah 3, ambil satu
item bukti pada satu waktu, kemudian pertimbangkan bagaima-
na konsistennya bukti tersebut dengan masing-masing hipotesis.
Di sinilah bagaimana mengingat perbedaan ini. Dalam Langkah 3,
Anda bekerja melintasi baris-baris matriks, menguji satu item bukti
pada satu waktu untuk melihat bagaimana konsistennya item bukti
tersebut dengan masing-masing hipotesis. Dalam Langkah 5, Anda
bekerja di bawah kolom-kolom matriks, yang menguji satu hipotesis
dalam satu waktu, untuk melihat bagaimana konsistennya hipotesis
tersebut dengan semua bukti yang ada.
Untuk mengisi matriks tersebut, ambillah item bukti yang
pertama dan pertanyakan apakah ia konsisten, tidak konsisten, atau
tidak relevan dengan masing-masing hipotesis. Kemudian buatlah
sebuah notasi yang sesuai dengan sel yang tepat di bawah masing-
masing hipotesis dalam matriks tersebut. Bentuk notasi-notasi dalam
matriks ini adalah masalah pilihan pribadi. Ia mungkin berbentuk
plus, minus, dan tanda tanya. Bisa jadi ia berbentuk C, I, dan N/
A yang mewakili konsisten (C), tidak konsisten (I), atau tidak bisa
diaplikasikan (N/A). Atau bisa jadi ia berbentuk notasi tekstual.
Dalam beberapa peristiwa, ia akan menjadi sebuah penyederha-
184
naan, sebuah representasi ringkas dari penalaran kompleks yang
berlangsung sebagaimana yang Anda pikirkan tentang bagaimana
bukti-bukti tersebut berkaitan dengan masing-masing hipotesis.
Setelah melakukan ini untuk item bukti yang pertama, kemudi-
an beranjaklah pada item bukti selanjutnya dan ulangi proses tersebut
sampai semua sel dalam matriks terisi semua. Gambar 15 menunjuk-
kan sebuah contoh tentang sebuah penampakan matriks seperti itu.
Yang digunakan sebagai sebuah contoh adalah sebuah pertanyaan
intelijen yang muncul setelah pemboman Amerika Serikat terhadap
markas besar intelijen Irak pada tahun 1993: Akankah Irak membalas
dendam? Bukti dalam matriks dan bagaimana ia dievaluasi adalah
bersifat hipotetis, yang dibuat untuk tujuan memberikan sebuah
contoh prosedur yang masuk akal. Matriks tersebut tidak merefleksi-
kan bukti-bukti atau keputusan-keputusan aktual yang tersedia pada
waktu itu untuk Komunitas Intelijen Amerika Serikat.

185
Format matriks membantu Anda mempertimbangkan kediag-
nositasan masing-masing item bukti, yang menjadi sebuah perbedaan
kunci di antara analisis terhadap hipotesis yang bersaing dengan
analisis tradisional. Kediagnositasan bukti-bukti menjadi sebuah
konsep penting yang sayangnya tidak begitu familiar dengan banyak
analis. Ia diperkenalkan dalam Bab 4, dan bahasan tersebut akan
diulang kembali di sini demi kenyamanan Anda.
Kediagnositasan mungkin diilustrasikan dengan sebuah analogi
medis. Pembacaan suhu yang tinggi mungkin mempunyai nilai
yang tinggi dari perkataan seorang dokter bahwa seorang pasien itu
sakit, tapi mempunyai nilai relatif rendah dalam penentuan penyakit
yang seseorang derita darinya. Karena sebuah suhu tinggi itu konsis-
ten dengan begitu banyak hipotesis yang memungkinkan tentang
penyakit seorang pasien, maka bukti ini membatasi nilai diagno-
stik dalam menentukan penyakit (hipotesis) yang kemungkinannya
lebih besar.
Bukti itu bersifat diagnostik ketika ia memengaruhi keputus-
an Anda pada kemungkinan relatif dari beragam hipotesis yang
diidentifikasi pada Langkah 1. Jika sebuah item bukti-bukti tampak
konsisten dengan semua hipotesis, ia mungkin tidak mempunyai
nilai diagnostik. Sebuah pengalaman umum untuk menelusuri
banyak bukti yang mendukung apa yang Anda yakini kemungkin-
an besar merupakan hipotesis-hipotesis yang benar-benar sangat
tidak berguna, karena bukti-bukti yang sama juga konsisten dengan
hipotesis-hipotesis yang lain. Ketika Anda melakukan identifikasi
item-item yang sangatlah diagnostik, ini harusnya mengendalikan
keputusan Anda. Ini juga menjadi item-item yang harus Anda periksa
kembali keakuratannya dan mempertimbangkan berbagai interpre-
tasi alternatif, seperti yang didiskusikan pada Langkah 6.
Dalam matriks hipotetis menghadapi berbagai tujuan Irak,
catat bahwa bukti-bukti ditandai dengan “E1” diperkirakan sebagai
sesuatu yang konsisten dengan semua hipotesis tersebut. Dengan
kata lain, ia tidak mempunyai nilai diagnostik. Ini karena kita tidak
186
memberikan kepercayaan kepada pernyataan umum Saddam tentang
pertanyaan ini. Dia mungkin berkata dia tidak akan membalas
dendam, tapi nyatanya ia kemudian melakukan balas dendam, atau
keadaan bahwa dia akan membalas dendam tapi nyatanya tidak
melakukannya. Dengan kata lain, E4 adalah bersifat diagnostik:
meningkatnya frekuensi atau luas siaran radio agen Irak kemungkin-
an besar akan diteliti jika bangsa Irak merencanakan balas dendam
daripada jika mereka tidak melakukannya. Tanda minus ganda pada
E6 yang mengindikasikan hal ini dianggap menjadi argumen yang
sangat kuat bagi H1. Ia merupakan sebuah asumsi esensial yang
mengendalikan kesimpulan menuju baik pada H2 maupun H3.
Beberapa keputusan yang terefleksi dalam matriks ini akan diperta-
nyakan pada tahapan selanjutnya dalam analisis ini.
Dalam beberapa kasus, mungkin sangatlah bermanfaat untuk
memperhalus prosedur ini dengan menggunakan sebuah probabili-
tas numerik, daripada sebuah notasi umum seperti tanda plus atau
minus, untuk menggambarkan bagaimana bukti-bukti berhubungan
dengan masing-masing hipotesis. Untuk melakukan hal ini, tanyakan
pertanyaan berikut ini untuk setiap sel dalam matriks: Jika hipote-
sis ini adalah benar, probabilitas apa yang akan saya lihat nanti saat
melihat item bukti ini? Anda mungkin juga membuat satu atau lebih
notasi tambahan dalam setiap sel matriks, seperti:
• Menambahkan sebuah skala untuk menunjukkan pentingnya
masing-masing item bukti yang sifatnya intrinsik.
• Menambahkan sebuah skala untuk menunjukkan kesenangan
dengan item-item bukti mana yang bisa disembunyikan,
dimanipulasi, atau dipalsukan, atau tingkatan satu kelompok
mana yang mungkin mempunyai sebuah insentif untuk
melakukan hal itu. Ini mungkin menjadi layak ketika
kemungkinan penolakan dan penipuan menjadi sebuah
persoalan serius.

187
Langkah 4
Perhalus matriks. Pertimbangkan kembali segala hipotesis
dan hapus bukti-bukti dan argumen-argumen yang tidak
mempunyai nilai diagnostik

Perkataan yang pasti tentang hipotesis-hipotesis jelas sangat


penting bagi kesimpulan-kesimpulan yang orang bisa gambarkan dari
analisis tersebut. Dengan poin ini, Anda akan melihat bagaimana
bukti-bukti terjadi tiba-tiba di bawah masing-masing hipotesis, dan
ia sering kali akan tepat dalam mempertimbangkan dan mengata-
kan kembali segala hipotesis. Apakah hipotesis-hipotesis itu butuh
ditambahkan, ataukah perbedaan-perbedaan yang lebih halus yang
harus dibuat agar bisa membantu membedakan di antara dua hipote-
sis, yang seharusnya mereka kombinasikan menjadi satu?
Juga pertimbangkan kembali bukti-bukti. Apakah pemikiran
Anda tentang berbagai hipotesis kemungkinan besar dan setidaknya
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak termasuk dalam daftar
bukti-bukti? Jika demikian, letakkan ia di dalamnya. Hapus dari
matriks item-item bukti atau asumsi yang sekarang tampak tidak
penting atau tidak mempunyai nilai diagnostik. Simpan item-item
ini dalam suatu daftar terpisah sebagai sebuah catatan informasi yang
bisa dipertimbangkan nanti.

Langkah 5
Gambarkan berbagai kesimpulan tentatif tentang kemung-
kinan relatif dari setiap hipotesis. Mulailah dengan mencoba
menyangkal segala hipotesis daripada membuktikannya

Dalam Langkah 3, Anda telah bekerja melintasi matriks,


dengan fokus pada satu item bukti atau argumen tunggal serta
menguji bagaimana ia berhubungan sebagai satu keseluruhan.
Sekarang, bekerjalah di bawah matriks, melihat-lihat pada setiap
hipotesis secara keseluruhan. Format matriks memberikan sebuah

188
ulasan tentang bukti bagi dan terhadap semua hipotesis, sehingga
Anda bisa menguji semua hipotesis bersamaan dan mempunyainya
bersaing melawan masing-masing yang lain atas dasar dukungan
Anda.
Dalam mengevaluasi kemungkinan relatif dari berbagai hipote-
sis alternatif, mulailah dengan mencari bukti-bukti atau berbagai
deduksi logis yang memampukan Anda untuk menolak hipote-
sis-hipotesis tersebut, atau setidaknya untuk menentukan bahwa
mereka bukanlah kemungkinannya. Sebuah aturan fundamental
mengenai metode ilmiah adalah memulai dengan menolak atau
mengeliminasi hipotesis-hipotesis, ketika hanya sementara meneri-
ma hipotesis-hipotesis tersebut yang tidak bisa disangkal. Metode
ilmiah jelas-jelas tidak bisa diaplikasikan in toto ke dalam keputusan
intuitif, tapi prinsip mencari untuk menyangkal hipotesis-hipotesis,
daripada menegaskannya, adalah sangat penting.
Tidak masalah betapa banyak informasi yang konsisten
dengan sebuah hipotesis yang telah ditentukan, sebab orang tidak
bisa membuktikan bahwa hipotesis tersebut adalah benar, karena
informasi yang sama mungkin juga menjadi konsisten dengan satu
atau lebih hipotesis yang lain. Di sisi lain, satu item bukti yang tidak
konsisten dengan suatu hipotesis mungkin cukup menjadi dasar
bagi penolakan terhadap hipotesis tersebut. Ini telah dibahas secara
teperinci pada Bab 4, “Berbagai Strategi bagi Keputusan Analitis”.
Orang mempunyai sebuah kecenderungan alamiah untuk
mengonsentrasikan pada penegasan hipotesis-hipotesis yang
telah mereka siap percayai menjadi benar, dan mereka umumnya
memberikan lebih banyak pertimbangan terhadap informasi yang
mendukung sebuah hipotesis daripada kepada informasi yang
memperlemahnya. Ini adalah salah; kita seharusnya melakukan
yang sebaliknya. Langkah 5 lagi-lagi membutuhkan pekerjaan yang
berlawanan dengan apa yang datang secara alamiah.
Dalam menguji matriks, lihat-lihatlah tanda minus, atau apa
pun notasi lain yang Anda gunakan untuk mengindikasikan bukti-
189
bukti yang mungkin tidak konsisten dengan sebuah hipotesis.
Hipotesis-hipotesis dengan tanda minus yang paling sedikit kemung-
kinan besar menjadi satu kemungkinannya. Hipotesis dengan tanda
minus yang paling banyak kemungkinan kecil akan menjadi satu
kemungkinannya. Fakta bahwa sebuah hipotesis tidak konsisten
dengan bukti-bukti tentunya adalah sebuah basis yang bernada
penolakan. Tanda plus, yang mengindikasikan adanya bukti-bukti
yang konsisten dengan sebuah hipotesis, adalah jauh lebih kurang
signifikan. Ia tidak mengikuti hipotesis itu dengan banyak tanda
plus yang akan menjadi satu kemungkinan yang paling besar, karena
sebuah daftar bukti yang panjang akan konsisten dengan hampir
beberapa hipotesis yang masuk akal yang bisa dengan mudah dibuat.
Apa yang sulit ditemukan, dan yang paling signifikan ketika ditemu-
kan, adalah bukti yang kuat yang jelas tidak konsisten dengan sebuah
hipotesis yang masuk akal.
Namun, pemeringkatan awal dengan jumlah tanda minus ini
hanyalah sebuah pemeringkatan dalam garis besarnya saja, sebagai-
mana beberapa bukti yang jelas-jelas lebih penting dibandingkan
bukti-bukti yang lain, dan tingkat inkonsistensinya tidak bisa ditang-
kap dengan sebuah notasi tunggal seperti tanda plus atau minus.
Dengan mempertimbangkan kembali hakikat pasti hubungan antara
bukti dengan hipotesis, Anda akan mampu untuk memutuskan
seberapa banyak bobot yang bisa diberikan.
Para analis yang mengikuti prosedur ini sering kali menyada-
ri bahwa keputusan-keputusan mereka benar-benar didasarkan
pada beberapa faktor daripada pada sejumlah besar informasi yang
mereka pikir memengaruhi pandangan-pandangan mereka. Bab 5,
“Apakah Anda Benar-Benar Membutuhkan Lebih Banyak Informa-
si?” membuat poin yang sama ini berdasarkan pada bukti-bukti
eksperimental.
Matriks tidak harus mendikte kesimpulan untuk Anda.
Agaknya, ia harus secara akurat merefleksikan keputusan Anda
tentang apa yang penting dan bagaimana faktor-faktor penting ini
190
berhubungan dengan kemungkinan dari masing-masing hipotesis.
Anda, bukan matriks, harus membuat keputusan tersebut. Matriks
hanya bertindak sebagai bantuan untuk berpikir dan melaku-
kan analisis, untuk menjamin pertimbangan terhadap semua
antarhubungan yang memungkinkan di antara bukti-bukti dengan
hipotesis-hipotesis serta mengidentifikasi beberapa item tersebut
yang benar-benar menjalankan keputusan Anda mengenai permasa-
lahan tersebut.
Ketika matriks menunjukkan bahwa sebuah hipotesis yang
sudah ditentukan itu adalah memungkinkan atau juga tidak
memungkinkan, Anda mungkin tidak setuju. Jika demikian, itu
karena Anda mengabaikan dari matriks tersebut satu atau lebih faktor
yang mempunyai sebuah pengaruh yang penting pada pemikiran
Anda. Kembalilah dan letakkan ia di dalamnya, sehingga analisis
merefleksikan keputusan terbaik Anda. Jika mengikuti prosedur
ini menyebabkan Anda mempertimbangkan hal-hal yang mungkin
sebaliknya Anda abaikan, atau menyebabkan Anda merevisi perkira-
an paling awal Anda terhadap berbagai kemungkinan relatif dari
berbagai hipotesis tersebut, maka prosedur tersebut memberikan
sebuah tujuan yang bermanfaat. Ketika Anda melakukannya, matriks
bekerja sebagai sebuah catatan ringkas mengenai pemikiran Anda
dan sebagai sebuah jejak audit yang menunjukkan bagaimana Anda
tiba pada kesimpulan Anda.
Prosedur ini mendorong Anda untuk menghabiskan lebih
banyak waktu analitis daripada yang sebaliknya Anda pikir hal itu
merupakan hipotesis-hipotesis yang kemungkinannya kurang. Ini
bisa diperlukan sekali. Tampaknya, hipotesis yang kemungkinan-
nya kurang ini biasanya mencakup “pengerukan tanah-tanah” baru
dan, karenanya, membutuhkan lebih banyak kerja keras. Permulaan
tugas berpikir Anda adalah hipotesis-hipotesis yang kemungkinan-
nya lebih besar yang cenderung didasarkan pada sebuah kontinuasi
pemikiran masa lalu Anda. Sebuah keuntungan utama dari analisis
terhadap berbagai hipotesis yang bersaing adalah bahwa ia memper-
191
kuat Anda untuk memberikan sebuah guncangan yang lebih terbuka
bagi semua alternatif.
Langkah 6
Analisis betapa sensitifnya kesimpulan Anda terhadap
beberapa item bukti yang penting. Pertimbangkan berbagai
konsekuensi bagi analisis Anda jika bukti tersebut adalah
salah, menyesatkan, atau menuju ke arah sebuah interpretasi
yang berbeda.

Dalam Langkah 3, Anda telah mengidentifikasi bukti-bukti


dan argumen-argumen yang paling diagnostik, dan pada Langkah
5 Anda menggunakan penemuan-penemuan ini untuk membuat
keputusan-keputusan sementara tentang hipotesis-hipotesis tersebut.
Sekarang, kembalilah dan pertanyakan asumsi-asumsi atau item-
item bukti esensial yang benar-benar mengendalikan hasil dari
analisis Anda dalam satu arah atau arah yang lain. Apakah asumsi-
asumsi yang bisa dipertanyakan yang mendasari pemahaman dan
interpretasi Anda? Apakah ada penjelasan-penjelasan atau interpreta-
si-interpretasi alternatif? Bisakah bukti-bukti menjadi tidak lengkap
dan karenanya menyesatkan?
Jika ada banyak perhatian terhadap penolakan dan penipuan,
ini adalah tempat yang tepat untuk mempertimbangkan kemung-
kinan tersebut. Lihatlah sumber daya bukti-bukti kunci Anda.
Apakah beberapa sumber daya itu diketahui penguasa negara-negara
asing? Bisakah informasi itu dimanipulasi? Letakkan diri Anda
sendiri dalam sepatu perencana penipuan dari pihak asing untuk
mengevaluasi motif, kesempatan, alat-alat, biaya-biaya, dan berbagai
keuntungan dari penipuan tersebut sebagaimana yang tampak pada
negara asing tersebut.
Ketika analisis tersebut menghasilkan kesalahan, hal itu sering
kali disebabkan oleh asumsi-asumsi kunci yang tidak mengalami
tantangan dan terbukti tidak valid. Itulah sebuah truisme yang para
analis harus identifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi, tapi
192
ini jauh lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Masalahnya
adalah menentukan asumsi-asumsi mana yang patut mendapatkan
pertanyaan. Satu keuntungan dari prosedur ACH adalah bahwa ia
mengatakan kepada Anda apa yang harus diperiksa kembali.
Dalam Langkah 6, Anda mungkin memutuskan bahwa peneli-
tian tambahan dibutuhkan untuk memeriksa berbagai keputusan
kunci. Misalnya, mungkin menjadi tepat untuk kembali memerik-
sa sumber-sumber asli daripada bersandarkan pada penafsiran orang
lain. Dalam menulis laporan, diperlukan sekali proses mengidenti-
fikasi asumsi-asumsi kritis yang mengarah pada interpretasi Anda
dan mencatat bahwa kesimpulan Anda itu tergantung pada validi-
tas asumsi-asumsi ini.
Langkah 7
Melaporkan kesimpulan-kesimpulan. Membahas kemungkin-
an relatif dari semua hipotesis, tidak hanya satu kemungkin-
annya yang paling besar.

Jika laporan Anda digunakan sebagai dasar dalam pembuatan


keputusan, itu akan sangat membantu bagi para pembuat keputusan
untuk mengetahui kemungkinan relatif dari semua kemungkinan
alternatif. Berbagai keputusan analitis tidaklah pernah pasti. Selalu
ada sebuah kemungkinan bagus dari bentuk salah mereka. Para
pembuat keputusan harus membuat keputusan-keputusan atas dasar
seperangkat penuh kemungkinan-kemungkinan alternatif, tidak
hanya satu alternatif yang kemungkinannya paling besar. Kemung-
kinan atau rencana-rencana alternatif mungkin dibutuhkan dalam
kasus di mana salah satu alternatif yang kemungkinannya kurang
malah mengandung kebenaran.
Jika Anda berkata bahwa sebuah hipotesis tertentu kemungkin-
an adalah benar, itu bisa berarti di mana pun dari suatu kesempatan
55 persen hingga 85 persen peristiwa masa depan akan membuk-
tikannya dengan benar. Itu meninggalkan di mana pun dari

193
kemungkinan 15 persen hingga 45 persen bahwa sebuah keputus-
an yang didasarkan pada keputusan Anda dengan berdasarkan pada
asumsi-asumsi salah, maka hasilnya malah akan salah. Bisakah Anda
menjadi lebih spesifik mengenai betapa percaya dirinya Anda dengan
keputusan Anda? Bab 12, “Bias-Bias dalam Memperkirakan Berbagai
Probabilitas”, membahas perbedaan antara “kemungkinan subjektif”
seperti itu dengan kemungkinan-kemungkinan statistik berdasarkan
pada data tentang frekuensi-frekuensi relatif.
Ketika orang mengakui pentingnya untuk terus maju mengeli-
minasi daripada menegaskan hipotesis-hipotesis, akan tampak bahwa
argumen-argumen tertulis untuk suatu keputusan tertentu itu tidak
lengkap kecuali kalau ia juga membahas tentang keputusan-keputus-
an alternatif yang dipertimbangkan dan mengapa mereka ditolak.
Dalam masa lalu, setidaknya, ini jarang dilakukan.
Esai naratif, yang menjadi bentuk seni dominan dalam presen-
tasi keputusan-keputusan intelijen, jangan pernah memberikan
dirinya sendiri untuk evaluasi komparatif terhadap hipotesis-hipote-
sis yang bersaing. Konsiderasi alternatif-alternatif menambah panjang
laporan dan dirasakan oleh banyak analis sebagai bentuk pengurang-
an terhadap kepersuasifan argumen bagi keputusan yang terpilih.
Para analis mungkin takut bahwa pembaca bisa mempercepat pada
salah satu alternatif yang ditolak sebagai sebuah gagasan yang bagus.
Diskusi tentang hipotesis-hipotesis alternatif karenanya menjadi
bagian yang penting dalam penilaian intelijen, dan berbagai cara bisa
dan seharusnya ditemukan untuk menjadi bagian darinya.
Langkah 8
Mengidentifikasi tonggak bersejarah bagi observasi di masa
depan yang mungkin mengindikasikan peristiwa-peristiwa
yang mengambil sebuah jalan berbeda daripada yang diha-
rapkan.

Berbagai kesimpulan analitis seharusnya selalu diakui sebagai


kesimpulan sementara. Situasi itu mungkin berubah, atau ia
194
mungkin tetap tidak berubah ketika Anda menerima informasi baru
yang mengubah penilaian Anda. Ia selalu membantu mengkhusus-
kan hal-hal yang sebelumnya orang harus cari atau menjadi awas
terhadap hal itu, jika diteliti, yang akan menunjukkan sebuah peruba-
han signifikan dalam berbagai kemungkinan. Ini berguna bagi para
konsumen intelijen yang mengikuti situasi pada sebuah basis yang
berkelanjutan. Pengkhususan sebelumnya apa yang akan menyebab-
kan Anda mengubah pikiran Anda juga akan membuatnya menjadi
lebih sulit bagi Anda untuk merasionalisasi perkembangan-perkem-
bangan seperti itu, jika mereka terjadi, sebagai yang tidak benar-benar
membutuhkan beberapa modifikasi terhadap keputusan Anda.

Ringkasan dan Kesimpulan

Tiga unsur kunci membedakan analisis terhadap hipotesis-


hipotesis bersaing dari analisis intuitif konvensional adalah sebagai
berikut:
1. Analisis dimulai dengan seperangkat penuh kemungkinan-
kemungkinan relatif, daripada dengan sebuah alternatif yang
kemungkinannya lebih besar yang menerima perlakuan yang
sama dan sebuah getaran yang adil.
2. Analisis mengidentifikasi dan menekankan beberapa item bukti
atau asumsi yang mempunyai nilai diagnostik paling besar dalam
memutuskan kemungkinan relatif dari berbagai hipotesis alterna-
tif. Dalam analisis intuitif konvensional, fakta bahwa bukti kunci
mungkin juga konsisten dengan hipotesis-hipotesis alternatif
jarang dipertimbangkan secara eksplisit dan sering kali diabai-
kan.
3. Analisis terhadap hipotesis-hipotesis bersaing mencakup pencari-
an bukti terhadap penyangkalan hipotesis-hipotesis. Hipotesis
yang kemungkinannya paling besar biasanya menjadi satu dengan
bukti yang paling sedikit terhadapnya, bukan menjadi satu
dengan bukti yang paling banyak darinya. Analisis konvensional

195
umumnya perlu mencari bukti untuk menegaskan hipotesis-
hipotesis yang didukung.
Keefektifan analitis dari prosedur ini menjadi tampak ketika
mempertimbangkan ujicoba senjata nuklir India pada tahun 1998.
Menurut Laksamana Jeremiah, Komunitas Intelijen telah melapor-
kan bahwa “tidak ada indikasi India akan mengujicoba senjata dalam
waktu dekat ini.”3 Kesimpulan seperti itu oleh Komunitas Inteli-
jen akan gagal membedakan sebuah hipotesis tidak terbukti dari
hipotesis yang disangkal. Ketiadaan bukti tidak perlu menyang-
kal hipotesis-hipotesis bahwa India benar-benar akan mengujicoba
senjata nuklirnya.
Jika prosedur ACH digunakan, salah satu hipotesis tersebut
tentunya akan menjadi bahwa India tengah berencana mengujicoba
senjata nuklirnya dalam waktu dekat ini, tapi akan menyembunyikan
segala persiapan dalam mengujicobanya untuk mencegah tekanan
internasional agar menghentikan segala persiapan seperti itu.
Pertimbangan yang saksama terhadap hipotesis alternatif
ini akan dibutuhkan untuk mengevaluasi motif India, kesempat-
an, dan alat-alat untuk menyembunyikan segala tujuannya sampai
menjadi terlalu terlambat bagi Amerika Serikat dan yang lainnya
untuk turun tangan. Ia juga akan dibutuhkan untuk memperkira-
kan kemampuan intelijen Amerika Serikat untuk melihat melalui
penolakan dan penipuan India jika ujicoba itu dilakukan. Sangatlah
sulit membayangkan bahwa dunia ini tidak meningkatkan kesadaran
akan kemungkinan berhasilnya tipu muslihat India tersebut.
Sebuah pelajaran utamanya adalah ini. Di mana pun seorang
analis intelijen tergoda untuk menulis frasa “tidak ada bukti
bahwa….”, maka sang analis tersebut harus mempertanyakan
pertanyaan ini: Jika hipotesis ini benar, bisakah saya secara realistis
berharap melihat bukti-bukti darinya? Dengan kata lain, jika India

3. Transkrip konferensi berita dari Laksamana Jeremiah, kalimat terakhir dari


paragraf ketiga, 2 Juni 1998.

196
tengah merencanakan ujicoba nuklir ketika dengan sengaja menyem-
bunyikan segala tujuannya, bisakah sang analis secara realistis
berharap bisa melihat bukti dari rencana ujicoba tersebut? Prosedur
ACH mengarahkan analis untuk mengidentifikasi dan menghadapi
jenis-jenis pertanyaan ini.
Ketika Anda melakukan praktik untuk mengaplikasikan analisis
terhadap hipotesis-hipotesis bersaing, sangatlah mungkin mengin-
tegrasikan konsep-konsep dasar dari prosedur ini ke dalam proses
pemikiran analitis normal Anda. Dalam kasus tersebut, seluruh
prosedur delapan langkah di atas mungkin tidak perlu, kecuali pada
persoalan yang sangatlah kontroversial.
Tidak ada jaminan bahwa prosedur ACH atau prosedur yang
lain akan menghasilkan sebuah jawaban yang benar. Hasilnya,
setelah semuanya, masih tergantung pada keputusan intuitif yang
bisa saja salah yang teraplikasi pada informasi yang tidak lengkap
dan ambigu. Namun, analisis terhadap hipotesis-hipotesis bersaing
menjamin sebuah proses analisis yang tepat. Prosedur ini mengarah-
kan Anda melalui sebuah proses yang rasional dan sistematis yang
menghindari beberapa jebakan analitis yang umum. Ia meningkatkan
keanehan dalam mendapatkan jawaban yang benar, dan ia meninggal-
kan sebuah jejak audit yang menunjukkan bukti-bukti yang digunakan
dalam analisis Anda dan bagaimana bukti ini ditafsirkan. Jika yang
lain tidak setuju dengan keputusan Anda, matriks bisa digunakan
untuk mengulas area ketidaksetujuan yang tepat. Bahasan selanjutnya
kemudian bisa fokus secara produktif pada sumber-sumber puncak dari
perbedaan tersebut.
Sebuah pengalaman umum adalah bahwa analisis terhadap
hipotesis-hipotesis bersaing menghubungkan kemungkinan yang
lebih besar terhadap hipotesis-hipotesis alternatif daripada analisis
konvensional. Orang menjadi kurang percaya diri dengan apa yang
orang pikir dia tahu. Dalam memfokuskan lebih banyak perhatian
pada penjelasan-penjelasan alternatif, prosedur tersebut menerbit-
kan ketidakpastian yang utuh yang inheren dengan beberapa situasi
197
yang miskin data tapi kaya kemungkinan. Meskipun ketidakpastian
menimbulkan frustrasi, namun ia mungkin menjadi sebuah reflek-
si yang akurat terhadap situasi yang benar. Seperti yang Voltaire
katakan, “Keragu-raguan bukanlah keadaan yang menyenangkan,
tapi kepastian dari sesuatu yang menggelikan.”4
Prosedur ACH mempunyai keuntungan menyeimbangkan
terhadap pemfokusan perhatian pada beberapa item bukti kritis
yang menyebabkan ketidakpastian atau, jika bukti-bukti itu ada,
akan meringankannya. Ini bisa memandu pengumpulan, peneliti-
an, dan analisis di masa depan untuk memecahkan ketidakpastian
dan menghasilkan sebuah keputusan yang lebih akurat.

4. M. Rogers, ed., Contradictory Quotations (England: Longman Group, Ltd.,


1983).

198
Bagian Ketiga
Bias-Bias Kognitif
Bab 9
Apa itu Bias-Bias Kognitif?

Bab mini ini membahas tentang hakikat bias-bias kognitif secara umum.
Sedangkan empat bab seterusnya menggambarkan bias-bias kognitif secara
khusus dalam mengevaluasi bukti-bukti, persepsi sebab dan akibat, perki-
raan berbagai kemungkinan, dan evaluasi pelaporan intelijen.

B erbagai batasan fundamental dalam proses mental manusia


diidentifikasi dalam Bab 2 dan Bab 3. Sebuah pokok peneli-
tian yang substansial mengenai psikologi kognitif dan pembuatan
keputusan yang didasarkan pada premis bahwa batasan-batasan
kognitif ini menyebabkan orang memanfaatkan berbagai strategi
yang menyederhanakan dan aturan-aturan induk untuk mengurangi
beban informasi yang diproses secara mental untuk membuat
pendapat-pendapat dan keputusan-keputusan.1 Aturan-aturan induk
yang sifatnya sederhana ini sering kali berguna untuk membantu
kita menghadapi berbagai kompleksitas dan ambiguitas. Namun,
di bawah berbagai lingkungan yang ada, aturan-aturan tersebut

1. Kebanyakan dari penelitian ini distimulasikan oleh karya seminal Amos


Tversky dan Daniel Kahneman, “Judgment under Uncertainty: Heuristics and
Biases,” Science, 27 September 1974, Vol. 185, hlm. 1124-1131. Karya ini telah
diringkas oleh Robin Hogarth, Judgement and Choice (New York: John Wiley
& Sons, 1980), Richard Nisbett and Lee Ross, Human Inference: Strategies and
Shortcomings of Human Judgment (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1980),
and Robyn Dawes, Rational Choice in an Uncertain World (New York: Harcourt
Brace Jovanovich College Publishers, 1988). Buku Hogarth mengandung sebuah
bibliografi mengagumkan tentang penelitian dari lapangan ini, yang disusun
berdasarkan subjek.
mengarah pada berbagai keputusan yang dapat diprediksikan salah
yang dikenal dengan bias-bias kognitif.
Bias-bias kognitif adalah kesalahan-kesalahan mental yang
disebabkan oleh strategi-strategi pemrosesan informasi kita yang
disederhanakan. Sangatlah penting membedakan bias-bias kognitif
dari bentuk-bentuk bias yang lain, seperti bias kultural, bias organi-
sasional, atau bias yang dihasilkan dari kepentingan diri seseorang.
Dengan kata lain, sebuah bias kognitif tidak dihasilkan dari berbagai
predisposisi emosional atau intelektual menuju sebuah keputusan
tertentu, tapi lebih banyak dihasilkan dari prosedur-prosedur mental
bawah sadar untuk memproses informasi. Sebuah bias kognitif
adalah sebuah kesalahan mental yang konsisten dan bisa dipredik-
si. Misalnya:
Jarak yang jelas dari suatu objek ditentukan sebagian oleh
kejelasannya. Objek yang lebih jelas terlihat, sedangkan yang
lebih mendekatinya menjadi tampak. Aturan ini mempunyai
beberapa validitas, karena dalam suatu pemandangan terten-
tu, semakin objek itu lebih jelas terlihat akan semakin
kurang tajam dibandingkan objek-objek yang lebih dekat.
Namun, kepercayaan pada aturan ini mengarah pada kesalah-
an sistematis dalam memperkirakan jarak. Secara spesifik,
jarak sering kali ditaksir terlalu tinggi ketika keberlihatannya
menjadi lemah karena garis luar objek menjadi kabur. Di sisi
lain, jarak sering kali ditaksir terlalu rendah ketika keberlihat-
annya adalah baik karena objek-objek terlihat dengan tajam.
Jadi, kepercayaan pada kejelasan sebagai sebuah indikasi jarak
mengarah pada bias-bias umum.2

Aturan inti tentang jarak keputusan ini sangatlah berguna.


Ia biasanya bekerja dan membantu kita menghadapi ambiguitas
dan kompleksitas kehidupan di sekeliling kita. Namun, di bawah
lingkungan tertentu yang bisa diprediksi, ia akan mengarah pada
keputusan yang terbiaskan.

2. Tversky and Kahneman, ibid.

202
Bias-bias kognitif serupa dengan ilusi-ilusi optikal dalam hal
kesalahan tersebut masih tetap memaksakan bahkan ketika orang
sangat sadar dengan hakikatnya. Kesadaran terhadap bias, dengan
sendirinya, tidak menghasilkan sebuah persepsi yang lebih akurat.
Oleh karena itu, bias-bias kognitif sangat sulit diatasi.
Para psikolog telah melakukan banyak eksperimen untuk
mengidentifikasi aturan-aturan inti sederhana yang orang gunakan
untuk membuat keputusan-keputusan dengan berdasar pada
informasi yang tidak lengkap dan bersifat ambigu, dan untuk
menunjukkan —setidaknya dalam situasi-situasi laboratorium—
bagaimana aturan-aturan inti ini merugikan keputusan-keputusan
dan pendapat-pendapat. Empat bab selanjutnya membahas bias-bias
kognitif yang secara khusus berhubungan dengan analisis inteli-
jen, karena mereka memengaruhi evaluasi terhadap bukti, persepsi
terhadap sebab dan akibat, perkiraan terhadap berbagai kemungkin-
an, dan evaluasi retrospektif terhadap laporan-laporan intelijen.
Sebelum membahas bias-bias spesifik, kita perlu memper-
timbangkan hakikat bukti eksperimental seperti itu dan tingkatan
bahwa orang bisa menggeneralisasi dari eksperimen-eksperimen ini
untuk menyimpulkan bahwa bias-bias yang sama itu lazim dalam
Komunitas Intelijen.
Ketika eksperimen-eksperimen psikologis menampakkan
eksistensi dari sebuah bias, ini tidak berarti bahwa setiap keputus-
an oleh setiap individu akan dibiaskan. Itu berarti bahwa dalam
kelompok orang, bias akan ada pada tingkatan yang lebih besar atau
tingkatan yang lebih kurang dalam banyak keputusan yang dibuat
oleh banyak kelompok tersebut. Atas dasar jenis bukti eksperimental
ini, orang hanya bisa menggeneralisasi tentang berbagai kecende-
rungan kelompok orang, namun tidak untuk membuat berbagai
pernyataan tentang betapa spesifiknya yang orang akan pikirkan.
Saya percaya bahwa berbagai kesimpulan yang didasarkan pada
eksperimen-eksperimen laboratoris ini bisa digeneralisasikan untuk
digunakan bagi para analis intelijen. Kebanyakan, meskipun tidak
203
semua kasus, subjek-subjek ujicoba adalah para ahli dalam lapangan
mereka masing-masing. Mereka adalah dokter, analis pasar saham,
prediktor pacuan kuda, master catur, direktur-direktur penelitian,
dan para psikolog profesional, bukan para siswa SMA seperti dalam
banyak eksperimen psikologis lainnya. Dalam banyak kasus, tugas-
tugas mental yang dilaksanakan dalam eksperimen-eksperimen ini
bersifat realistis; yaitu, mereka yang bisa diperbandingkan dengan
keputusan-keputusan para spesialis dalam lapangan-lapangan ini
normalnya adalah wajib untuk dibuat.
Beberapa margin kesalahan selalu ada ketika memperhitungkan
kemungkinan dari laboratorium eksperimental menjadi pengalam-
an dunia nyata, tapi kelas-kelas analis CIA yang mempresentasikan
gagasan-gagasan mereka menemukan bahwa gagasan-gagasan tersebut
relevan dan mencerahkan. Saya mereplikakan sejumlah eksperimen
yang paling sederhana dengan pejabat militer dalam Departemen
Urusan Keamanan Nasional dari Sekolah Sarjana Angkatan Laut.

204
Bab 10
Bias-Bias dalam Evaluasi Bukti

Evaluasi bukti merupakan langkah krusial dalam analisis, tapi bukti apa
yang orang sandarkan dan bagaimana mereka menafsirkannya dipengaruhi
oleh beragam faktor yang tidak ada hubungannya. Informasi dipresen-
tasikan dalam suatu detail yang gamblang dan konkret yang sering kali
mempunyai pengaruh yang tidak berdasar, dan orang cenderung untuk
mengabaikan informasi yang bersifat abstrak atau statistik yang mungkin
mempunyai nilai bukti yang lebih besar. Kami jarang memperhitungkan
ketiadaan bukti. Pikiran manusia juga sangatlah sensitif terhadap kon-
sistensi bukti-bukti, dan tidak cukup sensitif terhadap reliabilitas bukti.
Akhirnya, kesan-kesan sering kali bersifat tetap bahkan setelah bukti-buk-
ti yang mereka dasarkan benar-benar terdiskreditkan.1

A nalis intelijen bekerja dalam suatu lingkungan informasio-


nal yang agak unik. Bukti-bukti datang dari sebuah perangkat
sumber-sumber beragam yang tidak biasa: surat kabar dan jasa kabel,
penelitian-penelitian oleh pejabat Kedutaan Amerika, laporan-
laporan dari agen-agen terkontrol dan informan-informan tidak
tetap, tukar-menukar informasi dengan pemerintahan luar
negeri, pengintaian lewat foto, dan berbagai komunikasi intelijen.
Masing-masing sumber mempunyai kekuatan dan kelemahannya
sendiri-sendiri yang bersifat unik, mempunyai bias-bias potensial
atau aktual, dan sangat rentan terhadap manipulasi dan penipuan.

1. Versi paling awal dari bab ini dipublikasikan sebagai sebuah artikel yang tidak
terklasifikasikan dalam Studies in Intelligence pada Musim Panas 1981, dengan
judul yang sama.
Karakteristik lingkungan informasi yang paling menonjol adalah
keragamannya —beragam sumber, yang masing-masing dengan
tingkat reliabilitas yang bervariasi, dan setiap pelaporan informasi
umumnya dengan dirinya sendiri adalah tidak lengkap dan kadang
tidak konsisten atau bahkan tidak kompatibel dengan pelaporan
dari sumber-sumber yang lain. Informasi yang mengandung konflik
dengan tingkat reliabilitas yang tidak pasti merupakan endemi
bagi analisis intelijen, sebagaimana keharusan untuk memperce-
pat keputusan-keputusan tentang berbagai peristiwa mutakhir yang
bahkan sebelum semua bukti ada di dalamnya.
Analis hanya mempunyai kontrol terbatas atas arus informa-
si. Penugasan sumber-sumber laporan terhadap subjek-subjek yang
spesifik sering kali menjadi sebuah proses yang tidak praktis dan
menghabiskan waktu. Bukti-bukti tentang topik-topik yang penting
bersifat sporadis atau khayali. Banyak informasi yang bersumberkan
dari manusia menjadi sumber informasi tangan kedua yang merupa-
kan sumber terbaik.
Mengenali dan menghindari bias-bias di bawah lingkung-
an-lingkungan seperti itu secara khusus sangat sulit. Banyak dari
bias-bias yang dibahas bab ini tidak berhubungan dengan masing-
masing yang lain dan dikelompokkan bersama di sini hanya karena
mereka semua berkaitan dengan aspek evaluasi bukti.

A. Kejelasan Kriteria

Pengaruh informasi terhadap pikiran manusia hanya terhubung


secara tidak sempurna dengan nilai benarnya sebagai bukti.2 Secara
spesifik, informasi itu bersifat jelas, konkret, dan personal yang
mempunyai sebuah pengaruh yang lebih besar terhadap pemikir-
an kita daripada informasi yang abstrak dan tidak konkret yang

2. Kebanyakan gagasan-gagasan dan contoh-contoh dalam bagian diambil dari


Richard Nisbett and Lee Ross, Human Inference: Strategies and Shortcomings of
Social Judgment (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1980), Bab 3.

206
mungkin sebenarnya secara substansial mempunyai nilai lebih besar
sebagai bukti. Misalnya:
1. Informasi yang dirasakan secara langsung oleh orang, bahwa
mereka mendengar dengan telinga mereka sendiri atau melihat
dengan mata mereka sendiri, kemungkinan mempunyai
dampak yang lebih besar daripada informasi yang diterima
dari tangan kedua yang mungkin mempunyai nilai bukti yang
lebih besar.
2. Berbagai sejarah kasus dan anekdot-anekdot akan mempunyai
dampak yang lebih besar daripada yang lebih bersifat informa-
tif, tapi merupakan data statistik atau pengumpulan yang
bersifat abstrak.
Berbagai peristiwa yang orang alami secara personal mung-
kin lebih bisa diingat daripada peristiwa yang hanya mereka baca.
Kata-kata konkret lebih mudah diingat daripada kata-kata abstrak,3
dan kata-kata dari semua jenis lebih mudah diingat daripada ang-
ka-angka. Pendeknya, informasi yang mempunyai sifat-sifat yang
dikutip dalam paragraf sebelumnya kemungkinan besar lebih mena-
rik dan mempertahankan perhatian kita. Ia kemungkinan besar akan
tersimpan dan lebih diingat daripada penalaran abstrak atau ring-
kasan-ringkasan statistika, dan karenanya bisa diharapkan untuk
mempunyai sebuah efek segera yang lebih besar dan juga pengaruh
yang berkelanjutan bagi pemikiran kita di masa yang akan datang.
Para analis intelijen umumnya bekerja dengan informasi dari
tangan kedua. Informasi yang para analis terima itu dimediasi oleh
kata-kata tertulis dari yang lain daripada yang dirasakan secara
langsung dengan mata dan telinga mereka sendiri. Sebagian disebab-
kan karena batasan-batasan yang dibebankan oleh jabatan lepas CIA,
banyak analis intelijen yang menghabiskan sedikit waktu di negara
yang mereka analisis dan mempunyai sedikit kontak dengan para

3. A. Paivio, Imagery and Verbal Processes (New York: Holt, Rinehart & Winston,
1971).

207
nasionalis negara tersebut daripada dengan para kolega akademis
dan kolega pemerintahan mereka yang lain. Saat-saat seorang analis
mengunjungi negara yang memiliki perkara-perkara yang tengah
mereka analisis, atau berbicara secara langsung dengan seorang
nasionalis dari negara tersebut, merupakan pengalaman yang dapat
diingat. Pengalaman-pengalaman seperti itu sering kali menjadi
sumber pandangan-pandangan baru, tapi sumber informasi tersebut
juga bisa menipu.
Data yang konkret dan bersifat sensoris tersebut berlaku dan
seharusnya menikmati sebuah prioritas tertentu ketika memper-
timbangkan bukti juga terbentuk dengan baik. Ketika sebuah teori
abstrak atau laporan dari tangan kedua dikontradiksikan oleh peneli-
tian pribadi, maka yang terakhir (informasi dari tangan kedua)
semestinya bisa berlaku di bawah berbagai lingkungan. Ada sejumlah
pepatah popular yang menasihatkan ketidakpercayaan data tangan
kedua: “Jangan percaya segala sesuatu yang engkau baca,” “Engkau
bisa membuktikan sesuatu dengan statistika,” “Melihat adalah
kepercayaan,” “Aku berasal dari Missouri…”
Sangatlah aneh bahwa tidak ada pepatah yang dapat diperban-
dingkan untuk memperingatkan penyesatan yang dilakukan oleh
penelitian-penelitian kita sendiri. Melihat seharusnya tidak selalu
memercayai.
Penelitian-penelitian pribadi oleh para analis dan agen-agen
intelijen bisa menjadi laporan yang sama menipunya dengan laporan
tangan kedua. Banyak individu yang mengunjungi negara-negara
asing yang menjadi familiar dengan hanya sepotong kecil sampel
orang yang mewakili segmen sempit dari keseluruhan masyarakat.
Persepsi-persepsi yang tidak lengkap dan terdistorsi menjadi sebuah
hasil yang umum terjadi.
Bentuk kesalahan yang familiar ini adalah kasus tunggal dan
jelas yang lebih banyak daripada kumpulan bukti statistika atau
kesimpulan-kesimpulan yang jauh lebih besar yang dicapai oleh
penalaran abstrak. Ketika seorang pembeli mobil yang potensial
208
mendengar sebuah komplain yang paling aneh tentang bagaima-
na Volvonya menjadi sangat tidak memuaskan, ini mungkin
mempunyai banyak pengaruh bagi pemikiran pembeli potensial
sebagai statistika dalam Laporan Konsumen tentang biaya perbaik-
an rata-rata per tahun untuk mobil buatan asing. Jika testimoni
pribadi datang dari saudara pembeli potensial atau teman dekatnya,
kemungkinan hal itu akan menjadi pertimbangan yang lebih besar
lagi. Bahkan status logis dari informasi baru ini akan meningkat
dengan satu sampel berdasarkan pada statistika Laporan Konsumen
tersebut; pengalaman pribadi dari seorang pemilik Volvo mempunyai
nilai bukti yang sedikit.
Nisbett dan Ross melabelkan ini dengan sindrom “orang yang”
dan memberikan ilustrasi berikut ini:4
• “Tapi aku tahu orang yang merokok tiga bungkus rokok sehari
dan hidup selama sembilan puluh sembilan tahun.”
• “Aku tidak pernah ke Turki, tapi di akhir bulan aku bertemu
dengan orang yang pernah ke sana, dan dia mendapatinya….”
Tiada gunanya berkata, contoh “orang yang” jarang yang layak
mempertimbangkan bukti yang dimaksudkan oleh orang yang
mengungkapkan contoh tersebut, atau mempertimbangkan yang
sering kali dicatat kepadanya oleh sang penerima.
Implikasi kejelasan yang paling serius sebagai sebuah kriteria
yang menentukan dampak dari bukti tersebut adalah bahwa jenis-
jenis tertentu dari bukti yang sangat bernilai akan mempunyai sedikit
pengaruh, karena mereka adalah abstrak. Data statistik, khususnya,
kekurangan detail yang kaya dan konkret untuk membangkitkan
berbagai citra yang jelas, dan mereka sering kali diremehkan, diabai-
kan, atau diminimalkan.
Misalnya, laporan Surgeon General yang menghubungkan
asap rokok dengan kanker seharusnya secara logis menyebabkan
adanya suatu pengurangan konsumsi rokok per kapita. Tidak ada

4. Nisbett and Ross, hlm. 56.

209
pengurangan yang terjadi selama lebih dari 20 tahun. Reaksi para
dokter secara partikular bersifat informatif. Semua dokter sadar
terhadap bukti-bukti statistika dan lebih terungkap daripada popula-
si umum terhadap masalah kesehatan yang disebabkan oleh rokok.
Bagaimana mereka bereaksi terhadap bukti ini tergantung pada
kekhususan medis mereka. Dua puluh tahun setelah laporan Surgeon
General, para radiolog yang menguji paru-paru dengan sinar x setiap
hari mempunyai tingkat merokok yang lebih rendah. Para dokter
yang mendiagnosa dan memperlakukan korban kanker paru-paru
juga pastinya tidak mungkin untuk merokok. Namun, banyak jenis
dokter lain yang terus saja merokok. Kemungkinan bahwa seorang
dokter terus merokok secara langsung dihubungkan dengan jarak
kekhususan dokter tersebut dengan paru-parunya. Dengan kata
lain, bahkan para dokter pun, yang benar-benar berkualifikasi untuk
memahami dan mengapresiasi data statistik, lebih dipengaruhi oleh
pengalaman personal mereka yang jelas daripada data statistika yang
valid.5
Anekdot pribadi, laporan aktual dari keresponan orang atau
pengabaian terhadap sumber informasi, dan penelitian-peneliti-
an terkontrol semuanya bisa diungkapkan ad infinitum “untuk
mengilustrasikan proposisi bahwa ringkasan-ringkasan data,
meskipun implikasi-implikasinya mendesak mereka secara logis,
mempunyai dampak yang kurang daripada bukti yang inferior tapi
lebih jelas.”6 Kemungkinan akan tampak bahwa analis intelijen
terlalu menempatkan pertimbangan yang tidak mencukupi untuk
informasi statistika.
Para analis seharusnya memberikan sedikit pertimbangan untuk
anekdot-anekdot dan sejarah kasus pribadi kecuali kalau mereka
dikenal menjadi tipikal, dan mungkin tidak ada pertimbangan sama
sekali jika data yang terkumpul dengan berdasarkan pada sampel

5. Ibid.
6. Nisbett and Ross, hlm. 57.

210
yang lebih valid bisa dicapai.

B. Ketiadaan Bukti

Sebuah karakteristik utama dari analisis intelijen adalah bahwa


informasi kunci sering kali kurang. Masalah-masalah analitis diseleksi
atas dasar pentingnya informasi tersebut dan kebutuhan-kebutuhan
yang dirasakan para konsumen, tanpa banyak mengakui ketersedia-
an informasi. Para analis harus melakukan yang terbaik yang mereka
bisa dengan apa yang mereka punya, dengan agak mempertimbang-
kan fakta bahwa informasi yang banyak relevan diketahui menjadi
terlupakan.
Idealnya, analis intelijen harus mampu mengenali bukti relevan
apa yang kurang dan memfaktorkan hal ini ke dalam kalkulasi
mereka. Mereka seharusnya juga mampu memperkirakan dampak
potensial dari data yang hilang itu dan menyesuaikan konfidensi
dalam keputusan mereka dengan hal itu. Sayangnya, keidealan ini
tidak tampak menjadi norma. Berbagai eksperimen menunjukkan
bahwa “di luar pandangan, di luar pikiran” adalah sebuah deskripsi
terbaik terhadap dampak kesenjangan dalam bukti tersebut.
Masalah ini telah didemonstrasikan menggunakan pohon
kesalahan, yang mana berbagai gambaran skematisnya menunjuk-
kan semua hal yang mungkin mengarah pada kesalahan dengan
beberapa usaha keras. Pohon-pohon kesalahan sering kali diguna-
kan untuk mengkaji fallibilitas sistem-sistem yang kompleks seperti
reaktor nuklir atau kapsul ruang angkasa.
Sebuah pohon kesalahan menunjukkan semua alasan mengapa
sebuah mobil tidak jalan yang ditunjukkan pada beberapa kelompok
mekanik berpengalaman.7 Pohon tersebut mempunyai tujuh cabang
utama —isi baterai yang tidak mencukupi, sistem penghidupan

7. Baruch Fischhoff, Paul Slovic, and Sarah Lichtenstein, Fault Trees: Sensitivity of
Estimated Failure Probabilities to Problem Representation, Technical Report PTR- 1
042-77-8 (Eugene, OR: Decision Research, 1977).

211
(starter) yang kurang sempurna, sistem pengapian yang kurang baik,
sistem bahan bakar yang tidak sempurna, masalah-masalah mesin
yang lain, berbagai tindakan yang jahat atau vandalisme, dan semua
masalah yang lain— dan sejumlah subkategori di bawah masing-
masing cabang. Satu kelompok menunjukkan pohon yang utuh dan
diminta untuk membayangkan 100 kasus yang di dalamnya sebuah
mobil tidak bisa bergerak sama sekali. Para anggota dari kelompok
ini kemudian diminta untuk memperkirakan seberapa banyak dari
100 kasus yang bisa dihubungkan dengan masing-masing dari tujuh
cabang utama dari pohon tersebut. Sekelompok mekanik kedua
hanya ditunjukkan dengan versi pohon yang tidak lengkap: tiga
cabang utama dihilangkan agar bisa menguji seberapa sensitifnya
subjek-subjek tes terhadap masalah yang tidak terdaftar tersebut.
Jika keputusan para mekanik benar-benar sensitif terhadap
informasi yang hilang tersebut, maka jumlah kasus kegagalan yang
normalnya akan diperhubungkan dengan cabang-cabang yang
dihilangkan harus ditambahkan ke dalam kategori “Masalah-Masalah
Lain”. Namun pada praktiknya, kategori “Masalah-Masalah Lain”
ditingkatkan hanya separo sebanyak yang seharusnya ada. Ini mengin-
dikasikan bahwa para mekanik yang ditunjukkan dengan pohon
yang tidak lengkap tersebut tidak mampu benar-benar mengenali
dan menghubungkan ke dalam keputusan-keputusan mereka fakta
bahwa beberapa dari sebab mengapa mobil tersebut tidak bisa berjalan
menjadi terlupakan. Ketika eksperimen yang sama dilakukan dengan
yang bukan mekanik, efek cabang-cabang yang terlupakan menjadi
jauh lebih besar.
Sebagaimana yang diperbandingkan dengan banyak pertanyaan
tentang analisis intelijen, eksperimen “mobil yang tidak bisa berja-
lan” mencakup keputusan-keputusan analitis yang agak sederhana
yang didasarkan pada informasi yang dipresentasikan dalam sebuah
tatacara yang terorganisasi dengan baik. Presentasi variabel-variabel
relevan tersebut dalam pohon kesalahan yang tersingkatkan adalah
tidak utuh yang bisa dan seharusnya telah dikenali oleh para meka-
212
nik berpengalaman yang terseleksi sebagai subjek tes. Para analis
intelijen sering kali mempunyai masalah yang serupa. Kehilangan
data adalah masalah intelijen yang biasa terjadi, tapi kemungkin-
annya menjadi lebih sulit mengenali informasi penting yang tidak
ada dan menggabungkan fakta ini ke dalam keputusan-keputusan
mengenai pertanyaan-pertanyaan intelijen daripada dalam eksperi-
men “mobil tidak bisa berjalan” yang lebih konkret.
Sebagai sebuah penangkal bagi masalah ini, para analis seharus-
nya mengidentifikasi secara eksplisit variabel-variabel relevan tersebut
mengenai informasi yang kurang, mempertimbangkan hipotesis-
hipotesis alternatif mengenai status variabel-variabel ini, dan kemudian
memodifikasi keputusan mereka dan secara khusus konfiden dengan
keputusan mereka yang sesuai dengan hal itu. Mereka seharusnya
mempertimbangkan juga apakah ketiadaan informasi adalah normal
ataukah ia sendiri sebagai indikator bagi aktivitas atau inaktivitas
yang tidak biasa.

C. Sangat Sensitif terhadap Konsistensi

Konsistensi internal dalam suatu pola bukti membantu


menentukan konfidensi kita dalam keputusan-keputusan yang
didasarkan pada bukti-bukti.8 Dalam satu pengertian, konsistensi
jelas merupakan sebuah panduan yang tepat bagi evaluasi bukti-
bukti. Orang memformulasikan penjelasan-penjelasan alternatif
atau memperkirakan dan menyeleksi yang satu yang mencakup
jumlah bukti yang lebih besar dalam sebuah skenario yang secara
logis konsisten. Namun, di bawah beberapa lingkungan, konsis-
tensi bisa menipu. Informasi mungkin konsisten hanya karena ia
sangat berkorelasi atau berlebih-lebihan, di mana banyak kasus di
dalamnya yang berkaitan dengan berbagai laporan mungkin tidak
lebih informatif dibandingkan dengan sebuah laporan tunggal.

8. Amos Tversky and Daniel Kahneman, “Judgment under Uncertainty: Heuristics


and Biases,” Science, Vol. 185 (27 September 1974), hlm. 1126.

213
Atau mungkin ia menjadi konsisten hanya karena informasi yang
digambarkan dari sebuah sampel yang sangat sedikit atau sebuah
sampel yang terbiaskan.
Masalah-masalah seperti itu kemungkinan besar muncul dalam
analisis intelijen ketika para analis mempunyai sedikit informa-
si, berkata tentang perilaku politik para pejabat militer Rusia atau
di antara kelompok-kelompok etnis Afrika tertentu. Jika bukti-
bukti yang tersedia konsisten, para analis akan sering mengabaikan
fakta bahwa ia mewakili sejumlah kecil dan karenanya sampel yang
tidak reliabel diambil dari kelompok yang besar dan heterogen. Ini
bukanlah masalah kebutuhan yang sederhana —tentang keharusan
bekerja dengan informasi di tangan, namun tidak sempurna jadinya.
Agaknya, ada sebuah ilusi validitas yang disebabkan oleh konsisten-
si informasi.
Kecenderungan untuk menempatkan terlalu banyak kepercaya-
an pada sampel-sampel kecil telah dianugerahi “hukum angka kecil”.9
Ini adalah sebuah parodi tentang hukum angka-angka besar, prinsip
statistika dasar yang mengatakan sampel-sampel sangat besar akan
menjadi sangat representatif bagi populasi dari yang telah mereka
gambarkan. Ini adalah prinsip yang mendasari poling pendapat, tapi
banyak orang yang bukan statistikawan intuitif yang bagus. Orang
tidak mempunyai banyak rasa intuitif tentang seberapa besar sebuah
sampel harus ada sebelum mereka bisa menggambarkan kesimpul-
an valid darinya. Sebutan hukum angka-angka kecil bermakna,
secara intuitif, bahwa kita membuat kesalahan dalam memperlaku-
kan sampel-sampel kecil sebagaimana mereka adalah sampel-sampel
besar.
Ini terbukti benar bahkan ketika para psikolog matematis men-
jalani pelatihan ekstensif dalam statistika. Para psikolog mendesain
berbagai eksperimen yang mempunyai gagasan-gagasan salah yang
serius tentang jumlah kesalahan dan ketidakreliabilitasan inheren

9. Tversky and Kahneman (1974), hlm. 1125-1126.

214
dalam sampel-sampel data yang kecil, konfidensi yang tidak terjamin
dalam kecenderungan-kecenderungan awal dari beberapa poin data
yang pertama, dan berbagai pengharapan yang sangat tidak masuk akal
dengan mampu mengulangi eksperimen yang sama dan mendapatkan
hasil yang sama dengan sekumpulan subjek tes yang berbeda.
Apakah analis intelijen juga sangat percaya diri dengan kesimpul-
an-kesimpulan yang tergambarkan dari data yang sangat sedikit
—khususnya jika data tampak menjadi konsisten? Ketika bekerja
dengan sekumpulan bukti yang kecil tapi konsisten, para analis harus
mempertimbangkan bagaimana representatifnya bukti-bukti itu dari
keseluruhan informasi yang tersedia secara potensial. Jika pelaporan
yang lebih tersedia, bagaimana kemungkinannya informasi ini akan
menjadi konsisten dengan bukti yang sudah tersedia? Jika seorang
analis mencocokkan hanya dengan sejumlah kecil bukti dan tidak bisa
menentukan bagaimana representatifnya bukti ini, rasa percaya dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada bukti ini harus menjadi
rendah tanpa memerhatikan konsistensi informasi tersebut.

D. Mengatasi Bukti dari Akurasi yang Tidak Pasti

Ada banyak alasan mengapa informasi sering kali kurang


dari sangat akurat: kesalahpahaman, salah persepsi, atau hanya
mempunyai sebagian dari cerita; bias pada bagian sumber yang
utama; distorsi dalam rantai pelaporan dari sumber kedua melalui
sumber pertama, kasus pejabat, laporan pejabat, untuk sampai pada
sang analis; atau kesalahpahaman dan salah persepsi oleh sang analis
sendiri. Selanjutnya, banyak dari bukti-bukti yang para analis bawa
yang dihasilkan dari analisis tersebut diambil kembali dari memori,
tapi sang analis sering kali tidak bisa mengingat bahkan sumber
informasi yang telah mereka punyai dalam memori yang memperki-
rakan sendiri tingkat kepastian yang mereka perhubungkan dengan
akurasi informasi tersebut ketika ia pertama kali diterima.

215
Pikiran manusia mempunyai kesulitan dalam mengatasi
hubungan-hubungan probabilistik yang rumit, sehingga orang
cenderung menggunakan aturan pokok sederhana yang mengurangi
beban pemrosesan informasi seperti itu. Dalam memproses
informasi dengan akurasi atau reliabilitas yang tidak pasti, para analis
cenderung untuk membuat sebuah keputusan sederhana, yakni
keputusan ya atau tidak. Jika mereka menolak bukti tersebut, mereka
cenderung menolaknya secara utuh, sehingga ia tidak memainkan
peran selanjutnya dalam kalkulasi mental mereka. Jika mereka
menerima bukti tersebut, mereka cenderung menerimanya secara
keseluruhan, dan mengabaikan hakikat probabilistik dari akurasi
atau reliabilitas keputusan. Ini disebut dengan strategi “tebakan
terbaik”.10 Strategi seperti itu menyederhanakan integrasi informasi
yang sifatnya probabilistik, tapi dengan harga mengabaikan beberapa
ketidakpastian. Jika para analis mempunyai informasi tentang
yang mana dari 70 persen atau 80 persen yang menjadi pasti, tapi
memperlakukan informasi ini seolah-olah ia adalah 100 persen pasti,
maka keputusan didasarkan pada informasi yang akan membuat sang
analis merasa sangat percaya diri.
Strategi yang sangat menyesatkan adalah membuat sebuah
keputusan berdasarkan pada asumsi bahwa bukti-bukti yang tersedia
sangatlah akurat dan bisa diandalkan, kemudian mengurangi
konfidensi dalam keputusan ini dengan sebuah faktor yang ditentu-
kan oleh validitas informasi yang diperkirakan. Misalnya, bukti yang
tersedia mungkin mengindikasikan bahwa sebuah peristiwa kemung-
kinan (75 persen) akan terjadi, tapi sang analis tidak bisa memastikan
bahwa bukti yang didasarkan pada keputusan ini keseluruhannya
akurat atau bisa diandalkan. Karena itu, analis mengurangi probabi-
10. Lihat Charles F. Gettys, Clinton W. Kelly III, and Cameron Peterson, “The
Best Guess Hypothesis in Multistage Inference,” Organizational Behavior and
Human Performance, 10, 3 (1973), 365-373; and David A. Schum and Wesley
M. DuCharme, “Comments on the Relationship Between the Impact and the
Reliability of Evidence,” Organizational Behavior and Human Performance, 6
(1971), hlm. 111-131.

216
litas peristiwa yang diperkirakan (katakanlah, di bawah 60 persen)
untuk mempertimbangkan ketidakpastian berkenaan dengan bukti-
bukti tersebut. Ini adalah sebuah perbaikan atas strategi “tebakan
terbaik”, tapi umumnya masih mengakibatkan keputusan-keputus-
an yang sangat konfiden ketika diperbandingkan dengan formula
matematis dalam menghitung berbagai probabilitas.11
Dalam istilah matematis, probabilitas bersama dari dua peristiwa
itu sama dengan produk probabilitas individu mereka. Bayangkanlah
sebuah situasi di mana Anda menerima sebuah laporan pada peristi-
wa X yang kemungkinan (75) benar. Jika laporan pada peristiwa X
itu benar, Anda memutuskan bahwa peristiwa Y kemungkinan (75
persen) akan terjadi. Probabilitas aktual dari Y hanyalah 56 persen,
yang dihasilkan dari perkalian 75 persen kali 75 persen.
Pada praktiknya, kehidupan tidak benar-benar begitu sederha-
na. Para analis harus mempertimbangkan banyak item bukti
dengan tingkat akurasi dan keandalan berbeda yang dihubungkan
dengan cara-cara kompleks dengan meragamkan tingkat probabi-
litas ke dalam beberapa hasil yang potensial. Jelasnya, orang tidak
bisa membuat kalkulasi yang murni matematis dengan memper-
timbangkan semua hubungan probabilistik ini. Dalam membuat
keputusan-keputusan intuitif, kita secara tidak sadar mencari jalan
pintas dalam memilah-milah melalui jalinan yang rumit ini, dan jalan
pintas tersebut mencakup beberapa tingkatan pengabaian ketidak-
pastian yang inheren dalam informasi yang kurang secara sempurna
bisa diandalkan (less-than-perfectly-reliable information). Tampaknya
ada sedikit analis yang bisa melakukan hal ini, yang mempersingkat
penyelesaian masalah analitis dalam suatu cara yang mengizinkan
penetapan probabilitas kepada item-item informasi individual, dan
kemudian menggunakan sebuah formula matematis untuk mengin-
tegrasikan keputusan-keputusan probabilitas yang terpisah ini.

11. Edgar M. Johnson, “The Effect of Data Source Reliability on Intuitive


Inference,” Technical Paper 251 (Arlington, VA: US Army Research Institute for
the Behavioral and Social Sciences, 1974).

217
Proses yang sama mungkin juga memengaruhi reaksi kita
terhadap informasi yang masuk akal, tapi diketahui dari permulaan
yang bisa dipertanyakan tingkat autentisitasnya. Pernyataan-pernya-
taan yang pura-pura pribadi oleh para pejabat asing sering kali
dilaporkan terlebih dahulu dalam saluran-saluran intelijen. Dalam
banyak hal, tidak jelas apakah statemen pribadi seperti itu yang
dikatakan oleh duta besar negara asing, anggota kabinet, atau pejabat
yang lain adalah sebuah pernyataan aktual dari pandangan-pandang-
an pribadi, sebuah ketidakbijaksanaan, bagian dari suatu usaha
disengaja untuk menipu pemerintahan Amerika Serikat, atau bagian
dari sebuah rencana yang disetujui untuk membawa pesan kebenar-
an yang pemerintahan asing yakini bahwa transmisi pernyataan yang
terbaik adalah melalui saluran-saluran informal.
Analis yang menerima laporan seperti itu sering kali mempu-
nyai basis yang sedikit untuk memutuskan motivasi sumbernya,
sehingga informasi itu harus diputuskan atas kegunaannya sendiri.
Dalam membuat sebuah penaksiran seperti itu, analis dipengaruhi
oleh hubungan kausal yang masuk akal. Jika ini adalah hubungan
yang analis sudah sadari, laporan itu mempunyai sedikit penga-
ruh lantaran ia hanya mendukung pandangan yang ada. Jika ada
hubungan baru yang masuk akal, pemikiran direstrukturisasi untuk
mempertimbangkan hal ini. Kemungkinan yang tampak adalah
bahwa pengaruh terhadap pemikiran analis ditentukan hanya oleh
substansi informasi, dan bahwa surat keberatan berkenaan dengan
sumber itu tidak melemahkan pengaruh informasi itu sama sekali.
Mengetahui bahwa informasi itu datang dari sebuah sumber yang
tidak terkontrol yang mungkin tengah mencoba memanipulasi, maka
kita tidak perlu mengurangi pengaruh informasi tersebut.

E. K e t e k u n a n K e s a n B e r d a s a r k a n B u k t i y a n g
Terdiskreditkan

Kesan cenderung menuntut bahkan setelah bukti tersebut telah

218
menciptakan kesan-kesan yang benar-benar telah terdiskreditkan.
Para psikolog sangatlah tertarik dengan fenomena ini, karena banyak
dari eksperimen mereka yang membutuhkan subjek-subjek tes itu
telah tertipu. Misalnya, subjek-subjek tes mungkin dipaksa meyakini
mereka akan berhasil atau tidak berhasil dalam melaksanakan bebera-
pa tugas, atau bahwa mereka memiliki kemampuan-kemampuan
atau karakteristik kepribadian tertentu, ketika ini kenyataannya
tidak menjadi kasus. Etika profesional membutuhkan subjek-subjek
tes yang dibebaskan dari penipuan terhadap kesan-kesan yang salah
ini di akhir eksperimen, tapi yang sangat mengejutkan ini terbuk-
ti sulit dicapai.
Kesan-kesan salah subjek tes mengenai kemampuan memecah-
kan masalah logis mereka menjadi sangat kuat bahkan setelah mereka
menginformasikan bahwa manipulasi prestasi pengajaran yang
baik atau lemah sebenarnya menjamin kesuksesan atau kegagalan
mereka.12 Dengan cara yang sama, subjek-subjek tes diminta untuk
membedakan yang benar dari catatan bunuh diri yang sifatnya
fiksi yang diberikan umpan balik yang tidak mempunyai hubung-
an dengan prestasi yang sebenarnya. Subjek-subjek tes telah terbagi
secara acak menjadi dua kelompok, dengan anggota satu kelompok
diberikan kesan tentang kesuksesan di atas rata-rata dan kelompok
yang lain dengan kegagalan relatif pada tugas ini. Kesan-kesan salah
subjek tentang kesulitan dalam tugas dan dalam prestasi mereka
sendiri menuntut bahkan setelah mereka diinformasikan tentang
penipuan —yaitu, diinformasikan bahwa prestasi yang terkatakan
mereka telah ditetapkan sebelumnya oleh tugas mereka kepada satu
atau kelompok tes yang lain. Lagi pula, fenomena yang sama telah
ditemukan di antara para peneliti eksperimen tersebut dan juga para

12. R. R. Lau, M. R. Lepper, and L. Ross, “Persistence of Inaccurate and Discredited


Personal Impressions: A Field Demonstration of Attributional Perseverance,”
paper presented at 56th Annual Meeting of the Western Psychological Association
(Los Angeles, April 1976).

219
peserta dengan segera.13
Ada beberapa proses kognitif yang mungkin mempertim-
bangkan fenomena ini. Kecenderungan untuk menerjemahkan
informasi baru dalam konteks kesan-kesan pra-ada (pre-existing)
adalah relevan, tapi kemungkinan belum mencukupi untuk menjelas-
kan mengapa kesan pra-ada itu tidak bisa diberantas, bahkan ketika
informasi baru secara otoritatif mendiskreditkan bukti-bukti yang
padanya didasarkan.
Sebuah penjelasan menarik tapi spekulatif didasarkan pada
kecenderungan kuat untuk mencari penjelasan-penjelasan kausal,
seperti yang dibahas dalam bab selanjutnya. Ketika bukti-bukti
pertama kali dirasakan, orang memostulatkan beberapa hubung-
an kausal yang menjelaskan bukti-bukti ini. Dalam eksperimen
dengan catatan bunuh diri, misalnya, satu subjek tes menghubung-
kan kesuksesan yang jelas dalam membedakan catatan yang nyata
dari yang fiksi kepada kepribadian empatiknya dan pandangan-
pandangan yang dia dapatkan dari tulisan-tulisan seorang novelis
yang komitmen untuk melakukan bunuh diri. Sebab lain dari
kegagalannya adalah kekurangan familiaritas dengan orang yang
mungkin bermaksud melakukan bunuh diri. Semakin kuat hubung-
an kausal yang dirasakan, semakin kuat pula kesan yang diciptakan
oleh bukti-bukti.
Bahkan setelah mempelajari bahwa umpan balik berkenaan
dengan prestasi mereka menjadi tidak valid, subjek-subjek ini tetap
memelihara dasar masuk akal ini untuk berpendapat bahwa mereka
mempunyai kualifikasi yang baik atau lemah terhadap tugas tersebut.
Penjelasan kausal yang dirasakan selanjutnya terhadap kemampu-
an atau kekurangmampuan mereka masih datang dengan mudah
ke dalam pikiran, yang secara independen bukti-bukti yang kini

13. Lee Ross, Mark R. Lepper, and Michael Hubbard, “Perseverance in Self-
Perception and Social Perception: Biased Attributional Processes in the Debriefing
Paradigm,” Journal of Personality and Social Psychology, 32, 5, (1975), hlm. 880-
892.

220
terdiskreditkan adalah yang pertama kali dibawa ke dalam pikiran.14
Dengan kata lain, orang mungkin berkata bahwa setiap informasi
membunyikan sebuah bel, dan bel itu tidak bisa berbunyi.
Ambiguitas dari situasi-situasi dunia nyata memberikan andil
bagi pelaksanaan fenomena ketekunan ini. Yang jarang di dunia
nyata adalah bukti yang begitu terdiskreditkan sepenuhnya ketika
menjalani laboratorium eksperimental. Misalnya, bayangkan bahwa
Anda diberi tahu ada sebuah sumber gelap telah memberikan
informasi beberapa kali yang sebenarnya di bawah pengawasan yang
bermusuhan. Selanjutnya bayangkan bahwa Anda telah memben-
tuk sejumlah kesan atas dasar pelaporan dari sumber ini. Memang
mudah merasionalisasi dalam mempertahankan kesan-kesan ini
dengan berargumen bahwa informasi itu adalah benar, meskipun
sumbernya di bawah pengawasan, atau dengan meragukan validitas
laporan yang mengklaim sumber itu berada di bawah pengawas-
an. Dalam kasus terakhir, ketekunan kesan mungkin memengaruhi
evaluasi dirinya sendiri mengenai bukti-bukti yang dianggap mendis-
kreditkan kesan tersebut

14. Lee Ross, Mark R. Lepper, Fritz Strack, and Julia Steinmetz, “Social Explanation
and Social Expectation: Effects of Real and Hypothetical Explanations on
Subjective Likelihood,” Journal of Personality and Social Psychology, 33, 11 (1977),
hlm. 818.

221
Bab 11
Bias-Bias dalam Persepsi Sebab Akibat

Keputusan-keputusan tentang sebab dan akibat adalah perlu untuk men-


jelaskan masa lalu, memahami masa sekarang, dan memperkirakan masa
depan. Keputusan-keputusan ini sering kali dibiaskan oleh faktor-faktor
atas orang-orang yang sedikit dalam melatih kontrol sadar, dan ini bisa
memengaruhi banyak jenis keputusan yang dibuat oleh para analis intelijen.
Disebabkan karena sebuah kebutuhan untuk membebankan perintah pada
lingkungan kita, kita mencari dan sering kali percaya bahwa kita menemu-
kan sebab-sebab untuk apa yang sebenarnya merupakan fenomena aksidental
atau fenomena acak. Orang menaksir terlalu tinggi terhadap negara-nega-
ra lain yang tengah mengejar sebuah rencana yang koheren, terkoordinasi,
dan rasional, dan juga menaksir terlalu tinggi kemampuan mereka sendiri
untuk memprediksi peristiwa-peristiwa masa depan di negara-negara ter-
sebut. Orang juga cenderung mengasumsikan bahwa sebab-sebab itu serupa
dengan akibat-akibatnya, dalam pengertian bahwa akibat yang besar atau
penting harus mempunyai sebab-sebab yang besar pula.

K etika berpendapat mengenai sebab-sebab perilaku, terlalu


banyak pertimbangan yang disesuaikan dengan sifat-sifat
personal dan disposisi sang aktor dan tidak cukup terhadap berbagai
determinan situasional dari perilaku sang aktor tersebut. Orang
juga menaksir terlalu tinggi pentingnya diri mereka sendiri sebagai
sebuah sebab dan target perilaku orang lain. Akhirnya, orang sering
merasakan hubungan yang kenyataannya tidak ada, karena mereka
tidak mempunyai sebuah pemahaman yang intuitif terhadap jenis-
jenis dan jumlah informasi yang dibutuhkan untuk membuktikan
sebuah hubungan.
Kita tidak bisa melihat sebab dan akibat dalam pengertian
yang sama dengan kita melihat meja atau pohon. Bahkan ketika
kita meneliti satu bola biliar yang tengah bertabrakan dengan
yang lain dan kemudian melihat bola yang tidak bergerak mulai
bergerak, kita tidak merasakan sebab dan akibat. Kesimpulan bola
satu menyebabkan yang lain bergerak hanyalah berasal dari sebuah
proses kesimpulan yang kompleks, tidak dari persepsi sensoris secara
langsung. Kesimpulan itu didasarkan pada penjajaran berbagai
peristiwa dalam ruang dan waktu ditambah dengan beberapa teori
atau penjelasan logis mengapa hal ini terjadi.
Ada beberapa mode analisis yang mungkin bisa membuat orang
mengeluarkan pendapat tentang sebab dan akibat. Dalam analisis
yang lebih formal, kesimpulan-kesimpulan dibuat melalui prosedur-
prosedur yang secara kolektif mengandung metode ilmiah. Para
ilmuwan memajukan sebuah hipotesis, kemudian menguji hipote-
sis-hipotesis ini dengan koleksi dan analisis statistik terhadap data
pada banyak contoh fenomena yang ada dalam pertanyaan. Bahkan
kemudian, kausalitas tidak bisa dibuktikan melebihi semua keraguan
yang memungkinkan. Para ilmuwan berusaha menyangkal sebuah
hipotesis, bukan untuk menegaskannya. Sebuah hipotesis diterima
hanya ketika ia tidak bisa ditolak.
Koleksi data pada banyak kasus yang bisa diperbanding-
kan untuk menguji hipotesis-hipotesis tentang sebab dan akibat
tidaklah dapat dikerjakan dengan mudah untuk banyak pertanyaan
kepentingan terhadap Komunitas Intelijen, khususnya pertanyaan-
pertanyaan tentang impor strategi atau politik yang luas sehubungan
dengan segala tujuan dari negara lain. Untuk memastikan, hal itu
dapat dikerjakan dengan mudah lebih sering daripada yang dilaku-
kan, dan meningkatkan kegunaan prosedur-prosedur ilmiah dalam
penelitian politik, ekonomi, dan strategis yang lebih banyak dikede-
pankan. Tapi tetap ada fakta bahwa pendekatan dominan terhadap
analisis intelijen benar-benar perlu berbeda. Itulah pendekatan sejara-
wan yang diperbandingkan dengan pendekatan para ilmuwan, dan
224
pendekatan ini menghadirkan berbagai tantangan untuk mengaku-
ratkan segala kesimpulan tentang kausalitas.
Prosedur-prosedur dan kriteria yang kebanyakan para sejarawan
gunakan untuk memperhubungkan kausalitas adalah kurang terdefi-
nisikan dengan baik daripada yang digunakan para ilmuwan.
Tujuan para sejarawan adalah untuk membuat sebuah keselu-
ruhan yang koheren di luar berbagai peristiwa yang dia kaji.
Cara melakukan itu, menurut saya, adalah mencari konsep-
konsep dominan tertentu atau berbagai gagasan terkemuka
dengan mengiluminasikan fakta-faktanya, untuk melacak
segala hubungan di antara berbagai gagasan itu sendiri,
dan kemudian menunjukkan bagaimana fakta-fakta yang
terdetailkan menjadi dapat dimengerti dalam sudut pandang
mereka dengan mengonstruksi sebuah narasi peristiwa-
peristiwa yang “signifikan” dari periode dalam pertanyaan.1

Gagasan-gagasan kunci di sini adalah koherensi dan naratif. Ini


adalah prinsip-prinsip yang memandu pengaturan penelitian-peneli-
tian ke dalam struktur dan pola-pola yang bermakna. Sejarawan
umumnya hanya meneliti sebuah kasus tunggal, bukan sebuah pola
kovariasi (ketika dua hal dihubungkan sehingga berubah menjadi
satu yang digabungkan dengan perubahan dengan yang lain) dalam
banyak kasus yang bisa diperbandingkan. Lagi pula, sejarawan meneli-
ti perubahan-perubahan secara simultan dalam begitu banyak variabel
yang prinsip kovariasi umumnya tidak membantu dalam memilih
hubungan-hubungan kompleks di antara mereka. Cerita naratif, di
sisi lain, menawarkan sebuah alat pengaturan yang kaya kompleksitas
dari penelitian sejarawan. Sejarawan menggunakan imajinasi untuk
mengonstruk sebuah cerita koheren di luar fragmen-fragmen data.
Analis intelijen yang menggunakan mode analisis sejarah
pada dasarnya adalah seorang pembaca cerita. Dia mengonstruksi
sebuah alur dari peristiwa-peristiwa masa lalu, dan alur ini kemudi-

1. W. H. Walsh, Philosophy of History: An Introduction (Revised Edition: New York:


Harper and Row, 1967), hlm. 61.

225
an mendiktekan akhir cerita yang tidak lengkap. Alur cerita itu
dibentuk dari “konsep-konsep dominan atau gagasan terkemuka”
yang sang analis gunakan untuk memostulatkan pola-pola hubungan
di antara data yang tersedia. Tentunya, sang analis tidak mempersi-
apkan sebuah kerja fiksi. Ada ketidakleluasaan pada imajinasi analis,
tapi meskipun demikian, imajinasi tetap tercakup karena ada ragam
cara yang hampir tidak terbatas yang di dalamnya data-data yang
tersedia mungkin disusun untuk menceritakan sebuah cerita yang
bermakna. Ketidakleluasaan adalah ketersediaan bukti-bukti dan
prinsip koherensi. Cerita harus membentuk sebuah keseluruhan yang
logis dan koheren dan secara internal konsisten dan juga konsisten
dengan bukti-bukti yang ada.
Mengenali mode analisis sejarah atau naratif melibatkan
penceritaan sebuah cerita koheren yang membantu menjelaskan
banyak ketidaksetujuan di antara para analis, sepanjang koherensi
menjadi sebuah konsep yang subjektif. Ia mengasumsikan beberapa
keyakinan atau model mental sebelumnya tentang apa yang tengah
berlangsung dengan apa. Yang paling relevan dengan bahasan ini,
pentingnya koherensi daripada penelitian ilmiah sebagai kriteria
dalam memutuskan kebenaran mengarah pada bias-bias yang
memengaruhi semua analis dalam beberapa tingkatan. Keputusan-
keputusan tentang koherensi mungkin dipengaruhi oleh banyak
faktor yang tidak ada hubungannya, dan jika para analis cenderung
mendukung tipe-tipe penjelasan tertentu sebagai lebih koheren
daripada yang lain, maka mereka akan dibiaskan sesuai dengan
penjelasan-penjelasan tersebut.

A. Bias-Bias yang Sesuai dengan Penjelasan-Penjelasan


Kausal

Satu bias yang diakibatkan oleh pencarian koherensi merupa-


kan sebuah kecenderungan untuk mendukung penjelasan-penjelasan
kausal. Koherensi mengimplikasikan perintah, sehingga orang pada

226
dasarnya mengatur penelitian-penelitian ke dalam pola-pola dan
hubungan-hubungan yang regular. Jika tidak ada pola yang tampak,
pemikiran pertama kita adalah bahwa kita kekurangan pemaham-
an, bukan bahwa kita tengah menghadapi fenomena acak yang
tidak mempunyai tujuan atau nalar. Sebagai usaha terakhir, banyak
orang memperhubungkan yang terjadi bahwa mereka tidak bisa
memahami kehendak Tuhan atau takdir, yang agak seperti sudah
ditentukan sebelumnya; mereka menuntut pemikiran bahwa hasil itu
mungkin ditentukan oleh kekuatan yang berinteraksi dalam cara-cara
yang acak dan tidak bisa diprediksi. Orang umumnya tidak meneri-
ma gagasan kesempatan atau keacakan. Bahkan pemain dadu pun
menunjukkan reaksi seakan-akan mereka mendesakkan beberapa
kontrol atas hasil dari lemparan dadunya.2 Kelaziman kata “karena”
dalam bahasa sehari-hari merefleksikan kecenderungan manusia
untuk berusaha mengidentifikasi sebab-sebab.
Orang berharap memolakan peristiwa-peristiwa untuk tampak
berpola, dan peristiwa-peristiwa acak untuk tampak acak, tapi ini
bukan kasus seperti itu. Peristiwa-peristiwa acak sering kali tampak
berpola. Proses pelemparan sebuah koin secara acak selama enam
kali mungkin menghasilkan enam kepala yang berurutan. Dari 32
rangkaian yang memungkinkan yang merupakan hasil dari enam
kali lemparan, sedikit yang sebenarnya tampak “acak”.3 Ini karena
keacakan adalah sebuah properti dari proses yang menghasilkan
data yang diproduksi. Keacakan mungkin dalam beberapa kasus
didemonstrasikan oleh analisis (statistika) ilmiah. Namun, berbagai
peristiwa hampir tidak akan pernah dirasakan secara intuitif sebagai
bentuk acak; orang bisa mendapati sebuah pola yang tampak dalam
hampir sekumpulan data atau menciptakan sebuah kisah yang
koheren dari sekumpulan peristiwa.

2. Ellen J. Langer, “The Psychology of Chance,” Journal for the Theory of Social
Behavior, 7 (1977), hlm. 185-208.
3. Daniel Kahneman and Amos Tversky, “Subjective Probability: A Judgment of
Representativeness,” Cognitive Psychology, 3 (1972), hlm. 430-54.

227
Disebabkan karena sebuah kebutuhan untuk memaksakan
perintah pada lingkungan mereka, orang berusaha dan sering kali
percaya mereka menemukan sebab-sebab untuk apa yang sebenar-
nya merupakan fenomena acak. Selama Perang Dunia II, masyarakat
London (Londoners) memajukan sebuah ragam penjelasan kausal
untuk pola pengeboman Jerman. Penjelasan-penjelasan seperti itu
sering kali memandu keputusan-keputusan mereka tentang di mana
mereka akan hidup dan kapan mengungsi dalam tempat perlindung-
an dari serangan udara. Namun, pengujian paska perang menentukan
bahwa hujan serangan bom dekat dengan sebuah distribusi acak.4
Pasukan Jerman kiranya memaksudkan sebuah pola yang
berguna, tapi tujuan-tujuan berubah seiring dengan waktu dan
mereka tidak selalu bisa dicapai, sehingga hasil jaring itu adalah
sebuah pola serangan bom yang hampir acak. Masyarakat London
memfokuskan perhatian mereka pada beberapa kluster serangan yang
mendukung hipotesis mereka mengenai tujuan Jerman —bukan
pada banyak kasus yang bukan hal itu.
Beberapa penelitian dalam paleobiologi tampaknya mengilus-
trasikan kecenderungan yang sama. Sekelompok paleobiologis telah
mengembangkan sebuah program komputer untuk mensimulasi
perubahan-perubahan evolusioner dalam spesies-spesies binatang
sepanjang waktu. Tapi transisi dari satu periode waktu ke periode
waktu selanjutnya tidak ditentukan oleh seleksi alam atau bebera-
pa proses regular lainnya: mereka ditentukan oleh angka-angka acak
yang dihasilkan komputer. Pola-pola yang dihasilkan oleh program
ini serupa dengan pola-pola dalam alam yang para paleobiologis telah
coba pahami. Berbagai peristiwa evolusioner yang sifatnya hipote-
tis tampak, secara intuitif, mempunyai sebuah pola kuat yang pada
kenyataannya dihasilkan oleh proses acak.5

4. W. Feller, An Introduction to Probability Theory and Its Applications (3rd Edition;


New York: Wiley, 1968), hlm.. 160.
5. Gina Bari Kolata, “Paleobiology: Random Events over Geological Time,” Science,
189 (1975), hlm. 625-626.

228
Bahkan contoh lain dari penentuan penjelasan-penjelasan
kausal pada peristiwa-peristiwa acak diambil dari sebuah kajian
berhadapan dengan praktik-praktik penelitian para psikolog. Ketika
hasil-hasil eksperimental terdeviasi dari berbagai pengharapan, para
ilmuwan ini jarang yang menghubungkan deviasi tersebut dengan
varian dalam sampel. Mereka selalu mampu bangkit dengan sebuah
penjelasan kausal yang lebih persuasif terhadap ketidaksesuaian.6
B. F. Skinner bahkan mencatat fenomena serupa dalam hal
eksperimen-eksperimen dengan melakukan pengondisian terhadap
perilaku burung dara. Pola umum dari eksperimen ini adalah
bahwa sang burung dara diberikan pendorong positif, dalam bentuk
makanan, kapan pun mereka mematuk-matuk pengungkit yang
tepat pada waktu yang tepat. Untuk mendapatkan makanan secara
teratur, burung dara tersebut harus belajar mematuk-matuk dalam
suatu rangkaian tertentu. Skinner mendemonstrasikan bahwa burung
dara tersebut “belajar” dan mengikuti sebuah pola (yang Skinner
istilahkan dengan sebuah ketakhayulan) bahkan ketika makanan
sebenarnya disalurkan secara acak.7
Contoh ini menunjukkan bahwa dalam militer dan urusan
luar negeri, di mana pola-polanya menjadi sangat sulit dimengerti,
mungkin ada banyak peristiwa yang tidak ada penjelasan-penjelasan
kausalnya yang valid. Ini tentunya memengaruhi prediktabilitas peris-
tiwa-peristiwa tersebut dan menunjukkan batasan-batasan tentang
apa yang mungkin secara logis diharapkan para analis intelijen.

B. Bias Persepsi yang Didukung dari Arah yang


Tersentralisasi

Yang sangat serupa dengan bias terhadap penjelasan-penjelas-

6. Amos Tversky and Daniel Kahneman, “Belief in the Law of Small Numbers,”
Psychological Bulletin, 72, 2 (1971), hlm. 105-110.
7. B. F. Skinner, “Superstition in the Pigeon,” Journal of Experimental Psychology, 38
(1948), hlm. 168-172.

229
an kausal adalah sebuah kecenderungan untuk melihat aksi-aksi
pemerintahan (atau kelompok dari berbagai tipe) yang lain sebagai
hasil disengaja dari arah dan perencanaan yang tersentralisasi. “…
banyak orang pelan dalam merasakan suatu kebetulan, konsekuen-
si-konsekuensi yang tidak diharapkan, kejadian yang kebetulan, dan
sebab-sebab kecil yang mengarah pada efek-efek yang besar. Malahan,
aksi-aksi, rencana-rencana, dan konspirasi-konspirasi yang terkoordi-
nasi pun terlihat.”8 Para analis menaksir terlalu tinggi terhadap aksi
negara-negara lain yang tengah mengejar berbagai kebijakan yang
koheren, rasional, dan memaksimalkan tujuan, karena ini membuat
penjelasannya menjadi lebih koheren, logis, dan rasional. Bias ini
juga mengarahkan analis dan para pembuat kebijakan yang serupa
untuk menaksir terlalu tinggi prediktabilitas peristiwa-peristiwa masa
depan di negara-negara lain.
Para analis tahu bahwa akibat-akibatnya sering kali disebabkan
oleh kecelakaan, blunder, kejadian yang kebetulan, konsekuen-
si yang tidak diinginkan dari kebijakan yang sudah ditentukan
dengan baik, perintah eksekusi yang tidak tepat, tawar-menawar di
antara entitas birokratis semi-independen, atau mengikuti standar
pengoperasian prosedur di bawah lingkungan yang tidak tepat.9 Tapi
sebuah fokus terhadap sebab-sebab seperti itu mengimplikasikan
sebuah dunia yang tidak teratur di mana hasil-hasilnya ditentukan
lebih oleh kesempatan daripada tujuan. Karena itu, sangatlah sulit
menggabungkan unsur-unsur acak dan biasanya tidak bisa dipredik-
sikan ini ke dalam narasi yang koheren, karena bukti-bukti jarang
tersedia untuk mendokumentasikannya atas dasar urutan waktu.
Itu hanyalah dalam perspektif sejarah, setelah memori ditulis dan
dokumen-dokumen pemerintahan dikeluarkan, cerita lengkapnya
pun menjadi tersedia.

8. Robert Jervis, Perception and Misperception in International Politics (Princeton,


NJ: Princeton University Press, 1976), hlm. 320.
9. For many historical examples, see Jervis, ibid., p. 321-23.

230
Bias ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting. Asumsi-
kan bahwa aksi pemerintahan asing menghasilkan sebuah rencana
yang disusun secara logis dan terpusat yang mengarahkan seorang
analis untuk:
• Mempunyai pengharapan-pengharapan berkenaan dengan
aksi-aksi pemerintahan yang mungkin tidak terpenuhi jika
perilakunya benar-benar merupakan produk penggantian atau
nilai-nilai yang tidak konsisten, tawar-menawar birokratis,
atau kebingungan dan blunder belaka.
• Menggambarkan kesimpulan yang berdaya jangkau jauh, tapi
mungkin tidak berdasar dari statemen-statemen atau aksi-aksi
terisolasi oleh pejabat pemerintahan yang mungkin bertindak
atas diri mereka sendiri daripada atas arahan pusat.
• Menaksir terlalu tinggi kemampuan Amerika Serikat untuk
memengaruhi aksi-aksi pemerintahan yang lain.
• Merasakan kebijakan-kebijakan tidak konsisten sebagai akibat
dari sikap bermuka dua dan manuver Machiavelian, daripada
sebagai akibat dari produk kepemimpinan yang lemah,
kebimbangan, atau tawar-menawar di antara kepentingan-
kepentingan birokratis atau politik yang bermacam-macam.

C. Keserupaan Sebab dan Akibat

Ketika analisis kovariasi yang sistematis dan beberapa penjelasan


kausal alternatif tampak memungkinkan, satu aturan inti yang orang
gunakan untuk membuat keputusan sebab-akibat adalah memper-
timbangkan keserupaan di antara sifat sebab dan sifat akibat. Segala
properti sebab “…diduga atas dasar kesesuaiannya dengan atau
keserupaannya dengan berbagai properti akibat.”10 Hal-hal yang berat
membuat bunyi yang besar juga; hal yang cantik bergerak dengan

10. Harold H. Kelley, “The Processes of Causal Attribution,” American Psychologist


(February 1973), hlm. 121.

231
cantik pula; binatang besar meninggalkan jejak kaki yang besar juga.
Ketika menghadapi properti-properti fisik, kesimpulan-kesimpulan
seperti itu umumnya adalah benar.
Namun, orang cenderung bernalar dalam cara yang sama di
bawah lingkungan-lingkungan ketika kesimpulan ini tidak valid.
Jadi, para analis cenderung mengasumsikan bahwa berbagai peristi-
wa ekonomi mempunyai sebab-sebab ekonomis yang utama, bahwa
peristiwa-peristiwa besar mempunyai konsekuensi-konsekuensi
yang penting, dan peristiwa-peristiwa kecil tidak bisa memengaru-
hi jalannya sejarah. Kesesuaian di antara sebab dan akibat seperti itu
membuat sebuah narasi yang lebih logis dan persuasif —yang lebih
koheren—, tapi ada sedikit dasar bagi pengharapan akan kesimpul-
an seperti itu untuk sesuai dengan fakta sejarah.
Fischer melabelkan asumsi bahwa sebuah sebab harus agak
mirip dengan akibat “kesalahan identitas”nya,11 dan dia menyebut-
kannya dengan mengajukan contoh historiografi dari Armada
Spanyol. Selama satu periode berabad-abad yang lalu, sejarawan
mencatat pentingnya konsekuensi penaklukan Inggris atas Armada
Spanyol pada tahun 1588. Setelah menyangkal masing-masing dari
argumen ini, Fischer mencatat:
Singkatnya, tampak bahwa penaklukan Armada Spanyol
tersebut, yang sangat kuat dan melodramatis kelihatannya,
mungkin sungguh merupakan hasil yang kering. Penakluk-
annya mungkin disebabkan oleh hal kecil, kecuali kekacauan
strategi Spanyol yang dikirimkan kepadanya dengan caranya.
Keputusan itu pasti menyiksa insting para patriotik dari
setiap orang Inggris dan sensibilitas estetis dari kita semua.
Kita pikir, sebuah peristiwa besar harusnya mempunyai hasil
yang besar juga.12

Kecenderungan untuk menalar sesuai dengan keserupaan sebab


dan akibat sering kali ditemukan dalam hubungannya dengan bias-
11. David Hackett Fischer, Historian’s Fallacies (New York: Harper Torchbooks,
1970), hlm. 177.
12. Ibid., hlm. 167.

232
bias tercatat sebelumnya menuju pengambilan kesimpulan dengan
arah yang tersentralisasi. Bersamaan dengan itu, mereka menjelas-
kan kepersuasifan teori-teori konspirasinya. Teori-teori semacam itu
diminta menjelaskan sebab-sebab besar yang mana tidak ada yang
tampak sebaliknya bagi sebab-sebab besar yang sesuai. Misalnya,
tampak “…menghina bahwa seorang figur bujang, menyedihkan,
dan lemah seperti Lee Harvey Oswald harus mengubah sejarah
dunia.”13 Karena motif yang diakui bagi pembunuhan John F.
Kennedy begitu tidak serupa dari akibat yang telah diduga-jelaskan,
dalam pikiran banyak orang ia gagal mempertemukan kriteria dari
sebuah penjelasan naratif yang koheren. Jika sebab-sebab “kecil”
seperti itu dianggap sebagai kesalahan, kecelakaan, atau perilaku yang
menyimpang dari kebiasaan dari seorang individu yang mempunyai
pengaruh yang besar, maka implikasi yang mengikuti peristiwa-
peristiwa utama itu terjadi untuk alasan-alasan yang kurang berarti
dan acak daripada dengan arah yang punya maksud tertentu.
Analis intelijen lebih terekspos daripada kebanyakan orang
untuk memperkeras bukti dari alur-alur, kudeta-kudeta, dan konspi-
rasi-konspirasi yang nyata di arena internasional. Meskipun—atau
mungkin disebabkan olehnya— banyak dari para analis intelijen
yang tidak mudah untuk mendapatkan apa yang umumnya diakui
sebagai teori-teori konspirasi. Meskipun para analis mungkin tidak
menunjukkan bias ini dalam bentuk yang ekstrem seperti itu, namun
bias tersebut agaknya memengaruhi keputusan-keputusan analitis
dalam cara yang sedikit banyak. Dalam menguji hubungan-hubung-
an kausal, para analis umumnya mengonstruksi berbagai penjelasan
kausal yang agak sepadan dengan besarnya akibat mereka dan
peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan tujuan manusia atau
kekuatan yang bisa diprediksi daripada dengan kelemahan manusia,
kebingungan, atau berbagai konsekuensi yang tidak diharapkan.

13. Richard E. Nisbett and Timothy DeC. Wilson, “Telling More Than We Can
Know: Verbal Reports on Mental Processes,” Psychological Review (May 1977),
hlm. 252.

233
D. Sebab-Sebab Perilaku Internal vs Eksternal

Banyak penelitian yang meneliti tentang bagaimana orang


menaksir sebab-sebab perilaku yang memainkan sebuah dikoto-
mi dasar di antara berbagai determinan internal dan determinan
eksternal dari aksi manusia. Sebab-sebab perilaku internal mencakup
berbagai perilaku, keyakinan, dan kepribadian seseorang. Sedangkan
sebab-sebab eksternal mencakup berbagai insentif dan ketidaklelua-
saan, syarat-syarat peran, tekanan sosial, atau kekuatan-kekuatan
lain yang membuat individu mempunyai sedikit kontrol. Peneliti-
an menguji lingkungan-lingkungan di mana orang menghubungkan
perilaku baik kepada disposisi stabil sang aktor atau pun karakteris-
tik situasi yang sang aktor tanggapi.
Perbedaan dalam keputusan tentang apa yang menjadi sebab
munculnya perilaku orang atau pemerintahan lain akan memeng-
aruhi bagaimana orang menanggapi perilaku tersebut. Bagaimana
orang menanggapi aksi-aksi yang bersahabat atau yang tidak bersaha-
bat dengan orang lain mungkin benar-benar berbeda jika mereka
menghubungkan perilaku tersebut kepada sifat dasar orang atau
pemerintahan tersebut daripada jika mereka melihat perilaku itu
sebagai akibat dari batasan-batasan situasional yang mana orang atau
pemerintahan itu mempunyai sedikit pengawasan.
Kesalahan fundamental yang tercipta dalam memutuskan
sebab-sebab perilaku adalah menaksir terlalu tinggi peran faktor-
faktor internal dan mengabaikan peran faktor-faktor eksternal.
Ketika meneliti perilaku orang lain, orang terlalu cenderung untuk
mengambil kesimpulan bahwa perilaku itu disebabkan oleh sifat
pribadi atau watak yang kasar dari orang lain dan berharap bahwa
sifat dasar inheren yang sama ini akan menentukan perilaku sang
aktor di bawah lingkungan yang lain. Tidak cukup bobot yang
ditetapkan bagi lingkungan eksternal yang mungkin memengaruhi
pilihan perilaku orang lain tersebut. Kecenderungan pervasif ini telah
didemonstrasikan dalam banyak eksperimen di bawah lingkungan

234
yang sangat berbeda14 dan sering kali diteliti dalam interaksi diploma-
tik dan militer.15
Kerentanan terhadap pertalian kausalitas yang terbiaskan ini
tergantung pada apakah orang tersebut menguji perilaku mereka
sendiri atau meneliti perilaku orang lain. Itulah perilaku orang
lain yang orang cenderung perhubungkan dengan sifat dasar sang
aktor, sedangkan mereka melihat perilaku mereka sendiri seperti
yang terkondisikan hampir seluruhnya oleh situasi di mana mereka
mendapati diri mereka sendiri. Perbedaan ini diterangkan secara luas
oleh perbedaan dalam informasi yang tersedia bagi para aktor dan
peneliti. Orang tahu lebih banyak tentang diri mereka sendiri.
Sang aktor sendiri mempunyai sebuah kesadaran yang teperin-
ci tentang sejarah aksi-aksinya di bawah lingkungan yang serupa.
Dalam memperkirakan sebab-sebab perilaku kita sendiri, kita
kemungkinan mempertimbangkan perilaku kita yang sebelumnya
dan fokus pada bagaimana ia dipengaruhi oleh situasi-situasi yang
berbeda. Jadi, variabel-variabel situasional menjadi dasar untuk
menjelaskan perilaku kita sendiri. Ini kontras dengan peneliti, yang
secara khusus kekurangan pengetahuan teperinci ini tentang perilaku
masa lalu orang lain. Peneliti cenderung untuk fokus pada bagaimana
perilaku orang lain diperbandingkan dengan perilaku orang lain di
bawah lingkungan yang serupa.16 Perbedaan dalam jenis dan jumlah
informasi yang tersedia bagi sang aktor dan peneliti dipergunakan
oleh pemerintah dan juga rakyat.
Keterlibatan personal sang aktor dengan aksi-aksi yang diteli-
ti memperluas kemungkinan adanya bias. “Di mana peneliti juga
merupakan seorang aktor, dia kemungkinan membesar-besarkan
keunikan dan menekankan sumber-sumber respons disposisional
14. Lee Ross, “The Intuitive Psychologist and his Shortcomings: Distortions in the
Attribution Process,” in Leonard Berkowitz, ed., Advances in Experimental Social
Psychology, Volume 10 (New York: Academic Press, 1977), hlm. 184.
15. Jervis, ibid., Chapter 2.
16. Edward E. Jones, “How Do People Perceive the Causes of Behavior?” American
Scientist, 64 (1976), hlm. 301.

235
dari orang lain untuk aksi-aksinya sendiri.”17 Ini karena peneli-
ti mengasumsikan aksi-aksinya yang tidak provokatif, yang jelas
dipahami oleh aktor yang lain, dan didesain dengan baik untuk
mendapatkan respons yang diharapkan. Malahan, seorang peneliti
berinteraksi dengan aktor lain yang melihat dirinya sendiri sebagai
penentuan situasi terhadap tanggapan aktor yang lain tersebut. Ketika
sang aktor tidak menanggapi seperti yang diharapkan, kesimpulan
logisnya adalah bahwa respons itu disebabkan oleh sifat dasar sang
aktor daripada oleh hakikat situasi tersebut.
Para analis intelijen sangat akrab dengan masalah pertimbang-
an internal versus sebab-sebab perilaku eksternal dalam sejumlah
konteks. Ketika seorang pemimpin baru menerima kontrol terhadap
pemerintahan asing, para analis kemungkinan memperkirakan
dampak kepemimpinan yang berubah pada kebijakan pemerintah-
an. Misalnya, akankah mantan Menteri Pertahanan yang menjadi
Perdana Menteri terus mendesak untuk meningkatkan anggaran
pertahanan? Para analis mempertimbangkan berbagai kecenderung-
an yang diketahui dari sang Perdana Menteri baru tersebut, yang
didasarkan pada prestasi dalam posisi sebelumnya, terhadap syarat-
syarat situasi yang membatasi pilihan-pilihan yang tersedia. Jika
informasi yang tersedia relatif lengkap pada batasan-batasan situasio-
nal, sang analis mungkin membuat sebuah keputusan akurat tentang
pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Dengan kekurangan informasi
seperti itu, mereka cenderung berbuat salah pada sisi penerimaan
bahwa kecenderungan personal individu akan mendorong keberlang-
sungan perilaku masa lalu.
Pertimbangkan invasi Soviet terhadap Afghanistan. Persepsi
Soviet terhadap perilaku mereka sendiri tentulah sangat berbeda dari
persepsi Amerika. Teori perhubungan sebab-akibat menunjukkan
bahwa para pemimpin Soviet akan melihat invasi itu sebagai reaksi

17. Daniel Heradstveit, The Arab-Israeli Conflict: Psychological Obstacles to Peace


(Oslo: Universitetsforlaget, 1979), hlm. 25.

236
terhadap situasi di Asia Selatan pada waktu itu, seperti ancaman
nasionalisme Islam yang meluas dari Iran dan Afghanitan sampai
Uni Soviet. Selanjutnya, mereka akan merasakan kegagalan Amerika
Serikat (AS) untuk memahami kepentingan-kepentingan nasional
mereka yang “sah” sebagai yang disebabkan oleh permusuhan AS
yang fundamental.18
Sebaliknya, para peneliti invasi Soviet akan cenderung memper-
hubungkannya dengan sifat dasar rezim Soviet yang memang
aggresif dan ekspansionis. Ketidaksukaan Uni Soviet dan kurang-
nya informasi terhadap batasan-batasan situasional seperti yang
dirasakan oleh bangsa Soviet sendiri kemungkinan akan memper-
buruk bias-bias atribusional.19 Selanjutnya, untuk tingkatan bahwa
bias-bias ini berasal dari pengetahuan yang tidak mencukupi terhadap
tekanan-tekanan dan batasan-batasan situasional, orang mungkin
berharap para pembuat kebijakan yang bukan ahli tentang Soviet
untuk mempunyai sebuah bias yang lebih kuat dibandingkan para
analis yang mengkhususkan diri pada Uni Soviet. Dengan basis
informasi yang lebih besar terhadap variabel-variabel situasi, orang

18. Lihat Richards J. Heuer, Jr., “Analyzing the Soviet Invasion of Afghanistan:
Hypotheses from Causal Attribution Theory,” Studies in Comparative Communism,
Winter 1980. Komentar yang berkenaan dengan invasi Soviet terhadap
Afghanistan ini didasarkan semata-mata pada hasil dari penelitian psikologis,
bukan pada informasi mengenai aksi-aksi Soviet pada Afghanistan atau reaksi
Amerika Serikat terhadap hal itu. Hakikat generalisasi mengenai bagaimana
orang secara normal memproses informasi adalah bahwa mereka menggunakan
“kurang atau lebih” untuk banyak kasus, tapi mungkin tidak menawarkan
sebuah kesesuaian sempurna bagi hal yang tunggal. Ada banyak faktor lain yang
jelas-jelas memengaruhi analisis terhadap tindakan Soviet, termasuk berbagai
prakonsepsi mengenai kekuatan yang mengendalikan di belakang kebijakan
Soviet. Maksudnya adalah mengilustrasikan relevansi penelitian psikologis pada
proses analitis, bukan memperdebatkan manfaat berbagai interpretasi alternatif
terhadap kebijakan Soviet. Jadi, saya mempersilakan pembaca untuk memutuskan
seberapa banyak interpretasinya mengenai invasi Soviet terhadap Afghanistan
yang mungkin dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan atribusional ini.
19. Edward Jones and Richard Nisbett, “The Actor and the Observer: Divergent
Perceptions of Their Behavior,” in Edward Jones et al., Attribution: Perceiving the
Causes of Behavior (New Jersey: General Learning Press, 1971), hlm. 93.

237
yang spesialis tersebut mungkin mampu dengan lebih baik dalam
mempertimbangkan variabel-variabel ini.
Para spesialis pada peristiwa itu menjadi begitu terbenam pada
urusan negara yang mereka analisis sehingga mereka mulai mengira-
ngira perspektif —dan bias-bias— dari pemimpin negara tersebut.
Selama Perang Dingin, ada sebuah perbedaan yang persisten antara
spesialis CIA dalam perkara Soviet dengan spesialis dalam perkara
China ketika berhadapan dengan relasi Sino-Soviet. Selama bentur-
an-benturan perbatasan pada tahun 1969, misalnya, para spesialis
tentang USSR berpendapat bahwa China tengah “provokatif”. Para
spesialis ini cenderung menerima versi rezim Soviet mengenai sejarah
dan penjajaran perbatasan tersebut. Para spesialis dalam perkara
China cenderung mengambil pandangan yang berlawanan —yaitu,
bahwa Rusia yang arogan tengah menunjukkan reaksi seperti yang
sering bangsa Rusia lakukan, ketika China hanya bereaksi terhadap
kecongkakan Soviet yang tinggi.20 Dengan kata lain, para analis
mengasumsikan perspektif bias yang sama seperti para pemimpin
negara yang menjadi garapan dan yang paling banyak mereka
ketahui. Sebuah laporan hubungan sebab-akibat yang objektif
mungkin ada di mana pun di antara dua posisi ini.
Negosiasi damai Mesir-Israel pada tahun 1978-1979 menawar-
kan contoh lain tentang bias yang tampak dalam pertalian
sebab-akibat. Dalam kata-kata salah satu peneliti pada waktu itu:
Mesir menghubungkan kehendak mereka untuk menanda-
tangani sebuah perjanjian dengan Israel sebagai bagian dari
kemungkinan inheren bagi terciptanya perdamaian; sedang-
kan Israel menjelaskan kehendak Mesir untuk membuat
perdamaian sebagai akibat dari memburuknya ekonomi
mereka dan sebuah pertumbuhan kesadaran akan superi-
oritas militer Israel. Di sisi lain, Israel menghubungkan
orientasi mereka sendiri untuk mendapatkan akomodasi
sebagai bagian dari pilihan mutakhir mereka untuk mencip-
takan perdamaian. Namun, Mesir menjelaskan kompromi

20. Didasarkan pada diskusi personal dengan analis CIA.

238
Israel mengenai, misalnya, Sinai, sebagai akibat dari tekanan
eksternal seperti rangsangan positif dan ancaman akan
sanksi negatif dari Amerika Serikat. Selain itu, sebagian
rakyat Mesir menghubungkan perilaku Israel yang tidak bisa
dimaafkan, seperti pembentukan pemukiman Yahudi di Tepi
Barat Sungai Yordan, sebagai bagian dari ekspansionisme
Zionis. Jika Israel tidak menempatkan pemukiman dalam
kawasan tersebut, bangsa Mesir mungkin mempertimbang-
kan perilaku yang bisa diharapkan seperti itu sebagai bagian
dari batasan-batasan eksternal, seperti penghukuman Barat
terhadap pemukiman tersebut. Israel, di sisi lain menjelaskan
perilaku yang tidak berkenan, seperti kecenderungan masa
lalu Mesir terhadap persoalan ancaman untuk menggiring
mereka ke lautan, sebagai akibat dari perlawanan inheren
Mesir terhadap negara Yahudi di Timur Tengah. Ketika
Mesir berhenti membuat ancaman seperti itu, Israel menghu-
bungkan perilaku berkenaan ini sebagai hasil dari lingkungan
eksternal, seperti superioritas militer relatif Israel.21

Kecenderungan persisten untuk menghubungkan sebab dan


akibat dalam cara ini bukanlah konsekuensi kepentingan diri atau
propaganda oleh sisi yang berlawanan. Agaknya, sudah siap bisa
dipahami dan diprediksi hasilnya tentang bagaimana orang menghu-
bungkan kausalitas secara normal di bawah banyak lingkungan yang
berbeda.
Sebagai sebuah aturan umum, perhubungan terbiaskan dari
kausalitas tersebut membantu menyebarkan benih-benih ketidak-
percayaan dan kesalahpahaman di antara orang dan di antara
pemerintahan. Kita cenderung benar-benar mempunyai persep-
si yang berbeda dengan sebab-sebab dari masing-masing perilaku
orang lain.

21. Raymond Tanter, “Bounded Rationality and Decision Aids,” esai yang
dipersiapkan untuk seminar the Strategies of Conflict, Mont Pelerin, Switzerland,
11-16 May 1980.

239
E. Membanggakan Pentingnya Diri Kita Sendiri

Individu-individu dan pemerintah-pemerintah cenderung


membanggakan diri dalam hal keberhasilan mereka memengaruhi
perilaku yang lain.22 Ini adalah sebuah pengecualian bagi generali-
sasi yang tercatat sebelumnya bahwa para peneliti menghubungkan
perilaku kepada orang lain terhadap sifat dasar sang aktor. Itu terjadi
secara luas, karena seseorang sudah begitu familiar dengan usaha-
usahanya sendiri untuk memengaruhi orang lain, tapi banyak yang
kurang terinformasikan dengan baik tentang faktor-faktor lain yang
mungkin dipengaruhi keputusan orang lain.
Dalam memperkirakan pengaruh kebijakan Amerika Serikat
terhadap aksi-aksi pemerintahan yang lain, para analis lebih sering,
daripada tidak, mampu mengetahui berbagai aksi Amerika Serikat
dan apa tujuan yang ingin mereka capai, tapi dalam banyak hal
mereka akan kurang terinformasikan dengan baik mengenai proses-
proses internal, tekanan-tekanan politik, konflik-konflik kebijakan,
dan berbagai pengaruh lain mengenai keputusan pemerintahan
target.
Bias ini mungkin memainkan sebuah peran dalam kegagal-
an Amerika Serikat untuk mengantisipasi ujicoba senjata nuklir
India meskipun pemerintahan India yang baru dipilih sebagian
telah menjanjikan akan menambah senjata nuklir bagi persenjataan
militer India. Banyak analis intelijen Amerika Serikat yang tampak-
nya mengabaikan janji-janji itu sebagai retorika kampanye, percaya
bahwa India akan diminta jangan berbuat sesuatu setelah menjadi
anggota klub nuklir dengan sanksi ekonomi dan tekanan diplomatik.
Para analis membanggakan kemampuan kebijakan Amerika Serikat
untuk memengaruhi keputusan-keputusan India.
Ketika aksi negara-negara lain konsisten dengan keinginan
Amerika Serikat, penjelasan yang paling jelas, dalam ketiadaan bukti

22. Bagian yang menggambarkan dengan sangat tuntas terhadap Jervis, Bab 9.

240
yang kuat untuk yang sebaliknya, adalah bahwa kebijakan Amerika
Serikat secara efektif memengaruhi keputusan tersebut.23 Sebalik-
nya, ketika negara lain menunjukkan reaksi dengan cara yang tidak
diharapkan, ini biasanya dihubungkan dengan faktor-faktor yang
melebihi kontrol Amerika Serikat. Orang dan pemerintahan jarang
mempertimbangkan kemungkinan bahwa aksi-aksi mereka telah
menimbulkan konsekuensi yang tidak diharapkan. Mereka berasum-
si bahwa maksud-maksud mereka telah dirasakan dengan benar dan
bahwa aksi-aksi itu akan mempunyai efek yang diharapkan kecuali
kalau difrustrasikan oleh sebab-sebab eksternal.
Banyak survei dan eksperimen laboratorium yang telah
menunjukkan bahwa orang umumnya merasakan aksi-aksi mereka
sendiri sebagai sebab dari kesuksesan mereka, tapi bukan dari kegagal-
an mereka. Ketika anak atau siswa atau pekerja bekerja dengan baik,
orangtua, guru, dan pengawas mereka setidaknya akan memberi-
kan bagian penghargaan mereka; ketika mereka melakukannya
dengan tidak baik, mentor mereka jarang yang mengambil kesalah-
an. Kandidat yang sukses untuk Kongres umumnya percaya bahwa
perilaku mereka sangat berkontribusi bagi kemenangan mereka,
ketika kesalahan kandidat yang berhasil itu menaklukkan faktor-
faktor yang melebihi kontrol mereka.
Contoh yang lain adalah memukul dada yang sebagian orang
Amerika lakukan setelah kejatuhan Uni Soviet. Menurut sebagi-
an orang, kematian Uni Soviet (USSR) disebabkan oleh kebijakan
Amerika Serikat yang kuat, seperti meningkatkan pengeluaran
pertahanan dan Inisiatif Pertahanan Strategis, yang menyebab-
kan para pemimpin Soviet menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi
bersaing dengan Amerika Serikat. Media berita Amerika Serikat
memainkan teorinya selama beberapa pekan, mewawancarai banyak
orang —sebagian ahli, sebagian tidak— tentang mengapa Uni Soviet

23. Ia mengikuti penalaran yang sama yang mungkin kita meremehkan berbagai
konsekuensi aksi-aksi kita terhadap bangsa-bangsa yang tidak menjadi target
yang diharapkan dari pengaruh kita.

241
runtuh. Siswa yang paling serius memahami bahwa ada banyak alasan
mengapa Soviet runtuh, yang paling penting adalah masalah-masalah
internal yang disebabkan oleh sifat dasar sistem Soviet sendiri.
Orang dan pemerintah juga cenderung membanggakan pen-
tingnya diri mereka sebagai target aksi-aksi orang lain. Mereka sensitif
dengan dampak aksi-aksi orang lain yang menimpa mereka, dan
mereka umumnya berasumsi bahwa orang dan pemerintahan itu
bermaksud melakukan apa yang mereka lakukan dan tujuan terse-
but mempunyai pengaruh seperti apa yang mereka pikirkan. Mereka
sangat tidak menyadari terhadap, dan akibatnya cenderung meng-
anggap remeh pentingnya, sebab-sebab atau akibat-akibat lain dari
aksi tersebut.
Dalam menganalisis alasan-alasan mengapa orang lain bertin-
dak dengan cara yang mereka lakukan, akan menjadi lazim jika
bertanya, “Apa tujuan yang ingin dikejar oleh orang atau pemerin-
tah tersebut?” Tapi, tujuan-tujuan umumnya diduga dari akibat
perilaku, dan akibat-akibat yang paling terkenal dan sering kali
tampak sangat penting adalah akibat-akibat atas diri kita sendiri.
Jadi, aksi-aksi yang menyakiti kita umumnya diterjemahkan sebagai
ekspresi-ekspresi permusuhan disengaja yang diarahkan pada diri
kita. Tentunya, ini sering kali menjadi sebuah interpretasi yang
akurat, tapi orang kadang-kadang gagal untuk mengakui bahwa
aksi-aksi yang tampak diarahkan pada mereka sebenarnya merupa-
kan konsekuensi dari keputusan-keputusan yang tidak disengaja yang
dibuat untuk alasan-alasan lain.

F. Korelasi yang Dibuat-buat

Pada awal bab ini, kovariasi dinyatakan sebagai satu basis bagi
pengambilan kausalitas. Dinyatakan bahwa kovariasi mungkin bisa
diteliti secara intuitif atau pun diukur secara statistik. Bagian ini
menguji sejumlah persepsi kovariasi intuitif yang menyimpang dari
ukuran kovariasi yang sifatnya statistik.

242
Ukuran kovariasi yang sifatnya statistik dikenal sebagai korelasi.
Dua peristiwa dikorelasikan ketika eksistensi satu peristiwa menyirat-
kan eksistensi peristiwa yang lain. Variabel-variabel dikorelasikan
ketika sebuah perubahan dalam satu variabel menyiratkan satu kadar
perubahan yang serupa dengan yang lain. Korelasi sendiri tidak
perlu menyiratkan yang menjadi penyebab. Misalnya, dua peristi-
wa mungkin terjadi bersama, karena mereka mempunyai sebab yang
umum, daripada karena satu peristiwa menyebabkan peristiwa yang
lain. Tapi, ketika dua peristiwa atau perubahan terjadi bersamaan,
dan rangkaian waktu peristiwa yang satu selalu mengikuti peristiwa
yang lain, maka orang sering kali berpendapat bahwa yang pertama
menyebabkan yang kedua. Jadi, persepsi korelasi yang tidak akurat
mengarah pada persepsi sebab dan akibat yang tidak akurat pula.
Keputusan tentang korelasi adalah fundamental bagi semua
analisis intelijen. Misalnya, asumsi bahwa kondisi ekonomi yang
semakin memburuk mengarah pada meningkatnya dukungan politik
bagi partai oposisi, bahwa masalah-masalah domestik mungkin
mengakibatkan terjadinya petualangan asing, bahwa pemerintah-
an militer mengarah pada kusutnya institusi demokrasi, atau bahwa
berbagai negosiasi lebih berhasil ketika dilakukan dari sebuah posisi
kekuatan yang semuanya didasarkan pada keputusan-keputusan
korelasi intuitif di antara variabel-variabel ini. Dalam banyak kasus,
asumsi-asumsi ini adalah benar, tapi mereka jarang yang diujicoba
oleh penelitian sistematis dan analisis statistik.
Banyak analisis intelijen yang didasarkan pada asumsi-asumsi
umum tentang bagaimana orang dan pemerintahan berjalan secara
normal. Masalahnya adalah bahwa orang memiliki sebuah fasili-
tas yang besar untuk memohonkan “hukum” yang bertentangan
dengan perilaku untuk menjelaskan, memprediksi, atau membenar-
kan aksi-aksi berbeda yang terjadi di bawah lingkungan yang serupa.
“Kegopohan menciptakan pemborosan” dan “Dia yang ragu akan
kehilangan” menjadi contoh penjelasan-penjelasan dan peringatan
yang tidak konsisten. Pernyataan tersebut menciptakan pengerti-
243
an yang besar ketika digunakan sendiri dan membuat kita melihat
ketololan ketika dihadirkan bersama. Dengan cara yang sama,
ungkapan “Ketenangan mengundang agresi” dan “Persetujuan
didasarkan pada kompromi” merupakan ekspresi-ekspresi yang juga
bertentangan.
Ketika dikonfrontasikan dengan kontradiksi-kontradiksi yang
jelas seperti itu, pertahanan alamiahnya adalah bahwa “itu semua
tergantung pada…”. Mengenali kebutuhan untuk mengubah
pernyataan-pernyataan seperti itu menjadi salah satu perbedaan di
antara pemrosesan informasi bawah sadar dengan analisis sistematis
dan sadar diri. Analisis yang bisa diketahui mungkin diidentifi-
kasi oleh kemampuan untuk mengisi kualifikasi tersebut; analisis
yang saksama dengan menggunakan frekuensi bersama daya ingat
seseorang untuk melakukan hal yang seperti itu.24
Korelasi yang dibuat-buat terjadi ketika orang merasakan suatu
hubungan yang kenyataannya tidak ada. Dalam melihat serang-
kaian kasus, tampak bahwa orang sering kali fokus pada hal-hal
yang mendukung eksistensi suatu hubungan, tapi mengabaikan
kasus-kasus yang gagal mendukungnya. Beberapa eksperimen telah
mendemonstrasikan bahwa orang tidak mempunyai suatu pemaham-
an intuitif tentang informasi apa yang benar-benar dibutuhkan untuk
menaksir hubungan di antara dua peristiwa atau dua variabel. Di
sana, tidak tampak apa pun dalam pemahaman intuitif seseorang
yang sesuai dengan konsep korelasi yang sifatnya statistik.
Perawat diuji kemampuan mereka untuk belajar melalui
pengalaman agar bisa mempertimbangkan hubungan, atau korelasi,
antara suatu gejala dan mendiagnosis penyakit.25 Perawat masing-

24. Paragraf ini menggambarkan dengan sangat tuntas dari gagasan dan fraseologi
Baruch Fischhoff, “For Those Condemned to Study the Past: Reflections on
Historical Judgment,” dalam R. A. Shweder and D. W. Fiske, eds., New Directions
for Methodology of Behavioral Science: Fallible Judgment in Behavioral Research
(San Francisco: Jossey-Bass, 1980).
25. Jan Smedslund, “The Concept of Correlation in Adults,” Scandinavian Journal of
Psychology, Vol. 4 (1963), hlm. 165-73.

244
masing diperlihatkan 100 kartu; setiap kartu pura-pura mewakili
satu pasien. Kartu-kartu itu mempunyai satu baris dengan empat
huruf di atas yang merepresentasikan berbagai gejala dan baris yang
lain dengan empat huruf di bagian bawah yang merepresentasi-
kan diagnosis. Perawat diinstruksikan untuk fokus pada hanya satu
huruf (A) yang merepresentasikan satu gejala dan satu huruf (F)
yang merepresentasikan satu diagnosis, dan kemudian memutus-
kan apakah gejala A bisa dihubungkan dengan diagnosis F. Dengan
kata lain, atas dasar pengalaman dengan 100 “pasien” ini, apakah
kehadiran gejala A membantu mendiagnosis kehadiran penyakit F?
Eksperimen tersebut berjalan beberapa kali dengan menggunakan
tingkat hubungan yang berbeda di antara A dan F.
Posisikan diri Anda secara singkat dalam posisi sebagai subjek
tes. Anda mengambil kartu-kartu itu dan memerhatikan sekitar 25
kartu, atau seperempat dari kasus tersebut, gejala dan penyakit, A
dan F, keduanya dihadirkan. Akankah Anda berkata bahwa ada
suatu hubungan di antara keduanya? Mengapa? Apakah tepat untuk
membuat suatu keputusan semata-mata atas dasar frekuensi kasus
yang mendukung hipotesis dari suatu hubungan antara A dan F?
Hal lain apa yang Anda harus ketahui? Akankah ia membantu
mempunyai jumlah kasus yang di dalamnya gejala (A) dihadirkan
tanpa penyakit (F)? Mari kita katakan ini adalah benar pada 25 kartu,
sehingga di luar 100 kartu, 50 mempunyai A dan 25 dari kartu-kartu
tersebut dengan A juga mempunyai F. Dengan kata lain, penyakit
hadir dalam separo kasus di mana gejala itu diteliti. Apakah ini sudah
cukup untuk membentuk suatu hubungan, ataukah ia juga perlu
tahu sejumlah waktu di mana penyakit ada tanpa gejala?
Sebenarnya, untuk menentukan eksistensi suatu hubungan
seperti itu, orang butuh informasi untuk mengisi seluruh empat
sel dari tabel kemungkinan 2 x 2. Gambar 16 menunjukkan tabel
seperti itu untuk satu tes yang berlangsung dari eksperimen ini.
Tabel tersebut menunjukkan jumlah kasus pasien yang masing-
masing mempunyai empat kombinasi gejala dan penyakit yang
245
mungkin terjadi.

Delapanbelas dari 19 subjek tes diberikan 100 kartu yang


merepresentasikan kombinasi partikular antara A dan F yang berpikir
setidaknya ada suatu hubungan yang lemah, dan beberapa pemikiran
bahwa di sana ada suatu hubungan yang kuat, ketika kenyataan-
nya tidak ada korelasi sama sekali. Lebih dari separo subjek tes yang
mendasarkan keputusan mereka semata-mata pada frekuensi kasus
yang di dalamnya A dan F hadir. Ini tampak pada sel kiri atas dari
tabel tersebut. Subjek-subjek ini tengah mencoba untuk menentu-
kan jika ada suatu hubungan antara A dan F. Ketika memeriksa
kartu-kartu tersebut, 25 persen dari kasus yang mereka lihat konsis-
ten dengan keyakinan bahwa gejala dan diagnosis sudah berkorelasi
secara sempurna; ini tampak menjadi sebuah banyak bukti untuk
mendukung hubungan yang terhipotesiskan. Kelompok subjek tes
lain yang lebih kecil agaknya menggunakan penalaran yang lebih
canggih. Mereka melihat jumlah total dari kasus A dan kemudi-
an mempertanyakan dalam seberapa banyak dari kasus F ini yang
juga hadir. Ini terlihat pada sisi kiri pada tabel dalam Gambar 16.
Sedangkan kelompok ketiga menuntut konsep dasar pembuatan
generalisasi statistik. Ketika diminta untuk menggambarkan penalar-
an, mereka berkata bahwa kadang sebuah hubungan hadir ketika
dalam kasus lain hubungan itu tidak terjadi.
Dari 86 subjek tes yang terlibat dalam beberapa proses eksperi-
men ini, tidak ada satu orang pun yang menunjukkan beberapa
pemahaman intuitif tentang konsep korelasi. Yaitu, tidak ada orang
246
yang memahami bahwa untuk membuat sebuah keputusan yang
tepat tentang eksistensi suatu hubungan, orang harus mempunyai
informasi pada empat sel dari tabel tersebut. Korelasi statistik dalam
bentuknya yang paling mendasar didasarkan pada rasio jumlah
frekuensi dalam sel diagonal dari tabel 2 x 2. Dengan kata lain,
keunggulan catatan sepanjang diagnonal merepresentasikan sebuah
hubungan statistika yang kuat di antara dua variabel.
Mari kita sekarang mempertimbangkan sebuah pertanyaan
serupa tentang korelasi mengenai sebuah topik kepentingan terhadap
analis intelijen. Apa itu karakteristik penipuan strategis dan bagaima-
na bisa sang analis mendeteksinya? Dalam mengkaji penipuan, salah
satu pertanyaan pentingnya adalah: apa yang berkorelasi dengan
penipuan? Secara historis, ketika analis mengkaji hal-hal tentang
penipuan, hal lain apa yang mereka lihat yang berlangsung dengan-
nya, yaitu yang dihubungkan dengan penipuan tersebut, dan yang
mungkin diterjemahkan sebagai sebuah indikator penipuan? Apakah
ada praktik-praktik tertentu yang berhubungan dengan penipu-
an, ataukah lingkungan-lingkungan di bawah penipuan mana yang
kemungkinan besar terjadi, yang mengizinkan orang berkata bahwa,
karena kita telah melihat x atau y atau z, ini kemungkinan besar
berarti sebuah rencana penipuan yang tengah berlangsung? Ini bisa
diperbandingkan dengan seorang dokter yang meneliti gejala-gejala
tertentu dan menyimpulkan bahwa sebuah penyakit tertentu tengah
bersarang. Ini pada dasarnya merupakan masalah korelasi. Jika orang
bisa mengidentifikasi beberapa korelasi penipuan, ini akan memban-
tu secara signifikan dalam usaha untuk mendeteksinya.
Hipotesis yang telah dimajukan kemungkinan besar terdapat
penipuan ketika taruhannya terlalu tinggi.26 Jika hipotesis ini adalah
benar, para analis harus waspada secara khusus pada penipuan
dalam hal yang seperti itu. Orang bisa menyatakan contoh-contoh

26. Robert Axelrod, “The Rational Timing of Surprise,” World Politics, XXXI
(January 1979), hlm. 228-246.

247
terkemuka untuk mendukung hipotesis, seperti Pearl Harbor,
pendaratan bangsa Normandia, dan invasi Jerman ke Uni Soviet. Ia
tampak seolah-olah hipotesis itu mempunyai dukungan yang patut
dipertimbangkan, yang tampak terlalu mudah untuk mengingat
contoh-contoh dengan situasi-situasi yang taruhannya tinggi di
mana penipuan telah berlangsung. Tapi, mempertimbangkan
apakah ia akan membuktikan secara empiris hubungan yang seperti
itu sebenarnya sudah ada. Gambar 17 menyediakan masalah dalam
bentuk tabel kemungkinan 2 x 2.

Barton Whaley meneliti 68 kasus yang mana rasa terkejut dan


penipuan ada dalam operasi militer strategis antara tahun1914 sam-
pai 1968.27 Mari kita asumsikan bahwa beberapa bentuk penipuan,
dan juga rasa terkejut, ada dalam semua 68 kasus dan meletakkan
angka ini dalam sel pada tabel sebelah kiri atas. Seberapa banyak
kasus yang ada dengan taruhan yang tinggi ketika penipuan tidak
digunakan? Itu memang sangat sulit untuk memikirkannya dan
untuk mendapatkan jawabannya; para peneliti jarang yang mau ber-
susah payah untuk mendokumentasikan kasus-kasus negatif, ketika
sesuatu tidak terjadi. Untungnya, Whaley membuat sebuah perki-
raan kasar bahwa baik penipuan maupun rasa terkejut ada dalam

27. Barton Whaley, Stratagem: Deception and Surprise in War, (Cambridge, MA:
Massachusetts Institute of Technology, unpublished manuscript, 1969), hlm.
247.

248
sepertiga sampai setengah dari kasus “strategi utama” selama perio-
de ini, yang menjadi dasar bagi peletakan angka 35 dalam sel kiri
bawah dalam Gambar 17.
Bagaimana penipuan menjadi biasa ketika taruhannya tidak
tinggi? Ini terlihat pada sel kanan atas dalam Gambar 17. Daftar-
daftar untuk sel ini dan sel kanan bawah sangat sulit untuk
diperkirakan; mereka membutuhkan penegasan seluruh kasus yang
mencakup situasi-situasi yang taruhannya rendah. Apa itu situasi
taruhan rendah dalam konteks ini? Situasi taruhan tinggi bisa dijelas-
kan, tapi ada sejumlah angka yang hampir tidak terbatas dan beragam
situasi yang taruhannya rendah. Disebabkan karena kesulitan ini,
mungkin tidak mudah menggunakan tabel 2 x 2 sepenuhnya untuk
menganalisis hubungan antara penipuan dengan taruhan tinggi.
Mungkin, ia perlu memuat hanya dengan sisi kiri pada tabel
Gambar 17. Tapi, kita tidak bisa mendemonstrasikan secara empiris
bahwa orang seharusnya lebih waspada pada penipuan dalam situasi
yang taruhannya tinggi, karena tidak ada dasar untuk memperban-
dingkan kasus taruhan tinggi dengan taruhan rendah. Jika penipuan
bahkan lebih umum dalam situasi taktis daripada dalam situasi
strategis yang taruhannya tinggi, maka sang analis seharusnya tidak
lebih dicenderungkan untuk mencurigai penipuan ketika taruhan-
nya adalah tinggi.
Benar-benar tidak jelas apakah ada sebuah hubungan antara
penipuan dengan situasi yang taruhannya tinggi, karena tidak ada
cukup data. Secara intuitif, keberanian Anda mungkin mengatakan
bahwa Anda ada di sana, dan perasaan ini mungkin benar. Tapi,
Anda mungkin mempunyai perasaan ini utamanya karena Anda
cenderung fokus hanya pada kasus-kasus tersebut dalam sel kiri atas
yang menunjukkan sebuah hubungan seperti itu. Orang cenderung
mengabaikan kasus-kasus di mana hubungannya tidak ada, lantar-
an ini menjadi sangat kurang menonjol.
Pelajaran yang harus dipelajari bukanlah bahwa analis harus
melakukan suatu analisis statistik terhadap setiap hubungan. Mereka
249
biasanya tidak akan mempunyai data, waktu, atau kepentingan
untuk itu. Tapi, analis seharusnya mempunyai sebuah pemahaman
umum tentang apa yang ia ambil untuk mengetahui apakah sebuah
hubungan itu ada. Pemahaman ini secara pasti tidak menjadi bagian
dari pengetahuan intuitif seseorang. Ia tidak datang secara alamiah.
Ia harus dipelajari. Ketika menghadapi persoalan seperti itu, para
analis harus mendorong diri mereka sendiri untuk berpikir tentang
seluruh empat sel dari tabel tersebut dan data yang akan dibutuh-
kan untuk mengisi setiap sel tersebut.
Meskipun analis mengikuti peringatan ini, ada beberapa faktor
yang mendistorsi keputusan ketika orang tidak mengikuti prosedur
ilmiah yang kaku dalam membuat dan merekam berbagai observasi.
Ini adalah faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan seseorang
untuk mengingat contoh-contoh yang sesuai dengan empat sel
tersebut. Misalnya, orang mengingat peristiwa yang sudah siap
daripada mengingat peristiwa yang tidak siap. “Sejarah umumnya
merupakan sebuah catatan tentang apa yang orang lakukan, bukan
pada apa yang gagal mereka lakukan.”28
Jadi, hal-hal yang di dalamnya penipuan terjadi akan lebih
mudah diingat daripada hal-hal yang tidak ada penipuan di
dalamnya. Analis mengingat peristiwa yang mendukung hubung-
an yang mereka uji lebih baik daripada hubungan yang tidak diuji
dengan baik. Sampai taraf tertentu, persepsi yang dipengaruhi oleh
pengharapan-pengharapan, para analis mungkin melewatkan atau
melalaikan hal-hal yang sebaliknya. Orang juga mempunyai sebuah
memori yang lebih baik terhadap peristiwa-peristiwa mutakhir,
peristiwa-peristiwa yang di dalamnya orang secara personal terlibat-
kan, peristiwa-peristiwa yang mempunyai berbagai konsekuensi
penting, dan seterusnya. Faktor-faktor ini mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap persepsi tentang korelasi ketika para analis

28. E. H. Carr, What is History? (London: Macmillan, 1961), hlm. 126, dikutip oleh
Fischhoff, op. cit.

250
membuat sebuah keputusan yang berani tanpa secara sadar mencoba
untuk memikirkan empat sel dalam tabel.
Banyak teori salah yang diabadikan, karena teori-teori tersebut
tampaknya masuk akal dan karena orang merekam pengalaman
mereka dalam suatu cara yang mendukung daripada menyangkal-
nya. Ross menggambarkan proses ini sebagai berikut:
Peneliti yang intuitif secara selektif mengodekan data-data
mereka yang secara potensial relevan dengan hubungan antara
X dan Y. Poin data yang sesuai dengan hipotesis-hipotesis dan
prediksi-prediksi yang diterima sebagai hal yang bisa diandal-
kan, valid, representatif, dan bebas kesalahan atau “pengaruh
tiga variabel”. Poin-poin data seperti itu tampak reflek-
tif terhadap hubungan “nyata” antara X dan Y. Sebaliknya,
poin-poin data yang menyimpang mencolok sekali dari yang
intuitif… pengharapan-pengharapan atau teori kemungkin-
an tidak diberikan pertimbangan yang ketat dan cenderung
diabaikan sebagai data yang tidak representatif, salah, tidak
bisa diandalkan, atau menjadi produk yang mengontamina-
si “pengaruh tiga variabel”. Jadi, ilmuwan intuitif yang yakin
bahwa orang gemuk itu periang, atau yang lebih spesifik lagi
bahwa kegemukan menyebabkan keriangan, akan melihat
gemuk partikular dan orang periang sebagai bukti yang kuat
bagi teori ini; dia tidak akan mempunyai hipotesis bahwa
keriangan seseorang hanyalah berpura-pura atau produk dari
suatu kehidupan rumah bahagia yang partikular daripada
karena kegemukan. Sebaliknya, orang yang gemuk dan muram
akan diuji dengan sangat hati-hati sebelum mendapatkan
pengakuan terhadap simpanan data ilmuwan yang relevan.
Dia mungkin, misalnya, berusaha menentukan apakah
kemuraman individu pada hari diambil pertanyaan adalah
tidak normal, ataukah merupakan akibat flu yang mengganggu
atau hari yang penuh dengan kekecewaan, daripada reflek-
si beberapa atribut yang stabil. Ia harus ditekankan dengan
kuat bahwa [kumpulan data] yang dihasilkan secara acak bisa
menghasilkan sebuah korelasi yang sangat relatif jika dikode-
kan dalam cara yang telah dikerangkakan.29

29. Ross, op. cit., hlm. 208-209.

251
Bab 12
Bias-Bias dalam memperkirakan
Berbagai Probabilitas

Dalam membuat keputusan-keputusan probabilitas yang berat, orang


umumnya tergantung pada salah satu peraturan dari pengalaman (rule
of thumb) yang disederhanakan yang sangat mengurangi beban kepu-
tusan. Dengan menggunakan aturan “ketersediaan”, orang memutuskan
probabilitas sebuah peristiwa dengan mengurangi mana yang mereka bisa
bayangkan menjadi relevan dengan hal-hal dari peristiwa-peristiwa seru-
pa atau jumlah peristiwa-peristiwa seperti itu yang mereka bisa dengan
mudah mengingatnya. Dengan strategi “penjangkaran (anchoring)”,
orang mengambil beberapa titik permulaan alamiah untuk sebuah perki-
raan awal dan kemudian menyesuaikan gambaran ini berdasarkan pada
hasil-hasil dari informasi atau analisis tambahan. Secara tipikal, mereka
tidak menyesuaikan cukup keputusan yang pertama.
Berbagai ekspresi probabilitas, seperti ekspresi possible dan probable (yang
kedua kata tersebut dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang sama,
yaitu mungkin), adalah suatu sumber umum ambiguitas yang membuat-
nya lebih mudah bagi seorang pembaca untuk menafsirkan sebuah laporan
sebagai yang konsisten dengan prakonsepsi-prakonsepsi pembaca sendiri.
Probabilitas dari suatu skenario sering kali terjadi salah kalkulasi. Data
pada “probabilitas sebelumnya” umumnya diabaikan kecuali kalau mereka
mengiluminasi hubungan sebab-akibat.

A. Aturan Ketersediaan

Peraturan dari pengalaman yang disederhanakan yang umumnya


digunakan dalam membuat perkiraan probabilitas dikenal sebagai
aturan ketersediaan. Dalam konteks ini, “ketersediaan” mengacu
pada kemampuan membayangkan atau kemampuan mendapatkan
kembali dari memori. Para psikolog telah menunjukkan bahwa dua
tanda orang yang secara tidak sadar memutuskan probabilitas dari
suatu peristiwa adalah mereka yang senang dengan apa yang bisa
mereka bayangkan tentang hal-hal relevan dari peristiwa tersebut
dan jumlah atau frekuensi peristiwa-peristiwa semacam itu yang
bisa dengan mudah mereka ingat.1 Orang menggunakan tersedia-
nya peraturan dari pengalaman di mana pun mereka memperkirakan
frekuensi atau probabilitas atas dasar seberapa mudahnya mereka bisa
menyebutkan atau membayangkan hal-hal tentang apa pun yang
mereka coba perkirakan.
Normalnya, ini bekerja dengan sangat baik. Jika satu hal
sebenarnya terjadi lebih sering daripada yang lain dan karenanya
menjadi lebih mungkin, kemungkinan kita bisa menyebutkan lebih
banyak hal darinya. Berbagai peristiwa yang kemungkinan terjadi
itu biasanya lebih mudah dibayangkan daripada peristiwa-peristiwa
yang tidak ada kemungkinannya. Orang secara konstan membuat
kesimpulan berdasarkan asumsi-asumsi ini. Misalnya, kita memper-
kirakan kesempatan kita untuk promosi dengan menyebutkan
berbagai hal mengenai promosi tersebut di antara para kolega dalam
posisi yang sama dan dengan pengalaman yang sama. Kita memper-
kirakan probabilitas bahwa seorang politisi akan kehilangan pemilih
dengan membayangkan cara-cara yang mungkin dia bisa kehilang-
an dukungan populernya.
Meskipun ini sering kali bekerja dengan baik, orang sering kali
tersesat ketika mengurangi hal-hal mana yang datang kepada pikiran
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan
probabilitas mereka. Kemampuan menyebutkan hal-hal tentang
suatu peristiwa dipengaruhi oleh seberapa mutakhirnya peristiwa itu
terjadi, apakah kita secara personal terlibat di dalamnya, apakah ada

1. Amos Tversky and Daniel Kahneman, “Availability: A Heuristic for Judging


Frequency and Probability,” Cognitive Psychology, 5 (1973), hlm. 207-232.

254
detail-detail yang jelas dan bisa diingat yang berhubungan dengan
peristiwa tersebut, dan seberapa pentingnya ia tampak pada waktu
itu. Faktor-faktor ini dan faktor lainnya yang memengaruhi keputus-
an tidak dihubungkan dengan probabilitas yang sebenarnya dari
suatu peristiwa.
Pertimbangkan dua orang adalah para perokok. Satu orang
mempunyai ayah yang meninggal karena kanker paru-paru, sedang-
kan yang lainnya tidak tahu apa pun yang pernah mempunyai kanker
paru-paru. Orang yang memiliki ayah yang meninggal karena kan-
ker paru-paru normalnya akan merasakan sebuah probabilitas yang
lebih besar tentang konsekuensi kesehatan yang merugikan berkait-
an dengan rokok, meskipun kasus kanker paru-paru secara statistika
tidak signifikan ketika mempertimbangkan risiko seperti itu. Bagai-
mana tentang dua orang pejabat CIA, salah satu dari mereka tahu
Aldrich Ames dan yang lain tidak tahu secara personal siapa pun
yang pernah menjadi seorang pengkhianat? Yang mana kemung-
kinan orang yang merasakan risiko lebih besar dari pengkhianatan
dari dalam?
Memang sulit membayangkan perpecahan Uni Soviet, karena
peristiwa seperti itu begitu asing bagi pengalaman kita selama 50
tahun sebelumnya. Seberapa sulitkah sekarang membayangkan
kembalinya rezim komunis di Rusia? Tidak begitu sulit, sebagian
karena kita masih mempunyai memori yang jelas tentang Uni Soviet
tua. Tapi, apakah itu menjadi sebuah dasar bagi perkiraan kemung-
kinan kejadiannya? Ketika para analis membuat keputusan yang
cepat dan berani tanpa benar-benar menganalisis situasi, kemung-
kinan mereka dipengaruhi oleh ketersediaan bias di sana. Semakin
sebuah skenario menjadi prospektif yang sesuai dengan pengalaman
seseorang, akan semakin mudah untuk membayangkan dan kemung-
kinan ia akan lebih jelas.
Para analis intelijen mungkin kurang dipengaruhi daripada
yang lain oleh bias yang tersedia. Para analis mengevaluasi semua
informasi yang tersedia, tidak membuat kesimpulan-kesimpulan
255
yang cepat dan mudah. Di sisi lain, para pembuat kebijakan dan
jurnalis yang kekurangan waktu atau akses terhadap bukti-bukti
untuk mendapatkan berbagai detail mau tidak mau harus mengam-
bil jalan pintas. Jalan pintas yang paling jelas adalah menggunakan
ketersediaan aturan dari pengalaman (the availability rule of thumb)
untuk membuat kesimpulan tentang probabilitas.
Banyak peristiwa berkenaan dengan analis intelijen yang
…dirasakan sebagai sesuatu yang begitu unik bahwa sejarah
masa lalu tidak tampak relevan dengan evaluasi kemungkinan
mereka. Dalam memikirkan peristiwa-peristiwa seperti itu,
kita sering kali mengonstruksi skenario-skenario, yaitu kisah-
kisah yang mengarah dari situasi sekarang menuju peristiwa
target. Kemasukakalan skenario-skenario yang datang kepada
pikiran, atau kesulitan menghasilkannya, bertindak sebagai
tanda-tanda bagi kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut.
Jika tidak ada skenario yang masuk akal yang datang kepada
pikiran, peristiwa itu dianggap tidak mungkin atau sangat
tidak berkemungkinan. Jika beberapa skenario datang dengan
mudah ke dalam pikiran, atau jika satu skenario secara khusus
memaksakan, maka peristiwa dalam pertanyaan itu tampak
menjadi mungkin.2

Para pembuat kebijakan di tahun-tahun awal keterlibatan kita


di Vietnam harus membayangkan berbagai skenario untuk apa yang
mungkin terjadi jika mereka komitmen atau tidak terhadap pasukan
Amerika Serikat dalam mempertahankan Vietnam Selatan. Dalam
memutuskan probabilitas dari akibat-akibat alternatifnya, para
pemimpin senior kita sangatlah dipengaruhi oleh ketersediaan dua
skenario yang tampaknya bisa diperbandingkan —kegagalan dalam
penenangan sebelum datang Perang Dunia II dan intervensi yang
berhasil di Korea.
Banyak faktor yang tidak ada hubunganya memengaruhi
kemampuan imajinasi skenario-skenario untuk peristiwa-peristi-
wa di masa mendatang, sebagaimana mereka yang memengaruhi

2. Ibid., hlm. 229.

256
kemampuan menyebutkan peristiwa-peristiwa dari memori. Aneh-
nya, salah satu dari hal ini adalah tindakan analisis itu sendiri. Aksi
mengonstruksi sebuah skenario yang teperinci bagi sebuah peristi-
wa masa depan yang memungkinkan membuat peristiwa itu bisa
dibayangkan secara lebih siap, dan karenanya meningkatkan pro-
babilitas yang dirasakannya. Ini adalah pengalaman para analis CIA
yang telah menggunakan berbagai alat perdagangan yang beragam
yang membutuhkan, atau khususnya disesuaikan dengan, analisis
yang tidak ada kemungkinannya, tapi meskipun demikian menja-
di hipotesis yang memungkinkan dan penting. (Teknik seperti itu
dibahas dalam Bab 6, “Menjaga Pikiran Terbuka” dan Bab 8, “Ana-
lisis terhadap Hipotesis-Hipotesis yang Bersaing.”) Analisis biasanya
menghasilkan skenario “ketidakmungkinan” yang diambil dengan
sedikit lebih serius. Fenomena ini juga didemonstrasikan dalam ber-
bagai eksperimen psikologis.3
Singkatnya, ketersediaan peraturan dari pengalaman sering kali
digunakan untuk membuat keputusan-keputusan tentang kemung-
kinan atau frekuensi. Orang akan sangat sulit melakukan yang
sebaliknya, lantaran ia menjadi penghemat waktu dalam banyak hal
ketika analisis yang lebih teperinci tidak menjamin atau tidak dapat
dikerjakan dengan mudah. Namun, analis intelijen harus sadar ketika
mereka mengambil jalan pintas. Mereka harus mengetahui kekuatan
dan kelemahan dari prosedur-prosedur ini, dan mampu mengidenti-
fikasi ketika mereka kemungkinan besar menjadi tersesat. Bagi para
analis intelijen, pengakuan bahwa mereka menggunakan aturan
ketersediaan seharusnya memunculkan sebuah bendera peringatan.
Analisis serius terhadap probabilitas membutuhkan identifikasi dan
perkiraan kekuatan serta interaksi dengan banyak variabel yang akan
menentukan hasil dari suatu situasi.

3. John S. Carroll, “The Effect of Imagining an Event on Expectations for the Event:
An Interpretation in Terms of the Availability Heuristic”, Journal of Experimental
Social Psychology, 14 (1978), hlm. 88-96.

257
B. Penjangkaran (Anchoring)

Strategi lain yang orang gunakan secara intuitif dan tidak


sadar untuk menyederhanakan tugas membuat keputusan disebut
penjangkaran. Beberapa titik awal alamiah, mungkin dari suatu
analisis sebelumnya pada subjek yang sama atau beberapa kalkulasi
parsial, digunakan sebagai sebuah perkiraan pertama bagi keputusan
yang diharapkan. Titik permulaan ini kemudian disesuaikan, yang
didasarkan pada hasil-hasil dari informasi atau analisis tambahan.
Namun, secara tipikal titik permulaan ini bertindak seperti sebuah
jangkar atau penahan yang mengurangi jumlah penyesuaian, sehing-
ga perkiraan akhir tetap lebih dekat dengan titik permulaan daripada
yang seharusnya.
Penjangkaran bisa didemonstrasikan sangat sederhana dalam
sebuah latihan dalam kelas dengan meminta sekelompok siswa untuk
memperkirakan satu atau lebih kuantitas-kuantitas yang dikenal,
seperti persentase negara-negara anggota di Amerika Serikat yang
berlokasi di Afrika. Berikan separo siswa angka persentase yang
rendah dan separo lagi dengan angka dengan persentase yang tinggi.
Mintakan mereka untuk mulai dengan angka ini sebagai sebuah
perkiraan jawaban, kemudian, ketika mereka berpikir tentang
masalah tersebut, menyesuaikan angka ini sampai mereka mendapat-
kan sedekat mungkin dengan apa yang mereka yakini sebagai
jawaban yang benar. Ketika ini dilakukan dalam satu eksperimen
yang menggunakan pertanyaan ini, mereka memulai dengan sebuah
jangkar 10 persen yang menghasilkan penyesuaian perkiraan rata-rata
25 persen. Mereka yang memulai dengan sebuah jangkar 65 persen
menghasilkan penyesuaian perkiraan rata-rata 45 persen.4
Disebabkan karena ketidakcukupan penyesuaian, mereka yang
mulai dengan sebuah perkiraan yang terlalu tinggi berakhir dengan
perkiraan yang lebih tinggi secara signifikan daripada mereka yang

4. Amos Tversky and Daniel Kahneman, “Judgment under Uncertainty: Heuristics


and Biases,” Science, Vol. 185, Sept. 27, 1974, hlm. 1124-1131.

258
mulai dengan sebuah perkiraan yang terlalu rendah. Bahkan, secara
total titik berangkat yang berbelit-belit bertindak sebagai jangkar,
menyebabkan penahanan atau kelesuan yang menghalangi penyesuai-
an yang penuh terhadap perkiraan.
Kapan pun analis bergerak menuju sebuah area analitis baru
dan menyerahkan tanggung jawab bagi pembaruan serangkai-
an keputusan atau perkiraan yang dibuat oleh pendahulu mereka,
keputusan-keputusan sebelumnya maka mungkin mempunyai
sebuah efek penjangkaran seperti itu. Bahkan ketika para analis
membuat keputusan pertama mereka, dan kemudian berusaha
merevisi keputusan atas dasar informasi baru atau analisis lebih
lanjut, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa mereka biasanya
tidak cukup mengubah keputusan tersebut.
Penjangkaran memberikan sebuah penjelasan eksperimen parsial
yang menunjukkan bahwa analis cenderung yakin terlalu berlebihan
terhadap diri mereka sendiri dalam membentuk kisaran konfiden-
si. Seorang analis militer yang memperkirakan produksi rudal atau
tank sering kali tidak mampu memberikan sebuah gambaran spesifik
sebagai sebuah titik perkiraan. Karenanya, analis mungkin memben-
tuk sebuah kisaran dari tinggi menjadi rendah, dan memperkirakan
bahwa ada, katakanlah, 75 persen kesempatan yang gambaran produk-
si sebenarnya akan jatuh dalam kisaran ini. Jika sejumlah perkiraan
seperti itu dibuat yang merefleksikan sebuah tingkat kepercayaan yang
tepat, gambaran yang benar seharusnya jatuh dalam kisaran perkiraan
75 persen dari waktu itu dan di luar kisaran 25 persen ini dari waktu
tersebut. Namun, dalam situasi-situasi eksperimental, banyak peserta
yang sangat percaya diri. Gambaran yang benar jatuh di luar kisaran
perkiraan dengan persentase yang jauh lebih besar dari waktu itu.5
5. Berbagai eksperimen yang menggunakan kisaran konfidensi 98 persen menemukan
bahwa nilai yang benar terasa di luar kisaran yang diperkirakan, yakni 40 sampai
50 persen pada waktu itu. Amos Tversky and Daniel Kahneman, “Anchoring
and Calibration in the Assessment of Uncertain Quantities,” (Oregon Research
Institute Research Bulletin, 1972, Nov. 12, No. 5), dan M. Alpert and H. Raiffa,
“A Progress Report on The Training of Probability Assessors,” Unpublished

259
Jika kisaran waktu didasarkan pada informasi yang relatif
sulit berkenaan dengan batasan-batasan yang lebih tinggi dan lebih
rendah, maka perkiraannya kemungkinan menjadi akurat. Namun,
jika kisaran ditentukan oleh permulaan dengan suatu perkiraan
tunggal terbaik yang disesuaikan margin atas dan bawahnya untuk
sampai pada perkiraan nilai maksimal dan minimal, maka penjang-
karan pun memainkan peranannya, dan penyesuaian kemungkinan
menjadi tidak mencukupi.
Alasan-alasan bagi fenomena penjangkaran tidak dipahami
dengan baik. Perkiraan pertama bertindak sebagai sebuah cantel-
an yang orang gantungkan kesan pertama mereka atau hasil dari
kalkulasi pertama mereka pada cantelan tersebut. Saat mengalkula-
si kembali, mereka mengambil ini sebagai titik permulaan daripada
memulainya dari guratan yang telah terjadi, tapi mengapa ini harus
membatasi kisaran penalaran yang berikutnya menjadi tidak jelas?
Ada beberapa bukti bahwa kesadaran terhadap masalah penjang-
karan tidak cukup menjadi sebuah penangkalnya.6 Ini adalah sebuah
penemuan umum dalam eksperimen-eksperimen yang berhadapan
dengan bias-bias kognitif. Bias-bias ini tetap berlangsung bahkan
setelah subjek-subjek tes diinformasikan mengenainya dan diinstruk-
sikan untuk mencoba menghindari atau mengimbanginya.
Satu teknik menghindari bias penjangkaran, untuk memper-
timbangkan jangkar agar bisa dibicarakan, mungkin mengabaikan
keputusan-keputusan paling awal seseorang atau orang lain dan
memikirkan kembali sebuah masalah dari guratannya. Dengan
kata lain, secara sadar menghindari beberapa keputusan sebelum-
nya sebagai titik permulaan. Tidak ada bukti eksperimental untuk
menunjukkan bahwa ini memungkinkan atau ia akan bekerja, tapi
tampaknya ia tengah cukup baik mencoba. Alternatifnya, kadang kala
tampak mungkin menghindari kesalahan manusia dengan mengguna-

manuscript, Harvard University, 1968.


6. Alpert and Raiffa, ibid.

260
kan prosedur statistika formal. Analisis statistika Bayesian, misalnya,
bisa digunakan untuk merevisi keputusan-keputusan sebelumnya atas
dasar informasi baru dalam suatu cara menghindari bias-bias penjang-
karan (anchoring bias).7

C. Ekspresi Ketidakpastian

Berbagai probabilitas mungkin diekspresikan dalam dua cara.


Probabilitas statistika didasarkan pada bukti-bukti empiris dengan
satu jenis situasi yang tidak mungkin menggunakan sebuah probabi-
litas statistika. Pendekatan yang lain umumnya digunakan dalam
analisis intelijen untuk membuat sebuah keputusan “probabili-
tas subjektif” atau “probabilitas personal”. Keputusan seperti itu
merupakan sebuah ekspresi keyakinan personal analis bahwa sebuah
penjelasan atau perkiraan tertentu adalah benar. Ia bisa diperban-
dingkan dengan suatu keputusan bahwa seekor kuda mempunyai
kesempatan menang dalam lomba sebesar tiga banding satu.
Berbagai ekspresi verbal terhadap ketidakpastian —seperti
“possible,” “pirobable,” “unlikely,” “may,” dan “cold” (yang artinya
semua sama, yaitu mungkin)— merupakan bentuk keputusan
probabilitas subjektif, tapi mereka telah lama diakui sebagai sumber
ambiguitas dan kesalahpahaman. Untuk mengatakan bahwa sesuatu
bisa terjadi atau mungkin mengarah pada sesuatu dari probabili-
tas 1 persen hingga 99 persen. Untuk mengekspresikan diri mereka

7. Nicholas Schweitzer, “Bayesian Analysis: Estimating the Probability of Middle


East Conflict,” dalam Richards J. Heuer, Jr., ed., Quantitative Approaches to
Political Intelligence: The CIA Experience (Boulder, CO: Westview Press, 1979).
Jack Zlotnick, “Bayes’ Theorem for Intelligence Analysis,” Studies in Intelligence,
Vol. 16, No. 2 (Spring 1972). Charles E. Fisk, “The Sino-Soviet Border Dispute:
A Comparison of the Conventional and Bayesian Methods for Intelligence
Warning”, Studies in Intelligence, vol. 16, no. 2 (Spring 1972), yang awalnya
terklasifikasi rahasia, namun sekarang sudah tidak lagi. Baik artikel Zlotnick
maupun Fisk dipublikasikan kembali dalam H. Bradford Westerfield, Inside CIA’s
Private World: Declassified Articles from the Agency’s Internal Journal, 1955-1992,
(New Haven: Yale University Press, 1995).

261
secara jelas, para analis harus belajar secara rutin mengomunikasikan
ketidakpastian dengan menggunakan bahasa probabilitas numeris
atau rasio kesempatan terjadinya sesuatu (odds ratios).
Seperti yang telah dibahas dalam Bab 2 tentang “Persepsi”,
orang cenderung melihat apa yang mereka harapkan bisa dilihat,
dan informasi baru secara tipikal diasimilasikan untuk keyakinan-
keyakinan yang ada. Ini khususnya benar ketika berhadapan dengan
berbagai ekspresi verbal terhadap ketidakpastian. Oleh diri mereka
sendiri, berbagai ekspresi ini tidak mempunyai pemaknaan yang jelas.
Mereka adalah cangkang-cangkang yang kosong. Para pembaca atau
pendengar mengisinya dengan pemaknaan melalui konteks yang di
dalamnya mereka digunakan dan apa yang sudah ada dalam pikiran
pembaca atau pendengar tentang konteks tersebut.
Ketika berbagai kesimpulan intelijen dituliskan dalam
istilah-istilah yang ambigu, penafsiran seorang pembaca terhadap
kesimpulan tersebut akan dibiaskan menuju pada konsistensi dengan
apa yang pembaca sudah yakini. Ini mungkin menjadi satu alasan
mengapa banyak konsumen intelijen berkata mereka tidak belajar
banyak dari laporan-laporan intelijen.8
Memang mudah mendemonstrasikan fenomena ini dalam
pelatihan bagi para analis. Berikan pelajar sebuah laporan inteli-
jen yang singkat, biarkan mereka yang menggarisbawahi semua
ekspresi ketidakpastian, kemudian biarkan mereka mengekspresikan
pemahaman mereka terhadap laporan tersebut dengan menuliskan
di atas masing-masing ekspresi ketidakpastian tersebut probabilitas
numeris yang mereka yakini menjadi apa yang dimaksudkan oleh
penulis laporan tersebut. Ini adalah sebuah pengalaman pembelajar-
an yang mengagumkan, seperti perbedaan di antara pelajar-pelajar
tersebut dalam bagaimana mereka memahami laporan itu yang secara
tipikal sangat bagus sehingga benar-benar bisa diingat.

8. Untuk penafsiran yang lain terhadap fenomena ini, lihat Bab 13, “Bias-Bias
Peninjauan Kembali dalam Evaluasi Pelaporan Intelijen”.

262
Dalam satu eksperimen, seorang analis intelijen diminta untuk
mengganti perkiraan probabilitas numeris bagi pengualifikasi verbal
dalam salah satu artikelnya yang paling awal. Pernyataan pertamanya
adalah: “Gencatan senjata dipertahankan, tapi bisa dilanggar dalam
satu minggu.” Analis mengatakan yang dia maksudkan bahwa ada
sekitar 30 persen kesempatan gencatan senjata yang akan dilanggar
dalam seminggu. Analis lain yang membantu analis ini mempersi-
apkan artikel dengan mengatakan bahwa dia pikir ada sekitar 80
persen kesempatan gencatan senjata akan dilanggar. Bahkan, ketika
bekerja bersamaan mengenai laporan tersebut, kedua analis meyakini
bahwa mereka setuju dengan apa yang bisa terjadi.9 Jelasnya, analis
bahkan tidak berkomunikasi secara efektif dengan masing-masing
yang lain, dan membiarkan sendirian bersama para pembaca laporan
mereka.
Sherman Kent, direktur pertama pada kantor Perkiraan
Nasional CIA, menjadi salah seorang yang pertama yang mengenali
masalah-masalah komunikasi disebabkan oleh pernyataan-pernya-
taan ketidakpastian yang tidak tepat. Sayangnya, beberapa dekade
setelah Ken pertama kali diguncangkan oleh bagaimana para
pembuat kebijakan menafsirkan istilah “kemungkinan serius” dalam
suatu perkiraan nasional, kesalahan komunikasi di antara para analis
dengan para pembuat kebijakan, dan di antara para analis sendiri,
masih menjadi peristiwa yang umum terjadi.10
Saya secara pribadi teringat dengan perdebatan yang terus-
menerus dengan seorang kolega yang bisa dipercaya dari suatu
sumber yang sangat penting. Saya membantah bahwa dia mungkin
bisa dipercaya. Kolega saya menentang bahwa sumber itu mungkin
di bawah kontrol yang bermusuhan. Setelah beberapa bulan terjadi

9. Scott Barclay et al, Handbook for Decision Analysis. (McLean, VA: Decisions and
Designs, Inc. 1977), hlm. 66.
10. Sherman Kent, “Words of Estimated Probability,” dalam Donald P. Steury, ed.,
Sherman Kent and the Board of National Estimates: Collected Essays (CIA, Center
for the Study of Intelligence, 1994).

263
ketidaksetujuan periodik, akhirnya saya meminta kolega saya untuk
meletakkan angka terhadapnya. Dia berkata di sana setidaknya ada
kesempatan 51 persen bagi sumber di bawah kontrol yang bermusuh-
an. Saya berkata di sana ada setidaknya 51 persen kesempatan
dari bentuk kejujurannya. Jelasnya, kami setuju bahwa ada suatu
perjanjian ketidakpastian yang besar di sana. Itu menghentikan
ketidaksetujuan kami. Masalahnya bukanlah sebuah perbedaan
pendapat yang utama, tapi ambiguitas terhadap istilah mungkin
(probable).
Tabel dalam Gambar 18 menunjukkan hasil dari suatu
eksperimen dengan 23 pejabat militer NATO yang menyesuaikan
diri untuk membaca laporan-laporan intelijen. Mereka diberikan
sejumlah pernyataan seperti: “Itu kemungkinan besar tidak…”
Semua pernyataan adalah sama kecuali ekspresi verbal dari probabi-
litasnya yang berubah. Para pejabat itu dipertanyakan apa persentase
probabilitas yang mereka akan perhubungkan dengan masing-masing
pernyataan jika mereka membacanya dalam suatu laporan inteli-
jen. Masing-masing titik dalam tabel tersebut merepresentasikan
satu tugas probabilitas pejabat.11 Ketika ada konsensus luas tentang
makna “lebih baik daripada datar,” maka ada sebuah perbedaan
yang luas dalam interpretasi terhadap ekspresi probabilitas yang lain.
Area-area yang diberi bayangan dalam tabel tersebut menunjukkan
kisaran yang diajukan oleh Kent.12
Titik utamanya adalah bahwa sebuah laporan intelijen mungkin
tidak mempunyai dampak bagi pembaca jika ia dituliskan dalam
bahasa ambigu seperti itu yang pembaca bisa dengan mudah
menafsirkannya sebagai hal yang konsisten dengan prakonsepsinya.
Ambiguitas ini bisa secara khusus bermasalah ketika berhadapan
11. Scott Barclay et. al, hlm. 76-68.
12. Kisaran probabilitas yang diperhubungkan dengan Kent dalam tabel ini agak
berbeda dari kisaran probabilitas yang ada dalam Sherman Kent, “Words of
Estimated Probability,” dalam Donald P. Steury, ed., Sherman Kent and the Board
of National Estimates: Collected Essays (CIA, Center for the Study of Intelligence,
1994).

264
dengan probabilitas yang rendah, bahaya-bahaya yang berdampak
tinggi terhadap para pembuat kebijakan yang mungkin berharap
membuat rencana-rencana kemungkinan (contingency plans).

Pertimbangkan, misalnya, sebuah laporan yang ada sedikit


kesempatan bagi seorang teroris menyerang Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Kairo pada saat ini. Jika prakonsepsi sang Duta Besar

265
adalah bahwa tidak ada lebih dari satu dalam seratus kesempatan, dia
mungkin memilih untuk tidak melakukan banyak hal. Jika prakon-
sepsi sang Duta Besar adalah bahwa ada sebanyak satu dalam empat
kesempatan adanya suatu serangan, dia mungkin memutuskan untuk
benar-benar melakukan sedikit hal. Istilah “sedikit kesempatan”
konsisten dengan berbagai interpretasi tersebut, dan tidak ada cara
untuk mengetahui apa yang penulis laporan itu maksudkan.
Ambiguitas potensial yang lain adalah frasa “pada saat ini”.
Perpendeklah kerangka waktu bagi prediksi dengan probabilitas
yang lebih rendah, tapi mungkin hal itu tidak menurunkan kebutuh-
an bagi ukuran-ukuran preventif atau perencanaan kemungkinan
(contingency planning). Sebuah peristiwa di mana waktunya tidak
bisa diprediksikan mungkin “pada saat ini”, hanya mempunyai
probabilitas kejadian sebesar 5 persen selama bulan berikutnya, tapi
probabilitasnya menjadi 60 persen jika kerangka waktunya diperluas
menjadi satu tahun (5 persen per bulan selama 12 bulan).
Bagaimana mungkin para analis mengekspresikan ketidakpas-
tian tanpa menjadi tidak jelas terhadap seberapa pastinya mereka?
Meletakkan sebuah pengualifikasi numeris dalam tanda kurung
setelah frasa mengekspresikan tingkat ketidakpastian adalah sebuah
alat yang tepat untuk menghindari kesalahan penafsiran. Ini mungkin
menjadi sebuah rasio kesempatan terjadinya sesuatu (kurang lebih
satu dalam empat kesempatan) atau sebuah kisaran persentase (5
sampai 20 persen) atau kurang lebih 20 persen. Rasio-rasio kesempat-
an terjadinya sesuatu (odds ratios) sering kali lebih disuka, seperti
halnya banyak orang yang mempuyai sebuah pemahaman intuitif
yang lebih baik terhadap kesempatan terjadinya sesuatu itu daripa-
da terhadap persentase.

D. Menaksir Probabilitas Sebuah Skenario

Para analis intelijen kadang menghadirkan keputusan-keputus-


an dalam bentuk sebuah skenario —serangkaian peristiwa yang

266
mengarah pada sebuah akibat yang diantisipasi. Ada bukti bahwa
keputusan-keputusan yang berkenaan dengan probabilitas sebuah
skenario dipengaruhi oleh jumlah dan hakikat detail dalam skenario
tersebut dengan suatu cara yang tidak dihubungkan dengan kemung-
kinan yang sebenarnya dari skenario tersebut.
Sebuah skenario mengandung beberapa peristiwa yang
dihubungkan bersama dalam suatu deskripsi naratif. Untuk menghi-
tung secara matematis probabilitas sebuah skenario, prosedur
tepatnya adalah mengalikan berbagai probabilitas pada masing-
masing peristiwa individu. Jadi, untuk satu skenario dengan tiga
peristiwa, yang masing-masing kemungkinannya akan (70 persen
pasti) terjadi, probabilitas dari skenario tersebut adalah .70 x .70
x .70 atau paling tidak hasilnya adalah 34 persen. Menambahkan
kemungkinan keempat (70 persen) dari peristiwa pada skenario itu
akan mengurangi probabilitasnya menjadi 24 persen.
Banyak orang tidak mempunyai sebuah intuisi yang bagus
dalam mengambil penalaran yang sifatnya probabilistik. Satu
pendekatan untuk menyederhanakan masalah-masalah seperti itu
adalah dengan menganggap (atau berpikir seolah-olah) satu atau
lebih peristiwa yang mungkin terjadi sudah terjadi. Ini mengurangi
beberapa ketidakpastian dari keputusan tersebut. Cara lain untuk
menyederhanakan masalah itu adalah keputusan dasar pada sebuah
kisaran kasar dari probabilitas-probabilitas setiap peristiwa. Dalam
contoh di atas, prosedur rata-ratanya memberikan sebuah probabi-
litas perkiraan sebesar 70 persen untuk keseluruhan skenario. Jadi,
skenario itu kemungkinannya tampak jauh lebih besar dibanding-
kan pada kasus yang sebenarnya.
Ketika strategi pe-rata-rata-an digunakan, peristiwa-peristiwa
yang sangat mungkin dalam skenario tersebut cenderung mengim-
bangi peristiwa-peristiwa yang kurang kemungkinannya. Ini
mengganggu prinsip bahwa suatu rantai tidak bisa menjadi lebih kuat
dibandingkan hubungan yang lebih lemah. Secara matematis, peristi-
wa yang kemungkinannya kurang dalam suatu skenario membentuk
267
batasan paling tinggi pada probabilitas skenario secara keseluruh-
an. Jika strategi perata-rataan digunakan, detail-detail tambahan
mungkin ditambahkan untuk skenario tersebut yang begitu masuk
akal sehingga mereka meningkatkan probabilitas skenario yang
dirasakan, ketika, secara matematis, peristiwa-peristiwa tambahan
harus perlu mengurangi probabilitasnya.13

Kesalahan Nilai Dasar (Base-Rate Fallacy)

Dalam menaksir sebuah situasi, seorang analis kadang


mempunyai dua jenis bukti yang tersedia—bukti spesifik tentang
kasus individu yang ada, dan data numeris yang meringkaskan
informasi tentang banyak kasus serupa. Jenis informasi numeris ini
disebut nilai dasar atau probabilitas sebelumnya. Kesalahan nilai
dasar adalah data numeris yang umumnya diabaikan kecuali kalau
mereka menjelaskan sebuah hubungan kausal. Ini diilustrasikan
dengan eksperimen berikutnya.14
Selama Perang Vietnam, sebuah pesawat pemburu membuat
sebuah serangan membabi-buta yang tidak fatal terhadap misi
pengintaian udara Amerika Serikat saat senja. Jet pasukan Kamboja
dan Vietnam beroperasi di daerah itu. Anda tahu fakta-fakta berikut-
nya:
(a) Informasi kasus yang spesifik: Pilot Amerika Serikat
mengidentifikasi penerbang pesawat tersebut adalah penerbang
Kamboja. Kemampuan mengenali pilot pesawat terbang diujicoba-
kan di bawah visibilitas dan kondisi penerbangan yang tepat. Ketika
dipresentasikan dengan sebuah sampel penerbang (setengahnya

13. Paul Slovic, Baruch Fischhoff, and Sarah Lichtenstein, “Cognitive Processes and
Societal Risk Taking,” in J. S. Carroll and J.W. Payne, eds., Cognition and Social
Behavior (Potomac, MD: Lawrence Erlbaum Associates, 1976), hlm. 177-78.
14. Ini adalah versi yang dimodifikasi, yang dikembangkan oleh Frank J. Stech,
mengenai pertanyaan taksi biru dan hijau digunakan oleh Kahneman and
Tversky, “On Prediction and Judgment,” Oregon Research Institute Research
Bulletin, 12, 14, 1972.

268
dengan penandaan penerbang Vietnam dan setengahnya lagi dengan
penerbang Kamboja) pilot membuat identifikasi yang benar sebesar
80 persen pada waktu itu dan dengan kesalahan 20 persen.
(b) Data nilai dasar: 85 persen dari penerbang jet di area itu
adalah Vietnam; 15 persennya adalah Kamboja.
Pertanyaan: Apa yang menjadi probabilitasnya dengan
mengatakan bahwa penerbang itu adalah penerbang Kamboja,
bukan Vietnam?
Sebuah prosedur umum dalam menjawab pertanyaan ini adalah
menalar sebagai berikut: Kita tahu pilot mengidentifikasi pesawat ter-
bang itu adalah pesawat Kamboja. Kita juga tahu bahwa identifikasi
pilot itu adalah benar 80 persen; karena itu, ada sebuah probabi-
litas 80 persen bahwa penerbang itu adalah penerbang Kamboja.
Penalaran ini tampak masuk akal, tapi tidak benar. Ia mengabaikan
nilai dasar —bahwa 85 persen penerbang di area itu adalah pener-
bang Vietnam. Nilai dasar itu, atau probabilitas sebelumnya, adalah
apa yang bisa Anda katakan tentang beberapa penerbang yang ber-
musuhan di area itu sebelum Anda mempelajari sesuatu tentang
penglihatan yang spesifik.
Sebenarnya, kemungkinan yang paling besar adalah bahwa
pesawat itu adalah pesawat Vietnam, bukan Kamboja, meskipun
identifikasi terhadap sang pilot “mungkin benar”. Para pembaca yang
tidak familiar dengan penalaran probabilistik dan tidak memahami
poin ini seharusnya membayangkan 100 kasus yang di dalamnya
pilot mengalami pertempuran yang sama. Berdasarkan pada paragraf
(a), kita tahu bahwa 80 persen atau 68 dari 85 pesawat terbang
Vietnam akan teridentifikasi dengan benar sebagai pasukan Vietnam,
sedangkan 20 persen atau 17 pesawat akan teridentifikasi secara salah
sebagai pasukan Kamboja. Berdasarkan pada paragraf (b), kita tahu
bahwa 85 pertempuran ini akan bersama dengan pesawat terbang
Vietnam, sedangkan 15 pertempuran bersama Kamboja.
Dengan cara yang sama, 80 persen atau 12 dari 15 pesawat
terbang Kamboja, akan teridentifikasi dengan benar sebagai milik
269
Kamboja, sedangkan 20 persen atau tiga pesawat akan teridentifikasi
secara salah sebagai milik Vietnam. Ini membuat total penglihatan
71 Vietnam dan 29 Kamboja, di mana hanya 12 yang benar dari
29 penglihatan bahwa itu adalah Kamboja; sedangkan 17 yang lain
adalah penglihatan yang salah terhadap pesawat terbang Vietnam.
Oleh karena itu, ketika pilot mengklaim serangan itu dilakukan
oleh penerbang Kamboja, probabilitas bahwa pesawat itu sebenar-
nya adalah penerbang Kamboja hanyalah 12/29 atau sekitar 41
persen, meskipun fakta bahwa identifikasi pilot yang benar adalah
80 persen pada waktu itu.
Ini mungkin menjadi tampak seperti trik matematis, tapi
sebenarnya tidak. Perbedaannya berasal dari probabilitas pilot
sebelumnya yang kuat di mana sang pilot mengobservasi sebuah
pesawat terbang Vietnam. Kesulitan dalam memahami muncul-
nya hal ini karena keputusan intuitif yang tidak terlatih tidak
menggabungkan beberapa prinsip statistika dasar dari penalar-
an probabilistik. Banyak orang tidak menggabungkan probabilitas
sebelumnya ke dalam penalaran mereka, karena ia tidak tampak
relevan. Ia tidak tampak relevan, karena tidak ada hubungan kausal
di antara latar belakang informasi tentang persentase penerbang jet
dalam area tersebut dengan observasi pilot.15 Fakta bahwa 85 persen
penerbang di kawasan tersebut adalah penerbang Vietnam dan 15
persen penerbang Kamboja tidak menyebabkan serangan dibuat oleh
seorang penerbang Kamboja daripada penerbang Vietnam.
Untuk mengapresiasi dampak berbeda yang dibuat oleh latar
belakang informasi yang relevan secara kausal, pertimbangkan
formulasi alternatif ini untuk masalah yang sama. Dalam paragraf
(b) tentang masalah tersebut, pergantiannya adalah berikut ini:
(b) meskipun kekuatan penerbang kedua negara tersebut
kasarannya sama jumlahnya di area ini, 85 persen dari semua insiden

15. Maya Bar-Hillel, “The Base-Rate Fallacy in Probability Judgments,” Acta


Psychologica, 1980.

270
gangguan telah melibatkan penerbang Vietnam, sedangkan 15
persennya melibatkan penerbang Kamboja.
Masalah yang tersisa secara matematis dan struktural adalah
sama. Berbagai eksperimen dengan banyak subjek tes menunjuk-
kan bahwa ia benar-benar berbeda secara psikologis, karena ia
siap mendatangkan sebuah penjelasan kausal yang menghubung-
kan berbagai probabilitas sebelumnya dengan observasi pilot. Jika
penerbang Vietnam mempunyai sebuah kecenderungan untuk
mengganggu dan penerbang Kamboja tidak, maka probabilitas
sebelumnya bahwa gangguan penerbang Vietnam kemungkinannya
lebih besar daripada Kamboja tidak lagi terabaikan. Menghubung-
kan probabilitas sebelumnya dengan hubungan sebab-akibat segera
memunculkan kemungkinan bahwa observasi sang pilot adalah
salah.
Dengan merevisi formulasi terhadap masalah ini, banyak
orang yang mungkin akan bernalar sebagai berikut: Kita tahu dari
pengalaman masa lalu dalam kasus seperti ini bahwa gangguan
biasanya dilakukan oleh pesawat terbang Vietnam. Bahkan, kita
mempunyai sebuah laporan yang hampir bisa diandalkan dari pilot
kita bahwa ia adalah penerbang Kamboja. Dua potong bukti yang
saling berkonflik ini saling membatalkan satu sama lain. Karena itu,
kita tidak tahu —kasarannya 50-50 apakah itu pasukan Kamboja
ataukah pasukan Vietnam. Dalam menggunakan penalaran ini, kita
menggunakan informasi probabilitas sebelumnya, mengintegrasi-
kannya dengan informasi kasus yang spesifik, dan tiba pada suatu
kesimpulan bahwa itu adalah sama dekatnya dengan jawaban yang
optimal (masih 41 persen) sebagai salah satu yang akan didapatkan
tanpa melakukan sebuah kalkulasi matematis.
Tentunya, ada beberapa masalah yang angka dasarnya diberi-
kan seeksplisit dalam contoh pesawat terbang Vietnam/Kamboja di
atas. Ketika angka dasar tersebut tidak diketahui dengan baik, tapi
harus diteliti atau diduga-duga, kemungkinan mereka kurang bisa

271
digunakan.16
Apa yang dinamakan kesalahan perencanaan, yang terhadap-
nya saya secara personal membela kesalahan, adalah suatu contoh
dari suatu masalah yang di dalamnya angka dasarnya tidak diberi-
kan dalam pengertian numeris, tapi harus diabstraksikan dari
pengalaman. Dalam perencanaan sebuah proyek penelitian, saya
harus memperkirakan mampu menyelesaikannya dalam empat
minggu. Perkiraan ini didasarkan pada bukti-bukti kasus spesifik
yang relevan: panjang laporan yang diharapkan, ketersediaan sumber-
sumber material, kesulitan terhadap subjek perkara, pemberian bagi
interupsi-interupsi yang bisa diprediksi dan tidak bisa diramalkan,
dan sebagainya. Saya juga memiliki sekumpulan pengalaman dengan
perkiraan serupa yang telah saya buat di masa lalu. Seperti banyak
yang lainnya, saya hampir tidak pernah menyelesaikan sebuah proyek
penelitian dalam kerangka waktu yang diperkirakan pada awalnya!
Tapi saya tergoda dengan kesegeraan dan kepersuasifan bukti-
bukti kasus yang spesifik. Semua bukti yang relevan secara kausal
tentang proyek tersebut mengindikasikan saya harus mampu untuk
menyelesaikan pekerjaan tersebut dalam waktu diberikan untuknya.
Meskipun saya tahu dari pengalaman bahwa ini tidak pernah terjadi,
saya tidak belajar dari pengalaman ini. Saya terus mengabaikan bukti-
bukti non-kausal dan bersifat probabilistik berdasarkan pada banyak
proyek serupa di masa lalu, dan memperkirakan penyelesaian perjan-
jian yang hampir tidak pernah saya penuhi. (Saat mempersiapkan
buku ini, saya harus mengambil dua kali lebih lama sepanjang yang
telah saya antisipasi. Bias-bias ini benar-benar sulit dihindari!)

16. Banyak contoh dari kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam Robyn M.
Dawes, Rational Choice in an Uncertain World (Harcourt Brace Jovanovich
College Publishers, 1988), Bab 5.

272
Bab 13
Bias-Bias Peninjauan Kembali
dalam Evaluasi Pelaporan Intelijen

Evaluasi analisis intelijen —evaluasi sang analis sendiri terhadap kepu-


tusan-keputusan mereka dan juga evaluasi terhadap produk intelijen orang
lain— telah didistorsi oleh bias-bias sistematik. Sebagai akibatnya, para
analis menaksir terlalu tinggi kualitas prestasi analitis mereka, dan yang
lain menaksir terlalu rendah atau meremehkan nilai dan kualitas usaha-
usaha mereka. Bias-bias ini tidak hanya terjadi karena hasil dari minat
diri dan kurangnya objektivitas. Bias-bias tersebut juga berasal dari haki-
kat proses mental manusia yang sangat sulit dan bahkan tidak mungkin
untuk diatasi.1

B ias-bias peninjauan kembali (hindsight biases) memengaruhi


evaluasi pelaporan intelijen dalam tiga cara:
1. Para analis normalnya menaksir terlalu tinggi akurasi keputus-
an-keputusan masa lalu mereka.
2. Para konsumen intelijen normalnya menaksir terlalu rendah
betapa banyak yang telah mereka pelajari dari laporan-laporan
intelijen.
3. Pengawas produksi intelijen yang melakukan analisis terhadap
hal-hal yang sudah terjadi (postmortem analysis) terhadap

1. Bab ini awalnya diterbitkan sebagai artikel yang tidak terklasifikasikan dalam
Studies in Intelligence, Vol. 22, No. 2 (Summer 1978), dengan judul “Cognitive
Biases: Problems in Hindsight Analysis.” It was later published in H. Bradford
Westerfield, editor, Inside CIA’s Private World: Declassified Articles from the Agency’s
Internal Journal, 1955-1992 (New Haven: Yale University Press, 1995.)
kegagalan intelijen, normalnya memutuskan bahwa peristi-
wa-peristiwa yang lebih siap dapat diramalkan daripada yang
kenyataannya ada dalam kasus tersebut.
Tidak satu pun dari bias-bias tersebut yang mengejutkan. Para
analis telah meneliti berbagai kecenderungan ini dalam yang lain,
meskipun kemungkinan bukan dalam dirinya sendiri. Apa yang
mungkin tidak diharapkan adalah bahwa bias-bias tersebut tidak
hanya merupakan produk kepentingan diri dan kekurangan objekti-
vitas. Mereka adalah contoh-contoh dari sebuah fenomenon yang
lebih luas yang dibangun ke dalam proses mental manusia dan itu
tidak bisa ditanggulangi oleh peringatan sederhana untuk menjadi
lebih objektif.
Para psikolog yang melakukan eksperimen menggambarkan
berikut ini untuk mencoba mengajarkan kepada para subjek tes
dalam mengatasi bias-bias ini. Subjek-subjek eksperimental dengan
tidak ada kepentingan dalam hasil-hasil tersebut diberi uraian singkat
tentang bias-bias tersebut dan mendorong untuk menghindarinya
atau mengimbangi untuk mereka, tapi tidak bisa dilakukan seperti
itu. Seperti ilusi-ilusi optik, bias-bias kognitif tetap mendesak bahkan
setelah kita menjadi sadar terhadapnya.
Analis, konsumen, dan pengawas mengevaluasi prestasi analitis
yang semuanya umumnya mempunyai satu hal. Mereka melaku-
kan peninjauan pada apa yang sudah terjadi. Mereka mengambil
kebesaran mutakhir ilmu pengetahuan dan memperbandingkan-
nya dengan apa yang mereka atau orang lain lakukan atau bisa atau
seharusnya diketahui sebelum ilmu pengetahuan mutakhir diterima.
Ini sangat kontras dengan perkiraan intelijen, yang selalu melakukan
peninjauan terhadap apa yang terjadi di masa depan, dan perbedaan
di antara dua mode pemikiran ini —peninjauan terhadap apa yang
telah terjadi dengan apa yang akan terjadi— tampaknya menjadi
sumber dari bias yang terjadi.

274
Jumlah informasi bagus yang tersedia jelas lebih besar dalam
peninjauan pada apa yang sudah terjadi dibandingkan apa yang
akan terjadi. Ada beberapa penjelasan yang memungkinkan tentang
bagaimana ini memengaruhi proses mental. Salah satunya adalah
bahwa informasi tambahan yang tersedia pada peninjauan terhadap
apa yang sudah terjadi mengubah persepsi-persepsi dari suatu
situasi secara begitu natural dan serta merta sehingga membuat
banyak orang tidak menyadari perubahan tersebut. Ketika informa-
si baru diterima, ia segera dan tanpa sadar diasimilasikan ke dalam
pengetahuan pra-ada kita. Jika informasi baru ini bertambah secara
signifikan kepada pengetahuan kita —yaitu, jika ia mengatakan hasil
dari sebuah situasi atau jawaban bagi suatu pertanyaan tentang apa
yang sebelumnya tidak bisa kita pastikan— citra-citra mental kita
direstrukturisasikan untuk mempertimbangkan informasi baru.
Dengan manfaat melakukan peninjauan kepada apa yang telah
terjadi, misalnya, faktor-faktor yang sebelumnya dipertimbangkan
relevan mungkin akan menjadi tidak relevan lagi, dan faktor-faktor
yang sebelumnya dipikir mempunyai sedikit relevansi mungkin akan
terlihat sebagai hal yang determinatif.
Setelah sebuah pandangan direstrukturisasi untuk mengasimila-
sikan informasi baru tersebut, sebenarnya tidak ada cara untuk secara
akurat merekonstruksi perangkat mental yang sudah ada sebelumnya.
Ketika bel berbunyi, ia tidak bisa menjadi tidak berbunyi. Seseorang
mungkin mengingat keputusan-keputusannya yang sebelumnya jika
tidak banyak waktu yang berlalu dan keputusan-keputusan tersebut
secara tepat terartikulasikan, tapi tampaknya orang tidak bisa secara
akurat merekonstruksi pemikiran mereka yang sebelumnya. Usaha
untuk merekonstruksi apa yang sebelumnya mereka pikirkan tentang
sebuah situasi yang dimaksudkan, atau apa yang kita akan pikirkan
tentangnya, pastilah sangat dipengaruhi oleh pola pikir mutakhir
kita. Mengetahui hasil dari sebuah situasi membuatnya lebih sulit
untuk membayangkan hasil-hasil lain yang mungkin telah dipertim-
bangkan. Sayangnya, pemahaman bahwa pikiran bekerja dalam
275
mode ini sedikit membantu mengatasi pembatasan tersebut.
Keseluruhan pesan yang dipelajari dari sebuah pemahaman
terhadap bias-bias ini, seperti yang ditunjukkan dalam eksperimen
yang digambarkan berikut ini, adalah bahwa keputusan intelijen
seorang analis tidaklah sebaik yang analis pikirkan, atau seburuk yang
orang lain tampak yakini. Karena bias umumnya tidak bisa diatasi,
maka bias-bias tersebut akan tampak menjadi fakta kehidupan yang
analis harus pertimbangkan dalam mengevaluasi prestasi mereka
sendiri dan dalam menentukan evaluasi-evaluasi apa yang diharap-
kan dari orang lain. Ini menunjukkan kebutuhan akan sebuah usaha
yang lebih sistematis untuk:
• Menentukan apa yang seharusnya diharapkan dari para analis
intelijen.
• Mengembangkan sebuah prosedur yang terinstitusionalisasi
dalam membandingkan keputusan-keputusan dan perkiraan-
perkiraan intelijen dengan hasil-hasil yang sebenarnya.
• Mengukur bagaimana baiknya para analis berbuat sesuai
dengan berbagai pengharapan yang telah ditetapkan.
Bahasan sekarang kembali pada bukti-bukti eksperimental yang
mendemonstrasikan bias-bias ini dari perspektif analis, konsumen,
dan pengawas intelijen.

A. Perspektif Analis

Para analis yang tertarik untuk memperbaiki prestasi diri mere-


ka sendiri harus mengevaluasi perkiraan-perkiraan masa lalu mereka
dalam sudut pandang perkembangan-perkembangan yang ber-
ikutnya. Untuk melakukannya, para analis harus mengingat (atau
mampu merujuk pada) perkiraan-perkiraan masa lalu mereka atau
harus merekonstruksi perkiraan masa lalu mereka atas dasar apa yang
telah mereka ingat dan ketahui tentang situasi pada waktu perkira-
an itu dibuat. Keefektifan proses evaluasi, dan proses pembelajaran

276
yang kepadanya diberikan daya pendorong, tergantung pada bagian
akurasi perkiraan yang diingat atau direkonstruksi ini.
Bukti-bukti eksperimental menunjukkan sebuah kecenderungan
sistematis menuju memori kesalahan dari perkiraan masa lalu.2 Yai-
tu, ketika peristiwa-peristiwa itu terjadi, orang cenderung menaksir
terlalu tinggi dalam tingkatan bahwa mereka sebelumnya telah ber-
harap itu akan terjadi. Dan sebaliknya, ketika peristiwa-peristiwa
itu tidak terjadi, orang cenderung untuk meremehkan probabili-
tas yang sebelumnya telah mereka tetapkan pada kejadian mereka.
Pendeknya, segala peristiwa umumnya tampak kurang mengejut-
kan daripada yang mereka seharusnya menjadi dasar bagi perkiraan
masa lalu. Bukti eksperimental ini sesuai dengan pengalaman intui-
tif sang analis. Para analis jarang yang tampak —atau membiarkan
diri mereka tampak— sangat terkejut oleh jalannya peristiwa yang
mereka ikuti.
Dalam eksperimen-eksperimen untuk menguji bias dalam
memori perkiraan masa lalu, 119 subjek diminta untuk memperki-
rakan probabilitas bahwa sejumlah peristiwa akan atau tidak akan
terjadi selama perjalanan Presiden Nixon ke Peking dan Moskow
pada tahun 1972. Limabelas akibat yang memungkinkan telah
diidentifikasi untuk setiap perjalanan, dan setiap subjek ditetapkan
sebuah probabilitasnya untuk setiap akibat ini. Akibat-akibat itu
diseleksi untuk menutupi kisaran perkembangan yang memungkin-
kan dan untuk memperoleh sebuah kisaran nilai-nilai probabilitas
yang luas.
Pada periode waktu yang bervariasi setelah perjalanan tersebut,
subjek-subjek yang sama diminta untuk mengingat atau merekon-
struksi berbagai prediksi mereka sendiri seakurat mungkin. (Bukan
penjelasan yang dibuat tentang tugas memori pada waktu prediksi

2. Bagian ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Baruch Fischoff
dan Ruth Beyth dalam “I Knew It Would Happen: Remembered Probabilities
of Once-Future Things,” Organizational Behavior and Human Performance, 13
(1975), hlm. 1-16.

277
aslinya.) Kemudian subjek-subjek tersebut diminta mengindikasikan
apakah mereka berpikir masing-masing peristiwa telah atau tidak telah
terjadi selama perjalanan-perjalanan ini.
Ketika tiga atau enam bulan dibiarkan berlalu di antara perkira-
an subjek-subjek dan rekoleksi mereka terhadap perkiraan ini, 84
persen dari subjek tersebut menunjukkan bias ketika berhadapan
dengan peristiwa-peristiwa yang telah mereka yakini benar-benar
terjadi. Yaitu, kemungkinan-kemungkinan yang mereka ingat
telah diperkirakan itu lebih tinggi daripada perkiraan sebenarnya
dari peristiwa-peristiwa ini yang mereka yakini sebenarnya terjadi.
Dengan cara yang sama, untuk peristiwa-peristiwa yang telah mereka
yakini tidak terjadi, berbagai probabilitas yang mereka ingat telah
diperkirakan itu malah lebih rendah daripada perkiraan mereka yang
sebenarnya, meskipun di sini bias itu tidak begitu besar. Untuk kedua
jenis peristiwa tersebut, bias lebih ditegaskan setelah tiga atau enam
bulan berlalu daripada ketika subjek-subek tersebut diminta untuk
mengingat berbagai perkiraan yang telah mereka tentukan hanya
dua minggu sebelumnya.
Ringkasnya, pengetahuan tentang akibat agak memengaruhi
memori mayoritas subjek tes tersebut terhadap perkiraan mereka
sebelumnya tentang akibat-akibat ini, dan semakin banyak waktu
yang diberikan untuk menghapus memori, semakin besar pengaruh
biasnya. Perkembangan selama perjalanan presiden dirasakan kurang
mengejutkan daripada yang telah mereka perkirakan jika perkiraan
yang sebenarnya diperbandingkan dengan akibat yang sebenarnya.
Dari 84 persen subjek yang menunjukkan bias yang terantisipa-
si, evaluasi mereka sebelumnya terhadap prestasi estimatif mereka
jelas lebih menguntungkan dibandingkan yang dijamin oleh fakta-
fakta.

278
B. Perspektif Konsumen

Ketika konsumen laporan-laporan intelijen mengevalua-


si kualitas produk intelijen, mereka bertanya pada diri mereka
sendiri pertanyaan: “Seberapa banyak saya belajar dari laporan-
laporan ini yang tidak saya ketahui?” Dalam menjawab pertanyaan
ini, ada sebuah kecenderungan konsisten bagi banyak orang untuk
meremehkan kontribusi yang dibuat oleh informasi baru. Bias “Aku
mengetahui semuanya” ini menyebabkan konsumen memandang
rendah produk intelijen.3
Kenyataan bahwa orang umumnya bereaksi terhadap infor-
masi tersebut dengan cara seperti ini telah diuji dalam serangkaian
eksperimen yang melibatkan 320 orang, yang masing-masing dari
mereka menjawab 75 pertanyaan faktual yang sama yang diambil
dari almanak dan ensiklopedi. Sebagai satu ukuran dari konfidensi
mereka terhadap jawaban-jawaban mereka, subjek diberikan untuk
setiap pertanyaan angka yang berkisar dari 50 persen hingga 100
persen, yang mengindikasikan perkiraan probabilitas mereka bah-
wa mereka telah memilih jawaban yang benar.
Sebagai langkah kedua dalam eksperimen tersebut, subjek dibagi
menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama diberikan 25 pertanyaan
yang dipertanyakan sebelumnya dan diinstruksikan untuk menang-
gapinya secara pasti seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Ini hanya menguji kemampuan subjek untuk mengingat jawaban
mereka yang sebelumnya. Kelompok kedua diberikan 25 pertanya-
an yang sama, tapi dengan jawaban yang benar diputar-putar “untuk
informasi umum sang [subjek] Anda”. Mereka juga diminta untuk
menanggapi dengan memperkenalkan jawaban mereka sebelumnya.
Ini menguji tingkat pembelajaran jawaban benar yang mendistorsi-
kan ingatan-ingatan subjek terhadap jawaban mereka sebelumnya.

3. Eksperimen-eksperimen yang digambarkan dalam bagian ini dilaporkan dalam


Baruch Fischhoff, The Perceived Informativeness of Factual Information, Technical
Report DDI- I (Eugene, OR: Oregon Research Institute, 1976).

279
Jadi, hal ini bisa mengukur bias yang sama dalam mengumpulkan
kembali perkiraan-perkiraan sebelumnya yang telah dibahas di atas,
yakni dari perspektif analis.
Kelompok ketiga diberikan 25 pertanyaan berbeda yang tidak
mereka lihat sebelumnya, tapi pertanyaan tersebut mempunyai
tingkat kesulitan yang sama sehingga hasil-hasilnya bisa diperban-
dingkan dengan dua kelompok yang lain. Jawaban yang benar
ditandai dalam daftar pertanyaan, dan subjek-subjek diminta untuk
menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu seperti mereka yang telah
menanggapi pertanyaan yang tidak dikatakan jawabannya. Ini
menguji kemampuan mereka dalam mengingat secara akurat sebera-
pa banyak yang telah mereka ketahui sebelum mereka mempelajari
jawaban yang benar. Situasi itu bisa diperbandingkan dengan respons
konsumen intelijen yang diminta untuk mengevaluasi sebera-
pa banyak yang telah mereka pelajari dari laporan tersebut, dan
siapa yang bisa melakukan ini hanya dengan mencoba mengolek-
si kembali tingkat pengetahuan mereka sebelum mereka membaca
laporan tersebut.
Hasil yang paling signifikan datang dari kelompok subjek yang
ketiga. Kelompok itu jelas membanggakan apa yang telah mereka
ketahui secara orisinil dan memandang remeh seberapa banyak
yang mereka pelajari dari yang telah dikatakan jawabannya. Untuk
19 dari 25 item dalam satu proses eksperimen dan 20 dari 25 item
dalam proses yang lain, kelompok ini mendapatkan probabilitas
yang lebih tinggi untuk alternatif-alternatif yang benar dibanding-
kan mereka yang layak berharap dapat diberikan jawaban benar yang
tidak mereka ketahui sebelumnya.
Ringkasnya, eksperimen tersebut menegaskan hasil-hasil
eksperimen sebelumnya yang menunjukkan bahwa orang yang
diberi tahu jawabannya cenderung mengingat yang telah diketahui
tersebut daripada yang sebenarnya telah mereka lakukan. Ia juga
mendemonstrasikan bahwa orang mempunyai sebuah kecenderung-
an yang lebih besar untuk membesar-besarkan kemungkinan yang
280
akan mereka ketahui dari jawaban yang benar tersebut jika mereka
tidak diinformasikan tentangnya. Dengan kata lain, orang cenderung
meremehkan baik seberapa banyak yang telah mereka pelajari dari
informasi baru tersebut maupun dalam hal bahwa informasi baru
tersebut membolehkan mereka untuk membuat keputusan yang
benar dengan konfidensi yang lebih besar. Sampai di sini, konsumen
intelijen memanifestasikan bias-bias yang sama ini, dan mereka akan
cenderung untuk meremehkan nilai pelaporan intelijen tersebut.

C. Perspektif Pengawas

Pengawas, sebagai istilah yang digunakan di sini, adalah


orang yang menginvestigasi prestasi intelijen dengan melakukan
sebuah pengujian terhadap peristiwa atau hal-hal yang sudah terjadi
(apostmortem-examination) dari suatu kegagalan intelijen berprofil
tinggi. Investigasi seperti itu dilakukan oleh Kongres, staf Komuni-
tas Intelijen, dan manajemen CIA atau DI. Untuk di luar cabang
eksekutif tersebut yang tidak secara teratur membaca produk inteli-
jen, jenis evaluasi retrospektif terhadap kegagalan intelijen yang
terkenal ini menjadi basis utama bagi keputusan-keputusan tentang
kualitas analisis intelijen.
Sebuah pertanyaan fundamental dalam beberapa investigasi
terhadap peristiwa atau hal yang sudah terjadi (postmortem-investi-
gation) dari kegagalan intelijen adalah ini: Dengan memberikan
informasi yang tersedia pada waktu itu, haruskah analis sudah
mampu meramalkan apa yang akan terjadi? Evaluasi prestasi inteli-
jen yang terbiaskan tergantung pada kemampuan untuk memberikan
sebuah jawaban yang terbiaskan terhadap pertanyaan ini.4

4. Eksperimen-eksperimen yang digambarkan dalam bagian ini dilaporkan dalam


Baruch Fischhoff, “Hindsight does not equal Foresight: The Effect of Outcome
Knowledge on Judgment Under Uncertainty,” Journal of Experimental Psychology:
Human Perception and Performance, 1, 3 (1975), hlm. 288-299.

281
Sayangnya, ketika sebuah peristiwa terjadi, sangatlah tidak
mungkin menghapuskan dari pikiran kita pengetahuan tentang
peristiwa tersebut dan merekonstruksi apa yang menjadi proses
pikiran kita yang akan terjadi pada poin paling awal dalam waktu
itu. Dalam merekonstruksi masa lalu, ada sebuah kecenderungan
terhadap determinisme, menuju pemikiran bahwa apa yang terjadi
menjadi tidak terhindarkan lagi di bawah lingkungan tersebut dan
karenanya bisa diprediksi. Singkatnya, ada sebuah kecenderungan
untuk memercayai para analis yang seharusnya telah meramalkan
peristiwa-peristiwa yang kenyataannya tidak bisa diramalkan atas
dasar informasi yang tersedia pada waktu itu.
Eksperimen-eksperimen yang dilaporkan dalam paragraf
berikut ini menguji berbagai hipotesis bahwa pengetahuan dari suatu
akibat meningkatkan ketidakterelakkannya akibat yang dirasakan
tersebut, dan bahwa orang yang telah diinformasikan akan akibat
itu benar-benar tidak sadar bahwa informasi ini telah mengubah
persepsi mereka dengan cara ini.
Serangkaian ringkasan yang menggunakan eksperimen kecil
(150 kata) meringkas beberapa peristiwa untuk setiap empat akibat
yang memungkinkan yang telah diidentifikasi. Salah satu dari peristi-
wa ini adalah perjuangan antara Inggris dan Gurka di India pada
tahun 1814. Empat akibat yang memungkinkan untuk peristiwa ini
adalah: (1) kemenangan Inggris, (2) kemenangan Gurka, (3) jalan
buntu militer dengan tidak ada penyelesaian damai, dan (4) jalan
buntu militer dengan sebuah penyelesaian damai. Empat kelompok
dari 20 subjek masing-masing berpartisipasi dalam setiap eksperi-
men kecil ini. Satu kelompok menerima deskripsi 150 kata tentang
perjuangan di antara Inggris dan Gurkha dengan tidak ada indikasi
akibat. Empat kelompok yang lain menerima deskripsi identik tapi
dengan satu pernyataan yang ditambahkan untuk mengindikasi-
kan akibat dari perjuangan tersebut —sebuah akibat berbeda dari
masing-masing kelompok.

282
Subjek dalam lima kelompok tersebut semuanya diminta
memperkirakan kemungkinan dari masing-masing empat akibat yang
memungkinkan di atas dan mengevaluasi relevansi dengan keputusan
mereka pada masing-masing data dalam deskripsi peristiwa tersebut.
Subjek-subjek yang mendapatkan informasi tentang akibat tersebut
ditempatkan dalam posisi yang sama sebagai pengawas analisis inteli-
jen yang tengah mempersiapkan sebuah analisis postmortem dari
sebuah kegagalan intelijen. Orang ini mencoba untuk menaksir
probabilitas dari suatu akibat yang hanya didasarkan pada informa-
si yang tersedia sebelum akibat itu diketahui. Hasilnya bisa dilihat
dalam Gambar 18.
Sedangkan kelompok yang tidak mendapatkan informa-
si tentang beberapa akibat memutuskan probabilitas dari Akibat 1
sebanyak 33, 8 persen, ketika kelompok yang diberi informasi bahwa
Akibat 1 menjadi akibat sebenarnya yang merasakan probabilitas
dari akibat ini sebanyak 57,2 persen. Probabilitas yang diperkirakan
jelas dipengaruhi oleh pengetahuan tentang akibat tersebut. Dengan
cara yang sama, kelompok kontrol dengan tidak ada pengetahuan
tentang akibat memperkirakan probabilitas Akibat 2 sebanyak 21,3
persen, sedangkan mereka yang diberi informasi bahwa Akibat 2
adalah akibat yang sebenarnya merasakannya sebagai mempunyai
probabilitas 38,4 persen.

283
Rata-rata dari semua hasil perkiraan dalam enam eksperi-
men kecil (total 2.188 perkiraan oleh 547 subjek) mengindikasikan
bahwa pengetahuan atau keyakinan salah satu dari empat hasil yang
memungkinkan itu telah terjadi kira-kira dua kali lipat kemungkin-
an yang dirasakan dari hasil tersebut sebagaimana yang diputuskan
dengan peninjauan kembali ke masa lalu (hindsight) jika diperban-
dingkan dengan peninjauan ke masa depan (foresight).
Relevansi subjek-subjek tersebut yang diperhubungkan dengan
beberapa data juga sangat dipengaruhi oleh hasil, jika ada, yang
telah mereka anggap benar. Sebagaimana yang Roberta Wohlstetter
tulis, “Sangatlah mudah setelah fakta itu untuk memilah sinyal-
sinyal yang relevan dengan yang tidak relevan. Tentunya, setelah
peristiwa itu, sebuah sinyal selalu sebening kristal. Sekarang kita
bisa melihat sinyal penderitaan apa yang terjadi ketika penderita-
an itu muncul, tapi sebelum peristiwa itu menjadi jelas dan penuh

284
dengan makna-makna konflik.”5 Fakta bahwa hasil-hasil pengeta-
huan secara otomatis merestrukturkan sebuah keputusan seseorang
tentang relevansi data yang tersedia mungkin menjadi satu alasan
mengapa begitu sulit merekonstruksi bagaimana proses pemikiran
kita itu berlangsung atau akan terjadi tanpa hasil pengetahuan ini.
Dalam beberapa variasi eksperimen ini, subjek diminta menang-
gapi seolah-olah mereka tidak tahu hasilnya, atau seperti halnya
tanggapan orang lain yang hasilnya tidak mereka ketahui. Hasil-
hasilnya sedikit berbeda, yang mengindikasikan bahwa subjek sangat
tidak sadar tentang bagaimana pengetahuan dari hasil itu memeng-
aruhi persepsi mereka sendiri. Eksperimen itu juga menunjukkan
bahwa subjek tidak mampu berempati tentang bagaimana cara orang
lain memutuskan situasi-situasi ini. Perkirakan bagaimana orang lain
akan menerjemahkan data tanpa mengetahui hasil yang sebenar-
nya sama seperti penafsiran-penafsiran retrospektif sang subjek tes
sendiri.
Hasil-hasil ini mengindikasikan bahwa pengawas melakukan
evaluasi post-mortem terhadap apa yang para analis harus mampu
ramalkan, yakni memberikan ketersediaan informasi, yang akan
cenderung merasakan hasil dari situasi tersebut, seperti yang telah
dapat diprediksikan lebih daripada kenyataannya yang menjadi kasus
tersebut. Karena mereka tidak mampu merekonstruksi keadaan
pikiran yang memandang situasi hanya dengan peninjauan ke depan,
bukan peninjauan ke belakang, maka para pengawas cenderung akan
lebih kritis terhadap performa intelijen daripada yang telah menjadi
tuntutan.

D. Diskusi tentang Eksperimen

Berbagai eksperimen yang mendemonstrasikan bias-bias ini dan


penentangan mereka terhadap aksi korektif dilakukan sebagai bagian

5. Roberta Wohlstetter, Pearl Harbor: Warning and Decision (Stanford, CA: Stanford
University Press, 1962), hlm. 387. Dikutip oleh Fischhoff.

285
dari suatu program penelitian dalam analisis keputusan yang didanai
oleh Agen Proyek Penelitian Pertahanan Lanjutan. Sayangnya,
subjek-subjek eksperimen itu adalah pelajar, bukan anggota Komuni-
tas Intelijen. Namun demikian, ada alasan untuk meyakini hasil
tersebut bisa digeneralisasikan untuk digunakan dalam Komunitas
Intelijen. Eksperimen-eksperimen berhadapan dengan proses mental
dasar manusia, dan hasilnya tampak konsisten dengan pengalaman
personal dalam Komunitas Intelijen. Dalam jenis ujicoba psikologis
yang serupa, di mana para ahli termasuk para analis intelijen dijadi-
kan sebagai subjek tes, para ahli itu menunjukkan pola respons yang
sama seperti para pelajar tersebut.
Usaha saya yang tidak sempurna untuk meniru salah satu dari
eksperimen ini dengan menggunakan analis intelijen juga mendukung
validitas penemuan-penemuan sebelumnya. Untuk menguji tuntut-
an tersebut di mana para analis intelijen normalnya membanggakan
akurasi keputusan-keputusan masa lalu mereka, maka ada dua
prakondisi yang diperlukan. Pertama, para analis harus membuat
serangkaian perkiraan dalam pengertian kuantitatif —yaitu, mereka
tidak harus mengatakan bahwa peristiwa seperti itu adalah mungkin,
tapi bahwa ada, misalnya, kesempatan 75 persen dari peristiwa
tersebut. Kedua, ia harus menjadi mungkin untuk membuat sebuah
determinasi tidak ambigu apakah peristiwa yang diperkirakan itu
terjadi atau tidak terjadi. Ketika dua prakondisi ini hadir, orang bisa
kembali dan memeriksa rekoleksi para analis dari perkiraan awal
mereka. Karena perkiraan-perkiraan CIA jarang yang dinyatakan
dalam pengertian probabilitas kuantitatif, dan karena peristiwa dari
suatu peristiwa yang diperkirakan dalam suatu periode waktu tertentu
sering kali tidak bisa ditentukan secara tidak ambigu, maka prakon-
disi-prakondisi ini jarang yang bisa dipertemukan.
Namun, saya mengidentifikasi beberapa analis yang, pada dua
subjek yang sangat berbeda, telah membuat perkiraan kuantitatif
tentang kemungkinan berbagai peristiwa yang hasil berikutnya jelas
diketahui. Saya pergi kepada para analis ini dan meminta mereka
286
untuk menyebutkan perkiraan-perkiraan awal mereka. Kondisi-
kondisi untuk eksperimen kecil ini jauh dari ideal dan hasilnya tidak
jelas, tapi mereka cenderung mendukung kesimpulan-kesimpulan
yang tergambar dari eksperimen yang lebih ekstensif dan sistematis
yang tergambar di atas.
Semua ini mengarah pada kesimpulan bahwa tiga bias ditemu-
kan dalam personel Komunitas Intelijen dan juga dalam subjek tes
yang spesifik. Kenyataannya, orang akan berharap bias-bias tersebut
bahkan menjadi lebih besar dalam para profesional urusan luar
negeri yang memiliki karier dan harga diri tergantung pada perkira-
an akurasi keputusan mereka.

Bisakah Kita Mengatasi Bias-Bias Ini?

Para analis cenderung menyalahkan evaluasi-evaluasi prestasi


intelijen yang terbiaskan yang paling baik atas pengabaian dan paling
buruk atas kepentingan diri dan kurangnya objektivitas. Kedua faktor
ini mungkin juga bekerja, tapi eksperimen-eksperimen menunjukkan
hakikat proses mental manusia yang juga menjadi pelaku kejahatan
yang utama (a principal culprit). In adalah sebab yang paling keras
kepala dibandingkan pengabaian atau kurangnya objektivitas.
Kepentingan diri terhadap subjek-subjek eksperimental tidaklah
menjadi taruhan, bahkan mereka menunjukkan jenis bias yang
sama dengan yang para analis akrabi. Lagi pula, dalam situasi-situasi
eksperimental ini, bias-bias tersebut sangatlah resisten terhadap
usaha-usaha untuk mengatasinya. Subjek-subjek diinstruksikan
untuk membuat perkiraan-perkiraan seolah-olah mereka sudah tidak
mengetahui jawabannya, tapi mereka tidak mampu melakukannya
seperti itu. Satu kelompok subjek tes diberi pengarahan singkat secara
khusus mengenai bias tersebut, dan mengungkapkan hasil-hasil
eksperimen-eksperimen sebelumnya. Kelompok ini diinstruksikan
untuk mencoba mengimbangi bias tersebut, tapi ia tidak mampu
melakukan hal itu. Meskipun dengan informasi maksimal dan tujuan

287
yang terbaik, bias tersebut tetap berlangsung.
Sikap keras kepala ini menunjukkan bahwa bias ini benar-
benar mempunyai akar-akarnya dalam hakikat proses mental kita.
Para analis yang mencoba menyebutkan sebuah perkiraan sebelum-
nya setelah mempelajari hasil-hasil peristiwa yang sebenarnya, para
konsumen yang berpikir tentang seberapa banyak laporan yang
telah ditambahkan kepada pengetahuan mereka, dan para pengawas
yang memutuskan apakah analis harus mampu menghindari sebuah
kegagalan intelijen, umumnya semuanya mempunyai satu hal.
Mereka melakukannya dalam suatu proses mental dengan melibat-
kan peninjauan terhadap hal-hal yang sudah terjadi (hindsight).
Mereka tengah mencoba untuk menghapus dampak pengetahu-
an, agar supaya mengingat, merekonstruksi, atau membayangkan
ketidakpastian yang telah mereka punyai atau akan punyai tentang
suatu subjek yang sebelumnya menerima informasi yang kurang
lebih definitif.
Namun, tampaklah bahwa penerimaan terhadap apa yang
diterima sebagai informasi definitif atau otoritatif menyebabkan
sebuah restrukturisasi yang segera tapi tidak sadar tentang suatu
gambaran mental seseorang untuk membuatnya konsisten dengan
informasi baru. Ketika persepsi-persepsi masa lalu telah terstruktur-
kan, tampaklah sangat sulit, jika tidak mungkin, merekonstruksi
secara akurat apa yang proses pemikiran seseorang adakan atau akan
adakan sebelum perestrukturan ini.
Ada satu prosedur yang mungkin membantu mengatasi bias-
bias ini. Ia memiliki pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut ini: Para
analis harus bertanya pada diri mereka sendiri, “Jika hasil berlawanan
yang terjadi, akankah aku menjadi terkejut?” Para konsumen harus
bertanya, “Jika laporan ini dikatakan kepadaku berlawanan, akankah
aku akan memercayainya?” Dan para pengawas harus bertanya,
“Jika hasil yang berlawanan yang terjadi, akankah ia bisa dipredik-
si memberikan informasi yang tersedia?” Pertanyaan-pertanyaan
ini mungkin membantu orang menyebutkan atau merekonstruk-
288
si ketidakpastian yang ada sebelum mempelajari kandungan sebuah
laporan atau hasil dari suatu situasi.
Metode mengatasi bias ini bisa diuji oleh para pembaca pada
bab ini, khususnya mereka yang yakin gagal mengatakan kepada
mereka lebih banyak yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Jika bab ini melaporkan bahwa berbagai eksperimen psikologis
tidak menunjukkan pola yang konsisten tentang para analis yang
membanggakan akurasi perkiraan mereka, ataukah para konsumen
meremehkan nilai dari produk kita, akankah Anda memercayai-
nya? (Jawabannya mungkin tidak.) Jika dilaporkan bahwa berbagai
eksperimen psikologis tersebut menunjukkan bias-bias ini hanya
karena disebabkan oleh kepentingan diri dan kurangnya objektivi-
tas, akankah Anda memercayai hal ini? (Jawabannya mungkin ya.)
Dan akankah Anda meyakininya jika bab ini melaporkan bahwa
bias-bias ini bisa diatasi oleh sebuah usaha yang sungguh-sungguh
dengan evaluasi yang objektif? (Jawabannya mungkin ya.)
Pertanyaan-pertanyaan ini mengarahkan Anda, pembaca, untuk
mengingat keadaan pengetahuan atau keyakinan-keyakinan Anda
sebelum membaca bab ini. Jika demikian, pertanyaan-pertanyaan
itu akan menjadi semacam ringkasan tentang apa yang telah Anda
pelajari di sini —yaitu, bias-bias signifikan dalam evaluasi perkiraan
intelijen yang bisa diperhubungkan dengan hakikat proses mental
manusia, bukan hanya demi kepentingan diri dan kurangnya objekti-
vitas, dan karenanya mereka menjadi sangat sulit untuk diatasi.

289
Bagian IV
Kesimpulan
Bab 14
Memperbaiki Analisis Intelijen

Bab ini menawarkan sebuah daftar bagi para analis —sebuah ring-
kasan tips tentang bagaimana menavigasikan timbunan masalah yang
teridentifikasi pada bab-bab sebelumnya. Bab ini juga mengidentifikasi
langkah-langkah yang para manajer analisis intelijen bisa ambil untuk
membantu menciptakan sebuah lingkungan yang di dalamnya keunggul-
an analitis bisa berjalan dengan baik.

B agaimana mungkin analisis intelijen diperbaiki? Itulah tantangan-


nya. Beragam pendekatan tradisional digunakan dalam mengejar
tujuan ini: mengoleksi informasi secara lebih banyak dan lebih baik
agar bisa digunakan para analis, mengubah manajemen proses analitis,
meningkatkan jumlah analis, memberikan kajian bahasa dan kawasan
yang dianalisis untuk memperbaiki keahlian substantif analis, merevisi
seleksi pegawai dan kriteria penyimpanan (dalam memori), memper-
baiki keterampilan penulisan laporan, mendapatkan sesuatu yang
benar tentang hubungan antara analisis intelijen dengan konsumen
intelijen, dan memodifikasi berbagai jenis produk analisis.
Beberapa ukuran ini mungkin memainkan peran penting, tapi
analisis, di atas semuanya, menjadi sebuah proses mental. Secara tra-
disional, para analis di semua tingkatan hanya mencurahkan sedikit
perhatian untuk memperbaiki bagaimana cara mereka berpikir. Untuk
menembus hati dan jiwa masalah dalam memperbaiki analisis, perlu
pemahaman yang lebih baik, serta memengaruhi dan memandu pro-
ses-proses mental sang analis sendiri.
A. Daftar bagi Para Analis

Daftar bagi para analis ini meringkaskan panduan dasar melaku-


kan manuver melalui timbunan masalah yang dihadapi ketika bekerja
melalui proses analitis. Mengikuti panduan dasar ini akan memban-
tu para analis untuk melindungi diri mereka sendiri dari kesalahan
yang dapat dihindari dan memperbaiki kesempatan-kesempatan
mereka membuat panggilan yang benar. Diskusi disusun sekitar
enam langkah kunci dalam proses analitis: menetapkan masalah,
menghasilkan hipotesis, mengumpulkan informasi, mengevaluasi
proses, menyeleksi hipotesis-hipotesis yang kemungkinannya paling
besar, dan terus memonitor informasi baru.

1. Menetapkan Masalah
Mulailah dengan memastikan Anda tengah bertanya —atau
dipertanyakan— pertanyaan-pertanyaan yang benar. Jangan ragu
untuk melindungi rantai komando dengan suatu saran untuk
melakukan sesuatu yang sedikit berbeda dari apa yang diperta-
nyakan. Para pembuat kebijakan yang mengeluarkan syarat-syarat
mungkin tidak berpikir melalui kebutuhannya, atau syarat-syarat
itu mungkin agak memutarbalikkan fakta karena harus melalui
beberapa eselon manajemen. Anda mungkin mempunyai sebuah
pemahaman yang lebih baik daripada pembuat kebijakan tentang
apa yang dia butuhkan, atau seharusnya punyai, atau apa yang
mungkin dilakukan. Di permulaan, juga pastikan pengawas Anda
sadar akan perubahan yang melibatkan kompromi antara kualitas
analisis dengan apa yang Anda bisa selesaikan dalam suatu deadli-
ne waktu tertentu.

2. Menghasilkan Hipotesis
Identifikasi semua hipotesis yang masuk akal yang harus
dipertimbangkan. Buatlah sebuah daftar dengan gagasan sebanyak
mungkin dengan berkonsultasi pada kolega dan ahli-ahli dari luar.
294
Lakukan ini dalam suatu mode ilham, menangguhkan keputusan
selama mungkin sampai semua gagasan ada di luar tabel.
Kemudian kurangi dafatar pada suatu jumlah hipotesis yang
bisa dikerjakan untuk mendapatkan analisis yang lebih detail. Sering
kali, salah satu dari hal ini akan menjadi sebuah hipotesis menipu —
yang negara atau kelompok lain gunakan untuk menolak dan menipu
agar bisa memengaruhi persepsi atau aksi Amerika Serikat.
Pada tahapan ini, jangan tutup layar hipotesis yang masuk akal
hanya karena tidak ada bukti yang mendukungnya. Ini secara khusus
dipakai untuk menipu hipotesis. Jika negara lain menyembunyikan
maksudnya melalui penolakan dan penipuan, Anda kemungkinan
tidak harus berharap bisa melihat bukti-bukti darinya tanpa meleng-
kapi analisis yang sangat saksama dari kemungkinan ini. Hipotesis
menipu dan hipotesis yang masuk akal mungkin tidak menunjukkan
bukti-bukti seketika untuk harus berpindah pada tahapan analisis
selanjutnya sampai mereka bisa dipertimbangkan dengan saksama
dan, jika layak, menolak dengan sebab-sebab yang baik.

3. Mengumpulkan Informasi
Bersandarkan hanya pada informasi yang secara otomatis
dikirimkan kepada Anda, kemungkinan tidak akan memecah-
kan masalah pada semua masalah analitis Anda. Untuk melakukan
pekerjaan yang benar, mungkin dibutuhkan melihat ke tempat
lain dan menggali lebih banyak informasi. Hubungi para kolektor,
personel Direktorat Operasi yang lain, atau para analis pemotong
pertama yang sering kali menghasilkan informasi tambahan. Juga
periksa para spesialis akademis, surat-surat kabar asing, dan berbagai
jurnal khusus.
Kumpulkan informasi untuk mengevaluasi semua hipotesis
yang masuk akal, bukan hanya mengevaluasi satu hipotesis yang
kemungkinannya paling besar. Eksplorasi berbagai hipotesis alterna-
tif yang tampak tidak dipertimbangkan secara serius sebelum sering
kali mengarahkan seorang analis ke dalam kawasan yang tidak
295
diharapkan dan tidak familiar. Misalnya, mengevaluasi kemung-
kinan penipuan membutuhkan evaluasi terhadap motif-motif,
kesempatan-kesempatan, dan alat-alat penolakan dan penipuan dari
negara-negara atau kelompok-kelompok lain. Hal ini pada giliran-
nya mungkin membutuhkan pemahaman tentang kekuatan dan
kelemahan kemampuan koleksi teknis dan sumber daya manusia
Amerika Serikat.
Sangatlah penting menangguhkan keputusan ketika informa-
si dipasangkan kepada masing-masing hipotesis. Memang mudah
membentuk kesan tentang sebuah hipotesis atas dasar sangat sedikit-
nya informasi, tapi sangat sulit untuk mengubah sebuah kesan ketika
ia telah diambil akarnya. Jika Anda menemukan diri Anda tengah
berpikir Anda sudah tahu jawabannya, tanyakan diri Anda sendiri
apa yang akan menyebabkan Anda mengubah pikiran Anda; kemudi-
an carilah informasi itu.
Cobalah mengembangkan hipotesis-hipotesis alternatif
agar bisa menentukan jika beberapa alternatif —ketika diberikan
kesempatan yang adil— mungkin tidak sama memaksanya dengan
pandangan-pandangan yang telah Anda pertimbangkan sebelum-
nya. Perkembangan sistematis dari suatu hipotesis alternatif biasanya
meningkatkan kemungkinan yang dirasakan dari hipotesis tersebut.
“Sebuah kehendak untuk bermain dengan materi dari sudut yang
berbeda dan dalam konteks hipotesis yang tidak popular dan juga
yang popular menjadi suatu bahan yang esensial bagi seorang detektif
yang baik, apakah akhirnya menjadi solusi dari suatu kejahatan
ataukah menjadi sebuah perkiraan intelijen.”1

4. Mengevaluasi Hipotesis-Hipotesis
Jangan tersesat oleh fakta bahwa begitu banyak bukti yang
mendukung gagasan yang telah Anda pertimbangkan sebelumnya

1. Roberta Wohlstetter, Pearl Harbor: Warning and Decision (Stanford: Stanford


University Press, 1962), hlm. 302.

296
akan menciptakan hipotesis yang kemungkinannya paling besar.
Bukti yang sama mungkin konsisten dengan beberapa hipotesis yang
berbeda. Fokuslah pada pengembangan argumen-argumen melawan
setiap hipotesis daripada mencoba menguatkan hipotesis-hipotesis
tersebut. Dengan kata lain, berikan perhatian khusus pada bukti-
bukti atau asumsi-asumsi yang menunjukkan satu atau lebih hipotesis
yang kemungkinannya kurang daripada yang lain.
Akui bahwa kesimpulan-kesimpulan Anda mungkin dikenda-
likan oleh asumsi-asumsi yang menentukan bagaimana Anda
menafsirkan bukti-bukti daripada dengan bukti-bukti itu sendiri.
Khususnya yang kritis adalah asumsi-asumsi tentang apa yang ada
dalam kepentingan nasional negara lain dan bagaimana hal-hal yang
biasanya dilakukan dalam negara tersebut. Asumsi-asumsi menjadi
bagus sepanjang mereka dibuat eksplisit dalam analisis Anda dan
Anda menganalisis sensitivitas kesimpulan-kesimpulan Anda bagi
asumsi-asumsi tersebut. Tanyakan diri Anda sendiri, akankah
asumsi-asumsi yang berbeda mengarah pada suatu interpretasi
terhadap bukti yang berbeda dan juga kesimpulan yang berbeda?
Pertimbangkan untuk menggunakan format matriks yang
dibahas dalam Bab 8, “Analisis terhadap Berbagai Hipotesis yang
Bersaing”, untuk menjaga lajur bukti dan bagaimana ia menghu-
bungkan hipotesis-hipotesis yang beragam.
Berhati-hatilah terhadap berbagai bias kognitif. Khususnya
bahaya bias-bias tersebut yang terjadi ketika Anda kekurangan
pemahaman yang mencukupi tentang bagaimana situasi tersebut
tampak dari sudut pandang negara lain. Jangan isi kesenjangan dalam
pengetahuan Anda dengan menganggap bahwa sisi lain itu kemung-
kinan bertindak dalam suatu cara tertentu, karena itulah bagaimana
pemerintah Amerika Serikat akan bertindak, atau orang Amerika lain
akan bertindak, di bawah lingkungan-lingkungan yang serupa.
Akuilah bahwa persepsi Amerika Serikat terhadap kepenting-
an nasional negara lain dan proses pembuatan keputusannya sering
kali berbeda dari bagaimana negara tersebut merasakan kepenting-
297
annya sendiri dan bagaimana keputusan-keputusan itu sebenarnya
dibuat dalam negara tersebut. Pada tahun 1890-90, misalnya,
banyak analis urusan Timur Tengah jelas beranggapan bahwa Irak
akan mendemobilisasikan bagian dari pasukan bersenjatanya setelah
perang Iran-Irak yang berkepanjangan sehingga bisa membantu
merehabilitasi ekonomi Irak. Mereka juga meyakini bahwa Baghdad
akan melihat bahwa menyerang negara tetangga Arab tidak akan
menjadi kepentingan terbaik Irak. Namun, kita sekarang tahu bahwa
mereka salah.
Ketika membuat sebuah keputusan tentang apa yang negara
lain kemungkinan lakukan, investasikan apa pun waktu dan usaha
yang dibutuhkan untuk berkonsultasi dengan siapa pun para ahli
yang mempunyai pemahaman terbaik tentang apa yang pemerintah-
an negara itu sebenarnya pikirkan dan bagaimana keputusan yang
mungkin bisa dibuat.
Jangan beranggapan bahwa setiap aksi pemerintah negara lain
didasarkan pada sebuah keputusan rasional dalam mengejar segala
tujuan teridentifikasi mereka. Akuilah bahwa aksi-aksi pemerintah
tersebut kadang paling baik dijelaskan sebagai sebuah produk tawar-
menawar di antara berbagai entitas birokratis yang semi-independen,
yang mengikuti standar prosedur pelaksanaan di bawah lingkung-
an yang tidak tepat, berbagai konsekuensi yang tidak diinginkan,
kegagalan mengikuti perintah, kebingungan, kecelakaan, atau kejadi-
an yang kebetulan.

5. Menyeleksi Hipotesis-Hipotesis yang Kemungkinannya


Paling Besar
Mulailah dengan mencoba menolak hipotesis-hipotesis daripa-
da menegaskannya. Hipotesis yang kemungkinannya paling besar
biasanya adalah satu dengan yang paling sedikit bukti terhadapnya,
bukan satu dengan yang paling banyak bukti untuknya.
Dalam menghadirkan kesimpulan-kesimpulan Anda, catat
semua hipotesis yang masuk akal yang bisa dipertimbangkan.
298
Nyatakan argumen-argumen dan bukti-bukti yang mendukung
keputusan Anda, tapi juga berikan alasan singkat mengapa alternatif-
alternatif lain ditolak atau dipertimbangkan kurang kemungkinannya.
Untuk menghindari ambiguitas, masukkan rasio kesempatan terjadi-
nya sesuatu (odds ratio) atau kisaran probabilitas dalam tanda kurung
setelah ekspresi ketidakpastian dalam keputusan kunci Anda.

6. Pengawasan Berkelanjutan
Dalam sebuah perubahan yang cepat, dunia probabilistik,
kesimpulan-kesimpulan analitis selalu menjadi bersifat sementara.
Situasinya mungkin berubah, atau ia mungkin tetap tidak berubah
ketika Anda menerima informasi baru yang mengubah pemaham-
an Anda terhadapnya. Tentukan hal-hal untuk mencari hal yang,
jika diteliti, akan menunjukkan sebuah perubahan signifikan dalam
probabilitasnya.
Beri perhatian khusus pada beberapa rasa terkejut ketika
informasi baru tidak sesuai dengan pemahaman Anda sebelumnya.
Pertimbangkan apakah informasi mengejutkan ini konsisten dengan
sebuah hipotesis alternatif atau tidak. Satu atau dua rasa terkejut,
meski kecil, mungkin menjadi tanda pertama bahwa pemahaman
Anda terhadap apa yang terjadi membutuhkan beberapa penyesuai-
an, bahwa pemahaman Anda sangatlah tidak lengkap, atau bahkan
mungkin benar-benar salah.

B. Manajemen Analisis

Masalah-masalah kognitif yang tergambar dalam buku ini


mempunyai berbagai implikasi bagi manajemen dan juga perilaku
analisis intelijen. Ini menyimpulkan bagian yang terlihat pada apa
yang para manajer analisis intelijen bisa lakukan untuk memban-
tu menciptakan sebuah lingkungan organisasional yang mana di
dalamnya prestasi analitis yang mengagumkan tumbuh subur.
Ukuran-ukuran ini jatuh pada empat kategori umum: peneliti-
299
an, pelatihan, pembongkaran pola pikir alternatif, dan memandu
produk-produk analitis.

1. Dukungan bagi Penelitian


Manajemen seharusnya mendukung penelitian untuk menda-
patkan sebuah pemahaman terbaik terhadap proses-proses kognitif
yang tercakup dalam pembuatan keputusan-keputusan intelijen. Ada
sebuah kebutuhan pemahaman yang lebih baik akan keterampilan
pemikiran yang tercakup dalam analisis intelijen, bagaimana menguji
pelamar kerja untuk keterampilan-keterampilan ini, dan bagaimana
melatih para analis untuk memperbaiki keterampilan-keterampilan
ini. Para analis juga membutuhkan sebuah pemahaman yang lebih
penuh tentang bagaimana batasan-batasan kognitif memengaruhi
analisis intelijen dan bagaimana meminimalkan dampak-dampak-
nya. Mereka membutuhkan alat-alat dan teknik-teknik sederhana
untuk membantu melindungi diri mereka sendiri dari kesalahan yang
bisa dihindari. Ada begitu banyak penelitian yang dilakukan bahwa
memang sulit mengetahui di mana akan memulai.
Para ilmuwan yang menyeleksi perjalanan tugas dalam
Komunitas Intelijen seharusnya melibatkan para psikolog kognitif
atau para ilmuwan lain dengan latar belakang yang berbeda yang
tertarik dalam mengkaji proses pemikiran para analis intelijen. Juga
harus ada beasiswa post-doktoral untuk menjanjikan para ilmuwan
yang bisa didorong untuk menciptakan karier penelitian dalam
lapangan ini. Seiring dengan perjalanan waktu, ini akan memberi-
kan andil bagi pembangunan sebuah dasar pengetahuan yang lebih
baik tentang bagaimana para analis melakukan dan/atau seharusnya
membuat berbagai keputusan analitis dan alat-alat atau teknik-teknik
apa yang bisa membantunya.
Manajemen seharusnya juga mendukung penelitian dalam
pola pikir dan model-model mental implisit dari para analis inteli-
jen. Karena pola pikir atau model-model ini bertindak sebagai
sebuah “layar” atau “lensa” melalui yang para analis rasakan terhadap
300
perkembangan-perkembangan di luar negeri, penelitian untuk
menentukan hakikat dari “lensa-lensa” ini mungkin memberikan
andil yang sama banyak dengan keputusan-keputusan akurat yang
dihasilkan dari penelitian yang terfokus lebih secara langsung pada
area-area luar negeri yang menjadi kajian mereka.2

2. Pelatihan
Banyak pelatihan analis intelijen yang difokuskan pada
prosedur-prosedur organisasional, gaya tulisan, dan teknik-teknik
metodologis. Para analis yang menulis dengan jelas dianggap berpikir
secara jelas. Bahkan sangatlah mungkin mengikuti proses analitis
yang salah dan menulis sebuah argumen persuasif dan jelas dalam
mendukung keputusan yang salah.
Waktu pelatihan yang lebih banyak dicurahkan bagi proses
pemikiran dan penalaran yang mencakup pembuatan keputusan-
keputusan intelijen, dan juga dicurahkan pada alat-alat perdagangan
yang tersedia untuk mengurangi atau mengimbangi berbagai masalah
kognitif yang diketahui yang dihadapi dalam analisis. Buku ini
dimaksudkan untuk mendukung pelatihan seperti itu.
Pelatihan akan menjadi lebih efektif jika dilengkapi dengan
nasihat dan bantuan yang berkelanjutan. Seorang pelatih berpeng-
alaman yang bisa mengawasi dan memandu prestasi berkelanjutan

2. Karya Graham Allison mengenai krisis Rudal Kuba (Essence of Decision, Little,
Brown & Co., 1971) adalah sebuah contoh dari apa yang saya pikirkan. Allison
mengidentifikasi tiga asumsi alternatif tentang bagaimana asumsi-asumsi implisit
seorang analis tentang model yang sangat tepat untuk menganalisis sebuah perilaku
pemerintahan luar negeri menyebabkannya untuk fokus pada bukti-bukti berbeda
dan tiba pada kesimpulan-kesimpulan berbeda. Contoh lain dari analisis saya
sendiri terhadap lima jalan alternatif dalam membuat keputusan kontraintelijen
adalah dalam kasus kontroversial mengenai pengkhianat KGB Yuriy Nosenko.
Richards J. Heuer, Jr., “Nosenko: Five Paths to Judgment,” Studies in Intelligence,
Vol. 31, No. 3 (Fall 1987), aslinya terklasifikasi rahasia tapi kemudian dinyatakan
tidak lagi dan dipublikasikan dalam H. Bradford Westerfield, ed., Inside CIA’s
Private World: Declassified Articles from the Agency Internal Journal 1955-1992
(New Haven: Yale University Press, 1995).

301
adalah sebuah tambahan bernilai bagi instruksi dalam ruang kelas
pada banyak lapangan, yang mungkin termasuk analisis intelijen. Ini
dianggap menjadi pekerjaan dari kepala cabang atau analis senior,
tapi para pejabat ini sering kali terlalu sibuk menanggapi perintah-
perintah menekan yang lain pada waktu kerja mereka.
Akan menjadi bermanfaat mempertimbangkan bagaimana
seorang staf pelatihan analitis mungkin dijadikan mentor bagi para
analis baru atau berkonsultasi dengan para analis yang mengerjakan
berbagai permasalahan yang secara khusus sulit. Satu model yang
mungkin adalah organisasi SCORE yang ada dalam banyak komuni-
tas. SCORE adalah singkatan dari Senior Corps of Retired Executive
(Korps Senior Eksekutif yang Sudah Pensiun). Ia adalah sebuah
organisasi nasional dari para eksekutif yang sudah pensiun yang
merelakan waktunya untuk memberikan konseling terhadap para
usahawan muda yang memulai bisnis mereka. Harusnya menjadi
mungkin membentuk sebuah kelompok kecil dari para analis yang
sudah pensiun yang memiliki keterampilan dan nilai-nilai yang
mereka miliki sudah seharusnya ditanamkan kepada para analis baru.
Mereka pun bisa menjadi sukarelawan (atau digaji) untuk datang
dalam beberapa hari dalam seminggu untuk memberikan konseling
kepada para analis junior.
Analis-analis baru diharuskan membaca sekumpulan buku-
buku atau artikel-artikel khusus yang berkaitan dengan analisis,
dan menghadiri pertemuan setengah hari sekali dalam sebulan
untuk membahas pembacaan dan pengalaman-pengalaman lain
yang berhubungan dengan perkembangan mereka sebagai analis.
Program volunter yang bisa diperbandingkan dapat dilakukan bagi
para analis yang berpengalaman. Ini akan membantu membuat para
analis lebih sadar terhadap prosedur yang mereka gunakan dalam
melakukan analisis. Selain nilai pendidikan mereka, bacaan-bacaan
dan diskusi yang diperlukan akan memberikan para analis sebuah
pengalaman umum dan kosakata dalam berkomunikasi satu sama
lain, dan juga berkomunikasi dengan manajemen, tentang masalah-
302
masalah dalam melakukan analisis.
Saran saya terhadap tulisan-tulisan yang memenuhi syarat bagi
program bacaan wajib adalah termasuk: karya Robert Jervis, Percep-
tion and Misperception in International Politics (Princeton University
Press, 1977); karya Graham Allison, Essence of Decision: Explaining
the Cuban Missile Crisis (Little, Brown, 1971); Ernest May, “Lessons”
of the Past: The Use and Misuse of History in American Foreign Policy
(Oxford University Press, 1973); Ephraim Kam, Surprise Attack
(Harvard University Press, 1988); Richard Betts, “Analysis, War
and Decision: Why Intelligence Failures Are Inevitable,” World
Politics, Vol. 31, No. 1 (October 1978); Thomas Kuhn, The Structu-
re of Scientific Revolutions (University of Chicago Press, 1970); dan
karya Robin Hogarth, Judgement and Choice (John Wiley, 1980).
Meskipun ini semua merupakan tulisan bertahun-tahun yang lalu,
namun karya-karya tersebut merupakan karya klasik dengan nilai
yang permanen. Para analis sekarang ini tidak diragukan lagi akan
mempunyai karya-karya lain sebagai rekomendasi. Analisis terhadap
kejadian yang sudah lalu (postmortem analysis) dari Komunitas Inteli-
jen dan CIA yang merupakan bentuk kegagalan intelijen juga harus
menjadi bagian dari program bacaan tersebut.
Untuk memfasilitasi memori dan pembelajaran institusional,
analisis postmortem yang cermat seharusnya dilakukan pada semua
kegagalan intelijen yang signifikan. Kesuksesan analitis (sebagai
hal yang berbeda dari koleksi) seharusnya juga dipelajari. Analisis-
analisis ini seharusnya dipersatukan dan dipertahankan dalam sebuah
lokasi yang terpusat, yang menyediakan ulasan untuk mengidenti-
fikasi berbagai karakteristik umum dari kegagalan dan kesuksesan
analitis. Sebuah meta-analisis terhadap sebab-sebab dan konsekuen-
si-konsekuensi dari kesuksesan dan kegagalan analitis seharusnya
didistribusikan secara luas dan digunakan dalam program-program
pelatihan untuk mempertinggi tingkat kesadaran terhadap masalah-
masalah analitis.

303
Untuk mendorong pembelajaran dari pengalaman, bahkan
dalam ketiadaan sebuah kegagalan berprofil tinggi, manajemen
seharusnya melakukan evaluasi retrospektif yang lebih sistematis dan
berkali-kali terhadap prestasi analitis. Orang tidak harus menggene-
ralisasi dari beberapa hal tunggal terhadap sebuah keputusan yang
benar atau tidak benar, tapi serangkaian keputusan yang berkait-
an yang ada, atau tidak ada, dibuktikan oleh berbagai peristiwa
berikutnya yang bisa menampakkan akurasi atau ketidakakurasian
model mental sang analis. Mendapatkan umpan balik yang sistema-
tis mengenai akurasi keputusan-keputusan masa lalu sering kali sulit
atau tidak mungkin, khususnya dalam lapangan intelijen politik.
Keputusan-keputusan politik normalnya ditulis dalam istilah-istilah
yang tidak tepat dan umumnya kondisional terhadap perkembangan-
perkembangan yang lain. Bahkan dalam tinjauan kembali, tidak ada
kriteria objektif bagi evaluasi akurasi keputusan-keputusan intelijen
yang lebih politis sebagaimana yang mereka sekarang ini tulis.
Namun, dalam lapangan ekonomi dan militer, di mana perkira-
an sering kali dikaitkan dengan kuantitas-kuantitas numeris, umpan
balik sistematis tentang prestasi analitis menjadi dapat dikerjakan
dengan mudah. Evaluasi retrospektif seharusnya menjadi prosedur
standar dalam lapangan-lapangan tersebut yang di dalamnya segala
perkiraan rutin diperbarui dengan interval periodik. Tujuan pembela-
jaran dari evaluasi retrospektif akan dicapai hanya jika ia diselesaikan
sebagai bagian dari suatu penelitian objektif untuk memperbai-
ki pemahaman, bukan untuk mengidentifikasi sebab kesalahan
atau memperkirakan kesalahan. Kepentingan ini menunjukkan
bahwa evaluasi retrospektif harus dilakukan secara rutin dalam unit
organisasional yang mempersiapkan laporan tersebut, bahkan meski
ongkosnya harus dengan kehilangan beberapa objektivitas.

3. Membongkar Pola Pikir Alternatif


Berbagai realitas kehidupan birokratis menghasilkan tekanan
yang kuat terhadap persesuaian. Manajemen harus membuat usaha-
304
usaha sadar untuk menjamin bahwa pandangan-pandangan bersaing
yang dinalar dengan baik mempunyai kesempatan untuk tampak di
permukaan dalam Komunitas Intelijen. Para analis harus menikmati
sebuah rasa keamanan, sehingga gagasan-gagasan baru yang berkem-
bang secara parsial mungkin diekspresikan dan dipantulkan kepada
yang lain sebagai pendapat pendahuluan dengan mengurangi ketakut-
an terhadap kritikan untuk menyimpang dari ortodoksi yang sudah
terbentuk.
Banyak dari buku ini yang berhadapan dengan cara-cara
membantu para analis untuk tetap lebih terbuka dengan pandang-
an-pandangan alternatif. Manajemen bisa membantu dengan
mempromosikan jenis-jenis aktivitas yang mengonfrontasikan para
analis dengan berbagai perspektif alternatif —konsultasi dengan
para ahli di luar, perdebatan analitis, analisis kompetitif, berten-
tangan dengan kepentingannya (devil’s advocates), permainan, dan
pengungkapan pendapat interdisipliner.
Konsultasi dengan para ahli di luar sangat penting sebagai
sebuah alat untuk menghindari apa yang Laksamana David Jeremiah
sebut dengan “pola pikir bahwa setiap orang berpikir seperti kita”
ketika membuat keputusan-keputusan signifikan yang tergantung
pada pengetahuan tentang budaya asing. Para analis intelijen sering
kali telah menghabiskan sedikit waktu untuk hidup dalam dan
menyerap budaya negara-negara di mana mereka bekerja daripa-
da para ahli di luar negara-negara mereka. Jika para analis gagal
memahami budaya asing, mereka tidak akan melihat permasalah-
an sebagaimana yang pemerintahan asing melihatnya. Malahan,
mereka mungkin cenderung untuk menciptakan citra-cermin
(mirror-image)—yaitu menganggap bahwa para pemimpin negara
lain berpikir seperti yang kita lakukan. Para analis menganggap
bahwa negara lain akan melakukan apa yang kita akan lakukan jika
kita ada dalam sepatu (kekuasaan) mereka.
Pencitraan cermin adalah sumber umum kesalahan analitis, dan
yang menurut laporan memainkan sebuah peran dalam kegagalan
305
Komunitas Intelijen untuk memperingatkan ujicoba senjata nuklir
India pada tahun 1998. Setelah memimpin sebuah tim pemerin-
tah Amerika Serikat yang menganalisis episode ini, Laksamana
Jeremiah merekomendasikan penggunakan para ahli dari luar yang
lebih sistematis kapan pun ada sebuah transisi utama yang mungkin
mengarah pada perubahan-perubahan kebijakan, seperti kemenang-
an kaum Nasionalis Hindu pada pemilihan umum tahun 1998 dan
menaiki tangga kekuasaan di India.3
Ulasan pra-publikasi tentang laporan-laporan analitis menawar-
kan kesempatan yang lain untuk membawa perspektif alternatif
agar bisa menghasilkan sesuatu tentang suatu persoalan. Prosedur
ulasan seharusnya secara eksplisit mempertanyakan model mental
yang digunakan oleh analis dalam mencari dan menguji bukti-
bukti. Asumsi-asumsi apa yang telah analis buat yang tidak dibahas
dalam draft itu sendiri, tapi mendasari keputusan-keputusan utama?
Alternatif-alternatif hipotesis apa yang telah dipertimbangkan untuk
ditolak dan untuk alasan apa ia ditolak? Apa yang bisa menyebab-
kan analis mengubah pikirannya?
Idealnya, proses ulasan harus melibatkan para analis dari area
lain yang bukan spesialis dalam subjek masalah mengenai laporan
tersebut. Para analis dalam cabang atau divisi yang sama sering kali
berbagi pola pikir yang serupa. Mengulas pengalaman masa lalu
dengan para analis dari divisi atau pejabat yang lain mengindikasi-
kan bahwa para pemikir kritis yang memiliki keahlian dalam area
yang lain memberikan sebuah kontribusi signifikan. Mereka sering
kali melihat hal-hal atau mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan
yang penulis tidak lihat atau tanyakan. Karena mereka tidak begitu
menyerap substansinya, mereka mampu lebih baik dalam mengiden-
tifikasi asumsi-asumsi dan memperkirakan argumentasi, konsistensi
internal, logika, dan hubungan bukti-bukti dengan kesimpulan.
Para pengulas juga mengambil keuntungan dari pengalaman dengan

3. Transkrip konferensi berita Laksamana David Jeremiah di CIA, 2 Juni 1998.

306
standar-standar pembelajaran bagi analisis yang baik yang indepen-
den dari subjek permasalahan analisis tersebut.

4. Memandu Produk-Produk Analitis


Mengenai isu-isu kunci, manajemen seharusnya menolak
analisis hasil tunggal —yaitu, fokus pada satu-satunya pikiran
tentang apa yang sang analis yakini kemungkinan terjadi atau
kemungkinan besar akan terjadi. Ketika kita tidak bisa mampu
mendapatkan kesalahannya, atau ketika penipuan menjadi sebuah
kemungkinan yang serius, manajemen seharusnya mempertim-
bangkan untuk memandatkan sebuah proses analitis yang sistematis
seperti yang tergambar dalam Bab 8, “Analisis Terhadap berbgai
Hipotesis-Hipotesis yang Bersaing”. Para analis seharusnya dipaksa
untuk mengidentifikasi berbagai alternatif yang dipertimbangkan,
membenarkan mengapa alternatif-alternatif itu dianggap kurang
kemungkinannya, dan dengan jelas mengekspresikan tingkat
kemungkinan bahwa peristiwa-peristiwa itu mungkin tidak mengha-
silkan seperti yang diharapkan.
Meskipun sang analis agak meyakini keanehan yang terjadi,
katakanlah, dalam bentuk tiga sampai satu (three-to-one) terhadap
sesuatu yang terjadi, yang meninggalkan kesempatan 25 persen
bahwa itu akan terjadi. Membuat hal ini eksplisit membantu untuk
lebih baik dalam mendefinisikan masalah bagi pembuat kebijakan.
Apakah kesempatan yang 25 persen itu patut bagi beberapa bentuk
perencanaan kemungkinan?
Jika hipotesis yang terjadi kemungkinannya kurang, misalnya,
bahwa pemerintahan India yang baru benar-benar akan mengikuti
janji-janji kampanye pemilihannya untuk melakukan ujicoba senjata
nuklir, seperti yang terjadi baru-baru ini, maka kesempatan yang
25 persen itu mungkin sudah mencukupi untuk meletakkan sistem
koleksi teknik pada kondisi waspada yang meningkat.
Berbagai ekspresi ketidakpastian verbal —seperti possible,
probable, unlikely, may, dan could (yang arti dalam bahasa Indonesia-
307
nya sama, yaitu mungkin)— telah diakui sebagai sumber ambiguitas
dan kesalahpahaman. Oleh diri mereka sendiri, berbagai ekspre-
si ketidakpastian verbal tersebut menjadi cangkang yang kosong.
Pembaca atau pendengar mengisinya dengan makna melalui konteks
di mana mereka menggunakannya dan apa yang sudah ada dalam
pikiran pembaca atau pendengar tentang subjek tersebut. Interpre-
tasi konsumen intelijen terhadap keputusan probabilitas yang tidak
tepat akan selalu terbiaskan demi kepentingan konsistensi dengan apa
yang sudah pembaca yakini. Makna dari laporan-laporan intelijen itu
akan diremehkan dan mempunyai sedikit pengaruh bagi keputus-
an konsumen. Ambiguitas ini bisa membaca masalah secara khusus
ketika berhadapan dengan probabilitas yang rendah, bahaya yang
berdampak besar terhadap yang para pembuat kebijakan mungkin
harapkan untuk membuat rencana-rencana kemungkinan (conting-
ency plans).
Para manajer analisis intelijen harus menyampaikan kepada para
analis bahwa ia baik-baik saja untuk menjadi tidak pasti, sepanjang
mereka jelas menginformasikan kepada para pembaca mengenai
tingkat ketidakpastian, sumber ketidakpastian, dan tonggak berseja-
rah apa yang ditunggu yang mungkin bisa menjelaskan situasi
tersebut. Memasukkan rasio-rasio aneh atau kisaran probabilitas yang
bersifat numeris dalam tanda kurung untuk menjelaskan poin-poin
kunci dari suatu analisis seharusnya menjadi praktik standar.
Kemungkinan keterkejutan masa depan bisa dikurangi
jika manajemen memberikan lebih banyak sumber daya untuk
mengawasi dan menganalisis berbagai peristiwa yang probabilitas-
nya tampak rendah yang akan mempunyai sebuah dampak signifikan
pada kebijakan Amerika Serikat jika mereka terjadi. Para analis sering
kali enggan, atas inisiatif mereka sendiri, untuk mencurahkan waktu
mempelajari segala hal yang tidak mereka yakini akan terjadi. Ini
biasanya tidak memajukan karier seorang analis, meskipun ia bisa
menghancurkan sebuah karier ketika yang tidak diharapkan terjadi.
Dengan memberikan tekanan setiap harinya terhadap peristiwa-
308
peristiwa mutakhir, ia diperlukan bagi para manajer dan analis untuk
mengidentifikasi secara jelas berbagai peristiwa yang tidak mungkin
tapi sangat berdampak yang harus dianalisis dan untuk mengaloka-
sikan sumber daya agar bisa menutupinya.
Satu panduan dasar untuk mengidentifikasi peristiwa-
peristiwa tidak mungkin (unlikely events) yang pantas mendapatkan
alokasi sumber daya yang spesifik adalah dengan mempertanyakan
pertanyaan berikut: Apakah kesempatan dari kejadian ini, meskipun
kecil, sudah mencukupi jika para pembuat kebijakan benar-benar
memahami risiko-risiko, yang menjadikan mereka mungkin ingin
membuat berbagai rencana kemungkinan (contingency plans) atau
mengambil beberapa bentuk aksi preventif atau preemtif? Jika
jawabannya ya, berbagai sumber daya tersebut harus dikomitmen-
kan untuk menganalisis bahkan apa yang tampak menjadi sebuah
hasil yang tidak mungkin.
Para manajer intelijen seharusnya mendukung analisis yang
secara periodik menguji kembali masalah-masalah kunci dari dasar
ke atas agar bisa menghindari jebakan-jebakan pendekatan yang
sifatnya meningkat. Tanda terima informasi dalam kenaikan kecil
atas waktu memfasilitasi asimilasi informasi ini terhadap pandang-
an-pandangan analis yang ada. Tidak ada satu item informasi pun
yang mungkin cukup mendorong analis untuk mengubah pan-
dangan sebelumnya. Pesan kumulatif yang inheren dengan banyak
potongan informasi mungkin menjadi signifikan, tapi terlemahkan
ketika informasi ini tidak diuji secara keseluruhan.
Akhirnya, manajemen seharusnya mendidik para konsumen
mengenai batasan-batasan dan juga berbagai kapabilitas analisis
intelijen dan seharusnya menegaskan seperangkat pengharapan realis-
tis sebagai sebuah standar terhadap keputusan prestasi analitis.

309
C. Garis Bawah (The Bottom Line)

Analisis bisa diperbaiki! Tidak ada satu ukuran pun yang


dibahas dalam buku ini yang akan menjamin bahwa kesimpulan-
kesimpulan akurat akan tergambar dari informasi yang tidak lengkap
dan bersifat ambigu yang para analis intelijen akan selalu hadapi.
Kegagalan intelijen yang kadang terjadi harus diharapkan. Namun,
secara kolektif, ukuran-ukungan yang dibahas di sini tentunya bisa
memperbaiki berbagai keanehan dalam pilihan sang analis.

310
Biografi Penulis

R ichards J. Heuer, Jr. atau Dick Heuer adalah mantan peting-


gi dalam analisis politik di Direktorat Intelijen (DI) Amerika
Serikat. Heuer menerima sebuah gelar dalam bidang filsafat pada
tahun 1950 dari Williams College, di mana, dia mencatat sendiri,
bahwa dia menjadi begitu terpesona dengan pertanyaan epistemolo-
gis yang fundamental, “Apa itu kebenaran dan bagaimana kita bisa
mengetahuinya?”
Pada tahun 1951, ketika menjadi seorang lulusan dari Univer-
sitas Berkeley California, dia direkrut sebagai bagian dari deskripsi
impresif CIA selama Perang Korea. Sang perekrutnya adalah Richard
Helms, veteran OSS dan pemain kunci dalam pelayanan rahasia
Agensi (CIA). Selanjutnya, Helms DCI, menurut Heuer, tengah
mencari kandidat bagi pekerja CIA di antara lulusan baru dari
William College, almamaternya sendiri. Heuer pun mempunyai
sebuah keuntungan tambahan sebagai seorang mantan editor pada
surat kabar kampusnya tersebut, sebuah posisi yang pernah dipegang
Helms selama15 tahun.
Pada tahun 1975, setelah 24 tahun berada di Direktorat
Operasi, Heuer dipindahkan ke DI. Minat akademis awalnya tentang
bagaimana cara kita mengetahui kebenaran dihidupkannya kembali
ketika mendapatkan dua pengalaman. Salah satu pengalaman yang
paling membekas dalam dirinya adalah pada kasus kontroversial
yang terjadi berkenaan dengan pembelotan anggota KGB Soviet
bernama Yuriy Nosenko. Pengalaman lainnya adalah pembelajaran
berbagai pendekatan baru terhadap metodologi ilmu pengetahuan
sosial ketika menghabiskan waktu untuk menyelesaikan gelar Master-
nya dalam bidang hubungan internasional di University of Southern
California’s European.
Pada waktu dia pensiun pada tahun 1979, Heuer mengepalai
unit metodologi dalam jabatan analisis politik DI. Dia sebenarnya
mempersiapkan berbab-bab tulisan dalam bukunya sebagai artikel-
artikel individu yang dia tulis antara tahun 1978 hingga 1986.
Namun, kebanyakan artikelnya itu ditulis untuk DI setelah masa
pensiunnya.

312

Anda mungkin juga menyukai