II-1
Gambar 2.1
Pengembangan Wilayah yang Terintegrasi
II-2
industri kepelabuhanan; kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) dan
destinasi pariwisata prioritas (DPP) sebagai pusat pengembangan jasa pariwisata;
serta kawasan perkotaan termasuk metropolitan, kota-kota baru dan kotakota
sedang dan kecil sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan.
Gambar 2.2
Alur Pikir Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan Wilayah
II-3
dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan
pengelolaannya) dan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses yang
mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam masyarakat metropolitan
(Kusumaatmadja 1986; Jacqueline 1992). Dengan demikian, aspek hukum
penataan ruang metropolitan bukan hanya merupakan kumpulan aturan- aturan
− yang mungkin dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak dilaksanakan.
Akan tetapi, juga meliputi institusi (pranata) yang membuat aturan tersebut
dilaksanakan serta proses-proses yang menjadikan aturan tersebut berlaku dan
dilaksanakan dalam masyarakat metropolitan. Oleh karena itu, dalam bagian
aspek hukum penataan metropolitan ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan
langsung dengan peraturan penataan ruang metropolitan dan masalah
penegakkan peraturan tersebut. Secara garis besar akan dibahas dasar-dasar
hukum metropolitan, permasalahan pengaturan penataan ruang metropolitan,
dan perspektif aspek hukum penataan ruang metropolitan ke depan.
II-4
Berbagai permasalahan tersebut terutama disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti (1) keterbatasan sumber daya pembangunan metropolitan; (2)
ketidakjelasan manajemen pembangunan metropolitan; (3) belum optimal
dan tidak jelasnya pembagian peran antara masyarakat, pemerintah daerah,
dan pemerintah pusat dalam pembangunan metropolitan; serta (4) belum
adanya peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum dalam
penyelenggaraan pembangunan metropolitan yang mampu memberikan jaminan
kepastian dan keberlanjutan pembangunan metropolitan sesuai dengan prinsip-
prinsip pengelolaan yang berdaya guna dan berhasil guna. Permasalahan belum
adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pembangunan metropolitan dapat dilihat dari adanya fakta
hukum sebagaimana akan dibahas di bawah.
II-5
Untuk konteks penataan ruang metropolitan, sumber hukum formal yang
dikenal terdiri dari :
II-6
Bangunan gedung dimaksud adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/ atau di dalam tanah dan/ atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya,
maupun kegiatan khusus.
4. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-undang ini mengatur pembagian kewenangan atau urusan
pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
5. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan; Undang-undang ini
mengatur tentang penyelenggaraan jalan sebagai infrastruktur penting guna
menjamin terselenggaranya kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara
optimal termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan jalan untuk
perkotaan.
6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup; Undang-undang ini mengatur pengelolaan lingkungan hidup
termasuk persyaratan penataan lingkungan hidup yang antara lain
meliputi perizinan, khususnya penerbitan izin melakukan usaha dan/ atau
kegiatan pada metropolitan
7. Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional; Undang-Undang ini mengatur tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan di tingkat pusat dan daerah.
II-7
Undang-undang tentang perumahan dan permukiman berikut peraturan
pelaksanaannya sebenarnya sudah mengatur bagaimana suatu kota
diwujudkan, baik mulai dari metode penyiapan lahannya maupun
pembangunan prasarana dan sarananya. Namun, undang-undang ini hanya
terbatas mengatur perumahan dan permukiman, sedangkan sektor-sektor
kegiatan perkotaan yang lain masih belum lengkap diatur, seperti pusat-
pusat bisnis, industri, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Undang-undang tentang
bangunan gedung beserta peraturan pelaksanaannya hanya mengatur
perwujudan fisik bangunan gedung yang pada dasarnya mendominasi
penggunaan ruang pada kawasan metropolitan.
II-8
b. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
hanya memberikan pengaturan yang terbatas terhadap kawasan perkotaan
dan lebih dititikberatkan pada pengaturan yang lebih bersifat administratif.
Undang-undang ini secara implisit memperlihatkan bahwa untuk pengaturan
kawasan perkotaan lebih lanjut, lebih detail, dan lebih mendalam akan diatur
oleh peraturan perundang- undangan.
II-9
memang aspek inilah yang paling sulit dilaksanakan dari semua aspek yang
berkaitan dengan penataan metropolitan. Ada empat faktor yang berkaitan
langsung dengan penegakan hukum, yaitu: substansi peraturannya sendiri,
aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, dan kesadaran hukum
masyarakat.
II-10
hukum termasuk di bidang penataan ruang dan lingkungan hidup dengan
sengaja dilanggar. Persepsi yang telah berkembang di masyarakat telah menjadi
pembenaran bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penataan ruang
pun bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari, apalagi ditakuti.
Pemanfaatan lahan-lahan di sepanjang sempadan sungai, trotoar jalan, taman,
dan lahan-lahan yang seharusnya bebas dari kegiatan untuk perumahan,
perdagangan, dan sebagainya merupakan pemandangan yang biasa di kawasan-
kawasan perkotaan.
Semua itu terjadi tanpa adanya upaya penegakan hukum yang tegas dari
aparat pemerintah. Pemerintah daerah tidak mampu berbuat banyak untuk
menegakkan hukum, hal ini disebabkan tidak mempunyai wibawa hukum
yang memadai karena prinsip-prinsip good urban governance yang intinya
terdiri dari accountability, transparancy, dan rule of law tidak dilaksanakan
secara konsisten.
II-11
sebagai mesin penghasil PAD. Seringkali izin yang dikeluarkan tidak lagi
sesuai dengan rencana tata ruang, demi untuk mengejar target pemasukan.
Selain itu, seringkali izin yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan lolos karena berbagai hal. UUPR mengenal konsep insentif dan
disinsentif untuk melapisi pengendalian izin yang seringkali lolos tersebut,
tetapi konsep itu sejauh ini tidak pernah dilaksanakan dalam penataan
metropolitan bahkan dalam penataan ruang secara keseluruhan.
II-12
sosial; meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan
seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan
masyarakat; mencapai kualitas tata pemikiran ini sejalan dengan amanat
Undang-Undang Penataan Ruang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan dan Undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan disusunnya Peraturan
Pemerintah tentang Pemerintahan Kota, ruang kawasan perkotaan yang optimal,
serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kualitas hidup manusia;
mendorong dinamika kegiatan pembangunan perkotaan sehingga dicapai
kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan,
berkeadilan, serta menunjang pelestarian nilai-nilai budaya; menyelenggarakan
pemerintahan di kawasan perkotaan yang mampu memberikan pelayanan
perkotaan secara efektif dan efisien kepada masyarakat kawasan perkotaan;
meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam
pembangunan kawasan perkotaan sebagai usaha bersama sesuai dengan tatanan
yang efisien, efektif, demokratis, dan bertanggung jawab; dan
mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh pemerintah dan
masyarakat termasuk dunia usaha dalam upaya menciptakan kawasan
perkotaan sebagai ruang kehidupan yang serasi, selaras, seimbang, layak,
berkeadilan, berkelanjutan, dan menunjang pelestarian nilai-nilai sosial budaya;
menumbuh-kembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan dan
peningkatan lingkungan fisik, sosial, budaya, politik dan ekonomi, serta
menciptakan kohesi sosial.
II-13
perkotaan, forum perkotaan, peran masyarakat dalam pembangunan perkotaan,
dan warga perkotaan.
Secara garis besar muatan pokok dalam RPP tersebut meliputi hal-hal
sebagai berikut:
II-14
dimungkinkan serta didorong dengan adanya kerja sama antara daerah
dalam rangka pembangunan perkotaan. Dalam hal kawasan perkotaan
merupakan kawasan perkotaan baru (yang biasanya berada pada suatu
kabupaten) maka dapat dibentuk badan atau unit pengelola pembangunan
yang ditetapkan dengan keputusan bupati. Sedangkan dari segi pembiayaan
pada dasarnya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten bersangkutan atau sumber pendanaan lain yang sah.
II-15
Dalam hal pembiayaannya, badan metropolitan ditetapkan dalam
anggaran penerimaan dan pengeluaran badan metropolitan, yang bersumber
dari:
3) Peran Masyarakat
II-16
a) rencana struktur tata ruang metropolitan;
b) rencana umum tata ruang kawasan perkotaan;
c) rencana detail tata ruang kawasan perkotaan.
Rencana tata ruang kawasan perkotaan dapat ditinjau kembali dan atau
disempurnakan sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan
kawasan perkotaan. Peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan
perkotaan merupakan bagian dari peninjauan kembali rencana tata ruang
wilayah kabupaten/ kota dan dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam
lima tahun, sedangkan penyempurnaan rencana tata ruang kawasan
perkotaan dilakukan dalam hal peninjauan kembali rencana tata ruang
kawasan perkotaan yang menunjukkan perubahan dan atau penyimpangan
yang mendasar.
a. Program Pembangunan
b. Pelaksanaan Pembangunan
II-17
pemerintah dan atau masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun
melalui pola kemitraan.
II-18
atau lebih wilayah propinsi. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud di
atas dapat berbentuk kawasan metropolitan atau megapolitan.
II-19
3) Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan
Dari uraian tentang rancangan peraturan yang ada dapat disimpulkan bahwa
penataan kawasan perkotaan termasuk penataan metropolitan ke depan akan
diatur secara lebih menyeluruh, tetapi aspek-aspek penegakan hukumnya masih
belum diatur secara lebih rinci. Pengaturan aspek penegakan hukum secara rinci
sangat diperlukan untuk memudahkan implementasi materi peraturan yang akan
ditetapkan. Sebagus apapun materi suatu aturan, kalau penegakannya lemah maka
peraturan tersebut sebenarnya sudah kedaluwarsa atau dengan kata lain hanyalah
merupakan ‘macan kertas’.
Secara umum kaidah-kaidah yang perlu ada dan disusun dalam suatu sistem
pengaturan penataan metropolitan adalah pertama, pengaturan yang berkaitan
dengan perencanaan penataan metropolitan. Sesuai dengan pengalaman dalam
pengembangan metropolitan selama ini serta “Best Practice” yang dijalankan di
negara-negara lain, khususnya negara-negara maju, maka pengaturan perencanaan
II-20
metropolitan meliputi perencanaan tata ruang yang bersifat makro yang produknya
biasa dikenal sebagai master plan atau schéma directeur dan perencanaan tata ruang
yang bersifat mikro yang produknya dalam bentuk rencana rinci atau rencana detail tata
ruang yang memuat atau dilengkapi dengan peraturan zoning.
Rencana tata ruang yang bersifat makro menurut UU No. 24 tahun 1992 dikenal
sebagai rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota merupakan dokumen rencana yang
harus menjadi acuan pertama dalam pengembangan perkotaan. Rencana ini
mestinya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat kaku sehingga tidak
dimungkinkan adanya perubahan peruntukan pemanfaatan ruang, juga memuat
ketentuan-ketentuan yang dapat bersifat fleksibel sehingga dapat menampung dinamika
yang terjadi pada masyarakat. Rencana yang bersifat makro ini haruslah merupakan
dasar perizinan lokasi kegiatan. Pada tataran rencana mikro atau rencana rinci, rencana
ini harus menjadi arahan bagi perizinan mendirikan bangunan. Dalam hal ini tidak perlu
ada dualisme pengaturan tata ruang dan tata guna tanah. Rencana rinci tersebut
merupakan satu-satunya dokumen legal yang mengatur peruntukan penggunaan ruang
termasuk tanah.
II-21
Ketiga, perlunya pengaturan tentang pengelolaan pelayanan umum. Maksudnya,
perlu pengaturan tentang jenis metode pengelolaan dan penanggung jawab atau pelaku
pengelolanya sendiri. Secara umum, jenis metode pengelolaan pelayanan umum dapat
2) Pengelolaan yang didelegasikan baik kepada organisasi semi publik seperti Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) atau organisasi sejenis lainnya, maupun kepada
perusahaan swasta dengan jenis-jenis kerja sama yang terukur dan diatur secara
rinci dalam peraturan perundang-undangan. Jenis-jenis pengelolaan pelayanan
umum yang dapat disediakan oleh swasta dapat dilakukan antara lain melalui skema
BOO, BOT, Ruilslag, Turn Key, dan konsesi.
Penutup
Pertama, kebijakan yang ditetapkan ke arah mana metropolitan akan dibawa. Hal ini
mestinya merupakan konvergensi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat yang
diperoleh melalui mekanisme konsensus yang berlaku. Konsensus ini mesti didukung
II-22
oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang diberi kepercayaan oleh
masyarakat untuk mengelola metropolitan;
Kedua, aturan hukum yang lengkap dengan penegakan hukum sebagai pelaksanaan
aturan yang disusun dan disepakati bersama. Kelengkapan aturan beserta
penegakannya dimaksudkan agar kebijakan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan
dengan rambu-rambu peraturan yang jelas dan applicable. Penegakan hukum mesti
dilakukan secara konsisten dengan prinsip zero tolerance, yaitu penerapan hukum
tanpa pandang bulu dengan semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di
depan hukum; Ketiga, sistem administrasi yang solid sebagai instrumen pelaksanaan
kebijakan dan penerapan hukum. Ini berarti diperlukan aparat dan aparatur atau
birokrasi yang bermartabat yang mampu menjalankan kewenangan dan tugasnya secara
jujur dan bersih.
II-23
e. Mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan
pulau-pulaukecil;
f. Membatasi dan mengendalikan kegiatan budi daya pada lokasi yang memiliki
nilai konservasi tinggi;
g. Menetapkan lokasi rusak dan tercemar untuk dipulihkan;
h. Mengendalikan keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan di
kota sedang sebagai kawasan perkotaan penyangga arus urbanisasi desa ke
kota;
i. Mengendalikan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk alokasi lahan
pembangunan bagi sektor non kehutanan dengan memperlimbangkan
kuatitas lingkungan, karakter sumber daya alam, fungsi ekologi, dan
kebutuhan lahan untuk pembangunan secara berkelanjutan;
j. Mendorong pembangunan hutan rakyat untuk mendukung kecukupan
tutupan hutan khususnya bagi wilayah daerah aliran sungai atau pulau yang
tutupan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen); dan
k. Mengembangkan kegiatan budidaya dengan memperhatikan bioekoregion
yang merupakan bentang alam yang berada di dalam satu atau lebih daerah
aliran sungai.
II-24
perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, kabupaten/kota,
keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk
ruang di dalam bumi, serta keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/ kota. Oleh karena itu, guna mencapai
keterpaduan implementasi pembangunan antar sektor dan wilayah
administratif, maka diperlukan suatu wadah kelembagaan. Keberadaan dari
lembaga ini diharapkan akan mampu mensinergikan kepentingan lintas sektor
dan wilayah administratif maupun kepentingan pemerintah pusat dan daerah.
II-25
domain perekonomian, sains dan teknologi, pendidikan, dan civilization (politik
dan hukum). Perekonomian yang maju umumnya berbasis industri,
perdagangan, dan jasa, didukung oleh infrastruktur yang memadai.
II-26
4. Membangun masyarakat religius, berbudi luhur, dan berbudaya, serta
melestarikan dan mengembangkan budaya daerah.
5. Mewujudkan daerah yang asri dan lestari.
6. Menegakkan supremasi hukum untuk menciptakan keamanan,
7. ketentraman dan ketertiban, serta mewujudkan masyarakat yang
demokratis.
8. Mewujudkan pemerintah yang bersih, berorientasi kewirausahaan, dan
bertatakelola yang baik.
II-27
Kawasan Pelabuhan Terpadu Panjang di Kota Bandar Lampung. Kawasan
pelabuhan terpadu terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya tempat
kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang, bongkar muat barang
yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran, kegiatan penunjang
pelabuhan, dan antar moda transportasi. Untuk meningkatkan peran
pelabuhan tersebut, di kawasan pelabuhan terpadu Panjang juga
dikembangkan sebagai kawasan industri.
Kawasan Pemerintahan Kota Baru di Kabupaten Lampung Selatan. Untuk
mengurangi beban spasial Kota Bandar Lampung yang sudah sangat padat
dengan berbagai permasalahan kota, Kawasan Pusat Perkantoran
Pemerintah Provinsi Lampung yang ada sekarang akan dipindahkan ke Jati
Agung (Kabupaten Lampung Selatan). Kawasan Aeropolitan Natar di
Kabupaten Lampung Selatan. Sehubungan dengan rencana pengembangan
Kawasan Bandara Raden Inten II sebagai Aero City di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan, maka perlu diantisipasi adanya rencana
pengembangan kawasan Aeropolitan Natar yang mengintegrasikan antara
Kota Bandar Lampung dengan Aero City Raden Inten II, sehingga ke depan
dapat menjadi kawasan aeropolitan.
Kawasan Teluk Lampung, akan dikembangkan menjadi Kawasan wisata
terintegrasi Bakauheni Harbour City (BHC). Kawasan Teluk Lampung
tersebut mengintegrasikan destinasi wisata disekitar teluk lampung yang
meliputi wisata pantai, wisata budaya dan Taman Hutan Raya WAR.
Kawasan Teluk Lampung ini memiliki potensi alam yang beragam sehingga
memiliki daya tarik yang kuat bagi para wisatawan.
Kawasan Pusat Pertahanan dan Keamanan dikembangkan di Kecamatan
Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran yang telah memiliki Pangkalan
Angkatan Laut (Lanal) Teluk Ratai dan Brigade Infantri (Brigif) 9 Marinir.
Kawasan Pendidikan Terpadu UNILA – ITERA – UIN Raden Intan II
(LARAIN). Kawasan ini terdapat di wilayah Kota Bandar Lampung dan
Kabupaten Lampung Selatan. Kawasan pendidikan LARAIN ini nantinya
diproyeksikan akan menampung student body sekitar 120.000 orang. Untuk
mendukung fungsi kawasan pendidikan di Provinsi Lampung.
II-28