Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN KEBIJAKAN METROPOLITAN BANDAR LAMPUNG

2.1. Kebijakan Nasional dalam RPJMN 2020-2024

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 bahwa arah Kebijakan
dan Strategi Pembangunan kewilayahan tahun 2020-2024 menekankan
keterpaduan pembangunan dengan memperhatikan pendekatan spasial yang
didasarkan bukti data, informasi dan pengetahuan yang baik, akurat dan lengkap,
skenario pembangunan nasional, serta lokasi yang jelas sesuai rencana tata ruang
dan daya dukung lingkungan. Selain itu, pembangunan kewilayahan juga
mengutamakan pendekatan holistik dan tematik yang didasarkan penanganan
secara menyeluruh dan terfokus pada prioritas pembangunan dan lokasi yang
paling relevan sesuai dengan pendekatan koridor pertumbuhan dan pemerataan.

Pembangunan kewilayahan dilaksanakan secara terintegrasi dengan


mengutamakan kerjasama dan keterpaduan program dan kegiatan
antarkementerian/lembaga, antara Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah,
antarpemerintah daerah, serta antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam
perencanaan, pendanaan dan pembiayaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi
pembangunan.

II-1
Gambar 2.1
Pengembangan Wilayah yang Terintegrasi

Sumber : RPJMN 2020-2024

Dalam upaya mencapai sasaran dan target pembangunan tersebut,


Pembangunan wilayah kedepan akan diterjemahkan melalui dua pendekatan utama
yaitu pendekatan koridor pertumbuhan dan koridor pemerataan berbasiskan
wilayah pulau (Gambar 2.1). Pendekatan koridor tersebut disusun dengan
mempertimbangkan hasil perhitungan keunggulan komparatif dan kompetitif
daerah berdasarkan PDRB, serta mempertimbangkan jalur manufaktur nusantara,
jalur mineral nusantara, jalur pariwisata nusantara, dan mempertimbangkan pola
persebaran pusat kegiatan seperti Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat
Kegiatan Wilayah (PKW).

Pendekatan melalui koridor pertumbuhan mengutamakan pengembangan


pusat-pusat pertumbuhan dengan basis keunggulan wilayah yang dapat mendorong
peningkatan nilai tambah, peningkatan peneriman devisa dan atau penghematan
devisa, perluasan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi secara nyata dalam
lima tahun mendatang. Pusat-pusat pertumbuhan wilayah antara lain adalah
kawasan pertanian, perikanan, perkebunan dan pertambangan sebagai pusat
produksi; kawasan strategis prioritas seperti kawasan industri (KI) dan kawasan
ekonomi khusus (KEK) sebagai pusat pengolahan sumber daya alam; kawasan
pelabuhan bebas dan perdagangan bebas (KPBPB) sebagai pusat perdagangan dan

II-2
industri kepelabuhanan; kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) dan
destinasi pariwisata prioritas (DPP) sebagai pusat pengembangan jasa pariwisata;
serta kawasan perkotaan termasuk metropolitan, kota-kota baru dan kotakota
sedang dan kecil sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan.

Pendekatan melalui koridor pemerataan mengutamakan pengembangan


wilayah penyangga (hinterland) yang berada di sekitar pusat pertumbuhan, serta
daerah dan kawasan tertinggal untuk menjamin kesetaraan dan keadilan dalam
pemenuhan hak-hak dasar rakyat sesuai dengan kaidah tujuan pembangunan
berkelanjutan, yaitu tidak meninggalkan satu-pun kelompok masyarakat (no-one
left behind). Wilayah penyangga tersebut antara lain adalah desa, Kawasan
perdesaan, kawasan transmigrasi, Kawasan perbatasan, termasuk pulau-pulau
kecil, terluar dan terdepan, serta daerah tertinggal.

Gambar 2.2
Alur Pikir Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan Wilayah

Sumber : RPJMN 2020-2024

2.1.1. Kebijakan Sektoral (Hukum)

Aspek hukum penataan ruang metropolitan adalah keseluruhan asas-asas


dan kaidah- kaidah yang mengatur bagaimana suatu metropolitan ditata (mulai

II-3
dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan
pengelolaannya) dan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses yang
mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam masyarakat metropolitan
(Kusumaatmadja 1986; Jacqueline 1992). Dengan demikian, aspek hukum
penataan ruang metropolitan bukan hanya merupakan kumpulan aturan- aturan
− yang mungkin dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak dilaksanakan.
Akan tetapi, juga meliputi institusi (pranata) yang membuat aturan tersebut
dilaksanakan serta proses-proses yang menjadikan aturan tersebut berlaku dan
dilaksanakan dalam masyarakat metropolitan. Oleh karena itu, dalam bagian
aspek hukum penataan metropolitan ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan
langsung dengan peraturan penataan ruang metropolitan dan masalah
penegakkan peraturan tersebut. Secara garis besar akan dibahas dasar-dasar
hukum metropolitan, permasalahan pengaturan penataan ruang metropolitan,
dan perspektif aspek hukum penataan ruang metropolitan ke depan.

Dasar Hukum Penataan Ruang Metropolitan

Pada hakikatnya, pada hampir seluruh kawasan metropolitan di dunia, baik


di negara- negara maju maupun di negara-negara berkembang, dijumpai
permasalahan yang hampir sama (Derycke, 1999), yaitu menurunnya tingkat
pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat metropolitan. Untuk konteks
Indonesia, pembangunan kawasan perkotaan selain menunjukkan hasil berupa
terbangunnya prasarana dan sarana fisik yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat, menyimpan pula berbagai permasalahan yang makin lama makin
kompleks dan multidimensional. Permasalahan pokok yang mengiringi
pembangunan perkotaan tersebut di antaranya: terjadinya degradasi kondisi
sosial masyarakat yang semakin tajam, bertambahnya angka kemiskinan dan
pengangguran, tidak terkendalinya pertumbuhan sektor informal, terjadinya
penurunan daya dukung lingkungan, makin terbatasnya prasarana dan sarana
pendukung, makin menurunnya kualitas pelayanan umum, lemahnya sumber
daya manusia, serta pemahaman yang masih kurang terhadap prinsip-prinsip
manajemen pengelolaan perkotaan yang baik (good urban governance).

II-4
Berbagai permasalahan tersebut terutama disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti (1) keterbatasan sumber daya pembangunan metropolitan; (2)
ketidakjelasan manajemen pembangunan metropolitan; (3) belum optimal
dan tidak jelasnya pembagian peran antara masyarakat, pemerintah daerah,
dan pemerintah pusat dalam pembangunan metropolitan; serta (4) belum
adanya peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum dalam
penyelenggaraan pembangunan metropolitan yang mampu memberikan jaminan
kepastian dan keberlanjutan pembangunan metropolitan sesuai dengan prinsip-
prinsip pengelolaan yang berdaya guna dan berhasil guna. Permasalahan belum
adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pembangunan metropolitan dapat dilihat dari adanya fakta
hukum sebagaimana akan dibahas di bawah.

Sumber Hukum Penataan Ruang Metropolitan

Sumber hukum adalah sebuah istilah yang digunakan untuk membahas


atau menjawab pertanyaan-pertanyaan: mengapa hukum itu mengikat?
Dimanakah hukum itu sendiri dapat ditemukan? Persoalan pertama dijelaskan
oleh beberapa teori mengapa orang taat kepada hukum. Pada tulisan ini kita
hanya akan membahas secara singkat persoalan kedua, yaitu persoalan
mengenai keseluruhan sumber aturan sebagai alasan hak untuk melakukan
suatu tindakan. Secara teoritis, sumber hukum dapat dibedakan kedalam sumber
hukum formal dan sumber hukum material. Sumber hukum formal adalah
dokumen atau “tempat” di mana saja kita dapat menemukan ketentuan-
ketentuan hukum/ kaidah-kaidah hukum. Untuk itu harus diketahui hukum
positif (hukum yang saat ini berlaku di suatu tempat) yang meliputi: (1) Sumber
hukum langsung, yang meliputi: undang-undang hingga peraturan daerah,
kebiasaan dan adat, serta traktat/ perjanjian antar negara; dan (2) Sumber
hukum tak langsung, yang meliputi yurisprudensi/ keputusan hakim yang diikuti
oleh hakim lainnya untuk kasus yang sama dan doktrin/ ilmu pengetahuan.
Sedangkan sumber hukum material merupakan suatu usaha pendalaman teoritis
tentang hukum yang dapat menggunakan banyak pendekatan, baik itu
pendekatan sejarah, falsafah, sosiologi, ekonomi, agama, hukum itu sendiri, atau
kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut.

II-5
Untuk konteks penataan ruang metropolitan, sumber hukum formal yang
dikenal terdiri dari :

Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) tahun 1992

Melalui Undang-Undang No. 24 tahun 1992 (UUPR 1992) tentang


Penataan Ruang dapat dikatakan bahwa secara nasional Indonesia memiliki
peraturan tentang penataan ruang metropolitan pada tingkat undang-undang
meskipun undang- undang tersebut tidak secara eksplisit mengatur tentang
penataan ruang metropolitan. Kawasan metropolitan merupakan objek
pengaturan dari kawasan perkotaan maupun kawasan tertentu yang diatur
dalam undang-undang ini. Saat ini, pengaturan perkotaan, terutama sepanjang
mengenai pembangunan kota atau perkotaan termasuk metropolitan, tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa undang-
undang yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
pembangunan perkotaan yang berarti juga sebagai landasan hukum dalam
penataan ruang metropolitan, yaitu:

1. Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang; UUPR


memuat kaidah-kaidah administrasi berupa kewenangan, proses dan
prosedur, serta kelembagaan sebagai pedoman bagi administrasi dalam
kegiatan penataan ruang yang meliputi: penyusunan rencana tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penataan ruang di sini meliputi penataan ruang pada wilayah administrasi
maupun pada kawasan fungsional termasuk metropolitan.
2. Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman;
Undang-undang ini mengatur mengenai penataan dan pengelolaan
perumahan dan permukiman. Khusus yang berkaitan dengan penataan
metropolitan adalah sepanjang mengenai penataan permukiman yang
mencakup kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan,
pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
3. Undang-undang No 28 tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung; Undang-
undang ini mengatur penyelenggaraan bangunan gedung sebagai kegiatan
pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan
konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.

II-6
Bangunan gedung dimaksud adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/ atau di dalam tanah dan/ atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya,
maupun kegiatan khusus.
4. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-undang ini mengatur pembagian kewenangan atau urusan
pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
5. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan; Undang-undang ini
mengatur tentang penyelenggaraan jalan sebagai infrastruktur penting guna
menjamin terselenggaranya kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara
optimal termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan jalan untuk
perkotaan.
6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup; Undang-undang ini mengatur pengelolaan lingkungan hidup
termasuk persyaratan penataan lingkungan hidup yang antara lain
meliputi perizinan, khususnya penerbitan izin melakukan usaha dan/ atau
kegiatan pada metropolitan
7. Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional; Undang-Undang ini mengatur tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan di tingkat pusat dan daerah.

Dari berbagai undang-undang yang diulas di atas, hanya empat undang-


undang yang berkaitan erat dengan penataan metropolitan, yaitu: undang-
undang tentang penataan ruang, undang-undang tentang perumahan dan
permukiman, undang-undang tentang bangunan gedung, dan undang-undang
tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tentang Penataan Ruang (UUPR
1992) serta peraturan pelaksanaannya pada dasarnya hanya mengatur tentang
bagaimana tata ruang kawasan perkotaan direncanakan, sedangkan bagaimana
tata ruang perkotaan tersebut diwujudkan dalam suatu upaya pembangunan
tidak diatur.

II-7
Undang-undang tentang perumahan dan permukiman berikut peraturan
pelaksanaannya sebenarnya sudah mengatur bagaimana suatu kota
diwujudkan, baik mulai dari metode penyiapan lahannya maupun
pembangunan prasarana dan sarananya. Namun, undang-undang ini hanya
terbatas mengatur perumahan dan permukiman, sedangkan sektor-sektor
kegiatan perkotaan yang lain masih belum lengkap diatur, seperti pusat-
pusat bisnis, industri, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Undang-undang tentang
bangunan gedung beserta peraturan pelaksanaannya hanya mengatur
perwujudan fisik bangunan gedung yang pada dasarnya mendominasi
penggunaan ruang pada kawasan metropolitan.

Dengan demikian, untuk level peraturan di bawah undang-undang pun,


belum ada peraturan penataan metropolitan yang menyeluruh dari mulai
perencanaan hingga pelaksanaan pembangunannya.

Permasalahan Pengaturan Penataan Metropolitan

Belum lengkapnya Peraturan dalam Penataan Ruang Metropolitan dari


sedikit uraian di atas, dapat dipahami bahwa sejauh ini peraturan yang ada baru
menyentuh perencanaan kawasan metropolitan dan komponen fisik pembentuk
metropolitan, belum ada peraturan yang secara menyeluruh mengatur kawasan
metropolitan dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan/
pengelolaannya. Dengan demikian, terdapat kekosongan hukum/ recht vacuum
(khususnya peraturan setingkat undang-undang) dalam penataan metropolitan,
dalam arti pembangunan dan pengelolaannya. Catatan di bawah ini
menunjukkan adanya kekosongan tersebut :

a. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang lebih bersifat


umum mengatur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Amanat Undang-undang No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan sebagai tindak lanjut
dan peraturan pelaksanaan dari undang-undang sampai saat ini belum juga
ditetapkan.

II-8
b. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
hanya memberikan pengaturan yang terbatas terhadap kawasan perkotaan
dan lebih dititikberatkan pada pengaturan yang lebih bersifat administratif.
Undang-undang ini secara implisit memperlihatkan bahwa untuk pengaturan
kawasan perkotaan lebih lanjut, lebih detail, dan lebih mendalam akan diatur
oleh peraturan perundang- undangan.

c. Peraturan operasional lainnya ditemukan tersebar dan partial yang


menunjukkan pengaturan dalam ruang lingkup terbatas terhadap kawasan
perkotaan dan/ atau kota dalam pengertian administratif, sehingga cukup
menyulitkan dalam pengimplementasiannya secara terpadu, serta belum
mampu memberikan jaminan kepastian dan ketertiban hukum dalam
penyelenggaraan pengelolaan/ pembangunan perkotaan.

Dengan ditemuinya fakta-fakta hukum tersebut, maka pengaturan terhadap


penyelenggaraan pengelolaan/ pembangunan perkotaan termasuk kawasan
metropolitan belum dilakukan secara lengkap sehingga landasan hukum yang
kuat dan memiliki kepastian hukum guna menjamin kepentingan-kepentingan
masyarakat pada kawasan metropolitan masih belum memadai.

Masalah Penegakan Peraturan Penataan Ruang Metropolitan

Berkembangnya berbagai permasalahan pada kawasan metropolitan,


seperti semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir; semakin
meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh, semakin
berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau; kurang memadainya
kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan
maraknya premanisme sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh lemahnya
penegakkan hukum daripada masih kurangnya peraturan dalam penataan
metropolitan. Penegakan hukum merupakan aspek penting dalam keseluruhan
sistem hukum, tetapi seringkali aspek ini dirasakan sebagai aspek yang paling
lemah. Dalam penataan metropolitan, penegakan hukum juga merupakan
aspek yang paling sering diucapkan dan dipersalahkan dalam menjelaskan
kegagalan menata metropolitan secara tertib. Hal ini dapat diterima karena

II-9
memang aspek inilah yang paling sulit dilaksanakan dari semua aspek yang
berkaitan dengan penataan metropolitan. Ada empat faktor yang berkaitan
langsung dengan penegakan hukum, yaitu: substansi peraturannya sendiri,
aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, dan kesadaran hukum
masyarakat.

Lemahnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang sebagai perangkat


penegakan hukum, dari sisi substansi peraturannya sendiri antara lain
karena UUPR sebagai landasan dasar penataan metropolitan yang ada lebih
banyak mengatur keterpaduan proses, sedangkan kaidah-kaidah hukum yang
dimuat lebih bersifat adminitratif, khususnya kaidah-kadaih penuntun bagi
administrasi negara dalam perencanaan tata ruang. Kaidah-kaidah perilaku
masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang tidak banyak diatur
dalam UUPR, didasarkan pada pertimbangan bahwa kaidah-kaidah perilaku
tersebut telah diatur dalam undang-undang sektoral. Dengan demikian, jika
seseorang melanggar rencana tata ruang maka penerapan sanksi tergantung
pada peruntukan yang dilanggar. Sanksi tersebut dapat dikenakan mungkin
dari Undang- Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Kehutanan, Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam, atau undang-
undang lainnya. Pendekatan ini ternyata dalam praktek tidak berjalan efektif,
antara lain disebabkan undang-undang sektoral belum spesifik mengadopsi
pendekatan penataan ruang. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, yang terkait langsung dengan
penataan ruang hanya dapat diterapkan sanksinya, sepanjang pada
perubahan fungsi ruang (peruntukan) itu terdapat unsur “pencemaran” dan/
atau “kerusakan” lingkungan.

Dengan demikian, dalam praktek, kaidah perilaku luput dari pengaturan


UUPR. Oleh karena UUPR lebih banyak mengatur kaidah-kaidah perencanaan
tata ruang, dimana subyek utamanya adalah administrasi negara, maka terhadap
administrasi negara tersebut tidak dapat digunakan instrumen hukum pidana,
melainkan hukum administrasi.

Selain itu, kesadaran masyarakat untuk secara sukarela tunduk pada


peraturan- peraturan yang ada masih dirasa belum memadai. Banyak ketentuan

II-10
hukum termasuk di bidang penataan ruang dan lingkungan hidup dengan
sengaja dilanggar. Persepsi yang telah berkembang di masyarakat telah menjadi
pembenaran bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penataan ruang
pun bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari, apalagi ditakuti.
Pemanfaatan lahan-lahan di sepanjang sempadan sungai, trotoar jalan, taman,
dan lahan-lahan yang seharusnya bebas dari kegiatan untuk perumahan,
perdagangan, dan sebagainya merupakan pemandangan yang biasa di kawasan-
kawasan perkotaan.

Semua itu terjadi tanpa adanya upaya penegakan hukum yang tegas dari
aparat pemerintah. Pemerintah daerah tidak mampu berbuat banyak untuk
menegakkan hukum, hal ini disebabkan tidak mempunyai wibawa hukum
yang memadai karena prinsip-prinsip good urban governance yang intinya
terdiri dari accountability, transparancy, dan rule of law tidak dilaksanakan
secara konsisten.

Sebagai ilustrasi, izin sebagai instrumen penegakan hukum belum diikuti


dengan pengawasan yang cukup. Pengawasan yang dimaksud merupakan
tindakan yang dilakukan pemerintah pusat atau daerah untuk mengetahui ada
atau tidaknya pelanggaran terhadap izin atau ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pengawasan ini seyogianya ditujukan untuk memantau kepatuhan
masyarakat dan juga kedisiplinan aparat. Untuk itu, kewenangan membatalkan
izin seperti yang diatur dalam UUPR, termasuk terhadap izin-izin yang
diterbitkan oleh bupati/ walikota atau perangkat administrasi negara lainnya
harus disertai dengan prosedur penegakannya. Sementara itu, instrumen
perizinan yang semestinya berperan sebagai perangkat penegakkan hukum
seringkali bergeser peran secara paradoksal menjadi alat penyimpangan
terhadap aturan hukum. Misalnya izin mendirikan bangunan (IMB) yang
seharusnya berperan sebagai alat kontrol untuk menjamin kesesuaian
pembangunan fisik dengan rencana tata ruang, setelah era otonomi dijadikan
sebagai alat untuk menambah Pendapatan Asli Daerah dengan dibebani target
pemasukan tertentu setiap tahunnya. Dengan demikian, pada hakikatnya IMB
tidak lagi berfungsi sebagai instrumen pengendalian, melainkan lebih berperan

II-11
sebagai mesin penghasil PAD. Seringkali izin yang dikeluarkan tidak lagi
sesuai dengan rencana tata ruang, demi untuk mengejar target pemasukan.

Selain itu, seringkali izin yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan lolos karena berbagai hal. UUPR mengenal konsep insentif dan
disinsentif untuk melapisi pengendalian izin yang seringkali lolos tersebut,
tetapi konsep itu sejauh ini tidak pernah dilaksanakan dalam penataan
metropolitan bahkan dalam penataan ruang secara keseluruhan.

Perspektif Aspek Hukum Penataan Metropolitan

Wacana Pengaturan Kawasan Metropolitan dalam Rancangan Peraturan


Penataan ruang metropolitan hendaknya mampu mengantisipasi berbagai
permasalahan akibat terjadinya perubahan fungsi ruang atau pengalihan
fungsi lahan kawasan perkotaan sebagai akibat dinamika kegiatan
pembangunan kawasan perkotaan yang di dalamnya termasuk peremajaan
fisik perkotaan dan pembangunan permukiman perkotaan dalam skala besar
maupun kecil. Pertumbuhan kawasan perkotaan yang pesat dan dinamis perlu
diarahkan secara terencana dan terpadu baik dalam penataan perkotaan
sebagai suatu sistem perkotaan maupun secara individu perkotaan. Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kawasan
perkotaan yang semakin pesat serta untuk meningkatkan pelayanan terhadap
masyarakat di kawasan perkotaan, diperlukan adanya perangkat peraturan
perundang-undangan yang mengatur pengelolaan kawasan perkotaan termasuk
metropolitan.

Sebagaimana telah dikupas di atas bahwa peraturan perundang-undangan


yang ada dipandang belum cukup mengatur secara menyeluruh dan memberikan
kepastian hukum yang memadai dalam pembangunan kawasan perkotaan secara
efisien dan efektif. Oleh karenanya, berkembang pemikiran untuk menyusun
suatu peraturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan yang bertujuan
mewujudkan kondisi kawasan perkotaan yang optimal, baik secara sistem
maupun individu; mengatur pemanfaatan ruang kawasan perkotaan guna
meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan

II-12
sosial; meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan
seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan
masyarakat; mencapai kualitas tata pemikiran ini sejalan dengan amanat
Undang-Undang Penataan Ruang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan dan Undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan disusunnya Peraturan
Pemerintah tentang Pemerintahan Kota, ruang kawasan perkotaan yang optimal,
serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kualitas hidup manusia;
mendorong dinamika kegiatan pembangunan perkotaan sehingga dicapai
kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan,
berkeadilan, serta menunjang pelestarian nilai-nilai budaya; menyelenggarakan
pemerintahan di kawasan perkotaan yang mampu memberikan pelayanan
perkotaan secara efektif dan efisien kepada masyarakat kawasan perkotaan;
meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam
pembangunan kawasan perkotaan sebagai usaha bersama sesuai dengan tatanan
yang efisien, efektif, demokratis, dan bertanggung jawab; dan
mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh pemerintah dan
masyarakat termasuk dunia usaha dalam upaya menciptakan kawasan
perkotaan sebagai ruang kehidupan yang serasi, selaras, seimbang, layak,
berkeadilan, berkelanjutan, dan menunjang pelestarian nilai-nilai sosial budaya;
menumbuh-kembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan dan
peningkatan lingkungan fisik, sosial, budaya, politik dan ekonomi, serta
menciptakan kohesi sosial.

Selanjutnya, pemikiran ini dituangkan dalam suatu naskah Rancangan


Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengelolaan Kawasaan Perkotaan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tentang Penataan
Ruang dan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dalam RPP
tersebut, yang saat ini statusnya masih dalam pembahasan intern departemen,
dikembangkan landasan pengaturan yang kuat yang ditunjukkan dengan
dimuatnya beberapa peristilahan kunci yang antara lain meliputi kawasan
perkotaan, kawasan perkotaan baru, metropolitan, pengelolaan kawasan
perkotaan, rencana tata ruang kawasan perkotaan, forum pengelola kawasan

II-13
perkotaan, forum perkotaan, peran masyarakat dalam pembangunan perkotaan,
dan warga perkotaan.

Secara garis besar muatan pokok dalam RPP tersebut meliputi hal-hal
sebagai berikut:

1) Kriteria dan klasifikasi kawasan perkotaan

Kawasan perkotaan adalah kawasan yang memenuhi kriteria sebagai


berikut: a) memiliki fungsi kegiatan utama budi daya bukan pertanian atau
lebih dari 75 persen mata pencaharian penduduknya di bidang industri,
perdagangan, dan jasa; b) memiliki jumlah penduduk sekurang-
kurangnya 10.000 jiwa; c) memiliki kepadatan penduduk sekurang-
kurangnya 50 jiwa per hektar; dan d) memiliki fungsi sebagai pemusatan
dan distribusi pelayanan barang dan jasa yang didukung dengan prasarana
dan sarana termasuk pergantian moda transportasi. Secara umum, suatu
kawasan perkotaan dapat merupakan daerah kota, atau bagian dari daerah
kabupaten, atau bagian dari dua atau lebih daerah kabupaten dan atau kota.
Sedangkan secara kategoris, terutama untuk pengembangan sistem
pelayanannya, kawasan-kawasan perkotaan dapat diklasifikasikan
berdasarkan jumlah penduduk sebagai berikut: a) Kawasan perkotaan kecil
dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa;
b) Kawasan perkotaan sedang dengan jumlah penduduk yang dilayani
sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa; c) Kawasan perkotaan besar
dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa.
Selain itu, terdapat metropolitan yang harus memenuhi kriteria sebagai
berikut: memiliki sistem pusat permukiman perkotaan yang terdiri dari
suatu kota inti dan kawasan pusat permukiman di wilayah sekitarnya yang
berfungsi sebagai satelit sebagai satu kesatuan fungsional secara fisik,
ekonomi, dan sosial; dan jumlah penduduknya secara keseluruhan lebih dari
1.000.000 (satu juta) jiwa.

2) Kelembagaan dan pembiayaan kawasan perkotaan

Untuk kawasan perkotaan selain metropolitan (kawasan perkotaan


kecil, sedang, dan besar), kelembagaannya diatur oleh kepala daerah dan

II-14
dimungkinkan serta didorong dengan adanya kerja sama antara daerah
dalam rangka pembangunan perkotaan. Dalam hal kawasan perkotaan
merupakan kawasan perkotaan baru (yang biasanya berada pada suatu
kabupaten) maka dapat dibentuk badan atau unit pengelola pembangunan
yang ditetapkan dengan keputusan bupati. Sedangkan dari segi pembiayaan
pada dasarnya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten bersangkutan atau sumber pendanaan lain yang sah.

Pembiayaan di sini terdiri atas penetapan komponen-komponen dan


besaran pembiayaan yang disesuaikan dengan prioritas program. Khusus
untuk pembangunan kawasan perkotaan baru, maka pembiayaannya dapat
bersumber dari: a) dana masyarakat; b) dana publik yang berasal dari
pemerintah pusat, daerah, dan atau desa; c) pendapatan yang diperoleh dari
bagi hasil pengelolaan aset pemerintah pusat, pemerintah daerah,
pemerintah desa, swasta dan aset badan atau lembaga masyarakat di
kawasan yang direncanakan sebagai kawasan perkotaan baru; dan d) dana
yang berasal dari pinjaman sesuai ketentuan perundang-undangan. Untuk
pengelolaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan pasca
pembangunan, selain sebagaimana dimaksud di atas, sumber dana dapat
juga berasal dari pendapatan yang dipungut dari konsumen.

Untuk kawasan perkotaan metropolitan yang mencakup dua atau lebih


daerah kabupaten dan atau kota yang berbatasan langsung dilakukan atas
dasar kerja sama antar daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam rangka kerja sama antar daerah tersebut dapat
dibentuk badan metropolitan. Badan ini dapat memperoleh pelimpahan
kewenangan dari kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan bersama
kepala daerah setelah mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat
daerah masing-masing. Adapun kewenangan dimaksud dapat meliputi:

a) penyusunan program dan pemberian izin bagi kegiatan dan pelayanan


lintas daerah dalam kawasan metropolitan;
b) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di kawasan
metropolitan.

II-15
Dalam hal pembiayaannya, badan metropolitan ditetapkan dalam
anggaran penerimaan dan pengeluaran badan metropolitan, yang bersumber
dari:

a ) anggaran pendapatan dan belanja daerah dari tiap-tiap pemerintah


daerah yang disepakati bersama;
b) sumber pendapatan lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

3) Peran Masyarakat

Dalam penyelenggaraan pengelolaan kawasan perkotaan, pengelola


kawasan perkotaan mengikutsertakan masyarakat perkotaan.
Pengikutsertaan masyarakat perkotaan dapat diselenggarakan melalui
suatu forum perkotaan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik
masyarakat perkotaan setempat. Masyarakat dapat secara aktif ikut serta
dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perkotaan,
penyusunan rencana tata ruang, penyusunan program pembangunan, dan
pengendaliannya.

4) Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan

Dalam rangka pengelolaan kawasan perkotaan disusun rencana tata


ruang kawasan perkotaan. Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang
berada di dalam wilayah daerah kabupaten adalah bagian dari rencana tata
ruang wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan. Dalam hal kawasan
perkotaan merupakan daerah kota, rencana tata ruang kawasan perkotaan
adalah rencana tata ruang wilayah kota. Rencana tata ruang kawasan
perkotaan berisi rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang. Rencana
struktur ruang mencakup rencana pusat-pusat pelayanan perkotaan, pusat-
pusat lingkungan permukiman, dan rencana infrastruktur. Sementara itu,
rencana pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan merupakan bentuk
pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang menggambarkan ukuran,
fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam. Rencana
tata ruang kawasan perkotaan berdasarkan kedalaman rencananya
dibedakan atas:

II-16
a) rencana struktur tata ruang metropolitan;
b) rencana umum tata ruang kawasan perkotaan;
c) rencana detail tata ruang kawasan perkotaan.

Rencana tata ruang kawasan perkotaan dapat ditinjau kembali dan atau
disempurnakan sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan
kawasan perkotaan. Peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan
perkotaan merupakan bagian dari peninjauan kembali rencana tata ruang
wilayah kabupaten/ kota dan dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam
lima tahun, sedangkan penyempurnaan rencana tata ruang kawasan
perkotaan dilakukan dalam hal peninjauan kembali rencana tata ruang
kawasan perkotaan yang menunjukkan perubahan dan atau penyimpangan
yang mendasar.

5) Pembangunan kawasan perkotaan

Pembangunan kawasan perkotaan dilaksanakan melalui program dan


pelaksanaan pembangunan kawasan sebagai berikut:

a. Program Pembangunan

Pembangunan kawasan perkotaan diselenggarakan dalam rangka


pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang. Untuk itu dapat
disusun suatu rencana program pembangunan kawasan perkotaan.
Program pembangunan beserta pembiayaannya diselenggarakan secara
bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana
tata ruang. Program pembangunan kawasan perkotaan terdiri dari
program jangka pendek (tahunan) dan program jangka menengah
(lima tahunan). Penyusunan program pembangunan kawasan perkotaan
didasarkan pada kemampuan nyata pengelola kawasan perkotaan
termasuk kemampuan untuk pengoperasian dan pemeliharaannya

b. Pelaksanaan Pembangunan

Pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan, baik fisik


maupun nonfisik, mengacu pada program pembangunan kawasan
perkotaan sebagaimana dimaksud di atas yang dapat dilakukan oleh

II-17
pemerintah dan atau masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun
melalui pola kemitraan.

6) Pengendalian pembangunan kawasan perkotaan

Pengendalian pembangunan kawasan perkotaan dilakukan melalui


mekanisme perizinan, pengawasan, penertiban, dan pemberian informasi.
Dalam hal ini, pemerintah perlu menetapkan pedoman penyusunan
ketentuan perizinan di kawasan perkotaan. Pengawasan terhadap
pengelolaan kawasan perkotaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat,
pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/ kota dan masyarakat
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku; sedangkan
penertiban atas pelanggaran ketentuan perencanaan, pelaksanaan, dan
pemanfaatan pembangunan kawasan perkotaan dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/ kota.

7) Pembinaan dan pengawasan

Pembinaan dan pengawasan pengelolaan kawasan perkotaan


dilakukan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Apabila terjadi perselisihan antardaerah dalam
pengelolaan kawasan perkotaan diselesaikan oleh pemerintah pusat secara
musyawarah. Pada tingkat nasional dan atau propinsi dapat dibentuk forum
pengembangan perkotaan yang berfungsi memberikan masukan kebijakan
pembangunan kawasan perkotaan. Keanggotaan forum pengembangan
perkotaan terdiri atas: instansi pemerintah terkait, Asosiasi Pemerintah Kota
Seluruh Indonesia, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah.

Sementara itu, dalam RUU Penataan Ruang yang merupakan


rancangan pengganti UUPR diatur juga penataan metropolitan sebagai
bagian dari kawasan perkotaan. Dalam hal ini, penataan ruang kawasan
perkotaan diselenggarakan pada kawasan perkotaan yang merupakan
bagian dari wilayah kabupaten atau kawasan yang secara fungsional berciri
perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota pada satu

II-18
atau lebih wilayah propinsi. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud di
atas dapat berbentuk kawasan metropolitan atau megapolitan.

Secara garis besar RUU memuat hal-hal pokok mengenai kawasan


perkotaan sebagai berikut:

1) Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan

Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian


dari wilayah kabupaten adalah rencana detail dari rencana tata ruang
wilayah kabupaten. Untuk kawasan perkotaan yang mencakup dua atau
lebih wilayah kabupaten/ kota, maka rencana tata ruang kawasan
perkotaan merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan
yang bersifat lintas wilayah. Rencana tata ruang ini berisi arahan
struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang bersifat lintas
wilayah administratif.

Sementara itu, rencana tata ruang kawasan metropolitan


merupakan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah
yang tidak berbentuk sebagai rencana seperti halnya rencana tata
ruang wilayah tetapi merupakan pedoman untuksinkronisasi
perencanaan wilayah administrasi di dalam kawasan. Rencana ini berisi
rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang yang
merupakan sinkronisasi dari struktur ruang dan pola pemanfaatan
ruang wilayah administratif di dalam kawasan; arahan pengelolaan
kawasan metropolitan; dan indikasi program pemanfaatan ruang
kawasan metropolitan.

2) Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan

Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian


dari wilayah kabupaten merupakan bagian dari pemanfaatan ruang
wilayah kabupaten, sedangkan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan
yang merupakan bagian dari dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota
dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan beserta
pembiayaannya secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten/ kota
terkait.

II-19
3) Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan

Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang


merupakan bagian dari wilayah kabupaten merupakan bagian dari
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. Sementara itu,
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang mencakup
dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan oleh tiap-tiap
kabupaten/ kota. Untuk kawasan perkotaan yang mencakup dua atau
lebih wilayah kabupaten/ kota yang mempunyai lembaga pengelolaan
tersendiri, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga yang
dimaksud

4) Kerja sama Pengelolaan Kawasan Perkotaan

Pengelolaan kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih


wilayah kabupaten/kota dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah.
Kebutuhan peraturan metropolitan Peraturan metropolitan seyogianya
merupakan suatu keseluruhan kaidah-kaidah tertulis yang mengatur
penataan metropolitan dari mulai perencanaan, pembangunan hingga
operasionalisasi kegiatan-kegiatan perkotaan yang menjadi domain
publik dalam pengaturannya.

Dari uraian tentang rancangan peraturan yang ada dapat disimpulkan bahwa
penataan kawasan perkotaan termasuk penataan metropolitan ke depan akan
diatur secara lebih menyeluruh, tetapi aspek-aspek penegakan hukumnya masih
belum diatur secara lebih rinci. Pengaturan aspek penegakan hukum secara rinci
sangat diperlukan untuk memudahkan implementasi materi peraturan yang akan
ditetapkan. Sebagus apapun materi suatu aturan, kalau penegakannya lemah maka
peraturan tersebut sebenarnya sudah kedaluwarsa atau dengan kata lain hanyalah
merupakan ‘macan kertas’.

Secara umum kaidah-kaidah yang perlu ada dan disusun dalam suatu sistem
pengaturan penataan metropolitan adalah pertama, pengaturan yang berkaitan
dengan perencanaan penataan metropolitan. Sesuai dengan pengalaman dalam
pengembangan metropolitan selama ini serta “Best Practice” yang dijalankan di
negara-negara lain, khususnya negara-negara maju, maka pengaturan perencanaan

II-20
metropolitan meliputi perencanaan tata ruang yang bersifat makro yang produknya
biasa dikenal sebagai master plan atau schéma directeur dan perencanaan tata ruang
yang bersifat mikro yang produknya dalam bentuk rencana rinci atau rencana detail tata
ruang yang memuat atau dilengkapi dengan peraturan zoning.

Rencana tata ruang yang bersifat makro menurut UU No. 24 tahun 1992 dikenal
sebagai rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota merupakan dokumen rencana yang
harus menjadi acuan pertama dalam pengembangan perkotaan. Rencana ini
mestinya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat kaku sehingga tidak
dimungkinkan adanya perubahan peruntukan pemanfaatan ruang, juga memuat
ketentuan-ketentuan yang dapat bersifat fleksibel sehingga dapat menampung dinamika
yang terjadi pada masyarakat. Rencana yang bersifat makro ini haruslah merupakan
dasar perizinan lokasi kegiatan. Pada tataran rencana mikro atau rencana rinci, rencana
ini harus menjadi arahan bagi perizinan mendirikan bangunan. Dalam hal ini tidak perlu
ada dualisme pengaturan tata ruang dan tata guna tanah. Rencana rinci tersebut
merupakan satu-satunya dokumen legal yang mengatur peruntukan penggunaan ruang
termasuk tanah.

Kedua, perlunya pengaturan tentang operasionalisasi pembangunan perkotaan/


metropolitan. Dalam hal ini diperlukan pengaturan tentang bagaimana rencana tata
ruang metropolitan diimplementasikan menjadi suatu kegiatan penataan metropolitan
untuk mewujudkan rencana yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ketentuan yang
memuat tentang program penataan ruang metropolitan dan ketentuan-ketentuan
tentang penyiapan kawasan maupun lingkungan siap bangun, yang semestinya menjadi
bagian sentral dari pengaturan pada tahap ini. Selama ini, UU No. 4 tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman baru mengatur kawasan dan lingkungan siap bangun
untuk perumahan dan permukiman. Dalam pengaturan tentang operasionalisasi
pembangunan perkotaan di sini harus memuat seluruh pengaturan tentang penyediaan
kawasan maupun lingkungan siap bangun untuk seluruh sektor kegiatan pembangunan
perkotaan. Selain diperlukan kaidah-kaidah tentang penyiapan tanah matang, juga
sangat diperlukan pengaturan atau rujukan pengaturan tentang perolehan tanah (land
acquisition), seperti pembebasan tanah, konsolidasi tanah, bank tanah, dan lain-lain
untuk keperluan pembangunan perkotaan.

II-21
Ketiga, perlunya pengaturan tentang pengelolaan pelayanan umum. Maksudnya,
perlu pengaturan tentang jenis metode pengelolaan dan penanggung jawab atau pelaku
pengelolanya sendiri. Secara umum, jenis metode pengelolaan pelayanan umum dapat

dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu :

1) Pengelolaan langsung yang dilakukan sendiri secara swakelola oleh dinas-dinas


terkait maupun melalui kerja sama antar dinas di bawah sistem kerja sama antara
daerah;

2) Pengelolaan yang didelegasikan baik kepada organisasi semi publik seperti Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) atau organisasi sejenis lainnya, maupun kepada
perusahaan swasta dengan jenis-jenis kerja sama yang terukur dan diatur secara
rinci dalam peraturan perundang-undangan. Jenis-jenis pengelolaan pelayanan
umum yang dapat disediakan oleh swasta dapat dilakukan antara lain melalui skema
BOO, BOT, Ruilslag, Turn Key, dan konsesi.

Keempat, perlunya pengaturan tentang aspek-aspek penegakan hukum yang


dititikberatkan pada mekanisme perizinan berikut pengawasannya, ketentuan sanksi
serta prosedur penerapannya, pengembangan kemampuan dan integritas aparatur,
pengembangan prasarana dan sarana penegakan hukum, dan pengembangan kesadaran
masyarakat untuk patuh pada peraturan penataan metropolitan.

Penutup

Kawasan metropolitan yang semula hanya merupakan fenomena dari kawasan


perkotaan dengan ciri-ciri tertentu, dengan adanya penetapan suatu kawasan perkotaan
sebagai kawasan metropolitan yang perlu dikelola secara khusus dalam berbagai
rancangan peraturan, menjadi sebuah status yaitu suatu entitas objek pengaturan
yang jelas batas dan lingkup pengelolaannya. Keberhasilan dalam mengelola suatu
kawasan metropolitan akan tergantung kepada:

Pertama, kebijakan yang ditetapkan ke arah mana metropolitan akan dibawa. Hal ini
mestinya merupakan konvergensi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat yang
diperoleh melalui mekanisme konsensus yang berlaku. Konsensus ini mesti didukung

II-22
oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang diberi kepercayaan oleh
masyarakat untuk mengelola metropolitan;

Kedua, aturan hukum yang lengkap dengan penegakan hukum sebagai pelaksanaan
aturan yang disusun dan disepakati bersama. Kelengkapan aturan beserta
penegakannya dimaksudkan agar kebijakan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan
dengan rambu-rambu peraturan yang jelas dan applicable. Penegakan hukum mesti
dilakukan secara konsisten dengan prinsip zero tolerance, yaitu penerapan hukum
tanpa pandang bulu dengan semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di
depan hukum; Ketiga, sistem administrasi yang solid sebagai instrumen pelaksanaan
kebijakan dan penerapan hukum. Ini berarti diperlukan aparat dan aparatur atau
birokrasi yang bermartabat yang mampu menjalankan kewenangan dan tugasnya secara
jujur dan bersih.

2.1.2. Kebijakan Spasial (RTRW)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang


Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional , pada Pasal 8 ayat (3) bahwa “Strategi untuk
perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budi
daya meliputi :
a. Membatasi dan mengendalikan perkembangan kegiatan budi daya terbangun
di Kawasan rawan bencana dan risiko tinggi bencana serta dampak
perubahan iklim untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi
kerugian akibat bencana dan perubahan iklim;
b. Mengembangkan perkotaan metropolitan dan kota besar dengan
mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak;
c. Mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari luas kawasan perkotaan;
d. Membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan metropolitan dan
kota besar untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana dan sarana
kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di
sekitarnya;

II-23
e. Mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan
pulau-pulaukecil;
f. Membatasi dan mengendalikan kegiatan budi daya pada lokasi yang memiliki
nilai konservasi tinggi;
g. Menetapkan lokasi rusak dan tercemar untuk dipulihkan;
h. Mengendalikan keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan di
kota sedang sebagai kawasan perkotaan penyangga arus urbanisasi desa ke
kota;
i. Mengendalikan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk alokasi lahan
pembangunan bagi sektor non kehutanan dengan memperlimbangkan
kuatitas lingkungan, karakter sumber daya alam, fungsi ekologi, dan
kebutuhan lahan untuk pembangunan secara berkelanjutan;
j. Mendorong pembangunan hutan rakyat untuk mendukung kecukupan
tutupan hutan khususnya bagi wilayah daerah aliran sungai atau pulau yang
tutupan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen); dan
k. Mengembangkan kegiatan budidaya dengan memperhatikan bioekoregion
yang merupakan bentang alam yang berada di dalam satu atau lebih daerah
aliran sungai.

Pengembangan Infrastruktur wilayah melingkupi hal-hal yang terkait


dengan pembuatan program dan pembiayaan pembangunan infrastruktur secara
terpadu sehingga lebih efektif dan efisien. Untuk dapat melaksanakan
pembangunan infrastruktur secara terpadu, maka perlu dilihat bentuk dari
Rencana Tata Ruang (RTR) yang dihasilkan. Apabila Rencana Tata Ruang sudah
bagus, maka akan terbenuk keterpaduan yang dapat dilihat melalui indikasi
program. Namun, pada saat ini masih banyak Rencana Tata Ruang yang
dikerjakan dengan tidak optimal karena data kurang lengkap dan akurat,
kebijakan penataan ruang yang sering berubah-ubah, dan faktor-faktor lainnya.
Hal tersebut menyebabkan keluaran dari RTR harus diteliliti lebih lanjut. Selain
itu, ditemukan masalah lain bahwa produk rencana yang bersifat non spasial,
seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan produk rencana
sektoral juga belum terkoneksi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Padahal
tujuan pembentukan RTRW antara lain ialah untuk mewujudkan keterpaduan

II-24
perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, kabupaten/kota,
keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk
ruang di dalam bumi, serta keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/ kota. Oleh karena itu, guna mencapai
keterpaduan implementasi pembangunan antar sektor dan wilayah
administratif, maka diperlukan suatu wadah kelembagaan. Keberadaan dari
lembaga ini diharapkan akan mampu mensinergikan kepentingan lintas sektor
dan wilayah administratif maupun kepentingan pemerintah pusat dan daerah.

2.2 Kebijakan Provinsi

Perencanaan Pembangunan (RPJPD-RPJMD)


Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Lampung Tahun 2005-
2025, terdapat tantangan terkait Wilayah dan Tata Ruang antara lain :
1. Pengaturan tata ruang sesuai dengan peruntukan dimaksudkan untuk mengatasi
krisis tata ruang yang tejadi; penataan tata ruang dalam suatu sistem yang
menjamin konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.
Penataan ruang harus didukung dengan regulasi yang searah dalam arti tidak
bertabrakan antar sektor dan memperhatikan aspek keberlanjutan, daya dukung
lingkungan dan kerentanan wilayah terhadap bencana alam, seperti gempa
bumi, banjir dan tsunami.
2. Pengurangan kesenjangan pembangunan antar wilayah, terutama untuk
mengurangi kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik di
masing-masing daerah maupun antar daerah. Melalui pemanfaatan potensi dan
peluang keunggulan masing-masing daerah berdasarkan keunggulan lokal,
dalam rangka mendukung daya saing nasional.

Dengan melihat tantangnya pada RPJPD Provinsi Lampung Tahun 2005-


2025, oleh karenanya penting sekali menjadikan visi pembangunan Provinsi
Lampung menjadi modal dasar Provinsi Lampung, tantangan yang dihadapi 20
tahun ke depan, dan mengacu pada Visi Nasional Tahun 2005-2025; Visi Provinsi
Lampung 2005-2025 adalah “LAMPUNG YANG MAJU DAN SEJAHTERA 2025”
Maju mempunyai konotasi modern atau industrialized. Kemajuan mencakup

II-25
domain perekonomian, sains dan teknologi, pendidikan, dan civilization (politik
dan hukum). Perekonomian yang maju umumnya berbasis industri,
perdagangan, dan jasa, didukung oleh infrastruktur yang memadai.

Lampung yang maju diantara provinsi di indonesia adalah cita-cita yang


ingin diwujudkan oleh seluruh masyarakat Lampung. Dengan pemahaman untuk
menjadi Lampung maju memiliki pengertian bahwa masyarakat Lampung
sebagai bagian dari bangsa Indonesia akan menentukan nasib sendiri dengan
segala potensi yang dimiliki oleh sumberdaya wilayah dan sumberdaya
manusianya sebagai bentuk kemandirian dan kemajuan.

Lampung yang Sejahtera. Masyarakat yang sejahtera berarti secara


ekonomi makmur, dengan pembagian yang lebih adil dan merata. Jumlah
penduduk terkendali (laju pertumbuhan lebih rendah), derajat kesehatan tinggi,
angka harapan hidup tinggi, dan kualitas pelayanan sosial lebih baik. Masyarakat
sejahtera terjamin hak-haknya dan berkesempatan sama untuk meningkatkan
hidup, memperoleh pekerjaan, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, dan
pelayanan sosial, serta kebutuhan dasar yang layak. Masyarakat memperoleh
perlindungan keamanan, ketentraman, dan ketertiban. Masyarakat sejahtera
umumnya berkehidupan religious dan bermoral tinggi, rukun, harmonis,
berbudaya, berkesenian, dan berolahraga.

Untuk mewujudkan Visi “LAMPUNG YANG MAJU DAN SEJAHTERA


2025” akan dijabarkan dengan Misi sebagai upaya yang harus dilakukan oleh
organisasi secara terencana dalam rangka mewujudkan Visi. Dalam organisasi
pemerintah daerah, misi menjadi direction untuk tugas-tugas yang harus
diemban oleh satuan kerja. Dalam upaya mewujudkan Visi Provinsi Lampung
2005-2025, dapat dilaksanakan melalui Misi berikut :
1. Menumbuhkembangkan dan memeratakan ekonomi daerah yang
berorientasi nasional dan global.
2. Membangun sarana dan prasarana wilayah untuk mendukung
pengembangan ekonomi dan pelayanan sosial.
3. Membangun pendidikan, penguasaan IPTEKS, kesehatan, dan kesejahteraan
sosial.

II-26
4. Membangun masyarakat religius, berbudi luhur, dan berbudaya, serta
melestarikan dan mengembangkan budaya daerah.
5. Mewujudkan daerah yang asri dan lestari.
6. Menegakkan supremasi hukum untuk menciptakan keamanan,
7. ketentraman dan ketertiban, serta mewujudkan masyarakat yang
demokratis.
8. Mewujudkan pemerintah yang bersih, berorientasi kewirausahaan, dan
bertatakelola yang baik.

Dalam Perubahan RPJMD Provinsi Lampung Tahun 2019-2024 pola ruang


ditinjau berdasarkan Kawasan strategis nasional (KSN) dan Kawasan strategis
provinsi (KSP). Salah satu Kawasan Kawasan strategis provinsi dari sudut
kepentingan Pertumbuhan Ekonomi adalah kawasan yang mempunyai potensi
ekonomi, sumber daya alam dan sektor-sektor unggulan yang dapat
dikembangkan dan dimanfaatkan menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan
sudah mampu mendorong perkembangan daerah sekitar. Kawasan Strategis
untuk kepentingan ekonomi ini salah satunya Kawasan Metropolitan Bandar
Lampung.

Kawasan Metropolitan Bandar Lampung, yang dilandaskan upaya untuk


menciptakan sebuah kota yang kompak, efisien serta menjaga supaya tidak
terjadi penumpukan aktivitas di satu kawasan saja. Lingkup dari Kawasan
Metropolitan Bandar Lampung ini adalah Kota Bandar Lampung dan kecamatan-
kecamatan di Kabupaten-Kabupaten yang berbatasan dengan Kota Bandar
Lampung. Arah pengembangan Kawasan Metropolitan Bandar Lampung ini
sebagai pusat kegiatan yang mempunyai fasilitas yang memadai untuk aktivitas
sosial dan ekonomi, mengurangi berbagai persoalan pembangunan melalui
penyediaan infrastruktur secara lebih terpadu dan pengelolaan lingkungan yang
lebih berwawasan lingkungan melalui pengembangan ruang-ruang terbuka
hijau, menyediakan peluang investasi dan lapangan pekerjaan, ketersediaan
fasilitas pelayanan dan jasa yang efisien, seperti sistem informasi, perbankan,
jaringan pemasaran danprasarana ekonomi. Pengembangan Kawasan
Metropolitan Bandar Lampung juga didukung oleh pengembangan beberapa
fungsi utama dari sub kawasan di dalamnya, yaitu :

II-27
 Kawasan Pelabuhan Terpadu Panjang di Kota Bandar Lampung. Kawasan
pelabuhan terpadu terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya tempat
kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang, bongkar muat barang
yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran, kegiatan penunjang
pelabuhan, dan antar moda transportasi. Untuk meningkatkan peran
pelabuhan tersebut, di kawasan pelabuhan terpadu Panjang juga
dikembangkan sebagai kawasan industri.
 Kawasan Pemerintahan Kota Baru di Kabupaten Lampung Selatan. Untuk
mengurangi beban spasial Kota Bandar Lampung yang sudah sangat padat
dengan berbagai permasalahan kota, Kawasan Pusat Perkantoran
Pemerintah Provinsi Lampung yang ada sekarang akan dipindahkan ke Jati
Agung (Kabupaten Lampung Selatan). Kawasan Aeropolitan Natar di
Kabupaten Lampung Selatan. Sehubungan dengan rencana pengembangan
Kawasan Bandara Raden Inten II sebagai Aero City di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan, maka perlu diantisipasi adanya rencana
pengembangan kawasan Aeropolitan Natar yang mengintegrasikan antara
Kota Bandar Lampung dengan Aero City Raden Inten II, sehingga ke depan
dapat menjadi kawasan aeropolitan.
 Kawasan Teluk Lampung, akan dikembangkan menjadi Kawasan wisata
terintegrasi Bakauheni Harbour City (BHC). Kawasan Teluk Lampung
tersebut mengintegrasikan destinasi wisata disekitar teluk lampung yang
meliputi wisata pantai, wisata budaya dan Taman Hutan Raya WAR.
Kawasan Teluk Lampung ini memiliki potensi alam yang beragam sehingga
memiliki daya tarik yang kuat bagi para wisatawan.
 Kawasan Pusat Pertahanan dan Keamanan dikembangkan di Kecamatan
Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran yang telah memiliki Pangkalan
Angkatan Laut (Lanal) Teluk Ratai dan Brigade Infantri (Brigif) 9 Marinir.
 Kawasan Pendidikan Terpadu UNILA – ITERA – UIN Raden Intan II
(LARAIN). Kawasan ini terdapat di wilayah Kota Bandar Lampung dan
Kabupaten Lampung Selatan. Kawasan pendidikan LARAIN ini nantinya
diproyeksikan akan menampung student body sekitar 120.000 orang. Untuk
mendukung fungsi kawasan pendidikan di Provinsi Lampung.

II-28

Anda mungkin juga menyukai