Buku Mozaik Rupa Agraria FINAL ISBN Versi Digital
Buku Mozaik Rupa Agraria FINAL ISBN Versi Digital
- Macan Pungkasan-
EDITOR: Muhamad ‘Nanang’ Haryanto,
KUS SRI ANTORO difabel netra, penulis Reforma
Agraria untuk Disabilitas.
1963
MOZAIK
R U PA A G R A R I A :
DARI EKOLOGI POLITIK
HINGGA POLITIK RUANG
Pasal 113 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan
secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/
atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
MOZAIK
R U PA A G R A R I A :
DARI EKOLOGI POLITIK
HINGGA POLITIK RUANG
1963
STPN PRESS
Mozaik Rupa Agraria:
Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Penulis:
Bangkit Satria Jati, Desi Noviyani, Dwi Wulan Pujiriyani
Kus Sri Antoro, Muhamad Haryanto, Nahary Latifah
Purwanti, Purwati, Rahmat Ariza Putra, Rully Malay
Salsabila Yona Oktavia Rahma, Shah Aburrojab
Toto Sudiarjo ,Wignya Cahyana
Layout: Moya Zam-Zam
Desain Cover: Salsabila Yona Oktavia Rahma
Editor: Kus Sri Antoro
Write yourself.
Your body must be heard
(Hélène Cixous, The Laugh of the Medusa)
Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang vii
Merbabu, ia menyajikan gagasan bahwa kualitas lingkungan
menjadi prasyarat keberlanjutan hidup, jika dikaji lebih lanjut
maka kualitas sumber-sumber agraria menjadi prasyarat Reforma
Agraria, terutama dari sisi Akses.
Dwi Wulan Pujiriyani kembali hadir dengan Innovators
Versus Adopters: Menimbang ‘Benefit’ dan ‘Cost’ dalam
Penyebarluasan Inovasi Ekologi (Eco-Innovation). Karya ini
membedah pemikiran Modernisasi Ekologi yang diimani dan
diamalkan oleh banyak negara untuk menyelesaikan masalah-
masalah ekosistem. Modernisasi Ekologi hadir sebagai penambal
kekurangan dari Modernisasi Industri yang menyebabkan krisis
lingkungan. Dalam perspektif kritis, apalagi penuh keberpihakan
pada kelompok rentan, disadari bahwa Modernisasi Industri dan
Modernisasi Ekologi lahir dari rahim yang sama.
Purwati, yang terdidik secara formal sebagai pemulia
tanaman, mengingatkan kembali bahwa kedaulatan petani atas
tanah dan benih merupakan prasyarat bagi kedaulatan bangsa.
Karyanya yang berjudul Penguasaan Tanah dan Benih untuk
Kedaulatan Pangan menjelaskan hal itu. Barang siapa menguasai
benih maka ia menguasai penghidupan.
Berbentuk prosa, Api di Lereng Merapi menjadi karya penutup
isu Ekologi Politik dalam buku ini. Kus Sri Antoro menuliskannya
secara realis, mengisahkan konflik penataan ruang antara tujuan
Taman Nasional dengan Pertambangan Pasir untuk Industri
Infrastruktur, di mana ekosistem lereng gunung diperebutkan
oleh negara, komprador, korporasi dan masyarakat.
viii Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
yang rentan secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya, serta
rawan pelecehan, eksploitasi, dan penyingkiran permanen,
termasuk dalam urusan agraria.
Keragaman Gender dan Agraria: Warga Istimewa Penyandang
Diskriminasi dan Intoleransi, karya jurnalistik Kus Sri Antoro
tentang terhambatnya hak-hak kewargaan waria (transpuan)
yang berdampak luas, termasuk hak agraria. Karya ini menjadi
pengantar karya berikutnya yang lebih detil dan representatif.
Rully Malay, seorang transpuan berlatar aktivis keragaman
gender, merekam pengalaman dan pemikirannya dalam Ketika
Trah ‘Bissu’ Menolak Membisu Soal Hak Agraria. Karya ini
tidak hanya baru dalam studi dan kebijakan agraria, tetapi juga
menggugat kesadaran publik yang diskirminatif sejak dalam
pikiran, akibat prasangka yang ditularkan dan diwariskan. Stigma
terhadap transpuan adalah perkara ideologis ketimbang moralis.
Karya ini menegaskan bahwa transpuan adalah kelas yang asing
dan diasingkan, kebijakan agraria menjadi perlu menghargai
keragaman gender non biner.
Purwanti menutup isu GEDSI dan Agraria ini dengan karya
Tanah Penyandang Disabilitas, judul yang mewakili dirinya yang
berkursi roda. Berlatar aktivis disabilitas, perempuan ini kerap
mengadvokasi disabilitas yang menghadapi persoalan hukum.
Karyanya merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi
kebijakan agraria yang inklusif.
xii Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Kus Sri Antoro kembali hadir melalui essay akademik Tanah
Istimewa: Monopoli, Investasi, dan Akumulasi. Tulisan yang padat
ini mengkritisi deagrarianisasi di Propinsi DIY yang dapat menjadi
model bagi daerah swapraja atau bekas swapraja lainnya untuk
berlaku serupa. Bagaimana tanah negara, tanah desa dan tanah
hak didelegitimasi lalu diakuisisi oleh lembaga non negara yang
ditopang kultur feodal yang dilegalkan? Karya ini menunjukkan
dengan detil.
Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang xiii
Kus Sri Antoro kembali hadir dengan essay reflektif berjudul
Analisis Kelas dalam Tubuh Gerakan Perlawanan: Catatan
Otokritik atas Pengalaman Pengorganisasian Komunitas Berlawan
di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menawarkan kembali
pembacaan kelas menurut pemikiran klasik dalam tradisi ekonomi
politik. Tampaknya, analisis kelas belum usang untuk digunakan
membedah karakter aktor-aktor dalam perjuangan dan gerakan
agraria. Pengenalan karakter berdasarkan kelas ini penting agar
perjuangan agraria tidak kembali terjebak pada pola-pola elitisme
yang mandul.
Essay Rahmat Ariza Putra berjudul Yang Lebih Penting dari
Perdebatan antara Pupuk Kimia dan Organik berkisah tentang
keberdayaan dan optimisme petani, melampaui perdebatan teknis
perbandingan komoditas penyubur tanah (pupuk organik) atau
tanaman (pupuk sintetik). Keberdayaan petani menjadi syarat
bagi kedaulatan petani, rasa percaya diri sebagai petani yang
bekerja selaras alam penting dibangkitkan dari tidur panjangnya.
Karya prosa Kus Sri Antoro, Dian di Ambang Padam, menutup
isu Gerakan dan Perjuangan Agraria dalam buku ini. Karya ini
justru dari sudut pandang kaki tangan lawan, alih-alih rakyat
yang berlawan. Adu siasat antara pejuang agraria dan pasukan
deagrarianisasi cukup sengit dan detil dikisahkan dengan gaya
bahasa yang kaya metafora.
xiv Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
transmigrasi termuat kepentingan untuk mengontrol perilaku
dan sumberdaya. Melalui silang budaya, kekuasaan negara yang
diwakili pendatang dapat hadir dengan cara yang ramah, serupa
The Smiling General.
Kus Sri Antoro hadir dengan gagasan unik, yaitu
mempertemukan agraria dan seni, melalui essay reflektif Ekonomi
Politik Ruang-Seni dan Pertanyaan-pertanyaan Agraria: Studi Kasus
Proyek Seni Jogja Nduwe Gawe (Jogja Punya Perhelatan). Essay ini
tidak membahas tentang aktivisme seni yang sering hadir dalam
ranah kampanye gerakan dan perjuangan agraria, melainkan
perebutan ruang melalui seni sebagai strategi kebudayaan. Dengan
kata lain, seni elitis bisa berperan membenarkan perampasan
agraria dan mengawetkan deagrarianisasi tanpa perlawanan sama
sekali karena pelaku seni mampu mencipta perasaan senang dan
agung dari para penikmatnya. Bahkan, seni aktivisme pun sangat
mungkin eksploitatif reaksioner alih-alih progresif revolusioner.
Agraria dan kependudukan terkait erat, artikel Transisi
Demografi di Indonesia dan Nigeria: Sebuah Perbandingan
karya Dwi Wulan Pujiriyani hendak menunjukkan itu. Dengan
membandingkan Indonesia dan Nigeria, penulis mengemukakan
gagasan bahwa awal mula dan kecepatan transisi demografi suatu
negara merefleksikan tidak hanya keunikan warisan dan bentuk
intervensi kebijakan, tetapi juga dampak dari kondisi ekonomi
dan politik eksternal, misalnya perdagangan internasional
berbasis sumberdaya alam.
Kus Sri Antoro menutup isu Politik Ruang, Populasi dan
Kesehatan Mental dengan karya prosa berjudul Jalinan Kematian.
Karya ini membuka kemungkinan lain bahwa tatanan agraria
suatu kawasan berikut watak relasi sosialnya dapat memicu
kemerosotan kesehatan mental hingga titik terendah, relasi tata
pengurusan sumber-sumber agraria dengan isu kesehatan mental
xvi Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pengantar
Penerbit
xviii Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pengantar
Ketua STPN
xxii Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dalam Reforma Agraria.................................................. 277
• Sekolah Petani Berkesadaran
Ala Sekti Muda ................................................................. 297
• Tanah Istimewa:
Monopoli, Investasi dan Akumulasi............................ 314
F. Gerakan dan Perjuangan Agraria............................... 333
• Curah Ide:
Sebuah Percakapan Imajiner........................................ 335
• Elegi Para Nabi................................................................. 339
• Para Tak Bertanah Air Perjuangan
Buruh Tani dan Nelayan dalam
Mempertahankan Ruang Hidup
dari Megaproyek PLTU Batubara Indramayu............. 362
• Analisis Kelas dalam Tubuh Gerakan Perlawanan
(catatan otokritik atas pengalaman
pengorganisasian komunitas berlawan
di Daerah Istimewa Yogyakarta)................................... 370
• Yang Lebih Penting dari Perdebatan Klasik
Pupuk Kimia vs Organik................................................. 415
• Dian di Ambang Padam.................................................. 424
G. Politik Ruang, Populasi dan
Kesehatan Mental............................................................. 451
• Transmigrasi atau Skenario Jawanisasi?:
Politik Representasi Ruang dan Resistensi
Kultural Masyarakat Asli Terhadap
Transmigran Jawa........................................................... 453
• Ekonomi Politik Ruang-Seni dan
Pertanyaan-pertanyaan Agraria
(Studi Kasus Proyek Seni Jogja Nduwe Gawe)............ 467
• Transisi Demografi di Indonesia dan Nigeria:
Sebuah Perbandingan*................................................... 486
• Jalinan Kematian............................................................. 501
Biodata Penulis............................................................................. 532
Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang xxiii
xxiv Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
A.
Ekologi Politik/
Ekonomi Politik
Sumberdaya Agraria dan
Lingkungan Hidup
Macan Pungkasan
(Harimau Terakhir)
4 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(1)
1810
Tyger, tyger, burning bright, in the forests of the nights…
(William Blake)
Di suatu malam, seekor macan mengintai kerbau lepas di tepi persawahan.
Tanpa suara, ia mengendap-endap. Saat jarak sudah cukup dekat, ia melompat
cepat. Sayang, leher kerbau luput dari terkaman, gigitan macan menyasar
punuk kerbau yang gemuk. Kerbau terperanjat, ia memberontak, salah satu
ujung tanduknya menancap dalam di bahu macan. Pergulatan hidup mati
begitu sengit terjadi. Tiba-tiba nyala obor di mana-mana, hiruk pikuk manusia.
Perkelahian terhenti, macan dan kerbau bergegas melarikan diri.
1811-1816
Penjajah baru datang menggantikan penjajah lama lewat perang Sepehi.
“Sinuhun, budayamu sungguh biadab, jangan lagi mengadu macan dengan
manusia.”
“Tapi mereka pengkhianat, pantas mati, Lord.”
Di kandang, induk macan berhari-hari dibuat kelaparan, dipisah dari
anaknya yang beranjak dewasa. Prajurit menjemputnya keluar.
“Sima, Anakku, selamat tinggal.”
“Emaaak!”, Sima berteriak dan meronta.
1817-1822
Penjajah lama datang kembali menggantikan penjajah baru.
Dalam suatu pertarungan, macan mati tertusuk tanduk kerbau. Jika macan
menang, maka ia dibunuh ramai-ramai oleh manusia.
“Tuan Meneer, dulu macan perlambang alam, kerbau yang dekat dengan
tani perlambang manusia, kini macan perkasa itu ibarat bangsa Tuan,
kerbau ibarat bangsa hamba.”
“Oh, kami bukan macan yang pengecut mengendap-endap dan menerkam
dari belakang, kami singa yang berani, gagah menjelajah dan terhormat,
Sinuhun.”
“Adu macan dan kerbau ini kesukaan hamba, Tuan.”
“Ja, ja, ini menghibur, lanjutkan saja, Sinuhun.”
1825-1830
Di luar terjadi peperangan dahsyat, penjajah diserang pahlawan yang
disebut pemberontak, kerajaan kacau balau.
Saat lengang, di lorong penjara yang sunyi, Sima mencium aroma macan,
ternyata seorang manusia.
“Jangan takut, Sima!”
“Siapa kamu? Kenapa tahu namaku?”
“Aku Julung Kembang, aku akan membebaskanmu, pulanglah ke hutan.”
“Kenapa kita bisa saling bicara?”
“Karena aku dan kamu terhubung, kita punya lambang yang sama. Kamu
adalah aku di masa lalu, aku adalah kamu di masa depan.”
1840
“Sinuhun, keadaan sudah aman terkendali, kapan kita adu macan lawan
musuh negara atau macan lawan kerbau lagi?”
“Berjuta maaf Tuan Meneer, macan sudah sulit ditemukan di hutan.”
“Oh, artinya itu hutan sudah aman, tiada yang ditakutkan? Kami bisa babat
itu kayu untuk bikin kapal-kapal, untuk ganjal besi jalan kereta api, buka
perkebunan, tambang dan lain-lain hal.”
1870-1945
Hutan-hutan menjadi perkebunan, hutan tanaman industri dan tambang.
Sebagian menjadi pertanian dan pemukiman. Banyak kopi, teh, kakao, tebu,
sawit, kopra, jati, meranti, karet, gaharu, damar, perak, emas, tembaga,
batu bara, minyak bumi, gas alam dihasilkan dari wilayah-wilayah bekas
hutan. Semua hasilnya diangkut ke Negeri Singa, di mana aumannya yang
sarat rasa ingin menggetarkan udara dingin. Peperangan mulai berkobar
di mana-mana karena penduduk ingin menguasai, menata dan mengelola
sendiri wilayah dan kekayaan alamnya, penjajahan harus diakhiri, para
penjajah diusir pergi, perlahan dan pasti.
1945
Para manusia itu mengumumkan kemerdekaan dari penjajahan. Hutan-
hutan tidak pulih meski jaman telah beralih. Macan-macan tinggal menjadi
legenda, hidup di belantara kenangan belaka.
Ilustrasi:
Bangkit Satria Jati, Salsabila Yona Oktavia Rahma, dan Kus Sri Antoro.
Naskah:
Kus Sri Antoro.
Tata Letak:
Bangkit Satria Jati
Sumber inspirasi:
1. Dihan Amiluhur (2021). Gladiator Jawa: Sima Maesa dan Rampog Macan
di Jawa Abad 19. Penerbit Kendi, Temanggung.
2. William Blake (1794). The Tyger. Diakses dari Wikipedia.org
(10 November 2023)
Kisah Tanah dan Air Terakhir:
(Catatan Sunyi di Balik Perampasan
Ruang Hidup Warga Girisuko, Gunungkidul)
Toto Sudiarjo
Foto: Seorang petani sedang melintas Sungai Lemusur untuk menuju ladang
Pada suatu hari, ketika saya dan satu orang teman tinggal
di sana untuk beberapa hari, sempat menyaksikan warga sedang
melakukan bersih-bersih Sendang Belik yang ada di wilayah
Dusun Pacar. Maryanto, salah satu ketua pemuda Karang Taruna
Dusun Pacar, sedang sibuk mengerahkan warga untuk melakukan
bersih-bersih mata air secara rutin. Semua warga melakukan kerja
bakti mulai dari anak-anak, pemuda hingga orang tua sekalipun.
Foto: Lokasi mata air Sendang Belik di Dusun Pacar, Desa Girisuko
1 Ian Scoones adalah seorang ahli ekologi pertanian (agricultural ecologist) yang saat ini
menjadi profesional fellow di Institute of Development Studies di University of Sussex. Ia
fokus pada isu livelihood pedesaan serta perubahan kebijakan dan kelembagaan dengan
wilayah kerja sebagian besar di Afrika Timur dan Afrika Selatan, khususnya Zimbabwe.
akar kemunculan pemikiran ekologi baru (new ecological
thinking). Ekologi baru diawali dari konsep bahwa alam itu tidak
seimbang (imbalance nature). Sebagaimana disebutkan Scoones,
sebelum kemunculan ‘ekologi baru’, paham tentang keseimbangan
alam (equilibrium in nature) telah memiliki tradisi yang panjang
di Eropa. Hal ini dapat ditelusuri pada masa Yunani, abad
pertengahan dan abad ke-18. Terminologi ‘ekologi’ yang pertama
kali ditemukan oleh Haeckel pada tahun 1866 menggambarkan
konsep-konsep untuk menjelaskan struktur dan berfungsinya
alam.2 Hal ini pula yang dimunculkan Marsh (1864), bahwa ‘alam
itu dibiarkan tidak diganggu, alam relatif memiliki bentuk yang
permanen dan tidak berubah, kecuali terjadi bencana geologis yang
ini jarang sekali terjadi, kerusakan dapat terjadi dan itu sifatnya
permukaan, bisa memulihkan dirinya kembali”. Pemikiran serupa
inilah yang mendominasi para ahli lingkungan selama 70 tahun
sampai akhirnya pada tahun 1970, Elton menyatakan bahwa “alam
yang seimbang itu tidak ada dan mungkin tidak akan pernah ada”
(the balance of nature does not exist and perhaps never existed).
Pada tahun 1983, Sousa menyusul dengan kesimpulannya bahwa
“Jika keseimbangan alam itu ada, maka keseimbangan ini akan
sulit untuk ditunjukkan”. Hanya kedua komentar inilah yang dapat
dikatakan sebagai awal dari pemikiran ekologi baru, selebihnya
ilmu ekologi dalam abad tersebut tetap dibangun dari ‘paham
Background keilmuan yang ditekuninya mulai dari biologi, manajemen ekologi dan sains.
2 Ekologi didefinisikan sebagai cabang dari biologi yang berkaitan dengan relasi-relasi mahluk
hidup terhadap lingkungan sekitar, kebiasaan dan cara hidup mereka. Relasi-relasi individu
dengan lingkungan, kebiasaan dan cara hidup mereka termasuk semua aspek yang saat ini
dilihat sebagai dampak kontekstual (contextual effects). Definisi ini mencakup aspek-aspek
dalam psikologi perkembangan dan psikologi lingkungan. Bagian ini yang kemudian dikenal
dengan istilah autoecology (menempatkan organisme secara individual berlawanan dengan
synecology, studi kolektivitas), bagian dari ekologi tetapi biasanya tidak menjadi bagian dari
terminologi tersebut. Definisi ini mencakup kajian-kajian seperti Gerth dan Mills tentang
karakter dan struktur sosial, yang mempelajari mengenai bagaimana perubahan dalam
struktur sosial berdampak pada ‘mode of life’ dari suatu masyarakat. Sebaliknya sosiologi
ekologi manusia berfokus pada penelusuran mengenai ‘aggregation effects’ (dampak
agregasi), yaitu bagaimana masyarakat hidup bersama, menciptakan organisasi sosial, yaitu
relasi resiprokal antarindvidu atau masyarakat dengan lingkungannya berada. Lebih Lanjut
lihat Cliffton D Bryant. 2007. 21st Century Sociology: A Reference Handbook. California dan
United Kingdom: Sage Publications, hal 444.
3 Sejumlah ranah ekologi yang mendominasi dapat dilihat pada abad ini dari Clements (1916),
seorang ahli ekologi tumbuhan yang tertarik pada persoalan suksesi atau pergantian, yaitu
bagaimana tumbuh-tumbuhan berubah seperti halnya komunitas-komunitas yang dilihat
sebagai superorganisme.
4 Sementara itu dalam lingkungan dan ekologi ekonomi, dikenal ada ahli ekonomi lingkungan
(environmental economist) yang menempatkan isu sumberdaya dalam konteks kegagalan
pasar dalam menyediakan alokasi yang sumberdaya yang mencukupi dalam kondisi
kelangkaan; ahli ekologi ekonomi (ecological economist) yang menggunakan pendekatan
sistem koevolusioner dengan mengadopsi sistem ekonomi dan sistem ekologi yang dilihat
secara bersama dan ekonomi kelembagaan (institusional economist), sebuah perhatian yang
penting pada isu tindakan kolektif dalam pengelolaan sumberdaya alam.
5 Paham-paham tentang apa itu hutan, apa itu penggembala, apa itu longsor, apa itu alam liar,
yang berasal dari pandangan ekologi, dikonstruksi ke dalam istilah-istilah: forest dweller,
pastoralist, small-scale farmers atau indigenious people yang seringkali dilihat sebagai
penyebab berbagai masalah lingkungan.
Daftar Pustaka
Bryant, Cliffton D. 2007. 21st Century Sociology: A Reference
Handbook. California dan United Kingdom: Sage
Publications, hal 444.
Fairhead, James; Melissa Leach dan Ian Scooner. “Green
Grabbing: A New Appropriation of Nature?”. The Journal
of Peasant Studies, Volume 39, Issue 2, pp 237-261, DOI:
10.1080/03066150.2012.671770
Sachdeva, Sonya, Jennifer Jordan dan Nina Mazar. “Green
Consumerism: Moral Motivation to a Sustainable Future”.
Current Opinion in Psychology. 2015, Volume 6, pp 60-65.
Scoones, Ian. “New Ecology and the Social Sciences: What Prospect
for a Fruitful Engagement”. Annual Review of Anthropology.
1999, Volume 28, pp 479-507.
Zhu, Qinghua et all. “Green Food Consumption Intention,
Behaviors and Influencing Factors Among Chinese
Consumers”. Food Quality and Preference. 2013. Volume 28,
pp 279-286.
Dirusak Manusia
Kalau kemudian tanah surga kini merana diduga adalah
praktik budidaya pertanian yang hanya memikirkan produktifitas
tinggi dengan metode yang tidak merepotkan dan biaya seirit
mungkin. Orientasi komersil tanpa kesadaran utuh tentang
kesuburan tanah ini boleh dikata sebagai penyebab utama lahirnya
status quo pada tanah surga
Yang banyak terjadi di lapangan, petani pada umumnya
mengandalkan “bahan organik” yang disebut kristal. Limbah
peternakan ayam yang terdiri dari sekam mentah bercampur
kotoran. Sesekali berupa feses ayam murni bagi petani bermodal
lebih.
Kandungan nutrisi pupuk tersebut memang tinggi terutama
Nitrogen yang dibutuhkan aneka jenis sayur semusim yang daun-
daunnya dikonsumsi manusia. Namun karena sumber pakan
utama ayam adalah biji-bijian minim serat, kehadirannya di tanah
hanya sesaat meningkatkan kesuburan. Itupun cuma berkaitan
dengan aspek kimia yaitu ketersediaan hara.
Dengan kata lain, tidak ada perhatian dari petani untuk
menyediakan bahan organik penghasil humus yang memang
secara praktik cukup merepotkan dan memakan biaya serta waktu
lebih banyak. Kalau ada yang murah kenapa harus yang susah,
begitu kira-kira logika yang dipakai.
Referensi
Huber, Joseph. 2008. “Pioneer Countries and the Global Diffusion
of Environmental Innovations: Theses from the Viewpoint
of Ecological Modernisation Theory”. Global Environment
Change, Volume 18, pp 360-367. www.elsevier.com/locate/
gloencha.
*Tulisan ini pernah dimuat dalam blog pribadi penulis yang beralamat
di https://lucia-wulan.blogspot.com/ pada 22 Maret 2016.
1. Pendahuluan
Tanah dan benih merupakan alat produksi yang sangat vital bagi
petani. Penguasaan petani atas tanah/lahan dan benih merupakan
faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan petani yang dalam
skala luas mempengaruhi ketersediaan pangan bagi seluruh
masyarakat.
Tanah merupakan salah satu alat produksi yang sangat
vital bagi kehidupan manusia dan kemajuan bangsa. Tanah
merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang
kesejahteraan masyarakat dan sumber utama kelangsungan hidup
manusia. Semakin pesatnya perkembangan suatu negara semakin
menggerus pentingnya lahan bagi pertanian, ditambah semakin
pesatnya peningkatan jumlah penduduk yang memerlukan lahan
yang luas untuk bertempat tinggal, mengakibatkan semakin
berkurangnya pasokan lahan untuk pertanian.
Situasi dan kondisi pertanahan di Indonesia sebelum 24
September 1960 merupakan warisan jaman kolonial Belanda yang
diliputi oleh sifat-sifat kapitalis, individualistis, dan feodalistik
baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang hukum
pertanahan. (Hukum Tanah Barat, Hukum Tanah Adat, Swapraja)
(Ruchiyat, 1985). Sebelumnya hukum agraria Indonesia masih
bersifat dualistik karena didasarkan pada hukum adat dan hukum
agraria barat yang sebagian besar menguntungkan pihak asing.
Permasalahan pertanahan yang paling utama adalah
penyediaan tanah untuk pembangunan yang semakin rumit dan
penuh ketidakadilan. Misalnya, pemilik tanah tidak menerima
ganti rugi yang memadai, padahal pemilik tanah bersedia
melepaskan tanahnya untuk pembangunan proyek pemerintah
atau atas nama pemerintah. Dapat dikatakan bahwa bagi petani
tanah merupakan satu-satunya aset yang paling berharga namun
mereka tidak berdaya untuk mempertahankan apa yang mereka
miliki.
Permasalahan ini terjadi karena tanah dipandang sebagai
komoditas strategis yang tujuan utamanya adalah menyediakan
lahan yang layak bagi sektor pembangunan sehingga dapat
mendorong investasi seluas-luasnya dan maksimal guna
mendukung tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang
dimiliki. menjadi sasaran pejabat setempat. Model pembangunan
ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan
kurang memperhatikan kepentingan masyarakat menengah ke
bawah yang masuk dalam kategori kelompok ekonomi lemah.
(Fauzi, 1997).
Pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria merupakan
awal penting dalam reformasi hukum agraria nasional di
Indonesia. UUPA menjadi dasar pengaturan dan penyelenggaraan
kewenangan di bidang pertanahan. hal serupa juga diatur dalam
penjelasan umum UUPA, meletakkan dasar bagi penyiapan agaria
nasional yang merupakan sarana mewujudkan kesejahteraan,
kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat petani dalam
1 https://spi.or.id/petani-kecil-harus-merebut-kembali-kedaulatan-atas-benih/
Tidak seorang pun tahu dengan pasti berapa kali gunung Merapi
meletus menyemburkan inti bumi. Tatkala lava pijar yang panas
meluap dari kawahnya, saat awan panas bergulung-gulung
terbawa angin ke berbagai penjuru, ketika bebatuan dan pasir
berhamburan begitu dahsyatnya, cuma satu hal yang terbayang:
kematian. Suhu yang amat tinggi membuat hutan pinus di lereng-
lerengnya berubah jadi tegakan arang, bahkan gundukan abu.
Di kampung-kampung sekitarnya, berbagai tanaman pangan
dan pakan di ladang-ladang dan sawah-sawah layu tertutup abu
vulkanik. Udara membaur dengan debu silika, menyesakkan
dada dan memedihkan mata. Ketika hujan turun, lahar dingin
menggantikan air jernih di sungai-sungai, menerjang dan
menghanyutkan apa saja yang dilaluinya, memunahkan berjuta-
juta ikan. Kehidupan seolah berhenti untuk beberapa hari.
Namun bagi kami, letusan gunung Merapi adalah berkah
karena menjadi sumber-sumber nafkah. Abu vulkanik yang luruh
ke tanah perlahan menyumbang kesuburan. Seiring berjalannya
waktu, tunas-tunas baru bermunculan dari batang-batang pinus
yang selamat dari bencana. Mata air di tepian sungai-sungai
memancar kembali, air jernih menggenang, mengalir di sepanjang
urat nadi permukaan bumi, menjelma ruang hidup untuk jutaan
ikan, membasuhi dan membasahi ladang dan persawahan.
Rumpun-rumpun rerumputan pakan ternak kembali bersemi,
menghijau, dan rimbun. Begitulah, hidup dan mati datang dan
pergi di lereng gunung Merapi.
Sebuah catatan tua yang pernah kubaca menceritakan,
kawasan ini pada mulanya merupakan sumber nafkah penduduk,
namun sejak 1912 aktivitas mata pencaharian di dalam hutan
sudah dilarang. Sebelum tahun itu, penduduk di sekitar lereng
gunung membuka ladang-ladang berpindah. Pepohonan
ditebang dan dibakar, menyisakan lahan-lahan kosong yang
gosong, lalu lahan itu ditanami tanaman pangan selama satu
hingga tiga tahun, kemudian ditinggalkan karena panen tidak lagi
mencukupi kebutuhan. Ladang-ladang baru bekas hutan tanpa
henti dibuka, ditanami, dan ditinggalkan, hingga suatu ketika
nanti kesuburannya kembali dan layak ditanami lagi. Penduduk
menanami pohon berkayu untuk menandai batas garapan. Akibat
ladang berpindah itu, setiap kali musim hujan banjir melanda di
kota-kota Vorstenlanden—kini daerah Yogyakarta dan Surakarta,
dan Keresidenan Kedu—kini kabupaten Magelang, sehingga
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda saat itu menetapkan
hutan-hutan di gunung Merapi sebagai hutan lindung—melalui
Gouvernements Besluits No 4197/B meliputi Propinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini. Sejak saat itu,
ladang berpindah pelan-pelan punah, lahan-lahan mulai digarap
menetap. Sumber kesuburan berasal dari kotoran ternak, tak lagi
mengandalkan pemulihan alami mutu tanah. Ternak-ternak mulai
dikandangkan, tidak lagi digembalakan bebas di dalam hutan.
100 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Alhamdulillah. Beres, Pak. Paimin aman dengan jaminan.
Semua sesuai rencana kita,” jawab kakakku dengan gembira,
disambut senyum lega paman, Paimin dan bapak.
Apa maksudnya ini semua? ‘Sesuai rencana kita’ katanya?
Mereka bekerjasama? Negara dan bromocorah saling membantu?
Aku terpuruk lemas, serasa hendak melepas tugas.
Di luar, awan enggan menjelma hujan. Di dalam, api amarah
di hatiku tak kunjung padam.
Yogyakarta, 31 Desember 2015
untuk: Marsen Ng
Entah sejak kapan persisnya, rasa cemas mulai menjadi hal sehari-
hari bagi Atun. Adakalanya ia disertai sebab yang bermacam-
macam, tetapi lebih sering rasa itu hadir begitu saja. Hanya
saja, kecemasan yang ia rasakan pagi ini terasa lebih mencekam
dibanding yang sudah-sudah. Mungkin yang bisa menyamai
hanya hari-hari menjelang penggusuran beberapa bulan yang
lalu. Beberapa hari ia dan tetangga-tetangga terjaga hampir siang
dan malam, bersiap untuk mempertahankan rumah mereka.
Sebatang rokok ia nyalakan. Samar, asin laut meruap di
udara. Aroma bawang merah goreng tercium dari rumah sebelah
melalui dinding anyaman bambu. Dinding bambu: segala yang
tak permanen menjadi pilihan masuk akal di tengah ancaman
perobohan paksa sewaktu-waktu. Lubang di atap akibat genteng
yang melorot menarik perhatiannya. Sebentar lagi musim hujan,
batinnya, semoga anak Warno bisa dimintai tolong.
Sekenanya ia merapikan dan menggelung rambutnya yang
menipis dan memutih, pengingat akan tahun-tahun yang letih.
Di dinding tergantung kaos hitam-merah muda dengan gambar
perempuan-perempuan muda yang menurut Suci, cucunya,
adalah kelompok penyanyi dari Korea. Sebenarnya anak itu tak
mengikuti musik-musik dari luar negeri. Di kalangan anak-anak
sini, dangdut koplo lebih masuk di hati dan telinga. Kaos semacam
itu kebetulan ada saja di pasar kecamatan.
Saat mata Atun tertumbuk pada kaos itu, kembali ia teringat
akan hal yang membuatnya gelisah. Sudah dua hari Suci belum
pulang. Bahkan tas ransel dan beberapa potong baju dibawanya
serta.
Sepagian Atun sudah berkeliling ke mana-mana. Tetangga-
tetangga tak ada yang tahu keberadaan anak itu. Bertanya pada
pemilik warung makan tempat anak itu sering menyambung WiFi
pun tak membuahkan hasil. Informasi dari teman-temannya juga
nihil. Tak ada yang tahu kenapa Suci tak masuk sekolah. Menurut
seorang anak, pesan yang terkirim masih centang satu.
Siang ini seharusnya Atun melanjutkan rute memulung di
desa sebelah. Wisata pantai sedang sepi. Tak banyak botol dan
kaleng yang dapat ia kais. Namun, urusan mencari cucunya lebih
penting. Mungkin Menil si pemilik salon bisa membantu. Ia selalu
tahu kabar angin dari segala penjuru. “Kepo”, kata orang-orang.
Atun pun melangkahkan kakinya melalui gang-gang sempit
berpasir yang tak beraturan.
Seperti pasir pantai yang menjelma jalanan dan
pekarangannya, kampung ini serba sementara dan tidak ajek.
Orang datang dan pergi silih-berganti. Namun, seperti juga pasir
yang berasal dari bebatuan di pucuk-pucuk gunung, lapuk oleh
cuaca, terbawa badan air, dan berakhir di pantai ini, bagi orang-
orang ini kampung ini juga adalah muara perjalanan, suaka bagi
mereka yang terbuang. Kampung halaman ditinggalkan bersama
masalah-masalah yang tak pernah selesai. Tempat yang asing ini
106 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
memberikan ilusi rasa aman untuk menjadi apa pun, berbuat apa
pun. Orang-orang yang saling asing dipersatukan oleh perasaan
sebagai sesama kaum yang tercerabut dan selamanya takkan
pernah bisa pulang.
Seperti banyak perempuan di kampung ini, Atun pensiunan
dunia hiburan malam. Lebih dari separuh usia hidupnya ia
habiskan di sini, tempat yang jauh berbeda dari kampung masa
kecilnya di pegunungan. Samar-samar masih ia ingat aroma manis
gaplek yang ditumbuk ibunya di rumah tabon. Telah bertahun-
tahun ia tak lagi menginjakkan kaki di rumah tepi hutan jati itu.
Sepetak pekarangan itu semestinya menjadi hak waris ibunya.
Namun, ketika ada program pemutihan, petugas yang lalai dan
malas malah mencantumkan nama paman Atun yang tinggal di
sana, bukan ibunya. Repot, katanya, kalau harus mencari ibu Atun
yang saat itu sedang merantau di kota. Meskipun mereka bilang
rumah itu tetap rumah ibu Atun, pada kenyataannya bertahun
kemudian mereka berpegangan pada dokumen negara untuk
mengklaim tanah itu.
Tanpa rumah untuk pulang, pada akhirnya Atun terdampar di
kampung tepi pantai ini. Setelah tak lagi bekerja di dunia malam,
Atun melakukan rupa-rupa pekerjaan demi menyambung nafas
dari hari ke hari. Ia pernah bekerja sebagai buruh pabrik arang,
pemasok sate usus untuk angkringan, dan penjaja souvenir kerang
untuk wisatawan di pantai. Belakangan, bersama perempuan-
perempuan tetangganya, ia bekerja mencari pandan untuk
dipasok ke pengusaha kerajinan. Pandan itu tumbuh liar di
gumuk pasir sekitar kampung mereka. Berpanas-panas mereka
mencari pandan, merebus, merendam, dan menjemurnya.
Upahnya tak seberapa walaupun si juragan kerajinan itu sukses
mengekspor produknya ke luar negeri. Tanah dan rumahnya di
mana-mana. Mobilnya ada beberapa. Konon di tempat bernama
108 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
teringat akan sorot mata polos bocah yang menangis memanggil-
manggil ibunya malam itu. Orang-orang di luar kampung ini
menganggap tempat ini semacam tempat pembuangan akhir
yang penuh sampah. Namun, bahkan ia yang bergumul noda
mengetahui seorang anak terlahir dengan kemurnian belaka.
Beberapa hari sebelumnya Suci menyampaikan keinginan
untuk melanjutkan ke SMK di tempat yang agak jauh dan
minta dibelikan motor. Sebenarnya Suci bukan anak penuntut.
Pergaulannya dengan teman-teman sebaya bukannya tidak
menulari dengan keinginan membeli barang ini-itu. Tapi ia
tahu merengek seperti apa pun kalau neneknya tak punya
uang, keinginannya tak akan kesampaian. Atun berkeberatan
karena motor paling murah sekalipun jauh dari jangkauan
kemampuannya. Pilihan paling masuk akal adalah sekolah
terdekat yang dapat dijangkau dengan sepeda seperti biasanya.
Entah kenapa kali itu Suci begitu ngotot dengan permintaannya.
Atun hanya bergeming. Ia masih berberat hati memenuhi
keinginan itu. Sebelum ngambek ngomong, anak itu sempat
berkata, “Ya sudah, biar aku cari uang sendiri.”
Atun hanya membiarkan. Paling sehari-dua hari lagi suasana
hati anak itu sudah kembali seperti sedia kala, batinnya. Mendapati
anak itu tak pulang-pulang juga, kecemasan mulai menghinggapi
hati Atun. Apa yang dipikirkan anak itu dan di mana pula ia
sekarang? Anak umur empat belas tahun mau cari uang dengan
cara apa? Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Apalagi
mengingat kampung ini penuh labirin yang gampang membuat
tersesat siapa saja. Apa pun latar belakang almarhumah ibu Suci
dan juga Atun sendiri, sampai kapan pun Atun akan selalu ngeman
pada anak itu. Bahkan ia pindah ke area yang agak jauh dari pusat
hiburan malam itu agar Suci tak berurusan dengan orang-orang di
sana. Memang apa mau dikata kebanyakan anak-anak di sini telah
110 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
tidak ketemu-ketemu juga. Pusing kepalaku. Ke mana anak itu?”
terdengar gusar dan gelisah pada ucapan Atun.
“Lho kok bisa tidak pulang?”
Atun pun menceritakan yang terjadi . Ia mengakhiri dengan
ungkapan kecemasan kalau-kalau anak itu melakukan yang tidak-
tidak.
“Aku tak tahu, Mak. Tapi kapan itu sudah agak lama dia
pernah ke sini. Minta dipotongin poninya. Terus dia nanya-nanya
sambil cengengesan, kalau kerja kayak kerjanya Bude Menil dulu
kayak gimana. Ya kubilang nggak usah yang aneh-aneh. Sekolah
saja sampai selesai terus melamar di pabrik wig kayak anaknya Bu
Ngadilah. Aku bener ngomong kayak gitu kan, Mak?”
“Sudah benar seperti itu. Keinginanku juga begitu pada anak
itu.”
“Sudah tanya-tanya ke karaoke, Mak?”
“Belum. Nanti akan ke sana.”
“Kalau tidak ketemu juga, ke kantor polisi saja, Mak. Bisa
kuantar perginya.”
Atun mengiyakan. Namun, dalam hatinya ia membatin,
dengan Mami Yati, ia akan mencoba, tetapi kantor polisi adalah
tempat terakhir yang akan ia tuju. Atun mempunyai hutang dua
juta pada seorang polisi di sana yang membuka “jasa” peminjaman
uang. Hingga si induk lunas, “jajan” Rp50.000 wajib dibayarkan
setiap pekan. Atun menunggak dua pekan dan sedang tak ingin
berurusan dengan polisi itu.
Setelah berpamitan, ia pun berjalan ke arah kompleks karaoke.
Keadaan tempat itu pada siang hari sangat bertolak belakang
dengan hingar-bingar pada malam harinya. Atun langsung masuk
112 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Biasa, biasa bagaimana? Cucu saya itu anak sekolahan. Tidak
biasa dengan yang seperti itu,” Atun membalas dengan gusar. “Jika
kalian melihat cucu saya, tolong sampaikan padanya untuk segera
pulang.”
Atun pergi dari tempat itu dengan kegundahan yang kian
mendalam. Memang sebagai anak yang sedang memasuki masa
remaja, adakalanya anak itu membuatnya jengkel karena lebih
suka bermain HP dan enggan menuruti permintaannya. Meskipun
kadang memarahinya, Atun tak bisa membayangkan jika ada hal
yang buruk terjadi pada anak itu. Seluruh ingatannya sebagai
perempuan menyeruak ke permukaan. Seluruh derita menghadapi
kerasnya kehidupan kembali berputar-putar di kepalanya.
Ia tanyai pekerja di warung yang terakhir kali melihat anak
itu. Konon memang ada laki-laki paruh baya yang mengobrol
dengannya dan membayari makan siangnya. Setelah mereka pergi
dari warung, tak ada lagi yang tahu keberadaan keduanya.
Akhirnya Atun mengambil keputusan: kecemasan yang lain
harus dikesampingkan. Ia harus pergi ke kantor polisi segera.
Jalan pintas menuju kantor polisi itu berupa semak-semak
yang tumbuh di pasir dengan diselai pohon siwalan di sana-sini.
Di satu sisi teronggok sebuah bangunan mangkrak yang penuh
coretan cat semprot warna-warni. Kaki Atun telah letih tetapi ia
memaksakan diri untuk terus berjalan.
“Mak!”
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat ia hafal. Dari balik
semak-semak di sudut bangunan mangkrak itu menyembullah
kepala dengan kuncir rambut yang acak-acakan. Atun segera
mengenali wajah itu sebagai wajah cucunya. Tak terkira kelegaan
yang menyelimuti hatinya. Wajah anak itu tampak ragu-ragu
seperti takut dimarahi. Atun segera mendekatinya.
114 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Suci hanya manyun.
“Kamu boleh sekolah di mana pun kamu mau. Soal biaya
nanti Mak yang cari. Tapi kamu harus niat betul sekolahnya.”
“Iya, Mak. Mak, aku lapar.”
“Ayo kita pulang! Nanti kita mampir warung soto.”
Dalam perjalanan pulang Atun berangan-angan. Besok
pagi dan seterusnya mungkin Atun akan terus memulung. Tapi
mungkin ia juga bisa kembali menyetor sate usus di angkringan.
Atau membuat tempe untuk dijual di warung-warung dekat sini.
Ia tahu ia tak akan pernah bisa kaya-raya. Namun, apa saja akan ia
coba agar cucunya bisa makan dan terus bersekolah. Itu janjinya
pada dirinya sendiri.
1 Versi awal tulisan ini berjudul Warga Istimewa, Tapi Menyandang Diskriminasi dan
Intoleransi, dimuat dalam www.selamatkanbumi.com pada 24 November 2019. Versi awal
tulisan ini merupakan Liputan ini hasil kerjasama Selamatkanbumi.com dengan Aliansi
Jurnalis independen (AJI) Yogyakarta dalam program Fellowship Liputan sebagai bagian
dari Journalists Workshop on Human Rights Reporting yang diselenggarakan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Internews dan Kedutaan Belanda di
Yogyakarta, 6-8 September 2019. Dengan sedikit pengembangan, tulisan ini diterbitkan ulang
untuk tujuan pendidikan.
Penolakan dan kerasnya kehidupan membuat kesehatan mental
waria rawan.
Tanpa KTP, mereka tidak dapat melamar pekerjaan, membuka
rekening bank; tidak dapat naik kereta api atau pesawat; tidak
berkesempatan mempunyai jaminan kesehatan; mustahil
mempunyai Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan sertipikat tanah,
terlilit hutang lintah darat, dan sulit memperoleh pekerjaan yang
lebih baik serta aman. Ketiadaan KTP membuat waria terancam
hidup di jalanan seterusnya, terkondisikan miskin dan tanpa
layanan publik mendasar.
Ditemui di sela-sela diskusi film Perempuan Tanpa Vagina
(Rabu, 20 November 2019) bersama para akademisi, Jenny (41)
mengungkapkan, “Saya beruntung memperoleh KTP karena
keluarga saya tidak mengasingkan saya, meskipun sempat menolak
jati diri saya saat saya SMP,” pengakuan nya. Pengurus lembaga
keuangan mikro suatu aliansi waria di Yogyakarta itu pernah pula
membuka salon di Sumedang. Menurutnya, hambatan terbesar
ada pada diri waria sendiri. Memperoleh Kartu Keluarga (KK) atau
Surat Pindah dari daerah asal tidak mudah, pertama banyak waria
yang sudah putus komunikasi dengan keluarga, kedua kembali
ke masa lalu yang penuh trauma kekerasan itu berat, ketiga
adakalanya keluarganya sudah tidak ditemukan lagi karena
kampungnya sudah berubah jadi kawasan proyek kepentingan
umum, tambang, dan sebagainya.
Shinta Ratri (57), Pengasuh Pesantren Waria Al Fatah di
Celenan, Bodon, Jagalan (Kotagede), Banguntapan, Bantul,
mengungkapkan kekesalannya (Rabu, 20 November 2019). “Saya
iri dengan nasib waria di Nepal atau Pakistan yang identik dengan
negara berpenduduk mayoritas muslim. Di sana waria dihormati
dan diakui negara.”
118 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kelamin cuma laki-laki dan perempuan serta tidak diperbolehkan
pernikahan sejenis.” Pernyataan ini menandai fakta bahwa layanan
publik kepada waria rentan dikaitkan dengan isu seksualitas yang
dinilai abnormal, sementara kesesuaian orientasi seksual WNI
dengan jenis kelaminnya (laki-laki atau perempuan) tidak dapat
ditentukan dari gestur tubuh atau ekspresi gendernya.
Shinta Ratri menanggapi, “Saya kasihan dengan mereka yang
mengejek, menghina, dan mencerca waria.”
Saat dikonfirmasi, Kepala Seksi Identitas Disdukcapil
Kabupaten Bantul, P. Eko Ananto menjelaskan bahwa Dinas
hanya melayani penerbitan KTP untuk lansia, difabel, pindah
antar kabupaten, perubahan jenis kelamin dan agama yang
mana keduanya harus disertai penetapan pengadilan (Kamis, 21
November 2019). Pelayanan di Dinas itu merupakan kebijakan
yang mengacu pada UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang diubah dengan UU No 24 Tahun 2013. Untuk
waria, sepanjang tidak mengubah jenis kelamin diproses seperti
biasa di kecamatan dari perekaman hingga cetak, sesuai Peraturan
Daerah Kabupaten Bantul No 16 Tahun 2015 tentang Tertib
Administrasi Kependudukan.
“Sepanjang 2012-2019, kami sudah audiensi dengan
Disdukcapil Propinsi DIY satu kali dan Kota Yogyakarta dua kali,
hasilnya masih jauh dari harapan,” ujar Shinta Ratri. Menurutnya,
pengurusan KTP tanpa surat keterangan asal dan KK bisa
dilakukan, namun syaratnya waria harus bermukim 6 bulan di satu
tempat sepengetahuan RT atau RW setempat, nanti dicek berkala
oleh Dinas Sosial jika dinilai memenuhi syarat akan diterbitkan
KTP Sementara untuk kategori Orang Terlantar.
Shinta Ratri berpendapat, pihak Disdukcapil bekerja
profesional, tidak menolak sepanjang dokumen lengkap, tidak
mengaitkan dengan isu LGBT dalam melayani KTP, namun belum
120 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Shinta mengungkapkan, menjalani hidup sebagai waria itu
berat. Dibenci karena berbeda, dibedakan karena prasangka,
dijadikan bahan lelucon karena gerak tubuh, dicemooh karena
dimiskinkan, dijauhi karena penampilannya, dicurigai karena
dituduh penuh dosa, bahkan dianggap memalukan sehingga tidak
diakui keberadaannya. Mayoritas masyarakat masih merasa jijik
pada waria. Saat waria wafat, mereka masih saja telantar, lebih-
lebih waria tanpa keluarga, warga non waria biasanya enggan atau
sungkan mengurus jenazahnya. Menurutnya, waria itu istimewa
(khusus) namun nasibnya tidak diistimewakan.
Merespon kebutuhan umum waria, salah satu program
unggulan Pesantren Al Fatah adalah Pemulasaran Jenazah agar
jenazah waria tanpa keluarga ada yang memandikan. Adanya
organ tubuh perempuan dan laki-laki di tubuh waria membuat
laki-laki atau perempuan yang hendak memandikan mundur.
“Memandikan jenazah biasanya ditangani tenaga profesional di
rumah sakit, kami ingin jenazah waria dirawat secara manusiawi
tak hanya profesional, ternyata ini masalah waria se-Indonesia”
imbuh Shinta Ratri, “Kami belajar dari Pondok Pesantren Al
Munawwir Krapyak Yogyakarta”
Pengajar ilmu agama dan keterampilan hidup di Sekolah Sore
Pesantren Al Fatah merupakan relawan dari perguruan tinggi
negeri maupun swasta, baik dosen maupun mahasiswa. Kegiatan
di Pesantren Al Fatah selalu melibatkan warga sekitarnya. Sebulan
sekali waria non muslim siraman rohani di kapel Universitas
Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta atas upaya organisasi.
Pesantren Al Fatah membantu anggotanya yang terkena kasus
hukum, mengalami depresi dan persekusi melalui Waria Crisis
Centre, bekerjasama dengan LBH Yogyakarta; Fakultas Ushuluddin
UIN SUKA; dan Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa Yogyakarta.
Penerimaan Masyarakat
Menurut KH Abdul Muhaimin (Selasa, 19 November 2019),
masyarakat tidak mengalami resistensi terhadap keberadaan
Pesantren Al Fatah. Di saat awal pindah dari Notoyudan ke
Kotagede, ia berkali-kali menerangkan pada masyarakat melalui
pengajian di Pesantren Al Fatah dengan isu kemanusiaan.
KH Abdul Muhaimin menerangkan, dalam Qur’an, deklarasi
kemanusiaan lebih final dari Declaration of Human Right. Allah
memuliakan bani adam (manusia) sebagai makhluk, hamba, dan
khalifatullah. “Saya harus menghormati waria karena mereka bani
adam dan mereka membutuhkan hak keagamaannya. Pemenuhan
hak warga negara itu sebenarnya kewajiban negara.”
KH Abdul Muhaimin menjelaskan penerimaan masyarakat
atas keberadaan dan aktivitas Pesantren Al Fatah melalui jalan
panjang, apalagi lokasi Pesantren Al Fatah merupakan basis
Muhammadiyah, “Bahkan RT di lokasi itu bilang, ‘sudah, kalau
ada Pak Kyai tidak apa-apa,’ sebelumnya tidak pernah ada
gangguan apapun,” ujarnya. Gangguan pertama kali baru tahun
2016 itu, oleh Front Jihad Islam (FJI) bersamaan dengan maraknya
isu LGBT, “Itu isu politik, kalau perlu digunakan ya digunakan,
kalau tidak ya tidak,” lanjut KH Abdul Muhaimin. Pesantren Al
Fatah dibantu beberapa LSM seperti ANBTI, PKBI, dan LBH untuk
masalah hukum.
122 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sekretaris Camat Banguntapan mengakui pihaknya
mengetahui keberadaan Pesantren Al Fatah dan membenarkan
bahwa tidak ada konflik Pesantren Al Fatah dengan masyarakat,
“Kegiatan mereka mengaji dan mereka tidak tinggal menetap,
meskipun belum jelas legalitasnya.”
Sikap pembelaan KH Abdul Muhaimin pada hak-hak
kemanusiaan waria berbuah tuduhan oleh FJI bahwa ia pendukung
LGBT, “Saat Al Fatah digeruduk FJI, saya tidak diundang pihak
pemerintah sehingga tidak berkesempatan menjernihkan
keadaan.” Sebagai pemuka agama, ia merasa wajib melayani,
melindungi, memenuhi hak-hak keagamaan waria, “Kok gampang
menuduh saya mendukung LGBT? Mereka tiba-tiba menghakimi
waria sesat, harus tobat dulu sebelum ibadah, saya ditanya apakah
saya bisa menormalkan waria?” kata Pengasuh Pondok Pesantren
Tahfidz Qur’an Nurul Ummahat, Prenggan, Kotagede, Kota
Yogyakarta itu.
Untuk mengurai persoalan waria, perumusan Fiqh Waria
antara Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Jepara dengan
Pesantren Al Fatah dilakukan sekitar 2015 lalu, atas inisiasi
kyai yang juga menggeluti isu Keistimewaan DIY ini. Baginya,
Pesantren Al Fatah sudah mengubah penghidupan waria menjadi
lebih baik dan bermartabat, perlahan-lahan. Persekusi FJI pada
2016 lalu sempat membuat warga Jagalan dan pegiat Pesantren Al
Fatah berjarak, namun kini situasi kembali pulih seperti sediakala.
Jenny berpendapat, pelabelan proLGBT bagi para pembela
hak-hak waria tidak relevan karena mereka bertindak berdasarkan
kemanusiaan. Kecurigaan, kebencian, kejijikan, dan ketakutan
pada waria muncul karena kurangnya pemahaman terhadap
waria, “Homophobia terhadap waria imbang antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki berprasangka waria agresif, perempuan
berprasangka waria galak.”.
124 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
jalurnya sendiri untuk turut memajukan wisata budaya melalui
pertunjukan tari nusantara dan kuliner. Bahkan, ketika Desa
Jagalan akan lomba desa di tingkat kabupaten, pengurus kampung
justru memintanya menutup pintu dan sembunyi, “Maaf ya
Bu Shinta, hasil keputusan rapat panitia kemarin, Ibu harus
tutup pintu dulu,” ujar Shinta Ratri mengenang intoleransi yang
dialaminya, “Mungkin mereka cemas tidak akan juara, padahal
dengan kami sembunyi juga tidak juara.”
Dinas Kebudayaan DIY memberikan fasilitasi berupa
dukungan program kegiatan, bentuknya perhelatan (event)
seni yang ada di masyarakat. Fasilitasi program ini dibiayai
pemerintah melalui Dana Istimewa. Yuliana Enny Lestari Rahayu,
Kepala Bidang Pemeliharaan Pengembangan Adat Tradisi,
Lembaga Budaya dan Seni Dinas Kebudayaan DIY menyatakan,
komunitas waria bisa mengakses fasilitasi program tersebut.
Caranya, mengajukan proposal dan secara administrasi sanggar
atau kelompok seninya minimal terdaftar di kecamatan, lebih
utama terdaftar di kabupaten, dan mempunyai Surat Keterangan
Terdaftar (SKT) atau Nomor Induk Kesenian (NIK) yang
diterbitkan Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota di mana kegiatan
berada, idealnya sanggar atau kelompok seni berbadan hukum.
“Dasar kami adalah SKT dan Proposal, kami tidak membeda-
bedakan jender,” ujar Kepala Bidang yang membawahi Seksi Adat
Tradisi, Lembaga Budaya dan Seni ini (Jum’at, 22 November 2019).
Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Seni pada bidang
tersebut, Purwiyati, menyebutkan SKT atau NIK tujuannya
sebagai bank data saja, tidak untuk menyulitkan. “Namun,
belum ada kelompok waria yang mengajukan proposal untuk
memperoleh fasilitasi program” ujarnya (Jum’at, 22 November
2019). Terkait FKY, ada kelompok waria yang ikut serta dalam FKY
2019 di Malioboro, meski sedikit.
126 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Ketika Trah ‘Bissu’
Menolak Membisu
Soal Hak Agraria
Rully Malay
128 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
cukup baik. Kalau mereka menengok sejarah masa lampau,
misalnya keberadaan para Bissu di kampung saya yang sudah
eksis sejak abad XIV, mereka akan tahu persis bahwa mereka
sudah eksis dalam kehidupan sosial masyarakat bahkan dalam
kerajaan. Para Bissu ini dulu sudah menjadi perantara dalam
setiap ritual, doa, baik di upacara-upacara adat, upacara-upacara
keagamaan masyarakat Bugis kuno, dan ini dikisahkan dengan
baik dalam epos La Galigo, bisa dicari bacaannya. Begitu pun di
Jawa, misalnya di Jawa Timur, ada cerita atau histories tentang
para transpuan yang melestarikan budaya Ludruk, para transpuan
yang melestarikan budaya Lengger Lanang di Jawa Tengah, atau
penari-penari tayub yang ada di Purworejo, penari Ndolalak, itu
banyak transpuan. Bahkan di dalam karya sastra Serat Centhini
dijelaskan mengenai keadiran transpuan di dalam masyarakat
dalam suku Jawa itu sudah biasa dan menyatu dengan peradaban
adiluhung mereka. Kemudian bagaimana dampaknya terhadap
mereka dalam pasar kerja? Tentunya sangat kurang. Transpuan
itu biasanya menjadi pekerja mandiri karena mereka selalu
mendapatkan stigma sehingga ada diskriminasi dan pemerintah
tetap sama sekali menyikapi secara subordinasi, membenarkan
pendapat mayoritas, dan mengabaikan hak asasi mereka sebagai
manusia, sebagaimana amanat UU No 39 Tahun 1999 dan UUD
1945. Yang jelas dalam tujuan nasional bangsa ini menyebutkan
negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Kawan-kawan transpuan yang sudah menjadi bagian
dari peradaban adiluhung bangsa ini kemudian terabaikan hingga
mereka di dalam hal akses pekerjaan yang layak seringkali tidak
bisa didapatkan. Kenapa? Karena mereka kurang mendapatkan
penerimaan dari keluarga dari masyarakat, kemudian sistem di
dalam negara mendikriminasikan keberadaan dan keragaman
dari mereka itu. Mereka tidak diberi kesempatan yang sama
130 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
pemakaman, benar-benar masih sulit. Kita masih bersyukur ada
layanan publik di Dinas Sosial, yang kemudian bisa memfasilitasi.
Tetapi kemudian secara kelayakan, secara manusiawi itu juga
belum cukup karena pada dasarnya kalau pemakaman yang
dimiliki oleh Dinas Sosial itu tidak diperkenankan nama mereka
pada batu nisan, kebanyakan diberi label Mr. X. Ini adalah hal-hal
yang sangat memprihatinkan secara kemanusiaan, bahkan yang
tragis ketika ada (misalnya) salah satu individu yang mempunyai
maksud untuk menghibahkan tanah pemakaman biasanya ketika
rembugan serta merta itu akan ditolak oleh keluarga yang lain.
Ini adalah salah satu pengalaman yang pernah kami alami di
Yogyakarta.
Di Indonesia sendiri, secara prinsip pelayanan publiknya
boleh dikatakan 50:50, cukup ramah, bisa menerima. Dalam
konteks sebagai warga negara dengan pembedaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan secara biner, seringkali misalnya dalam
pengurusan identitas kependudukan, akte kelahiran, ataupun
pengurusan paspor dan visa, tetap menggunakan nama lahir
sesuai yang tertuang di dalam KTP dan di dalam pelayanannya
pun rata-rata tidak ada permasalahan secara prinsip. Namun,
secara teknisnya tentu kembali kepada individu yang memberikan
pelayanan di layanan publik. Kemudian sedikit menjadi kendala
ketika masuk kepada persoalan pengadilan, misalnya untuk
proses mengganti nama sesuai dengan kenyamanannya, masih
sering terjadi judgement, sebelum masuk ke proses pengadilan
baik oleh orang terdekat maupun oleh petugas-petugas layanan.
Yang cukup ramah adalah layanan kesehatan, karena tentunya
ini juga dampak dari isu kesehatan reproduksi (kespro) maupun
HIV/AIDS yang cukup lama berkembang di Indonesia, terutama
secara nasional sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No
75 Tahun 2006 hingga pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS
melalui Perpres No 125 Tahun 2016, tapi dampaknya sudah cukup
132 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dilakukan di Pondok Pesantren Waria Al Fatah. Itu pun ternyata
mendapatkan tekanan dan serangan-serangan dari kelompok-
kelompok mainstream yang berpikiran binner dan masih selalu
membenarkan hanya cara berpikirnya, hanya menurut mereka
yang paling benar adalah mereka sendiri. Padahal, kami pun
sebagai transpuan merasa bahwa Gusti Allah itu Maha Damai,
Maha Pengasih dan Penyayang kepada semua umat-Nya, juga
transpuan, tentu saja tidak ada yang sia-sia dengan penciptaan
transpuan, kami juga selalu berafiliasi kepada pengabdian dan
dedikasi untuk sesama manusia, untuk Gusti yang menciptakan,
serta alam semesta ini. Sangat sulit untuk mendapatkan ruang
publik yang bisa memberikan akses yang baik untuk beribadah,
seperti kami mencari tempat baru ketika harus pindah karena
satu dan lain hal, misalnya ketika alm. Ibu Shinta Ratri meninggal,
tentu secara otomatis kami tidak punya tempat lagi dan harus
mencari dan itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa
mendapatkan tempat itu. Jika mereka mengetahui bahwa itu
digunakan untuk ruang publik, untuk beribadah Transpuan, itu
masih sulit diterima di lingkungan itu karena mereka tetap punya
kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, akan dampak-dampak yang
kurang baik padahal itu jelas kalau ruang ibadah kan tujuannya
baik.
Lembaga yang mengawal isu keragaman gender tidak
banyak, di Indonesia yang saya ketahui hanya sekitar 50-an,
dan di Yogyakarta sendiri ada sekitar 6. Di setiap lembaga pun,
tidak banyak jumlah Human Right Defender, paling-paling hanya
terdiri dari pengurusnya yang tidak lebih dari 10 orang, kemudian
ada relawan dan anggota yang berbasis seperti itu (keragaman
gender), ada juga beberapa peneliti yang konsen dan menghargai
keberagaman gender.
134 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
yang tinggi, sehingga kalau mereka mengetahui bahwa tempat
tersebut akan dibeli oleh seorang transpuan itu pasti mereka akan
berusaha memprioritaskan yang bukan transpuan karena mereka
tentu akan memikirkan kenyamanan dari orang-orang lain yang
perspektif mereka masih biner.
Akses untuk mendapatkan modal juga otomatis sulit
karena berangkat dari kesulitan untuk mendapatkan akses
kependudukan, legalitas, kemudian akses untuk memperoleh
pendidikan dan pekerjaan yang layak, tentu saja berimbas pada
kesulitan mereka (transpuan) dalam memperoleh modal untuk
usahanya. Apalagi di dalam regulasi di Indonesia itu tidak ada satu
pun UU yang secara spesifik berani merujuk keberadaan kawan-
kawan transpuan, kalaupun itu ada, misalnya di nomenklatur
kementerian sosial atau pemberdayaan perempuan tidak ada yang
spesifik merujuk pada kawan-kawan transpuan, paling berani
(mengggunakan istilah) kelompok minoritas atau penyandang
permasalahan sosial. Itupun pengakuannya atas perspektif biner.
Harapan kami dalam hal memperoleh hak atas tanah, dalam
hal-hal yang terkait urusan dengan agraria, Reforma Agraria harus
mencakup hal-hal keseluruhan dan komprehensif, termasuk
aspek gender (tidak ada diskriminasi berdasarkan ekspresi gender
apapun)/seksualitas (tidak ada diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin, termasuk mereka yang terlahir intersex/berkelamin
ganda). Setiap WNI berhak atas perlakuan yang sama di dalam
kepemilikan atas tanah, termasuk juga unutk mendapatkan tepat
untuk pemakaman (seperti yang disingung di awal).
Peran Waria Crisis Center (WCC) adalah menciptakan ruang
aman bagi kawan-kawan transpuan yang mengalami kesulitan
akses terutama di dalam situasi, tekanan sosial ekonomi maupun
politik. Khususnya untuk kawan-kawan lansia yang mereka di masa
tuanya tidak memiliki tabungan hari tua, tidak memiliki keluarga
136 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kawan-kawan transpuan merupakan hal yang diprioritaskan oleh
WCC.
Istilah LGBT (Lesbian Gay Bisex dan Transeksual) bagi
transpuan adalah pembunuhan karakter karena dengan merujuk
istilah tersebut, orang sudah apatis terlebih dahulu. Jadi,
perspektif yang biner terhadap kelompok queer itu memang
masih sangat sulit untuk bisa disetarakan. Perlu waktu yang cukup
lama dan mungkin juga ruang-ruang dan kesempatan untuk
bisa memberikan pemahaman yang baik mengenai keberadaan
kawan-kawan transpuan. Misalnya penyerangan terhadap Ponpes
Waria Al Fatah dengan tuduhan bentuk penistaan agama, orang
yang akan belajar beragama dan beribadah kepada Tuhan kok
disebut penistaan. Aneh sekali di negeri ini menyebut diri sebagai
negara beragama tetapi zonder perlindungan pada penganut
agama minoritas. Karena perspektif yang mereka miliki berbeda,
karena mereka menuntut bahwa kalau mau beribadah harus tobat
dulu. Nah, kami menjadi seperti ini karena given, karena ciptaan,
bukan karena jadi-jadian, bukan karena style, model, pengaruh
dari Barat, memang ada sejak jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sehingga, perspektif masyarakat yang biner tersebut yang perlu
dibangun kesadarannya terlebih dahulu agar terbangun ruang-
ruang penghargaan terhadap keragaman aspek gender.
Lisan: 16-18 November 2023
Transkrip rekaman: 18 November 2023
140 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
2. Modifikasi. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk
melakukan modifikasi pada tanah mereka sesuai dengan
kebutuhan mereka. Misalnya, membangun ram yang dapat
diakses oleh kursi roda atau memodifikasi pintu agar lebih
mudah diakses.
3. Perlindungan hukum. Hukum perlindungan disabilitas juga
berlaku dalam konteks hak atas tanah. Sebagai contoh hak
perlindungan hukum atas tanah bagi Penyandang disabilitas
adalah melindungi hak-hak penyandang disabilitas terhadap
diskriminasi atau penyalahgunaan tanah oleh pihak lain.
4. Bantuan pemerintah. Pemerintah dapat memberikan
bantuan atau fasilitas khusus kepada penyandang disabilitas
dalam hal kepemilikan atau penggunaan tanah. Ini bertujuan
untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki
kesempatan yang sama untuk memiliki dan memanfaatkan
tanah.
Berikut adalah beberapa dasar hukum yang mungkin relevan
dalam konteks hak atas tanah bagi penyandang disabilitas:
a. Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas, Konvensi
ini mengakui hak-hak penyandang disabilitas, termasuk
hak atas tanah. Negara Indonesia yang telah meratifikasi
konvensi ini dengan mengesahkan Undang – Undang No.
19 tahun 2011 tentang Ratifikasi UNCRPD untuk itu Negara
Indonesia diharapkan untuk mengadopsi langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan penyandang disabilitas
dapat menikmati hak atas tanah secara setara dengan orang
lain.
b. Undang-Undang Hak Asasi Manusia (DUHAM) melalui
Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Negara Indonesian memiliki undang-undang hak asasi
manusia yang melarang diskriminasi terhadap penyandang
142 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
tentang aksesibilitas bagi penyandang cacat dan orang sakit
pada sarana dan prasarana perhubungan; Keputusan presiden
no 18 tahun 2000 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa instansi pemerintah; Peraturan Pemerintah
No.42 tentang Aksesibilitas terhadap permukiman, Pelayanan
Publik dan perlindungan dari bencana bagi penyandang
disabilitas.
e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas: Undang-Undang ini memberikan perlindungan
dan pengaturan khusus terkait hak-hak penyandang
disabilitas, termasuk hak atas tanah. Undang-Undang ini
menjamin aksesibilitas dan kesetaraan bagi penyandang
disabilitas dalam hal kepemilikan, penggunaan, dan
pengalihan hak atas tanah. Undang undang ini juga mengatur
tentang hak dan sanksi yaitu :
' Hak keadilan dan perlindungan hukum untuk
Penyandang Disabilitas: C. memiliki dan mewarisi harta
bergerak atau tidak bergerak;
' Pasal 144 : Setiap Orang yang melakukan tindakan
yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau
hilangnya hak kepemilikan Penyandang Disabilitas
tanpa mendapat penetapan dari pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
' Pasal 145: Setiap Orang yang menghalang-halangi
dan/atau melarang Penyandang Disabilitas untuk
mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
143 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
144 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sedangkan akibat Hukum dari orang yang ditaruh di bawah
pengampuan adalah:
1. Disamakan dengan orang yang belum dewasa (Pasal 452 ayat
1 KUH Perdata).
2. Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang
ditaruh di bawah pengampuan batal demi hukum (Pasal 446
ayat 2 KUH Perdata).
Penyandang disabilitas sebagai subyek hukum yang tidak
memiliki Kapasitas hukum berada dalam Pengampuan hal ini juga
berdampak pada kepemilikan aset baik harta bergerak maupun
tidak bergerak termasuk didalamnya adalah tanah. Beberapa
dampak yang terjadi diantaranya :
a. Penghilangan hak milik. Nama pemegang hak miliki atas
tanah atau aset bukan atas nama individu penyandang
disabilitas tetapi pengampunya dengan alasan pengampunya
yang akan menjamin kehidupan penyandang disabilitas
tersebut.
b. Perpindahan kewenangan dari hak milik kepada pengampu.
Nama pemegang hak milik adalah penyandang disabilitas itu
sendiri tetapi pengelolaan, penggunaan, pembuat keputusan,
pemegang kebijakan diserahkan kepada pengampunya.
Dengan demikian hak atas untuk memiliki dan mewarisi
harta bergerak atau tidak bergerak bagi penyandang disabilitas
bisa batal demi hukum oleh pasal tidak cakap hukum dan/atau
pasal pengampuan. Bahkan kasus kasus seperti ini sering sekali
terjadi di masyarakat, bahkan tidak melalui proses hukum.
146 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
beli rumah sekaligus adiknya yang akan menjadi pengampu
untuk mengelola uang hasil penjualan rumah bagian Santoso.
Padahal informasi yang di peroleh dari sumber yang lain
menyatakan bahwa hasil penjualan rumah itu seluruhnya
akan dipakai sang adik untuk membayar hutang.
d. Satrio (32 tahun) bukan nama sebenarnya seorang disabilitas
netra. Tidak bisa membuat sertifikat tanah atas namanya
dengan alasan perlindungan keaman dari penipuan. Dengan
alasan tersebut maka sertifikat tanah diatasnamakan sang
istri dengan alasan bahwa sang istri adalah non disabilitas.
148 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
3. komunikasi yang efektif;
4. pemenuhan informasi terkait hak Penyandang Disabilitas
dan perkembangan proses kepengurusan dokumen
(waris, pengurusan sertifikat, dll);
5. penyediaan fasilitas komunikasi aksesibel termasuk
penerjemah;
6. penyediaan standar pemeriksaan standar pemberian jasa
litigasi dan non litigasi untuk pengurusan tanah.
7. penyediaan Pendamping Disabilitas.
8. Pendamping hukum contohnya Advokat memberikan
Bantuan Hukum kepada Penyandang Disabilitas dalam
proses peradilan dan kepengurusan dokumen (waris,
pengurusan sertifikat, dll);
Rekomendasi
1. Salah satu Hak penyandang disabilitas adalah memiliki
dan mewarisi harta bergerak atau tidak bergerak; untuk itu
150 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
C.
Hak Asasi Manusia dan
Agraria
Masih Kecil Sudah Terkucil,
Hidup pun Terancam Redup1
Kus Sri Antoro
1 Versi awal tulisan ini diterbitkan dalam www.selamatkanbumi.com, diterbitkan ulang untuk
tujuan pendidikan, utamanya isu Hak Anak atas Agraria, Marjinalisasi Perempuan, dan
Agraria Pesisir yang dominan non pertanian.
yang terkadang dibumbui prostitusi. Seiring waktu, Parangtritis
berkembang menjadi kawasan penginapan, bisnis hiburan malam,
dan atraksi di gumuk pasir. Pengembangan fungsi kawasan itu
disertai penggusuran yang mengorbankan penghidupan warga,
tak terkecuali kaum perempuan dan anak.
“Pengosongan; penataan; penertiban atau penggusuran di
Parangtritis sekurangnya sudah enam kali”, ujar Kawit (59) saat
ditemui di sela-sela meracik daging untuk mie ayam (25 Februari
2020).
Sejauh yang ia ingat, gusuran pertama; kedua dan ketiga tahun
2007. Pertama, 7 rumah digusur di Karangbolong. Kedua, kurang
lebih 100 rumah di timur sungai Parangkusumo yang saat ini jadi
relokasi Mancingan XI. Ketiga, kurang lebih 117 keluarga di barat
sungai Parangkusumo di sekitar Masjid Cepuri. Gusuran keempat
tahun 2009 di selatan petilasan Cepuri yang kini ditempati lagi
jadi warung-warung. Gusuran kelima tahun 2010, kurang lebih 150
KK di barat dan timur jalan menuju pantai Parangkusumo, tapi
dihadang warga. Terakhir 2016, sekitar 63 KK di zona inti gumuk
pasir.
Kawit tinggal di Parangtritis sejak 1999, saat itu Parangtritis
masih sepi dari hunian, hanya ramai pada malam Selasa dan
Jumat Kliwon, saat kegiatan ziarah disertai prostitusi berlangsung
di sekitar Cepuri.
“Anak-anak menangis karena sepulang sekolah tiba-tiba
tidak punya rumah. Orangtua mereka pingsan,” lanjut Kawit yang
berdagang mie ayam dengan penghasilan rata-rata Rp. 500.000
per bulan ini. Tahun 2007, mereka bertahan di tenda-tenda karena
relokasi belum ada.
“Desember 2016, saya kehilangan gubuk untuk tempat tinggal
sekaligus sanggar belajar anak-anak yang sudah berjalan sejak
154 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Juli” lanjut pendiri dan pengasuh Sanggar Kuncup Melati Mandiri
(SKMM) di Parangtritis ini.
Bagi Sarijan (51) yang ditemui seusai mencari rumput (25
Februari 2020), keberadaan SKMM penting karena anak-anaknya
bisa terbantu saat kesulitan memahami pelajaran di sekolah
maupun menghadapi situasi pascagusuran, lewat SKMM anak-
anak juga terdidik akhlaknya di tengah kepungan bisnis hiburan
malam yang mencemaskan.
Tahun 2007-2016 keluarga Sarijan langganan pindah paksa,
meskipun mereka warga asli Grogol VII, Parangtritis, Kretek,
Bantul.
Dampak Penggusuran
Bersama adik mereka Tampan (7), Nakula (14) dan Sadewa
(14) menyaksikan penggusuran terhadap rumah berdinding
bambu 4 x 6 m yang mereka huni di gumuk pasir pada 2016, saat
sepasang kembar itu duduk di kelas 5 dan 6 SD, sementara adiknya
belum TK.
“Kalo lihat bego (alat berat) jadi ingat gusuran yang dulu-
dulu, jadi sedih, jadi malas ngapa-ngapain,” ungkap Nakula yang
kini duduk kelas 8 SMPN 2 Kretek (26 Februari 2020).
Nakula aktif di SKMM 2016-2018, sebelum sanggar itu
vakum karena kekurangan relawan pengajar. Menurut Nakula,
kegiatan di SKMM berangsur-angsur membuatnya terhibur dan
tidak teringat-ingat lagi kehilangan tempat berlindung. Ia tetap
semangat belajar dan membantu orangtuanya membuat arang,
memasak, dan merawat peliharaan. Nakula menyukai IPA dan
ingin masuk SMK jurusan Ilmu Komputer. Ia tak ingin mengalami
penggusuran lagi.
156 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
laundry (2019). Penyebab depresi Kunti ialah anak pertamanya
yang berusia 7 bulan diambil paksa keluarga suaminya untuk
diasuh iparnya. Ia lalu memutuskan meninggalkan suami, meski
memendam rindu pada anak pertamanya bertahun-tahun.
“Parangtritis itu tempat pelarian orang-orang bermasalah
yang masih ingin hidup, di sini latar belakang orang tidak
dipertanyakan. Status orang tidak jadi soal,” kata Kunti, tiga
bulan terakhir ia menjalani pengobatan herbal untuk memerangi
kista, usaha laundry terpaksa terhenti.
Kunti mengalami penggusuran Parangtritis pertama kali
tahun 2007 di sekitar Cepuri, sedangkan Karna menyaksikan
penggusuran 2010 dan 2016. “Tahun 2007 itu orang-orang teriak
‘garukan, garukan!’, kami ketakutan lari menyelamatkan diri
dari garukan (razia), ternyata itu gusuran,” Kunti mengenang
kacaunya situasi.
Menurut Kunti, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bantul
No 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten
Bantul menjadi momok bagi para PSK dan pemilik penginapan
untuk prostitusi. “Penghasilan saya 2001-2004 ada 3 juta per bulan,
2007 jadi 70 ribu per hari apalagi setelah Perda antiprositusi hanya
mengandalkan malam Selasa dan Jumat Kliwon, sejak 2019 jadi
200 per tiga hari,” pengakuan Kunti.
Penggusuran dan razia sangat berpengaruh bagi pendapatan
Kunti. “Pelanggan pijat dan cucian saya ya mbak-mbak LC (Lady
Companion atau pramuswara) itu, kalau karaoke sepi saya sulit
cari duit padahal saya sudah kapok jadi PSK atau LC, anak saya
makin besar, saya makin tua,” katanya, Kunti sebenarnya ingin
pulang kampung namun Karna ingin tinggal di Parangtritis. “Di
sini banyak teman dan bebas,” kata Karna yang berteman dengan
orang-orang dewasa.
158 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Airport (YIA) Kulonprogo kini marak, barangkali sebagian
pelakunya pindahan dari Bantul.”
Menurut Banowati, penggusuran di Parangtritis akan
membuat 700 orang di lingkungan bisnis karaoke menganggur,
itu belum termasuk warga yang menggantungkan hidup dari
bisnis karaoke seperti laundry, pijat, kos-kosan LC, jasa antar
jemput, kurir, warung makan, dan pemulung. Meskipun belum
pernah digusur, menurut Banowati penggusuran juga membuat
anak-anaknya trauma karena hidup tidak pasti. “Pembarep ingin
saya kembali ke desa di Grobogan, Jawa Tengah, Ragil ingin saya
membeli aset tanah di Parangtritis. Usaha saya terkendala ijin
karena tidak ada IMB, karena tanah tidak bersertipikat,” keluhnya.
Banowati bercerita, Ragil menyaksikan langsung gusuran di
Bukit Duri Jakarta tahun 2016, “Ragil tidak mau jadi Satpol PP,
dia sedang mempersiapkan diri jadi polisi, ikut paskibraka dan
kegiatan bhayangkara di SMA.”
160 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Mariana Amiruddin menambahkan, kalau diperlakukan
terhormat, profesi ini tidak diperlakukan demikian. “Misalnya,
ada ketentuan LC dapat perlindungan jika tamu mengajak minum
sampai mabuk, karena itu berbahaya,” jelasnya, “karena tidak
dihormati maka LC tidak dilihat jam kerjanya, tidak dilihat kondisi
kesehatannya, bahkan diminta keluar kalau tidak mau melayani
konsumen, itu sama seperti sapi perahan. Itu eksploitasi.”
Kunti mengenang saudaranya, seorang LC yang sakit dan
tidak tertolong. “Famili saya mati muda, 19 tahun, anaknya
meninggal duluan karena gangguan pernapasan. Semasa hamil dia
masih giat jadi LC, tidak mau periksa meski kesehatan menurun
padahal Dinas Kesehatan menyediakan tes VCT (Voluntary
Counselling and Testing), jadinya tidak dapat ARV (antiretroviral).
LC kalau kerja selalu minum miras, ditambah asap rokok dalam
ruang tertutup ber-AC. Sini banyak LC yang tetap kerja pas hamil.”
Banowati membenarkan ada LC bekerja dalam keadaan
hamil, “LC yang hamil biasanya berhenti kerja saat hamil 7 bulan,
nanti setelah melahirkan jadi LC lagi. Semua risiko kesehatan
yang tanggung LC sendiri, termasuk denda Rp. 500.000 kalau
terjaring garukan”.
Terkait LC yang bekerja dalam kondisi hamil dan dikondisikan
minum miras, menurut Komisi Nasional Perempuan RI hal
itu pelanggaran yang lebih berat terhadap LC. “Saat LC hamil,
siapapun tahu perempuan dalam kondisi hamil harus mendapat
perlindungan dan jaminan kesehatan. LC punya hak untuk cuti,
istirahat, memikirkan kesehatan karena ia harus melahirkan
generasi manusia,” tutur Komisioner Komisi Nasional Perempuan
ini.
Menurutnya. apa yang terjadi di bisnis karaoke Parangtritis
adalah bentuk eksploitasi terhadap perempuan karena perempuan
jadi tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai ibu.
162 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
asal Medan adalah korban pedagangan manusia.”. Menurut Arief
Winarko, latar belakang pekerja anak-anak tersebut beragam, ada
yang dari keluarga brkoen home, Drop Out dari sekolah, putus
cinta, dan memenuhi gaya hidup.
Ditemui di kantor Polsek Kretek (27 Februari 2020), Kompol
S. Parmin, Kapolsek Kretek belum mengetahui laporan resmi
keberadaan LC anak-anak dari Polres Bantul karena baru menjabat
3 bulan dan belum melakukan pemeriksaan kembali ke lapangan
baru-baru ini untuk kasus serupa.
Mewakili Kepala Desa Parangtritis yang sedang melakukan
penertiban lanjutan di kawasan Gumuk Pasir, Ilyas, Kepala Seksi
Kesejahteraan Desa Parangtritis juga mengaku tidak memperoleh
aduan warga atau hasil laporan dari Kepolisian, Satpol PP maupun
Dinas Sosial, “operasi kepolisian dan hasilnya itu termasuk
informasi rahasia”, jelasnya (27 Februari 2020).
Karna bercerita, di sekolah ia memperoleh perundungan
akibat pekerjaan ibunya, bahkan ia pernah diusir dari pengajian
oleh temannya.
“Sudah biasa diejek sama anak-anak warga asli dan sesama
pendatang, terakhir dikeroyok sampai masuk rumah sakit, terus
berhenti sekolah,” Karna mengungkapkan alasannya putus
sekolah di kelas 6 SD, menurut ibunya Karna sempat gegar otak
ringan akibat kepalanya dibenturkan ke tembok. Pembedaan
identitas sebagai warga asli atau pendatang sering diterima Karna
dalam pergaulan.
Karna sempat ditawari bekerja sebagai operator karaoke,
tugasnya melayani pelanggan dan kebutuhan LC, baik itu sound
system maupun miras. Namun, Kunti tidak memperbolehkan,
“saya tidak ingin anak saya dekat-dekat dunia itu, apalagi belum
164 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Ketahanan Keluarga
Banowati melarang keras Ragil dan teman-temannya untuk
nyanyi di room karaoke, meski ongkos room dan LC terbilang
murah, yaitu masing-masing Rp. 50.000 per jam/per orang (2020).
Ia bahkan memisahkan rumah tinggal dan rumah usaha agar
anaknya tidak terganggu kebisingan karaoke yang ia dirikan dan
kelola dengan modal sendiri itu. “Anak saya pernah protes dengan
kebisingan, padahal kamar pisah rumah. Ia biasanya belajar jam
19, tidur jam 21.” Banowati berharap masih bisa membuka bisnis
karaoke karena memulai usaha baru baginya sudah sulit.
Kunti juga melarang keras anaknya untuk mencoba narkoba
dan seks tidak sehat. “Cuma dia yang saya punya, saya sangat
menyayanginya. Saya ingin bisa modali anak saya buka kios
bensin, rokok, dan jual pulsa kalau sudah punya KTP,” tutur Kunti
sambil berharap ia segera sembuh dari penyakitnya, ia sadar tidak
bisa melarang anaknya karena ia hidup dari apa yang ia cemaskan.
Sarijan membatasi anak-anaknya untuk bergaul dengan anak-
anak LC maupun pengelola karaoke, meskipun anak-anaknya
berteman dengan siapapun dan bisa menjaga diri.
Ilyas menerangkan bahwa SD Negeri 2 Parangtritis dulu
menjadi sekolah anak-anak warga Grogol VII, VIII, IX, X hingga
Mancingan XI, namun seiring tumbuhnya bisnis karaoke dan
banyaknya anak-anak pendatang yang orangtuanya LC, pelaku
bisnis karaoke, PSK, maupun pekerjaan lainnya yang bersekolah
di SD tersebut, para warga asli mempertimbangkan untuk
menyekolahkan anak-anaknya di tempat lain agar anak-anaknya
terhindar dari pergaulan yang buruk.
“Karaoke itu tidak memberikan manfaat pada warga asli
sekitar. Pebisnisnya, pekerja, dan pelanggannya orang luar,
perputaran uang di Parangkusumo yang menikmati orang
luar. Mereka bukan warga kami” jelas Ilyas yang berharap ada
166 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Hayamie yang turut prihatin atas kesehatan mental dan fisik
anak-anak tetangganya di Parangtritis (25 Februari 2020).
Banowati berharap jika KEK Parangtritis dipastikan
mengulangi pengosongan, maka seluruh warga yang ada
dimanusiakan karena sama-sama mencari nafkah. “Tempat usaha
dan waktu yang cukup untuk menata hidup,” pintanya sembari
menanti Ragil yang tak kunjung pulang dari kegiatan di Polres
Bantul. Kunti berharap cukup kesempatan baginya untuk sehat
kembali, menabung dan memodali anak kesayangannya. Sarijan
berharap tidak digusur lagi, demikian pula keluarga Nakula dan
Sadewa.
Terkait eksploitasi perempuan dalam bisnis karaoke di
Parangtritis, Komisi Nasional Perempuan RI berpendapat bahwa
posisi hubungan kerja LC dan pemilik karaoke harus diperbaiki
jadi setara, “Relasi kerja harus diperbaiki, tujuan harus jelas setara
antara LC dan pemilik atau pelanggan. Mereka pekerja yang
harus dilindungi. Kalau itu profesi, harus ada hak dan kewajiban,
posisi harus setara antara LC dan pemilik karaoke,” ujar Mariana
Amiruddin, Komisioner Komisi Nasional Perempuan RI.
Menurut Arief Winarko, aturan dalam bisnis hiburan harus
ada dan ketat demi perlindungan anak. “Lokalisasi dan pelatihan
untuk peralihan profesi bisa menjadi alternatif selain penggusuran.
Namun, pelatihan dari pemerintah biasanya terkendala oleh
status pendatang dari warga. Pemerintah mengutamakan warga
asli sebagai peserta pelatihan,” ujar Arief Winarko menutup
perbincangan.
Hingga laporan ini disusun, KPAI belum merespon setelah
dihubungi pada 27 Februari 2020.
170 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
beli tanah, hanya permintaan Joyo Diguno untuk “ganti paculan,”
simbolisasi dari jerih payah saat membuka lahan dulu. Sarjono
menjadi warga baru di pinggiran sungai kota, membawa angin
segar perubahan.
Kabar perpindahan Sarjono tersebar cepat di desa asalnya, dan
seiring waktu, semakin banyak penduduk desa yang memutuskan
untuk mengikuti jejaknya. Joyo Diguno, yang awalnya merasa
sendirian di pinggiran sungai, kini menjadi tetua yang dihormati. Ia
mengambil tanggung jawab untuk mengatur kehidupan bersama
seluruh warga, agar mereka bisa hidup berdampingan dalam
damai dan keadilan. Bersama-sama, mereka merumuskan aturan-
aturan sosial dan kebiasaan gotong-royong dari desa asalnya tetap
dijaga dan dilanjutkan dalam kehidupan kota yang baru terbentuk.
Kebersamaan dan semangat gotong-royong menjadi pondasi bagi
komunitas yang tumbuh di pinggiran sungai, mewarnai kisah
hidup Joyo Diguno dengan nuansa kehidupan yang kreatif dan
harmonis.
DDD
172 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
itu terdengar kembali menambah kebingunganku. Mengapa setiap
malam terdengar lengkingan sirine, dan esok paginya ada warga
yang meninggal dunia? Semakin lama, semakin tak terpahami
kehidupan yang tersembunyi di balik tirai kegelapan kota.
Bagi saya, kampung itu adalah sumber kebahagiaan yang
tak terhingga. Setiap pagi, embun menari-nari di helai daun,
menyelipkan kelembutan pada dunia yang terbangun dari tidurnya.
Uap air mengambang dari napas penghuni setia, memberikan
sentuhan mistis pada suasana pagi yang masih tenang. Pagi-
pagi buta, ketika matahari masih malu-malu memancarkan
sinarnya, saya suka mengunjungi batuan cadas yang tertutup
embun. Tetesan embun menggelantung bening di ujung daun
suflir, memantulkan cahaya pagi seperti permata alami. Di antara
seretan batu itu, seperti ritual harian, sepasang mata tajam milik
kelinci piaraanku menatap saya. Senyum manisnya mencairkan
pagi yang dingin, dan saya merendahkan diri untuk menyapanya,
mengusap pipi saya di bulu-bulu hangatnya.
Setiap hari, saya berpamitan pada pinggiran sungai sebelum
melangkah menuju sekolah. Sungai adalah teman lama saya,
dan kekaguman pada aliran air yang tak pernah surut itu sudah
tertanam sejak kecil. Di pinggiran sungai, saya menemukan
sahabat-sahabat setia: air yang mengalir dengan riuh rendahnya,
batu-batu yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu, pasir yang
menggoda untuk dijadikan mainan, dan ikan-ikan yang berlarian
di bawah permukaan air yang jernih. Mandi di sungai bukanlah
sekadar kebutuhan, tapi lebih kepada perayaan akan kebersamaan
dengan alam.
Bagi saya, sungai bukanlah sekadar parit, melainkan sebuah
dunia yang hidup dan penuh warna. Berdiri di tengah sungai,
saya bisa merasakan getaran ringan dari mata air yang menyentuh
telapak kaki. Saat menyelam, dunia bawah air membentang
174 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
aku memanggil mereka dengan bau cabe khas, “Thethe boleyo,
lombok abang lombok ijo...”, sebagai panggilan ajaib untuk
menarik mereka keluar dari persembunyian mereka.
Teman-teman sejatiku adalah si Rendhet dan si Galah, dua
sahabat yang menjadi penghuni setia kolong jembatan. Rendhet,
anak pemulung, setiap hari memberiku karton bungkus rokok
yang aku kreasikan menjadi wayang atau boneka angkrek.
Terkadang, karton itu juga berubah menjadi kapal kecil, gelas
pasir, mahkota kepala, atau bahkan tas sekolah. Galah, si anak
copet, adalah partner bermainku dalam merayakan kebebasan di
pinggiran sungai. Bersamanya, aku menikmati main layang-layang
dan lomba lari lompat batu di tepian sungai. Kemampuannya
berenang membuat tubuhku terlatih lincah dalam berbagai
medan sungai yang berliku.
Namun, pada suatu siang sepulang sekolah, aku merasa
sesuatu yang tidak beres. Rendhet dan Galah tak kunjung muncul
di tempat biasanya. Aku memutuskan untuk memanjat tebing
jembatan yang biasa menjadi tempat permainan kami. Namun,
yang kulihat hanyalah arang hitam dan kepulan asap yang
menyelimuti bekas rumah mereka. Rumah yang menjadi tempat
tawa dan ceria kami habis dilahap api polisi beberapa jam yang
lalu. Air mataku tak dapat disembunyikan. Ini bukanlah kali
pertama hal serupa terjadi, namun rasa kehilangan dan duka yang
membekas tetap sama menggelayut di hatiku.
Kelak, pemahaman akan menjadi temanku setia, menyelinap
perlahan dalam hidupku. Aku menyadari bahwa anak-anak
pinggir sungai selalu mengalami kehilangan, seperti denyut nadi
yang tak pernah berhenti. Mereka, seperti anggota dari saeculum
playgroup yang indah, terus berganti kawan, tanpa perpisahan
yang diundang atau bunga yang menandai perpisahan. Sungai,
takdir mereka, adalah panggung yang selalu berubah, dimana
176 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
rumah sendiri. Inilah ironi perjalanan hidup, di mana satu generasi
terpaksa melepaskan kekayaan yang telah diwariskan oleh generasi
sebelumnya. Awalnya, aku berpikir bahwa ayahku masih memiliki
sebidang tanah di desa yang mungkin bisa ditempati oleh kakak
sepupuku. Namun, kenyataannya menyakitkan. Ayahku sudah
menjual tanah itu untuk membiayai sekolahku, membebaskan
diriku namun mengurung kakak sepupuku dalam kepiluan
kehidupan yang baru.
DDD
178 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Dihimpit Karena Sipit1
Kus Sri Antoro
1 Versi Awal tulisan ini berjudul Diskriminasi Etnis dan Ras dalam Kebijakan Pertanahan di DIY.
Tulisan ini semula hendak diterbitkan bersama AJI Yogyakarta dalam program Fellowship
Liputan sebagai bagian dari Journalists Workshop on Human Rights Reporting yang
diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Internews
dan Kedutaan Belanda di Yogyakarta, 6-8 September 2019, namun urung karena satu dan
lain hal. Penyebutan nama-nama sudah seijin para penyintas pada saat peliputan. Tulisan
ini diterbitkan untuk pendidikan dan dipersembahkan untuk Alm. H. Budi Setyagraha
(Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia/PITI), Alm. Willie Sebastian (Gerakan Anak Negeri
Anti Diskriminasi/GRANAD), Handoko, SH., dan para penyintas diskriminasi etnis dan
ras dalam hal agraria di DIY, khususnya yang berlatar kelompok rentan sosial ekonomi dan
politik.
Kantor Wilayah BPN Provinsi DIY, No. 1087/34.71-300/VIII/
2015, 11 Agustus 2015, dengan pernyataan: “Bahwa Tan Susanto
Tanuwijaya merupakan WNI Keturunan.”
Gambar 1. Surat Kepala Kantor Pertanahan Bantul kepada Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi DIY, No. 1087/34.71-300/VIII/ 2015, Sumber : Primer.
180 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
STBLD untuk Hindu atau Budha). Sayang sekali, petugas tidak
membolehkan dokumen itu difoto atau disalin.
Kedua, selembar surat Instruksi Kepala Daerah DIY No. K898/
I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah
kepada Seorang WNI NonPribumi, tertanggal 5 Maret 1975 yang
ditujukan kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah Seluruh DIY,
ditandatangani oleh Wakil Kepala Daerah DIY Paku Alam VIII.
Surat ini dikenal dengan beberapa istilah, antara lain: Instruksi
Kepala Daerah DIY 1975, Surat Instruksi Gubernur DIY 1975
atau Surat Edaran Wakil Gubernur DIY 1975 dan Instruksi Wakil
Gubernur DIY 1975 karena mengacu pihak yang menandatangani.
Gambar 3. Surat Gubernur No 593/4811 (12 November 2012) dan Surat Gubernur DIY
No. 593/0708 (15 Februari 2013), Sumber: Primer.
182 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pada 2011 telah terjadi pencabutan HGB warga dan beralih
alas haknya dari HGB di atas Tanah Negara menjadi HGB di atas
Sultan Grond (Tanah Sultan).
Gambar 4. HGB di atas Tanah Negara dihapus dan diubah menjadi HGB di atas tanah
Sultan Grond. Sumber: Primer.
Gambar 5. Surat Gubernur DIY No. 430/3703, perihal Tanggapan Permohonan Hak
Milik atas Tanah, kepada R. Wibisono. Sumber: Primer.
184 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Wilayah BPN Provinsi DIY yang isinya pemberian hak milik tanah
kepada WNI dapat dilakukan tanpa membeda-bedakan suku, ras,
agama, maupun asal-usul, sebagaimana diatur UU No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA); UU No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI; UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah; Keputusan Presiden No. 33 Tahun
1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UUPA di DIY;
Perda DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Berlaku Sepenuhnya UUPA
di DIY, Instruksi Presiden RI No. 26 Tahun 1998 dan Surat Edaran
Kepala BPN RI No. 520-1609 (17 November 1999).
Petugas bersikeras bahwa ia sekedar melaksanakan tugas
dari Kasultanan Yogyakarta, merujuk surat Gubernur DIY No.
430/3703 tahun 15 Nopember 2010.
Alasannya Sultan HB X dan Gubernur DIY tidak bisa
dipisahkan. Ong tak patah arang. 26 Agustus 2015, Ong
dipertemukan dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Bantul.
Pertemuan itu hanya mempertegas sikap Kantor Pertanahan
Bantul sebelumnya. Pada kesempatan itu, Kepala Kantor
Pertanahan menjelaskan posisi Instruksi Kepala Daerah DIY 1975
sebagai pseudowetgeving (legislasi semu) dan pelaksanaannya
sebagai diskresi. Ong meminta supaya keputusan penolakan
tersebut dituangkan dalam surat keputusan resmi.
Menurut Kamus Besar Hukum Bahasa Belanda,
pseudowetgeving adalah regelstelling door een betrokken
bestuursorgaan zonder dat dit op grond van een uitdrukkelijke
wettelijke bepaling die bevoegdheid bezit, artinya legislasi semu
adalah tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa
memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas
memberikan kewenangan kepada organ tersebut. Legislasi
186 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 6. Surat Permohonan Petunjuk Kantor Pertanahan Bantul kepada Kantor
Wilayah BPN DIY. Sumber: Primer.
Gambar 7. Surat YURA Law Office yang mewakili Ong kepada ORI. Sumber: Primer.
188 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Militansi Tanpa Batas Para Penyintas
Sunarsih (69), pensiunan PNS, membutuhkan tanah
untuk tempat tinggal bagi keluarganya di Yogyakarta. Di kota
yang sama, Budi Susilo (46) membutuhkan tanah untuk usaha
tokonya. Di Wates, Sofyan (35) membutuhkan tanah untuk
bertani. Setiap orang membutuhkan tanah sebagai ruang hidup
dan sumber penghidupan. Sehingga, hak atas ruang hidup dan
sumber penghidupan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Negara
telah menjamin HAM dan Hak atas Tanah bagi setiap Warga
Negara Indonesia (WNI) melalui UU Dasar Republik Indonesia
(Konstitusi) dan UU Pokok Agraria (UUPA). Hak-hak itu dimiliki
oleh setiap WNI, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama,
dan jenjang sosialnya.
Menurut Peraturan Pemerintah No 38 tahun 1963, Hak Milik
(HM) atas Tanah juga dilekatkan pada Badan Hukum, antara lain
Koperasi Pertanian, Yayasan Keagamaan, Yayasan Sosial, dan Bank
Pemerintah. Selain Badan Hukum yang ditunjuk PP No 38 Tahun
1963, badan hukum negara dan swasta hanya dilekati HGB, Hak
Pakai (HP), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pengelolaan (HPL).
Sebagai pengecualian, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman diubah kedudukan hukumnya dari Badan Hukum
Swapraja menjadi Badan Hukum yang dapat dilekati Hak Milik
atas Tanah, diatur melalui UU Keistimewaan DIY. Badan Hukum
Swapraja tidak diperkenankan mempunyai HM atas tanah karena
ditetapkan oleh negara melalui UUPA sebagai perpanjangan
kolonial dan sistem feodal, hal ini berlaku di seluruh Indonesia.
Meskipun demikian, UUPA mengatur penguasaan dan
pemilikan tanah tidak diperbolehkan melampaui batas karena
tanah mempunyai fungsi sosial. Setiap WNI dan Badan
Hukum tidak diperkenankan memonopoli tanah, sebab
negara membutuhkan wilayah dengan status Tanah Negara,
190 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sebastian, WNI etnis Tionghoa lainnya, yang meminta keterangan
sehubungan pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975.
Apakah isi Prasasti Ngejaman di Jalan Rotowijayan yang
menjadi dasar penolakan MA terhadap H. Budi Setyagraha?
Prasasti berupa monumen dengan jam di atasnya berbunyi
demikian: “Persembahan dari paguyuban para pegawai
pemerintah dan masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di
wilayah Ngayogyakarta Hadinigrat dalam rangka memperingati
hari penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII tepat pada dua
windu, pada hari Senin Wage Tanggal 29 bulan Jumadilawal tahun
Alip 1867 atau 17 Agustus 1936”
192 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Berbekal dokumen itu, Willie Sebastian mengadu kepada
KOMNAS HAM pada Juni 2013.
Gambar 10. Sertipikat Hak Milik Tanah atas nama WNI Etnis Tionghoa di DIY.
Sumber: Primer.
194 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Hampir setahun kemudian, 11 Agustus 2014, KOMNAS
HAM menerbitkan surat No. 037/R/Mediasi/VIII/2014 tentang
Rekomendasi Terkait Dengan Diskriminasi Hak Atas Tanah
Warga Keturunan Tionghoa di Provinsi DIY, kepada Gubernur
DIY. Intinya menyatakan bahwa:
1) Instruksi Wakil Gubernur DIY 1975 bertentangan dengan
UUD 1945, UUPA, UU HAM, UU Kewarganegaraan, dan UU
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
2) Ada perbedaan antara Diskriminasi dan Affirmative Action
berikut contohnya;
3) Gubernur terancam pelanggaran HAM bila mengabaikan
atau menolak rekomendasi KOMNAS HAM.
196 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 13. Surat Rekomendasi Komnas HAM No.069/R/Mediasi/VIII/2015. Sumber:
Primer.
198 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Keistimewaan DIY, kewenangan tentang tanah melekat pada
Kepala Daerah DIY, oleh karena itu hukum adat DIY berlaku sejak
HB II hingga sekarang (hal 15).
Dikalahkan pada Uji Materi, Handoko kembali menggugat
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara pada tanggal 18 Mei 2016.
Melalui Putusan No 179K/TUN/2017, hakim menyatakan Instruksi
Kepala Daerah DIY 1975 bukan keputusan tata usaha negara
(KTUN)/Keputusan Administrasi Pemerintahan yang bisa diuji di
PTUN.
Kini upaya Handoko menjelaskan duduk perkara, berdasarkan
kedua putusan pengadilan terbukti secara sah Instruksi Kepala
Daerah DIY 1975 bukan perundang-undangan, dan bukan
diskresi atau keputusan hukum. Instruksi Kepala Daerah DIY
1975 tidak punya kekuatan hukum mengikat sama sekali, namun
dipertahankan oleh Gubernur DIY dan dipraktikan oleh BPN.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Handoko. Ia kembali
mengajukan gugatan perdata, kali ini sasarannya Gubernur DIY
dan Kepala Kantor Wilayah BPN DIY. Handoko kembali dirundung
nasib buntung. Hakim mengamini Surat Instruksi Kepala Daerah
1975 dibuat untuk melindungi kaum jelata yang lemah dari kaum
pemodal yang kuat, serta tidak bertentangan dengan hukum tidak
tertulis Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Benarkah rakyat yang diasumsikan pribumi lemah dilindungi
dari kerakusan yang kuat? Peristiwa terkait pertanahan di DIY
menunjukkan fakta sebaliknya.
Pada 2015 lalu, sengketa antara pengusaha etnis Tionghoa
pemegang serat kekancingan (surat pinjam pakai tanah Sultanaat
Grond yang dikeluarkan oleh Panitikismo atau Badan Pertanahan
Kasultanan Yogyakarta) yang diakui versus lima orang PKL
Godomanan pemegang serat kekancingan yang dibatalkan, nyata-
200 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
terjadi dengan alasan asal-usul tanah adalah Sultan Grond karena
ketiadaan Eigendom Verponding (Sertipikat Hak Milik) menurut
Agrarische Wet 1870 yang sudah tidak berlaku atas tanah
tersebut, peristiwa ini terjadi pada 2008 jauh sebelum UU
Keistimewaan DIY disahkan. Menurut keterangan Kepala Kantor
Wilayah BPN DIY pada Agustus 2015, dasar pembatalan SHM
warga Pundungsari dengan dicoret lalu diganti status dengan Hak
Pakai tanpa pengadilan itu ialah Surat Kawedanan Hageng Wahono
Sartokriyo Panitikismo (KHWP)No 136/W&K/2000 kepada Kepala
Kanwil BPN DIY untuk menangguhkan permohonan Hak Milik
atastanah sepanjang menyangkut Tanah Kraton tertanggal 22
September 2000.
Gambar 15. Sertipikat Hak Milik warga Pundungsari diubah menajdi hak pakai tanpa
proses pengadilan. Sumber: Primer.
202 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Argumentasi yang mempertahankan Instruksi Kepala Daerah
DIY 1975 sebagai affirmative action telah dipatahkan KOMNAS
HAM pada 2014 lalu. Pun AAUPB harus selaras dengan instrumen
HAM nasional, misalnya UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
CERD, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No.
11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya, UU No. 12
Tahun 2005 tentang Hak Sipil Politik, dan utamanya Pasal 28 D
ayat 1 Konstitusi Republik Indonesia, bukan malah sebaliknya.
Putusan-putusan pengadilan atas perkara ini justru membawa
pesan sikap rasial seolah-olah wajar dan rasional.
Narasumber terpercaya menyampaikan sikapnya atas situasi
minimnya dukungan terhadap perjuangan GRANAD; H. Budi
Setyagraha, dan Handoko. “Respon teman-teman tentu saja
ada yang mendukung dan ada yang tidak, yang mendukung
pun ada yang terang-terangan dan ada yang di balik layar, yang
tidak mendukung biasanya karena takut akibatnya malah bisa
menghabisi mereka. Golongan ini biasanya tidak tahu tentang
hak yang dia miliki, tetapi keegoisan membuat mereka menolak
sebuah perjuangan kebenaran.”, ujar narasumber itu.
Saat dikonfirmasi kelompok mana saja yang disebut tidak
tahu hak dan kelompok mana yang egois, ia pun menerangkan:
“Mereka yang rentan ini khan karena belum tahu haknya, kalau
yang egois itu sebenarnya karena dekat dengan penguasa yang
bisa meniadakan diskriminasi buat mereka.”
Situasi ini cukup bisa dibilang unik, korban diskriminasi
mendukung diskriminasi terhadapnya. “Tanpa mengerucut ke
pihak tertentu, secara natural sekelompok orang yang menikmati
‘kemakmuran bersama’ ini akan merasa terganggu apabila ada
pihak yang mengganggu anggota kelompok tersebut karena
menikmati kemakmuran itu tidak memandang SARA…Terus
204 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
buang energi toh bisa pinjam nama. Sedangkan yang mendukung
hanya di balik layar saja. Alasan kurang lebih tidak berani
menentang penguasa terang-terangan.”
Apakah ada hambatan politik dari perjuangan hukum yang
sudah terang-benderang duduk perkaranya ini?
“Secara politik BPN tidak memiliki kemauan untuk menghapus
diskriminasi pertanahan di DIY, di mana BPN masih menjalankan
praktik pribumi dan non pribumi. BPN selalu merujuk kepada
Keraton sebagai upaya membenarkan perbuatannya, padahal BPN
adalah lembaga resmi negara yang mengurus tentang pertanahan.
Keraton tidak diberikan kewenangan untuk mengurus tanah yang
bukan milik Keraton.” ujar narasumber yang enggan ungkap
identitasnya.
Sunarsih dan Sofyan satu tanah ruang dengan seluruh WNI,
namun untuk memerangi diskriminasi sesama WNI ternyata
seluruh WNI belum satu darah juang.
206 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Peristiwa itu merupakan reaksi dari upaya hukum para penyintas
yang intensif sejak 2013.
Wang Xiang Jun (46), pelaku usaha di Malioboro, menuliskan
sejarahnya sebagai WNI etnis Tionghoa di DIY yang sarat pernik-
pernik konflik dalam Menyingkap Jejak Keadilan Tionghoa.
Menurutnya menjalani hidup sebagai WNI etnis Tionghoa itu
tidak mudah. Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa dimanfaatkan
sebagai perantara dan mesin pencetak uang oleh para raja
maupun pemerintah kolonial. Untuk mengisi kas kerajaan yang
baru berdiri, Sultan Hamengku Buwono I mempercayakan
etnis Tionghoa sebagai penarik pajak. Etnis Tionghoa juga
dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial sebagai perantara antara
pemerintah kolonial dengan etnis lain, utamanya etnis lokal.
Berbagai hak pengelolaan dilekatkan pada etnis Tionghoa oleh
pemerintah kolonial, misalnya tol, candu, rumah gadai, pajak.
Etnis Tionghoa dirancang menjadi kelompok mapan, namun
dibenci rakyat yang menderita karena sistem kolonial yang selaras
sistem feodal. Posisi ini sangatmenguntungkan penguasa, saat
terjadi kerusuhan maka etnis Tionghoa mudah diserang. Kontrol
terhadap etnis Tionghoa juga dilakukan melalui kapitan-kapitan
yang diangkat oleh kolonial.
Kebencian dan permusuhan terhadap etnis Tionghoa dipoles
menjadi sikap ketidaksenangan kaum miskin terhadap kaum
kaya, tanpa pernah melihat kenyataan etnis Tionghoa juga hidup
di kantung-kantung kemiskinan.
“Perlakuan diskriminasi dan kerusuhan selama beberapa abad
membuat masyarakat TionghoaIndonesia tumbuh abnormal,
menjadi stereo type masyarakat yang inferior, minder, penakut,
tertutup, dan penuh syak wasangka, nrimo, dan menghindari
masalah yang bukan urusannya atau cari aman” ujar Willie
208 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
diatur UUPA Pasal 7 dan 17, dan/atau pengabaian Instruksi Kepala
Daerah DIY oleh BPN karena bukan produk hukum apapun.
Handoko berharap agar pemerintah pusat turun ke DIY
menyelesaikan persoalan diskriminasi etnis dan ras dalam bidang
pertanahan ini, sebab tidak mungkin dilakukan pemerintah daerah
karena situasi yang khas. Di DIY, Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman biasa memberikan gelar kebangsawanan
kepada para pejabat pemerintah, tokoh publik, bahkan akademisi
misalnya:
Kepala Kanwil BPN Propinsi DIY (Arie Yuriwin, SH, MSi
atau Nyi Raden Riya Kismanggalawati), Kepala BPN RI 2009-2014
(Hendarman Supandji atau KRT Panjiwidura), Kepala Kejaksaan
Tinggi DIY (Ali Mutohar alias Kanjeng Mas Tumenggung/KMT
Nitiwidyaksa); Kepala Kantor Wilayah Pajak DIY (Djangkung
Sudjarwadi alias KMT Wasitapranadipura); Guru Besar Sejarah
UGM (Prof. Dr. Djoko Suryo alias KRT. Suryohadibroto); dan
advokat swasta yang selalu dipercaya Keraton (Dr. Achiel Suyanto,
SH alias KRT. Nitinegoro). Tentu saja para anggota Parampara
Praja, diantaranya Suyitno, SH; Prof. Amin Abdullah, Prof. Dr.
Mahfud MD; dan Prof. Dr. Edy Suandy Hamid.
Jika masalah ini dibiarkan menggantung tanpa keadilan di
ujung maka bayang-bayang ketidakhadiran HAM menghantui DI
Yogyakarta. Apakah diskriminasi etnis dan ras dijadikan isu yang
terus-menerus dirawat untuk kepentingan kelompok tertentu?
214 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Tentu tahu. Sudah lama aku tinggal di sini. Di antara hewan-
hewan sini hanya jenismu yang lahir jauh di samudera sana tetapi
kalau besar sukanya tinggal di sini,” jelas Mbah Sapu-Sapu.
“Tapi di kampung saya dulu juga ada ubur-ubur seperti itu,”
ujar Sidat sembari menunjuk pada apa yang dikiranya adalah
ubur-ubur.
“Hahaha! Itu bukan ubur-ubur, Nak. Bahkan sama sekali
bukan hewan jenis apa pun. Namanya plastik dan benda ini bikin
banyak hewan sakit. Yang kecil-kecil itu suka masuk insangku dan
bikin susah bernafas. Ohok-ohok!” kata Mbah Sapu-Sapu sambil
terbatuk.
Sidat mendengarkan penjelasan sambil mengangguk-angguk.
“Sebetulnya saya ingin berenang ke hulu. Saya ingin melihat
tempat ibu saya dahulu. Tapi saya tak bisa berenang naik ke sana,”
kata Sidat dengan sedih.
Sapu-Sapu menjelaskan bahwa pada zaman dahulu sidat dan
hewan lain bisa berenang ke hulu dengan mudah. Itulah mengapa
sidat dapat ditemukan hingga sungai-sungai di pegunungan tinggi.
Namun, semenjak adanya tembok ini, kebanyakan hewan tak
bisa lagi melakukannya. Mendengar penjelasan itu, Sidat merasa
berkecil hati. Kandas sudah harapannya. Ia pun memutuskan
untuk tinggal di situ.
Selama beberapa tahun Sidat tinggal di sana. Diamatinya
air semakin kotor dan ubur-ubur gadungan bernama plastik itu
semakin banyak saja. Hewan-hewan banyak yang sakit dan mati.
Ia menceritakan kegelisahannya kepada temannya Sapu-Sapu dan
Remis. Sapu-Sapu berkata di bagian hulu ada seorang pertapa
bernama Nyai Pelus di Sendang Suracala. Ia mengerti banyak hal.
Barangkali jika suatu ketika Sidat berhasil naik bendungan itu, ia
dapat mencari beliau dan meminta nasihatnya.
216 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Betul. Beliau dahulu tinggal di sana. Tapi semenjak sungai
penuh dengan sampah, ia merasa tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Ia pun pergi ke sini untuk bertapa.”
Sidat tercenung mendengarkan penjelasan itu. Memang ia
kecewa karena perjalanannya yang jauh tak membuahkan apa-
apa. Namun, ia juga merasa lega dan haru karena menemukan
jejak ibunya di sini.
Setelah beristirahat secukupnya, Sidat berpamitan untuk
melanjutkan langkah. Jalan menurun lebih mudah ditempuh.
Begitu sampai sungai, ia segera berenang ke arah hulu.
Benar adanya. Tempat itu tak seperti yang ia bayangkan.
Sampah dan limbah terus mengalir dari hulu. Perairan begitu
kotor. Tak ada hewan-hewan yang nyaman tinggal di sana. Di
antara akar-akar gayam itu ia menangis tersedu. Bagaimana cara
memulihkan tempat sekotor ini?
Namun, dalam kesedihannya itu, Sidat tiba-tiba teringat akan
kawannya Remis. Walaupun pendiam dan pemalu, ia memiliki
kesaktian yang istimewa. Air kotor yang masuk ke dalam tubuhnya
selalu keluar sebagai air bersih. Teringat itu, Sidat pun terbit
harapannya. Dengan semangat, ia berenang kembali ke arah hilir.
Sayangnya, sesampainya Sidat ke rumah temannya, didapatinya
temannya itu sakit dan keletihan. Sidat menyampaikan maksud
untuk meminta pertolongan Remis. Namun, Remis meminta
maaf karena tidak dapat menyanggupinya. Ia merasa hidupnya
tak lagi lama. Dititipkannya anak-anaknya kepada Sidat. Larva-
larva itu melompat ke dalam insang Sidat. Setelah berpamitan,
Sidat pun membawa mereka ke arah hulu.
Sidat merawat anak-anak Remis seperti merawat anak-
anaknya sendiri. Disiapkannya makanan dan dilarangnya mereka
makan makanan yang membahayakan.
218 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Reforma Agraria Maritim
Kus Sri Antoro1
1 Penulis adalah alumnus Pascasarjana IPB pada program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Pegiat di Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA).
nasional sebesar 20 %. Argumentasi yang muncul kemudian
adalah kelautan terpinggirkan dalam diskursus pembangunan.
Sejarah Penguasaan
Sebagai kawasan maritim (insular region), Indonesia memiliki
tiga laut utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system
yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda (Lapian, 1991). Pada
abad ke-15 hingga ke-17, laut utama tersebut merupakan laut
inti bagi Asia Tenggara (Reid, 1988), bahkan secara geopolitik
penduduk kepulauan nusantara terlibat secara aktif sebagai subyek
(bukan obyek) dalam pelayaran dan perdagangan internasional
antara Eropa dengan Cina melalui selat Malaka (Christie, 1999).
Penguasaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit atas pintu gerbang
pelayaran dunia, yaitu Selat Malaka, menjadikan kedua kerajaan
itu sebagai kerajaan maritim dengan wilayah kekuasaan yang luas
selama beberapa abad. Kemudian, kerajaan maritim di nusantara
berkembang seiring perkembangan kekuatan dagang islam,
melahirkan kasultanan seperti Cirebon, Samudera Pasai; Tidore;
dan Makassar.
Ketika bangsa-bangsa Eropa datang di perairan nusantara,
batas wilayah laut belum menjadi persoalan yang penting di
antara kekuatan-kekuatan ekonomi nusantara karena berlaku
prinsip perairan bebas, sebagaimana pendapat Grotius (1609)
: mare liberium, yang mengemukakan bahwa ’laut tidak dapat
dijadikan milik suatu negara karena tidak dapat dikuasai dengan
tindakan okupasi , dengan demikian menurut sifatnya, lautan
adalah bebas dari kedaulatan negara manapun’. Akan tetapi,
kemenangan angkatan bersenjata VOC atas kerajaan-kerajaan
maritim di nusantara membawa akibat pemberlakuan monopoli
perdagangan dan pelarangan bagi suku bangsa tertentu untuk
melakukan pelayaran di perairan wilayah yang diklaim sebagai
kekuasaan VOC.
220 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sistem tersebut disempurnakan ketika Pemerintah Kolonial
Belanda menerbitkan Staatblad tahun 1939 No. 442 mengenai
’Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie’ (Ordonansi
Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) yang bertujuan untuk
mempertahankan aset Hindia Belanda dengan menentukan laut
teritorial Hindia Belanda adalah tiga mil dari garis air surut pulau-
pulau terluar wilayah kekuasaannya, selebihnya merupakan laut
internasional/bebas. Di luar jarak tiga mil itu merupakan laut
internasional atau laut bebas, dengan demikian pendayagunaan
potensi kelautan dimatikan. Seiring dengan hal itu, sumberdaya
daratan diperah melalui sistem perkebunan dan sistem kehutanan,
yang berujung pada perombakan hukum agraria pada tahun 1960.
Ordonansi 1939 baru secara resmi tidak berlaku ketika
pengumuman pemerintah 13 Desember 1957 (Deklarasi
Djuanda) dengan konsep Asas Negara Kepulauan diterbitkan,
asas ini didasarkan pada ketetapan Mahkamah Internasional
1951 mengenai ’Asas Archipelago’ sebagai dasar hukum laut
Indonesia, maka Indonesia resmi menjadi ’Archipelagic State’
dengan batas laut teritorial menjadi 12 mil diukur dari garis yang
menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari
wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut (Hamzah, 1984).
Selanjutnya, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia selebar
200 mil diukur dari garis dasar diumukan pada 12 Maret 1980,
pengumuman ini disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1983 tentang
ZEE yang memisahkan perairan dari ruang lingkup agraria,
demikian pula dengan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.
222 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
di laut dapat bersifat bilateral melibatkan kekuatan pertahanan
nasional. Konsolidasi nasional untuk menyikapi konflik agraria
kelautan lebih mudah terjadi daripada di daratan. Akhirnya,
kerangka analisa untuk memetakan, mengurai, memahami, dan
memutuskan persoalan kelautan tidak dapat lagi menggunakan
perspektif daratan.
Bogor, 2012
224 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Dari Ikan ke Pendidikan:
Membicarakan Sistem Kelola
Danau dan Sungai di Kapuas
Nahary Latifah
226 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
mereka di Empangau. Namun, hal itu dirasa lebih baik, dari pada
harus jauh ke ibu kota kecamatan.
Sekolah Menengah Atas Peduli Danau Lindung (SMA PDL),
demikian nama sekolah tersebut. Nama Danau Lindung diambil dari
kawasan kebanggaan desa, sebuah danau yang ditetapkan sebagai
daerah konservasi arwana merah, ikan endemik Kapuas. Nama itu
sekaligus menjadi penanda bahwa sekolah itu adalah hasil inisiatif
dan gotong royong warga melalui Rukun Nelayan. Sebelumnya TK
yang ada di Empangau Hilir juga merupakan hasil pemasukan dari
danau dan sungai-sungai yang dikelola oleh kelompok nelayan.
Tidak hanya mendirikan, organisasi nelayan ini juga bertanggung
jawab untuk menyubsidi dana pendidikan dan menggaji guru-guru
SMA, orang-orang Empangau yang sebelumnya punya kesempatan
untuk menempuh pendidikan tinggi. Subsidi yang diberikan oleh
kelompok nelayan tersebut mencapai puluhan juta tiap tahunnya.
Dana organisasi selain untuk menyubsidi sekolah juga dipakai
untuk keperluan lainnya. Sebagian kecil dana tersebut dipakai
untuk kebutuhan internal, lainnya dialokasikan untuk kegiatan
keagamaan, serta bantuan langsung pada warga, seperti selamatan
haji, santunan duka, dan sebagainya.
228 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
emas ilegal terjadi, warga mulai enggan mengonsumi airnya.
Untuk memenuhi kebutuhan air minum, kini dibuat saluran air
yang mengalirkan air dari Bukit Sarai yang berada di dusun Jaung
tempat komunitas Iban berdiam.
230 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Foto 3 Begajih
232 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Empangau maupun perairan lainnya. Sebelum dibentuk Rukun
Nelayan, segala urusan yang menyangkut penangkapan ikan dan
pembagian daerah tangkapan adalah kewenangan dari seorang
Ketua Nelayan. Sampai tahun 1970-an, saat Empangau masih
berstatus menjadi kampung/dusun, segala otoritas menyangkut
urusan nelayan, adminstrasi kampung, hingga adat menjadi kuasa
Kepala Kampung sampai tahun 1970-an.
Sebagai elite, pengurus organisasi nelayan mempunyai
kewenangan mengatur keuangan yang berasal dari hasil
pengelolaan kawasan perairan. Organisasi nelayan juga
menerbitkan seperangkat aturan yang membatasi dan mengatur
penangkapan ikan di wilayah perairan Empangau. Peraturan ini
sebagian diadopsi dari Kitab Hukum Adat Kerajaan Melayu Bunut,
sebagian lagi disesuaikan sesuai dengan kebutuhan, kesepakatan
warga, dan aturan dari pemerintah. Aturan dalam pengelolaan
perairan ini dihasilkan dari musyawarah nelayan yang diadakan
rutin tiap awal tahun.
Pengurus nelayan memiliki kewajiban menjaga perairan,
serta memiliki hak untuk mengeluarkan sanksi bagi pelanggar
aturan. Peraturan Danau Lindung mempunyai sanksi yang sangat
berat untuk pelanggarnya. Sebagai contoh, pernah ada warga
yang nekad mencuri indukan arwana di danau. Setelah ditelusuri,
akhirnya ditangkap kemudian diadili, dijatuhilah pencuri itu
hukuman denda yang mencapai hampir seratus juta rupiah. Ia
terpaksa menjual kebun dan hampir saja rumahnya, lalu pergi
ke Malaysia. Hal yang paling berat, seumur hidup dia tidak boleh
bekerja di danau Empangau. Sanksi yang keras ini yang membuat
peraturan nelayan itu tetap ditegakkan hingga kini dan tidak
seorang pun warga berani melanggar.
234 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sungai Kapuas dengan danau-danau di sekitarnya. Saat ini, kondisi
perikanan tangkap perairan darat (sungai, danau) di Kapuas
Hulu jika dibanding dekade sebelumnya, hasilnya mengalami
penurunan. Penurunan itu disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya pencemaran air akibat dari penambangan emas
ilegal, penggunaan pestisida dan herbisida di perkebunan sawit,
hingga sampah harian penduduk. Pencemaran ini diperparah
dengan rusaknya ekosistem sekitar sungai seperti hutan dan rawa
yang menyebabkan berkurangnya habitat alami ikan. Ditambah
lagi, peningkatan jumlah penduduk (berarti pula konsumsi ikan
naik) membawa dampak pada penangkapan ikan yang berlebihan
(overfishing).
236 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
terlempar dari suatu penguasaan ruang dan bagaimana itu bisa
terjadi, serta bagaimana bentuk redistribusi agar ketimpangan
tidak terjadi terlalu tajam
Sungai-sungai kecil yang menghubungkan antara danau-
danau dengan Kapuas adalah sumber ikan yang berarti karena
ikan yang sedang bermigrasi melalui jalur yang sempit menjadi
mudah ditangkap. Hingga tahun 1980-an ketika penduduk
Empangau masih sedikit, Ketua Nelayan mempunyai peran
penting untuk menentukan siapa yang bisa dan yang tidak untuk
menangkap ikan di sungai. Pengaturan yang berlaku di Empangau
saat itu adalah dengan mekanisme giliran. Seseorang ketika akan
mengerjakan sungai harus minta izin kepada Ketua Nelayan
dan jika tahun ini sudah mengerjakan Sungai A misalnya, maka
tahun berikutnya ia tidak boleh mengerjakan sungai yang sama
agar warga lainnya mendapat kesempatan. Warga yang tidak
mendapat jatah mengelola sungai kecil cukup puas dengan hasil
tangkapannya di danau dan sungai Kapuas yang bebas.
Ketika populasi penduduk meningkat, warga berebut untuk
bisa menangkap ikan di sungai-sungai kecil. Untuk menghindari
konflik, mulai sekitar tahun 1994, diadakanlah pencabutan undian
untuk menentukan siapa yang berhak menangkap ikan di sungai-
sungai kecil tersebut. Ada puluhan sungai di kawasan Hutan
Sejap (daerah hutan adat di sebelah hulu kampung) dan kawasan
Penepian (hilir kampung) yang bisa diundi. Cabut undi ini
sifatnya bebas dan terbuka bagi seluruh warga Empangau. Tidak
semua sungai diundi, hanya sungai-sungai tertentu yang memiliki
potensi ikan besar yang diatur penangkapannya. Kawasan danau
(selain Danau Lindung) dan Sungai Kapuas adalah zona bebas
bagi siapa pun yang akan menangkap ikan di sana tanpa harus
diundi.
238 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
pemasukan juga meningkat. Dari situlah kemudian tidak ada
batasan dalam pembelian kupon undian sungai.
Mekanisme undian dimulai dengan mengundi sungai-sungai
satu-satu persatu secara berurutan. Ada loket dari setiap Rukun
Tetangga (RT) untuk mendaftarkan diri. Peserta tidak harus
mendaftarkan diri pada RT-nya masing-masing. Mereka bebas
memilih bahkan bebas mendaftarkan diri ke beberapa RT.
Pada undian Sungai Sejap, Wa Obi menghabiskan uang Rp
105.000 sehingga dia berhak mendapatkan 105 linting undian.
Ada 600 kertas undian yang artinya ada 600 linting kertas yang
telah dibeli, dimasukkan dalam satu wadah untuk undian Batang
(sungai) Sejap. Dari ke-600 kertas undian tersebut, sebanyak 599
lembar kosong, hanya 1 lembar yang berisi nama sungai. Untuk
lebih jelasnya, jalannya pengambilan undian seperti berikut:
1. Pada kesempatan ke-1 pendaftar di RT 1, yakni A mengambil
10 kupon undian karena dia membayar 10.000 rupiah. Dari 10
kupon undian yang dibeli, ternyata kosong semua.
2. Kesempatan ke-2 pengambilan undian dilakukan pendaftar
RT 02 nomor urut 1, yakni Wa Obi. Dari 20 kupon, kosong
semua.
3. Kesempatan ke-3 diberikan pada pendaftar RT 03 no. urut 1,
yakni B. Karena dalam 50 kupon yang dibeli, satu diantaranya
terdapat “Batang Sejap”, Maka B lah yang mendapatkan hak
untuk mengelola Sungai Batang Sejap selama 1 tahun.
4. Setelah B mendapat undian Batang Sejap, peserta yang lain
gugur, tapi uang yang sudah dipakai untuk membeli undian
tidak dikembalikan.
5. Selain harus mengeluarkan uang untuk membeli undian,
si pemenang harus membayar uang income (administrasi
sungai) sebesar 200.000 rupiah (jumlah income tiap sungai
berbeda, tergantung besar-kecil dan potensi ikannya).
240 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Foto 9 Membuka undian bersama kerabat
242 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
minim modal, Wa Obi harus mengajak kerja sama kerabatnya
dengan konsekuensi hasil tangkapan ikannya pun harus dibagi
sehingga keuntungannya akan lebih kecil dari pada nelayan yang
mengerjakan sungai tidak ber-kungsi dengan orang lain.
Lalu, bagaimana dengan nelayan yang belum mendapatkan
hak untuk mengelola sungai-sungai lewat cabut undi? Akses tidak
tergantung pada pengakuan legal, tetapi bagaimana kemampuan
seseorang untuk mendapatkannya. Beberapa nelayan Empangau
yang tidak mendapatkan sungai untuk dikelola kemudian
mengikuti cabut undi di desa lain. Peraturan desa membatasi
peserta yang dapat mengikuti cabut-undi hanyalah warga desa
tersebut. Memang, selain warga desa yang bersangkutan tidak
diperkenankan mengikuti proses cabut undi. Namun, peluang
nelayan luar untuk menguasai akses sungai komunal dari desa
tetangga tetap terbuka lebar, yaitu dengan memanfaatkan
relasi sosial atau hubungan kekerabatan. Seseorang dari desa
Empangau yang merasa kurang dengan hak pengelolaan yang
sudah diperoleh atau tidak mendapatkan masih bisa berusaha
ikut cabut undi di desa Ujung Said. Dengan kekerabatan yang ia
miliki di desa Ujung Said ia bisa ikut cabut undi di sana dengan
modal yang bahkan lebih besar untuk mengejar perairan yang
dianggap mendatangkan keuntungan besar.
Wa Obi dengan kekuatan modal dan relasi sosialnya bisa
mendapatkan akses sungai tanpa harus menjadi warga desa lain.
Di sini, ia secara legal mendapatkan pengakuan sebagai kerabat
dari warga desa Ujung Said. Dalam mekanisme desa tersebut,
kerabat memiliki hubungan darah dengan warga desanya
sehingga ia bisa mendapatkan pengakuan untuk ikut mengelola
sumber daya alam yang ada di wilayah desa tersebut. Dalam
usahanya untuk mengakses sumber daya perikanan, Wa Obi telah
menggabungkan kekuatan modal, identitas
244 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
alirannya, sehingga kedalamannya mencapai belasan meter dan
tidak kering saat terjadi kemarau.
Dengan statusnya sebagai kawasan konservasi, danau
Empangau kini menjadi arena yang tidak lagi bebas untuk
dimanfaatkan oleh semua orang. Namun bukan berarti kawasan
danau benar-benar ditutup pemanfaatannya oleh masyarakat.
Warga masih bisa menangkap ikan di zona, maupun waktu
tertentu dengan aturan khusus.
Pasca ditetapkannya Danau Empangau sebagai tempat
perlindungan arwana merah, danau dibagi menjadi dua zona,
yaitu zona ekonomi dan zona konservasi. Lebih dari sepertiga
bagian danau menjadi zona lindung dimana penduduk dilarang
melakukan kegiatan penangkapan ikan dalam bentuk apapun
kecuali sebagaimana yang tercantum pada peraturan Rukun
Nelayan. Masyarakat masih diizinkan menangkap ikan di kawasan
ekonomi.
Pada waktu tertentu, masyarakat Empangau bisa mengakses
kawasan lindung, yaitu saat kegiatan nyuluh atau nyiluk. Kegiatan
ini berlangsung dari bulan Oktober – April dan dilakukan hanya
saat malam hari. Warga bisa mencari anakan arwana dengan
peralatan yang diatur dan dilarang menangkap indukan arwana.
Tujuan dari nyiluk adalah supaya warga bisa juga mendapat
manfaat dari konservasi arwana yang selama puluhan tahun telah
dilakukan. Setiap anakan siluk yang ditangkap dan dijual, warga
harus memberikan sumbangan sebesar 10%. Jika harga jual seekor
arwana dengan ukuran satu jari kelingking orang dewasa dihargai
2.500.000 rupiah misalnya, maka uang sebesar 250.000 rupiah
wajib disetorkan ke kas nelayan.
246 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Foto 13 Menikmati nyiluk dengan sebatang rokok
248 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Desa Mau Dibawa Kemana?:
Transformasi Sosial Masyarakat
Desa di Indonesia dalam
Epistemologi Durkheimian1
Dwi Wulan Pujiriyani
1 Tulisan ini pernah terbit dalam blog pribadi penulis yang beralamat di https://lucia-wulan.
blogspot.com/ pada 6 Januari 2016.
jual beli hasil pertanian tidak lagi hanya berlangsung di pasar-
pasar tradisional, tetapi sudah dilakukan dengan berbasis website.
Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah terjadinya
‘economic anomie’. Dalam arah perkembangannya yang demikian
cepat, tidak dapat dipungkiri bahwa akan ada mereka-mereka
yang tidak ambil bagian dalam perubahan yang cepat tersebut.
Sebagaimana dijelaskan Durkheim bahwa sifat hubungan
antarindividu yang semakin kontraktual, menafikan keberadaan
ikatan-ikatan komunal. Tidak ada lagi kegotongroyongan,
yang adalah hubungan-hubungan yang bersifat transaksional.
Kondisi serupa ini jelas mengganggu harmonisasi atau yang oleh
Durkheim menyebabkan terjadinya konflik atau krisis. Ketika
hubungan produksi dan konsumsi tidak lagi seimbang, ketika para
penggarap tidak lagi bisa mengimajinasikan sebuah kesejahteraan
dalam hidup mereka.
Dalam hal inilah yang penting untuk dilakukan dalam
mengawal transformasi masyarakat desa adalah menyiapkan
kelembagaan sosial yang memastikan masyarakat tetap
memelihara kesadaran kolektifnya. Lembaga-lembaga non-
ekonomi seperti yang disebutkan Durkheim dengan keluarga,
sekolah dan institusi politik harus dilibatkan untuk meminimalisir
perbedaan dalam masyarakat menjadi fair society. Masyarakat
bisa memperoleh manfaat dari ekonomi yang ada. Aturan hukum
dan moral juga perlu ditegakkan untuk memastikan bahwa
hubungan yang bersifat kontraktual bisa berjalan secara efektif.
Masing-masing pihak menghormati negosiasi yang dilakukan dan
berkomitmen pada spesialisasi yang telah dimiliki.
Pembuatan kategori masyarakat desa Indonesia antara di Jawa
dan luar Jawa saya kira tidak mendesak dilakukan kecuali untuk
mencermati adanya perbedaan kultural yang spesifik antara desa
di Jawa dan luar Jawa. Selain perbedaan kultural, sebenarnya yang
250 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
lebih penting dilakukan adalah mencermati tantangan antara
desa-desa di Jawa dan di luar Jawa ini saya kira juga berbeda-
beda dan pengkategoriannya akan lebih tepat bila bukan berbasis
geografis tetapi berbasis karakteristik ekologis.
1 Versi awal tulisan ini berjudul Bertani atau Mati! Dimuat dalam situs www.selamatkanbumi.
com pada 28 Februari 2013. Karena situs jurnalisme warga tersebut inaktif, tulisan ini
diterbitkan ulang untuk tujuan pendidikan. Proyek Pertambangan Pasir Besi di pesisir Kulon
Progo hingga tulisan ini diterbitkan ulang tidak terlaksana, meskipun peraturan perundangan
dan ijin telah disiapkan.
dan mendiami pemukiman yang berjarak rerata 1 km dari bibir
pantai.
Alasan mereka sederhana, mereka mempunyai sertifikat
tanah atas lahan yang mereka huni dan hak garap atas lahan
yang mereka tanami komoditas hortikultura sejak 1980an, selain
itu mereka telah biasa berpenghasilan Rp. 10.000.000 – Rp.
20.000.000 setiap kali panen cabai keriting (minimal dipanen
6 kali) dengan sistem pasar lelang yang mereka ciptakan sejak
2002. Alasan lainnya adalah pertanian itu merupakan strategi
hidup yang dapat melindungi sumberdaya air tawar tepi pantai di
sepanjang kawasan penyangga itu. Alasan-alasan para petani itu
merupakan argumentasi tandingan bagi argumentasi pemerintah
dan PT JMI bahwa para petani pesisir Kulon Progo hidup miskin
sehingga perlu tetesan ke bawah (trickle down effect) melalui
industri pertambangan dan pabrik baja yang dimodali oleh
korporasi transnasional dan lokal, dengan periode operasi selama
30 tahun untuk setiap wilayah pertambangan.
Apa yang dialami oleh Tukijo dapat dialami oleh siapa saja
ketika berada di dalam konflik struktural, yaitu konflik antara
rakyat berhadap-hadapan dengan korporasi dan/atau instrumen
negara, umumnya memperebutkan sumberdaya agraria, baik itu
di sektor infrastruktur; kehutanan; perkebunan; pertambangan;
pariwisata; maupun proyek konservasi. Dan umumnya, pihak
negara/korporasi mengalahkan rakyat jelata. Konflik struktural
bahkan menjadi alasan dan semangat dalam sejarah pencarian
identitas kebangsaan dan perjuangan mencapai kemerdekaan
Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Jacoby (1961) bahwa
konflik agraria menggerakkan kebangkitan bangsa-bangsa
terjajah untuk melepaskan diri dari jeratan kolonialisme, dengan
demikian sejarah Indonesia tidak lain merupakan sejarah konflik
agraria.
254 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(UUPA), yang menghapuskan hubungan-hubungan agraria yang
bersifat kolonial dan feodal dengan jalan nasionalisasi aset agraria
(tanah dan badan usaha).
UUPA secara tegas membedakan perlakuan terhadap
hubungan agraria yang bersumber pada adat dengan hubungan
agraria yang bersumber pada sistem feodal, adat diperlihara namun
feodalisme dihapuskan. Mengapa politik pertanahan di Kerajaan
Mataram baik Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) dan
Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) tidak dikategorikan
sebagai adat menurut UUPA? Karena feodalisme dan kolonialisme
saling melengkapi dan sistem yang melanggengkan penghisapan.
Pada masa kolonial di abad ke-19 dan 20, kekuasaan negara
Hindia Belanda merupakan pemegang kedaulatan atas empat
kerajaan “otonom” di Vorstenlanden (wilayah raja-raja), yaitu
Kasunanan; Mangkunegaran; Kasultanan; dan Pakualaman.
Di Kasultanan Yogyakarta, akibat kekalahan Perang Jawa,
diberlakukan kontrak politik setiap kali seorang sultan naik tahta,
kontrak politik terakhir (18 Maret 1940) adalah ketika Sultan HB
IX naik tahta, yang bunyi pasalnya antara lain sebagai berikut:
1. Pasal 1 (1) Kesultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia
Belanda dan karenanya berada di bawah kedaulatan Baginda
Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal. (2)
Kekuasaan atas Kesultanan Yogyakarta diselenggarakan oleh
seorang Sultan yang diangkat oleh Gubernur Jenderal.
2. Pasal 3 (1) Kesultanan meliputi wilayah yang batas-batasnya
telah diketahui oleh kedua belah pihak yang menandatangani
Surat Perjanjian ini. (2) Kesultanan tidak meliputi daerah
laut. (3) Dalam hal timbul perselisihan tentang batas-batas
wilayah, maka keputusan berada di tangan Gubernur Jenderal.
3. Pasal 6 (1) Sultan akan dipertahankan dalam kedudukannya
selama ia patuh dan tetap menjalankan kewajiban-
256 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
September 1945 maka niscaya Swapraja di Yogyakarta masih
terikat dengan kontrak politik ini; dengan kata lain, Kasultanan
dan Pakualaman masih menjadi bagian dari Kerajaan Belanda
dengan segenap kebijakannya.
Mengingat subyek hukum UUPA adalah individu dan badan
hukum (yayasan, perusahaan terbatas, dan koperasi), maka
Kasultanan dan Pakualaman tidak dapat memiliki sebidang
tanah karena pendirian keduanya tidak tercatat pada akta
notaris. Apakah Kasultanan dan Pakualaman memiliki sertifikat
kepemilikan tanah yang sah diakui oleh negara sebagaimana para
petani pesisir Kulon Progo yang terancam enclosure oleh proyek
pertambangan pasir besi? Hingga tahun 2012 ini: tidak. Apakah
keduanya sebagai swapraja/kerajaan dapat menjadi subyek hak
atas tanah? Jawabannya terletak pada Diktum IV UUPA, dan PP
No 224 Tahun 1961 dan PP No 38 Tahun 1963.
Ada satu proses sejarah yang sengaja atau tidak sengaja
diabaikan, bahwa jauh pada tahun 1973, Sultan HB IX pernah
berkirim surat kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya meminta
DIY diperlakukan sama dengan daerah lain dalam bidang agraria.
Surat itu dibalas 11 tahun kemudian melalui Keputusan Presiden
No 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5
Tahun 1960 di Propinsi DIY, dan dikuatkan dengan Perda No 3
Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No 5
Tahun 1960 di Propinsi DIY yang secara resmi menghapuskan
Rijksblad No 16/1918 dan Rijksblad No 18/1918 yang sebagian masih
diatur Perda DIY No 5 Tahun 1954.
258 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
diasumsikan tahun 2012 periode operasi dimulai) dan 2 persen
setelah tahun kesepuluh (2022, 2032, dan 2042).
Menurut Wakil Bupati Kulon Progo Periode 2006-2011,
apabila nilai jual besi kasar (pig iron) yang merupakan produk
akhirnya diasumsikan US $.350,-/ ton dan rencana produksinya
diasumsikan sebesar 1 juta ton per tahun, maka pertambangan
pasir besi akan memberikan pendapatan kepada Pemerintah
(berdasarkan PP No : 45 Tahun 2003 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP) sebesar = 1.000.000 x
350 x Rp.9000 x 3 %= Rp. 94.500.000.000 per tahun. Berdasarkan
pembagian hasil royalty di bidang pertambangan umum sesuai
ketentuan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (UU
No.33 Tahun 2004), maka pemerintah pusat akan memperoleh
pendapatan sebesar Rp. 18.900.000.000/tahun (20 %), pemerintah
kabupaten Rp. 30.240.000.000 /tahun (32 %), pemerintah propinsi
Rp. 15.120.000.000 /tahun (16 %), masing-masing kabupaten/kota
Rp. 7.560.000.000 /tahun (8 %), setiap persentase terebut dihitung
dari 3% PNBP sebagai pokoknya. Artinya, 97 % pendapatan
dengan angka yang jauh lebih fantastis adalah hak pemodal.
260 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Catatan Pustaka:
[1] Hidup itu sesungguhnya untuk memelihara (nyala)
kehidupan, meskipun hanya kehidupan sebatang tanaman.
[2] Kontrak Karya PT JMI, Indo Mines Ltd. dan Pemerintah RI
(ditandatangani oleh Menteri ESDM), 4 November 2008
[3] Kertas Posisi Peguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo,
2011
[4] Surat Keputusan Paku Alam IX tahun 2003, atas fungsi
lahan yang ditetapkan sebagai Paku Alaman Ground
(PAG) menurut Rijksblad No 18/1918 (hukum kolonial yang
diberlakukan terhadap Puro Pakualaman).
[5] Wawancara Dwijo Utomo (50), nama samaran, salah
satu petani perintis pertanian lahan pasir pantai yang
sering menjadi dosen tamu di suatu universitas negeri di
Yogyakarta, untuk topik pendayagunaan lahan marginal
yang ekologis dan teknologi lokal tepat guna.
[6] Menurut Public Interest Lawyer Network (2010), sepanjang
2004-2010, terdapat 24 kasus kriminalisasi terhadap petani
(sekurang-kurangnya 175 orang) dan aktivis (sekurang-
kurangnya 12 orang) di seluruh Indonesia. Di DIY saja,
kriminalisasi juga dilakukan terhadap Slamet dan Fitriyanto
(adik dan anak Tukijo, petani pesisir Kulon Progo) bahkan
G. J. Aditjondro (akademisi) karena melawan ketidakadilan
politik agraria dalam kasus yang sama yaitu pertambangan
pasir besi di atas tanah yang sah dimiliki oleh warga pesisir
Kulon Progo.
[7] Jacoby, E.H. 1961. Agrarian Unrest in Southeast Asia. 2nd ed.
London, Asia Publishing House
[8] Topatimasang, R. Mapping as a Tool for Community
Organizing agains Power: A Moluccas Experience In Brosius,
P. J et al. (Ed.) 2005. Communities and Conservation:
262 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, dan
Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa
Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani
untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman
ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Rijksblad
Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918
merupakan produk kolonial yang mengacu asas Domein
Verklaring Agrarische Wet 1870 menyatakan, ‘Sakabehing
bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan
mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane
keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti
kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah
milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157). Menurut teori
hak kepemilikan, suatu benda sah untuk dikatakan milik
seseorang apabila terdapat tanda bukti kepemilikan atas
benda itu (a bundle of rights), bukan sebaliknya bahwa suatu
benda sah dikatakan milik seseorang yang tidak mempunyai
bukti kepemilikan atasnya (Schlager dan Ostrom, 1992).
Rijksblad-rijksblad itu berangkat dari kesesatan logika.
[17] Luthfi, A.N., M. Nazir S., A. Tohari, Dian A.W., dan Diar
Candra T. 2009. Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan
Yang Dilupakan. STPN. Yogyakarta
[18] PT. Jogja Magasa Mining didirikan 6 Oktober 2005, Direktur
Utama RM. Hario Seno, anggota direksi: Lutfi Heyder dan
Imam Syafi’I, Komisaris utama: GKR Pembayun (Sejak 2015
berubah gelar menjadi GKR Mangkubumi), dan Komisaris :
BPH Joyokusumo (Sumber: Akta Notaris PT JMM).
[19] Contract of Works, from The Government of Republic
Indonesia, by PT Jogja Magasa Mining and Indo Mines Ltd.
[20] Surat AKD Ltd. kepada The Manager Company
Announcements Platform, Australian Stock Exchange
264 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Beberapa perubahan tanpa mengubah substansi dilakukan
oleh penulis (mengacu versi asli sebelum penyuntingan oleh
redaksi).
270 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Saat saya SMP, guru SLB saya memberi tahu bahwa saya buta.
Untuk pertama kalinya, saya merasa berbeda karena dibedakan.
Saya tanya, apa itu buta? Dijawab, buta itu cacat. Apa itu
cacat buta? Katanya, tidak bisa melihat. Saya tanya lagi, tidak bisa
melihat itu bagaimana? Guru saya tidak bisa menjelaskan, dia
hanya bilang kalau jalan meraba-raba.
Apakah teman-teman saya kalau jalan tidak meraba-raba?
Bagaimana bisa mereka tidak menabrak dinding atau terjerumus
lubang kalau tidak meraba-raba?
Saya jadi bingung dengan keadaan saya. Waktu itu, saya
bertanya pada diri sendiri, apakah karena saya berbeda maka
saudara-saudara saya tidak menerima saya? Apakah karena saya
berbeda, saya lalu disembunyikan saat ada tamu datang? Mengapa
orang-orang seperti saya sulit diterima dan mudah diabaikan?
Saya jadi tahu, sebutan buta dan pengertiannya ditentukan
oleh mereka yang tidak pernah buta.
Pantas saja giliran mereka dimintai tanggungjawab
menjelaskan maksudnya, mereka malah tidak bisa. Saya sudah
diperlakukan tidak adil. Di usia belia itu, saya ada pikiran untuk
mengakhiri hidup.
Perlahan, saya belajar menerima keadaan bahwa saya tidak
bisa melihat pakai organ yang bernama mata. Sebagai gantinya,
saya melihat dengan jari, telinga, hidung dan lidah.
Saya tahu suatu ruangan sempit atau luas dari gaungnya. Saya
tahu posisi benda dan jalan menuju rumah dari perabaan. Saya
mengenal orang dari aroma badan.
Bahkan, akhirnya saya mengenali warna dari rasanya, misalnya
kuning rasanya seperti kunyit, hijau rasanya seperti daun papaya
272 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
untuk pengesahan dokumen, dikondisikan tergantung, hingga
tiba-tiba dikasih uang diam-diam karena dikasihani.
Hak-hak disabilitas juga masih belum dipenuhi. Misalnya,
KTP tanpa penanda disabilitas, kewajiban selfie atau foto KTP
untuk upgrade aplikasi, uang tanpa penanda yang bisa diraba,
jalur jalan (guiding block) yang terhalang, hingga alat tulis tuna
netra tanpa petunjuk beraksara timbul. Jika hidup di lingkungan
yang belum maju pemikirannya, kaum disabilitas mengalami
penolakan karena kondisinya dianggap merepotkan.
Lalu, saya berpikir, bagaimana masalah hidup tuna netra
sedikit teratasi?
Selama ini saya mengomunikasikan dunia tuna netra lewat
seni rupa yang saya namai seni raba. Salah satu karya saya berjudul:
Bahaya Tuna Rasa.
Tuna Rasa adalah jenis disabilitas paling parah, karena yang
tidak berfungsi adalah empati dan nurani, bukan organ tubuh.
Gara-gara Tuna Rasa, para penyandang disabilitas fisik dan mental
terabaikan, dimanfaatkan secara tidak adil, atau difasilitasi ala
kadarnya agar kegiatan atau program dianggap inklusif.
Termasuk Tuna Rasa ialah punya mata tapi tak mau melihat,
punya telinga tapi tak mau mendengar, punya akal budi tapi
enggan berpikir dan mengerti, punya hati tak mau merasa.
Termasuk Tuna Rasa adalah melibatkan saya dalam kegiatan
tanpa memberi informasi awal yang bisa saya pahami dan meminta
persetujuan.
Termasuk Tuna Rasa ialah seenaknya menentukan apa yang
saya butuhkan dan bagaimana seharusnya saya menjalani hidup,
tanpa pernah bertanya terlebih dahulu apa kebutuhan saya dan
apakah saya setuju.
274 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dengan aman? Sertipikat tanah yang pernah saya raba seperti
lukisan di kanvas: tidak ada apa-apa, hanya rata saja.
Negara tidak melihat saya meskipun katanya punya mata-
mata. Saya ada tapi masih dianggap tidak ada, padahal saya
berbeda dan mudah dikenali.
Katanya salah satu agenda Reforma Agraria adalah sertipikasi
tanah, namanya Penataan Aset Reforma Agraria. Apakah pernah
ada sertipikat tanah bagi disabilitas seperti saya?
Katanya juga, Reforma Agraria memberikan bantuan usaha
pada pemilik tanah atau calon pemilik tanah. Namanya Penataan
Akses Reforma Agraria. Jika kondisi pemilik tanah seperti saya,
seperti Dodot, atau seperti teman disabilitas daksa, bagaimana
kami bisa mengusahakan tanah?
Apakah kami juga dimudahkan mengakses modal? Apakah
kami juga dibantu pemasaran? Karena bersaing dengan yang
dianggap normal itu berat, semestinya ada afirmasi bagi disabilitas
dalam Penataan Akses Reforma Agraria.
Tapi, semua itu hanya mungkin kalau penyandang disabilitas
bisa menjadi penerima manfaat, hanya mungkin kalau menyasar
yang membutuhkan, bukan yang sudah mapan.
Kalau Penataan Akses Reforma Agraria memudahkan mereka
yang sudah mempunyai kemudahan, itu sama saja menggarami
lautan.
Lalu bagaimana agar penyandang disabilitas dapat diketahui
jumlahnya, dikenali jenis disabilitasnya dan kebutuhannya?
Semestinya ada informasi tentang jenis disabilitas dalam KTP,
itu lebih penting daripada informasi WNI termasuk golongan
mayoritas atau minoritas, yang hanya berguna untuk kepentingan
politik jelang pemilu ketimbang pelayanan publik sesungguhnya.
276 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Nelayan, Petani dan Buruh
dalam Reforma Agraria1
Kus Sri Antoro2
1 Versi awal tulisan ini berjudul Ketika Nelayan Kehilangan Sampan, Petani Kehilangan Lahan,
dan Buruh Kehilangan Kuasa atas Pekerjaan, disampaikan dalam Diskusi Majalah Balairung
UGM, 2 April 2013. Tulisan ini sedikit dikembangkan untuk mencoba menautkan kebutuhan
nelayan, tani, dan buruh dalam satu nafas perjuangan agraria.
2 Petani-peneliti, Relawan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA)
Membayangkan agraria semata sebagai sebidang tanah sama
seperti membayangkan belajar sebagai sekolah. Membayangkan
agraria semata sebagai pertanian sama seperti membayangkan
belajar sebagai pendidikan. Apakah belajar identik dengan
sekolah dan pendidikan? Kenyataannya, mereka yang bersekolah
belum tentu belajar, dan belajar tak melulu harus bersekolah.
Demikian pula, belajar tak selalu harus masuk dalam sistem
pendidikan. Bahwa pendidikan merupakan pelembagaan proses
belajar adalah tidak salah, dan sekolah merupakan satu paket
metode dan materi proses belajar adalah boleh jadi benar. Tetapi,
belajar lebih umum dari sekedar pendidikan dan sekolah karena
sebelum sistem pendidikan dan sekolah ada; manusia telah
belajar, hal yang menyedihkan: imajinasi tentang sekolah terhenti
pada bangunan—yang sesungguhnya tak berbeda dengan LAPAS
untuk memenjara nalar kritis dan kreatifitas. Sekolah adalah
tempat kegiatan belajar terlaksana, tanah adalah tempat agraria
bekerja. Agak naif, bukan?
Sampai di sini, apa imajinasimu tentang agraria?
Berbincang tentang agraria, saya lebih suka menyederhanakan
pemahaman, meski hal itu tak berarti menyederhanakan
persoalan yang memang tak sederhana. Merujuk pada apa yang
dimaksudkan sebagai agraria oleh UUPA, bahwa agraria adalah
bumi, air, dan udara, imajinasi saya (masih) berhenti pada ruang
dan isinya.
Apa itu ruang?
Meminjam diskursus fisika, ruang adalah dimensi yang
hadir sebagai akibat dari keberadaan batas, tanpa batas tak ada
ruang. Batas itu bisa berupa fisik bisa pula imajiner. Contoh ruang
berbatas fisik: kamar mandi; ekosistem laut; ekosistem darat; dan
biosfer (bumi). Contoh ruang berbatas imajiner: garis peta; teritori
negara; batas administrasi; dan wilayah kekuasaan pemangku
278 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
adat. Batas, yang melahirkan ruang, menjadi penanda banyak
hal: klaim, akses, kekuasaan3, contoh sederhana warga negara
Indonesia tidak boleh memasuki wilayah Malaysia tanpa ijin.
Ruang pun dibutuhkan untuk aktivitas mengetahui, setidaknya
kita mendahului belajar dengan istilah definisi (batasan).
Sehingga, wajar jika para pencipta definisi memegang otoritas
keilmuan.
Lalu, apa itu isi ruang?
Meminjam diskursus ekologi, isi ruang tak lain adalah materi
dan relasi-relasi intermateri. Materi bisa berupa biotik (benda
hidup) dan abiotik (benda tak hidup). Contoh benda hidup:
organisme. Contoh benda tak hidup: cahaya, udara, unsur hara,
dan air. Tanpa unsur abiotik, benda hidup tak dapat melanjutkan
kehidupannya. Tanpa unsur biotik, benda tak hidup tak punya
makna. Bukankah sebentang pasir besi tetaplah sebentang pasir
besi sebelum manusia memaknainya sebagai sumber ekonomi?
Bukankah air menjadi seksi ketika diperebutkan dalam dua opsi:
menopang hidup beberapa generasi atau sebuah korporasi?
Senada dengan Mubyarto4, Marx5 menandai keberadaan hubungan
material dan hubungan kerja dalam relasi ruang seisinya (agraria),
yang dapat dikembangkan tak semata dalam wacana kepemilikan/
penggunaan dan persewaan/penguasaan. Agraria tak hanya
sekedar memiliki, menggunakan, menyewa, dan menguasai,
3 Saya menyarankan pembaca untuk menikmati film Life of Pi (2012) untuk sekedar
menajamkan pemahaman tentang apa itu ruang dan relasinya dengan kekuasaan, terselip
pesan: jangan pipis sembarangan.
4 “Secara garis besar, Mubyarto membagi masalah pokok agraria menjadi dua, yaitu pertama,
masalah yang menyangkut hubungan antara manusia dengan tanah (dalam hal ini adalah
hubungan pemilikan dan penggunaan). Dan kedua, masalah yang kemudian berkembang
menjadi hubungan antar-orang mengenai tanah (dalam hal ini adalah hubungan persewaan
dan penguasaan).” Lihat: Tarli Nugroho. 2010. Mubyarto dan Ilmu Ekonomi yang Membumi,
dalam Endriatmo Soetarto (ed.),Pemikiran Agraria Bulaksumur. Yogyakarta: STPN Press-
Sajogyo Institute, hal 287.
5 Hubungan-hubungan agraria yang bekerja dalam sistem sosial sesungguhnya mencerminkan
hubungan material antara subyek dengan ruang beserta isinya dan hubungan sosial
intersubyek yang disebabkan oleh kerja (mode of production) atas ruang tersebut. Lihat: Dede
Mulyanto. 2011. Antropologi Marx. Bandung: Ultimus hal 8
Ruang Hidup
Untuk dapat hidup, makhluk hidup membutuhkan ruang,
tak terkecuali manusia. Ketika ruang hidup suatu makhluk
terusik, saat itu pula kehidupannya terancam. Contoh kasus:
gajah masuk kampung dan mengamuk karena hutan hilang
berganti pemukiman, orang utan menjadi hama di kebun sawit
karena luas hutan tinggal sedikit. Siapa yang salah? Tanpa melihat
apa sebab gajah mengamuk dan orang utan memangsa sawit,
manusia mudah menjelma pestisida10. Namun, persoalan serupa
juga terjadi dalam komunitas manusia: manusia disingkirkan dan
dimusnahkan oleh manusia lain yang merebut ruang hidup! Ketika
6 Agraria dinilai sebagai sumberdaya alam penopang pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain
komoditas untuk diolah menghasilkan nilai lebih.
7 Tradisi ini berkembang cukup baik dalam Studi Agraria di Indonesia, terutama dipromosikan
oleh Gunawan Wiradi dan lingkaran AKATIGA, KPA, maupun Sajogyonian.
8 Rumusan Agraria sebagai ruang hidup terbilang cukup baru, dan sependek pengetahuan
saya, forum komunikasi masyarakat agraris yang pertama memunculkan makna ini. Tentu
saja diskursus teoritis untuk hal ini belum dirumuskan sebaik diskursus pendahulunya.
Wacana ini hadir sebagai argumentasi tandingan atas maraknya slogan win win solution
dalam ‘penyelesaian’ konflik agraria.
9 Dipopulerkan oleh kelompok-kelompok studi lingkungan seperti jaringan WALHI dan
JATAM, namun baru-baru ini ranah STudi Agraria dan Lingkungan Hidup sudah mulai
popular dijembatani oleh Pendekatan Ekologi Politik.
10 Pesticide= Pest+Cide, Pest (Eng.)= hama, Cide (Latin)= pembunuh, frasa serupa genocide,
homicide, suicide, ecocide.
280 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
perampas memanen perlawanan, siapa yang salah? Perampas atau
terampas?
Apa ruang hidup petani? Apa ruang hidup nelayan? Apa
ruang hidup buruh/kaum miskin kota? 11 Samakah ketiganya?
Kapan mereka bertemu dalam isu ruang hidup dan kapan mereka
berpisah?
Sebidang lahan, bagi petani, tak hanya diolah namun
juga ditempati. Sebuah sampan, bagi nelayan, tak hanya alat
transportasi tetapi juga instrumen perburuan rejeki. Sebuah
pabrik, bagi buruh, tak hanya sumber ekonomi tetapi juga
identitas profesi. Ruang hidup dan sumber penghidupan,
keduanya bertemu dalam makna agraria ketika tanah; samudera;
dan alat produksi tak tergantikan. Melalui mekna inilah saya akan
mencoba mendekati isu agrarian di dalam kehidupan petani;
nelayan; dan buruh/kaum miskin kota.
Namun demikian, agak serampangan jika menyamakan
begitu saja dinamika sosial/kebudayaan petani, nelayan, dan
buruh dalam wacana agraria, mentang-mentang ketiganya
adalah korban dalam perebutan ruang hidup seisinya dengan
sekelompok manusia beridentitas lain (biasanya penyelenggara
kekuasaan dan pemodal). Benar bahwa ruang hidup dan sumber
penghidupan melekat pada ketiganya, namun dalam hal apakah
‘agraria’ diargumentasikan untuk dipertahankan oleh ketiganya,
boleh jadi berbeda menurut identitas kebudayaan petani;
nelayan; dan buruh; karena—menurut saya, nelayan mewakili
11 Apa agraria-nya petani? Apa agraria-nya nelayan? Apa agraria-nya buruh? Pertanyaan
terakhir perlu perumusan lebih lanjut, mengingat isu buruh dan agraria rawan diabaikan;
bahkan dipertentangkan dengan subyek dari pertanyaan pertama. Kenyataan, baik petani
nelayan dan buruh menempati posisi korban dalam ekonomi politik berbasis agraria. Jika
diurutkan dalam kesejarahan, nelayan mungkin mewakili tradisi perburuan lengkap dengan
watak nomad; petani mungkin mewakili tradisi budidaya dengan watak menetap; dan buruh
mungkin mewakili budaya produksi dengan watak alienasi. Namun, ketiganya sama-sama
terjerat ketergantungan dalam skema ekonomi politik yang sama (Kapitalisme). Dalam
banyak kasus, petani beralih menjadi buruh ketika bercerai dengan tanah.
282 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sosiologi nelayan berbeda dengan masyarakat yang
mempunyai matapencaharian berbasis lahan, terutama dari sisi
strategi hidup dan kesempatan berusaha. Dengan demikian,
kerangka analisis untuk memetakan, mengurai, memahami, dan
merumuskan persoalan kelautan tidak dapat lagi menggunakan
perspektif daratan.
Konsep Mare Liberum telah berubah menjadi Mare
Reservarum (Russ dan Zeller, 2003 cit Satria, 200912), penerapan
konsep ini adalah globalisasi isu ekologi melalui Code of Conduct
Responsible Fisheries (CCRF). Turunan dari CCRF adalah
International Plan of Action (IPOA) tentang Illegal, Unreported,
and Unregulated Fishing (IUUF). Berbagai lembaga pengelolaan
perikanan dibentuk tanpa pertimbangan letak geografi negara,
semisal Conventiion for Concervation of Southern Bluefin Tuna
(CCSBT) di wilayah Pasifik dan Indian Ocean Tuna Commision
(IOTC) di wilayah Samudera Hindia. Anggota CCSBT adalah
Australia, Jepang Selandia Baru, sedangkan anggota IOTC antara
lain ialah Perancis, Korea, Jepang, Inggris, dan Malaysia. Indonesia
menjadi anggota IOTC pada 2007.
Di dalam komisi-komisi kelautan itu diberlakukan Total
Allowable Catch (TAC). Jumlah kuota tangkapan untuk setiap
negara anggota berbeda, pada tahun 2000, melalui CCSBT, Jepang
mempunyai kuota 52 %, Australia 45 %, dan Selandia Baru 3 %.
Negara yang tidak menjadi anggota CCSBT tidak berhak memiliki
kuota. Sehingga, jika negara tersebut tetap beroperasi di perairan
CCSBT, maka dianggap sebagai penumpang gelap (free rider).
Penangkapan ikan oleh Indonesia di wilayah yang sah juga dapat
dikategorikan pelanggaran IUUF jika tidak terlaporkan dan tidak
diatur regulasi.
13 Steward, Julian. 1955. Theory of Culture Change, Urbana. University of Illinois Press
284 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
intensif merangsang populasi manusia penganut agrarian culture
ala sawah lebih cepat bertambah, seiring dengan akumulasi
surplus panen yang dihasilkannya. Hal ini memungkinkan pasar
masuk, dan mengubah relasi sosial yang baru dengan kehadiran
penjual jasa: buruh tani, baik bersifat substitusi maupun dalam
hubungan patron klien sama sekali. Konsep hak milik melekat
dalam kebudayaan agraria pertanian intensif. Jawa adalah contoh
yang baik dalam menyimpan rekam jejak pertanian menuju
industri.
Lain halnya dengan Pulau Kalimantan yang merupakan
daratan dengan umur geologi tua (tidak banyak dijumpai gunung
berapi), unsur hara tidak terkandung dalam aliran sungai,
melainkan dalam vegetasi; sehingga untuk memanfaatkan
unsur hara tersebut penduduk setempat tidak membuat sawah
tetapi membuka ladang berpindah (umumnya tadah hujan).
Sistem ladang berpindah membawa konsekuensi, antara lain:
kecenderungan bertujuan subsistensi daripada memenuhi
kebutuhan industri, kecil kemungkinan akumulasi hasil produksi,
populuasi dipertahankan konstan atau laju pertambahan
penduduk komunitas tersebut rendah, batas-batas penguasaan
lahan ditentukan oleh sejauh mana perjalanan yang bersifat
siklus itu, metode pembakaran terkendali menjadi alternatif
untuk membuka lahan dan pelapukan sisa-sisa tumbuhan untuk
menyediakan nutrisi tanaman, relasi patronase dalam bentuk
determinan ekonomi kecil kemungkinan muncul tidak seperti
dalam sistem feodalism, kolonialisme dan kapitalisme umumnya.
Uraian tersebut menandaskan bahwa budidaya (cultivation)
lebih khusus lagi pertanian (agriculture)—sebagai bentuk
kebudayaan (culture) berbasis tanah (ager), adalah sistem-
sistem ekologi buatan yang secara langsung mengubah struktur
dan fungsi lingkungan, yang kemudian turut mengubah
14 Pincus, Jonathan. 1990. Approaches to the poitical economy of agrarian change in Java.
Journal of Contemporary Asia 20:1. 3-40
15 Huskens, Frans. 1998, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Sejarah Diferensiasi Sosial
di Jawa 1830-1980, Grasindo, Jakarta
286 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
membuat pertanian subsisten sekalipun menjadi terintegrasi
dengan ekonomi global.
Pembeda utama dari pola pertanian intensif dan pola pertanian
survival adalah keterlibatan pasar dalam moda produksi. Sawah
tak terelakkan terhadap pasar, terkecuali bagi masyarakat tertentu
yang dinilai sebagai pembangkang kekuasaan. Ladang berpindah
relatif bertahan terhadap serangan modernisasi, meskipun
konsekuensinya mereka akan dimusnahkan dengan dilekati
istilah perambah hutan yang merusak ekosistem. Sungguhpun
dalam kebudayaan tidak ada hirarki, wacana bahwa sawah lebih
baik daripada ladang berpindah sulit ditolak oleh kalangan yang
pemikirannya dibentuk oleh sekolah.
Di Indonesia, pergulatan menemukan definisi agraria
pun seraya mengikuti: “dalam perspektif sawah/pertanian
intensif dan a la Jawa”. Contoh nyata: dalam rumusan dan cara
siapakah ekosistem dan masyarakat Papua hendak dibangun
(baca: diubah)? Siapa yang akan untung/rugi dalam mekanisme
pengubahan ekosistem dan sosial ini: masyarakat dalam tradisi
berburu atau masyarakat yang merasa lebih maju? Hingga hari
ini, lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Selatan adalah
monumen dinamika agraria yang menyisakan kolam larutan
asam. Sampai di sini, dapatkah kamu bayangkan bahwa definisi
agraria dapat menentukan hidup/matinya suatu kelompok sosial
lengkap dengan kebudayaannya?
Cerita ironis datang dari kisah Revolusi Hijau.
Kiranya masih belum pudar dari ingatan, kemantapan
industri di sektor pertanian Indonesia pascakolonial ditandai
oleh sebuah tonggak yang amat terkenal: Revolusi Hijau. Tonggak
ini, secara teknis merupakan satu paket intensifikasi berbasis
teknologi yang dikenal sebagai panca usaha tani:1) Pemupukan
kimia; 2) Penggunaan benih unggul; 3) Pemberantasan hama; 4)
16 Lihat Hardiman, 2003. Hardiman, F.B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius
17 Lihat Sajogjo. 2006. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum. Dalam Ekososiologi
Deideologi Teori dan Restrukrisasi Aksi. SAINS dan Sekretariat Bina Desa.
288 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sebagai lawan ideologi negara oleh pemerintah). Dampak Revolusi
Hijau benar-benar menghijaukan pelosok-pelosok desa, baik itu
hijau daun tanaman maupun hijau seram suatu pakaian seragam.
Sekali lagi, berhasilkah Revolusi Hijau? Secara lingkungan,
Tidak. Paket teknologi itu menaikkan produksi tanaman tetapi
menurunkan produktifitas lahan karena pupuk kimia membuat
tanah kurus dan benih unggul adalah organisme yang rakus. Selain
itu, pestisida tak hanya membunuh agen penganggu tanaman
(hama) tetapi juga agen pembantu tanaman (musuh alami,
predator, penyerbuk). Air juga terkontaminasi racun, binatang
melata pemangsa tikus sudah mulai jarang. Hal terburuk justru
menimpa manusia karena sebagai makhluk di puncak piramida
makanan manusia adalah agen yang menerima akumulasi
bahan pencemar paling tinggi. Secara sosial, Tidak. Modernisasi
memang memberi kemudahan dalam produksi barang dan jasa
tetapi menyulitkan petani untuk membuat keputusan sendiri
atas hidupnya. Secara budaya, Tidak. Petani telah kehilangan
satu paket pengetahuan tentang budidaya yang berumur ribuan
tahun, tergantikan oleh pengetahuan ilmiah yang mendukung
kelangsungan hidup raksasa ekonomi baru. Secara ekonomi, petani
gurem terjerat hutang dan menjadi pengganjal bagi kemantapan
pembangunan bias kota, yaitu penghasil pangan melimpah
(artinya menaikkan konsumsi sarana produksi), sehingga pangan
menjadi murah agar upah buruh juga turut rendah.
Belakangan, kesimpulan para pakar studi agraria18 baik Mahzab
Bogor maupun Mahzab Bulaksumur—mengacu istilah A.N. Luthfi
(2010, 2011)19, kembali digemakan: bahwa Revolusi Hijau bukan
18 Selain Gunawan Wiradi; Sediono M.P. Tjondronegoro; Masri Singarimbun; dan Sartono
Kartodirjo, Sajogyo adalah yang paling mengemuka melalui esai padatnya yang berjudul
Modernization Without Development (1982), kritik revisionis dari suatu kebijakan.
19 Luthfi, A.N. 2010. Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal Sartono Kartodirjo, Masri
Singarimbun, dan Mubyarto, STPN Press, Yogyakarta.
_________. 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikrian Maxhab Bogor. STPN
Press, Yogyakarta
20 Escobar, A. 1998. Whose knowledge, whose nature? biodiversity, conservation, and the
political ecology of social movements. Journal of Political Ecology 5, p 53-82. jpe.library.
arizona.edu
290 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
ASN sesungguhnya juga buruh namun kesempatannya untuk
merebut alat produksi lebih kecil daripada buruh manufaktur;
karena alat produksinya ialah sistem penyelenggaraan negara dan
pemilik modalnya ialah para pembayar pajak.
Pergeseran cara hidup dari berburu (dan meramu) menuju
bertani dan lalu memburuh diiringi dengan perubahan relasi
sosial dan konsep penguasaan sumberdaya. Tampaknya, sulit
bisa membayangkan nelayan bekerja seorang diri demikian pula
peladang berpindah, hasil yang mereka dapatkan bukan kerja
individu karenanya kehidupan nelayan/peladang berpindah
berciri komunal.
Petani masih mungkin bekerja sendiri (dalam lahan sempit),
memperoleh hasil individu, atau membaginya secara kolektif
ketika melibatkan banyak tenaga kerja. Karakter individualistik
pada petani justru mudah ditemukan dalam pertanian modern
yang mengandalkan mekanisasi. Asumsinya, semakin sedikit
tenaga manusia, semakin efisien.
Ketika tanah yang tak digarap tidak menghasilkan panen
(nilai lebih), maka dapat dikatakan berkat keringat petani-
penggaraplah sebidang lahan dapat dipanen untuk hidup. Tenaga
kerja, dengan demikian, menjadi faktor yang penting dalam
pertanian. Buruh tani, sekalipun dalam usaha tani subsisten,
adalah fenomena buruh di sektor pertanian, terlebih pada usaha
tani komersial/industri dan perkebunan.
Pada sumber penghidupan berbasis perairan, hubungan
anak buah kapal, nahkoda dan pemilik kapal sangat mungkin
menunjukkan hubungan buruh dengan majikan. Pemilik kapal
atau pemodal menempati posisi paling kuat, baru kemudian
nahoda dan anak buah kapal. Posisi nahkoda sangat kuat jika
nahkoda merangkap pemodal. Pembagian hasil tangkapan ikan
dan relasi kerja antara anak buah kapal, nahkoda dan pemilik
292 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
tujuan ini pun termasuk tujuan pragmatis Reforma Agraria di era
Soekarno, sehingga modernisasi pertanian yang dikenal sebagai
Revolusi Hijau dipilih sebagai bentuk Reforma Agraria, dengan
demikian tidak perlu ada redistribusi lahan ketika target produksi
sudah dapat dicapai dengan intensifikasi. Perluasan lahan
pertanian pun dilaksanakan melalui ekstensifikasi pertanian
untuk membesarkan industri pertanian, bukan memperluas unit
usaha pertanian yang dikerjakan oleh rakyat melalui redistribusi
lahan dan perlindungan terhadap obyek-subyek Reforma Agraria.
Dengan demikian, menjadi masuk akal kenapa kebijakan agraria
Orde Baru tidak memerlukan UUPA sebagai payung hukum
landreform, UUPA hanya perlu dihadirkan dalam legalisasi aset
industri pertanian dan perkebunan, misalnya HGU.
Salah satu program andalan Revolusi Hijau ialah swasembada
beras, bukan beragam pangan yang lain. Penyeragaman jenis
pangan akan memudahan penghitungan upah dan parameter
ekonomi lainnya, misalnya mengukur tingkat kesejahteraan
penduduk berdasarkan konsumsinya, melalui propaganda: makan
nasi berarti sejahtera, makan selain nasi berarti masih sengsara.
Harga pangan menjadi tolok ukur nilai upah. Ketika harga
beras mahal maka upah akan tinggi. Agar upah rendah, maka harga
pangan harus murah. Agar harga pangan murah, maka jumlah
pangan harus berlimpah. Agar jumlah pangan berlimpah, maka
produksi harus ruah, melalui panca usaha tani dan impor beras
tentunya. Namun, di saat harga pangan mengalami kenaikan pun,
upah buruh tetap rendah, karena pangan telah dikuasai pasar/
kartel pangan.
Petani tidak dapat menentukan harga dari hasil panennya,
demikian juga buruh tidak dapat turut menentukan nilai
tenaganya. Keduanya tidak mempunyai daya tawar terhadap pasar
konsumsi maupun pasar tenaga kerja. Mereka tidak mempunyai
294 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
buruh pabrik pupuk/pestisida) dan bagian dari pasar distribusi
(misalnya buruh pengolahan pangan).
Dalam wacana dominansi pemodal, baik nelayan, petani, dan
buruh dapat menemukan basis material yang sama jika dikemas
dalam perjuangan agraria. Aktor pemodal besar dalam masyarakat
nelayan mungkin adalah pemilik kapal besar yang relatif tangguh
menghadapi cuaca buruk karena menguasai teknologi. Dalam
masyarakat tani, mereka adalah tuan tanah. Dan dalam masyarakat
industri mereka adalah pemilik perusahaan.
Perjuangan agraria kaum tani dapat diterjemahkan sebagai
okupasi tanah, redistribusi lahan dari tuan tanah, atau peneguhan
hak komunal atas masyarakat adat. Perjuangan agraria kaum
buruh dapat diterjemahkan sebagai pengambil alihan alat
produksi dan manajemen perusahaan (lebih lanjut pengelolaan
modal secara komunal) ketimbang melulu menuntut kenaikan
upah dan penurunan harga pangan! Perjuangan agraria kaum
nelayan dapat diterjemahkan sebagai usaha kolektif penguasaan
dan pengelolaan alat tangkapan ikan yang lebih memadai serta
penguatan klaim teritori dalam diskursus masyarakat komunal
(adat)21.
Reforma Agraria yang mengubah struktur produksi dan
distribusi yang timpang menjadi lebih adil dapat menjadi
agenda yang menyatukan kepentingan buruh dan kaum tani.
Perubahan struktur produksi di sektor pertanian ialah pelepasan
petani dari ketergantungan sarana produksi parikan. Perubahan
struktur produksi di sektor manufaktur ialah pelepasan
buruh dari ketergantungan sistem upah dari pemodal yang
bukan dirinya. Perubahan distribusi di sektor pertanian ialah
peningkatan daya tawar petani terhadap pasar konsumsi dengan
21 Saya tidak membayangkan hal ini sebagaimana diskursus dan struktur lembaga adat ala
AMAN
296 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sekolah Petani Berkesadaran
Ala Sekti Muda
Rahmat Ariza Putra, Fasilitator dan
Pengajar di Sekolah Tani Muda (Sekti Muda)
Yogyakarta
298 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menjadi lahan yang produktif sepanjang tahun dengan hadirnya
embung-embung mini hasil usaha swadaya masyarakat.
300 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Mungkin karena letak geografi yang jauh dari pusat ekonomi
di perkotaan dan kondisi tanah yang tidak sebagus daerah-daerah
pertanian di tempat lain, mereka menyadari bahwa laku tani
yang mereka kerjakan harus mampu menjaga kesuburan lahan.
Karena boleh dikatakan, tidak ada pilihan pundi-pundi penghasil
pendapatan lain bagi warga setempat selain bertani. Selanjutnya,
saya paham bahwa dari pintu ini saya bisa aktif mewarnai upaya
mereka mewarisi tanah lestari.
302 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pada praktiknya, tidak banyak petani pewaris budaya revolusi
hijau yang kemudian memiliki keyakinan serupa. Kalaupun
masih ada setitik iman terhadap kearifan lokal, tidak nampak
manifestasinya dalam laku tani sehari-hari. Yang terfikir hanyalah
bagaimana memberi nutrisi ke tanaman melalui aplikasi pupuk
kimia atau kohe (kotoran hewan) yang praktis agar hasil panennya
bagus. Tanah cuma diasumsikan sebagai tempat wadah sementara
yang menampung hara dari pupuk yang diaplikasikan sebelum
kemudian diserap tanaman.
Ketika saya mengatakan kalimat terakhir pada paragraf di
atas, hampir seluruh peserta tersipu malu. Mereka mengamini
bahwa selama ini memandang tanah sebagai benda mati dengan
fungsi sesederhana menampung hara. Paradigma ini oleh
pengkaji di universitas disebut mineral concept. Pola pikir yang
mengkerdilkan peran tanah sebatas media lalu lintas nutrisi dari
petani untuk tanaman budidaya.
304 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Memaknai Tanah Subur
306 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Indikator-indikator di atas realitanya dipengaruhi oleh
anasir kesuburan lain alias tidak berdiri sendiri. Bila bahan
organik melimpah ruah di tanah seringnya konsentrasi elemen
esensial yang dibutuhkan tanaman juga memadai. Aktor penentu
KTK pun merupakan bahan organik yang telah terhumifikasi.
Kemampuan koloid organik berwujud humus dalam menyimpan
dan menukarkan cadangan kation K+, Mg++, Ca++, NO3+ telah
terbukti jauh lebih baik dibandingkan lempung atau debu. Bahan
organik berupa pun arang dikenal mampu meningkatkan pH yang
asam dan mengikat zat-zat yang bersifat racun bagi tanaman.
Oleh karena itu dapat disimpulkan walau berbeda nama tapi
mereka tidak dapat dipisahkan. Lebih spesifik lagi, sebagaimana
deskripsi panjang lebar di atas, saya kemudian berani menyatakan
kepada para petani bahwa faktor dari kesuburan fisik, kimia dan
biologi adalah kehadiran tilas mulyo atau bahan organik.
Bila diurutkan, maka ceritanya dimulai dari tanah yang kaya
akan bahan organik memunculkan keanekaragaman hayati.
Beraneka ragam makhluk hidup bekerja mengurai bahan organik
lalu menghasilkan nutrisi dan humus. Humus tersebut menyimpan
hara dan air dan memperbaiki tekstur tanah sehingga menjadi lebih
gembur. Hara-hara dan air yang disimpan oleh humus kemudian
diserap tanaman untuk tumbuh kembang. Tanah gembur akibat
keberadaan humus memudahkan pertumbuhan akar tanaman
di dalam tanah. Tanah gembur juga menyebabkan lalu lintas air
dan udara lancar. Sirkulasi air dan udara lancar menghidarkan
tanah dari kondisi jenuh penyebab akar busuk, pH turun, dan
tersebarnya penyakit tular tanah.
Walau sebenarnya dampak keberadaan bahan organik dan
korelasinya terhadap anasir-anasir kesuburan tanah jauh lebih
kompleks dari ringkasan di atas, paling tidak kemudian partisipan
mendapatkan gambaran utuh mengapa tilas mulyo itu penting.
Pengakuan Dosa
308 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dengan tanya jawab atau tanggapan dari partisipan. Sebagian
meminta arahan bagaimana harus memulai perbaikan. Beberapa
memilih untuk mengaku salah. Yang merasa berbuat dosa
beralasan bahwa menurutnya urusan kesuburan tanah tuntas
setelah pupuk kimia ditabur ke lahan. Tindakan teknis berikutnya
diambil tanpa kemudian berfikir panjang. Tidak jarang keputusan
itu lalu malah mengikis kesuburan biologi di tanah.
Tidak mempergilirkan tanaman, menggunakan pestisida
sistemik serampangan, enggan menyisakan mengembalikan sisa
tanaman sebagai bahan organik di tanah, hanya mengaplikasikan
pupuk kimia sebagai jalan untuk meningkatkan produktifitas
tanaman adalah beberapa teladan buruk yang dikerjakan mereka
sebelum mengerti makna kesuburan secara holistik. Kalau
dibedah lebih panjang, sebetulnya masih bertaburan cara-cara
budidaya yang menihilkan kelestarian tanah subur. Sementara,
cukup sampai itu saja.
Waktunya Pembuktian
Agar para pembelajar semakin sadar, di pertemuan kedua
saya minta mereka menyiapkan sampel tanah dari lahan-lahan
yang biasa digarap. Dari rumah, kemudian saya membawa plastik,
pH meter, TDS dan EC meter, dan aquades. Sampai lokasi, saya
jelaskan bahwa hari ini adalah waktunya membuktikan kesalahan
mereka dengan uji-uji sederhana.
Sebelum memulai tes, saya jelaskan kepada mereka bahwa
hara yang bisa dimanfaatkan tanaman hanya yang berupa ion,
bermuatan listrik negatif atau positif. Anion dan kation ini jika
tidak diadsorpsi oleh bahan organik tanah, maka akan mudah
hilang larut terbawa air hujan atau menguap tersengat sinar
matahari. Itu artinya, bila tanah miskin bahan organik maka
cadangan hara yang terdapat di tanah juga terbatas.
310 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pembuktian tersebut menguatkan komitmen untuk
menekuni sekolah tani yang diselenggarakan Sekti Muda. Tekad
untuk menjadi petani berkesadaran dengan mengkaji ilmu
pertanian mendasar semakin membulat. “Kami ingin mencari
tahu lebih banyak hal teknis yang dapat menjaga kesuburan tanah
dalam jangka panjang lalu menerapkannya dan mempelajari cara-
cara budidaya yang berdampak negatif untuk kelestarian tanah
kemudian meninggalkannya,” tegas salah seorang peserta. Di sisi
lain, kebulatan hati tersebut semakin menggelorakan semangat
saya untuk terus memperkaya wawasan mereka dengan ilmu-ilmu
berfaedah yang dibangun di atas filosofi tani yang benar.
Keseriusan para petani juga saya cermati nampak dari
perilaku di kelas. Tingkat kehadiran sampai pertemuan terakhir
mencapai 80%. 90% peserta membawa buku dan bolpen untuk
mencatat materi yang disampaikan. Di sela-sela penjelasan,
banyak partisipan mengajukan pertanyaan atas apa-apa yang
masih belum dipahami. Seluruh pembelajar masih bersedia
membayar iuran. Kas kelas itu kemudian dibelanjakan untuk
keperluan pendidikan. Seturut pengalaman saya bertahun-tahun
melakoni aktivitas penyuluhan, jarang petani dan kelompok
tani berperilaku demikian. Begitu antusias mengikuti pelajaran.
Bahkan bila sangat terpaksa harus absen, yang bersangkutan tetap
memberi kabar.
Selain karena karakter mereka yang telah lama terbentuk
untuk terbuka terhadap ilmu pengetahuan, saya menduga faktor
materi yang ditawarkan juga punya peran signifikan. Sebagaimana
pernah ditanyakan kepada Pak Sawab selaku ketua kelas, tidak
semua kegiatan peningkatan kapasitas yang ditawarkan pihak-
pihak yang berkepentingan mendapatkan atensi sebaik ini.
Mungkin karena memang sedikit dari penyelenggara yang
mengedepankan tujuan bagaimana menjadi petani berkesadaran.
312 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
takaran nasi sangat banyak sementara ukuran lauk sangat kecil,
besar kemungkinan nasi akan tersisa banyak karena lauk telah
habis sebelum satu porsi dituntaskan. Demikian pula yang terjadi
pada bahan organik yang nilai nisbah C/N begitu tinggi. Tentu
masih banyak senyawa karbon yang tidak dapat diurai karena
jumlah N yang terlalu sedikit.
Seturut keterangan petani yang selalu hadir di kelas, metode
pemaparan semacam itu sangat menolong partisipan memahami
ilmu-ilmu yang dipelajari. Tingkat penguasaan materi terlihat
meningkat. Ini kentara saat saya meminta peserta maju ke depan.
Ketika belum mengutilisasi analogi untuk membeberkan istilah-
istilah tertentu, sedikit petani yang bisa menjelaskan ulang.
Sebaliknya, jika dari awal saya gunakan perumpamaan, saat petani
saya tanya kembali, banyak yang berani maju memaparkan.
1 Versi awal tulsian ini berjudul Jogja (diobral dengan harga) Istimewa, dimuat pada Majalah
POROS Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta pada 2017. Pengembangan sedikit dilakukan
pada bagian akhir tulisan ini dan penerbitan ulang tulisan ini untuk tujuan pendidikan.
Gambar 1 Gubernur DIY menyataan Tidak Ada Tanah Negara di DIY
(Sumber: Bernas 15 September 2015)
316 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sebagai bagian dari persoalan ketimbang penyelesaian, misalnya:
memfasilitasi akumulasi tanah bagi swasta (Kasultanan dan
Pakualaman) menggunakan dana istimewa yang bersumber
APBN.
Lalu, dengan kenyataan seperti itu, bagaimana memahami
Keistimewaan DIY secara lebih utuh dan relatif tepat?
Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer menuturkan masa
depan nusantara lewat Arus Balik7, Ahmad Nashih Lutfi8 juga
menggunakan istilah Arus Balik untuk gambarkan kemunduran
politik agraria dalam konteks lokal DIY, tentunya sebagai akibat
dari arus balik laba dari negara-negara selatan ke negara-negara
utara. Di tengah gempita sejarah penguasa, pekik lirih Pramoedya
hendak mengingatkan bahwa Indonesia lahir di tengah wajah
nusantara yang sudah jauh berubah. Proklamasi kemerdekaan
Indonesia tak digemakan di ruang hampa, sebab peta geografi
ekonomi nusantara terus berganti rupa.
Propinsi DIY adalah arena kapital, yang di dalamnya hidup
watak dari tradisi kekuasaan yang khas dan terwariskan, yaitu:
hirarkis, akumulatif, dan predatoris, dalam bingkai rezim
Keistimewaan DIY.
Mengapa Keistimewaan DIY dalam konteks agraria kembali
diangkat lewat tulisan ini?
Sebab 1) Keistimewaan DIY tak hanya berdampak pada
hilangnya hak atas tanah sebagai akibat sekunder, tetapi juga pada
berbunyi “setelah perjanjian ini habis masa berlakunya, Pihak Kedua (masyarakat) sanggup
mengembalikan tanah tersebut kepada Pihak Kesatu (Kasultanan) dalam keadaan utuh
dan baik, serta tidak akan meminta ganti rugi atas bangunan/gedung dan tanaman yang
berada di atas tanah tersebut”.
7 Toer, Pramoedya Ananta. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra
8 Luthfi, Ahmad Nashih. 2015. Arus Balik Politik Agraria di Yogyakarta. Makalah disampaikan
pada FGD dengan tema “Pertanahan di DIY setelah Berlakunya UU NO 13 Tahun 2012” Tim
Pemantau DPR RI terhadap Pelaksanaan UU terkait Otonomi Khusus Aceh, Papua dan
Keistimewaan Yogyakarta, DPRI RI, 26 Oktober 2015.
9 Bandingkan Sabdatama HB X 10 Mei 2012 dengan naskah Perjanjian Giyanti 1755 dalam
Soekanto (1953)
318 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Otonomi Daerah dan Kebangkitan bekas Swapraja
Salah satu dampak dari Otonomi Daerah ialah kebangkitan
swapraja yang telah diakhiri melalui Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 194510, termasuk Kasultanan dan Pakualaman di DIY,
sebagaimana ditunjukkan oleh Gerry van Klinken (2010)11. Pasal
18 B UUD 1945 bisa dimaknai dan dimanfaatkan oleh bekas
swapraja untuk menghidupkan hak dan wewenang swapraja
atas sumberdaya agraria12 dan mengukuhkan feodalisme dalam
pemerintahan13, memakai argumentasi bahwa swapraja sama
dengan masyarakat (hukum) adat yang diatur hukum adat14
(padahal keduanya berbeda dalam prinsip dan watak).
15 Sabdatama Hamengku Buwono X tanggal 10 Mei 2012. Argumentasi ini gugur, lihat Antoro
(2014: 436)
16 Sembiring, Julius. 2012. Tanah Negara. Yogyakarta: STPN Press
17 Munsyarief. 2013. Menuju Kepastian Hukum atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman
Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Ombak. http://www.academia.
edu/6709379/Menjamin_Kepastian_Hukum_Atas_Tanah_Kasultanan_dan_Pakualaman
18 Rapat Dengar Pendapat Panja RUUK DPR RI dengan pihak Kasultanan, lihat Ibid, 2014: 437
320 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
meluhurkan citra feodalisme-kolonialisme (Soemardjan, 2009:
12-15) dan mengawetkan eksistensi dualisme hukum pertanahan
(Suyitno, 2006: 6-10)19.
19 Suyitno. 2006. ‘Hak atas Tanah Kraton Kasultanan Yogyakarta’. Bulletin LMDP LAND,
Edisi 01 November 2006-Januari 2007, p 6-10 http://www.tataruangpertanahan.com/file_
publikasi/655192453543-LAND-Media-Pengembangan-Kebijakan-Pertanahan-Edisi-01-Nov-
2006-Januari-2007-Hak-Atas-Tanah-Kraton-Kasultanan-Yogyakarta.pdf
20 Megaproyek MP3EI di DIY ialah Pertambangan Pasir Besi, megaproyek RPJMN ialah Bandara
Internasional di Kulonprogo dan Jalan Lintas Selatan Jawa.
21 Istilah Kapitalisme-feodal merujuk pada situasi di mana penguasaan agraria dan tata ruang,
birokrasi, kesadaran massa, dan pemerintahan lokal yang steril dari intervensi negara
berlangsung dalam sistem dan kultur feodal dilakukan dalam rangka akumulasi laba dan
reproduksi kapital. Lihat Wicaksanti, (2014: 22-28) dalam Majalah BALAIRUNG: “Dualisme
dalam Gerak Tranformasi Agraria” dan Antoro (2015: 13).
22 Antoro, Kus Sri. 2010. Konflik-konflik di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi
Otonomi Daerah (Studi Kasus DIY). IPB. Tesis (tidak dipublikasikan)
23 Yanuardy, Dian. 2012. Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land
Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia. International Conference
on Global Land Grabbing II October 17‐19, 2012 Land Deals Politics Initiative (LDPI),
Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, New York. https://www.
academia.edu/12288247/Commoning_Dispossession_Project_and_Resistance_A_Land_
Dispossession_Project_for_Sand_Iron_Mining_in_Yogyakarta_Indonesia
24 Aditjondro, George Junus. SG dan PAG Penumpang Gelap RUUK (epilog) dalam Warso Gurun (ed).
2013. Menanam Adalah Melawan. Yogyakarta: Paguyuban Petani Kulon Progo-Tanah Air Beta
322 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sementara Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten (Pakualaman)
tahun 2013-2015 sebagai berikut:
a. Tanah yang berasal bukan dari tanah desa sejumlah 13.519
bidang, dengan luas 59.331.371 m2
b. Tanah yang berasal dari tanah desa (tanah untuk kepentingan
umum, kas desa, tanah jabatan perangkat desa, dan tanah
pensiun perangkat desa) sejumlah 31.804 bidang dengan luas
209.464.462 m2 .
c. Hasil pendataan tanah Kasultanan dan Kadipaten
(Pakualaman) yang telahdilaksanakansejak 2013-2015 sejumlah
2.867 sertipikat sudah didaftarkan pensertipikatannya. Target
pada 2016 sejumlah 1.140 sertipikat.
d. Adapun untuk tanah Kasultanan di seluruh DIY pada tahun
2015, sebanyak 526 sertipikat Hak Milik dengan luas 2.188.310
m2 telah diserahkan kepada Kasultanan. Sedangkan untuk
tanah Kadipaten (Pakualaman) sejumlah 115 sertipikat Hak
Milik dengan luas 347.965 m2 sudah diserahkan kepada
Kadipaten (Pakualaman).
Mengingat DIY sedang mengembangkan desa wisata berbasis
tanah desa, maka sudah dapat dibayangkan jumlah kekayaan yang
diperoleh Kasultanan dan Pakualaman dari sewa tanah. Hal ini
belum termasuk kekayaan yang dihasilkan dari kerajaan bisnis
yang dimiliki oleh kedua badan hukum swasta tersebut.
Dalam konteks tahun 2023, perluasan penguasaan dan
pemilikan tanah juga menyasar tanah-tanah hak yaitu Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai masyarakat dan lembaga negara
(contohnya ialah Kodim 0734 Pamungkas di Kota Yogyakarta
tidak berdiri di atas tanah hak dengan alas tanah negara) yang
semula di atas tanah negara menjadi HGB/Hak Pakai di atas Tanah
Kasultanan/Pakualaman dan juga terhadap enclave bekas wilayah
Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran Surakarta yang berada
Gambar 2 Penyataan UNS atas Tanah Enclave di DIY telah Diserahkan Kepada
Kasultanan dengan Ganti Kerugian (Sumber: Materi Presentasi UNS, 2023)
25 Salah satunya ialah pernyataan akademisi UNS bahwa tanah-tanah enclave telah diserahkan
kepada Kasultanan dengan ganti kerugian pada tahun 1943 berdasarkan dokumen berbahasa
Belanda, pernyataan ini tanpa alat bukti serah terima dan saat itu Tanah Enclave dalam
penguasaan pemerintah militer Jepang yang meniadakan unsur kebudayaan Belanda.
Setelah pihak Kasultanan dan UNS ke Universitas Leiden untuk mencari bukti tersebut,
UNS mengundurkan diri dari kajian karena ketiadaan bukti yang mendukung pernyataannya
semula.
26 https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/08/30/510/1146939/403-tanah-enclave-eks-
kasunanan-surakarta-dan-mangkunegaran-resmi-jadi-sultan-grond
Dalam laporan BPN tahun 2023 sebelumnya SHM SG atas tanah enclave baru terbit 70 bidang
di Gunungkidul.
324 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 3. Pernyataan UNS bahwa Tanah Enclave perlu diatur dengan Instruki
Khusus (Sumber: Materi Presentasi UNS, 2023)
326 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Tanah-tanah berstatus HGB dan Hak Pakai bahkan Hak Milik27
dapat berubah menjadi HGB/Hak Pakai di atas HM Kasultanan/
Pakualaman melalui mekanisme pernyataan asal-usul dan
pelepasan hak oleh pemegang hak sebagai syarat perpanjangan
HGB/Hak Pakai dan pelepasan HM karena ketidaktahuan
pemegang hak atas haknya, surat pernyataan dan pelepasan hak
tersebut telah disediakan oleh pihak yang berkepentingan atas
tanah, bukan berasal dari pemegang hak.
Gambar 5 Upacara penyerahan SHM warga menjadi SHM Kasultanan Di Kulon Progo,
Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat.
27 https://www.krjogja.com/kulonprogo/1242474150/warga-ramairamai-kembalikan-tanah-
kraton
328 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 7 Pers Rilis Penyerahan SHM warga menjadi SHm Kasultanan atau SG
330 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 9. Lembaga Negara menempati tanah badan hukum swasta
Referensi
Antoro, Kus Sri. 2014. Legitimasi Identitas Adat dalam Dinamika
Politik Agraria’ Jurnal Bhumi No 39 Tahun 13, April 2014.
STPN Yogyakarta, p 427-443
Antoro, Kus Sri. 2015. Analisis Kritis Substansi dan Implementasi
UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY dalam
Bidang Pertanahan. Bhum:Jurnal Agraria dan Pertanahan.
Vol 1, No 1, Mei 2015, STPN Yogyakarta, p 12-32.
Burns, Peter. 2010. Adat, yang Mendahului Semua Hukum dalam
J.S. Davidson, D. Henley, S. Moniaga (ed) 2010. Adat dalam
Politik Indonesia, KITLV-Jakarta, Yayasan Obor, Jakarta
Fitzpatrick, Daniel. 2010. Tanah, Adat dan Negara di Indonesia
pasca-Soeharto: Perspektif seorang ahli hukum asing dalam
J.S. Davidson, D. Henley, S. Moniaga (ed) 2010. Adat dalam
Politik Indonesia, KITLV-Jakarta, Yayasan Obor, Jakarta
332 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
F.
Gerakan dan
Perjuangan Agraria
Curah Ide:
Sebuah Percakapan Imajiner
Shah Aburrojab
“Eh tapi, Shah. Aku pernah baca. Bahwa alasan anak muda gak
peduli dengan lingkungan, atau lebih jauh dari itu, isu-isu agraria
lainnya, adalah karena kita gak punya tanah. Kita gak punya rasa
memiliki tanah yang mana bagian dari bumi yang seharusnya
dirawat.”, sambung temanku waktu itu, di tengah sesi curah ide
untuk pengembangan organisasi.
“Masuk di akal,” responku.
“Jangankan yang gak punya tanah. Yang punya tanah
aja, atau yang punya akses untuk bisa bertani, misalnya,
belum tentu punya kesadaran lebih untuk merawat tanah
sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan. Lebih
banyak alasan-alasan kultural yang membuat anak muda
enggan melakukan kerja-kerja sederhana padahal besar
pengaruhnya ke kehidupan. Kita terjebak dengan standar
hidup tertentu yang cenderung lebih banyak berdasar
kepada hal-hal material.”.
“Nah iya, pernah dengar kan pasti kata-kata ini: ketika pohon
terakhir ditebang, ketika sungai terakhir mengering, dan ketika
ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa
uang tidak bisa dimakan.”.
“Persis. Jadi apa tawaran solusi dari kita untuk masalah
ini?”.
“Idealnya sih reforma agraria, ya. Tapi selain sudah lama
dipeti-mati-kan, ada yang bilang momentumnya udah kelewat.
Upaya-upaya untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria
sejati tetap bisa dilakukan, tapi sementara itu, mengarusutamakan
kebun kolektif bisa jadi alternatif gerakan kalau menurutku.”.
“Sepakat sih… Tapi siapa itu yang bilang momentumnya
udah kelewat?”.
“Ada lah, waktu itu aku sempat ikut diskusi online.
Penyelenggaranya lembaga riset independen gitu dari Bandung
sama Bogor. Dalam rangka haul guru besar land reform. Dan
maksudnya bukan pesimis, justru momentum itu kan juga bisa
kita bentuk.”.
“Wah, ngomong-ngomong soal guru besar, aku juga
sempat ketemu sama pemulia padi dari Lampung.
Usianya 70 tahun lebih, tapi masih berkelana keliling
Indonesia naik motor. Mungkin dia gak punya gelar
mentereng, tapi apa yang dilakukan keberpihakannya
jelas: kedaulatan petani. Dan karena dia pernah ketemu
Soekarno secara langsung, ‘petani’ as in ‘penjaga tatanan
negara Indonesia’ menurutku bisa dimasukkan sebagai
bagian dari pemaknaan.”.
“Terus apalagi yang kamu dapat setelah ketemu beliau?”.
“Jujur karena maraton ketemunya jadi agak kewalahan
ya, wisdom-nya tumpah-tumpah. Tapi satu hal yang
aku akan selalu dan harus selalu aku ingat adalah kita
336 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
berjuang itu untuk menang. Sama seperti yang tersemat
dalam azan: hayya alal-falah. Terlepas dari kemenangan
itu kelak akan kita saksikan langsung atau enggak.”.
“Sek, soal kemenangan itu kita saksikan langsung atau enggak
kayaknya aku juga pernah denger deh… Dari siapa ya?”
“Ya kan guru kita ada yang sama. Bahkan kita
dipertemukan oleh karena adanya beliau wkw.”.
“Oh iya, hahaha. Apa kabar ya beliau?”.
“Sehat kok, insyaAllah. Aku masih suka kontak. Terakhir
beliau ke Roma, Italia. Mewakili serikatnya. Pulang bawa
oleh-oleh cerita seperti biasa. Tapi balik ke soal kebun
kolektif tadi, dan guru bersama kita ini, ada hubungannya
gak?”.
“Jelas ada. Sedikit banyaknya kan kita dipengaruhi oleh karena
interaksi kita bersama beliau.”.
“Hahaha bener. Jadi kebun kolektif yang kamu maksud itu
gimana detailnya?”.
“Setiap desa atau kelurahan kan pasti punya tanah kas
dan organisasi karang taruna. Dari sana bisa jadi titik
berangkatnya. Adakan semacam sekolah tani yang
kemudian menjadi usaha tani atau lembaga tani sejenis
lainnya.”.
“Kalo sekolah, yang jadi gurunya siapa?”.
“Ya petani di desa/kelurahan itu. Jadi ini sarana untuk
regenerasi petani juga. Kan kita sama-sama senilai dengan ‘semua
guru, semua murid, semua tempat adalah ruang kelasnya’ wkw”.
“Kebayang… Setiap desa juga pasti ada kelompok tani.
Bisa tuh tipis-tipis pengorganisasian hahaha”.
338 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Elegi Para Nabi
Kus Sri Antoro
340 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
karena mendekatkan diri pada penipuan. Mereka percaya hidup
itu seharusnya nandur dan ngopeni, menanam dan memelihara.
Jadi, di mana pun mereka tinggal pekerjaan yang dipilih hanya
menanam atau memelihara. Demikian kepercayaan Gunarsih
isteri saya, Kang Gunarto kakak ipar saya, Kang Saimin dan Kang
Gunaryo sepupu isteri saya, dan tentu saja ayah mertua saya Pak
Gunadi, cucu dari orang rantai di Sawahlunto.
Saya bersyukur mereka menerima cara hidup saya. Saya pikir-
pikir, keluarga besar mertua saya ada benarnya. Bagaimana bisa
benda-benda dan pelayanan ditukar dengan berlembar-lembar
kertas bernama uang? Bukankah uang hanyalah alat tukar seperti
juga garam pada zaman dulu kala? Kenapa uang mesti dicari mati-
matian kalau akhirnya hanya ditukar dengan barang yang bisa
dihasilkan sendiri? Bukankah imbalan pertolongan seharusnya
bisa berupa segantang beras atau lauk, bukankah itu lebih nyata
dibutuhkan dalam hidup? Apa bisa uang langsung dimakan atau
disandang? Aneh lho, orang bekerja untuk mendapatkan uang
yang segera dibuang demi hal-hal yang langsung dibutuhkan.
Uang itu seperti upil, ingus kering, susah payah dicari hanya
untuk dibuang.
Keluarga besar mertua saya selalu berpakaian serba hitam
polos, sebagaimana sebagian kecil warga kampung ini. Konon
seluruh warga kampung ini berpakaian hitam, tetapi seiring
gerak zaman mereka yang berpakaian serba hitam berkurang.
Konon, warna pakaian yang mereka pilih mengandung pesan
bahwa pada dasarnya manusia itu tidak berbeda satu sama lain,
buktinya bayangan setiap manusia berwarna sama: hitam semata.
Tidak ada beda yang rambutnya gimbal dengan yang lurus, yang
bermata sipit dengan lebar, yang kulitnya gelap dengan cerah, yang
berkaki dua atau berkaki satu, yang dianggap genap dengan yang
dianggap ganjil; yang melek dengan yang merem; yang laki-laki
342 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kalau berhenti jadi bahan diskusi di mana-mana dan cuma jadi
kutipan dalam tulisan orang.
Saya akan mulai bercerita tentang para mahasiswa itu.
Kang Gunarto mengenalkan saya pada Mas Dahlan pada suatu
malam. Warga kampung ini biasa menyebut Kang buat lelaki
yang lebih tua dan Yu buat perempuan yang lebih tua sebagai
penghormatan, konon sebutan Mas berasal dari kotapraja, asalnya
Raden Mas pasangannya Raden Ayu. Tak jarang Kang Gunarto dan
Mas Dahlan menghabiskan waktu sampai hampir pagi dengan
bercakap-cakap. Mas Dahlan bercerita, dia sedang mencari
bahan untuk tugas akhir kuliahnya. Mas Dahlan tertarik pada
persoalan yang sedang dihadapi warga kampung ini, termasuk
berbagai peristiwa yang melatarbelakangi sehingga kampung ini
ditetapkan jadi kawasan tambang. Mas Dahlan itu tekun sekali,
apa saja dia tanyakan. Hal-hal yang sepele, misalnya kapan saja
hujan deras; bagaimana warga mencukupi kebutuhan air di musim
kemarau; apa nama dan mana letak sumber air penduduk; berapa
luas hutan di sekitar kampung; apa saja sumber penghidupan
penduduk baik tanaman atau hewan; berapa jumlah penduduk
yang menggantungkan hidup dari sumber air di gua-gua kapur.
Mas Dahlan juga repot-repot mengukur berapa banyak air yang
ditampung ember dalam waktu sekian detik di setiap sumber
mata air. Saya mengenal istilah debit dari keusilan Mas Dahlan,
kalau debitnya 10 liter per detik itu artinya dalam waktu satu
detik air yang dikeluarkan oleh sumber sebanyak 10 liter. Berarti,
pada musim kemarau debit airnya lebih sedikit ketimbang musim
hujan. Saya lebih gampang membayangkan istilah sedikit untuk
debit ketimbang besar dan kecil atau tinggi dan rendah, meski pun
menurut Mas Dahlan saya salah. Aneh ya, mobil itu melaju dengan
kecepatan tinggi, cepat kok bisa tinggi itu bagaimana? Kenapa
tidak dibilang, mobil itu larinya atau jalannya sangat cepat sekali.
344 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Empuk kedengarannya: Penyelesaian yang Saling Menguntungkan!
Saya senang mendengarnya, menenteramkan. Tapi tidak
bagi Kang Saimin. Menurut Kang Saimin, penyelesaian saling
menguntungkan itu tidak akan terjadi kalau yang diperebutkan
adalah ruang hidup dan sumber penghidupan pokok seperti
udara, tanah, dan air. Cara itu juga tidak berlaku apabila
kehidupan satu pihak adalah kematian bagi yang lain. “Kalau
penyelesaian yang saling menguntungkan itu artinya kepentingan
penduduk dan perusahaan bisa ada bersama-sama, apa bisa Bukit
Sela Pethak itu ditambang sekaligus tidak ditambang?” Kata Kang
Saimin. Menurutnya, mengharapkan penyelesaian yang saling
menguntungkan itu sama seperti naleni entut, mengikat kentut.
“Kalian, PT SI, mau nambang? Langkahi dulu mayatmu!”, begitu
ujar Kang Saimin.
Lalu, saya mengenal Mas Phitut dan Mbak Diah pertama kali
dua tahun lalu lewat Kang Gunaryo. Mas Phitut menyempatkan
datang ke kampung ini di tengah kegiatannya meliput sejarah
cengkih, lada, dan pala di Maluku. Mas Phitut itu kelihatannya
wartawan tetapi sebenarnya bukan. Mereka mahasiswa tingkat
dua, kalau lulus gelarnya master. Kalau saya bertanya apa
pekerjaannya, dia selalu menjawab ngawur : Pembunuh Bayaran!
Ah, mana ada pembunuh bayaran sebaik dia, tampangnya Mas
Phitut itu tidak seram, dia ramah, tidak tatoan, selera rokoknya
juga sama seperti orang-orang desa: kretek. Mbak Diah juga
begitu, selalu saja guyon, selalu bercanda. Kalau saya tanya
apa pekerjaannya dia menjawab: Pengangguran! Mana ada
pekerjaan pengangguran? Katanya ada, karena menganggur itu
kata kerja, maka pengangguran adalah orang yang pekerjaannya
menganggur. Konon, leluhur Mas Phitut tinggal di desa sebelah.
Kampung sebelah adalah kampung halamannya, tapi Mas Phitut
lupa leluhurnya tinggal di halaman berapa, makanya ia memilih
tinggal di kampung ini sambil terus mencari. Mas Phitut dan
346 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Kemudian saya berkenalan dengan Mas Dendi dan Mbak Dinda
yang akan membuat film dokumenter. Wah! Film dokumenter.
Semula saya mengira itu film yang akan dibintangi artis Jakarta
atau luar negeri, yang ceritanya juga tentang cinta, perkelahian,
perang-perangan, ternyata bukan. Apa menariknya kalau bintang
film itu Kang Saimin, Kang Gunarto, Yu Sanikem, Mbah Gunarti?
Apa menariknya kalau cerita film itu tentang kehidupan sehari-
hari warga kampung ini? Kalau Mbah Gunarti jadi dhanyang
atau ratu siluman terus Kang Gunarto jadi pahlawan yang
membasmi siluman dengan adu silat dan ajian-ajian hebat, saya
akan semangat nonton. Kalau yang dimaksud film dokumenter
itu nyoting (mengambil gambar) kegiatan sehari-hari maka setiap
hari saya nonton film tanpa harus repot-repot sotingan. Tapi Mas
Dendi dan Mbak Dinda punya alasan lain, katanya film itu penting
buat orang-orang di luar kampung ini, utamanya mereka yang
duduk di pemerintahan; guru dan mahasiswa; orang-orang el es
eng macam WALHI, LBH, dan JATAM; aktipis (warga luar biasa)
dan sipilis (warga biasa). Semakin banyak yang tahu kehidupan
warga kampung ini maka akan semakin banyak yang mendukung
warga kampung ini mewujudkan harapannya. Tapi harapan
kebanyakan warga kampung ini tidak menjadi bintang film, juga
tidak ingin terkenal, terutama mereka yang warga asli. Kalau saya
ingin bisa terkenal, harapannya ya dagangan angkringan saya jadi
lebih banyak laku.
Mas Dendi dan Mbak Dinda itu hebat, mereka bisa
mendatangkan artis sungguhan dari Jakarta. Cantik, wangi, dan
semok. Terus kalau bicara itu mesti pakai bahasa Indonesia, sama
seperti Mas Dendi dan Mbak Dinda. Saya ya tahu orang saya
pernah sekolah, makanya saya ditunjuk jadi penerjemah kalau
mereka menyoting Mbah Gunarti, Kang Gunarto, Kang Saimin, Yu
Sanikem dan yang lain-lainnya. Mereka yang disoting malah tidak
tahu kalau sedang jadi bintang film utama, mereka tahunya ikut
348 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kata-kata umpatan tersedia untuknya. Sementara, ketika saya
bilang: Panjenengan segawon, Gusti! Saya akan dianggap melucu
karena menempatkan sesuatu dengan keliru, persis guyonan Mas
Dahlan: “Man, Giman tolong belikan sandal ukuran 40 gigabyte!
Tidak usah ngebut, kecepatanmu cukup 30 kbps saja.” Ternyata
bahasa mengandung kekuasaan. Untungnya dalam keluarga besar
mertua saya bahasa seperti gelaran tikar: semua duduk setara,
sopan santun ditentukan dari perilaku.
Lain lagi dengan Mas Kevin. Dia seorang mahasiswa
ilmu hukum yang sedang menjalankan tugas dari organisasi
kemahasiswaan. Menurutnya, organisasi di mana dia berkegiatan
ada di mana-mana dan sejak lama mendampingi masyarakat
yang sedang bersengketa dengan pemerintah atau perusahaan,
biasanya yang tinggal di perkebunan; di sekitar hutan; di pesisir;
di bantaran kali; bahkan para buruh pabrik. Sejak datang
ke kampung ini satu tahun lalu, Mas Kevin kerap membikin
penyuluhan hukum. Semacam sekolah yang melayani tanya jawab
perkara. Banyak yang ikut, terutama yang menghadapi sengketa
tanah. Ladang-ladang warga berbatasan dengan hutan jati yang
dikuasai Perhutani. Menurut cerita simbah-simbah, para tetua
desa, sebelum ada Perhutani warga sering memungut hasil hutan
untuk mencukupi kebutuhan hidup, seperti kayu bakar; rumput-
rumput pakan; dan kepompong ulat jati di musim awal penghujan
untuk dimakan. Begitu hutan itu dikuasakan kepada Perhutani,
warga tidak boleh lagi masuk ke hutan dengan alasan menghindari
pencurian kayu. Aneh, berdagang saja dianggap ora ilok atau tabu
kok warga dicurigai mencuri. Nah, Mas Kevin ini yang kemudian
membalikkan keadaan, bahwa sesungguhnya Perhutani itu yang
mencuri hak hidup warga yang turun-temurun bisa menjaga
kelestarian hutan. Katanya, Perhutani itu perusahaan, bukan
negara, bukan warga, asli warisan kumpeni.
350 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dan aparat, bukan warga kampung. Berapa lama orang akan
dipenjara kalau bisa menghentikan tambang gamping dengan cara
menghancurkan alat tambang atau pabrik semen? Kalau dihukum
mati, bukankah setiap manusia pasti mati? Berjuang melalui jalur
hukum itu susah-susah gampang. Kalau pengadilan memang
tidak bisa dibeli, maka sasaran warga harus tepat benar, warga
harus tahu apa yang mereka tuntut dan bagaimana menuntutnya,
warga harus tahu kelemahan lawan. Tapi kalau pengadilan bisa
dibeli pemodal, maka jangan harap warga akan menang. Mengapa
pengetahuan justru membuat orang makin takut, bukan makin
berani? Apa yang salah ya? Ketakutan warga adalah senjatanya
penguasa. Semakin takut, warga semakin gampang dikalahkan.
Mas Kevin sering mengajak warga yang menolak tambang
gamping dan pembangunan pabrik semen untuk unjuk rasa. Dia
sering mewakili warga untuk bertemu dengan pemerintah atau
perusahaan. Dalam setahun ini kami sudah delapan kali unjuk rasa
tetapi masih juga belum didengarkan. Terlalu sering dan tanpa
hasil, rasanya jadi seperti perayaan saja, merayakan Hari Tani,
Hari Buruh, Hari Bumi, Hari Air, Hari HAM, Harmoko: hari-hari
omong kosong! Jangan-jangan hari-hari penting dibikin memang
hanya untuk diperingati, bukan untuk diperjuangkan maknanya
oleh yang bikin hari. Unjuk rasa artinya kami meninggalkan
pekerjaan sehari-hari, kalau terlalu sering unjuk rasa kami bisa
tidak makan. Mas Kevin lalu membuat petisi kepada gubernur
dan presiden, meminta mereka menghentikan rencana tambang
dan pembangunan pabrik semen karena ada kepentingan kaum
kapitalis di balik dua proyek itu, padahal ketua proyeknya adalah
presiden. Saya bertanya pada Mas Kevin, kaum kapitalis itu siapa?
Katanya, mereka adalah kaum pemodal yang doyan mengeruk
laba, para pemilik perusahaan, para orang kaya, kaum serakah,
kelas menengah. Itu berarti saya termasuk kaum kapitalis, karena
angkringan kecil ini punya saya, perusahaan saya yang saya modali
352 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dari keturunan sesepuh (tetua, leluhur) kampung ini. Apakah
menantu kelas menengah termasuk kelas menengah meskipun
hidupnya susah?
Mas Fatah tinggal untuk bertani dengan para penduduk.
Kabarnya dia juga seorang mahasiswa jurusan seni rupa, tetapi
anehnya dia tidak punya ciri-ciri mahasiswa yang saya kenal. Mas
Fatah berambut gondrong, beberapa bagian gimbal, tubuhnya
penuh tato, bertindik, suka pakai baju dan celana warna hitam atau
merah, dan doyan minum arak bikinan sendiri. Suatu ketika saya
pernah iseng bertanya mengapa Mas Fatah datang ke kampung
ini untuk bertani. Katanya ia ingin membantu perjuangan warga
dengan cara menjadikan nasib warga kampung ini jadi nasibnya,
sehingga mau tak mau dia harus membela nasibnya sendiri.
Semboyan Mas Fatah bagus sekali: Seni menentang tirani!
Di antara para mahasiswa itu, Mas Fatahlah yang hasratnya
paling mulia, tapi juga yang paling aneh. Coba dipikir lagi. Mas
Fatah menjadikan nasib kami sebagai nasibnya. Sakit kami
menjadi sakitnya. Siapa yang mengganggu hidup kami sama saja
mengganggu hidupnya. Maka, ia mau tak mau membela dirinya,
di saat yang sama ia juga membela kami. Tetapi Mas Fatah lupa,
kepeduliannya berasal dari imajinasi (istilah ini dari Mas Dendi),
dari membayangkan, dari angan-angan. Kepeduliannya bukan
didasari oleh kenyataan yang ia alami dan rasakan, tetapi dari
fantasi (istilah ini dari Mas Phitut). Mas Fatah tidak benar-benar
menjadi kami. Ia tak memilih menjadi warga kampung ini. Tidak
menikah dengan warga kampung ini. Tidak beralih pekerjaan
menjadi petani. Jadi, Mas Fatah membela imajinasinya, membela
angan-angannya sendiri. Bagaimana bila pada akhirnya kenyataan
tak seperti angan-angannya? Apakah Mas Fatah akan lari dari
kenyataan? Saya tidak mengenyam Kenyataan dalam Dunia
354 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dekati. Di kampung ini saja setidaknya ada lima kelompok warga
yang tidak saling cocok karena mengikuti guru mereka masing-
masing, para mahasiswa itu. Kang Gunarto jadi panutan warga
karena dinilai bisa ngemong, bisa menyeimbangkan tarik ulur
kemauan banyak pihak. Dia juga dekat dengan semua kelompok,
makanya Kang Gunarto itu jadi rebutan. Barangsiapa bisa
memengaruhi Kang Gunarto maka ia bisa memengaruhi seluruh
warga.
Lain Kang Gunarto lain lagi Kang Gunaryo. Kang Gunaryo
susah ikut mahasiswa, dia sudah ikut Mbah Suro sesepuh yang
salin sandhangan di Sawahlunto. Kang Gunaryo dan Kang Gunarto
selalu berselisih paham tentang siapa orang asli dan bagaimana
seharusnya menjadi orang asli kampung ini. Kang Gunarto
memang keturunan Mbah Suro, tetapi sudah menikmati televisi,
naik kendaraan bermotor, dan menggunakan telepon. Artinya
dia menggunakan uang dalam hidupnya. Kang Gunarto dinilai
oleh Kang Gunaryo telah menyimpang dari ajaran asli kampung
ini, karena menganggap pemerintah dan pengusaha bukanlah
saudara melainkan lawan. Kang Gunaryo tidak punya televisi,
tidak menggunakan telepon, dan ke mana-mana jalan kaki. Kang
Gunaryo suka memakai kaos bergambar Mbah Suro. Dia bangga
sekali menjadi keturunannya dan meneruskan ajarannya. Konon,
menurut Kang Gunaryo, Mbah Suro mengajarkan welas asih
(belas kasih) sesama manusia, siapapun dia. Makanya bagi Kang
Gunaryo, kehadiran para mahasiswa, pemerintah, dan pengusaha
tambang dan semen itu tidak terlalu jadi masalah karena yang
penting ia menjalankan ajaran welas asih serta tetap nandur dan
ngopeni. Ketika pemerintah membuatkan patung Mbah Suro di
dekat balai desa dan memberi bantuan ternak sapi, Kang Gunaryo
sangat senang. Kang Gunaryo juga punya banyak pengikut,
terutama generasi tua. Tahun 1999 lalu Kang Gunaryo diundang
dalam pertemuan masyarakat adat nusantara di luar Jawa.
356 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Suatu hari, seorang budayawan dari Jogjakarta (ia masih
satu keluarga besar dengan Mas Dahlan) didatangkan oleh
pemerintah dan pengusaha untuk mengisi sarasehan (pertemuan
untuk persaudaraan) bersama warga kampung, untuk memberi
penyadaran kepada warga bahwa pembangunan itu baik dan
berguna, termasuk pembangunan tambang dan pabrik semen.
Budayawan itu bilang, pemerintah dan pengusaha itu tamu
yang harus dihormati dan dimuliakan, karena menghormati
dan memuliakan tamu merupakan ajaran luhur dari leluhur
kampung ini, ajaran Mbah Suro. Sebagian warga asli mengiyakan,
sebagian menggumam kecewa. Pada kesempatan itu budayawan
mengulangi janji pemerintah dan pengusaha, “Sedulur-sedulur,
Saudara-saudara, jika nanti ada pabrik semen di sini, maka
Sedulur-sedulur akan dibikinkan rumah sakit dan sekolah.” Kang
Saimin langsung bilang begini dalam bahasa Jawa ngoko, bahasa
lantai satu, “Sebentar, Cak (Kang, khas Jawa Timur). Kalau ada
rumah sakit berarti ada orang sakit, kalau ada sekolah berarti
ada orang bodoh. Kami tidak mau sakit dan tidak mau bodoh!”
Pertemuan itu langsung bubar begitu Kang Gunarto minta ijin
pulang diikuti seluruh warga. Kang Gunaryo tampak bimbang
tetapi menyusul pulang.
Saya jadi mengerti kenapa kaum miskin disingkirkan.
Kemiskinan itu disandang orang miskin, dengan membasmi orang
miskin maka kemiskinan akan ikut terbasmi. Lagipula, kemiskinan
adalah satu-satunya harta orang miskin, kalau kemiskinan itu
dirampas melalui program pengentasan kemiskinan, mereka tak
punya apa-apa lagi. Betapa teganya! Tapi pemerintah memang
tega. Mereka memberikan kredit lunak untuk berbagai usaha
kecil agar kaum miskin berpenghasilan cukup (syukur-syukur
lebih dari cukup) sehingga mampu membelanjakan uangnya
untuk barang dan jasa yang harganya semakin tinggi. Sisanya
bisa ditabung di bank untuk membiayai pembangunan, baik itu
358 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
seperti adu tarik tambang. Sama-sama kuat, sama-sama tak mau
menyerah.
Saya sekarang tahu apa bedanya Rakyat Pejuang dan Pejuang
Rakyat. Rakyat Pejuang adalah rakyat yang memperjuangkan
nasibnya, sedangkan Pejuang Rakyat adalah orang yang sedang
memperjuangkan nasib rakyat. Koran-koran dan televisi
membuat penampilan Pejuang Rakyat persis Rakyat Pejuang,
seolah-olah Pejuang Rakyat mewakili Rakyat Pejuang segenap-
genapnya, tampil paling depan dalam setiap liputan. Tentu saja
tidak mungkin kalau Kang Saimin dan saya yang muncul di
koran-koran atau televisi, kami ini tidak pintar bicara dan lusuh.
Pejuang Rakyat sebenarnya rakyat juga kalau penduduk Indonesia
digolongkan jadi pemerintah atau penguasa dan rakyat, tetapi
Pejuang Rakyat jauh di sana, tidak menanggung apa yang Rakyat
Pejuang tanggung, tidak pernah benar-benar menjadi rakyat, dan
punya kesempatan lari andai merasa bosan atau gagal.
Kang Gunarto kini terkenal di mana-mana. Namanya tertera
di buku-buku Mas Kevin, di blognya Mas Phitut, di cerita panjang
Mbak Diah, di laporan tugas akhir Mas Dahlan, di film-film Mas
Dendi dan Mbak Dinda, di lukisan Mas Fatah yang dipamerkan
di luar negeri. Ucapannya dikutip di koran-koran, wajahnya
beberapa kali muncul di layar televisi. Setiap selesai bicara selalu
disusuli tepuk tangan pendengarnya. Kang Gunarto kebanggaan
mereka bersama. Artis yang bersinar di antara nasib kaum melarat
yang kelam. Rakyat Pejuang yang hendak diubah menjadi Pejuang
Rakyat. Ibarat wayang kulit, Kang Gunarto sudah dimasukkan ke
kotak tapi seolah-olah masih dilakonkan.
Andai saja saya jadi Kang Gunarto, untungnya saja tidak. Saya
pasti akan sibuk pergi ke sana ke mari, angkringan akan terlantar,
ditinggalkan para pelanggan. Orang-orang pintar itu tentu saja
akan pergi setelah tujuan mereka tercapai. Kang Gunarto bercerita,
360 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sementara, sebab nabi akhir zaman telah lama salin sandhangan.
Semasa sekolah, kaum sekolahan itu tinggal kelas saja tidak
pernah, apalagi turun kelas. Mereka selalu naik kelas, merangkak
menuju puncak. Untungnya saya putus sekolah, meski pun tak
pernah putus belajar.
Oh ya, saya lupa mengenalkan diri, nama saya Kawit. Artinya
kira-kira Si Pemula.
Watukodok, 6 Maret 2016
untuk: MuhAff & Dian Lisistrata, sepasang elang di langit fajar
nan merah hitam.
2 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170129171404-20-189849/melawan-ancaman-
limbah-batubara-di-pltu-indramayu [dikases 12/3/2021]
3 Wawancara Ajid, ketua kelompok nelayan Desa Ujung Gebang, Sukra, Indramayu (2018).
4 Wawancara Ajid, ketua kelompok nelayan Desa Ujung Gebang, Sukra, Indramayu (2018).
364 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
limbah debu batubara. Informasi yang didapat dari Puskesmas
Sukra dalam kurun waktu 3 tahun, antara tahun 2015 sampai 2017,
angka penyakit ISPA terus naik, salah satunya di Desa Tegal Taman
dan Sumur Adem. Tidak sedikit orang tua yang mengeluhkan dan
harus mengeluarkan biaya berobat bulanan bagi anaknya mulai
dari Rp. 150.000 sampai Rp. 250.000. Sehingga hal ini menjadi
beban tambahan bagi mereka.5
Untuk mengoperasionalkan PLTU I berkapasitas 3 x (300-
400) MW, membutuhkan bahan bakar batubara sekitar 14.400
ton/hari. Sedangkan batubara yang terbuang berupa abu jatuh
mencapai 216 ton/hari, dan abu terbang yang keluar dari cerobong
mencapai 1211,76 ton/harinya.6 Dampak dari adanya limbah
batubara tersebut sangat jelas menimbulkan suhu udara menjadi
semakin panas karena adanya peningkatan karbondioksida (CO2)
dan efek rumah kaca yang dilepaskan ke duara. Tanaman jadi
semakin tidak subur dan terjadinya hujan asam serta mencemari
air laut beserta ekosistemnya.
5 Riset Dokumentasi Anak Dampak PLTU 1 Indramayu Tahun 2017, Walhi Jawa Barat, hal: 9-10.
6 Ibid. Hal: 13.
366 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Namun, pemasangan bendera merah putih itu justru
dimanfaatkan oleh pihak lawan. Selang tiga hari kemudian,
pada 17 Desember 2017, nama-nama warga mulai dipanggil
pihak kepolisian setempat seperti Sawin, Sukma dan Nanto atas
tuduhan pemasangan bendera merah putih secara terbalik. Pada
suatu malam dalam tidur nyenyak bersama keluarga, mereka
dijemput paksa oleh aparat yang dilengkapi senjata laras panjang
di rumahnya masing-masing layaknya menangkap seorang
kriminal.8
Sawin, Sukma dan Nanto akhirnya resmi ditahan di balik
jeruji besi tepat pada 24 September 2018, hari di mana peringatan
Hari Tani Nasional dirayakan di seluruh penjuru negeri. Mereka
harus menjalani hukuman masing-masing enam bulan masa
tahanan. Padahal jika melihat Pasal 66 UU Nomer 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun
digugat secara perdata.”9
Kabar penangkapan terhadap ketiga buruh tani sekaligus
pejuang lingkungan ini, memicu gelombang protes warga lainnya
dan menggalang solidaritas dari berbagai kalangan. Termasuk
didalamnya ada dari kalangan mahasiswa, pemuda hingga
komunitas street punk di sekitaran Indramyau dan Cirebon.
Sehingga kabar penangkapan itu menjadikan gelombang
protes kian lebih massif. Aksi demi aksi pun mulai dilakukan
baik dari warga maupun masa yang turut solidaritas. Bahkan
mereka menggunakan medium seni sebagai bentuk aksi protes
seperti mengadakan acara musik, mural di rumah-rumah warga
terdampak higga terlibat langsung dala aksi jalanan.
8 https://www.mongabay.co.id/2018/01/17/berkonflik-dengan-pltu-indramayu-ii-berbuntut-
penangkapan-warga-mekarsari-lapor-komnas-ham/ (dikases 12/03/2019).
9 Ibid.
10 Mellanova, Denis Riantiza , Jadwal Operasional PLTU 2 Ditunda, Bisnis Indonesia (diakses
22/6/2018).
11 https://bisnis.tempo.co/read/1441329/pemerintah-hapus-limbah-batu-bara-dari-daftar-
bahan-beracun/full&view=ok (diakses 22/6/2021).
368 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menunggu giliran untuk dijadikan babak pemusnahan massal.
Padahal mereka adalah orang-orang yang gigih mempertahankan
tanah airnya. Namun slogan tanah air Indonesia justru menjadi
maut yang membunuh para manusia dan alam yang selalu
dipromosikan negara.
372 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sosial/politik atau dimanfaatkan untuk itu, misalnya Islamisme
Muhammad bin Abdullah; Kristianisme Yesus Kristus; atau
Revolusi Iran rezim Syi’ah, namun hal-hal itu sama sekali bukan
Materialisme Dialektis yang memuat kritik-otokritik berbasis
falsafah materialisme. Watak khas dari Materialisme Dialektis
ialah mengharuskan perubahan, dengan kata lain Materialisme
Dialektis tegak berdiri dengan kaki revolusi.
Tak semua orang berani berpraktik tanpa pengetahuan
pendahuluan, hal itu seperti melangkah tanpa mengetahui jalan.
Tak siap dengan berbagai kejutan, termasuk tak siap mendapati
kesalahan diri. Wajar bila belajar tak menarik bagi mereka yang
enggan menghadapi misteri, sementara itu Materialisme Dialektis
menawarkan misteri sepanjang proses mengetahui. Akibatnya,
pengetahuan Idealisme bukan berasal dari mengalami, namun
sekadar mempelajari. Begitulah jalan pikiran dan perilaku kaum
penganut Idealisme: ide menuju aksi, pengetahuan menuju
praktik.
Mari menyelam agak dalam di lautan Materialisme Dialektis,
mereguk hukum kontradiksi yang manis.
Konon, lelaki yang tak mengalami gangguan fungsi reproduksi
mampu melakukan dua hal yang bertentangan sekaligus: “bangun”
sambil tidur dan “berdiri” sambil duduk. Apakah ini yang disebut
kontradiksi? Sekilas ya, namun sesungguhnya bukan. Kontradiksi
bukan soal permainan makna maupun kata.
Benar bahwa kontradiksi adalah hubungan dua hal yang
bertentangan, yang mana kutub yang satu ada karena keberadaan
kutub lawannya. Mereka yang tinggi ada karena mereka yang
pendek, sementara tinggi dan pendek saling bertentangan.
Begitu juga untuk pertambahan dan pengurangan, perkalian
dan pembagian, ion positif dan ion negatif, induksi dan deduksi,
kritik dan otokritik, kaya dan miskin, lama dan baru, penguasa
374 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kepada para buruh? Juragan merasa punya kehendak bebas untuk
membagi atau tidak membagi kekayaan, dan ia memilih untuk
tidak membaginya. Apakah di alam sosial hukum alam yang
bekerja di alam fisik tak berdaya di hadapan kehendak bebas yang
sama sekali bukan materi (murni ide)? Ya. Lalu apa yang harus
dilakukan agar peristiwa di alam sosial selaras hukum alam?
Materialisme Dialektis menawarkan gerak pembalikan situasi yang
kemudian lazim dikenal sebagai perlawanan, perjuangan kelas,
atau revolusi—ibarat bumi yang ‘menolak tunduk sepenuhnya’
pada gravitasi matahari dengan cara menjaga jarak dengannya
dalam lintasan revolusi. Di tangan Materialisme Dialektis,
kehendak bebas produk Idealisme ‘dibajak’3 menjadi daya gerak
menuju keseimbangan dinamis.
Bagi Shifu Mao, Hukum Kontradiksi yang bekerja baik di alam
sosial maupun alam fisik penting untuk disadari sebagai kenyataan
yang abadi dan melahirkan daya gerak. Kontradiksi bukan
semata-mata perbedaan, sebab berbeda tak selalu bertentangan.
Kontradiksi bukan konflik yang usai dengan resolusi, sebab
konflik gejala yang sementara sedangkan kontradiksi abadi. Itulah
mengapa konflik yang muncul dari kontradiksi tidak ada win win
solution, tak dapat diselesaikan dengan mendamaikan dua kutub
yang bertentangan dalam hukum kontradiksi. Perbedaannya
dengan Materialisme non Dialektis, pergerakan menuju
3 Di dalam The 18th Brumaire of Louis Bonaparte (1852), Marx menyatakan bahwa manusia
memang mempunyai kebebasan untuk bertindak, namun tidak bersifat mutlak karena harus
dipraktikkan dalam konteks suatu sejarah dan struktural yang telah diwariskan melalui
pertarungan-pertarungan di masa lalu (lihat Richard Robinson 2012, xxviii). Menurut hemat
saya, pernyataan ini tidak menjangkau alam kesadaran kaum pemodal yang menghisap dan
menjadi sasaran gerak pembalikan situasi oleh kaum proletar. Pernyataan itu diperuntukkan
bagi penganut Materialisme Dialektis, bukan lawan-lawannya. Kaum pemodal enggan
mempraktikkan kehendak bebasnya dalam konteks sejarah dan struktural yang dipikirkan
oleh Marx, mereka memilih untuk merawat situasi yang menguntungkan posisinya meskipun
prasyarat-prasyarat revolusi tumbuh subur. Penciptaan ruang produksi baru dan model
penghisapan mutakhir dengan ragam bentuknya, yang mendahului sejarah dan struktural
warisan zaman, merupakan contoh nyata hal tersebut. Maka, dalam Idealisme, kehendak
bebas manusia dapat dilekatkan atau tidak sama sekali dengan konteks sejarah dan struktural
dari zaman ke zaman. Dalam posisi serba nisbi ini, kehendak bebas Idealisme sudah
sepantasnya dibajak sebagai alat gerak pembalikan situasi.
376 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
zaman modal secara khusus menjadi perhatian Materialisme
Dialektis karena ia menjadi jantung peradaban.
Dalam tubuh angkatan bersenjata di suatu negara yang sarat
bisnis militer, dalam tubuh rumah tangga yang mana suami
dominan dalam segala hal terhadap anggota keluarga, dalam
tubuh partai atau organisasi yang elitis di mana pimpinan/senior
adalah panutan yang dipatuhi dan anggota/kader adalah manutan
yang mematuhi, maupun dalam tubuh sosial dan kebudayaan
yang patriarkis kadang kala tak selalu terjadi gerak perlawanan
internal meski terdapat kontradiksi di dalamnya. Lalu, apa syarat
kontradiksi menjadi daya gerak? Kesadaran bahwa ketimpangan-
ketimpangan itu adalah masalah, Shifu Mao menyebutnya sebagai
kesadaran kelas tertindas atas penindasan yang dialaminya, yang
bersumber dari hubungan ekonomi politik yang menghisap
(eksploitatif) dan diawetkan oleh kelas penindas. Pengawetan
penindasan itu bisa juga dilakukan oleh kelas tertindas dengan
cara enggan sadar dan ogah melawan, merawat ketakutan, atau
pasrah pada takdir yang tak kunjung hadir. Ikhtiar menjadi
wajib bagi setiap penganut Materialisme Dialektis. Bagi mereka,
kesabaran ialah usaha tiada henti, bukan menyerah pada keadaan.
Di sinilah, hubungan ekonomi politik yang melekat pada
hukum kontradiksi (yang bekerja dalam tubuh sosial) dan
kesadaran kelas menjadi dasar untuk menilai apakah suatu gejala
ketimpangan, pertentangan atau perbedaan memenuhi syarat
menjadi revolusi. Apabila ekonomi politik atau kesadaran kelas
absen, maka revolusi kemungkinan besar tak terjadi.
Menurut penilaian non penganutnya, Materialisme Dialektis
mendukung positivisme, pro modernisme, pro industri, serba
dwi kutub (oposisi biner) atau dwi warna (spektrum hitam putih)
hingga meniadakan alternatif cara pandang ketiga atau posisi
antara, linier dan strukturalis, politis dan eklektik (mencomot
378 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Yogyakarta didirikan oleh VOC dan Sultan Hamengku Buwono I
diangkat olehnya.
Kelahiran Kesultanan Yogyakarta, sebagai pusat tata nilai;
kekuasaan; dan identitas, selaras dengan maksud dan tujuan
VOC yang diteruskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
keduanya penjajah, pelaku kolonialisme. Demikian pula,
Kadipaten Pakualaman yang muncul di era pendudukan Inggris.
Sumber daya alam, termasuk tanah, dalam penguasaan rakyat
secara fisik, namun secara politik rakyat tunduk pada Bupati yang
patuh pada Sultan, Sultan taat pada penjajah. Apa yang tampak
sebagai feodalisme di DIY bukan feodalisme yang sesungguhnya
(yang umum dipahami sebagai tatanan prakapitalis yang lepas
dari kepentingan zaman modal). Feodalisme di DIY merupakan
perantara bagi peternakan modal melalui kolonialisme. Sehingga,
zaman modal sudah melatari wajah Yogyakarta sejak ia dilahirkan.
Kolonialisme memerlukan ruang baru untuk menghasilkan
barang dagangan, upaya itu menceraikan rakyat dari tanah yang
digarapnya. Eyang Marx menyebutnya Akumulasi Primitif. Zaman
modal bertahan hampir tiga abad kemudian, kini Kolonialisme
berganti rupa menjadi Keistimewaan DIY, menghadirkan
Akumulasi Primitif melalui Perampasan—[Primitive]
Accumulation by Dispossession; istilah ini dikembangkan oleh
David Harvey (2003)4, yang menyebabkan setiap jengkal Tanahmu
Bukanlah Milikmu!5
Bahkan, Keistimewaan DIY dibangun dari imajinasi bahwa
Yogyakarta ialah negara yang merdeka dan berdaulat dari
penjajahan (Sabdatama Hamengku Buwono X, 10 Mei 2012),
imajinasi ini mengingkari bukti-bukti sejarah yang tercantum
dalam akta kelahiran Kesultanan Yogyakarta, yaitu: Perjanjian
4 David Harvey. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
5 www.selamatkanbumi.com//id/tanahmu-bukanlah-milikmu
6 a) www.selamatkanbumi.com//id/pada-mulanya-adalah-dusta-bagian-pertama/
b) www.selamatkanbumi.com//id/pada-mulanya-adalah-dusta-bagian-kedua/
380 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Kesultanan dan Pakualaman produk UU Keistimewaan DIY
di bawah kedaulatan NKRI, berbentuk badan hukum swasta
dalam fungsi warisan budaya (Badan Hukum Warisan Budaya,
BHWB) sehingga memungkinkan menjadi subyek hak milik
atas tanah, dan baru lahir tahun 2012. Pemimpin kedua BHWB
ditetapkan sebagai Gubernur (Sultan) dan Wakil Gubernur
(Paku Alam). Khusus Kesultanan, ketika menjabat sebagai
Gubernur DIY Herjuno Darpito bergelar Hamengku Buwono
X (berdasar Perjanjian Giyanti 1755) dan ketika menjabat
sebagai Sultan ia bergelar Hamengku Bawono Ka-10 (berdasar
Sabda Raja 2015).
Selain sebagai kepala daerah, posisi Sultan dan Paku Alam
juga sebagai pemimpin kebudayaan dan pebisnis. Catatan
mengenai kerajaan bisnis yang terkait Kesultanan dan
Pakualaman sudah ditulis oleh Richard Robinson (2012)7
dan George Junus Aditjondro (2011)8. Kepentingan ekonomi
politik Kesultanan dan Pakualaman dalam Keistimewaan DIY
adalah kepemilikan atas tanah di seluruh DIY dan kontrol
terhadapnya melalui tata ruang. Tanah-tanah yang dimiliki
oleh Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman disebut Tanah
Kasultanan (Sultanaat Grond, SG) dan Tanah Kadipaten
(Paku Alamanaat Grond, PAG), pengertian dan batasannya
tertuang dalam Peraturan Daerah Istimewa DIY No 1 Tahun
2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan
dan Tanah Kadipaten.
Sebelum UU Keistimewaan DIY diterbitkan, pihak yang
menggunakan tanah-tanah yang dianggap sebagai SG
maupun PAG diwajibkan memegang surat pinjam pakai
382 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
2.867 Sertipikat Hak Milik). Dinas ini dibentuk Pemda DIY
untuk melayani kepentingan Kesultanan dan Kadipaten
dalam hal inventarisasi, identifikasi, dan mendaftarkan
tanah-tanah yang akan dimiliki dengan status SG atau PAG
kepada lembaga pertanahan negara, melengkapi tugas BPN
yang berada di bawah kewenangan menteri Agraria dan Tata
Ruang. Dalam Accumulation by Dispossession, Dispertaru
adalah eksekutor lapangan berlabel negara.
3. Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Wilayah BPN DIY,
dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
BPN bertugas melegitimasi SG dan PAG dengan menerbitkan
Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama Kasultanan atau
Kadipaten Pakualaman. BPN tidak berhubungan secara
struktural dengan Gubernur karena BPN perpanjangan
dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Namun, BPN
di DIY dalam praktiknya patuh pada Gubernur DIY atau
kepada Sultan Hamengku Bawono ka-10 sebagai raja karena
terdapat relasi Politik Patrimonial antara raja dengan para
pejabat struktural NKRI di DIY, melalui relasi Sultan-Abdi
Dalem. Arie Yuriwin, SH atau Kanjeng Raden Tumenggung
(KRT) Nyi Kismo Manggalawati, mantan Kepala BPN
Kantor Wilayah DIY adalah abdi dalem Sultan, demikian
pula mantan Kepala BPN RI Hendarman Supandji. Ketika
Hamengku Buwono tidak bisa memerintah pejabat negara
RI dalam kedudukannya sebagai kepala daerah, maka ia bisa
memerintah abdi dalemnya dalam kedudukannya sebagai
Sultan. Abdi Dalem Sultan tidak hanya meliputi pejabat
struktural BPN tetapi juga Bupati hingga kepala dusun,
kepala kejaksaan, akademisi, pegiat LSM, pelaku bisnis dan
pejabat militer/kepolisian.
384 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
atas benda tersebut; tanda bukti mendahului klaim, bukan
klaim mendahului tanda bukti.
Terdapat dua istilah SG yang berbeda makna namun sering
dipertukarkan karena ketidaktahuan masyarakat atas
pengertian masing-masing, yaitu Sultanaat Grond dan Sultan
Grond (disebut pula Grant Sultan dalam UU Agraria RI).
Sultanaat Grond merujuk pada pengertian tanah institusi
Kesultanan berdasarkan Rijksblad van Kasultanan No 16
Tahun 1918, bukan tanah individu Sultan, sehingga tidak
dapat diwariskan, dan statusnya hapus menjadi tanah negara
menurut Diktum IV UU Agraria RI. Sultan Grond merujuk
pada tanah hak milik individu Sultan (eigendom), yang bisa
diwariskan maupun diperjual-belikan, dan dapat dikonversi
menjadi Hak Milik menurut UU Agraria RI sebelum 1980,
lewat tenggat 1980 Sultan Grond beralih menjadi tanah
negara. Hal serupa terjadi pada penyebutan PAG untuk
merujuk Paku Alamanaat Grond (tanah insitusi menurut
Rijksblad van Kadipaten Pakualaman Tahun 1918) dan Paku
Alam Grond (tanah eigendom Adipati Paku Alam menurut
Agrarische Wet).
Istilah Sultan Grond (tanah Sultan, Kagungan Dalem)
maupun Paku Alam Grond sering digunakan daripada istilah
Sultanaat Grond maupun Paku Alamanaat Grond untuk
merujuk maksud tanah Kasultanan maupun tanah Kadipaten
di seluruh DIY, terkecuali penggunaan istilah Sultan Grond
atau Paku Alam Grond terhadap tanah-tanah tersebut
memang dimaksudkan oleh Sultan atau Adipati Paku Alam
untuk menjadikannya sebagai tanah pribadi mereka.
Keluarga besar (trah) Sultan Hamengku Buwono ke-7
memaknai SG sebagai Sultan Grond semata, dengan
argumentasi bahwa Rijksblad van Kasultanan No 16 Tahun
9 Kus Sri Antoro. 2015. Analisis Kritis Substansi dan Implementasi UU No 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY dalam Bidang Pertanahan. Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, Vol 1, No
1, Mei 2015, STPN Yogyakarta.
10 a) Yanuardy, Dian. 2014, Bara Di Tanah Raja: Proses dan Mekanisme Proyek Perampasan
Tanah dan Perlawanan Petani Pesisir di Yogyakarta. Working Paper Sajogo Institute
b) Yanuardy, Dian. 2012. Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land
Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia. International Conference
on Global Land Grabbing II October 17‐19, 2012 Land Deals Politics Initiative (LDPI),
Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, New York. https://www.
academia.edu/12288247/Commoning_Dispossession_Project_and_Resistance_A_Land_
Dispossession_Project_for_Sand_Iron_Mining_in_Yogyakarta_Indonesia
386 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
A. Komunitas Tionghoa
Siapa sangka kode staatsblad dalam catatan sipil WNI
menentukan apakah seseorang diperbolehkan atau tidak untuk
mempunyai hak milik atas ruang hidup di DIY?
Pemerintah Hindia Belanda di zaman kolonial yang sarat
modal itu membagi penduduk dalam kelas-kelas berdasarkan ras,
etnis dan agama, dengan kode staatsblad tertentu. Bagi penduduk
ras dan etnis Eropa dan Indoeropa, berkode 1849; bagi penduduk
Timur dan Timur Jauh (Tionghoa, India, Arab dsb), berkode
1917; bagi penduduk yang digolongkan Pribumi beragama Islam,
berkode 1920; bagi penduduk yang digolongkan pribumi Katholik
atau Kristen, berkode 1933; bagi penduduk yang digolongkan
pribumi non Islam dan non Katholik/Kristen berkode NON
STBLD. Apakah yang berkode 1920 pasti lebih miskin daripada
yang berkode lainnya? Tidak, begitu pula sebaliknya. Sultan Jawa
tentu berkode 1920, dan ia sangat lebih kaya daripada takmir gereja
yang berkode 1933, atau pedagang asongan berkode 1917, atau
Kasta Sudra di Bali yang berkode NON STBLD. Artinya penduduk
yang digolongkan sebagai non pribumi tidak berarti lebih kaya
daripada yang digolongkan sebagai pribumi, mereka yang
digolongkan non pribumi hanya dianggap asing dan diasingkan.
Siapa sangka penggolongan identitas penduduk berdasarkan
ras dan etnis itu masih dipertahankan dalam akta kelahiran hingga
zaman pascakolonial ketika semua WNI, tanpa dibedakan suku
ras agama dan asal-usul (SARA), mempunyai hak dan kewajiban
yang sama?
Keberadaan etnis Tionghoa di nusantara jauh lebih dulu
daripada umur Kesultanan Yogyakarta, bahkan kerajaan Mataram
Islam di Jawa. Menurut catatan sejarah, Sultan Demak putra dari
perempuan Tionghoa. Bahkan, dalam perhelatan melawan Sabda
Raja pada 2015, salah seorang adik Sultan Yogyakarta mengakui
388 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Berdasarkan etnisitasnya, 3.594.854 jiwa penduduk DIY
terdiri atas 3. 331. 355 jiwa (suku etnis Jawa); 23.752 jiwa (etnis
Sunda); 3.567 jiwa (etnis Papua); 15.430 jiwa (etnis Melayu);
11.545 jiwa (etnis Tionghoa); 2.152 jiwa (etnis asing/Warga Negara
Asing); sisanya etnis-etnis lain nusantara yang diimajinasikan
sebagai orang asli/bukan etnis asing (BPS 2010). Tidak terlaporkan
rasio kelas sosial (kaya:miskin) dari WNI yang digolongkan Non
Pribumi di DIY (akta kelahiran berkode 1849 dan 1917). Dinamika
perjuangan ruang hidup terkait Instruksi 1975 mengemuka di
kalangan etnis Tionghoa.
Menurut FX Harsono11 (wawancara pribadi, 2017), ada dua
istilah untuk menyebut Tionghoa dalam kultur Jawa, yaitu Babah
dan Singkek. Babah adalah mereka yang sudah lima generasi di
nusantara, berpendidikan rendah, tak bisa berbahasa Tiongkok,
membaur bersama yang miskin karena sesama kelasnya. Singkek
adalah mereka yang baru tiga generasi, umumnya klan Hakka dan
berhimpun, berpendidikan tinggi, mampu berbahasa Tiongkok,
kelas mapan dan berorientasi ekonomi. Sulit untuk menemukan
Tionghoa miskin dalam perhimpunan Tionghoa di DIY, bahkan
mungkin tidak ada. “Dalam kultur kami, Tionghoa miskin tak
diakui sebagai Tionghoa karena memalukan”, ujar HJ (64) seorang
Tionghoa Kelas Menengah yang pernah saya bersamai dalam
perjuangan diskriminasi ras dan etnis di DIY.
Penyintas diskriminasi etnis dan ras yang berakibat
pada hapusnya hak atas ruang hidup ini berasal dari Kelas
Menengah, bukan Kelas Miskin dan Kelas Konglomerat. Sikap
dan pertimbangan ketiganya berbeda-beda mengenai perlu atau
tidak menggugat Instruksi 1975 demi memperoleh hak atas ruang
hidup yang dijamin UU. Komunitas ini mempunyai alat bukti
11 Seniman pelaku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang menggeluti tema kekerasan dan
etnisitas
390 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
seperti ritel, jasa hukum, pengajar, makelar izin, dan properti,
relatif tidak dekat dengan penguasa lokal dan tidak menentukan
percaturan ekonomi di antara Tionghoa, relatif tunduk pada
kepemimpinan Kelas Konglomerat, dan tetap rawan mengalami
diskriminasi dari etnis mayoritas dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka bisa menghindari konflik sosial namun risikonya jatuh
miskin. Menggugat Instruksi 1975 berarti menyelamatkan aset
mereka, meskipun mereka akan dihambat oleh sesama Tionghoa
karena memposisikan etnis Tionghoa dalam situasi tidak aman
secara ekonomi, sosial, dan politik.
Peristiwa Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya (tepatnya
di DIY) dilaporkan secara lengkap oleh Majalah Pers Mahasiswa
Ekspresi Edisi XXIX/Tahun XXIV/November 2016.
Siapakah yang paling berkepentingan atas pencabutan
Instruksi 1975? Kelas Menengah secara terbuka dan Kelas
Konglomerat secara diam-diam dengan cara menunggu
kemenangan Kelas Menengah.
Siapakah yang paling berhak atas pencabutan Instruksi 1975?
Kelas Miskin karena mereka paling rentan. Hal ini sejalan dengan
amanat UU Agraria untuk mendahulukan kaum miskin dalam
penguasaan/pemilikan tanah, serta pembatasan penguasaan/
pemilikan tanah bagi kaum kaya.
Apakah gerakan Kelas Menengah Tionghoa menyasar
pula untuk kepentingan Kelas Miskin? Tidak sebab semangat
utamanya penyelamatan aset ketimbang pemerataan kesempatan/
distribusi kesejahteraan, nalar yang digunakan adalah nalar
Kelas Menengah, strategi yang ditempuh dengan lobi atau
memercayakan pada kebaikan politisi, serta tidak berbasis massa.
Ada aliansi strategis dengan Komunitas Gumuk Pasir (yang akan
saya urai kemudian) yang berbasis massa Kelas Miskin, namun
aliansi ini sekedar untuk mamanfaatkan basis massa dari kaum
392 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
mudah dan cepat mendatangkan uang. Mereka tidak dicatat dalam
administrasi sipil dengan alasan mereka pendatang, sehingga
dianggap penduduk liar oleh pemerintah. Kawasan Gumuk Pasir
menjelma habitat baru bagi kaum marjinal dari berbagai daerah,
80 % merupakan penghuni tetap dan sisanya penduduk musiman,
yaitu mereka yang tinggal ketika wisata ramai, dan pergi ketika
wisata sepi.
Menurut sejarah lokal, kawasan Gumuk Pasir disakralkan
karena merupakan lokasi kontemplasi pendiri kerajaan Mataram
di Jawa (moyang Kesultanan Yogyakarta). Proses kontemplasi
ini diwujudkan dengan penyatuan visi pendiri Mataram (lelaki,
manusia) dengan Ratu Laut Selatan (perempuan, simbol alam)
dalam ritual seks. Ziarah ini berkembang menjadi aktivitas
wisata yang pengelolaannya semula oleh warga setempat lalu
diambil alih oleh pemerintah, sebagai atraksi kebudayaan.
Ritual seks yang semula spiritual bergeser maknanya menjadi
rekreasi, melahirkan jenis pekerjaan baru, yaitu pramunikmat.
Hingga 2007, jasa pramunikmat menopang ekonomi warga kecil.
Karena pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul tentang
antiprostitusi, mulai 2010 bisnis jasa kenikmatan tergantikan oleh
bisnis hiburan malam karaoke. Namun, pembersihan paksa bisnis
kenikmatan ini menghadapi perlawanan. Komunitas Gumuk Pasir
membentuk organisasi perlawanan yang agendanya menolak
penggusuran.
Sekitar 2010-2012, sejumlah mahasiswa dalam lingkar Marxis
(berikatan sejarah dengan Partai Rakyat Demokratik) masuk dan
mengorganisasi Komunitas Gumuk Pasir, diantaranya KPO Partai
Rakyat Pekerja; Perempuan Mahardika; Mahasiswa Pembebasan;
dan Partai Perjuangan Rakyat (PPR) yang mana aktivisnya
berafiliasi dengan organisasi Serikat Perempuan Kinasih (SPK)
dan Gema Demokrasi (GEDOR). Organisasi penolak penggusuran
394 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pimpinan organisasi perlawanan dikenal cepat belajar dan
pemberani dalam setiap aksi massa, sekaligus lentur terhadap
penguasa. Ia dipilih menggantikan pimpinan sebelumnya yang
radikal dan lugu. Di bawah kepemimpinannya, organisasi penolak
penggusuran cepat mendapat dukungan dari luar dan namanya
membesar. Pada 2013, ia bersama elit-elit organisasi mengambil
kesempatan sebagai penjaga keamanan tambak Induk Koperasi
Angkatan Darat (INKOPAD), yang beroperasi di Kawasan Gumuk
Pasir, dalam kapasitas pribadi. Rombongan itu tidak termasuk
kelompok mapan yang terdiri atas pemilik bisnis karaoke;
peminjam hutang, warga asli, maupun tuan tanah. Karena perannya
sebagai Bapak Pelindung, pimpinan ini menjadi Patron Politik.
Pada acara Sekolah Tani FKMA 2013, keputusan elit-elit Komunitas
Gumuk Pasir untuk mengais remah-remah laba dari tambak
INKOPAD mendapat kritik keras dari komunitas-komunitas
FKMA lainnya, namun kritik itu ditangkal dengan alasan bagian
dari penggalangan dana untuk perjuangan. Kritik itu dilandasi
dua alasan; pertama, tambak merusak ekosistem pertanian lahan
pantai dan menjadi strategi lawan untuk mempercepat tambang
pasir besi di Kulon Progo, mendukung jejaring bisnis serupa
sama saja menghambat perjuangan kawan di tempat lain; kedua,
tambak itu wujud bisnis militer yang menjadi lawan di beberapa
komunitas FKMA, terutama di Kebumen. Kelas belajar FKMA
ini belum berhasil karena faktor pendekatan yang digunakan,
yaitu melepaskan pengetahuan dari praktik keseharian seperti
umumnya pada pendidikan kader gerakan berbasis mahasiswa.
Pada 2014, menurut cerita reflektif pegiat KPO PRP dan
Perempuan Mahardika, pemimpin Komunitas Gumuk Pasir
berafiliasi dengan Partai Gerindra untuk menyukseskan salah
satu calon dalam pemilihan presiden 2014. Setumpuk berkas
dukungan massa ditandatanganinya tanpa sepengetahuan massa,
namun disaksikan oleh aktivis dari Perempuan Mahardika.
396 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Keistimewaan DIY yang diajukan oleh seorang pengacara Jawa
Timur, mantan aktivis PRD, kader partai Gerindra, dan menurut
informasi dari sumber yang dapat dipercaya ia merupakan utusan
pihak Kesultanan untuk meloloskan puteri Hamengku Bawono
ka-10 menjadi Sultan. Isi draft JR telah dikaji mendalam dan dinilai
lemah serta membahayakan perjuangan, sehingga diputuskan
untuk tidak diikuti. Namun, pimpinan Komunitas Gumuk Pasir
dan elit Komunitas Tionghoa menempuh jalur di luar kode etik
aliansi dengan melobi seluruh pimpinan komunitas, manuver
politik ini dihadang oleh koordinator Aliansi 5 Komunitas DIY
dengan menegakkan kode etik. Kemudian, dalam sebuah rapat
internal yang saya hadiri, pemimpin Komunitas Gumuk Pasir
menyatakan demikian kepada koordinator Aliansi 5 Komunitas
DIY: “Di luar sana kau koordinator. Tapi, ingat, di sini kau
hanya anggota biasa yang harus patuh ketua”. Tampaknya, kelas
menengah juga mewujud sebagai watak kepemimpinan yang asal-
usulnya terjelaskan secara material.
Pembakal bisnis karaoke seorang mantan pramunikmat yang
sukses, pasangan hidup seorang polisi aktif. Terhitung 2015, terdapat
36 kios bisnis karaoke, tempat aman bagi bisnis minuman keras;
jasa perempuan biduan dan sewa kamar; narkotika; terkadang
prostitusi terselubung baik usia dewasa maupun anak-anak.
Media pernah memberitakan operasi tangkap tangan eksploitasi
anak-anak untuk bisnis hitam ini13. Bisnis ini diwadahi Paguyuban
Karaoke yang kini dijabat mantan calon anggota DPRD Salatiga,
pelaku baru yang paling cepat sukses dalam bisnis ini. Perjuangan
organisasi perlawanan sebagian besar dibiayai paguyuban karaoke,
setiap bulan sekurang-kurangnya paguyuban menyumbang kas
13 a) http://jateng.metrotvnews.com/peristiwa/ob3pRxyk-paksa-anak-jadi-psk-pemilik-karaoke-
di-bantul-jadi-tersangka ,
b) http://rimanews.com/nasional/kriminal/read/20160602/284507/Losmen-Parangtritis-
Jajakan-Belasan-PSK-ABG-Tarifnya-Cuma-Rp250-Ribu
c) http://news.okezone.com/read/2016/09/05/510/1481364/ini-tarif-kencan-gadis-pemandu-
karaoke-berusia-belia
398 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
bisnis karaoke yang rerata berpenghasilan 90 juta/bulan. Kelompok
miskin, bisnis militer, dan bisnis hiburan malam itu berada dalam
satu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi Zona
Inti Gumuk Pasir (141,65 ha) oleh pemerintah untuk kepentingan
wisata ATV (All-Terrain Vehicle), Sand Boarding, dan Aero Plane
dan harus bersih dari bangunan pemukiman, kandang ternak,
tambak, dan vegetasi terhitung 1 September 2016 (Setiaji 2016).
Penggusuran itu akan dilakukan terhadap 25 kandang kelompok,
5 parkiran, 1 tambak udang, 1 kafe, 1 kamar mandi, 10 rumah
permanen, 19 rumah semi permanen dan 1 sanggar belajar untuk
anak-anak dari kaum miskin. Dari 33 warga, 1 orang menolak
relokasi dan ganti rugi sebagai konsekuensi perlawanan, lalu
keluar dari organisasi asalnya.
Perbedaannya, ketika terjadi penggusuran, bisnis militer
dan bisnis karaoke masih bisa dipertahankan dengan relokasi
atau modal dialihkan untuk bisnis lain, sedangkan kelompok
miskin tidak sama sekali, mereka harus memulai hidup dari titik
nol. Tanpa penggusuran pun, anak-anak dari keluarga miskin itu
sudah terampas ruang dan kesempatannya untuk tumbuh dan
berkembang baik karena hidupnya dikepung hiburan malam.
Penggusuran membekas sebagai trauma masa kecil yang terus
dibawa, itulah yang dirasakan oleh beberapa remaja dari keluarga
miskin yang mengalami penggusuran 2007.
Pada pertengahan 2016, menjelang realisasi penggusuran,
Patron Politik dan Intelektual hadir kembali ke Komunitas
Gumuk Pasir. Dalam forum elit, mereka merumuskan acara
Panggung Rakyat yang direncanakan mengundang 3 partai politik
dan korporasi tambak udang. Patron Politik dan Intelektual
bersama dengan para elit Komunitas Gumuk Pasir dan Komunitas
Tionghoa membentuk Aliansi Politik di luar Aliansi 5 Komunitas
DIY. Rencana menghadirkan partai politik dan korporasi itu
400 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
organisasi perlawanan yang mampu menggerakkan massa kaum
miskin. Sehingga, dalam situasi senasib dengan sebagian kaum
miskin di kawasan Gumuk Pasir, mereka memanfaatkan tenaga
kaum miskin untuk melawan penggusuran atas nama Komunitas
Gumuk Pasir.
Segelintir pegiat di luar kelompok Aliansi Politik itu
mengingatkan bahaya dari kolaborasi politik lintas kelas yang
palsu, namun Aliansi Politik berjalan terus. Ketika INKOPAD
menyepakati relokasi tanpa melibatkan para penjaga keamanan,
para elit komunitas tersebut bersama dengan penasihat hukumnya
dan Patron Politik dan Intelektual menyepakati tawaran relokasi
dan ganti rugi dari pemerintah yang hendak menggusur (16
November 2016 di DPRD DIY). Penggusuran tetap tak tercegah,
warga kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Di penghujung 2016, Aliansi Politik yang beranggotakan
Komunitas Gumuk Pasir, Komunitas Tionghoa, serta Patron
Politik dan Intelektual berakhir. Penggusuran menyisakan 14 kk
warga miskin yang tergusur, bertahan di lapangan (sebagian masih
tinggal di hunian darurat sejak 14 Desember 2016), terkatung-
katung menunggu janji relokasi dan janji-janji lainnya dari elit
yang pernah memimpin perjuangan.
Di tengah derita warga, jejaring Patron Politik dan Intelektual
mengajukan bantuan Komite Nasional Pembaruan Agraria
(KNPA) bagi korban gusuran dengan cara tidak terpuji, yaitu
mencatut nama anggota kelompok pendamping lain, namun
mencantumkan nomor rekening dari organisasi Patron Politik
dan Intelektual, yaitu SPK. Pengajuan ini ditolak dan diperbarui
atas nama salah satu warga, konon dana itu cair, namun mereka
yang tergusur dan bertahan tidak tahu ada agenda itu serta
tidak menerima wujud sisanya, bahkan pengurus organisasi
perlawanan tidak tahu ada agenda pengajuan donasi itu.
402 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
setelah penggusuran semestinya ada gerakan tanding yang terus-
menerus. Buktinya, kini Komunitas Tionghoa dan para patron
itu menghilang. Kelompok yang bertahan di lapangan adalah
kelompok di luar Aliansi Politik itu.
Apakah ada kesempatan bagi Komunitas Gumuk Pasir
untuk bangkit kembali? Komunitas itu hanya dapat bangkit bila
mengambil hikmah dari pengalaman mereka, bahwa gerakan
warga harus dipimpin oleh warga yang mengalami persoalan,
bukan patron-patron yang berkesempatan hengkang bila situasi
tidak menguntungkan. Massa suatu gerakan harus dididik untuk
mengkritisi keadaan, bukan diintimidasi dengan kekuasaan agar
mudah dimobilisasi, hasilnya mobilisasi maksa.
Mengapa kerja dalam rangka membangun otonomi gagal?
Karena model pendidikan yang ditempuh lingkar belajar warga
masih merawat elitisme dan upaya untuk pembersihan elitisme
melahirkan konflik kelas yang masih dinilai merusak persatuan
dan kesatuan mesin gerakan, ketimbang penyegaran.
404 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
masa Orde Baru, mereka dipimpin seorang kepala desa yang
merangkap anggota polisi aktif, abdi dalem (pelayan setia)
Kesultanan pimpinan Hamengku Bawono ka-10, pelaku bisnis
kuliner, dan pemilik salah satu bukit hutan rakyat di pesisir
itu (tahun 2015 lalu ia memasang iklan penjualan bukit hutan
miliknya). Semasa menjabat sebagai kepala desa, ia mengatur
hubungan hukum antara tanah dengan penggarap, dan menerima
pajak garapan dalam status Tanah Kesultanan. Meski kini tak lagi
menjadi kepala desa, ia seorang polisi aktif yang disegani dan
berpengaruh. Karenanya, ia dipatuhi seluruh lapisan masyarakat
di wilayah pemerintahannya sebagai Patron Politik, termasuk
oleh kepala dusun sang Patron Ekonomi.
Ada seorang lagi yang berpengaruh, seorang intelektual.
Satu-satunya doktor di kantor dinas kabupaten, begitu ia sering
sesumbar. Jebolan gerakan Himpunan Mahasiswa Islam, ia kini
menjadi orang penting di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten pasca karir politiknya sebagai tim sukses pasangan
calon bupati pada pilkada 2015. Ia memiliki beberapa lapak di
beberapa obyek wisata pantai selatan. Ia juga aktif berpraktik
sebagai perantara sewa tanah yang berlabel Tanah Kesultanan,
terutama menurut versi dan untuk kepentingan keturunan Sultan
Hamengku Buwono ke-7 bersama para makelar tanah. Sebagai
orang yang pintar berbicara dan mampu membaca celah, ia
memukau warga dan segera menjadi Patron Intelektual.
Patron Ekonomi, Patron Politik, dan Patron Intelektual itu
bekerja di kalangan rakyat jelata, dan dilengkapi dengan Patron
Ekonomi Politik yaitu Kepala Desa terpilih sebagai bawahan dari
Bupati Gunungkidul dan Gubernur DIY. Penguasa resmi sedang
menjalankan agenda Keistimewaan DIY di bidang pertanahan dan
penataan ruang, yaitu penguasaan kembali seluruh tanah sebagai
hak milik Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman dan perubahan
406 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
untuk digugat karena pertimbangan keamanan lembaga pembela
hukum, demikian pernyataan lisan dari pimpinan dan anggota
lembaga itu pada September 2016, terkait agenda New Yogyakarta
International Airport di Kulon Progo dan Restorasi Gumuk Pasir di
Bantul. Patron Intelektual memukau warga dengan menyatakan
penolakan investor Eny Supiani. Karena jasanya, ketiga patron
itu dianggap warga sebagai senjata perlawanan, ketiganya dapat
memengaruhi keputusan warga.
Di tengah perjalanan, Komunitas Celana Merah dikunjungi
rombongan penyintas persoalan yang sama, namun dengan
perspektif yang berbeda dari para patron mereka. Disertai bukti-
bukti penguat argumentasi, motor perjuangan mereka menyadari
bahwa Keistimewaan DIY adalah sumber persoalan. Saya ada
menjadi saksi proses pencerahan itu.
Istilah Celana Merah muncul sebagai ejekan tanding warga
terhadap investor yang menghina warga yang hanya lulusan SD,
namun investor gagal mengusir mereka pada tahun 2015. Bagi
kaum jelata ini, Celana Merah adalah identitas kelas yang sakral.
Mereka memperingati ejekan itu 25 Mei 2016, menegaskan sikap
politik melawan agenda Keistimewaan DIY yang mengambil alih
ruang hidup dan sumber penghidupan mereka satu-satunya.
Selama satu tahun bertahan, mereka mencoba beraliansi
dengan POKDARWIS yang lain. Upaya itu tak berhasil karena
POKDARWIS patuh di bawah Kepala Desa agar bisa bertahan
hidup. Peringatan Celana Merah merenggangkan hubungan
Patron Politik, Patron Ekonomi, dan Patron Intelektual dengan
pengurus Komunitas Celana Merah. Sehingga, pada Peringatan
Celana Merah yang kedua dendang perlawanan warga hendak
dibuat terdengar sumbang oleh ketiga patron Komunitas Celana
Merah.
408 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dari jalur non Tanah Desa sirna, aset lapak-lapak dan program
memasukkan investasi oleh Patron Intelektual gagal. Bahwa ketiga
patron tersebut sesungguhnya pro investor adalah kenyataan yang
tak dapat ditutupi. Karena Eny Supiani tidak melalui jalur mereka,
ketiga patron itu menolaknya. Pertanda keberpihakan pada
pemodal yang paling tampak ialah ketiganya mendorong warga
untuk mendapatkan kekancingan dan berusaha memasukkan
kepentingan Patron Ekonomi Politik di tingkat kabupaten, seperti
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Ketua DPRD Kabupaten
Gunungkidul.
Apa peluang yang paling mungkin ditempuh ketiga patron itu
untuk mempertahankan kontrol atas Komunitas Celana Merah
secara politik, ekonomi, dan intelektual? Bekerjasama dengan
Eny Supiani atau investor lainnya dengan berbagi ruang produksi
(kolaborasi) atau menyatukan (integrasi) kepentingan melalui
wisata kemitraan, dengan memanfaatkan massa Kelompok Celana
Merah sebagai daya tawar sekaligus basis ekonomi pelengkap.
Apakah Komunitas Celana Merah sama sekali tak berdaya
menghadapi ancaman tersembunyi dari pola panutan-manutan
mereka? Mereka berdaya, namun membutuhkan prasyarat yaitu
kesadaran kelas melalui pendidikan, bukan penjinakan; apalagi
sekadar mobilisasi massa.
Masuk dan menggeliatnya modal baik di kota dan pinggiran
DIY telah melahirkan kelas-kelas sosial, dimulai dengan
menceraikan orang dari tanahnya, bentuk perceraiannya bisa
pengusiran, penggusuran, dan penghapusan hak atasnya. Klaim
atas Tanah Kesultanan dan Tanah Kadipaten yang dikukuhkan
dengan UU Keistimewaan DIY menjadi kekuatan untuk mengusir,
menggusur, dan menghapus hak atas tanah warga.
Keistimewaan DIY semakin menajamkan kelas-kelas sosial
ketika akumulasi primitif diperuntukkan bagi industri berskala
410 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Falsafah Shifu Mao tentang Kelas Sosial dan Sikap Politik
Komunitas Berlawan di DIY
Identitas dan kelas sosial terkadang tak tampil sebagai akibat
perkembangan modal. Padahal, identitas dan kelas yang sama
sekali tidak terhubung dengan penguasaan modal dan sumber
penghidupan orang banyak sulit ditemukan. Hampir setiap hirarki
sosial terkait dengan penguasaan modal yang membuahkan
otoritas.
Hikmah peristiwa di tiga lokasi di muka dapat disarikan
sebagai berikut:
1. Kelas sosial suatu kelompok memengaruhi sikap politik dan
pilihan strateginya. Kelas mapan (para patron, pendamping,
atau elit motor gerakan massa) cenderung memilih keputusan
yang aman bagi asetnya, posisi politiknya, dan otoritasnya.
Tindakan-tindakan untuk mengesankan mereka masih
berjuang bersama massa akan dilakukan, namun tidak akan
menabrak batas zona aman. Aksi-aksinya sekadar untuk
menggugurkan kewajiban. Argumentasinya sekadar untuk
menghindari tanggungjawab.
2. Memeriksa hubungan sosial berlatar kelas sosial penting, kalau
tak boleh dibilang wajib. Peta kelas ini akan memecahkan
setengah persoalan, minimal melahirkan pilihan-pilihan di
jalur yang belum pasti kalah. Di samping itu, peta kelas sosial
menempatkan kembali perjuangan ruang hidup dalam ruang
lingkup ekonomi politik pada khittohnya, yaitu Materialisme
Dialektis, alih-alih Marxisme Dogmatis. Konsekuensi dari
falsafah ini harus diambil, meskipun sama sekali tidak
menguntungkan baik menurut kepentingan ekonomi sesaat
maupun politik elitisme. Gerakan memang bukan ruang
pencitraan, melainkan zona perang.
412 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
di kemudian hari. Maka, gerakan harus dibarengi dengan
penguatan ekonomi dari massa berlawan dengan model yang
sama sekali tidak mencirikan kapitalisme, bukan sekadar
aksi massa untuk tekanan politik yang melelahkan. Kenapa?
Sebab para pendamping, para penganjur aksi massa itu, tidak
menanggung risiko komunitas berlawan dan rawan menukar
simbol-simbol “radikalisme” dengan laba kapitalisme.
Referensi
Catatan Lapangan Gerakan Agraria DIY 2008-2017, Aliansi
Keutuhan Republik Indonesia, tidak diterbitkan
Mao, Tse-Tung. 2001. Empat Karya Filsafat (Terjemahan). FuSPAD,
Yogyakarta
Setiaji, Hermawan. 2016. Paparan Masalah Penertiban Zona
Inti Gumuk Pasir Parangtritis. Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Bantul, DIY.
414 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Yang Lebih Penting dari
Perdebatan Klasik
Pupuk Kimia vs Organik
Rahmat Ariza Putra,
Fasilitator dan Pengajar di Sekolah Tani Muda
(Sekti Muda) Yogyakarta
416 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dalam protein sel-sel tanaman dengan anion Sulfat yang diserap
dari pupuk ZA. Kenyataan serupa terjadi sama persis pada hara-
hara yang lain. Tanaman tidak mensegregasi hara berdasarkan
asal-usulnya sama sekali.
Hasil metabolisme tanaman terhadap hara-hara tersebut juga
menunjukkan kondisi yang identik. K+ dari POC (pupuk organik
cair) buah pisang yang diasimilasi tanaman ke dalam buah melon
tidak memiliki disparitas barang secuil dengan melon hidroponik
yang haranya berasal dari larutan sintetik AB Mix. Selama
konsentrasi kation Kalium yang tersedia pada kedua jenis pupuk
tersebut seimbang, maka rasa manisnya yang akan dihasilkan pun
sepadan.
Kalau sudah begitu, bisa juga disimpulkan bahwa manfaat
kesehatan kedua buah melon tersebut setara bagi manusia. Sama-
sama menyehatkan dan menyegarkan jika dikonsumsi setelah
cuci tangan atau kala cuaca panas menyengat. Tidak ada yang
lebih sehat atau lebih buruk jika ditinjau dari sumbe K+ keduanya.
Jika dikaitkan dengan isu yang pencemaran lingkungan akibat
pemakaian pupuk kimia, maka hasil riset tidak menegasikan
adanya dampak merugikan serupa dari penggunaan pupuk
organik. Para peneliti menemukan adanya cemaran di sungai
atau sumber air tanah dari penggunaan pupuk organik padatan
berlebih di sentra-sentra sayur yang banyak mengaplikasikan
pupuk kandang ayam. Kasus polusi di sektor pertanian ternyata
tidak hanya dimonopoli oleh pupuk kimia sintetis.
Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa pupuk kimia
sintetik telah menyebabkan tanah-tanah sawah di kantong-
kantong produksi padi memadat. Ternyata setelah diteliti,
kejadian tersebut tidak berkorelasi dengan karakter kimia Urea
atau Phonska itu sendiri. Faktor penyebab utama justru berasal
dari praktik budidaya padi yang dilakukan petani.
418 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
pun menyuguhkan kebisaan kompos dalam menyimpan air dan
nutrisi.
Sayangnya, keunggulan ini bukan topik yang sering
diperselisihkan antara penggiat pertanian organik dan pengguna
pupuk sintetis. Yang justru dijumpai lebih banyak berseliweran
di kanal-kanal publik adalah konsep-konsep parsial seperti yang
sudah dijabarkan di sub judul pertama.
420 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menghidupkan kembali paradigma mandiri dan berdaulat adalah
kunci kenapa pupuk organik layak diperjuangkan.
422 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
organik yang efisien dan efektif. Namun, bila para petani kecil itu
menggabungkan asset dalam sebuah lembaga, tentu manufaktur
pupuk organik akan lebih mudah.
Masing-masing petani tidak perlu repot membuat sendiri.
Mereka dapat membeli pupuk organik dari organisasi yang mereka
bentuk. Keuntungan produksi kemudian digunakan untuk
memberi insentif bagi pengelola usaha tersebut dan membiayai
kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat bagi seluruh anggota
kelompok. Ujungnya, sumber daya yang ada hanya berputar di
antara petani saja.
Bila itu terjadi, maka peran aktor-aktor lain yang tidak punya
kepentingan kecuali memperkaya diri sendiri dapat dibatasi.
Kekayaan dan kemakmuran dari aktivitas ekonomi petani tidak
pergi dan terakumulasi pada kaum kapitalis. Oleh karenanya,
memaknai perjuangan membangun kemandirian dan kedaulatan
petani dalam konteks ini adalah tentang upaya mengorganisir
petani untuk mau berkumpul dan terhimpun dalam sebuah
lembaga tani yang kuat dan berkarakter.
426 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
informasi, yang jauh dari kekuasaan. Ia juga bukan peradaban
dataran rendah yang dialiri irigasi, yang dekat kekuasaan. Ia
adalah peradaban pesisir yang beralih rupa dari gurun tandus
menjadi hamparan hijau, warna kesuburan.
Unduk gurun itu telah menggoda penguasa untuk mengambil
keputusan: apakah wilayah itu, berikut penghuninya, perlu
diadabkan mengikuti arus zaman yang dianggap lebih maju. Unduk
gurun, deru angin samudera, resapan air asin yang secara ajaib
menjadi tawar, mempunyai kisahnya sendiri dalam panggung
kekuasaan manusia atas alam. Dan di tangankulah, kisah mereka
turut dilakonkan.
Sampai saat ini, aku masih tak mengerti, mengapa air laut itu
menjadi tawar di hamparan ladang-ladang manusia pasir. Misteri
selalu menyimpan daya gaib ketimbang ilmu pengetahuan. Daya
gaib itulah yang menggerakkan penghargaan para manusia pasir
itu pada unduk gurun, mereka merasa setubuh dan senyawa dengan
tempat yang dihuninya. Barangkali perpaduan tepat antara besi;
vanadium; dan titanium telah mengikat garam dan mengubah
air laut yang meresap di pasir-pasir ini menjadi tawar. Akan
tetapi, ilmuwan malu-malu untuk menyatakan kebenaran karena
ilmuwan ada dari; oleh; dan untuk kuasa modal. Sejak Revolusi
Industri, ilmu tak lagi diabdikan pada moral. Air dan sekumpulan
logam yang terkandung di unduk gurun ini sedang diperebutkan,
antara dirampas atau dilestarikan, untuk menentukan kelompok
manusia manakah yang akan dipertahankan atau dipunahkan
dalam sejarah.
Manusia-manusia pasir itu, mereka tahu unduk gurun
menyimpan air tawar, lalu mereka mulai menanami berbagai
macam umbi. Angin bergaram dari samudera berkali-kali
menggagalkan pertumbuhan, tak jarang panen pun batal. Angin
lautan tak hanya membawa ancaman rawan pangan, tetapi juga
428 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
beralih tahun, padang cabai, kacang, pare, melon, semangka
menutup gurun. Sumur renteng di ladang berganti pompa dan
selang. Revolusi irigasi. Lalu, sekitar tahun 2000-an, mereka
mempelajari watak pasar. Mereka tahu pengepul menimbun
laba yang terkumpul. Manusia-manusia pasir mulai berpikir,
bagaimana caranya kaum tani turut tentukan nilai laba, sebab
mereka menguasai produksi? Mereka membangun posisi tawar
melalui sebuah pasar lelang.
Laba membanjir lebih deras dari air. Pasir-pasir menyerap
keuntungan secepat menghisap hujan. Gubuk bambu berganti
gedung batu. Satu demi satu setiap keluarga mampu membiakan
pemamah biak. Mulai banyak yang mengimpor kuda-kuda
tunggangan dari Negeri Sakura: Toyota; Honda; Suzuki; Kawasaki;
Mitsubishi. Pertanda derita berangsur pergi.
Salah satu kupingku samar mendengar. Di luar pagar, peta
dunia sedang digambar ulang. Percaturan ekonomi dikaji kembali.
Agar tak ada istilah: Seekor ikan mati tenggelam. Salah satu
mataku membaca gerak zaman, bahwa gelombang efisiensi akan
menghantam tempatku tinggal, termasuk pula perkampungan
manusia pasir. Gelombang percepatan perluasan pembangunan
ekonomi. Menyapu apa pun yang menolak ditundukkan. Aku
adalah peselancar yang menggilai tsunami, tak ada alasan bagiku
untuk menentang arus zaman. Tapi ikan-ikan itu, bukankah hanya
ikan mampus yang ikut arus? Ikan hidup ditakdirkan berenang
melawan arus, untuk menghirup oksigen terlarut. Persetan, sebab
aku bukanlah ikan.
Sepuluh tahun lalu, tahun 2006, istana Baginda diguncang
gempa. Meruntuhkan Timbangan Emas, satu bagian penting dari
bangunan kekuasaan yang sudah berabad-abad bertahan, yang
dipercaya sebagai simbol keadilan. Gempa memporak-porandakan
wilayah kekuasaannya, menggoyahkan sendi-sendi ekonomi, dan
430 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Aku berkuasa, namun kekuasaanku masih ada batasnya.
Langkahku lebih jauh menjelajah. Mataku membeliak
di mana-mana. Kupingku dipasangi radar yang paling peka.
Hanya demi untuk mengetahui, sebab mengetahui adalah
pangkal menguasai. Kehendak si raja berjari Midas tak semudah
rencananya. Manusia-manusia pasir menolak diusir. Mereka
mempertahankan gurun yang kini jadi sumber penghidupan.
Bertani atau Mati!
Penolakan di mana-mana. Penyusupan ke gurun selalu
gagal karena dihadang massa. Mereka menuai simpati, kaki
tangan Baginda ketakutan membicarakan perlawanan. Dalam
kultur feodal, perlawanan adalah tabu. Kupingku mendengar
lalu menyimak, mataku melihat lalu mengamati. Ada satu nama
penting dan berbahaya. Tanganku segera mencatatnya, rekam
jejak sosialnya dilacak, wataknya didalami.
Dia dididik kaum bertradisi kiri yang live in di desanya, meski
ia tak pernah tahu apa kiri itu. Pembaca Marx? Tentu saja bukan,
ia buta aksara. Menganut komunis? Ia seorang santri, mendengar
istilah itu saja mungkin tak pernah, apalagi memahami dan
menganutnya. Penganjur revolusi? Terlalu mewah, penganjur
adalah aktivitas kelas menengah sedangkan dia kelas terbawah.
Lalu apa bahayanya? Analisisnya yang mendekati analisisku, dan
ia punya kemampuan yang tak kupunya jika aku telanjang tanpa
otoritas. Ia mampu menggerakkan banyak orang untuk beralih
pendapat dan sikap. Ia penanam gagasan, penebar pengetahuan,
dan mudah dipahami sesamanya. Orang-orang bergerak tanpa
paksaan. Di tempatnya tinggal, semula hanya dua butir manusia
pasir yang menolak diubah menjadi baja, tetapi dalam dua
tahun seluruh penduduk desa berada di belakangnya, bersuara
sama dengannya. Sebutir pasir itu telah menjadi ikan dalam
akuariumku, tinggal dijala paksa pada saatnya.
432 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
budayawan, sekampung halaman dengan Presiden ke-5—aku
ingat Presiden RIS ke-2 dijabat Mr. Asa’at, dulu dikenal menentang
pembangunan kolam yang menenggelamkan 3 kecamatan
bersama Si Burung Manyar. Ia membangun massa lewat forum
pengajian. Dinobatkan jadi idola kaum pinggiran. Tapi kini,
ia terbukti menjinakkan manusia lumpur dan manusia kapur,
membela penyebab bencana—demikian laporan sebuah jurnal
ilmiah yang kubaca. Ibarat prahara dunia sastra, membandingkan
GJA dan Pemuka Agama itu sama seperti membandingkan
Pramoedya dan Martin Aleida, siapa pun tahu perbedaannya.
Bisikan pasir-pasir ditangkap angin, dibawa ke seberang
lautan, lalu menuai dukungan di segala penjuru benua. Mereka
merasa senasib dengan manusia-manusia pasir. Protes digelar
di Perth, London, Ithaca, Chicago, Nairobi, Paris, Adelaide,
Frankfurt, Amsterdam, Praha, Beijing, Penang, dan Manila. Jakarta
tak kuhitung, kota itu tak penting karena isu apa pun mudah
menguap. Tapi bagaimana manusia-manusia pasir itu mampu
menembus jagad maya, bukankah mereka cuma petani biasa?
Apakah ini ulah perusahaan telekomunikasi ternama, Connecting
People? Ah, sulit dibuktikan, kurasa perusahaan itu hanya
dimanfaatkan teknologinya. Bagaimana aku bisa menghentikan
angin pembawa berita?
Rabindranath Tagore telah lama berujar, “Cecabang dan
dedahan adalah akar-akar yang menjulang ke atas.” Aku tak
boleh tertipu oleh penampakan luar, yang menjulang tinggi
sesungguhnya bukan yang sejati. Akar selalu saja di dasar, maka
aku harus menggali lebih dalam. Satu tanganku akan kuubah
serupa lawan.
Muda, doyan ganja, minimal pernah gandrung Nirvana atau
The Clash. Tindik, tato, dan rambut gimbal sudah syarat utama.
Seolah rajah “tak terjinakkan” tertera di setiap inci tubuhnya.
434 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Aku memberontak, maka aku ada!” Dia berteriak lantang di
mana-mana. Muda, radikal, dan melawan. Siapa lawanku yang
tak tergoda?
Sebagai pembuka, ujung Sulawesi diguncang ledakan. Di susul
Kota Kembang, lalu Kota Pahlawan. Ketiganya menggemparkan
media massa, tapi kubiarkan isunya dimangsa polisi pengejar
setoran. Sialan, ikan-ikan belum lengkap berkerumun merayakan
kemenangan. Hingga suatu hari, menjelang pagi, sebuah
perangkat transaksi uang meledak dihantam api, di kota ini. Ya!
Bagus. Setidaknya itu mempermudah pengamatan selanjutnya.
Tak ada perbuatan tanpa jejak, dan tak ada jejak yang tak
terlacak. Berbagai barang bukti tertinggal di lokasi, mungkin
tanganku sengaja meninggalkannya untuk ditelusuri. Kartu jati
diri, surat testimoni, propaganda solidaritas, saksi mata, sidik jari,
rekaman CCTV. Lengkap sudah. Dia memang benar-benar bisa
diandalkan.
Tiba-tiba permainan senyap, inderaku tak menangkap apa-
apa. Ada apakah ini? Aku paling benci dengan kesunyian, kesunyian
itu hampa, tanpa pengetahuan, tanpa kuasa. Semua inderaku
kuhubungi, dan memang yang terdengar dan yang terlihat ialah
tak ada apa-apa. Waktu! Ya, waktu yang akan memberitahu,
sebab waktu membawa serta perubahan. Waktulah yang akan
menjadi sekutuku. Sementara itu, proses-proses penguasaan
lahan dan membangun pembenaran melalui rezim hukum terus
berjalan. Apa pun yang dikehendaki majikanku harus dijalankan,
kehendaknya adalah hukum yang harus dipatuhi.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Baru kali ini inderaku buta, tuli, dan
kehilangan kepekaannya dalam meraba. Dalam dua tahun ada
dua perhelatan dibikin oleh manusia-manusia pasir. Perhelatan
yang cukup penting dan berbahaya. Ini adalah bom dahsyat yang
meledak tanpa suara. Semua terjadi tanpa gegap gempita. Siapa
436 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Rembulan menyabit awan di lengkung langit yang kelam…
Seni adalah keindahan abadi—ini pendapat Sasori, shinobi
anggota Akatsuki. Bagiku, seni adalah yang sirna dalam sekedipan
mata. Tentu saja, aku adalah seniman sejati. Tapi, baru-baru ini
muncul seorang seniman gadungan tak ternama, atau mungkin
sebenarnya ia seorang dokter bedah pakar anatomi tubuh-
tubuh sengketa tanah, atau seorang ahli forensik dalam kasus
pembunuhan sejarah. Ia gemar membongkar apa pun yang
dianggap mapan dan benar. Lawan yang benar-benar menakutkan.
Ia tampak sangat jinak, mampu berkompromi dengan siapa pun,
dengan apa pun. Tapi, siapa yang tahu isi hati? Mataku di segala
penjuru tak mampu melihat apa pun yang berbahaya tentangnya,
namun mataku sendiri melihat nyala api. Api yang tak kunjung
mati. Api yang ia sulut di setiap tempat dan kesempatan. Ia bukan
penghuni Padang Ilalang meskipun ia sangat liar, bukan pula
seorang Pembunuh Gratisan meskipun ia sanggup melakukan apa
pun tanpa dibayar, sialnya ia mempunyai kemampuan yang sama
dengan para keparat yang telah kucatat.
Keparat itu telah membongkar dusta besar Baginda. Dengan
bukti dan alasan yang sangat meyakinkan, bahkan tak terbantah.
Setidaknya, ada lima dosa besar Baginda yang menjadi alasan
senjata ajudanku dapat menyalak di kepalanya yang agung.
Keparat itu mengurainya satu demi satu, betapa detil dan jelinya.
Dosa pertama, Baginda telah melakukan kejahatan hak asasi
manusia.
Di wilayah kekuasaannya, ia melarang setiap orang
keturunan India, Eropa, dan Tionghoa mempunyai hak milik
atas sebidang tanah, turun-temurun. Alasannya, itu adalah
aturan untuk membatasi kepemilikan aset untuk pemodal kuat,
kenyataannya yang miskin papa juga ikut dicabut haknya. Ada
sebuah surat yang ia tujukan pada seorang warganya, resmi dalam
438 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
milik sepanjang itu menyangkut tanah kerajaan. Lagi-lagi surat
rahasia itu bocor dan tersebar, semua gara-gara keparat itu. Aku
memeriksa kebenaran pernyataan keparat itu. Ia sungguh tak
berdusta. Benar, di satu desa—belum desa lainnnya, ada sekitar
seratus sertifikat hak milik tanah yang dihapus statusnya secara
semena-mena, dari hak milik menjadi hak pakai, tanpa proses
pengadilan. Andai itu terjadi padaku, aku pasti akan menuntut,
tetapi untungnya aku tak punya aset di sini, aku tak kehilangan
apa pun.
Dosa keempat, Baginda telah merampok uang rakyat seluruh
negeri untuk memperkaya diri, keluarga, dan kroni.
Undang-undang yang istimewa sudah disahkan. Mengatur
semua kepentingan Baginda di atas kepentingan semua warga
negara. Hanya di tempat ini jabatan negara diwariskan, tanpa
pemilihan, dan itu diyakini wujud lain demokrasi, karena
demokrasi menghormati tradisi. Persoalannya, semua itu dibiayai
dengan pajak seluruh warga negara. Baginda dapat menikahkan
putrinya dengan uang negara, bisa mengecat istananya dengan
uang negara, dan merampok tanah-tanah negara dengan uang
negara. Korupsi? Tentu saja bukan karena ini amanat undang-
undang. Jika memang korupsi, siapa berani memperkarakannya?
Tangan Baginda menggurita di mana-mana, ia jadikan hampir
seluruh pejabat negeri ini sebagai abdinya, diberinya gelar
kehormatan. Siapa tak bangga diberi gelar bangsawan? Aku sudah
bangga bergelar perwira pemberian negara, tak perlu gelar lain.
Tak ada cerita hamba menggugat tuan, dengan cara itulah Baginda
akan selamat sepanjang hayat.
Dosa kelima, Baginda melakukan manipulasi sejarah sebagai
landasan bagi kejahatan-kejahatan yang telah ia lakukan.
Akar dari dosa-dosanya adalah klaim bahwa Baginda adalah
pemimpin negara yang sudah merdeka sebelum negara ini ada.
440 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dari intaian lawan. Aku siap menghadapi lawan-lawanku yang
serupa hantu, karena aku gaib dan menghantui layaknya hantu.
Kini aku butuh pengetahuan baru, aku mungkin meluputkan
satu cara: pembunuhan massal yang manusiawi.
Jurnal-jurnal bertopik ekonomi politik tentang perubahan
bentang alam kukumpulkan, kupelajari dengan mendalam.
Dari karya Iwa Koesoema Soemantri hingga Tania Li; dari Lenin
hingga Bernstein. Pada akhirnya, hanya kutemukan mitos tentang
petani kecil, petani yang bekerja hanya untuk sekedar hidup,
petani yang lepas dari sentuhan produk industri, petani yang tak
memburu laba, petani yang berhasil menahan hasrat konsumsi.
Aku tak tertipu oleh cerita seksi kaum penggila eksistensi tentang
kemiskinan dan perebutan kekuasaan. Aku pilih mencicipi
kenyataan, bahwa masakan yang sedap selalu banyak bumbu, dan
bumbu mengaburkan rasa asli.
Manusia-manusia pasir, apa yang sesungguhnya mereka
pikir?
Apa yang pernah didengar kuping-kupingku, kudengar ulang:
“Bayangkan saja, kami ini sudah makmur dengan bertani,
kami bisa bangun rumah, sekolahkan anak, punya banyak
ternak, beli kendaraan. Apa itu mau dirampas begitu saja dengan
tambang?” Sukarmin berujar, menjelaskan pada kupingku yang
berwujud mahasiswa.
“Selama cabai itu tumbuh di sini, perlawanan kami tak akan
berhenti. Bertani atau Mati! Itu prinsip kami.” Isyanto tak kalah
lantang, di hadapan kupingku yang berprofesi sebagai pengajar
dan peneliti.
“Semua sudah kami lakukan, tak ada yang kurang. Persetan
kata orang, yang penting kami masih panen. Mereka cuma
442 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Tanganku melukis sejarah berdarah, dan dunia adalah
kanvasnya.
Hasratku keserakahan tak kenal kenyang, tubuhku tumbuh
dari berjuta tumbal.
“Apa yang sudah dilakukan dan apa rencana kita untuk
selamatkan hasrat Baginda? Sejauh ini aku menciptakan pro
dan kontra, mereka sudah terkepung para pendukung tambang.
Bahkan, mereka sudah mulai bersengketa hanya karena perbedaan
cara melangkah.” Antropolog itu memulai diskusi.
“Aku sudah mengubah catatan sejarah, tafsirku telah menjadi
kesadaran massa, siapa pun akan yakin wilayah ini memang milik
Baginda. Seniman Gadungan itu, meski ia benar, siapa yang akan
percaya?” Sejarawan itu menyahut.
“Proses legal sudah kutempuh, berjalan mulus tanpa
hambatan, dari kontrak karya hingga AMDAL.” Si pakar hukum
sekaligus lingkungan itu tak mau kalah.
“Aku tahu pola produksi dan konsumi, ketimpangan
penguasaan lahan, dan potensi konflik di antara mereka.
Bagaimana denganmu? Apa kerjamu selama jadi wakilnya rakyat?”
Aku bertanya pada politisi di sampingku.
“Aku? Kalian kira aku tak kerja, lihat… Baginda sudah punya
alat hukum untuk memenuhi hasratnya. Sebuah undang-undang
yang istimewa. Aku tinggal mengesahkan aturan pelaksanaan,”
jawabnya.
“Laporan yang kuterima darimu menunjukkan bahwa mereka
rentan pada impor, rentan kenaikan harga sarana produksi, dan
biaya konsumsinya tinggi. Benar itu fakta lapangannya? Apa kau
sudah menghitung kekuatan pasar lelang mereka, Komandan?”
Ekonom itu bertanya padaku, yang lain menanti jawaban.
444 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sampingnya sudah dirancang jadi bandara internasional. Jika
rencana kita masuk hampir bersamaan dengan bandara, maka
mereka akan sibuk dengan urusan sendiri, ” jawabku.
“Bagus! Artinya ada peluang untuk masuk dengan program
pembangunan,” balas ekonom itu.
“Ya, tapi jangan langsung tambang. Risikonya terlalu besar.
Pengalamanku di berbagai tempat banyak gagalnya,” pakar
hukum sekaligus lingkungan mengingatkan, “tapi aku juga
punya cerita sukses, aku memasukkan sawit, tambang, dan
yang paling manusiawi adalah Carbon Trade ke dalam wilayah
hutan adat. Pertama kudorong masyarakat adat memodernkan
diri mereka dengan membuat LSM, maksudku mengukuhkan
identitas tradisional dengan cara-cara modern yang mereka
‘lawan’, lalu mereka merebut klaim atas ruang melalui perjuangan
legal hingga mendapat pengakuan negara dalam batas-batas
tertentu. Masyarakat adat dan wilayah adatnya diakui sepanjang
masyarakat itu masih punya identitas, baik wilayah, tradisi
maupun keberadaan orang-orangnya. Nah, pemerintah saat
ini memberikan Hak Komunal bagi masyarakat adat atas hutan
ulayat, dan itu artinya mereka akan dilekati hak milik dengan
sertifikat. Padahal, identitas masyarakat adat tidak mengenal
hak kepemilikan, lebih-lebih sertifikat. Begitu mereka menerima
sertifikat itu, maka mereka kehilangan identitas adatnya dan bisa
dikeluarkan dari wilayah yang semula mereka kuasai, itu cara
yang paling kasar. Cara paling halusnya, mereka akan jadi lebih
gampang untuk menilai ruang hidupnya dengan uang. Masyarakat
adat itu membahayakan selama mereka tidak tersentuh uang dan
cara berpikir modern.”
“Hmm…, kau benar, salah satu cara menyembuhkan migrain,
pusing kepala sebelah, adalah memukul keras-keras bagian
kepala yang tidak pusing, pusing di seluruh kepala bukan migrain
446 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kerajaan,” politisi menepuk-nepuk bahu sejarawan, yang ditepuk
mengangguk-angguk mengiyakan, “sementara itu, aku akan
dorong model-model penyelesaian konflik yang elitis, maksudku
yang tidak mengandalkan kekuatan massa, yang mengharapkan
kebaikan dan kehadiran orang-orang sepertiku, semacam lobi-
lobi yang mengandalkan peran negara. Perjuangan di luar hukum
dan parlementer kubikin semakin sulit dilakukan. Cuma itu
caranya memperpendek nafas perjuangan mereka.”
“Pas. Aku setuju. Ketika mereka beramai-ramai membuka
tambak, pelan-pelan mereka meninggalkan pertanian. Bertanam
adalah Berlawan hanya tinggal jargon,” kata antropolog itu.
“Ah, memoar kacangan saja kau perhitungkan. Biarkan saja,
penulisnya berkaca di cermin buram. Terlalu bangga dengan diri
sendiri. Bukankah itu justru menguntungkan?” Si pakar hukum
sekaligus lingkungan menimpali.
“Baik, kapan kita mulai? Waktu kita tak banyak. Kalau bisa
memang seiring pembangunan bandara internasional itu, agar
mereka tak sempat koalisi. Tapi, bagaimana mengantisipasi
kesadaran kelas? Kukira itu harus diperhitungkan. Antropolog
ada ide?” Si pakar ekonomi mendesak.
“Ide? Sementara ini, ya... Kita manfaatkan saja jargon
mereka. Kita kampanyekan memoar itu, kita ceritakan sebagai
kisah kemenangan. Lebih bagus kalau difilmkan, film yang
memukau dan melenakan, macam Samin vs Semen. Aku paling
suka bagian ketika manusia kapur itu bilang ‘Silakan bikin pabrik
semen di Papua yang masih luas wilayahnya, jangan di sini…’. Itu
memindahkan masalah ke tempat lain, bukan menyelesaikannya.
Jadi, semakin mereka merasa bangga dan tak tahan kritikan,
maka itu akan semakin menguntungkan. Bagiku akan sangat baik
jika hasil penelitian atau narasi perjuangan membeku di ruang
448 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Bahkan, ucapan “Selamat” tiba bertubi-tubi dari luar negeri. Pesta
kemerdekaan itu tak boleh lepas dari pengawasanku. Hanya satu
yang kucemaskan: penjara tak membuatnya jera!
Semua jadi lebih terang di sini, lebih terang dari sinar
mentari. Ikan-ikanku yang lucu berkeliaran dalam pengamatan,
di akuariumku, yang bening dan hening.
[ Southmountain, Januari 2016 ]
Untuk: Purwati
A. Pengantar
Distribusi populasi di Indonesia digambarkan dengan pulau
Jawa sebagai wilayah yang mengalami kelebihan populasi
(overpopulated) dan pulau-pulau di luar Jawa (outer island) sebagai
wilayah dengan populasi yang rendah (underpopulated).3 Dalam
upaya merespon tekanan populasi, Indonesia melaksanakan
program redistribusi populasi yang kemudian dikenal dengan
istilah transmigrasi. Mengacu pada MacAndrews, transmigrasi4
telah menjadi aspek penting dalam pembangunan di Indonesia
5 Lebih lanjut lihat MacAndrews. 1978. “Transmigration in Indonesia: Prospects and Problems”.
Asian Surrvey, Volume 18, No. 5, May, pp 458.
454 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pada satu sisi, transmigrasi merupakan sebuah instrumen
birokrasi untuk menciptakan keseragaman atau uniformitas
di berbagai kelompok yang berbeda secara kultural dalam satu
model kewarganegaraan Indonesia dan homogenisasi geografis.
Praktik-praktik kebijakan dalam program transmigrasi secara
nyata memunculkan resistensi pada kelompok-kelompok budaya
tertentu yaitu antara migran-migran Jawa dengan masyarakat asli
(indigenious people). Lebih lanjut, esai singkat ini akan membahas
mengenai homogenisasi geografis yang muncul melalui program
transmigrasi serta kompetisi budaya yang muncul antara
transmigran dengan masyarakat asli.
6 Dalam konteks pedesaan di Indonesia, beberapa praktek spasial yang berbeda dapat
diamati dari rutinitas religius, pertanian subsisten, persepsi-persepsi mengenai pengelolaan
hutan, ladang dan padang rumput serta kemampuan ruang yang dibutuhkan dalam suatu
masyarakat yang melekat dengan paham moral ekonomi.
456 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Orde Baru juga menggunakan transmigrasi untuk meningkatkan
produktivitas pertanian nasional dengan memperluas berbagai
program pengembangan pertanian melalui skema intensifikasi
padi dan sistem contract farming.
Transmigrasi juga digunakan untuk mengelola kelompok
marginal (petani, perambah hutan, pekerja sektor informal di
perkotaan, petani kecil) untuk kemudian mengubahnya dalam
sistem pertanian kapitalis. Pembangunan infrastruktur di lokasi
transmigrasi (jalan, pasar) merupakan bagian yang digunakan
untuk memfasilitsi pennyebaran industrialisasi). Dalam konteks
militer, transmigrasi juga menjadi mekanisme pemerintah
Indonesia untuk mengamankan wilayah-wilayah perbatasan
atau wilayah-wilayah yang jauh dan tidak stabil secara politis
seperti: wilayah perbatasan di Kalimantan, wilayah yang subur
dengan gerakan separatis seperti Irian Jaya dan Aceh). Yang
terakhir, program transmigrasi juga menjadi bagian dari birokrasi
pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol baik kelompok
migran itu sendiri maupun kelompok lokal yang berada di daerah
transmigran dengan menempatkan mereka dalam struktur
administrasi negara. Pemukiman transmigrasi merefleksikan
sebuah struktur birokrasi pedesaan yang top-down.
Dalam konteks politik spasial di Indonesia, dipahami sebuah
konsep mengenai ‘komunitas terbayang’ atau ‘komunitas imajiner’
(imagined community) yang mengacu pada sekelompok individu
yang memiliki ikatan dalam skala luas dan memungkinkan
mereka untuk melakukan kontak secara langsung. Dalam konteks
mengimajinasikan Indonesia inilah, Pemberton menyebutkan
bahwa Indonesia diimajinasikan berasal dari budaya keraton
di Jawa Tengah dimana didalamnya sebuah retorika budaya
mengkerangkai politik yang ada. Proses ini yang kemudian
mengacu pada ‘Jawanisasi’ atau memperluas hegemoni budaya
458 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
C. Transmigrasi sebagai Proyek Kebudayaan
Transmigrasi lokal tidak semata merupakan wujud representasi
ruang yang disebabkan oleh kekuatan politik dan ekonomi, tetapi
juga merupakan sebuah proyek budaya. Transmigrasi merupakan
proyek yang penting untuk memproduksi keindonesiaan yang
sejalan dengan ruang budaya yang diimajinasikan dengan istilah
‘Jawa’. Transmigrasi disebut sebagai sebuah praktik homogenisasi
budaya yang mengacu pada ‘jawanisasi’- yaitu penyebaran nilai-
nilai, keyakinan dan cara hidup Jawa ke wilayah-wilayah yang
ditinggali oleh kelompok budaya-kelompok budaya non-Jawa.
Terdapat empat representasi ‘kejawaan’ yang muncul dalam
pengelolaan transmigrasi di Lampung. Pertama adalah budaya
politik Indonesia yang didominasi oleh hegemoni kultural Jawa.
Departemen Transmigrasi dipimpin oleh orang-orang Jawa
dimana kemudian kebijakan-kebijakan pun diterjemahkan oleh
staf-staf yang juga berasal dari Jawa. Di Indonesia yang memiliki
kelompok etnis beragam, dominasi satu kelompok etnik bisa
dikatakan sebagai kolonialisme internal, dimana pulau-pulau
luar mengirimkan bahan mentah untuk diolah di Jawa dan Jawa
sebaliknya mengirim elit-elitnya ke luar Jawa untuk mengatur dan
mengamankan pulau-pulau ini.
Selain identitas budaya dari para pemimpin politik,
pengorganisasian komunitas dalam pemukiman transmigrasi
juga dibuat dalam model ‘desa dimana paham desa yang dibangun
dan diidealkan adalah ‘desa versi Jawa’, dibagi dalam rukun dan
bersifat hierarkis. Hal ini berbeda dengan konsep teritorial lokal
seperti di Lampung yang berbasis genealogi, non teritori dan non
hierarki. Kedua adalah arsitektur bangunan di daerah transmigrasi
lokal yang dibangun dengan konsep ‘pendapa Jawa’, bangunan
dengan empat tiang utama tanpa dinding. Ketiga adalah seremoni
atau tradisi Jawa seperti gotong royong dan slametan yang dibuat
460 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
di Lampung melalui program transmigrasi lokal. Wilayah-wilayah
hutan yang dihuni oleh migran dari Jawa dibirokratisasikan,
didesain oleh pemerintah sebagai wilayah yang dilindungi (untuk
menghentikan deforestasi, erosi). Pada tahun 1980-an, sekitar
seperempat juta perambah hutan dimukimkan kembali di daerah
Lampung Utara. Migran-migran ini dimukimkan kembali yang
kemudian menyebabkan status mereka diubah, legitimasi mereka
sebagai petani-petani perintis berakhir dan berganti menjadi
‘perambah hutan’ ilegal yang berada di luar orbitasi keruangan
Indonesia.
Resistensi diantara kelompok migran muncul pada proses
ini karena mereka harus meninggalkan tanah-tanah yang subur
dan mengikuti desain pertanian versi pemerinta yang tidak
ramah. Meskipun demikian, program ini menghadirkan sebuah
legitimasi baru, sebagai transmigran yang diberikan tanah mereka
sendiri dan yang terpenting adalah sertifikat kepemilikan dalam
posisi yang lebih aman daripada yang sebelumnya. Sementara
struktur tenure berkontribusi pada munculnya aliansi antara
kepentingan migran dan negara, faktor-faktor yang lebih luas juga
berkontribusi pada ide tentang pemukiman transmigrasi lokal
yang dikonstruksikan dengan cara yang baru dengan menganggap
migran-migran sebagai dunia orang Jawa. Pemukiman didesain
dalam lanskap yang berbeda dengan lanskap orang Lampung.
Petugas administrasi desa merasa akrab dengan migran karena
satu suara dengan pimpinan pemerintah yang ditunjuk. Migran
merasa puas dengan pengakuan mereka sebagai warga negara
Indonesia sepenuhnya melalui sertifikat tanah, dan tinggal dalam
lingkungan kelembangan yang mereka akrabi dan membuat
mereka merasa sebagai orang-orang Jawa.
Migran-migran Jawa melihat rekonstruksi masyarakat Jawa
dan menguatnya nilai-nilai Jawa. Hal ini dirasakan oleh tetangga
462 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
yang mereka lihat dari para transmigran dari Jawa. Resistensi
mereka terhadap program transmigrasi ditunjukan dalam konsep
otonomi dan kepercayaan diri dalam kultur Lampung yang
disebut dengan pi’il pesingiri. Keterpinggiran yang mereka alami
bermula dari nasionalisasi tanah-tanah leluhur dan menurunnya
kekuatan politik pada elit-elit orang Lampung sendiri akibat
tatanan Orde Baru. Orang Lampung (Lampungese) dianggap
masih terbelakang (backward) dan belum maju (not yet modern).
Dalam skema transmigrasi, mereka ini kemudian disebut sebagai
penduduk asli (indigenious people).
Orang-orang Lampung ini menolak sistem pertanian
pemerintah yang diperkenalkan para petani transmigran Jawa.
Keduanya memang memiliki sistem pertanian padi yang berbeda.
Masyarakat Lampung biasanya menanam padi satu kali dalam
setahun dengan menggunakan varietas padi lokal yang harus
dibesarkan sampai 6 bulan. Buruh bekerja tiga kali dalam satu
tahun untuk membersihkan rumput, tetapi mencangkul atau
membajak tanah tidak dikenal. Sementara itu, petani transmigran
Jawa membuat sistem irigasi dengan teknologi sederhana seperti
pengalihan arus air. Menanam padi dilakukan dua kali dalam satu
tahun, menggunakan buruh atau tenaga kerja untuk membajak
sawah.
Pemerintah meyakinkan bahwa masyarakat lokal Lampung
pun bisa menggunakan teknik pertanian padi seperti yang
dilakukan oleh para petani transmigran. Seperti halnya
yang dikuatkan oleh negara, petani transmigran dari Jawa
memandang bahwa mencangkul tanah, menggemburkan tanah
dan membersihkan rumput sebagai hal yang sangat penting.
Cangkul merupakan simbol identitas mereka sebagai petani dan
ini seringkali dipakai untuk membedakan sistem pertanian orang
lampung dengan sistem pertanian orang Jawa. Transmigran Jawa
464 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
cara memproduksi bahan pangan, melainkan merupakan sebuah
simbol tentang negara atau simbol tentang Indonesia. Bertani
padi versi Jawa ini merepresentasikan sebuah mode organisasi
sosial, struktur politik lokal, dan kontrol negara.
E. Penutup
Imajinasi geografis dalam konteks negara bangsa pascakolonial
melekat erat dalam kontrol sumberdaya dan identitas dalam
program transmigrasi. Proses mengimajinasikan Indonesia
berkaitan erat dengan homogenisasi spasial melalui aktivitas yang
sangat bias Jawa. Transmigrasi merupakan intrumen birokrasi
untuk menciptakan keseragaman yang mengatasi berbagai
keragaman yang ada dalam kelompok-kelompok budaya di
Indonesia yang pada kenyataannya juga menghadirkan resistensi
politik dan heterogenitas budaya.
Kompetisi antara transmigran dengan masyarakat asli
menunjukan bahwa pemindahan penduduk dalam konteks
transmigrasi tidak dengan serta merta mampu menjembatani
persoalan kepadatan penduduk dan pengurangan kemiskinan
(peningkatan kesejahteraan). Peminggiran masyarakat asli adalah
sebuah keniscayaan yang mengancam identitas kultural dan
karakter masyarakat Indonesia yang heterogen.
Daftar Pustaka
Arndt, HW. “Transmigration: Achievements, Problems, Prospects.”
Bulletin of Indonesian Economic Studies. Volume XIX, No 3,
December 1983. pp 50-73. DOI: 10.1080/0007491831233133
4429.
Elmhirst, Rebecca. 1999. “Space, Identity Politics and Resource
Control in Indonesia’s Transmigration Programme”. Political
Geography ,Volume 18, p. 813-835. www.elsevier.com.
466 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Ekonomi Politik Ruang-Seni dan
Pertanyaan-pertanyaan Agraria1
(Studi Kasus Proyek Seni Jogja Nduwe Gawe)
Kus Sri Antoro2
1 Versi awal tulisan ini berjudul Ekonomi Politik Seni dalam Jogja Nduwe Gawe, merupakan
artikel pemantik diskusi Jogja Nduwe Gawe (Event Seni sebagai Branding Kota Yogyakarta),
oleh Nekropolis, 18 Mei 2018, di Gerak Budaya Bookstore, Jl. Gondang Raya No 8 Condong
Catur Depok Sleman. Diterbitkan kembali dengan tujuan pendidikan, utamanya isu Seni
Aktivisme dan Agraria.
2 Penyintas Akumulasi Primitif, Praktisi Aktivisme Seni
budaya, kita sesungguhnya berbagi udara dengan rezim
tersebut. Praktik dominansi dan kuasanya juga sering
kali tidak kita sadari, karena beroperasi dengan sangat
halus, atau bahkan meminjam tangan dan tubuh kita.
Dari sini, posisi ruang seni budaya cukup dipertaruhkan.
Memilih bertahan di bawah rezim tersebut atau bergerak
keluar untuk mengkritisi dan menjadi tandingan” (IVAA
Archive Team)3.
3 Lisistrata Lusandiana; Sukma Smita; dan Krisnawan Wisnu Adi. 2017. Katalog Data IVAA:
Seni, Aksi dan Jogja sebagai Ruang Urban (Sejak reformasi hingga kini). IVAA, Yogyakarta.
4 Subsistensi merujuk pada pengertian habis untuk membiayai kebutuhan primer
5 industri merujuk pada pengertian berorientasi akumulasi laba dan reproduksi modal.
468 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
seni masih mencipta ruang yang tak tersentuh masyarakat,
terutama pada acara pentas musik dan performance art.
Pada 25 Mei 2017, peringatan yang sama kembali digelar,
namun tak lagi dalam suasana mencekam. Seluruh mata acara
digagas dan dikerjakan oleh masyarakat. Tak ada unsur seniman/
pekerja seni kota yang tahun lalu berkolaborasi yang terlibat pada
peringatan ke-2 ini. Tiada sambutan komunitas senasib, hanya
himbauan moral lingkungan dari elit lokal dan ucapan selamat
atas kemenangan perjuangan dari penasihat hukum masyarakat.
Tiada pengawasan aparat bersenjata maupun sensor. Dan acara
hanya berlangsung hingga sore dengan tertib dan damai. Seorang
kolega menyebut peringatan kedua ini sebagai fase penjinakan.
Beberapa waktu kemudian, kawasan itu dipromosikan oleh elit
setempat sebagai wisata alternatif dengan memanfaatkan simbol-
simbol perjuangan, berupa pesta acara pernikahan keluarga
elit lokal dengan masyarakat setempat sebagai para pelayan
berseragam sekolah dasar!
Pada 10 Mei 2018 (bukan 25 Mei 2018), peringatan ke-3 digelar.
Kali ini jumlah aparat lebih banyak, namun untuk mengawal
arak-arakan yang mengusung patung kertas katak raksasa
berseragam sekolah dasar yang membawa tulisan: Tolak Investor
Nakal Selamanya. Jumlah pemeriah juga lebih banyak, antara lain
aparat keamanan, pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten.
Tak ada komunitas senasib yang hadir atau memberi sambutan,
melainkan dari unsur pemerintah semata dan penasihat hukum
masyarakat. Tak ada sambutan bernuansa perlawanan seperti
tahun 2016, melainkan bujukan untuk menjadi bagian dari
pemerintah dalam logika wisata industri. Wisatawan yang hadir
pun tidak menjadi bagian dari acara, bertolak belakang dengan
peringatan pertama. Seorang kolega mendakwa peringatan ke-3
6 Hendro Sangkoyo mengusulkan istilah pengganti untuk Pemerintah yaitu Pengurus Publik,
sebab istilah pemerintah bernuansa otoriter ketimbang demokratis dan kedaulatan negara
berada di tangan rakyat.
7 Pameran, pertunjukan, pementasan, peristiwa seni
8 Misalnya Blue print kebudayaan DIY merujuk pada UU Keistimewwan DIY yang mengukuhkan
Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman sebagai sumber dan tolok ukur kebudayaan DIY.
9 Without context, arts remain lifeless.
470 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sebelum jauh melangkah menuju branding-membranding,
saya hendak mengajukan perdebatan awal mengenai Teks (Seni)
dan Konteks (Yogyakarta, sebagai ruang dan sebagai salah satu
entitas kebudayaan bercorak Jawa, mengingat identitas Jawa
tidaklah tunggal) merujuk pada ide awal diskusi ini. Semoga tidak
terjebak pada kritik yang membabi buta.
Tentang Yogyakarta sebagai konteks.
Keberadaan dan perkembangan Yogyakarta dipengaruhi
oleh ekonomi politik yang hari ini dominan—lazim disebut
kapitalisme10, yang oleh Bernstein (2015:1)11 kapitalisme ditakrifkan
dalam konteks agraria12 sebagai sistem produksi dan distribusi yang
didasarkan pada relasi sosial antara kapital (pemodal) dan buruh;
kapital mengeksploitasi buruh guna mengejar laba dan akumulasi,
sementara buruh harus bekerja untuk kapital agar bisa bertahan
hidup. Artinya ada pekerja13 yang menggantungkan nasibnya pada
pemodal.
Kelahiran Kesultanan Yogyakarta, sebagai pusat tata nilai;
kekuasaan; dan identitas, selaras dengan maksud dan tujuan
VOC yang diteruskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
keduanya penjajah, pelaku kolonialisme. Demikian pula,
Kadipaten Pakualaman yang muncul di era pendudukan Inggris.
Sumber-sumber agraria (tanah, air, udara) dalam penguasaan
rakyat secara fisik, namun secara politik rakyat tunduk pada
14 David Harvey. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
15 www.selamatkanbumi.com//id/tanahmu-bukanlah-milikmu
16 Daftar Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten terbitan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang
DIY 2015
472 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Kadipaten Pakualaman yang diikat dengan Perjanjian Paku Alam
I dengan T. S. Raffles 1813. Artinya, Keistimewaan DIY lahir dari
klaim yang bertolak belakang dengan fakta sejarah (Soekanto,
1953)17.
Selaras catatan Dian Yanuardy (2012, 2014)18, Keistimewaan
DIY berperan dalam penyediaan ruang produksi baru yang luas
dan murah bagi proyek-proyek MP3EI19 atau RPJMN20, yang
menyebabkan konflik agraria, berupa perebutan ruang hidup,
antara masyarakat versus negara dan/atau korporasi. Ruang hidup
itu, dalam makna sumber-sumber agraria, artinya lebih dari ruang
material yang bisa ditukar dengan sejumlah uang, melainkan
ruang di mana ikatan-ikatan sejarah; sosial; religi, politik, dan
kebudayaan suatu masyarakat dengan lingkungannya terbentuk.
Ruang di mana seni lahir dan berkembang21.
Tentang Seni sebagai teks.
Seni yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta, baik
tradisional; modern; maupun postmodern/kontemporer, juga
dipengaruhi oleh ekonomi politik dominan. Di masa kelahirannya,
Yogyakarta menegaskan perbedaan dengan Surakarta dalam ciri
22 Misalnya tari klasik gaya Yogyakarta berbeda dengan gaya Surakarta; wayang kulit purwa gaya
Yogyakarta berbeda dengan gaya Surakarta.
23 Misalnya Beksan (tari) Bedhaya Ketawang; Lawung Ageng; Serimpi Padhelori (piranti tarinya
pistol), Serimpi Merak Kasimpir, atau parade prajurit Kesultanan yang melangkah anggun
dengan senapan dan sepatu layaknya serdadu kolonial. Di Pakualaman pengaruh kolonial
tampak pada Beksan Inum; Floret dan Sabel.
24 Kus Sri Antoro. 2017. (menuju) Kritik Aktivisme Seni di Yogyakarta dalam Katalog Data IVAA:
Seni, Aksi dan Jogja sebagai Ruang Urban. IVAA. Yogyakarta
25 Rony Gunawan Sunaryo, Nindyo Soewarno, Ikaputra, dan Bakti Setiawan. 2014. Pengaruh
Kolonialisme pada Morfologi Ruang Kota Jawa Periode 1600-1942. Seminar Nasional
Riset Arsitektur Dan Perencanaan (SERAP) 3 Manusia dan Ruang dalam Arsitektur dan
Perencanaan 22-23 Agustus 2014, Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas
Gadjah Mada.
26 Indah Septi dan Agus Sachari. 2007. Pergeseran Gaya Estetis Mebel di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat ITB J. Vis. Art. Vol. 1 D, No. 1, 2007, 85-107 85
27 Onghokham. 1991. Rakyat dan Negara. LP3ES. Jakarta
28 Afrizal Malna. Seni dan Kapitalisme Tidak Bermutu. Harian Bernas 15 Agustus 1991. Sumber
arielheryanto.wordpress.com diunduh 13 Mei 2018.
474 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Ruang), dan Rp. 2,5 M (Bidang Kelembagaan), Bidang Tata Cara
Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur masih kosong.
Pada 2014, Danais cair sebesar Rp. 523,8 M (realisasi penyerapan
Rp. 272,05 M), dengan alokasi Rp. 375,1 M (Bidang Kebudayaan),
Rp. 23 M (Bidang Pertanahan), Rp. 124 M (Bidang Tata Ruang), Rp.
1,67 M (Bidang Kelembagaan), dan Rp. 0,4 M(Bidang Tata Cara
Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur). Pada 2015,
Danais cair Rp. 547,45 M (realisasi penyerapan 477,49 M), dengan
alokasi Rp. 420,8 M (Bidang Kebudayaan), Rp. 10,6 M (Bidang
Pertanahan), Rp. 114,4 M (Bidang Tata Ruang), dan Rp. 1,65 M
(Bidang Kelembagaan serta Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur). Pada 2016, Danais cair Rp. 547,45 M
(realisasi penyerapan 531,72 M), dengan alokasi Rp. 179 M (Bidang
Kebudayaan), Rp. 13,85 (Bidang Pertanahan), Rp. 352,75 (Bidang
Tata Ruang), dan Rp.1,8 M (Bidang Kelembagaan serta Bidang
Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur). Pada
2017, Danais cair Rp. 800 M, dengan alokasi Rp. 439,90 M (Bidang
Kebudayaan), Rp. 17,19 M (Bidang Pertanahan), Rp. 325,812 M
(Bidang Tata Ruang), Rp. 14,25 M (Bidang Kelembagaan), dan Rp.
2,83 M (Bidang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur).
Temuan IDEA29 menunjukkan, penggunaan Danais Tahun
Anggaran 2015 terbesar untuk Belanja Modal (40%), menyusul
kemudian untuk Pihak ke-3 (17 %), untuk Jasa Kantor (13 %), dan
digunakan Event Organizer dalam Bidang Kebudayaan (4%).
Dengan demikian, dalam konteks membranding Seni atau
Yogyakarta, hubungan timbal balik antara Seni sebagai teks dan
Yogyakarta sebagai konteks hanya mungkin terjadi pada wilayah
aksiologis, yaitu kebutuhan pragmatis antara teks dan konteks
untuk saling menghidupi dalam iklim kapitalisme. Saya tidak
30 Perayaan ini bisa berfungsi ganda, yaitu: feodalisasi dan komodifikasi untuk tujuan wisata,
meski dipaksakan atau tidak disadari. Hanya sedikit sekolah yang para siswanya tidak
melaksanakan kebijakan Kamis Pahing.
31 Misalnya patung penari topeng di Beji, Patuk, Gunungkidul; patung pemain volly pantai di
pantai Sepanjang, Tanjungsari, Gunungkidul dan patung penari kuda lumping di lapangan
Paseban Bantul.
32 Lisistrata Lusandiana. 2014. Menolak Wisata, Menjadi Warga Dunia? Analisis Identitas
Backpacker sebagai Subjek Wisata Alternatif. Tesis Magister Ilmu Religi dan Budaya.
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
476 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Dalam karya ilmiah, yaitu Penduduk dan Perkembangan Kota
Yogyakarta 1900-1990 (Djoko Suryo, 2005)33, juga dinyatakan
bahwa berkembangnya Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata
merupakan suatu periode yang muncul setelah Yogyakarta
berkembang sebagai kota budaya. Sejak masa sebelum
kemerdekaan hingga tahun 1950 dan 1960an, Yogyakarta menjadi
tempat kelahiran banyak seniman dan karya seni, mulai dari seni
lukis, sastra, teater, patung, musik beserta sanggar-sanggarnya.
Tak lupa juga seni pedalangan dan seni tari tradisional Jawa pun
berkembang. Sehingga ditegaskan bahwa dari sinilah Yogyakarta
layak mendapat julukan sebagai kota budaya. Baru setelah tahun
1960an Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata.
Kini, Seni dan Yogyakarta hendak dirangkai kembali dengan
konsep wisata, dalam imajinasi industri wisata. Kemudian, Seni
ditempatkan sebagai merek dagang/brand dari Yogyakarta untuk
mendongkrak industri wisata, yang umumnya berciri wisata
massal beserta jasa-jasa pariwisata (transportasi, penginapan,
agen perjalanan dll).
Sudah banyak kritik terhadap wisata massal dalam konteks
masyarakat industri kelanjutan kolonialisme, yang terbukti
menciptakan gejala tourism destroys tourism, akibat aktivitas
wisata melampaui daya dukung dan daya tampung ruang/tempat
wisata. Alternatifnya, konsep wisata alternatif yang dinilai lebih
bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan dan budaya
ditawarkan, misalnya ecotourism34, sustainable tourism35, voluntary
tourism36. Namun demikian, pendekatan poskolonialisme menilai
33 Djoko Suryo (2005), “Pendudukan dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”, dalam
Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro dan Johny Alfian Khusyairi (ed.),
Kota Lama Kota Baru, Penerbit Ombak
34 Praktik tourism yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekosistem, konsep ini muncul
sebagai revisi atas praktik tourism yang merusak struktur dan fungsi bentang alam.
35 Praktik tourism dalam sustainable development, yang mana sustainable development hanyalah
varian dari developmentalism.
36 Praktik tourism yang menawarkan pengalaman berinteraksi sosial, misalnya berwisata
sekaligus menjadi relawan kebersihan tempat wisata bersama warga pengelola tempat wisata.
37 Lauren Gula (2006), Backpacking Tourism: Morally Sound Travel or Neocolonial Conquest,
tesis yang tidak diterbitkan, Universitas Dalhousie
478 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sejarah perebutan ruang. Kapitalisme akan berakhir bila tak
memperluas diri terus menerus dengan melakukan ekspansi
geografis, sehingga reorganisasi ruang harus dilakukan (Lefebvre
dalam Shohibuddin, 2018:27)38.
Tak ada ruang yang tak politis. Itulah dasar argumentasi
Lefebvre dalam mengembangkan Teori Produksi Ruang, baik
ketika ruang diposisikan sebagai produk maupun sebagai proses
penentu hubungan dan praktik sosial.
Sebagai produk, ruang adalah produk dari kekuatan ekonomi,
politik serta ideologi. Lefebvre menurunkannya menjadi tiga
elemen yang terdapat dalam proses pembentukannya, yaitu spatial
practice, representations of space dan spaces of representation.
Ketiga elemen itu harus ditempatkan di dalam konteks sejarah
dan masyarakat tertentu. Masyarakat urban perkotaan adalah
konteks yang menjadi fokus perhatian Lefebvre, karena salah
satu dampak globalisasi kapitalisme ialah industrialisasi yang
menempatkan kota sebagai pusat produksi laba; pusat konsumsi;
dan pusat administrasi dari penyelenggaraan negara. Negara dan
kota adalah ruang material di mana proses produksi berlangsung
dan kemudian menentukan karakter dari ruang tersebut. Di
ruang kota itulah modernisasi terkonsentrasi, di ruang kota itulah
alienasi terjadi. Kemudian, wisata hadir sebagai respons atas
alienasi.
38 Mohammad Shohibuddin. 2018. Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian
Empiris. STPN Press. Yogyakarta
39 Rizky Effendy. Sebuah Wacana : Menyikapi Keterbatasan Infrasktruktur Seni Rupa Indonesia,
IVAA.
40 FX Harsono. 2014. Seni Rupa dan Perkembangan Kebudayaan. http://koalisiseni.or.id/seni-
rupa-dan-perkembangan-kebudayaan/
41 Misalnya mobil angkutan Si Thole
480 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dalam proses pengadaan tanah untuk berbagai fasilitas itu
disertai perampasan ruang hidup, penggusuran, dan perusakan
lingkungan; sebagai contoh di Seruni, Watukodok, Parangkusumo,
dan Temon. Industri wisata juga memposisikan seni sebagai
pelengkap industri yang digenjot dengan Danais.
Seni dapat melampaui zaman, namun ruang berkembang
seiring zaman. Pada praktiknya, seni yang melampaui zaman
akan dijinakkan agar tak mengganggu stabilitas ruang. Jika seni
dan ruang telah mengalami krisis oleh modernisasi, maka wisata
yang bisa ditawarkan hanyalah wisata krisis-krisis. Pertunjukan
performance art di situs wisata yang ekstraktif atau pameran
seni rupa kontemporer di galleri sebagai fasilitas suatu hotel
atau apartemen yang tegak di atas krisis air bersih masyarakat
sekitarnya bisa menjadi contoh konkret wisata krisis di Yogyakarta.
Atau, bisa berupa pasar seni yang dibiayai oleh agen-agen finansial
dari industri ekstraktif atau infrastruktur yang menghancurkan
ruang hidup dan ekosistem; atau, propaganda perampasan tanah
masyarakat dengan pentas wayang kulit di halaman kantor
developer di lokasi calon bandara baru di Kulon Progo pada 15
Desember 2017 silam.
42 Alan W. Moore. 2004. Political Economy As Subject And Form In Contemporary Art. Review
Of Radical Political Economics, Volume 36, No. 4, Fall 2004, 471-486
482 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
tani mencangkul dengan cangkulnya sendiri, meski pekerja
seni berkarya dengan perkakasnya sendiri, ia bekerja untuk
upah atau menjual ide/tenaga demi moda produksi pemodal.
2) Siapa mengerjakan apa?
Pemodal industri wisata atau pemilik usaha wisata
menyediakan ruang untuk berkarya bagi seniman, ruang
pamer, pasar seni, bahkan modal untuk berkarya bagi seniman.
Sedangkan seniman mengerjakan karya pesanan, atau karya
yang menjawab kebutuhan pasar. Dalam penyediaan ruang
bagi industri wisata, pemodal menceraikan lahan dari
masyarakat pemilik/penguasa lahan (primitive accumulation
by dispossesion); dan seniman mengkomoditisasi material,
ruang43, atau waktu44 menjadi komoditas seni sekaligus
komoditas wisata.
3) Siapa mendapat apa?
Pemodal atau pemilik usaha wisata memperoleh laba dari
industri wisata, sekaligus modal untuk diputar kembali.
Seniman memperoleh upah atau laba dari hasil penjualan
karya di galeri, pasar seni, panggung, atau event yang
diselenggarakan industri wisata. Namun, pendapatan
pemodal atau pemilik usaha wisata berkali lipat daripada
pendapatan seniman, sehingga posisi seniman akan selalu
berada di bawah kuasa pemodal atau pemilik usaha wisata.
Hidup seniman tergantung dari pelayanannya pada pasar.
45 Pertanyaan ini masih dalam ranah modernisme, menyesuaikan nalar modernisme dari
industri wisata berupa membranding event seni bagi Yogyakarta sebagai kota wisata.
484 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menyisakan seniman sejati, atau seniman sejati hanyalah mitos
belaka?
“Berbicara wisata pada hari ini, berarti tidak hanya
membicarakan turis dan objek wisata, visa dan
industri jasa wisata. Ketika membicarakan wisata, kita
membicarakan masyarakat, manusia. Sesungguhnya,
kita membicarakan diri kita sendiri” (Lusandiana, 2014)46
Karangwaru, 29 Sya’ban 1439
29 Ruwah 1951
46 Ibid 72
488 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 1. Perubahan akibat transisi demografi
490 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 2. Pertumbuhan populasi di Indonesia dan Nigeria
492 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar.3. Faktor Pendorong Transisi Demografi
494 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Tabel 2. Perbandingan Faktor-Faktor yang Diwariskan Antara
Indonesia dan Nigeria
Indonesia Nigeria
Modal Manusia Fasilitas kesehatan masih Fasilitas kesehatan masih
(Dimensi elementer/belum baik, tingkat elementer, tingkat kematian
kesehatan dan kematian anak-anak 155, jumlah anak-anak 166, jumlah
pendidikan) kelahiran hidup 44 , literasi orang kelahiran hidup 39, literasi
dewasa 54, jumlah yang terdaftar orang dewasa 25, jumlah
di pendidikan menengah 12, yang yang terdaftar di pendidikan
terdaftar di pendidikan tinggi 1 menengah 5, yang terdaftar
di pendidikan tinggi 0,4
Sistem Didominasi sistem keluarga Garis kekerabatan (silsilah)
Keluarga inti dengan rumah tangga yang dari garis ayah, tradisi
relatif otonom secara ekonomi, merawat anak secara
tingkat perjodohan pada bersama-sama oleh
perempuan yang berusia sangat saudara, poligami banyak
muda sebanding dengan tingkat dilakukan, pengelolaan
perceraian yang tinggi, relasi keuangan terpisah antara
sosial antara jenis kelamin yang istri dalam setiap rumah
berbeda relatif seimbang, poligini tangga, ekonomi keluarga
relatif jarang, sistem keluarga ditopang oleh bantuan dari
inti tidak menjadikan keluarga sanak keluarga sehingga
responsif terhadap tekanan ukuran keluarga tidak
akibat perluasan pasar dan terlalu diperhitungkan
persyaratan pendidikan sehingga
jalan keluarnya adalah dengan
mengurangi ukuran keluarga yang
direncanakan
Komunitas dan Organisasi sosial pedesaan di Struktur organisasi
Kekerabatan Indonesia bersifat hierarkis (top- sosialnya terdiri dari:
down), dan sistem administrasi emirate, raja, dan kepala
paralel suku. Terdapat organisasi
sosial lokal yang
terpisah yaitu organisasi
kekerabatan (lineage) yang
mengendalikan keputusan
pernikahan anggotanya
496 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
serta politik kepemilikan tanah yang tidak dimiliki secara
individu. Ketiga, berkaitan dengan peran komunitas, pengelolaan
program di Indonesia tidak hanya untuk keluarga berencana
tetapi juga program lainnya, didukung oleh solidaritas komunitas
dan tekanan sosial dalam konteks administrasi publik dengan
struktur yang otoritarian dan bekerjasama dengan pimpinan-
pimpinan di pedesaan. Nigeria memiliki kehidupan politik yang
lebih bebas di level lokal, lebih tidak teratur, diatura oleh ikatan-
ikatan hutang budi (tidak bersifat paksan). Keempat, sistem
kepercayaan ini berkaitan dengan organisasi keagamaan yang
sangat potensial pada perilaku fertilitas. Di Indonesia, kampanye
keluarga berencana yang dilakukan dengan bekerjasama dengan
pimpinan muslim sangat membantu kesuksesan program ini. Di
Nigeria, kelompok muslim, kristen dan agama lokal cenderung
bersaing. Kesehatan menjadi domain dari jaringan para ahli
pengobatan tradisional yang seringkali resisten dengan program-
program fertilitas. Kelima pemerintahan, Indonesia ditandai
dengan administrasi publik, perlindungan fisik dan stabilitas
sosial yang relatif lebih efektif. Hal ini tidak dijumpai di Nigeria.
1 Sejarah transisi demografi ditandai dengan tidak adanya keterlibatan langsung pemerintah.
Ukuran keluarga yang lebih kecil merupakan respon yang dilakukan secara individual untuk
meningkatkan daya tahan hidup seorang anak dan adanya berbagai perubahan peluang yang
harus diantisipasi. Ini adalah pengalaman pada masyarakat di negara Barat pada awal abad
20 dan sebelum Perang Dunia ke II di Jepang. Hal ini terulang di Brazil pada perang dunia.
Ini yang terjadi pada rute kebijakan transisi demografi di Nigeria, yang terletak pada faktor
sosial ekonomi seperti pendapatan yang lebih tinggi, peningkatan pendidikan dan kesehatan,
urbanisasi serta ‘ideational change’ yaitu transformasi dalam perilaku dan nilai-nilai yang
berdampak pada fertilitas meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan realitas faktual
yang terjadi saat ini.
Urbanisasi adalah pendorong terbesar. Menurunnya fertilitas urban relatif lebih lambat
dibandingkan dengan fertilitas pedesaan karena hambatan yang bersifat warisan, seperti
penduduk kota yang tidak terlalu terikat dengan tradisi-tradisi sosial ataupun kaidah
(amanat) budaya. Ada perbedaan cukup besar ddalam fertilitas antara masyarakat urban dan
rural di Nigeria, yaitu 1-2 anak dari total fertilitas pada tahun 2008 (4.7 Vs 6.3) dan perbedaan
ini dapat meningkat secara cepat: ada wilayah di Afrika yang sangat dikenal dengan fertilitas
urbannya yang sangat rendah seperti Addis Ababa. Jika demikian, fertilitas model Brazil
dapat direfleksikan juga di Nigeria.
2 Untuk penurunan fertilitas, perhatian dunia pada persoalan populasi dapat dicermati dari
menurunnya tingkat kelahiran di Asia. Penurunan ini bersamaan dengan sentimen-sentimen
yang bertentangan dengan sasaran program-program keluarga berencana, model orang
Asia,seperti yang ditunjukan dalam Cairo Agenda 1994, tererosi akibat kepentingan yang
muncul akibat bantuan dari dalam dan luar negeri untuk pengendalian kelahiran, kecuali
di Afrika yang tingkat fertilitasnya tetap tinggi. Fakta dari situasi ini menunjukan adanya
pengabaian isu populasi dalam prioritas pembangunan di afrika, seperti yang misalnya
dipublikasikan pada tahun 2005 dalam Commission for Africa dalam agenda dan kegiatan
African Union.
498 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
desain program ke depan, harus disesuaikan dengan kondisi sosial
ekonomi yang telah dibuktikan dari pengalaman selama beberapa
dekade. Fertilitas relatif rendah. Penurunan fertilitas dapat dilihat
sebagai capaian dari rezim mortalitas modern.3 Ini memang
tidak terjadi dalam suatu ketika, namun seringkali berlangsung
dalam beberapa dekade, dengan pertumbuhan populasi yang
cepat. Kebijakan langsung yang mendukung hal ini adalah
program-program keluarga berencana. Hambatan utama dalam
transisi fertilitas adalah warisan kelembagaan masa lalu: realitas
punahnya pratriarki sebagai dispensasi yang usang. Beberapa
warisan tetap abadi dan tanggungjawab kebijakan yang lebih
besar adalah membuatnya menjadi dorongan untuk dispensasi
yang baru, salah satunya dalam pencapaian tingkat fertilitas yang
dibutuhkan oleh masyarakat modern.
Daftar Pustaka
Chojnacka, Helena. “Poligyny and the Rate of Population Growth”.
Population Studies, Volume 34, Issue 1, Hlm 91-107.
McNicoll, Geoffrey. “Achievers and Laggards in Demographic
Transition: A Comparison of Indonesia and Nigeria”. Dalam
Lee, Ronald D dan Reher, David S. (ed). 2011. Demographic
Transition and Its Consequences. A Supplement to Vol 37.
USA: Wiley-Blackwell.
3 Proyeksi menengah dari UN terhadap Nigeria dapat dilihat dalam skenario berikut ini:
Mereka menunjukan anjloknya fertilitas sampai 2.4 (mendekati tahun 2050) di kelompok
urban sekitar 76%. Brazil akan mencapai fertilitas di level itu, tanpa adanya pecahan di
kelompok urban yang sama. Transisi fertilitas di Indonesia, sebaliknya lebih berpusat pada
kota (urban centered). Ideational change secara alamiah menjadi lebih kuat atau menjadi
sulit untuk diramalkan. Dinamika nilai-nilai tidak bisa secara jelas ditentukan. Ideational
change, berbagai kepercayaan, mendasari penurunan fertilitas secara simultan pada berbagai
wilayah. Beberapa melihatnya sebagai sebuah kegagalan substansial fertilitas seperti
yang terjadi di Bangladesh pada tahun 1980-an dan 1990-an yang terjadi karena kemajuan
ekonomi yang lambat. Opera sabun di Amerika Latin seringkali mengambil isu ini untuk
bisa mempengaruhi perubahan perilaku berkaitan dengan ukuran keluarga di wilayah
tersebut, dampaknya cukup sulit untuk bisa memisahkan dari konsumer ekonomi. Dan di
Afrika, perkembangan telepon selular yang sangat cepat serta berbagai aplikasinya adalah
sebuah fenomena baru yang sangat potensial dalam mengubah sejumlah besar lingkungan
kehidupan.
500 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Jalinan Kematian
Kus Sri Antoro
502 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menjadi sesuatu yang bukan dirimu. Seseorang yang tumbuh
tanpa dihantui kecemasan-kecemasan.
Apa yang kau cemaskan, Anakku? Ibu selalu membelamu
di hadapan siapa pun; membelamu ketika ayahmu menuntutmu
lebih dan membandingkanmu dengan anak tetangga yang juara
satu atau dua; membelamu ketika kakak pembina memarahimu
karena kau gagal ujian tali-temali dalam pramuka; membelamu
ketika kau dianggap tak becus baris-berbaris saat latihan upacara
bendera; dan membelamu ketika teman-temanmu mengataimu
bodoh dan tak berguna. Berapa kali ibu bilang padamu agar kau
tak perlu takut ketika mendapat nilai 5 untuk matematika. Kau
tetap anak pintar. Lihatlah, teman-temanmu sekelas tak ada yang
mampu menggambar sebagus kamu. Kau tahu? Tarianmu yang
paling luwes di antara anak-anak seusiamu. Dan, adakah anak yang
suaranya lebih merdu darimu di lingkungan pedukuhan ini? Tidak
ada, Nak. Cuma kamu yang istimewa. Kenapa kau harus takut
dianggap bodoh oleh ibu guru hanya karena nilai matematikamu?
Apakah benar ibu guru memarahimu setiap kali kau tak dapat
mengerjakan soal paling mudah, Nak? Apakah ibu guru di sekolah
pernah memujimu untuk kemampuanmu yang lain? Mungkin
tidak. Matematika, IPA, pendidikan kewarganegaraan tetaplah
yang utama buat para gurumu, para orang tua teman-temanmu,
para tetangga kita. Tetapi, ibu selalu memujimu apa pun
keadaanmu, Tiara, sebab kau adalah putri kesayangan keluarga
ini, putri semata wayang yang amat kusayang.
Ibu masih ingat, setiap minggu pagi kita menyantap
jajanan pasar kesukaan kita masing-masing. Ibu suka gatot dan
thiwul—kau ingat? Keduanya dibuat dari gaplek, ubi kayu yang
dikeringkan. Kau suka cenil, lopis, dan grontol, dengan kuah juruh
yang kental. Ibu suka ketika kau ceriwis menanyakan bagaimana
membuat cenil yang warna-warni dari tepung tapioka, bagaimana
504 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kau kenakan seragam pramuka, Nak? Jika ibu guru memarahimu,
maka ibu yang akan membelamu, menjelaskan kepadanya agar
kau dimengerti. Jika teman-temanmu mengolok-olokmu dan
membuatmu sedih, maka ibu yang akan menasihati mereka dan
menghiburmu.
Kau mungkin tak sempat mengerti, Anakku. Apa kau tahu?
Guru-gurumu dan teman-temanmu, mereka terbiasadiseragamkan
sehingga lama-kelamaan seragam menyeragamkan isi kepala,
perilaku, dan isi hatinya, membuat mereka sulit menerimamu
yang berbeda, tak siap pada hal-hal di luar pengalaman, takut
pada perbedaan. Ketakutan itu mereka kembalikan padamu,
mereka pakai untuk menakut-nakutimu, Anakku.
Jangan mencemaskan hal-hal yang tak perlu kau cemaskan,
Tiara. Anakku, masih ada hari lain untuk memperbaiki kesalahan-
kesalahanmu, jika memang kau salah. Kau tak perlu dirundung
murung hanya karena salah seragam, lupa mengerjakan PR
matematika, tidak bisa mengucap kata mamalia, atau salah
melangkah saat baris-berbaris latihan upacara bendera. Itu semua
bukan hal yang memalukan, Anakku.
Tetapi di usiamu yang terlalu dini, kau pilih menyentuh
keputusasaan. Mengapa, Nak?
Pada gilirannya setiap jiwa akan pergi, Anakku. Ibu pasti
menyusulmu, ini hanya soal waktu. Ibu mungkin menerima
kepergianmu, tetapi caramu pergi membuat ibu kehilangan akal,
hampir hilang ingatan. Kau menyimpan kecemasan sebelum
pergi, dan kecemasan itu kini kau wariskan pada ibu. Ibu cemas
jika bisik-bisik tetangga itu benar. Ibu cemas jika kau memang
ditakdirkan berada di urutan ke-16 dalam daftar para mendiang
yang pergi tak wajar. Ibu cemas caramu pergi menular ke orang
lain.
506 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Jamak neh arak dadi pulisi bae ora aweh!” Betul katamu, jadi
polisi saja tidak boleh. Bapakmu memang goblok!
“Bizungalah! Le. Ngiloa ya, Le. Kowe ki anake wong ra ruh
hurup, ra enjuh basa negara. Kowe ki ra memper dadi pulisi. Sekolah
bae kowe ra jedhak! Nunggak-nunggak.” Wah! Jangan kau ungkit
masa lalu anakmu, Kirman. Kau malah menasihatinya untuk
bercermin dan tahu diri. Kau bilang dirimu cuma seorang buta
aksara yang tak bisa berbahasa resmi negara, dia tak pantas jadi
polisi karena latar belakangmu? Benar dia dulu sering membolos
sekolah dan tinggal kelas, tetapi dia berubah. Lihatlah!
“Pak! Aku ki doyan gawean, aku njaluk diragadi dadi pulisi
guran. Gek kleruku ki apa?” Betul katamu. Kau bukan pemalas,
kau hanya ingin jadi polisi. Kau tak salah. Bapakmu itu yang
bodoh.
“Gek piro ragade, Le?” Akhirnya! Kau tanyakan berapa biaya
jadi polisi.
“200 yuta, Pak! 200 yuta guran, Pak Prawiro pulisine kae
mengko sing ngurus.” Ah! Kau anak yang jujur. 200 juta rupiah
bukan jumlah banyak untuk pekerjaan mulia. Dan Prawiro itu, ah
kau benar, dia polisi yang biasa mengurus segala hal. Termasuk
masa depan pemuda-pemuda sepertimu.
“Duh Gusti gek ngendi lehku golek duit semono akehe, Le?
Bapak gur nduwe prau, warung pinggir segara Baron, karo lemah
alas warisan simbah, iku bae ora amba, Le.” Apa? Kau mengeluh
bagaimana mendapat uang sebanyak itu? 200 juta itu sedikit,
Kirman. Jual saja perahumu, jual kiosmu di tepi Pantai Baron itu,
jual ladang warisan orang tuamu. Demi anakmu, Kirman.
“Yen Bapak ora nuruti, aku arak nggiantung!” Bagus,
mengancamlah bunuh diri. Bapakmu pasti luluh.
508 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Gek utang kula niku kinten-kinten rampung pinten taun,
Den?” Dasar melarat! Kau tanyakan berapa lama hutangmu
terbayar? Kau cemas tak dapat lunas?
“Ya… 12 taunan. Iku yen bayare ajeg. Ning aja sumelang,
Man. Saben mundhak pangkat mundhak bayar. Apa maneh dadi
pulisi ki akeh dalan rejekine. Yen anakmu iso nyekel maling, entuk
ganjaran 12 yuta saben sak laporan. Yen entuk pesenan saka wong
ndhuwur, mesthi luwih akeh ganjarane. Aja dadi atimu, Man.” Nah,
Man. Kau dengar sendiri. Sekitar 12 tahun hutangmu akan lunas
kalau upah anakmu ajek. Tiap naik pangkat naik upah. Makelar
itu benar, polisi itu punya banyak jalan rejeki. Jika anakmu
berjasa menangkap maling maka akan dapat bonus 12 juta, jika
dapat proyek pesanan pembesar maka akan semakin banyak
ganjarannya. Kau sama sekali tak perlu cemas, Kirman.
Kau pulang serasa kalah perang. Kau telah kehilangan
ladangmu; kiosmu; perahumu, seluruh pohon jati di
pekaranganmu, sapimu, dan separuhnya ditutup oleh hutang pada
Bu Darmi, janda tuan tanah, si lintah darat itu. Tidak apa-apa,
Man. Kau masih punya rumah. Tapi dasar kau tukang mengeluh,
kau menyesali keputusanmu sendiri.
Lima tahun kau tenggelam dalam penyesalan karena hidupmu
terjerat hutang. Kau memikirkan kehilanganmu terlalu dalam. Kau
tak mau memercayai janji makelar itu. Salahmu sendiri, pikiranmu
sakit, tubuhmu ikut sakit. Asmamu kambuh. Migrainmu kumat.
Lubang di gigimu meradang, sakit tak tertahankan. Siang malam
kau meriang. Demam karena dendam pada dirimu sendiri.
Husen tak kunjung memperoleh ganjaran. Kau menduga ia
kurang rajin. Kau salah, Man. Ia tekun mengutip para pengendara
dengan dalih operasi surat dan kelengkapan kendaraan. Di
tikungan itu, di luar jadwal operasi. Anakmu lebih rajin dari polisi
lain.
510 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
mengharap kematian. Memohonlah kepadaku, Kirman. Aku
bisa membebaskanmu dari segala derita dunia. Aku tawarkan
padamu pertolongan, sekali untuk selamanya. Katakan: Ya, dan
semua akan selesai dalam sekejapan matamu. Datanglah padaku,
Kirman. Sendirian. Aku tunggu kau di luar pintu dapurmu jika kau
sudah siap kusembuhkan. Dan jangan lupa, panggil aku: Tuan.
512 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
jajakan. Apa kau tak melihat, Nem? Ibunya memandangimu aneh,
seakan kau berbicara pada entah, seolah kau bercengkerama
dengan kekosongan setiap kali kau mengunjungi mereka. Kau
ingin gadis itu mengisi ruang hatimu yang hampa? Jangan
berharap, Nem. Barangsiapa menanam harapan maka harus
bersiap panen kekecewaan.
“Harapan! Aku masih punya harapan.”
Dusta! Tak ada harapan bagimu, Nem. Kau hanya sebatang
kara. Tak ada yang menginginkanmu. Kau tak dicintai, bahkan
hanya untuk sesaat. Kau tak ingat? Baru kemarin, ya baru kemarin
anakmu menolak kau ajak pulang, padahal minggu ini masa libur
sekolah. Boneka cantik itu menggantikan posisimu. Boneka
cantik hadiah bekas mertuamu untuk anakmu. Kau cemburu
pada boneka anakmu.
Anakmu adalah satu-satunya harapanmu, Nem. Begitu
bukan? Apalagi yang bisa kau harapkan dari dirimu? Lihatlah
dirimu, bagaimana kau dapat berjalan tanpa pijakan? Asamu
telah putus. Kau hanya punya putus asa.
“Tanya! Aku hanya punya tanya sekarang.”
Ya. Bertanyalah, Nem. Hidupmu hanya sisakan tanya.
“Aku harus apa?”
Akhiri semua, Nem. Akhiri penderitaanmu. Raihlah
selendang itu. Ikatlah erat pada kaki ranjang bambumu, ikat
sekuat tekadmu. Buatlah simpulnya, kau masih ingat kan? Sama
seperti kau ikat leher kambing bekas juraganmu, tapi sedikit lebih
ketat. Pastikan kau kalungkan perlahan, tak usah terburu. Segala
yang buru-buru biasanya berujung kegagalan.
Mari, Rubinem. Kemarilah, jangan ragu. Makna hidup akan
kau rasai ketika hidup tak lagi kau miliki.
514 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Ni, Marni. Celukna Tukiran saiki.” Bu Darmi memerintah
Marni untuk memanggilkan Tukiran, pembantunya yang lain.
“Sendika Den Ayu. Menika surtipikat saha cathetan
potanganipun, Den Ayu” Marni menyerahkan sertifikat dan buku
piutang, lalu beringsut pergi mencari Tukiran.
“Hmm…, saiki dak cocokake karo cathetan potangan. Kirman
wis mati, kamangka utange urung rampung. Ra ana sing nyaur.
Gek anakane sansaya nambah. Kojur aku yen duitku ra bali. Bakal
kasatan tenan aku.” Bu Darmi bicara sendiri, menghadapi situasi
Kirman sudah mati, padahal hutangnya belum lunas, tak ada yang
membayar, lagi pula bunga pinjaman terus bertambah. Celaka!
Jika uangnya tak kembali ia bakal rugi besar, bakal kehabisan
uang.
“Dalem, Den Ayu.” Tukiran menyapa dan mendekat pada
majikannya yang sibuk menghitung piutang.
“Oh kowe, Le? Ran, Tukiran. Saiki kowe mara menyang omahe
Kirman, takono kapan arep ngrampungi utange. Iki wis dipunjuli
telung taun seka janjine. Ya?” Bu Darmi memerintah Tukiran
untuk menagih hutang ke rumah Kirman, karena sudah diberi
waktu tenggang tiga tahun dari jatuh tempo.
“Inggih, Den Ayu. Namung, Kirman pun tilar, Den.” Tukiran
menyanggupi sekaligus mengingatkan bahwa Kirman sudah
meninggal.
“Mangsa bodoa, piye nggonmu arep rembugan karo bojone
apa anak-anake.” Bu Darmi tidak peduli, masa bodoh! Terserah
Tukiran bagaimana bermusyawarah dengan isteri dan anak-anak
Kirman.
“Sendika, Den Ayu.” Tukiran menyanggupi, siap melaksanakan
perintah.
516 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Sendika, Den Ayu.” Marni siap melaksanakan perintah
majikannya.
Beberapa saat kemudian, tamu itu berdiri menyambut
kedatangan Bu Darmi. “Sugeng, Bu Darmi.” Mereka bersalaman
ujung jari, menangkupkan telapak tangan.
“Panjenengan sinten, Nak Mas?” Bu Darmi bertanya pada
tamunya, siapakah dia?
“Oh… Kulo Wironegari, kula utusan saking Sinuhun.” Tamu
itu mengaku bernama Wironegari, utusan dari Baginda.
“Weh ladalah. Tamu Agung. Lha wonten kersa punapa?” Bu
Darmi girang, tak menyangka kedatangan tamu agung, lalu
menanyakan apa kepentingannya.
“Anu, Bu. Menika kula ngaturaken nawala saking Kawedanan
Hageng saking Kedhaton. Monggo.” Tamu itu berkata ia hendak
menyampaikan surat dari Kawedanan Agung, salah satu badan
kerajaan yang mengurusi kekayaan kerajaan. Sebuah surat dari
kerajaan.
“Oh, inggih, Nak Mas. Kula tampi. Anu, Nak Mas, kula niki
tiyang kina. Mboten saged basa Endonesa, mboten saged maos
serat gedrik. Namung ngertos petangan arta. Punapa kula kepareng
nyuwun tulung dipunwaosaken nawala sapunika, Nak Mas?” Bu
Darmi menerima surat itu, namun ia malu-malu mengakui bahwa
dirinya buta aksara latin, tidak bisa berbahasa Indonesia, meski
pun tahu berhitung dan bagaimana menggunakan uang. Bu
Darmi meminta tolong pada tamunya membacakan isi surat dari
kerajaan itu.
“Kanthi bingahing manah, Bu. Cobi kula waosaken mawi Jawi”
Tamunya dengan senang hati membantunya, ia akan membacakan
isi surat itu dan langsung diterjemahkan dalam bahasa Jawa.
518 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
gung liwang-liwung; pesisir; wedhi kengser; oro-oro; lan siti ingkang
mboten kadarbe ing sanes nalika taun 1918, samenika badhe dipun
suwun kondur ngarsanipun Sinuhun, Bu.” Tamunya membenarkan
isi surat itu. Katanya, di jaman istimewa ini, Baginda memberi
perintah melalui pembesar Kawedanan lalu perintah itu turun
sampai ke bupati, camat, lurah dan kepala dusun, bahwa seluruh
tanah sejatinya milik Baginda, termasuk tanah desa; makam;
hutan; seluruh pesisir; sepanjang bantaran sungai; tanah tak
bertuan; dan tanah-tanah tanpa hak milik tahun 1918, sekarang
semua tanah itu akan diambil kembali oleh pemiliknya, yaitu
Baginda.
“We lha dalah. Kalebet siti-siti ingkang sampun gadhah
surtipikat?” Bu Darmi terkejut, ia menanyakan apakah termasuk
tanah-tanah yang sudah bersertifikat?
“Leres, Bu. Kejawi siti ingkang mawi surtipikat jaman 1918,
surtipikat andarbe jaman Walandi. Punapa Ibu kagungan surtipikat
jaman Walandi?” Tamunya membenarkan, terkecuali tanah-tanah
yang dilengkapi sertifikat hak milik tahun 1918, jaman kolonial
Belanda. Tamu itu menanyakan apakah Bu Darmi masih memiliki
tanah bersertifikat hak milik tahun 1918?
“We lha dalah, temtu kemawon mboten gadhah, Nak Mas.
Menika enggal sedanten, wedalan Negari Endonesa. Estu makaten
dhawuh Sinuhun?” Bu Darmi kaget, ia berkata tentu saja dirinya
tak punya sertifikat hak milik tanah di tahun 1918, sertifikat yang
ia punya semuanya baru, terbitan Negara Indonesia. Bu Darmi
meragukan bahwa pengambilalihan tanah itu perintah Baginda.
“Leres, Bu. Menika tandha yekti kula nampi dhawuh Sinuhun,
kula sentana dalem lan kaparentah Sinuhun. Gandheng sampun
rebat cekap, kula nyuwun pamit. Pareng…” Tamu Bu Darmi
menegaskan bahwa perintah itu benar adanya, ia bilang dirinya
520 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Sami, Bu. Wonten kersa punapa kok njanur gunung, Bu?”
Kuswanto bilang ia juga merindukan ibunya, dan menanyakan
kenapa tumben Bu Darmi menelponnya.
“Kapan kowe lan sedulur-sedulurmu mulih, Le? Iki ana perkara
wigati, Ibu ora iso kandha liwat tilpun.” Bu Darmi menanyakan
kapan Kuswanto dan saudara-saudaranya pulang, ada perkara
penting yang hendak Bu Darmi bicarakan langsung, tidak bisa
melalui telepon.
“Wadhuh, nyuwun pangapunten, Bu. Menawi kula taksih radi
dangu. Kula badhe ngayahi tugas wonten Jerman. Budhal tigang
dinten malih.” Kuswanto menyampaikan permohonan maaf,
dalam waktu dekat ia belum bisa pulang, ia ada tugas di Jerman
dan harus berangkat tiga hari kemudian.
“Duh, gek adhi-adhimu, piye?” Bu Darmi menanyakan adik-
adik Kuswanto.
“Pangapunten, Bu. Namung nggih kadosipun sami repot.
Dhik Kuswanti taksih ngayahi tugas wonten Amerika, mantuk
sasi ngajeng. Dhik Kustirah ugi taksih penelitian wonten Papua.
Dhik Kus Indarto taksih pameran gambar wonten Hongkong.
Namung Dhik Kusumo ingkang wonten Jakarta amargi mucal,
nanging kadosipun kok nggih dereng sela amargi bibar ujian
akhir biasanipun dosen kathah damelan.” Kuswanto menjelaskan
bahwa adik-adiknya tampaknya masih repot dengan pekerjaan
masing-masing. Kuswanti masih bertugas di Amerika, Kustirah
sedang penelitian di Papua, Kus Indarto sedang pameran lukisan
di Hongkong, hanya Kusumo yang berada di Jakarta karena
pekerjaannya sebagai dosen, tetapi ini habis ujian akhir dan
biasanya dosen sibuk sekali.
“Oh…, ngono ta? Gek olehmu neng Njerman ki suwe ora, Le?”
Bu Darmi menanyakan berapa lama Kuswanto di Jerman.
522 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
pengabdian? Bu Darmi mengalami dilema, antara patuh sebagai
abdi lalu kehilangan kekayaannya atau mengingkari posisinya
sebagai abdi demi mempertahankan tanah-tanah yang telah
beralih menjadi miliknya.
Beberapa hari Bu Darmi mencoba menghubungi anak-
anaknya yang masih di Indonesia, tetapi tak satupun memberi
kepastian bisa pulang. Dilema membuatnya semakin menderita.
Bu Darmi merasa jadi buruan sang waktu, dikejar dan akhirnya
diterkam kenyataan.
“Den Ayu, kapurih dhahar rumiyin. Sampun kalih dinten Den
Ayu mboten kersa napa-napa.” Marni membujuk Bu Darmi untuk
makan, sudah dua hari Bu Darmi tak makan apapun.
“Kuswanto… Kustirah… Kusumo… Kus Indarto… Kuswanti…,
mulih Ngger, Ibu kangen. Ibu kudu ketemu…” Bu Darmi meracau
memanggil anak-anaknya, mengharap kepulangan mereka.
“Kawula aturi dhahar napa ngunjuk, Den Ayu. Ampun makaten,
Den Ayu mangkih gerah.” Marni tak menyerah membujuk Bu
Darmi untuk makan dan minum, agar Bu Darmi tak jatuh sakit.
Kondisi kesehatan Bu Darmi menurun cepat, ia jatuh
pingsan ketika hendak ke kamar mandi. Marni berteriak meminta
pertolongan tetangga. Mereka membawa Bu Darmi ke rumah
sakit. Lalu, Marni menghubungi Kusumo, salah satu anak Bu
Darmi di Jakarta. Kusumo berjanji pulang dua hari lagi, karena
tiket penerbangan mana pun sudah habis. Begitu pula tiket kereta
tercepat.
“Sejak kapan Bu Lik Darmi sakit, Ni?” Prawiro bertanya pada
Marni.
“Sejak tiga hari lalu, Den Bagus. Saya ndak tahu persis, tapi
sejak kedatangan tamu dari Jogja, kondisi Den Ayu semakin
524 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dan nama para tetangga yang tutup usia dengan mengakhiri
hidup. Kusumo dan Marni cemas, tak tahu apa yang terjadi.
Tetangga yang menjenguk Bu Darmi menyaksikan perilakunya.
Kabar burung cepat beredar, bahwa Bu Darmi akan senasib
dengan Tiara; Rubinem; dan Kirman.
Pada suatu pagi Bu Darmi ditemukan mati, tergantung pada
cabang pohon Jati yang tinggi. Di bekas ladang Kirman yang kini
jadi miliknya.
526 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dan berpegangan pada tali tambang 150 cm yang terkalung erat
itu, menandakan perlawanan. Sungguh mengherankan, jejak-
jejak kaki Bu Darmi tertempel di sepanjang batang pohon itu, dari
pangkal sampai cabang pertama. Sulit dipercaya jika ia berjalan
melawan gravitasi, tegak lurus dengan batang jati. Itu dikuatkan
dengan bukti lain, satu jalur jejak-jejak pada tanah liat basah yang
menuju pohon ini adalah jejak-jejak Bu Darmi. Sisa tanah liat
yang menempel pada telapak kakinya jadi petunjuk. Di kejauhan,
kulihat anak Bu Darmi terkapar pingsan dijaga beberapa warga.
Aku segera memerintah Brippol Wahyu untuk memanggil mobil
patroli, karena untuk mendatangkan ambulan butuh waktu lebih
lama. Sementara Briptu Husen kuperintahkan untuk memasang
garis polisi agar kami bekerja leluasa, termasuk menjaga bukti-
bukti di sekitar lokasi agar tidak rusak karena kerumunan warga.
“Saya yakin itu gara-gara Pulung Gantung, Pak. Bukan cuma
saya yang lihat cahaya terkutuk itu masuk ke rumah Bu Darmi
seminggu yang lalu,” bisik Kepala Dusun, berapi-api. Aku pening
dibuatnya, kasus serupa tahun lalu belum juga terdedah, ini
malah sudah bertambah. Lagi-lagi, Pulung Gantung dituduh jadi
penyebab. Entah disadari atau tidak, warga menyebar ketakutan
di antara mereka sendiri, bahwa ada kekuatan gaib yang
menggerakkan orang-orang tertentu untuk mengakhiri hidup
dengan seutas tali, tanpa bisa dicegah.
Tahun lalu, Tiara ditemukan tak bernyawa, kondisinya sulit
dipercaya. Gadis 9 tahun itu tercekik dalam posisi duduk pada
kursi di dalam kamarnya. Seutas tali tampar pendek terikat erat di
kaki kursi melewati celah pada sandaran punggung, lalu berakhir
di lehernya. Posisi jenasah itu duduk membungkuk, seolah-olah
mengencangkan tali itu dengan bertumpu pada berat badannya
sendiri. Anehnya, jemarinya turut terjerat tali yang mencekiknya,
seakan-akan Tiara mencoba melepaskan diri. Andaikan Tiara
528 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dibayangi ancaman yang mencekam. Jika Pulung Gantung
itu benar-benar ada, kenapa kejadian serupa hanya menimpa
mereka yang menderita tekanan jiwa? Atau, jangan-jangan
ketika Pulung Gantung itu dipercaya ada, pada gilirannya situasi
sosial justru menciptakan motivasi seseorang untuk bunuh diri?
Tetapi, bukti-bukti penyelidikanku mengarah pada kesimpulan:
mereka dibunuh, entah oleh apa! Lalu, kenapa tidak ada jejak
pembunuhan?
Tidak bisa tidak!
Kasus ini harus aku pecahkan dengan hasil yang meyakinkan
agar aku segera naik pangkat. Jika pangkatku tinggi, aku bisa
menutupi praktikku terhadap Wahyu, Husen, Bayu, Ida, Budi,
Novi, dan yang lain-lainnya. Dua puluh lima tahun perusahaan
gelap ini kubangun, semua akan sia-sia jika rekam jejak karir
mereka yang pernah kubantu terungkap, tamatlah riwayatku. Aku
sudah meraup banyak laba. Langkahku harus lebih dulu daripada
yang lain; sebab, di duniaku kami adalah para serigala yang saling
memangsa.
Satu bulan telah berlalu, bukti-bukti kasus Pulung Gantung
yang kuperoleh belum mengarah pada kemajuan berarti. Masih
sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Wajah Bu Darmi ketika
ditemukan di ladang terus terbayang, sungguh mengerikan.
Bahkan sekarang warga menjauhi rumah Bu Darmi, Marni
berhenti dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain di kota.
Desas-desus yang lain mulai berhembus. Entah siapa yang
memulai, kabar yang kudengar kematian Bu Darmi karena
perilakunya yang tidak terpuji. Bu Darmi rakus tanah dan doyan
riba. Pulung Gantung memangsanya karena salah satu tanah
warga yang ia rampas adalah tanah keramat. Tentu saja aku tidak
percaya. Bibiku menderita tekanan batin, mungkin benar ia
530 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
masyarakat yang selama ini menghormati berbalik menghina
keluarga besarku? Bagaimana jika sejarah buruk keluarga besarku
dikenang masyarakat turun-temurun? Keluarga besarku hanya
akan dikenal sebagai perampas tanah, pemakan riba, dan penipu.
Aku, Raden Mas Prawiro Prayogodipolo, tak sanggup menyaksikan
itu semua. Aku tak mau hidup menanggung malu!
As-Sulaimanni, 12 Februari 2016, untuk: Desnovya
Desi Noviyani
Seorang pekerja freelance dan petani pemula. Ia menjadi pemenang
beberapa lomba penulisan cerita. Kini ia tinggal di Bantul, Provinsi
DIY.
Muhamad Haryanto
Terlahir difabel netra, terapis pijat dan seniman seni raba, tinggal di
Yogyakarta.
Nahary Latifah
Lahir dan besar di Sleman. Saat ini sedang menempuh pendidikan
di jurusan Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma dan belajar
menjadi petani di Sekolah Tani Muda.
Purwanti
Penyandang disabilitas fisik menggunakan kursi roda untuk
bermobilitas. Bekerja di Lembaga SIGAB (Sasana Inklusi dan
Gerakan Advokasi Difabel) Indonesia sebagai Koordinator Advokasi
dan Jaringan. Juga bertindak sebagai paralegal bagi penyandang
disabilitas berhadapan hukum.
Purwati
Purwati lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 10 Maret 1978.
Menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di
Jombang, dan menyelesaikan kuliah di program studi Pemuliaan
Tanaman Fakultas Pertanian UGM pada tahun 2006. Selama
mahasiswa penulis aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas
Pertanian UGM, kelompok diskusi Lingkar Studi Perempuan, dan
pemberdayaan petani di Komunitas Belajar dan Pemberdayaan
Masyarakat (KBPM) “Restu Bumi”. Penelitiannya mengenai
tanggapan varietas-varietas padi lokal terhadap sistem pertanian
alami, memberinya kesempatan menemukenali keragaman hayati
Indonesia dan konsep sekaligus praktik pertanian berkelanjutan.
Sejak tahun 2019 terlibat dalam program -program pemberdayaan
masyarakat desa bersama IRE Yogyakarta. Penyusun merupakan
Tenaga Pendukung Penataan Akses Reforma Agraria di Kantor
Pertanahan Kabupaten Bantul (2023) yang bertanggungjawab
mengawal kelembagaan terhadap UMKM Kerajinan Wayang Kulit,
Kerajinan Bambu Kaum Perempuan dan Kelompok Rentan, dan
Penangkaran Burung Perkutut di Desa Wukirsari, Kecamatan
Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rully Malay
Rully Mallay, kelahiran 24 Maret 1961 di Watampone Bone Sulsel.
Selepas Sekolah Guru, SPG di Majene 1978 mengabdi sebagai guru di
salah satu SD di Kabupaten Sumba Barat. Tahun 1983 melanjutkan
studi tari di ASTI Yogyakarta serta ISI Yogyakarta 1989. Sempat
berkecimpung di dunia politik sebagai anggota DPRD2 dan kader
salah satu partai di Sulsel masa Orde Baru, namun tidak bertahan
lama karena ia menyadari politik membunuh karakter queer.
Tahun 1993 memutuskan pindah ke Bogor Jawa Barat dan bekerja
di suatu training center LSM yang berfokus pada isu lingkungan
hidup dan pertanian hingga tahun 2003. Meskipun di masa
reformasi 1998 ia ikut aktif menumbangkan Orde Baru dan turut
andil dalam reformasi namun sebagai Transpuan ia lebih nyaman
memilih hidup dan berjuang bersama komunitasnya. Sejak 2003
hingga sekarang mengabdi sebagai volunteer di Yayasan Kebaya
Yogyakarta, Ponpes Waria Al Fatah, IWAYO, dan CBO Komunitas
lainnya di Yogyakarta. 2007 mengikuti sekolah feminis SP Kinasih
Yogyakarta dan 2010 mengikuti Sekolah Gender Sexualitas di GN
Surabaya. Sejak 2018 pasca penyerangan Ponpes Waria Al Fatah
oleh FJI, ia fokus mengelola Waria Crisis Center (WCC), sebuah
ruang aman untuk memfasilitasi pernasalahan kesehatan mental
Transpuan, termasuk lansia. Tahun 2014 bersama beberapa
Transpuan Indonesia ikut sebagai kontributor tulisan Buku
‘Menurut Kata Hati’ yang diterbitkan Suara Kita Jakarta. Ikut
menulis jurnal international yang diterbitkan ANU (Australian
National University) bersama Dr. Benjamin Hegarty (ANU), Dr.
Sandeep Nanwani, M. Sc (UNFPA), dan Drs. Prapto Raharjo, Ph. D
(Direktur PPH Atmajaya Jakarta). 2021 sebagai kontributor Buku
Solidaritas Transpuan yang ditulis Ustadzah Masturiah Sadan.
534 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Tahun 2022 menerima penghargaan Hero Transgender Award
Asia Pasific dari APCOM di Thailand. Saat ini bersama para expert
sedang menyiapkan sebuah penulisan modul sekolah Smart Trans
bagi transpuan Indonesia.
Shah Aburrojab
Lahir dan besar di Sukabumi, kemudian merantau ke Bandung,
Kediri, dan hingga kini bermukim di Yogyakarta. Di sela kerja-
kerja kepeloporan (re: serabutan), waktu luang diisinya dengan
menulis, berkebun, dan sesekali melukis dengan cahaya.
Toto Sudiarjo
Lahir di Indramayu, Jawa Barat, 15 April 1986. Pernah menempuh
pendidikan terkahir S1 Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Sempat menulis di
beberapa media cetak ataupun online, serta berkontribusi dalam
penulisan buku kumpulan esai OASE; Pemikiran Romo Mangun
bersama komunitas Lumbung Semar Solo. Selain menulis, saat ini
sedang aktif di lembaga Lingkar Keadilan Ruang sebagai periset
yang berfokus pada isu agraria dan sosio-ekologis. Sebelumnya
pernah melakukan riset kolaborasi bersama Walhi Jawa Timur,
Walhi Jawa Tengah dan Walhi Yogyakarta dan diterbitkan buku
berjudul “Melihat Ulang Dampak PLTU di Tiga Wilayah: PLTU
Paiton, PLTU Pacitan dan PLTU Cilacap tahun 2022. Di samping
melakukan riset, juga membuat pendokumentasian dengan
pendekatan dokumenter baik foto maupun video.
536 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang