Anda di halaman 1dari 561

Penerbitan buku ini dicita-citakan untuk bisa semakin meluaskan

MOZAIC RUPA AGRARIA


Dari Ekologi Politik Hingga Politik Ruang
gagasan-gagasan agraria yang mewakili berbagai kalangan. Sebagaimana
yang diusulkan oleh para penulis, kami sebagai penerbit juga membawa
harapan yang sama bahwa karya-karya dalam buku ini dapat 1) dimengerti 1963

dengan mudah oleh kaum awam karena kesederhanaan cara tuturnya,


2) dibayangkan (imajinatif) bentuk-bentuk praktiknya, jika masyarakat
hendak merumuskan sendiri persoalan agrarianya berikut penyelesaiannya;
3) membantu masyarakat untuk merumuskan sendiri pengetahuan
agrarianya, atau 4) memberi manfaat yang paling dangkal, yaitu
menyumbang perspektif baru yang lebih luas atau dalam tentang
agraria. Kebaruan ide atau inspirasi kebijakan yang lebih berkeadilan
sosial dan lingkungan, terutama karya-karya embrio yang unik dan
belum peroleh kesempatan untuk dipikirkan, diharapkan dapat
muncul dari buku ini. Karya-karya yang dimuat dalam buku
ini hadir dalam genre tulisan akademik yang analitis, essay,
jurnalistik, sastra, curahan rasa, bahkan komik yang
diupayakan dapat diakses oleh difabel netra. Ragam
genre ini tentunya akan menghadirkan kompleksitas
persoalan dengan cara yang menarik, menyuguhkan
Para manusia itu mengumumkan teori dengan luwes dan bisa dinikmati, serta mampu Negara tidak melihat saya
kemerdekaan dari penjajahan. memberikan contoh konkret yang menyatu dalam
meskipun katanya punya
Hutan-hutan tidak pulih meski alur cerita secara simbolik.
mata-mata. Saya ada, tapi masih
jaman telah beralih. Macan-macan dianggap tidak ada, padahal saya
tinggal menjadi legenda, hidup di berbeda dan mudah dikenali.
belantara kenangan belaka. Katanya salah satu agenda
Hutan-hutan telah menjelma Reforma Agraria adalah sertipikasi
kota-kota. Besi berbalut batu tanah, namanya Penataan
tumbuh menjulang, tanpa buah Aset Reforma Agraria. Apakah
yang bisa dimakan. Kini giliran STPN PRESS pernah ada sertipikat tanah bagi
JL. TATA BUMI NO.5 BANYURADEN,
manusia saling memangsa, ada disabilitas seperti saya?
1963
SLEMAN, YOGYAKARTA
yang makin kaya dan kikir, ada
yang makin miskin dan tersingkir.

- Macan Pungkasan-
EDITOR: Muhamad ‘Nanang’ Haryanto,
KUS SRI ANTORO difabel netra, penulis Reforma
Agraria untuk Disabilitas.

1963
MOZAIK
R U PA A G R A R I A :
DARI EKOLOGI POLITIK
HINGGA POLITIK RUANG
Pasal 113 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan
secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/
atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
MOZAIK
R U PA A G R A R I A :
DARI EKOLOGI POLITIK
HINGGA POLITIK RUANG

Bangkit Satria Jati • Desi Noviyani • Dwi Wulan Pujiriyani


Kus Sri Antoro • Muhamad Haryanto • Nahary Latifah
Purwanti • Purwati • Rahmat Ariza Putra • Rully Malay
Salsabila Yona Oktavia Rahma • Shah Aburrojab
Toto Sudiarjo • Wignya Cahyana

1963

STPN PRESS
Mozaik Rupa Agraria:
Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia


oleh STPN Press, November 2023.
Anggota IKAPI (No.127/Anggota Luar Biasa/DIY/2020)
Gedung Administrasi Akademik LT II
Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta, 55293
Tlp. (0274) 587239, ext: 351
Faks: (0274) 587138
e-mail: stpn_press@stpn.ac.id
website: stpnpress.com

Penulis:
Bangkit Satria Jati, Desi Noviyani, Dwi Wulan Pujiriyani
Kus Sri Antoro, Muhamad Haryanto, Nahary Latifah
Purwanti, Purwati, Rahmat Ariza Putra, Rully Malay
Salsabila Yona Oktavia Rahma, Shah Aburrojab
Toto Sudiarjo ,Wignya Cahyana
Layout: Moya Zam-Zam
Desain Cover: Salsabila Yona Oktavia Rahma
Editor: Kus Sri Antoro

Mozaik Rupa Agraria:


Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang

STPN Press, November 2023


xxiv + 536 hlm.: 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-7894-54-9
Kata Pengantar
Editor

Write yourself.
Your body must be heard
(Hélène Cixous, The Laugh of the Medusa)

Buku ini menghimpun pengalaman dan penghayatan orang-


orang biasa mengenai agraria, yang mereka maknai sebagai ruang
hidup dan sumber penghidupannya, dan dipersiapkan tidak lebih
dari 14 (empat belas) hari. Karena pengalaman dan penghayatan
itu menubuh dalam laku keseharian, tidak berlebihan untuk
menyatakan bahwa orang-orang biasa itu menuliskan tubuh
mereka sendiri.
Mayoritas para penulis ini dipertemukan secara organik
melalui bedah buku Pemberdayaan Tanah Masyarakat:
Pembelajaran atas Proses Penataan Akses di Kabupaten Bantul
(STPN Press, 2023) pada 24 Oktober 2023 silam. Ketika kesempatan
penulisan buku ini ditawarkan, kiranya tidak cukup waktu untuk
menyajikan satu pemikiran utuh, terlebih hasil penelitian yang
mencakup rentang waktu panjang dan skala persoalan yang luas
terkait agraria. Meskipun demikian, ada hasrat untuk mencoba
menjawab tantangan agraria nasional; sehingga, bentuk bunga
rampai menjadi pilihan agar himpunan organ tubuh pengetahuan
orang-orang biasa ini dapat dirangkai dan dijelmakan menjadi
tubuh pengetahuan nan utuh.
Karya-karya yang tersaji terbentang dari tulisan dengan
langgam akademik yang analitis, essay, jurnalistik, sastra, curahan
rasa, bahkan komik yang diupayakan dapat diakses oleh difabel
netra. Menurut pengalaman para penulis, karya yang semakin
jauh dari langgam akademik justru semakin sulit disusun karena
penulis dituntut untuk dapat menulis serba cakup, menjelaskan
kompleksitas persoalan dengan cara yang menarik, menyuguhkan
teori dengan luwes dan bisa dinikmati, dan mampu memberikan
contoh konkret yang menyatu dalam alur cerita secara simbolik.
Karya-karya dalam buku ini meliputi beragam isu terkait
agraria, antara lain: Ekologi Politik atau Ekonomi Politik Sumber-
sumber Agraria dan Lingkungan Hidup; GEDSI (Gender Equality,
Disability, and Social Inclusion) dan Agraria, Hak Asasi Manusia
(termasuk Hak Anak) dan Agraria, Agraria Perairan; Pesisir dan
Perdesaan, Deagrarianisasi dan Reforma Agraria, Gerakan dan
Perjuangan Agraria; dan Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan
Mental.
Ada kebutuhan yang hendak dijembatani, baik kebutuhan
sesama orang biasa (kawula alit) maupun kebutuhan orang-orang
luar biasa (kawula elit) seperti para perumus kebijakan; pemikir;
pendidik; dan peneliti.
Ada harapan bahwa karya-karya dalam buku ini dapat
1) dimengerti dengan mudah oleh kaum awam karena
kesederhanaan cara tuturnya, 2) dibayangkan (imajinatif) bentuk-
bentuk praktiknya, jika masyarakat hendak merumuskan sendiri
persoalan agrarianya berikut penyelesaiannya; 3) membantu
masyarakat untuk merumuskan sendiri pengetahuan agrarianya,
atau 4) memberi manfaat yang paling dangkal, yaitu menyumbang

vi Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


perspektif baru yang lebih luas atau dalam tentang agraria.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bunga rampai
ini menjadi bahan penelitian dengan kebaruan ide atau inspirasi
kebijakan yang lebih berkeadilan sosial dan lingkungan, terutama
karya-karya embrio yang unik dan belum peroleh kesempatan
untuk dipikirkan.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumber Agraria dan


Lingkungan Hidup
Isu ini dibuka dengan ringan melalui komik agraria
berjudul Macan Pungkasan yang mengisahkan kebudayaan
tidak ramah lingkungan yang berujung pada akumulasi primitif
(pengambilalihan lahan skala luas untuk kolonialisme dan
praktik lanjutannya), yang dampaknya masih berlangsung hingga
kini. Komik itu merupakan karya kolaborasi Bangkit Satria Jati,
Salsabila Yona Oktavia Rahma—keduanya generasi Z, dan Kus Sri
Antoro sebagai pembantu dalam teks dan literatur.
Toto Sudiarjo mengemukakan Kisah Tanah dan Air Terakhir:
Catatan Senyap Perampasan Ruang Hidup Warga Girisuko,
Gunungkidul, akibat proyek infrastruktur, hutan industri,
dan industri wisata. Artikel ini dengan detil berkisah tentang
perubahan agraria desa hutan.
Artikel berikutnya berjudul Balance of Nature Vs Imbalance
of Nature: Menelusuri Konseptualisasi ‘Ekologi Baru’ dan
Artikulasinya dalam Label ‘Hijau’ karya Dwi Wulan Pujiriyani.
Karya ini mencoba merekam proses terbentuknya pengetahuan
ekologi dengan tatapan kritis (critical gaze) terhadap ‘label hijau’
yang disematkan pada setiap agenda perubahan bentang alam
oleh manusia beserta produk-produknya.
Rahmat Ariza Putra dengan latar pemerhati kesuburan
tanah bercerita tentang Ancaman Kesuburan Tanah di Lerang

Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang vii
Merbabu, ia menyajikan gagasan bahwa kualitas lingkungan
menjadi prasyarat keberlanjutan hidup, jika dikaji lebih lanjut
maka kualitas sumber-sumber agraria menjadi prasyarat Reforma
Agraria, terutama dari sisi Akses.
Dwi Wulan Pujiriyani kembali hadir dengan Innovators
Versus Adopters: Menimbang ‘Benefit’ dan ‘Cost’ dalam
Penyebarluasan Inovasi Ekologi (Eco-Innovation). Karya ini
membedah pemikiran Modernisasi Ekologi yang diimani dan
diamalkan oleh banyak negara untuk menyelesaikan masalah-
masalah ekosistem. Modernisasi Ekologi hadir sebagai penambal
kekurangan dari Modernisasi Industri yang menyebabkan krisis
lingkungan. Dalam perspektif kritis, apalagi penuh keberpihakan
pada kelompok rentan, disadari bahwa Modernisasi Industri dan
Modernisasi Ekologi lahir dari rahim yang sama.
Purwati, yang terdidik secara formal sebagai pemulia
tanaman, mengingatkan kembali bahwa kedaulatan petani atas
tanah dan benih merupakan prasyarat bagi kedaulatan bangsa.
Karyanya yang berjudul Penguasaan Tanah dan Benih untuk
Kedaulatan Pangan menjelaskan hal itu. Barang siapa menguasai
benih maka ia menguasai penghidupan.
Berbentuk prosa, Api di Lereng Merapi menjadi karya penutup
isu Ekologi Politik dalam buku ini. Kus Sri Antoro menuliskannya
secara realis, mengisahkan konflik penataan ruang antara tujuan
Taman Nasional dengan Pertambangan Pasir untuk Industri
Infrastruktur, di mana ekosistem lereng gunung diperebutkan
oleh negara, komprador, korporasi dan masyarakat.

GEDSI dan Agraria


Desi Noviyani membuka isu GEDSI dan Agraria dengan
prosa yang tampil halus, berjudul Mencari Suci. Sebagai penulis
perempuan, kisah ini menubuh dalam perjalanan hidup kaumnya

viii Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
yang rentan secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya, serta
rawan pelecehan, eksploitasi, dan penyingkiran permanen,
termasuk dalam urusan agraria.
Keragaman Gender dan Agraria: Warga Istimewa Penyandang
Diskriminasi dan Intoleransi, karya jurnalistik Kus Sri Antoro
tentang terhambatnya hak-hak kewargaan waria (transpuan)
yang berdampak luas, termasuk hak agraria. Karya ini menjadi
pengantar karya berikutnya yang lebih detil dan representatif.
Rully Malay, seorang transpuan berlatar aktivis keragaman
gender, merekam pengalaman dan pemikirannya dalam Ketika
Trah ‘Bissu’ Menolak Membisu Soal Hak Agraria. Karya ini
tidak hanya baru dalam studi dan kebijakan agraria, tetapi juga
menggugat kesadaran publik yang diskirminatif sejak dalam
pikiran, akibat prasangka yang ditularkan dan diwariskan. Stigma
terhadap transpuan adalah perkara ideologis ketimbang moralis.
Karya ini menegaskan bahwa transpuan adalah kelas yang asing
dan diasingkan, kebijakan agraria menjadi perlu menghargai
keragaman gender non biner.
Purwanti menutup isu GEDSI dan Agraria ini dengan karya
Tanah Penyandang Disabilitas, judul yang mewakili dirinya yang
berkursi roda. Berlatar aktivis disabilitas, perempuan ini kerap
mengadvokasi disabilitas yang menghadapi persoalan hukum.
Karyanya merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi
kebijakan agraria yang inklusif.

Hak Asasi Manusia dan Agraria


Karya jurnalistik Kus Sri Antoro berjudul Masih Kecil Sudah
Terkucil, Hidup Pun Terancam Redup membuka isu HAM dan
Agraria dengan fokus hak-hak anak atas ruang hidup dan sumber
penghidupan orang tuanya. Anak mempunyai hak untuk tumbuh
dan berkembang dalam ruang aman, namun hak anak sering

Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang ix


luput dalam diskursus agraria, sehingga praktik-praktik tata kelola
agraria mudah diwarnai kekerasan.
Wignya Cahyana mengemukakan kronik agraria urban di
bantaran sungai, melalui Perjalanan di Pinggir Sungai: Catatan
Kehilangan dan Politik Agraria. Karya ini berkisah tentang
keakraban dengan rasa kehilangan sejak masa anak hingga dewasa,
dari kehilangan teman bermain, tempat bermikum, kemudian
sumber penghidupan.
Karya penutup Isu HAM dan Agraria ialah Dihimpit Karena
Sipit, karya jurnalistik Kus Sri Antoro yang belum sempat terbit. Di
DIY, diskriminasi etnis dan ras dalam kebijakan agraria bagaikan
model yang bebas melenggang memeragakan sandangan
istimewa nan transparan, serta dipuja para pelestarinya. Penulis
hanya menyoroti lekuk-lekuk tubuh kekuasaan dari sang model,
hingga kezaliman yang lazim itu semakin telanjang. Hingga
saat ini, usulan-usulan resolusi atas diskriminasi tersebut masih
diabaikan.

Agraria Perairan; Pesisir dan Perdesaan


Karya sastra Desi Noviyani berjudul Hikayat Sidat
membuka isu Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan. Tampil
sederhana sebagai fabel, prosa ini berkisah tentang pencemaran
perairan oleh industri, utamanya plastik. Mikroplastik menjadi
penyumbang degradasi sumber agraria perairan dan ancaman
nyata bagi keberlangsungan makhluk hidup. Meskipun makna
agraria dalam UUPA meliputi bumi, air, udara dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, konsep dan penerapannya
masih terbatas pada tanah dan aktivitas berbasis tanah. Karya ini
inspiratif bagi studi agraria.
Kus Sri Antoro berbagi tulisan embrio berjudul Reforma
Agraria Maritim, untuk menegaskan bahwa kelautan termasuk

x Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


sumber agraria yang penting diurus dengan perspektif kelautan.
Salah satu perspektif darat yang diterapkan dalam pengurusan
laut ialah penegasan garis batas konsesi selayaknya peta daratan.
Dari Ikan ke Pendidikan: Membicarakan Sistem Kelola Danau
dan Sungai di Kapuas adalah judul karya Nahary Latifah yang
pernah berlatar sebagai pendidik anak-anak di Kalimantan. Karya
ini berfokus pada dinamika agraria perairan darat, yaitu DAS dan
danau, yang ditampilkan memukau, melengkapi khasanah agraria
dengan ruang dan perspektif perairan.
Karya singkat dan padat Dwi Wulan Pujiriyani tentang
pedesaan menarik untuk disimak. Karya ini berjudul Desa
Mau Dibawa Kemana?: Transformasi Sosial Masyarakat Desa di
Indonesia dalam Epistemologi Durkheimian. Emile Durkheim,
pemikir yang dipinjam gagasannya tentang transformasi dalam
tulisan ini, dikenal pula lewat karyanya: Suicide, gejala bunuh diri
sebagai dampak rapuhnya integrasi sosial. Desa terus berubah
dalam orkestra kapitalisme yang merapuhkan jejaring ekosistem
dan kohesi sosial. Quo vadis perdesaan Indonesia? Pertanyaan ini
masih menggema dalam perdebatan ilmiah maupun kontestasi
amaliah, desa dan karakternya akan dihilangkan, dipertahankan,
atau diberi pilihan lainnya, misalnya… suicide setelah ecocide
akibat pesticide.
Pesisir bukan hanya tempat di mana kehidupan disangga
oleh niaga hasil perburuan dari kedalaman samudera. Karya Kus
Sri Antoro berkisah tentang budaya pertanian (agraris) di batas
daratan, berjudul Bertani atau Mati. Karya ini berututur tentang
pertarungan hidup mati yang mempertaruhkan bentang alam
seisinya, lengkap dengan kebudayaannya, antara para petani
dengan moda produksi pertanian hortikultura menghadapi
negara-korporasi dengan moda produksi pertambangan pasir

Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang xi


besi, titanium dan vanadium. Karya ini menutup isu Agraria
Perairan, Pesisir dan Perdesaan.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria


Reforma Agraria untuk Disabilitas, ini judul karya dari
Muhamad Haryanto, seorang disabilitas netra. Karya ini
mengajukan persoalan rumit dengan cara sederhana, terkait
Penataan Aset dan Penataan Akses. Penataan Aset dikenal juga
dengan legalisasi aset atau sertipikasi tanah, sedangkan Penataan
Akses dikenal juga dengan Pemberdayaan Ekonomi Subyek
Reforma Agraria (mengacu pada Peraturan Presiden No 62 Tahun
2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria), yang
dalam praktiknya disebut Penanganan Akses Reforma Agraria
(PARA) atau Pemberdayaan Tanah Masyarakat (PTM)—konsep
yang dikritik dalam buku pada paragraf ke-2 yang pembedahannya
mempertemukan para penulis ini.
Kus Sri Antoro menghadirkan essay embrio yang ambisius,
berjudul Nelayan, Petani dan Buruh dalam Reforma Agraria.
Persoalan agraria nelayan, petani dan buruh dibedah, termasuk
persoalan kelasnya. Sebagai upaya untuk menyambungkan tiga
karakter berbeda dalam satu nafas Reforma Agraria, karya ini
penting dilanjutkan dalam kerja intelektual dan gerakan.
Sekolah Tani Berkesadaran, demikian judul dari pengalaman
keterlibatan Rahmat Ariza Putra dalam Penataan Akses Reforma
Agraria Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, sebagai fasilitator
Sekolah Tani bagi penerima manfaat/subyek Reforma Agraria.
Tulisan ini secara detil bercerita tentang kegiatan Sekolah Tani
yang berkontribusi pada perombakan mindset petani industri
hortikultura menjadi lebih ramah lingkungan dan regenerasi
pertanian di lokasi Penataan Akses.

xii Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Kus Sri Antoro kembali hadir melalui essay akademik Tanah
Istimewa: Monopoli, Investasi, dan Akumulasi. Tulisan yang padat
ini mengkritisi deagrarianisasi di Propinsi DIY yang dapat menjadi
model bagi daerah swapraja atau bekas swapraja lainnya untuk
berlaku serupa. Bagaimana tanah negara, tanah desa dan tanah
hak didelegitimasi lalu diakuisisi oleh lembaga non negara yang
ditopang kultur feodal yang dilegalkan? Karya ini menunjukkan
dengan detil.

Gerakan dan Perjuangan Agraria


Shah Aburrojab, seorang petani muda, menuliskan
pengalamannya membangun kolektif pertanian bersama kawan-
kawan sebaya melalui Curah Ide: Sebuah Percakapan Imajiner.
Pertemuannya dengan dua guru besar di wilayah praksis –
praktik berteoritis, sekaligus ideologis membangun semangatnya
untuk menjadi bagian dari regenerasi petanian, untuk melawan
deagrarianisasi. Meski sederhana, percakapan imajiner ini adalah
salah satu bentuk perjuangan agraria.
Kompleksitas industri ekstraktif di kawasan adat dikisahkan
dengan mengalir oleh Kus Sri Antoro melalui Elegi Para Nabi.
Karya berbentuk prosa ini mengisahkan perdebatan gerakan
agraria dari praktik hingga konsep-konsep tentang identitas adat,
kelas, dan kapitalisme dengan bahasa kaum awam.
Toto Sudiarjo menuliskan perjuangan agraria melalui Para
Tak Bertanah Air: Perjuangan Buruh Tani dan Nelayan dalam
Mempertahankan Ruang Hidup dari Megaproyek PLTU Batubara
Indramayu. Konteks aktornya cukup menarik, yaitu nelayan dan
buruh di sektor pertanian. Sekali lagi, konflik agraria dalam
konteks buruh dan nelayan hadir sebagai tantangan untuk
dipikirkan secara seksama.

Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang xiii
Kus Sri Antoro kembali hadir dengan essay reflektif berjudul
Analisis Kelas dalam Tubuh Gerakan Perlawanan: Catatan
Otokritik atas Pengalaman Pengorganisasian Komunitas Berlawan
di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menawarkan kembali
pembacaan kelas menurut pemikiran klasik dalam tradisi ekonomi
politik. Tampaknya, analisis kelas belum usang untuk digunakan
membedah karakter aktor-aktor dalam perjuangan dan gerakan
agraria. Pengenalan karakter berdasarkan kelas ini penting agar
perjuangan agraria tidak kembali terjebak pada pola-pola elitisme
yang mandul.
Essay Rahmat Ariza Putra berjudul Yang Lebih Penting dari
Perdebatan antara Pupuk Kimia dan Organik berkisah tentang
keberdayaan dan optimisme petani, melampaui perdebatan teknis
perbandingan komoditas penyubur tanah (pupuk organik) atau
tanaman (pupuk sintetik). Keberdayaan petani menjadi syarat
bagi kedaulatan petani, rasa percaya diri sebagai petani yang
bekerja selaras alam penting dibangkitkan dari tidur panjangnya.
Karya prosa Kus Sri Antoro, Dian di Ambang Padam, menutup
isu Gerakan dan Perjuangan Agraria dalam buku ini. Karya ini
justru dari sudut pandang kaki tangan lawan, alih-alih rakyat
yang berlawan. Adu siasat antara pejuang agraria dan pasukan
deagrarianisasi cukup sengit dan detil dikisahkan dengan gaya
bahasa yang kaya metafora.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental


Karya Dwi Wulan Pujiriyani membuka isu Politik Ruang,
Populasi dan Kesehatan Mental dengan Transmigrasi atau Skenario
Jawanisasi?: Politik Representasi Ruang dan Resistensi Kultural
Masyarakat Asli Terhadap Transmigran Jawa. Transmigrasi bukan
semata-mata perpindahan sejumlah massa manusia dari kawasan
yang dipercaya padat ke kawasan yang dipercaya luang. Di dalam

xiv Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
transmigrasi termuat kepentingan untuk mengontrol perilaku
dan sumberdaya. Melalui silang budaya, kekuasaan negara yang
diwakili pendatang dapat hadir dengan cara yang ramah, serupa
The Smiling General.
Kus Sri Antoro hadir dengan gagasan unik, yaitu
mempertemukan agraria dan seni, melalui essay reflektif Ekonomi
Politik Ruang-Seni dan Pertanyaan-pertanyaan Agraria: Studi Kasus
Proyek Seni Jogja Nduwe Gawe (Jogja Punya Perhelatan). Essay ini
tidak membahas tentang aktivisme seni yang sering hadir dalam
ranah kampanye gerakan dan perjuangan agraria, melainkan
perebutan ruang melalui seni sebagai strategi kebudayaan. Dengan
kata lain, seni elitis bisa berperan membenarkan perampasan
agraria dan mengawetkan deagrarianisasi tanpa perlawanan sama
sekali karena pelaku seni mampu mencipta perasaan senang dan
agung dari para penikmatnya. Bahkan, seni aktivisme pun sangat
mungkin eksploitatif reaksioner alih-alih progresif revolusioner.
Agraria dan kependudukan terkait erat, artikel Transisi
Demografi di Indonesia dan Nigeria: Sebuah Perbandingan
karya Dwi Wulan Pujiriyani hendak menunjukkan itu. Dengan
membandingkan Indonesia dan Nigeria, penulis mengemukakan
gagasan bahwa awal mula dan kecepatan transisi demografi suatu
negara merefleksikan tidak hanya keunikan warisan dan bentuk
intervensi kebijakan, tetapi juga dampak dari kondisi ekonomi
dan politik eksternal, misalnya perdagangan internasional
berbasis sumberdaya alam.
Kus Sri Antoro menutup isu Politik Ruang, Populasi dan
Kesehatan Mental dengan karya prosa berjudul Jalinan Kematian.
Karya ini membuka kemungkinan lain bahwa tatanan agraria
suatu kawasan berikut watak relasi sosialnya dapat memicu
kemerosotan kesehatan mental hingga titik terendah, relasi tata
pengurusan sumber-sumber agraria dengan isu kesehatan mental

Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang xv


sudah dirintis oleh psikiater cum psikoanalis Frantz Fanon, yang
karya-karyanya menginspirasi pembebasan kolonialisme di
Aljazair maupun Timor Leste.
Terima kasih kami ucapkan kepada STPN yang memfasilitasi
penerbitan bunga rampai ini dan para kontributor karya.
Selamat belajar dan berdampak positif bagi Reforma Agraria
sejati.
Yogyakarta, 20 November 2023
Editor

xvi Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pengantar
Penerbit

STPN Press selalu mengupayakan untuk bisa menjadi outlet


interaksi dan pertukaran gagasan tidak hanya bagi para pengkaji
agraria, tetapi juga bagi para peminat agraria dari berbagai
kalangan. Bangga tentunya ketika melalui karya-karya agraria
yang kami terbitkan, kemandegan dalam diseminasi pengetahuan
agraria bisa terjembatani. Penerbitan buku ini dicita-citakan
untuk bisa semakin meluaskan gagasan-gagasan agraria yang
mewakili berbagai kalangan. Sebagaimana yang diusulkan oleh
para penulis, kami sebagai penerbit juga membawa harapan yang
sama bahwa karya-karya dalam buku ini dapat 1) dimengerti
dengan mudah oleh kaum awam karena kesederhanaan cara
tuturnya, 2) dibayangkan (imajinatif) bentuk-bentuk praktiknya,
jika masyarakat hendak merumuskan sendiri persoalan agrarianya
berikut penyelesaiannya; 3) membantu masyarakat untuk
merumuskan sendiri pengetahuan agrarianya, atau 4) memberi
manfaat yang paling dangkal, yaitu menyumbang perspektif baru
yang lebih luas atau dalam tentang agraria. Kebaruan ide atau
inspirasi kebijakan yang lebih berkeadilan sosial dan lingkungan,
terutama karya-karya embrio yang unik dan belum peroleh
kesempatan untuk dipikirkan, diharapkan dapat muncul dari
buku ini. Selamat membaca.
Yogyakarta, November 2023
Kepala STPN Press

xviii Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pengantar
Ketua STPN

Peran STPN Press untuk mendiseminasikan gagasan agraria ke


berbagai kalangan terlihat dari karya-karya yang termuat dalam
buku ini. Berawal dari kegiatan bedah buku STPN Press, ragam
gagasan yang dituangkan dalam buku ini menunjukan bahwa kita
memiliki begitu banyak sumber pengetahuan yang tentunya tidak
hanya terbatas bagi kelompok tertentu saja. Mengurai gagasan
agraria dengan bahasa yang sederhana merupakan kelebihan
buku ini yang diharapkan bisa meningkatkan keberterimaan dari
buku ini di kalangan pembaca.
Karya-karya yang dimuat dalam buku ini hadir dalam genre
tulisan akademik yang analitis, essay, jurnalistik, sastra, curahan
rasa, bahkan komik yang diupayakan dapat diakses oleh difabel
netra. Ragam genre ini tentunya akan menghadirkan kompleksitas
persoalan dengan cara yang menarik, menyuguhkan teori dengan
luwes dan bisa dinikmati, serta mampu memberikan contoh
konkret yang menyatu dalam alur cerita secara simbolik.
Karya-karya dalam buku ini meliputi beragam isu terkait
agraria, antara lain: Ekologi Politik atau Ekonomi Politik Sumber-
sumber Agraria dan Lingkungan Hidup; GEDSI (Gender Equality,
Disability, and Social Inclusion) dan Agraria, Hak Asasi Manusia
(termasuk Hak Anak) dan Agraria, Agraria Perairan; Pesisir dan
Perdesaan, Deagrarianisasi dan Reforma Agraria, Gerakan dan
Perjuangan Agraria; dan Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan
Mental. Selamat kepada STPN Press yang terus mengawal
STPN untuk bisa memproduksi karya-karya yang bermutu.
Selamat kepada para penulis dan terima kasih sudah terlibat
berpartisipasi untuk memberikan gagasannya. Semoga karya ini
bisa memberikan manfaat bagi banyak pihak. Selamat membaca.

Yogyakarta, November 2023


Ketua STPN

xx Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Daftar Isi

Kata Pengantar Editor............................................................... v


Pengantar Penerbit..................................................................... xvii
Pengantar Ketua STPN.............................................................. xix
Daftar Isi.......................................................................................... xxi
A. Ekologi Politik/Ekonomi Politik
Sumberdaya Agraria dan
Lingkungan Hidup........................................................... 1
• Macan Pungkasan
(Harimau Terakhir).......................................................... 3
• Kisah Tanah dan Air Terakhir:
(Catatan Sunyi di Balik Perampasan
Ruang Hidup Warga Girisuko, Gunungkidul).............. 25
• Balance of Nature Vs Imbalance of Nature:
Menelusuri Konseptualisasi ‘Ekologi Baru’ dan
Artikulasinya dalam Label ‘Hijau’ ................................ 38
• Ancaman Kesuburan Tanah di Lereng Merbabu....... 49
• Innovators Versus Adopters:
Menimbang ‘Benefit’ dan ‘Cost’
dalam Penyebarluasan Inovasi Ekologi
(Eco-Innovation)................................................................ 57
• Penguasaan Tanah dan Benih
untuk Kedaulatan Pangan.............................................. 73
• Api di Lereng Merapi....................................................... 87
B. GEDSI dan Agraria............................................................ 103
• Mencari Suci..................................................................... 105
• Keragaman Gender dan Agraria:
Warga Istimewa Penyandang Diskriminasi
dan Intoleransi................................................................. 116
• Ketika Trah ‘Bissu’ Menolak Membisu
Soal Hak Agraria.............................................................. 127
• Tanah Penyandang Disabilitas...................................... 138
C. Hak Asasi Manusia dan Agraria.................................. 151
• Masih Kecil Sudah Terkucil,
Hidup pun Terancam Redup .......................................... 153
• Perjalanan di Pinggir Sungai:
Catatan Kehilangan dan Politik Agraria...................... 168
• Dihimpit Karena Sipit...................................................... 179
D. Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan................ 211
• Hikayat Sidat..................................................................... 213
• Reforma Agraria Maritim............................................... 219
• Dari Ikan ke Pendidikan:
Membicarakan Sistem Kelola Danau dan
Sungai di Kapuas............................................................. 225
• Desa Mau Dibawa Kemana?:
Transformasi Sosial Masyarakat Desa
di Indonesia dalam Epistemologi Durkheimian......... 249
• Bertani atau Mati:
Petani Pesisir Kulon Progo Berjuang Hidup............... 252
E. Deagrarianisasi dan Reforma Agraria..................... 267
• Reforma Agraria untuk Disabilitas............................... 269
• Nelayan, Petani dan Buruh

xxii Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dalam Reforma Agraria.................................................. 277
• Sekolah Petani Berkesadaran
Ala Sekti Muda ................................................................. 297
• Tanah Istimewa:
Monopoli, Investasi dan Akumulasi............................ 314
F. Gerakan dan Perjuangan Agraria............................... 333
• Curah Ide:
Sebuah Percakapan Imajiner........................................ 335
• Elegi Para Nabi................................................................. 339
• Para Tak Bertanah Air Perjuangan
Buruh Tani dan Nelayan dalam
Mempertahankan Ruang Hidup
dari Megaproyek PLTU Batubara Indramayu............. 362
• Analisis Kelas dalam Tubuh Gerakan Perlawanan
(catatan otokritik atas pengalaman
pengorganisasian komunitas berlawan
di Daerah Istimewa Yogyakarta)................................... 370
• Yang Lebih Penting dari Perdebatan Klasik
Pupuk Kimia vs Organik................................................. 415
• Dian di Ambang Padam.................................................. 424
G. Politik Ruang, Populasi dan
Kesehatan Mental............................................................. 451
• Transmigrasi atau Skenario Jawanisasi?:
Politik Representasi Ruang dan Resistensi
Kultural Masyarakat Asli Terhadap
Transmigran Jawa........................................................... 453
• Ekonomi Politik Ruang-Seni dan
Pertanyaan-pertanyaan Agraria
(Studi Kasus Proyek Seni Jogja Nduwe Gawe)............ 467
• Transisi Demografi di Indonesia dan Nigeria:
Sebuah Perbandingan*................................................... 486
• Jalinan Kematian............................................................. 501
Biodata Penulis............................................................................. 532

Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang xxiii
xxiv Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
A.
Ekologi Politik/
Ekonomi Politik
Sumberdaya Agraria dan
Lingkungan Hidup
Macan Pungkasan
(Harimau Terakhir)
4 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(1)

1810
Tyger, tyger, burning bright, in the forests of the nights…
(William Blake)
Di suatu malam, seekor macan mengintai kerbau lepas di tepi persawahan.
Tanpa suara, ia mengendap-endap. Saat jarak sudah cukup dekat, ia melompat
cepat. Sayang, leher kerbau luput dari terkaman, gigitan macan menyasar
punuk kerbau yang gemuk. Kerbau terperanjat, ia memberontak, salah satu
ujung tanduknya menancap dalam di bahu macan. Pergulatan hidup mati
begitu sengit terjadi. Tiba-tiba nyala obor di mana-mana, hiruk pikuk manusia.
Perkelahian terhenti, macan dan kerbau bergegas melarikan diri.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 5


6 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(2)

Para manusia memburu macan dari jejak darahnya, mengikutinya masuk ke


dalam hutan, hingga tiba di mulut goa. Jumlah manusia semakin banyak,
mereka menunggu sampai pagi. Geraman macan masih terdengar dari
dalam. Para manusia membakar ranting kering dan tumpukan dedaunan
segar di mulut goa, asap pekat mengepul masuk ke rongga bumi itu. Setelah
geraman macan tak lagi terdengar, beberapa manusia masuk ke dalam
goa, mereka keluar membawa induk dan anak macan yang terkulai lemas,
keduanya diikat dan masuk kandang besi, diangkut ke kerajaan.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 7


8 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(3)

Di dalam kerajaan, macan-macan dipelihara dalam penjara besi. Satu macan


tampak kurus dan lemah, ia tidak diberi makan berhari-hari. Induk macan
bicara dalam bahasanya, “Semua manusia sungguh kejam, tanpa diberi
makan teman kita dibunuh perlahan. Bahkan aku dipisahkan dari anakku,
Sima tak bisa menyusu.”
“Tidak semua manusia kejam, di tempat asalku, beberapa manusia
beraroma seperti kita, kami kerap berpapasan dan bersapa di hutan, konon
mereka lahir bertepatan dengan terbit matahari. Beberapa manusia baik
dan menolong bangsa kita, dan kami sering memberinya hasil buruan
diam-diam. Tapi, memang ada manusia yang aromanya menggugah
selera, kabarnya mereka terlahir bertepatan dengan surya terbenam.”
Macan menggeram ketika prajurit datang membawa macan lemah keluar
bersama kandangnya. Di alun-alun, raja, para punggawa, para prajurit, para
pembesar dari mancanegara dan rakyat jelata menyaksikan hukuman mati
narapidana. Hanya berbekal belati, ia ditandingkan dengan macan lapar.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 9


10 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(4)

Di kandang, macan-macan gelisah dan menggeram kencang, mereka


menyaksikan jasad teman mereka dilewatkan lorong penjara.
Di lain bulan, dilewatkan jasad manusia dan macan. Meski para macan
dendam, bangkai manusia penuh luka itu tak menarik untuk dimangsa.
“Entah apa yang terjadi di luar sana, kita semua hanya menunggu binasa.
Tak ada macan yang masih punya hayat setelah dibawa keluar oleh
manusia-manusia jahat.”
Silih berganti macan datang dan pergi.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 11


12 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(5)

1811-1816
Penjajah baru datang menggantikan penjajah lama lewat perang Sepehi.
“Sinuhun, budayamu sungguh biadab, jangan lagi mengadu macan dengan
manusia.”
“Tapi mereka pengkhianat, pantas mati, Lord.”
Di kandang, induk macan berhari-hari dibuat kelaparan, dipisah dari
anaknya yang beranjak dewasa. Prajurit menjemputnya keluar.
“Sima, Anakku, selamat tinggal.”
“Emaaak!”, Sima berteriak dan meronta.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 13


14 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(6)

1817-1822
Penjajah lama datang kembali menggantikan penjajah baru.
Dalam suatu pertarungan, macan mati tertusuk tanduk kerbau. Jika macan
menang, maka ia dibunuh ramai-ramai oleh manusia.
“Tuan Meneer, dulu macan perlambang alam, kerbau yang dekat dengan
tani perlambang manusia, kini macan perkasa itu ibarat bangsa Tuan,
kerbau ibarat bangsa hamba.”
“Oh, kami bukan macan yang pengecut mengendap-endap dan menerkam
dari belakang, kami singa yang berani, gagah menjelajah dan terhormat,
Sinuhun.”
“Adu macan dan kerbau ini kesukaan hamba, Tuan.”
“Ja, ja, ini menghibur, lanjutkan saja, Sinuhun.”

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 15


16 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(7)

1825-1830
Di luar terjadi peperangan dahsyat, penjajah diserang pahlawan yang
disebut pemberontak, kerajaan kacau balau.
Saat lengang, di lorong penjara yang sunyi, Sima mencium aroma macan,
ternyata seorang manusia.
“Jangan takut, Sima!”
“Siapa kamu? Kenapa tahu namaku?”
“Aku Julung Kembang, aku akan membebaskanmu, pulanglah ke hutan.”
“Kenapa kita bisa saling bicara?”
“Karena aku dan kamu terhubung, kita punya lambang yang sama. Kamu
adalah aku di masa lalu, aku adalah kamu di masa depan.”

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 17


18 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(8)

1840
“Sinuhun, keadaan sudah aman terkendali, kapan kita adu macan lawan
musuh negara atau macan lawan kerbau lagi?”
“Berjuta maaf Tuan Meneer, macan sudah sulit ditemukan di hutan.”
“Oh, artinya itu hutan sudah aman, tiada yang ditakutkan? Kami bisa babat
itu kayu untuk bikin kapal-kapal, untuk ganjal besi jalan kereta api, buka
perkebunan, tambang dan lain-lain hal.”

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 19


20 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(9)

1870-1945
Hutan-hutan menjadi perkebunan, hutan tanaman industri dan tambang.
Sebagian menjadi pertanian dan pemukiman. Banyak kopi, teh, kakao, tebu,
sawit, kopra, jati, meranti, karet, gaharu, damar, perak, emas, tembaga,
batu bara, minyak bumi, gas alam dihasilkan dari wilayah-wilayah bekas
hutan. Semua hasilnya diangkut ke Negeri Singa, di mana aumannya yang
sarat rasa ingin menggetarkan udara dingin. Peperangan mulai berkobar
di mana-mana karena penduduk ingin menguasai, menata dan mengelola
sendiri wilayah dan kekayaan alamnya, penjajahan harus diakhiri, para
penjajah diusir pergi, perlahan dan pasti.
1945
Para manusia itu mengumumkan kemerdekaan dari penjajahan. Hutan-
hutan tidak pulih meski jaman telah beralih. Macan-macan tinggal menjadi
legenda, hidup di belantara kenangan belaka.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 21


22 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(10)

Hutan-hutan telah menjelma kota-kota. Besi berbalut batu tumbuh


menjulang, tanpa buah yang bisa dimakan.
Kini giliran manusia saling memangsa, ada yang makin kaya dan kikir, ada
yang makin miskin dan tersingkir.
Bertahun-tahun kemudian, di sudut hutan metropolitan, Si Julung
Kembang generasi berikutnya duduk bersandar di dalam gerobaknya,
cangkul dan capingnya yang bersimbol jatidirinya telah lama diistirahatkan.
***

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 23


Komik ini merupakan karya kolaborasi dan tata letaknya
sengaja disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan
difabel netra untuk mengakses isi cerita.

Ilustrasi:
Bangkit Satria Jati, Salsabila Yona Oktavia Rahma, dan Kus Sri Antoro.
Naskah:
Kus Sri Antoro.
Tata Letak:
Bangkit Satria Jati
Sumber inspirasi:
1. Dihan Amiluhur (2021). Gladiator Jawa: Sima Maesa dan Rampog Macan
di Jawa Abad 19. Penerbit Kendi, Temanggung.
2. William Blake (1794). The Tyger. Diakses dari Wikipedia.org
(10 November 2023)
Kisah Tanah dan Air Terakhir:
(Catatan Sunyi di Balik Perampasan
Ruang Hidup Warga Girisuko, Gunungkidul)
Toto Sudiarjo

Pagi itu, Parmin tengah bersiap untuk berangkat ke ladang yang


letaknya berada di areal perbukitan. Sang isteri, Semi, tengah
sibuk menyiapkan peralatan dan bekal makanan yang akan
dibawa ke ladang. Tas kecil yang berisi arit, air minum, makanan
dan tak lupa tembakau serta cangkul, sudah disiapkan oleh Semi
sejak hari masih samar-samar menuju terang. Hari-hari Parmin
bersama Semi di usianya yang menginjak 50-an tahun, terus
dihabiskan sebagai petani di punggung bukit karst Desa Girisuko,
Gunungkidul. Mereka tinggal di rumah kecil yang sederhana dan
berada persis di samping sungai Lemusur.
Di rumah mungilnya Pramin, tersmipan beberapa hasil panen
layaknya gudang penyimpanan pangan. Tumpukan karung berisi
kacang tanah kering tampak di sudut-sudut rumah. Hamparan
potongan singkong kering yang sudah menjadi gaplek, dijemur
di atap genteng rumah untuk kemudian dijual. Sisanya akan
dijadikan sego thiwul untuk dikonsumsi sendiri. Sedangkan di
ruangan tamu dipenuhi dengan tumpukan jagung yang sudah
dikupas dan sebagian sudah dirontokin oleh Semi pada saat malam
hari. Sisa jagung yang masih utuh dengan kulitnya, digantung di
atap-atap dapur untuk stok benih selanjutnya.

Foto: Parmin dan Semi sedang bersantai di rumah kecilnya

Kehidupan keluarga Parmin terbilang cukup sederhana


dengan segala keterbatasannya. Segala kebutuhan untuk hidupnya
masih mengandalkan dari lingkungan sekitar rumah. Seperti
kebutuhan makan dengan nasi thiwul, ikan dari sungai, sayur-
sayuran, kayu bakar hingga kebutuhan air yang melimpah tanpa
harus membeli. Hanya untuk kebutuhan listrik saja mereka harus
mengeluarkan uang setiap bulannya. Itu pun untuk penerangan
lampu saja karena tidak ada barang-barang elektronik lainnya di
rumah, selain televisi yang sudah tidak menyala.
Untuk mencapai ke ladang, Parmin dan petani lainnya harus
melewati Sungai Lemusur yang luas dengan jalanan berbatu dan
berbukit. Kondisi akses yang demikian sulit, membuat Parmin dan
orang-orang di sana harus menggunakan sepatu booth khusus
yang berukuran pendek. Kalau tidak, kaki kita yang akan menjadi
korban terkena sobekan batuan karts yang setajam batu karang.
Hal ini saya rasakan ketika mengikuti Parmin ke ladang untuk

26 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


pertama kalinya dengan hanya menggunakan sandal jepit. Di
samping licin dan tidak terbiasa, seluruh kaki rasanya pada sakit
semua. Sangat berbeda dengan pertanian irigasi yang konturnya
datar dan cukup mudah.

Foto: Gugusan bukit karst lokasi ladang petani Girisuko

Selain keluarga Parmin, sebagian warga Girisuko masih


menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian palawija seperti
menanam singkong, jagung dan kacang-kacangan dengan sistem
tadah hujan. Sistem gotong royong dalam bertani pun masih
dilakukan warga secara bergiliran. Mulai dari mempersiapkan
masa tanam hingga proses panen. Semuanya dilakukan secara
bersama-sama tanpa perlu adanya upah atau bayaran layaknya
buruh tani yang dibayar majikan.
Namun sistem gotong royong dalam bertani, tidak berlaku
ketika ada acara hajatan maupun selamatan yang sudah mulai
bergeser seiring bergantinya pertanian subsisten. Sumbangan
berupa hasil bumi petani mulai berganti dengan uang atau
beras yang sifatnya lebih transaksional. Begitupun dengan acara
selamatan yang awalnya dengan semangat komunal, sudah

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 27


mulai bergeser seiring munculnya program Dana Keistimewaan.
Fenomena semacam ini barangkali juga terjadi di tempat-tempat
lain dengan beragam pola yang mereduksi, di mana desa mulai
dipaksa berubah mengikuti laku orang-orang kota.
Sejauh mata memandang, gugusan bukit-bukit karts itu
selalu diselimuti kabut tebal jika fajar pagi mulai muncul dari
ufuk timur. Setelah melihat lebih dekat, gugusan-gugusan yang
menjadi ladang bertani para warga itu, ternyata banyak diapit
oleh jajaran pohon-pohon jati milik Dinas Kehutanan. Hamparan
pohon-pohon jati yang mendominasi, seolah menjadi penguasa
baru dan menghilangkan keanekaragaman hayati yang selama ini
ada di sana. Suhu udara pun sudah semakin hangat jika berada di
ladang.
Petani semakin terbatas untuk menanam tanaman yang lebih
beragam dengan adanya penghuni baru itu. Mereka hanya bisa
menanam tanaman yang dihasilkan dari pabrik atau biasa disebut
GMO. Begitupun pupuk yang digunakan harus dibeli dengan
harga yang tidak murah dan membuat petani ketergantungan.
Revolusi industri yang diagungkan oleh rezim Orde Baru, semakin
mengoyak segala sendi kehidupan petani. Unsur hara jelas
semakin rusak, daya dukung kawasan pun sudah semakin kritis.
Jangan harap petani bisa menanam seperti dulu lagi dengan lebih
lestari.
Ketidakpastian akan ladang bertani di kawasan Kehutanan,
dipertebal dengan adanya rencana megaproyek Taman Safari yang
konon akan mengambil sebagian wilayah kampung Girisuko.
Ladang-ladang terakhir yang kini menjadi tumpuan para petani,
akan turut bergegser dengan adanya rencana pembangunan
itu. Petani semakin tak punya pijakan lain untuk mencari
penghidupan di kampungnya yang turut membesarkan mereka
hingga bergenerasi. Setelah pengetahuan pertanian susbsiten

28 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


mulai tergantikan dengan sistem pertanian pabrikan, mungkin
besok tak ada lagi yang bertani, karena ladang-ladang itu kian
menjauh dan menghilang. Petani hanya tinggal nama yang
menjadi slogan atau merek dagang produk-produk di swalayan
yang jadi konsumsi orang-orang kota.

Foto: Petani perempuan sedang melakukan proses panen jagung bergilir

Sebelum berladang di kawasan Kehutanan, sebagian besar


warga menanam di lahan milik pribadi yang berada di talun
(lereng bukit). Namun, lokasi tanaman warga yang ada di lereng
bukit kerap disatroni oleh kawanan kera ekor panjang yang entah
dari mana datangnya. Semakin hari, semakin banyak kera-kera
itu berdatangan membawa kawanannya untuk mencari makanan.
Kera-kera itu kerap memakan tanaman di ladang hingga masuk
ke pemukian warga, sehingga mereka kerap dicap sebagai hama
oleh petani. Dari kondisi tersebutlah para petani mulai pindah ke
lahan milik Kehutanan.
Para petani semakin kewalahan dan memiliki pekerjaan
tambahan untuk mengusir monyet-monyet itu selain mengurus
tanamananya. Bermacam-macam cara sudah dilakukan petani

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 29


mulai dari memasang jaring, menggunakan plintheng (ketapel),
hingga membuat teriakan-teriakan untuk mengusir monyet-
monyet itu pergi. Akan tetapi, segala upaya yang sudah dilakukan
petani belum juga membuahkan hasil. Monyet-monyet itu
selalu datang di saat kondisi ladang sedang sepi ditinggal oleh
pemiliknya.
Perampasan ruang hidup warga sejak era rezim Orde Baru
hingga sekarang, ternyata masih terus berlangsung secara
massif. Seolah tidak ada hari libur bagi rezim yang berwatak
otoritarian hingga rezim saat ini yang berwajah neoliberal
untuk melanggengkan hasrat kuasanya. Semuanya masih dalam
spektrum yang sama, berorientasi pada wajah pembangunan yang
diproklamirkan dalam iming-iming kesejahteraan bagi rakyat.
Padahal, jika kita telusur lebih jauh, tidak sedikit megaproyek
nasional itu disponsori oleh para pemilik modal kakap baik
di tingkatan lokal, nasional maupun global, yang tidak sedikit
merampas ruang hidup warga.
Kemunculan kera di ladang-ladang petani, tidak lain karena
habitat mereka sudah mulai terusik. Sehingga satu persatu dari
mereka harus bermigrasi mencari rumah baru untuk bertahan
hidup. Sumber makanan mereka sudah mulai langka karena hutan
sudah semakin menghilang dan dibabat habis. Dalam beberapa
tahun belakangan, kawasan pesisir selatan Gunungkidul sedang
dibongkar habis untuk dibangun Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS).
Gugusan gunung Sewu di sepanjang Gunungkidul yang harusnya
dilindungi, terpaksa dipangkas dan dibelah dengan berbagai alat
berat. Pegunungan karts sebagai penyerap air alami dan rumah
bagi beragam ekosistem, kelak hanya tinggal cerita bagi anak
cucu.
Perampasan ruang hidup yang terjadi di wilayah Gunungkidul,
seringkali bermuara pada kalim sebagai daerah ‘tandus’ atau

30 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


‘kering.’ Logika tersebut sama halnya dengan melihat tanah yang
dianggap tidak produktif. Secara kasat mata, klaim tersebut
barangkali benar, karena tidak sedikit hamparan pohon-pohon
jati sudah mendominasi di sebagain besar wilayah di Gunungkidul
yang turut menghilangkan tanaman lain. Bahkan program hutan
jati rakyat pada tahun 1970, menjadi agenda pembangunan
pemerintah Gunungkidul pada waktu itu.1 Sehingga pohon-pohon
jati itu tanpa disadari sudah menjadi bagian yang menubuh dengan
kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di daerah Gunungkidul.
Meskipun klaim tanah tandus, kering ataupun kurang
produktif dapat ditepis dengan keberadaan gugusan karst yang
terbentang luas di sepanjang punggung wilayah Gunungkidul
sebagai penyimpan air alami dan beragam habitat yang hidup
di sana. Namun, gugusan-gugusan karst itu semakin hari
sudah semakin rata kondisinya dengan tanah. Mulai dari
aktivitas pertambangan batuan kapur hingga dibelah untuk
jalan raya. Semuanya hanya untuk memenuhi hasrat manusia,
tanpa mempedulikan keberadaan ekosistem lain yang hidup di
dalamnya. Dengan kondisi seperti itu, akan tiba saatnya mala
(bahaya) akan terus menghantui manusia-manusia yang telah
merusak alam itu sendiri.
Ekspansi tanaman jati pun terjadi juga di Desa Girisuko,
yang meninggalkan perubahan ruang sosio-ekologis sejak Orde
Baru. Sebagian besar warga Girisuko saat ini sudah terlanjur
menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian palawija yang
sangat terbatas jenisnya seperti jagung, kacang-kacangan,
singkong dan lainnya. Rata-rata mereka menggarap ladang di
lahan milik Kehutanan yang berlangsung sejak lama dengan
program Dinas Kehutanan. Awalnya pihak Kehutanan melakukan
skema mitra dengan kelompok tani setempat, namun secara

1 https://arupa.or.id/alur-sejarah-2/ (diakses 8/3/2013)

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 31


perlahan pohon-pohon jati itu terus menguasai sebagian besar
tanah milik warga.
Keberadaan pohon jati yang ekspansif di Gunungkidul,
ditambah dengan rencana megaproyek Taman Safari yang akan
mengambil separuh wilayah kampung, membuat sebagain
besar warga terpaksa menjual ladang-ladang milik pribadi yang
berada di talun karena semakin sulit untuk ditanami ditambah
dengan serangan monyet. Meskipun demikian, warga hanya bisa
menggantungkan hidup dari hasil pertanian palawija di lahan
Kehutanan dengan rasa ketidakpastian jika sewaktu-waktu lahan
itu akan diambil oleh Taman Safari ataupun pihak lain yang
kemunculannya seringkali tak terduga.

Terlempar Ke Tanah Sebrang


Di samping monyet-monyet berimgrasi mencari makanan ke
ladang-ladang petani, cerita lain soal perantauan turut mewarnai
diaspora orang-orang Girisuko. Sejak era Orde Baru, banyak warga
Girisuko sudah mengikuti program transmigrasi di perkebunan
sawit Sumatera. Praktik ini secara turun-temurun diteruskan
oleh beberapa generasi hingga saat ini karena dianggap memberi
harapan baru di tengah ketidakpastian akan hidup di desa. Migrasi
ke luar kampung masih terus dilakukan oleh generasi sekarang
karena semakin terkikisnya harapan bertani di tanah kelahirannya
sendiri. Tak ada pilihan lain selain berkelana ke tanah sebrang
untuk mengais harapan demi melanjutkan hidup.
Parmin, salah satu generasi yang ikut melakukan migrasi
ke wilayah Riau, Sumatera, bersama dengan isterinya. Selama
di Sumatera, Parmin berpindah-pindah tempat dan pekerjaan,
mulai dari menjadi buruh perkebunan sawit hingga bekerja di
pabrik triplek kayu milik Ibu Tien Soeharto. Saat bekerja di pabrik
kayu daerah Pulau Burung, Riau, Parmin mengalami kecelakaan

32 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


terkena mesin pemotong kayu yang membuat tangan kanannya
putus separuh. Setelah kejadian traumatis itu, Parmin dan Semi
akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung. Sebelum
kembali berladang, Parmin juga sempat mencicipi kerasnya
menjadi kuli panggul kayu jati milik Dinas Kehutanan yang kelak
menjadi pemakan tanah-tanah desa.
Sementara anaknya, Suhar, sempat mengikuti jejak orang
tuanya untuk merantau ke wilayah Sumatera, bekerja sebagai
buruh perkebunan sawit. Tidak jauh berbeda dengan orang
tuanya, Suhar pun berpindah-pindah tempat dari satu kebun ke
kebun lainnya dan menghabiskan sekitar delapan tahun merantau
di perkebunan sawit Sumatera. Suhar pun akhirnya memutuskan
untuk pulang kampung mengikuti jejak orang tuanya tanpa
memiliki tabungan sedikitpun. Saat ini, Suhar bekerja serabutan
sebagai buruh bangunan di wilayah Yogyakarta hingga ke
sekitaran Jakarta. Kondisi Suhar dengan pekerjaannya yang tak
pasti, sama halnya dengan Parmin dan petani Girisuko lainnya
yang dirundung ketidakpastian di ladang-ladang yang tersisa.
Praktik migrasi ini jika ditelusuri sudah ada sejak masa
kolonial Belanda. Pemerintah kolonial belanda menyebut program
migrasi dengan istilah “kolonisasi.” Tujuannya tidak lain untuk
memindahkan penduduk di Jawa yang sudah mulai padat ke tanah
sebrang. Salah satu tujuan migrasi pada masa percobaan awal
adalah ke wilayah Lampung, Sumatera. Kebijakan ini dilanjutkan
oleh pemerintahan kolonial Jepang, Orde Lama, Orde baru,
Reformasi, hingga rezim saat ini. Istilah transmigrasi sendiri mulai
populer ketika masa pemerintahan Soekarno dan dilanjutkan oleh
Soeharto dengan istilah bedhol desa. Setiap masa memiliki corak
dan karakternya sendiri dalam melakukan pemindahan penduduk
dan memiliki kegagalan serta keberhasilannya masing-masing.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 33


Harapan Pada Mata Air Terakhir
Ketidakpastian warga Girisuko akan lahan pertanian,
ditambah lagi mata air yang mereka miliki pun ikut terancam
dengan rencana hadirnya perusahaan air milik swasta. Terdapat
dua sumber mata air yang melimpah ruah di Dusun Pacar, Girisuko.
Sendang Belik dan Sendang Lemusur namanya. Sumber mata air
itu merupakan sumber pengetahuan warga yang menghidupi
mereka dari dulu hingga sekarang. Sejak dulu, mata air tersebut
tidak pernah kering dan dirawat dengan baik oleh warga karena
sudah membersamai sebagian besar masyarakat secara turun-
temurun.

Foto: Seorang petani sedang melintas Sungai Lemusur untuk menuju ladang

Pada suatu hari, ketika saya dan satu orang teman tinggal
di sana untuk beberapa hari, sempat menyaksikan warga sedang
melakukan bersih-bersih Sendang Belik yang ada di wilayah
Dusun Pacar. Maryanto, salah satu ketua pemuda Karang Taruna
Dusun Pacar, sedang sibuk mengerahkan warga untuk melakukan
bersih-bersih mata air secara rutin. Semua warga melakukan kerja
bakti mulai dari anak-anak, pemuda hingga orang tua sekalipun.

34 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Mereka secara bersama-sama membersihkan mata air tersebut.
Kemlekatan mereka dengan sumber mata air sebagai kebutuhan
utama, menujukan sebuah relasi manusia dengan alam sebagai
entitas yang tak bisa dipisahkan.
Sumber mata air Sendang Belik itu dikelilingi oleh pohon-
pohon beringin, ruas bambu dan pohon-pohon lain yang ada
di sekitarnya. Setiap pagi dan sore hari, tempat itu selalu ramai
dikunjungi orang-orang untuk sekedar mandi dan mencuci.
Di sampingnya terdapat surau berukuran kecil bagi siapapun
yang hendak melakukan sholat. Pipa-pipa panjang tampak
berkemrumun menunggu antrian dan memadati sumber utama
mata air untuk dialirkan ke rumah-rumah warga secara gratis.
Bayangkan jika warga menggunakan PDAM yang harus membayar
rutin setiap bulannya. Di sini warga mendapatkan air secara cuma-
cuma hanya bermodalkan pipa dan mau merawatnya. Hak atas
air sudah selayaknya didapatkan siapapun sebelum pemerintah
atau perusahaan masuk dengan segala iming-iming program yang
justru kerap kali menjadi tipu muslihat.

Foto: Lokasi mata air Sendang Belik di Dusun Pacar, Desa Girisuko

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 35


Selain Sendang Belik, di Sungai Lemusur terdapat satu
mata air yang tak kalah derasnya. Warga sekitar menyebutnya
Sendang Lemusur, karena lokasinya berada persis di atas Sungai
Lemusur yang mengelilingi seluruh kampung. Sumber mata air
itu kabarnya akan menjadi target untuk dijadikan perusahaan air
minum milik swasta. Tidak bisa dibayangkan jika perusahaan itu
masuk dan menyedot sebanyak-banyaknya sumber mata air yang
selama ini telah menghidupi warga sekitar. Orang-orang Girisuko
akan mengalami mimpi buruk yang tak berkesudahan. Mereka
akan kehilangan sumber mata air sebagai sumber penghidupan
dan akan menyisakan air mata.
Hari sudah semakin siang, terik matahari berada persis di
atas kepala Parmin yang baru saja selesai dari ladang. Sebelum
pulang ke rumah, Parmin seperti biasanya membersihkan seluruh
tubuhnya di sungai Lemusur. Setiap akan pulang Parmin juga
selalu membawa rumput untuk pakan ternak sapinya di rumah.
Sembari membersihkan diri, Parmin kerap bercakap-cakap dahulu
dengan petani lain yang sama-sama akan pulang. Setelah pulang
dan beristirahat dengan cukup, mereka kembali ke ladang hingga
hari menjelang sore. Rutinitas tersebut sudah menjadi laku harian
para petani di Girisuko, dengan melintasi sungai, batuan tajam
dan bukit-bukit terjal.
Sungai Lemusur tak pernah sepi dari orang-orang yang
melintas ke ladang. Saat siang dan sore hari, para petani sudah
terbiasa membersihkan diri di sungai. Begitupun dengan warga
sekitar yang terbiasa mandi dan nyuci. Selain airnya yang jernih
dan tak pernah kering, sungai itu masih banyak terdapat ikan yang
menjadi bururan para warga. Setiap harinya selalu ada saja orang-
orang yang menacari ikan entah itu memancing, memasang
bubuh, bahkan ada yang menggunakan jaring. Para muda-mudi
pun setiap sore tak pernah absen hanya untuk sekedar nongkrong

36 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


maupun mandi. Sungai menjadi saksi ruang bertemu dalam
melepas rindu dan peluh yang membasahi setiap tubuh-tubuh
setelah seharian bekerja di antara ladang-ladang yang semakin
menghilang.
(Tulisan ini bagian dari ringkasan catatan penelitian selama
di Dusun Pacar, Girisuko, Gunungkidul yang dijadikan film
dokumenter pendek berjudul “Ladang Terakhir” 2022).

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 37


Balance of Nature Vs
Imbalance of Nature:
Menelusuri Konseptualisasi ‘Ekologi Baru’ dan
Artikulasinya dalam Label ‘Hijau’
Dwi Wulan Pujiriyani

Konsep atau terminologi ‘hijau’ menjadi konsep yang sangat


populer dijumpai dalam berbagai wujudnya. Green city, green
food, green energy, green business, green politic, dan green
consumerism adalah beberapa konsep ‘green’ yang dikenal secara
meluas. Mengapa ‘green’ atau ‘hijau’ dan apa sebenarnya pesan di
balik label yang seolah menunjukan adanya imaje positif begitu
digunakan? Benarkah ini sebuah bukti kesadaran yang kuat dari
masyarakat mengenai sebuah pilihan untuk kembali pada filosofi
‘berbakti untuk bumi’ dan kepedulian akan sebuah harmoni
kehidupan? Ataukah hanya sekedar kamuflase untuk menaikan
pamor dan nilai jual serta menyembunyikan praktik-praktik ‘abu-
abu’ yang tetap dilakukan?

Konsep Ekologi Awal


Dalam konteks mengenali label ‘hijau‘ inilah akan
dihubungkan dengan review menarik dari Ian Scoones1 mengenai

1 Ian Scoones adalah seorang ahli ekologi pertanian (agricultural ecologist) yang saat ini
menjadi profesional fellow di Institute of Development Studies di University of Sussex. Ia
fokus pada isu livelihood pedesaan serta perubahan kebijakan dan kelembagaan dengan
wilayah kerja sebagian besar di Afrika Timur dan Afrika Selatan, khususnya Zimbabwe.
akar kemunculan pemikiran ekologi baru (new ecological
thinking). Ekologi baru diawali dari konsep bahwa alam itu tidak
seimbang (imbalance nature). Sebagaimana disebutkan Scoones,
sebelum kemunculan ‘ekologi baru’, paham tentang keseimbangan
alam (equilibrium in nature) telah memiliki tradisi yang panjang
di Eropa. Hal ini dapat ditelusuri pada masa Yunani, abad
pertengahan dan abad ke-18. Terminologi ‘ekologi’ yang pertama
kali ditemukan oleh Haeckel pada tahun 1866 menggambarkan
konsep-konsep untuk menjelaskan struktur dan berfungsinya
alam.2 Hal ini pula yang dimunculkan Marsh (1864), bahwa ‘alam
itu dibiarkan tidak diganggu, alam relatif memiliki bentuk yang
permanen dan tidak berubah, kecuali terjadi bencana geologis yang
ini jarang sekali terjadi, kerusakan dapat terjadi dan itu sifatnya
permukaan, bisa memulihkan dirinya kembali”. Pemikiran serupa
inilah yang mendominasi para ahli lingkungan selama 70 tahun
sampai akhirnya pada tahun 1970, Elton menyatakan bahwa “alam
yang seimbang itu tidak ada dan mungkin tidak akan pernah ada”
(the balance of nature does not exist and perhaps never existed).
Pada tahun 1983, Sousa menyusul dengan kesimpulannya bahwa
“Jika keseimbangan alam itu ada, maka keseimbangan ini akan
sulit untuk ditunjukkan”. Hanya kedua komentar inilah yang dapat
dikatakan sebagai awal dari pemikiran ekologi baru, selebihnya
ilmu ekologi dalam abad tersebut tetap dibangun dari ‘paham

Background keilmuan yang ditekuninya mulai dari biologi, manajemen ekologi dan sains.
2 Ekologi didefinisikan sebagai cabang dari biologi yang berkaitan dengan relasi-relasi mahluk
hidup terhadap lingkungan sekitar, kebiasaan dan cara hidup mereka. Relasi-relasi individu
dengan lingkungan, kebiasaan dan cara hidup mereka termasuk semua aspek yang saat ini
dilihat sebagai dampak kontekstual (contextual effects). Definisi ini mencakup aspek-aspek
dalam psikologi perkembangan dan psikologi lingkungan. Bagian ini yang kemudian dikenal
dengan istilah autoecology (menempatkan organisme secara individual berlawanan dengan
synecology, studi kolektivitas), bagian dari ekologi tetapi biasanya tidak menjadi bagian dari
terminologi tersebut. Definisi ini mencakup kajian-kajian seperti Gerth dan Mills tentang
karakter dan struktur sosial, yang mempelajari mengenai bagaimana perubahan dalam
struktur sosial berdampak pada ‘mode of life’ dari suatu masyarakat. Sebaliknya sosiologi
ekologi manusia berfokus pada penelusuran mengenai ‘aggregation effects’ (dampak
agregasi), yaitu bagaimana masyarakat hidup bersama, menciptakan organisasi sosial, yaitu
relasi resiprokal antarindvidu atau masyarakat dengan lingkungannya berada. Lebih Lanjut
lihat Cliffton D Bryant. 2007. 21st Century Sociology: A Reference Handbook. California dan
United Kingdom: Sage Publications, hal 444.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 39


keseimbangan, asumsi tetap, hukum homeostasis dan siklus atau
titik kestabilan yang seimbang.’3
Paham ‘keseimbangan’ yang mendominasi sampai tahun
1970-an ini, pada akhirnya mulai dihadapkan dengan munculnya
konsep nonequilibrium yang berbasis pada sistem yang nonlinear.
Terminologi-terminologi seperti: variabilitas, resiliensi,
persistensi, resistensi, dan sensitivitas merupakan konsep-konsep
dinamis yang kemudian muncul dan menghadirkan berbagai
pertanyaan empirik mengenai kompleksitas ekosistem, keragaman
dalam ruang dan waktu serta implikasinya pada perubahan yang
tidak seimbang. Dari sinilah kemudian ketiga bentuk ekologi baru
itu muncul:

1. Pemahaman variasi ruang dan waktu mendorong


bergesernya dinamika perdebatan dari asumsi sederhana
mengenai hukum keseimbangan menjadi dinamika yang
kompleks, tidak pasti dan penuh kejutan

2. Eksplorasi skala proses-proses dinamis yang mengarahkan


pada interaksi non linear, analisis sistem hirarki dan
pemahaman pada pola spasial dari proses ekologis dari
skala kecil ke skala yang lebih luas

3. Pengenalan pada dinamika temporal pola dan


proses-proses dalam paleoekologi, ekologi
evolusioner dan sejarah lingkungan

Gambar. 1. Perhatian Ekologi

Dalam perkembangannya, berbagai disiplin ilmu yang


berbeda seperti antropologi, sosiologi, geografi, atau ekonomi
mengadopsi pemikiran ekologis dalam perspektif yang berbeda-
beda pula seperti dapat dicermati dalam ilustrasi berkut ini:

3 Sejumlah ranah ekologi yang mendominasi dapat dilihat pada abad ini dari Clements (1916),
seorang ahli ekologi tumbuhan yang tertarik pada persoalan suksesi atau pergantian, yaitu
bagaimana tumbuh-tumbuhan berubah seperti halnya komunitas-komunitas yang dilihat
sebagai superorganisme.

40 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


•lingkungan alam Ekologi Poli�k • Fokus pada batas
diatur secara carrying capacity
hemostasis
• Alam dan
• interaksi antara alam • relasi antara proses sumberdaya alam itu
dengan sistem sosial sosial, poli�k dan seimbang
sebagai satu fungsi lingkungan • Mekanisme
• pengetahuan dan • lingkungan sebagai keseimbangan
prak�k masyarakat subjek analisis dikembalikan
lokal dalam se�ng digambarkan tetap melalui suksesi alam
lingkungan yang
• Keseimbangan,
beragam
harmoni dan sistem
Lingkungan dan Ekonomi
tradisional itu ada
Antropologi Ekologi Ekologi
namun dirusak oleh
perubahan modern

Gambar 2. Artikulasi Pemikiran Ekologis dalam Ilmu-Ilmu Sosial

Dalam antropologi ekologi, ekologi politik maupun


lingkungan dan ekonomi ekologi, pandangan bahwa alam itu
seimbang tetap bertahan. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam
antropologi ekologi, ekologi budaya atau ekologi manusia yang
pada prinsipnya melihat bagaimana masyarakat non Barat hidup
dengan alam. Disini paham bahwa alam itu diatur dalam hukum
homestasis itu ada, sehingga masyarakat sangat percaya pada alam
(rely on nature). Cara pandang serupa ini mengakibatkan begitu
banyaknya data terkumpul tetapi tidak mampu menjelaskan ketika
dihadapkan pada proses sosial dan kompleksitas lingkungan. Hal
serupa juga dapat dilihat dalam politik ekologi yang bergerak
pada paham bahwa sumber daya alam secara sosial dan politik
dikonstruksikan serta bagaimana perspektif tentang lingkungan
harus dilihat dalam perpektif aktor yang berbeda.4 Sementara
itu muncul pula debat mengenai alam-budaya (nature-culture)
yang dimunculkan oleh kelompok epistemologi modernis. Kerja
etnografi mengenai bagaimana kekhususan alam-budaya tidak

4 Sementara itu dalam lingkungan dan ekologi ekonomi, dikenal ada ahli ekonomi lingkungan
(environmental economist) yang menempatkan isu sumberdaya dalam konteks kegagalan
pasar dalam menyediakan alokasi yang sumberdaya yang mencukupi dalam kondisi
kelangkaan; ahli ekologi ekonomi (ecological economist) yang menggunakan pendekatan
sistem koevolusioner dengan mengadopsi sistem ekonomi dan sistem ekologi yang dilihat
secara bersama dan ekonomi kelembagaan (institusional economist), sebuah perhatian yang
penting pada isu tindakan kolektif dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 41


dapat dipertahankan dalam konteks yang beragam. Melalui
kemunculan bioteknologi, bentuk-bentuk alam diciptakan dan
globalisasi menciptakan semacam rezim alam, artikulasi baru
dengan proses-proses sosial dan budaya. Pembagian antara
alam-budaya tidak bisa berkelanjutan, sebagai ‘jejaring hibrid)
antara manusia, alam dan artefak harus dilihat keterkaitannya
dengan proses-proses penyelidikan ilmiah. Dalam konteks
inilah dibutuhkan, renegoisasi batas-batas ilmu sosial dan alam
atau menciptakan antropologi simetris secara radikal dimana
pembagian alam-budaya tidak muncul sama sekali.
Dinamika ekologi yang terjadi, menunjukan bahwa pemikiran
ekologis sebagian besar masih melanjutkan penggunaan metafor
‘keseimbangan, tatanan dan harmoni dalam frame diskusinya”. Ide
mengenai harmoni bersama alam bukanlah keinginan manusia
melainkan sebuah keharusan alam. Tidak mengherankan jika
kemudian gerakan lingkungan di seluruh dunia yang muncul dari
tahun 1970 menggunakan metafor ini. Dalam bentuknya yang
bervariasi mulai dari teknosentrik, ekosentrik, manajerialis sampai
bentuk-bentuk etis, spiritual, keseimbangan alam merupakan
tema yang dimunculkan. Radical green thinking bertujuan untuk
menciptakan sebuah ekonomi dan tatanan sosial baru yang
memungkinkan manusia untuk hidup secara harmonis di bumi.
Metafora keseimbangan ekologi digunakan untuk membangun
posisi etik dan moral serta membenarkan pengelolaan proyek-
proyek teknosentrik. Konsep ‘keseimbangan’ yang muncul dalam
beragam perspektif seperti deep ecology, ecofeminism atau
gerakan pembangunan berkelanjutan memiliki berbagai praktek.
Dalam narasi ‘pembangunan’. Serangkaian konsep keseimbangan
dalam ekologi menjadi wacana intervensi dominan. Alam itu
dikalkulasi, diklasifikasikan, diberi label dan diintepretasikan
dari suatu tradisi tertentu dalam ilmu ekologi untuk kemudian

42 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


dikelola dalam rezim administrasi dari agen-agen negara, NGO
dan proyek-proyek pembangunan pemerintah.5

Perspektif Ekologi Baru


Agenda baru dalam debat mengenai ekologi baru dan ilmu
sosial dapat ditemukan dalam berbagai ranah keilmuan dari
mulai antropologi ekologi, politik ekologi, ekonomi ekologi
dan analisis postruktural dalam tema nature-culture (alam-
budaya). Ada tiga hal yang penting untuk dipahami dalam hal
ini yaitu berkaitan dengan: dinamika ruang dan waktu yang
berkembang dalam analisa ‘people in places’, analisa historis untuk
menjelaskan perubahan lingkungan; tumbuhnya pemahaman
mengenai lingkungan sebagai produk dan setting dalam interaksi
manusia yang berkaitan dengan analisa dinamika struktural dari
proses-proses lingkungan dengan perhatian pada agen manusia
dalam transformasi lingkungan sebagai bagian dari pendekatan
strukturasi; serta yang terakhir perhatian pada kompleksitas dan
ketidakpastian sistem ekologis, sehingga di dalamnya prediksi,
pengelolaan dan pengendalian bisa dilakukan jika memungkinkan.
Dalam konteks memahami sejarah lingkungan, perlu
dilihat tradisi-tradisi dalam landscape studies yang fokus pada
interaksi antara landscape dan sejarah yang dilakukan oleh
sejarawan lingkungan. Minat dalam berbagai interseksi keilmuan
seperti sosial, politik, ekonomi dan perubahan lingkungan
telah mendorong berbagai kajian secara meluas. Tradisi sejarah
lingkungan memunculkan metodologi yang baru dengan
menggunakan metode hybrid interdisipliner yang menekankan
pada pemahaman proses-proses sosial dan ekologis kontemporer

5 Paham-paham tentang apa itu hutan, apa itu penggembala, apa itu longsor, apa itu alam liar,
yang berasal dari pandangan ekologi, dikonstruksi ke dalam istilah-istilah: forest dweller,
pastoralist, small-scale farmers atau indigenious people yang seringkali dilihat sebagai
penyebab berbagai masalah lingkungan.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 43


yang mengcounter oandangan Malthusian dan keseimbangan
alam (balance of nature). Sejumlah metode (kuantitatif, kualitatif,
tekstual) dalam ilmu alam dan ilmu sosial diintegrasikan untuk
melihat proses perubahan landscape dan lingkungan, proses-
proses sosial politik yang berpengaruh dan terjadi akibat
perubahan lingkungan seperti: perubahan simbol-simbol budaya,
intepretasi dan makna. Sejumlah studi menunjukan sebagai
contoh, bagaimana landscape diciptakan melalui tindakan
manusia, termasuk warisan masa lalu yang diharapkan maupun
tidak diharapkan. Pemahaman mengenai sejarah penggunaan
tanah dan persinggungan (interseksi) antara proses-proses sosial,
kelembagaan, politik dan ekonomi menjadi sangat penting.
Beberapa kajian menekankan pada keragaman dan kompleksitas
perubahan pola spasial dan temporal yang beresonansi dengan
dinamika nonlinear, keragaman batas dan pentingnya interaksi
sosial ekologi dalam ekologi baru. Beberapa pendekatan sejarah
menjadi dasar penting dari rekonseptualisasi dinamika perubahan
lingkungan manusia.
Pemikiran ekologi baru juga menyebutkan bahwa tidak ada
hubungan yang linear dalam relasi antara manusia dengan alam
dalam proses perubahan lingkungan. Lingkungan secara dinamis
diciptakan nonlinear, nondeterministik dan saling bergantung.
Proses-proses sosial, politik, ekonomi dan ekologis berinteraksi
secara dinamis, dimana dalam hal ini diperlukan analisa yang
lebih detail mengenai interaksi struktur dan individu dalam
skala lokal dan global. Beberapa perspektif memerlukan analisis
untuk bergeser dari fungsionalis sederhana dan deterministik
yang mendominasi dalam antropologi ekologi dan pendekatan
serupa yang digunakan oleh ilmu sosial di masa lalu. Meskipun
muncul beberapa perdebatan, tantangan baru dalam ilmu sosial
adalah memberikan perhatian pada pemikiran ekologis yang
nonequilibrium. Argumen yang lebih luas mengenai interaksi

44 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


antara struktur dan skala agen harus menjadi pusat dari dinamika
pemahaman interaksi antara manusia dengan alam.
Lingkungan dalam skala yang berbeda dilihat sebagai
produk dan pola dari tindakan manusia. Hal ini berimplikasi
pada perspektif dalam sistem sosial ekologi yang lebih luas
sebagai hasil dari perubahan yang berkelanjutan maupun tidak
berkelanjutan dalam konteks yang spesifik yang ditandai dengan
kompleksitas, ketergantungan dan dinamika non linear. Hal ini
bisa dilihat misalnya dalam kajian mengenai proses-proses dimana
praktik-praktik lokal seperti bertani, mengolah tanah, menebang
pohon, mengolah rawa, membakar, menggembala, berburu dan
sebagainya, mempengaruhi lingkungan dari waktu ke waktu dan
bagaimana perpaduan antara perilaku yang diinginkan dan yang
tidak diinginkan oleh aktor sosial yang berbeda menghadirkan
dinamika lingkungan dan ekologi tertentu. Beberapa praktik
ekologi, memunculkan aspek-aspek yang penting dalam dinamika
alam dan perubahan lingkungan dan bagaimana ini kemudian
berkaitan dengan proses-prosessosial budaya. Implikasi
metodologi dari praktik ekologi semacam ini adalah membedakan
para aktor dengan mengacu pada status sosial, akses dan kontrol
produksi dan bagaimana pengendalian konflik berdampak pada
eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu seperti
yang dijumpai dalam kehidupan sosial individu.
Selanjutnya ekologi baru juga memberikan pandangan
yang penting pada kompleksitas dan nonlinearitas dalam sistem
ekologi. Hal inilah yang memunculkan konsekuensi penting
pada persepsi tentang praktik, kebijakan dan persepsi tentang
lingkungan. Ketidakpastian, interdeteminasi dan keterkejutan
merupakan inti dari dinamika ekologis. Sistem pengetahuan kita
yang tidak lengkap serta sistem itu sendiri yang memungkinkan
kita untuk menemukan banyak kejutan. Isu-isu tentang risiko,

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 45


ketidakpastian dan interdeteminasi juga menjadi perhatian bagi
para sosiolog dalam mengeksplorari isu mengenai respon-respon
publik dan kebijakan terhadap isu lingkungan. Hal ini juga secara
khusus menekankan wilayah-wilayah yang penting dimana
berbagai kebijakan, praktik dan pemahaman kita mengenai
lingkungan ditantang oleh sebuah perspektif alternatif dengan
adanya kompleksitas dan ketidakpastian dalam ilmu pengetahuan.
Pemahaman pada proses-proses interaksi dari berbagai
pengetahuan mengenai lingkungan dalam ketidakpastian ilmiah
menjadi penting untuk dilakukan. Memahami negosiasi berbagai
keahlian membutuhkan sudut pandang untuk mengkerangkai
konstruksi pengetahuan tentang lingkungan dan model-model
wacana yang muncul. Kompleksitas dan ketidakpastian dalam
ilmu ekologi memunculkan kesempatan untuk menghubungkan
konteks kelembagaan dan organisasional dengan manajemen
lingkungan.
Melalui Ian Scoones dapat dipahami bahwa berbagai konsep
atau terminologi ‘hijau’ yang hadir merupakan satu wujud dari
pemikiran ‘ekologi baru’ dimana konsep kepedulian terhadap
lingkungan hadir dalam berbagai pendekatan keilmuan. Dalam
hal inilah terlihat interseksi keilmuan dimana kemudian ‘prakarsa
hijau’ menjadi sebuah ide dan semangat yang diusung bersama.
Sebagaimana istilah yang dipinjam Scoones dari Holling bahwa
sistem pengetahuan kita pada dasarnya tidak lengkap. Dari sinilah
pandangan mengenai kompleksitas dan nonlinearitas melalui
berbagai pendekatan keilmuan untuk bisa memahami sistem
ekologi itu bisa hadir dalam berbagai wujud atau artikulasinya.
Selain interseksi keilmual, konsep ketidakseimbangan alam juga
menjadi satu penekanan bahwa konsep hijau yang digunakan ini
merupakan satu realisasi dari gerakan untuk penyadaran untuk
merespon sistem ekologi kita yang tidak seimbang tersebut.

46 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Lingkungan tidak dengan sendirinya harmonis dan dapat
memulihkan dirinya sendiri dari kerusakan ekologis.
Gerakan atau konsep ‘hijau’ hadir sebagai ‘produk dari
setting atau situasi dimana telah terjadi kerusakan ekologis
yang mengkhawatirkan akibat perilaku manusia. Dari setting
inilah, kesadaran atau gerakan hijau muncul. Salah satu
contohnya adalah ‘green consumerism’ yang muncul sebagai
bentuk gerakan kesadaran konsumen akan hak-haknya untuk
mendapatkan produk yang layak dan aman (produk yang ramah
lingkungan/environment friendly). Green consumerism yang
didefinisikan sebagai ‘the use of individual consumer preference
to promote less environmentally damaging products and services’
ini merupakan sebuah gambaran bahwa perilaku konsumtif
akibat mengkonsumsi produk yang tidak layak dan tidak ramah
lingkungan dapat memberikan imbal balik yang buruk bagi
keberlanjutan lingkungan di masa mendatang. Hal ini pula yang
muncul dalam konsep ‘green food’ sebagai bentuk penyadaran
untuk mengembalikan lingkungan dari pilihan makanan yang
dihasilkan dar metode pertanian organik. Makanan yang dihasilkan
melalui metode organik dengan mengurangi penggunaan pupuk
kimia dan pencemaran pestisida diyakini mampu menyelamatkan
lingkungan ekosistem.
Lebih lanjut mengenai konsep hijau ini, perlu dicermati
juga bahwa tidak selalu konsep hijau ini mengindikasikan
sebuah imaje yang positif. Manipulasi atau kamuflase konsep
hijau ini ditemukans secara jelas salah satunya dalam istilah
‘green grabbing’. Konsep hijau yang dilakukan melalui kampanye
perlindungan bumi melalui skema REDD, telah menyingkirkan
masyarakat lokal yang menjadi bagian dari ekosistem. Harmoni
atau keselarasan yang dikesankan melalui konsep ‘hijau’ ini
ternyata hadir dalam makna yang lain dalam konsep ini. Green

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 47


grabbing mengisyaratkan sebuah proses pengambilalihan tanah
secara halus (praktek abu-abu) dengan argumen melindungi
bumi, menyelamatkan lingkungan dari krisis untuk keberlanjutan
generasi masa depan.

Daftar Pustaka
Bryant, Cliffton D. 2007. 21st Century Sociology: A Reference
Handbook. California dan United Kingdom: Sage
Publications, hal 444.
Fairhead, James; Melissa Leach dan Ian Scooner. “Green
Grabbing: A New Appropriation of Nature?”. The Journal
of Peasant Studies, Volume 39, Issue 2, pp 237-261, DOI:
10.1080/03066150.2012.671770
Sachdeva, Sonya, Jennifer Jordan dan Nina Mazar. “Green
Consumerism: Moral Motivation to a Sustainable Future”.
Current Opinion in Psychology. 2015, Volume 6, pp 60-65.
Scoones, Ian. “New Ecology and the Social Sciences: What Prospect
for a Fruitful Engagement”. Annual Review of Anthropology.
1999, Volume 28, pp 479-507.
Zhu, Qinghua et all. “Green Food Consumption Intention,
Behaviors and Influencing Factors Among Chinese
Consumers”. Food Quality and Preference. 2013. Volume 28,
pp 279-286.

48 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Ancaman Kesuburan Tanah
di Lereng Merbabu
Rahmat Ariza Putra

Gambar 1. Praktik Agraria Pengancam Tanah Subur di Sentra Sayur Merbabu-Merapi

Belum lama ini, di tengah acara syukuran di Desa Girirejo,


Ngablak, Magelang, tempat saya tinggal, saya menyimak keluh
kesah petani tentang kondisi lahan. Terutama perihal kesuburan
tanah yang semakin terdegradasi dari musim ke musim.
“Nek arep nandur, lemine saiki kudu akeh, nek sethithik wis
ra ngangkat, mesh karo phonska yo soyo okeh butuhe, (jika akan
menanam, pupuknya sekarang harus banyak, jika sedikit tidak
manjur, urea/mesh dan phonska juga semakin banyak butuhnya)”
urai mereka. Menurut petani, tanpa tambahan takaran aplikasi
pupuk kimia dan kohe ayam yang lebih banyak dari musim tanam
sebelumnya, kuantitas dan kualitas produksi sayur akan turun
signifikan.

Tanah Andosol Tanah Sempurna


Sebetulnya, persoalan ini bisa dihindari jika kesuburan tanah
dikelola dengan baik, mengingat daerah setempat dikelilingi
gunung berapi. Kondisi geografis tersebut membuat wilayah ini
diberkahi tanah Andosol, tanah pegunungan, yang pada asalnya
begitu subur dari berbagai aspek.
Secara fisik, tanah ini sangat gembur. Proporsi komponen
penyusun tanah berupa pasir, lempung dan debu sangat ideal dari
kaca mata klasifikasi tekstur tanah. Sirkulasi udara dan air pada
tanah andosol juga baik. Distribusi rongga tanah yang merata
pun memungkinkan pertumbuhan akar optimal. Selain itu,
kemampuan massa tanah menyimpan air dapat diandalkan. Tidak
berlebihan dan tidak pula kekurangan.
Dari sudut pandang kimia, pH tanah di sini juga berada
di kisaran ideal yaitu di antara 6-6.5. Parameter lain berupa
ketersediaan hara seperti Nitrogen, Belerang, Kalium dan aneka
mineral lain pada asalnya juga melimpah. Keberadaan koloid
mineral dan bahan organik pada saat hutan dibuka untuk kegiatan
budidaya harusnya mampu menyediakan nilai kapasitas tukar
kation yang tinggi sehingga cadangan nutrisi di tanah terjaga
dengan baik.
Seiring dengan kandungan biomassa dan humus yang tinggi,
secara biologi tanah Andosol di sekitar lokasi juga dapat dikatakan
ideal. Beragam mikroba, mikro fauna dan mikro flora hidup
dengan baik di dalamnya. Keanekaragaman hayati tersebut saling

50 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


bersinergi menciptakan kesuburan yang baik untuk tumbuh
kembang tanaman. Pendek kata, tanah vulkanis asalnya adalah
media yang sempurna untuk budidaya sayur.

Dirusak Manusia
Kalau kemudian tanah surga kini merana diduga adalah
praktik budidaya pertanian yang hanya memikirkan produktifitas
tinggi dengan metode yang tidak merepotkan dan biaya seirit
mungkin. Orientasi komersil tanpa kesadaran utuh tentang
kesuburan tanah ini boleh dikata sebagai penyebab utama lahirnya
status quo pada tanah surga
Yang banyak terjadi di lapangan, petani pada umumnya
mengandalkan “bahan organik” yang disebut kristal. Limbah
peternakan ayam yang terdiri dari sekam mentah bercampur
kotoran. Sesekali berupa feses ayam murni bagi petani bermodal
lebih.
Kandungan nutrisi pupuk tersebut memang tinggi terutama
Nitrogen yang dibutuhkan aneka jenis sayur semusim yang daun-
daunnya dikonsumsi manusia. Namun karena sumber pakan
utama ayam adalah biji-bijian minim serat, kehadirannya di tanah
hanya sesaat meningkatkan kesuburan. Itupun cuma berkaitan
dengan aspek kimia yaitu ketersediaan hara.
Dengan kata lain, tidak ada perhatian dari petani untuk
menyediakan bahan organik penghasil humus yang memang
secara praktik cukup merepotkan dan memakan biaya serta waktu
lebih banyak. Kalau ada yang murah kenapa harus yang susah,
begitu kira-kira logika yang dipakai.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 51


Kunci yang Diabaikan
Humus adalah bahan organik resisten berwarna hitam yang
umumnya berada di lapisan teratas tanah dan berasal dari serat
tanaman. Senyawa lignin, selulosa atau hemiselulosa adalah asal-
usulnya. Karena rantai karbon yang begitu panjang, biomassa
tersebut mampu bertahan dari dekomposisi total mikroba serta
pelapukan fisik oleh panas dan hujan
Daya tahan tersebut melahirkan zat yang mampu menjaga
kesuburan tanah secara holistik dalam jangka panjang. Koloid
organik cakap mengikat hara sehingga tidak rentan terbawa erosi
atau menguap akibat panas matahari. Eksistensi koloid ini juga
menghidupkan koloni organisme baik seperti mikroba pengikat
N, pelarut P, aneka kapang sahabat tanaman, cacing penggembur
tanah, serangga pemakan hama dan lain sebagainya ‘:Humus juga
punya daya ikat air tinggi serta mampu menjaga tekstur tanah
tetap porus sehingga perakaran tanaman dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal.

Pupuk Miskin Humus


Keuntungan humus sebanyak itu tidak dapat diwarisi dari
pupuk kandang ayam apalagi yang mengandung banyak sekam
mentah. Kohe (kotoran hewan) ayam miskin serat kasar yang
fungsinya ketika telah menjadi humus sangat penting bagi tanah.
Belum lagi soal tekstur tanah Andosol yang berpasir membuat
proses penguraian kohe ayam berjalan lebih cepat dibanding
tanah kaya lempung. Tidak heran jika ketersediaan dan jejak
pupuk kohe ayam di tanah vulkanis tidak bertahan lama.
Lebih lanjut, tambahan sekam mentah sebetulnya dalam
jangka panjang berakibat buruk. Bahan tersebut hampir tidak
punya manfaat apapun selain meningkatkan porositas tanah alias
tingkat kegemburan. Masalahnya, kegemburan tanah andosol

52 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


pada asalnya sudah cocok untuk tanaman. Pemberian sekam
mentah secara berkala justru akan membuat tanah semakin
porus. Tingkat porositas berlebih pada akhirnya menurunkan
kemampuan tanah mempertahankan air dan nutrisi dari suhu dan
curah hujan tinggi.
Selain pemilihan kohe ayam, tindakan petani membuang sisa
hasil panen di tepi ladang semakin mempermiskin bahan organik
tanah. Padahal serat serat yang ada pada tanaman yang tidak
dijual dapat bermanfaat sebagai sumber humus jika dikembalikan
lagi ke lahan.
Kebiasaan itu merupakan ancaman nyata bagi lahan pertanian
sayur di lereng Gunung Merbabu-Merapi, mungkin juga di sentra
sayur lainnya. Bahaya yang jika dibiarkan akan mengikis habis
kesuburan internal tanah. Kondisi yang bila kian berlarut akan
terus menggerus keuntungan petani.

Agar Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman Lagi


Penambangan tak beretik adalah kata kerja paling pas untuk
mendeskripsikan praktik budidaya sayur yang dilakukan petani
di lereng Merbabu-Merapi. Kesuburan karunia Sang Pencipta
dieksploitasi habis habisan. Berat hati saya mengatakan, pahlawan
pangan ini mengambil jauh lebih banyak dari apa yang mereka
berikan ke lahan.
Cara bertanam seperti yang diuraikan di atas jelas bukan jalan
menuju kelestarian. Konsep pertanian berkelanjutan mendiktekan
neraca keseimbangan. Paling tidak, jumlah yang hilang sama
dengan yang dikembalikan. Dan ini pasti bukan hanya perihal N,
P, K, Mg, Ca, S yang dimakan tanaman atau raib karena air, angin
dan panas. Di luar itu, zat yang darinya berbagai aspek kesuburan
terjaga juga harus dipertahankan.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 53


Sebelum saya berbicara teknis, prinsip kesepadanan ini
harus terlebih dahulu ditegakkan. Bahwa jika tidak diperlakukan
demikian, fertilitas tanah tak ubahnya seperti sumber daya tak
terbarukan. Terus menerus digali hingga lambat laun habis tak
berbekas.
Tentang bagaimana pemahaman ini berjangkar dalam laku
tani, edukasi adalah kunci. Pendidikan disertai insentif praktikal
yang meringankan beban petani. Detailnya, insya Allah saya
uraikan lain kali karena janji awal adalah seputar kiat-kiat dalam
praktik bercocok tanam.

Menjaga Kesuburan Holistik


Berbicara soal mengembalikan kesuburan tentu harus
lengkap dengan tiga cabang yang saling berkelindan berupa aspek
fisik, kimia dan biologis. Resep pertama jelas berangkat dari yang
dekat dan ada. Membenamkan bagian tanaman yang tersisa ke
dalam bedengan di masa olah tanah. Pengecualian diberikan pada
buah, dedaunan atau batang yang tertular penyakit. Bagi mereka
hanya ada buang atau bakar.
Seresah tersebut sangat berguna sebagai tabungan jangka
panjang. Sisa-sisa panen itu akan bertransformasi menjadi sumber
nutrisi, tandon air dan habitat mikro fauna dan mikroba tanah.
Peran yang hanya dimainkan oleh pupuk kaya serat nabati alias
humus.
Cara berikutnya adalah merubah sumber masalah jadi
maslahah. Pembakaran anaerob kristal (sekam mentah dan kohe
ayam) menjadi arang menaikkan derajat pupuk ini berkali lipat
tidak hanya sebatas sumber nutrisi sesaat.
Api mengubah struktur dan sifat kimia sekam sehingga
bertransformasi menjadi zat yang mampu mengikat hara dan air

54 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


lebih baik. Manakala arang sekam menjadi lebih lembab dan kaya
nutrisi, aneka mikro organisme pun hadir dan berkembang biak
dengan baik. Ini semua dipersembahkan arang sekam sembari
tetap menjaga kegemburan lahan.
Upaya berikutnya yakni pemberian kompos berbahan baku
hijauan. Sumbernya ialah kotoran hewan pemamah biak. Sapi,
kambing, kerbau, kelinci, bahkan marmut. Alasan kenapa pupuk
jenis tersebut lebih mulia berkaitan dengan asal muasal humus di
tanah. Sisa rerumputan yang tidak dicerna meninggalkan banyak
serat pada kotoran ruminansia, bahan itulah yang kemudia akan
bertahan dalam jangka panjang dalam bentuk humus di tanah.
Kalau pun tetap ingin mengejar produksi tinggi, silahkan
campur kohe ayam dengan fermentasi feses hewan kaki empat.
Hasil panen mudah-mudahan ajeg melimpah dan bahan organik
tetap lestari di tanah.
Kalau ada sumber dana lebih, zeolit juga bisa ditambahkan.
Berdasarkan pengalaman empirik, jenis bebatuan tersebut punya
kemiripan sifat dengan arang. Di samping itu, cocopeat dan
limbah media jamur juga bisa jadi alternatif menggiurkan
Terkait pemilihan bahan pembenah, perkara ketersediaan di
tempat adalah isu utama. Istilahnya bahan baku lokal adalah yang
paling luhur. Kalaupun ingin dan mampu mencampurkan semua
materi di atas ke dalam tanah, boleh-boleh saja. Kesudahannya
insya Allah akan luar biasa. Yang penting jangan memaksakan di
luar yang petani bisa.
Hampir lupa. Implementasi seluruh atau sebagian taktik di
atas cuma perbaikan dari sisi input produksi pertanian. Masih
banyak ikhtiar dari dimensi lain yang bisa petani gunakan untuk
merestorasi tanah surga. Lahan di mana tongkat, kayu dan batu
jadi tanaman. Misalnya terasering, cover crop (tanaman penutup),

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 55


jeda tanam, praktik agroferestri, pergiliran tanam dan lain
sebagainya.
Berdasarkan pengalaman yang sudah ada dan realita
ekosistem hutan yang masih terjaga, jika aneka macam metode
budidaya tersebut diimplementasikan, kesuburan fisik, kimia
dan biologi tanah vulkanis di lereng merbabu dapat ditingkatkan.
Peningkatan yang dapat menjaga keberlanjutan budidaya sayur
yang secara ekonomi menguntungkan dan juga dalam jangka
panjang dapat diwarikan kepada generasi yang ditinggalkan.

56 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Innovators Versus Adopters:
Menimbang ‘Benefit’ dan ‘Cost’
dalam Penyebarluasan Inovasi
Ekologi (Eco-Innovation)
Dwi Wulan Pujiriyani

Memahami modernisasi ekologi merupakan salah satu upaya


untuk bisa melihat logika yang dikembangkan dalam menciptakan
ekologi yang berkelanjutan dalam perspektif teori modernis.
Seperti halnya dalam teori pembangunan Rostow, secara umum
Huber memberikan sebuah gambaran proses pertumbuhan
yang linear. Inovasi yang ditunjukan Huber menjelaskan hal
ini dengan beberapa terminologi yang dimunculkan seperti:
advanced, developed, dan backward. Lebih lanjut tulisan ini akan
menguraikan perspektif yang dimunculkan Huber dalam enam
tesis utamanya mengenai modernisasi ekologi.

Perspektif Modernisasi Ekologi Huber


Joseph Huber merupakan salah seorang pendiri (founder) teori
modernisasi ekologi. Ia juga ketua jurusan ekonomi dan sosiologi
lingkungan di Martin Luther university of Halle Wittenberg di
Jerman. Dalam tulisannya kali ini, “Pioneer Countries and the
Global Diffusion of Environmental Innovations: Theses from
the Viewpoint of Ecological Modernisation Theory,” Huber
memaparkan mengenai kontribusi negara dalam pengembangan
dan penyebarluasan inovasi teknologi lingkungan. Sebagaimana
disebutkan secara jelas ada 3 (tiga) komponen kunci yang perlu
diperhatikan yaitu aturan (regulation), perusahaan perintis
(pioneer company) dan pasar (market). Dalam ketiga komponen
kunci ini, Huber menegaskan bahwa dalam konteks adopsi inovasi
lingkungan, pembangunan yang tidak merata menjadi hambatan
bagi negara-negara berkembang.
Technological Environment Innovations-TEIs atau Eco
Innovation menjadi titik berangkat Huber dalam tulisan ini untuk
mempertanyakan Bagaimana dan oleh siapa inovasi teknologi
lingkungan (Technological Environment Innovations-TEI atau eco-
innovation- dikembangkan dan disebarluaskan? Huber sendiri
berpendapat bahwa masing-masing faktor atau aktor yang paling
penting adalah pemerintah atau aktor negara yang berperan
dalam mendorong dan mendukung aktivitas eco-innovative
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perintis. Hal
inilah yang kemudian menciptakan pasar nasional. Pengelolaan
lingkungan global, sebaliknya tidak menunjukan kecocokan
dengan pengembangan TEI. Eco-innovation disebarluaskan oleh
proses adopsi baik domestik maupun global. Penyebarluasan
inovasi regulasi dan TEI dalam sistem dunia, meskipun dengan
batasan-batasan tertentu tetap lekat dengan ketidakmerataan
pembangunan. Dalam menguraikan pertalian pandangan
mengenai pengembangan dan penyebarluasan TEIs secara global,
Huber menjelaskan dalam 6 tesis utama seperti dapat dicermati
berikut ini:

58 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Teknologi dan Modernisasi Ekologi
Modernisasi merupakan proses multifungsi yang berkaitan
dengan perubahan budaya serta fungsi-fungsi instrumental.
Beranjak dari tahap industri tingkat lanjut, modernisasi
masyarakat saat ini juga memerlukan modernisasi ekologis
(readaptasi masyarakat industri dalam dunia dan biosfer global)
dengan diartikan bahwa ‘yang modern’ adalah didasarkan
pada pengetahuan ilmiah dan teknologi yang canggih untuk
memperbarui daya dukung bumi dan membuat pembangunan
lebih berkelanjutan. Dengan menyebutkan bahwa inovasi
teknologi merupakan komponen terpenting dalam modernisasi
ekologi bukan berarti merepresentasikan perilaku teknomaniak.
Secara sederhana ini merefleksikan fakta bahwa lokus dalam
struktur fungsional masyarakat dimana manusia bermetabolisme
dengan alam merupakan bagian dari operasional industri.
Operasional industri meliputi berbagai aktivitas produksi dan

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 59


konsumsi yang dilakukan dengan teknologi yang meningkatkan
kerja manusia.
Dampak lingkungan disebabkan oleh sejumlah hal seperti
teknologi dan jumlah populasi seperti: perilaku konsumen
atau kurangnya kesadaran lingkungan. Selain etika lingkungan,
peraturan dan mekanisme ekonomi, tetap akan mengubah
metabolisme industri meskipun itu sejalan dengan dampaknya
dalam perubahan metabolisme masyarakat: teknologi dan
praktik-praktik yang mengubah struktur operasional dan bentuk-
bentuk produksi dan konsumsi ekologis, dan juga mengurangi
ketegangan antara lingkungan dan sumberdaya atau bahkan
berkontribusi pada evolusi masyarakat dan alam yang secara
ekologis lebih lunak. Hal inilah yang kemudian menegaskan
bagaimana teknologi termasuk pencipta dan pemakainya,
merupakan komponen penting dalam modernisasi ekologi.
Teknologi bukan sesuatu yang terpisah dari masyarakatnya.
Teknologi secara sosial melekat dan membutuhkan prakondisi-
prakondisi tertentu sehingga untuk memahami perubahan
industrial perlu melibatkan pendekatan multidisipliner, seperti
halnya yang melekat dalam pendekatan sistem sosio-teknikal.
Industri dan teknologi dikondisikan dikendalikan oleh impuls yang
saling berkaitan dan mengatur dari subsistem-subsistem sosial
yang berbeda, khususnya oleh ekonomi (pasar dan keuangan)
seperti halnya dalam bisnis dan administrasi publik yang berbasis
pada hukum. Mereka dikondisikan dan dikendalikan oleh impuls
yang berasal dari politik, opini publik, pengetahuan dasar, nilai
dan gaya hidup. Semua faktor-faktor subsistem ini harus dianalisis
secara terpisah antara satu dengan yang lain, meskipun secara
historis dan praktis keduanya membangun hubungan saling
ketergantungan.

60 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Inovasi-inovasi teknologi lingkungan mewujud dalam
berbagai strategi hijau seperti: pengelolaan sumberdaya
berkelanjutan, teknologi bersih, penggantian substansi yang
merusak, bionik (biomimicry), desain produk lingkungan, layanan
produsen yang bertanggungjawab pada produk yang dihasilkan,
daur ulang, proses-proses rendah emisi dan pemurnian teknologi
dalam pengendalian dan pemrosesan sampah. Cara lain untuk
melihat apakah sebuah inovasi teknologi juga meruoakan inovasi
lungkungan adalah untuk menentuan apakah teknologi baru
berkontribusi pada peningkatan efisiensi ekologis dan konsistensi
peningkatan metabolis secara signifikan. Konsistensi metabolis
adalah mengenai bagaimana menanamkan kembali metabolisme
masyarakat dengan metabolisme lingkungan dengan cara
memperkenalkan rezim teknologi dan praktik baru yang secara
struktural mengubah praktik industri dan kualitas metabolis
mereka daripada sekedafr mengurangi kuantitas kembalinya
struktur-struktur yang lama. Sebagai contoh, permintaan energi
dalam level giga dan tera akan menjadi masalah jika itu merupakan
energi bersih. Tipe-tipe wilayah TEI mencakup: regenerasi bahan
bakar energi seperti angin, air, angin, matahari, panas bumi,
gelombang pasang; mengganti bahan bakar pemicu polutan dari
power stations ke mesin pendorong, batubara bersih, transgenik
putih, dll. Beberapa TEI memang bisa memperbarui efisiensi dan
secara metabolis lebih konsisten daripada teknologi sebelumnya,
meskipun demikian beberapa problem lingkungan yang muncul
karena adanya inovasi ini juga harus diatasi. Tidak ada ukuran
standar ekologis. Modernisasi teknologi kadang sejalan dengan
konservasi lingkungan. Bagaimanapun modernisasi ekologi
merupakan upaya untuk membangun lingkungan. Sistem dan
manajemen perekayasaan tetap dibutuhkan.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 61


Penyiapan Regulasi sebagai Prakondisi Inovasi
Kemunculan teknologi baru diikuti dengan regulasi dan
peraturan baru. Peraturan yang tegas mengenai inovasi merupakan
salah satu jalan untuk TEI. Ketatnya standar lingkungan,
kecanggihan struktur regulasi dan penerapan aturan yang tegas
merupakan faktor terpenting yang menentukan lingkungan
akan seperti apa. Aturan mengenai inovasi berbeda dari aturan
yang berisi perintah dan kontrol yang biasanya ditandai dengan
prosedur yang tidak praktis atau petunjuk mengenai teknologi
terbaik yang bisa diimplementasikan. Dalam beberapa kasus,
kebijakan yang bersifat komando dan kontrol tidak dijumpai,
tetapi akademisi yang ingin mengeksplorasi dampak inovasi
regulasi umumnya lebih suka melihat standar-standar perfoma
bukan sebaliknya standar teknologi terbaik yang ada dan standar-
standar prosedural. Teknologi yang memenuhi standar akan
menyediakan sedikit insentif untuk inobasi, pengukuran yang
berbasis perfoma akan menyediakan insentif yang besar untuk
inovasi dan penyebarluasan teknologi dengan pemenuhan
standar lingkungan yang berbiaya rendah. Standar performa
dalam beberapa kasus tertentu dapat ditambah dengan instrumen
penarik atau pendorong seperti pajak hijau, perdagangan emisi dan
subsis. Instrumen keuangan harus dilihat kasus perkasus karena
biasanya berkaitan dengan perencanaan ekonomi yang terpusat.
Tidak bisa juga disebut sebagai instrumen berbasis pasar karena
memiliki arti yang berbeda. Standar performa yang tegas dapat
dicapai apabila dilihat dalam kerangka tujuan-tujuan kebijakan
jangka panjang. Contohnya adalah rencana lingkungan nasinal
atau Dutch concept of transition management, sejenis strategi
perencanaan bertingkat yang bertujuan untuk memfasilitasi
transisi dari rezime teknologi industri yang lama menjadi rezim
inovasi ekologis.

62 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Pasar dan Introduksi Inovasi Lingkungan
Tahapan penting dalam siklus inovasi adalah masuknya
pasar. Dalam tahap ini-ketika transisi dari tahap rekayasa dan
pengembangan riset untuk produksi regular dan penggunaan
teknologi dibuat- sebuah inovasi harus melalui pasar. Dalam
banyak kasus, pasar disini adalah pasar nasional atau regional.
Pasar menunjukan apakah kesuksesan sebuah inovasi untuk
diperkenalkan dalam penggunaan regular untuk pertama kalinya
dalam skala yang luas, yang pada akhirnya dapat menjadi desain
dominan dan standar global ketika inovasi-inovasi yang ada
diadopsi secara internasional. Ada beberapa negara dan perusahaan
yang merintis teknologi baru melalui kontes inovasi. Dalam
kedua kasus ini, aktor-aktor utama nya adalah pemerintahan
yang progresif, pionir pengetahuan dan teknologi serta pioner
perusahaan, seperti misalnya telepon genggam yang diadopsi
secara meluas di negara-negara Nordic dan memproduksinya
secara massal untuk pasar lokal.
Berkaitan dengan inovasi lingkungan, Jepang menjadi contoh
pasar yang memimpin teknologi desulfurisasi pada tahun 1970,
Denmark menjadi negara pioner dan memimpin pasar kincir
angin sejak tahun 1980. Amerika dan Jerman menjadi negara yang
terdepan dalam pasar yang menggantikan fosfat dengan zeolite
dalam deterjen di tahun 1980. Jika pasar telah sukses memasarkan
produk, ini menunjukan keuntungan dan kepraktisan dari inovasi
ekologis. Negara-negara lain kemudian akan mempertimbangkan
untuk mengadopsinya. Inisiatif dari warga negara atau organisasi
konsumen dalam beberapa kasus, memainkan peran yang sangat
penting. Jika tidak bertujuan, perannya dalam eco-innovation.
Dalam demokrasi, mereka mempengaruhi pemerintah dan
kebijakan korporasi.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 63


Globalisasi dan Pengelolaan Negara
Rezim lingkungan global seringkali tidak sesuai dengan
perkembangan TEI. Pentingnya regulasi dan pasar nasional tidak
sejalan dengan globalisasi secara luas yang berkaitan dengan
tumbuhnya sejumlah perjanjian di bawah hukum internasional,
persatuan negara-negara dan perusahaan dalam perdagangan
dunia dan rantai produksi internasional. Globalisasi seringkali
diartikan dengan semakin menurunnya peran pemerintah atau
bahkan memudarnya kedaulatan negara bangsa. Tren globalisasi
memunculkan pertanyaan radikal mengenai strukturasi sistem
dunia atau sekedar merepresentasikan tahapan sejarah yang
berbeda. Pertanyaan mengenai apakah globalisasi ekonomi dan
pemerintahan kini berimplikasi pada menurunya peran negara
bangsa masih belum memiliki jawaban final. Berkaitan dengan
peran negara bangsa dalam teori modernisasi dapat dikatakan
bahwa pengelolaan global tetap negara bangsa. Pasar dan jejaring
internasional dibangun dengan beralaskan pada kerangka sistem
dunia dari sebuah sistem negara. Industri dan organisasi sipil
tidak dapat menggantikan organisasi negara. Puncak pengelolaan
merupakan hak prerogatif negara seperti: pembuatan hukum,
pengumpulan pajak dan penggunaan kekuasaan lain jika
diperlukan. Dalam hal inilah, pengelolaan global bersifat
memperkuat peran pemerintah dengan memberikan mereka
posisi formal secara internasional sehingga status mereka dalam
sistem dunia lebih eksplisit dan terlihat. Pengelolaan global
dalam hal ini tidak berarti memudarkan pemerintah nasional
tetapi menempatkan dan membawa mereka dalam skala global.
Pengelolaan global membantu untuk mengkoordinasikan dan
mengikat kekuasan negara bangsa. Globalisasi tidak akan ada
tanpa diinisiasi oleh dunia yang memimpin pemerintahan
nasuonal ketika mereka menetapkan kebijakan multulateral
dan internasional yang bertujuan untuk pertukaran lintas batas,

64 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


kerjasama dan pembangunan. Hak-hak dan tanggungjawab
nasional menjadi semakin terdiferensiasi, dimodifikasikan
dalam kedaulatan nasional. Kegiatan-kegiatan pemerintah
saat ini lebih beragam dari sebelumnya. Melalui regulasi dan
keuangan, pemerintah berpengaruh kuat pada korporasi dan
sektor-sektor swasta. Dalam hal ini juga perlu dipahami bahwa
institusi pengelolaan global normalnya tidak memiliki otoritas
supranasional.
Rezim lingkungan internasional tidak mengurangi pentingnya
pemerintahan dan inisiatif nasional. Perjanjian lingkungan
multilateral dapat berkontribusi untuk mengklarifikasi hak-hak
kepemilikan nasional dan memberikan standar atau melarang
praktik-praktik konservasi lingkungan dan rezim sumberdaya
tertentu. Baik institusi internasional maupun nasional memiliki
tujuan yang sama untuk memperoleh manfaat satu dengan
yang lain. Pengelolaan lingkungan tetap sangat berkaitan
dengan efektifitas dari negara bangsa. Hal ini bisa dilihat dari
kebijakan lingkungan internasional yang biasanya tidak sesuai
dengan pengembangan TEIs. Standar lingkungan akan menjadi
bagian dari upaya nasional yang berkaitan dengan kebijakan
yang berorientasi pada inovasi. Masa depan keberlanjutan eco-
innovation bergantung pada kemampuan pemerintah nasional
untuk menyiapkan dasar bagi munculnya pasar nasional atau
teknologi baru yang dibutuhkan.

International Companies sebagai Agen Difusi


Relasi antara perusahaan dan agen pemerintah merupakan
basis dari agenda kebijakan. Perusahaan merupakan kunci
pengaturan lingkungan yang menjadi bagian dari rantai nilai
yang dari sana pengambilan keputusan mengenai apa, bagaimana
mengembangkan, memproduksi dan menggunakan TEIs.
Korporasi transnasional seperti halnya perusahaan berksala

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 65


internasional merupakan agen operasional yang penting bagi
negara perintis. Perusahaan-perusahaan menyebarluaskan
teknologi melalui perdaganan luar negeri, kerjasama
internasional, joint venture, outsource, subcontracting dan
licensing. Mekanisme ini untuk memastikan bahwa 80% manfaat
inovasi diberikan pada partner domestik dan asing, pemungut
pajak, pegawai, dan pengguna yang mereka ini tidak memiliki
kontribusi langsung pada inovasi, sementara inovator asli hanya
memperoleh 20% dari manfaat. Banyak perusahaan yang saat ini
menajadi ‘world companies’ seperti misalnya perusahaan yang
pendapatan dan keuntungannya sebagian berasal dari pekerjaan
di luar negeri atau kepemilikan bersama yang berada di luar
negeri. Meskipun perusahaan menjalankan bisnis tertentu sesuai
dengan kepentingannya daripada kepentingan negaranya, mereka
memiliki markas besar, manajemen puncak, praktik-praktik bisnis
dan tatanan korporasi. Relasi antara pemerintah dan perusahaan
terus berubah dan ada perimbangan kekuasaan. Saat ini mobilitas
lintas batas yang semakin meningkat semakin mengintensifkan
upaya pemerintah untuk menarik investasi asing atau menawarkan
lokasi perusahaan dengan menawarkan syarat-syarat bisnis yang
menguntungkan seperti: pajak yang rendah, infrastruktur yang
bagus dan subsidi langsung. Meskipun demikian pemerintah dan
perusahaan dalam sejarah sistem dunia tidak bisa mengambil alih
peran satu dengan yang lain. Harus disadari fakta bahwa lingkup
pemain global berada di antara keduanya. Pemainglobal bertindak
sebagai promoter dari TEIs dan transfer teknologi dengan partner
mereka di negara industri baru.

Hirarki Sistem dan Ketimpangan Pembangunan


Hambatan utama untuk mentransfer teknologi dari negara-
negara berkembang adalah keterbatasan dan ketidaksesuaian
yang disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata. Dalam

66 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


teori sosiologi mengenai modernisasi, paham ketidakmerataan
pembangunan ini disebabkan sejumlah faktor dari mulai transisi
elemen-elemen tradisional dan modern dalam perkembangan
negara yang menghasilkan modernitas diferensial antara nilai-
nilai sosial yang progresif dan konservatif, sektor yang canggh
dan terbelakang, pusat dan pinggiran. Terminologi ini berlaku
juga bagi modernitas diferensial pada level pembangunan yang
berbeda. Sistem dunia juga dideskripsikan dalam tiga model
kelas: pertama inovator utama yang direpresentasikan oleh negara
maju; kedua representasi dari munculnya ekonomi, pengadopsi
teknologi dan penyebar yang juga bertindak sebagai re-exporters,
dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan yang tinggi; ketiga yang
tereksklusi secara teknologi, merepresentasikan negara-negara
berkembang.
Negara inovator tetap menjadi tempat bagi 98% dari 1000
perusahaan teknologi terbaik dunia. Negara inovator utama
masih memegang 94% paten yang dikeluarkan setiap tahunnya
yang hanya 15% diantaranya yang dibagikan ke seluruh dunia.
Penyebar teknologi merepresentasikan 65% dari populasi dunia,
dan 20% negara yang tereksklusi secara teknologi. Mereka ini
merupakan para pengguna produk-produk dan infrastruktur
yang canggih seperti telepon genggam atau panel surya,
tetapi tidak memiliki kapasitas untuk memproduksinya, atau
mengembangkan barang-barang tersebut oleh mereka sendiri.
Model lain juga menggambarkan isu dari sudut yang berbeda.
Mengacu pada Porter, perkembangan industri melewati 3 tahap:
pertama, tahap driven-factor- tahap dimana economi basis
berbasis pada penggunaan tenaga kerja yang masih dan produksi
utamanya adalah barang pokok dari pertanian, kehutanan dan
pertambangan; kedua, tahap investment driven yang menciptakan
pertumbuhan melalui modal intensif dan produksi massa,
termasuk produk-produk kompleks; ketiga innovation-driven

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 67


stage yang perbandingan keuntungannya tidak bisa diperoleh
dari mengadopsi, dan mengadaptasi.Ketika suatu perusahaan
atau negara bergabung dengan inovator utama dan mberada pada
batas teknologi, ke depan akan bergantung pada kemampuannya
untuk berinovasi.
Dalam mencermati perbedaan struktural dari tahapan
perkembangan negara-negara dalam sistem dunia, eco-
innovation dan praktik-praktik lingkungan yang terbaik pun
tidak bisa diharapkan tersebar dari pasar secara cepat ke seluruh
dunia. Negara tanpa perkembangan politik dan budaya serta
kapasitas insitusional yang sejalan atau tanpa sinergi antara
negara dan masyarakat sebagau basis perkembangan politik yang
tidak predatory, tidak akan mampy mengadopsi teknologi baru
dengan sukses. Dalam perkembangan politik di tahun 1960-1970,
transfer teknologi tidak berjalan dalam situasi ketidakmerataan
pembangunan. Meskipun bisa berkembang dengan sukses di
beberapa negara pada seperempat abad yang lalu, ketidakmerataan
pembangunan tetap terlihat dari adanya kelas yang tidak dapat
diperbarui. Saat ini, eco-innovations dan praktik-praktik terbaik
dapat dengan mudah diadopsi dalam ikatan dari inovator utama
dan mereka sekarang dalam banyak kasus bisa mengadopsi secara
seimbang dengan kemunculan ekonomi baru, tapi di banyak
kasus untuk negara berkembang hal ini tidak terjadi.
Saat ini tumbuhnya ekonomi merepresentasikan dua pertiga
populasi dunia dan mereka saat ini diperhitungkan hampir separuh
GDP global. Rendahnya level efisiensi lingkungan mereka seperti
tingginya intensitas lingkungan berkaitan dengan konsumsi
dan emisi sumberdaya sebagai bagian dari masa depan dunia.
Sebagai konsekuensinya, negara-negara industri baru sangat
membutuhkan rezim sumberdaya dan kontrol emisi, adposi TEIs
serta berkontribusi untuk masa depan dengan meningkatkan

68 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


kapasitas dan kemampuannya. Muncul perdebatan diantara
akademisi lingkungan dalam ilmu sosial yang mempertanyakan
manfaat yang diperoleh negara berkembang dari lompatan yang
dilakukan melalui eco-innovations. Lompatan berarti menembus
satu atau dua generasi teknologi dengan secara langsung
menghilangkan generasi sebelumnya seperti: jaringan telepon
genggam tanpa jaringan yang telah terinstal sebelumnya. Sebagai
hasil dari beberapa lompatan, negara berkembang mungkin saja
mampu menembus.
Pada bagian akhir, Huber mnarik kesimpulan utama dari
tesis-tesis yang ada adalah bahwa pengaturan secara nasional
lebih memungkinkan kemajuan nyata dalam perkembangan dan
penyebarluasan TEIs. Aktor utama dalam inovasi lungkungan
dalam dunia global adalah pemerintah negara yang secara national
berbasis pada industri-industri pioner dibandingkan dengan agen
global seperti UN. Model inovasi dan penyebarluasan secara global
diikuti dengan regulasi dan teknologi baru yang dikembangkan dan
diimplementasikan oleh suatu negara dan secara nasional berakar
pada industri-industi atau dua negara/perusahaan dalam kontes
inovasi internasional dan darisanalah kemudian diadopsi oleh
negara lain yang memiliki kapasitas untuk melakukannya. Sebagian
besar negara saat ini mengembangkan kapasitas untuk mengadopsi
teknologi yang canggih. Negara industri baru meningkatkan
kapasitas produksi dan riset-riset mereka. Mereka yang secara
teknologi tereksklusi menjadi minoritas dalam sistem dunia.
Pembangunan berkelanjutan sebagai basis dari standar
inovasi teknologi yang tegas diupayakan dalam skala global. Di sisi
lain, pentingnya TEIs, seperti energi bersih sedang dimundurkan
oleh negara-negara inovator. Hal ini untuk menyebutkan bahwa
modernisasi ekologi membutuhkan waktu dalam upaya untuk
menghadapi persoalan-persoalan seperti perubahan iklim,

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 69


hilangnya biodiversitas, berkurangnya sumber air bersih, dan
sebagainya. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kemajuan
eco-innovation bisa sesuai dengan lingkungan yang saat ini
semakin memburuk. Butuh waktu bertahun-tahun baik bagi
negara maju maupun negara berkembang untuk memodernkan
dan membuat kemajuan yang substantif. Negara-negara maju
dalam sistem dunia saat ini berada dalam tahap awal modernisasi
ekologi, dan belum memasuki modernisasi ekologi tingkat lanjut.

Dikotomi ‘Innovator’ dan ‘Adopters’


Merefleksikan apa yang diuraikan oleh Huber, satu hal
yang menjadi pertanyaan penting saya sejak awal adalah dengan
konsep ‘modernisasi’. Penggunaan konsep ini sehingga kemudian
muncul menjadi ‘modernisasi ekologi’ pada kenyataannya
menghadirkan dikotomi yang jelas yaitu antara ‘innovator’ dan
‘adopter’ yang dalam hal ini innovator secara jelas ditunjukkan
dalam posisi negara-negara maju yang mampu menginvestasikan
pengetahuan dan modal ekonominya dalam bentuk kecanggihan
teknologi sehingga mampu menjadi leader ataupun pioner dari
temuan-temuan yang kemudian akan menjadi desain teknologi
yang direplikasi di negara-negara yang lain. Sementara itu, posisi
adopter atau pengadopsi inovasi dilekatkan dengan negara-negara
bukan inovator yang diantaranya adalah negara berkembang.
Secara jelas di awal, Huber menjelaskan bahwa hambatan
penyebarluasan inovasi adalah ketidakmerataan pembangunan.
Dalam hal inilah ideologi penyebarluasan inovasi teknologi
lingkungan menjadi sangat bias. Bias dominasi akumulasi
pengetahuan dan modal ekonomi yang dimiliki oleh negara-
negara maju untuk bisa menjadikan paket teknologi lingkungan
yang diklaimnya sebagai inovasi itu ‘layak’ dan wajib direplikasi
oleh negara-negara yang lain. Tentu saja argumen yang berada
dibaliknya adalah keberlanjutan ekologi untuk masa mendatang.

70 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Dalam konteks dikotomi antara negara maju dan negara
berkembang yang berada dalam posisi sebagai inovator atau
adopter inilah, persoalan ‘siapa yang menemukan teknologi’
tidak bisa dilihat secara taken for granted. Penemu atau inovator
berkaitan erat dengan persoalan investasi, yaitu mereka yang
memiliki akumulasi modal dan pengetahuan serta tentu saja
memiliki kekuasaan untuk kemudian bisa melemparnya atau
membawanya ke pasar. Selanjutnya yang menjadi menarik untuk
dipertanyakan adalah berkaitan dengan ‘cost’ atau biaya dan
‘benefit’ atau manfaat. Dalam konteks penyebarluasan inovasi
teknologi lingkungan ini, siapakah pengambil manfaat utamanya?
Dan siapa yang dibebani dengan cost atau pembiayaannya.
Relasi yang tidak seimbang juga sudah ditengarai oleh
Huber terutama yang ditunjukannya dalam tesisnya yang keenam
mengenai hirarki sistem. Hirarki inilah yang memposisikan negara-
negara berkembang untuk terus merujuk pada temuan ataupun
desain lingkungan yang diciptakan oleh negara maju. Dalam
perspektif teori modernisasi ekologi ini, dimanakah sebenarnya
tempat inovasi yang dibuat oleh negara-negara adopters? Manfaat
yang diperoleh core innovator atau negara maju, apakah memang

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 71


sudah menjadi bagian dari investasi yang sudah mereka siapkan
sebelumnya? Jika kemudian yang terjadi adalah rujukan terus
menerus ke arah kemajuan teknologi versi inovator, bukan tidak
mungkin yang terjadi dalam perspektif modernisasi ekologi versi
Huber ini akan melahirkan proses dominasi. Agenda yang kemudian
dibangun melalui inovasi ini bukanlah sebuah perspektif mengenai
bagaimana membangun atau menciptakan lingkungan yang lebih
baik untuk keberlanjutan generasi mendatang dan mengurangi
terjadinya kerusakan ekologis yang semakin tidak bisa ditoleransi,
melainkan hanya semacam kamuflase dari penciptaan pasar-pasar
baru. Pasar yang dikonstruksikan dan dikondisikan oleh negara-
negara maju sebagai inovator untuk memaksa negara berkembang
mereplikasi desain teknologi lingkungan yang ‘terpercaya’ menurut
mereka. Jika ini yang terjadi, jelas pengambil manfaat terbesar dari
agenda ini adalah negara-negara maju dan cost atau biaya yang
dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai dampak akan dirasakan
oleh negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang
hanya berhenti sebagai ‘pasar’ dan ‘objek’ dari berbagai standar serta
ketentuan yang sudah dikembangkan melalui inovasi teknologi
yang dibawa oleh negara maju.

Referensi
Huber, Joseph. 2008. “Pioneer Countries and the Global Diffusion
of Environmental Innovations: Theses from the Viewpoint
of Ecological Modernisation Theory”. Global Environment
Change, Volume 18, pp 360-367. www.elsevier.com/locate/
gloencha.

*Tulisan ini pernah dimuat dalam blog pribadi penulis yang beralamat
di https://lucia-wulan.blogspot.com/ pada 22 Maret 2016.

72 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Penguasaan Tanah dan Benih
untuk Kedaulatan Pangan
Purwati

1. Pendahuluan
Tanah dan benih merupakan alat produksi yang sangat vital bagi
petani. Penguasaan petani atas tanah/lahan dan benih merupakan
faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan petani yang dalam
skala luas mempengaruhi ketersediaan pangan bagi seluruh
masyarakat.
Tanah merupakan salah satu alat produksi yang sangat
vital bagi kehidupan manusia dan kemajuan bangsa. Tanah
merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang
kesejahteraan masyarakat dan sumber utama kelangsungan hidup
manusia. Semakin pesatnya perkembangan suatu negara semakin
menggerus pentingnya lahan bagi pertanian, ditambah semakin
pesatnya peningkatan jumlah penduduk yang memerlukan lahan
yang luas untuk bertempat tinggal, mengakibatkan semakin
berkurangnya pasokan lahan untuk pertanian.
Situasi dan kondisi pertanahan di Indonesia sebelum 24
September 1960 merupakan warisan jaman kolonial Belanda yang
diliputi oleh sifat-sifat kapitalis, individualistis, dan feodalistik
baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang hukum
pertanahan. (Hukum Tanah Barat, Hukum Tanah Adat, Swapraja)
(Ruchiyat, 1985). Sebelumnya hukum agraria Indonesia masih
bersifat dualistik karena didasarkan pada hukum adat dan hukum
agraria barat yang sebagian besar menguntungkan pihak asing.
Permasalahan pertanahan yang paling utama adalah
penyediaan tanah untuk pembangunan yang semakin rumit dan
penuh ketidakadilan. Misalnya, pemilik tanah tidak menerima
ganti rugi yang memadai, padahal pemilik tanah bersedia
melepaskan tanahnya untuk pembangunan proyek pemerintah
atau atas nama pemerintah. Dapat dikatakan bahwa bagi petani
tanah merupakan satu-satunya aset yang paling berharga namun
mereka tidak berdaya untuk mempertahankan apa yang mereka
miliki.
Permasalahan ini terjadi karena tanah dipandang sebagai
komoditas strategis yang tujuan utamanya adalah menyediakan
lahan yang layak bagi sektor pembangunan sehingga dapat
mendorong investasi seluas-luasnya dan maksimal guna
mendukung tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang
dimiliki. menjadi sasaran pejabat setempat. Model pembangunan
ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan
kurang memperhatikan kepentingan masyarakat menengah ke
bawah yang masuk dalam kategori kelompok ekonomi lemah.
(Fauzi, 1997).
Pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria merupakan
awal penting dalam reformasi hukum agraria nasional di
Indonesia. UUPA menjadi dasar pengaturan dan penyelenggaraan
kewenangan di bidang pertanahan. hal serupa juga diatur dalam
penjelasan umum UUPA, meletakkan dasar bagi penyiapan agaria
nasional yang merupakan sarana mewujudkan kesejahteraan,
kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat petani dalam

74 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


rangka masyarakat adil dan makmur, meletakkan landasan
bagi terwujudnya kesatuan dan keadilan hukum pertanahan,
meletakkan landasan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak atas tanah bagi masyarakat secara keseluruhan.
Pasal 7 dan Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria yang
mengatur tentang pembatasan dan kepemilikan tanah dilanjutkan
dan dilaksanakan dengan disahkannya Undang-undang Nomor
56 Tahun 1960 tentang Luas Maksimum dan Minimum Tanah
Pertanian. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961.
Melalui undang-undang ini dilaksanakan program perbaikan
di bidang pertanahan yang dikenal dengan landerform, yaitu
program perombakan kepemilikan dan penguasaan tanah.
Dengan demikian telah diterapkan luas maksimal dan minimal
kepemilikan lahan pertanian, dimana dengan berlakunya undang-
undang ini batas maksimal kepemilikan lahan adalah 20 hektar
dan minimal lahan yang berhak dimiliki petani untuk bertahan
hidup adalah 2 hektar.
Selain lahan, penguasaan petani terhadap benih adalah
salah satu permasalahan yang dihadapi petani pasca revolusi
hijau. Sebelum revolusi hijau petani memiliki kemampuan untuk
memproduksi benihnya sendiri yang memiliki keaneragaman
sesuai dengan kondisi iklim dan tanah yang mereka garap. Sejak
revolusi hijau, petani kehilangan kedaulatannya atas benih
karena petani diwajibkan menanam benih-benih dari varietas
hasil pemuliaan tanaman yang diklaim memiliki keunggulan
demi mensukseskan swasembada pangan. Petani tidak memiliki
kemerdekaan untuk memilih varietas yang sesuai dengan iklim,
tanah, dan kebutuhan petani. Sejak saat itu petani menjadi
tergantung pada industri benih untuk aktivitas bertaninya.
Berangkat dari uraian di atas, artikel singkat ini bermaksud
membahas permasalahan pertanahan dan perbenihan yang

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 75


dihadapi masyarakat petani di Indonesia serta dampaknya
terhadap kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan di
Indonesia.

2. Gambaran Singkat Persoalan Kepemilikan Lahan


oleh Petani di Indonesia
Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2013, setidaknya terdapat
26,14 juta rumah tangga pertanian di Indonesia. Rumah tangga
pertanian ini memanfaatkan tanah sebagai sumber penghidupan
utama dengan bertani. Tanah merupakan objek utama yang harus
dimiliki oleh rumah tangga pertani di Indonesia. Tanah juga
menjadi tolok ukur kesejahteraan masyarakat yang tinggal di
pedesaan.
Kajian Angkoso et al (2020) mencatat, berdasarkan Sensus
Pertanian tahun 1973, diperkirakan terdapat sekitar 21,6 juta
rumah tangga petani yang terdiri dari pemilik lahan dan buruh
tani. Artinya, sekitar 84% dari total penduduk Indonesia terlibat
dalam kegiatan ekonomi pertanian di lahan seluas 14,2 juta hektar.
Sekitar 7,21 juta atau 33,4% rumah tangga petani diklasifikasikan
sebagai petani tuna kisma atau tidak memiliki tanah. Pada tahun
1973, lebih dari 14,4 juta rumah tangga menguasai lahan pertanian
dengan rata-rata penguasaan sekitar 0,99 Ha.
Angkoso dkk melanjutkan berdasarkan Sensus Pertanian
tahun 2013 (ST 2013), terdapat 26,1 juta rumah tangga petani
di Indonesia. Pada ST tahun 2013, Badan Pusat Statistik (BPS)
mengklasifikasikan rumah tangga usaha pertanian ke dalam
7 (tujuh) kelas menurut luas wilayah yang dikuasai, yaitu: (1) <
1.000 m² sebanyak 4.338.847 rumah tangga; (2) 1.000-1.999 m²
untuk 3.602.348 KK; (3) 2.000-4.999 m² sebanyak 6.816.943 KK,
(4) 5.000-9.999 m² sebanyak 4.782.812 KK, (5) 10.000-19.999 m²
sebanyak 3.661.529 KK; (6) 20.000-29.999 m² sebanyak 1.678.356

76 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


KK, dan (7) ≥ 30.000 m² sebanyak 1.309.896 KK (Angkoso dkk,
2020).
Rumah tangga pelaku usaha pertanian pengguna lahan
mendominasi rumah tangga pelaku usaha pertanian di Indonesia.
Dari 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian di Indonesia, 98,53%
merupakan rumah tangga usaha pertanian yang memanfaatkan
lahan (25,75 juta rumah tangga), sedangkan rumah tangga usaha
pertanian yang tidak memanfaatkan lahan hanya 1,47% atau
sebanyak 384 ribu rumah tangga. Menurut BPS, rumah tangga
pertanian pengguna lahan dapat digolongkan menjadi dua
kelompok besar, yaitu rumah tangga petani kecil (rumah tangga
usaha pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang
dari 0,50 Ha) dan rumah tangga petani non petani (rumah tangga
usaha pertanian pengguna lahan lahan yang mempunyai luas 0,50
Ha atau lebih). Hasil ST tahun 2013 menunjukkan bahwa dari
98,53% rumah tangga usaha pertanian yang memanfaatkan lahan,
sebanyak 55,33 persen (14,25 juta rumah tangga) merupakan
rumah tangga petani kecil, sedangkan rumah tangga nonpetani
sebesar 44,67% (11,50 juta rumah tangga) (Angkoso et al, 2020).
Indeks Gini dapatdigunakan untuk melihat tingkat kemerataan
atau ketimpangan sebaran kepemilikan dan penguasaan tanah
di suatu wilayah. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 1973
hingga 2013, ketimpangan struktur persebaran tanah di Indonesia
terlihat jelas dari tingginya Indeks Gini persebaran tanah, yaitu:
0,70 pada tahun 1973; 0,64 pada tahun 1983; 0,67 pada tahun
1993; 0,72 pada tahun 2003; dan 0,68 pada tahun 2013. Dalam
hal ini, terdapat dua versi Indeks Gini, dengan perbedaan nilai
yang cukup signifikan antara kedua instansi pemerintah yaitu
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dan Badan Pusat Statistik. Menurut Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Indeks Gini sebaran tanah

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 77


di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0,58 (Angkoso dkk,
2020).
Konsentrasi kepemilikan tanah pada sekelompok kecil
anggota masyarakat merupakan salah satu tanda terjadinya
ketimpangan distribusi tanah. Distribusi lahan yang tidak merata
ini berdampak pada rendahnya produktivitas dan kesejahteraan
petani, serta usaha petani yang tidak memenuhi skala ekonomi.
Bachriadi dan Wiradi (dalam Angkoso dkk, 2020), menyatakan
bahwa di Indonesia terdapat kesenjangan antara penyediaan lahan
untuk kegiatan ekstraksi dengan tujuan mencari keuntungan bagi
perusahaan besar dan penyediaan lahan untuk kegiatan pertanian
rakyat.
Sayogyo (dalam Angkoso dkk., 2020) menyatakan
bahwa kondisi kehidupan sosial ekonomi petani di pedesaan
menunjukkan bahwa struktur agraria yang ada ditandai dengan
adanya ketimpangan distribusi kepemilikan lahan pertanian yang
cukup besar. Besarnya tekanan terhadap tingkat ketersediaan lahan
pertanian disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang
relatif cepat dan tekanan dari sektor lain seperti sektor industri.
Fakta ini berdampak pada menurunnya rata-rata kepemilikan
lahan pertanian dan fragmentasi lahan akan terus terjadi.
Menurut Nurmanaf (dalam Angkoso dkk, 2020), di desa
berbasis pertanian, ketimpangan pendapatan rumah tangga erat
kaitannya dengan ketimpangan penguasaan lahan pertanian.
Sementara itu, pergeseran penggunaan lahan menjadi salah
satu faktor penyebab pergeseran peran subsektor dalam struktur
pendapatan rumah tangga (Saptana dan Ar-Rozi, dalam Angkoso
dkk, 2020). Menurut Astuti (dalam Angkoso dkk, 2020), tanah
bagi masyarakat pedesaan tidak hanya sekedar sebagai tempat
tinggal, namun juga mempunyai peranan yang sangat penting
yaitu sebagai sumber penghidupan. Lahan pertanian merupakan

78 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


faktor produksi yang penting dalam struktur pertanian di
pedesaan, sehingga kondisi ketimpangan distribusi kepemilikan
tanah akan sangat mempengaruhi upaya pemerataan tingkat
pendapatan. Tidak semua penduduk pedesaan mempunyai lahan
pertanian, dan mereka yang mempunyai lahan pertanian sebagian
besar tidak terlalu luas. Warga yang memiliki lahan kecil biasanya
menjual lahannya, sedangkan mereka sendiri bekerja sebagai
buruh tani atau kemungkinan besar menyewa lahan milik orang
lain. Petani dengan luas lahan yang sempit akan mempengaruhi
produktivitas lahan pertaniannya dan pada akhirnya akan
mempengaruhi besarnya pendapatan yang diterima petani.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketimpangan
kepemilikan lahan mempunyai korelasi positif dengan
kesejahteraan petani. Kepemilikan tanah yang tidak mencukupi
berarti tanah tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat produksi
yang memadai, yang pada akhirnya berakhir dengan penyerahan
kepemilikan dan petani beralih profesi menjadi buruh tani tanpa
memiliki alat produksi. Ketiadaan alat produksi (tanah) dan
ketimpangan hubungan sosial menempatkan petani pada posisi
yang dirugikan dalam distribusi sumber daya sosial dan ekonomi.

3. Kepemilikan Lahan, Penguasaan Benih dan


Kesejahteraan Petani di Indonesia
Lahan pertanian saat ini menghadapi tantangan dan tekanan
yang semakin berat, terutama akibat persaingan pembangunan
industri dan pemukiman yang semuanya mengancam eksistensi
sektor pertanian dalam kaitannya dengan ketahanan pangan
nasional. Persoalan penguasaan lahan telah banyak dibicarakan
khususnya di negara-negara berkembang yang berkaitan dengan
proses transformasi perekonomian suatu negara. Kesimpulan
yang dihasilkan adalah transformasi ekonomi mempengaruhi

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 79


laju transaksi tanah, namun dampaknya terhadap struktur dan
distribusi kepemilikan tanah sangat beragam (Khrisnaji, 1991).
Ketimpangan struktur penguasaan lahan tidak sehat dari berbagai
aspek. Selain mengancam kelangsungan produksi pangan,
terdapat tren buruk dalam distribusi kesempatan kerja, distribusi
pendapatan dan aspek ‘efisiensi sosial’ lainnya di sektor pertanian,
serta perekonomian pedesaan.
Penyebab utama kemiskinan penduduk pedesaan yang
sebagian besar bergantung pada pertanian adalah karena sebagian
besar petani merupakan petani kecil yang rata-rata luas lahannya
kurang dari 0,5 hektar. Jumlah petani kecil secara nasional
menurut Sensus Pertanian tahun 2003 mencapai 56,4 persen,
terdiri dari petani kecil dengan luas lahan kurang dari 0,1 hektar
sebanyak 17,2 persen dan 39,2 persen berada pada kelompok luas
0,1 hektar ± 0. 5 persen (BPS, dalam Susilowati dan Maulana. 2012).
Faktor kunci peningkatan kesejahteraan petani untuk keluar dari
kemiskinan, terutama melalui peningkatan akses petani terhadap
kepemilikan tanah. Dengan demikian, kebijakan pembagian
tanah yang merupakan perubahan terhadap program reforma
agraria demi keadilan dan kesejahteraan sosial merupakan agenda
yang harus menjadi mainstream bangsa.
Agar program reforma agraria efektif dalam meningkatkan
kesejahteraan rumah tangga petani, maka pemerintah perlu
menyediakan lahan sesuai dengan kebutuhan minimal luas
lahan pertanian agar rumah tangga petani mampu keluar dari
kemiskinan. Kebijakan reforma agraria melalui distribusi perlu
dibarengi dengan insentif pertanian melalui jaminan harga
produk yang wajar, jaminan pasar, kemudahan akses terhadap
sarana produksi dengan harga yang wajar dibandingkan harga
produk, serta pengembangan kegiatan ekonomi non pertanian
di pedesaan. yang menunjang kegiatan pertanian.

80 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Di kalangan kelompok tani, yang paling perlu mendapat
perhatian adalah tingkat kesejahteraan dan hubungannya
dengan luas lahan yang dikuasai petani tanaman pangan,
khususnya padi. Secara nasional, padi merupakan komoditas
strategis dengan jumlah rumah tangga petani padi yang
paling dominan diantara komoditas pangan lainnya. Jumlah
rumah tangga petani padi berjumlah sekitar 65 persen dari
total rumah tangga petani, sehingga program dan kebijakan
pembangunan pertanian dan pedesaan yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan petani padi juga berdampak
positif terhadap perekonomian rumah tangga pedesaan secara
umum. (Susilowati dan Maulana. 2012).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa luas lahan
pertanian relatif sempit dan kesenjangan kepemilikan lahan
juga semakin besar. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
pendapatan petani perlu dilakukan perbaikan struktur
penggunaan lahan. Reforma agraria hadir sebagai upaya menata
atau memperbaharui struktur kepemilikan, penguasaan dan
penggunaan tanah untuk kepentingan petani kecil, petani tak
bertanah, dan buruh tani tak bertanah.

4. Manajemen Lahan Pertanian, Perbenihan dan


Kedaulatan Pangan di Indonesia
Djaimi Bakce melalui makalah yang dipaparkan dalam
Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di
Pekan Baru pada 16 September 2018 menyampaikan pentingnya
perluasan lahan dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan.
Dalam kesempatan itu Bakce menyampaikan bahwa dalam rangka
mewujudkan kedaulatan pangan, salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan ekstensifikasi
melalui perluasan sawah baru.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 81


Salah satu agenda strategis pemerintah adalah mewujudkan
kedaulatan pangan di Indonesia. Menurut Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2012 tentang Pangan, kedaulatan pangan adalah hak
negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan
Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi masyarakat dan
memberikan hak kepada masyarakat untuk menentukan sistem
Pangan yang tepat. dengan potensi sumber daya lokal.
Secara lebih detail, Direktorat Perluasan dan Perlindungan
Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian
Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2016) menyatakan
bahwa kedaulatan pangan berupa kemampuan suatu bangsa
dalam: (1) memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam
negeri, (2) mengatur kebijakan pangan secara mandiri, dan (3)
melindungi dan mensejahterakan petani sebagai pelaku utama
usaha pertanian pangan. Dengan kata lain, kedaulatan pangan
harus dimulai dari swasembada pangan yang secara bertahap
diikuti dengan peningkatan nilai tambah usaha pertanian secara
masif untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Upaya mencapai swasembada dapat dilakukan dengan
dua pendekatan, yakni dengan peningkatan IP, produktivitas
sawah yang ada, dan penambahan sawah standar. Peningkatan
produksi padi melalui perluasan sawah masih dimungkinkan
karena potensi lahan yang cocok untuk perluasan sawah cukup
besar. Sebelum melaksanakan kegiatan perluasan sawah,
diperlukan perencanaan yang baik terlebih dahulu agar kegiatan
perluasan juga dapat berjalan dengan baik. Penyusunan kegiatan
perencanaan perluasan sawah dimulai dari penyusunan proposal,
identifikasi calon petani dan calon lokasi (CP/CL) kemudian
disempurnakan melalui kegiatan survey dan penjajakan calon
lokasi serta pembuatan desain lokasi yang cocok untuk dijadikan
lahan sawah baru (Bakce, 2018).

82 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Tujuan dari kegiatan perluasan sawah SI-CPCL adalah untuk
menyiapkan dokumen perencanaan perluasan sawah baru berupa
data hasil survei dan investigasi calon lokasi perluasan sawah yang
menyatakan apakah suatu lokasi layak dijadikan sawah. Sasaran
kegiatan perluasan sawah SI-CPCL adalah lokasi-lokasi yang
mempunyai potensi lahan untuk dikembangkan menjadi sawah
baru dan sesuai berdasarkan RTRW Provinsi atau Kabupaten/
Kota (Bakce, 2018).
Sedangkan kegiatan pemetaan desain cetak sawah bertujuan
untuk: (1) Mengukur ketinggian untuk membuat peta topografi,
(2) Mengukur kondisi vegetasi untuk menganalisis vegetasi, (3)
Mengamati potensi irigasi dan menganalisis kecukupan air, (4)
Merancang petak sawah, (5) Perancangan saluran irigasi dan
drainase, (6) Perancangan jalan pertanian, dan (7) Penyiapan
RAB sawah. Sasaran dari perancangan pencetakan peta sawah ini
adalah sebagai acuan/pedoman dalam pencetakan sawah baru
(Bakce, 2018).
Dalam pelaksanaan kegiatan SI-CPCL dan Pemetaan
Desain Cetak Sawah ditemukan beberapa kendala yang perlu
dirumuskan agar program/kegiatan yang direncanakan dapat
terlaksana dengan baik, mencapai tujuan akhir yang diharapkan.
Kendala yang dihadapi antara lain upaya pemenuhan persyaratan
kelayakan calon lokasi dan calon petani, serta kendala dalam
pelaksanaan pencetakan sawah (Bakce, 2018).
Salah satu faktor penting dalam pertanian ialah benih. Benih
tidak hanya alat produksi penghasil panen, tetapi juga penjamin
keberlanjutan usaha tani. Barangsiapa menguasai benih maka ia
menguasai penghidupan. Dengan demikian, benih sesungguhnya
menjadi hak asasi dari petani, sama halnya pangan hak asasi setiap
manusia.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 83


Revolusi Hijau mendesain pertanian dengan modernisasi,
di mana sarana produksi pertanian tidak lagi di bawah kendali
petani melainkan perusahaan, baik itu pabrik pupuk sintetik,
pabrik racun hama, pabrik peralatan bermesin, dan pabrik benih.
Kemajuan yang ditawarkan revolusi hijau bersifat konsumtif
ketimbang produktif, petani tinggal membeli sarana produksi
tidak perlu membuat sendiri.
Sepintas hal ini meringankan petani sebagai penghasil
pangan.
Namun, agenda tersembunyi dari berbagai kemudahan ini
ialah hilangnya pengetahuan dan keterampilan petani secara
perlahan. Akibatnya petani harus tergantung pada produk pupuk
pabrikan, benih pabrikan, pestisida pabrikan, dan peralatan
pabrikan. Semua itu tak lagi bisa dibuat oleh petani generasi
berikutnya karena ilmu dan keterampilan telah dibawa mati
petani generasi sebelumnya.
Pasar benih dunia kini dirajai oleh Dupont, Monsanto,
Syngenta, Bayer, Limagrain, Dow Aventis dan Charoen Phokphand
melalui akuisisi produsen-produsen benih skala kecil. Pada 2008,
sejumlah 67 persen pasar benih dunia hanya dikuasai oleh 10
perusahaan (SPI, 2010)1.
Bersamaan dengan hilangnya ilmu dan keterampilan petani
dalam hal perbenihan, hilang pula keragaman genetik benih. 10
ribu varietas padi lokal telah punah atau tak ditemukan sejak era
1970 an akibat invasi benih unggul secara masif, sistematis dan
terstruktur bertahun-tahun. Perbedaan benih lokal galur murni
dengan benih unggulan hasil persilangan ialah konsistensi daya
hasil dan karakter terhadap lingkungannya. Benih lokal konstan
dari generasi ke generasi, benih unggul merosot dari generasi ke

1 https://spi.or.id/petani-kecil-harus-merebut-kembali-kedaulatan-atas-benih/

84 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


generasi. Artinya, hasil panen dari benih unggul hasil persilangan
tidak dapat menyamai hasil indukannya meskipun kecukupan
cahaya, nutrisi dan air sama seperti indukan semula. Dengan
demikian, petani harus selalu membeli benih baru.
UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dapat
menjadi ancaman bagi petani yang memproduksi benih sendiri.
Selain itu, UU No 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman (UU PVT) justru menghilangkan peran petani sebagai
produsen benih sekaligus pangan dan hanya mengakomodasi
kepentingan pemulia tanaman. Padahal, sebelum para pemulia
tanaman itu dilahirkan kampus-kampus, petani sudah berpraktik
menjadi pemulia tanaman yang handal. Petani dan pemulia
tanaman juga dilekati hak berbeda. Petani berhak menggunakan
benih dan pemulia tanaman berhak memperdagangkan benih.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perluasan
lahan pertanian dan pemberdayaan petani disektor perbenihan
perlu dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Namun hal tersebut harus dibarengi dengan pembagian lahan
yang berkeadilan bagi masyarakat petani, sehingga tidak hanya
kedaulatan pangan yang dapat terwujud, namun kesejahteraan
petani juga dapat ditingkatkan.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 85


Daftar Referensi
Angkoso, Jefri Bangkit., Ahmad Nashih Luthfi, dan Sudibyanung,
2020, ‘Distribusi Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian
di Desa Nglegok, Kabupaten Karanganyar’ dalam Jurnal
Tunas Agraria Vol. 3 No.2
Bakce, Djaimi., 2018, ‘Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui
Kegiatan Perluasan Sawah’ makalah dalam Seminar Nasional
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Pekanbaru,26
September 2018
Krishnaji. N. 1991. ‘Land Market on Dispossession of Peasantry’
dalam Indian Journal of Agricultural Economics, 46(3):328-
334.
Ruchiyat, Eddy., 1995, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah
Berlakunya UUPA, Alumni, Bandung
Sajogyo. 1977. ‘Golongan Miskin dan Partisipasi dalam
Pembangunan’ Prisma, VI(3):10-17.
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Palu.
Susilowati., Sri Hery dan Mohamad Maulana, 2012, ‘Luas Lahan
Usahatani dan Kesejahteraan Petani: Eksistensi Petani
Gurem dan Urgensi Kebijakan Reforma Agraria’ dalam
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 1, Maret 2012

86 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Api di Lereng Merapi
Kus Sri Antoro

Tidak seorang pun tahu dengan pasti berapa kali gunung Merapi
meletus menyemburkan inti bumi. Tatkala lava pijar yang panas
meluap dari kawahnya, saat awan panas bergulung-gulung
terbawa angin ke berbagai penjuru, ketika bebatuan dan pasir
berhamburan begitu dahsyatnya, cuma satu hal yang terbayang:
kematian. Suhu yang amat tinggi membuat hutan pinus di lereng-
lerengnya berubah jadi tegakan arang, bahkan gundukan abu.
Di kampung-kampung sekitarnya, berbagai tanaman pangan
dan pakan di ladang-ladang dan sawah-sawah layu tertutup abu
vulkanik. Udara membaur dengan debu silika, menyesakkan
dada dan memedihkan mata. Ketika hujan turun, lahar dingin
menggantikan air jernih di sungai-sungai, menerjang dan
menghanyutkan apa saja yang dilaluinya, memunahkan berjuta-
juta ikan. Kehidupan seolah berhenti untuk beberapa hari.
Namun bagi kami, letusan gunung Merapi adalah berkah
karena menjadi sumber-sumber nafkah. Abu vulkanik yang luruh
ke tanah perlahan menyumbang kesuburan. Seiring berjalannya
waktu, tunas-tunas baru bermunculan dari batang-batang pinus
yang selamat dari bencana. Mata air di tepian sungai-sungai
memancar kembali, air jernih menggenang, mengalir di sepanjang
urat nadi permukaan bumi, menjelma ruang hidup untuk jutaan
ikan, membasuhi dan membasahi ladang dan persawahan.
Rumpun-rumpun rerumputan pakan ternak kembali bersemi,
menghijau, dan rimbun. Begitulah, hidup dan mati datang dan
pergi di lereng gunung Merapi.
Sebuah catatan tua yang pernah kubaca menceritakan,
kawasan ini pada mulanya merupakan sumber nafkah penduduk,
namun sejak 1912 aktivitas mata pencaharian di dalam hutan
sudah dilarang. Sebelum tahun itu, penduduk di sekitar lereng
gunung membuka ladang-ladang berpindah. Pepohonan
ditebang dan dibakar, menyisakan lahan-lahan kosong yang
gosong, lalu lahan itu ditanami tanaman pangan selama satu
hingga tiga tahun, kemudian ditinggalkan karena panen tidak lagi
mencukupi kebutuhan. Ladang-ladang baru bekas hutan tanpa
henti dibuka, ditanami, dan ditinggalkan, hingga suatu ketika
nanti kesuburannya kembali dan layak ditanami lagi. Penduduk
menanami pohon berkayu untuk menandai batas garapan. Akibat
ladang berpindah itu, setiap kali musim hujan banjir melanda di
kota-kota Vorstenlanden—kini daerah Yogyakarta dan Surakarta,
dan Keresidenan Kedu—kini kabupaten Magelang, sehingga
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda saat itu menetapkan
hutan-hutan di gunung Merapi sebagai hutan lindung—melalui
Gouvernements Besluits No 4197/B meliputi Propinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini. Sejak saat itu,
ladang berpindah pelan-pelan punah, lahan-lahan mulai digarap
menetap. Sumber kesuburan berasal dari kotoran ternak, tak lagi
mengandalkan pemulihan alami mutu tanah. Ternak-ternak mulai
dikandangkan, tidak lagi digembalakan bebas di dalam hutan.

88 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


Jaman telah berganti. Kini, berkah letusan Merapi yang paling
berharga ialah isi bumi, tak lagi hasil tani. Berbongkah-bongkah
batu dan pasir-pasir yang membukit siap sedia ditukar menjadi
duit. Lebih melimpah serta lebih cepat ketimbang yang didapat
dari peternakan dan pertanian. Dalam satu hari, sedikitnya
seratus truk hilir mudik mengangkut luapan erupsi Merapi.
Laba ratusan juta rupiah diperoleh dalam satu bulan. Kegiatan
ngarit (mencari rumput untuk pakan ternak) dan recek (mencari
ranting untuk kayu bakar) perlahan digeser nyoker (mengeruk
pasir untuk dijual) para penyenggrong (para penambang pasir).
Bagaimana tidak menggoda? Seorang penyenggrong bisa meraup
upah tujuh puluh lima ribu rupiah per hari dari nyoker. Di
desaku, tidak seorang pun bebas dari sentuhan pasar pasir dan
batu. Bapakku memenangkan jabatan kepala desa karena pasir
dan batu. Pamanku berhasil menjadi juragan truk pengangkutan
karena pasir dan batu. Kakakku sukses menjadi pengusaha bahan
material dan naik haji juga karena pasir dan batu. Begitu pula aku,
tanpa pasir dan batu, pendidikanku tak mungkin terbiayai, hingga
akhirnya aku dapat meraih gelar ahli madya konservasi hutan, dan
resmi mengenakan seragam staf balai taman nasional pada 2005
yang lalu.
Aku ditempatkan di wilayah dekat kampung halaman.
Seragam ini membuatku bangga. Setiap kali aku bercermin, aku
teringat bapakku di masa mudanya dulu. Ia tampak gagah dalam
balutan seragam abdi negara tingkat bintara. Meski pun bapakku
tak lagi mengangkat senjata, seragam bapakku masih menyisakan
wibawa bagi pemakainya. Bahkan hingga sekarang, kebanyakan
orang di desaku tetap memercayai: ajining sarira katon saka
busana, martabat dirimu tampak dari busanamu. Wajar bila
tiada yang mau mengenakan seragam tahanan atau kostum
gelandangan.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 89


Seragam telah mengukuhkan kedudukan bapakku dan
aku sebagai bagian penting dari Republik Indonesia. Mungkin,
seperti ini rasanya jadi bapakku ketika ia muda, dengan seragam
ini aku menjelma negara. Jabatanku memang tidak tinggi, namun
lumayan buat menakut-nakuti para pencuri vegetasi di lereng
Merapi. Tugasku cukup sederhana: menjaga wajah asli hutan-
hutan di sekitaran gunung Merapi; tujuannya sebagai acuan:
sejauh mana manusia boleh mencampuri urusan alam di dalam
pembangunan. Semenjak ditetapkan sebagai taman nasional
pada 2004, kehidupan di lereng Merapi berubah. Sejarah terulang
dengan kisah yang berbeda, dan aku sama sekali tak menyangka
seragamku pada gilirannya kupertaruhkan.
Malam ini, Paimin tertunduk lesu. Ia duduk di lantai bersandar
dinding batu rumah bapakku. Penyenggrong pamanku itu tampak
gelisah bercampur pasrah, nafasnya tak tertata, bahasa tubuhnya
menunjukkan kecemasan. Di sebelah kirinya, pamanku duduk
menyilang kaki di kursi, wajahnya tak kalah tegang. Sesekali ia
menghisap rokok di mulutnya dan menghembuskan asapnya
dengan resah. Aku duduk di hadapan mereka. Aku merasa malas
merebahkan badan pada sandaran kursi karena ketegangan
mereka. Di sampingku, di kursi serupa singgasana, bapakku
duduk bersandar, menunjukkan kewibawaannya, berusaha
tampak tenang. Syamsul, kakakku yang haji itu tak kunjung tiba,
padahal dia yang membuat pertemuan malam ini.
“Jadi, Min. Persisnya seperti apa kejadiannya?” bapakku
bertanya pada Paimin yang semakin gugup.
“Ampun, Ndoro Lurah. Saya jangan dipenjara, ampunilah
saya, Ndoro!” kata Paimin sambil bersimpuh di lantai, menyebut-
nyebut Ndoro pada bapak, sebutan Ndoro dan Den (Raden)
biasanya ditujukan untuk bangsawan Jawa, padahal kami bukan
bangsawan.

90 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


“Kamu itu ditanya bagaimana kejadiannya, malah minta
ampun segala! Ndak (tidak) ada yang bakal memenjara kamu,
Min,” ucap pamanku, “aku sendiri yang jamin, siapa ndak kenal
Purnomo?”
“Apa benar tadi pagi kamu nyoker di bantaran sungai, Min?”
bapakku menanyai Paimin.
“Inggih, Ndoro Lurah,” jawab Paimin mengiyakan dalam
bahasa Jawa halus, Paimin sudah mulai tenang, “tapi belum juga
diangkut, Ndoro. Ndak pake bego, cuma saya cangkul dari bawah”.
Penduduk di desaku biasa menyebut excavator atau backhoe
sebagai bego.
“Ini sudah yang ke berapa kali kamu nyoker di bantaran
sungai, Min?”
“Baru sekali, Ndoro. Sungguh. Nyuwun kawelasan” Paimin
memohon belas kasih bapakku.
“Dengan minggu lalu dan minggu sebelumnya sudah tiga
kali,” aku menyahut, mengoreksi jawaban Paimin.
Paimin memandangku sekilas, lalu tampak ketakutan.
Pamanku mendengus mendengar kataku.
“Terus kalau kamu kejugrugan, tertimbun pasir, apa kamu
ndak mikir, Min?” ujar bapak. Paimin hanya membisu.
“Ya ndak bakal kejugrugan, orang Paimin kalau nyoker ndak
pernah bikin terowongan,” pamanku menyanggah, “nah, kalo
Paijo itu beda, dia nyokernya bikin terowongan, makanya isterinya
jadi janda, anaknya jadi yatim.”
Paijo adalah kawan kerja Paimin, satu bulan yang lalu ia
tertimpa longsor saat nyoker di dekat Kandang Macan, lokasi yang
digolongkan zona inti taman nasional, kawasan yang harus bersih
dari kegiatan manusia. Tubuh Paijo ditemukan setelah terkubur

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 91


pasir dan bebatuan kurang lebih selama tiga jam, tidak ada yang
sempat menolongnya karena Paijo terpisah jauh dari teman-
temannya. Saat mereka hendak mengangkut pasir, Paijo tak
kunjung hadir. Para penyenggrong mencarinya. Karena perbekalan
Paijo tergeletak tidak jauh dari tempat kejadian, mereka curiga
Paijo terkubur longsoran pasir bantaran sungai.
“Tapi tetap saja itu melanggar hukum, Pak Lik,” aku
menyanggah pamanku, Pak Lik atau Bapak Cilik adalah sebutan
bagi paman dalam bahasa Jawa. “Negara melarang pemungutan
hasil hutan di dalam taman nasional, apalagi pertambangan.
Bantaran sungai itu sudah masuk wilayah penyangga untuk
pelestarian, bukan wilayah pemanfaatan.”
“Negara mawa tata, desa mawa cara! Negara gunakan hukum,
desa gunakan kebiasaan,” bantah pamanku, “kamu tidak tahu
apa-apa soal nasib orang-orang di desamu, kalau mereka ndak
nyoker, gimana mereka mau makan? Anak-anak mereka juga
harus sekolah, butuh biaya banyak, Mar!”
“Masih banyak cara untuk membiayai hidup, Pak Lik. Mereka
bisa jadi buruh kebun salak, menanam sayur, beternak kambing
atau ikan,” bantahku, “saya bisa kok mengusulkan kerjasama
dengan dinas terkait.”
“Gombal! Omong kosong! Janjimu tinggal janji. Negara
memang paling doyan umbar janji, kamu itu bagian dari negara
to, Mar? Heh, Qomar, apa kamu tidak ingat dari mana biaya
pendidikanmu?” pamanku memancing emosiku, sambil melirik
bapakku. Bapak hanya menarik nafas panjang.
“Kamu ndak keliru, Mar. Tetapi juga ndak sepenuhnya benar.
Kita harus lentur, harus luwes. Purnomo, kamu juga jangan bicara
seperti itu. Aku ini lurah, pemimpin rakyat desa ini. Di desa ini,
aku wakilnya negara,” bapak mencoba membangun posisi, “kamu

92 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


tahu ndak, Min? Kita sudah bikin perjanjian sama orang balai
taman nasional, penyenggrong tidak boleh nyoker di bantaran
sungai, itu juga karena temanmu, Paijo itu, kejugrugan.”
“Mengerti, Ndoro Lurah. Tapi kata Den Purnomo, di tengah
sungai hanya tinggal batu, Ndoro. Saya ndak diupah buat gempur
batu,” Paimin berupaya menjelaskan keadaannya, bapak menghela
nafas panjang.
“Apa benar itu, Pur? Di tengah sungai tinggal ada batu saja?”
“Nggak juga, Kang. Paimin ndak sepenuhnya benar,” ujar
pamanku. Kang adalah sebutan bagi kakak lelaki, “Tengah sungai
di dekat Kandang Macan masih banyak pasirnya,” pamanku
tampaknya sengaja memancing suasana makin panas. Aku
menahan kejengkelanku.
Bapak mulai angkat bicara. “Begini, Min. Kamu juga musti
dengar baik-baik, Pur. Ini yang terakhir kalian atau siapapun
nyoker di bantaran sungai, apalagi mendekati Kandang Macan.
Min, aku tidak akan ragu menyerahkanmu pada yang berwajib
kalau sampai terjadi pelanggaran lagi.”
“Halah! Min, kamu ndak usah cemas. Paguyuban Gawe
Goro pasti akan mendukungmu. Aku jamin kamu ndak akan
dipolisikan, kamu rajin setor hasil nyoker ke paguyuban kan?”
pamanku memastikan.
“Inggih, Den. Matur sembah nuwun,” Paimin mengucapkan
terima kasih pada pamanku dalam bahasa Jawa halus, “saya tak
pernah lupa pemberian Den Purnomo, sarung, baju anak-anak,
dan kue-kue lebaran dua pekan lalu juga masih ada.”
“Bagus, bagus. Tapi semua pemberian itu bukan dari aku, Min.
Itu Paguyuban Gawe Goro yang menyantuni setiap anggotanya.
Berterima kasihlah sama Genjik, ketua paguyuban,” ujar pamanku,

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 93


ia makin menyebalkan dengan menunjukkan persekongkolan,
“dengar itu, Mar. Paimin itu tahu berterima kasih, ndak seperti
orang-orang sekolahan, semakin pintar semakin tidak peduli
sama orang kecil. Kapan pun Paimin membutuhkan sesuatu,
paguyuban mencukupi keperluannya. Kapan negara memelihara
anak terlantar dan fakir miskin, Mar?”
Aku tidak memilih bungkam hanya karena ia adik dari
bapakku.
“Pak Lik punya KTP kan? Pak Lik masih butuh sertipikat
tanah kan? Masih perlu mengurus SIM? Atau, anak-anak Pak Lik
masih butuh ijazah dan surat nikah? Tanpa negara, Pak Lik, semua
itu tak diperoleh. Manusia butuh aturan, Pak Lik. Desa ini bukan
kebun binatang,” ujarku ketus karena paman sudah menyinggung
soal prinsip.
Sebenarnya, Paimin bukanlah satu-satunya pelaku, namun
dia yang tertangkap basah oleh staf balai taman nasional ketika
mereka melakukan pemeriksaan lapangan setelah kebakaran
hutan. Kurang lebih tiga hektar semak dan tegakan di area
penyangga dilahap api, untung saja api belum sampai merambat
ke area zona inti. Diperhitungkan dari pola penyebaran api dan
tingkat kekeringan vegetasi, kebakaran itu diduga disebabkan oleh
faktor kesengajaan. Seminggu sebelum kebakaran, sebuah mobil
bak terbuka yang dikendarai dua warga dari luar desa tertangkap,
empat kubik kayu gelondongan yang konon berasal dari pinus
mati disita oleh petugas, bersama mobil pengangkut dan awaknya.
Petugas di pos pemeriksaan tentu saja bisa membedakan kayu dari
pohon mati dan kayu dari pohon hidup, apalagi jalur yang dilewati
mobil itu adalah jalur tunggal menuju dan dari taman nasional.
Dua awak mobil itu kebetulan adalah anggota Paguyuban Gawe
Goro. Penangkapan dua pengangkut kayu illegal itu menuai protes
dari para anggota paguyuban yang lain. Mereka mendesak supaya

94 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


dua anggota paguyuban itu dilepaskan, namun hukum tidak bisa
ditawar. Persidangan belum lagi digelar, namun sebagian hutan
sudah terbakar.
Bapak dimintai keterangan perihal kebakaran. Bapak
menyangkal kebakaran itu ada hubungannya dengan peristiwa
pencurian kayu sebelumnya. Kemungkinan seorang pendaki lupa
memadamkan perapian yang dibuatnya, mungkin saja seorang
pengumpul recek tanpa sengaja meninggalkan puntung rokok
yang menyala sehingga menyulut semak-semak, mungkin saja api
itu berasal dari gesekan dahan-dahan kering mengingat bulan ini
masih musim kemarau. Apa pun itu, sulit membuktikan bahwa
kebakaran tersebut berhubungan dengan tuntutan paguyuban.
Malam ini api kembali tersulut melalui adu mulut antara aku
dan pamanku. Kali ini bukan tegakan pinus yang berubah jadi
bara, melainkan keberadaan dan kewibawaan negara yang sedang
dibakar. Bagiku, hanya ada satu kata untuk kejahatan ini: makar!
“Ampun, Ndoro. Apa saya masih boleh nyoker, Ndoro?” Paimin
bertanya, setengah memohon.
“Hmm…Ndak tahu, Min. Saat ini, nasib kamu bergantung
pada kebaikan negara,” ujar bapak ragu.
“Paimin, sudah kubilang ndak usah cemas. Negara ndak
pernah bisa merampas nafkahmu. Kalau kamu ndak mengambil
pasir-pasir itu, terus pasir itu menggunung di tengah sungai,
nanti kalau banjir lahar dingin datang maka pasir akan mengubur
seluruh desa ini. Gunung Merapi selalu berbagi rejeki, Min. Jangan
cemas. Tanyalah Qomar itu kalau kamu ndak percaya Merapi rutin
erupsi,” tampaknya pamanku menguji mentalku.
“Apa betul, Den Qomar? Apa betul Merapi mesti... apa itu
namanya… nginterupsi?”

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 95


“Erupsi, Min. Bukan interupsi,” aku mengoreksi Paimin,
“memang cukup sering, Min, biasanya empat sampai lima tahun
sekali. Entah besar, entah kecil. Apa kamu tidak kenal desamu,
Min? Apa kamu tidak hafal watak Merapi?” Jawabku.
“Kalau soal Merapi, Den Qomar yang paling ngerti. Saya cuma
dengar dari simbah-simbah, dari leluhur. Kata mereka, gunung
Merapi ajeg njeblug, rutin meletus, Den. Saya ini bukan orang
sekolahan, ndak ngerti tembung-tembung njelimet, ndak tahu
kata-kata yang rumit. Takut salah, Den.”
“Apa kubilang, benar kan, Min? Jadi, Min, kamu itu pensiun
nyoker kalau Merapi sudah berhenti njeblug, berhenti meletus.
Pasir-pasir itu tetap harus diambil, Min. Kota Pelajar sedang gencar
membangun hotel, mall, apartemen, dan bandara internasional.
Di mana-mana juga sedang dibangun pabrik semen dan jalan
tol. Apa mereka mau pakai pasir laut buat bikin semua itu? Ya
ndak mungkin!” pamanku memprovokasi, mata Paimin berbinar
menyambutnya, “artinya, kamu itu pahlawan pembangunan,
bukan penjahat lingkungan, Min,” sesumbar pamanku, seakan-
akan menang. Wajah Paimin jadi makin cerah.
“Tapi, itu bukan berarti boleh menambang di taman nasional,
Min. Taman nasional itu wilayahnya negara,” kataku menegaskan
makna kawasan taman nasional.
“Halah! Min, ndak usah di dengar. Omong kosong itu. Taman
nasional cuma akal-akalan pejabat untuk dagangan, Min. Mereka
melarang penduduk sekitar taman nasional masuk kawasan, tapi
mereka membujuk wisatawan menjelajahi kawasan terlarang. Iya
kan, Mar? Dulu sebelum ada aturan ini itu, mana ada hutan rusak,
penduduk itu ngerti gimana memelihara sumber nafkahnya,”
pamanku masih bersikeras dengan sikapnya.

96 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


“Sudah, Pur. Cukup! Mulutmu itu harimaumu. Kita tunggu
Syamsul dulu,” bapakku memotong pembicaraan, “Mar, aku minta
kamu tidak membawa kasus ini ke kantor. Kita selesaikan masalah
ini secara kekeluargaan. Kita akan ambil jalan tengah. Pasir itu
selalu jadi ancaman jika tak diubah jadi berkah. Dan kamu, Min,
jangan pernah dekati Kandang Macan.”
“Inggih, Ndoro Lurah. Saya patuh sama Ndoro.”
“Tapi, Bapak. Perkara ini murni hukum, ini pelanggaran
undang-undang. Apa ini akan jadi kisah negara kalah sama
bromocorah, kalah sama penjahat? Apa Bapak sedang mencari-
cari celah aturan?”
“Hukum itu dibuat untuk dilanggar, Mar! Tanpa pelanggaran,
hukum tak akan jalan. Bapakmu paham itu,” pamanku menyela.
“Diam kamu, Pur!” Bapakku membentak paman, “maksudku
begini, Mar. Kamu ngerti kan? Tidak semua masalah harus selesai
lewat hukum. Hukum juga tidak menyelesaikan semua persoalan,
banyak yang tetap jadi masalah ketika vonis dijatuhkan.
Pengadilan bukan satu-satunya tempat untuk menyelesaikan
persoalan. Menjaga keutuhan masyarakat itu jauh lebih penting,
Mar. Keteraturan akan terjaga sepanjang sengketa bisa diredam.”
“Maaf, Pak. Dalam perkara ini aku bukan putramu, aku adalah
abdi negara. Aku tak boleh membiarkan kerusakan atas nama
kesejahteraan. Di luar sana sudah banyak contoh, hutan rusak
jadi perkebunan bahkan tambang. Kalau lereng Merapi ini rusak,
siapa yang dirugikan? Kita, Bapak. Kita yang rugi, wargamu yang
sengsara. Nyoker di bantaran sungai bisa membunuh mata air.
Apalagi membakar hutan. Taman nasional ini hadir agar sumber
penghidupan kita lestari, Pak,” tukasku membangun alasan di
hadapan Bapakku.

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 97


“Bapakmu ini dipilih rakyat menjadi kepala desa, sudah
menjadi tugasku mengayomi. Rakyatku itu banyak jenisnya, Mar.
Ndak cuma hansip, petani, guru, buruh, pedagang, tetapi juga
penyenggrong. Aku juga abdi negara seperti kamu. Marilah kita cari
penyelesaian yang saling menguntungkan,” bapak membujukku.
“Memelihara pelanggaran hukum bukanlah penyelesaian,
Pak. Perkara Paimin itu sudah terlanjur masuk laporan yang
berwajib, meski pun pelapornya bukan aku,” sanggahku.
“Ini diskresi, Mar. Ini keputusan yang harus diambil karena
ketentuan belum mengaturnya. Diskresi bukanlah pelanggaran.
Kita tidak akan mengubah bunyi aturan, biarlah bunyi aturan
tetap sama. Kita hanya ingin pelaksanaannya tidak kaku.”
“Apa hasil diskresi ini juga untuk menaikkan kas desa? Untuk
menghidupi Gawe Goro? Apa diskresi ini sengaja dibiarkan
menjadi erosi?” aku tak bisa menahan emosiku, bapakku hanya
diam.
“Apa Syamsul sudah memberi kabar, Pur?” Bapak bertanya
kepada paman, mengalihkan pembicaraan.
“Belum, Kang,” jawab pamanku. Bapak terdiam untuk
beberapa saat, lalu ia menghela nafas panjang.
“Sekarang keadaannya jauh lebih baik, Mar. Sebelum
kawasan ini jadi taman nasional, bego-bego mengeruk semua
pasir itu sampai dekat Kandang Macan. Kita bahkan tidak bisa
membangun jalan karena pemodal-pemodal besar itu pelit
berbagi keuntungan, mereka juga tidak menanggung kerugian
apapun jika lereng Merapi rusak karena mereka tinggal di kota.
Sudah sepuluh tahun lereng ini jadi taman nasional. Berkat taman
nasional, aku punya alasan mengusir bego-bego itu,” argumentasi
bapakku.

98 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang


“Ya, lalu Bapak membuat diskresi agar para penyenggrong
masuk kembali ke taman nasional?”
“Itu karena mereka penduduk desa ini, bukan orang lain.
Mereka itu saudara-saudaramu, Mar. Mereka menanggung
akibat jika lereng Merapi rusak. Jika bukan aku yang melindungi
wargaku, siapa lagi? Lurah yang dulu pengusaha material di kota,
dialah yang memasukkan bego-bego itu. Selama aku jadi lurah,
tidak satu pun bego akan masuk desa ini. Itu janjiku pada wargaku,
para penyenggrong itu.”
Aku merasa dihimpit dua gunung besar, di saat yang sama
aku merasa berdiri pada titian benang yang melintang di atas
jurang terdalam. Membela negara adalah kewajibanku, itu alasan
seragam ini kukenakan. Namun, aku juga tidak menyangkal,
pasir-pasir Merapi terlanjur mengalir dalam urat nadi warga
desa ini, telah menjadi sumber penghidupan mereka. Pasir-
pasir itu juga dibutuhkan bagi percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi di mana-mana. Persoalannya, aku
menghadapi kawanan pencuri, dan di antara para pencuri itu
adalah kerabatku. Bagaimana tidak? Paman dan kakakku pasti
mendapat keuntungan dari hasil nyoker, bahkan hampir setiap
orang di desa ini menikmati santunan Paguyuban Gawe Goro.
Pasir-pasir itu tak hanya sumber ekonomi, pasir-pasir itu telah
menjadi dagangan politik ketika bapakku menjanjikan keamanan
rejeki bagi para pemilihnya, melindungi mereka dari keserakahan
pemodal-pemodal besar di kota. Tetapi, apakah bedanya, ketika
Paimin dan Lik Purnomo hanyalah wayang, sedangkan pemodal-
pemodal besar itu tetaplah menjadi dalang?
“Mar, aku menanti keputusan kantormu perihal tataguna
wilayah yang baru. Sebelum keputusan itu ada, aku hanya melarang
siapa pun nyoker dekat Kandang Macan dan di bantaran sungai.
Kau juga sudah menyaksikan, warga telah menyemai dan merawat

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 99


bibit-bibit gayam (Inocarpus fagifer ) serta pohon pengikat air
lainnya, musim hujan tahun ini mereka akan mulai menanam.
Itu semua tanpa bantuan pemerintah,” bapakku tampaknya
mengambil kebijaksanaan, dan aku masih terbungkam.
Bapak benar, zonasi belum ditetapkan. Pembagian fungsi
kawasan belum diputuskan. Berapa banyak dan kapan pasir-pasir
boleh diambil juga belum ditentukan. Semua menanti kehadiran
negara. Negara yang masih bungkam seperti diriku. Telepon
genggam pamanku berdering, menandakan ada pesan pendek
yang masuk.
“Kang, Syamsul dalam perjalanan ke sini,” pamanku
memberitahukan posisi kakakku kepada bapakku.
“Apa kamu siap menanggung akibat perbuatanmu, Min?” aku
bertanya pada Paimin. Paimin menjadi gugup.
“Ampuni saya, Den Qomar. Ampuni saya, Ndoro Lurah. Den
Purnomo, tolonglah saya…”
“Diam kamu, Min! Sudah kubilang, ndak ada yang bisa
memenjara kamu selama gunung Merapi ndak mati. Polisi pasti
segan sama veteran, Min” pamanku memberi harapan palsu.
Di luar rumah, suara mobil menderu. Perlahan suara itu
semakin keras, tepat di halaman rumah suara itu terhenti,
kemudian disusul suara pintu mobil dibanting, lalu terdengar
derap langkah kaki.
“Assalamu‘alaikum…,” kakakku menyapa di rongga pintu.
“Wa’alaikum salam…,” kami menyahut hampir bersamaan.
“Syamsul. Piye, Ngger, bagaimana, Nak?” bapakku bertanya,
meminta kepastian.

100 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Alhamdulillah. Beres, Pak. Paimin aman dengan jaminan.
Semua sesuai rencana kita,” jawab kakakku dengan gembira,
disambut senyum lega paman, Paimin dan bapak.
Apa maksudnya ini semua? ‘Sesuai rencana kita’ katanya?
Mereka bekerjasama? Negara dan bromocorah saling membantu?
Aku terpuruk lemas, serasa hendak melepas tugas.
Di luar, awan enggan menjelma hujan. Di dalam, api amarah
di hatiku tak kunjung padam.
Yogyakarta, 31 Desember 2015
untuk: Marsen Ng

Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 101


B.
GEDSI dan Agraria
Mencari Suci
Desi Noviyani

Entah sejak kapan persisnya, rasa cemas mulai menjadi hal sehari-
hari bagi Atun. Adakalanya ia disertai sebab yang bermacam-
macam, tetapi lebih sering rasa itu hadir begitu saja. Hanya
saja, kecemasan yang ia rasakan pagi ini terasa lebih mencekam
dibanding yang sudah-sudah. Mungkin yang bisa menyamai
hanya hari-hari menjelang penggusuran beberapa bulan yang
lalu. Beberapa hari ia dan tetangga-tetangga terjaga hampir siang
dan malam, bersiap untuk mempertahankan rumah mereka.
Sebatang rokok ia nyalakan. Samar, asin laut meruap di
udara. Aroma bawang merah goreng tercium dari rumah sebelah
melalui dinding anyaman bambu. Dinding bambu: segala yang
tak permanen menjadi pilihan masuk akal di tengah ancaman
perobohan paksa sewaktu-waktu. Lubang di atap akibat genteng
yang melorot menarik perhatiannya. Sebentar lagi musim hujan,
batinnya, semoga anak Warno bisa dimintai tolong.
Sekenanya ia merapikan dan menggelung rambutnya yang
menipis dan memutih, pengingat akan tahun-tahun yang letih.
Di dinding tergantung kaos hitam-merah muda dengan gambar
perempuan-perempuan muda yang menurut Suci, cucunya,
adalah kelompok penyanyi dari Korea. Sebenarnya anak itu tak
mengikuti musik-musik dari luar negeri. Di kalangan anak-anak
sini, dangdut koplo lebih masuk di hati dan telinga. Kaos semacam
itu kebetulan ada saja di pasar kecamatan.
Saat mata Atun tertumbuk pada kaos itu, kembali ia teringat
akan hal yang membuatnya gelisah. Sudah dua hari Suci belum
pulang. Bahkan tas ransel dan beberapa potong baju dibawanya
serta.
Sepagian Atun sudah berkeliling ke mana-mana. Tetangga-
tetangga tak ada yang tahu keberadaan anak itu. Bertanya pada
pemilik warung makan tempat anak itu sering menyambung WiFi
pun tak membuahkan hasil. Informasi dari teman-temannya juga
nihil. Tak ada yang tahu kenapa Suci tak masuk sekolah. Menurut
seorang anak, pesan yang terkirim masih centang satu.
Siang ini seharusnya Atun melanjutkan rute memulung di
desa sebelah. Wisata pantai sedang sepi. Tak banyak botol dan
kaleng yang dapat ia kais. Namun, urusan mencari cucunya lebih
penting. Mungkin Menil si pemilik salon bisa membantu. Ia selalu
tahu kabar angin dari segala penjuru. “Kepo”, kata orang-orang.
Atun pun melangkahkan kakinya melalui gang-gang sempit
berpasir yang tak beraturan.
Seperti pasir pantai yang menjelma jalanan dan
pekarangannya, kampung ini serba sementara dan tidak ajek.
Orang datang dan pergi silih-berganti. Namun, seperti juga pasir
yang berasal dari bebatuan di pucuk-pucuk gunung, lapuk oleh
cuaca, terbawa badan air, dan berakhir di pantai ini, bagi orang-
orang ini kampung ini juga adalah muara perjalanan, suaka bagi
mereka yang terbuang. Kampung halaman ditinggalkan bersama
masalah-masalah yang tak pernah selesai. Tempat yang asing ini

106 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
memberikan ilusi rasa aman untuk menjadi apa pun, berbuat apa
pun. Orang-orang yang saling asing dipersatukan oleh perasaan
sebagai sesama kaum yang tercerabut dan selamanya takkan
pernah bisa pulang.
Seperti banyak perempuan di kampung ini, Atun pensiunan
dunia hiburan malam. Lebih dari separuh usia hidupnya ia
habiskan di sini, tempat yang jauh berbeda dari kampung masa
kecilnya di pegunungan. Samar-samar masih ia ingat aroma manis
gaplek yang ditumbuk ibunya di rumah tabon. Telah bertahun-
tahun ia tak lagi menginjakkan kaki di rumah tepi hutan jati itu.
Sepetak pekarangan itu semestinya menjadi hak waris ibunya.
Namun, ketika ada program pemutihan, petugas yang lalai dan
malas malah mencantumkan nama paman Atun yang tinggal di
sana, bukan ibunya. Repot, katanya, kalau harus mencari ibu Atun
yang saat itu sedang merantau di kota. Meskipun mereka bilang
rumah itu tetap rumah ibu Atun, pada kenyataannya bertahun
kemudian mereka berpegangan pada dokumen negara untuk
mengklaim tanah itu.
Tanpa rumah untuk pulang, pada akhirnya Atun terdampar di
kampung tepi pantai ini. Setelah tak lagi bekerja di dunia malam,
Atun melakukan rupa-rupa pekerjaan demi menyambung nafas
dari hari ke hari. Ia pernah bekerja sebagai buruh pabrik arang,
pemasok sate usus untuk angkringan, dan penjaja souvenir kerang
untuk wisatawan di pantai. Belakangan, bersama perempuan-
perempuan tetangganya, ia bekerja mencari pandan untuk
dipasok ke pengusaha kerajinan. Pandan itu tumbuh liar di
gumuk pasir sekitar kampung mereka. Berpanas-panas mereka
mencari pandan, merebus, merendam, dan menjemurnya.
Upahnya tak seberapa walaupun si juragan kerajinan itu sukses
mengekspor produknya ke luar negeri. Tanah dan rumahnya di
mana-mana. Mobilnya ada beberapa. Konon di tempat bernama

GEDSI dan Agraria 107


Internet ia menyebut pabrik kerajinannya “memberdayakan
kaum perempuan”. Kata-kata itulah yang membuat produknya
laku keras karena konon orang-orang yang hidup makmur di luar
negeri sana merasakan kepuasan batin jika barang yang mereka
beli memiliki nilai tambah tertentu. Bagi Atun, kata-kata besar itu
samar-samar saja, hampir-hampir tak bermakna.
Ia berhenti mencari pandan karena gumuk pasir tempat
tumbuhnya pandan itu telah “dibersihkan” oleh negara.
Konon gumuk pasir itu harus dilindungi seperti binatang yang
hampir punah. Gubuknya dan gubuk tetangga-tetangganya
dianggap sebagai pengganggu yang harus dibersihkan. Ternyata
penggusuran itu tak ada hubungannya dengan melindungi
apa pun. Belakangan ATV berseliweran naik-turun gundukan
pasir itu, dikendarai turis-turis kota yang hanyut dalam fantasi
petualangan.
Gubuk Atun dari kayu-kayu hanyutan sungai dan sederhana
saja. Tapi dengan gubuk itu ia tak harus merogoh uang sewa
bulanan. Ketika gubuk itu dirobohkan, ia kembali teringat rasa
kehilangan akan rumah masa kecilnya. Yang membuatnya kian
nyeri, cucu yang ia sayangi juga harus mengalami rasa kehilangan
yang sama.
Banyaknya manusia berarti banyak pula sampah yang
ditimbulkannnya. Kini Atun pun memulung botol plastik, satu
demi satu, dengan ketekunan hewan renik pengurai. Apa pun agar
ia dan cucunya dapat bertahan hidup.
Ia mengasuh anak itu sejak sebelas tahun yang lalu. Suciati
adalah anak Mariyana, seorang pemandu karaoke yang meninggal
karena sakit liver. Menenggak alkohol tiap malam menggerogoti
tubuh dan kesadarannya. Kerabat Mariyana ogah mengurus anak
tanpa bapak itu. Jadilah balita Suci berada dalam asuhan Atun.
Tiap kali anak itu rewel dan membuatnya kerepotan, Atun selalu

108 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
teringat akan sorot mata polos bocah yang menangis memanggil-
manggil ibunya malam itu. Orang-orang di luar kampung ini
menganggap tempat ini semacam tempat pembuangan akhir
yang penuh sampah. Namun, bahkan ia yang bergumul noda
mengetahui seorang anak terlahir dengan kemurnian belaka.
Beberapa hari sebelumnya Suci menyampaikan keinginan
untuk melanjutkan ke SMK di tempat yang agak jauh dan
minta dibelikan motor. Sebenarnya Suci bukan anak penuntut.
Pergaulannya dengan teman-teman sebaya bukannya tidak
menulari dengan keinginan membeli barang ini-itu. Tapi ia
tahu merengek seperti apa pun kalau neneknya tak punya
uang, keinginannya tak akan kesampaian. Atun berkeberatan
karena motor paling murah sekalipun jauh dari jangkauan
kemampuannya. Pilihan paling masuk akal adalah sekolah
terdekat yang dapat dijangkau dengan sepeda seperti biasanya.
Entah kenapa kali itu Suci begitu ngotot dengan permintaannya.
Atun hanya bergeming. Ia masih berberat hati memenuhi
keinginan itu. Sebelum ngambek ngomong, anak itu sempat
berkata, “Ya sudah, biar aku cari uang sendiri.”
Atun hanya membiarkan. Paling sehari-dua hari lagi suasana
hati anak itu sudah kembali seperti sedia kala, batinnya. Mendapati
anak itu tak pulang-pulang juga, kecemasan mulai menghinggapi
hati Atun. Apa yang dipikirkan anak itu dan di mana pula ia
sekarang? Anak umur empat belas tahun mau cari uang dengan
cara apa? Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Apalagi
mengingat kampung ini penuh labirin yang gampang membuat
tersesat siapa saja. Apa pun latar belakang almarhumah ibu Suci
dan juga Atun sendiri, sampai kapan pun Atun akan selalu ngeman
pada anak itu. Bahkan ia pindah ke area yang agak jauh dari pusat
hiburan malam itu agar Suci tak berurusan dengan orang-orang di
sana. Memang apa mau dikata kebanyakan anak-anak di sini telah

GEDSI dan Agraria 109


menyerap hal-hal yang terjadi di sekitarnya, tetapi paling tidak
Atun telah berusaha.
Tak terasa langkah Atun telah membawanya ke depan Beauty
Salon Menil. Tadinya Menil bekerja di jasa pijat plus-plus. Gagal
menikah dengan pensiunan pegawai pengairan membuatnya
tiba-tiba berhenti dan banting setir beberapa tahun lalu. Kursus
rias wajah yang dulu pernah ia ikuti itu ternyata ada gunanya juga.
Tempat itu tampak sepi. Cermin dan kursi putar berderet di satu
sisi. Kursi-kursi tunggu berjajar di sisi lainnya. Terdengar suara
bercakap-cakap dari suatu kamar yang pintunya terbuka.
“Pelembabnya juga dipakai di area leher, ya, gaes! Jangan
wajah saja yang harus dirawat. Jangan sampai lupa, sebelum
primer, fondesyen, bedak, dan lain-lain itu pakai pelembab.
Penting banget itu, gaes!”
Tok-tok-tok! Atun mengetuk daun pintu sebagai penanda
kehadirannya. Di samping jendela yang terbuka duduklah Menil
yang ternyata sendirian saja. Sebuah ponsel disangga kaki tiga di
hadapannya. Di mejanya terhampar berbagai macam botol, kotak
bedak, kuas, dan berbagai perlengkapan rias diri. Tangannya sibuk
meratakan losion di leher.
“Kupikir ngomong dengan siapa. Ternyata dengan HP,”
celetuk Atun.
“Bikin video TikTok, Mak. Salon sepi. Daripada nganggur.
Masuk sini, Mak,” ujar Menil setelah menekan tombol di layar
ponselnya.
Atun masuk lalu duduk di kasur tanpa dipan di kamar itu.
“Aku sebentar saja. Cucuku belum pulang dua hari ini.
Mungkin kamu mendengar kabar-kabar? Kucari ke mana-mana

110 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
tidak ketemu-ketemu juga. Pusing kepalaku. Ke mana anak itu?”
terdengar gusar dan gelisah pada ucapan Atun.
“Lho kok bisa tidak pulang?”
Atun pun menceritakan yang terjadi . Ia mengakhiri dengan
ungkapan kecemasan kalau-kalau anak itu melakukan yang tidak-
tidak.
“Aku tak tahu, Mak. Tapi kapan itu sudah agak lama dia
pernah ke sini. Minta dipotongin poninya. Terus dia nanya-nanya
sambil cengengesan, kalau kerja kayak kerjanya Bude Menil dulu
kayak gimana. Ya kubilang nggak usah yang aneh-aneh. Sekolah
saja sampai selesai terus melamar di pabrik wig kayak anaknya Bu
Ngadilah. Aku bener ngomong kayak gitu kan, Mak?”
“Sudah benar seperti itu. Keinginanku juga begitu pada anak
itu.”
“Sudah tanya-tanya ke karaoke, Mak?”
“Belum. Nanti akan ke sana.”
“Kalau tidak ketemu juga, ke kantor polisi saja, Mak. Bisa
kuantar perginya.”
Atun mengiyakan. Namun, dalam hatinya ia membatin,
dengan Mami Yati, ia akan mencoba, tetapi kantor polisi adalah
tempat terakhir yang akan ia tuju. Atun mempunyai hutang dua
juta pada seorang polisi di sana yang membuka “jasa” peminjaman
uang. Hingga si induk lunas, “jajan” Rp50.000 wajib dibayarkan
setiap pekan. Atun menunggak dua pekan dan sedang tak ingin
berurusan dengan polisi itu.
Setelah berpamitan, ia pun berjalan ke arah kompleks karaoke.
Keadaan tempat itu pada siang hari sangat bertolak belakang
dengan hingar-bingar pada malam harinya. Atun langsung masuk

GEDSI dan Agraria 111


menuju ke bagian belakang rumah, hafal di mana si Mami dan
perempuan-perempuan di sana biasa berkumpul.
“Saya mencari cucu saya, anaknya Mariyana. Apa ada yang
melihatnya di sini?” tanya Atun begitu melihat si Mami tampak
duduk lesehan di ruang makan bersama gadis-gadis yang bekerja
di sana.
“Oh, Mbak Atun. Suci, ya? Sudah besar anak itu sekarang ya.
Belum lama bukannya dia makan di warung padang di tikungan,
Mel?” Kalimat terakhir ditujukan kepada seorang gadis dengan
rambut pirang yang sedang asyik dengan ponselnya.
“Oh yang rambutnya ponian? Iya, Mi. Ditraktir makan sama
om-om yang dari Magelang itu.”
Seakan sesuatu tiba-tiba menghimpit dada Atun ketika ia
mendengar itu.
“Om-om bagaimana? Lha terus sekarang anak itu ada di
mana?”
“Ya saya tidak tahu. Cuma lihat. Saya ingat karena ada teman
bilang ibu adik itu dulu anak sini. Kalo si om itu waktu di sini
bilang akan pulang hari Jumat. Jadi mungkin sudah kemarin.”
Seluruh persendian di tubuh Atun serasa dilepas satu demi
satu.
“Lho saya kirain sudah biasa seperti itu. Main dengan om-om.
Makanya saya tidak merasa ada yang janggal,” tiba-tiba si Mami
menimpali. Semua orang tahu tiap malam ia mengungsikan anak-
anaknya ke rumahnya di kampung sebelah agar mereka tidak
menyaksikan perilaku orang dewasa di rumah karaokenya. Sayang
sekali rasa melindungi itu tidak ia terapkan pada anak orang lain,
apalagi yang menjadi sumber pundi-pundinya.

112 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Biasa, biasa bagaimana? Cucu saya itu anak sekolahan. Tidak
biasa dengan yang seperti itu,” Atun membalas dengan gusar. “Jika
kalian melihat cucu saya, tolong sampaikan padanya untuk segera
pulang.”
Atun pergi dari tempat itu dengan kegundahan yang kian
mendalam. Memang sebagai anak yang sedang memasuki masa
remaja, adakalanya anak itu membuatnya jengkel karena lebih
suka bermain HP dan enggan menuruti permintaannya. Meskipun
kadang memarahinya, Atun tak bisa membayangkan jika ada hal
yang buruk terjadi pada anak itu. Seluruh ingatannya sebagai
perempuan menyeruak ke permukaan. Seluruh derita menghadapi
kerasnya kehidupan kembali berputar-putar di kepalanya.
Ia tanyai pekerja di warung yang terakhir kali melihat anak
itu. Konon memang ada laki-laki paruh baya yang mengobrol
dengannya dan membayari makan siangnya. Setelah mereka pergi
dari warung, tak ada lagi yang tahu keberadaan keduanya.
Akhirnya Atun mengambil keputusan: kecemasan yang lain
harus dikesampingkan. Ia harus pergi ke kantor polisi segera.
Jalan pintas menuju kantor polisi itu berupa semak-semak
yang tumbuh di pasir dengan diselai pohon siwalan di sana-sini.
Di satu sisi teronggok sebuah bangunan mangkrak yang penuh
coretan cat semprot warna-warni. Kaki Atun telah letih tetapi ia
memaksakan diri untuk terus berjalan.
“Mak!”
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat ia hafal. Dari balik
semak-semak di sudut bangunan mangkrak itu menyembullah
kepala dengan kuncir rambut yang acak-acakan. Atun segera
mengenali wajah itu sebagai wajah cucunya. Tak terkira kelegaan
yang menyelimuti hatinya. Wajah anak itu tampak ragu-ragu
seperti takut dimarahi. Atun segera mendekatinya.

GEDSI dan Agraria 113


“Ci, Suci. Si Mak ini mencari kamu ke mana-mana. Tidak
ketemu-ketemu. Katanya kamu dibawa orang. Kamu tahu
khawatirnya Si Mak ini?” Ada getar dalam suaranya.
Suci hanya menunduk.
“Coba sini Si Mak lihat. Apa ada yang melukaimu?” ujar Atun
sambil meraih kedua tangan cucunya untuk diperiksa jika ada
goresan atau luka.
“Tidak kenapa-kenapa, kok, Mak. Aku cuma di sini. Kapan itu
ada om-om mengajak pergi naik mobil tapi aku takut terus lari ke
sini. Mak, maaf aku sudah bikin Mak khawatir.”
Semua bayang-bayang gelap di hati Atun pun segera sirna.
Saat Suci mulai meninggalkan masa kanak-kanak dan punya
keinginannya sendiri, hampir tak pernah lagi Atun memeluknya.
Tapi kali itu ia memeluk cucunya erat-erat.
“Mak, anak LC kan nggak mesti jadi LC ya, Mak?” tanya Suci
setelah Atun melepaskan pelukannya. Atun tahu pertanyaan itu
tak memerlukan jawaban.
“Ada yang ngomong begitu sama kamu?”
“Kata ibunya Aida, aku ini sudah mirip ibuku. Kenapa repot-
repot sekolah kalau bekerja seperti ibuku saja pasti cepat dapat
uang. Lagian anak kayak aku katanya bisa bikin malu sekolahnya.”
Atun segera paham. Bu Hidayati, ibu teman Suci itu, adalah
pegawai tata usaha di SMK yang dihindari Suci.
“Mana bisa seperti itu. Jadi guru, jadi perawat juga bisa kalau
kamu mau. Tak usah didengarkan omongan seperti itu. Sepertinya
minta dilabrak ibu satu itu.”
“Eh, jangan, Mak! Aku masih mau temenan sama Aida.”
“Aida ya Aida. Kan beda sama ibunya.”

114 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Suci hanya manyun.
“Kamu boleh sekolah di mana pun kamu mau. Soal biaya
nanti Mak yang cari. Tapi kamu harus niat betul sekolahnya.”
“Iya, Mak. Mak, aku lapar.”
“Ayo kita pulang! Nanti kita mampir warung soto.”
Dalam perjalanan pulang Atun berangan-angan. Besok
pagi dan seterusnya mungkin Atun akan terus memulung. Tapi
mungkin ia juga bisa kembali menyetor sate usus di angkringan.
Atau membuat tempe untuk dijual di warung-warung dekat sini.
Ia tahu ia tak akan pernah bisa kaya-raya. Namun, apa saja akan ia
coba agar cucunya bisa makan dan terus bersekolah. Itu janjinya
pada dirinya sendiri.

GEDSI dan Agraria 115


Keragaman Gender dan Agraria:
Warga Istimewa Penyandang
Diskriminasi dan Intoleransi1
Kus Sri Antoro

Hanya karena berbeda,


waria ditolak keberadaannya sejak hidup sampai mati.

Bagi waria, memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah


kemewahan. Bagaimana tidak? Pengurusan KTP bagi waria tidak
dimudahkan. Surat keterangan asal atau lazim dikenal Surat
Pindah jadi salah satu syarat yang sulit dipenuhi oleh waria telantar
atau non warga lokal. Kebanyakan waria ditolak oleh keluarganya
karena dianggap menyimpang, lalu mereka pergi atau diusir,
bahkan putus komunikasi dengan keluarganya bertahun-tahun.
Akibatnya, sekitar 60 persen dari populasi waria di Yogyakarta
tidak terpenuhi hak kewarganegaraannya, jumlah itu baru 105
dari 175 orang yang tercatat sebagai anggota organisasi penyintas.

1 Versi awal tulisan ini berjudul Warga Istimewa, Tapi Menyandang Diskriminasi dan
Intoleransi, dimuat dalam www.selamatkanbumi.com pada 24 November 2019. Versi awal
tulisan ini merupakan Liputan ini hasil kerjasama Selamatkanbumi.com dengan Aliansi
Jurnalis independen (AJI) Yogyakarta dalam program Fellowship Liputan sebagai bagian
dari Journalists Workshop on Human Rights Reporting yang diselenggarakan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Internews dan Kedutaan Belanda di
Yogyakarta, 6-8 September 2019. Dengan sedikit pengembangan, tulisan ini diterbitkan ulang
untuk tujuan pendidikan.
Penolakan dan kerasnya kehidupan membuat kesehatan mental
waria rawan.
Tanpa KTP, mereka tidak dapat melamar pekerjaan, membuka
rekening bank; tidak dapat naik kereta api atau pesawat; tidak
berkesempatan mempunyai jaminan kesehatan; mustahil
mempunyai Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan sertipikat tanah,
terlilit hutang lintah darat, dan sulit memperoleh pekerjaan yang
lebih baik serta aman. Ketiadaan KTP membuat waria terancam
hidup di jalanan seterusnya, terkondisikan miskin dan tanpa
layanan publik mendasar.
Ditemui di sela-sela diskusi film Perempuan Tanpa Vagina
(Rabu, 20 November 2019) bersama para akademisi, Jenny (41)
mengungkapkan, “Saya beruntung memperoleh KTP karena
keluarga saya tidak mengasingkan saya, meskipun sempat menolak
jati diri saya saat saya SMP,” pengakuan nya. Pengurus lembaga
keuangan mikro suatu aliansi waria di Yogyakarta itu pernah pula
membuka salon di Sumedang. Menurutnya, hambatan terbesar
ada pada diri waria sendiri. Memperoleh Kartu Keluarga (KK) atau
Surat Pindah dari daerah asal tidak mudah, pertama banyak waria
yang sudah putus komunikasi dengan keluarga, kedua kembali
ke masa lalu yang penuh trauma kekerasan itu berat, ketiga
adakalanya keluarganya sudah tidak ditemukan lagi karena
kampungnya sudah berubah jadi kawasan proyek kepentingan
umum, tambang, dan sebagainya.
Shinta Ratri (57), Pengasuh Pesantren Waria Al Fatah di
Celenan, Bodon, Jagalan (Kotagede), Banguntapan, Bantul,
mengungkapkan kekesalannya (Rabu, 20 November 2019). “Saya
iri dengan nasib waria di Nepal atau Pakistan yang identik dengan
negara berpenduduk mayoritas muslim. Di sana waria dihormati
dan diakui negara.”

GEDSI dan Agraria 117


Warga asli Jagalan, Banguntapan, Bantul ini memperoleh
penghargaan dari lembaga HAM berbasis di Irlandia, Frontline
Defender, sebagai inspirator pejuang HAM mewakili kawasan Asia
Pasifik. Oktober 2019 lalu ia terbang ke Dublin. Pengurusan KTP
bagi Shinta tidak masalah sebab ia memenuhi persyaratan lengkap,
kendati dalam dokumen negara tertera nama lahirnya dengan jenis
kelamin laki-laki, “Kami harus fleksibel memperlakukan prinsip,
tujuan perjuangan kami adalah kesejahteraan dan pengakuan
eksistensi waria, bahwa waria itu ada,” ujarnya.
Ditemui di kantor Kecamatan Banguntapan, Kepala
Seksi Pelayanan Kecamatan Banguntapan, Wartiningsih (54)
menyatakan pengurusan KTP untuk kasus khusus seperti
perubahan agama dan jenis kelamin juga waria langsung diurus ke
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten,
“Kami belum pernah memproses atau melayani pengurusan KTP
dari waria,” jelasnya (Rabu, 20 November 2019).
Di tempat yang sama, Sekretaris Camat Banguntapan,
Muhammad Misbach, SIP (57), menyatakan bahwa kebijakan itu
tidak di level kecamatan, meskipun syaratnya sama dengan warga
non waria. Kecamatan tidak diberi wewenang untuk melayani
pelayanan KTP waria (Rabu, 20 November 2019).
Jenny mengungkapkan, tak jarang pemerintah menjadi
aktor dalam diskriminasi terhadap waria. “Jika dokumen lengkap
seharusnya dilayani, tidak ditolak atau dihindari, itu namanya
diskriminasi” ujarnya.
Ketika ditanya, apakah isu Lesbian Gay Biseksual dan
Transgender (LGBT), penampilan waria, dan pandangan
masyarakat tentang waria terkadang menjadi pertimbangan
pemerintah hingga hak-hak waria sulit terpenuhi? Sekretaris
Camat Banguntapan menjawab, “Iya. Kemungkinan. Termasuk
terkait agama. Di Indonesia masih kuat keagamaannya, jenis

118 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kelamin cuma laki-laki dan perempuan serta tidak diperbolehkan
pernikahan sejenis.” Pernyataan ini menandai fakta bahwa layanan
publik kepada waria rentan dikaitkan dengan isu seksualitas yang
dinilai abnormal, sementara kesesuaian orientasi seksual WNI
dengan jenis kelaminnya (laki-laki atau perempuan) tidak dapat
ditentukan dari gestur tubuh atau ekspresi gendernya.
Shinta Ratri menanggapi, “Saya kasihan dengan mereka yang
mengejek, menghina, dan mencerca waria.”
Saat dikonfirmasi, Kepala Seksi Identitas Disdukcapil
Kabupaten Bantul, P. Eko Ananto menjelaskan bahwa Dinas
hanya melayani penerbitan KTP untuk lansia, difabel, pindah
antar kabupaten, perubahan jenis kelamin dan agama yang
mana keduanya harus disertai penetapan pengadilan (Kamis, 21
November 2019). Pelayanan di Dinas itu merupakan kebijakan
yang mengacu pada UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang diubah dengan UU No 24 Tahun 2013. Untuk
waria, sepanjang tidak mengubah jenis kelamin diproses seperti
biasa di kecamatan dari perekaman hingga cetak, sesuai Peraturan
Daerah Kabupaten Bantul No 16 Tahun 2015 tentang Tertib
Administrasi Kependudukan.
“Sepanjang 2012-2019, kami sudah audiensi dengan
Disdukcapil Propinsi DIY satu kali dan Kota Yogyakarta dua kali,
hasilnya masih jauh dari harapan,” ujar Shinta Ratri. Menurutnya,
pengurusan KTP tanpa surat keterangan asal dan KK bisa
dilakukan, namun syaratnya waria harus bermukim 6 bulan di satu
tempat sepengetahuan RT atau RW setempat, nanti dicek berkala
oleh Dinas Sosial jika dinilai memenuhi syarat akan diterbitkan
KTP Sementara untuk kategori Orang Terlantar.
Shinta Ratri berpendapat, pihak Disdukcapil bekerja
profesional, tidak menolak sepanjang dokumen lengkap, tidak
mengaitkan dengan isu LGBT dalam melayani KTP, namun belum

GEDSI dan Agraria 119


memahami situasi dan kondisi yang dialami waria. Bermukim di
satu tempat selama 6 bulan berturut-turut demi seberkas KTP
Sementara dengan kategori Orang Terlantar bukan hal mudah
bagi waria yang mobilitasnya tinggi. Mereka belum pernah
mencoba tawaran Disdukcapil ini karena dinilai merepotkan.
Lanjut Shinta, kadang waria harus dididik bagaimana menjadi
warga negara yang baik, dibangkitkan kesadaran kritisnya.
Kadang mereka tidak menyadari hak-haknya sebagai warganegara
itu penting karena desakan ekonomi harian.
Sejauh ini waria non warga lokal memperoleh KTP dengan
surat pindah yang diterbitkan setelah keluarganya di daerah
asal mengurusnya. “Program Family Support Group yang
diselenggarakan Pesantren Al Fatah memungkinkan waria
untuk kembali memperbaiki komunikasi dengan keluarganya”.
Komunikasi itu terjadi setelah mereka cukup percaya diri karena
belajar menghargai dirinya lewat pengajian dan sekolah sore.

Pesantren sebagai Ruang Nyaman


Pesantren Al Fatah didirikan pada 2008 di Notoyudan, atas ide
Bapak Hamroli yang wafat tahun 2013, lalu pesantren ini pindah
ke Kotagede pada awal 2014, KH Abdul Muhaimin dilamar sebagai
pembimbing. Pesantren ini didirikan dengan niat memberi ruang
nyaman bagi waria yang sering mendapat ujaran kebencian dan
perundungan, padahal mereka tidak pernah memilih terlahir
sebagai waria. “Perasaan senasib sebagai sesama waria mendorong
kami membentuk organisasi untuk meraih kesejahteraan secara
ekonomi dan sosial,” ucap Shinta Ratri, saat ini 42 orang waria
diasuhnya dari semula 20 orang. Diketahui dari 300-an orang waria
di Yogyakarta, baru 175 menjadi anggota Ikatan Waria Yogyakarta
(IWAYO) yang kini diasuh oleh Bu Ayu.

120 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Shinta mengungkapkan, menjalani hidup sebagai waria itu
berat. Dibenci karena berbeda, dibedakan karena prasangka,
dijadikan bahan lelucon karena gerak tubuh, dicemooh karena
dimiskinkan, dijauhi karena penampilannya, dicurigai karena
dituduh penuh dosa, bahkan dianggap memalukan sehingga tidak
diakui keberadaannya. Mayoritas masyarakat masih merasa jijik
pada waria. Saat waria wafat, mereka masih saja telantar, lebih-
lebih waria tanpa keluarga, warga non waria biasanya enggan atau
sungkan mengurus jenazahnya. Menurutnya, waria itu istimewa
(khusus) namun nasibnya tidak diistimewakan.
Merespon kebutuhan umum waria, salah satu program
unggulan Pesantren Al Fatah adalah Pemulasaran Jenazah agar
jenazah waria tanpa keluarga ada yang memandikan. Adanya
organ tubuh perempuan dan laki-laki di tubuh waria membuat
laki-laki atau perempuan yang hendak memandikan mundur.
“Memandikan jenazah biasanya ditangani tenaga profesional di
rumah sakit, kami ingin jenazah waria dirawat secara manusiawi
tak hanya profesional, ternyata ini masalah waria se-Indonesia”
imbuh Shinta Ratri, “Kami belajar dari Pondok Pesantren Al
Munawwir Krapyak Yogyakarta”
Pengajar ilmu agama dan keterampilan hidup di Sekolah Sore
Pesantren Al Fatah merupakan relawan dari perguruan tinggi
negeri maupun swasta, baik dosen maupun mahasiswa. Kegiatan
di Pesantren Al Fatah selalu melibatkan warga sekitarnya. Sebulan
sekali waria non muslim siraman rohani di kapel Universitas
Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta atas upaya organisasi.
Pesantren Al Fatah membantu anggotanya yang terkena kasus
hukum, mengalami depresi dan persekusi melalui Waria Crisis
Centre, bekerjasama dengan LBH Yogyakarta; Fakultas Ushuluddin
UIN SUKA; dan Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa Yogyakarta.

GEDSI dan Agraria 121


Waria tergolong kelompok ekonomi lemah, mereka kerja hari
ini untuk hari ini. Sepanjang jalan hidupnya, waria termiskinkan
Mereka terpaksa pergi dari keluarganya tanpa modal, tanpa
keahlian, tanpa dokumen yang memudahkan mereka mendapat
pekerjaan layak. Menjadi pekerja seks, pengamen, pemulung,
sesungguhnya dijalani karena terpaksa. Lalu, mereka terganjal
perda-perda diskriminatif, sementara tidak ada yang membuka
lapangan pekerjaan bagi waria.

Penerimaan Masyarakat
Menurut KH Abdul Muhaimin (Selasa, 19 November 2019),
masyarakat tidak mengalami resistensi terhadap keberadaan
Pesantren Al Fatah. Di saat awal pindah dari Notoyudan ke
Kotagede, ia berkali-kali menerangkan pada masyarakat melalui
pengajian di Pesantren Al Fatah dengan isu kemanusiaan.
KH Abdul Muhaimin menerangkan, dalam Qur’an, deklarasi
kemanusiaan lebih final dari Declaration of Human Right. Allah
memuliakan bani adam (manusia) sebagai makhluk, hamba, dan
khalifatullah. “Saya harus menghormati waria karena mereka bani
adam dan mereka membutuhkan hak keagamaannya. Pemenuhan
hak warga negara itu sebenarnya kewajiban negara.”
KH Abdul Muhaimin menjelaskan penerimaan masyarakat
atas keberadaan dan aktivitas Pesantren Al Fatah melalui jalan
panjang, apalagi lokasi Pesantren Al Fatah merupakan basis
Muhammadiyah, “Bahkan RT di lokasi itu bilang, ‘sudah, kalau
ada Pak Kyai tidak apa-apa,’ sebelumnya tidak pernah ada
gangguan apapun,” ujarnya. Gangguan pertama kali baru tahun
2016 itu, oleh Front Jihad Islam (FJI) bersamaan dengan maraknya
isu LGBT, “Itu isu politik, kalau perlu digunakan ya digunakan,
kalau tidak ya tidak,” lanjut KH Abdul Muhaimin. Pesantren Al
Fatah dibantu beberapa LSM seperti ANBTI, PKBI, dan LBH untuk
masalah hukum.

122 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sekretaris Camat Banguntapan mengakui pihaknya
mengetahui keberadaan Pesantren Al Fatah dan membenarkan
bahwa tidak ada konflik Pesantren Al Fatah dengan masyarakat,
“Kegiatan mereka mengaji dan mereka tidak tinggal menetap,
meskipun belum jelas legalitasnya.”
Sikap pembelaan KH Abdul Muhaimin pada hak-hak
kemanusiaan waria berbuah tuduhan oleh FJI bahwa ia pendukung
LGBT, “Saat Al Fatah digeruduk FJI, saya tidak diundang pihak
pemerintah sehingga tidak berkesempatan menjernihkan
keadaan.” Sebagai pemuka agama, ia merasa wajib melayani,
melindungi, memenuhi hak-hak keagamaan waria, “Kok gampang
menuduh saya mendukung LGBT? Mereka tiba-tiba menghakimi
waria sesat, harus tobat dulu sebelum ibadah, saya ditanya apakah
saya bisa menormalkan waria?” kata Pengasuh Pondok Pesantren
Tahfidz Qur’an Nurul Ummahat, Prenggan, Kotagede, Kota
Yogyakarta itu.
Untuk mengurai persoalan waria, perumusan Fiqh Waria
antara Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Jepara dengan
Pesantren Al Fatah dilakukan sekitar 2015 lalu, atas inisiasi
kyai yang juga menggeluti isu Keistimewaan DIY ini. Baginya,
Pesantren Al Fatah sudah mengubah penghidupan waria menjadi
lebih baik dan bermartabat, perlahan-lahan. Persekusi FJI pada
2016 lalu sempat membuat warga Jagalan dan pegiat Pesantren Al
Fatah berjarak, namun kini situasi kembali pulih seperti sediakala.
Jenny berpendapat, pelabelan proLGBT bagi para pembela
hak-hak waria tidak relevan karena mereka bertindak berdasarkan
kemanusiaan. Kecurigaan, kebencian, kejijikan, dan ketakutan
pada waria muncul karena kurangnya pemahaman terhadap
waria, “Homophobia terhadap waria imbang antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki berprasangka waria agresif, perempuan
berprasangka waria galak.”.

GEDSI dan Agraria 123


Shinta Ratri menambahkan, gejala konservatisme
dalam beragama para pemeluknya turut ambil bagian dalam
merawat homophobia, “Konservatisme dalam beragama dapat
menyuburkan radikalisme dan intoleransi, jika pemeluknya tidak
hati-hati.”
Senada dengan Shinta Ratri, Hairus Salim, salah satu penulis
buku riset Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas
di Yogyakarta (2017), menemukan praktik main hakim sendiri
(vigilantisme) terhadap kelompok tertentu, termasuk waria,
dilandasi akar masalah, salah satunya di wilayah teologis,
“Mereka menganggap kerusakan lingkungan, sosial, ekonomi,
budaya bukan karena salah urus, tapi akibat pelanggaran hukum
agama menurut tafsir mereka,” jelasnya melalui wawancara via
telepon (Rabu, 20 November 2019). Sehingga, reaksinya mudah
menyalahkan, menghakimi, dan menghukum.
Persekusi oleh kelompok intoleran tidak menyasar pada
kelompok ekonomi kuat meskipun mereka sangat mudah dilabeli
serupa waria. Jenny mengungkapkan kekesalannya, “Mereka
tidak inklusif, berperilaku dan berpenampilan seperti waria
untuk pekerjaan, atas nama seni.” Menurut Hairus Salim, modal
mampu membeli keamanan sehingga kelompok kuat bisa bebas
dari persekusi.

Waria dan Keistimewaan DIY


Sepuluh tahun terakhir, Shinta Ratri merasakan perubahan
sikap pemerintah dan masyarakat secara luas terhadap waria.
Dulu ia dan komunitas waria sering dilibatkan sebagai juri masak
lomba peringatan HUT RI. Festival Kesenian Yogyakarta (FKY,
tahun 2022 menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta, keterangan
penulis) yang diikutinya terakhir tahun 2010. Kegiatan budaya di
desanya pun ia tak lagi dilibatkan. Pesantren Al Fatah memilih

124 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
jalurnya sendiri untuk turut memajukan wisata budaya melalui
pertunjukan tari nusantara dan kuliner. Bahkan, ketika Desa
Jagalan akan lomba desa di tingkat kabupaten, pengurus kampung
justru memintanya menutup pintu dan sembunyi, “Maaf ya
Bu Shinta, hasil keputusan rapat panitia kemarin, Ibu harus
tutup pintu dulu,” ujar Shinta Ratri mengenang intoleransi yang
dialaminya, “Mungkin mereka cemas tidak akan juara, padahal
dengan kami sembunyi juga tidak juara.”
Dinas Kebudayaan DIY memberikan fasilitasi berupa
dukungan program kegiatan, bentuknya perhelatan (event)
seni yang ada di masyarakat. Fasilitasi program ini dibiayai
pemerintah melalui Dana Istimewa. Yuliana Enny Lestari Rahayu,
Kepala Bidang Pemeliharaan Pengembangan Adat Tradisi,
Lembaga Budaya dan Seni Dinas Kebudayaan DIY menyatakan,
komunitas waria bisa mengakses fasilitasi program tersebut.
Caranya, mengajukan proposal dan secara administrasi sanggar
atau kelompok seninya minimal terdaftar di kecamatan, lebih
utama terdaftar di kabupaten, dan mempunyai Surat Keterangan
Terdaftar (SKT) atau Nomor Induk Kesenian (NIK) yang
diterbitkan Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota di mana kegiatan
berada, idealnya sanggar atau kelompok seni berbadan hukum.
“Dasar kami adalah SKT dan Proposal, kami tidak membeda-
bedakan jender,” ujar Kepala Bidang yang membawahi Seksi Adat
Tradisi, Lembaga Budaya dan Seni ini (Jum’at, 22 November 2019).
Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Seni pada bidang
tersebut, Purwiyati, menyebutkan SKT atau NIK tujuannya
sebagai bank data saja, tidak untuk menyulitkan. “Namun,
belum ada kelompok waria yang mengajukan proposal untuk
memperoleh fasilitasi program” ujarnya (Jum’at, 22 November
2019). Terkait FKY, ada kelompok waria yang ikut serta dalam FKY
2019 di Malioboro, meski sedikit.

GEDSI dan Agraria 125


Di era Keistimewaan DIY ini, Perda DIY No 1 Tahun 2014
tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis dirasakan waria
menjadi ancaman tak hanya bagi waria yang bekerja di jalanan,
namun juga waria yang mengekspresikan jati dirinya di tempat
kerja, jalan, mall, dan pasar. “Ada poin bahwa waria berekspresi
transpuan atau mereka yang berjenis kelamin laki-laki tetapi
menyerupai perempuan, akan ditindak walaupun tidak ngamen,”
ujar Jenny. Menurut paralegal LBH Yogyakarta ini, isu orientasi
seksual dipolitisasi untuk memperbanyak orang, menguatkan
prasangka terhadap waria, dan ada kepentingan lebih besar,
sementara waria tidak punya backing. Sementara itu, Hairus Salim
menjelaskan, pelaku vigilantisme memanfaatkan isu-isu tertentu
untuk negosiasi ruang-ruang bisnis, menyerang komunitas
rentan cara paling aman.
“Jogja sudah hilang budayanya. Istimewa sekarang hanya untuk
kelompok tertentu, untuk sebagian orang yang merasa istimewa,
tapi tidak istimewa untuk orang-orang yang terpinggirkan secara
ekonomi dan sosial,” ujar Jenny menutup perbincangan.

126 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Ketika Trah ‘Bissu’
Menolak Membisu
Soal Hak Agraria
Rully Malay

Keluarga saya menyikapi keragaman gender adalah hal yang


sangat biasa karena di dalam garis keturunan saya ada trah yang
seperti saya, beliau adalah seorang Bissu. Meskipun keluarga saya
berlatar belakang militer, mereka sangat menghargai keberagaman
sehingga saya mendapatkan kesempatan tumbuh kembang sebagai
anak secara wajar karena tidak mengalami perlakuan diskriminasi
maupun tekanan. Orang tua saya selalu memberi saya kebebasan
dalam mengembangkan bakat dan minat saya. Meskipun sejak
saya kecil orang tua cenderung untuk memperkenalkan saya pada
ekspektasinya, mungkin menginginkan saya menjadi seorang
anak laki-laki yang tumbuh menjadi heteroseks dan manly, tetapi
secara faktualnya saya justru tumbuh dan berkembang sebaliknya.
Saya kecil merupakan atlet dari olah raga karate, pencak silat,
dan semacamnya, bahkan saya pernah memperoleh medali emas
dalam PON 1973. Latar belakang kehidupan saya yang sangat ketat
dan disiplin mengajarkan saya banyak hal, kemudian ketika besar
hal tersebut menjadi sangat bermanfaat. Coming out sebagai
transpuan cukup dini yaitu sekitar usia 13 tahun, saat saya duduk
di SMP. Dan saat itulah orang tua saya persisnya bisa menerima
keadaan saya.
Dampak secara psikis buat saya adalah saya bisa berkembang
sewajarnya anak-anak, tumbuh dan berkembang sehingga saya
memiliki perspektif kebebasan berpikir dan belajar menghargai
demokrasi sebagaimana orang tua saya mendidik saya. Dan
dampak secara fisik kemudian saya tumbuh kembang menjadi
seorang transpuan secara alami, tanpa menggunakan rangsangan
hormon/terapi hormon tetapi saya berkembang secara alami tidak
menggunakan silikon karena saya percaya diri saya secara fisik.
Walaupun saya secara fisik berjenis kelamin laki-laki, namun saya
merasa diri saya sebenarnya perempuan karena sedari kecil sudah
berbeda postur tubuh, misalnya memiliki bentuk payudara yang
lebih menonjol, kemudian bokong yang lebih besar, dan rata-rata
anak laki-laki pada seusia saya. Kemudian saya menjadi percaya
diri dan merawat keadaan fisik saya dan saya menghargai dan
belajar bersyukur bahwa itu semua pemberian Gusti Allah yang
menciptakan saya, tentu tidak ada yang sia-sia di balik penciptaan
makhluk yang berbeda dengan orietasi seksual dan entitas gender
yang berbeda dari laki-laki atau perempuan pada umumnya.
Tuhan tentunya bermaksud agar kita bersyukur menjadi apapun
dengan orientasi dan jenis kelamin apapun kita tetap wajib harus
bersyukur dan menerima ini adalah bagian dari takdir dan kita
tidak boleh pergi dari keluarga karena keluarga adalah ruang aman
yang paling utama. Ketika kita coming out di dalam keluarga ini
akan memberikan kesempatan kita akan diterima, disayangi, dan
dicintai sepenuhnya sebagaimana anggota keluarga yang lain.
Secara umum, masyarakat dan negara terutama menyikapi
keragaman gender sebagai sebuah bentuk penyimpangan
atau pengingkaran terhadap takdir, padahal ini hanya karena
perspektif mereka akan keragaman gender itu sendiri belum

128 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
cukup baik. Kalau mereka menengok sejarah masa lampau,
misalnya keberadaan para Bissu di kampung saya yang sudah
eksis sejak abad XIV, mereka akan tahu persis bahwa mereka
sudah eksis dalam kehidupan sosial masyarakat bahkan dalam
kerajaan. Para Bissu ini dulu sudah menjadi perantara dalam
setiap ritual, doa, baik di upacara-upacara adat, upacara-upacara
keagamaan masyarakat Bugis kuno, dan ini dikisahkan dengan
baik dalam epos La Galigo, bisa dicari bacaannya. Begitu pun di
Jawa, misalnya di Jawa Timur, ada cerita atau histories tentang
para transpuan yang melestarikan budaya Ludruk, para transpuan
yang melestarikan budaya Lengger Lanang di Jawa Tengah, atau
penari-penari tayub yang ada di Purworejo, penari Ndolalak, itu
banyak transpuan. Bahkan di dalam karya sastra Serat Centhini
dijelaskan mengenai keadiran transpuan di dalam masyarakat
dalam suku Jawa itu sudah biasa dan menyatu dengan peradaban
adiluhung mereka. Kemudian bagaimana dampaknya terhadap
mereka dalam pasar kerja? Tentunya sangat kurang. Transpuan
itu biasanya menjadi pekerja mandiri karena mereka selalu
mendapatkan stigma sehingga ada diskriminasi dan pemerintah
tetap sama sekali menyikapi secara subordinasi, membenarkan
pendapat mayoritas, dan mengabaikan hak asasi mereka sebagai
manusia, sebagaimana amanat UU No 39 Tahun 1999 dan UUD
1945. Yang jelas dalam tujuan nasional bangsa ini menyebutkan
negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Kawan-kawan transpuan yang sudah menjadi bagian
dari peradaban adiluhung bangsa ini kemudian terabaikan hingga
mereka di dalam hal akses pekerjaan yang layak seringkali tidak
bisa didapatkan. Kenapa? Karena mereka kurang mendapatkan
penerimaan dari keluarga dari masyarakat, kemudian sistem di
dalam negara mendikriminasikan keberadaan dan keragaman
dari mereka itu. Mereka tidak diberi kesempatan yang sama

GEDSI dan Agraria 129


untuk mendapatkan skill, pendidikan yang baik, di dalam layanan
publik.
Salah satu dampak dari stigma yang dilekatkan pada mereka
dan penolakan dari orang-orang terdekat, masyarakat, bahkan
sistem di dalam negara itu, kemudian mengabaikan mereka,
bahkan tidak memperoleh identitas KTP sebagai prasyarat
utama dalam memperoleh pelayanan dasar. Dampak dari tidak
memiliki KTP ini sangat panjang, kemudian mereka tidak bisa
mendapatkan hak-hak dalam pelayanan kesehatan, pendidikan,
pengembangan ekonomi, kesempatan kerja, bahkan dalam akses
warisan pun kemudian hilang. Mereka kemudian menghadapi
persoalan-persoalan lebih lanjut misalnya kesempatan untuk
bisa memperoleh hak tanah, misalnya dalam hal jual beli, karena
pun menjadi sulit sehingga mereka tidak punya tempat tinggal
dan kehidupan yang layak. Kebanyakan kawan-kawan transpuan
terutama yang tidak diterima oleh keluarganya sepenuhnya
menggantungkan diri pada komunitasnya yang kemudian juga
akses untuk mendapatkan tempat pemakaman yang layak pun
menjadi sangat sulit. Nah dampak ini juga akan berimbas pada
persoalan jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, bahkan
jaminan hari tua dalam bentuk bantuan-bantuan sosial, itu
sulit diakses karena mereka tidak terdaftar di dalam struktural
pemerintahan di masyarakat. Padahal, jelas-jelas ia hidup di
bawah garis kemiskinan meskipun sudah berpuluh tahun ada
di lingkungan itu, sering kali dilewatkan dari pencatatan atau
pendataan akses untuk mendapatkan jaminan sosial.
Dampak yang paling sederhana adalah kesulitan untuk
memperoleh tempat tinggal, misalnya kos-kosan, ketika pemilik
kos-kosan mengetahui bahwa ia adalah seorang transpuan
biasanya mereka cenderung untuk menolak kecuali pada
kasus-kasus tertentu. Bahkan ketika meninggal, untuk mencari

130 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
pemakaman, benar-benar masih sulit. Kita masih bersyukur ada
layanan publik di Dinas Sosial, yang kemudian bisa memfasilitasi.
Tetapi kemudian secara kelayakan, secara manusiawi itu juga
belum cukup karena pada dasarnya kalau pemakaman yang
dimiliki oleh Dinas Sosial itu tidak diperkenankan nama mereka
pada batu nisan, kebanyakan diberi label Mr. X. Ini adalah hal-hal
yang sangat memprihatinkan secara kemanusiaan, bahkan yang
tragis ketika ada (misalnya) salah satu individu yang mempunyai
maksud untuk menghibahkan tanah pemakaman biasanya ketika
rembugan serta merta itu akan ditolak oleh keluarga yang lain.
Ini adalah salah satu pengalaman yang pernah kami alami di
Yogyakarta.
Di Indonesia sendiri, secara prinsip pelayanan publiknya
boleh dikatakan 50:50, cukup ramah, bisa menerima. Dalam
konteks sebagai warga negara dengan pembedaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan secara biner, seringkali misalnya dalam
pengurusan identitas kependudukan, akte kelahiran, ataupun
pengurusan paspor dan visa, tetap menggunakan nama lahir
sesuai yang tertuang di dalam KTP dan di dalam pelayanannya
pun rata-rata tidak ada permasalahan secara prinsip. Namun,
secara teknisnya tentu kembali kepada individu yang memberikan
pelayanan di layanan publik. Kemudian sedikit menjadi kendala
ketika masuk kepada persoalan pengadilan, misalnya untuk
proses mengganti nama sesuai dengan kenyamanannya, masih
sering terjadi judgement, sebelum masuk ke proses pengadilan
baik oleh orang terdekat maupun oleh petugas-petugas layanan.
Yang cukup ramah adalah layanan kesehatan, karena tentunya
ini juga dampak dari isu kesehatan reproduksi (kespro) maupun
HIV/AIDS yang cukup lama berkembang di Indonesia, terutama
secara nasional sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No
75 Tahun 2006 hingga pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS
melalui Perpres No 125 Tahun 2016, tapi dampaknya sudah cukup

GEDSI dan Agraria 131


lumayan, memberikan sisi lain yaitu lebih ramahnya pelayanan
publik terutama di bidang kesehatan, kalau di Yogyakarta saya
kira cukup familiar karena banyak sekali petugas pelayanan
di rumah sakit, dokter, maupun paramedis itu sudah sangat
familiar dengan kawan-kawan transpuan. Tapi, tentu tidak di
semua daerah, ada beberapa daerah yang sangat mainstream
perspektifnya dan tentu saja penyelenggara negara dan layanan
publik juga ikut mainstream, sebut saja di Aceh, Sumatera Barat,
Jawa Barat sebagian kota tertentu seperti Depok dan Bogor,
Makassar itu memang sedikit mainstream. Hal-hal ini kemudian
menyulitkan kawan-kawan untuk mendapatan pelayanan publik
yang berkualitas apalagi sudah terkait dengan hal-hal yang berbau
pendidikan, akses politik, akses promotif yang lain-lain. Ini masih
merupakan tantangan yang sangat besar. Termasuk juga akses
untuk penggunaan tanah atau pemberdayaan tanah masyarakat,
katakanlah ruang-ruang usaha untuk kawan-kawan transpuan
jika berada di ruang publik sungguh sulit, jika tidak ada bargaining
position yang bagus, misalkan ada relasi keluarga atau relasi bisnis
yang kuat, tetapi kalau untuk transpuan kelas ekonomi menengah
ke bawah itu masih sangat sulit.
Yang spesifik mungkin untuk ruang ibadah karena ini sedikit
sensitif, merujuk apa yang menjadi pengalaman kami di Pondok
Pesantren Waria Al Fatah misalnya, pernah terjadi kekerasan,
serangkaian tekanan, dan puncaknya pernah digeruduk pada 18
Februari 2016, tentu ini pengalaman pahit yang menyakitkan.
Ruang ibadah yang seyogyanya disediakan seluas-luasnya
kemudian menjadi sangat sempit. Tentu hal ini terkait dengan
kenyamanan transpuan sendiri dan muslim secara mayoritas
tentu mungkin akan terganggu kalau melihat ada transpuan
bergabung dan shalat bersama di masjid, kawan-kawan transpuan
memikirkan bagaimana caranya untuk tetap bisa beribadah
secara spesifik, misalnya di tempat sendiri, seperti yang

132 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dilakukan di Pondok Pesantren Waria Al Fatah. Itu pun ternyata
mendapatkan tekanan dan serangan-serangan dari kelompok-
kelompok mainstream yang berpikiran binner dan masih selalu
membenarkan hanya cara berpikirnya, hanya menurut mereka
yang paling benar adalah mereka sendiri. Padahal, kami pun
sebagai transpuan merasa bahwa Gusti Allah itu Maha Damai,
Maha Pengasih dan Penyayang kepada semua umat-Nya, juga
transpuan, tentu saja tidak ada yang sia-sia dengan penciptaan
transpuan, kami juga selalu berafiliasi kepada pengabdian dan
dedikasi untuk sesama manusia, untuk Gusti yang menciptakan,
serta alam semesta ini. Sangat sulit untuk mendapatkan ruang
publik yang bisa memberikan akses yang baik untuk beribadah,
seperti kami mencari tempat baru ketika harus pindah karena
satu dan lain hal, misalnya ketika alm. Ibu Shinta Ratri meninggal,
tentu secara otomatis kami tidak punya tempat lagi dan harus
mencari dan itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa
mendapatkan tempat itu. Jika mereka mengetahui bahwa itu
digunakan untuk ruang publik, untuk beribadah Transpuan, itu
masih sulit diterima di lingkungan itu karena mereka tetap punya
kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, akan dampak-dampak yang
kurang baik padahal itu jelas kalau ruang ibadah kan tujuannya
baik.
Lembaga yang mengawal isu keragaman gender tidak
banyak, di Indonesia yang saya ketahui hanya sekitar 50-an,
dan di Yogyakarta sendiri ada sekitar 6. Di setiap lembaga pun,
tidak banyak jumlah Human Right Defender, paling-paling hanya
terdiri dari pengurusnya yang tidak lebih dari 10 orang, kemudian
ada relawan dan anggota yang berbasis seperti itu (keragaman
gender), ada juga beberapa peneliti yang konsen dan menghargai
keberagaman gender.

GEDSI dan Agraria 133


Kalau secara data kependudukan sendiri, untuk transpuan itu
terdata sekitar 37.000 orang (Data Base Program HIV/AIDS 2018),
saya kira jumlahnya jauh lebih banyak dari yang terdata. Belum
lagi kawan-kawan lesbian (perempuan) dan kawan-kawan queer
(termasuk gender fluid) lainnya. Saya pikir jumlah mereka cukup
banyak tetapi tidak teridentifikasi karena boleh dikatakan hidden
(orientasi seksual tersembunyi oleh jenis kelamin biner).
Kalau berangkat dari pengalaman pribadi saya sendiri, saya
kesulitan untuk mendapatkan akses atas kepemilikan tanah
dalam proses jual beli. Saya kira juga termasuk hak dalam warisan
dan lain-lain, karena biasanya kawan-kawan transpuan banyak
yang pergi jauh dan tidak pulang ke rumahnya. Biasanya, mereka
tidak pernah menanyakan soal warisan dan secara otomatis akan
dialihkan oleh saudara dan keluarga terdekatnya.
Apalagi persoalan nama, bagi mereka yang sudah lama
coming out sebagai traspuan, kadang-kadang mereka di tempat
yang berbeda sudah berproses dengan nama mereka yang baru,
dan itu biasanya dilakukan melalui proses pengadilan dengan
wali hakim, kalau itu sudah terjadi secara otomatis itu sulit untuk
mendapatkan akses menurut saya, untuk mendapatkan hak atas
tanah, hak warisan dan lain sebagainya. Kemudian persoalannya
ialah kawan-kawan transpuan begitu lama meninggalkan
tempatnya sehingga tidak memiliki surat kepindahan
kependudukan, sehingga mereka di tempat yang baru juga sulit
untuk mengakses legalitas kependudukan. Nah, beruntung
ketika Covid -19 kemarin, hikmahnya orang jadi mudah untuk
mengakses kependudukan karena harus menjalani vaksinasi, lalu
ada semacam kemudahan yang diperoleh rekan-rekan Transpuan
untuk mengurus akses KTP.
Terkait tempat pemukiman, saya pikir juga mendapatkan
kesulitan karena orang-orang masih punya stigma dan diskriminasi

134 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
yang tinggi, sehingga kalau mereka mengetahui bahwa tempat
tersebut akan dibeli oleh seorang transpuan itu pasti mereka akan
berusaha memprioritaskan yang bukan transpuan karena mereka
tentu akan memikirkan kenyamanan dari orang-orang lain yang
perspektif mereka masih biner.
Akses untuk mendapatkan modal juga otomatis sulit
karena berangkat dari kesulitan untuk mendapatkan akses
kependudukan, legalitas, kemudian akses untuk memperoleh
pendidikan dan pekerjaan yang layak, tentu saja berimbas pada
kesulitan mereka (transpuan) dalam memperoleh modal untuk
usahanya. Apalagi di dalam regulasi di Indonesia itu tidak ada satu
pun UU yang secara spesifik berani merujuk keberadaan kawan-
kawan transpuan, kalaupun itu ada, misalnya di nomenklatur
kementerian sosial atau pemberdayaan perempuan tidak ada yang
spesifik merujuk pada kawan-kawan transpuan, paling berani
(mengggunakan istilah) kelompok minoritas atau penyandang
permasalahan sosial. Itupun pengakuannya atas perspektif biner.
Harapan kami dalam hal memperoleh hak atas tanah, dalam
hal-hal yang terkait urusan dengan agraria, Reforma Agraria harus
mencakup hal-hal keseluruhan dan komprehensif, termasuk
aspek gender (tidak ada diskriminasi berdasarkan ekspresi gender
apapun)/seksualitas (tidak ada diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin, termasuk mereka yang terlahir intersex/berkelamin
ganda). Setiap WNI berhak atas perlakuan yang sama di dalam
kepemilikan atas tanah, termasuk juga unutk mendapatkan tepat
untuk pemakaman (seperti yang disingung di awal).
Peran Waria Crisis Center (WCC) adalah menciptakan ruang
aman bagi kawan-kawan transpuan yang mengalami kesulitan
akses terutama di dalam situasi, tekanan sosial ekonomi maupun
politik. Khususnya untuk kawan-kawan lansia yang mereka di masa
tuanya tidak memiliki tabungan hari tua, tidak memiliki keluarga

GEDSI dan Agraria 135


yang memberikan dukungan, mereka tidak bisa membayar
tempat tinggal, dan tidak bisa masuk ke panti, sehingga WCC
menyediakan ruang aman untuk mereka, dengan memfasilitasi
(paling tidak) tempat tinggal dan ketika mereka sakit maupun
saat mereka meninggal, walaupun pemakamannya hanya di
tempat pemakaman Dinas Sosial, dan biasanya ada persyaratan
harus dimasukkan dalam kategori tidak dikenal (Mr. X), tidak
boleh dicantumkan namanya di batu nisan. Hal-hal ini kurang
manusiawi, dan itulah kenapa WCC terus memperjuangkan
hak-hak kawan-kawan transpuan untuk perlakuan yang adil,
yang lebih memanusiakan mereka. Begitu pula dalam aspek
untuk memberikan perlindungan pada intervensi mental health
karena ketakutan, karena serngkaian kehidupan mereka di jalan,
yang selama ini telah memberikan tekanan secara psikologis
terhadap mereka, dan kesulitan untuk memperoleh pekerjaan
yang layak, hingga mayoritas menjadi pengamen atau pemulung
di jalan, sehingga mereka mengalami hambatan secara kesehatan
mental. Kemudian terkait hal-hal kedaruratan, misalnya situasi
pandemi kemarin, peran WCC sangat besar dalam mengakomodir
kebutuhan dapur umum, amunisi nutrisi, obat-obatan dan lain
sebagainya. Termasuk juga memfasilitasi kawan-kawan yang
harus melakukan isolasi mandiri karena berbagai tempat yang
telah disediakan oleh pemerintah juga sangat terbatas dan dari
aspek kenyamanan mungkin masyarakat juga tidak bisa menerima
kawan-kawan transpuan untuk gabung di shelter isolasi mandiri.
Fungsi lain WCC tentunya ialah melakukan advokasi,
pendekatan-pendekatan resolusi konflik atas kawan-kawan
transpuan yang tidak diterima oleh keluarga, ada pendampingan
terhadap kasus kawan-kawan yang berhadapan dengan hukum,
termasuk kasus pembunuhan terhadap transpuan. Juga terkait
dengan bagaimana ke depan aspek pemberdayaan ekonomi untuk

136 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kawan-kawan transpuan merupakan hal yang diprioritaskan oleh
WCC.
Istilah LGBT (Lesbian Gay Bisex dan Transeksual) bagi
transpuan adalah pembunuhan karakter karena dengan merujuk
istilah tersebut, orang sudah apatis terlebih dahulu. Jadi,
perspektif yang biner terhadap kelompok queer itu memang
masih sangat sulit untuk bisa disetarakan. Perlu waktu yang cukup
lama dan mungkin juga ruang-ruang dan kesempatan untuk
bisa memberikan pemahaman yang baik mengenai keberadaan
kawan-kawan transpuan. Misalnya penyerangan terhadap Ponpes
Waria Al Fatah dengan tuduhan bentuk penistaan agama, orang
yang akan belajar beragama dan beribadah kepada Tuhan kok
disebut penistaan. Aneh sekali di negeri ini menyebut diri sebagai
negara beragama tetapi zonder perlindungan pada penganut
agama minoritas. Karena perspektif yang mereka miliki berbeda,
karena mereka menuntut bahwa kalau mau beribadah harus tobat
dulu. Nah, kami menjadi seperti ini karena given, karena ciptaan,
bukan karena jadi-jadian, bukan karena style, model, pengaruh
dari Barat, memang ada sejak jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sehingga, perspektif masyarakat yang biner tersebut yang perlu
dibangun kesadarannya terlebih dahulu agar terbangun ruang-
ruang penghargaan terhadap keragaman aspek gender.
Lisan: 16-18 November 2023
Transkrip rekaman: 18 November 2023

GEDSI dan Agraria 137


Tanah Penyandang Disabilitas
Purwanti

Hak Atas Tanah Bagi Penyandang Disabilitas


Negara Indonesia sebagai negara hukum juga mengatur tentang
tanah didalam undang undang dan kebijakan kebijakan
turunannya. Pada dasarnya secara konstitusi Negara Indonesia
menjamin dan melindungi hak setiap warga negara untuk
memiliki tanah. Apa itu hak atas tanah? Hak atas tanah adalah
hak yang dimiliki seseorang atau kelompok untuk memiliki,
menggunakan, dan menguasai tanah secara sah. Hak atas tanah
dapat diperoleh melalui berbagai cara, seperti pembelian, warisan,
pemberian, atau pengalihan hak dari pihak lain.
Hak atas tanah memiliki beberapa bentuk diantaranya :
1. Hak Milik atau disebut juga Hak Kepemilikan. Hak milik
memberikan pemilik tanah hak penuh untuk memiliki,
menggunakan, dan menguasai tanah sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Pemilik tanah memiliki kebebasan
untuk menjual, menyewakan, atau mengalihkan hak atas
tanah tersebut.
2. Hak Guna Usaha. Hak guna usaha memberikan hak kepada
seseorang atau badan hukum untuk menggunakan dan
memanfaatkan tanah negara atau tanah milik orang lain
untuk kegiatan usaha tertentu. Hak ini biasanya diberikan
dalam jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang.
3. Hak Guna Bangunan. Hak guna bangunan memberikan
hak kepada seseorang atau badan hukum untuk memiliki
dan memanfaatkan bangunan yang berada di atas tanah
orang lain. Pemegang hak guna bangunan dapat memiliki,
menggunakan, dan menguasai bangunan tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
4. Hak Pakai: Hak pakai memberikan hak kepada seseorang
atau badan hukum untuk menggunakan dan memanfaatkan
tanah milik orang lain untuk jangka waktu tertentu. Hak
ini biasanya diberikan kepada pihak yang membutuhkan
tanah untuk kepentingan tertentu, seperti pembangunan
infrastruktur atau kegiatan sosial.
Secara hukum hak atas tanah diatur dalam :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945). Undang Undang ini merupakan dasar
hukum utama yang mengatur hak atas tanah di Indonesia.
tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.
UUPA merupakan undang-undang yang mengatur tentang
hak atas tanah dan pengaturan agraria secara umum. UUPA
memberikan dasar hukum untuk kepemilikan, penggunaan,
dan pengalihan hak atas tanah.

GEDSI dan Agraria 139


c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Undang-Undang ini mengatur tentang hak atas tanah dalam
konteks rumah susun atau apartemen. Undang-Undang ini
memberikan perlindungan dan pengaturan khusus terkait
kepemilikan dan penggunaan tanah untuk rumah susun.
d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Rumah Susun
Sederhana Sewa. Undang-Undang ini mengatur tentang
hak atas tanah dalam konteks rumah susun sederhana
sewa. Undang-Undang ini memberikan perlindungan dan
pengaturan khusus terkait kepemilikan dan penggunaan
tanah untuk rumah susun sederhana sewa.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.
Hak atas tanah berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia
tanpa terkecuali. Hak atas tanah ini juga berlaku bagi penyandang
disabilitas. Sebagai warga negara Indonesia Penyandang
disabilitas memiliki hak yang sama dengan orang lain dalam
hal kepemilikan, penggunaan, dan pengalihan hak atas tanah.
Namun demikian, dalam beberapa kasus dibutuhkan adanya
perlakuan dan / atau perlindungan khusus yang diberikan kepada
penyandang disabilitas untuk tujuan memastikan bahwa mereka
dapat memanfaatkan hak atas tanah dengan adil dan setara. Hak
atas tanah bagi penyandang disabilitas didasarkan pada prinsip-
prinsip perlindungan hak asasi manusia dan kesetaraan. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan terkait hak tanah bagi penyandang
disabilitas, diantaranya:
1. Aksesibilitas: Tanah yang dimiliki atau digunakan oleh
penyandang disabilitas harus memenuhi persyaratan
aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Misalnya,
jika seseorang menggunakan kursi roda, tanah tersebut harus
memiliki akses yang mudah dan ramah bagi kursi roda.

140 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
2. Modifikasi. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk
melakukan modifikasi pada tanah mereka sesuai dengan
kebutuhan mereka. Misalnya, membangun ram yang dapat
diakses oleh kursi roda atau memodifikasi pintu agar lebih
mudah diakses.
3. Perlindungan hukum. Hukum perlindungan disabilitas juga
berlaku dalam konteks hak atas tanah. Sebagai contoh hak
perlindungan hukum atas tanah bagi Penyandang disabilitas
adalah melindungi hak-hak penyandang disabilitas terhadap
diskriminasi atau penyalahgunaan tanah oleh pihak lain.
4. Bantuan pemerintah. Pemerintah dapat memberikan
bantuan atau fasilitas khusus kepada penyandang disabilitas
dalam hal kepemilikan atau penggunaan tanah. Ini bertujuan
untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki
kesempatan yang sama untuk memiliki dan memanfaatkan
tanah.
Berikut adalah beberapa dasar hukum yang mungkin relevan
dalam konteks hak atas tanah bagi penyandang disabilitas:
a. Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas, Konvensi
ini mengakui hak-hak penyandang disabilitas, termasuk
hak atas tanah. Negara Indonesia yang telah meratifikasi
konvensi ini dengan mengesahkan Undang – Undang No.
19 tahun 2011 tentang Ratifikasi UNCRPD untuk itu Negara
Indonesia diharapkan untuk mengadopsi langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan penyandang disabilitas
dapat menikmati hak atas tanah secara setara dengan orang
lain.
b. Undang-Undang Hak Asasi Manusia (DUHAM) melalui
Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Negara Indonesian memiliki undang-undang hak asasi
manusia yang melarang diskriminasi terhadap penyandang

GEDSI dan Agraria 141


disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hak
atas tanah. Undang-undang ini dapat melindungi penyandang
disabilitas dari diskriminasi dalam akses, penggunaan, atau
kepemilikan tanah.bahkan penyandang disabilitas masuk
dalam hitungan kelompok rentan untuk itu sangat penting
adanya pelindungan bagi penyandang disabilitas.
c. Undang-Undang Aksesibilitas: Beberapa negara memiliki
undang-undang yang mengatur aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas. Undang-undang ini dapat mencakup persyaratan
aksesibilitas untuk bangunan, fasilitas, dan lingkungan,
termasuk tanah. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa
penyandang disabilitas dapat mengakses dan menggunakan
tanah dengan mudah. hal ini diatur melalui Undang – Undang
R.I No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dan.
d. Kebijakan Pemerintah: Pemerintah juga dapat mengeluarkan
kebijakan atau program khusus untuk mendukung hak atas
tanah bagi penyandang disabilitas. Ini dapat mencakup
bantuan keuangan, subsidi, atau fasilitas khusus untuk
memfasilitasi kepemilikan atau penggunaan tanah oleh
penyandang disabilitas, diantaranya : Permen PU No. 29/
PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan
Gedung; Permen PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung;
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang – Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung; Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 30/PRT/M/2006 Tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas pada bangunan dan lingkungan; Panduan
Pelayanan Aksesibilitas pada Bangunan dan Lingkungan,
Lembaga Pelayanan Sosial Penyandang Cacat, Departemen
Sosial RI Tanun 2005; Permen PUPR No. 14 tahun 2017;
Keputusan mentri perhubungan No. KM. 71 tahun 1999

142 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
tentang aksesibilitas bagi penyandang cacat dan orang sakit
pada sarana dan prasarana perhubungan; Keputusan presiden
no 18 tahun 2000 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa instansi pemerintah; Peraturan Pemerintah
No.42 tentang Aksesibilitas terhadap permukiman, Pelayanan
Publik dan perlindungan dari bencana bagi penyandang
disabilitas.
e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas: Undang-Undang ini memberikan perlindungan
dan pengaturan khusus terkait hak-hak penyandang
disabilitas, termasuk hak atas tanah. Undang-Undang ini
menjamin aksesibilitas dan kesetaraan bagi penyandang
disabilitas dalam hal kepemilikan, penggunaan, dan
pengalihan hak atas tanah. Undang undang ini juga mengatur
tentang hak dan sanksi yaitu :
' Hak keadilan dan perlindungan hukum untuk
Penyandang Disabilitas: C. memiliki dan mewarisi harta
bergerak atau tidak bergerak;
' Pasal 144 : Setiap Orang yang melakukan tindakan
yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau
hilangnya hak kepemilikan Penyandang Disabilitas
tanpa mendapat penetapan dari pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
' Pasal 145: Setiap Orang yang menghalang-halangi
dan/atau melarang Penyandang Disabilitas untuk
mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
143 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).

GEDSI dan Agraria 143


Tentang problem kapasitas hukum dan kepemilikan aset.
Mengenai kapasitas hukum atau cakap dan tidak cakap
secara hukum, dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang
penyandang disabilitas diatur dalam pasal 32 yang menyatakan
bahwa Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap
berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Merujuk pada
penjelasan pasal 32, dapat diketahui bahwa yang dimaksud tidak
cakap antara lain adalah orang yang belum dewasa dan atau di
bawah pengampuan. Adapun mekanisme pengampuannya diatur
dalam pasal 33 dari ayat 1 sampai dengan ayat 4. Mekanisme yang
persis sama dengan norma yang terdapat dalam KUH Perdata.
Dari rumusan pasal inilah dapat disimpulkan bahwa pembentuk
Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas
memang sepenuhnya mengadopsi sistem pengampuan yang
terdapat dalam KUH Perdata.
Didalam KUH Perdata menjelaskan tentang pengampuan
bahwa : “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah
pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah
pengampuan karena keborosan.” Pasal 433 KUH Perdata yang
mengatur mengenai pengampuan. Dalam pasal yang lain,
disebutkan bahwa :
“Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah: 1. anak
yang belum dewasa; (KUHPerd. 330, 419 dst., 1006, 1446 dst.) 2.
orang yang ditaruh di bawah pengampuan; (KUHPerd. 433 dst.,
446 dst., 452, 1446 dst.) 3. perempuan yang telah kawin dalam
hal-hal yang ditentukan undang-undang, dan pada umumnya
semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat
persetujuan tertentu.”

144 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sedangkan akibat Hukum dari orang yang ditaruh di bawah
pengampuan adalah:
1. Disamakan dengan orang yang belum dewasa (Pasal 452 ayat
1 KUH Perdata).
2. Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang
ditaruh di bawah pengampuan batal demi hukum (Pasal 446
ayat 2 KUH Perdata).
Penyandang disabilitas sebagai subyek hukum yang tidak
memiliki Kapasitas hukum berada dalam Pengampuan hal ini juga
berdampak pada kepemilikan aset baik harta bergerak maupun
tidak bergerak termasuk didalamnya adalah tanah. Beberapa
dampak yang terjadi diantaranya :
a. Penghilangan hak milik. Nama pemegang hak miliki atas
tanah atau aset bukan atas nama individu penyandang
disabilitas tetapi pengampunya dengan alasan pengampunya
yang akan menjamin kehidupan penyandang disabilitas
tersebut.
b. Perpindahan kewenangan dari hak milik kepada pengampu.
Nama pemegang hak milik adalah penyandang disabilitas itu
sendiri tetapi pengelolaan, penggunaan, pembuat keputusan,
pemegang kebijakan diserahkan kepada pengampunya.
Dengan demikian hak atas untuk memiliki dan mewarisi
harta bergerak atau tidak bergerak bagi penyandang disabilitas
bisa batal demi hukum oleh pasal tidak cakap hukum dan/atau
pasal pengampuan. Bahkan kasus kasus seperti ini sering sekali
terjadi di masyarakat, bahkan tidak melalui proses hukum.

Beberapa kasus penghilangan aset


a. Amat (30 th) bukan nama sebenarnya. Seorang disabilitas
Intelektual. dia menikah dan memiliki 2 orang putra dan

GEDSI dan Agraria 145


keduanya adalah disabilitas intelektual juga. Pak Amat anak
pertama dari 5 bersaudara. Kebun, rumah, tanah dan sawah
warisan dari orang tua pak Amat diserahkan kepada adik dari
Pak Amat dengan alasan yang akan menggantikan orangtua
dalam menjaga Pak Amat dan Keluarganya. Ironinya, Pak
Amat, ke 2 anaknya hidup menumpang di rumah sepupunya
di lain daerah dan sang istri bekerja di kantin milik sepupunya
ini untuk biaya hidup sehari hari. Ke 2 putra pak amat pun
tidak pernah disekolahkan.
b. Sinta (26 tahun) bukan nama sebenarnya. Seorang disabilitas
fisik. Sinta kakak pertama dari 3 bersaudara. Atas nama adat
dan kebaikan untu keluarga, maka Sinta harus menikah dulu
baru kemudian adik adiknya. Akhirnya sang ayah mencarikan
pasangan untuk Sinta dan menikahkannya. Ternyata tanpa
sepengetahuan Sinta, sang ayah membuat perjanjian dengan
suami Sinta bahwa sertifikat tanah warisan untuk Sinta
akan diserahkan kepada suami Sinta sebagai hadiah karena
bersedia menikah dengan Sinta. Dalam perjalanan hidup
ternyata tidak seindah harapan orang tua. Ternyata sang
suami selingkuh dan menikah lagi. Buah simalakama bagi
sinta, akan meninggalkan rumah dan suami, dia tidak tahu
akan kemana sementara bertahan sangat menyakitkan.
c. Santoso (22 tahun) bukan nama sebenarnya. Seorang
disabilitas mental yang sudah dinyatakan sembuh. Satu
ketika datang dengan tergopoh gopoh ke kantor hukum. dan
dia mengaku melarikan diri dari rumah sakit jiwa. Dengan
terengah engah dia cerita bahwa adiknya akan menjual rumah
peninggalan orang tua. Setelah di usut usut ternyata benar,
bahwa membawa Santoso ke Rumahsakit Jiwa sebagai bagian
persyaratan permohonan pengampuan. Karena keluarga
menganggap Santoso adalah disabilitas mental dan surat
penetapan pengampuan akan di pakai untuk proses njual

146 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
beli rumah sekaligus adiknya yang akan menjadi pengampu
untuk mengelola uang hasil penjualan rumah bagian Santoso.
Padahal informasi yang di peroleh dari sumber yang lain
menyatakan bahwa hasil penjualan rumah itu seluruhnya
akan dipakai sang adik untuk membayar hutang.
d. Satrio (32 tahun) bukan nama sebenarnya seorang disabilitas
netra. Tidak bisa membuat sertifikat tanah atas namanya
dengan alasan perlindungan keaman dari penipuan. Dengan
alasan tersebut maka sertifikat tanah diatasnamakan sang
istri dengan alasan bahwa sang istri adalah non disabilitas.

Aksesibilitas dan akomodasi yang layak


Selanjutnya beberapa elemen bangunan publik/umum yang
harus aksesibel bagi penyandang disabilitas, diantaranya :
a. Aksesibilitas Fisik.
1. Area Parkir: tempat parkir kendaraan dan daerah naik-
turun untuk kendaraan penyandang disabilitas.
2. Jalur Pedestrian: jalur yang digunakan untuk berjalan
kaki atau berkursi roda bagi penyandang disabilitas
secara aman, nyaman dan tak terhalang.
3. Jalur Pemandu: jalur yang digunakan bagi pejalan
kaki, termasuk untuk penyandang disabilitas , yang
memberikan panduan arah dan tempat tertentu.
4. Kamar Kecil. fasilitas sanitasi yang mengakomodasi
kebutuhan penyandang disabilitas .
5. Lift: alat mekanis-elektris yang digunakan untuk
pergerakan vertikal di dalam bangunan.
6. Pancuran/shower. fasilitas mandi dan pancuran yang
mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas .
7. Perabot: barang-barang perabot atau furniture bangunan.

GEDSI dan Agraria 147


8. Perlengkapan & Peralatan. semua perlengkapan dan
peralatan bangunan seperti alarm, tombol/stop kontak,
dan pencahayaan.
9. Pintu. tempat-masuk keluar halaman atau bangunan
yang mengakomodasi kebutuhan bagi penyandang
disabilitas .
10. Rambu: tanda-tanda bersifat verbal (dapat didengar),
bersifat visual (dapat dilihat), atau tanda-tanda yang
dapat dirasa atau diraba.
11. Ramp. jalur jalan yang memiliki kelandaian tertentu
sebagai pengganti anak tangga.
12. Sarana transportasi baik sarana transportasi darat, laut,
udara, kedaruratan.
13. Jalan raya.
14. Pemakaman.
15. Permukiman
16. Hunian dan perumahan.
b. Aksesibilitas Non Fisik
1. Kebijakan : contohnya kebijakan terkait proses
penanganan hak kepemilikan tanah baik secara litigasi
maupun non litigasi.
2. Sikap misalkan : etiket berinterakasi dengan penyandang
disabilitas.
3. Dokumen dan surat berharga contoh : dokumen sertifikat
dalam bentuk visual yang dilengkapi dengan maket, atau
sertifikat dilengkapi dengan dokumen breile dan denah
timbul, dan lain lain.
c. Akomodasi yang layak.
Akomodasi yang layak dalam bentuk layanan :
1. perlakuan nondiskriminatif;
2. pemenuhan rasa aman dan nyaman;

148 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
3. komunikasi yang efektif;
4. pemenuhan informasi terkait hak Penyandang Disabilitas
dan perkembangan proses kepengurusan dokumen
(waris, pengurusan sertifikat, dll);
5. penyediaan fasilitas komunikasi aksesibel termasuk
penerjemah;
6. penyediaan standar pemeriksaan standar pemberian jasa
litigasi dan non litigasi untuk pengurusan tanah.
7. penyediaan Pendamping Disabilitas.
8. Pendamping hukum contohnya Advokat memberikan
Bantuan Hukum kepada Penyandang Disabilitas dalam
proses peradilan dan kepengurusan dokumen (waris,
pengurusan sertifikat, dll);

Akomodasi yang layak dalam bentuk Sarana dan prasarana


1. komputer dengan aplikasi pembaca layar;
2. laman yang mudah dibaca oleh Penyandang Disabilitas;
3. dokumen tercetak dengan huruf braille;
4. dokumen dalam bentuk file yang bisa di baca oleh program
pembaca layar
5. media komunikasi audio;
6. papan informasi visual;
7. media komunikasi menggunakan tulisan dan bentuk visual
lainnya;
8. alat peraga; dan/atau
9. gambar;
10. maket;
11. dan lain lain

Rekomendasi
1. Salah satu Hak penyandang disabilitas adalah memiliki
dan mewarisi harta bergerak atau tidak bergerak; untuk itu

GEDSI dan Agraria 149


seyogyanya aset, surat berharga, sertifikat, rekening bang dan
lain lain menggunakan atas nama diri pribadinya sendiri.
2. Dokumentasi surat-surat berharga, sertifikat, rekening
bank dan lain lain seyogyanya aksesibel bagi penyandang
disabilitas. Sebagai conton untuk disabilitas netra difasilitasi
dokumen sertifikat tanah dalam bentuk huruf cetak (sesuai
standar agraria) dan di terbitkan dalam bentuk breil (huruf
timbul).
3. Pengampuan tidak lagi relefan dengan UNCRPD untuk itu
yang dibutuhkan adalah Supported Decision-Making atau
Dukungan yang diberikan Untuk Mengambil Keputusan.
Sehingga keputusan berada pada penyandang disabilitas itu
sendiri bukan pada pengampunya.
4. Pihak yang berwenang (notaris, Badan Pertanaan, pemerintah,
penegak hukum, dll) sangat penting memastikan penyandang
disabilitas mendapatkan pelindungan dan hak nya secara
adil.
5. Menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi
penyandang disabilitas dalam proses litigasi dan non litigasi
dalam pengurusan aset dan kepemilikan tanah.
6. Menyediakan pendamping dan atau Supported Decision-
Making dalam proses litigasi dan non litigasi dalam
pengurusan aset dan kepemilikan tanah serta dalam proses
proses pengambilan keputusan.
7. Data yang aktual, muthakir dan komperhensif tentang
penyandang disabilitas.

150 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
C.
Hak Asasi Manusia dan
Agraria
Masih Kecil Sudah Terkucil,
Hidup pun Terancam Redup1
Kus Sri Antoro

Anak-anak Parangtritis bertahan dari dampak penggusuran dan bisnis


hiburan sarat mirasantika (minuman keras dan narkotika), ada yang
putus sekolah karena kekerasan dan rasa malu, ada yang meneruskan
hidup dengan trauma panjang dalam diam, ada yang aktif merokok dan
mengonsumsi miras.

Catatan: para narasumber yang namanya dicetak tebal menghendaki


identitasnya disamarkan namun informasinya disampaikan utuh, penerbitan
artikel ini sudah melalui pemeriksaan dan persetujuan para narasumber
tersebut.

Legenda pers Indonesia, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin),


pernah menulis Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis
ketika Orde Baru berkuasa. Akibatnya, pada usia 32 tahun Udin
diabadikan karena warta. Di Parangtritis, apa yang ditulis Udin
menjadi sejarah penggusuran berulang-ulang, bertahun-tahun
kemudian.
Parangtritis salah satu primadona wisata di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Tak hanya wisata pantai, namun juga ziarah

1 Versi awal tulisan ini diterbitkan dalam www.selamatkanbumi.com, diterbitkan ulang untuk
tujuan pendidikan, utamanya isu Hak Anak atas Agraria, Marjinalisasi Perempuan, dan
Agraria Pesisir yang dominan non pertanian.
yang terkadang dibumbui prostitusi. Seiring waktu, Parangtritis
berkembang menjadi kawasan penginapan, bisnis hiburan malam,
dan atraksi di gumuk pasir. Pengembangan fungsi kawasan itu
disertai penggusuran yang mengorbankan penghidupan warga,
tak terkecuali kaum perempuan dan anak.
“Pengosongan; penataan; penertiban atau penggusuran di
Parangtritis sekurangnya sudah enam kali”, ujar Kawit (59) saat
ditemui di sela-sela meracik daging untuk mie ayam (25 Februari
2020).
Sejauh yang ia ingat, gusuran pertama; kedua dan ketiga tahun
2007. Pertama, 7 rumah digusur di Karangbolong. Kedua, kurang
lebih 100 rumah di timur sungai Parangkusumo yang saat ini jadi
relokasi Mancingan XI. Ketiga, kurang lebih 117 keluarga di barat
sungai Parangkusumo di sekitar Masjid Cepuri. Gusuran keempat
tahun 2009 di selatan petilasan Cepuri yang kini ditempati lagi
jadi warung-warung. Gusuran kelima tahun 2010, kurang lebih 150
KK di barat dan timur jalan menuju pantai Parangkusumo, tapi
dihadang warga. Terakhir 2016, sekitar 63 KK di zona inti gumuk
pasir.
Kawit tinggal di Parangtritis sejak 1999, saat itu Parangtritis
masih sepi dari hunian, hanya ramai pada malam Selasa dan
Jumat Kliwon, saat kegiatan ziarah disertai prostitusi berlangsung
di sekitar Cepuri.
“Anak-anak menangis karena sepulang sekolah tiba-tiba
tidak punya rumah. Orangtua mereka pingsan,” lanjut Kawit yang
berdagang mie ayam dengan penghasilan rata-rata Rp. 500.000
per bulan ini. Tahun 2007, mereka bertahan di tenda-tenda karena
relokasi belum ada.
“Desember 2016, saya kehilangan gubuk untuk tempat tinggal
sekaligus sanggar belajar anak-anak yang sudah berjalan sejak

154 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Juli” lanjut pendiri dan pengasuh Sanggar Kuncup Melati Mandiri
(SKMM) di Parangtritis ini.
Bagi Sarijan (51) yang ditemui seusai mencari rumput (25
Februari 2020), keberadaan SKMM penting karena anak-anaknya
bisa terbantu saat kesulitan memahami pelajaran di sekolah
maupun menghadapi situasi pascagusuran, lewat SKMM anak-
anak juga terdidik akhlaknya di tengah kepungan bisnis hiburan
malam yang mencemaskan.
Tahun 2007-2016 keluarga Sarijan langganan pindah paksa,
meskipun mereka warga asli Grogol VII, Parangtritis, Kretek,
Bantul.

Dampak Penggusuran
Bersama adik mereka Tampan (7), Nakula (14) dan Sadewa
(14) menyaksikan penggusuran terhadap rumah berdinding
bambu 4 x 6 m yang mereka huni di gumuk pasir pada 2016, saat
sepasang kembar itu duduk di kelas 5 dan 6 SD, sementara adiknya
belum TK.
“Kalo lihat bego (alat berat) jadi ingat gusuran yang dulu-
dulu, jadi sedih, jadi malas ngapa-ngapain,” ungkap Nakula yang
kini duduk kelas 8 SMPN 2 Kretek (26 Februari 2020).
Nakula aktif di SKMM 2016-2018, sebelum sanggar itu
vakum karena kekurangan relawan pengajar. Menurut Nakula,
kegiatan di SKMM berangsur-angsur membuatnya terhibur dan
tidak teringat-ingat lagi kehilangan tempat berlindung. Ia tetap
semangat belajar dan membantu orangtuanya membuat arang,
memasak, dan merawat peliharaan. Nakula menyukai IPA dan
ingin masuk SMK jurusan Ilmu Komputer. Ia tak ingin mengalami
penggusuran lagi.

Hak Asasi Manusia dan Agraria 155


Seingat Kawit, selama aktif di SKMM, Sadewa tampak
sebagai anak cerdas, prestasi akademiknya di atas rata-rata, gemar
membaca dan jago matematika. Namun, penggusuran telah
mengubah batin dan hidup Sadewa.
“Anak saya sekarang tidak mau bicara dengan sembarang
orang, bicara cuma sama bapaknya, membatasi pergaulan, putus
sekolah karena shock, minder, dan memperoleh perlakuan tidak
menyenangkan di sekolah gara-gara penggusuran,” ungkap ayah
Sadewa (25 Februari 2020).
Seharusnya Sadewa duduk di kelas 9. Meski putus sekolah,
Sadewa tidak putus belajar, ia berlatih membuat arang dari kayu
yang terdampar di pantai, bikin sumur pantek, menyambung
kabel, dan pintu sederhana. Akibat penggusuran, Sadewa kini
menutup diri dan menyepi. Ekonomi keluarganya terpuruk
lebih dari 4 tahun, mereka harus bertahan dengan penghasilan
maksimum 1 juta per bulan.
Ayah Nakula dan Sadewa tidak berniat memindahkan anak-
anaknya ke luar daerah meski terancam penggusuran maupun
dampak bisnis karaoke, “Parangtritis tanah kelahiran anak-anak
saya. Kalau pindah, mereka bisa tidak mencintai tanah air.”
Menurut Kawit, bagi keluarga miskin korban penggusuran di
Parangtritis, pindah bukan perkara mudah.
Dijumpai di rumahnya yang berdinding bambu (26 Februari
2020), Kunti (40) hidup bersama anak keduanya, Karna
(16), yang ia rawat seorang diri karena ayah biologisnya tidak
bertanggungjawab. Postur bongsor dan gestur tubuh anak itu
menyamarkan usia sesungguhnya.
Kunti asli Solo, ia memulai hidup di Parangtritis sebagai
Pekerja Seks Komersial (PSK) tahun 2001-2005 karena depresi;
pedagang produk instan (2006); tukang pijat (2009-2018); dan

156 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
laundry (2019). Penyebab depresi Kunti ialah anak pertamanya
yang berusia 7 bulan diambil paksa keluarga suaminya untuk
diasuh iparnya. Ia lalu memutuskan meninggalkan suami, meski
memendam rindu pada anak pertamanya bertahun-tahun.
“Parangtritis itu tempat pelarian orang-orang bermasalah
yang masih ingin hidup, di sini latar belakang orang tidak
dipertanyakan. Status orang tidak jadi soal,” kata Kunti, tiga
bulan terakhir ia menjalani pengobatan herbal untuk memerangi
kista, usaha laundry terpaksa terhenti.
Kunti mengalami penggusuran Parangtritis pertama kali
tahun 2007 di sekitar Cepuri, sedangkan Karna menyaksikan
penggusuran 2010 dan 2016. “Tahun 2007 itu orang-orang teriak
‘garukan, garukan!’, kami ketakutan lari menyelamatkan diri
dari garukan (razia), ternyata itu gusuran,” Kunti mengenang
kacaunya situasi.
Menurut Kunti, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bantul
No 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten
Bantul menjadi momok bagi para PSK dan pemilik penginapan
untuk prostitusi. “Penghasilan saya 2001-2004 ada 3 juta per bulan,
2007 jadi 70 ribu per hari apalagi setelah Perda antiprositusi hanya
mengandalkan malam Selasa dan Jumat Kliwon, sejak 2019 jadi
200 per tiga hari,” pengakuan Kunti.
Penggusuran dan razia sangat berpengaruh bagi pendapatan
Kunti. “Pelanggan pijat dan cucian saya ya mbak-mbak LC (Lady
Companion atau pramuswara) itu, kalau karaoke sepi saya sulit
cari duit padahal saya sudah kapok jadi PSK atau LC, anak saya
makin besar, saya makin tua,” katanya, Kunti sebenarnya ingin
pulang kampung namun Karna ingin tinggal di Parangtritis. “Di
sini banyak teman dan bebas,” kata Karna yang berteman dengan
orang-orang dewasa.

Hak Asasi Manusia dan Agraria 157


Di Parangtritis, bisnis hiburan malam berupa karaoke mulai
beroperasi tahun 2009, sebagai peralihan usaha penyewaan kamar
dan prostitusi. “Perda antimiras dan prostitusi membuat semua
bisnis di Parangtritis sepi,” ujar Banowati (50), seorang pembakal
bisnis karaoke saat ditemui di rumahnya (26 Februari 2020),
sebelumnya ia membuka penginapan untuk PSK di Yogyakarta
(1996) dan Parangtritis (1998).
“Dulu sebelum krisis moneter gampang cari duit, penghasilan
saya di Jogja bisa 3 juta per malam, pindah sini masih bisa 4 juta,
semakin lama semakin sulit” kata ibu dari Pembarep (25) dan
Ragil (15) ini, “garukan ngaruh banget, setahun bisa 3 sampai
4 kali, alasannya macam-macam: bulan puasa, tahun baru,
Agustusan (HUT RI), bahkan klithih (kekerasan remaja),” keluh
pengusaha yang kini penghasilannya merosot jadi Rp. 1.500.000
per malam atau 50 % sejak penggusuran 2016, baik karena operasi
aparat maupun kompetisi.
Meskipun digusur atau dirazia berkali-kali, bisnis karaoke
tidak surut, hanya berpindah tempat. Pada 2016, jumlah kios
karaoke di Grogol X (Parangkusumo), Parangtritis, Kretek, Bantul
sebanyak 35 rumah. Setelah penggusuran Zona Inti Gumuk Pasir
2016, mereka sempat pindah ke Srigading (Samas), Sanden, Bantul,
kemudian razia aparat dilakukan setiap dua hari, akhirnya mereka
kembali lagi ke Parangkusumo. “Tahun 2020 ada 50 kios,” kata
Banowati. Berkat kebaikan hati pihak tertentu, razia terkadang
bisa disiasati dengan cara menutup semua kios sebelum jadwal
razia.
Ditemui di kantornya (2 Maret 2020), Hariadi, Staf Database
Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), mengungkapkan
bahwa penggusuran tidak serta merta menyelesaikan masalah.
“Bisnis karaoke di sekitar Bandara Yogyakarta International

158 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Airport (YIA) Kulonprogo kini marak, barangkali sebagian
pelakunya pindahan dari Bantul.”
Menurut Banowati, penggusuran di Parangtritis akan
membuat 700 orang di lingkungan bisnis karaoke menganggur,
itu belum termasuk warga yang menggantungkan hidup dari
bisnis karaoke seperti laundry, pijat, kos-kosan LC, jasa antar
jemput, kurir, warung makan, dan pemulung. Meskipun belum
pernah digusur, menurut Banowati penggusuran juga membuat
anak-anaknya trauma karena hidup tidak pasti. “Pembarep ingin
saya kembali ke desa di Grobogan, Jawa Tengah, Ragil ingin saya
membeli aset tanah di Parangtritis. Usaha saya terkendala ijin
karena tidak ada IMB, karena tanah tidak bersertipikat,” keluhnya.
Banowati bercerita, Ragil menyaksikan langsung gusuran di
Bukit Duri Jakarta tahun 2016, “Ragil tidak mau jadi Satpol PP,
dia sedang mempersiapkan diri jadi polisi, ikut paskibraka dan
kegiatan bhayangkara di SMA.”

Dampak Bisnis Hiburan Malam


Sarijan merasa khawatir hidup berdampingan dengan bisnis
karaoke karena membahayakan kesehatan tubuh dan mental
anak-anaknya. Ia mendapati sampah karaoke berserakan di
sembarang tempat, berupa pecahan botol kaca, plastik bungkus
makanan, dan kondom. Anak-anaknya sering menemukan botol-
botol miras yang disembunyikan. “Karaoke tidak aturan, kadang
mulai jam 18.00 sampai 05.00 WIB, mengganggu waktu belajar
dan istirahat. Musiknya keras, bising,” ujar Sarijan.
Menurut Sarijan, anak-anak sering mendengar umpatan
pelanggan, melihat perkelahian dan perilaku tidak pantas
pengunjung dan LC. “Bahkan anak tetangga saya ada yang disuruh
antar miras,” ungkap Sarijan, tukang merangkap petani dan
peternak kecil ini menghuni rumah tembok 8 x 6 m di atas lahan

Hak Asasi Manusia dan Agraria 159


Sultanaat Grond (SG) yang dijadikan relokasi di Grogol X bersama
seorang isteri dan 5 anaknya.
Kunti juga sangat mencemaskan perkembangan anaknya
di lingkungan bisnis hiburan malam yang sarat mirasantika.
Seingat Kunti, dalam setahun ada 10 kasus narkoba di kawasan
bisnis karaoke Parangtritis. “Ada yang masuk bui” ujarnya, Kunti
khawatir anaknya bersentuhan dengan narkoba atau seks tidak
aman.
Menurut Banowati, karena pengunjung karaoke
menghendaki LC minum miras, pelecehan seksual kerap terjadi,
“LC yang kerja di tempat saya pernah protes, katanya tamunya
rese, raba-raba payudara, lalu daripada jadi ribut saya minta
berhenti saja, kebanyakan juga memilih off.”
Mariana Amiruddin, Komisioner Komisi Nasional Perempuan
RI, menanggapi situasi LC di Parangtritis yang dikondisikan
minum miras saat bekerja dan kerap mengalami pelecehan
seksual.
“Minum miras dan pelecehan sesungguhnya bukan bagian
dari pekerjaan, karena yang ingin minum miras ialah tamu bukan
LC. Itu artinya tak ada kesepakatan ketika LC dikondisikan
untuk minum miras lalu terjadi pelecehan. Jadi, posisi LC sangat
dirugikan, jangankan hak-haknya, penghormatan saja tidak ada”
jelas Mariana Amiruddin saat dihubungi via telepon (27 Februari
2020).
Menurut Mariana Amiruddin, kondisi perempuan dalam
industri hiburan sangat berisiko karena profesi itu dianggap tidak
terhormat, LC dianggap bukan pekerjaan. LC tidak dihormati
karena fungsinya sebagai penghibur, meski disebut Lady
Companion. Karena tidak ada penghormatan pada profesinya, LC
mudah dijadikan obyek seksual.

160 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Mariana Amiruddin menambahkan, kalau diperlakukan
terhormat, profesi ini tidak diperlakukan demikian. “Misalnya,
ada ketentuan LC dapat perlindungan jika tamu mengajak minum
sampai mabuk, karena itu berbahaya,” jelasnya, “karena tidak
dihormati maka LC tidak dilihat jam kerjanya, tidak dilihat kondisi
kesehatannya, bahkan diminta keluar kalau tidak mau melayani
konsumen, itu sama seperti sapi perahan. Itu eksploitasi.”
Kunti mengenang saudaranya, seorang LC yang sakit dan
tidak tertolong. “Famili saya mati muda, 19 tahun, anaknya
meninggal duluan karena gangguan pernapasan. Semasa hamil dia
masih giat jadi LC, tidak mau periksa meski kesehatan menurun
padahal Dinas Kesehatan menyediakan tes VCT (Voluntary
Counselling and Testing), jadinya tidak dapat ARV (antiretroviral).
LC kalau kerja selalu minum miras, ditambah asap rokok dalam
ruang tertutup ber-AC. Sini banyak LC yang tetap kerja pas hamil.”
Banowati membenarkan ada LC bekerja dalam keadaan
hamil, “LC yang hamil biasanya berhenti kerja saat hamil 7 bulan,
nanti setelah melahirkan jadi LC lagi. Semua risiko kesehatan
yang tanggung LC sendiri, termasuk denda Rp. 500.000 kalau
terjaring garukan”.
Terkait LC yang bekerja dalam kondisi hamil dan dikondisikan
minum miras, menurut Komisi Nasional Perempuan RI hal
itu pelanggaran yang lebih berat terhadap LC. “Saat LC hamil,
siapapun tahu perempuan dalam kondisi hamil harus mendapat
perlindungan dan jaminan kesehatan. LC punya hak untuk cuti,
istirahat, memikirkan kesehatan karena ia harus melahirkan
generasi manusia,” tutur Komisioner Komisi Nasional Perempuan
ini.
Menurutnya. apa yang terjadi di bisnis karaoke Parangtritis
adalah bentuk eksploitasi terhadap perempuan karena perempuan
jadi tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai ibu.

Hak Asasi Manusia dan Agraria 161


“Sama-sama bekerja di industri hiburan, bar tender saja
tidak minum miras, tidak seperti LC. Karena tujuannya untuk
dieksploitasi, LC jadi pihak yang tidak berdaya, tidak bisa
melakukan posisi tawar, mudah dijadikan obyek seksual, apalagi
ekonominya lemah karena jadi korban gusuran, sehingga tidak
punya pilihan selain diperbudak, tidak bisa meminta hak-haknya,”
ujar Mariana Amiruddin, menerangkan bentuk eksploitasi
perempuan dalam bisnis hiburan di Parangtritis.
Ditemui di kantornya (2 Maret 2020), Arief Winarko,
Staf Lapangan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN)
menyatakan bahwa anak usia usia 0-18 tahun harus dilindungi.
Terkait keberadaan LC di bawah umur, kata Kunti pada tahun
2016 terjadi razia dan mereka dipulangkan ke daerah asal di luar
DIY. Media lokal sempat memberitakan hal itu dan dikutip dalam
laporan SKMM ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menjelang peresmian SKMM pada Januari 2017.
“LC berumur 15-16 tahun juga pernah ada. Sekarang, LC harus
punya KTP,” ujar Kunti yang juga pernah menjadi LC dengan
penghasilan Rp. 25.000 per jam (2011), dari jam 18.00 hingga 03.00
WIB.
Arief Winarko membenarkan terdapat anak yang
dipekerjakan sebagai LC di Parangtritis pada 2016, saat SAMIN
melakukan investigasi bersama ECPAT (End Child Prostitution
in Asian Tourism) yang berbasis di Bangkok, Thailand. “Ada dua
anak, masing-masing 16 tahun, dari luar DIY” ujar Arief Winarko
(2 Maret 2020).
Arief Winarko menginformasikan, anak-anak itu dikoskan
di luar Parangtritis oleh pemilik karaoke, kebutuhannya dicukupi
namun dihitung sebagai hutang, mereka diupah Rp. 60.000- Rp.
200.000, memperoleh tips di luar tarif dari pelanggan, “LC anak

162 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
asal Medan adalah korban pedagangan manusia.”. Menurut Arief
Winarko, latar belakang pekerja anak-anak tersebut beragam, ada
yang dari keluarga brkoen home, Drop Out dari sekolah, putus
cinta, dan memenuhi gaya hidup.
Ditemui di kantor Polsek Kretek (27 Februari 2020), Kompol
S. Parmin, Kapolsek Kretek belum mengetahui laporan resmi
keberadaan LC anak-anak dari Polres Bantul karena baru menjabat
3 bulan dan belum melakukan pemeriksaan kembali ke lapangan
baru-baru ini untuk kasus serupa.
Mewakili Kepala Desa Parangtritis yang sedang melakukan
penertiban lanjutan di kawasan Gumuk Pasir, Ilyas, Kepala Seksi
Kesejahteraan Desa Parangtritis juga mengaku tidak memperoleh
aduan warga atau hasil laporan dari Kepolisian, Satpol PP maupun
Dinas Sosial, “operasi kepolisian dan hasilnya itu termasuk
informasi rahasia”, jelasnya (27 Februari 2020).
Karna bercerita, di sekolah ia memperoleh perundungan
akibat pekerjaan ibunya, bahkan ia pernah diusir dari pengajian
oleh temannya.
“Sudah biasa diejek sama anak-anak warga asli dan sesama
pendatang, terakhir dikeroyok sampai masuk rumah sakit, terus
berhenti sekolah,” Karna mengungkapkan alasannya putus
sekolah di kelas 6 SD, menurut ibunya Karna sempat gegar otak
ringan akibat kepalanya dibenturkan ke tembok. Pembedaan
identitas sebagai warga asli atau pendatang sering diterima Karna
dalam pergaulan.
Karna sempat ditawari bekerja sebagai operator karaoke,
tugasnya melayani pelanggan dan kebutuhan LC, baik itu sound
system maupun miras. Namun, Kunti tidak memperbolehkan,
“saya tidak ingin anak saya dekat-dekat dunia itu, apalagi belum

Hak Asasi Manusia dan Agraria 163


bisa urus orang mabuk, nanti bisa dipukuli. Kalau mau kerja nanti
setelah punya KTP.”
Tanpa segan, Karna mengakui ia sudah terbiasa merokok dan
mengonsumsi miras sejak putus sekolah. “Paling banyak minum
dua botol oplosan, tapi kalau obat atau narkoba belum pernah,
tidak boleh sama emak” ujar remaja yang ingin menjadi sopir itu.
Ia juga sudah tahu risiko jika hubungan badan dilakukan dengan
tidak sehat/aman, meskpun ia belum pernah melakukannya.
Pergaulan dengan orang dewasa membuat Karna banyak tahu. Ia
sering mendapati LC dan pelanggan berpelukan atau berciuman
di depan umum.
Nakula berkisah, semasa SD ia sering mendapati botol-botol
miras yang belum dibuka saat bermain bersama teman-temannya
di sekitar rumahnya. Ia pilih menjauh. Kendati demikian, teman-
temannya bercerita bahwa mereka patungan membeli miras dan
rokok untuk dikonsumsi bersama di malam hari.
“Teman-teman saya cerita bagaimana rasanya merokok dan
minum miras, menurut guru SMP saya miras dapat merusak
kesehatan dan mental, narkoba juga,” kata Nakula.
“Pengeluaran pelanggan untuk miras lebih tinggi daripada
untuk sewa room dan LC, meskipun pelanggan berkaraoke 2 jam.
Miras dicarikan di luar kawasan. Jika terjadi transaksi prostitusi,
itu di luar tanggungjawab pemilik karaoke, tidak ada prostitusi di
sini,” tutur Banowati yang juga mengambil untung dari transaksi
miras.
Kata Karna, harga miras Anggur Rp.100.000 per botol dan AO
Rp. 90.000 per botol. “Itu harga kenalan, kalau bukan kenalan bisa
lebih mahal. Biasanya 4-5 botol per room”, Karna menjelaskan
yang ia ketahui.

164 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Ketahanan Keluarga
Banowati melarang keras Ragil dan teman-temannya untuk
nyanyi di room karaoke, meski ongkos room dan LC terbilang
murah, yaitu masing-masing Rp. 50.000 per jam/per orang (2020).
Ia bahkan memisahkan rumah tinggal dan rumah usaha agar
anaknya tidak terganggu kebisingan karaoke yang ia dirikan dan
kelola dengan modal sendiri itu. “Anak saya pernah protes dengan
kebisingan, padahal kamar pisah rumah. Ia biasanya belajar jam
19, tidur jam 21.” Banowati berharap masih bisa membuka bisnis
karaoke karena memulai usaha baru baginya sudah sulit.
Kunti juga melarang keras anaknya untuk mencoba narkoba
dan seks tidak sehat. “Cuma dia yang saya punya, saya sangat
menyayanginya. Saya ingin bisa modali anak saya buka kios
bensin, rokok, dan jual pulsa kalau sudah punya KTP,” tutur Kunti
sambil berharap ia segera sembuh dari penyakitnya, ia sadar tidak
bisa melarang anaknya karena ia hidup dari apa yang ia cemaskan.
Sarijan membatasi anak-anaknya untuk bergaul dengan anak-
anak LC maupun pengelola karaoke, meskipun anak-anaknya
berteman dengan siapapun dan bisa menjaga diri.
Ilyas menerangkan bahwa SD Negeri 2 Parangtritis dulu
menjadi sekolah anak-anak warga Grogol VII, VIII, IX, X hingga
Mancingan XI, namun seiring tumbuhnya bisnis karaoke dan
banyaknya anak-anak pendatang yang orangtuanya LC, pelaku
bisnis karaoke, PSK, maupun pekerjaan lainnya yang bersekolah
di SD tersebut, para warga asli mempertimbangkan untuk
menyekolahkan anak-anaknya di tempat lain agar anak-anaknya
terhindar dari pergaulan yang buruk.
“Karaoke itu tidak memberikan manfaat pada warga asli
sekitar. Pebisnisnya, pekerja, dan pelanggannya orang luar,
perputaran uang di Parangkusumo yang menikmati orang
luar. Mereka bukan warga kami” jelas Ilyas yang berharap ada

Hak Asasi Manusia dan Agraria 165


penertiban di tanah SG dan area bisnis karaoke Parangtritis
menyambut Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Parangtritis-Samas
yang detilnya belum diketahui pemerintah Desa.
Terkait KEK Parangtritis-Samas, Kompol S. Parmin
menambahkan, “KEK tersebut akan dimulai 2021, tugas dan fungsi
kami mengawal biar aman. Kecamatan dan Desa sudah sinergi
karena agenda itu prioritas pertama (P1).”
Kunti menyebutkan ada sekitar 4 warga asli yang menyewakan
kos-kosan untuk LC, menyewakan rumah untuk karaoke, atau
punya kios karaoke, namun ia enggan menyebutkan identitasnya.
Ibu Nakula dan Sadewa bercerita bahwa di saat sulit,
keluarganya dibantu seorang pengusaha karaoke hingga cukup
untuk bangkit.
Banowati juga dikenal dermawan dan mudah membantu,
menurut Kawit. “Saat perwakilan warga kami diundang
audiensi DPR RI tahun 2015 karena masalah pertanahan, ongkos
transportasi dibantu dari pelaku karaoke,” kata Kawit.
SAMIN mengkampanyekan Perlindungan Anak Terpadu
Berbasis Masyarakat (PATBM), Salah satu kisah suksesnya di
Wukirsari, Imogiri, Bantul. “Melalui PATBM, dibentuk forum
anak di tingkat kabupaten hingga desa. Dalam forum anak itu
tidak dibedakan siapa anak siapa, semua punya hak yang sama
untuk berpartisipasi dalam Musrenbangdes,” jelas Arief Winarko,
agar anak secara perlahan bisa keluar dari jerat-jerat eksploitasi.

Upaya Titik Temu


Di lokasi bekas rumahnya, Hayamie (59) berpendapat
bisnis karaoke tanpa miransantika, tanpa keributan, dan santun,
barangkali membuat nyaman dan bisa dinikmati. “Kalau ada
karaoke ya yang enjoy, tidak seperti yang ada saat ini,” ujar

166 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Hayamie yang turut prihatin atas kesehatan mental dan fisik
anak-anak tetangganya di Parangtritis (25 Februari 2020).
Banowati berharap jika KEK Parangtritis dipastikan
mengulangi pengosongan, maka seluruh warga yang ada
dimanusiakan karena sama-sama mencari nafkah. “Tempat usaha
dan waktu yang cukup untuk menata hidup,” pintanya sembari
menanti Ragil yang tak kunjung pulang dari kegiatan di Polres
Bantul. Kunti berharap cukup kesempatan baginya untuk sehat
kembali, menabung dan memodali anak kesayangannya. Sarijan
berharap tidak digusur lagi, demikian pula keluarga Nakula dan
Sadewa.
Terkait eksploitasi perempuan dalam bisnis karaoke di
Parangtritis, Komisi Nasional Perempuan RI berpendapat bahwa
posisi hubungan kerja LC dan pemilik karaoke harus diperbaiki
jadi setara, “Relasi kerja harus diperbaiki, tujuan harus jelas setara
antara LC dan pemilik atau pelanggan. Mereka pekerja yang
harus dilindungi. Kalau itu profesi, harus ada hak dan kewajiban,
posisi harus setara antara LC dan pemilik karaoke,” ujar Mariana
Amiruddin, Komisioner Komisi Nasional Perempuan RI.
Menurut Arief Winarko, aturan dalam bisnis hiburan harus
ada dan ketat demi perlindungan anak. “Lokalisasi dan pelatihan
untuk peralihan profesi bisa menjadi alternatif selain penggusuran.
Namun, pelatihan dari pemerintah biasanya terkendala oleh
status pendatang dari warga. Pemerintah mengutamakan warga
asli sebagai peserta pelatihan,” ujar Arief Winarko menutup
perbincangan.
Hingga laporan ini disusun, KPAI belum merespon setelah
dihubungi pada 27 Februari 2020.

Hak Asasi Manusia dan Agraria 167


Perjalanan di Pinggir Sungai:
Catatan Kehilangan dan
Politik Agraria
Oleh: Wignya Cahyana

Bendera merah putih berkibar dengan gagah di puncak ilalang


yang bergoyang lembut oleh hembusan angin. Suasana waktu
itu menghadirkan kelembutan pada tanah yang masih basah
oleh embun pagi. Pinggiran sungai, yang belum tersentuh oleh
cahaya matahari, menyajikan gambaran gelap dan sunyi, seolah
tanpa penghuni. Namun, di gubug kecil di tepian itu, seorang
lelaki bernama Joyo Diguno tengah berdiam diri, sibuk dengan
urusan tanaman Gambir yang ditanaminya. Lembah terjal yang
membelah kota ini menjadi saksi bisu bagi kegiatan sepihaknya.
Lokasinya yang lebih rendah dari tanah kota membuat gubug
Joyo cukup terisolir dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan. Namun,
bukan tanpa alasan dia memilih penyendiran ini. Keyakinannya
pada Rikugun Nippon, yang dahulu ia anggap sebagai “saudara
tua,” runtuh tak bersisa setelah kejadian tragis yang melibatkan
adiknya. Joyo, yang kini hidup dalam pengasingan, mendapatkan
izin dari lurah setempat untuk mendirikan gubug, meskipun
harus berjanji agar tidak permanen. Alasan lurah yang terdengar
seperti mantra, “Itu tanah pasirnya Sultan,” menjadi tameng bagi
Joyo.

Di sekeliling gubugnya, pohon bambu menjulang,


menawarkan teduh pada sungai yang menari pelan. Semak
Gambir menutupi tanah dengan rimbun, dan di antara dedaunan
terdengar gemerisik, memperingatkan akan kehadiran ular
air yang melintas. Suara nyamuk menggema di udara, sesekali
menyerang kulit tubuh dengan gigitannya yang menyengat. Di sisi
timur sungai, batu-batu nisan berdiri kokoh di antara gerumbul
rumput Alang-alang, menciptakan pemandangan yang angker.
Di sebelah barat, air tanah mengucur deras, menciptakan aliran
yang membelah ladang sampah yang dibuang sembarangan oleh
warga kota. Joyo, tak jarang, menemukan mayat bayi tergeletak di
tengah tumpukan sampah itu.
Setiap kali ia mengubur mayat kecil itu, Joyo merasa dirinya
seperti bayi yang ditinggalkan. Kehidupannya yang terpencil mirip
dengan deretan nisan di seberang sungai, di tanah buangan di
mana kematian dan kebusukan kota dikubur. Kenangan akan masa
lalunya memuncak saat ia mengingat gerombolan Macan Putih
yang merampas lahan sawahnya. Tuduhan palsu menyebabkan
kekayaan hasil keringatnya lenyap begitu saja. Setelah itu, ia baru
menyadari bahwa lurah yang mengutuknya sebenarnya kalah
dalam judi melawan Macan Putih. Sawah Joyo Diguno dicoret dari
buku tanah desa sebagai pembayaran atas kekalahan lurah dalam
permainan judi yang merugikan.
DDD

“Merdeka!” pekik Joyo Diguno dengan semangat sebelum


mengayunkan kapaknya ke pohon Nangka yang berdiri kokoh.
Keputusannya untuk menebang pohon itu tidak semata-mata

Hak Asasi Manusia dan Agraria 169


untuk memenuhi kebutuhan kayu, tetapi sebagai tindakan
tegas untuk mengakhiri keberadaan gubug reyot yang selama
ini ia tempati. Tanah yang terpapar matahari, di tepi sungai yang
pernah sepi ini, akan menjadi tempat bagi rumah barunya yang
direncanakan dengan kayu Nangka yang kokoh. Walaupun Lurah
telah memberi peringatan keras untuk tidak membangun rumah
permanen, Joyo Diguno, dengan tekad yang bulat, tidak ingin lagi
menjadi korban pemerasan. “Ini tanahairku, ini masa depanku!”
bisiknya tegas, sementara matahari terbenam memberikan
sentuhan kehangatan pada wajahnya yang penuh semangat.
Hatinya berbunga, penuh harapan akan masa depan yang
cerah untuk keluarganya. Rumah baru yang lebih luas bukan
hanya untuknya dan istrinya, Boinem, tetapi juga sebagai tempat
yang akan melahirkan kenangan bagi generasi yang akan datang.
Di dalam rumah itu, Joyo Diguno bercita-cita untuk menganyam
tikar daun Mendong bersama Boinem, produk kerajinan tangan
yang nantinya bisa dijual di pasar kota. Untuk memberikan lahan
yang cukup luas bagi proses pengeringan daun Mendong, Joyo
tak ragu untuk membabat semak-semak lebih banyak lagi. Tahun
demi tahun berlalu, dan Joyo makin menguasai lahan di pinggiran
sungai, merasa beruntung karena sepi minat orang tinggal di sana.
Baginya, pinggiran sungai adalah sumber kebebasan.
Namun, pada suatu hari Lebaran yang penuh berkah, Joyo
Diguno memutuskan untuk membagi kebahagiaannya dengan
adiknya, Sarjono. Ia mengajak Sarjono untuk tinggal di pinggiran
sungai, menawarkan kesempatan emas untuk membangun
kehidupan yang lebih baik. Melihat perubahan positif dalam hidup
kakaknya sejak menjadi pengrajin Mendong, Sarjono tak tahan
untuk mengikuti jejaknya. Tanah sawahnya di desa ditinggalkan,
dan bersama istri serta anak-anaknya, Sarjono pun menempati
lahan yang telah disiapkan oleh Joyo. Tidak ada transaksi jual-

170 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
beli tanah, hanya permintaan Joyo Diguno untuk “ganti paculan,”
simbolisasi dari jerih payah saat membuka lahan dulu. Sarjono
menjadi warga baru di pinggiran sungai kota, membawa angin
segar perubahan.
Kabar perpindahan Sarjono tersebar cepat di desa asalnya, dan
seiring waktu, semakin banyak penduduk desa yang memutuskan
untuk mengikuti jejaknya. Joyo Diguno, yang awalnya merasa
sendirian di pinggiran sungai, kini menjadi tetua yang dihormati. Ia
mengambil tanggung jawab untuk mengatur kehidupan bersama
seluruh warga, agar mereka bisa hidup berdampingan dalam
damai dan keadilan. Bersama-sama, mereka merumuskan aturan-
aturan sosial dan kebiasaan gotong-royong dari desa asalnya tetap
dijaga dan dilanjutkan dalam kehidupan kota yang baru terbentuk.
Kebersamaan dan semangat gotong-royong menjadi pondasi bagi
komunitas yang tumbuh di pinggiran sungai, mewarnai kisah
hidup Joyo Diguno dengan nuansa kehidupan yang kreatif dan
harmonis.
DDD

Namaku Siswa, dan aku adalah anak dari Pak Sarjono,


lahir di pinggiran sungai kota yang tak pernah lepas dari cerita-
cerita menarik. Saat pertama kali matahari menyinari wajahku,
suasana yang tak biasa menyelimuti keberadaanku. Banyak
orang berkumpul di sekitar tempat tidurku, mungkin merayakan
kehadiran seorang anak di keluarga Pak Sarjono. Meskipun
belum mampu berjalan, introvertisme yang tumbuh dalam diriku
menghabiskan hari-hari di atas ranjang. Bantal dan selimut
menjadi teman setia, sementara noda-noda di dinding bambu
kamarku menjadi sahabat cengkerama batinku. Sering kali,
aku berbicara dengan noda gambar yang terhampar di dinding,
menciptakan dunia imajinatif di dalam kamarku.

Hak Asasi Manusia dan Agraria 171


Tidak pernah terbersit di pikiranku untuk bertanya mengapa
kerumunan orang begitu ramai mengelilingiku saat itu. Aku lebih
tertarik dengan suara melengking yang terdengar di kejauhan.
Suara itu menjadi pelipur lara, membawaku ke dalam dunia khayal
yang penuh misteri. Namun, tiba-tiba saja, suara “gedebuk” yang
tak terduga memecah keheningan, menjadikan dunia ini penuh
ketegangan. Orang-orang di sekitarku semakin merapat, dan
entah kenapa, tangan-tangan mulai menepuk-nepuk pahaku.
Dunia yang baru kukenali begitu penuh rahasia dan tak terduga.
Berpuluh-puluh bulan berlalu sejak saat itu, dan pada suatu
sore yang mendung, pandanganku terpaku pada beberapa bapak
yang dengan kasar menyeret becak masuk ke dalam kampung.
Becak-becak itu satu per satu dirantai, menciptakan suasana
yang tegang di tengah senja yang mulai memudar warnanya. Aku
memperhatikan percakapan mereka dengan hati yang tak karuan,
mencoba mengintip makna dari setiap kata yang mereka ucapkan.
Hari perlahan berubah menjadi gelap.
Tiba-tiba, ibuku muncul di belakangku. Tangannya
memegang erat tanganku, mengajak pulang. Aku diarahkan
oleh ibu untuk memasuki kamar setelah pintu rumah tertutup
rapat. Suasana tegang semakin terasa ketika mendengar suara
melengking yang familiar. Suara itu, yang pernah kudengar sejak
kecil, kembali menghiasi udara sore itu.
Bertanya-tanya, aku akhirnya menyuarakan pertanyaanku
kepada ibu tentang asal muasal suara yang menarik perhatianku.
“Itu suara pakaian Sultan yang sedang diarak keliling kota,” jelas
ayahku dengan tenang. Wajahnya menerangi ruangan dengan
sinar penuh makna. Aku, yang masih bocah dengan khayalan
naif, membayangkan baju jemuran yang diarak di jalanan aspal.
Namun, aku belum mengerti sepenuhnya jalan pikiran orang
dewasa. Suasana tegang yang menyelimuti kampung ketika suara

172 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
itu terdengar kembali menambah kebingunganku. Mengapa setiap
malam terdengar lengkingan sirine, dan esok paginya ada warga
yang meninggal dunia? Semakin lama, semakin tak terpahami
kehidupan yang tersembunyi di balik tirai kegelapan kota.
Bagi saya, kampung itu adalah sumber kebahagiaan yang
tak terhingga. Setiap pagi, embun menari-nari di helai daun,
menyelipkan kelembutan pada dunia yang terbangun dari tidurnya.
Uap air mengambang dari napas penghuni setia, memberikan
sentuhan mistis pada suasana pagi yang masih tenang. Pagi-
pagi buta, ketika matahari masih malu-malu memancarkan
sinarnya, saya suka mengunjungi batuan cadas yang tertutup
embun. Tetesan embun menggelantung bening di ujung daun
suflir, memantulkan cahaya pagi seperti permata alami. Di antara
seretan batu itu, seperti ritual harian, sepasang mata tajam milik
kelinci piaraanku menatap saya. Senyum manisnya mencairkan
pagi yang dingin, dan saya merendahkan diri untuk menyapanya,
mengusap pipi saya di bulu-bulu hangatnya.
Setiap hari, saya berpamitan pada pinggiran sungai sebelum
melangkah menuju sekolah. Sungai adalah teman lama saya,
dan kekaguman pada aliran air yang tak pernah surut itu sudah
tertanam sejak kecil. Di pinggiran sungai, saya menemukan
sahabat-sahabat setia: air yang mengalir dengan riuh rendahnya,
batu-batu yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu, pasir yang
menggoda untuk dijadikan mainan, dan ikan-ikan yang berlarian
di bawah permukaan air yang jernih. Mandi di sungai bukanlah
sekadar kebutuhan, tapi lebih kepada perayaan akan kebersamaan
dengan alam.
Bagi saya, sungai bukanlah sekadar parit, melainkan sebuah
dunia yang hidup dan penuh warna. Berdiri di tengah sungai,
saya bisa merasakan getaran ringan dari mata air yang menyentuh
telapak kaki. Saat menyelam, dunia bawah air membentang

Hak Asasi Manusia dan Agraria 173


seperti lukisan mozaik, menghadirkan batu-batu dengan beragam
bentuk dan warna yang tidak selalu bulat dan hitam, menjauhkan
diri dari mitos yang berkembang. Pepatah yang mengatakan
“udang selalu ada di balik batu” memang benar, tetapi sungai ini
juga menyimpan kejutan lain seperti kepiting, ikan sidat, kutuk,
dan lele yang muncul begitu saja.
Pada setiap petualangan di sungai, saya juga melibatkan
diri dengan pasir yang lembut dan halus. Pasir bukan hanya
bahan permainan biasa, melainkan identitas diri saya. Di balik
kelekatannya, pasir sungai menjadi simbol kehidupan saya yang
melebur antara subyek dan obyek, pemain dan mainan. Sebagai
anak sungai, saya selalu bersedia menjadi bagian dari permainan
alam sungai, di mana saya bisa bermain dan dipermainkan oleh
pasir yang menjadi sahabat setia setiap hari.
Ada kehadiran kawan-kawan musiman yang menjadikan
pinggiran sungai sebagai panggung permainan mereka. Saat
kemarau menapakkan kakinya, capung-capung beterbangan
di antara bunga kangkung yang menjalar indah di kolam kami.
Tak dapat dipercaya, capung pinggiran sungai begitu memukau
dengan keelokannya. Mereka terbang ringan seperti jarum
bersayap, berwarna-warni memikat hati; ada yang merah, kuning,
biru, hijau, ungu, dan yang paling istimewa, berwarna putih yang
langka. Aku memilih untuk menjadikan setiap sampel keringnya
sebagai koleksi pribadi, meletakkannya rapi dalam kotak pensil
yang membentuk sebuah museum kecil, selalu memukau mataku
setiap kali kutatap.
Saat senja tiba, burung-burung sriti mengejar matahari
terbenam, melintas di wajah sungai dengan lekuk-lekuk
indah. Hal ini memberi tanda bahwa saatnya untuk mandi.
Setelah itu, serangga-serangga mulai berdatangan, melengkapi
kehidupan malam di pinggiran sungai. Jika tak kunjung datang,

174 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
aku memanggil mereka dengan bau cabe khas, “Thethe boleyo,
lombok abang lombok ijo...”, sebagai panggilan ajaib untuk
menarik mereka keluar dari persembunyian mereka.
Teman-teman sejatiku adalah si Rendhet dan si Galah, dua
sahabat yang menjadi penghuni setia kolong jembatan. Rendhet,
anak pemulung, setiap hari memberiku karton bungkus rokok
yang aku kreasikan menjadi wayang atau boneka angkrek.
Terkadang, karton itu juga berubah menjadi kapal kecil, gelas
pasir, mahkota kepala, atau bahkan tas sekolah. Galah, si anak
copet, adalah partner bermainku dalam merayakan kebebasan di
pinggiran sungai. Bersamanya, aku menikmati main layang-layang
dan lomba lari lompat batu di tepian sungai. Kemampuannya
berenang membuat tubuhku terlatih lincah dalam berbagai
medan sungai yang berliku.
Namun, pada suatu siang sepulang sekolah, aku merasa
sesuatu yang tidak beres. Rendhet dan Galah tak kunjung muncul
di tempat biasanya. Aku memutuskan untuk memanjat tebing
jembatan yang biasa menjadi tempat permainan kami. Namun,
yang kulihat hanyalah arang hitam dan kepulan asap yang
menyelimuti bekas rumah mereka. Rumah yang menjadi tempat
tawa dan ceria kami habis dilahap api polisi beberapa jam yang
lalu. Air mataku tak dapat disembunyikan. Ini bukanlah kali
pertama hal serupa terjadi, namun rasa kehilangan dan duka yang
membekas tetap sama menggelayut di hatiku.
Kelak, pemahaman akan menjadi temanku setia, menyelinap
perlahan dalam hidupku. Aku menyadari bahwa anak-anak
pinggir sungai selalu mengalami kehilangan, seperti denyut nadi
yang tak pernah berhenti. Mereka, seperti anggota dari saeculum
playgroup yang indah, terus berganti kawan, tanpa perpisahan
yang diundang atau bunga yang menandai perpisahan. Sungai,
takdir mereka, adalah panggung yang selalu berubah, dimana

Hak Asasi Manusia dan Agraria 175


jaman dengan sombongnya mencuri saat-saat paling indah dan
tidak pernah mengembalikannya.
Sebagaimana yang kusampaikan, subyek menikahi obyek.
Anak-anak pinggir sungai, tak peduli betapa mereka mencintai
tempat itu, harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa
jaman bisa menggugurkan eksistensi mereka, menjadikannya
punah dalam sekejap. Seperti air yang mengalir tanpa henti,
begitulah kehidupan di tepi sungai, terus berubah tanpa ampun.
DDD

Perjalanan dewasaku disertai dengan kehilangan-kehilangan


yang semakin menyakitkan. Kali ini, aku menyaksikan kehilangan
yang lebih kompleks, melibatkan keluargaku sendiri. Kakak
sepupuku, anak dari Pakde Joyo Diguno, menjadi korban kebijakan
pemerintah yang tanpa ampun. Rumah yang ia tempati harus
dirobohkan karena di lokasi tanahnya akan dibangun sebuah hotel
megah. Pemerintah, dengan tangan dinginnya, menggugurkan
hak dan memaksa keluarga kami untuk mengikhlaskan rumah
yang menjadi saksi banyak kenangan.
Untuk menebus kehilangan tersebut, kakakku diberi ‘uang
kerahiman’ sebagai kompensasi, seolah-olah uang tersebut bisa
menggantikan semua yang telah hilang. Nyatanya, itu hanyalah
sedikit obat pelipur lara. Uang itu tidak cukup untuk membeli
rumah layak di kota, membuatnya terpaksa mencari tempat
tinggal di pedesaan yang jauh dari keramaian kota. Ia yang sejak
kecil terbiasa dengan kehidupan di tepi sungai, sekarang harus
beradaptasi dengan suasana baru di desa.
Pakde Joyo Diguno, yang dahulu membimbing ayahku untuk
pindah ke kota demi masa depan yang lebih baik, sekarang harus
melepas anaknya sendiri untuk tinggal di desa, hanya sebagai
pengontrak tanpa memiliki tanah yang bisa dipanggil sebagai

176 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
rumah sendiri. Inilah ironi perjalanan hidup, di mana satu generasi
terpaksa melepaskan kekayaan yang telah diwariskan oleh generasi
sebelumnya. Awalnya, aku berpikir bahwa ayahku masih memiliki
sebidang tanah di desa yang mungkin bisa ditempati oleh kakak
sepupuku. Namun, kenyataannya menyakitkan. Ayahku sudah
menjual tanah itu untuk membiayai sekolahku, membebaskan
diriku namun mengurung kakak sepupuku dalam kepiluan
kehidupan yang baru.
DDD

Cerita yang menggambarkan kehidupan di pinggir sungai


ini tidak hanya menjadi catatan pribadi tentang kehilangan dan
perubahan hidup seorang anak, tetapi juga mencerminkan realitas
politik agraria yang kompleks dan tak jarang penuh kontradiksi.
Di balik keindahan sungai dan kenangan manis anak-anak di sana,
tersembunyi narasi pahit mengenai hak atas tanah dan perubahan
lahan yang mungkin sering terjadi di berbagai wilayah.
Pertama-tama, cerita mencerminkan bagaimana kebijakan
pemerintah dalam penataan tanah bisa berdampak besar pada
kehidupan masyarakat. Pencabutan hak tanah untuk kepentingan
pembangunan, seperti pembangunan hotel dalam cerita, tidak
hanya merugikan secara materi, tetapi juga mengakibatkan
kehilangan hak berkesinambungan dan koneksi emosional dengan
tanah leluhur. Hal ini menggambarkan bahwa politik agraria yang
tidak berpihak kepada masyarakat dapat menghancurkan struktur
sosial dan lingkungan yang sudah ada.
Kemudian, terdapat juga peran kebijakan pembangunan kota
yang mungkin kurang memperhatikan aspek keberlanjutan dan
keadilan. Pembangunan infrastruktur yang terkesan mengabaikan
hak masyarakat lokal, seperti yang terlihat dari rumah Pakde Joyo
Diguno yang harus dirobohkan, menciptakan ketidaksetaraan
dan ketidakpastian di kalangan masyarakat. Hal ini menjadi

Hak Asasi Manusia dan Agraria 177


contoh nyata tentang bagaimana kebijakan agraria yang tidak
mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat lokal dapat
merugikan mereka secara langsung.
Terakhir, cerita ini menyentuh pada masalah transisi
generasional dan bagaimana warisan tanah bisa menjadi pemicu
perubahan drastis. Dalam konteks politik agraria, terlihat bahwa
generasi yang lebih tua mungkin terjebak dalam dilema menjual
tanah untuk membiayai pendidikan generasi penerusnya,
menciptakan ketegangan antara pemenuhan kebutuhan sekarang
dan pelestarian warisan budaya dan tanah leluhur.
Secara keseluruhan, cerita ini menciptakan panggung naratif
yang menggugah kesadaran akan kompleksitas politik agraria di
Indonesia. Pengelolaan tanah yang berpihak pada kepentingan
ekonomi semata tanpa mempertimbangkan keberlanjutan
lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dapat membawa
dampak yang signifikan, mengubah wajah dan nasib masyarakat
lokal.

178 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Dihimpit Karena Sipit1
Kus Sri Antoro

Kekecewaan mengemuka di wajah Ong. Pada 24 Agustus 2015,


upaya Ong untuk mengurus balik nama Sertifikat Hak Milik
(SHM) Tanah ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), kandas. Sebidang tanah yang
diurusnya adalah milik isterinya, seorang etnis Jawa. Permohonan
Ong ditolak pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul,
padahal, persyaratan tambahan berupa Akta Kelahiran pun sudah
ia bawa. Alasannya, Ong tergolong Warga Negara Indonesia
(WNI) Non Pribumi atau WNI Keturunan Asing. Alasan serupa
pernah diberlakukan kepada Tan Susanto Tanuwijaya, WNI yang
mengajukan surat permohonan hak milik tanah pada 31 Juli 2015,
dalam Surat Kepala Kantor Pertanahan Bantul kepada Kepala

1 Versi Awal tulisan ini berjudul Diskriminasi Etnis dan Ras dalam Kebijakan Pertanahan di DIY.
Tulisan ini semula hendak diterbitkan bersama AJI Yogyakarta dalam program Fellowship
Liputan sebagai bagian dari Journalists Workshop on Human Rights Reporting yang
diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Internews
dan Kedutaan Belanda di Yogyakarta, 6-8 September 2019, namun urung karena satu dan
lain hal. Penyebutan nama-nama sudah seijin para penyintas pada saat peliputan. Tulisan
ini diterbitkan untuk pendidikan dan dipersembahkan untuk Alm. H. Budi Setyagraha
(Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia/PITI), Alm. Willie Sebastian (Gerakan Anak Negeri
Anti Diskriminasi/GRANAD), Handoko, SH., dan para penyintas diskriminasi etnis dan
ras dalam hal agraria di DIY, khususnya yang berlatar kelompok rentan sosial ekonomi dan
politik.
Kantor Wilayah BPN Provinsi DIY, No. 1087/34.71-300/VIII/
2015, 11 Agustus 2015, dengan pernyataan: “Bahwa Tan Susanto
Tanuwijaya merupakan WNI Keturunan.”

Gambar 1. Surat Kepala Kantor Pertanahan Bantul kepada Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi DIY, No. 1087/34.71-300/VIII/ 2015, Sumber : Primer.

Di kantor itu, Ong kemudian disodori beberapa dokumen,


yaitu:
Pertama, secarik salinan kebijakan catatan sipil zaman
kolonial tentang pembagian kependudukan berdasar ras, yaitu:
Europeanen/Eropa (pada akta kelahiran berkode 1849); Vreemde
Oosterlingen/Timur Asing, termasuk Tionghoa, Arab, India, dan
non Eropa lainnya (berkode 1917); dan Inlander/Pribumi (berkode
1920 untuk muslim; 1933 untuk Kristen/Katholik; dan NON

180 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
STBLD untuk Hindu atau Budha). Sayang sekali, petugas tidak
membolehkan dokumen itu difoto atau disalin.
Kedua, selembar surat Instruksi Kepala Daerah DIY No. K898/
I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah
kepada Seorang WNI NonPribumi, tertanggal 5 Maret 1975 yang
ditujukan kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah Seluruh DIY,
ditandatangani oleh Wakil Kepala Daerah DIY Paku Alam VIII.
Surat ini dikenal dengan beberapa istilah, antara lain: Instruksi
Kepala Daerah DIY 1975, Surat Instruksi Gubernur DIY 1975
atau Surat Edaran Wakil Gubernur DIY 1975 dan Instruksi Wakil
Gubernur DIY 1975 karena mengacu pihak yang menandatangani.

Gambar 2. Surat Instruksi Kepala Daerah DIY No. K898/I/A/1975 tentang


Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi.
Sumber: Primer

Hak Asasi Manusia dan Agraria 181


Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 mengatur setiap WNI Non
Pribumi yang membeli tanah hak milik dari rakyat (“pribumi”)
harus melepaskan haknya kepada negara (menjadi tanah negara)
dan memohon Hak Guna Bangunan (HGB) kepada Kepala DIY,
dengan kata lain HGB terbit berdasar SK Gubernur, aturan ini
tidak mencantumkan alasan, kecuali tafsir pemerintah bahwa
pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 merupakan
affirmative action, yaitu menyelamatkan hak rakyat kecil dari
pemodal besar.
Gubernur DIY menerbitkan surat Surat Gubernur No 593/4811
(12 November 2012) dan Surat Gubernur DIY No 593/0708 (15 Februari
2013) untuk menangguhkan perpanjangan HGB dan Hak Pakai
utamanya yang terbit melalui SK Kepala Daerah, untuk diinventarisasi
sebagai tanah Kasultanan atau Kadipaten Pakualaman. Nasib HGB
yang hampir jatuh tempo kadaluwarsa dan menjadi agunan di
lembaga keuangan tidak dapat diperpanjang, sehingga lembaga
keuangan terancam memberikan pinjaman tanpa agunan.

Gambar 3. Surat Gubernur No 593/4811 (12 November 2012) dan Surat Gubernur DIY
No. 593/0708 (15 Februari 2013), Sumber: Primer.

182 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pada 2011 telah terjadi pencabutan HGB warga dan beralih
alas haknya dari HGB di atas Tanah Negara menjadi HGB di atas
Sultan Grond (Tanah Sultan).

Gambar 4. HGB di atas Tanah Negara dihapus dan diubah menjadi HGB di atas tanah
Sultan Grond. Sumber: Primer.

Ketiga, selembar surat Gubernur DIY No. 430/3703, perihal


Tanggapan Permohonan Hak Milik atas Tanah, kepada R.
Wibisono (Jl. Jogokaryan No 1, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan
Tegalrejo, Kota Yogyakarta). Meskipun surat ini tidak ditujukan
kepada Ong, surat ini dijadikan rujukan karena Ong dan R.
Wibisono digolongkan sebagai WNI Non Pribumi atau WNI

Hak Asasi Manusia dan Agraria 183


Keturunan Asing. Ong bersikeras dirinya bukan WNI Non Pribumi
atau WNI keturunan Asing, Kartu TandaPenduduk (KTP) yang ia
miliki hanya mencantumkan status WNI. Istilah Pribumi dan Non
Pribumi juga sudah dilarang oleh pemerintah melalui Inpres no
25/1998 tanggal; 16 September 1998, tentang penghapusan istilah
pribumi dan non pribumi.

Gambar 5. Surat Gubernur DIY No. 430/3703, perihal Tanggapan Permohonan Hak
Milik atas Tanah, kepada R. Wibisono. Sumber: Primer.

Ong kemudian menunjukkan Surat Badan Pertanahan


Nasional RI No. 4325/016-300/XI/2011 tentang Penyampaian
Surat Pengaduan Masyarakat, ditujukan kepada Kepala Kantor

184 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Wilayah BPN Provinsi DIY yang isinya pemberian hak milik tanah
kepada WNI dapat dilakukan tanpa membeda-bedakan suku, ras,
agama, maupun asal-usul, sebagaimana diatur UU No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA); UU No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI; UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah; Keputusan Presiden No. 33 Tahun
1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UUPA di DIY;
Perda DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Berlaku Sepenuhnya UUPA
di DIY, Instruksi Presiden RI No. 26 Tahun 1998 dan Surat Edaran
Kepala BPN RI No. 520-1609 (17 November 1999).
Petugas bersikeras bahwa ia sekedar melaksanakan tugas
dari Kasultanan Yogyakarta, merujuk surat Gubernur DIY No.
430/3703 tahun 15 Nopember 2010.
Alasannya Sultan HB X dan Gubernur DIY tidak bisa
dipisahkan. Ong tak patah arang. 26 Agustus 2015, Ong
dipertemukan dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Bantul.
Pertemuan itu hanya mempertegas sikap Kantor Pertanahan
Bantul sebelumnya. Pada kesempatan itu, Kepala Kantor
Pertanahan menjelaskan posisi Instruksi Kepala Daerah DIY 1975
sebagai pseudowetgeving (legislasi semu) dan pelaksanaannya
sebagai diskresi. Ong meminta supaya keputusan penolakan
tersebut dituangkan dalam surat keputusan resmi.
Menurut Kamus Besar Hukum Bahasa Belanda,
pseudowetgeving adalah regelstelling door een betrokken
bestuursorgaan zonder dat dit op grond van een uitdrukkelijke
wettelijke bepaling die bevoegdheid bezit, artinya legislasi semu
adalah tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa
memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas
memberikan kewenangan kepada organ tersebut. Legislasi

Hak Asasi Manusia dan Agraria 185


semu tidak termasuk peraturan perundang-undangan maupun
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), melainkan kebijakan.
Apakah dalam membuat legislasi semu pemerintah tetap
harus mempertimbangkan kesesuaian kebijakan dengan UU,
sifat situasi yang mendesak, dan etika serta moral? Prof. Ni’matul
Huda, SH, guru besar Hukum Tata Negara UII, berpendapat, “Ya,
benar.
Kalau sudah ada UU yang mengatur tidak boleh dibuat
kebijakan, ia tidak boleh bertentangan dengan UU atau asas-asas
pemerintahan yang baik.”
Pada 23 September 2015, surat dari Kepala Kantor Pertanahan
Bantul, Nomor 2074/834.02/IX/2015, diterima Ong, isinya Kepala
Kantor Pertanahan Bantul meminta petunjuk kepada Kantor
Wilayah BPN Provinsi DIY (surat No. 1917/8-34.02/IX/2015,
tertanggal 4 September 2015) dan telah memperoleh petunjuk dari
yang bersangkutan (surat No. 1525/300-34/IX/2015, tertanggal 11
September 2015). Surat itu tidak menjawab apa-apa, hanya surat
korespondensi.
Perjuangan Ong tidak berhenti. Ia bersama penyintas yang lain
melapor ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan
DIY atas dugaan tindakan maladmnisitrasi. Laporan Hasil Akhir
Pemeriksaan (LHAP) ORI yang tertuang dalam surat no 0052/
LM/III/2016/YOG (9 Februari 2018) menyatakan Instruksi Kepala
Daerah DIY tahun 1975 dipandang sudah tidak relevan dengan
kondisi sekarang dan semestinya mempertimbangkan aspek
hukum dan perlindungan HAM sehingga tidak lagi membedakan
warga asli atau warga keturunan, suku, agama, ras serta golongan.

186 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 6. Surat Permohonan Petunjuk Kantor Pertanahan Bantul kepada Kantor
Wilayah BPN DIY. Sumber: Primer.

Melalui pengacaranya, yaitu Willie Sanjaya, Ong melayangkan


surat No 207/YLO-SK/XI/2018 pada 23 November 2018 tentang
permohonan audiensi, surat itu menanggapi LHAP ORI.
Permohonan itu dikabulkan, mediasi telah berlangsung pada
25 Februari 2019. Bahkan, Kementrian Agraria dan Tata Ruang/
BPN RI diundang ORI pada 22 Juli 2019, hasilnya BPN RI tetap

Hak Asasi Manusia dan Agraria 187


berpegang pada surat terdahulu dan berjanji akan melayangkan
surat kepada Kepala Kantor Wilayah BPN DIY.
Pada 13 September 2019, pengacara Ong menanyakan kembali
kemajuan tindak lanjut ORI atas LHAP melalui surat No 119/YLO-
SK/IX/2019, janji itu terkatung-katung lebih dari setahun. Mewakili
penyintas, ia mendesak ORI untuk menerbitkan Rekomendasi atas
dasar LHAP yang sudah diterbitkan 9 Februari 2019.

Gambar 7. Surat YURA Law Office yang mewakili Ong kepada ORI. Sumber: Primer.

Bersama sekurang-kurangnya 11.545 orang etnis Tionghoa di


DIY (BPS 2010), nasib Ong bagaikan bola ping-pong, ia terhimpit
hanya karena berkulit cerah dan bermata sipit.

188 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Militansi Tanpa Batas Para Penyintas
Sunarsih (69), pensiunan PNS, membutuhkan tanah
untuk tempat tinggal bagi keluarganya di Yogyakarta. Di kota
yang sama, Budi Susilo (46) membutuhkan tanah untuk usaha
tokonya. Di Wates, Sofyan (35) membutuhkan tanah untuk
bertani. Setiap orang membutuhkan tanah sebagai ruang hidup
dan sumber penghidupan. Sehingga, hak atas ruang hidup dan
sumber penghidupan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Negara
telah menjamin HAM dan Hak atas Tanah bagi setiap Warga
Negara Indonesia (WNI) melalui UU Dasar Republik Indonesia
(Konstitusi) dan UU Pokok Agraria (UUPA). Hak-hak itu dimiliki
oleh setiap WNI, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama,
dan jenjang sosialnya.
Menurut Peraturan Pemerintah No 38 tahun 1963, Hak Milik
(HM) atas Tanah juga dilekatkan pada Badan Hukum, antara lain
Koperasi Pertanian, Yayasan Keagamaan, Yayasan Sosial, dan Bank
Pemerintah. Selain Badan Hukum yang ditunjuk PP No 38 Tahun
1963, badan hukum negara dan swasta hanya dilekati HGB, Hak
Pakai (HP), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pengelolaan (HPL).
Sebagai pengecualian, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman diubah kedudukan hukumnya dari Badan Hukum
Swapraja menjadi Badan Hukum yang dapat dilekati Hak Milik
atas Tanah, diatur melalui UU Keistimewaan DIY. Badan Hukum
Swapraja tidak diperkenankan mempunyai HM atas tanah karena
ditetapkan oleh negara melalui UUPA sebagai perpanjangan
kolonial dan sistem feodal, hal ini berlaku di seluruh Indonesia.
Meskipun demikian, UUPA mengatur penguasaan dan
pemilikan tanah tidak diperbolehkan melampaui batas karena
tanah mempunyai fungsi sosial. Setiap WNI dan Badan
Hukum tidak diperkenankan memonopoli tanah, sebab
negara membutuhkan wilayah dengan status Tanah Negara,

Hak Asasi Manusia dan Agraria 189


dalam pengertian tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
sebagaimana amanat Pasal 33 Konstitusi. Akan tetapi, DIY adalah
satu-satunya propinsi di Indonesia di mana UUPA, UU HAM, UU
Kewarganegaraan, dan UU Penghapusan Diskriminasi Etnis dan
Ras tidak berlaku sepenuhnya. Di sini, akrobat hukum sebuah
kebijakan dapat melompati UU dan mengabaikan Konstitusi.
Senasib dengan Ong, pada tahun 2001, Haji Budi Setyagraha,
mengajukan gugatan PTUN atas surat Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Bantul, terkait penolakan pemberian Hak Milik. Pada
tingkat Pengadilan Negeri, H. Budi Setyagraha dimenangkan,
dengan argumentasi bahwa Instruksi Kepala Daerah DIY 1975
bertentangan dengan UUPA dan Keputusan Presiden No. 33
Tahun 1984.
Kantor Pertanahan mengajukan banding, Pengadilan Tinggi
PTUN memenangkan Kantor Pertanahan dan mencabut putusan
PN PTUN, dengan argumentasi surat Kepala Kantor Pertanahan
adalah korespondensi belaka dan bukan merupakan obyek PTUN.
Kasasi ke Mahkamah Agung ditempuh H. Budi Setyagraha.
Melalui Putusan MA No. 281 K/TUN/2001 gugatan kasasi itu tidak
diterima (Niet Ontvankelijke verklaard/NO) dengan alasan tidak
ada kesalahan hukum dalam putusan hakim PTUN di tingkat
Pengadilan Tinggi. Merasa tidak memperoleh keadilan, H. Budi
Setyagraha mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan
MA tahun 2001. Hasilnya, melalui Putusan MA No. 56 PK/
TUN/2003, MA menguatkan putusan sebelumnya dengan alasan
bahwa Prasasti Jam (Ngejaman) di Kasultanan Yogyakarta adalah
bukti bahwa suku Tionghoa meminta perlindungan kepada Sultan
Hamengkubuwono IX.
Prasasti Ngejaman ini dijadikan alasan pemerintah provinsi DIY
sebagai filosofi dasar diterbitkannya Instruksi Kepala Daerah DIY
1975, dalam surat No. 593/00531/RO.I/2012 (8 Mei 2012) kepada Willie

190 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sebastian, WNI etnis Tionghoa lainnya, yang meminta keterangan
sehubungan pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975.
Apakah isi Prasasti Ngejaman di Jalan Rotowijayan yang
menjadi dasar penolakan MA terhadap H. Budi Setyagraha?
Prasasti berupa monumen dengan jam di atasnya berbunyi
demikian: “Persembahan dari paguyuban para pegawai
pemerintah dan masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di
wilayah Ngayogyakarta Hadinigrat dalam rangka memperingati
hari penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII tepat pada dua
windu, pada hari Senin Wage Tanggal 29 bulan Jumadilawal tahun
Alip 1867 atau 17 Agustus 1936”

Gambar 8. Prasasti Ngejaman. Sumber: NB. Susilo, 2019

Prasasti itu tidak menunjukkan fakta hukum apapun, apalagi


dasar pembelaan bagi kebijakan diskriminatif.

Hak Asasi Manusia dan Agraria 191


Hingga akhir hayatnya pada 1 Agustus 2018, perjuangan H.
Budi Setyagraha masih dihidupkan oleh penyintas yang lain.
Willie Sebastian (66) adalah orang pertama yang berani
menggugat praktik diskriminasi etnis dan ras dalam bidang
pertanahan di DIY. Berbekal SHM atas nama
dirinya yang membuktikan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975
tidak lagi berlaku dan surat-surat yang dikirim dan diterimanya,
antara lain kepada Presiden pada 23 Februari 2011 mengenai
permohonan pencabutan Instruksi Kepala Daerah 1975 dan
dibalas dengan Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan
Kemasyarakatan Kementrian Sekretariat Negara RI (Maret 2011,
tanpa tanggal) No. B-2774/Setneg/D-3/03/2011,
yang dituangkan kembali dalam Surat No 4325/016-
300/XI/2011 (16 November 2011) yang mendukung semangat
perjuangannya.

Gambar 9. Surat BPN RI No Surat No 4325/016-300/XI/2011. Sumber: Primer.

192 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Berbekal dokumen itu, Willie Sebastian mengadu kepada
KOMNAS HAM pada Juni 2013.

Gambar 10. Sertipikat Hak Milik Tanah atas nama WNI Etnis Tionghoa di DIY.
Sumber: Primer.

Berbeda dengan BPN RI, Pemerintah Daerah DIY mendukung


Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 melalui surat No 593/00431/
ROI/2012 (8 Mei 2012). Pada 30 Agustus 2013 inisiatif KOMNAS
HAM untuk melakukan pertemuan mediasi dengan Gubernur DIY
(Sultan Hamengkubuwono X) kandas, mereka ditemui Sekretaris

Hak Asasi Manusia dan Agraria 193


Daerah DIY. Dalam pertemuan itu, KOMNAS HAM menyampaikan
bahwa penerapan Instruksi Wakil Gubernur DIY 1975 No. K
898/I/A/1975 agar tidak dilanjutkan karena bertentangan dengan
UU HAM. KOMNAS HAM juga meminta Gubernur DIY menemui
warga etnis Tionghoa dalam rangka menyelesaikan permasalahan
tersebut melalui mekanisme mediasi yang difasilitasi KOMNAS
HAM. Upaya mediasi ini berujung buntu, Gubernur DIY tidak
memberi tanda-tanda kesediaan untuk bertemu.

Gambar 11. Surat No 593/00431/ROI/2012. Sumber: Primer

194 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Hampir setahun kemudian, 11 Agustus 2014, KOMNAS
HAM menerbitkan surat No. 037/R/Mediasi/VIII/2014 tentang
Rekomendasi Terkait Dengan Diskriminasi Hak Atas Tanah
Warga Keturunan Tionghoa di Provinsi DIY, kepada Gubernur
DIY. Intinya menyatakan bahwa:
1) Instruksi Wakil Gubernur DIY 1975 bertentangan dengan
UUD 1945, UUPA, UU HAM, UU Kewarganegaraan, dan UU
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
2) Ada perbedaan antara Diskriminasi dan Affirmative Action
berikut contohnya;
3) Gubernur terancam pelanggaran HAM bila mengabaikan
atau menolak rekomendasi KOMNAS HAM.

Gambar 12. Surat KOMNASHAM No.037/R/Mediasi/VIII/2014: Tentang Rekomendasi


Terkait Dengan Diskriminasi Hak Atas Tanah Warga Keturunan Tionghoa di Provinsi
DIY. Sumber: Primer.

Seorang sesepuh Etnis Tionghoa yang berhubungan baik


dengan Kadipaten Pakualaman maupun Kasultanan Yogyakarta
menerima informasi dari Kepala Kantor Wilayah BPN DIY,
Dr. Arie Yuriwin, SH atau juga dikenal sebagai Kanjeng Raden

Hak Asasi Manusia dan Agraria 195


Tumenggung (KRT) Nyi Kisma Manggalawati, bahwa Surat
Rekomendasi KOMNAS HAM (11 Agustus 2014) segera dibahas
Gubernur DIY melibatkan Kepala Kantor Wilayah BPN DIY dan
Sekretaris Daerah DIY.
Willie Sebastian kemudian menyurati Gubernur dan DPRD
DIY untuk melaksanakan rekomendasi KOMNAS HAM agar tidak
terjerumus dalam tindak pidana yang diatur UU No. 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis maupun
pelanggaran HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Surat itu tidak berbalas.
Lalu, pada 30 April 2015, Willie Sebastian mengadukan
kembali sikap Gubernur DIY kepada KOMNAS HAM, aduannya
berbalas dengan penerbitan surat No. 069/R/Mediasi/VIII/2015
(7 Agustus 2015) tentang Pelaksanaan Rekomendasi KOMNAS
HAM Terkait Dengan Diskriminasi Hak Atas Tanah Warga
Keturunan Tionghoa di Provinsi DIY. Isi surat itu ialah KOMNAS
HAM menyatakan bahwa “… penyampaian rekomendasi atas
suatu kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya. Pengabaian Saudara Gubernur
DIY atasrekomendasi KOMNAS HAM No. 037/R/Mediasi/
VIII/2014 (11 Agustus 2014) dapat diindikasikan sebagai bentuk
pelanggaran HAM berupa diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis (systematic discrimination), sebagaimana diatur Pasal
104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM”.

196 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 13. Surat Rekomendasi Komnas HAM No.069/R/Mediasi/VIII/2015. Sumber:
Primer.

Rekomendasi KOMNAS HAM ke-2 ini juga bernasib


sama dengan rekomendasi KOMNAS HAM pertama). Hingga
tulisan ini diterbitkan, Gubernur DIY tidak merespon kedua
Surat Rekomendasi KOMNAS HAM itu. Alasan Gubernur DIY:
“surat yang disampaikan KOMNAS HAM adalah pendapat
dan penafsiran sepihak dari KOMNAS HAM sehingga tidak
bisa dijadikan dasar untuk penyelesaian suatu perkara dalam
pemeriksaan Pengadilan, oleh karena itu surat KOMNAS HAM
tersebut haruslah dikesampingkan”, uraian ini tercantum dalam
Putusan MA No 132/Pdt.G/2017/PNYyk (hal 46).
Willie Sebastian tidak sendiri. Selama rentang waktu Agustus
2014 – Agustus 2015, Handoko (34), seorang pengacara, adalah orang
pertama yang menggugat Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 dalam
wilayah Uji Materiil. Pada Februari 2015 dia melayangkan gugatan
terhadap Gubernur DIY kepada MA. Gugatannya diketahui NO
sejak April 2015, namun salinan putusan MA No. 13 P/HUM/2015
baru diterima Handoko pada April 2016 setelah melayangkan
surat permohonan. Isi putusan itu ialah: Permohonan keberatan

Hak Asasi Manusia dan Agraria 197


Hak Uji Materiil pemohon (Handoko) tidak dapat diterima karena
Instruksi Kepala Daerah DIY No. K 898/I/A/1975 bukan termasuk
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7
ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan MA No. 1
Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, dan Pasal 31 ayat (1) UU No.
5 Tahun 2004 tentang perubahan pertama UU No. 14 Tahun 1985
tentang MA dan perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009
dan Pasal 1 ayat (1) Peraturan MA No 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil.
Putusan MA No. 13 P/HUM/2015 memuat argumentasi dari
tim hukum Pemerintah Daerah Provinsi DIY, yang terdiri atas: 1)
Dewo Isnu Broto, SH (Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY);
2) Dr. Achiel Suyanto, SH atau KRT. Nitinegoro (Advokat swasta);
3) Sukamto, SH. (Kepala Bagian Bantuan dan Layanan Hukum
Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY); 4) Adi Bayu Kristanto, SH
(Kasubbag Sengketa Hukum Biro Hukum Sekretariat Daerah
DIY); 5) Haris Suhartono, SH (Kasubbag Peraturan Daerah Biro
Hukum Sekretariat Daerah DIY); dan 6) Suhasto Nugroho, SH.
(Kasubbag Supremasi Hukum Biro Hukum Sekretariat Daerah
DIY). Dalam dokumen Putusan MA
No. 13P/HUM/2015, mereka berpendapat bahwa Instruksi
Kepala Daerah DIY 1975 sesuai hukum adat Kasultanan. Sultan
HB II pernah mengucap sabda, “Kalian kaum Cina saya ijinkan
menempati tanah-tanah yang berpotensi ekonomi tinggi/
strategis untuk berdagang tapi tidak saya ijinkan untuk memiliki”
(hal 16). Menurut mereka, UUPA didasarkan pada hukum adat
dan prinsip hukum adat ialah hanya warga masyarakat yang dapat
mempunyai hak yang sepenuhnya atas tanah, yaitu berupa hak
milik, sedangkan pendatang hanya dapat diberikan hak pakai
(hal 20). Selanjutnya, menurut UU No. 13 Tahun 2012 tentang

198 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Keistimewaan DIY, kewenangan tentang tanah melekat pada
Kepala Daerah DIY, oleh karena itu hukum adat DIY berlaku sejak
HB II hingga sekarang (hal 15).
Dikalahkan pada Uji Materi, Handoko kembali menggugat
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara pada tanggal 18 Mei 2016.
Melalui Putusan No 179K/TUN/2017, hakim menyatakan Instruksi
Kepala Daerah DIY 1975 bukan keputusan tata usaha negara
(KTUN)/Keputusan Administrasi Pemerintahan yang bisa diuji di
PTUN.
Kini upaya Handoko menjelaskan duduk perkara, berdasarkan
kedua putusan pengadilan terbukti secara sah Instruksi Kepala
Daerah DIY 1975 bukan perundang-undangan, dan bukan
diskresi atau keputusan hukum. Instruksi Kepala Daerah DIY
1975 tidak punya kekuatan hukum mengikat sama sekali, namun
dipertahankan oleh Gubernur DIY dan dipraktikan oleh BPN.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Handoko. Ia kembali
mengajukan gugatan perdata, kali ini sasarannya Gubernur DIY
dan Kepala Kantor Wilayah BPN DIY. Handoko kembali dirundung
nasib buntung. Hakim mengamini Surat Instruksi Kepala Daerah
1975 dibuat untuk melindungi kaum jelata yang lemah dari kaum
pemodal yang kuat, serta tidak bertentangan dengan hukum tidak
tertulis Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Benarkah rakyat yang diasumsikan pribumi lemah dilindungi
dari kerakusan yang kuat? Peristiwa terkait pertanahan di DIY
menunjukkan fakta sebaliknya.
Pada 2015 lalu, sengketa antara pengusaha etnis Tionghoa
pemegang serat kekancingan (surat pinjam pakai tanah Sultanaat
Grond yang dikeluarkan oleh Panitikismo atau Badan Pertanahan
Kasultanan Yogyakarta) yang diakui versus lima orang PKL
Godomanan pemegang serat kekancingan yang dibatalkan, nyata-

Hak Asasi Manusia dan Agraria 199


nyata pengusaha yang dimenangkan, meskipun para PKL sudah
menjalani protes “berbudaya” dengan topo pepe, yaitu menjemur
diri memohon belas kasih kepada Sultan.
Di tahun yang sama, 3 orang petani di pesisir Kulonprogo
diperintahkan oleh Kadipaten Pakualaman untuk mengosongkan
lahan yang akan digunakan untuk tambang pasir besi milik PT
Jogja Magasa Indonesia, perusahaan keluarga Kasultanan dan
Kadipaten Pakualaman.

Gambar 14. Surat Kadipaten Pakualaman No 04/03/I/15/WP tentang Pengosongan


tanah PAG untuk pembangunan Pabrik Konsentrat dan Pig Iron. Sumber: Primer.

Pada saat surat itu dilayangkan Kadipaten Pakualaman belum


mempunyai SHM atas tanah yang diklaim sebagai Paku Alamanaat
Grond (PAG). Para petani itu diultimatum oleh lembaga non
negara, tanpa putusan pengadilan.
Pencabutan status Hak Milik atas Tanah dari 100 bidang SHM
(terbit 2007) milik warga di desa Pundungsari Semin Gunungkidul

200 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
terjadi dengan alasan asal-usul tanah adalah Sultan Grond karena
ketiadaan Eigendom Verponding (Sertipikat Hak Milik) menurut
Agrarische Wet 1870 yang sudah tidak berlaku atas tanah
tersebut, peristiwa ini terjadi pada 2008 jauh sebelum UU
Keistimewaan DIY disahkan. Menurut keterangan Kepala Kantor
Wilayah BPN DIY pada Agustus 2015, dasar pembatalan SHM
warga Pundungsari dengan dicoret lalu diganti status dengan Hak
Pakai tanpa pengadilan itu ialah Surat Kawedanan Hageng Wahono
Sartokriyo Panitikismo (KHWP)No 136/W&K/2000 kepada Kepala
Kanwil BPN DIY untuk menangguhkan permohonan Hak Milik
atastanah sepanjang menyangkut Tanah Kraton tertanggal 22
September 2000.

Gambar 15. Sertipikat Hak Milik warga Pundungsari diubah menajdi hak pakai tanpa
proses pengadilan. Sumber: Primer.

Hak Asasi Manusia dan Agraria 201


Pemberian konsesi bisnis wisata kepada konglomerat
daripada rakyat jelata memicu konflik agraria di Pantai
Watukodok, Tanjungsari, Gunungkidul pada 2015. Warga Dusun
Grogol, Desa Parangtritis pemilik tanah tutupan yang dirampas
saat pendudukan Jepang juga tidak dikembalikan haknya dengan
dalih tanah tersebut beridentitas ISTIMEWA pada buku legger C
Desa, tetangga mereka di Parangkusumo sampai sekarang juga
tidak memperoleh kepastian hak atas tanah sebagaimana yang
mereka tuntut pascapenggusuran atas nama konservasi yang
kemudian menjadi wisata atraksi di kawasan gumuk pasir 141 ha
tersebut.

Gambar 16. Surat Kawedanan Hageng Wahono Sartokriyo Panitikismo (KHWP) No


136/W&K/2000

202 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Argumentasi yang mempertahankan Instruksi Kepala Daerah
DIY 1975 sebagai affirmative action telah dipatahkan KOMNAS
HAM pada 2014 lalu. Pun AAUPB harus selaras dengan instrumen
HAM nasional, misalnya UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
CERD, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No.
11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya, UU No. 12
Tahun 2005 tentang Hak Sipil Politik, dan utamanya Pasal 28 D
ayat 1 Konstitusi Republik Indonesia, bukan malah sebaliknya.
Putusan-putusan pengadilan atas perkara ini justru membawa
pesan sikap rasial seolah-olah wajar dan rasional.
Narasumber terpercaya menyampaikan sikapnya atas situasi
minimnya dukungan terhadap perjuangan GRANAD; H. Budi
Setyagraha, dan Handoko. “Respon teman-teman tentu saja
ada yang mendukung dan ada yang tidak, yang mendukung
pun ada yang terang-terangan dan ada yang di balik layar, yang
tidak mendukung biasanya karena takut akibatnya malah bisa
menghabisi mereka. Golongan ini biasanya tidak tahu tentang
hak yang dia miliki, tetapi keegoisan membuat mereka menolak
sebuah perjuangan kebenaran.”, ujar narasumber itu.
Saat dikonfirmasi kelompok mana saja yang disebut tidak
tahu hak dan kelompok mana yang egois, ia pun menerangkan:
“Mereka yang rentan ini khan karena belum tahu haknya, kalau
yang egois itu sebenarnya karena dekat dengan penguasa yang
bisa meniadakan diskriminasi buat mereka.”
Situasi ini cukup bisa dibilang unik, korban diskriminasi
mendukung diskriminasi terhadapnya. “Tanpa mengerucut ke
pihak tertentu, secara natural sekelompok orang yang menikmati
‘kemakmuran bersama’ ini akan merasa terganggu apabila ada
pihak yang mengganggu anggota kelompok tersebut karena
menikmati kemakmuran itu tidak memandang SARA…Terus

Hak Asasi Manusia dan Agraria 203


untuk memelihara praktik ini ada keuntungan secara ekonomi,
dan pihak-pihak yang terkait dengan pertanahan di situ ada
oknum-oknumnya” , imbuhnya.
Willie Sebastian seorang pengusaha kecil menengah dan
Handoko seorang advokat yang juga bergelar master notaris,
keduanya menyatakan tidak tergantung dengan penguasa dalam
merintis dan menjalani karirnya masing-masing. Keduanya tidak
terpengaruh oleh ancaman maupun intimidasi.
“Jiwa nasionalis dan cinta tanah tumpah darah saya, serta
ketauladanan para pemimpin bangsa yang berani berjuang
melawan penajajah, juga pendidikan Bushido Karate yang
menginspirasi saya untuk berani melawan ketidakadilan terhadap
warga Tionghoa”, ujarnya saat Willie Sebastian ditanya apa
motivasinya berjuang melalui GRANAD. Pengagum Gus Dur dan
Buya Syafi’i Ma’arif ini membenarkan bahwa perjuangannya tidak
didukung oleh mereka yang dekat dengan penguasa.
Setali tiga uang dengan Willie Sebastian, ketika Handoko
dikonfirmasi apakah ia sadar dengan yang ia lakukan?
“(Saya) sadar karena tidak benar, sudah bawaan dan
pengalaman. Contohnya dari SMP yang nggak mau disuruh-suruh
preman kelas saya.” Handoko mengalami hidup di Yogyakarta,
menurutnya budaya dan tingkat intoleransi lebih kentara
dibanding dengan saat ia hidup di kota lain. Ia mencontohkan di
jalan raya ia diteriaki bernada rasis jika mau serempetan, dikatai
rasis saat sekolah, dibedakan dalam masyarakat, karena ras. Hal-
hal tersebut tidak ia temui di kota lain, “…mereka memaki pun
tanpa embel-embel rasis,” begitu pengakuannya.
Handoko mengungkapkan, “Sejauh pengalaman saya, banyak
yang tidak mendukung ataupun tidak peduli. Alasan takut
kerusuhan, takut melawan penguasa, merasa tidak penting dan

204 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
buang energi toh bisa pinjam nama. Sedangkan yang mendukung
hanya di balik layar saja. Alasan kurang lebih tidak berani
menentang penguasa terang-terangan.”
Apakah ada hambatan politik dari perjuangan hukum yang
sudah terang-benderang duduk perkaranya ini?
“Secara politik BPN tidak memiliki kemauan untuk menghapus
diskriminasi pertanahan di DIY, di mana BPN masih menjalankan
praktik pribumi dan non pribumi. BPN selalu merujuk kepada
Keraton sebagai upaya membenarkan perbuatannya, padahal BPN
adalah lembaga resmi negara yang mengurus tentang pertanahan.
Keraton tidak diberikan kewenangan untuk mengurus tanah yang
bukan milik Keraton.” ujar narasumber yang enggan ungkap
identitasnya.
Sunarsih dan Sofyan satu tanah ruang dengan seluruh WNI,
namun untuk memerangi diskriminasi sesama WNI ternyata
seluruh WNI belum satu darah juang.

Pribumi/Non Pribumi: Rasionalisasi Rasialisme


Willie Sebastian, Ketua Gerakan Anak Negeri Anti
Diskriminasi (GRANAD), menerima telepon dari orang tak
dikenal.
“Bapak memusuhi Kraton?”, tanya seseorang itu, setelah
memastikan identitas Wille Sebastian.
“GRANAD tidak ada urusan dengan Kraton, tetapi dengan
Gubernur DIY” jawab Willie Sebastian, “apakah Bapak kerabat
Kraton?”, Willie balas bertanya.
“Bukan”
“Kok protes?” tanya Willie
“Saya mau bela Kraton”, jawab orang itu.

Hak Asasi Manusia dan Agraria 205


“Silakan, Pak. NKRI negara hukum, silakan lapor polisi..” kata
Willie yang disambut pemutusan telepon oleh orang itu

Hal serupa telah terjadi jauh hari.


19 Agustus 2015. Petang itu, Willie Sebastian berserta Sekretaris
GRANAD kala itu, Siput Lokasari—salah satu tokoh yang getol
memperjuangkan persamaan hak warganegara, dan Handoko
diajak bertemu oleh Eddy Tjia Susanto, taipan kepercayaan Sultan
Hamengku Buwono X, pemegang konsesi bisnis Ambarukmo
Plaza dan pemilik Formula Land. Pertemuan itu dipicu oleh berita
salah satu media nasional terkemuka yang mengangkat ironi
diskriminasi etnis dan ras dalam kebijakan pertanahan di DIY.
Di Hotel Ambarukmo Plaza, keempat penyintas itu diwejang
untuk tahu diri, waspada, dan turut merawat tradisi dengan
senantiasa bersikap sendiko dhawuh—siap melaksanakan perintah
dan kehendak, Sultan HB X maupun kerabatnya. Hubungan yang
saling menguntungkan antara elit-elit WNI Keturunan (tak hanya
Tionghoa) dengan Keraton sudah terjalin baik sejak berabad-abad
silam, melukai harga diri Sultan HB X berarti mempermalukan
diri sendiri. Mereka diingatkan bahwa sikap mereka telah
mengganggu relasi bisnis elit-elit WNI Keturunan dengan Sultan
Hamengkubuwono X, raja yang telah memberikan pengayoman
dan kemudahan investasi. Menyintas berarti melanggar batas.
Diskriminasi terhadap Tionghoa di DIY selalu memperoleh
dukungan dari isu bahwa Tionghoa itu asing, tidak tahu sejarah
bangsa, pengkhianat, kaya, pelit, dan serakah.
Pada 1 Maret 2018 ratusan massa penolak persamaan hak
atas tanah di Yogyakarta berhimpun, di antara mereka terdapat
kerabat Keraton, budayawan, dan para elit WNI etnis Tionghoa
yang sangat mendukung Instruksi Kepala Daerah DIY 1975.

206 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Peristiwa itu merupakan reaksi dari upaya hukum para penyintas
yang intensif sejak 2013.
Wang Xiang Jun (46), pelaku usaha di Malioboro, menuliskan
sejarahnya sebagai WNI etnis Tionghoa di DIY yang sarat pernik-
pernik konflik dalam Menyingkap Jejak Keadilan Tionghoa.
Menurutnya menjalani hidup sebagai WNI etnis Tionghoa itu
tidak mudah. Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa dimanfaatkan
sebagai perantara dan mesin pencetak uang oleh para raja
maupun pemerintah kolonial. Untuk mengisi kas kerajaan yang
baru berdiri, Sultan Hamengku Buwono I mempercayakan
etnis Tionghoa sebagai penarik pajak. Etnis Tionghoa juga
dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial sebagai perantara antara
pemerintah kolonial dengan etnis lain, utamanya etnis lokal.
Berbagai hak pengelolaan dilekatkan pada etnis Tionghoa oleh
pemerintah kolonial, misalnya tol, candu, rumah gadai, pajak.
Etnis Tionghoa dirancang menjadi kelompok mapan, namun
dibenci rakyat yang menderita karena sistem kolonial yang selaras
sistem feodal. Posisi ini sangatmenguntungkan penguasa, saat
terjadi kerusuhan maka etnis Tionghoa mudah diserang. Kontrol
terhadap etnis Tionghoa juga dilakukan melalui kapitan-kapitan
yang diangkat oleh kolonial.
Kebencian dan permusuhan terhadap etnis Tionghoa dipoles
menjadi sikap ketidaksenangan kaum miskin terhadap kaum
kaya, tanpa pernah melihat kenyataan etnis Tionghoa juga hidup
di kantung-kantung kemiskinan.
“Perlakuan diskriminasi dan kerusuhan selama beberapa abad
membuat masyarakat TionghoaIndonesia tumbuh abnormal,
menjadi stereo type masyarakat yang inferior, minder, penakut,
tertutup, dan penuh syak wasangka, nrimo, dan menghindari
masalah yang bukan urusannya atau cari aman” ujar Willie

Hak Asasi Manusia dan Agraria 207


Sebastian, menjelaskan masalah-masalah laten dari diskriminasi
etnis dan ras yang ia sandang.
Dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa:
Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825, sejarawan Peter Carey
menjelaskan, kesenjangan ekonomi yang makin lebar.
Di Indonesia tidak lagi bisa dijawab dengan kebijakan
pribumi/nonpribumi, karena masalahnya bukan pribumi dan
non pribumi, masalahnya adalah sistem ekonomi yang sarat
kapitalisme dan kolonialisme.
Rekomendasi KOMNAS HAM dan tuntuan para penyintas
agar Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 dicabut oleh Gubernur
disambut kecemasan pendukung kebijakan, mereka khawatir
etnis Tionghoa di DIY akan jadi semakin kaya. Kekhawatiran
ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh UUPA yang membatasi
penguasaan dan pemilikan tanah untuk setiap subyek hak, baik
WNI maupun badan hukum, sebab tanah mempunyai fungsi
sosial.
Diskriminasi etnis dan ras yang ditimbulkan dari penerapaan
Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 akan terus-menerus merawat
konflik agraria dan HAM di DIY jika tidak diselesaikan. Demi
memenuhi asas legal dan kepastian hukum, Prof. Ni’matul Huda
berpendapat, “Karena Instruksi itu bukan peraturan perundang-
undangan, yang bisa dilakukan executive review atau pencabutan
oleh lembaga yang membentuk. Atau, Instruksi itu harus diubah
menjadi Peraturan Daerah (Perda) atau Perda Istimewa.”
Solusi selain penerbitan Peraturan Perundangan yang
menegaskan pelarangan terhadap etnis tertentu untuk memiliki
tanah ialah pencabutan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 diiringi
pemberlakuan pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah bagi
kelompok yang mempunyai aset melampaui batas sebagaimana

208 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
diatur UUPA Pasal 7 dan 17, dan/atau pengabaian Instruksi Kepala
Daerah DIY oleh BPN karena bukan produk hukum apapun.
Handoko berharap agar pemerintah pusat turun ke DIY
menyelesaikan persoalan diskriminasi etnis dan ras dalam bidang
pertanahan ini, sebab tidak mungkin dilakukan pemerintah daerah
karena situasi yang khas. Di DIY, Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman biasa memberikan gelar kebangsawanan
kepada para pejabat pemerintah, tokoh publik, bahkan akademisi
misalnya:
Kepala Kanwil BPN Propinsi DIY (Arie Yuriwin, SH, MSi
atau Nyi Raden Riya Kismanggalawati), Kepala BPN RI 2009-2014
(Hendarman Supandji atau KRT Panjiwidura), Kepala Kejaksaan
Tinggi DIY (Ali Mutohar alias Kanjeng Mas Tumenggung/KMT
Nitiwidyaksa); Kepala Kantor Wilayah Pajak DIY (Djangkung
Sudjarwadi alias KMT Wasitapranadipura); Guru Besar Sejarah
UGM (Prof. Dr. Djoko Suryo alias KRT. Suryohadibroto); dan
advokat swasta yang selalu dipercaya Keraton (Dr. Achiel Suyanto,
SH alias KRT. Nitinegoro). Tentu saja para anggota Parampara
Praja, diantaranya Suyitno, SH; Prof. Amin Abdullah, Prof. Dr.
Mahfud MD; dan Prof. Dr. Edy Suandy Hamid.
Jika masalah ini dibiarkan menggantung tanpa keadilan di
ujung maka bayang-bayang ketidakhadiran HAM menghantui DI
Yogyakarta. Apakah diskriminasi etnis dan ras dijadikan isu yang
terus-menerus dirawat untuk kepentingan kelompok tertentu?

Hak Asasi Manusia dan Agraria 209


D.
Agraria Perairan,
Pesisir dan Perdesaan
Hikayat Sidat
Desi Noviyani

Pada suatu malam rembulan baru yang gelap gulita di palung


yang dalam di samudera selatan Jawa, lahirlah Sidat kecil. Malang,
seketika itu pula ia harus kehilangan ibunya. Usai sudah tugas
ibunya mengandung dan mengantarkan Sidat dan saudara-
saudaranya ke dunia. Sejak saat itu, Sidat kecil harus mengurus
dirinya sendiri. Beruntung, di kampung halamannya itu makanan
selalu cukup tersedia.
Namun, dalam diri Sidat mengalir darah pengelana yang
ia warisi dari ibu dan nenek-moyangnya. Jiwa petualangan itu
memandu mereka berkelana menempuh jarak yang begitu jauh
melintasi berbagai samudera. Dari Laut Sargasso hingga Sungai
Danube di Eropa sana. Dari palung di barat Mentawai hingga
kali-kali kecil di perbukitan Menoreh. Menurut Ki Penyu yang
telah banyak makan asam garam, ibu Sidat menghabiskan masa
dewasanya di Sungai Opak. Rumahnya terletak di antara akar
gayam. Ia menjaga air di sana. Dalam penjagaannya sungai itu
senantiasa bersih dan menjadi tempat tinggal banyak binatang air.
Karena ingin tahu tempat ibunya dahulu, Sidat pun memantapkan
hatinya untuk menempuh perjalanan ke sana.
Setelah diombang-ambing gelombang pantai, menyeberang­
lah Sidat ke muara Sungai Opak. Ternyata aliran sungai itu ingin
membawanya kembali ke samudera. Namun, Sidat tahu bahwa
jika ia ingin sampai ke tujuannya, ia harus memberanikan diri
melawan arus itu.
Berenanglah Sidat ke arah hulu. Setelah sekian lama
menempuh perjalanan, sampailah Sidat di sebuah bendungan.
Namun, yang dilihat Sidat adalah tembok air yang sangat tinggi.
Air begitu deras mengalir dari atas sana dan berdebur dengan
keras di bawah. Sidat mencoba berenang naik, tetapi usahanya
selalu gagal. Ia merasa kalut karena impiannya untuk sampai ke
hulu tak bisa ia raih.
Ia pun memutuskan untuk beristirahat di tepian. Diamatinya
tempat itu. Ada beberapa ikan yang sibuk dengan urusan masing-
masing. Namun, alangkah banyaknya ubur-ubur itu. Binatang ini
ada di mana-mana. Herannya, saat sidat menyapa, tak ada satu
pun yang menyahut.
Tiba-tiba terdengar suatu keributan. Ada suara batuk-batuk
yang ditimpali nada penuh kekhawatiran. Ternyata dari balik akar
kalanjana, muncullah Sapu-Sapu dan Remis, seekor kerang.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Sidat.
“Mbah Sapu ini sudah lama sakit. Tak sembuh-sembuh juga,”
jawab Remis dengan perlahan dan agak malu-malu.
“Anak ini pasti baru datang dari samudera, ya?” Tanya Mbah
Sapu-Sapu.
“Bagaimana Simbah tahu?”

214 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Tentu tahu. Sudah lama aku tinggal di sini. Di antara hewan-
hewan sini hanya jenismu yang lahir jauh di samudera sana tetapi
kalau besar sukanya tinggal di sini,” jelas Mbah Sapu-Sapu.
“Tapi di kampung saya dulu juga ada ubur-ubur seperti itu,”
ujar Sidat sembari menunjuk pada apa yang dikiranya adalah
ubur-ubur.
“Hahaha! Itu bukan ubur-ubur, Nak. Bahkan sama sekali
bukan hewan jenis apa pun. Namanya plastik dan benda ini bikin
banyak hewan sakit. Yang kecil-kecil itu suka masuk insangku dan
bikin susah bernafas. Ohok-ohok!” kata Mbah Sapu-Sapu sambil
terbatuk.
Sidat mendengarkan penjelasan sambil mengangguk-angguk.
“Sebetulnya saya ingin berenang ke hulu. Saya ingin melihat
tempat ibu saya dahulu. Tapi saya tak bisa berenang naik ke sana,”
kata Sidat dengan sedih.
Sapu-Sapu menjelaskan bahwa pada zaman dahulu sidat dan
hewan lain bisa berenang ke hulu dengan mudah. Itulah mengapa
sidat dapat ditemukan hingga sungai-sungai di pegunungan tinggi.
Namun, semenjak adanya tembok ini, kebanyakan hewan tak
bisa lagi melakukannya. Mendengar penjelasan itu, Sidat merasa
berkecil hati. Kandas sudah harapannya. Ia pun memutuskan
untuk tinggal di situ.
Selama beberapa tahun Sidat tinggal di sana. Diamatinya
air semakin kotor dan ubur-ubur gadungan bernama plastik itu
semakin banyak saja. Hewan-hewan banyak yang sakit dan mati.
Ia menceritakan kegelisahannya kepada temannya Sapu-Sapu dan
Remis. Sapu-Sapu berkata di bagian hulu ada seorang pertapa
bernama Nyai Pelus di Sendang Suracala. Ia mengerti banyak hal.
Barangkali jika suatu ketika Sidat berhasil naik bendungan itu, ia
dapat mencari beliau dan meminta nasihatnya.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 215


Sapu-Sapu membesarkan hati Sidat dan mengatakan bahwa
bangsa sidat adalah pemanjat ulung. Jika ia mau mencoba, mungkin
ia bisa sampai ke atas. Merasa percaya diri, Sidat pun mencoba lagi.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya Sidat bisa sampai ke atas.
Teman-temannya bersorak gembira. Setelah berpamitan, Sidat pun
berenang ke hulu untuk mencari Sendang Suracala.
Kebanyakan hewan yang ia tanyai menggelengkan kepala.
Namun, pada akhirnya ia bertemu ikan gabus yang dapat
menunjukkan arah.
Ditunggunya hingga hujan tiba. Kemudian direnanginya
parit-parit kecil itu. Didakinya bebatuan kapur di perbukitan itu.
Perjalanan itu seakan tak ada habisnya.
Saat ia hampir menyerah, ternyata sampailah Sidat ke sendang
itu. Betapa gembira hatinya. Segera ia hempaskan dirinya ke kolam
itu dan berenang sepuasnya. Dicarinya tanda-tanda keberadaan
Nyai Pelus. Ternyata tak ada siapa-siapa.
“Anak ini persis sekali dengan Nyai Pelus. Apa yang kau cari
di sini?” Terdengar suara dari arah randu alas. Ternyata di sana
duduk seekor katak.
“Saya mencari Nyai Pelus, Ki!” jawab Sidat.
Katak itu bercerita bahwa memang Nyai Pelus bertapa
dan menjaga sendang ini. Namun, pada suatu ketika Nyai Pelus
memperoleh panggilan dari dalam dirinya untuk kembali ke samudera.
Dari samudera ia berasal dan menuju samudera pula ia pergi untuk
melahirkan anak-anaknya dan menghabiskan sisa hidupnya.
“Anak ini persis sekali dengan Nyai Pelus. Mungkin kamu
adalah anaknya.”
“Tapi, Ki. Ibu saya menjaga sungai di bawah pohon gayam
agak ke hulu.”

216 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Betul. Beliau dahulu tinggal di sana. Tapi semenjak sungai
penuh dengan sampah, ia merasa tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Ia pun pergi ke sini untuk bertapa.”
Sidat tercenung mendengarkan penjelasan itu. Memang ia
kecewa karena perjalanannya yang jauh tak membuahkan apa-
apa. Namun, ia juga merasa lega dan haru karena menemukan
jejak ibunya di sini.
Setelah beristirahat secukupnya, Sidat berpamitan untuk
melanjutkan langkah. Jalan menurun lebih mudah ditempuh.
Begitu sampai sungai, ia segera berenang ke arah hulu.
Benar adanya. Tempat itu tak seperti yang ia bayangkan.
Sampah dan limbah terus mengalir dari hulu. Perairan begitu
kotor. Tak ada hewan-hewan yang nyaman tinggal di sana. Di
antara akar-akar gayam itu ia menangis tersedu. Bagaimana cara
memulihkan tempat sekotor ini?
Namun, dalam kesedihannya itu, Sidat tiba-tiba teringat akan
kawannya Remis. Walaupun pendiam dan pemalu, ia memiliki
kesaktian yang istimewa. Air kotor yang masuk ke dalam tubuhnya
selalu keluar sebagai air bersih. Teringat itu, Sidat pun terbit
harapannya. Dengan semangat, ia berenang kembali ke arah hilir.
Sayangnya, sesampainya Sidat ke rumah temannya, didapatinya
temannya itu sakit dan keletihan. Sidat menyampaikan maksud
untuk meminta pertolongan Remis. Namun, Remis meminta
maaf karena tidak dapat menyanggupinya. Ia merasa hidupnya
tak lagi lama. Dititipkannya anak-anaknya kepada Sidat. Larva-
larva itu melompat ke dalam insang Sidat. Setelah berpamitan,
Sidat pun membawa mereka ke arah hulu.
Sidat merawat anak-anak Remis seperti merawat anak-
anaknya sendiri. Disiapkannya makanan dan dilarangnya mereka
makan makanan yang membahayakan.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 217


Setelah beberapa lama, anak-anak Remis itu pun tumbuh
besar dan menampakkan keahlian seperti ibunya. Air kotor yang
masuk ke tubuhnya disulap menjadi air bersih yang dikeluarkan.
Berkat kerja keras mereka, bagian sungai di bawah gayam itu
menjadi perairan yang bersih.
Pada suatu hari seorang petani turun ke sungai untuk
membersihkan cangkul. Alangkah terkejutnya ia melihat sosok
Sidat di sana. Sidat juga sama kagetnya dan segera bersembunyi di
bawah rumpun eceng gondok. Ternyata entah bagaimana beberapa
malam sebelumnya petani itu bermimpi. Dalam mimpinya ia
mendapat sebuah nasihat. Jika ia mendapati ada sidat di sungai,
itu artinya penjaga sungai telah kembali. Warga desa seluruhnya
harus membersihkan sungai itu.
Tak lama kemudian dusun itu penuh dengan kesibukan.
Ternyata mereka mengadakan perayaan mertidesa sebagai wujud
rasa syukur kepada Yang Kuasa. Di antara rangkaian acaranya
adalah mertikali. Semua orang, baik tua mapun muda, laki-
laki maupun perempuan, membersihkan badan-badan air dari
sampah-sampah plastik.
Pada akhirnya, untuk pertama kalinya dalam waktu yang
sangat lama, sungai itu menjadi bersih. Hewan-hewan air merasa
nyaman tinggal di sana. Sampah dan limbah memang terus
berdatangan dari hulu. Namun, bukan berarti yang membersihkan
itu tidak ada hasilnya.
Sidat merasa lega dan gembira. Pada suatu ketika ia akan
kembali menuju rahim samudera tempatnya dilahirkan. Namun,
hingga saat itu tiba, ia akan menjaga sungai itu bersama teman-
temannya.

218 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Reforma Agraria Maritim
Kus Sri Antoro1

Ruang Lingkup Agraria


Undang-undang No 5 Tahun 1960, yang penetapannya menjadi
tonggak Hari Tani, menakrifkan agraria sebagai ruang yang
meliputi bumi, air, dan udara. Batasan tersebut lebih luas daripada
makna agraria yang dipersempit sebagai tanah oleh kebijakan,
diskursus gerakan, dan studi agraria yang ada saat ini. Telah umum
diketahui bahwa Indonesia adalah kawasan kepulauan, di mana 70
persen wilayahnya berupa laut, dengan rincian luas daratan sekitar
1,937 juta km2, luas laut kedaulatan 3,1 juta km2, dan luas laut Zona
Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km2. Tercatat pula dalam sejarah bahwa
bangsa-bangsa di nusantara pernah menjadi bangsa maritim
yang besar. Potensi dan kekayaan kelautan Indonesia diprediksi
mencapai total US$ 171 milyar per tahun (1.624 trilyun rupiah)
yang bersumber dari Perikanan, Wilayah Pesisir, Bioteknologi,
Wisata Bahari, Pertambangan dan Transportasi Laut, namun nilai
potensi ekonomi tersebut menyumbang produk domestik bruto

1 Penulis adalah alumnus Pascasarjana IPB pada program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Pegiat di Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA).
nasional sebesar 20 %. Argumentasi yang muncul kemudian
adalah kelautan terpinggirkan dalam diskursus pembangunan.

Sejarah Penguasaan
Sebagai kawasan maritim (insular region), Indonesia memiliki
tiga laut utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system
yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda (Lapian, 1991). Pada
abad ke-15 hingga ke-17, laut utama tersebut merupakan laut
inti bagi Asia Tenggara (Reid, 1988), bahkan secara geopolitik
penduduk kepulauan nusantara terlibat secara aktif sebagai subyek
(bukan obyek) dalam pelayaran dan perdagangan internasional
antara Eropa dengan Cina melalui selat Malaka (Christie, 1999).
Penguasaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit atas pintu gerbang
pelayaran dunia, yaitu Selat Malaka, menjadikan kedua kerajaan
itu sebagai kerajaan maritim dengan wilayah kekuasaan yang luas
selama beberapa abad. Kemudian, kerajaan maritim di nusantara
berkembang seiring perkembangan kekuatan dagang islam,
melahirkan kasultanan seperti Cirebon, Samudera Pasai; Tidore;
dan Makassar.
Ketika bangsa-bangsa Eropa datang di perairan nusantara,
batas wilayah laut belum menjadi persoalan yang penting di
antara kekuatan-kekuatan ekonomi nusantara karena berlaku
prinsip perairan bebas, sebagaimana pendapat Grotius (1609)
: mare liberium, yang mengemukakan bahwa ’laut tidak dapat
dijadikan milik suatu negara karena tidak dapat dikuasai dengan
tindakan okupasi , dengan demikian menurut sifatnya, lautan
adalah bebas dari kedaulatan negara manapun’. Akan tetapi,
kemenangan angkatan bersenjata VOC atas kerajaan-kerajaan
maritim di nusantara membawa akibat pemberlakuan monopoli
perdagangan dan pelarangan bagi suku bangsa tertentu untuk
melakukan pelayaran di perairan wilayah yang diklaim sebagai
kekuasaan VOC.

220 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sistem tersebut disempurnakan ketika Pemerintah Kolonial
Belanda menerbitkan Staatblad tahun 1939 No. 442 mengenai
’Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie’ (Ordonansi
Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) yang bertujuan untuk
mempertahankan aset Hindia Belanda dengan menentukan laut
teritorial Hindia Belanda adalah tiga mil dari garis air surut pulau-
pulau terluar wilayah kekuasaannya, selebihnya merupakan laut
internasional/bebas. Di luar jarak tiga mil itu merupakan laut
internasional atau laut bebas, dengan demikian pendayagunaan
potensi kelautan dimatikan. Seiring dengan hal itu, sumberdaya
daratan diperah melalui sistem perkebunan dan sistem kehutanan,
yang berujung pada perombakan hukum agraria pada tahun 1960.
Ordonansi 1939 baru secara resmi tidak berlaku ketika
pengumuman pemerintah 13 Desember 1957 (Deklarasi
Djuanda) dengan konsep Asas Negara Kepulauan diterbitkan,
asas ini didasarkan pada ketetapan Mahkamah Internasional
1951 mengenai ’Asas Archipelago’ sebagai dasar hukum laut
Indonesia, maka Indonesia resmi menjadi ’Archipelagic State’
dengan batas laut teritorial menjadi 12 mil diukur dari garis yang
menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari
wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut (Hamzah, 1984).
Selanjutnya, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia selebar
200 mil diukur dari garis dasar diumukan pada 12 Maret 1980,
pengumuman ini disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1983 tentang
ZEE yang memisahkan perairan dari ruang lingkup agraria,
demikian pula dengan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.

Perbedaan Ekologi Politik


What difference does nature make? (Peluso, 2006), ini
merupakan pertanyaan khas dari kajian ekonomi politik
sumberdaya alam—selanjutnya, kajian ini dikenal sebagai ekologi

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 221


politik. Secara harfiah, pertanyaan tersebut digunakan untuk
mengenali perbedaan-perbedaan yang muncul dari pengurusan
alam yang juga berbeda-beda, hal ini penting karena efek sosial;
ekonomi; politik; kebudayaan; dan lingkungan hidup pada sektor
perkebunan berbeda dengan pertanian, sektor pertambangan
berbeda dengan kehutanan, sektor kelautan berbeda dengan
daratan, atau kombinasinya, semisal pertambangan di laut
berbeda dengan pertambangan di darat.
Hak dan akses merupakan isu utama dalam diskursus agraria,
hak berkaitan dengan kesahihan klaim atas ruang seisinya yang
ditentukan oleh seperangkat hak / a bundle of rights (Schlager dan
Ostrom, 1992), sedangkan akses berkaitan dengan penguasaan
dan pemanfaatan ruang seisinya yang ditentukan oleh seperangkat
kekuasaan/a bundle of powers (Ribot dan Peluso, 2003). Keduanya
tidak selalu hadir secara bersama-sama dalam kenyataan.
Cadangan sumberdaya di laut relatif sama dengan di darat,
terkecuali ikan dan air yang dipengaruhi oleh migrasi. Sehingga,
sebaran emisi dan dampak ekologis akibat corak produksi
sumberdaya di laut lebih luas daripada di darat. Akses terhadap
sumberdaya laut sangat dipengaruhi oleh modal, alat produksi
(kapal), dan cuaca, hal ini relatif sama dengan pertanian yang
termodernisasi. Namun, hak milik tidak dapat diberlakukan
di atas perairan, dengan demikian fungsi sosial perairan
lebih kuat daripada daratan. Sosiologi masyarakat petani dan
peladang berpindah juga berbeda dengan nelayan, terutama
dari sisi kesempatan berusaha dan strategi nafkah. Ekonomi
politik kelautan bernuansa kental geopolitik ketika melibatkan
relasi negara-negara, sedangkan di daratan persinggungan itu
berkutat antara pasar, negara, dan masyarakat sipil. Konflik
struktural agraria di daratan bersifat internal melibatkan relasi-
relasi politik dan modal, sedangkan konflik struktural agraria

222 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
di laut dapat bersifat bilateral melibatkan kekuatan pertahanan
nasional. Konsolidasi nasional untuk menyikapi konflik agraria
kelautan lebih mudah terjadi daripada di daratan. Akhirnya,
kerangka analisa untuk memetakan, mengurai, memahami, dan
memutuskan persoalan kelautan tidak dapat lagi menggunakan
perspektif daratan.

Reposisi Reforma Agraria


Bagaimanakah pengaturan hak dan akses atas sumberdaya
kelautan dikerangkakan dalam reforma agraria? Tidak mudah
menjawab pertanyaan ini.
Albert Einstein, fisikawan dalam teori relativitas, pernah
berujar: anda tidak dapat memecahkan permasalahan dengan
kerangka pemikiran yang melahirkan permasalahan yang ingin
anda pecahkan. Artinya, dibutuhkan keberanian untuk keluar dari
paradigma yang menjadi arus utama, keberanian untuk melihat
permasalahan dari luar lingkup pengalaman. Sekali lagi, hal ini
memang tidak mudah, terutama bagi aktor yang memperlakukan
perspektif sebagai doktrin.
Apa yang tampak sebagai penyelesaian, boleh jadi
sesungguhnya merupakan persoalan yang harus diselesaikan.
Semisal, 1) pelepasan pulau di kawasan strategis ke negara tetangga
untuk menyelesaikan sengketa wilayah yang berkepanjangan,
padahal akar masalah sesungguhnya adalah kedaulatan, 2)
pemberian ijin penangkapan ikan oleh korporasi besar di atas
perairan yang telah lama diatur oleh hukum adat, 3) penetapan
kawasan konservasi laut yang berdampak pada penutupan akses
pangan nelayan, dan 4) desentralisasi wewenang atas pengelolaan
sumberdaya kelautan yang berdampak pada pengkaplingan laut.
Konsep Mare Liberum telah bergeser ke Mare Reservarum
(Russ dan Zeller, 2003), penerapannya adalah globalisasi isu

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 223


ekologi melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
Turunan dari CCRF adalah International Plan of Action (IPOA)
tentang Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
Berbagai Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs)
dibentuk tanpa terikat dengan pertimbangan geografis, semisal
CCSBT di wilayah Pasifik dan IOTC di wilayah Samudera Hinida.
Indonesia tidak masuk sebagai anggota IOTC dan CCSBT, akses
Indonesia ke wilayah Pasifik, Samudera Hindia, bahkan ZEE akan
dianggap pelanggaran IUU. Jika ketimpangan penguasaan agraria
menjadi akar masalah di daratan, maka hal itu berlaku sama bagi
kelautan. Jika reforma agraria dalam UUPA dimaksudkan untuk
merombak struktur penguasaan agraria agar berkeadilan, maka
hal itu seharusnya berlaku sama bagi kelautan.
Pemikiran yang kritis dan progresif dibutuhkan untuk
mengenali karakter dan menyikapi dinamika ekonomi politik
dari ekosistem yang mengisi 70 persen kawasan Indonesia. Jika
kelautan tidak dapat diterima sebagai bagian dari ruang lingkup
agraria, maka penyederhanaan makna agraria, sebagaimana
penyederhanaan reforma agraria sebatas redistribusi dan
penertiban administrasi tanah, dapat diterima begitu saja sebagai
hal yang sudah tepat.

Bogor, 2012

224 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Dari Ikan ke Pendidikan:
Membicarakan Sistem Kelola
Danau dan Sungai di Kapuas
Nahary Latifah

“Ibu gimana kabarnya? Anak-anak murid Ibu udah pada pada


kuliah, Bu.“ Pada kesempatan lain, pesan itu berlanjut, “Bu,
Leni bulan 6 seminar proposal, Bu. Hehe.” Demikian, Leni,
murid Sekolah Dasar (SD) tempat saya bertugas di Empangau,
Kapuas Hulu beberapa tahun yang lalu itu berbagi kabar. Sampai
kemudian hari, “Bu, Leni dapat beasiswa PPG.” Saya tersenyum
bahagia mendapat kabar-kabar baik darinya, terutama saat tahu
bahwa banyak adik kelasnya yang melanjutkan sekolah hingga
jenjang Perguruan Tinggi. Kegembiraan itu bukan tanpa alasan.
Sampai dengan selesai masa tugas mengajar pada tahun 2012, saat
Leni masih SD, tidak banyak anak di desa itu yang meneruskan
kuliah. Kini, jumlah remaja yang menyelesaikan pendidikan di atas
Sekolah Menengah Pertama (SMP) meningkat pesat. Pasalnya,
Sekolah Menengah Atas (SMA) telah didirikan di desa itu.
Keberadaan SMA di Empangau, sebuah desa di tepi sungai
Kapuas, Kalimantan Barat ini sangat berarti. Sebelumnya, mereka
harus sekolah ke luar Empangau, kebanyakan di kecamatan
Jongkong. Bukan perkara sederhana ketika mereka harus sekolah
ke luar desa. Desa-desa di Kapuas terpisah satu sama lain oleh
sungai-sungai. Karena sekolah yang ada di desa hanya sampai
tingkat SMP, bagi yang melanjutkan SMA, mereka harus tinggal
di kecamatan Jongkong untuk menghemat biaya, menyewa kamar
atau menumpang di rumah sanak kerabat dan pulang saat akhir
pekan. Sebagian lagi memilih untuk tidak melanjutkan sekolah.
Jongkong, sebagai kota kecamatan yang paling dekat dengan
Empangau harus ditempuh dengan perahu bermesin tempel,
perahu tambang, atau speed boat. Ongkos naik moda transportasi
air cukup mahal karena harga bahan bakar di sana juga tinggi. Sekali
jalan, mereka harus mengeluarkan sekitar 50.000-80.000 rupiah,
tergantung pasang surutnya air sungai. Saat air pasang, perjalanan
menjadi murah karena jarak tempuh lebih dekat sehingga bahan
bakar perahu bisa dihemat. Perahu dan speed boat dapat melewati
sungai-sungai pasang surut di hutan dan memotong jarak dari pada
harus mengelilingi meander Kapuas. Sebaliknya, sungai-sungai di
dalam hutan mengering, perahu harus memutar, menambah jarak
tempuh, menghabiskan lebih banyak bahan bakar.
Ketika SMA di Empangau didirikan, mereka yang telah
lulus SMP Empangau tidak perlu bersusah payah lagi. Lengkap
sudah sarana pendidikan dasar yang dibutuhkan, dari Taman
Kanak-kanak (TK) hingga tingkat SMA. Awalnya, SMA itu masih
menumpang di gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang
ada di bagian hilir kampung. Kini, bangunan SMA telah berdiri di
dekat SD di sebelah hulu kampung. Saat ini, SMA PDL tidak hanya
untuk anak-anak Empangau. Sekolah ini juga menjadi pilihan
alternatif bagi warga kampung lain, seperti Ujung Said, Teluk
Aur, dan Pengelang. Kecuali Ujung Said yang sudah terhubung
dengan jalan darat, perhubungan Empangau dengan kampung-
kampung lain masih terbatas melalui sungai sehingga anak-anak
yang bersekolah di SMA PDL memilih menetap di rumah saudara

226 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
mereka di Empangau. Namun, hal itu dirasa lebih baik, dari pada
harus jauh ke ibu kota kecamatan.
Sekolah Menengah Atas Peduli Danau Lindung (SMA PDL),
demikian nama sekolah tersebut. Nama Danau Lindung diambil dari
kawasan kebanggaan desa, sebuah danau yang ditetapkan sebagai
daerah konservasi arwana merah, ikan endemik Kapuas. Nama itu
sekaligus menjadi penanda bahwa sekolah itu adalah hasil inisiatif
dan gotong royong warga melalui Rukun Nelayan. Sebelumnya TK
yang ada di Empangau Hilir juga merupakan hasil pemasukan dari
danau dan sungai-sungai yang dikelola oleh kelompok nelayan.
Tidak hanya mendirikan, organisasi nelayan ini juga bertanggung
jawab untuk menyubsidi dana pendidikan dan menggaji guru-guru
SMA, orang-orang Empangau yang sebelumnya punya kesempatan
untuk menempuh pendidikan tinggi. Subsidi yang diberikan oleh
kelompok nelayan tersebut mencapai puluhan juta tiap tahunnya.
Dana organisasi selain untuk menyubsidi sekolah juga dipakai
untuk keperluan lainnya. Sebagian kecil dana tersebut dipakai
untuk kebutuhan internal, lainnya dialokasikan untuk kegiatan
keagamaan, serta bantuan langsung pada warga, seperti selamatan
haji, santunan duka, dan sebagainya.

Empangau, Kampung Nelayan di Tepi Kapuas


Dalam tulisan ini, yang dimaksud sebagai Empangau adalah
dua desa yang berdampingan, yaitu Desa Empangau dan Desa
Empangau Hilir. Desa Empangau Hilir adalah hasil pemekaran Desa
Empangau pada tahun 2011. Meskipun secara administratif sudah
berpisah, sudah ada batas-batas geografis yang ditentukan, kedua
warga desa sepakat bahwa tidak ada pemisahan dalam wilayah
kerja. Tidak adanya pemisahan wilayah kerja ini terjadi karena
penduduk di Empangau dan Empangau Hilir berkepentingan
terhadap sumber daya alam sebagai sumber penghidupan mereka.
Klaim ini juga didukung dalam relasi kekerabatan yang dekat dan

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 227


erat, sebagaimana yang diucapkan oleh warga, “Paling jauh dituk
sepupu dua kali (paling jauh hubungan keluarga di sini masih
satu keturunan dari buyut)”. Wilayah kerja yang dimaksud adalah
wilayah perairan, berupa sungai dan danau serta wilayah daratan,
seperti kebun dan hutan.
Empangau berada di tepi Sungai Kapuas, Kecamatan Bunut
Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Dari
ibu kota kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau, perjalanan menuju
perkampungan ini bisa ditempuh selama 3-4 jam ke arah hilir
menyusuri Kapuas dengan speed boat bermesin 40 PK. Dari kota
kecamatan Bunut Hilir, untuk milir (menuju hilir) ke Empangau
dibutuhkan waktu sekitar satu jam dengan kendaraan yang sama.
Kampung Empangau didirikan oleh Kerajaan Melayu Bunut
lebih dari dua ratus tahun lalu untuk menjaga perbatasannya
dengan Kerajaan Melayu Jongkong yang terletak di muara sungai
Embau, anak sungai Kapuas. Pada awalnya, hanya ada enam
keluarga dari Bunut yang diminta mendiami Empangau sebagai
tanda bahwa bahwa yang ditempatinya ini masih menjadi daerah
kekuasaan Kerajaan Bunut.
Karena persediaan ikan yang melimpah, banyak orang,
termasuk dari Embau pindah ke Empangau dan turun-temurun
menetap di sana. Migrasi penduduk ke Empangau semakin
meningkat tatkala hutan Empangau dibuka untuk penebangan
kayu sekitar tahun 1980-1990-an, juga karena ramainya aktivitas
perdagangan dan perburuan arwana kala itu.
Desa ini mempunyai tipe pemukiman dengan pola linear,
rumah-rumah berderet mengikuti alur sungai. Sungai Kapuas
bagi warga Empangau adalah pusat aktivitas harian, seperti
mandi, cuci, dan memelihara ikan di keramba. Sebelumnya,
air Kapuas memang menjadi sumber utama air minum, tetapi
seiring pencemaran dari wilayah hulu dimana penambangan

228 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
emas ilegal terjadi, warga mulai enggan mengonsumi airnya.
Untuk memenuhi kebutuhan air minum, kini dibuat saluran air
yang mengalirkan air dari Bukit Sarai yang berada di dusun Jaung
tempat komunitas Iban berdiam.

Foto 1 Gertak, jembatan kayu yang mengubungkan antar rumah panggung di


Empangau. Kini, gertak sudah berganti denganm beton

Empangau dan kawasan sekitarnya adalah sebuah kesatuan


ekosistem perairan darat yang mempunyai tipe perairan rawa
banjiran dengan danau-danau di sekitar Daerah Aliran Sungai
(DAS) Kapuas. Saat air pasang, Sungai Kapuas dan danau-danau
terhubung oleh sungai-sungai pasang surut (channel) atau
daratan banjiran (floodplain). Kondisi perairan seperti di atas
membuat Empangau kaya akan ikan. Musim banyak ikan untuk
ditangkap terjadi saat air mulai pasang (curah hujan tinggi) dan
saat air mulai surut (curah hujan rendah). Saat pasang awal, ikan
bermigrasi menuju danau, sedangkan saat air mulai surut, ikan-
ikan dari danau tadi kembali menuju sungai. Bukan hanya hutan
yang digenangi air saat pasang, kawasan pemukiman pun tidak

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 229


luput dari luapan Kapuas sehingga rumah-rumahnya dibangun
dengan model panggung. Ketika musim itu tiba, air membanjiri
pemukiman. Untuk sekedar mencari lauk, tidak perlu jauh ke
sungai, cukup memasang alat tangkap di bawah rumah.
Mayoritas penduduk Empangau bekerja sebagai nelayan.
Sektor lain yang menjadi tumpuan ekonomi rumah tangga
adalah perkebunan karet (saat harga karet jatuh mereka beralih
menanam kratom). Pembagian kerja berbasis jenis kelamin tidak
mutlak. Data kedua desa pada menyebutkan jumlah nelayan per-
November 2013 sebanyak 384 nelayan laki-laki dan 104 nelayan
perempuan. Sekalipun sebagian orang memilih untuk berkebun,
sehari-hari mereka tidak lepas dari aktivitas perikanan, seperti
budidaya ikan di keramba atau kolam, pengolahan ikan menjadi
kerupuk, ataupun begajih (menjadi orang yang diupah untuk
membersihkan ikan dengan sistem bayaran dihitung tiap kilo
ikan yang dibersihkan). Saat musim ikan datang, baik orang tua,
muda, maupun anak-anak ramai begajih. Kadangkala, sampai
susah mendapatkan orang untuk membantu membersihkan ikan.

Foto 2 Pamer Belidak tangkapan Apak

230 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Foto 3 Begajih

Pengelolaan Danau Pasca Penetapan Konservasi dan


Munculnya Elite Lokal Baru
Sejak tahun 1980-an, Empangau menjalani babak baru
pertumbuhan ekonomi berkat keberadaannya sebagai daerah
penghasil arwana (siluk) merah. Sebelumnya, status satwa
endemik dari perairan Kapuas ini hanyalah ikan konsumsi. Ikan
ini yang harus diasinkan dulu agar laku dijual di pasar. Mitos
tentang ikan yang membawa keberuntungan ini membuat
harga arwana melambung karena para tengkulak dari Pontianak
mencari daerah penghasil arwana hingga hulu Kapuas. Perubahan
harga yang terjadi sangat signifikan, dari hanya ribuan per-kilo
hingga mencapai sekitar 3,5 juta rupiah per ekornya. Di Empangau
juga terjadi perburuan arwana besar-besaran. Saat itu, status
kawasan perairan Empangau adalah open access sehingga orang
dari manapun bebas masuk dan melakukan penangkapan ikan.
Perburuan di berbagai daerah membuat arwana langka, bahkan
punah di beberapa tempat.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 231


Sebelum terjadi kepunahan arwana seperti yang terjadi di
luar Empangau, beberapa nelayan mulai membuat berbagai
kesepakatan tentang penangkapan ikan di danau. Sadar akan
nilai ekonomi yang tinggi dari arwana usaha-usaha perlindungan
pun dilakukan oleh para nelayan. Mulai pertengahan 1980-an,
beberapa nelayan untuk melakukan perlindungan dengan usaha
restocking (pelepasliaran) dan menegakkan aturan pembatasan
penangkapan agar ikan tersebut tidak menghilang. Sejak saat
itu, peraturan yang disepakati para nelayan ini terbukti mampu
mencegah ikan ini dari kepunahan.
Nama Empangau sebagai penghasil arwana alam (bukan
hasil pemijahan di kolam) serta keberhasilannya dalam usaha
konservasi lokal itu menarik perhatian calon Bupati saat itu,
Abang Tambul Husin. Ia meminta penundaan pelepasliaran
arwana agar dilakukan pasca pelantikannya nanti. Setelah
terpilih, penggagas Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi
itu kemudian mencanangkan danau Empangau sebagai Danau
Lindung dengan SK Bupati Kapuas Hulu No. 6 tahun 2001.
Konsekuensi status danau lindung tersebut adalah adanya aliran
dana dari pemerintah yang harus disalurkan kepada desa. Saat
itu, Bupati terpilih menjanjikan bantuan dana untuk pembelian
12 ekor arwana yang baru bisa dicairkan dengan pengajuan
proposal dari nelayan. Urusan-urusan dana dan persiapan
pelepasan oleh Bupati mengharuskan para nelayan membentuk
organisasi resmi sebagai legalitas di tingkat pemerintah daerah.
Dari sini, terbentuklah organisasi Rukun Nelayan yang dalam
perkembangannya menjadi Lembaga Kontak Tani Nelayan
dan yang terakhir menjadi Kelompok Masyarakat Pengawas
(Pokmaswas) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Organisasi nelayan yang terbentuk kemudian berperan
penuh mengontrol akses seluruh warga terhadap Danau

232 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Empangau maupun perairan lainnya. Sebelum dibentuk Rukun
Nelayan, segala urusan yang menyangkut penangkapan ikan dan
pembagian daerah tangkapan adalah kewenangan dari seorang
Ketua Nelayan. Sampai tahun 1970-an, saat Empangau masih
berstatus menjadi kampung/dusun, segala otoritas menyangkut
urusan nelayan, adminstrasi kampung, hingga adat menjadi kuasa
Kepala Kampung sampai tahun 1970-an.
Sebagai elite, pengurus organisasi nelayan mempunyai
kewenangan mengatur keuangan yang berasal dari hasil
pengelolaan kawasan perairan. Organisasi nelayan juga
menerbitkan seperangkat aturan yang membatasi dan mengatur
penangkapan ikan di wilayah perairan Empangau. Peraturan ini
sebagian diadopsi dari Kitab Hukum Adat Kerajaan Melayu Bunut,
sebagian lagi disesuaikan sesuai dengan kebutuhan, kesepakatan
warga, dan aturan dari pemerintah. Aturan dalam pengelolaan
perairan ini dihasilkan dari musyawarah nelayan yang diadakan
rutin tiap awal tahun.
Pengurus nelayan memiliki kewajiban menjaga perairan,
serta memiliki hak untuk mengeluarkan sanksi bagi pelanggar
aturan. Peraturan Danau Lindung mempunyai sanksi yang sangat
berat untuk pelanggarnya. Sebagai contoh, pernah ada warga
yang nekad mencuri indukan arwana di danau. Setelah ditelusuri,
akhirnya ditangkap kemudian diadili, dijatuhilah pencuri itu
hukuman denda yang mencapai hampir seratus juta rupiah. Ia
terpaksa menjual kebun dan hampir saja rumahnya, lalu pergi
ke Malaysia. Hal yang paling berat, seumur hidup dia tidak boleh
bekerja di danau Empangau. Sanksi yang keras ini yang membuat
peraturan nelayan itu tetap ditegakkan hingga kini dan tidak
seorang pun warga berani melanggar.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 233


Foto 4 Melintasi Danau Empangau dengan perahu

Foto 5 Danau Empangau

Nelayan dan Akses Sumberdaya Perairan: Dari Kuasa hingga


Modal
Sungai Kapuas dengan panjang 1.086 km adalah sumber
perikanan darat terpanjang di Indonesia yang memiliki nilai
ekonomi yang penting karena menghidupi puluhan ribu nelayan
di sepanjang daerah alirannya. Kabupaten Kapuas Hulu memiliki
luas wilayah perairan umum ± 450.257 hektar, terdiri dari 202
sungai dan 147 danau. Data ini belum termasuk ratusan sungai
kecil yang merupakan sungai pasang surut yang menghubungkan

234 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sungai Kapuas dengan danau-danau di sekitarnya. Saat ini, kondisi
perikanan tangkap perairan darat (sungai, danau) di Kapuas
Hulu jika dibanding dekade sebelumnya, hasilnya mengalami
penurunan. Penurunan itu disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya pencemaran air akibat dari penambangan emas
ilegal, penggunaan pestisida dan herbisida di perkebunan sawit,
hingga sampah harian penduduk. Pencemaran ini diperparah
dengan rusaknya ekosistem sekitar sungai seperti hutan dan rawa
yang menyebabkan berkurangnya habitat alami ikan. Ditambah
lagi, peningkatan jumlah penduduk (berarti pula konsumsi ikan
naik) membawa dampak pada penangkapan ikan yang berlebihan
(overfishing).

Foto 6 Jaringan sungai-sungai di kawasan Penepian

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 235


Foto 7 Sketsa perairan sekitar Empangau

Kondisi overfishing biasanya berlangsung pada sungai dan


danau yang berstatus milik bersama. Sumber daya komunal ini
pemanfaatannya ditentukan oleh kebijakan, bisa dari pemerintah
atau komunitas itu sendiri. Perihal pengelolaan inilah yang
kemudian menentukan seberapa besar nelayan bisa mengakses
sumber daya perairan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada sumber daya yang bersifat bebas dan terbuka (open access),
semua orang bebas memanfaatkan sumber daya tergantung dari
kekuatan modal (alat, relasi kuasa, dsb). Kebebasan ini akan
menjadi perebutan sumber daya sehingga membuka peluang
timbulnya konflik.
Perairan Empangau tidak luput menjadi ruang yang
diperebutkan dimana relasi properti tidak bisa dilepaskan
darinya sebagai bagian dari alat produksi. Wacana ini kemudian
melahirkan sejumlah pertanyaan siapa menguasai apa, siapa yang

236 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
terlempar dari suatu penguasaan ruang dan bagaimana itu bisa
terjadi, serta bagaimana bentuk redistribusi agar ketimpangan
tidak terjadi terlalu tajam
Sungai-sungai kecil yang menghubungkan antara danau-
danau dengan Kapuas adalah sumber ikan yang berarti karena
ikan yang sedang bermigrasi melalui jalur yang sempit menjadi
mudah ditangkap. Hingga tahun 1980-an ketika penduduk
Empangau masih sedikit, Ketua Nelayan mempunyai peran
penting untuk menentukan siapa yang bisa dan yang tidak untuk
menangkap ikan di sungai. Pengaturan yang berlaku di Empangau
saat itu adalah dengan mekanisme giliran. Seseorang ketika akan
mengerjakan sungai harus minta izin kepada Ketua Nelayan
dan jika tahun ini sudah mengerjakan Sungai A misalnya, maka
tahun berikutnya ia tidak boleh mengerjakan sungai yang sama
agar warga lainnya mendapat kesempatan. Warga yang tidak
mendapat jatah mengelola sungai kecil cukup puas dengan hasil
tangkapannya di danau dan sungai Kapuas yang bebas.
Ketika populasi penduduk meningkat, warga berebut untuk
bisa menangkap ikan di sungai-sungai kecil. Untuk menghindari
konflik, mulai sekitar tahun 1994, diadakanlah pencabutan undian
untuk menentukan siapa yang berhak menangkap ikan di sungai-
sungai kecil tersebut. Ada puluhan sungai di kawasan Hutan
Sejap (daerah hutan adat di sebelah hulu kampung) dan kawasan
Penepian (hilir kampung) yang bisa diundi. Cabut undi ini
sifatnya bebas dan terbuka bagi seluruh warga Empangau. Tidak
semua sungai diundi, hanya sungai-sungai tertentu yang memiliki
potensi ikan besar yang diatur penangkapannya. Kawasan danau
(selain Danau Lindung) dan Sungai Kapuas adalah zona bebas
bagi siapa pun yang akan menangkap ikan di sana tanpa harus
diundi.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 237


Cabut undi dilaksanakan setiap awal tahun. Sejak tahun 2013,
pencabutan undian dilakukan dua kali. Cabut undi yang pertama
dilakukan di kampung Empangau, sedangkan cabut undi kedua
dilakukan di kompleks Danau Mara (untuk menyebut jaringan
sungai yang terhubung dengan Danau Mara). Pada cabut undi
yang pertama, sungai-sungai yang diperebutkan adalah sungai-
sungai yang secara administratif berada di wilayah desa Empangau
dan Empangau Hilir dan hanya diperuntukkan warga Empangau
dan Empangau Hilir. Cabut undi yang kedua dilakukan di danau
Mara di Penepian untuk mengakomodir warga desa Kuala Buin
yang juga mempunyai wilayah kerja yang sama dengan warga
Empangau. Uang hasil cabut undi di kawasan Penepian dibagi
untuk Empangau dan Kuala Buin.
Mekanisme cabut undi tersebut dianggap mampu meredam
konflik perebutan daerah tangkapan ikan yang terbatas, bahkan
seringkali disebut sebagai kearifan lokal. Namun, apakah
mekanisme itu dirasa adil bagi semua orang mengingat sungai
yang diundi adalah sungai-sungai yang potensi ikannya paling
besar di kawasan perairan desa? Untuk mencari jawabannya, saya
mencoba mendeskripsikan bagaimana peristiwa undian sungai
pada tahun 2014.
Hal yang harus dipersiapkan bagi seseorang untuk ikut
cabut undi tentu saja adalah uang untuk membeli undian
yang setiap lintingnya dihargai 1000 rupiah. Setiap orang bisa
membeli lebih dari 1 undian, tanpa batasan dan menentukan
urutan pengambilan undian sendiri. Dulu pembelian undian
sungai jumlahnya dibatasi, satu orang hanya boleh membeli satu
undian. Kemudian 1 orang boleh membeli 10 undian. Kebutuhan
dana untuk pembentukan Danau Lindung membutuhkan biaya
yang banyak. Untuk itu, undian dibuat sebanyak mungkin agar

238 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
pemasukan juga meningkat. Dari situlah kemudian tidak ada
batasan dalam pembelian kupon undian sungai.
Mekanisme undian dimulai dengan mengundi sungai-sungai
satu-satu persatu secara berurutan. Ada loket dari setiap Rukun
Tetangga (RT) untuk mendaftarkan diri. Peserta tidak harus
mendaftarkan diri pada RT-nya masing-masing. Mereka bebas
memilih bahkan bebas mendaftarkan diri ke beberapa RT.
Pada undian Sungai Sejap, Wa Obi menghabiskan uang Rp
105.000 sehingga dia berhak mendapatkan 105 linting undian.
Ada 600 kertas undian yang artinya ada 600 linting kertas yang
telah dibeli, dimasukkan dalam satu wadah untuk undian Batang
(sungai) Sejap. Dari ke-600 kertas undian tersebut, sebanyak 599
lembar kosong, hanya 1 lembar yang berisi nama sungai. Untuk
lebih jelasnya, jalannya pengambilan undian seperti berikut:
1. Pada kesempatan ke-1 pendaftar di RT 1, yakni A mengambil
10 kupon undian karena dia membayar 10.000 rupiah. Dari 10
kupon undian yang dibeli, ternyata kosong semua.
2. Kesempatan ke-2 pengambilan undian dilakukan pendaftar
RT 02 nomor urut 1, yakni Wa Obi. Dari 20 kupon, kosong
semua.
3. Kesempatan ke-3 diberikan pada pendaftar RT 03 no. urut 1,
yakni B. Karena dalam 50 kupon yang dibeli, satu diantaranya
terdapat “Batang Sejap”, Maka B lah yang mendapatkan hak
untuk mengelola Sungai Batang Sejap selama 1 tahun.
4. Setelah B mendapat undian Batang Sejap, peserta yang lain
gugur, tapi uang yang sudah dipakai untuk membeli undian
tidak dikembalikan.
5. Selain harus mengeluarkan uang untuk membeli undian,
si pemenang harus membayar uang income (administrasi
sungai) sebesar 200.000 rupiah (jumlah income tiap sungai
berbeda, tergantung besar-kecil dan potensi ikannya).

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 239


Foto 8 Mengambil undian, berharap keberuntungan

Setelah Batang Sejap selesai diundi, pencabutan untuk sungai


berikutnya baru dilaksanakan dan seterusnya hingga habis. Dalam
mekanisme cabut undi ini, orang yang sudah memenangkan satu
sungai masih bisa mengikuti undian sungai lain. Banyaknya kupon
yang dibeli memang tidak menentukan apakah dia mendapatkan
undian atau tidak, tetapi ada semacam keyakinan semakin banyak
kupon yang dibeli semakin besar peluang memenangkan undian
sungai.
Tidak mengherankan jika kemudian dalam satu periode cabut
undi seorang nelayan bisa menghabiskan uang ratusan hingga
jutaan rupiah. Wa Obi misalnya, pada cabut undi tahun 2013, ia
menghabiskan modal Rp. 1.500.000,- untuk mengejar sungai-
sungai yang terkenal menghasilkan ikan banyak. Beruntung, Wa
Obi bisa patungan dengan sepupu dan iparnya sehingga modal
yang dipikul tidak terlalu berat. Tahun sebelumnya, Wa Obi
juga habis satu jutaan untuk ‘memburu’ Sungai Kepala Sarai.
Beruntung, satu kali kemarau hasil tangkapan ikan di sungai
tersebut menghasilkan pendapatan 40 juta rupiah untuknya.

240 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Foto 9 Membuka undian bersama kerabat

Foto 10 Mencatat siapa yang dapat

Meski cabut undi terbuka untuk seluruh warga Empangau,


beberapa nelayan lain memilih tidak mengikutinya tahun ini.
Seorang nelayan berkata, “Kami tuk nisik modal kak ngimbai
cabut undi” (Kami di sini tidak punya modal untuk ikut undian).
Kondisi keuangan menjadi penghambat para nelayan itu untuk
ikut berkompetisi. Selain modal uang untuk mengikuti undian,
nelayan juga harus memikirkan modal untuk membuat alat
tangkap seperti bubu atau jermal. Bukan sedikit biaya membuat

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 241


alat tangkap, sebuah bubu warin dengan panjang 10 meter bisa
menghabiskan dana lebih dari satu juta rupiah. Nelayan yang
tidak ikut cabut undi atau tidak mendapatkan sungai undian
hanya bisa menangkap ikan di sungai-sungai yang tidak diundi,
di danau, atau di Sungai Kapuas dengan persediaan ikan yang
semakin sedikit seiring overfishing dan pencemaran yang terjadi.
Untuk mengelola sungai, terutama di daerah Penepian yang
besar-besar, para nelayan biasanya memakai bubu warin atau
jermal. Kalau pun nelayan mendapat undian, mereka masih harus
mengeluarkan modal lagi sekitar 4-5 juta rupiah untuk membuat
jermal dengan panjang 70 meter, lebar 9 meter, dan tinggi 9 meter.
Untuk sungai yang lebih kecil, alat yang paling menguntungkan
adalah dengan memasang bubu warin. Untuk membuat bubu
sepanjang 15 meter, uang yang dibutuhkan sekitar satu juta rupiah.
Semakin besar sungai, semakin besar pula modal alat yang
dibutuhkan. Agar uang yang dikeluarkan tidak terlampau besar
biasanya beberapa nelayan kungsi (kerja sama) dengan sistem
bagi hasil. Biasanya yang diajak kungsi masih memiliki hubungan
kerabat atau teman dekat. Bentuk kerja samanya bisa berupa
uang untuk modal undian ataupun alat tangkap, tergantung
kesepakatan.
Akses yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok cenderung
untuk dikontrol dan dipertahankan. Pemertahanan akses
berkenaan dengan upaya untuk menjaga agar akses tetap terbuka
dengan mengeluarkan sumberdaya dan kekuatan yang dimilikinya.
Dalam hal ini, nelayan yang ikut cabut undi kebanyakan adalah
nelayan yang punya modal dari mengelola sungai hasil cabut undi
sebelumnya. Karena merasakan keuntungan yang didapat dari
sungai-sungai khusus itu mereka cenderung ingin mengelolanya
kembali. Dengan berbagai cara, Wa Obi harus mendapatkan
sungai-sungai yang pernah dikerjakannya selama ini. Karena

242 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
minim modal, Wa Obi harus mengajak kerja sama kerabatnya
dengan konsekuensi hasil tangkapan ikannya pun harus dibagi
sehingga keuntungannya akan lebih kecil dari pada nelayan yang
mengerjakan sungai tidak ber-kungsi dengan orang lain.
Lalu, bagaimana dengan nelayan yang belum mendapatkan
hak untuk mengelola sungai-sungai lewat cabut undi? Akses tidak
tergantung pada pengakuan legal, tetapi bagaimana kemampuan
seseorang untuk mendapatkannya. Beberapa nelayan Empangau
yang tidak mendapatkan sungai untuk dikelola kemudian
mengikuti cabut undi di desa lain. Peraturan desa membatasi
peserta yang dapat mengikuti cabut-undi hanyalah warga desa
tersebut. Memang, selain warga desa yang bersangkutan tidak
diperkenankan mengikuti proses cabut undi. Namun, peluang
nelayan luar untuk menguasai akses sungai komunal dari desa
tetangga tetap terbuka lebar, yaitu dengan memanfaatkan
relasi sosial atau hubungan kekerabatan. Seseorang dari desa
Empangau yang merasa kurang dengan hak pengelolaan yang
sudah diperoleh atau tidak mendapatkan masih bisa berusaha
ikut cabut undi di desa Ujung Said. Dengan kekerabatan yang ia
miliki di desa Ujung Said ia bisa ikut cabut undi di sana dengan
modal yang bahkan lebih besar untuk mengejar perairan yang
dianggap mendatangkan keuntungan besar.
Wa Obi dengan kekuatan modal dan relasi sosialnya bisa
mendapatkan akses sungai tanpa harus menjadi warga desa lain.
Di sini, ia secara legal mendapatkan pengakuan sebagai kerabat
dari warga desa Ujung Said. Dalam mekanisme desa tersebut,
kerabat memiliki hubungan darah dengan warga desanya
sehingga ia bisa mendapatkan pengakuan untuk ikut mengelola
sumber daya alam yang ada di wilayah desa tersebut. Dalam
usahanya untuk mengakses sumber daya perikanan, Wa Obi telah
menggabungkan kekuatan modal, identitas

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 243


dan relasi sosialnya sebagai mekanisme mendapatkan
keuntungan.
Selain menjadi mekanisme resolusi konflik, undian juga
menciptakan enclosure (penutupan) yang membatasi atau
malahan mencegah akses orang lain terhadap sungai yang
telah menjadi haknya secara legal (legal access). Namun, setiap
enclosure akan melahirkan strategi lain dalam meraih akses
terhadap sumber daya, sebagaimana yang dilakukan oleh nelayan
Empangau lainnya, Apak Lina misalnya. Akibat keterbatasan akses
di desanya sendiri, Apak Lina dan beberapa nelayan Empangau
menyewa lahan hutan di Jaung, sebuah desa yang didiami suku
Iban. Dengan memanfaatkan karakteristik wilayah floodplain,
mereka membuka area penangkapan ikan saat air pasang
menggenangi dan mengubah lahan tersebut menjadi danau.
Mereka membayar 50.000 rupiah untuk satu buah bubu kepada
pemerintah desa setempat. Masa kelola daerah tersebut adalah
satu tahun dan dapat diperpanjang lagi pada tahun berikutnya.
Apak Lina dan kawan-kawannya dapat mengelola sumber daya
di desa Iban karena warga desa tersebut memiliki sumber daya
yang melimpah, tapi jumlah penduduk lebih sedikit dan kurang
tertariknya mereka bekerja di sektor perikanan.

Dari Sekolah hingga Santunan Kematian: Upaya Redistribusi


Kekayaan Alam
Potensi ikan yang tinggi tidak hanya terdapat di sungai-

sungai yang dicabut-undikan. Danau Empangau yang statusnya
merupakan Danau Lindung kaya akan jumlah ikan dari berbagai
jenis bila dibandingkan dengan danau–danau lainnya. Hal itu
terjadi karena Danau Empangau adalah danau tapal kuda (ox-
bow) yang dulunya merupakan Sungai Kapuas tua yang terputus

244 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
alirannya, sehingga kedalamannya mencapai belasan meter dan
tidak kering saat terjadi kemarau.
Dengan statusnya sebagai kawasan konservasi, danau
Empangau kini menjadi arena yang tidak lagi bebas untuk
dimanfaatkan oleh semua orang. Namun bukan berarti kawasan
danau benar-benar ditutup pemanfaatannya oleh masyarakat.
Warga masih bisa menangkap ikan di zona, maupun waktu
tertentu dengan aturan khusus.
Pasca ditetapkannya Danau Empangau sebagai tempat
perlindungan arwana merah, danau dibagi menjadi dua zona,
yaitu zona ekonomi dan zona konservasi. Lebih dari sepertiga
bagian danau menjadi zona lindung dimana penduduk dilarang
melakukan kegiatan penangkapan ikan dalam bentuk apapun
kecuali sebagaimana yang tercantum pada peraturan Rukun
Nelayan. Masyarakat masih diizinkan menangkap ikan di kawasan
ekonomi.
Pada waktu tertentu, masyarakat Empangau bisa mengakses
kawasan lindung, yaitu saat kegiatan nyuluh atau nyiluk. Kegiatan
ini berlangsung dari bulan Oktober – April dan dilakukan hanya
saat malam hari. Warga bisa mencari anakan arwana dengan
peralatan yang diatur dan dilarang menangkap indukan arwana.
Tujuan dari nyiluk adalah supaya warga bisa juga mendapat
manfaat dari konservasi arwana yang selama puluhan tahun telah
dilakukan. Setiap anakan siluk yang ditangkap dan dijual, warga
harus memberikan sumbangan sebesar 10%. Jika harga jual seekor
arwana dengan ukuran satu jari kelingking orang dewasa dihargai
2.500.000 rupiah misalnya, maka uang sebesar 250.000 rupiah
wajib disetorkan ke kas nelayan.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 245


Foto 11 Membawa aki untuk penerangan serta cauk, satu-satunya peralatan tangkap
yang diperbolehkan dibawa nyiluk.

Foto 12 Perahu-perahu warga yang akan digunakan untuk mencari arwana

246 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Foto 13 Menikmati nyiluk dengan sebatang rokok

Kegiatan lain yang ada di Danau Lindung Empangau adalah


panen ikan atau jermal. Panen ikan ini dilakukan ketika nelayan
atau desa membutuhkan dana dalam jumlah yang cukup besar.
Kegiatan ini merupakan salah satu perubahan pola penangkapan
ikan. Dulu, yang melakukan penangkapan ikan dengan jermal
adalah para juragan yang bisa memiliki alat tangkap mahal
tersebut. Untuk sekali jermal, tenaga yang dibutuhkan cukup
banyak, ada sekitar delapan orang per alat. Jermal juga dilakukan
oleh penduduk yang akan mengadakan hajatan atau tertimpa
musibah kematian. Mereka boleh mengambil ikan di danau untuk
membiayai acara tersebut. Namun, seiring usaha perlindungan
arwana, kegiatan jermal dalam bentuk apapun dilarang, kecuali
jermal yang diadakan secara resmi oleh pengurus nelayan
untuk kegiatan tertentu.Sebagai gantinya, bagi keluarga yang
keluarganya meninggal mendapat santunan sekitar 200 - 400 ribu
rupiah.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 247


Foto 14 Kapal pembawa hasil jermal

Dana masyarakat yang dihimpun oleh kelompok nelayan


cukup besar, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Sebagai contoh,
sekali pengundian sungai saja, dana sungai dari pembelian Rp
1000,00 per undian oleh warga bisa didapatkan pemasukan lebih
dari 50 juta. Dari jumlah uang yang diperoleh, pengurus rukun
nelayan mendapatkan bagian 20% setelah dipotong untuk
keperluan teknis.
Dana nelayan juga seringkali diperbantukan untuk
pembangunan, seperti pembangunan fasilitas olah raga, subsidi
kegiatan sosial dan keagamaan, atau jadi uang tengah desa
(uang yang bisa dihutang oleh pemerintah desa). Hal yang
tidak kalah penting sebagai upaya pembangunan sumber daya
manusia di Empangau adalah penggunaan dana nelayan untuk
menunjang kegiatan pendidikan, sebagaimana disebutkan di
awal, membangun sekolah dan subsidi honor guru-gurunya.

248 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Desa Mau Dibawa Kemana?:
Transformasi Sosial Masyarakat
Desa di Indonesia dalam
Epistemologi Durkheimian1
Dwi Wulan Pujiriyani

Tranformasi masyarakat desa-desa di Indonesia dengan


mengacu pada epistemologi Durkheim dengan jelas menunjukan
transformasi ke arah masyarakat desa modern. Transformasi ini
dimulai dari pembagian kerja yang semakin mengubah bentuk
masyarakat desa menjadi tidak homogen lagi. Masyarakat
desa-desa di Indonesia, bukan lagi masyarakat romantik yang
dicirikan dengan cangkul dan kerbaunya, tetapi sudah sangat
dinamis dengan berbagai peluang pekerjaan non pertanian yang
sudah mereka tekuni. Desa bukan lagi sebuah pemandangan
tunggal dimana setiap hari akan melihat rombongan petani
yang berjalan kaki menuju ke sawahnya masing-masing. Petani
modern atau petani berdasi adalah gambaran nyata desa-desa
di Indonesia, dimana kelas-kelas pemilik tanah mempekerjakan
penggarap di tanah mereka. Mereka ini tidak lagi turun langsung
di sawah tetapi sudah ibarat akuntan yang berhitung di belakang
meja. Peran utama mereka adalah melakukan lobi-lobi ataupun
negosiasi antara sesama pedagang besar. Dapat dilihat juga bahwa

1 Tulisan ini pernah terbit dalam blog pribadi penulis yang beralamat di https://lucia-wulan.
blogspot.com/ pada 6 Januari 2016.
jual beli hasil pertanian tidak lagi hanya berlangsung di pasar-
pasar tradisional, tetapi sudah dilakukan dengan berbasis website.
Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah terjadinya
‘economic anomie’. Dalam arah perkembangannya yang demikian
cepat, tidak dapat dipungkiri bahwa akan ada mereka-mereka
yang tidak ambil bagian dalam perubahan yang cepat tersebut.
Sebagaimana dijelaskan Durkheim bahwa sifat hubungan
antarindividu yang semakin kontraktual, menafikan keberadaan
ikatan-ikatan komunal. Tidak ada lagi kegotongroyongan,
yang adalah hubungan-hubungan yang bersifat transaksional.
Kondisi serupa ini jelas mengganggu harmonisasi atau yang oleh
Durkheim menyebabkan terjadinya konflik atau krisis. Ketika
hubungan produksi dan konsumsi tidak lagi seimbang, ketika para
penggarap tidak lagi bisa mengimajinasikan sebuah kesejahteraan
dalam hidup mereka.
Dalam hal inilah yang penting untuk dilakukan dalam
mengawal transformasi masyarakat desa adalah menyiapkan
kelembagaan sosial yang memastikan masyarakat tetap
memelihara kesadaran kolektifnya. Lembaga-lembaga non-
ekonomi seperti yang disebutkan Durkheim dengan keluarga,
sekolah dan institusi politik harus dilibatkan untuk meminimalisir
perbedaan dalam masyarakat menjadi fair society. Masyarakat
bisa memperoleh manfaat dari ekonomi yang ada. Aturan hukum
dan moral juga perlu ditegakkan untuk memastikan bahwa
hubungan yang bersifat kontraktual bisa berjalan secara efektif.
Masing-masing pihak menghormati negosiasi yang dilakukan dan
berkomitmen pada spesialisasi yang telah dimiliki.
Pembuatan kategori masyarakat desa Indonesia antara di Jawa
dan luar Jawa saya kira tidak mendesak dilakukan kecuali untuk
mencermati adanya perbedaan kultural yang spesifik antara desa
di Jawa dan luar Jawa. Selain perbedaan kultural, sebenarnya yang

250 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
lebih penting dilakukan adalah mencermati tantangan antara
desa-desa di Jawa dan di luar Jawa ini saya kira juga berbeda-
beda dan pengkategoriannya akan lebih tepat bila bukan berbasis
geografis tetapi berbasis karakteristik ekologis.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 251


Bertani atau Mati:
Petani Pesisir Kulon Progo
Berjuang Hidup1
Kus Sri Antoro

“Urip iku sejatine gawe urup, sinajan tumrap sawijining tanduran ”,


ujar Tukijo (50) seorang petani di pesisir selatan Kulon Progo, yang
pada 2013 menjalani hukuman 3 tahun penjara dengan tuntutan
perampasan kemerdekaan dan pencemaran nama baik, karena
mendatangkan aparat keamanan untuk mengamankan seorang
pekerja Pilot Project PT. JMI (Jogja Magasa Iron), agar karyawan
itu—yang kemudian melaporkan Tukijo sebagai pelaku kejahatan
terhadap aset perusahaan, tidak menjadi korban amuk massa
pada Desember 2010 lalu.
Mengapa massa begitu geram dengan apapun yang menjadi
bagian dari PT. JMI? Kehadiran Pilot Project PT. JMI di Banaran,
Galur, Kulon Progo sebagai ujicoba pertambangan pasir besi (luas:
22 x 1,8 km) tidak dikehendaki oleh sebagian besar warga (30.000
jiwa) yang menggantungkan hidup dari pertanian lahan pasir
pantai di sepanjang Sungai Progo hingga Sungai Serang (22 km)

1 Versi awal tulisan ini berjudul Bertani atau Mati! Dimuat dalam situs www.selamatkanbumi.
com pada 28 Februari 2013. Karena situs jurnalisme warga tersebut inaktif, tulisan ini
diterbitkan ulang untuk tujuan pendidikan. Proyek Pertambangan Pasir Besi di pesisir Kulon
Progo hingga tulisan ini diterbitkan ulang tidak terlaksana, meskipun peraturan perundangan
dan ijin telah disiapkan.
dan mendiami pemukiman yang berjarak rerata 1 km dari bibir
pantai.
Alasan mereka sederhana, mereka mempunyai sertifikat
tanah atas lahan yang mereka huni dan hak garap atas lahan
yang mereka tanami komoditas hortikultura sejak 1980an, selain
itu mereka telah biasa berpenghasilan Rp. 10.000.000 – Rp.
20.000.000 setiap kali panen cabai keriting (minimal dipanen
6 kali) dengan sistem pasar lelang yang mereka ciptakan sejak
2002. Alasan lainnya adalah pertanian itu merupakan strategi
hidup yang dapat melindungi sumberdaya air tawar tepi pantai di
sepanjang kawasan penyangga itu. Alasan-alasan para petani itu
merupakan argumentasi tandingan bagi argumentasi pemerintah
dan PT JMI bahwa para petani pesisir Kulon Progo hidup miskin
sehingga perlu tetesan ke bawah (trickle down effect) melalui
industri pertambangan dan pabrik baja yang dimodali oleh
korporasi transnasional dan lokal, dengan periode operasi selama
30 tahun untuk setiap wilayah pertambangan.
Apa yang dialami oleh Tukijo dapat dialami oleh siapa saja
ketika berada di dalam konflik struktural, yaitu konflik antara
rakyat berhadap-hadapan dengan korporasi dan/atau instrumen
negara, umumnya memperebutkan sumberdaya agraria, baik itu
di sektor infrastruktur; kehutanan; perkebunan; pertambangan;
pariwisata; maupun proyek konservasi. Dan umumnya, pihak
negara/korporasi mengalahkan rakyat jelata. Konflik struktural
bahkan menjadi alasan dan semangat dalam sejarah pencarian
identitas kebangsaan dan perjuangan mencapai kemerdekaan
Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Jacoby (1961) bahwa
konflik agraria menggerakkan kebangkitan bangsa-bangsa
terjajah untuk melepaskan diri dari jeratan kolonialisme, dengan
demikian sejarah Indonesia tidak lain merupakan sejarah konflik
agraria.

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 253


Agraria merupakan tema yang belum atau mungkin tak akan
usai, sepanjang manusia membutuhkan ruang untuk hidup.
Namun demikian, tema ini tenggelam dalam wacana keseharian
bangsa Indonesia. Agraria menjadi identitas yang marjinal dalam
diskursus akademik formal, politik pembangunan; perubahan
sosial dan kebudayaan; sejarah; dan media. Agraria hanya
diingat sebentar ketika ada kasus yang mengemuka dan diwarnai
kekerasan, seperti Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan);
Bima; Takalar (Sulawesi Selatan); Deli Serdang (Sumatera Utara);
dan titik-titik konflik tambang di sepanjang pesisir selatan Jawa
termasuk Kulon Progo.

Dualisme Politik Agraria


Aktor ekonomi global, baik pada masa kolonial atau
pascakolonial, secara dominan mampu menciptakan hubungan-
hubungan agraria yang baru dalam struktur sosial (masyarakat),
sebagai konsekuensinya hubungan-hubungan agraria yang
tergantikan menjadi tersingkir. Semisal, asas Domein Verklaring
yang diperkenalkan oleh Rafless (Gubernur Jenderal 1811-1816)
menjadi landasan yang kuat bagi klaim penguasaan atas ruang
hingga saat ini. Asas ini diadopsi tidak hanya oleh hukum nasional;
misalnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, melainkan juga oleh hukum
feodal; misalnya Rijksblad 1918 di Lembaga Swapraja Yogyakarta
yang mengacu pada konsepsi dan ketentuan-ketentuan UU
Agraria Kolonial (Agrarische Wet) 1870. Seiring perkembangan
jaman, asas Domein Verklaring dianggap mengabaikan hubungan-
hubungan agraria berbasis komunal atau yang berbasis semangat
sosialisme Indonesia.
Upaya penyelesaian dualisme politik agraria di ranah hukum,
yaitu hukum adat/ulayat dan hukum positif (kolonial), telah
dilakukan oleh para pendiri bangsa, hasilnya adalah UU No 5
Tahun 1960 yang dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria

254 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
(UUPA), yang menghapuskan hubungan-hubungan agraria yang
bersifat kolonial dan feodal dengan jalan nasionalisasi aset agraria
(tanah dan badan usaha).
UUPA secara tegas membedakan perlakuan terhadap
hubungan agraria yang bersumber pada adat dengan hubungan
agraria yang bersumber pada sistem feodal, adat diperlihara namun
feodalisme dihapuskan. Mengapa politik pertanahan di Kerajaan
Mataram baik Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) dan
Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) tidak dikategorikan
sebagai adat menurut UUPA? Karena feodalisme dan kolonialisme
saling melengkapi dan sistem yang melanggengkan penghisapan.
Pada masa kolonial di abad ke-19 dan 20, kekuasaan negara
Hindia Belanda merupakan pemegang kedaulatan atas empat
kerajaan “otonom” di Vorstenlanden (wilayah raja-raja), yaitu
Kasunanan; Mangkunegaran; Kasultanan; dan Pakualaman.
Di Kasultanan Yogyakarta, akibat kekalahan Perang Jawa,
diberlakukan kontrak politik setiap kali seorang sultan naik tahta,
kontrak politik terakhir (18 Maret 1940) adalah ketika Sultan HB
IX naik tahta, yang bunyi pasalnya antara lain sebagai berikut:
1. Pasal 1 (1) Kesultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia
Belanda dan karenanya berada di bawah kedaulatan Baginda
Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal. (2)
Kekuasaan atas Kesultanan Yogyakarta diselenggarakan oleh
seorang Sultan yang diangkat oleh Gubernur Jenderal.
2. Pasal 3 (1) Kesultanan meliputi wilayah yang batas-batasnya
telah diketahui oleh kedua belah pihak yang menandatangani
Surat Perjanjian ini. (2) Kesultanan tidak meliputi daerah
laut. (3) Dalam hal timbul perselisihan tentang batas-batas
wilayah, maka keputusan berada di tangan Gubernur Jenderal.
3. Pasal 6 (1) Sultan akan dipertahankan dalam kedudukannya
selama ia patuh dan tetap menjalankan kewajiban-

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 255


kewajibannya yang diakibatkan oleh perjanjian ini ataupun
yang akan ditandatangani kemudian berikut perubahan-
perubahannya ataupun penambahan-penambahannya, dan
ia bertindak sebagaimana layaknya seorang Sultan.
4. Pasal 12 (1) Bendera Kesultanan, Sultan dan penduduk
Kesultanan adalah bendera Negeri Belanda. (2) Pengibaran
bendera Kesultanan ataupun bendera atau panji-panji lain
pengenal kebesaran Sultan di samping bendera Belanda
tunduk di bawah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
atau atas nama Gubernur Jenderal.
5. Pasal 25 (1) Peraturan-peraturan yang ditetapkan Sultan
memerlukan persetujuan Gubernur Yogyakarta sebelum
dinyatakan berlaku. (2) Peraturan-peraturan itu tidak bersifat
mengikat sebelum diumumkan sebagaimana mestinya dalam
Lembaran Kerajaan (Rijksblad).
Salah satu kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang
cukup mengemuka dan masih terwariskan hingga kini adalah
soal tanah yang diatur oleh Paniti Kismo, yaitu Sultan Ground/
Sultanaat Ground (SG) dan Paku Alam Ground/ Paku Alamanaat
Ground (PAG) yang berdasarkan pada Rijksblad 1918. Rijksblad
Kasultanan No 16 tahun 1918 dan Rijksblad Pakualaman No 18
tahun 1918 menyatakan bahwa: “Sakabehing bumi kang ora ana
tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi
bumi kagungane keraton Ingsun” (semua tanah yang tidak ada
tanda bukti kepemilikan menurut hak eigendom, maka tanah itu
adalah milik kerajaanku).
Dengan demikian, telah jelas bahwa sesungguhnya
Kasultanan Yogyakarta dan bangsa Indonesia sama-sama dalam
kekuasaan kolonial sebelum proklamasi kemerdekaan RI. Apabila
pada waktu itu Sultan HB IX dan Paku Alam VIII tidak mengambil
keputusan untuk bergabung dengan RI melalui Amanat 5

256 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
September 1945 maka niscaya Swapraja di Yogyakarta masih
terikat dengan kontrak politik ini; dengan kata lain, Kasultanan
dan Pakualaman masih menjadi bagian dari Kerajaan Belanda
dengan segenap kebijakannya.
Mengingat subyek hukum UUPA adalah individu dan badan
hukum (yayasan, perusahaan terbatas, dan koperasi), maka
Kasultanan dan Pakualaman tidak dapat memiliki sebidang
tanah karena pendirian keduanya tidak tercatat pada akta
notaris. Apakah Kasultanan dan Pakualaman memiliki sertifikat
kepemilikan tanah yang sah diakui oleh negara sebagaimana para
petani pesisir Kulon Progo yang terancam enclosure oleh proyek
pertambangan pasir besi? Hingga tahun 2012 ini: tidak. Apakah
keduanya sebagai swapraja/kerajaan dapat menjadi subyek hak
atas tanah? Jawabannya terletak pada Diktum IV UUPA, dan PP
No 224 Tahun 1961 dan PP No 38 Tahun 1963.
Ada satu proses sejarah yang sengaja atau tidak sengaja
diabaikan, bahwa jauh pada tahun 1973, Sultan HB IX pernah
berkirim surat kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya meminta
DIY diperlakukan sama dengan daerah lain dalam bidang agraria.
Surat itu dibalas 11 tahun kemudian melalui Keputusan Presiden
No 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5
Tahun 1960 di Propinsi DIY, dan dikuatkan dengan Perda No 3
Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No 5
Tahun 1960 di Propinsi DIY yang secara resmi menghapuskan
Rijksblad No 16/1918 dan Rijksblad No 18/1918 yang sebagian masih
diatur Perda DIY No 5 Tahun 1954.

Ekologi Politik Tambang Besi


Sebelum mengemuka ke permukaan sebagai SK Bupati
Kulon Progo No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005 tentang ijin Kuasa
Pertambangan Eksplorasi Bahan Galian Pasir Besi dan Mineral

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 257


Pengikutnya kepada PT Jogja Magasa Mining (PT. JMM, induk
perusahaan dari PT JMI) dan Kontrak Karya Pertambangan pada
tahun 2008, sesungguhnya pada tahun 2005, di aras internasional,
telah terjadi kesepakatan antara Australia Kimberly Diamond
(AKD dengan PT. JMM dan Nusantara Energi Ltd untuk
menambang pasir besi di pesisir Kulon Progo .
Masih pada tahun yang sama, terjadi MoU antara PT JMM
dengan PT Krakatau Steel yang akan mengambil alih pengolahan
pig iron dan Outokompu Technology Australasia sebagai mitra
yang menangani semua parameter teknik dan teknologi dalam
pemrosesan mineral dan rancangan infrastruktur. Pada 2006, AKD
berubah nama menjadi Indo Mines Ltd (IM Ltd, 70 % saham),
dan melakukan joint venture dengan PT JMM (30 % saham) .
Pada tahun 2006 penandatanganan kontrak oleh PT JMI untuk
eksplorasi di area rencana konsesi pertambangan seluas 22 x 1,8
km, melibatkan perguruan tinggi negeri di Yogyakarta .
Pada tahun 2007, dalam acara Bodronoyo Neges, PT JMM
dan lembaga swapraja melakukan sosialisasi dengan kepala desa
di seluruh Kabupaten Kulon Progo. Pihak lembaga swapraja dan
sekaligus komisaris PT JMM mengungkapkan bahwa proyek
pertambangan pasir besi itu merupakan amanat Sultan HB IX pada
tahun 1993 kepada putra mahkota. Pertemuan ini terdokumentasi
secara audio visual dan tersebar luas. Enam hari kemudian Pemda
Kabupaten Kulon Progo memberikan ijin perpanjangan kedua
Eksplorasi Bahan Galian Pasir besi dan Mineral pengikutnya (hasil
eksplorasi awal: Titanium dan Vanadium) kepada PT. JMM melalui
SK Bupati No: 15/KPTS/KP/EKPL/X/2007. Pada 19 Januari 2008,
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan PT. JMM/Indo Mines
Ltd. menjalin kesepakatan tentang persentase dana Community
Development dan Regional Development yaitu sebesar 1,5 persen
dari penjualan untuk sepuluh tahun pertama (2012-2022, jika

258 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
diasumsikan tahun 2012 periode operasi dimulai) dan 2 persen
setelah tahun kesepuluh (2022, 2032, dan 2042).
Menurut Wakil Bupati Kulon Progo Periode 2006-2011,
apabila nilai jual besi kasar (pig iron) yang merupakan produk
akhirnya diasumsikan US $.350,-/ ton dan rencana produksinya
diasumsikan sebesar 1 juta ton per tahun, maka pertambangan
pasir besi akan memberikan pendapatan kepada Pemerintah
(berdasarkan PP No : 45 Tahun 2003 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP) sebesar = 1.000.000 x
350 x Rp.9000 x 3 %= Rp. 94.500.000.000 per tahun. Berdasarkan
pembagian hasil royalty di bidang pertambangan umum sesuai
ketentuan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (UU
No.33 Tahun 2004), maka pemerintah pusat akan memperoleh
pendapatan sebesar Rp. 18.900.000.000/tahun (20 %), pemerintah
kabupaten Rp. 30.240.000.000 /tahun (32 %), pemerintah propinsi
Rp. 15.120.000.000 /tahun (16 %), masing-masing kabupaten/kota
Rp. 7.560.000.000 /tahun (8 %), setiap persentase terebut dihitung
dari 3% PNBP sebagai pokoknya. Artinya, 97 % pendapatan
dengan angka yang jauh lebih fantastis adalah hak pemodal.

Mitos untuk Eksploitasi


Penilaian terhadap KA ANDAL PT JMI diputuskan layak
oleh komisi penilai, sedangkan syarat utama kelayakan adalah
kesesuaian peruntukan wilayah dengan Perda Kabupaten Kulon
Progo No 1 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten 2003-2013 yang mengatur bahwa wilayah yang menjadi
kontrak karya penambangan itu sebagai kawasan pertanian
dan pariwisata (pasal 35). Agar perda tersebut berubah, maka
pada tahun 2010 disusun Perda DIY No 2 Tahun 2010 tentang
RTRW Propinsi 2009-2029. Menurut penyelidikan masyarakat
terdampak, terdapat dua versi Raperda RTRW Propinsi 2009-2029,
yaitu 1) versi pansus Raperda yang memuat 129 pasal, tanpa pasal

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 259


yang mengatur pertambangan, dan merupakan hasil paripurna
Gubernur dengan DPRD 22 Juni 2009. 2) versi Gubernur yang
memuat 160 pasal, dengan pasal yang mengijinkan pertambangan
pasir besi, dan tanpa proses paripurna dengan DPRD. Hasil
evaluasi Menteri Dalam Negeri mengacu pada Raperda versi
Gubernur. Sejauh ini, kejanggalan proses ini belum diselesaikan
melalui jalur hukum oleh pihak yang berkepentingan.
Pertanyaan sederhana: mengapa pertambangan pasir besi di
pesisir Kulon Progo terhambat, padahal regulasi telah disesuaikan
oleh pemerintah sehingga proses terkesan sah? Pembebasan tanah
adalah hal yang mendasar yang belum bisa dilakukan terhadap
tanah-tanah hak milik warga, begitu pula tanah swapraja yang
hendak ditambang belum memiliki payung hukum. Dengan
logika hukum lex specialis derogate legi generali, perlu semacam
perundangan khusus yang dapat melegalkan kepemilikan tanah
swapraja dengan mengubah swapraja sebagai Badan Hukum
Kebudayaan sehingga dapat memiliki aset tanah. Tarik ulur antara
pemerintah pusat dan pemerintah propinsi mengenai perlu atau
tidak Rencana Undang-undang Keistimewaan disahkan (saat
tulisan ini diterbitkan, RUUK telah menjadi UU No 13 Tahun 2012);
saat ini meruncing dengan pernyataan pendukung dwitunggal
Sultan-Gubernur: Penetapan atau Merdeka, dalam konteks
mekanisme pemilihan atau penetapan Gubernur yang sebaiknya
diatur di dalam RUUK.
Jika meninjau latar kebudayaan, sejarah pergerakan
(Diponegoro, Ki Hajar Dewantara, Suryopranoto, dan Sultan
HB IX), dan dukungan Swapraja kepada Republik Indonesia
yang masih bayi dengan memilih integrasi padanya, maka
(romantisme) Jogjakarta memang istimewa. Istimewa apanya?
Di rimba ekonomi politik sumberdaya alam, Jogjakarta masih
mencari jawabannya: Jogjakarta untuk Indonesia atau Australia?

260 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Catatan Pustaka:
[1] Hidup itu sesungguhnya untuk memelihara (nyala)
kehidupan, meskipun hanya kehidupan sebatang tanaman.
[2] Kontrak Karya PT JMI, Indo Mines Ltd. dan Pemerintah RI
(ditandatangani oleh Menteri ESDM), 4 November 2008
[3] Kertas Posisi Peguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo,
2011
[4] Surat Keputusan Paku Alam IX tahun 2003, atas fungsi
lahan yang ditetapkan sebagai Paku Alaman Ground
(PAG) menurut Rijksblad No 18/1918 (hukum kolonial yang
diberlakukan terhadap Puro Pakualaman).
[5] Wawancara Dwijo Utomo (50), nama samaran, salah
satu petani perintis pertanian lahan pasir pantai yang
sering menjadi dosen tamu di suatu universitas negeri di
Yogyakarta, untuk topik pendayagunaan lahan marginal
yang ekologis dan teknologi lokal tepat guna.
[6] Menurut Public Interest Lawyer Network (2010), sepanjang
2004-2010, terdapat 24 kasus kriminalisasi terhadap petani
(sekurang-kurangnya 175 orang) dan aktivis (sekurang-
kurangnya 12 orang) di seluruh Indonesia. Di DIY saja,
kriminalisasi juga dilakukan terhadap Slamet dan Fitriyanto
(adik dan anak Tukijo, petani pesisir Kulon Progo) bahkan
G. J. Aditjondro (akademisi) karena melawan ketidakadilan
politik agraria dalam kasus yang sama yaitu pertambangan
pasir besi di atas tanah yang sah dimiliki oleh warga pesisir
Kulon Progo.
[7] Jacoby, E.H. 1961. Agrarian Unrest in Southeast Asia. 2nd ed.
London, Asia Publishing House
[8] Topatimasang, R. Mapping as a Tool for Community
Organizing agains Power: A Moluccas Experience In Brosius,
P. J et al. (Ed.) 2005. Communities and Conservation:

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 261


Histories and Politics of Community-Based Natural Resource
Management. Rowman & Littlefield. Lanham and Oxford
[9] Antoro, K.S. 2010. Konflik-konflik di Kawasan Pertambangan
Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus
DIY). Tesis (tidak dipublikasikan).
[10] Diktum IV UU No 5 Tahun 1960, bunyinya Hak-hak dan
wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja
atau bekas Swapraja yang masih ada pada. waktu mulai
berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada
Negara
[11] Shiraishi, T. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di
Jawa, 1912-1926. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta
[12] Terjadi sejak pemerintahan Pakubuwana II (1743)
[13] Perjanjian Salatiga, 1757
[14] Perjanjian Gianti 1755, Gubernur Jenderal Jacob Mossel
memecah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta untuk mengahiri konflik kekuasaan
internal kerajaan. Karena kegagalan pemberontakan
Diponegoro 1825-1830 wilayah Kasultanan dipersempit hanya
seluas Propinsi DIY sekarang dari semula yang meliputi pula
Dulangmas (Kedu, Magelang dan Banyumas).
[15] Didirikan oleh Rafless pada 13 Maret 1813, dengan wilayah
yang hanya meliputi Kadipaten Pakualaman dan Kadipaten
Adikarto (pesisir Kulon Progo).
[16] Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul
istilah-istilah legal yang mengacu pada bentuk penguasaan
sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul
peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah
tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara,
Eigendom (Bl) yaitu hak milik pribadi yang diberikan oleh
pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan
tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada

262 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, dan
Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa
Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani
untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman
ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Rijksblad
Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918
merupakan produk kolonial yang mengacu asas Domein
Verklaring Agrarische Wet 1870 menyatakan, ‘Sakabehing
bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan
mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane
keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti
kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah
milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157). Menurut teori
hak kepemilikan, suatu benda sah untuk dikatakan milik
seseorang apabila terdapat tanda bukti kepemilikan atas
benda itu (a bundle of rights), bukan sebaliknya bahwa suatu
benda sah dikatakan milik seseorang yang tidak mempunyai
bukti kepemilikan atasnya (Schlager dan Ostrom, 1992).
Rijksblad-rijksblad itu berangkat dari kesesatan logika.
[17] Luthfi, A.N., M. Nazir S., A. Tohari, Dian A.W., dan Diar
Candra T. 2009. Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan
Yang Dilupakan. STPN. Yogyakarta
[18] PT. Jogja Magasa Mining didirikan 6 Oktober 2005, Direktur
Utama RM. Hario Seno, anggota direksi: Lutfi Heyder dan
Imam Syafi’I, Komisaris utama: GKR Pembayun (Sejak 2015
berubah gelar menjadi GKR Mangkubumi), dan Komisaris :
BPH Joyokusumo (Sumber: Akta Notaris PT JMM).
[19] Contract of Works, from The Government of Republic
Indonesia, by PT Jogja Magasa Mining and Indo Mines Ltd.
[20] Surat AKD Ltd. kepada The Manager Company
Announcements Platform, Australian Stock Exchange

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 263


Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-
Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005
[21] Surat AKD Ltd. kepada The Manager Company
Announcements Platform, Australian Stock Exchange
Limited, Sydney, subject: Outokompu and KS Participation
Irosands-Pig Iron Project- Yogyakarta, Indonesia, tertanggal
8 November 2005
[22] Surat AKD Ltd. kepada The Manager Company
Announcements Platform, Australian Stock Exchange
Limited, Sydney, subject: Change of Name to IM Limited,
tertanggal 7 Maret 2006
[23] Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements
Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney,
subject: Drilling Contact Signed-Ironsands-Pig Iron Project,
tertanggal 7 Maret 2006
[24] Hamengkubuwono IX wafat pada tahun 1988.
[25] Anticipated Product Grades
Ore percent Concentrate percent Pig Iron percent
Fe up to 13 58 to 60 C 1.5 to 2.5
TiO2 7 to 9 Si 0.5 max
V2O5 0.5 to 0.6 P 0.1 max
SiO2 1.2 to 1.4 S 0.05 max
Al2O3 3.3 to 3.5 Ti 0.05 max
S 0.03 to 0.05 V 0.02 max
P2O5 0.24 to 0.26 Fe 94 min

Sumber: Project Brief, Indo Mines Ltd.


TiO2(Titanium), V2O5 (Vanadium), SiO2 (Silikon), Al2O3(Aluminium)
merupakan senyawa oksida yang akan ikut dalam slug (lumpur limbah)
sehingga tidak dihitung sebagai mineral.
Judul awal artikel ini adalah: Titanium dan Pasir Besi Dikeruk, Kaum
Tani Pesisir Selatan Berseru: “Bertani atau Mati!” dimuat pertama
kali di Majalah BALAIRUNG Edisi 46/XXVII/September 2012.

264 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Beberapa perubahan tanpa mengubah substansi dilakukan
oleh penulis (mengacu versi asli sebelum penyuntingan oleh
redaksi).

Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 265


E.
Deagrarianisasi dan
Reforma Agraria
Reforma Agraria
untuk Disabilitas
Muhamad Haryanto (Nanang)

Saya menuliskan ini dengan cara bersuara, kemudian handphone


saya mengalihkan suara saya menjadi teks, yang selanjutnya teks
itu diolah ke dalam word oleh teman saya yang non tuna netra,
akhirnya suara saya menjadi bagian dari buku agraria.
Saya berharap isi buku itu bisa diakses semua kalangan,
termasuk saya.
Saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Saya biasa disapa Nanang. Saya terlahir tuna netra. Empat
bersaudara. Latar belakang keluarga saya bukan orang kaya. Saya
yatim sejak kecil dan ibu saya merawat saya hingga saya mampu
mencari nafkah sendiri.
Pekerjaan utama saya jasa pijat, sesekali menyeting program
Android untuk tuna netra, jual beli online. Saya pernah menabuh
drum di RRI dan lumayan kerap siaran di radio. Dan, baru-baru
ini saya belajar seni rupa. Ya, saya menggambar, namun yang saya
gambar adalah suara.
Mengapa seni rupa?
Pertama, saya pernah meraba lukisan kapal pada kanvas.
Menurut saya tidak ada apa-apa di kanvas itu. Hanya rata saja.
Saya juga pernah hadir di pameran seni rupa. Sayangnya karya
seninya tidak boleh disentuh, katanya agar keindahannya terjaga.
Sewaktu di candi Borobudur, saya meraba relief. Tapi masih
bingung, belum mengenali bentuknya.
Saya baru mengenal bentuk segi tiga, segi empat, dan
lingkaran. Bentuk kotak, bola, dan tabung seperti botol masih
bisa saya kenali.
Kedua, dengar-dengar masih jarang tuna netra membuat
karya seni rupa. Tentunya karena seni rupa membutuhkan
kemampuan melihat.
Saya tidak bisa melihat, tetapi saya masih bisa mendengar,
membaui, mencecap, dan meraba. Apa mungkin seni rupa dibikin
dan dinikmati dengan kemampuan saya?
Ketiga, seni bisa menjadi sarana saya mengungkapkan
perasaan, pemikiran, dan pengalaman saya sebagai tuna netra.
Akhirnya saya berpameran untuk pertama kali 15 Juni sampai
15 Juli 2022 di Indonesian Visual Art Archive Yogyakarta.
Semasa saya kecil, saya tidak merasa berbeda dengan orang
lain. Saya kira setiap orang seperti saya, kalau jalan meraba-raba.
Masa kecil saya menyenangkan. Saya bebas bermain,
berlarian. Terkadang digandeng teman saya, bahkan saya naik
sepeda dan tercebur kali. Sakit tapi asyik.
Saya waktu itu bercita-cita menjadi pembalap. Mendengar
orang cerita balap motor dan mendengar sendiri raungan mesin,
saya yakin mampu jadi pembalap. Namun cita-cita itu kandas
sebelum dimulai.

270 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Saat saya SMP, guru SLB saya memberi tahu bahwa saya buta.
Untuk pertama kalinya, saya merasa berbeda karena dibedakan.
Saya tanya, apa itu buta? Dijawab, buta itu cacat. Apa itu
cacat buta? Katanya, tidak bisa melihat. Saya tanya lagi, tidak bisa
melihat itu bagaimana? Guru saya tidak bisa menjelaskan, dia
hanya bilang kalau jalan meraba-raba.
Apakah teman-teman saya kalau jalan tidak meraba-raba?
Bagaimana bisa mereka tidak menabrak dinding atau terjerumus
lubang kalau tidak meraba-raba?
Saya jadi bingung dengan keadaan saya. Waktu itu, saya
bertanya pada diri sendiri, apakah karena saya berbeda maka
saudara-saudara saya tidak menerima saya? Apakah karena saya
berbeda, saya lalu disembunyikan saat ada tamu datang? Mengapa
orang-orang seperti saya sulit diterima dan mudah diabaikan?
Saya jadi tahu, sebutan buta dan pengertiannya ditentukan
oleh mereka yang tidak pernah buta.
Pantas saja giliran mereka dimintai tanggungjawab
menjelaskan maksudnya, mereka malah tidak bisa. Saya sudah
diperlakukan tidak adil. Di usia belia itu, saya ada pikiran untuk
mengakhiri hidup.
Perlahan, saya belajar menerima keadaan bahwa saya tidak
bisa melihat pakai organ yang bernama mata. Sebagai gantinya,
saya melihat dengan jari, telinga, hidung dan lidah.
Saya tahu suatu ruangan sempit atau luas dari gaungnya. Saya
tahu posisi benda dan jalan menuju rumah dari perabaan. Saya
mengenal orang dari aroma badan.
Bahkan, akhirnya saya mengenali warna dari rasanya, misalnya
kuning rasanya seperti kunyit, hijau rasanya seperti daun papaya

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 271


mentah, merah rasanya seperti buah naga, biru rasanya seperti
bunga telang.
Selama saya bersekolah saya belajar membaca dan berhitung.
Huruf dan angka menggunakan braille. Membaca braille itu tidak
perlu menghafalkan bentuk huruf. Cukup dihafal lokasi titik
timbul dan kombinasinya. Angka braille ada, huruf Arab braille
ada, tanda baca braille ada, bahkan morse braille juga ada.
Dulu saya mampu membedakan uang kertas karena ada
pembedanya. Tetapi sekarang uang kertas sama saja. Lama-lama
karena teknologi makin canggih, braille jarang digunakan, apalagi
oleh generasi sekarang. Semua beralih ke pembaca layar.
Termasuk saya juga menggunakan pembaca layar untuk
memesan dan membayar ojek online, membaca berita, jual beli
barang, berkomunikasi dengan pelanggan, dan ngobrol dengan
teman tuli tanpa saya harus belajar bahasa isyarat terlebih dahulu.
Meskipun kini akses informasi dipermudah, saya tetap
menggunakan braille karena itu melatih kepekaan perabaan. Saya
tidak setuju kalau ada yang bilang braille ketinggalan jaman.
Belajar membaca huruf braille itu mengasah ingatan. Dan,
tuna netra sangat mengandalkan ingatan. Tanpa ingatan yang
kuat kami sulit menjalani hidup.
Tetapi mempunyai ingatan yang kuat juga menderita.
Kenapa? Karena saya jadi susah lupa hal-hal yang menyakitkan.
Disabilitas sering memperoleh perlakuan yang tidak layak.
Tuna netra sering dimanfaatkan secara tidak adil, dimintai
KTP jelang pemilu tanpa tahu untuk apa, diminta cap jempol
kompensasi kehadiran tanpa diberitahu jumlahnya, dibekali
keterampilan tanpa manajemen, dilibatkan dalam kegiatan tetapi
tidak menjadi berdaya, diminta tanda tangan daripada cap jempol

272 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
untuk pengesahan dokumen, dikondisikan tergantung, hingga
tiba-tiba dikasih uang diam-diam karena dikasihani.
Hak-hak disabilitas juga masih belum dipenuhi. Misalnya,
KTP tanpa penanda disabilitas, kewajiban selfie atau foto KTP
untuk upgrade aplikasi, uang tanpa penanda yang bisa diraba,
jalur jalan (guiding block) yang terhalang, hingga alat tulis tuna
netra tanpa petunjuk beraksara timbul. Jika hidup di lingkungan
yang belum maju pemikirannya, kaum disabilitas mengalami
penolakan karena kondisinya dianggap merepotkan.
Lalu, saya berpikir, bagaimana masalah hidup tuna netra
sedikit teratasi?
Selama ini saya mengomunikasikan dunia tuna netra lewat
seni rupa yang saya namai seni raba. Salah satu karya saya berjudul:
Bahaya Tuna Rasa.
Tuna Rasa adalah jenis disabilitas paling parah, karena yang
tidak berfungsi adalah empati dan nurani, bukan organ tubuh.
Gara-gara Tuna Rasa, para penyandang disabilitas fisik dan mental
terabaikan, dimanfaatkan secara tidak adil, atau difasilitasi ala
kadarnya agar kegiatan atau program dianggap inklusif.
Termasuk Tuna Rasa ialah punya mata tapi tak mau melihat,
punya telinga tapi tak mau mendengar, punya akal budi tapi
enggan berpikir dan mengerti, punya hati tak mau merasa.
Termasuk Tuna Rasa adalah melibatkan saya dalam kegiatan
tanpa memberi informasi awal yang bisa saya pahami dan meminta
persetujuan.
Termasuk Tuna Rasa ialah seenaknya menentukan apa yang
saya butuhkan dan bagaimana seharusnya saya menjalani hidup,
tanpa pernah bertanya terlebih dahulu apa kebutuhan saya dan
apakah saya setuju.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 273


Benar bahwa saya butuh tongkat, HP dan keterampilan hidup,
tetapi saya lebih butuh pemberdayaan agar manajemen usaha saya
baik dan rejeki lancar, dan akhirnya saya bisa membantu sesama.
Setidaknya melalui seni raba, keadaan dan kebutuhan tuna
netra bisa dipahami pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.
Agar maksud baik benar-benar tepat sasaran, bukan menghambur-
hamburkan anggaran.
Tetapi, saya mensyukuri keadaan saya.
Tetangga saya, biasa disapa Dodot, katanya disabilitas mental.
Dia anak tunggal dan usainya lebih tua dari saya. Orang tuanya
tinggal seorang ibu. Beruntung Dodot tinggal di rumah ibunya
sendiri, di tanah ibunya sendiri.
Tapi Dodot tidak ber-KTP. Katanya dia takut bertemu orang
baru. Ibunya semakin renta. Katanya Dodot hanya bisa makan
dan menimba air. Dia belum pernah bekerja dan mendapat upah.
Jika ibunya wafat, tanpa KTP, siapa yang akan mengurusnya?
Tanpa KTP artinya dia tidak bisa mewarisi tanah dan rumah
ibunya. Kalaupun punya KTP, dia tidak bisa mengurus warisannya
untuk hidup. Apakah orang-orang yang tidak mempunyai KTP
akan terabaikan negara?
Saya beruntung punya KTP. Saya punya hak atas warisan ibu
saya, meski kenyataannya saya tidak tahu apakah rumah yang
saya tempati bersama saudara saya juga atas nama saya? Saudara-
saudara saya sudah mendapat bagian warisannya, namun karena
saya dianggap tidak mampu, mungkin saya tidak diberi hak saya.
Saya belum pernah menanyakan hal ini.
Namun, saya membayangkan, andai saya punya sertipikat
tanah, bagaimana saya bisa tahu informasi yang ada di dalamnya

274 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dengan aman? Sertipikat tanah yang pernah saya raba seperti
lukisan di kanvas: tidak ada apa-apa, hanya rata saja.
Negara tidak melihat saya meskipun katanya punya mata-
mata. Saya ada tapi masih dianggap tidak ada, padahal saya
berbeda dan mudah dikenali.
Katanya salah satu agenda Reforma Agraria adalah sertipikasi
tanah, namanya Penataan Aset Reforma Agraria. Apakah pernah
ada sertipikat tanah bagi disabilitas seperti saya?
Katanya juga, Reforma Agraria memberikan bantuan usaha
pada pemilik tanah atau calon pemilik tanah. Namanya Penataan
Akses Reforma Agraria. Jika kondisi pemilik tanah seperti saya,
seperti Dodot, atau seperti teman disabilitas daksa, bagaimana
kami bisa mengusahakan tanah?
Apakah kami juga dimudahkan mengakses modal? Apakah
kami juga dibantu pemasaran? Karena bersaing dengan yang
dianggap normal itu berat, semestinya ada afirmasi bagi disabilitas
dalam Penataan Akses Reforma Agraria.
Tapi, semua itu hanya mungkin kalau penyandang disabilitas
bisa menjadi penerima manfaat, hanya mungkin kalau menyasar
yang membutuhkan, bukan yang sudah mapan.
Kalau Penataan Akses Reforma Agraria memudahkan mereka
yang sudah mempunyai kemudahan, itu sama saja menggarami
lautan.
Lalu bagaimana agar penyandang disabilitas dapat diketahui
jumlahnya, dikenali jenis disabilitasnya dan kebutuhannya?
Semestinya ada informasi tentang jenis disabilitas dalam KTP,
itu lebih penting daripada informasi WNI termasuk golongan
mayoritas atau minoritas, yang hanya berguna untuk kepentingan
politik jelang pemilu ketimbang pelayanan publik sesungguhnya.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 275


Lagi pula, disabilitas tidak selalu tunggal, ada yang ganda, ada
pula yang tidak mudah dikenali karena tidak teraba oleh jari saya,
tidak terdengar oleh telinga saya, misalnya penyandang klinefelter
seperti Jesika, dia seniman teman saya.
Katanya hormon perempuan Jesika lebih banyak daripada
hormon laki-lakinya, katanya kromosomnya XXY. Katanya fisik
Jesika gemulai seperti perempuan, dia juga gampang sakit karena
klinefelternya. Tapi jenis kelaminnya sama seperti saya. Dia tidak
bisa berketurunan.
Ada juga Caca, dia tuli bisu, jenis kelaminnya laki-laki
dan gemulai seperti Jesika. Caca dan Jesika sering dituduh
menyimpang karena keadaan tubuhnya, karena keberadaannya
tidak diharapkan masyarakat.
Negara punya cara memberantas buta aksara dengan
pengajaran membaca. Negara punya cara mengurangi tuna
kisma dengan Reforma Agraria. Tapi, apakah negara punya cara
membasmi Tuna Rasa?
Inilah sumbangan suara saya untuk Reforma Agraria.

276 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Nelayan, Petani dan Buruh
dalam Reforma Agraria1
Kus Sri Antoro2

Terlepas dari semua pandangan orang di luar sana


tentang perjuangan kami,
kami di sini dengan tetap bertani dan berkumpul
membangun sebuah kekuatan rakyat yang benar-
benar berjuang untuk mempertahankan hak hidup dan
kehidupan kami dengan cara kami sendiri, cara petani.
Kami memilih jalan ini karena melihat kenyataan bahwa
hari ini hukum sudah tidak bisa dipercaya.
Negara berpihak kepada modal daripada moral rakyatnya.
Lembaga Non Pemerintah lebih mengikuti kehendak
penyandang dana daripada turut menyelesaikan kasus
rakyat.
(Petani Lahan Pantai DIY, MAJALAH BALAIRUNG,
Edisi 46, September 2012)

1 Versi awal tulisan ini berjudul Ketika Nelayan Kehilangan Sampan, Petani Kehilangan Lahan,
dan Buruh Kehilangan Kuasa atas Pekerjaan, disampaikan dalam Diskusi Majalah Balairung
UGM, 2 April 2013. Tulisan ini sedikit dikembangkan untuk mencoba menautkan kebutuhan
nelayan, tani, dan buruh dalam satu nafas perjuangan agraria.
2 Petani-peneliti, Relawan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA)
Membayangkan agraria semata sebagai sebidang tanah sama
seperti membayangkan belajar sebagai sekolah. Membayangkan
agraria semata sebagai pertanian sama seperti membayangkan
belajar sebagai pendidikan. Apakah belajar identik dengan
sekolah dan pendidikan? Kenyataannya, mereka yang bersekolah
belum tentu belajar, dan belajar tak melulu harus bersekolah.
Demikian pula, belajar tak selalu harus masuk dalam sistem
pendidikan. Bahwa pendidikan merupakan pelembagaan proses
belajar adalah tidak salah, dan sekolah merupakan satu paket
metode dan materi proses belajar adalah boleh jadi benar. Tetapi,
belajar lebih umum dari sekedar pendidikan dan sekolah karena
sebelum sistem pendidikan dan sekolah ada; manusia telah
belajar, hal yang menyedihkan: imajinasi tentang sekolah terhenti
pada bangunan—yang sesungguhnya tak berbeda dengan LAPAS
untuk memenjara nalar kritis dan kreatifitas. Sekolah adalah
tempat kegiatan belajar terlaksana, tanah adalah tempat agraria
bekerja. Agak naif, bukan?
Sampai di sini, apa imajinasimu tentang agraria?
Berbincang tentang agraria, saya lebih suka menyederhanakan
pemahaman, meski hal itu tak berarti menyederhanakan
persoalan yang memang tak sederhana. Merujuk pada apa yang
dimaksudkan sebagai agraria oleh UUPA, bahwa agraria adalah
bumi, air, dan udara, imajinasi saya (masih) berhenti pada ruang
dan isinya.
Apa itu ruang?
Meminjam diskursus fisika, ruang adalah dimensi yang
hadir sebagai akibat dari keberadaan batas, tanpa batas tak ada
ruang. Batas itu bisa berupa fisik bisa pula imajiner. Contoh ruang
berbatas fisik: kamar mandi; ekosistem laut; ekosistem darat; dan
biosfer (bumi). Contoh ruang berbatas imajiner: garis peta; teritori
negara; batas administrasi; dan wilayah kekuasaan pemangku

278 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
adat. Batas, yang melahirkan ruang, menjadi penanda banyak
hal: klaim, akses, kekuasaan3, contoh sederhana warga negara
Indonesia tidak boleh memasuki wilayah Malaysia tanpa ijin.
Ruang pun dibutuhkan untuk aktivitas mengetahui, setidaknya
kita mendahului belajar dengan istilah definisi (batasan).
Sehingga, wajar jika para pencipta definisi memegang otoritas
keilmuan.
Lalu, apa itu isi ruang?
Meminjam diskursus ekologi, isi ruang tak lain adalah materi
dan relasi-relasi intermateri. Materi bisa berupa biotik (benda
hidup) dan abiotik (benda tak hidup). Contoh benda hidup:
organisme. Contoh benda tak hidup: cahaya, udara, unsur hara,
dan air. Tanpa unsur abiotik, benda hidup tak dapat melanjutkan
kehidupannya. Tanpa unsur biotik, benda tak hidup tak punya
makna. Bukankah sebentang pasir besi tetaplah sebentang pasir
besi sebelum manusia memaknainya sebagai sumber ekonomi?
Bukankah air menjadi seksi ketika diperebutkan dalam dua opsi:
menopang hidup beberapa generasi atau sebuah korporasi?
Senada dengan Mubyarto4, Marx5 menandai keberadaan hubungan
material dan hubungan kerja dalam relasi ruang seisinya (agraria),
yang dapat dikembangkan tak semata dalam wacana kepemilikan/
penggunaan dan persewaan/penguasaan. Agraria tak hanya
sekedar memiliki, menggunakan, menyewa, dan menguasai,

3 Saya menyarankan pembaca untuk menikmati film Life of Pi (2012) untuk sekedar
menajamkan pemahaman tentang apa itu ruang dan relasinya dengan kekuasaan, terselip
pesan: jangan pipis sembarangan.
4 “Secara garis besar, Mubyarto membagi masalah pokok agraria menjadi dua, yaitu pertama,
masalah yang menyangkut hubungan antara manusia dengan tanah (dalam hal ini adalah
hubungan pemilikan dan penggunaan). Dan kedua, masalah yang kemudian berkembang
menjadi hubungan antar-orang mengenai tanah (dalam hal ini adalah hubungan persewaan
dan penguasaan).” Lihat: Tarli Nugroho. 2010. Mubyarto dan Ilmu Ekonomi yang Membumi,
dalam Endriatmo Soetarto (ed.),Pemikiran Agraria Bulaksumur. Yogyakarta: STPN Press-
Sajogyo Institute, hal 287.
5 Hubungan-hubungan agraria yang bekerja dalam sistem sosial sesungguhnya mencerminkan
hubungan material antara subyek dengan ruang beserta isinya dan hubungan sosial
intersubyek yang disebabkan oleh kerja (mode of production) atas ruang tersebut. Lihat: Dede
Mulyanto. 2011. Antropologi Marx. Bandung: Ultimus hal 8

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 279


karena dimensi paling hakiki manusia adalah makhluk biologi
dalam sistem-sistem ekologi. Di sinilah, pertautan isu agraria
dengan lingkungan hidup dimulai. Dan di sini pula, konsep hak
milik (property right) mengemuka dalam wacana agraria.
Sampai di sini, apa imajinasimu tentang agraria?
Sedangkal intuisi saya, agraria merupakan terminologi
yang lentur nan lincah menari-nari diantara dimensi materi dan
immateri. Agraria dapat dimaknai sebatas komoditas6, struktur
penguasaan sumberdaya alam7, ruang hidup8, lingkungan hidup9,
dinamika sosial dan kebudayaan berbasis ruang dan isinya, atau
produksi pengetahuan tentang itu semua.

Ruang Hidup
Untuk dapat hidup, makhluk hidup membutuhkan ruang,
tak terkecuali manusia. Ketika ruang hidup suatu makhluk
terusik, saat itu pula kehidupannya terancam. Contoh kasus:
gajah masuk kampung dan mengamuk karena hutan hilang
berganti pemukiman, orang utan menjadi hama di kebun sawit
karena luas hutan tinggal sedikit. Siapa yang salah? Tanpa melihat
apa sebab gajah mengamuk dan orang utan memangsa sawit,
manusia mudah menjelma pestisida10. Namun, persoalan serupa
juga terjadi dalam komunitas manusia: manusia disingkirkan dan
dimusnahkan oleh manusia lain yang merebut ruang hidup! Ketika

6 Agraria dinilai sebagai sumberdaya alam penopang pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain
komoditas untuk diolah menghasilkan nilai lebih.
7 Tradisi ini berkembang cukup baik dalam Studi Agraria di Indonesia, terutama dipromosikan
oleh Gunawan Wiradi dan lingkaran AKATIGA, KPA, maupun Sajogyonian.
8 Rumusan Agraria sebagai ruang hidup terbilang cukup baru, dan sependek pengetahuan
saya, forum komunikasi masyarakat agraris yang pertama memunculkan makna ini. Tentu
saja diskursus teoritis untuk hal ini belum dirumuskan sebaik diskursus pendahulunya.
Wacana ini hadir sebagai argumentasi tandingan atas maraknya slogan win win solution
dalam ‘penyelesaian’ konflik agraria.
9 Dipopulerkan oleh kelompok-kelompok studi lingkungan seperti jaringan WALHI dan
JATAM, namun baru-baru ini ranah STudi Agraria dan Lingkungan Hidup sudah mulai
popular dijembatani oleh Pendekatan Ekologi Politik.
10 Pesticide= Pest+Cide, Pest (Eng.)= hama, Cide (Latin)= pembunuh, frasa serupa genocide,
homicide, suicide, ecocide.

280 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
perampas memanen perlawanan, siapa yang salah? Perampas atau
terampas?
Apa ruang hidup petani? Apa ruang hidup nelayan? Apa
ruang hidup buruh/kaum miskin kota? 11 Samakah ketiganya?
Kapan mereka bertemu dalam isu ruang hidup dan kapan mereka
berpisah?
Sebidang lahan, bagi petani, tak hanya diolah namun
juga ditempati. Sebuah sampan, bagi nelayan, tak hanya alat
transportasi tetapi juga instrumen perburuan rejeki. Sebuah
pabrik, bagi buruh, tak hanya sumber ekonomi tetapi juga
identitas profesi. Ruang hidup dan sumber penghidupan,
keduanya bertemu dalam makna agraria ketika tanah; samudera;
dan alat produksi tak tergantikan. Melalui mekna inilah saya akan
mencoba mendekati isu agrarian di dalam kehidupan petani;
nelayan; dan buruh/kaum miskin kota.
Namun demikian, agak serampangan jika menyamakan
begitu saja dinamika sosial/kebudayaan petani, nelayan, dan
buruh dalam wacana agraria, mentang-mentang ketiganya
adalah korban dalam perebutan ruang hidup seisinya dengan
sekelompok manusia beridentitas lain (biasanya penyelenggara
kekuasaan dan pemodal). Benar bahwa ruang hidup dan sumber
penghidupan melekat pada ketiganya, namun dalam hal apakah
‘agraria’ diargumentasikan untuk dipertahankan oleh ketiganya,
boleh jadi berbeda menurut identitas kebudayaan petani;
nelayan; dan buruh; karena—menurut saya, nelayan mewakili

11 Apa agraria-nya petani? Apa agraria-nya nelayan? Apa agraria-nya buruh? Pertanyaan
terakhir perlu perumusan lebih lanjut, mengingat isu buruh dan agraria rawan diabaikan;
bahkan dipertentangkan dengan subyek dari pertanyaan pertama. Kenyataan, baik petani
nelayan dan buruh menempati posisi korban dalam ekonomi politik berbasis agraria. Jika
diurutkan dalam kesejarahan, nelayan mungkin mewakili tradisi perburuan lengkap dengan
watak nomad; petani mungkin mewakili tradisi budidaya dengan watak menetap; dan buruh
mungkin mewakili budaya produksi dengan watak alienasi. Namun, ketiganya sama-sama
terjerat ketergantungan dalam skema ekonomi politik yang sama (Kapitalisme). Dalam
banyak kasus, petani beralih menjadi buruh ketika bercerai dengan tanah.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 281


tradisi masyarakat berburu; petani mewakili tradisi masyarakat
berbudidaya (cultivation), dan buruh mewakili masyarakat
ekonomi modern yang lebih kompleks. Uniknya, hubungan-
hubungan kerja yang terjadi saat ini, ketiganya membaur di
bawah bendera industri: industri perikanan (tangkap), industri
pertanian (termasuk perkebunan dan kehutanan), dan industri
manufaktur/jasa.

a. Agraria bagi Nelayan


Mari menengok sejenak kondisi agraria di ranah perairan.
Batas wilayah laut bukan persoalan yang penting hingga abad
ke-20. Pada waktu itu berlaku prinsip perairan bebas. Hal itu
seperti pendapat Hugo Grotius pada 1609 : mare liberium, lautan
bebas dari kedaulatan negara manapun. Akan tetapi, Belanda
melakukan kebijakan monopoli perdagangan dan akses perairan.
Belanda menerbitkan Staatsblad No 422 Tahun 1939 mengenai
’Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie’ (Ordonansi
Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim), dikenal sebagai
Ordonansi 1939 yang membatasi laut teritorial Hindia Belanda
sejauh 3 mil dari garis air surut pulau-pulau terluar, di luar itu
adalah laut bebas/internasional. Dampaknya, penyempitan
wilayah dan pembatasan ruang bagi pengelolaan potensi kelautan.
Laut menjadi kawasan yang terlantar.
Sumberdaya kelautan relatif sama dengan daratan, kecuali
biota dan air yang dipengaruhi oleh migrasi. Sehingga, sebaran
dampak ekologis di laut lebih luas daripada di darat. Akses
terhadap sumberdaya laut sangat dipengaruhi oleh mobilitas
transportasi, modal, dan perubahan cuaca. Namun, hak milik
tidak dapat diberlakukan di atas perairan. Dengan demikian,
fungsi sosial perairan lebih kuat daripada daratan.

282 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sosiologi nelayan berbeda dengan masyarakat yang
mempunyai matapencaharian berbasis lahan, terutama dari sisi
strategi hidup dan kesempatan berusaha. Dengan demikian,
kerangka analisis untuk memetakan, mengurai, memahami, dan
merumuskan persoalan kelautan tidak dapat lagi menggunakan
perspektif daratan.
Konsep Mare Liberum telah berubah menjadi Mare
Reservarum (Russ dan Zeller, 2003 cit Satria, 200912), penerapan
konsep ini adalah globalisasi isu ekologi melalui Code of Conduct
Responsible Fisheries (CCRF). Turunan dari CCRF adalah
International Plan of Action (IPOA) tentang Illegal, Unreported,
and Unregulated Fishing (IUUF). Berbagai lembaga pengelolaan
perikanan dibentuk tanpa pertimbangan letak geografi negara,
semisal Conventiion for Concervation of Southern Bluefin Tuna
(CCSBT) di wilayah Pasifik dan Indian Ocean Tuna Commision
(IOTC) di wilayah Samudera Hindia. Anggota CCSBT adalah
Australia, Jepang Selandia Baru, sedangkan anggota IOTC antara
lain ialah Perancis, Korea, Jepang, Inggris, dan Malaysia. Indonesia
menjadi anggota IOTC pada 2007.
Di dalam komisi-komisi kelautan itu diberlakukan Total
Allowable Catch (TAC). Jumlah kuota tangkapan untuk setiap
negara anggota berbeda, pada tahun 2000, melalui CCSBT, Jepang
mempunyai kuota 52 %, Australia 45 %, dan Selandia Baru 3 %.
Negara yang tidak menjadi anggota CCSBT tidak berhak memiliki
kuota. Sehingga, jika negara tersebut tetap beroperasi di perairan
CCSBT, maka dianggap sebagai penumpang gelap (free rider).
Penangkapan ikan oleh Indonesia di wilayah yang sah juga dapat
dikategorikan pelanggaran IUUF jika tidak terlaporkan dan tidak
diatur regulasi.

12 Satria, Arif. 2009. Ekologi Politik Nelayan. LKis Yogyakarta

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 283


Komisi-komisi tersebut menggambarkan hirarki penguasaan
sumberdaya. Artinya, globalisasi menempatkan negara maju
sebagai pusat (core) dan negara berkembang sebagai pinggiran
(periphery). Peran pusat terhadap pinggiran bersifat hegemonik.
Ketika aturan main sepihak ini disepakati oleh nelayan, maka
nelayan kehilangan mata pencaharian.

b. Agraria bagi Petani


Mengingat catatan mengenai kehidupan nelayan yang kental
dengan wacana agraria sulit diperoleh, saya akan mendekatinya
dengan perbandingan yang relatif terbedakan karakternya.
Berikut saya akan memulai dengan menguraikan perbedaan
agrarian culture dari pola pertanian intensive dan pola ‘pertanian’
yang dekat dengan tradisi survival.
Julian Steward (1955)13, seorang pakar Antropologi Ekologi,
mengemukakan bahwa manusia dan ekosistem berhubungan
secara timbal balik dalam membentuk kebudayaan. Terinspirasi
oleh Steward, menggunakan Teori Adaptasi, melalui karya
klasiknya yang menjadi literatur wajib bagi para antropolog dan
sosiolog penganjur modernisasi, yaitu Involusi Pertanian, Clifford
Geertz (1983) memerikan dengan cantik mengapa penghuni
Pulau Jawa cenderung untuk mencetak sawah daripada membuka
ladang berpindah yang umum dijumpai di luar Pulau Jawa.
Sebagai daratan dengan umur geologi muda, di Pulau Jawa
lazim terdapat gunung-gunung berapi disertai sungai-sungai
dengan kontur yang landai, sehingga untuk memanfaatkan unsur
hara dari dalam bumi (agar dapat dikandung oleh tanaman),
manusia Jawa hanya perlu membuat tempat-tempat penampungan
air yang kemudian disebut sebagai sawah. Pola menetap dan

13 Steward, Julian. 1955. Theory of Culture Change, Urbana. University of Illinois Press

284 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
intensif merangsang populasi manusia penganut agrarian culture
ala sawah lebih cepat bertambah, seiring dengan akumulasi
surplus panen yang dihasilkannya. Hal ini memungkinkan pasar
masuk, dan mengubah relasi sosial yang baru dengan kehadiran
penjual jasa: buruh tani, baik bersifat substitusi maupun dalam
hubungan patron klien sama sekali. Konsep hak milik melekat
dalam kebudayaan agraria pertanian intensif. Jawa adalah contoh
yang baik dalam menyimpan rekam jejak pertanian menuju
industri.
Lain halnya dengan Pulau Kalimantan yang merupakan
daratan dengan umur geologi tua (tidak banyak dijumpai gunung
berapi), unsur hara tidak terkandung dalam aliran sungai,
melainkan dalam vegetasi; sehingga untuk memanfaatkan
unsur hara tersebut penduduk setempat tidak membuat sawah
tetapi membuka ladang berpindah (umumnya tadah hujan).
Sistem ladang berpindah membawa konsekuensi, antara lain:
kecenderungan bertujuan subsistensi daripada memenuhi
kebutuhan industri, kecil kemungkinan akumulasi hasil produksi,
populuasi dipertahankan konstan atau laju pertambahan
penduduk komunitas tersebut rendah, batas-batas penguasaan
lahan ditentukan oleh sejauh mana perjalanan yang bersifat
siklus itu, metode pembakaran terkendali menjadi alternatif
untuk membuka lahan dan pelapukan sisa-sisa tumbuhan untuk
menyediakan nutrisi tanaman, relasi patronase dalam bentuk
determinan ekonomi kecil kemungkinan muncul tidak seperti
dalam sistem feodalism, kolonialisme dan kapitalisme umumnya.
Uraian tersebut menandaskan bahwa budidaya (cultivation)
lebih khusus lagi pertanian (agriculture)—sebagai bentuk
kebudayaan (culture) berbasis tanah (ager), adalah sistem-
sistem ekologi buatan yang secara langsung mengubah struktur
dan fungsi lingkungan, yang kemudian turut mengubah

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 285


perspektif manusia terhadap alam yang dicirikan dengan pola-
pola intensifikasi dan eksploitasi. Pola-pola ini semakin tampak
pada sistem yang dipercanggih, yaitu perkebunan (plantation)
yang berciri monokultur; intensif; dan menyerap asupan energi
tinggi (modal; tanah; dan buruh). Karena nomaden, penganut
agrarian culture ala peladang berpindah harus memperhitungkan
kepadatan populasi dan jumlah konsumsi. Dan, tampaknya
konsep hak milik sulit lahir dari kebudayaan ini. Apakah nelayan
merasa memiliki laut? Sepertinya juga tidak, namun konsep hak
milik diterapkan untuk membuat teritori penangkapan ikan oleh
negara-negara maju, sebagaimana diterapkannya klaim hutan
negara atas wilayah jelajah para peladang berpindah.
Lebih lanjut, budidaya berbasis tanah ini tak hanya mengubah
struktur dan fungsi ekosistem, tetapi juga mengubah pola-pola 1)
organisasi produksi, 2) kontrol atas aset-aset produktif, 3) pilihan
teknologi dan pola-pola akumulasi, 4) distribusi pendapatan
di komunitas pedesaan dan 5) relasi sosial dari masyarakat.
Perubahan-perubahan inilah yang kemudian dikenal sebagai
perubahan-perubahan agraria (Pincus, 199014 dan Huskens,
199815). Di sinilah, pertanian tidak lagi cukup dipahami sebagai
cara produksi (mode of production) untuk menghasilkan barang
dan jasa, tetapi lebih dari itu, pertanian sebagai suatu kebudayaan
tertentu yang mengisi relasi-relasi manusia atas alam. Lebih-
lebih, pertanian yang sudah terintegrasi dengan dunia industri,
pertanian yang tidak lagi subsisten, pertanian yang diarahkan
untuk menopang kemantapan rezim kapitalisme. Pola pertanian
tanaman pangan di dataran rendah atau pertanian berorientasi
agribisnis lainnya juga mengikuti pola perkebunan, yaitu
monokultur, padat modal, dan intensif. Paket Revolusi Hijau

14 Pincus, Jonathan. 1990. Approaches to the poitical economy of agrarian change in Java.
Journal of Contemporary Asia 20:1. 3-40
15 Huskens, Frans. 1998, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Sejarah Diferensiasi Sosial
di Jawa 1830-1980, Grasindo, Jakarta

286 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
membuat pertanian subsisten sekalipun menjadi terintegrasi
dengan ekonomi global.
Pembeda utama dari pola pertanian intensif dan pola pertanian
survival adalah keterlibatan pasar dalam moda produksi. Sawah
tak terelakkan terhadap pasar, terkecuali bagi masyarakat tertentu
yang dinilai sebagai pembangkang kekuasaan. Ladang berpindah
relatif bertahan terhadap serangan modernisasi, meskipun
konsekuensinya mereka akan dimusnahkan dengan dilekati
istilah perambah hutan yang merusak ekosistem. Sungguhpun
dalam kebudayaan tidak ada hirarki, wacana bahwa sawah lebih
baik daripada ladang berpindah sulit ditolak oleh kalangan yang
pemikirannya dibentuk oleh sekolah.
Di Indonesia, pergulatan menemukan definisi agraria
pun seraya mengikuti: “dalam perspektif sawah/pertanian
intensif dan a la Jawa”. Contoh nyata: dalam rumusan dan cara
siapakah ekosistem dan masyarakat Papua hendak dibangun
(baca: diubah)? Siapa yang akan untung/rugi dalam mekanisme
pengubahan ekosistem dan sosial ini: masyarakat dalam tradisi
berburu atau masyarakat yang merasa lebih maju? Hingga hari
ini, lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Selatan adalah
monumen dinamika agraria yang menyisakan kolam larutan
asam. Sampai di sini, dapatkah kamu bayangkan bahwa definisi
agraria dapat menentukan hidup/matinya suatu kelompok sosial
lengkap dengan kebudayaannya?
Cerita ironis datang dari kisah Revolusi Hijau.
Kiranya masih belum pudar dari ingatan, kemantapan
industri di sektor pertanian Indonesia pascakolonial ditandai
oleh sebuah tonggak yang amat terkenal: Revolusi Hijau. Tonggak
ini, secara teknis merupakan satu paket intensifikasi berbasis
teknologi yang dikenal sebagai panca usaha tani:1) Pemupukan
kimia; 2) Penggunaan benih unggul; 3) Pemberantasan hama; 4)

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 287


Mekanisasi pertanian; dan 5) Irigasi, paket itu masih didukung
oleh Kredit Usaha Tani sebagai pelembagaan ekonomi pedesaan
menggantikan lembaga ekonomi tradisional yang dianggap tidak
efisien oleh pengambil kebijakan. Selain itu, masih ditambah
dengan ekstensifikasi pertanian, yaitu pencetakan sawah di luar
Jawa (contoh paling nyata adalah Proyek Lahan Gambut Sejuta
Hektar). Inti dari semua itu adalah Modernisasi Pertanian, dengan
pengertian modernisasi dalam hal cara hidup (penggunaan
teknologi mutakhir) dan dalam hal cara pandang (peralihan nilai-
nilai lama ke nilai-nilai baru)16.
Berhasilkah Revolusi Hijau? Secara produksi Ya, Revolusi
Hijau dapat meningkatkan hasil panen (khususnya padi), hingga
puncaknya pada tahun 1984 (swasembada beras), di luar yang
dilaporkan, gejala pelandaian (leveling off) produktifitas padi
sudah tampak sejak awal tahun 1980. Ditinjau dari seberapa jauh
Revolusi Hiijau memodernkan petani sawah juga dapat dikatakan
berhasil, setidaknya dapat teramati dari 1) pola tanam tidak lagi
berdasarkan kalendar musim melainkan permintaan pasar; 2)
penggunaan benih unggul, pupuk, dan pestisida sintetik yang
diproduksi oleh pabrik daripada benih lokal, pupuk kandang, dan
biopestisida produksi sendiri; 3) penggunaan sabit berberigi dan
traktor menggantikan ani-ani (alat kerja perempuan) dan luku
(ditarik hewan ternak) yang membutuhkan tenaga kerja lebih
banyak. Secara ekonomi politik, Revolusi Hijau juga dikatakan
berhasil karena telah menjadikan beras sebagai komoditas ekonomi
dan politik yang dapat diandalkan sebagai standar kesejahteraan
(lihat Garis Kemiskinan Sajogjo)17; unsur perhitungan upah buruh
dan PNS; dan alat politik untuk ekspansi kekuasaan golongan
tertentu (masyarakat yang enggan dimodernkan akan dicitrakan

16 Lihat Hardiman, 2003. Hardiman, F.B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius
17 Lihat Sajogjo. 2006. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum. Dalam Ekososiologi
Deideologi Teori dan Restrukrisasi Aksi. SAINS dan Sekretariat Bina Desa.

288 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sebagai lawan ideologi negara oleh pemerintah). Dampak Revolusi
Hijau benar-benar menghijaukan pelosok-pelosok desa, baik itu
hijau daun tanaman maupun hijau seram suatu pakaian seragam.
Sekali lagi, berhasilkah Revolusi Hijau? Secara lingkungan,
Tidak. Paket teknologi itu menaikkan produksi tanaman tetapi
menurunkan produktifitas lahan karena pupuk kimia membuat
tanah kurus dan benih unggul adalah organisme yang rakus. Selain
itu, pestisida tak hanya membunuh agen penganggu tanaman
(hama) tetapi juga agen pembantu tanaman (musuh alami,
predator, penyerbuk). Air juga terkontaminasi racun, binatang
melata pemangsa tikus sudah mulai jarang. Hal terburuk justru
menimpa manusia karena sebagai makhluk di puncak piramida
makanan manusia adalah agen yang menerima akumulasi
bahan pencemar paling tinggi. Secara sosial, Tidak. Modernisasi
memang memberi kemudahan dalam produksi barang dan jasa
tetapi menyulitkan petani untuk membuat keputusan sendiri
atas hidupnya. Secara budaya, Tidak. Petani telah kehilangan
satu paket pengetahuan tentang budidaya yang berumur ribuan
tahun, tergantikan oleh pengetahuan ilmiah yang mendukung
kelangsungan hidup raksasa ekonomi baru. Secara ekonomi, petani
gurem terjerat hutang dan menjadi pengganjal bagi kemantapan
pembangunan bias kota, yaitu penghasil pangan melimpah
(artinya menaikkan konsumsi sarana produksi), sehingga pangan
menjadi murah agar upah buruh juga turut rendah.
Belakangan, kesimpulan para pakar studi agraria18 baik Mahzab
Bogor maupun Mahzab Bulaksumur—mengacu istilah A.N. Luthfi
(2010, 2011)19, kembali digemakan: bahwa Revolusi Hijau bukan

18 Selain Gunawan Wiradi; Sediono M.P. Tjondronegoro; Masri Singarimbun; dan Sartono
Kartodirjo, Sajogyo adalah yang paling mengemuka melalui esai padatnya yang berjudul
Modernization Without Development (1982), kritik revisionis dari suatu kebijakan.
19 Luthfi, A.N. 2010. Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal Sartono Kartodirjo, Masri
Singarimbun, dan Mubyarto, STPN Press, Yogyakarta.
_________. 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikrian Maxhab Bogor. STPN
Press, Yogyakarta

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 289


semata-mata bahasa teknis tentang bagaimana meningkatkan
produksi pertanian melainkan juga bahasa politik rezim Orde
Baru untuk membelokkan makna Reforma Agraria menjadi
sekedar pemenuhan kecukupan pangan sebagai tolok ukur bagi
kesejahteraan masyarakat. Revolusi Hijau mendapat perhatian
khusus dibanding revolusi biru (kelautan) ataupun revolusi
putih (peternakan) karena kemampuannya mengubah perilaku
dan struktur sosial masyarakat, tak hanya itu bahkan mengubah
paradigma masyarakat dan membentuk kesadaran baru kaum tani
dalam memaknai dirinya sendiri. Tetapi, benarkah petani dapat
memakani dirinya sendiri secara otonom? Pada kenyataannya,
akademisilah yang lebih sering memberi batasan apa itu petani dan
bagaimana seharusnya petani hidup (Escobar, 1998)20.
Perubahan perilaku masyarakat dapat diamati dari pola
konsumsi pangan pokok, yaitu semula anekaragam menjadi
seragam (beras saja); perubahan struktur sosial masyarakat tani
yang tampak adalah polarisasi kelas petani yang tajam, dari petani
berlahan luas-menengah-gurem menjadi petani berlahan luas
dan petani gurem yang terancam tuna kisma (tak bertanah). Di
pedesaan, ada golongan yang tercerabut dari tanahnya dan tidak
terserap oleh industri kota. Revolusi Hijau tak hanya meninggalkan
racun-racun yang mencemari lingkungan fisik, tetapi juga racun-
racun yang mendekam dalam alam kesadaran petani dan bukan
petani.

c. Agraria bagi Buruh


Wacana terkait buruh umumnya terkait upah, tenaga kerja, dan
pembagian nilai lebih hasil kerja menurut kelas-kelas yang terlibat.
Buruh terbentang dari sektor swasta hingga publik—mengingat

20 Escobar, A. 1998. Whose knowledge, whose nature? biodiversity, conservation, and the
political ecology of social movements. Journal of Political Ecology 5, p 53-82. jpe.library.
arizona.edu

290 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
ASN sesungguhnya juga buruh namun kesempatannya untuk
merebut alat produksi lebih kecil daripada buruh manufaktur;
karena alat produksinya ialah sistem penyelenggaraan negara dan
pemilik modalnya ialah para pembayar pajak.
Pergeseran cara hidup dari berburu (dan meramu) menuju
bertani dan lalu memburuh diiringi dengan perubahan relasi
sosial dan konsep penguasaan sumberdaya. Tampaknya, sulit
bisa membayangkan nelayan bekerja seorang diri demikian pula
peladang berpindah, hasil yang mereka dapatkan bukan kerja
individu karenanya kehidupan nelayan/peladang berpindah
berciri komunal.
Petani masih mungkin bekerja sendiri (dalam lahan sempit),
memperoleh hasil individu, atau membaginya secara kolektif
ketika melibatkan banyak tenaga kerja. Karakter individualistik
pada petani justru mudah ditemukan dalam pertanian modern
yang mengandalkan mekanisasi. Asumsinya, semakin sedikit
tenaga manusia, semakin efisien.
Ketika tanah yang tak digarap tidak menghasilkan panen
(nilai lebih), maka dapat dikatakan berkat keringat petani-
penggaraplah sebidang lahan dapat dipanen untuk hidup. Tenaga
kerja, dengan demikian, menjadi faktor yang penting dalam
pertanian. Buruh tani, sekalipun dalam usaha tani subsisten,
adalah fenomena buruh di sektor pertanian, terlebih pada usaha
tani komersial/industri dan perkebunan.
Pada sumber penghidupan berbasis perairan, hubungan
anak buah kapal, nahkoda dan pemilik kapal sangat mungkin
menunjukkan hubungan buruh dengan majikan. Pemilik kapal
atau pemodal menempati posisi paling kuat, baru kemudian
nahoda dan anak buah kapal. Posisi nahkoda sangat kuat jika
nahkoda merangkap pemodal. Pembagian hasil tangkapan ikan
dan relasi kerja antara anak buah kapal, nahkoda dan pemilik

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 291


kapal menjadi indikator yang menjelaskan hubungan kerja
ala buruh majikan: kelas yang berkuasa mendapat bagian yang
lebih banyak. Meskipun di darat kehidupan nahkoda dan anak
buah kapal egaliter, di laut nahkoda mutlak berkuasa, bahkan
ia mempunyai hak untuk menyingkirkan anak buah kapal yang
tidak patuh demi keselamatan bersama, termasuk keselamatan
usaha tangkapan ikan yang eksploitatif dan kapitalistik sekalipun.
Pada buruh tani terlekati hubungan-hubungan kerja yang
relatif sama dengan buruh manufaktur. Ada penyuruh, ada
pesuruh. Ada yang membayar, ada yang dibayar. Ada yang
menguasai, ada yang terkuasai. Membaca buruh tani, selama
masih dalam hubungan material dan hubungan kerja yang
sama dengan pabrik sepatu, maka buruh tersebut tidak dapat
diasumsikan sebagai sebagai petani, sekalipun tetap cangkul yang
ia panggul.
Hubungan buruh tani dan perkebunan dengan pemilik atau
pemodal usaha tani/perkebunan tidak berbeda dengan hubungan
buruh manufaktur dengan pemilik pabrik/pemodal. Perbedaannya
hanya terletak pada bentuk produksinya, namun bagaimana
usaha tani atau perkebunan dikerjakan—utamanya yang dicirikan
dengan sistem upah, merupakan cara produksi kapitalis. Sehingga
analisis kelas terhadap buruh manufaktur dan pemilik pabrik/
pemodal atau buruh jasa dan pihak yang mempekerjakannya
dapat diterapkan pula pada buruh perkebunan/buruh usaha tani
dengan majikannya, termasuk pemilik lahan pada pertanian
subsisten-akumulatif meskipun upah itu tidak berupa alat tukar
moneter.
Revolusi Hijau adalah contoh sempurna dalam menjelaskan
bahwa isu buruh dan agraria sesungguhnya lekat. Reforma Agraria
dimaknai oleh Orde Baru sebagai upaya memenuhi kecukupan
pangan dan penciptaan nilai lebih dari usaha pertanian —kedua

292 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
tujuan ini pun termasuk tujuan pragmatis Reforma Agraria di era
Soekarno, sehingga modernisasi pertanian yang dikenal sebagai
Revolusi Hijau dipilih sebagai bentuk Reforma Agraria, dengan
demikian tidak perlu ada redistribusi lahan ketika target produksi
sudah dapat dicapai dengan intensifikasi. Perluasan lahan
pertanian pun dilaksanakan melalui ekstensifikasi pertanian
untuk membesarkan industri pertanian, bukan memperluas unit
usaha pertanian yang dikerjakan oleh rakyat melalui redistribusi
lahan dan perlindungan terhadap obyek-subyek Reforma Agraria.
Dengan demikian, menjadi masuk akal kenapa kebijakan agraria
Orde Baru tidak memerlukan UUPA sebagai payung hukum
landreform, UUPA hanya perlu dihadirkan dalam legalisasi aset
industri pertanian dan perkebunan, misalnya HGU.
Salah satu program andalan Revolusi Hijau ialah swasembada
beras, bukan beragam pangan yang lain. Penyeragaman jenis
pangan akan memudahan penghitungan upah dan parameter
ekonomi lainnya, misalnya mengukur tingkat kesejahteraan
penduduk berdasarkan konsumsinya, melalui propaganda: makan
nasi berarti sejahtera, makan selain nasi berarti masih sengsara.
Harga pangan menjadi tolok ukur nilai upah. Ketika harga
beras mahal maka upah akan tinggi. Agar upah rendah, maka harga
pangan harus murah. Agar harga pangan murah, maka jumlah
pangan harus berlimpah. Agar jumlah pangan berlimpah, maka
produksi harus ruah, melalui panca usaha tani dan impor beras
tentunya. Namun, di saat harga pangan mengalami kenaikan pun,
upah buruh tetap rendah, karena pangan telah dikuasai pasar/
kartel pangan.
Petani tidak dapat menentukan harga dari hasil panennya,
demikian juga buruh tidak dapat turut menentukan nilai
tenaganya. Keduanya tidak mempunyai daya tawar terhadap pasar
konsumsi maupun pasar tenaga kerja. Mereka tidak mempunyai

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 293


daya tawar karena tidak memiliki pasar tersebut. Sehingga,
menjadi masuk akal, kenapa tuntutan kenaikan upah tidak berarti
penghasilan dapat mengejar harga pangan, tuntutan harga panen
lebih tinggi tidak menaikkan upah buruh, tuntutan kenaikan
upah buruh juga tidak menjadikan harga panen di tingkat petani
meningkat, tuntutan harga pangan murah semakin mencekik
produsen pangan, lebih-lebih buruh tani/perkebunan.
Buruh dan petani sesungguhnya dalam posisi yang sama,
pembedaan secara teoritik klasik bahwa petani merupakan
profesi warisan feodalisme dan buruh merupakan anak zaman
kapitalisme kiranya perlu dikoreksi—ketika situasinya baik
buruh dan petani kecil hidup dalam ketergantungan pemodal,
dan dipertimbangkan kemanfaatan pembedaan teoritik itu bagi
agenda-agenda non elitis—contoh agenda elitis ialah produksi
pengetahuan yang tidak berbasis dari agenda basis.
Berbeda dengan nelayan yang menghadapi ketergantungan
pada cuaca, bahan bakar, dan karakter perairan yang tidak
stabil, petani relatif diuntungkan dengan keterbukaan berbagai
siasat baru, misalnya: pertanian mandiri (dibahasakan sebagai
pertanian organik), budidaya terkontrol dengan sistem tertutup
(green house, close house), atau konsolidasi sumberdaya. Dengan
demikian, penemuan peluang-peluang baru dalam sumber nafkah
perairan, terutama maritime, memerlukan kreatifitas lebih.
Buruh yang lahir sebagai akibat pencerabutan tanah petani
mungkin berbeda dengan buruh yang lahir tanpa penceraian
ikatan alat produksi (tanah). Buruh manufaktur sedikit
disinggung dalam Revolusi Hijau, yaitu sebagai kelas yang sedikit
diuntungkan ketimbang petani, namun tetap saja diperah dalam
struktur ekonomi industri. Buruh justru hendak dipisahkan dari
kawan senasibnya sebagai bagian dari pasar produksi (misalnya

294 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
buruh pabrik pupuk/pestisida) dan bagian dari pasar distribusi
(misalnya buruh pengolahan pangan).
Dalam wacana dominansi pemodal, baik nelayan, petani, dan
buruh dapat menemukan basis material yang sama jika dikemas
dalam perjuangan agraria. Aktor pemodal besar dalam masyarakat
nelayan mungkin adalah pemilik kapal besar yang relatif tangguh
menghadapi cuaca buruk karena menguasai teknologi. Dalam
masyarakat tani, mereka adalah tuan tanah. Dan dalam masyarakat
industri mereka adalah pemilik perusahaan.
Perjuangan agraria kaum tani dapat diterjemahkan sebagai
okupasi tanah, redistribusi lahan dari tuan tanah, atau peneguhan
hak komunal atas masyarakat adat. Perjuangan agraria kaum
buruh dapat diterjemahkan sebagai pengambil alihan alat
produksi dan manajemen perusahaan (lebih lanjut pengelolaan
modal secara komunal) ketimbang melulu menuntut kenaikan
upah dan penurunan harga pangan! Perjuangan agraria kaum
nelayan dapat diterjemahkan sebagai usaha kolektif penguasaan
dan pengelolaan alat tangkapan ikan yang lebih memadai serta
penguatan klaim teritori dalam diskursus masyarakat komunal
(adat)21.
Reforma Agraria yang mengubah struktur produksi dan
distribusi yang timpang menjadi lebih adil dapat menjadi
agenda yang menyatukan kepentingan buruh dan kaum tani.
Perubahan struktur produksi di sektor pertanian ialah pelepasan
petani dari ketergantungan sarana produksi parikan. Perubahan
struktur produksi di sektor manufaktur ialah pelepasan
buruh dari ketergantungan sistem upah dari pemodal yang
bukan dirinya. Perubahan distribusi di sektor pertanian ialah
peningkatan daya tawar petani terhadap pasar konsumsi dengan

21 Saya tidak membayangkan hal ini sebagaimana diskursus dan struktur lembaga adat ala
AMAN

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 295


cara pengorganisasian, baik manusia maupun suplai barang/
komoditas. Perubahan distribusi di sektor manufaktur ialah
dengan cara penentuan nilai komoditas setara tenaga dan waktu
yang dikeluarkan dalam produksi. Boleh jadi, ketika buruh dan
kaum tani berada dalam kepentingan dan jalur perjuangan yang
sama, akhir perjuangan itu ialah keseimbangan struktur produksi
dan distribusi.
Namun, catatan-catatan metodologis menuju bentuk
perjuangan agraria yang diimajinasikan itu tampaknya perlu
dirumuskan secara lebih cermat, setidaknya mencakup
prasyarat-prasyarat yang dibutuhkan agar petani; nelayan; dan
buruh dapat bertemu dan bersekutu, dan agar handal sebagai
argumentasi tanding bagi diskursus agraria yang mempromosikan
pencerabutan akar sejarah perjuangan kelas.
Yogyakarta, 2 April 2013

296 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sekolah Petani Berkesadaran
Ala Sekti Muda
Rahmat Ariza Putra, Fasilitator dan
Pengajar di Sekolah Tani Muda (Sekti Muda)
Yogyakarta

Gambar 1: Suasana Kelas Sekolah Tani Muda di Nawungan, Imogiri

September 2023 adalah awal perjumpaan saya selaku fasilitator


dengan dengan kelompok tani di sentra bawang merah Desa
Selopamioro, Imogiri, Bantul. Ketika itu, saya diminta oleh Mas
Faisol, fasilitator program Penataan Akses reforma agraria BPN
Bantul/Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, untuk terlibat
dalam penyelenggaraan sekolah tani di sana.
Di pertemuan tersebut, saya mengidentifikasi kelompok tani
Lestari Mulyo yang merupakan subjek penerima manfaat program
BPN adalah lembaga terkenal. Banyak instansi pemerintah atau
swasta yang telah menyalurkan program pemberdayaan kepada
mereka. Seperti tidak ada habisnya silih berganti setiap tahun
dan sepanjang musim. Meniru celoteh para peserta, Selopamioro
adalah idola bagi semua.
Karena difavoritkan oleh banyak pihak, tidak terhitung
dukungan yang mengalir ke tempat ini. Yang kentara saat saya
mulai beraktivitas di sana adalah bantuan bibit bawang merah
asal biji (True Shallot Seed), green house pembibitan, gedung
pasca panen dan mesin sortasi dari Bank Indonesia, agenda
listrik masuk lahan pertanian dari PLN, branding sentra bawang
merah glowing dari BPD DIY, aneka infrastruktur jalan dan
alat mesin pertanian dari pertanian atau pekerjaan umum, dan
beragam kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya petani dari
perguruan tinggi dan lembaga riset.
Di samping itu, Dusun Nawungan 1 dan 2 yang berada di
desa tersebut pun terkenal sebagai rujukan belajar petani dan
dinas terkait dari berbagai daerah. Di musim-musim pencairan
dana APBD, beragam kelompok tani dan UPTD pendampingnya
berkunjung untuk mempelajari dan meneladani kisah sukses
petani bawang merah di sana. Pejabat daerah dan pusat juga
sering mengadakan seremoni berupa acara panen bersama atau
sekedar saresehan bersama.
Yang lebih istimewa lagi, ketua kelompok tani Lestari
Mulyo, Bapak Juwari, adalah penerima anugerah Kalpataru dari
Kementringan Lingkungan dan Kehutanan. Penghargaan ini
merupakan wujud apresiasi atas kerja kolektif petani di sana.
Mereka berhasil mengubah kawasan l pertanian di perbukitan
Imogiri yang sebelumnya hanya produktif di musim penghujan

298 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menjadi lahan yang produktif sepanjang tahun dengan hadirnya
embung-embung mini hasil usaha swadaya masyarakat.

What am I supposed to do?


Dengan latar belakang yang bertabur prestasi dan sejarah
panjang perjuangan penduduk Selopamioro, tentu tidak salah
kalau saya berasumsi bahwa ilmu mereka adalah masyarakat
agraris yang kaya ilmu. Rasa-rasanya, jika saya diminta berbagi
tentu seperti berupaya menggarami lautan. Bukan saya yang perlu
memberi, tapi justru harus banyak menggali inspirasi dari para
petani.
Semakin banyak informasi yang dikorek, saya semakin
merasa kerdil jika harus berdiri di depan mereka menjelaskan
sedikit materi yang dikuasai. Perasaan itu menjadi-menjadi ketika
salah seorang peserta diskusi menyebutkan nama-nama profesor,
doktor, praktisi yang pernah menjadi guru pendamping di tempat
ini. “Ah kayaknya kok tidak pantas sama sekali kalau disejajarkan
dengan tokoh-tokoh tersebut sebagai pemateri,” batin saya dalam
hati.
Sembari meyakinkan diri sendiri, Mas Qomar, salah satu
pendiri Sekti Muda, yang mengajak saya terlibat dalam agenda
tersebut kemudian tetap mendorong saya. “Rapopo (tak apa)
maju, sampaikan saja apa yang ada di slide presentasi”, bisiknya
menguatkan. Walau minder masih bekecamuk di dada, saya
kemudian mencoba memulai pertemuan pertama dengan
perkenalan diri dan sebuah pertanyaan yang menjadi pembuka
keseruan-keseruan yang hingga saat ini masih saya rasakan.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 299


Demi Anak Cucu

Gambar 2: Pertemuan pertama

“Apakah bapak-ibu bercita-cita mewarisi tanah pertanian


Selopamioro yang subur atau hancur kepada anak-cucunya?”,
tanya saya. Tidak ada satupun yang menimpali dengan kalimat
berbeda. “Kami pilih yang pertama,” respon mereka dengan
kompak. Jawaban ini sangat berbeda dengan petani sub-urban di
kawasan yang dekat pusat pembangunan di Jogja yang tidak punya
harapan memiliki keturunan menjadi petani di masa datang.
“Yang penting sekarang saja mas, anak-anak tidak ada yang mau
jadi petani, kalau saya mati nanti paling warisan tanah saya akan
dijual,” cerita salah seorang petani peserta sekolah tani di utara
kota Jogja.

300 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Mungkin karena letak geografi yang jauh dari pusat ekonomi
di perkotaan dan kondisi tanah yang tidak sebagus daerah-daerah
pertanian di tempat lain, mereka menyadari bahwa laku tani
yang mereka kerjakan harus mampu menjaga kesuburan lahan.
Karena boleh dikatakan, tidak ada pilihan pundi-pundi penghasil
pendapatan lain bagi warga setempat selain bertani. Selanjutnya,
saya paham bahwa dari pintu ini saya bisa aktif mewarnai upaya
mereka mewarisi tanah lestari.

Petani Berkesadaran Ala Sekolah Tani.


Ilmu dan pengetahuan teknis yang selama ini diterapkan
di lahan sebetulnya sudah banyak yang selaras dengan apa yang
mereka harapkan. Metode pembuatan PGPR dan implementasinya,
pemberian kohe (kotoran hewan) sebagai pupuk dasar, model
perbanyakan aneka macam agensi hayati dan tata cara aplikasinya
adalah di antara laku tani yang mendukung tercapainya tujuan.
Walau begitu, ketika saya tanya, kenapa hal-hal tersebut perlu
dilakukan, banyak di antara mereka yang tidak dapat menjelaskan.
Setelah ditelisik lebih dalam, para petani memang tidak punya
pengetahuan utuh atas itu semua. Dugaan saya karena ilmu yang
disampaikan oleh berbagai pihak belum menyentuh hal-hal
mendasar yang menjadi pondasi dalam mengelola asset agraria.
Hasilnya, tidak sedikit praktik yang hanya dilandasi motif ikut-
ikutan. Pendek kata, petani tidak punya kesadaran penuh atas
pilihan metode budidaya yang dikerjakan.
Berangkat dari permasalahan ini, saya kemudian menawarkan
konsep sekolah petani berkesadaran. Ilmu dan pengetahuan yang
disampaikan bertujuan membangun kesadaran petani terhadap
sumber daya agraria. Pemahaman-pemahaman fundamental
terkait tanah, air, udara, serta bagaimana kebudayaan

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 301


manusia mengelolanya menjadi topik-topik penting yang akan
dikemukakan dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Menanggapi usulan tersebut, seluruh peserta kemudian
menyetujuinya. Menurut mereka, pendekatan tersebut berbeda
dari kelas-kelas tani terdahulu sebelum Sekti Muda. Dengan
mengangkat konsep petani berkesadaran, partisipan tidak hanya
belajar keterampilan teknis tapi juga mendapatkan informasi
menyeluruh mengapa praktik tersebut dibutuhkan. Tidak tiba-
tiba dijelaskan bagaimana cara membuat kompos tanpa mengkaji
kenapa kompos itu penting dan hubungannya dengan kelestarian
tanah.

Hiduplah Tanahku, Hiduplah Negeriku


Setelah tahapan assesment untuk mencari common ground
dianggap usai, saya inisiasi kelas dengan sebuah bait yang terdapat
pada lagu Indonesia Raya. Hiduplah Tanahku, Hiduplah Negeriku.
Walau saya pribadi tidak begitu yakin bahwa WR Supratman
memaknai tanah pada lagu tersebut dengan maksud denotatif,
tapi saya percaya bahwa langkah pertama untuk memulai bertani
adalah memahami bahwa tanah adalah sebuah entitas hidup.
Jika hendak memberi makan dan memakmurkan bangsa
Indonesia, langkah pertama yang harus ditempuh petani adalah
menghidupkan tanah tempat bercocok tanam. Begitu kira-
kira perenungan saya atas diksi-diksi yang ditulis pengarang
lagu. Filosofi ini pun selaras dengan cara pandang para leluhur
terhadap tanah yang membahasakannya dengan istilah “Nguri-
nguri lemah” (menjaga tanah). Sebagian aliran sains barat yang
diajarkan di kampus-kampus juga punya konsep serupa yang
kemudian mereka terjemahkan dengan kalimat “Healthy Soil,
Healthy Life”.

302 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pada praktiknya, tidak banyak petani pewaris budaya revolusi
hijau yang kemudian memiliki keyakinan serupa. Kalaupun
masih ada setitik iman terhadap kearifan lokal, tidak nampak
manifestasinya dalam laku tani sehari-hari. Yang terfikir hanyalah
bagaimana memberi nutrisi ke tanaman melalui aplikasi pupuk
kimia atau kohe (kotoran hewan) yang praktis agar hasil panennya
bagus. Tanah cuma diasumsikan sebagai tempat wadah sementara
yang menampung hara dari pupuk yang diaplikasikan sebelum
kemudian diserap tanaman.
Ketika saya mengatakan kalimat terakhir pada paragraf di
atas, hampir seluruh peserta tersipu malu. Mereka mengamini
bahwa selama ini memandang tanah sebagai benda mati dengan
fungsi sesederhana menampung hara. Paradigma ini oleh
pengkaji di universitas disebut mineral concept. Pola pikir yang
mengkerdilkan peran tanah sebatas media lalu lintas nutrisi dari
petani untuk tanaman budidaya.

Wukir Sari dan Tilas Mulyo


Menghidupkan tanah adalah segala upaya untuk membuat
tanah kembali subur. Tidak ada acuan yang lebih baik ketika
berbicara tanah subur kecuali tanah hutan perawan yang belum
dirusak manusia. Tanah yang masih dalam kondisi apa adanya
sebagaimana Allah menciptakan. Tanah yang berdasarkan
nomenklatur orang jawa mengandung wukir sari dan tilas mulyo.
Seturut penjelasan guru-guru kami di antaranya Pak TO, tanah
subur terbentuk dari wukir sari atau batuan induk dan tilas mulyo
alias sisa-sisa makhluk hidup yang bermanfaat.
Seiring berjalannya sunnatullah, karena reaksi fisik (panas,
dingin, hujan), kimia (reaksi antara batuan dengan udara &
air) dan biologi (pelapukan oleh tanaman perintis) yang terjadi
di alam, batuan induk kemudian lapuk dan pecah menjadi

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 303


batuan kecil (kerakal). Kerakal lalu mengalami proses serupa
menjadi kerikil. Kerikil lalu melebur menjadi lebu. Berdasarkan
ukuran partikelnya kemudia dibagi menjadi 3 yaitu pasir, debu
dan lempung/liat. Ketiga partikel ini kemudian berkumpul
membentuk material yang disebut tanah. Sebagaimana asal-
usulnya, maka tanah tersebut secara alami mengandung mineral.
Dalam budaya Jawa, kehidupan berasal dari 5 unsur yaitu air,
udara, api, tanah dan nyawa. 4 yang berasal dari bumi dan cuma
jiwa yang kembali ke Pencipta. Tidak lama setelah nyawa dicabut,
3 anasir keluar dari jasad berupa air, udara dan api. Hanya material
yang berasal dari tanah yang kemudian kembali ke tanah. Inilah
tilas mulyo yang baik sifat maupun kandungannya membawa
kemuliaan (manfaat) bagi tanah.
Dengan demikian, tanah yang subur adalah tanah yang
terdiri dari pasir, debu, lempung dan bahan organik dengan
kadar tertentu secara proporsional. Keseimbangan ini adalah
alasan mengapa hutan adalah habitat yang baik untuk semua
jenis tumbuhan dan hewan. Tanahnya hidup karena di dalamnya
mengandung sari pati kehidupan yang kemudian menghidupi
alam seperti yang diutarakan WR Supratman.
Usai menuntaskan pemaparan ini, yang nampak di depan
mata adalah wajah-wajah dengan mimik kaget seolah mereka baru
mendegar pengetahuan asing yang benar-benar baru. Padahal
saya hanya mengulas khasanah budaya nenek moyang kemudian
menyajikannya sesuai konteks ilmu pertanian. Kami pun sejenak
termenung menyadari betapa cepat kearifan lokal hilang digusur
kehendak penguasa yang didorong kapital milik pengusaha.

304 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Memaknai Tanah Subur

Gambar 3: Uji Kesuburan Tanah Praktis

Setelah petani tersadarkan kembali akan asal-usul tanah


subur, lalu saya memperdalam materi dengan menjabarkan
karakter kesuburan tanah. Kali ini, karena belum menemukan
istilah lokal untuk menguraikan makna tanah subur lebih detail,
saya terpaksa menggunakan kodifikasi yang terdapat dalam buku-
buku karangan sarjana barat.
Atribut kesuburan tanah dibagi menjadi beberapa kelompok
yaitu kesuburan fisik, kesuburan kimia, dan kesuburan biologi.
Walau nomenclaturnya berbeda, tapi masing-masing tidak dapat
dipisahkan dari yang lain. Mengingat keterkaitan yang begitu erat
di antara ketiganya, semua harus hadir secara bersamaan agar
ekosistem di atas tanah dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik termasuk agroekosistem yang diusahakan petani.
Kesuburan biologi didefinisikan sebagai segala hal yang
berhubungan dengan eksistensi organisme, baik yang masih

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 305


hidup atau telah terurai menjadi kompos, di dalam tanah. Mikro
fauna, mikro flora, jamur, bakteri, humus adalah nama-nama yang
kemudian menentukan seberapa subur tanah secara biologis.
Sifat, lakon, kandungan yang ada pada itu seluruhnya kemudian
yang berperan menghidupi apa yang tumbuh di atas tanah.
Ukuran saintifik yang jamak digunakan untuk menilainya adalah
kadar bahan organik, populasi dan keanekaragaman mikrofauna,
mikroflora, jamur serta bakteri.
Kesuburan fisik dijabarkan sebagai sifat-sifat fisik tanah yang
mampu mendukung tumbuh kembang tanaman. Parameter yang
mewakili atribut tersebut biasanya berupa porositas, tekstur dan
struktur tanah, kapasitas lapang air dan massa jenis tanah. Bila
variabel-variabel tersebut berada pada keadaan ideal boleh juga
disebut tanah itu gembur.
Yang perlu menjadi catatan dari kesuburan fisik adalah
kondisinya yang banyak dipengaruhi oleh kehadiran kesuburan
biologi. Sebagai contoh, tanah gembur umumnya mengandung
banyak humus. Berkat humus, tanah mampu secara fisik
menyimpan air lebih banyak dan lama. Sebaliknya, bila miskin
bahan organik, tanah mudah memadat alias kehilangan porositas
dan di musim kemarau mudah kering. Tanah yang kehilangan
kompos juga akan kehilangan mikrofauna seperti cacing yang
berperan penting meningkatkan porositas tanah.
Pungkasan, kesuburan kimia dijelaskan sebagai seluruh
karakter kimia dari materi-materi yang berada di dalam tanah
yang berperan penting dalam menyokong kehidupan di atas
tanah. Takaran yang dipakai untuk menilai adalah kadar hara, pH
tanah, kapasitas tukar kation (KTK), kapasitas tukar anion (KTA).
Berdasarkan kategori ini, tanah disebut subur bila mengandung
nutrisi dalam jumlah cukup, pH tanah di kisaran 6-7, nilai KTK
dan KTA tinggi serta kelarutan zat-zat beracun rendah.

306 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Indikator-indikator di atas realitanya dipengaruhi oleh
anasir kesuburan lain alias tidak berdiri sendiri. Bila bahan
organik melimpah ruah di tanah seringnya konsentrasi elemen
esensial yang dibutuhkan tanaman juga memadai. Aktor penentu
KTK pun merupakan bahan organik yang telah terhumifikasi.
Kemampuan koloid organik berwujud humus dalam menyimpan
dan menukarkan cadangan kation K+, Mg++, Ca++, NO3+ telah
terbukti jauh lebih baik dibandingkan lempung atau debu. Bahan
organik berupa pun arang dikenal mampu meningkatkan pH yang
asam dan mengikat zat-zat yang bersifat racun bagi tanaman.
Oleh karena itu dapat disimpulkan walau berbeda nama tapi
mereka tidak dapat dipisahkan. Lebih spesifik lagi, sebagaimana
deskripsi panjang lebar di atas, saya kemudian berani menyatakan
kepada para petani bahwa faktor dari kesuburan fisik, kimia dan
biologi adalah kehadiran tilas mulyo atau bahan organik.
Bila diurutkan, maka ceritanya dimulai dari tanah yang kaya
akan bahan organik memunculkan keanekaragaman hayati.
Beraneka ragam makhluk hidup bekerja mengurai bahan organik
lalu menghasilkan nutrisi dan humus. Humus tersebut menyimpan
hara dan air dan memperbaiki tekstur tanah sehingga menjadi lebih
gembur. Hara-hara dan air yang disimpan oleh humus kemudian
diserap tanaman untuk tumbuh kembang. Tanah gembur akibat
keberadaan humus memudahkan pertumbuhan akar tanaman
di dalam tanah. Tanah gembur juga menyebabkan lalu lintas air
dan udara lancar. Sirkulasi air dan udara lancar menghidarkan
tanah dari kondisi jenuh penyebab akar busuk, pH turun, dan
tersebarnya penyakit tular tanah.
Walau sebenarnya dampak keberadaan bahan organik dan
korelasinya terhadap anasir-anasir kesuburan tanah jauh lebih
kompleks dari ringkasan di atas, paling tidak kemudian partisipan
mendapatkan gambaran utuh mengapa tilas mulyo itu penting.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 307


Pemahaman detail tersebut lalu diarahkan untuk membangun
kesadaran utuh tentang bagaimana harus mengelola tanah
pertanian yang mereka miliki yang produktif di masa kini dan
waktu yang akan datang.
Pilihan teknis apapun yang diambil setelah memiliki
kesadaran di atas tentu bertujuan untuk menghidupkan tanah.
Menghidupkan tanah berawal dari menjaga eksistensi bahan
organik. Kehadiran tilas mulyo terhumifikasi membuat tanah
subur secara fisik, kimia dan biologi. Setelah itu terwujud, usaha
untuk memberi makan bangsa melalui pertanian dimulai.

Pengakuan Dosa

Gambar 4: Peserta menyampaikan pemahaman atas kesuburan tanah

Sesuai prediksi, diskursus di atas kemudian menggugah


kesadaran segenap peserta. Suasa belajar menjadi sangat berwarna

308 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dengan tanya jawab atau tanggapan dari partisipan. Sebagian
meminta arahan bagaimana harus memulai perbaikan. Beberapa
memilih untuk mengaku salah. Yang merasa berbuat dosa
beralasan bahwa menurutnya urusan kesuburan tanah tuntas
setelah pupuk kimia ditabur ke lahan. Tindakan teknis berikutnya
diambil tanpa kemudian berfikir panjang. Tidak jarang keputusan
itu lalu malah mengikis kesuburan biologi di tanah.
Tidak mempergilirkan tanaman, menggunakan pestisida
sistemik serampangan, enggan menyisakan mengembalikan sisa
tanaman sebagai bahan organik di tanah, hanya mengaplikasikan
pupuk kimia sebagai jalan untuk meningkatkan produktifitas
tanaman adalah beberapa teladan buruk yang dikerjakan mereka
sebelum mengerti makna kesuburan secara holistik. Kalau
dibedah lebih panjang, sebetulnya masih bertaburan cara-cara
budidaya yang menihilkan kelestarian tanah subur. Sementara,
cukup sampai itu saja.

Waktunya Pembuktian
Agar para pembelajar semakin sadar, di pertemuan kedua
saya minta mereka menyiapkan sampel tanah dari lahan-lahan
yang biasa digarap. Dari rumah, kemudian saya membawa plastik,
pH meter, TDS dan EC meter, dan aquades. Sampai lokasi, saya
jelaskan bahwa hari ini adalah waktunya membuktikan kesalahan
mereka dengan uji-uji sederhana.
Sebelum memulai tes, saya jelaskan kepada mereka bahwa
hara yang bisa dimanfaatkan tanaman hanya yang berupa ion,
bermuatan listrik negatif atau positif. Anion dan kation ini jika
tidak diadsorpsi oleh bahan organik tanah, maka akan mudah
hilang larut terbawa air hujan atau menguap tersengat sinar
matahari. Itu artinya, bila tanah miskin bahan organik maka
cadangan hara yang terdapat di tanah juga terbatas.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 309


Banyak sedikitnya hara yang terkandung di dalam tanah
dapat dideteksi dengan Electro Conductivity meter karena sifat
ion yang dapat menghantarkan listik. Semakin banyak ion yang
larut maka semakin baik sifat konduksinya. Bila nilai EC meter
mencapai angka tertentu maka dapat dikatakan kandungan hara
tanah cukup dan bila kadar elemen esensial tinggi maka dapat
diasumsikan bahwa konsentrasi bahan organik di dalam tanah
juga memadai.
Setelah contoh-contoh tanah top soil yang dibawa petani
dicampur dengan aquades lalu diaduk cukup lama agar ion-ion
yang ada larut, pengukuran dimulai. Hasilnya tidak ada yang
mengagetkan. Tidak ada satupun sampel tanah yang mencapai
standar minimal angka EC ideal. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan secara umum tanah pertanian di Selopamioro tidak
subur. Tentu ini adalah dampak praktik budidaya yang tidak
berkesadaran.

Terus Belajar Menuju Petani Berkesadaran

Gambar 5: Petani swadaya menyiapkan bahan-bahan praktik pembuatan pupuk cair

310 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pembuktian tersebut menguatkan komitmen untuk
menekuni sekolah tani yang diselenggarakan Sekti Muda. Tekad
untuk menjadi petani berkesadaran dengan mengkaji ilmu
pertanian mendasar semakin membulat. “Kami ingin mencari
tahu lebih banyak hal teknis yang dapat menjaga kesuburan tanah
dalam jangka panjang lalu menerapkannya dan mempelajari cara-
cara budidaya yang berdampak negatif untuk kelestarian tanah
kemudian meninggalkannya,” tegas salah seorang peserta. Di sisi
lain, kebulatan hati tersebut semakin menggelorakan semangat
saya untuk terus memperkaya wawasan mereka dengan ilmu-ilmu
berfaedah yang dibangun di atas filosofi tani yang benar.
Keseriusan para petani juga saya cermati nampak dari
perilaku di kelas. Tingkat kehadiran sampai pertemuan terakhir
mencapai 80%. 90% peserta membawa buku dan bolpen untuk
mencatat materi yang disampaikan. Di sela-sela penjelasan,
banyak partisipan mengajukan pertanyaan atas apa-apa yang
masih belum dipahami. Seluruh pembelajar masih bersedia
membayar iuran. Kas kelas itu kemudian dibelanjakan untuk
keperluan pendidikan. Seturut pengalaman saya bertahun-tahun
melakoni aktivitas penyuluhan, jarang petani dan kelompok
tani berperilaku demikian. Begitu antusias mengikuti pelajaran.
Bahkan bila sangat terpaksa harus absen, yang bersangkutan tetap
memberi kabar.
Selain karena karakter mereka yang telah lama terbentuk
untuk terbuka terhadap ilmu pengetahuan, saya menduga faktor
materi yang ditawarkan juga punya peran signifikan. Sebagaimana
pernah ditanyakan kepada Pak Sawab selaku ketua kelas, tidak
semua kegiatan peningkatan kapasitas yang ditawarkan pihak-
pihak yang berkepentingan mendapatkan atensi sebaik ini.
Mungkin karena memang sedikit dari penyelenggara yang
mengedepankan tujuan bagaimana menjadi petani berkesadaran.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 311


Analogi yang Mememudahkan
Sebagai praktisi yang berkecimpung di sekolah lapang,
tentu tidak semua konsep-konsep pertanian yang penting untuk
membangun kesadaran petani saya sampaikan menggunakan
istilah yang biasa digunakan akademisi. Banyak improvisasi hadir
untuk memudahkan petani memahami ilmu yang diterangkan.
Di antara bentuk yang lumrah saya gunakan adalah analogi-
analogi sederhana.
Ketika berbicara tentang perlunya mengomposkan
kohe sebelum diaplikaskan ke tanah, saya menganalogikan
pengomposan dengan proses memasak bahan pangan. Manusia
tidak bisa memakan padi begitu saja. Gabah harus digiling,
kemudian beras di masak hingga lunak berwujud nasi baru
dikonsumsi. Tanaman pun sama. Ia tidak bisa memakan langsung
nutrisi yang ada di kohe sebelum diolah terlebih dahulu.
Pengolahan bertujuan memecah senyawa organik kompleks
menjadi ion-ion penyusunnya. Setelah berbentuk ion, barulah
pori-pori akar yang begitu kecil mampu menyerapknya.
Contoh lain adalah analogi gula pasir dan terasi dalam proses
fermentasi bahan organik dengan upah dan makanan bagi tukang
bangunan. Buruh enggan menuntaskan pekerjaan dengan baik
dan cepat bila honor yang diberikan tidak sepadan dan pemilik
rumah tidak menyediakan snack dan minuman. Begitu juga
mikroba yang ditugaskan untuk mengurai bahan-bahan pupuk
organik cair. Bila di awal tahapan fermentasi tidak ada gula
sebagai sumber energi dan terasi yang mengandung protein
untuk memperbanyak diri bagi mikroba, wajar jika kemudian laju
mineralisasi bejalan lambat dan tidak optimal.
Perumpamaan terakhir adalah pengaruh nisbah C/N terhadap
laju mineralisasi bahan organik dengan proporsi antara jumlah
nasi dalam sepiring sajian dengan lauk yang dihidangkan. Bila

312 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
takaran nasi sangat banyak sementara ukuran lauk sangat kecil,
besar kemungkinan nasi akan tersisa banyak karena lauk telah
habis sebelum satu porsi dituntaskan. Demikian pula yang terjadi
pada bahan organik yang nilai nisbah C/N begitu tinggi. Tentu
masih banyak senyawa karbon yang tidak dapat diurai karena
jumlah N yang terlalu sedikit.
Seturut keterangan petani yang selalu hadir di kelas, metode
pemaparan semacam itu sangat menolong partisipan memahami
ilmu-ilmu yang dipelajari. Tingkat penguasaan materi terlihat
meningkat. Ini kentara saat saya meminta peserta maju ke depan.
Ketika belum mengutilisasi analogi untuk membeberkan istilah-
istilah tertentu, sedikit petani yang bisa menjelaskan ulang.
Sebaliknya, jika dari awal saya gunakan perumpamaan, saat petani
saya tanya kembali, banyak yang berani maju memaparkan.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 313


Tanah Istimewa:
Monopoli, Investasi dan
Akumulasi1
Kus Sri Antoro

“Silakan berinvestasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),


tapi harus diingat di DIY tidak ada tanah negara. Terkait ijin
pemanfaatan lahan, langsung berhubungan dengan kraton,” ujar
Ibnu Prastawa atau yang lazim dikenal sebagai GBPH Hadiwinoto
(wafat 2021, keterangan penulis), Kepala Panitikismo (Badan
Pertanahan Kasultanan), pada 2014 lalu dalam pertemuan Jogja
Investment Forum di Sahid Rich Hotel. Pernyataan itu ditegaskan
kembali oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X
dalam forum investor di Bank Pembangunan Daerah DIY pada
tahun yang sama, dan terakhir pada 15 September 2015 di berbagai
media dengan pernyataannya: “Jogja Tidak Ada Tanah Negara.”

1 Versi awal tulsian ini berjudul Jogja (diobral dengan harga) Istimewa, dimuat pada Majalah
POROS Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta pada 2017. Pengembangan sedikit dilakukan
pada bagian akhir tulisan ini dan penerbitan ulang tulisan ini untuk tujuan pendidikan.
Gambar 1 Gubernur DIY menyataan Tidak Ada Tanah Negara di DIY
(Sumber: Bernas 15 September 2015)

“Jogja Tidak Ada Tanah Negara” mempunyai makna ganda.


Secara politik, pernyataan itu menegaskan ketiadaan eksistensi
kekuasaan negara atas teritori Negara di DIY. Secara ekonomi,
pernyataan itu menegaskan klaim kepemilikan aset tanah sebagai
alat produksi, tentu saja dilekati logika: pemilik adalah pemegang
kontrol atas apapun yang dimilikinya.
Sepintas, ada pertentangan mendasar antara Indonesia
(negara/pemerintah pusat) dengan DIY (kekuasaan lokal DIY/
pemerintah daerah) terkait butir-butir pokok Keistimewaan
DIY, terutama pertanahan (final diatur UU No 5 Tahun 1960 dan
turunannya), tata ruang (final diatur UU No 26 Tahun 2007), dan
pengisian jabatan kepala daerah (diatur UUD 1945 pasal 18 ayat 4
sebagai dasar UU No 23 Tahun 2014).
Meski pun pertentangan fundamental itu berdampak pada
hapusnya hak-hak konstitusional rakyat, sejauh ini reaksi rakyat
penyintas terhadap aksi-aksi sepihak pengukuh Keistimewaan

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 315


DIY tidak mendapat tanggapan yang berarti2, antara lain telah
disampaikan kepada: DPR RI (Oktober 2015), KOMNAS HAM
(Juni 2015 dan Maret 2016), dan Dewan Pertimbangan Presiden
(Juni 2015), dan Presiden RI (Desember 2015).
Pemerintah pusat melakukan pembiaran terhadap perampasan
tanah negara dan rakyat untuk dijadikan aset Kasultanan dan
Pakualaman (Kadipaten)—keduanya Badan Hukum Warisan
Budaya (BHWB) yang bersifat swasta karena asetnya bukan aset
Negara, bahkan dukungan terhadap perampasan itu dilakukan
oleh Menteri Dalam Negeri (Bernas Jogja, 1 Desember 2014)3 dan
Menteri Agraria Tata Ruang (Kedaulatan Rakyat, 7 Maret 2015)4.
Di lain kesempatan, Kepala Bidang Perencanaan dan Promosi
Badan Kerjasama dan Penanaman Modal (BKPM) DIY, Sinang
Sukanta, menyatakan Keistimewaan DIY menjadi daya tarik
sekaligus jaminan investasi (Kedaulatan Rakyat, 18 Agustus 2015)5.
Pada 2011, melalui artikel SG dan PAG Penumpang Gelap
RUUK, George Junus Aditjondro secara tajam membuka wacana
bahwa Keistimewaan DIY merupakan alasan keluarga Kasultanan
dan Pakualaman untuk mengeruk keuntungan. Dugaan ini
sepenuhnya tidak salah, namun apakah hanya itu? Jika ya,
maka perjuangan rakyat untuk menegakkan hak-haknya yang
selaras asas-asas dasar negara sudah membuahkan hasil positif.
Kenyataannya, negara sengaja tidak hadir, misalnya dengan cara:
mengabaikan desakan rakyat untuk menghentikan sertifikasi
tanah bagi Kasultanan dan Pakualaman berdasar Rijksblad (lembar
kerajaan); peta zaman kolonial berdasar Rijksblad maupun surat
pinjam pakai tanpa dasar sertipikat apapun6. Atau, negara hadir

2 Dokumen Aliansi Keutuhan Republik Indonesia (AKRI) 2015.


3 Mendagri Keluarkan Keputusan Khusus: Status Tanah Desa Milik Keraton. Bernas Jogja, 1
Desember 2014.
4 Sertifikasi SG dan PAG Terus Berjalan, Pemerintah Komit Jaga Keistimewaan DIY. Kedaulatan
Rakyat, 7 Maret 2015.
5 DIY Optimis Hadapi Serbuan Investasi. Kedaulatan Rakyat, 18 Agustus 2015.
6 Surat pinjam pakai ini lazim dikenal sebagai Serat Kekancingan. Pasal 11 Serat Kekancingan

316 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sebagai bagian dari persoalan ketimbang penyelesaian, misalnya:
memfasilitasi akumulasi tanah bagi swasta (Kasultanan dan
Pakualaman) menggunakan dana istimewa yang bersumber
APBN.
Lalu, dengan kenyataan seperti itu, bagaimana memahami
Keistimewaan DIY secara lebih utuh dan relatif tepat?
Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer menuturkan masa
depan nusantara lewat Arus Balik7, Ahmad Nashih Lutfi8 juga
menggunakan istilah Arus Balik untuk gambarkan kemunduran
politik agraria dalam konteks lokal DIY, tentunya sebagai akibat
dari arus balik laba dari negara-negara selatan ke negara-negara
utara. Di tengah gempita sejarah penguasa, pekik lirih Pramoedya
hendak mengingatkan bahwa Indonesia lahir di tengah wajah
nusantara yang sudah jauh berubah. Proklamasi kemerdekaan
Indonesia tak digemakan di ruang hampa, sebab peta geografi
ekonomi nusantara terus berganti rupa.
Propinsi DIY adalah arena kapital, yang di dalamnya hidup
watak dari tradisi kekuasaan yang khas dan terwariskan, yaitu:
hirarkis, akumulatif, dan predatoris, dalam bingkai rezim
Keistimewaan DIY.
Mengapa Keistimewaan DIY dalam konteks agraria kembali
diangkat lewat tulisan ini?
Sebab 1) Keistimewaan DIY tak hanya berdampak pada
hilangnya hak atas tanah sebagai akibat sekunder, tetapi juga pada

berbunyi “setelah perjanjian ini habis masa berlakunya, Pihak Kedua (masyarakat) sanggup
mengembalikan tanah tersebut kepada Pihak Kesatu (Kasultanan) dalam keadaan utuh
dan baik, serta tidak akan meminta ganti rugi atas bangunan/gedung dan tanaman yang
berada di atas tanah tersebut”.
7 Toer, Pramoedya Ananta. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra
8 Luthfi, Ahmad Nashih. 2015. Arus Balik Politik Agraria di Yogyakarta. Makalah disampaikan
pada FGD dengan tema “Pertanahan di DIY setelah Berlakunya UU NO 13 Tahun 2012” Tim
Pemantau DPR RI terhadap Pelaksanaan UU terkait Otonomi Khusus Aceh, Papua dan
Keistimewaan Yogyakarta, DPRI RI, 26 Oktober 2015.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 317


kenaikan investasi sebagai akibat primer. 2) Keistimewaan DIY
hadir di tengah perubahan peta geografi ekonomi dunia sebagai
tanggapan atas krisis-krisis kapital melalui MP3EI (Master Plan
Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia) atau RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang mewujud
dalam pengadaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN),
3) Kehadiran Keistimewaan DIY tak hanya didorong melalui
pemalsuan sejarah yang menyatakan bahwa Mataram adalah
negeri yang merdeka dan dilekati hak atas tanah9, namun juga
dimotivasi oleh kebutuhan percepatan dan perluasan investasi,
terutama dalam hal penyediaan iklim investasi di ranah politik
dan ekonomi, bahwa pengambilan keputusan para pelaku industri
ekstraktif atas perubahan bentang alam skala luas akan lebih
efisien jika penguasaaan lahan bersifat monopoli, 4) Keistimewaan
DIY merupakan teladan sukses gejala kebangkitan bekas swapraja
di Indonesia dan dapat menjadi faktor koreksi bagi gerakan adat
yang bangkit lebih dulu (atau malah sebaliknya, dalam perspektif
nasionalisme yang lazim, dapat memicu gejala separatisme yang
dilegalkan), namun keduanya (adat dan swapraja) tak lepas dari
perluasan kapital.
Sekurangnya, terdapat empat faktor yang bekerja membentuk
Keistimewaan DIY, yaitu 1) Otonomi daerah dan Kebangkitan
bekas Swapraja sebagai motivasi politik kelahiran Keistimewaan
DIY, 2) Krisis Kapitalisme sebagai motivasi ekonomi kelahirannya,
3) Skema Penyelamatan Krisis Kapitalisme di aras regional
hingga lokal dalam wujud MP3EI/RPJMN yang berdampak pada
perampasan tanah negara dan rakyat untuk ruang produksi laba
Kasultanan dan Pakualaman, dan 4) Reproduksi Kapital dan
Akumulasi Laba sebagai ujung dari Keistimewaan DIY.

9 Bandingkan Sabdatama HB X 10 Mei 2012 dengan naskah Perjanjian Giyanti 1755 dalam
Soekanto (1953)

318 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Otonomi Daerah dan Kebangkitan bekas Swapraja
Salah satu dampak dari Otonomi Daerah ialah kebangkitan
swapraja yang telah diakhiri melalui Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 194510, termasuk Kasultanan dan Pakualaman di DIY,
sebagaimana ditunjukkan oleh Gerry van Klinken (2010)11. Pasal
18 B UUD 1945 bisa dimaknai dan dimanfaatkan oleh bekas
swapraja untuk menghidupkan hak dan wewenang swapraja
atas sumberdaya agraria12 dan mengukuhkan feodalisme dalam
pemerintahan13, memakai argumentasi bahwa swapraja sama
dengan masyarakat (hukum) adat yang diatur hukum adat14
(padahal keduanya berbeda dalam prinsip dan watak).

10 “… mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama


dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Kalimat ini merupakan penegasan kedaulatan
RI atas beragam bentuk kekuasaan yang pernah ada di wilayah republik, baik warisan
kolonialisme maupun feodalisme.
11 Klinken, Gerry van. Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik
Lokal’ dalam J.S. Davidson, D. Henley, S. Moniaga (ed). 2010. Adat dalam Politik Indonesia.
Jakarta: KITLV-Jakarta Yayasan Obor
12 Hak dan Wewenang Swapraja atas sumberdaya agraria telah dihapuskan melalui Diktum IV
UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA)
13 Sekitar 177 perwakilan raja dan sultan hadir dalam Silaturahmi Nasional (Silatnas) Raja
dan Sultan Nusantara IV digelar di Puri Agung Klungkung, Bali, Selasa 28 April 2015,
menyepakati lima poin sikap, yaitu: 1) Meminta pemerintah mengembalikan sejarah yang
ada di Bumi Nusantara, 2) Mengharapkan supaya Raja dan Sultan dilibatkan dalam proses
pembahasan Rencana Undang-Undang (RUU) PMA (Perlindungan Masyarakat Adat), 3)
Pemerintah melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap Raja dan Sultan. Artinya, ada
perbaikan ekonomi dan pemberdayaan terhadap Raja atau Sultan sebagai tokoh masyarakat,
4) Pemerintah melakukan pengendalian dan pengembalian posisi raja dan sultan sebagai
tokoh masyarakat di daerah-daerahnya, dan 5) Raja dan Sultan sebagai mitra pemerintah.
Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan Kerajaan Klantan Malaysia, Philipina, dan
Jerman. Lihat http://bali.tribunnews.com/2015/04/28/ini-5-sikap-yang-diajukan-silatnas-
raja-dan-sultan-iv-ke-pemerintah
14 Swapraja bukan masyarakat (hukum) adat, lihat Antoro (2014); Ranawidjaja (1955);
Topatimasang (2005); Shiraisi (1997); Burns (2010); Fitzpatrick (2010); dan Luthfi et.al (2009).
Perjanjian Giyanti 1755, Perjanjian Adipati Paku Alam I-Rafles 1813, dan Perjanjian Sultan
Hamengku Buwono IX-Belanda 1940 menunjukkan Kasultanan dan Pakualaman dibentuk
oleh dan berada di bawah kekuasaan kolonial, lihat Soekanto (1953).

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 319


Tabel 1. Perbedaan Swapraja dengan Masyarakat Hukum Adat
Pembeda Swapraja Masyarakat Hukum Adat
Sejarah kemunculan Hasil kontrak politik antara VOC/ Sistem asli komunitas
Pemerintah Kolonial (Antoro, 2014; nusantara yang masih hidup
Perjanjian Giyanti 1755; Perjanjian sampai saat ini (Zakaria, 2014)
Paku Alam I dengan Raffles)
Posisi politik Kepanjangan kolonial (Ranawidjaja, Tidak diakomodasi hukum
terhadap Kolonial 1955; Shiraisi, 1997) kolonial (Fitzpatrick, 2010)
Kedaulatan Tidak penuh, di bawah kontrol Penuh, hukum adat
pemerintah kolonial (Luthfi et. al., mendahului hukum barat
2009 dan Perjanjian Politik HB IX dan (Burns, 2010)
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
1940)
Watak penguasaan Individual, menganut sistem Komunal, penguasaan
sumberdaya kepemilikan, mengukuhkan domein bersama (Topatimasang, 2005)
verklaring (Rijksblad Kasultanan
No 16 Tahun 1918 dan Rijksblad
Pakualaman No 18 Tahun 1918)
Eksistensi di dalam Didudukkan sebagai warisan budaya Didudukkan sebagai kesatuan
hukum (UU No 13 Tahun 2012) masyarakat (Putusan MK No
35 Tahun 2012)

Sumber: Antoro, 2015.

Keistimewaan DIY tak hanya diperjuangkan melalui mobilisasi


massa, tetapi juga melalui argumentasi-argumentasi, antara lain
ialah: 1) Argumentasi sejarah bahwa Kasultanan dan Pakualaman
merupakan negeri yang berdaulat sebelum kemerdekaan RI serta
memiliki tata hukum sendiri15; 2) Argumentasi hukum bahwa
kedudukan istimewa dari hak serta wewenang Kasultanan dan
Pakualaman belum diatur UU sehingga di DIY masih terjadi
“kekosongan hukum” terutama di bidang pertanahan (Sembiring,
2012: 58-6016 dan Munsyarief, 2013: 62-6317) ;3) Argumentasi politik
bahwa revitalisasi UUPA diperlukan untuk mengakomodasi
hak swapraja atas tanah18. Studi-studi terdahulu tentang DIY
juga menguatkan argumentasi di atas, yang dihadirkan untuk

15 Sabdatama Hamengku Buwono X tanggal 10 Mei 2012. Argumentasi ini gugur, lihat Antoro
(2014: 436)
16 Sembiring, Julius. 2012. Tanah Negara. Yogyakarta: STPN Press
17 Munsyarief. 2013. Menuju Kepastian Hukum atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman
Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Ombak. http://www.academia.
edu/6709379/Menjamin_Kepastian_Hukum_Atas_Tanah_Kasultanan_dan_Pakualaman
18 Rapat Dengar Pendapat Panja RUUK DPR RI dengan pihak Kasultanan, lihat Ibid, 2014: 437

320 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
meluhurkan citra feodalisme-kolonialisme (Soemardjan, 2009:
12-15) dan mengawetkan eksistensi dualisme hukum pertanahan
(Suyitno, 2006: 6-10)19.

Krisis Kapitalisme Global


Di tingkat Asia, krisis kapitalisme global direspons melalui
CADP (Comprehensive Asia Development Plan) yang dilanjutkan
dengan penciptaan ruang-ruang produksi baru (Primitive
Accumulation) dalam agenda MP3EI/RPJMN. Akuisisi tanah
negara dan rakyat oleh Kasultanan dan Pakualaman merupakan
bentuk nyata dari penciptaan ruang produksi baru. Bahkan,
kontrol dan kuasa negara atas tanah negara berangsur berkurang,
misalnya: status tanah di atas PSN boleh jadi bukan tanah negara
melainkan Tanah Kasultanan (Sultanaat Grond/SG)/Kadipaten
Pakualaman (Paku Alamanaat Grond/PAG), tata ruang dalam
skala propinsi boleh jadi akan di monopoli oleh kepentingan
Kasultanan/Pakualaman sebagai badan hukum non negara
karena kedudukannya sebagai pemegang alat bukti hak milik
atas tanah-tanah skala luas SG dan PAG atau sekurangnya terjadi
dualism peraturan penataan ruang; penetrasi kapital secara massif
hingga desa-desa karena status tanah desa beralih menjadi SG
atau PAG, sehingga asas-asas pembangunan desa yang partisipatif
dan organik tidak memungkinkan terjadi; dan penggunaan dana
publik (Dana Istimewa bersumber APBN) untuk kepentingan
privat (Kasultanan/Pakualaman) seperti pembebasan lahan yang
diklaim SG atau PAG, dana sewa atas tanah-tanah desa kepada
pelaku usaha melalui peraturan di level Propinsi. Meskipun
merugikan negara dan masyarakat, tatanan geografi ekonomi
baru berjudul Keistimewaan DIY ini dibutuhkan oleh pemodal

19 Suyitno. 2006. ‘Hak atas Tanah Kraton Kasultanan Yogyakarta’. Bulletin LMDP LAND,
Edisi 01 November 2006-Januari 2007, p 6-10 http://www.tataruangpertanahan.com/file_
publikasi/655192453543-LAND-Media-Pengembangan-Kebijakan-Pertanahan-Edisi-01-Nov-
2006-Januari-2007-Hak-Atas-Tanah-Kraton-Kasultanan-Yogyakarta.pdf

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 321


besar yang bekerja dengan land grabbing yang justru difasilitasi
atau direstui oleh negara.

Skema Penyelamatan Krisis Kapitalisme


Kepentingan ekonomi global juga memotivasi kebangkitan
kembali kekuasaan swapraja. Pewaris swapraja DIY menginte­
grasikan kepentingan ekonomi dan politiknya ke dalam MP3EI/
RPJMN20, melahirkan model baru yaitu kapitalisme-feodal21,
contohnya bisnis properti-penginapan di kota Yogyakarta dan
Sleman, industri wisata di Gunungkidul, Jalan Lintas Selatan
di Kulon Progo; Bantul, dan Gunungkidul, dan Kota Bandara
(Airport City of YIA) serta Pertambangan Pasir Besi di Kulon
Progo (Antoro; 2010: 9522; Yanuardi, 2012;1723; Aditjondro, 2013:
91-9424). Hasil integrasi itu adalah UU No 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY yang menjamin hak dan wewenang BHWB
dalam hal pertanahan, tata ruang dan pemerintahan.

Reproduksi Kapital dan Akumulasi Laba


Puncak dari Keistimewaan DIY adalah reproduksi kapital
dan akumulasi laba dalam model monopolistik. Dinas Agraria
dan Tata Ruang Propinsi DIY menerbitkan laporan tentang data

20 Megaproyek MP3EI di DIY ialah Pertambangan Pasir Besi, megaproyek RPJMN ialah Bandara
Internasional di Kulonprogo dan Jalan Lintas Selatan Jawa.
21 Istilah Kapitalisme-feodal merujuk pada situasi di mana penguasaan agraria dan tata ruang,
birokrasi, kesadaran massa, dan pemerintahan lokal yang steril dari intervensi negara
berlangsung dalam sistem dan kultur feodal dilakukan dalam rangka akumulasi laba dan
reproduksi kapital. Lihat Wicaksanti, (2014: 22-28) dalam Majalah BALAIRUNG: “Dualisme
dalam Gerak Tranformasi Agraria” dan Antoro (2015: 13).
22 Antoro, Kus Sri. 2010. Konflik-konflik di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi
Otonomi Daerah (Studi Kasus DIY). IPB. Tesis (tidak dipublikasikan)
23 Yanuardy, Dian. 2012. Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land
Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia. International Conference
on Global Land Grabbing II October 17‐19, 2012 Land Deals Politics Initiative (LDPI),
Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, New York. https://www.
academia.edu/12288247/Commoning_Dispossession_Project_and_Resistance_A_Land_
Dispossession_Project_for_Sand_Iron_Mining_in_Yogyakarta_Indonesia
24 Aditjondro, George Junus. SG dan PAG Penumpang Gelap RUUK (epilog) dalam Warso Gurun (ed).
2013. Menanam Adalah Melawan. Yogyakarta: Paguyuban Petani Kulon Progo-Tanah Air Beta

322 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sementara Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten (Pakualaman)
tahun 2013-2015 sebagai berikut:
a. Tanah yang berasal bukan dari tanah desa sejumlah 13.519
bidang, dengan luas 59.331.371 m2
b. Tanah yang berasal dari tanah desa (tanah untuk kepentingan
umum, kas desa, tanah jabatan perangkat desa, dan tanah
pensiun perangkat desa) sejumlah 31.804 bidang dengan luas
209.464.462 m2 .
c. Hasil pendataan tanah Kasultanan dan Kadipaten
(Pakualaman) yang telahdilaksanakansejak 2013-2015 sejumlah
2.867 sertipikat sudah didaftarkan pensertipikatannya. Target
pada 2016 sejumlah 1.140 sertipikat.
d. Adapun untuk tanah Kasultanan di seluruh DIY pada tahun
2015, sebanyak 526 sertipikat Hak Milik dengan luas 2.188.310
m2 telah diserahkan kepada Kasultanan. Sedangkan untuk
tanah Kadipaten (Pakualaman) sejumlah 115 sertipikat Hak
Milik dengan luas 347.965 m2 sudah diserahkan kepada
Kadipaten (Pakualaman).
Mengingat DIY sedang mengembangkan desa wisata berbasis
tanah desa, maka sudah dapat dibayangkan jumlah kekayaan yang
diperoleh Kasultanan dan Pakualaman dari sewa tanah. Hal ini
belum termasuk kekayaan yang dihasilkan dari kerajaan bisnis
yang dimiliki oleh kedua badan hukum swasta tersebut.
Dalam konteks tahun 2023, perluasan penguasaan dan
pemilikan tanah juga menyasar tanah-tanah hak yaitu Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai masyarakat dan lembaga negara
(contohnya ialah Kodim 0734 Pamungkas di Kota Yogyakarta
tidak berdiri di atas tanah hak dengan alas tanah negara) yang
semula di atas tanah negara menjadi HGB/Hak Pakai di atas Tanah
Kasultanan/Pakualaman dan juga terhadap enclave bekas wilayah
Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran Surakarta yang berada

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 323


di wilayah DIY. Tanah-tanah enclave itu tidak ada hubungan
sejarah dengan Kasultanan maupun Pakualaman, namun
upaya penguasaan dan pemilikan atasnya25 telah membuahkan
penerbitan ratusan Sertipikat Hak Milik (SHM) atas SG26.

Gambar 2 Penyataan UNS atas Tanah Enclave di DIY telah Diserahkan Kepada
Kasultanan dengan Ganti Kerugian (Sumber: Materi Presentasi UNS, 2023)

25 Salah satunya ialah pernyataan akademisi UNS bahwa tanah-tanah enclave telah diserahkan
kepada Kasultanan dengan ganti kerugian pada tahun 1943 berdasarkan dokumen berbahasa
Belanda, pernyataan ini tanpa alat bukti serah terima dan saat itu Tanah Enclave dalam
penguasaan pemerintah militer Jepang yang meniadakan unsur kebudayaan Belanda.
Setelah pihak Kasultanan dan UNS ke Universitas Leiden untuk mencari bukti tersebut,
UNS mengundurkan diri dari kajian karena ketiadaan bukti yang mendukung pernyataannya
semula.
26 https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/08/30/510/1146939/403-tanah-enclave-eks-
kasunanan-surakarta-dan-mangkunegaran-resmi-jadi-sultan-grond
Dalam laporan BPN tahun 2023 sebelumnya SHM SG atas tanah enclave baru terbit 70 bidang
di Gunungkidul.

324 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 3. Pernyataan UNS bahwa Tanah Enclave perlu diatur dengan Instruki
Khusus (Sumber: Materi Presentasi UNS, 2023)

Terkait hal ini Pemda DIY mendasarkan argumentasinya


bahwa Tanah Enclave adalah Tanah Kasultanan sebagaimana
pernyataan akademisi Universitas Surakarta, untuk itu ada
kemungkinan pengaturan Tanah Enclave agar sesuai kepentingan
Kasultanan akan difasilitasi dengan Peraturan Gubernur sebagai
perwujudan Instruksi Khusus yang dimaksud.

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 325


Gambar 4 Sikap Pemda DIY atas Tanah Enclave
(Sumber : Istimewa)

326 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Tanah-tanah berstatus HGB dan Hak Pakai bahkan Hak Milik27
dapat berubah menjadi HGB/Hak Pakai di atas HM Kasultanan/
Pakualaman melalui mekanisme pernyataan asal-usul dan
pelepasan hak oleh pemegang hak sebagai syarat perpanjangan
HGB/Hak Pakai dan pelepasan HM karena ketidaktahuan
pemegang hak atas haknya, surat pernyataan dan pelepasan hak
tersebut telah disediakan oleh pihak yang berkepentingan atas
tanah, bukan berasal dari pemegang hak.

Gambar 5 Upacara penyerahan SHM warga menjadi SHM Kasultanan Di Kulon Progo,
Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat.

27 https://www.krjogja.com/kulonprogo/1242474150/warga-ramairamai-kembalikan-tanah-
kraton

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 327


Gambar 6. Surat Pernyataan dan Pelepasan Hak yang telah disiapkan
(Sumber: Warga terdampak)

328 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 7 Pers Rilis Penyerahan SHM warga menjadi SHm Kasultanan atau SG

Pada akhirnya sertipikat hak milik tanah Kasultanan/SG baik


dari tanah enclave (tanah negara) atau tanah hak masyarakat
diterbitkan oleh BPN di Kabupaten/Kota sebagai representasi

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 329


negara yang turut dilenyapkan kewenangannya secara perlahan
dan pasti. Ke depan, BPN di DIY hanya berfungsi legalisasi alat
bukti semata, bukan pelaksana Reforma Agraria meskipun
dibentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), bukti paling
nyata ialah hapusnya redistribusi tanah negara atau obyek
TORA sebagaimana amanat Peraturan Presiden No 62 Tahun
2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, sebagai
gantinya cukup redistribusi pemanfaatan SG atau PAG bagi
masyarakat, lembaga negara atau badan hukum swasta selain
Kasultanan dan Pakualaman. Terlebih lagi, PP No 18 Tahun 2021
juga mendelegitimasi kewenangan BPN untuk memberikan Hak
Milik bagi WNI di DIY atas nama Kearifan Lokal (Keistimewaan
DIY).

Gambar 8. PP No 18 Tahun 2021 tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18


Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah

330 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 9. Lembaga Negara menempati tanah badan hukum swasta

Referensi
Antoro, Kus Sri. 2014. Legitimasi Identitas Adat dalam Dinamika
Politik Agraria’ Jurnal Bhumi No 39 Tahun 13, April 2014.
STPN Yogyakarta, p 427-443
Antoro, Kus Sri. 2015. Analisis Kritis Substansi dan Implementasi
UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY dalam
Bidang Pertanahan. Bhum:Jurnal Agraria dan Pertanahan.
Vol 1, No 1, Mei 2015, STPN Yogyakarta, p 12-32.
Burns, Peter. 2010. Adat, yang Mendahului Semua Hukum dalam
J.S. Davidson, D. Henley, S. Moniaga (ed) 2010. Adat dalam
Politik Indonesia, KITLV-Jakarta, Yayasan Obor, Jakarta
Fitzpatrick, Daniel. 2010. Tanah, Adat dan Negara di Indonesia
pasca-Soeharto: Perspektif seorang ahli hukum asing dalam
J.S. Davidson, D. Henley, S. Moniaga (ed) 2010. Adat dalam
Politik Indonesia, KITLV-Jakarta, Yayasan Obor, Jakarta

Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 331


Klinken, Gerry van, Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan
Komunitarian dalam Politik Lokal’ dalam J.S. Davidson, D.
Henley, S. Moniaga (ed) 2010. Adat dalam Politik Indonesia,
KITLV-Jakarta, Yayasan Obor, Jakarta
Luthfi, Ahmad Nashih, M NazirS., A. Tohari, Dian A.W. dan Diar
Candra T. 2009. Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan
Yang Dilupakan, STPN Press, Yogyakarta
Ranawidjaja, Usep. 1955. Swapraja Sekarang dan di Hari Kemudian,
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Shiraishi, Takashi. 1997, Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta,
Komunitas Bambu, Depok
Topatimasang, Roem, ‘Mapping as Tool for Community Organizing
Agains Power: A Moluccas Experience’ In Brosius, P.J. et al
(ed) 2005. Communities and Conservation: Histories and
Poitics of Community-Based Natural Resource Management,
Rowman & Littlefield, Lanham and Oxford.

332 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
F.
Gerakan dan
Perjuangan Agraria
Curah Ide:
Sebuah Percakapan Imajiner
Shah Aburrojab

“Eh tapi, Shah. Aku pernah baca. Bahwa alasan anak muda gak
peduli dengan lingkungan, atau lebih jauh dari itu, isu-isu agraria
lainnya, adalah karena kita gak punya tanah. Kita gak punya rasa
memiliki tanah yang mana bagian dari bumi yang seharusnya
dirawat.”, sambung temanku waktu itu, di tengah sesi curah ide
untuk pengembangan organisasi.
“Masuk di akal,” responku.
“Jangankan yang gak punya tanah. Yang punya tanah
aja, atau yang punya akses untuk bisa bertani, misalnya,
belum tentu punya kesadaran lebih untuk merawat tanah
sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan. Lebih
banyak alasan-alasan kultural yang membuat anak muda
enggan melakukan kerja-kerja sederhana padahal besar
pengaruhnya ke kehidupan. Kita terjebak dengan standar
hidup tertentu yang cenderung lebih banyak berdasar
kepada hal-hal material.”.
“Nah iya, pernah dengar kan pasti kata-kata ini: ketika pohon
terakhir ditebang, ketika sungai terakhir mengering, dan ketika
ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa
uang tidak bisa dimakan.”.
“Persis. Jadi apa tawaran solusi dari kita untuk masalah
ini?”.
“Idealnya sih reforma agraria, ya. Tapi selain sudah lama
dipeti-mati-kan, ada yang bilang momentumnya udah kelewat.
Upaya-upaya untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria
sejati tetap bisa dilakukan, tapi sementara itu, mengarusutamakan
kebun kolektif bisa jadi alternatif gerakan kalau menurutku.”.
“Sepakat sih… Tapi siapa itu yang bilang momentumnya
udah kelewat?”.
“Ada lah, waktu itu aku sempat ikut diskusi online.
Penyelenggaranya lembaga riset independen gitu dari Bandung
sama Bogor. Dalam rangka haul guru besar land reform. Dan
maksudnya bukan pesimis, justru momentum itu kan juga bisa
kita bentuk.”.
“Wah, ngomong-ngomong soal guru besar, aku juga
sempat ketemu sama pemulia padi dari Lampung.
Usianya 70 tahun lebih, tapi masih berkelana keliling
Indonesia naik motor. Mungkin dia gak punya gelar
mentereng, tapi apa yang dilakukan keberpihakannya
jelas: kedaulatan petani. Dan karena dia pernah ketemu
Soekarno secara langsung, ‘petani’ as in ‘penjaga tatanan
negara Indonesia’ menurutku bisa dimasukkan sebagai
bagian dari pemaknaan.”.
“Terus apalagi yang kamu dapat setelah ketemu beliau?”.
“Jujur karena maraton ketemunya jadi agak kewalahan
ya, wisdom-nya tumpah-tumpah. Tapi satu hal yang
aku akan selalu dan harus selalu aku ingat adalah kita

336 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
berjuang itu untuk menang. Sama seperti yang tersemat
dalam azan: hayya alal-falah. Terlepas dari kemenangan
itu kelak akan kita saksikan langsung atau enggak.”.
“Sek, soal kemenangan itu kita saksikan langsung atau enggak
kayaknya aku juga pernah denger deh… Dari siapa ya?”
“Ya kan guru kita ada yang sama. Bahkan kita
dipertemukan oleh karena adanya beliau wkw.”.
“Oh iya, hahaha. Apa kabar ya beliau?”.
“Sehat kok, insyaAllah. Aku masih suka kontak. Terakhir
beliau ke Roma, Italia. Mewakili serikatnya. Pulang bawa
oleh-oleh cerita seperti biasa. Tapi balik ke soal kebun
kolektif tadi, dan guru bersama kita ini, ada hubungannya
gak?”.
“Jelas ada. Sedikit banyaknya kan kita dipengaruhi oleh karena
interaksi kita bersama beliau.”.
“Hahaha bener. Jadi kebun kolektif yang kamu maksud itu
gimana detailnya?”.
“Setiap desa atau kelurahan kan pasti punya tanah kas
dan organisasi karang taruna. Dari sana bisa jadi titik
berangkatnya. Adakan semacam sekolah tani yang
kemudian menjadi usaha tani atau lembaga tani sejenis
lainnya.”.
“Kalo sekolah, yang jadi gurunya siapa?”.
“Ya petani di desa/kelurahan itu. Jadi ini sarana untuk
regenerasi petani juga. Kan kita sama-sama senilai dengan ‘semua
guru, semua murid, semua tempat adalah ruang kelasnya’ wkw”.
“Kebayang… Setiap desa juga pasti ada kelompok tani.
Bisa tuh tipis-tipis pengorganisasian hahaha”.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 337


“Tentu, bayangkan juga ini terjadi di setiap kabupaten/kota,
bahkan di setiap desa/kelurahan. Kedaulatan rakyat tidak lagi
menjadi angan-angan tapi menjadi sesuatu yang memang layak
untuk diperjuangkan.”.
“Menarik. Perlu kita detailkan nih langkah-langkahnya.”.
“Ya kan apa-apa yang sedang dilakukan sekarang mengarah
ke sana. Setiap pekan kita ketemu di lahan bareng temen-temen,
ngobrol dari mulai berbagi pengetahuan sampai rasan-rasan,
makan bareng, garap lahan bareng…”
“Kalau merujuk ke ibadah 3 sama, kurang ‘tidur bareng’
aja nih hahaha”.
“Hahaha bener, bikin kemah tani lagi asyik banget kali ya?”.
“Aseli. Meskipun sebetulnya bukan dalam konteks yang
dimaksud oleh perumus awal ibadah 3 sama, setidaknya
memang 3 hal itu yang bisa bikin bounding lebih erat.”.
“Nah, melalui bounding yang erat itu kita bisa sama-sama
kalibrasi nilai. Bahwa yang lebih penting dari tujuan adalah proses
yang berpegang teguh pada prinsip dan nilai. Dan kalau terkait
dengan rencana, memang harus berencana, tapi bukankah rencana
Tuhan yang tidak bisa kita tebak itu jauh lebih baik?”.
“Iya sih, supaya lurusnya niat juga terjaga.”.
“Betul,”.
“Baik… Mudah-mudahan ya. Apa-apa yang kita lakukan
sekarang diridhai.”.
“Amin, yRa.”.

338 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Elegi Para Nabi
Kus Sri Antoro

Para pemuda itu hampir setiap malam ngumpul di kedai angkringan


saya. Dari cerita pelanggan saya yang lain, mereka para mahasiswa,
datang dari kota. Silih berganti datang dan pergi di kampung ini.
Asal sekolah mereka berbeda-beda, jurusan mereka juga. Mereka
suka sekali mengobrol sampai malam menjelang pagi. Isinya tak
jauh beda, mereka ingin mengubah zaman. Setidaknya, hendak
mengubah keadaan kampung ini menjadi lebih baik. Pekerjaan
yang tentu saja berat dan dijauhi oleh kebanyakan umat di zaman
ini, karena itu adalah kerja para nabi.
Sejak empat tahun lalu, ketika kampung ini dijadikan
wilayah tambang gamping sekaligus pembangunan pabrik
semen, angkringan saya jadi ramai. Terutama malam hari, ketika
para mahasiswa itu membicarakan berbagai situasi seputaran
proyek tambang itu, membincangkan apa sebab-akibatnya dan
bagaimana sebaiknya.
Mereka orang-orang pintar. Kaum sekolahan. Mungkin ada
juga yang berasal dari kampung seperti saya, tetapi pendidikan
tinggi dan watak kota telah mengubah apa saja. Cara berpakaian;
cara bicara; cara berpikir benar-benar berbeda dengan warga
biasa. Mereka tak hanya pintar bicara, tapi juga rajin menulis. Saya
kadang melihat mereka menggumam atau setengah melamun,
lalu sesaat setelah mata mereka berbinar mereka menulis entah
apa. Mereka menyebut banyak istilah dan nama tokoh setiap kali
mengobrol satu sama lain, di antara mereka. Istilah dan nama
yang sulit saya ucapkan. Mengucap saja sulit, apalagi mengerti.
Maklum, saya cuma tamat kelas tiga SD. Tapi, saya senang punya
pelanggan yang pintar-pintar, itu membuat saya jadi belajar
gratis. Saya suka ikut-ikutan rajin menyimak obrolan mereka,
mencatat istilah-istilah sulit yang saya dengar sebisa saya, dan
saya mulai berani menanyakan apa saja yang saya tidak tahu
pada mereka, termasuk tulisan, bunyi, dan arti istilah-istilah
yang mereka gunakan. Padahal, waktu sekolah dulu saya malu
dan takut bertanya. Bapak dan ibu guru saya suka marah kalau
teman sebangku saya bertanya, apalagi pertanyaannya aneh-
aneh, misalnya bagaimana burung bisa terbang? Apakah Nabi
Adam punya pusar? Mengapa Gunadarma disebut pembuat
Candi Borobudur bukannya para tukang batu? Siapa tukang
cukur Presiden Soeharto? Atau mengapa tidak ada ikan yang mati
tenggelam? Mungkin karena para mahasiswa itu membicarakan
nasib warga kampung ini, maka saya jadi ingin tahu bagaimana
nasib saya nanti. Saya senang para mahasiswa itu datang ke
kampung ini, mereka membuat angkringan saya tidak pernah
sepi. Dagangan saya laku dan saya jadi banyak tahu.
Saya bukan penduduk asli kampung ini, tapi isteri saya iya.
Sejak lima tahun lalu saya membuka angkringan ini. Saya tidak
terlatih bertani seperti keluarga besar mertua saya. Keterampilan
saya berdagang kecil-kecilan. Keluarga besar mertua saya petani
dan peternak, hasil bumi dan ternak mereka langsung ditukarkan
barang, tidak ada yang berdagang. Ada kepercayaan turun-
temurun dalam keluarga besar mertua saya, berdagang itu buruk

340 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
karena mendekatkan diri pada penipuan. Mereka percaya hidup
itu seharusnya nandur dan ngopeni, menanam dan memelihara.
Jadi, di mana pun mereka tinggal pekerjaan yang dipilih hanya
menanam atau memelihara. Demikian kepercayaan Gunarsih
isteri saya, Kang Gunarto kakak ipar saya, Kang Saimin dan Kang
Gunaryo sepupu isteri saya, dan tentu saja ayah mertua saya Pak
Gunadi, cucu dari orang rantai di Sawahlunto.
Saya bersyukur mereka menerima cara hidup saya. Saya pikir-
pikir, keluarga besar mertua saya ada benarnya. Bagaimana bisa
benda-benda dan pelayanan ditukar dengan berlembar-lembar
kertas bernama uang? Bukankah uang hanyalah alat tukar seperti
juga garam pada zaman dulu kala? Kenapa uang mesti dicari mati-
matian kalau akhirnya hanya ditukar dengan barang yang bisa
dihasilkan sendiri? Bukankah imbalan pertolongan seharusnya
bisa berupa segantang beras atau lauk, bukankah itu lebih nyata
dibutuhkan dalam hidup? Apa bisa uang langsung dimakan atau
disandang? Aneh lho, orang bekerja untuk mendapatkan uang
yang segera dibuang demi hal-hal yang langsung dibutuhkan.
Uang itu seperti upil, ingus kering, susah payah dicari hanya
untuk dibuang.
Keluarga besar mertua saya selalu berpakaian serba hitam
polos, sebagaimana sebagian kecil warga kampung ini. Konon
seluruh warga kampung ini berpakaian hitam, tetapi seiring
gerak zaman mereka yang berpakaian serba hitam berkurang.
Konon, warna pakaian yang mereka pilih mengandung pesan
bahwa pada dasarnya manusia itu tidak berbeda satu sama lain,
buktinya bayangan setiap manusia berwarna sama: hitam semata.
Tidak ada beda yang rambutnya gimbal dengan yang lurus, yang
bermata sipit dengan lebar, yang kulitnya gelap dengan cerah, yang
berkaki dua atau berkaki satu, yang dianggap genap dengan yang
dianggap ganjil; yang melek dengan yang merem; yang laki-laki

Gerakan dan Perjuangan Agraria 341


dan yang perempuan; yang berjalan dengan yang pincang, yang
muda dengan yang tua, yang hidup di istana atau yang tinggal
di gubuk sederhana. Semua sama, semua satu, seperti tidak
ada bedanya air dalam cawan dengan segumpal awan. Mungkin
karena alasan di balik pakaian hitam itu, saya diterima walau pun
saya berbeda. Saya tetap merasa ada tanpa harus menjadi sama,
merasa tenteram tanpa harus menyeragam.
Mula-mula, saya tidak terbiasa mengatakan anak hasil
pernikahan kami, Gunawan, bukan anak saya, tepatnya ia adalah
anak isteri saya. Untuk saya, yang benar: Gunawan adalah
keturunan saya. Hingga hari ini, saya masih tidak terbiasa
menyebut isteri saya sebagai rukun, daripada isteri; simah dari
sisihaning manah, pasangan hati; atau garwa dari sigaraning
nyawa, belahan jiwa. Saya juga harus membiasakan diri menyebut
mati sebagai salin sandhangan, berganti pakaian, sebab tubuh
adalah pakaian dari ruh.
Sumpah mati saya bukan pujangga. Saya cuma memberanikan
diri menuliskan gerundelan-gerundelan di kedai angkringan saya.
Dongeng tentang mas-mas dan mbak-mbak pelanggan angkringan
saya dan warga yang mereka perbincangkan. Barangkali dongeng
ini akan bermanfaat buat orang-orang yang senasib dengan saya.
Saya tidak berharap cerita ini akan laku dijual, diperbincangkan
di sekolah-sekolah, atau dipuji para cendekia pada bidangnya.
Tulisan saya tidak ilmiah apalagi menarik dan indah, namanya
juga pemula, amatir, dan picisan. Saya menulis untuk berbagi
pengalaman, dari pengalaman itu siapa tahu ada gagasan yang
bisa dimatangkan dan dilakukan di kampung-kampung. Saya
bisa saja dianggap menggurui, biar saja, tidak apa-apa karena saya
percaya pada perbuatan daripada ucapan. Jadi, tulisan saya tidak
ada artinya kalau berakhir di rak-rak perpustakaan atau kolektor,

342 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kalau berhenti jadi bahan diskusi di mana-mana dan cuma jadi
kutipan dalam tulisan orang.
Saya akan mulai bercerita tentang para mahasiswa itu.
Kang Gunarto mengenalkan saya pada Mas Dahlan pada suatu
malam. Warga kampung ini biasa menyebut Kang buat lelaki
yang lebih tua dan Yu buat perempuan yang lebih tua sebagai
penghormatan, konon sebutan Mas berasal dari kotapraja, asalnya
Raden Mas pasangannya Raden Ayu. Tak jarang Kang Gunarto dan
Mas Dahlan menghabiskan waktu sampai hampir pagi dengan
bercakap-cakap. Mas Dahlan bercerita, dia sedang mencari
bahan untuk tugas akhir kuliahnya. Mas Dahlan tertarik pada
persoalan yang sedang dihadapi warga kampung ini, termasuk
berbagai peristiwa yang melatarbelakangi sehingga kampung ini
ditetapkan jadi kawasan tambang. Mas Dahlan itu tekun sekali,
apa saja dia tanyakan. Hal-hal yang sepele, misalnya kapan saja
hujan deras; bagaimana warga mencukupi kebutuhan air di musim
kemarau; apa nama dan mana letak sumber air penduduk; berapa
luas hutan di sekitar kampung; apa saja sumber penghidupan
penduduk baik tanaman atau hewan; berapa jumlah penduduk
yang menggantungkan hidup dari sumber air di gua-gua kapur.
Mas Dahlan juga repot-repot mengukur berapa banyak air yang
ditampung ember dalam waktu sekian detik di setiap sumber
mata air. Saya mengenal istilah debit dari keusilan Mas Dahlan,
kalau debitnya 10 liter per detik itu artinya dalam waktu satu
detik air yang dikeluarkan oleh sumber sebanyak 10 liter. Berarti,
pada musim kemarau debit airnya lebih sedikit ketimbang musim
hujan. Saya lebih gampang membayangkan istilah sedikit untuk
debit ketimbang besar dan kecil atau tinggi dan rendah, meski pun
menurut Mas Dahlan saya salah. Aneh ya, mobil itu melaju dengan
kecepatan tinggi, cepat kok bisa tinggi itu bagaimana? Kenapa
tidak dibilang, mobil itu larinya atau jalannya sangat cepat sekali.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 343


Sekantung kapas itu beratnya kecil, berat kok bisa kecil, kan lebih
enak sekantung kapas itu ringan. Mas Dahlan mengenalkan saya
pada istilah ukuran dan satuan-satuannya.
Menurut keterangan Mas Dahlan, bukit-bukit kapur di
kampung saya tidak boleh ditambang, penambangan akan
mematikan sumber-sumber mata air di gua-gua. Jangankan
ditambang, menebangi pohon-pohon di hutan itu saja akan
mengurangi debit air. Ada dua jenis sumber air, ada yang berasal
dari sungai bawah tanah dan ada yang berasal dari tetesan air
dari atap-atap gua. Batu-batu di atap gua lancip-lancip seperti
gigi, bagian lantai gua juga, ada yang menyambung ada yang
masih terpisah. Kata Mas Dahlan, air yang mengandung gamping
menetes lalu mengeras membentuk batu-batu itu. Untuk
membentuk 1 cm3 dibutuhkan waktu sepuluh tahun, artinya untuk
membentuk sebongkah batu 1 m3 atau 1.000.000 cm3 dibutuhkan
waktu selama 10.000.000 tahun! Padahal batu-batu itu lebih dari
1 m3. Kebanyakan sumber air di gua-gua itu adalah jenis yang ke-
2, makanya sangat tergantung dari penyerapan air hujan. Kalau
pepohonan itu ditebang maka penyerapan air berkurang, akibatnya
lama-lama sumber bisa mengering. Ada lebih dari 100 sumber air
di perbukitan kapur itu, alirannya mengairi empat kabupaten
lintas propinsi. Bukit di sebelah timur sudah habis ditambang,
dataran di bawahnya lalu mengering jadi ladang tadah hujan.
Tanah-tanah kemudian dijual karena tidak lagi menghasilkan
pangan dan pakan. Penduduknya mulai berhenti jadi petani dan
peternak, sialnya tidak terlatih berdagang. Mereka ke luar daerah,
menjadi kuli bangunan atau kerja serabutan lainnya. Mas Dahlan
bercerita, kalau nanti dia berhasil menyusun tugas akhir, maka
persoalan utama kampung ini akan memperoleh pembelaan
dari sudut pandang ilmiah. Tugas akhirnya akan dijadikan acuan
para pengambil keputusan di Semarang atau Jakarta sehingga
memperoleh penyelesaian yang saling menguntungkan. Weleh!

344 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Empuk kedengarannya: Penyelesaian yang Saling Menguntungkan!
Saya senang mendengarnya, menenteramkan. Tapi tidak
bagi Kang Saimin. Menurut Kang Saimin, penyelesaian saling
menguntungkan itu tidak akan terjadi kalau yang diperebutkan
adalah ruang hidup dan sumber penghidupan pokok seperti
udara, tanah, dan air. Cara itu juga tidak berlaku apabila
kehidupan satu pihak adalah kematian bagi yang lain. “Kalau
penyelesaian yang saling menguntungkan itu artinya kepentingan
penduduk dan perusahaan bisa ada bersama-sama, apa bisa Bukit
Sela Pethak itu ditambang sekaligus tidak ditambang?” Kata Kang
Saimin. Menurutnya, mengharapkan penyelesaian yang saling
menguntungkan itu sama seperti naleni entut, mengikat kentut.
“Kalian, PT SI, mau nambang? Langkahi dulu mayatmu!”, begitu
ujar Kang Saimin.
Lalu, saya mengenal Mas Phitut dan Mbak Diah pertama kali
dua tahun lalu lewat Kang Gunaryo. Mas Phitut menyempatkan
datang ke kampung ini di tengah kegiatannya meliput sejarah
cengkih, lada, dan pala di Maluku. Mas Phitut itu kelihatannya
wartawan tetapi sebenarnya bukan. Mereka mahasiswa tingkat
dua, kalau lulus gelarnya master. Kalau saya bertanya apa
pekerjaannya, dia selalu menjawab ngawur : Pembunuh Bayaran!
Ah, mana ada pembunuh bayaran sebaik dia, tampangnya Mas
Phitut itu tidak seram, dia ramah, tidak tatoan, selera rokoknya
juga sama seperti orang-orang desa: kretek. Mbak Diah juga
begitu, selalu saja guyon, selalu bercanda. Kalau saya tanya
apa pekerjaannya dia menjawab: Pengangguran! Mana ada
pekerjaan pengangguran? Katanya ada, karena menganggur itu
kata kerja, maka pengangguran adalah orang yang pekerjaannya
menganggur. Konon, leluhur Mas Phitut tinggal di desa sebelah.
Kampung sebelah adalah kampung halamannya, tapi Mas Phitut
lupa leluhurnya tinggal di halaman berapa, makanya ia memilih
tinggal di kampung ini sambil terus mencari. Mas Phitut dan

Gerakan dan Perjuangan Agraria 345


Mbak Diah itu pintar sekali bercerita. Mereka suka menceritakan
perjalanannya ke pelosok-pelosok nusantara, tentang suku-
suku pemakan sagu, tentang candi-candi yang tersembunyi,
tentang upacara adat pembangkit mayat, tentang rajah suku-
suku pemburu dan peramu, tentang peperangan rokok filter
dan rokok klobot, tentang tragedi itik mati di tepi kali, tentang
gempa Jawa dan tsunami Aceh yang mengubah isi kepala para
korban bencana, tentang penjual nasi goreng berbumbu rahasia
yang tiba-tiba menghilang lalu muncul kembali, tentang sambal
kesukaan keluarganya yang lebih sedap tanpa kecap. Apapun bisa
mereka bikin jadi bahan cerita.
Mas Phitut dan Mbak Diah ingin menulis sejarah kampung ini,
menulis cerita-cerita kampung ini yang tidak ada di dalam buku-
buku pelajaran, menulis silsilah leluhur dan jejak-jejaknya sampai
zaman ini, menulis jenis dan watak alam di mana warga tinggal,
menulis alam pikiran warga. Saya membayangkan, bagaimana ya
menulis sejarah suatu kampung yang tak punya sejarah kampung?
Kata Mas Phitut zaman sejarah itu dimulai ketika orang mengenal
tulisan atau simbol. Kecuali saya dan mereka yang pernah sekolah
atau belajar mengenal huruf dan angka, warga asli kampung ini
tidak menuangkan kisah mereka dalam aksara, kisah mereka
tutur tinular, kisah-kisah yang diucap dan ditularkan. Mas
Phitut dan Mbak Diah mestinya mengajak warga membunyikan
sejarah kampung, bukan mengajak mereka menulis karena warga
kampung ini aslinya tak pernah menulis. Tapi, sejak awal Mas
Phitut dan Mbak Diah yang menulis, bukan warga kampung ini.
Jadi mungkin yang benar adalah sejarah kampung ini dituliskan
oleh orang lain. Persis saudara jauh saya yang buta, dia pernah
bertanya kenapa dia disebut buta? Apa buta itu? Tentu saja, istilah
buta dan pengertiannya berasal dari mereka yang tidak buta. Lalu,
kapan giliran orang ‘buta’ menentukan apa itu ‘buta’?

346 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Kemudian saya berkenalan dengan Mas Dendi dan Mbak Dinda
yang akan membuat film dokumenter. Wah! Film dokumenter.
Semula saya mengira itu film yang akan dibintangi artis Jakarta
atau luar negeri, yang ceritanya juga tentang cinta, perkelahian,
perang-perangan, ternyata bukan. Apa menariknya kalau bintang
film itu Kang Saimin, Kang Gunarto, Yu Sanikem, Mbah Gunarti?
Apa menariknya kalau cerita film itu tentang kehidupan sehari-
hari warga kampung ini? Kalau Mbah Gunarti jadi dhanyang
atau ratu siluman terus Kang Gunarto jadi pahlawan yang
membasmi siluman dengan adu silat dan ajian-ajian hebat, saya
akan semangat nonton. Kalau yang dimaksud film dokumenter
itu nyoting (mengambil gambar) kegiatan sehari-hari maka setiap
hari saya nonton film tanpa harus repot-repot sotingan. Tapi Mas
Dendi dan Mbak Dinda punya alasan lain, katanya film itu penting
buat orang-orang di luar kampung ini, utamanya mereka yang
duduk di pemerintahan; guru dan mahasiswa; orang-orang el es
eng macam WALHI, LBH, dan JATAM; aktipis (warga luar biasa)
dan sipilis (warga biasa). Semakin banyak yang tahu kehidupan
warga kampung ini maka akan semakin banyak yang mendukung
warga kampung ini mewujudkan harapannya. Tapi harapan
kebanyakan warga kampung ini tidak menjadi bintang film, juga
tidak ingin terkenal, terutama mereka yang warga asli. Kalau saya
ingin bisa terkenal, harapannya ya dagangan angkringan saya jadi
lebih banyak laku.
Mas Dendi dan Mbak Dinda itu hebat, mereka bisa
mendatangkan artis sungguhan dari Jakarta. Cantik, wangi, dan
semok. Terus kalau bicara itu mesti pakai bahasa Indonesia, sama
seperti Mas Dendi dan Mbak Dinda. Saya ya tahu orang saya
pernah sekolah, makanya saya ditunjuk jadi penerjemah kalau
mereka menyoting Mbah Gunarti, Kang Gunarto, Kang Saimin, Yu
Sanikem dan yang lain-lainnya. Mereka yang disoting malah tidak
tahu kalau sedang jadi bintang film utama, mereka tahunya ikut

Gerakan dan Perjuangan Agraria 347


disoting bersama bintang film Jakarta. Kang Gunarto sebenarnya
juga tahu dan bisa bahasa Indonesia karena pernah belajar di
rumah, tapi dia selalu menjawab dengan bahasa asli kampung ini,
meski pun kadang-kadang dia keceplosan berbahasa Indonesia.
Waduh! Soal bahasa ini membuat kepala saya pusing.
Bagaimana tidak? Di tempat asal saya, bahasa itu macam bangunan
lantai tiga. Ada tingkatan-tingkatannya. Lantai satu tentu untuk
manusia-manusia sejenis saya, buruh cuci, tukang batu, tani
gurem, buruh pabrik, pembantu rumah tangga. Lantai dua untuk
yang lebih tua atau manusia-manusia bertangan halus, misalnya
ya juru tulis, pegawai negeri, juragan, dan kaum sekolahan. Lantai
tiga untuk manusia-manusia unggul, titisan dewata, wakilnya
Tuhan makanya disebut Gusti (maunya setara Gusti Allah),
para bangsawan, ningrat dari tingkat Bendoro, Raden, sampai
Mas Bekel. Mereka boleh saja pengangguran, tetapi selalu bisa
berpenghasilan karena sebutan Gusti itu mendatangkan upeti.
Nah, mereka yang di lantai satu harus menggunakan bahasa lantai
tiga kalau mau bicara dengan mereka yang di lantai tiga atau dua.
Demikian juga mereka yang di lantai dua harus menggunakan
bahasa lantai tiga untuk mereka yang di tinggal di atasnya. Kalau
menggunakan bahasa di lantai satu akan dianggap kurang ajar,
tidak sopan, biadab. Bahasa lantai satu hanya dipakai oleh sesama
penghuni lantai satu, atau penghuni lantai di atasnya untuk
penghuni lantai satu. Bahasa lantai dua dan tiga tidak pernah
ada kata-kata umpatan, seperti Asu! Cangkem! Minggat! kata asu
diganti segawon artinya sama: anjing. Cangkem diganti tutuk,
artinya sama: mulut. Minggat diganti tindak, artinya sama: pergi.
Demikian juga kowe diganti panjenengan yang berarti kamu,
untuk kaum Gusti jadi Sinuwun atau Sampeyan Dalem. Jadi, ketika
saya tidak diupah, dipecat tanpa alasan, atau dituduh mencuri
tanpa bukti, saya tidak bisa bilang sama majikan saya: asu kowe!
Sebaliknya, majikan saya bisa seenaknya mengumpati saya karena

348 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kata-kata umpatan tersedia untuknya. Sementara, ketika saya
bilang: Panjenengan segawon, Gusti! Saya akan dianggap melucu
karena menempatkan sesuatu dengan keliru, persis guyonan Mas
Dahlan: “Man, Giman tolong belikan sandal ukuran 40 gigabyte!
Tidak usah ngebut, kecepatanmu cukup 30 kbps saja.” Ternyata
bahasa mengandung kekuasaan. Untungnya dalam keluarga besar
mertua saya bahasa seperti gelaran tikar: semua duduk setara,
sopan santun ditentukan dari perilaku.
Lain lagi dengan Mas Kevin. Dia seorang mahasiswa
ilmu hukum yang sedang menjalankan tugas dari organisasi
kemahasiswaan. Menurutnya, organisasi di mana dia berkegiatan
ada di mana-mana dan sejak lama mendampingi masyarakat
yang sedang bersengketa dengan pemerintah atau perusahaan,
biasanya yang tinggal di perkebunan; di sekitar hutan; di pesisir;
di bantaran kali; bahkan para buruh pabrik. Sejak datang
ke kampung ini satu tahun lalu, Mas Kevin kerap membikin
penyuluhan hukum. Semacam sekolah yang melayani tanya jawab
perkara. Banyak yang ikut, terutama yang menghadapi sengketa
tanah. Ladang-ladang warga berbatasan dengan hutan jati yang
dikuasai Perhutani. Menurut cerita simbah-simbah, para tetua
desa, sebelum ada Perhutani warga sering memungut hasil hutan
untuk mencukupi kebutuhan hidup, seperti kayu bakar; rumput-
rumput pakan; dan kepompong ulat jati di musim awal penghujan
untuk dimakan. Begitu hutan itu dikuasakan kepada Perhutani,
warga tidak boleh lagi masuk ke hutan dengan alasan menghindari
pencurian kayu. Aneh, berdagang saja dianggap ora ilok atau tabu
kok warga dicurigai mencuri. Nah, Mas Kevin ini yang kemudian
membalikkan keadaan, bahwa sesungguhnya Perhutani itu yang
mencuri hak hidup warga yang turun-temurun bisa menjaga
kelestarian hutan. Katanya, Perhutani itu perusahaan, bukan
negara, bukan warga, asli warisan kumpeni.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 349


Kata Mas Kevin, departemen kehutanan itu negara di dalam
negara. Dia bisa menentukan 70 % wilayah NKRI adalah hutan,
dan hutan adalah wilayah kekuasaannya. Hukum pertanahan
tidak bisa menyentuh kawasan hutan meskipun hutan berada di
atas tanah. Apabila suatu kawasan hutan hendak diubah fungsinya
menjadi selain hutan, maka kawasan itu harus diubah judulnya,
diganti statusnya, istilahnya: dikeluarkan dulu dari kawasan hutan.
Di dalam hutan tidak boleh ada manusia kecuali para rimbawan,
orang-orang (h)utan. Kang Saimin itu bukan orang (h)utan, maka
dia dilarang masuk hutan buat memungut hasil hutan. Anehnya,
tambang di dalam hutan lindung diperbolehkan (tapak pabrik
semen itu semula wilayahnya Perhutani, entah Perhutani dapat
berapa bagian kok mau melepaskan wilayahnya). Rupanya fungsi
kawasan ditentukan oleh statusnya, dan status itu gampang sekali
diubah sesuai selera penguasa.
Penyuluhan hukum yang diadakan Mas Kevin semakin ramai
dihadiri warga. Mereka jadi makin tahu bahwa banyak hal yang
telah mereka langgar, umpamanya tidak membayar pajak; tidak
membuat KTP; menikah tidak di KUA; memungut hasil hutan;
termasuk menentang tambang gamping dan pembangunan
pabrik semen karena sama saja menentang rencana tata ruang,
menentang kehendak pemerintah si pembuat hukum. Mereka
jadi tahu kalau mau menyampaikan sikap harus melalui tata cara
tertentu, misalnya melalui anggota partai politik di DPR; ikut
serta dalam AMDAL (agar bisa ditambang setelah memperoleh
ijin lingkungan); dan PTUN atas putusan kepala daerah yang
mengancam kehidupan mereka. Dulu sebelum warga tahu aturan
main, mereka bebas bergerak. Sekarang setelah tahu aturan
main malah membatasi diri, misalnya tidak memblokir jalan
atau tidak menggempur pabrik, mereka takut dicap bertindak
‘anarkis’ (istilah ini dari Mas Kevin, katanya ‘anarkis’ artinya
doyan kekerasan). Padahal yang paling ‘anarkis’ adalah preman

350 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dan aparat, bukan warga kampung. Berapa lama orang akan
dipenjara kalau bisa menghentikan tambang gamping dengan cara
menghancurkan alat tambang atau pabrik semen? Kalau dihukum
mati, bukankah setiap manusia pasti mati? Berjuang melalui jalur
hukum itu susah-susah gampang. Kalau pengadilan memang
tidak bisa dibeli, maka sasaran warga harus tepat benar, warga
harus tahu apa yang mereka tuntut dan bagaimana menuntutnya,
warga harus tahu kelemahan lawan. Tapi kalau pengadilan bisa
dibeli pemodal, maka jangan harap warga akan menang. Mengapa
pengetahuan justru membuat orang makin takut, bukan makin
berani? Apa yang salah ya? Ketakutan warga adalah senjatanya
penguasa. Semakin takut, warga semakin gampang dikalahkan.
Mas Kevin sering mengajak warga yang menolak tambang
gamping dan pembangunan pabrik semen untuk unjuk rasa. Dia
sering mewakili warga untuk bertemu dengan pemerintah atau
perusahaan. Dalam setahun ini kami sudah delapan kali unjuk rasa
tetapi masih juga belum didengarkan. Terlalu sering dan tanpa
hasil, rasanya jadi seperti perayaan saja, merayakan Hari Tani,
Hari Buruh, Hari Bumi, Hari Air, Hari HAM, Harmoko: hari-hari
omong kosong! Jangan-jangan hari-hari penting dibikin memang
hanya untuk diperingati, bukan untuk diperjuangkan maknanya
oleh yang bikin hari. Unjuk rasa artinya kami meninggalkan
pekerjaan sehari-hari, kalau terlalu sering unjuk rasa kami bisa
tidak makan. Mas Kevin lalu membuat petisi kepada gubernur
dan presiden, meminta mereka menghentikan rencana tambang
dan pembangunan pabrik semen karena ada kepentingan kaum
kapitalis di balik dua proyek itu, padahal ketua proyeknya adalah
presiden. Saya bertanya pada Mas Kevin, kaum kapitalis itu siapa?
Katanya, mereka adalah kaum pemodal yang doyan mengeruk
laba, para pemilik perusahaan, para orang kaya, kaum serakah,
kelas menengah. Itu berarti saya termasuk kaum kapitalis, karena
angkringan kecil ini punya saya, perusahaan saya yang saya modali

Gerakan dan Perjuangan Agraria 351


sendiri. Saya juga menghimpun laba buat bisa berdagang lagi
dan bertahan hidup. Bedanya saya susah buat serakah, meskipun
kepingin kalau ada kesempatan. Bagaimana mau serakah, kalau
saya menaikkan harga wedang jahe atau nasi kucing (nasi bungkus
seukuran sarapan kucing) akibatnya saya kehilangan pembeli?
Padahal harga gula dan beras tidak pernah turun.
Terus istilah kelas menengah itu kok kedengarannya
mentereng. Para mahasiswa itu punya pendapat yang berbeda-
beda. Kata Mas Kevin, kelas menengah adalah kaum kaya atau
kaum yang diuntungkan oleh kapitalisme (semacam paham yang
mengutamakan penumpukan laba sebagai tujuan, mungkin saya
salah memahami istilah). Mas Dahlan menyebut kelas menengah
untuk mereka yang punya kedudukan tinggi dalam masyarakat
tetapi tidak menguasai lebih dari 60 % aset publik. Mas Phitut bilang
kelas menengah termasuk kaum sekolahan yang dapat merangkak
naik lebih tinggi. Mbak Diah berpendapat kelas menengah adalah
mereka yang hidup mapan. Mas Dendi menyebut kelas menengah
sebagai sekelompok orang yang menduduki posisi penting dalam
pemerintahan, mereka cenderung abai pada sekitar dan kurang
toleransi pada sesama. Mbak Dinda berpendapat kelas menengah
termasuk mereka yang cara berpikirnya seperti cara berpikir kaum
mapan yang malas bersusah payah, dalam kumpulan masyarakat
yang lebih besar mereka bisa saja termasuk kaum miskin, tetapi
perilakunya serakah. Sedangkan Mas Fatah, tentangnya akan saya
ceritakan kemudian, kelas menengah itu segolongan kaum yang
punya kesempatan beralih ke posisi nyaman dalam setiap situasi.
Andaikan saja saya berpendidikan tinggi; cukup punya modal
buat berdagang; punya pekerjaan mapan; keturunan orang yang
diagungkan; dipercaya dan diikuti orang banyak; dan mudah
beralih posisi setiap kali keadaan tidak menguntungkan, boleh
jadi saya adalah kelas menengah yang mereka maksud. Tetapi, saya
ini tidak termasuk ciri-ciri itu, terkecuali saya adalah menantu

352 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dari keturunan sesepuh (tetua, leluhur) kampung ini. Apakah
menantu kelas menengah termasuk kelas menengah meskipun
hidupnya susah?
Mas Fatah tinggal untuk bertani dengan para penduduk.
Kabarnya dia juga seorang mahasiswa jurusan seni rupa, tetapi
anehnya dia tidak punya ciri-ciri mahasiswa yang saya kenal. Mas
Fatah berambut gondrong, beberapa bagian gimbal, tubuhnya
penuh tato, bertindik, suka pakai baju dan celana warna hitam atau
merah, dan doyan minum arak bikinan sendiri. Suatu ketika saya
pernah iseng bertanya mengapa Mas Fatah datang ke kampung
ini untuk bertani. Katanya ia ingin membantu perjuangan warga
dengan cara menjadikan nasib warga kampung ini jadi nasibnya,
sehingga mau tak mau dia harus membela nasibnya sendiri.
Semboyan Mas Fatah bagus sekali: Seni menentang tirani!
Di antara para mahasiswa itu, Mas Fatahlah yang hasratnya
paling mulia, tapi juga yang paling aneh. Coba dipikir lagi. Mas
Fatah menjadikan nasib kami sebagai nasibnya. Sakit kami
menjadi sakitnya. Siapa yang mengganggu hidup kami sama saja
mengganggu hidupnya. Maka, ia mau tak mau membela dirinya,
di saat yang sama ia juga membela kami. Tetapi Mas Fatah lupa,
kepeduliannya berasal dari imajinasi (istilah ini dari Mas Dendi),
dari membayangkan, dari angan-angan. Kepeduliannya bukan
didasari oleh kenyataan yang ia alami dan rasakan, tetapi dari
fantasi (istilah ini dari Mas Phitut). Mas Fatah tidak benar-benar
menjadi kami. Ia tak memilih menjadi warga kampung ini. Tidak
menikah dengan warga kampung ini. Tidak beralih pekerjaan
menjadi petani. Jadi, Mas Fatah membela imajinasinya, membela
angan-angannya sendiri. Bagaimana bila pada akhirnya kenyataan
tak seperti angan-angannya? Apakah Mas Fatah akan lari dari
kenyataan? Saya tidak mengenyam Kenyataan dalam Dunia

Gerakan dan Perjuangan Agraria 353


Fantasi (lagu kesukaannya), itulah bedanya saya dengan Mas
Fatah.
Bersama kawan-kawannya, Mas Fatah mencipta banyak
sekali poster bergambar, kaos, gambar tempel, baliho, lukisan
dinding, bahkan puisi-puisi dan lagu-lagu yang mengusung
semangat kebersamaan dan menentang penindasan. Hasil karya
Mas Fatah dan kawan-kawannya ada di segala penjuru kampung
ini, bahkan ke luar daerah juga. Mas Fatah pernah membuat
lelang karya di kafe-kafe di Jogjakarta; Bandung; dan Jakarta
untuk disumbangkan kepada warga kampung ini. Lumayan, bisa
membiayai kebutuhan ibu-ibu yang sedang unjuk rasa setiap hari
dalam tenda di tapak pabrik semen. Tetapi karya Mas Fatah dan
kawan-kawannya juga membuat warga susah. Tentara dan polisi
menuduh kami antek-antek PKI, karya-karya mereka persis karya
LEKRA. Akibatnya ancaman datang bertubi-tubi, sebagian warga
yang takut dipenjara memilih tidak terlibat dalam perjuangan.
Sebenarnya penjara tidak menyeramkan, tetapi hidup di penjara
sama dengan meninggalkan pekerjaan dan itu artinya hilang
nafkah, bikin tambah susah. Penampilan Mas Fatah juga kurang
disukai oleh sebagian warga yang mulai dekat dengan para
mahasiswa lainnya. Cara Mas Fatah membantu kami juga tidak
disukai para mahasiswa itu karena mengandalkan solidaritas
sesama korban. Kata mereka, warga tidak mungkin berhasil tanpa
peran negara dan el es eng. Negara harus bertanggungjawab, el
es eng harus ambil bagian. Gagasan Mas Fatah bagus, tetapi
syaratnya susah yaitu mengandalkan kekuatan orang banyak
secara serentak, musuhnya adalah perpecahan warga.
Ketidakcocokan itu juga terjadi satu sama lain, tidak hanya
terhadap kelompok Mas Fatah saja. Masing-masing kelompok
mahasiswa merasa paling pas dalam membantu warga.
Ketidakcocokan itu kemudian merembet ke warga yang mereka

354 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dekati. Di kampung ini saja setidaknya ada lima kelompok warga
yang tidak saling cocok karena mengikuti guru mereka masing-
masing, para mahasiswa itu. Kang Gunarto jadi panutan warga
karena dinilai bisa ngemong, bisa menyeimbangkan tarik ulur
kemauan banyak pihak. Dia juga dekat dengan semua kelompok,
makanya Kang Gunarto itu jadi rebutan. Barangsiapa bisa
memengaruhi Kang Gunarto maka ia bisa memengaruhi seluruh
warga.
Lain Kang Gunarto lain lagi Kang Gunaryo. Kang Gunaryo
susah ikut mahasiswa, dia sudah ikut Mbah Suro sesepuh yang
salin sandhangan di Sawahlunto. Kang Gunaryo dan Kang Gunarto
selalu berselisih paham tentang siapa orang asli dan bagaimana
seharusnya menjadi orang asli kampung ini. Kang Gunarto
memang keturunan Mbah Suro, tetapi sudah menikmati televisi,
naik kendaraan bermotor, dan menggunakan telepon. Artinya
dia menggunakan uang dalam hidupnya. Kang Gunarto dinilai
oleh Kang Gunaryo telah menyimpang dari ajaran asli kampung
ini, karena menganggap pemerintah dan pengusaha bukanlah
saudara melainkan lawan. Kang Gunaryo tidak punya televisi,
tidak menggunakan telepon, dan ke mana-mana jalan kaki. Kang
Gunaryo suka memakai kaos bergambar Mbah Suro. Dia bangga
sekali menjadi keturunannya dan meneruskan ajarannya. Konon,
menurut Kang Gunaryo, Mbah Suro mengajarkan welas asih
(belas kasih) sesama manusia, siapapun dia. Makanya bagi Kang
Gunaryo, kehadiran para mahasiswa, pemerintah, dan pengusaha
tambang dan semen itu tidak terlalu jadi masalah karena yang
penting ia menjalankan ajaran welas asih serta tetap nandur dan
ngopeni. Ketika pemerintah membuatkan patung Mbah Suro di
dekat balai desa dan memberi bantuan ternak sapi, Kang Gunaryo
sangat senang. Kang Gunaryo juga punya banyak pengikut,
terutama generasi tua. Tahun 1999 lalu Kang Gunaryo diundang
dalam pertemuan masyarakat adat nusantara di luar Jawa.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 355


Pertemuan itu untuk membangun jati diri dan posisi terhadap
pemerintah, pernyataannya terkenal di mana-mana: “Kalau
negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara!”
Jadi, mereka butuh pengakuan pihak lain sebagai bukti mereka
ada, ketimbang bilang: “Kami berbeda maka kami ada!”
Lain lagi Kang Saimin. Dalam kehidupan sehari-hari, Kang
Saimin sama seperti Kang Gunaryo, tetap nandur dan ngopeni,
tidak menggunakan teknologi, bedanya Kang Saimin tetap
menolak tambang dan pabrik semen seperti Kang Gunarto. Kang
Saimin tidak mendekat pada para mahasiswa, juga tidak didekati
karena Kang Saimin bukan tokoh yang berpengaruh, dia malah
dekat ke saya yang bukan siapa-siapa. Hubungan saya dengan
Kang Saimin itu lama-lama memengaruhi cara saya berpikir dan
berperilaku. Saya lama-lama seperti Kang Saimin, mereka bilang
saya nyaimin. Tetapi tidak seluruh pikiran dan perilaku saya
menjadi pikiran dan perilaku Kang Saimin, masih ada sisa-sisa
orang sekolahan dalam diri saya. Buktinya saya tetap berdagang,
punya telepon, dan naik motor ke mana-mana (televisi sudah saya
jual untuk modal).
Saya jadi bingung dengan keadaan ini. Sebenarnya, apa ya
untungnya bangga dengan jati diri sebagai orang asli atau bukan
asli? Apa orang asli selalu lebih baik daripada bukan orang asli,
dan sebaliknya? Apakah ajaran tradisional selalu luhur dan ajaran
luhur selalu yang tradisional? Apakah ajaran luhur selalu melekat
dalam perilaku penganutnya? Apakah ajaran yang luhur itu
sanggup menangkal keburukan yang datang dari luar? Apakah
ajaran yang luhur itu mustahil dimanfaatkan jadi alat untuk
serakah? Yang jelas perbedaan jati diri di kampung ini sudah
membuat kami bertengkar satu sama lain, setidaknya saling
curiga, padahal nasib kami sudah bagaikan telur di ujung duri
gara-gara rencana tambang dan pabrik semen itu.

356 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Suatu hari, seorang budayawan dari Jogjakarta (ia masih
satu keluarga besar dengan Mas Dahlan) didatangkan oleh
pemerintah dan pengusaha untuk mengisi sarasehan (pertemuan
untuk persaudaraan) bersama warga kampung, untuk memberi
penyadaran kepada warga bahwa pembangunan itu baik dan
berguna, termasuk pembangunan tambang dan pabrik semen.
Budayawan itu bilang, pemerintah dan pengusaha itu tamu
yang harus dihormati dan dimuliakan, karena menghormati
dan memuliakan tamu merupakan ajaran luhur dari leluhur
kampung ini, ajaran Mbah Suro. Sebagian warga asli mengiyakan,
sebagian menggumam kecewa. Pada kesempatan itu budayawan
mengulangi janji pemerintah dan pengusaha, “Sedulur-sedulur,
Saudara-saudara, jika nanti ada pabrik semen di sini, maka
Sedulur-sedulur akan dibikinkan rumah sakit dan sekolah.” Kang
Saimin langsung bilang begini dalam bahasa Jawa ngoko, bahasa
lantai satu, “Sebentar, Cak (Kang, khas Jawa Timur). Kalau ada
rumah sakit berarti ada orang sakit, kalau ada sekolah berarti
ada orang bodoh. Kami tidak mau sakit dan tidak mau bodoh!”
Pertemuan itu langsung bubar begitu Kang Gunarto minta ijin
pulang diikuti seluruh warga. Kang Gunaryo tampak bimbang
tetapi menyusul pulang.
Saya jadi mengerti kenapa kaum miskin disingkirkan.
Kemiskinan itu disandang orang miskin, dengan membasmi orang
miskin maka kemiskinan akan ikut terbasmi. Lagipula, kemiskinan
adalah satu-satunya harta orang miskin, kalau kemiskinan itu
dirampas melalui program pengentasan kemiskinan, mereka tak
punya apa-apa lagi. Betapa teganya! Tapi pemerintah memang
tega. Mereka memberikan kredit lunak untuk berbagai usaha
kecil agar kaum miskin berpenghasilan cukup (syukur-syukur
lebih dari cukup) sehingga mampu membelanjakan uangnya
untuk barang dan jasa yang harganya semakin tinggi. Sisanya
bisa ditabung di bank untuk membiayai pembangunan, baik itu

Gerakan dan Perjuangan Agraria 357


jalan raya, bandara internasional, pelabuhan, pabrik semen, dan
tambang gamping para pengusaha. Kaum miskin adalah pemodal
sesungguhnya dari “industri infrastruktur” (istilah ini dari Mas
Kevin), berarti mereka adalah kaum kapitalis, tapi kok miskin?
Kalau mereka membelanjakan uangnya untuk barang-barang
bikinan sesama warga miskin (bukan barang pabrikan) dan
menyimpan uang tidak di bank mungkin malah bisa jadi kaya.
Tapi, mereka tidak mentereng karena tidak jadi kaum kapitalis.
Akhir-akhir ini saya agak berselisih dengan Kang Saimin dan
Kang Gunaryo, gara-garanya saya membubarkan cara dagang
angkringan saya. Saya bukan lagi pemilik tunggal angkringan ini,
saya hanya menjual nasi kucing. Sedangkan berbagai gorengan
adalah dagangannya Paimin; cemilan dagangannya Paidi; semua
jenis minuman dagangannya Watini, Wagimin, dan Wanisah; lauk
telur dan daging ayam dagangannya Warsito dan Warsini, kalau
ada yang mau menikmati kerlip lampu-lampu pabrik semen di
kejauhan dari atas bukit kecil belakang angkringan ini maka sewa
tikarnya pada Kang Piyoto dan Yu Rugiyati. Mereka warga asli
kampung ini yang pakaiannya sudah tidak serba hitam. Sepuluh
persen dari pendapatan bersama usaha ini untuk membiayai
perjuangan warga menolak tambang dan pabrik semen. Kang
Gunaryo dan Kang Saimin menuduh saya mengajari berdagang,
saya dianggap sedang merusak tradisi kampung ini yang sudah
turun-temurun bertahan. Kang Gunaryo bertanya pada saya,
kalau generasi muda sudah meninggalkan cara hidup orang
asli, lalu siapa yang akan menjaga tradisi agar tidak punah? Kata
Kang Saimin, uang bisa mengubah watak orang. Mungkin Kang
Gunaryo dan Kang Saimin benar, mungkin karena saya bukan
orang asli maka saya tidak merasa keberatan dengan perubahan.
Dalam upaya mempertahankan kehidupan bersama, para
mahasiswa, Kang Gunarto, Kang Gunaryo, Kang Saimin, dan saya

358 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
seperti adu tarik tambang. Sama-sama kuat, sama-sama tak mau
menyerah.
Saya sekarang tahu apa bedanya Rakyat Pejuang dan Pejuang
Rakyat. Rakyat Pejuang adalah rakyat yang memperjuangkan
nasibnya, sedangkan Pejuang Rakyat adalah orang yang sedang
memperjuangkan nasib rakyat. Koran-koran dan televisi
membuat penampilan Pejuang Rakyat persis Rakyat Pejuang,
seolah-olah Pejuang Rakyat mewakili Rakyat Pejuang segenap-
genapnya, tampil paling depan dalam setiap liputan. Tentu saja
tidak mungkin kalau Kang Saimin dan saya yang muncul di
koran-koran atau televisi, kami ini tidak pintar bicara dan lusuh.
Pejuang Rakyat sebenarnya rakyat juga kalau penduduk Indonesia
digolongkan jadi pemerintah atau penguasa dan rakyat, tetapi
Pejuang Rakyat jauh di sana, tidak menanggung apa yang Rakyat
Pejuang tanggung, tidak pernah benar-benar menjadi rakyat, dan
punya kesempatan lari andai merasa bosan atau gagal.
Kang Gunarto kini terkenal di mana-mana. Namanya tertera
di buku-buku Mas Kevin, di blognya Mas Phitut, di cerita panjang
Mbak Diah, di laporan tugas akhir Mas Dahlan, di film-film Mas
Dendi dan Mbak Dinda, di lukisan Mas Fatah yang dipamerkan
di luar negeri. Ucapannya dikutip di koran-koran, wajahnya
beberapa kali muncul di layar televisi. Setiap selesai bicara selalu
disusuli tepuk tangan pendengarnya. Kang Gunarto kebanggaan
mereka bersama. Artis yang bersinar di antara nasib kaum melarat
yang kelam. Rakyat Pejuang yang hendak diubah menjadi Pejuang
Rakyat. Ibarat wayang kulit, Kang Gunarto sudah dimasukkan ke
kotak tapi seolah-olah masih dilakonkan.
Andai saja saya jadi Kang Gunarto, untungnya saja tidak. Saya
pasti akan sibuk pergi ke sana ke mari, angkringan akan terlantar,
ditinggalkan para pelanggan. Orang-orang pintar itu tentu saja
akan pergi setelah tujuan mereka tercapai. Kang Gunarto bercerita,

Gerakan dan Perjuangan Agraria 359


Mas Dendi dan Mbak Dinda sudah memenangkan festival film
dokumenter di Jakarta, sebentar lagi terbang ke Perancis. Mas
Phitut sudah jadi idola kaum muda, bikin Jama’ah Pojokiyah yang
beranggotakan anak-anak muda yang suka nongkrong di pojok
ruang maya buat menggosipkan situasi apa saja dan menuliskan
gerundelan mereka sebagai guyonan segar yang tampak pintar,
bahkan kumpulan gerundelan jama’ahnya sudah diterbitkan jadi
buku yang laris manis. Mas Dahlan juga tidak mau kalah, dia
sekarang mendapat beasiswa dari pabrik mobil Amerika untuk
sekolah sarjana tingkat tiga di Belanda. Mas Kevin sudah jadi
pengacara di kantor milik legenda pengacara di Jakarta. Lalu, Mas
Fatah sekarang sudah jadi staf ahli anggota dewan kebudayaan
nasional karena karya-karyanya dinilai mampu membangkitkan
kembali aliran seni rupa yang hampir mati. Saya yang tidak
dekat dengan mereka saja sudah merasa kehilangan teman,
apalagi Kang Gunarto. Sekali bakul angkringan ya tetap bakul
angkringan. Bedanya, kalau saya jadi Kang Gunarto, saya akan jadi
doyan cerita ke siapa saja, kalau saya pernah begini dan pernah
begitu. Untungnya saya tidak sempat terkenal. Menjadi terkenal
itu sepertinya kok menyakitkan.
Saya punya harapan yang sama dengan Kang Saimin, yang
dibutuhkan warga kampung ini adalah semacam penerjemahan
hasil-hasil pemikiran kaum sekolahan itu dalam bahasa dan
pengertian yang sederhana agar warga bisa bergerak dengan
usahanya sendiri. Tapi, apa kaum sekolahan itu mau ikut
menanggung segala akibat yang ditanggung warga karena
mempertahankan ruang hidupnya, atau mereka maunya tetap
duduk manis jauh di sana, di tempat yang nyaman dan aman?
Zaman kekacauan telah melahirkan banyak pahlawan, tetapi
siapa yang mau merawat kewarasan? Di zaman kegelapan, banyak
yang mendadak jadi nabi ad hoc (istilah ini dari Mas Dahlan), nabi

360 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sementara, sebab nabi akhir zaman telah lama salin sandhangan.
Semasa sekolah, kaum sekolahan itu tinggal kelas saja tidak
pernah, apalagi turun kelas. Mereka selalu naik kelas, merangkak
menuju puncak. Untungnya saya putus sekolah, meski pun tak
pernah putus belajar.
Oh ya, saya lupa mengenalkan diri, nama saya Kawit. Artinya
kira-kira Si Pemula.
Watukodok, 6 Maret 2016
untuk: MuhAff & Dian Lisistrata, sepasang elang di langit fajar
nan merah hitam.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 361


Para Tak Bertanah Air
Perjuangan Buruh Tani dan Nelayan
dalam Mempertahankan Ruang Hidup
dari Megaproyek PLTU Batubara Indramayu
Toto Sudiarjo

“Meskipun kita kalah, tapi jangan kalah tersisih, kita


kalah di dalam perjuangan”
Domo - Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu.1
Pada tanggal 29 Desember 2020, di Desa Mekarsari, Kecamatan
Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, kelompok masyarakat
yang menamakan diri Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu
(JATAYU) merayakan peringatan hari ulang tahunnya yang ke-
6. Sebuah momentum perjuangan warga yang tidak singkat
dan penuh resiko dalam mempertahankan ruang hidupnya dari
gempuran megaproyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) Indramayu II. Sebagian besar dari mereka adalah para
buruh tani dan nelayan kecil yang menggantungkan hidupnya dari
sawah dan laut. Mereka adalah para laki-laki, perempuan, muda-
mudi yang meleburkan diri dalam perjuangan yang panjang.
Sebuah perayaan sederhana digelar bersama ratusan orang di
lahan persawahan yang telah diduduki oleh mereka yang masih

1 Wawancara Domo, Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (2018).


konsisten melawan pembangunan industri dan akan merenggut
mata pencaharian sekaligus mencemari kampungnya. Masing-
masing dari mereka membawa hasil panen dan melautnya untuk
dimakan bersama-sama sebagai bukti rasa syukur atas apa yang
mereka perjuangkan selama ini. Sebagian besar dari mereka
menggantungkan hidupnya dari tanah dan perairan luas sejak
turun-temurun. Dengan hadirnya pembangunan PLTU yang akan
merampas segalanya, maka perlawanan dengan menduduki lahan
adalah jawaban.

Titik Awal Perjuangan


Gerakan penolakan masyarakat sebenarnya sudah dimulai
sudah sejak lama, di mana PLTU Indramayu I berkapasitas 3 x (300-
400) MW berdiri tidak jauh dari lokasi rencana pembangunan
PLTU II. Gerakan masyarakat tersebut awalnya diinisiasi oleh
kelompok nelayan di Desa Ujung Gebang, Kecamatan Sukra.
Sejak beroperasinya PLTU I, nelayan tradisional tersebut adalah
kelompok yang paling vokal menyuarakan atas dampak yang
mereka terima. PLTU I merupakan program pengembangan dari
PT. PLN (Persero), namun konsrosiumnya dari China National
Mechinery Industry Corp.2
Setelah PLTU I beroperasi, dampak nyata pun sudah mulai
terasa. Pohon-pohon kelapa mulai banyak yang mati, begitupun
bagi nelayan sekitar yang mengandalkan permukaan bibir pantai.
Ajid, salah satu dari kelompok nelayan terdampak mengungkapkan
bahwa setelah adanya PLTU di wilayahnya cukup mengganggu
bagi aktivitas nelayan dalam mencari hasil tangkapannya. Nelayan
pun kerap kali jaringnya tersangkut oleh kapal-kapal tongkang
pengangkut batubara yang hilir mudik sesukanya.

2 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170129171404-20-189849/melawan-ancaman-
limbah-batubara-di-pltu-indramayu [dikases 12/3/2021]

Gerakan dan Perjuangan Agraria 363


“Dulu waktu sebelum ada PLTU mah gampang nyari udang
tuh. Ini yang lebih parah mah jaringnya rusak, kalau jaringnya
rusak dan hilang, itu kan tidak melaut. Harus bikin lagi, setelah
jadi, rusak lagi. Ini limbah yang dibuang ke laut juga dulunya kan
tanah, sekarang sudah mengeras jadi karang, jadi batu, itu kan
masalah.”3
Rata-rata nelayan yang ada di sana adalah nelayan tradisional
dan yang memiliki kapal sekitar 130 orang dengan anak buah kapal
(ABK) yang masing-masing membawahi tiga sampai empat orang.
Penghasilan yang awalnya sehari bisa mencapai Rp. 1.000.000 -
Rp. 1.500.000/kapal, bisa terancam karena tidak bisa lagi melaut
lantaran jaringnya rusak atau hilang terangkut kapal tongkang.
Sehingga bagi nelayan yang hendak melaut pun harus merogoh
biaya lebih untuk membetulkan jaringnya yang rusak atau hilang.
Kejadian ini kerap terjadi sehingga ada rasa trauma bagi
nelayan tradisional yang sehari-harinya menangkap udang dan
rajungan. Lokasi tangkap nelayan tradisional yang mengandalkan
area permukaan bibir pantai juga akan tersisih dengan adanya
kapal tongkang pengangkut batubara. Para nelayan sering kali
protes atas kerusakan alat tangkapnya pada pihak PLTU. Wilayah
perairan yang dulunya menjadi aktivitas nelayan mencari udang
dan ikan, seakan sudah dikuasai PLTU seutuhnya.
“PLN milik negara, PLTU milik negara, masyarakat juga
milik negara kata saya. Tapi negara tidak punya uang kalau
masyarakatnya tidak bayar pajak, uang dari mana?, tambahnya.” 4
Selain berdampak pada lingkungan dan nelayan, dampak
lainnya pun dirasakan oleh anak-anak di bawah umur yang
terkena gangguan pernapasan atau ISPA. Desa Tegal Taman,
Sukra, merupakan wilayah ring satu yang cukup parah terpapar

3 Wawancara Ajid, ketua kelompok nelayan Desa Ujung Gebang, Sukra, Indramayu (2018).
4 Wawancara Ajid, ketua kelompok nelayan Desa Ujung Gebang, Sukra, Indramayu (2018).

364 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
limbah debu batubara. Informasi yang didapat dari Puskesmas
Sukra dalam kurun waktu 3 tahun, antara tahun 2015 sampai 2017,
angka penyakit ISPA terus naik, salah satunya di Desa Tegal Taman
dan Sumur Adem. Tidak sedikit orang tua yang mengeluhkan dan
harus mengeluarkan biaya berobat bulanan bagi anaknya mulai
dari Rp. 150.000 sampai Rp. 250.000. Sehingga hal ini menjadi
beban tambahan bagi mereka.5
Untuk mengoperasionalkan PLTU I berkapasitas 3 x (300-
400) MW, membutuhkan bahan bakar batubara sekitar 14.400
ton/hari. Sedangkan batubara yang terbuang berupa abu jatuh
mencapai 216 ton/hari, dan abu terbang yang keluar dari cerobong
mencapai 1211,76 ton/harinya.6 Dampak dari adanya limbah
batubara tersebut sangat jelas menimbulkan suhu udara menjadi
semakin panas karena adanya peningkatan karbondioksida (CO2)
dan efek rumah kaca yang dilepaskan ke duara. Tanaman jadi
semakin tidak subur dan terjadinya hujan asam serta mencemari
air laut beserta ekosistemnya.

Di Bawah Bayang-Bayang Merah Putih


Di sisi lain, cerita gelombang gerakan penolakan warga
juga terjadi di di Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol. Mayoritas
dari mereka adalah para buruh tani tak bertanah (sawah) yang
melawan megaproyek PLTU Indramayu II berkapasitas 2 X 1000
MW. Megaproyek ini tidak lain bagian dari program pemerintah
Indonesia yang menargetkan 35.000 MW se Jawa-Bali. Padahal
pasokan listrik nasional sedang mengalami surplus.
Pembiayaan dari PLTU II Indramayu oleh Japan International
Cooperation Agancy (JICA) dan dikembangkan PT. PLN (Persero)
dengan menggunakan lahan seluas 275,4 hekta terdiri dari

5 Riset Dokumentasi Anak Dampak PLTU 1 Indramayu Tahun 2017, Walhi Jawa Barat, hal: 9-10.
6 Ibid. Hal: 13.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 365


dua kecamatan Patrol dan Sukra, serta meliputi empat desa
sekitar seperti Sumur Adem, Patrol, Patrol Baru dan Mekarsari.
Pembangunan tersebut akan mengancam areal subur pertanian
seperti tanaman padi, bawang merah, sayur-sayuran dan
sepanjang pesisir tempat nelayan kecil mencari hasil laut seperti
ikan dan udang rebon.
Dampak yang sudah terasa sejak berdirinya PLTU I cukup
membuat warga resah dan trauma karena kampungnya dikotori
oleh limbah batubara. Pertanian mulai tercemar dengan debu
halus yang berterbangan (fly ash) keluar dari corong raksasa.
Begitupun dengan limbah yang dikeluarkan ke laut (buttom ash)
menimbulkan baku mutu air tercemar dan ekosistem laut yang
jadi mata pencaharian nelayan pun mulai terganggu. Radius
lokasi yang akan dibangun PLTU pun kurang dari satu kilometer
dari pemukiman desa mereka. Begitupun dengan lahan yang
sudah dibebaskan perusahaan jika tidak digarap akan menjadi
lumbung hama dan mengganggu tanaman lain di sekitarnya. Para
buruh tani yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari
lahan tersebut, maka menjadi alasan kuat dalam menolak adanya
pembangunan PLTU II Indramayu.
Pada tanggal 6 Desember 2017, warga Mekarsari telah
memenangkan gugatan atas Izin Lingkungan PLTU II Indramayu
2 X 1000 MW di PTUN Bandung. Bupati Indramayu sebagai pihak
yang memberi ijin pembangunan dianggap tidak sah karena
kewenangannya ada di pihak provinsi.7 Pada saat itu warga
menyambut kemenangan kecil dalam bentuk syukuran dengan
melakukan doa bersama serta memasang bendera merah putih di
berbagai titik kapung sebagai bentuk kecintaan akan tanah airnya.
Dan pemasangan bendera itu sering dilakukan dalam beberapa
acara tertentu di sana sebagai umbul-umbul.

7 Baca- Rilis LBH Bandung.

366 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Namun, pemasangan bendera merah putih itu justru
dimanfaatkan oleh pihak lawan. Selang tiga hari kemudian,
pada 17 Desember 2017, nama-nama warga mulai dipanggil
pihak kepolisian setempat seperti Sawin, Sukma dan Nanto atas
tuduhan pemasangan bendera merah putih secara terbalik. Pada
suatu malam dalam tidur nyenyak bersama keluarga, mereka
dijemput paksa oleh aparat yang dilengkapi senjata laras panjang
di rumahnya masing-masing layaknya menangkap seorang
kriminal.8
Sawin, Sukma dan Nanto akhirnya resmi ditahan di balik
jeruji besi tepat pada 24 September 2018, hari di mana peringatan
Hari Tani Nasional dirayakan di seluruh penjuru negeri. Mereka
harus menjalani hukuman masing-masing enam bulan masa
tahanan. Padahal jika melihat Pasal 66 UU Nomer 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun
digugat secara perdata.”9
Kabar penangkapan terhadap ketiga buruh tani sekaligus
pejuang lingkungan ini, memicu gelombang protes warga lainnya
dan menggalang solidaritas dari berbagai kalangan. Termasuk
didalamnya ada dari kalangan mahasiswa, pemuda hingga
komunitas street punk di sekitaran Indramyau dan Cirebon.
Sehingga kabar penangkapan itu menjadikan gelombang
protes kian lebih massif. Aksi demi aksi pun mulai dilakukan
baik dari warga maupun masa yang turut solidaritas. Bahkan
mereka menggunakan medium seni sebagai bentuk aksi protes
seperti mengadakan acara musik, mural di rumah-rumah warga
terdampak higga terlibat langsung dala aksi jalanan.

8 https://www.mongabay.co.id/2018/01/17/berkonflik-dengan-pltu-indramayu-ii-berbuntut-
penangkapan-warga-mekarsari-lapor-komnas-ham/ (dikases 12/03/2019).
9 Ibid.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 367


Intimidasi warga yang menolak PLTU tidak berhenti pada
Sawin, Sukma dan Nanto. Selang beberapa bulan, 4 orang
lagi dipanggil oleh pihak kepolisian atas aksi penghadangan
eksavator yang dikawal langsung oleh tentara. Dan mereka
pun menyusul 3 kawannya di jeruji besi. Bentuk teror ini terus
dilakukan bagi mereka yang memperjuangkan ruang hidupnya
sebagai penggembosan gerakan rakyat. Meskipun begitu, gerakan
mereka tidak juga surut, konsistensi warga yang terus melakukan
penolakan dan pendudukan lahan yang telah dibebaskan oleh
PLN, menyebabkan proses pembangunan pun terhambat hingga
sekarang.10
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum kunjung padam,
pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menghapus Fly Ash dan
Buttom Ash (FABA) dari kategori limbah B3 yang jelas-jelas sangat
membahayakan bagi manusia maupun lingkungan.11 Mimpi
buruk bagi warga yang ada di sekitar cerobong maut ini akan terus
membayangi di setiap sendi kehidupan.
Hal ini pun berlaku bagi masyarakat adat di hulu Kalimantan
maupun Sumatera, tempat mengeruk batubara yang meninggalkan
lubang-lubang tambang dan tidak sedikit menimbulkan korban
jiwa serta kerusakan lingkungan yang massif. Pembunuhan
terhadap manusia dan lingkungan yang secara perlahan-lahan,
merupakan rangkaian bencana ekosida yang sengaja dibuat oleh
negara dan disponsori korporasi.
Masyarakat dan sumber kekayaan alam yang ada di hulu
maupun hilir industri ekstratif, adalah barcode yang setiap saat

10 Mellanova, Denis Riantiza , Jadwal Operasional PLTU 2 Ditunda, Bisnis Indonesia (diakses
22/6/2018).
11 https://bisnis.tempo.co/read/1441329/pemerintah-hapus-limbah-batu-bara-dari-daftar-
bahan-beracun/full&view=ok (diakses 22/6/2021).

368 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menunggu giliran untuk dijadikan babak pemusnahan massal.
Padahal mereka adalah orang-orang yang gigih mempertahankan
tanah airnya. Namun slogan tanah air Indonesia justru menjadi
maut yang membunuh para manusia dan alam yang selalu
dipromosikan negara.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 369


Analisis Kelas dalam Tubuh
Gerakan Perlawanan
(catatan otokritik atas pengalaman
pengorganisasian komunitas berlawan
di Daerah Istimewa Yogyakarta)
Kus Sri Antoro1

Zaman modal yang menyengsarakan tidak bisa dihindari,


namun bukan berarti dia mesti dibiarkan atau harus
dimaklumi.
(Suko, petani anti pabrikan, 2003)
Terlalu banyak catatan perjuangan yang tersaji epik dan
apik. Terkesan revolusioner, penuh gempita, menggetarkan,
menggerakkan dan menyala-nyala, menambah daftar kisah
kepahlawanan. Catatan kecil ini tidak termasuk yang tersebut di
muka. Karena apa adanya, boleh jadi catatan atas pengalaman ini
mengecewakan pembaca. Ibarat masakan, santapan ini miskin
micin (penyedap rasa).
Bagi saya, nilai penting sebuah pengalaman adalah hikmahnya.
Saya percaya, kesuksesan bukan ketika berjaya, namun ketika
mulai bangkit dari keterpurukan. Kegagalan harus jadi pelajaran
agar tak terulang, menuliskannya setelah mengalami merupakan

1 Penyintas konflik agraria struktural di DIY


salah satu cara agar pengalaman menjelma pengetahuan untuk
pengamalan.
Arena cerita ini adalah Ekonomi Politik, latarnya adalah zaman
modal, judulnya Kelas Sosial, panggungnya Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Sehingga, tiada cara yang lebih tepat untuk
mengisahkannya kecuali dengan Materialisme Dialektis—ranah
di mana saya hanyalah pelajar pemula yang doyan menggurui.

Falsafah Shifu Mao: Tentang Praktik dan Hukum Kontradiksi


Shifu Mao Tse Tung, pewaris Marx dan Lenin, menyatakan
bahwa praktik adalah sumber pengetahuan. Contohnya, petani
panen berbagai cabang ilmu pertanian dengan cara bertani,
sepanjang usia tanaman ia berusaha memperbaiki pertumbuhan
tanaman, di saat yang sama ia belajar dari setiap kegagalan dan
menapaki tahap-tahap keberhasilan. Bahkan, ia sudah panen
pengetahuan sebelum memanen hasil pertanian!
Cara terbaik memperoleh pengetahuan ialah dengan
berpraktik, bukan membayangkan atau menjelajahi gagasan;
sebab hidup kita bukan Kenyataan dalam Dunia Fantasi2.
Praktik bisa berupa pengamatan langsung secermatnya,
shifu Mao menyebutnya persepsi. Namun hasil persepsi ini belum
cukup disebut pengetahuan sebelum dipikirkan masak-masak,
lalu menemukan kenyataan di balik apa yang tampak, kenyataan
yang berlaku umum, yang mewadahi berbagai persoalan yang
dilingkupinya. Shifu Mao menyebut proses menemukan kenyataan
di balik penampakan ini sebagai konsepsi. Berbeda dengan
Idealisme yang membebaskan pembelajar berpengetahuan
untuk bertindak atau tidak bertindak, Materialisme Dialektis
mengabdikan konsepsi pada praktik pembebasan. Pembebasan

2 Koil, album Blacklight Shines On

Gerakan dan Perjuangan Agraria 371


itu bisa berarti bebas dari penderitaan, bebas dari keterasingan,
bebas dari penindasan (baik sebagai tertindas maupun penindas).
Ketika seorang petani mendapati tanamannya layu karena
pemupukan yang berlebihan, ia baru pada tahap persepsi. Namun,
ketika ia menyadari bahwa penyebab kelayuan adalah keluarnya
sejumlah massa air dari sel tanaman ke lingkungan luar sebagai
akibat sel lebih kaya air daripada lingkungan yang miskin air
(plasmolisis), ia segera menyadari: “aliran massa materi mengalir
dari tempat berpotensial tinggi ke tempat berpotensial rendah”.
Pernyataan ini ia temukan di mana-mana, pada kejadian angin di
pekarangannya; pada aliran listrik di rumahnya; pada arus sungai
yang mengairi ladangnya; pada rujak buah santap siangnya; pada
biji yang menggembung terendam air. Tanpa ia mendaulat dirinya
sebagai teoritisi, ia telah berteori ketika mengalami konsepsi.
Namun, ia tak lupa. Petani adalah materi berwujud manusia,
dirinya bukanlah imajinasi, ia butuh hidup lebih baik. Upaya
itu ia tempuh dengan mempraktikkan hasil konsepsi dalam
kesehariannya sebagai petani, yaitu: Bagaimana memupuk
tanaman dengan ketepatan jenis, dosis, dan waktu? Bagaimana
memenuhi kebutuhan air tanaman? Bagaimana mengendalikan
hama dan penyakit? Bagaimana memanen yang menghemat
waktu dan tenaga? Bagaimana menyimpan hasil panen agar awet?
Bagaimana mengembangkan benih baru yang unggul dan sifat-
sifatnya konstan? hingga akhirnya ia harus menjawab persoalan:
Bagaimana kaum tani turut menentukan harga panen yang
mereka hasilkan dan meneruskan keberadaan dirinya sebagai pilar
pangan? Ia berhasil menjadi pembelajar Materialisme Dialektis,
meskipun hal itu tak ia sadari. Ia lengkap sebagai manusia yang
mengalami, mengetahui, dan mengamalkan.
Apakah revolusi sosial/politik selalu berasal dari Materialisme
Dialektis? Tidak selalu, Idealisme pun bisa melahirkan revolusi

372 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sosial/politik atau dimanfaatkan untuk itu, misalnya Islamisme
Muhammad bin Abdullah; Kristianisme Yesus Kristus; atau
Revolusi Iran rezim Syi’ah, namun hal-hal itu sama sekali bukan
Materialisme Dialektis yang memuat kritik-otokritik berbasis
falsafah materialisme. Watak khas dari Materialisme Dialektis
ialah mengharuskan perubahan, dengan kata lain Materialisme
Dialektis tegak berdiri dengan kaki revolusi.
Tak semua orang berani berpraktik tanpa pengetahuan
pendahuluan, hal itu seperti melangkah tanpa mengetahui jalan.
Tak siap dengan berbagai kejutan, termasuk tak siap mendapati
kesalahan diri. Wajar bila belajar tak menarik bagi mereka yang
enggan menghadapi misteri, sementara itu Materialisme Dialektis
menawarkan misteri sepanjang proses mengetahui. Akibatnya,
pengetahuan Idealisme bukan berasal dari mengalami, namun
sekadar mempelajari. Begitulah jalan pikiran dan perilaku kaum
penganut Idealisme: ide menuju aksi, pengetahuan menuju
praktik.
Mari menyelam agak dalam di lautan Materialisme Dialektis,
mereguk hukum kontradiksi yang manis.
Konon, lelaki yang tak mengalami gangguan fungsi reproduksi
mampu melakukan dua hal yang bertentangan sekaligus: “bangun”
sambil tidur dan “berdiri” sambil duduk. Apakah ini yang disebut
kontradiksi? Sekilas ya, namun sesungguhnya bukan. Kontradiksi
bukan soal permainan makna maupun kata.
Benar bahwa kontradiksi adalah hubungan dua hal yang
bertentangan, yang mana kutub yang satu ada karena keberadaan
kutub lawannya. Mereka yang tinggi ada karena mereka yang
pendek, sementara tinggi dan pendek saling bertentangan.
Begitu juga untuk pertambahan dan pengurangan, perkalian
dan pembagian, ion positif dan ion negatif, induksi dan deduksi,
kritik dan otokritik, kaya dan miskin, lama dan baru, penguasa

Gerakan dan Perjuangan Agraria 373


dan terkuasai, pemimpin dan terpimpin, petani pemilik lahan dan
petani penggarap lahan, serta pemodal dan buruh.
Apa bedanya kontradiksi yang menghuni alam fisik dan alam
sosial?
Butir-butir jagung yang kering menggelembung beberapa
saat setelah dibasahi. Sejumlah massa air meresap ke dalam biji
hingga menggelembungkan biji jagung, ketika kadar air antara
biji dan lingkungan setara maka jagung berhenti menggelembung
(dalam ilmu hayat, proses ini disebut imbibisi). Perbedaan
tekanan udara antara tempat satu dengan tempat lain menjadi
sebab adanya angin, aliran udara ini terhenti ketika tekanan udara
kedua tempat itu setara. Tanpa perbedaan potensial, arus listrik
tak mungkin mengalir dari kutub yang kaya elektron ke kutub
yang miskin elektron, arus terhenti ketika jumlah ion kedua
kutub setara. Bahkan, gravitasi bumi menarik benda-benda yang
semestinya berhambur ke luar bumi akibat perputarannya, atau
bumi semestinya melekat pada matahari karena gravitasi matahari
jauh lebih besar dari bumi. Dalam alam fisik, tanpa kontradiksi tak
ada pergerakan, tanpa pergerakan tiada kehidupan, pergerakan
menjadi syarat kehidupan. Pergerakan akibat kontradiksi
menuju kesetimbangan dinamis pada alam fisik ini, Shifu Mao
menyebutnya bersifat mekanistik. Hukum alam bekerja dalam
alam fisik. Pola umumnya yang lebih kaya memberi yang lebih
miskin.
Tetangga Shifu Mao seorang juragan yang mempekerjakan
banyak buruh dengan upah rendah, sehingga juragan itu menjadi
lebih kaya seiring waktu, sementara para buruhnya semakin
miskin. Tentu saja ada hubungan kontradiksi antara juragan dan
buruh, ada kesenjangan yang tajam di antara keduanya, terdapat
dua kutub yang tegas: kaya dan miskin. Lalu, kenapa juragan tak
berperilaku selaras hukum alam dengan membagi kekayaannya

374 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kepada para buruh? Juragan merasa punya kehendak bebas untuk
membagi atau tidak membagi kekayaan, dan ia memilih untuk
tidak membaginya. Apakah di alam sosial hukum alam yang
bekerja di alam fisik tak berdaya di hadapan kehendak bebas yang
sama sekali bukan materi (murni ide)? Ya. Lalu apa yang harus
dilakukan agar peristiwa di alam sosial selaras hukum alam?
Materialisme Dialektis menawarkan gerak pembalikan situasi yang
kemudian lazim dikenal sebagai perlawanan, perjuangan kelas,
atau revolusi—ibarat bumi yang ‘menolak tunduk sepenuhnya’
pada gravitasi matahari dengan cara menjaga jarak dengannya
dalam lintasan revolusi. Di tangan Materialisme Dialektis,
kehendak bebas produk Idealisme ‘dibajak’3 menjadi daya gerak
menuju keseimbangan dinamis.
Bagi Shifu Mao, Hukum Kontradiksi yang bekerja baik di alam
sosial maupun alam fisik penting untuk disadari sebagai kenyataan
yang abadi dan melahirkan daya gerak. Kontradiksi bukan
semata-mata perbedaan, sebab berbeda tak selalu bertentangan.
Kontradiksi bukan konflik yang usai dengan resolusi, sebab
konflik gejala yang sementara sedangkan kontradiksi abadi. Itulah
mengapa konflik yang muncul dari kontradiksi tidak ada win win
solution, tak dapat diselesaikan dengan mendamaikan dua kutub
yang bertentangan dalam hukum kontradiksi. Perbedaannya
dengan Materialisme non Dialektis, pergerakan menuju

3 Di dalam The 18th Brumaire of Louis Bonaparte (1852), Marx menyatakan bahwa manusia
memang mempunyai kebebasan untuk bertindak, namun tidak bersifat mutlak karena harus
dipraktikkan dalam konteks suatu sejarah dan struktural yang telah diwariskan melalui
pertarungan-pertarungan di masa lalu (lihat Richard Robinson 2012, xxviii). Menurut hemat
saya, pernyataan ini tidak menjangkau alam kesadaran kaum pemodal yang menghisap dan
menjadi sasaran gerak pembalikan situasi oleh kaum proletar. Pernyataan itu diperuntukkan
bagi penganut Materialisme Dialektis, bukan lawan-lawannya. Kaum pemodal enggan
mempraktikkan kehendak bebasnya dalam konteks sejarah dan struktural yang dipikirkan
oleh Marx, mereka memilih untuk merawat situasi yang menguntungkan posisinya meskipun
prasyarat-prasyarat revolusi tumbuh subur. Penciptaan ruang produksi baru dan model
penghisapan mutakhir dengan ragam bentuknya, yang mendahului sejarah dan struktural
warisan zaman, merupakan contoh nyata hal tersebut. Maka, dalam Idealisme, kehendak
bebas manusia dapat dilekatkan atau tidak sama sekali dengan konteks sejarah dan struktural
dari zaman ke zaman. Dalam posisi serba nisbi ini, kehendak bebas Idealisme sudah
sepantasnya dibajak sebagai alat gerak pembalikan situasi.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 375


keseimbangan dalam Materialisme Dialektis tidak diserahkan
pada takdir. Sebab, takdir sesungguhnya ada di dalam upaya
manusia, ia tak jatuh dari langit ketujuh.
Bagaimana dengan lelaki dan perempuan, imam dan makmum,
kepala suku dan anggota suku dalam masyarakat tribal? Apakah
selalu terjadi hubungan pertentangan di antara kedua kutub itu?
Tak selalu, kecuali satu pihak menentukan kelangsungan hidup/
keberadaan pihak lainnya. Tata kelola yang mengatur pembagian
sumber penghidupan bagi banyak orang inilah yang menjadi kajian
ekonomi politik. Hubungan kontradiksi dicirikan dengan adanya
hubungan ekonomi politik. Kontradiksi dalam Materialsme
Dialektis tak lain buah dari hubungan ekonomi politik.
Imam dan makmum yang sedang menjalankan ritual di dalam
surau tidak berhubungan secara ekonomi politik, meskipun
makmum harus patuh sepenuhnya pada imam. Ketika keluar
surau seusai ritual, boleh jadi hubungan ekonomi politik itu hadir
dalam kehidupan mereka, karena salah satu pihak menentukan
hajat hidup lainnya. Maka, kontradiksi lahir. Ketika seorang
lelaki, suami, kepala keluarga, penopang ekonomi rumah tangga
memperlakukan isterinya sebagai pihak yang harus patuh karena
bukan penopang ekonomi, maka hubungan ekonomi politik itu
ada sekalipun dalam skala rumah tangga. Sehingga, kontradiksi
lahir. Ketika lelaki masih menentukan apapun, termasuk
identitas dan hidup perempuan, dengan caranya yang khas itu
(kaum feminis menyebutnya sistem patriarki), maka itu artinya
kontradiksi belum berakhir. Tentu, ekonomi politik sebagai ciri
kontradiksi akan lebih mudah ditemukan pada hubungan antara
majikan dan asisten rumah tangga, pemodal dan buruh di sebuah
pabrik, jenderal dan kopral di sebuah satuan angkatan bersenjata,
pemerintah dan rakyat dalam negara. Ekonomi politik dalam

376 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
zaman modal secara khusus menjadi perhatian Materialisme
Dialektis karena ia menjadi jantung peradaban.
Dalam tubuh angkatan bersenjata di suatu negara yang sarat
bisnis militer, dalam tubuh rumah tangga yang mana suami
dominan dalam segala hal terhadap anggota keluarga, dalam
tubuh partai atau organisasi yang elitis di mana pimpinan/senior
adalah panutan yang dipatuhi dan anggota/kader adalah manutan
yang mematuhi, maupun dalam tubuh sosial dan kebudayaan
yang patriarkis kadang kala tak selalu terjadi gerak perlawanan
internal meski terdapat kontradiksi di dalamnya. Lalu, apa syarat
kontradiksi menjadi daya gerak? Kesadaran bahwa ketimpangan-
ketimpangan itu adalah masalah, Shifu Mao menyebutnya sebagai
kesadaran kelas tertindas atas penindasan yang dialaminya, yang
bersumber dari hubungan ekonomi politik yang menghisap
(eksploitatif) dan diawetkan oleh kelas penindas. Pengawetan
penindasan itu bisa juga dilakukan oleh kelas tertindas dengan
cara enggan sadar dan ogah melawan, merawat ketakutan, atau
pasrah pada takdir yang tak kunjung hadir. Ikhtiar menjadi
wajib bagi setiap penganut Materialisme Dialektis. Bagi mereka,
kesabaran ialah usaha tiada henti, bukan menyerah pada keadaan.
Di sinilah, hubungan ekonomi politik yang melekat pada
hukum kontradiksi (yang bekerja dalam tubuh sosial) dan
kesadaran kelas menjadi dasar untuk menilai apakah suatu gejala
ketimpangan, pertentangan atau perbedaan memenuhi syarat
menjadi revolusi. Apabila ekonomi politik atau kesadaran kelas
absen, maka revolusi kemungkinan besar tak terjadi.
Menurut penilaian non penganutnya, Materialisme Dialektis
mendukung positivisme, pro modernisme, pro industri, serba
dwi kutub (oposisi biner) atau dwi warna (spektrum hitam putih)
hingga meniadakan alternatif cara pandang ketiga atau posisi
antara, linier dan strukturalis, politis dan eklektik (mencomot

Gerakan dan Perjuangan Agraria 377


konsep-konsep yang sekiranya menguntungkan posisinya),
bersyahwat pada dominansi/rawan menjelma fasisme, bangunan
konsepsinya menyederhanakan persoalan yang kompleks, penuh
sengketa sejak dalam pikiran, tidak memberi ruang bagi imajinasi,
terbatas dalam kondisi zaman modal, menutup penggolongan
kelas non ekonomis, dan berlebihan dalam memperlakukan
materi. Barangkali, bahasa dan seni merupakan wilayah yang
menantang bagi Materialisme Dialektis, karena bahan baku bahasa
dan seni bukan materi. Kritik terhadap Materialisme Dialektis
tidak salah sama sekali, sebab kenyataan di dunia memang tidak
pernah harmoni dalam hukum kontradiksi.

Dinamika Perjuangan Agraria di DIY dalam Falsafah Shifu


Mao
Meminjam falsafah Shifu Mao, yaitu Hukum Kontradiksi
dalam masyarakat, saya akan memeriksa ulang watak hubungan
sosial dalam komunitas-komunitas penyintas konflik agraria.
Dan meminjam falsafahnya mengenai Praktik, saya akan mencoba
untuk mengoreksi kembali pengalaman saya secara mendasar,
sependek saya berkecimpung langsung dalam persoalan
yang dihadapi komunitas-komunitas tersebut, demi merintis
perbaikan di kemudian hari. Adapun gerakan perlawanan dari
komunitas-komunitas yang dijadikan studi kasus dalam tulisan
ini statusnya telah terhenti sama sekali atau vakum tak bernyawa,
per tahun 2017. Sehingga, tulisan ini tidak me-mummi-kan atau
memuseumkan sesuatu yang masih hidup, namun mengautopsi
jasad komunitas berlawan untuk membangun celah-celah baru
perlawanan.
Ruang lingkup DIY baik secara geografi, ekonomi, politik,
sosial, dan budaya dimulai sejak 1755, yaitu ketika Kesultanan

378 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Yogyakarta didirikan oleh VOC dan Sultan Hamengku Buwono I
diangkat olehnya.
Kelahiran Kesultanan Yogyakarta, sebagai pusat tata nilai;
kekuasaan; dan identitas, selaras dengan maksud dan tujuan
VOC yang diteruskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
keduanya penjajah, pelaku kolonialisme. Demikian pula,
Kadipaten Pakualaman yang muncul di era pendudukan Inggris.
Sumber daya alam, termasuk tanah, dalam penguasaan rakyat
secara fisik, namun secara politik rakyat tunduk pada Bupati yang
patuh pada Sultan, Sultan taat pada penjajah. Apa yang tampak
sebagai feodalisme di DIY bukan feodalisme yang sesungguhnya
(yang umum dipahami sebagai tatanan prakapitalis yang lepas
dari kepentingan zaman modal). Feodalisme di DIY merupakan
perantara bagi peternakan modal melalui kolonialisme. Sehingga,
zaman modal sudah melatari wajah Yogyakarta sejak ia dilahirkan.
Kolonialisme memerlukan ruang baru untuk menghasilkan
barang dagangan, upaya itu menceraikan rakyat dari tanah yang
digarapnya. Eyang Marx menyebutnya Akumulasi Primitif. Zaman
modal bertahan hampir tiga abad kemudian, kini Kolonialisme
berganti rupa menjadi Keistimewaan DIY, menghadirkan
Akumulasi Primitif melalui Perampasan—[Primitive]
Accumulation by Dispossession; istilah ini dikembangkan oleh
David Harvey (2003)4, yang menyebabkan setiap jengkal Tanahmu
Bukanlah Milikmu!5
Bahkan, Keistimewaan DIY dibangun dari imajinasi bahwa
Yogyakarta ialah negara yang merdeka dan berdaulat dari
penjajahan (Sabdatama Hamengku Buwono X, 10 Mei 2012),
imajinasi ini mengingkari bukti-bukti sejarah yang tercantum
dalam akta kelahiran Kesultanan Yogyakarta, yaitu: Perjanjian

4 David Harvey. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
5 www.selamatkanbumi.com//id/tanahmu-bukanlah-milikmu

Gerakan dan Perjuangan Agraria 379


Giyanti 1755, yang didahului Perjanjian Ponorogo 1749, dan
dilengkapi dengan Perjanjian Klaten 1830 serta Perjanjian
Hamengku Buwono IX dengan Belanda 1940. Demikian pula
Kadipaten Pakualaman yang diikat dengan Perjanjian Paku Alam
I dengan T S.Raffles 1813. Artinya, Keistimewaan DIY lahir dari
pemalsuan dan penggelapan sejarah; sehingga, Keistimewaan DIY
Pada Mulanya adalah Dusta6.
Konflik agraria dalam wujud perampasan tanah, baik tanah
negara maupun tanah warga, mewarnai Keistimewaan DIY,
melibatkan berlapis-lapis aktor dengan peran dan kepentingan
masing-masing:
1. Kesultanan Yogyakarta (Panitikismo) dan Kadipaten
Pakualaman
Kesultanan dan Pakualaman yang dibentuk pada zaman
kolonial sejatinya subyek hukum yang berbeda dari Kesultanan
dan Pakualaman yang dibentuk melalui UU Keistimewaan
DIY. Kesultanan produk Giyanti 1755 dan Pakualaman produk
Perjanjian PA Rafles 1813 berbentuk badan hukum swapraja, di
bawah kedaulatan penjajah, dan tidak mempunyai hak milik
atas tanah karena wilayah kekuasaannya berstatus pinjaman,
serta sudah berakhir pada 1945 dengan Amanat 5 September
1945 yang dideklarasikan oleh pemimpin kedua badan hukum
swapraja itu. Penegasan posisi pemerintah DIY—yang tunduk
pada NKRI, berbeda dari Kesultanan dan Kadipaten—yang
bukan lagi berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan,
ditegaskan dalam UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan
DIY dan Peraturan Daerah DIY No 5 Tahun 1954 tentang Hak
atas Tanah di DIY.

6 a) www.selamatkanbumi.com//id/pada-mulanya-adalah-dusta-bagian-pertama/
b) www.selamatkanbumi.com//id/pada-mulanya-adalah-dusta-bagian-kedua/

380 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Kesultanan dan Pakualaman produk UU Keistimewaan DIY
di bawah kedaulatan NKRI, berbentuk badan hukum swasta
dalam fungsi warisan budaya (Badan Hukum Warisan Budaya,
BHWB) sehingga memungkinkan menjadi subyek hak milik
atas tanah, dan baru lahir tahun 2012. Pemimpin kedua BHWB
ditetapkan sebagai Gubernur (Sultan) dan Wakil Gubernur
(Paku Alam). Khusus Kesultanan, ketika menjabat sebagai
Gubernur DIY Herjuno Darpito bergelar Hamengku Buwono
X (berdasar Perjanjian Giyanti 1755) dan ketika menjabat
sebagai Sultan ia bergelar Hamengku Bawono Ka-10 (berdasar
Sabda Raja 2015).
Selain sebagai kepala daerah, posisi Sultan dan Paku Alam
juga sebagai pemimpin kebudayaan dan pebisnis. Catatan
mengenai kerajaan bisnis yang terkait Kesultanan dan
Pakualaman sudah ditulis oleh Richard Robinson (2012)7
dan George Junus Aditjondro (2011)8. Kepentingan ekonomi
politik Kesultanan dan Pakualaman dalam Keistimewaan DIY
adalah kepemilikan atas tanah di seluruh DIY dan kontrol
terhadapnya melalui tata ruang. Tanah-tanah yang dimiliki
oleh Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman disebut Tanah
Kasultanan (Sultanaat Grond, SG) dan Tanah Kadipaten
(Paku Alamanaat Grond, PAG), pengertian dan batasannya
tertuang dalam Peraturan Daerah Istimewa DIY No 1 Tahun
2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan
dan Tanah Kadipaten.
Sebelum UU Keistimewaan DIY diterbitkan, pihak yang
menggunakan tanah-tanah yang dianggap sebagai SG
maupun PAG diwajibkan memegang surat pinjam pakai

7 Robinson, Richard. 2012. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (Terjemahan


Indonesia: The rise of Capital). Depok. Komunitas Bambu
8 Aditjondro, George Junus. SG dan PAG Penumpang Gelap RUUK (epilog) dalam Warso Gurun
(ed). 2013. Menanam Adalah Melawan. Yogyakarta: Paguyuban Petani Kulon Progo-Tanah Air
Beta

Gerakan dan Perjuangan Agraria 381


yang disebut Kekancingan, yang diterbitkan oleh Panitikismo
(lembaga pertanahan Kesultanan/Pakualaman) untuk
tanah-tanah SG atau PAG yang disebut Magersari, meskipun
sertipikat hak milik sebagai dasar dari Kekancingan ini tidak
ada karena Kesultanan dan Pakualaman bukan subyek hak
atas tanah. Di pedesaan, Kekancingan biasanya dimohonkan
oleh masyarakat kepada Kepala Desa dan diterbitkan olehnya.
Pajak dari Kekancingan masuk ke kelurahan. Tidak jarang,
tanah-tanah tidak bertuan, yang dianggap sebagai SG atau
PAG (menurut aturan warisan Kolonial, yaitu Rijksblad van
Kasultanan No 16 Tahun 1918 dan Rijksblad van Kadipaten
Pakualaman No 18 Tahun 1918) atau disebut tanah negara
(menurut konstitusi RI dan UU Agraria RI), diperjual belikan
oleh oknum kepala atau perangkat desa. Panitikismo adalah
lembaga swasta eksekutor lapangan praktik Accumulation by
Dispossession di DIY, memanfaatkan jejaring abdi dalem dan
para makelar tanah.
2. Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dan Dinas Pertanahan dan
Tata Ruang (Dispertaru)
Pemda DIY berperan sebagai pelaksana Keistimewaan DIY,
termasuk pengelola Dana Keistimewaan bersumber APBN
yang digunakan untuk membiayai inventarisasi, identifikasi,
dan sertifikasi SG dan PAG bagi BHWB. Dinas Pertanahan dan
Tata Ruang bertugas menginventarisasi dan mengidentifikasi
tanah-tanah yang dianggap sebagai SG dan PAG, meliputi:
Tanah yang terkait dengan kepentingan warisan budaya
BHWB (disebut Tanah Keprabon), Tanah Desa; Tanah yang
digunakan masyarakat atau institusi dengan atau tanpa
kekancingan; dan Tanah yang belum digunakan, tiga jenis
terakhir disebut Tanah Non Keprabon. Menurut laporan
Dispertaru, hingga tahun 2015 tercatat Tanah non Keprabon
yang sudah disertifikatkan seluas 26.879,58 ha (45.323 bidang,

382 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
2.867 Sertipikat Hak Milik). Dinas ini dibentuk Pemda DIY
untuk melayani kepentingan Kesultanan dan Kadipaten
dalam hal inventarisasi, identifikasi, dan mendaftarkan
tanah-tanah yang akan dimiliki dengan status SG atau PAG
kepada lembaga pertanahan negara, melengkapi tugas BPN
yang berada di bawah kewenangan menteri Agraria dan Tata
Ruang. Dalam Accumulation by Dispossession, Dispertaru
adalah eksekutor lapangan berlabel negara.
3. Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Wilayah BPN DIY,
dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
BPN bertugas melegitimasi SG dan PAG dengan menerbitkan
Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama Kasultanan atau
Kadipaten Pakualaman. BPN tidak berhubungan secara
struktural dengan Gubernur karena BPN perpanjangan
dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Namun, BPN
di DIY dalam praktiknya patuh pada Gubernur DIY atau
kepada Sultan Hamengku Bawono ka-10 sebagai raja karena
terdapat relasi Politik Patrimonial antara raja dengan para
pejabat struktural NKRI di DIY, melalui relasi Sultan-Abdi
Dalem. Arie Yuriwin, SH atau Kanjeng Raden Tumenggung
(KRT) Nyi Kismo Manggalawati, mantan Kepala BPN
Kantor Wilayah DIY adalah abdi dalem Sultan, demikian
pula mantan Kepala BPN RI Hendarman Supandji. Ketika
Hamengku Buwono tidak bisa memerintah pejabat negara
RI dalam kedudukannya sebagai kepala daerah, maka ia bisa
memerintah abdi dalemnya dalam kedudukannya sebagai
Sultan. Abdi Dalem Sultan tidak hanya meliputi pejabat
struktural BPN tetapi juga Bupati hingga kepala dusun,
kepala kejaksaan, akademisi, pegiat LSM, pelaku bisnis dan
pejabat militer/kepolisian.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 383


Politik patrimonial ini terpelihara sejak masa Hamengku
Buwono IX. Dampak dari tradisi politik ini ialah patronase
(relasi panutan-manutan) yang tidak pada tempatnya,
misalnya enggan membedakan kedudukan Sultan HB
X sebagai Gubernur dan Raja, seolah keduanya sama,
lengkap dengan legitimasinya masing-masing yang dapat
dipertukarkan.
4. Keluarga Besar (trah) keturunan Sultan Hamengku Buwono
ke-7
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono ke-7,
untuk menghemat biaya daftar sipil (termasuk gaji Sultan),
atas persetujuan Pemerintah Hindia Belanda, Rijksblad
van Kasultanan No 16 Tahun 1918 sebagai dasar hukum SG
diterbitkan; demikian pula Rijksblad van Pakualaman No 18
Tahun 1918 sebagai dasar hukum PAG. Isi kedua Rijksblad itu
sama:
Sakabehing bumi kang ora ana tandha yekti kadarbe ing liyan
mawa hak eigendom dadi kagungane karaton Ingsun (semua
tanah yang tidak disertai bukti kepemilikan tanah menurut
hak eigendom menjadi milik kerajaanku).
Hak Eigendom adalah Hak Milik menurut Agrarische
Wet 1870. Artinya, tanah-tanah pada masa itu yang tidak
bersertipikat Hak Milik diklaim sebagai milik Kesultanan
atau Pakualaman, termasuk tanah dengan status Recht van
Opstal (kini Hak Guna Bangunan), Recht van Gebruik dan
Bruikleen (kini Hak Pakai, di pedesaan lazim disebut hak
Anggadhuh dan hak Anganggo), dan Erpacht (kini Hak Guna
Usaha). Logika ini menyimpang dari logika hak kepemilikan
(Property Rights) bahwa suatu pihak dinyatakan sah memiliki
suatu benda apabila ia mempunyai tanda bukti kepemilikan

384 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
atas benda tersebut; tanda bukti mendahului klaim, bukan
klaim mendahului tanda bukti.
Terdapat dua istilah SG yang berbeda makna namun sering
dipertukarkan karena ketidaktahuan masyarakat atas
pengertian masing-masing, yaitu Sultanaat Grond dan Sultan
Grond (disebut pula Grant Sultan dalam UU Agraria RI).
Sultanaat Grond merujuk pada pengertian tanah institusi
Kesultanan berdasarkan Rijksblad van Kasultanan No 16
Tahun 1918, bukan tanah individu Sultan, sehingga tidak
dapat diwariskan, dan statusnya hapus menjadi tanah negara
menurut Diktum IV UU Agraria RI. Sultan Grond merujuk
pada tanah hak milik individu Sultan (eigendom), yang bisa
diwariskan maupun diperjual-belikan, dan dapat dikonversi
menjadi Hak Milik menurut UU Agraria RI sebelum 1980,
lewat tenggat 1980 Sultan Grond beralih menjadi tanah
negara. Hal serupa terjadi pada penyebutan PAG untuk
merujuk Paku Alamanaat Grond (tanah insitusi menurut
Rijksblad van Kadipaten Pakualaman Tahun 1918) dan Paku
Alam Grond (tanah eigendom Adipati Paku Alam menurut
Agrarische Wet).
Istilah Sultan Grond (tanah Sultan, Kagungan Dalem)
maupun Paku Alam Grond sering digunakan daripada istilah
Sultanaat Grond maupun Paku Alamanaat Grond untuk
merujuk maksud tanah Kasultanan maupun tanah Kadipaten
di seluruh DIY, terkecuali penggunaan istilah Sultan Grond
atau Paku Alam Grond terhadap tanah-tanah tersebut
memang dimaksudkan oleh Sultan atau Adipati Paku Alam
untuk menjadikannya sebagai tanah pribadi mereka.
Keluarga besar (trah) Sultan Hamengku Buwono ke-7
memaknai SG sebagai Sultan Grond semata, dengan
argumentasi bahwa Rijksblad van Kasultanan No 16 Tahun

Gerakan dan Perjuangan Agraria 385


1918 diterbitkan oleh Sultan Hamengku Buwono ke-7,
individu yang mewakili Kesultanan. Dengan demikian, para
ahli waris itu merasa mempunyai hak milik atas tanah-tanah
yang diatur berdasarkan Rijksblad van Kasultanan No 16
Tahun 1918.
5. Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat berkepentingan terhadap percepatan
dan perluasan modal melalui Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) atau
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Kedua agenda itu membutuhkan ruang produksi baru yang
luas dan murah, atas nama kepentingan umum.
Telaah kritis terkait pertanahan DIY dalam konteks Keistime-
waan DIY dapat disimak dalam Antoro (2015)9. Selaras catatan
Dian Yanuardy (2012, 2014)10, Keistimewaan DIY berperan da-
lam penyediaan ruang produksi baru yang luas dan murah bagi
proyek-proyek MP3EI atau RPJMN, yang menyebabkan konflik
agraria antara masyarakat dengan aktor-aktor tersebut di atas.
Berikut komunitas-komunitas yang menghadapi konflik agraria
di DIY:

9 Kus Sri Antoro. 2015. Analisis Kritis Substansi dan Implementasi UU No 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY dalam Bidang Pertanahan. Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, Vol 1, No
1, Mei 2015, STPN Yogyakarta.
10 a) Yanuardy, Dian. 2014, Bara Di Tanah Raja: Proses dan Mekanisme Proyek Perampasan
Tanah dan Perlawanan Petani Pesisir di Yogyakarta. Working Paper Sajogo Institute
b) Yanuardy, Dian. 2012. Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land
Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia. International Conference
on Global Land Grabbing II October 17‐19, 2012 Land Deals Politics Initiative (LDPI),
Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, New York. https://www.
academia.edu/12288247/Commoning_Dispossession_Project_and_Resistance_A_Land_
Dispossession_Project_for_Sand_Iron_Mining_in_Yogyakarta_Indonesia

386 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
A. Komunitas Tionghoa
Siapa sangka kode staatsblad dalam catatan sipil WNI
menentukan apakah seseorang diperbolehkan atau tidak untuk
mempunyai hak milik atas ruang hidup di DIY?
Pemerintah Hindia Belanda di zaman kolonial yang sarat
modal itu membagi penduduk dalam kelas-kelas berdasarkan ras,
etnis dan agama, dengan kode staatsblad tertentu. Bagi penduduk
ras dan etnis Eropa dan Indoeropa, berkode 1849; bagi penduduk
Timur dan Timur Jauh (Tionghoa, India, Arab dsb), berkode
1917; bagi penduduk yang digolongkan Pribumi beragama Islam,
berkode 1920; bagi penduduk yang digolongkan pribumi Katholik
atau Kristen, berkode 1933; bagi penduduk yang digolongkan
pribumi non Islam dan non Katholik/Kristen berkode NON
STBLD. Apakah yang berkode 1920 pasti lebih miskin daripada
yang berkode lainnya? Tidak, begitu pula sebaliknya. Sultan Jawa
tentu berkode 1920, dan ia sangat lebih kaya daripada takmir gereja
yang berkode 1933, atau pedagang asongan berkode 1917, atau
Kasta Sudra di Bali yang berkode NON STBLD. Artinya penduduk
yang digolongkan sebagai non pribumi tidak berarti lebih kaya
daripada yang digolongkan sebagai pribumi, mereka yang
digolongkan non pribumi hanya dianggap asing dan diasingkan.
Siapa sangka penggolongan identitas penduduk berdasarkan
ras dan etnis itu masih dipertahankan dalam akta kelahiran hingga
zaman pascakolonial ketika semua WNI, tanpa dibedakan suku
ras agama dan asal-usul (SARA), mempunyai hak dan kewajiban
yang sama?
Keberadaan etnis Tionghoa di nusantara jauh lebih dulu
daripada umur Kesultanan Yogyakarta, bahkan kerajaan Mataram
Islam di Jawa. Menurut catatan sejarah, Sultan Demak putra dari
perempuan Tionghoa. Bahkan, dalam perhelatan melawan Sabda
Raja pada 2015, salah seorang adik Sultan Yogyakarta mengakui

Gerakan dan Perjuangan Agraria 387


bahwa kakaknya keturunan Tionghoa dari jalur ibunya, sedangkan
dirinya keturunan Arab. Makna dari saling silang etnis dan ras
dalam pusat kekuasaan Jawa ini ialah identitas Jawa tidak tunggal.
Jawa tidak bisa ditafsirkan semata-mata menurut kepentingan
kekuasaan dominan.
Didukung berbagai argumen di seputar isu nasionalisme
dan Keistimewaan DIY, Surat Instruksi Kepala Daerah DIY No
K898/I/A/1975 (selanjutnya disebut Instruksi 1975) yang melarang
pemberian hak milik tanah bagi WNI Non pribumi dipertahankan
pemberlakuannya dan dikukuhkan keberadaannya, baik oleh
Pemerintah Daerah DIY; BPN Kantor Wilayah DIY; Kantor
Pertanahan kabupaten dan kota dan Menteri Agraria 2015.
Akibat surat itu, WNI yang aktanya berkode 1917 dan 1849
dilarang mempunyai hak milik atas tanah di DIY dengan alasan
memberi kesempatan bagi pribumi miskin. Namun, kebijakan
ini tidak berlaku bagi etnis Arab yang dianggap sebagai pribumi
karena diasumsikan sebagai muslim. Tidak peduli istilah WNI
Non Pribumi atau WNI Keturunan Asing tidak ada dalam UU
Kependudukan yang berlaku, tidak dikenal dalam UU Agraria,
dan pemberlakuan Instruksi 1975 itu melanggar UUD NRI
1945 pasal 28; UU HAM; UU Penghapusan Diskriminasi Etnis
dan Ras; dan UU Keistimewaan DIY. Komisi Nasional HAM RI
sudah dua kali memberikan rekomendasi kepada Gubernur DIY
untuk mencabutnya atau menyatakannya tidak berlaku, namun
diabaikan. Keputusan Mahkamah Agung atas uji materi terhadap
Instruksi 1975 ialah Instruksi 1975 tidak termasuk perundang-
undangan sehingga tidak dapat dilakukan uji materi terhadapnya.
Keputusan Mahkamah Agung atas PTUN terhadap Instruksi 1975
menyebutkan Instruksi 1975 bukan termasuk kebijakan sehingga
tidak dapat digugat melalui PTUN. Meskipun bukan perundang-
undangan dan kebijakan, Instruksi 1975 diberlakukan selama
lebih 40 tahun di seluruh DIY.

388 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Berdasarkan etnisitasnya, 3.594.854 jiwa penduduk DIY
terdiri atas 3. 331. 355 jiwa (suku etnis Jawa); 23.752 jiwa (etnis
Sunda); 3.567 jiwa (etnis Papua); 15.430 jiwa (etnis Melayu);
11.545 jiwa (etnis Tionghoa); 2.152 jiwa (etnis asing/Warga Negara
Asing); sisanya etnis-etnis lain nusantara yang diimajinasikan
sebagai orang asli/bukan etnis asing (BPS 2010). Tidak terlaporkan
rasio kelas sosial (kaya:miskin) dari WNI yang digolongkan Non
Pribumi di DIY (akta kelahiran berkode 1849 dan 1917). Dinamika
perjuangan ruang hidup terkait Instruksi 1975 mengemuka di
kalangan etnis Tionghoa.
Menurut FX Harsono11 (wawancara pribadi, 2017), ada dua
istilah untuk menyebut Tionghoa dalam kultur Jawa, yaitu Babah
dan Singkek. Babah adalah mereka yang sudah lima generasi di
nusantara, berpendidikan rendah, tak bisa berbahasa Tiongkok,
membaur bersama yang miskin karena sesama kelasnya. Singkek
adalah mereka yang baru tiga generasi, umumnya klan Hakka dan
berhimpun, berpendidikan tinggi, mampu berbahasa Tiongkok,
kelas mapan dan berorientasi ekonomi. Sulit untuk menemukan
Tionghoa miskin dalam perhimpunan Tionghoa di DIY, bahkan
mungkin tidak ada. “Dalam kultur kami, Tionghoa miskin tak
diakui sebagai Tionghoa karena memalukan”, ujar HJ (64) seorang
Tionghoa Kelas Menengah yang pernah saya bersamai dalam
perjuangan diskriminasi ras dan etnis di DIY.
Penyintas diskriminasi etnis dan ras yang berakibat
pada hapusnya hak atas ruang hidup ini berasal dari Kelas
Menengah, bukan Kelas Miskin dan Kelas Konglomerat. Sikap
dan pertimbangan ketiganya berbeda-beda mengenai perlu atau
tidak menggugat Instruksi 1975 demi memperoleh hak atas ruang
hidup yang dijamin UU. Komunitas ini mempunyai alat bukti

11 Seniman pelaku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang menggeluti tema kekerasan dan
etnisitas

Gerakan dan Perjuangan Agraria 389


pelanggaran HAM yang dilakukan Gubernur DIY, inilah alasan
kenapa komunitas ini kemudian diterima dalam pusaran gerakan
agraria DIY.
Kelas Konglomerat mempunyai aset di banyak tempat
termasuk di DIY dalam skala besar, menguasai konsesi ekonomi
raksasa di DIY dan pengaturan bisnis di kalangan Tionghoa,
penguasa perhimpunan Tionghoa, mempunyai akses jaringan
bisnis ke luar negeri, serta dipercaya oleh pusat kekuasaan lokal.
Mereka mementingkan kelangsungan bisnis skala raksasa dan
hubungan baik dengan penguasa lokal, keguncangan politik lokal
akan mengganggu stabilitas bisnis mereka. Bagi mereka menyintas
hak atas ruang hidup dengan cara melawan diskriminasi etnis dan
ras tidak perlu karena akan mengganggu relasi kekuasaan dan
stabilitas bisnis. Kelas konglomerat dapat menghindari kerusuhan
dan menyelamatkan modal keluar daerah. Andai Instruksi 1975
dicabut maka mereka yang paling diuntungkan karena seluruh
asetnya resmi menjadi miliknya dengan tanda bukti kepemilikan
(Sertipikat Hak Milik Tanah).
Kelas Miskin hidup dari ekonomi informal dan berpenghasilan
kecil, tidak memiliki aset, tidak terhimpun dalam organisasi
Tionghoa, dan rentan perlakuan diskriminasi oleh etnis mayoritas.
Bagi mereka dapat menjalani hidup tanpa diskriminasi etnis lain
sudah sangat menguntungkan, memperjuangkan hak atas ruang
hidup dapat meningkatkan kerawanan mereka karena mereka tak
dapat menghindari risiko konflik sosial bernuansa etnis dan ras
di DIY. Artinya, Instruksi 1975 tidak terlalu penting dipersoalkan.
Jika Instruksi 1975 dicabut mereka belum tentu memperoleh
hak atas tanah karena tidak mampu membeli tanah atau tidak
memiliki aset sebelumnya.
Kelas Menengah mempunyai aset di DIY dan tidak terlalu
banyak asetnya di luar DIY, mereka hidup dari bisnis menengah

390 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
seperti ritel, jasa hukum, pengajar, makelar izin, dan properti,
relatif tidak dekat dengan penguasa lokal dan tidak menentukan
percaturan ekonomi di antara Tionghoa, relatif tunduk pada
kepemimpinan Kelas Konglomerat, dan tetap rawan mengalami
diskriminasi dari etnis mayoritas dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka bisa menghindari konflik sosial namun risikonya jatuh
miskin. Menggugat Instruksi 1975 berarti menyelamatkan aset
mereka, meskipun mereka akan dihambat oleh sesama Tionghoa
karena memposisikan etnis Tionghoa dalam situasi tidak aman
secara ekonomi, sosial, dan politik.
Peristiwa Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya (tepatnya
di DIY) dilaporkan secara lengkap oleh Majalah Pers Mahasiswa
Ekspresi Edisi XXIX/Tahun XXIV/November 2016.
Siapakah yang paling berkepentingan atas pencabutan
Instruksi 1975? Kelas Menengah secara terbuka dan Kelas
Konglomerat secara diam-diam dengan cara menunggu
kemenangan Kelas Menengah.
Siapakah yang paling berhak atas pencabutan Instruksi 1975?
Kelas Miskin karena mereka paling rentan. Hal ini sejalan dengan
amanat UU Agraria untuk mendahulukan kaum miskin dalam
penguasaan/pemilikan tanah, serta pembatasan penguasaan/
pemilikan tanah bagi kaum kaya.
Apakah gerakan Kelas Menengah Tionghoa menyasar
pula untuk kepentingan Kelas Miskin? Tidak sebab semangat
utamanya penyelamatan aset ketimbang pemerataan kesempatan/
distribusi kesejahteraan, nalar yang digunakan adalah nalar
Kelas Menengah, strategi yang ditempuh dengan lobi atau
memercayakan pada kebaikan politisi, serta tidak berbasis massa.
Ada aliansi strategis dengan Komunitas Gumuk Pasir (yang akan
saya urai kemudian) yang berbasis massa Kelas Miskin, namun
aliansi ini sekedar untuk mamanfaatkan basis massa dari kaum

Gerakan dan Perjuangan Agraria 391


miskin etnis mayoritas. Tawaran saya untuk menggandeng Kelas
Miskin Tionghoa tidak diterima; begitu pula, ide aliansi untuk
membangun jejaring ekonomi dengan kelompok berbasis massa
Kaum Miskin dalam lingkar aliansi ditolak Kelas Menengah
Tionghoa. Artinya, kolaborasi lintas kelas sosial tidak memenuhi
prasyarat bagi perubahan yang lebih baik, terutama bagi Kelas
Miskin. Solidaritas politik yang rawan intrik kepentingan sesaat
tidak sama dengan solidaritas sosial yang membangun kekuatan
massa.

B. Komunitas Gumuk Pasir


Catatan awal mengenai perjuangan Komunitas Gumuk Pasir
di sekitar 1990-an, tentang proyek megawisata di tepi pantai
selatan, yang berbuntut pada skandal HAM: jurnalis Udin Dibunuh
karena Berita12. Cerita megaproyek itu lalu terhenti.
Menurut cerita setempat, kawasan gumuk pasir sudah dihuni
manusia sejak 1940an. Pemukim awal yaitu penduduk di dusun-
dusun sekitarnya, mereka menganggap diri warga asli. Mereka
penjaga situs-situs peninggalan sejarah Mataram seperti situs
Cepuri, makam Syekh Belabelu dan Syekh Maulana Maghribi.
Lambat laun, kawasan itu diramaikan oleh pendatang karena
aktivitas ziarah di situs-situs tersebut. Lalu, warga pendatang
mulai menetap, menggarap lahan dan membangun pemukiman
sehingga kawasan gumuk pasir menjadi sebuah kampung.
Penduduk asli dihormati oleh pendatang, mereka dapat membuat
keputusan yang memengaruhi hidup para pendatang, misalnya
menyetujui kehadiran pendatang atau mengusirnya.
Beberapa alasan kaum pendatang untuk datang dan menetap
di kawasan itu, antara lain ialah lari dari persoalan di kampung
halamannya dan daya tarik pekerjaan terkait pariwisata yang

12 Anti Tank Project

392 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
mudah dan cepat mendatangkan uang. Mereka tidak dicatat dalam
administrasi sipil dengan alasan mereka pendatang, sehingga
dianggap penduduk liar oleh pemerintah. Kawasan Gumuk Pasir
menjelma habitat baru bagi kaum marjinal dari berbagai daerah,
80 % merupakan penghuni tetap dan sisanya penduduk musiman,
yaitu mereka yang tinggal ketika wisata ramai, dan pergi ketika
wisata sepi.
Menurut sejarah lokal, kawasan Gumuk Pasir disakralkan
karena merupakan lokasi kontemplasi pendiri kerajaan Mataram
di Jawa (moyang Kesultanan Yogyakarta). Proses kontemplasi
ini diwujudkan dengan penyatuan visi pendiri Mataram (lelaki,
manusia) dengan Ratu Laut Selatan (perempuan, simbol alam)
dalam ritual seks. Ziarah ini berkembang menjadi aktivitas
wisata yang pengelolaannya semula oleh warga setempat lalu
diambil alih oleh pemerintah, sebagai atraksi kebudayaan.
Ritual seks yang semula spiritual bergeser maknanya menjadi
rekreasi, melahirkan jenis pekerjaan baru, yaitu pramunikmat.
Hingga 2007, jasa pramunikmat menopang ekonomi warga kecil.
Karena pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul tentang
antiprostitusi, mulai 2010 bisnis jasa kenikmatan tergantikan oleh
bisnis hiburan malam karaoke. Namun, pembersihan paksa bisnis
kenikmatan ini menghadapi perlawanan. Komunitas Gumuk Pasir
membentuk organisasi perlawanan yang agendanya menolak
penggusuran.
Sekitar 2010-2012, sejumlah mahasiswa dalam lingkar Marxis
(berikatan sejarah dengan Partai Rakyat Demokratik) masuk dan
mengorganisasi Komunitas Gumuk Pasir, diantaranya KPO Partai
Rakyat Pekerja; Perempuan Mahardika; Mahasiswa Pembebasan;
dan Partai Perjuangan Rakyat (PPR) yang mana aktivisnya
berafiliasi dengan organisasi Serikat Perempuan Kinasih (SPK)
dan Gema Demokrasi (GEDOR). Organisasi penolak penggusuran

Gerakan dan Perjuangan Agraria 393


merasa dirinya kecil dan lemah, maka ia memanfaatkan semua
momentum bersama lingkar mahasiswa tersebut untuk unjuk
diri, menyuarakan persoalannya kepada publik. Kerjasama
dengan kelompok mahasiswa dengan karakter mobilitas tinggi
menjadi sangat menguntungkan bagi organisasi perlawanan itu.
Wujud pengorganisasian Komunitas Gumuk Pasir tampak sebagai
mobilisasi massa pada perayaan-perayaan tertentu, seperti Hari
Buruh, Hari Tani, Hari HAM, Hari Pendidikan Nasional dan lain-
lain. Aksi massa mereka cepat tanggap, terkoordinasi, solid, masif,
dan terkesan revolusioner. Kelompok mahasiswa ini, meskipun
tidak mengakar, mereka adalah Patron Politik dan Intelektual
yang penting, terutama 2 kelompok terakhir yang mempunyai
peran penting menjelang penggusuran 2016 (2 kelompok pertama
tidak terlibat di lapangan).
Pada 2011, organisasi perlawanan Komunitas Gumuk Pasir
beraliansi dengan 8 komunitas senasib se-Jawa Selatan dalam
wadah Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Seiring
dengan itu, kegiatan pendidikan kader kelompok mahasiswa di
kampung itu berangsur terhenti.
Pada 2012, berbagai kelompok mahasiswa itu meninggalkan
basis eksperimentasi sosial politiknya, tidak terlalu jelas apa
sebabnya. Mulai 2012, lingkar relawan FKMA yang heterogen—di
mana saya berada di dalamnya, lebih sering terlibat dalam kerja-
kerja pendidikan dan penjalinan jaringan sesama komunitas
senasib, dengan langgam inisiasi otonomi. Komunitas Gumuk
Pasir bahkan menjadi pelaku deklarasi pada Kongres FKMA kedua
pada 2012 dan tuan rumah Sekolah Tani pada 2013.
Bercirikan sebagai kelas pedagang sekaligus kaum tertindas,
wajah asli Komunitas Gumuk Pasir sesungguhnya tidaklah
seragam.

394 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pimpinan organisasi perlawanan dikenal cepat belajar dan
pemberani dalam setiap aksi massa, sekaligus lentur terhadap
penguasa. Ia dipilih menggantikan pimpinan sebelumnya yang
radikal dan lugu. Di bawah kepemimpinannya, organisasi penolak
penggusuran cepat mendapat dukungan dari luar dan namanya
membesar. Pada 2013, ia bersama elit-elit organisasi mengambil
kesempatan sebagai penjaga keamanan tambak Induk Koperasi
Angkatan Darat (INKOPAD), yang beroperasi di Kawasan Gumuk
Pasir, dalam kapasitas pribadi. Rombongan itu tidak termasuk
kelompok mapan yang terdiri atas pemilik bisnis karaoke;
peminjam hutang, warga asli, maupun tuan tanah. Karena perannya
sebagai Bapak Pelindung, pimpinan ini menjadi Patron Politik.
Pada acara Sekolah Tani FKMA 2013, keputusan elit-elit Komunitas
Gumuk Pasir untuk mengais remah-remah laba dari tambak
INKOPAD mendapat kritik keras dari komunitas-komunitas
FKMA lainnya, namun kritik itu ditangkal dengan alasan bagian
dari penggalangan dana untuk perjuangan. Kritik itu dilandasi
dua alasan; pertama, tambak merusak ekosistem pertanian lahan
pantai dan menjadi strategi lawan untuk mempercepat tambang
pasir besi di Kulon Progo, mendukung jejaring bisnis serupa
sama saja menghambat perjuangan kawan di tempat lain; kedua,
tambak itu wujud bisnis militer yang menjadi lawan di beberapa
komunitas FKMA, terutama di Kebumen. Kelas belajar FKMA
ini belum berhasil karena faktor pendekatan yang digunakan,
yaitu melepaskan pengetahuan dari praktik keseharian seperti
umumnya pada pendidikan kader gerakan berbasis mahasiswa.
Pada 2014, menurut cerita reflektif pegiat KPO PRP dan
Perempuan Mahardika, pemimpin Komunitas Gumuk Pasir
berafiliasi dengan Partai Gerindra untuk menyukseskan salah
satu calon dalam pemilihan presiden 2014. Setumpuk berkas
dukungan massa ditandatanganinya tanpa sepengetahuan massa,
namun disaksikan oleh aktivis dari Perempuan Mahardika.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 395


Pada 2015, Komunitas Gumuk Pasir bersama relawan FKMA
menginisiasi Forum Darurat Agraria (bukan Jogja Darurat Agraria/
JDA, keduanya entitas yang berbeda). Forum ini merupakan forum
belajar bersama para warga terdampak kebijakan pertanahan
dan tata ruang di DIY, komunitas yang pernah hadir antara lain:
Komunitas Tionghoa, Komunitas Penolak Apartemen dan Hotel,
Seniman Street Art, Komunitas Wong Cubung, di lingkar NGO
ada KARSA (tuan rumah), LBH Yogyakarta, AGRA, dan Combine.
Hasil forum ini ialah bulletin Darurat Agraria Jogja dan lingkar
aliansi 5 komunitas terdampak konflik/kebijakan agraria di DIY
(Aliansi 5 Komunitas DIY) di kemudian hari.
Tahun 2015, melalui organisasi perlawanannya, Komunitas
Gumuk Pasir menjalin komunikasi dengan Komunitas Tionghoa
dan Komunitas Celana Merah (tentangnya, akan diceritakan
kemudian) untuk isu melawan salah satu agenda Keistimewaan
DIY, yaitu perampasan ruang hidup melalui legalisasi Tanah
Kasultanan (Sultanaat Grond, SG) dan Tanah Kadipaten (Paku
Alamanaat Grond, PAG).
Seorang anggota Komunitas Gumuk Pasir, perempuan,
berlatar kelas miskin, disepakati menjadi koordinator Aliansi
5 Komunitas DIY. Koordinator diikat oleh kode etik untuk
mematuhi keputusan forum yang dirumuskan dari keputusan
forum komunitas-komunitas anggota, di lingkar aliansi ini
koordinator sama sekali tidak memiliki wewenang mengambil
keputusan. Rupanya, kedudukan koordinator Aliansi 5 Komunitas
DIY ini menjadi biang kecemburuan “jabatan” pimpinan
Komunitas Gumuk Pasir terhadap anggotanya. Ketika itu elit
Komunitas Tionghoa yaitu LY (65) seorang pelaku bisnis properti;
nasabah-penyintas skandal Bank Century; dan pemain wisata
susur Goa di Gunungkidul, memaksakan kehendak pada Aliansi 5
Komunitas DIY untuk mengikuti agenda Judicial Review (JR) UU

396 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Keistimewaan DIY yang diajukan oleh seorang pengacara Jawa
Timur, mantan aktivis PRD, kader partai Gerindra, dan menurut
informasi dari sumber yang dapat dipercaya ia merupakan utusan
pihak Kesultanan untuk meloloskan puteri Hamengku Bawono
ka-10 menjadi Sultan. Isi draft JR telah dikaji mendalam dan dinilai
lemah serta membahayakan perjuangan, sehingga diputuskan
untuk tidak diikuti. Namun, pimpinan Komunitas Gumuk Pasir
dan elit Komunitas Tionghoa menempuh jalur di luar kode etik
aliansi dengan melobi seluruh pimpinan komunitas, manuver
politik ini dihadang oleh koordinator Aliansi 5 Komunitas DIY
dengan menegakkan kode etik. Kemudian, dalam sebuah rapat
internal yang saya hadiri, pemimpin Komunitas Gumuk Pasir
menyatakan demikian kepada koordinator Aliansi 5 Komunitas
DIY: “Di luar sana kau koordinator. Tapi, ingat, di sini kau
hanya anggota biasa yang harus patuh ketua”. Tampaknya, kelas
menengah juga mewujud sebagai watak kepemimpinan yang asal-
usulnya terjelaskan secara material.
Pembakal bisnis karaoke seorang mantan pramunikmat yang
sukses, pasangan hidup seorang polisi aktif. Terhitung 2015, terdapat
36 kios bisnis karaoke, tempat aman bagi bisnis minuman keras;
jasa perempuan biduan dan sewa kamar; narkotika; terkadang
prostitusi terselubung baik usia dewasa maupun anak-anak.
Media pernah memberitakan operasi tangkap tangan eksploitasi
anak-anak untuk bisnis hitam ini13. Bisnis ini diwadahi Paguyuban
Karaoke yang kini dijabat mantan calon anggota DPRD Salatiga,
pelaku baru yang paling cepat sukses dalam bisnis ini. Perjuangan
organisasi perlawanan sebagian besar dibiayai paguyuban karaoke,
setiap bulan sekurang-kurangnya paguyuban menyumbang kas

13 a) http://jateng.metrotvnews.com/peristiwa/ob3pRxyk-paksa-anak-jadi-psk-pemilik-karaoke-
di-bantul-jadi-tersangka ,
b) http://rimanews.com/nasional/kriminal/read/20160602/284507/Losmen-Parangtritis-
Jajakan-Belasan-PSK-ABG-Tarifnya-Cuma-Rp250-Ribu
c) http://news.okezone.com/read/2016/09/05/510/1481364/ini-tarif-kencan-gadis-pemandu-
karaoke-berusia-belia

Gerakan dan Perjuangan Agraria 397


Rp. 3,5 juta organisasi perlawanan, di luar agenda aksi massa.
Lambat laun, paguyuban mampu membeli keputusan organisasi.
Keberadaan bisnis karaoke penting bagi perekonomian kelompok
miskin yang mengaisi sampah-sampah dari bisnis itu (botol
dan kaleng minuman dan bungkus penganan); bisnis karaoke
menyediakan konsumen untuk bersantap di warung-warung
kaum miskin. Razia terhadap biduan karaoke turut mematikan
usaha kecil kaum miskin. Ketua paguyuban karaoke, mewakili
pelaku bisnis lainnya, menjadi Patron Ekonomi.
Tetangga pembakal karaoke, seorang rentenir yang berhasil
menjadi tuan tanah, dalam arti ia menguasai tanah yang luas di
banyak tempat. Dia mengganti ongkos okupasi tanah dari para
penduduk asli, lalu menjual atau menyewakan kapling-kapling
tanah itu baik untuk pemukiman maupun karaoke. Rentenir
itu menguasai hajat hidup orang-orang tanpa KTP di lokasi itu,
dengan demikian ia menjadi Patron Ekonomi.
Namun, tidak semua penduduk kawasan itu hidup dari
ritual seks; karaoke, bisnis miras dan narkotika, penginapan,
dan tambak udang. Sebagian dari mereka bertani hortikultura
skala rumah tangga; pemulung; pengumpul pandan untuk suplai
bahan mentah industri kerajinan,; dan membuka warung makan
kecil. Hasil survei lapangan kami, rata-rata penghasilan mereka
Rp. 1,5 juta per bulan. Kaum miskin ini bukan faktor penting
pertumbuhan ekonomi di Kawasan Gumuk Pasir, namun mereka
adalah basis massa dari perjuangan politik. Sebab, kaum mapan
enggan menempuh risiko dengan cara menitipkan perjuangan
berupa sejumlah uang.
Kaum miskin ini hidup berdampingan dengan pelaku bisnis
tambak udang milik militer yang berpenghasilan 400 juta/bulan
(bila harga stabil Rp. 80.000 /kg serta panen 20 ton/ha, ada bagi
hasil Rp. 1.500 per kg bagi para penjaga keamanan tambak) dan

398 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
bisnis karaoke yang rerata berpenghasilan 90 juta/bulan. Kelompok
miskin, bisnis militer, dan bisnis hiburan malam itu berada dalam
satu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi Zona
Inti Gumuk Pasir (141,65 ha) oleh pemerintah untuk kepentingan
wisata ATV (All-Terrain Vehicle), Sand Boarding, dan Aero Plane
dan harus bersih dari bangunan pemukiman, kandang ternak,
tambak, dan vegetasi terhitung 1 September 2016 (Setiaji 2016).
Penggusuran itu akan dilakukan terhadap 25 kandang kelompok,
5 parkiran, 1 tambak udang, 1 kafe, 1 kamar mandi, 10 rumah
permanen, 19 rumah semi permanen dan 1 sanggar belajar untuk
anak-anak dari kaum miskin. Dari 33 warga, 1 orang menolak
relokasi dan ganti rugi sebagai konsekuensi perlawanan, lalu
keluar dari organisasi asalnya.
Perbedaannya, ketika terjadi penggusuran, bisnis militer
dan bisnis karaoke masih bisa dipertahankan dengan relokasi
atau modal dialihkan untuk bisnis lain, sedangkan kelompok
miskin tidak sama sekali, mereka harus memulai hidup dari titik
nol. Tanpa penggusuran pun, anak-anak dari keluarga miskin itu
sudah terampas ruang dan kesempatannya untuk tumbuh dan
berkembang baik karena hidupnya dikepung hiburan malam.
Penggusuran membekas sebagai trauma masa kecil yang terus
dibawa, itulah yang dirasakan oleh beberapa remaja dari keluarga
miskin yang mengalami penggusuran 2007.
Pada pertengahan 2016, menjelang realisasi penggusuran,
Patron Politik dan Intelektual hadir kembali ke Komunitas
Gumuk Pasir. Dalam forum elit, mereka merumuskan acara
Panggung Rakyat yang direncanakan mengundang 3 partai politik
dan korporasi tambak udang. Patron Politik dan Intelektual
bersama dengan para elit Komunitas Gumuk Pasir dan Komunitas
Tionghoa membentuk Aliansi Politik di luar Aliansi 5 Komunitas
DIY. Rencana menghadirkan partai politik dan korporasi itu

Gerakan dan Perjuangan Agraria 399


menjadi pertanyaan bagi komunitas lain di lingkar FKMA dan
Aliansi 5 Komunitas DIY (kecuali Komunitas Tionghoa). Upaya
koreksi yang dilakukan relawan FKMA tidak membuahkan hasil,
bahkan mempertajam posisi politik mereka dengan PPR dan
Mahasiswa Pembebasan sebagai sesama pendamping Komunitas
Gumuk Pasir. Panggung Rakyat tetap berlangsung meriah
meskipun hanya dimeriahkan oleh satu dari enam komunitas
undangan, yaitu Komunitas Tionghoa. Seusai acara, Aliansi Politik
menyepakati agenda aksi massa ke Jakarta, sehubungan dengan
agenda GEDOR. Aliansi Politik lintas kelas sosial itu terbentuk
seiring dengan adanya agenda saling memanfaatkan satu sama
lain. Masing-masing mempunyai agendanya sendiri dalam Aliansi
Politik itu.
Komunitas Tionghoa membutuhkan dukungan massa
Komunitas Gumuk Pasir untuk memperoleh hak milik atas tanah.
Mereka tidak berbasis massa, hanya berbasis dana. Elit Komunitas
Gumuk Pasir menyanggupi untuk memberikan 200 tanda tangan
anggotanya kepada Komunitas Tionghoa.
Kelompok PPR/Pembebasan/GEDOR butuh eksistensi untuk
agenda politik gerakan, terutama membangun kepercayaan
antarjaringan yang dekat kekuasaan. Momentum 24 September
2016 akan menjadi kesempatan untuk membangun posisi tawar
dengan Kantor Sekretariat Presiden dan KOMNAS HAM dalam
kasus rencana penggusuran warga Bukit Duri di Jakarta. Mereka
membutuhkan basis massa terbayang yaitu Komunitas Gumuk
Pasir, dan sebaliknya Komunitas Gumuk Pasir membutuhkan
ekskalasi isu penggusuran ke Jakarta (mereka terinspirasi dari aksi
pertama semen kaki 9 Kartini Kendheng).
Mayoritas kelompok karaoke dan penjaga tambak INKOPAD
tidak termasuk kelompok yang tergusur, namun mereka akan
kehilangan rejeki bila tambak digusur. Mereka adalah elit

400 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
organisasi perlawanan yang mampu menggerakkan massa kaum
miskin. Sehingga, dalam situasi senasib dengan sebagian kaum
miskin di kawasan Gumuk Pasir, mereka memanfaatkan tenaga
kaum miskin untuk melawan penggusuran atas nama Komunitas
Gumuk Pasir.
Segelintir pegiat di luar kelompok Aliansi Politik itu
mengingatkan bahaya dari kolaborasi politik lintas kelas yang
palsu, namun Aliansi Politik berjalan terus. Ketika INKOPAD
menyepakati relokasi tanpa melibatkan para penjaga keamanan,
para elit komunitas tersebut bersama dengan penasihat hukumnya
dan Patron Politik dan Intelektual menyepakati tawaran relokasi
dan ganti rugi dari pemerintah yang hendak menggusur (16
November 2016 di DPRD DIY). Penggusuran tetap tak tercegah,
warga kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Di penghujung 2016, Aliansi Politik yang beranggotakan
Komunitas Gumuk Pasir, Komunitas Tionghoa, serta Patron
Politik dan Intelektual berakhir. Penggusuran menyisakan 14 kk
warga miskin yang tergusur, bertahan di lapangan (sebagian masih
tinggal di hunian darurat sejak 14 Desember 2016), terkatung-
katung menunggu janji relokasi dan janji-janji lainnya dari elit
yang pernah memimpin perjuangan.
Di tengah derita warga, jejaring Patron Politik dan Intelektual
mengajukan bantuan Komite Nasional Pembaruan Agraria
(KNPA) bagi korban gusuran dengan cara tidak terpuji, yaitu
mencatut nama anggota kelompok pendamping lain, namun
mencantumkan nomor rekening dari organisasi Patron Politik
dan Intelektual, yaitu SPK. Pengajuan ini ditolak dan diperbarui
atas nama salah satu warga, konon dana itu cair, namun mereka
yang tergusur dan bertahan tidak tahu ada agenda itu serta
tidak menerima wujud sisanya, bahkan pengurus organisasi
perlawanan tidak tahu ada agenda pengajuan donasi itu.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 401


Persoalan ini kini menghangat dan setiap pihak yang terlibat
masih saling lempar tanggungjawab untuk klarifikasi lapangan
dan keterbukaan informasi. Persoalannya bukan: Apakah secara
administratif penyaluran donasi itu sudah sesuai peruntukannya
sebagaimana yang tercatat?, namun sejak dari awal: Apakah
agenda itu dibicarakan secara terbuka dengan warga tergusur dan
penggunaannya diawasi oleh warga, termasuk nasib donasi yang
tersisa? Hal yang lebih penting ialah: Bagaimana hal serupa tidak
terulang di manapun?
Dalam agenda penggalangan dan pengelolaan donasi untuk
warga tergusur di Komunitas Gumuk Pasir, Komite Bersama
Reformasi (KBR) dan Jogja Darurat Agraria (JDA) sudah
memberikan contoh yang baik dan tepat sasaran, meski jumlah
donasi yang mereka peroleh jauh lebih sedikit daripada SPK.
Apakah motivasi elit untuk menolak penggusuran murni
untuk menyelamatkan ruang hidup massa yang tergusur? Jika
jawabannya Ya, maka pertama, pilihan menerima relokasi dan
ganti rugi tidak terjadi, karena kesempatan untuk menang yang
ditawarkan kelompok pendamping lain (lingkar FKMA, KBR, JDA)
yaitu: gugatan atas proyek konservasi di atas Tanah Kasultanan
(tanah privat) tidak berdasar hukum, ditolak oleh para Patron
dengan isu: komunitas lain memecah belah persatuan kesatuan
perjuangan bila tak selanggam strategi para patron. Kedua,
keputusan menyerah itu diambil setelah INKOPAD menerima
tawaran relokasi dan tidak akan melibatkan elit-elit Komunitas
Gumuk Pasir sebagai para penjaga tambak.
Apakah Aliansi Politik Komunitas Tionghoa, Komunitas
Gumuk Pasir, dan Kelompok Patron Politik-Intelektual
membuahkan hasil? Tidak, karena yang terjadi adalah mobilisasi
untuk kepentingan politik masing-masing, bukan penyadaran
apalagi gerakan sosial. Apabila itu merupakan aliansi perjuangan,

402 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
setelah penggusuran semestinya ada gerakan tanding yang terus-
menerus. Buktinya, kini Komunitas Tionghoa dan para patron
itu menghilang. Kelompok yang bertahan di lapangan adalah
kelompok di luar Aliansi Politik itu.
Apakah ada kesempatan bagi Komunitas Gumuk Pasir
untuk bangkit kembali? Komunitas itu hanya dapat bangkit bila
mengambil hikmah dari pengalaman mereka, bahwa gerakan
warga harus dipimpin oleh warga yang mengalami persoalan,
bukan patron-patron yang berkesempatan hengkang bila situasi
tidak menguntungkan. Massa suatu gerakan harus dididik untuk
mengkritisi keadaan, bukan diintimidasi dengan kekuasaan agar
mudah dimobilisasi, hasilnya mobilisasi maksa.
Mengapa kerja dalam rangka membangun otonomi gagal?
Karena model pendidikan yang ditempuh lingkar belajar warga
masih merawat elitisme dan upaya untuk pembersihan elitisme
melahirkan konflik kelas yang masih dinilai merusak persatuan
dan kesatuan mesin gerakan, ketimbang penyegaran.

C. Komunitas Celana Merah


Alkisah, Surti, putri Kepala Desa Kemadang, melarikan diri
dari kawin paksa. Ia menyusuri pantai-pantai di Gunungsewu
lalu menamainya satu persatu, bermula dari pantai Baron hingga
pemberhentiannya di pantai Siung (dari frasa Asihing Biyung,
kasih seorang ibu) di wilayah Desa Purwodadi saat ini, di mana
Surti kemudian didaulat menjadi kepala desa pertama.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, sekitar 1940-an, di desa
Kemadang, beberapa sesepuh dusun membuka lahan garapan
di salah satu pantai. Pantai itu kemudian menjadi penopang
penghidupan warga di tiga dusun. Mereka memancing, mengais
karangan (rumput laut), berburu usal (siput laut) dan kapurita
(gurita), merumput pakan ternak, dan bertani di ladang tadah

Gerakan dan Perjuangan Agraria 403


hujan. Selain itu, mereka juga menggarap lahan sempit (umumnya
berupa terasering, bukan bentangan) di dusun masing-masing dan
berburu belalang untuk bisnis cemilan sebagai hasil tambahan.
Modernisasi pertanian ternyata tak sesuai untuk lahan
sempit. Ongkos bertani lebih banyak daripada penghasilan dari
pertanian. Pupuk, pestisida dan benih harus dibeli. Ketika tiba
panen, mereka harus mengupah buruh. Akhirnya, ladang-ladang
mulai ditinggalkan, bahkan digadai untuk modal usaha.
Mereka berdagang di pantai Baron dan memungut sampah di
Tempat Pembuangan Akhir di kota untuk menambah penghasilan,
memulung jadi profesi favorit terutama generasi muda. Di pantai
yang dibuka leluhur, mereka membuka warung menjajakan
kudapan, menyewakan toilet, dan jasa parkir. Bisnis wisata kecil-
kecilan menggantikan pertanian, menjadi satu-satunya sumber
penghidupan bagi warga di 3 dusun. Kebutuhan sehari-hari
dicukupi dengan membeli.
Hampir seluruh pelaku bisnis di pantai itu menggantungkan
pasokan barang dagangan dari satu sumber, yaitu kepala dusun
tetangga. Ia seorang pemilik dan pengelola bisnis kelontong
yang menyediakan kebutuhan warga dari popok hingga kain
kafan, kebutuhan hidup sepanjang hayat. Ia juga sering menjadi
tumpuan warga yang hendak hajatan besar, semacam jasa event
organizer. Karenanya, ia sangat dipercaya dan dipatuhi sebagai
Patron Ekonomi, meskipun kalah dalam pemilihan kepala desa
2013 dan tampaknya belum menyerah untuk mencoba. Ia juga
berelasi dengan PDIP, partai penaung Ketua DPRD Kabupaten
Gunungkidul, Kepala Dusun tersebut pernah mencoba
mendatangkan politisi PDIP (Ketua DPRD) ke pantai tersebut
untuk turut membuka lapak dan menjamin ‘keamanan’.
Di desa Kemadang, pola panutan-manutan terpelihara.
Budaya itu warisan sejak zaman kolonial hingga Orde Baru. Di

404 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
masa Orde Baru, mereka dipimpin seorang kepala desa yang
merangkap anggota polisi aktif, abdi dalem (pelayan setia)
Kesultanan pimpinan Hamengku Bawono ka-10, pelaku bisnis
kuliner, dan pemilik salah satu bukit hutan rakyat di pesisir
itu (tahun 2015 lalu ia memasang iklan penjualan bukit hutan
miliknya). Semasa menjabat sebagai kepala desa, ia mengatur
hubungan hukum antara tanah dengan penggarap, dan menerima
pajak garapan dalam status Tanah Kesultanan. Meski kini tak lagi
menjadi kepala desa, ia seorang polisi aktif yang disegani dan
berpengaruh. Karenanya, ia dipatuhi seluruh lapisan masyarakat
di wilayah pemerintahannya sebagai Patron Politik, termasuk
oleh kepala dusun sang Patron Ekonomi.
Ada seorang lagi yang berpengaruh, seorang intelektual.
Satu-satunya doktor di kantor dinas kabupaten, begitu ia sering
sesumbar. Jebolan gerakan Himpunan Mahasiswa Islam, ia kini
menjadi orang penting di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten pasca karir politiknya sebagai tim sukses pasangan
calon bupati pada pilkada 2015. Ia memiliki beberapa lapak di
beberapa obyek wisata pantai selatan. Ia juga aktif berpraktik
sebagai perantara sewa tanah yang berlabel Tanah Kesultanan,
terutama menurut versi dan untuk kepentingan keturunan Sultan
Hamengku Buwono ke-7 bersama para makelar tanah. Sebagai
orang yang pintar berbicara dan mampu membaca celah, ia
memukau warga dan segera menjadi Patron Intelektual.
Patron Ekonomi, Patron Politik, dan Patron Intelektual itu
bekerja di kalangan rakyat jelata, dan dilengkapi dengan Patron
Ekonomi Politik yaitu Kepala Desa terpilih sebagai bawahan dari
Bupati Gunungkidul dan Gubernur DIY. Penguasa resmi sedang
menjalankan agenda Keistimewaan DIY di bidang pertanahan dan
penataan ruang, yaitu penguasaan kembali seluruh tanah sebagai
hak milik Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman dan perubahan

Gerakan dan Perjuangan Agraria 405


fungsi pesisir Gunungkidul sebagai industri wisata pantai berskala
nasional dan /atau internasional. Kedua agenda itu sinergi dalam
program penertiban dan penataan Tanah Kesultanan. Seluruh
pengguna Tanah Kesultanan diwajibkan terikat dengan surat
pinjam pakai (serat kekancingan) dengan konsekuensi sewa dan
sukarela mengembalikannya beserta bangunan dan tanaman
apabila Kesultanan membutuhkan. Agar mendongkrak bisnis
wisata raksasa maka para penguasa resmi berambisi mendatangkan
investasi dan menyiapkan perubahan tata ruang.
Adalah Eny Supiani, seorang pemodal pemegang kekancingan
untuk pantai tersebut di muka, ia hendak menyambut agenda
Keistimewaan DIY dengan mendirikan resort dan hotel,
menggantikan lapak-lapak kecil warga pembakal bisnis wisata.
Pada 2014, melalui pengacaranya ia membujuk, memecah belah
warga, dan lalu mengancam warga yang memilih bertahan.
Sejumlah orang akan dipidanakan karena ogah pindah. Di
tengah kebingungan warga, pimpinan Kelompok Sadar Wisata
(POKDARWIS) pantai dan sejumlah massa memilih proinvestor.
Sebagian kecil warga menghimpun massa dengan imbalan
berbagi sumber penghidupan, semula 70 orang menjadi 90 orang,
mereka membentuk Komunitas Celana Merah, sebuah kelompok
perlawanan, yang mana Patron Politik; Patron Ekonomi; dan
Patron Intelektual didaulat warga menjadi penasihat.
Patron Ekonomi dan Patron Politik aktif menempuh jalan
negosiasi dengan Kesultanan Yogyakarta, dan perlindungan hukum
melalui Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di
Yogyakarta. Lembaga ini mendampingi kelompok warga senasib di
beberapa wilayah. Salah satunya warga Gondomanan yang diusir
pemodal pemegang kekancingan, mereka kalah di persidangan
karena mengakui keberadaan kekancingan. Legitimasi atas status
Tanah Kasultanan dan Tanah Pakualaman tidak menjadi pilihan

406 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
untuk digugat karena pertimbangan keamanan lembaga pembela
hukum, demikian pernyataan lisan dari pimpinan dan anggota
lembaga itu pada September 2016, terkait agenda New Yogyakarta
International Airport di Kulon Progo dan Restorasi Gumuk Pasir di
Bantul. Patron Intelektual memukau warga dengan menyatakan
penolakan investor Eny Supiani. Karena jasanya, ketiga patron
itu dianggap warga sebagai senjata perlawanan, ketiganya dapat
memengaruhi keputusan warga.
Di tengah perjalanan, Komunitas Celana Merah dikunjungi
rombongan penyintas persoalan yang sama, namun dengan
perspektif yang berbeda dari para patron mereka. Disertai bukti-
bukti penguat argumentasi, motor perjuangan mereka menyadari
bahwa Keistimewaan DIY adalah sumber persoalan. Saya ada
menjadi saksi proses pencerahan itu.
Istilah Celana Merah muncul sebagai ejekan tanding warga
terhadap investor yang menghina warga yang hanya lulusan SD,
namun investor gagal mengusir mereka pada tahun 2015. Bagi
kaum jelata ini, Celana Merah adalah identitas kelas yang sakral.
Mereka memperingati ejekan itu 25 Mei 2016, menegaskan sikap
politik melawan agenda Keistimewaan DIY yang mengambil alih
ruang hidup dan sumber penghidupan mereka satu-satunya.
Selama satu tahun bertahan, mereka mencoba beraliansi
dengan POKDARWIS yang lain. Upaya itu tak berhasil karena
POKDARWIS patuh di bawah Kepala Desa agar bisa bertahan
hidup. Peringatan Celana Merah merenggangkan hubungan
Patron Politik, Patron Ekonomi, dan Patron Intelektual dengan
pengurus Komunitas Celana Merah. Sehingga, pada Peringatan
Celana Merah yang kedua dendang perlawanan warga hendak
dibuat terdengar sumbang oleh ketiga patron Komunitas Celana
Merah.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 407


Di penghujung 2 tahun masa bertahan, Eny Supiani datang
kembali. Kali ini ia lebih cerdik, ia meminta Kepala Desa untuk
memberi tempat pengganti di wilayah yang sama dengan status
tanah yang sulit digugat warga, yaitu Tanah Desa. Kepala Desa
memfasilitasinya dengan mengubah status Tanah Oro-oro (tak
bertuan) menjadi Tanah Desa. Menurut Perda Istimewa DIY
No 1 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan Tanah
Kasultanan dan Tanah Kadipaten, baik tanah tak bertuan maupun
Tanah Desa menjadi Tanah Kasultanan atau Tanah Kadipaten
Pakualaman. Sebagai penjamin keamanan, Eny Supiani bekerja
sama dengan Harun, seorang makelar tanah di lingkar keturunan
Hamengku Buwono ke-7. Keluarga besar keturunan Hamengku
Buwono ke-7 ini bermusuhan dengan Hamengku Bawono ka-10
karena berebut aset tanah. Harun memelihara penjaga keamanan
aset Eny Supiani di lapangan, seorang jawara dari dusun para
anggota Komunitas Celana Merah. Saat ini Eny Supiani sudah
mendirikan bangunan sebagai bukti keberhasilannya, di saat
yang sama perwakilan LBH Yogyakarta berorasi di panggung
Peringatan Celana Merah menyatakan Komunitas Celana Merah
sudah memenangkan perjuangan.
Apakah Patron Ekonomi, Patron Politik, dan Patron
Intelektual sejalan dengan cita-cita Komunitas Celana Merah?
Jika jawabnya YA, maka tak akan ada keberatan; sabotase;
maupun pembungkaman terhadap perlawanan Keistimewaan
DIY; sehingga, setidaknya dendang-dendang perlawanan akan
nyaring terdengar.
Apa yang menyebabkan ketiga patron itu tak sejalan dengan
derap langkah Komunitas Celana Merah? Ketika Eny Supiani
datang tanpa permisi dan mengusir Komunitas Celana Merah,
maka barang-barang dagangan Patron Ekonomi tak memperoleh
pasar; dagangan politik Patron Politik berupa Tanah Kasultanan

408 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dari jalur non Tanah Desa sirna, aset lapak-lapak dan program
memasukkan investasi oleh Patron Intelektual gagal. Bahwa ketiga
patron tersebut sesungguhnya pro investor adalah kenyataan yang
tak dapat ditutupi. Karena Eny Supiani tidak melalui jalur mereka,
ketiga patron itu menolaknya. Pertanda keberpihakan pada
pemodal yang paling tampak ialah ketiganya mendorong warga
untuk mendapatkan kekancingan dan berusaha memasukkan
kepentingan Patron Ekonomi Politik di tingkat kabupaten, seperti
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Ketua DPRD Kabupaten
Gunungkidul.
Apa peluang yang paling mungkin ditempuh ketiga patron itu
untuk mempertahankan kontrol atas Komunitas Celana Merah
secara politik, ekonomi, dan intelektual? Bekerjasama dengan
Eny Supiani atau investor lainnya dengan berbagi ruang produksi
(kolaborasi) atau menyatukan (integrasi) kepentingan melalui
wisata kemitraan, dengan memanfaatkan massa Kelompok Celana
Merah sebagai daya tawar sekaligus basis ekonomi pelengkap.
Apakah Komunitas Celana Merah sama sekali tak berdaya
menghadapi ancaman tersembunyi dari pola panutan-manutan
mereka? Mereka berdaya, namun membutuhkan prasyarat yaitu
kesadaran kelas melalui pendidikan, bukan penjinakan; apalagi
sekadar mobilisasi massa.
Masuk dan menggeliatnya modal baik di kota dan pinggiran
DIY telah melahirkan kelas-kelas sosial, dimulai dengan
menceraikan orang dari tanahnya, bentuk perceraiannya bisa
pengusiran, penggusuran, dan penghapusan hak atasnya. Klaim
atas Tanah Kesultanan dan Tanah Kadipaten yang dikukuhkan
dengan UU Keistimewaan DIY menjadi kekuatan untuk mengusir,
menggusur, dan menghapus hak atas tanah warga.
Keistimewaan DIY semakin menajamkan kelas-kelas sosial
ketika akumulasi primitif diperuntukkan bagi industri berskala

Gerakan dan Perjuangan Agraria 409


besar, yang mana laba pertama diperoleh Kesultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Pakualaman melalui sewa tanah. Mengingat zaman
modal tidak dapat bertumpu pada watak feodal yang lamban dan
malas, ke depan tidak menutup kemungkinan mesin ekonomi
Kesultanan dan Pakualaman diampu oleh Jogja Incorporated
(Jogja Inc.!) sebagai wadah bagi para pengusaha lokal semua
lapisan, yang dikuasai oleh elit-elit kekuasaan lokal.
Lakon tentang dinamika kelas sosial di DIY sejak Kesultanan
berdiri tak bisa lepas dari ekonomi politik zaman modal yang
menjelma sebagai kolonialisme (1755-1945), nasionalisme (1945-
1998), dan neoliberalisme (1998-kini) dan diawetkan oleh
hubungan panutan-manutan dalam kultur feodalisme dari masa
ke masa. Karenanya, falsafah Shifu Mao maupun pendahulunya
masih relevan digunakan sebagai alat baca, sepanjang fokus
pada jantung persoalan, yaitu: Keistimewaan DIY tak lebih cara
penguasa untuk beternak modal dan laba. Adapun feodalisme tak
lebih dari kultur politik pendukung, bukan sistem penopang dalam
peternakan modal dan laba. Modal dan laba dapat diternakkan
dalam kultur politik apapun, termasuk feodalisme; nasionalisme;
bahkan perbudakan.
Tujuan dan cara mempelajari Materialisme Dialektis
tampaknya memengaruhi hasil pembelajaran. Apabila ia
dipelajari untuk kepentingan politik praktis dan diperlakukan
sebagai petunjuk teknis, maka Materialisme Dialektis berpotensi
menjelma doktrin dan dogma, daripada alat bedah bagi
suatu tatanan modal dan jalan untuk menemukan berbagai
kemungkinan yang revolusioner.

410 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Falsafah Shifu Mao tentang Kelas Sosial dan Sikap Politik
Komunitas Berlawan di DIY
Identitas dan kelas sosial terkadang tak tampil sebagai akibat
perkembangan modal. Padahal, identitas dan kelas yang sama
sekali tidak terhubung dengan penguasaan modal dan sumber
penghidupan orang banyak sulit ditemukan. Hampir setiap hirarki
sosial terkait dengan penguasaan modal yang membuahkan
otoritas.
Hikmah peristiwa di tiga lokasi di muka dapat disarikan
sebagai berikut:
1. Kelas sosial suatu kelompok memengaruhi sikap politik dan
pilihan strateginya. Kelas mapan (para patron, pendamping,
atau elit motor gerakan massa) cenderung memilih keputusan
yang aman bagi asetnya, posisi politiknya, dan otoritasnya.
Tindakan-tindakan untuk mengesankan mereka masih
berjuang bersama massa akan dilakukan, namun tidak akan
menabrak batas zona aman. Aksi-aksinya sekadar untuk
menggugurkan kewajiban. Argumentasinya sekadar untuk
menghindari tanggungjawab.
2. Memeriksa hubungan sosial berlatar kelas sosial penting, kalau
tak boleh dibilang wajib. Peta kelas ini akan memecahkan
setengah persoalan, minimal melahirkan pilihan-pilihan di
jalur yang belum pasti kalah. Di samping itu, peta kelas sosial
menempatkan kembali perjuangan ruang hidup dalam ruang
lingkup ekonomi politik pada khittohnya, yaitu Materialisme
Dialektis, alih-alih Marxisme Dogmatis. Konsekuensi dari
falsafah ini harus diambil, meskipun sama sekali tidak
menguntungkan baik menurut kepentingan ekonomi sesaat
maupun politik elitisme. Gerakan memang bukan ruang
pencitraan, melainkan zona perang.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 411


3. Apa yang dibutuhkan rakyat yang berlawan bukanlah
pencitraan keguyuban, penjinakan melalui kelas-kelas
Community Organizer, deradikalisasi paralegal, maupun
kolaborasi kepentingan kelas, atau pembodohan melalui
pelanggengan hubungan-hubungan kekuasaan yang ada
dalam tubuh gerakan; melainkan pendidikan kritis sehingga
massa dapat memimpin gerakannya sendiri; dalam arti
pemimpin harus bersiap untuk tidak menjadi penguasa.
Pemimpin di sini bukan hanya para elit komunitas berlawan,
melainkan juga para pendamping yang sering berkelakuan
sebagai jagoan yang tahu dan mampu segala hal. Model
heroisme sudah harus ditinggalkan, jika ingin gerakan
berumur panjang. Model pendidikan untuk warga tidak bisa
tidak dilakukan bersama dengan praktik, ajur ajer (melebur
dalam nafas keseharian, bukan advokasi yang datang dan
pergi), bukan dengan cara Baca dan Lawan!
4. Memilah zona ideologis, strategis, dan taktis perlu dilakukan
agar tidak salah menjalin aliansi dengan kelas yang tak
sudi ambil risiko perjuangan dan tak siap berposisi kalah.
Kepekaan membaca kelas dan kepentingannya akan muncul
bila kesadaran kelas komunitas berlawan telah terbangun.
Memilah periode perjuangan jangka pendek (misalnya
advokasi dan kampanye), jangka menengah (misalnya
pertahanan ekonomi dan regenerasi), dan jangka panjang
(misalnya perombakan kelas) juga penting, agar komunitas
berlawan dan pendukungnya tidak terfokus dan terkuras
energinya untuk hal-hal bersumbu pendek.
5. Perombakan komposisi kelas dan relasinya menjadi
tujuan, sedangkan advokasi adalah cara. Pembersihan diri
dalam tubuh gerakan perlu dilakukan meskipun harus
menyingkirkan elit-elit yang berpotensi membunuh massa

412 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
di kemudian hari. Maka, gerakan harus dibarengi dengan
penguatan ekonomi dari massa berlawan dengan model yang
sama sekali tidak mencirikan kapitalisme, bukan sekadar
aksi massa untuk tekanan politik yang melelahkan. Kenapa?
Sebab para pendamping, para penganjur aksi massa itu, tidak
menanggung risiko komunitas berlawan dan rawan menukar
simbol-simbol “radikalisme” dengan laba kapitalisme.

Penyakit Elitisme Gerakan dan Politik Cuci Tangan


Sependek pengalaman saya 10 tahun terakhir—dan tentunya
ini belum apa-apa dibandingkan dengan pengalaman para elit
gerakan masa lalu yang menjelma penguasa hari ini atau elit
gerakan yang tak sempat berkuasa, bahwa “setiap upaya untuk
membersihkan elitisme dan/atau mengubah komposisi kelas
dalam tubuh gerakan akan menghadapi perlawanan dari elit yang
tak ingin kehilangan dominansi dan otoritas, atau menghadapi
perlawanan dari massa yang tak ingin kehilangan rasa aman atau
tidak menyadari bahaya yang sedang dialaminya di dalam elitisme,
jika upaya itu gagal. Namun, jika upaya itu berhasil maka akan
melahirkan perang kelas yang mau tak mau memisahkan massa
dari elit-elitnya.” Selama ini kultur kritik-otokritik sebagai bentuk
dialektika masih diingkari dalam gerakan berbasis Materialisme
Dialektis sekalipun, barangkali karena syahwat kekuasaan lebih
dominan ketimbang semangat pembebasan.
Ketika kapitalisme bekerja dan berjaya dalam relasi sosial
yang elitis, maka segala bentuk perlawanan terhadapnya dengan
langgam yang elitis hanya menemui jalan buntu karena mengikuti
langgam kapitalisme.
Saya kerap menjumpai sikap politik para pendamping
yang seolah-olah demokratis, namun sesungguhnya untuk
menyelamatkan posisi politik lembaga atau kelompoknya.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 413


Contoh di Komunitas Gumuk Pasir ialah keengganan pembela
hukum untuk menggugat kejanggalan proyek konservasi sebagai
kepentingan umum di atas tanah privat; namun memilih jalur
mengawal relokasi yang merupakan jalan kekalahan. Contoh
di Komunitas Celana Merah ialah keengganan pembela hukum
untuk melihat kenyataan bahwa investor tak pernah melepaskan
konsesinya dengan meninabobokkan massa bahwa mereka
sudah menang. Dalih tidak tahu situasi hanya memperlihatkan
kebodohan, maka menempuh risiko bersama warga terdampak
adalah pilihan paling rasional.
Logika-logika NIMBy (Not In My Backyard) atau “tidak
mengurusi ketidakadilan di luar wilayahku”, penting untuk
ditanggalkan karena hanya mengeroposi karakter aktor-aktor
gerakan dan membuktikan diri tidak bertanggungjawab, terkecuali
niatnya memang hanya untuk menjadi Event Organizer, aktivis
hipster (semu), maupun agen-agen lawan serupa kawan.
Meski dramatis, konflik kelas bukan drama, Kamerad!
Yogyakarta, 23-25 Juni 2017
Tulisan ini didedikasikan untuk Kelas Belajar Agraria Komite
Bersama Reformasi (KBA-KBR) atau semacamnya.

Referensi
Catatan Lapangan Gerakan Agraria DIY 2008-2017, Aliansi
Keutuhan Republik Indonesia, tidak diterbitkan
Mao, Tse-Tung. 2001. Empat Karya Filsafat (Terjemahan). FuSPAD,
Yogyakarta
Setiaji, Hermawan. 2016. Paparan Masalah Penertiban Zona
Inti Gumuk Pasir Parangtritis. Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Bantul, DIY.

414 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Yang Lebih Penting dari
Perdebatan Klasik
Pupuk Kimia vs Organik
Rahmat Ariza Putra,
Fasilitator dan Pengajar di Sekolah Tani Muda
(Sekti Muda) Yogyakarta

Gambar 1: Pupuk Organik Kompos

Lusa kemarin, seorang peserta Kemah Tani Sekolah Tani Muda


(Sektimuda) mengajukan soal. “Apa perbedaan pupuk kimia
sintetis dengan pupuk organik?”, ucapnya penasaran. Dalam
hati saya langsung terfikir tentang cekcok klasik antara praktisi
pertanian organik dan konvensional. Walau begitu, saya tidak
tertarik terjebak pada dikotomi tidak berfaedah bagi banyak
petani yang saat ini tengah dipusingkan oleh masalah yang jauh
lebih rumit. Karenanya, jawaban saya sedikit berbeda dari apa
yang diharapkan penanya.
Yang jamak ditemukan dari diskursus pupuk organik vs
kimia di media sosial berpusar pada polemik terkait lingkungan,
kesehatan, pencemaran dan kandungan gizi produk pertanian.
Saya pribadi tidak mengatakan bahwa isu-isu tersebut tidak
penting. Yang saya kritisi adalah argumen rapuh berbasis
pemahaman sains rancu yang digunakan pihak-pihak terkait.
Lebih dari itu, saya juga mempertanyakan urgensi perbincangan
tersebut terhadap upaya penyelesaian permasalahan mendasar
yang mendera sektor pertanian.

Identik Dari Ujung Rambut ke Ujung Kaki


Secara teknis, kalau bukan dalam wujud Nitrat, tanaman
cuma bisa menyerap Nitrogen berbentuk Amonium. Keduanya
merupakan anion & kation. Hal sama berlaku pada P, K, Mg, Ca,
S dan 7 mineral esensial lainnya. Dengan kata lain, hanya hara
ionik yang dapat dimanfaatkan tanaman untuk tumbuh dan
berkembang.
Tidak peduli sumbernya adalah pupuk hasil fermentasi bahan
organik atau produk sintetik di pabrik berupa Urea, NPK, KNO3,
TSP, MKP, dari sudut pandang kesuburan kimia, kedua jenis pupuk
yang sering dipertentangkan ini memberikan manfaat identik
Reaksi biokimia Mg2+ dari pupuk organik cair atau hasil
mineralisasi bahan organik kompos tidak berbeda sedikitpun
dengan Magnesium yang bersumber dari Phonska plus sintetik di
dalam jaringan tanaman. SO42- yang diaplikasikan petani dari kulit
bawang yang terurai juga tidak akan berbeda fungsi fisiologinya di

416 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dalam protein sel-sel tanaman dengan anion Sulfat yang diserap
dari pupuk ZA. Kenyataan serupa terjadi sama persis pada hara-
hara yang lain. Tanaman tidak mensegregasi hara berdasarkan
asal-usulnya sama sekali.
Hasil metabolisme tanaman terhadap hara-hara tersebut juga
menunjukkan kondisi yang identik. K+ dari POC (pupuk organik
cair) buah pisang yang diasimilasi tanaman ke dalam buah melon
tidak memiliki disparitas barang secuil dengan melon hidroponik
yang haranya berasal dari larutan sintetik AB Mix. Selama
konsentrasi kation Kalium yang tersedia pada kedua jenis pupuk
tersebut seimbang, maka rasa manisnya yang akan dihasilkan pun
sepadan.
Kalau sudah begitu, bisa juga disimpulkan bahwa manfaat
kesehatan kedua buah melon tersebut setara bagi manusia. Sama-
sama menyehatkan dan menyegarkan jika dikonsumsi setelah
cuci tangan atau kala cuaca panas menyengat. Tidak ada yang
lebih sehat atau lebih buruk jika ditinjau dari sumbe K+ keduanya.
Jika dikaitkan dengan isu yang pencemaran lingkungan akibat
pemakaian pupuk kimia, maka hasil riset tidak menegasikan
adanya dampak merugikan serupa dari penggunaan pupuk
organik. Para peneliti menemukan adanya cemaran di sungai
atau sumber air tanah dari penggunaan pupuk organik padatan
berlebih di sentra-sentra sayur yang banyak mengaplikasikan
pupuk kandang ayam. Kasus polusi di sektor pertanian ternyata
tidak hanya dimonopoli oleh pupuk kimia sintetis.
Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa pupuk kimia
sintetik telah menyebabkan tanah-tanah sawah di kantong-
kantong produksi padi memadat. Ternyata setelah diteliti,
kejadian tersebut tidak berkorelasi dengan karakter kimia Urea
atau Phonska itu sendiri. Faktor penyebab utama justru berasal
dari praktik budidaya padi yang dilakukan petani.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 417


Unggul Bukan Karena Sifat Kimia

Gambar 2: Manfaat Kompos

Dengan mengacu pada uraian di atas, diketahui bahwa narasi


yang berkembang tentang keunggulan pupuk organik ketimbang
kimia banyak yang berpatokan pada pseudo sains. Sebagian besar
di antaranya justru merupakan luaran dari gerakan Go Green atau
Back To Nature yang kini telah banyak ditunggangi kepentingan
kapital.
Meski begitu, pupuk organik khususnya berupa kompos
memang memiliki keunggulan sistemik yang tidak ada pada
pupuk kimia sintetik, Padatan organik terfermentasi mampu
mewujudkan kesuburan fisika dan biologi di samping anasir kimia
sebagaimana yang diperankan zat sintetik secara bersamaan.
Kehadiran material kompos di dalam tanah menentukan
tekstur, porositas, dan kegemburan tanah. Kompos pun menjadi
tempat hidup macam-macam mikro fauna, mikro flora dan
mikro organisme yang berperan aktif menyokong kesuburan
tanah pada ekosistem rizosfer. Karakternya yang mirip spons

418 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
pun menyuguhkan kebisaan kompos dalam menyimpan air dan
nutrisi.
Sayangnya, keunggulan ini bukan topik yang sering
diperselisihkan antara penggiat pertanian organik dan pengguna
pupuk sintetis. Yang justru dijumpai lebih banyak berseliweran
di kanal-kanal publik adalah konsep-konsep parsial seperti yang
sudah dijabarkan di sub judul pertama.

Yang Lebih Penting dari Itu Semua


Setelah mempertimbangkan kondisi umum pertanian di
Indonesia dan dunia saat ini, justru yang menarik dikampanyekan
dari gerakan penggunaan pupuk organik padat atau cair menurut
saya adalah dari aspek tata kelola agraria. Sisi yang memandang
masyarakat agraris sebagai pelaku kebudayaan. Gagasan yang
mampu mengangkat kapasitas petani dalam merevitalisasi akses
tanah pertanian yang telah mereka kelola atau miliki.
Sudut pandang di atas sangat penting mengingat saat ini
banyak kaum agraris yang tidak memiliki kebebasan. Keleluasaan
tersebut raib seiring datangnya gelombang Revolusi Hijau yang
dipaksakan pemilik singgasana kekuasaan. Hasilnya, kemandirian
dalam memanfaatkan sumber daya alam sekitar untuk meraih
kesuksesan berbudidaya tidak lagi dalam kewenangan petani di
lahan.
Lebih buruk dari itu, setelah bertahun-tahun dininabobokan
bantuan negara dan doktrin industri, jamak ditemui praktisi yang
tidak yakin bahwa mereka bisa berdaulat atas input produksi.
Tidak jarang pula saya jumpai slogan-slogan yang mengerucut
pada kesimpulan bahwa tanpa pupuk sintetik, tanam padi tidak
akan jadi. Alhasil walau harus berebut kartu tani dan mengemis
subsidi, jutaan petani sungkan untuk berupaya mengurangi
ketergantungan dari pupuk kimia korporasi.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 419


Dengan begitu, isu yang lebih penting digelorakan dari
implementasi pupuk organik adalah urusan keberdayaan
dan optimisme. Pandangan terkait kedaulatan petani atau
komunitasnya dalam memproduksi saprodi dan tentang
bagaimana mengembalikan kepercayaan diri mereka pada asupan
gizi tanaman racikan sendiri. Jika perjuangan itu berhasil maka
usaha-usaha pihak luar entah itu penyelenggara negara atau
pemilik kapital dalam mengikis kemerdekaan petani dapat
dikurangi.
Dengan merebaknya pemanfaatan pupuk berbahan lokal baik
itu padat atau cair, maka syarat-syarat teknis, legal dan kapital
dalam produksi nutrisi yang selama ini hanya mampu dipenuhi
kaum bermodal tidak lagi membatasi petani. Mereka bisa sesuka
hati membuat dan menggunakan kompos atau POC (pupuk
ogranik cair) untuk bertani. Teknologi yang telah terdesentralisasi
ini memungkinkan derajat petani meningkat dalam ekosistem
industri pertanian. Tidak lagi sebagai objek atau pasar saprodi
tapi juga mampu menjadi subjek yang berdaya
Di samping itu, kedaulatan tersebut seringkali berkaitan
dengan urusan hidup dan mati. Kalau tidak percaya, silahkan
sambangi mereka yang bergantung pada pupuk kimia subsidi. Bagi
golongan ini, tidak ada pilihan lain selain menanti belas kasihan
penguasa negeri yang kadang tidak jelas lebih berpihak kepada
pemodal atau kaum tani. Kalaupun kasusnya adalah kelompok
berada, tidak sedikit cerita di mana mereka harus bersusah payah
mencari walau harus menebusnya dengan harga tinggi.
Oleh karena itu, bagi saya isu pupuk organik adalah urusan
ideologi. Ketika petani telah memiliki atau mengelola aset agraria
namun kemampuan mereka mengaksesnya secara optimal
dihalangi aksi korporasi maka di situ pertarungan pupuk kimia
vs organik tidak sesempit faktor teknis. Upaya mengadvokasi dan

420 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menghidupkan kembali paradigma mandiri dan berdaulat adalah
kunci kenapa pupuk organik layak diperjuangkan.

Gambar 3: Sekolah Tani

Nyatanya, walau pupuk kimia diklaim berhasil menyelamatkan


manusia dari kelaparan sebagaimana yang didengungkan
pengagung pasar bebas, namun banyak dampak-dampak negatif
yang muncul belakangan. Salah satu yang paling kentara adalah
kekayaan yang lahir dari industri pertanian tidak tersebar merata
di antara petani tapi malah terkumpul pada para pemilik pabrik
sarana produksi pertanian. Itu artinya solusi bagi masalah pangan
tidak identik dengan kemakmuran pihak yang paling banyak
melakukan perjuangan.

Perbaikan Melalui Pendidikan dan Kelembagaan


Perjuangan membumikan kembali pupukorganik memerlukan
strategi yang dapat dikerjakan secara berkesinambungan oleh
pihak-pihak terkait. Yang pertama adalah menyelenggarakan
pendidikan melalui sekolah tani dan membangun kelembagaan
melalui pengorganisasian petani.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 421


Syarat pokok agar sekolah tani benar-benar hadir untuk
membela petani adalah pihak penyelenggara haruslah berasal
dari petani juga atau mereka yang memiliki kesamaan ideologi
dan garis juang. Terinspirasi dari ucapan Tan Malaka Sang Bapak
Bangsa, pendidikan yang direalisasikan oleh kapitalis tentu akan
diarahkan untuk membela kepentingan mereka. Oleh sebab itu,
jika ingin menanamkan karakter mandiri dan berdaulat kepada
petani, media yang digunakan untuk menyampaikannya haruslah
diurusi oleh kaum tani itu sendiri.
Di dalam kurikulum sekolah tani haruslah disampaikan
materi-materi filosofis dan teknis. Pertanyaan-pertanyaan
tentang mengapa petani harus berdaya dan mandiri serta
bagaimana menggapainya perlu digali jawabannya secara utuh.
Sejarah praktik berbudidaya di masa lalu yang menghadirkan
kemerdekaan bagi petani pun layak untuk disampaikan. Relasi
alam, sumber daya lokal dengan pertanian juga penting untuk
dikaji. Terakhir, bahaya menyerahkan kedaulatan pada orang-
orang yang memiliki paradagima berorientasi kapital jua harus
diterangkan dengan gamblang.
Terkait lembaga tani, persoalan ini tidak dapat dipisahkan
dari pendidikan untuk petani karena apa yang dipejari di dalam
sekolah tani pada umumnya lebih mudah untuk diwujudkan
jika petani berhimpun dan berorganisasi dalam sebuah lembaga
kolektif. Kondisi mayoritas masyarakat agraris saat ini yang lemah
secara ekonomi dan daya tawar mengharuskan mereka berkumpul
dan bersatu untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Ambil contoh dalam urusan produksi pupuk organik.
Sangat tidak realistis jika semua petani yang memiliki lahan
kecil memproduksi pupuk organik secara individu. Selain karena
sangat memberatkan secara teknis, dana petani kecil umumnya
terbatas sehingga sulit untuk membiayai produksi pupuk

422 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
organik yang efisien dan efektif. Namun, bila para petani kecil itu
menggabungkan asset dalam sebuah lembaga, tentu manufaktur
pupuk organik akan lebih mudah.
Masing-masing petani tidak perlu repot membuat sendiri.
Mereka dapat membeli pupuk organik dari organisasi yang mereka
bentuk. Keuntungan produksi kemudian digunakan untuk
memberi insentif bagi pengelola usaha tersebut dan membiayai
kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat bagi seluruh anggota
kelompok. Ujungnya, sumber daya yang ada hanya berputar di
antara petani saja.
Bila itu terjadi, maka peran aktor-aktor lain yang tidak punya
kepentingan kecuali memperkaya diri sendiri dapat dibatasi.
Kekayaan dan kemakmuran dari aktivitas ekonomi petani tidak
pergi dan terakumulasi pada kaum kapitalis. Oleh karenanya,
memaknai perjuangan membangun kemandirian dan kedaulatan
petani dalam konteks ini adalah tentang upaya mengorganisir
petani untuk mau berkumpul dan terhimpun dalam sebuah
lembaga tani yang kuat dan berkarakter.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 423


Dian di Ambang Padam
Kus Sri Antoro

Semua tampak jernih di sini, lebih bening dari mata bayi.


Mereka kunikmati. Ikan-ikan beraneka warna—yang hilir mudik;
yang gesit cepat dan lembam lambat; yang galak dan jinak; yang
nyaring dan hening, dalam akuarium yang setiap saat dikuras
dan dibilas. Semakin sering kuamati, semakin mudah kupahami.
Siapa, apa, mengapa, bagaimana, bilamana.
Kesaktianku memungkinkan apa pun kuketahui. Beratus,
beribu, berjuta pasang mataku mengintai, mengamati, bahkan
ketika aku terlarut mimpi. Aku mendengar yang kumau, apa pun,
di mana pun, dan kapan pun. Juga berpasang-pasang kakiku.
Mereka membawaku ke mana pun yang kukehendaki, dalam
satu waktu ke berbagai tempat, dalam sekejap. Berpasang-pasang
tanganku bekerja tangkas tanpa bekas, cekatan tanpa kecacatan,
meraba, mencatat, menyamar, menghubungi, mengatur bidikan,
melenyapkan mangsa, menghapus jejak perburuan. Semua senyap
tanpa banyak cakap.
Membaca, berpikir, dan menyimpulkan. Itulah keahlianku
dan kesenanganku. Apa saja kubaca, kupikir, dan kusimpulkan.
Asal-usul ilmu, teori pengetahuan, jejak zaman, situasi politik,
kekuatan logistik, logika yang bekerja, relasi kuasa, karakter
orang-orang, kecenderungan pilihan-pilihan. Keahlian dan
kesenangan yang membawa keuntungan, yaitu aku jadi banyak
tahu. Pengetahuan membuatku mampu melakukan banyak hal.
Pada gilirannya, pengetahuan jadi semacam candu. Dengan haus
dan rakus aku menelan cerna berbagai informasi, agar mengisi
dan membentuk tubuhku, tubuh pengetahuan. Pengetahuan
adalah pangkal kekuasaan. Dengan kata lain, hasratku pada
pengetahuan adalah hasrat untuk berkuasa. Lalu pada gilirannya,
aku berdaya menentukan kebenaran.
Aku mengetahui, maka aku berkuasa!
Ini tahun ke-10, dan aku belum jenuh. Sebab mereka,
manusia-manusia pasir itu, juga masih kukuh, tak jatuh-jatuh.
Satu butirnya telah bersarang di pelupuk mata seorang raja,
majikanku. Siapa dapat lepas dari kelilipan tanpa bantuan?
Sebutir pasir itu membuat Baginda berang, meradang siang
malam, sebutir pasir besi yang menolak diubah jadi kepingan
baja; yang bertahan sebagai media tanam untuk berhektar-
hektar hortikultura; yang meneguhkan sejarah lewat tradisi saling
berkisah, yang dituturkan, ditularkan, diturunkan, di tanah Jawa,
di tepi lautan Hindia.
Sesungguhnya, kisah-kisah itu tak tertampung ingatanku.
Tapi, aku punya sebilah pena. Penaku adalah mata panah yang
melintasi waktu, merekam jejak zaman, menorehkan segala yang
disimpan ingatan dan yang dilahirkan pikiran. Penaku adalah
cahaya, dan mereka—serta kisah-kisahnya, tak lebih bayangan
dari benda-benda yang ditimpa olehnya. Tanpa penaku dan
juga tinta, tak mungkin kisah ini kutuliskan. Setitik tinta akan
membangunkan pikiran berjuta orang.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 425


Pada mulanya adalah hasrat, adalah niat. Niat yang tak selalu
diucap, namun nyata diperbuat. Maka katakanlah padaku, siapa
yang dapat menjalani hidup tanpa niat?
Manusia-manusia pasir itu telah mendiami kampungnya
sejak zaman Jepang, bahkan jauh sebelumnya. Semula semua
hanya unduk gurun—sebutan mereka untuk gumuk pasir (sand
dune) yang menggurun, membentang sejauh mata memandang.
Gurun itu menyimpan sihir. Penampakannya tak pernah sama
setiap kali satu hari berakhir. Hembusan angin membuat unduk
gurun ini selalu berganti, berpindah dari satu tempat ke tempat
lain, dan dalam semalam bukit dan ngarai baru pun lahir. Angin
dari balik samudera tanpa bosan membisikkan cerita tentang
pergantian zaman dari masa-masa yang jauh pada butir-butir pasir
ini, sedemikian memukaunya cerita itu, hingga pasir-pasir ini pun
enggan berdiam dan termenung seperti gunung, pasir-pasir ini
saling berbisik; membisikkan kisahnya yang segera dibawa angin
ke segala penjuru bumi sebelum malam berganti pagi.
Kisah yang aku tuturkan hanyalah sedikit dari yang tertinggal
pada rimbun semak widuri (Calotropis gigantean), tandan pandan
(Pandanus tectorius), dan kaktus berbuah merah (Opuntia ovata),
juga pada jerit kabak (Caprimulgus affinis), burung malam serupa
elang yang menghuni gurun ini lebih dulu dari siapa pun. Kisahku
tentang zaman ketika manusia mulai mencampuri urusan alam
kemudian melahirkan sesuatu yang belum pernah ada: peradaban.
Peradaban yang sesungguhnya tak pernah berdiri sendiri, pula
bukan semata-mata hasil budidaya makhluk adidaya, tetapi
sesuatu yang menari-nari di antara proses dan hasil, tanda dan
makna; materi dan imaji, tindakan dan perenungan.
Sesuai wataknya, unduk gurun ini tidak terduga. Peradaban
unduk gurun tidak dapat disederhanakan. Ia bukan peradaban
pegunungan yang nyaris tak tersentuh teknologi, yang sepi

426 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
informasi, yang jauh dari kekuasaan. Ia juga bukan peradaban
dataran rendah yang dialiri irigasi, yang dekat kekuasaan. Ia
adalah peradaban pesisir yang beralih rupa dari gurun tandus
menjadi hamparan hijau, warna kesuburan.
Unduk gurun itu telah menggoda penguasa untuk mengambil
keputusan: apakah wilayah itu, berikut penghuninya, perlu
diadabkan mengikuti arus zaman yang dianggap lebih maju. Unduk
gurun, deru angin samudera, resapan air asin yang secara ajaib
menjadi tawar, mempunyai kisahnya sendiri dalam panggung
kekuasaan manusia atas alam. Dan di tangankulah, kisah mereka
turut dilakonkan.
Sampai saat ini, aku masih tak mengerti, mengapa air laut itu
menjadi tawar di hamparan ladang-ladang manusia pasir. Misteri
selalu menyimpan daya gaib ketimbang ilmu pengetahuan. Daya
gaib itulah yang menggerakkan penghargaan para manusia pasir
itu pada unduk gurun, mereka merasa setubuh dan senyawa dengan
tempat yang dihuninya. Barangkali perpaduan tepat antara besi;
vanadium; dan titanium telah mengikat garam dan mengubah
air laut yang meresap di pasir-pasir ini menjadi tawar. Akan
tetapi, ilmuwan malu-malu untuk menyatakan kebenaran karena
ilmuwan ada dari; oleh; dan untuk kuasa modal. Sejak Revolusi
Industri, ilmu tak lagi diabdikan pada moral. Air dan sekumpulan
logam yang terkandung di unduk gurun ini sedang diperebutkan,
antara dirampas atau dilestarikan, untuk menentukan kelompok
manusia manakah yang akan dipertahankan atau dipunahkan
dalam sejarah.
Manusia-manusia pasir itu, mereka tahu unduk gurun
menyimpan air tawar, lalu mereka mulai menanami berbagai
macam umbi. Angin bergaram dari samudera berkali-kali
menggagalkan pertumbuhan, tak jarang panen pun batal. Angin
lautan tak hanya membawa ancaman rawan pangan, tetapi juga

Gerakan dan Perjuangan Agraria 427


wabah penyakit mata, kadas, dan kudis. Lengkap sudah, miskin
dan penyakitan. Penduduk desa-desa tetangga mengejek mereka
karena kemiskinan dan penyakitan. Mereka disebut Wong
Cubung, orang-orang terbelakang dengan wajah berkabung.
Tak ada yang abadi, tanpa kecuali nasib para manusia
pasir. Ketika itu, tahun 1980-an, sebutir dari para manusia pasir
menemukan keajaiban. Ia bertemu sebatang cabai yang tumbuh
pada lapukan tahi sapi, di hamparan pasir itu. Pertemuan itu
ia renungkan, ia coba berulang-ulang. Hingga ia yakin bahwa
hamparan gurun itu dapat dihijaukan.
“Petani kecil, seperti orang yang terendam sebatas leher,
riak kecil saja sudah menenggelamkannya. Begitulah, mereka
mengutamakan keselamatan ketimbang spekulasi,” ujar begawan
Scott. Ya, ada benarnya. Sebutir pasir itu hanya akan dianggap gila
oleh manusia pasir lainnya bila ia umbar cerita. Ia putuskan untuk
menguji keyakinan dengan menanam beberapa petak. Hingga
akhirnya ia peroleh panen pertama, panen kedua, dan seterusnya.
Seiring waktu ia mulai panen pengetahuan. Pengetahuan tentang
rancangan irigasi hemat energi, berupa sumur berantai, mereka
menyebutnya sumur renteng. Pengetahuan tentang pagar hidup
yang menghalangi angin bergaram sekaligus memberikan
panen tambahan. Pengetahuan tentang palir, teknik pengolahan
tanah pasir untuk mengawetkan unsur hara. Pengetahuan
tentang pengendalian hama. Pengetahuan tentang kombinasi
dan pergiliran tanaman. Perlahan ia pun menuai kekuasaan,
kekuasaan menaklukan tantangan alam. Praktik dan perenungan
selalu saja memberi panen berganda.
Sebutir pasir, orang Cubung itu, beralih rupa menjadi juru
warta, pengabar kegembiraan. Pasir (saling) Berbisik. Sejarah
baru dituturkan, ditularkan, diturunkan. Percobaannya menjadi
sumber penghidupan baru. Hari beralih minggu beralih bulan

428 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
beralih tahun, padang cabai, kacang, pare, melon, semangka
menutup gurun. Sumur renteng di ladang berganti pompa dan
selang. Revolusi irigasi. Lalu, sekitar tahun 2000-an, mereka
mempelajari watak pasar. Mereka tahu pengepul menimbun
laba yang terkumpul. Manusia-manusia pasir mulai berpikir,
bagaimana caranya kaum tani turut tentukan nilai laba, sebab
mereka menguasai produksi? Mereka membangun posisi tawar
melalui sebuah pasar lelang.
Laba membanjir lebih deras dari air. Pasir-pasir menyerap
keuntungan secepat menghisap hujan. Gubuk bambu berganti
gedung batu. Satu demi satu setiap keluarga mampu membiakan
pemamah biak. Mulai banyak yang mengimpor kuda-kuda
tunggangan dari Negeri Sakura: Toyota; Honda; Suzuki; Kawasaki;
Mitsubishi. Pertanda derita berangsur pergi.
Salah satu kupingku samar mendengar. Di luar pagar, peta
dunia sedang digambar ulang. Percaturan ekonomi dikaji kembali.
Agar tak ada istilah: Seekor ikan mati tenggelam. Salah satu
mataku membaca gerak zaman, bahwa gelombang efisiensi akan
menghantam tempatku tinggal, termasuk pula perkampungan
manusia pasir. Gelombang percepatan perluasan pembangunan
ekonomi. Menyapu apa pun yang menolak ditundukkan. Aku
adalah peselancar yang menggilai tsunami, tak ada alasan bagiku
untuk menentang arus zaman. Tapi ikan-ikan itu, bukankah hanya
ikan mampus yang ikut arus? Ikan hidup ditakdirkan berenang
melawan arus, untuk menghirup oksigen terlarut. Persetan, sebab
aku bukanlah ikan.
Sepuluh tahun lalu, tahun 2006, istana Baginda diguncang
gempa. Meruntuhkan Timbangan Emas, satu bagian penting dari
bangunan kekuasaan yang sudah berabad-abad bertahan, yang
dipercaya sebagai simbol keadilan. Gempa memporak-porandakan
wilayah kekuasaannya, menggoyahkan sendi-sendi ekonomi, dan

Gerakan dan Perjuangan Agraria 429


merapuhkan tradisi yang sudah mengalami korosi karena Baginda
hanya punya putri. Ini bukan kekuasaan matriarki, maka putri tak
diijinkan jadi pilar dan pondasi bangunan kekuasaan laki-laki.
Siapa pun boleh berspekulasi, ketamakan majikanku timbul
karena rengekan anak dan istrinya. Tidak, tidak sama sekali.
Kebanyakan orang percaya, tiada ladang yang bebas gulma.
Itu mitos, yang benar gulma ada karena benih. Selama ada
benih gulma, ia akan tumbuh. Begitu juga ketamakan. Untuk
mementingkan diri-sendiri, seseorang tak perlu diprovokasi.
Dari negeri Kangguru, ketamakan itu berkecambah.
Sepucuk surat datang ke Baginda. Mengabarkan betapa ia
seorang yang kaya raya dan dapat menjadi lebih kaya, apabila ia
membangunkan harta yang masih tertidur. Uang akan bekerja
untuknya, lalu berduyun-duyun kembali dalam jumlah hampir
tak terhitung. Kandungan besi, titanium, dan vanadium di unduk
gurun diterka, dengan penegasan bahwa seluruh wilayah adalah
miliknya. Manusia pasir hanya penumpang gelap dari zaman ke
zaman. Mereka tak layak tetap tinggal.
Menyingkirkan manusia pasir dari unduk gurun bagaikan
menceraikan natrium dan klorida dalam senyawa garam. Natrium
gampang meledak tersentuh air, sedangkan klorida gas beracun.
Tetapi itu harus ditempuh jika Baginda hendak mengubah
butiran besi di unduk gurun menjadi baja, menyedot titanium
dan vanadium untuk industri alat perang masa kini. Baginda
memang berjari Midas, apa pun yang disentuhnya menjelma
emas. Tapi Baginda tetap membutuhkan Alkemis yang mampu
merawat kepatuhan para hamba; membuat perlawanan menjelma
ketundukan; mengubah kemenangan lawan menjadi kekalahan.
Ada banyak cara untuk itu, yang Baginda tak tahu dan tak mampu
melakukannya, termasuk bagaimana melakukan pembantaian
yang paling manusiawi. Untuk alasan itulah, aku ada.

430 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Aku berkuasa, namun kekuasaanku masih ada batasnya.
Langkahku lebih jauh menjelajah. Mataku membeliak
di mana-mana. Kupingku dipasangi radar yang paling peka.
Hanya demi untuk mengetahui, sebab mengetahui adalah
pangkal menguasai. Kehendak si raja berjari Midas tak semudah
rencananya. Manusia-manusia pasir menolak diusir. Mereka
mempertahankan gurun yang kini jadi sumber penghidupan.
Bertani atau Mati!
Penolakan di mana-mana. Penyusupan ke gurun selalu
gagal karena dihadang massa. Mereka menuai simpati, kaki
tangan Baginda ketakutan membicarakan perlawanan. Dalam
kultur feodal, perlawanan adalah tabu. Kupingku mendengar
lalu menyimak, mataku melihat lalu mengamati. Ada satu nama
penting dan berbahaya. Tanganku segera mencatatnya, rekam
jejak sosialnya dilacak, wataknya didalami.
Dia dididik kaum bertradisi kiri yang live in di desanya, meski
ia tak pernah tahu apa kiri itu. Pembaca Marx? Tentu saja bukan,
ia buta aksara. Menganut komunis? Ia seorang santri, mendengar
istilah itu saja mungkin tak pernah, apalagi memahami dan
menganutnya. Penganjur revolusi? Terlalu mewah, penganjur
adalah aktivitas kelas menengah sedangkan dia kelas terbawah.
Lalu apa bahayanya? Analisisnya yang mendekati analisisku, dan
ia punya kemampuan yang tak kupunya jika aku telanjang tanpa
otoritas. Ia mampu menggerakkan banyak orang untuk beralih
pendapat dan sikap. Ia penanam gagasan, penebar pengetahuan,
dan mudah dipahami sesamanya. Orang-orang bergerak tanpa
paksaan. Di tempatnya tinggal, semula hanya dua butir manusia
pasir yang menolak diubah menjadi baja, tetapi dalam dua
tahun seluruh penduduk desa berada di belakangnya, bersuara
sama dengannya. Sebutir pasir itu telah menjadi ikan dalam
akuariumku, tinggal dijala paksa pada saatnya.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 431


Ikan yang lugu, begitu mudah dipancing keributan. Dia
boleh saja tak bersalah, tapi tetap harus ditangkap. Para siluman
mengambilnya dengan bujukan, tepat tengah hari ketika ia
bekerja di ladang. Meninggalkan isterinya yang meraung-raung
kebingungan. Satu hari, satu minggu, satu bulan, sidang tak
segera digelar, ia menginap di ruang tahanan.
“Bebaskan Tukiyo, bebaskan Tukiyo!” Massa berarak, berteriak
sampai serak. Menuntut pembebasan. Omong kosong! Bahkan,
jika perlu ia ditahan selamanya.
Tukiyo Si Biang Keonaran. Begitu bunyi berkas-berkasku
tentangnya. Setiap orang tertipu oleh penampilannya yang tolol
dan sederhana, kecuali aku. Dia hanya perlu bertapa 3-5 tahun di
Kampus Biru agar kesaktiannya berada setingkat di bawahku. Aku
dan dia hanya terpaut waktu dan biaya. Selebihnya sama saja.
Surat-surat keramat beredar di jagad maya. Anjing! Biang
Keonaran itu menulis dari balik jeruji besi. Bagaimana bisa?
Apa di penjara ada pelajaran tulis baca? Surat-surat keramat
diselundupkan keluar, entah oleh sang isteri, anak, atau penjenguk
lainnya. Dia mulai berlagak seperti Tan Malaka, Antonio Gramsci,
setidaknya Pramodeya Ananta Toer yang ulung bertutur. Bangsat!
George Junus Aditjondro (GJA), biang keonaran yang sama,
menjenguknya pula, kabarnya menjanjikan sebuah tulisan
tentang kisah kaumnya. Siapa pun tahu, satu gagasannya adalah
topan yang meluluh lantakkan satu rezim kekuasaan. Lawanku
bertambah satu, kelas berat yang susah tumbang. Intelektual
yang disegani karena konsistensi, jenis yang semakin langka.
Setidaknya, catatan tentang GJA si tua tambun itu akan kutambah
dan kisahnya akan dimulai lagi, melengkapi yang sudah-sudah.
Banyak yang dengki padanya, mencurigainya sebagai agen ganda,
tapi enggan mencari bukti. Aku cukup peka, cukuplah kuasa
modal penguji keberpihakan. Seorang Pemuka Agama merangkap

432 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
budayawan, sekampung halaman dengan Presiden ke-5—aku
ingat Presiden RIS ke-2 dijabat Mr. Asa’at, dulu dikenal menentang
pembangunan kolam yang menenggelamkan 3 kecamatan
bersama Si Burung Manyar. Ia membangun massa lewat forum
pengajian. Dinobatkan jadi idola kaum pinggiran. Tapi kini,
ia terbukti menjinakkan manusia lumpur dan manusia kapur,
membela penyebab bencana—demikian laporan sebuah jurnal
ilmiah yang kubaca. Ibarat prahara dunia sastra, membandingkan
GJA dan Pemuka Agama itu sama seperti membandingkan
Pramoedya dan Martin Aleida, siapa pun tahu perbedaannya.
Bisikan pasir-pasir ditangkap angin, dibawa ke seberang
lautan, lalu menuai dukungan di segala penjuru benua. Mereka
merasa senasib dengan manusia-manusia pasir. Protes digelar
di Perth, London, Ithaca, Chicago, Nairobi, Paris, Adelaide,
Frankfurt, Amsterdam, Praha, Beijing, Penang, dan Manila. Jakarta
tak kuhitung, kota itu tak penting karena isu apa pun mudah
menguap. Tapi bagaimana manusia-manusia pasir itu mampu
menembus jagad maya, bukankah mereka cuma petani biasa?
Apakah ini ulah perusahaan telekomunikasi ternama, Connecting
People? Ah, sulit dibuktikan, kurasa perusahaan itu hanya
dimanfaatkan teknologinya. Bagaimana aku bisa menghentikan
angin pembawa berita?
Rabindranath Tagore telah lama berujar, “Cecabang dan
dedahan adalah akar-akar yang menjulang ke atas.” Aku tak
boleh tertipu oleh penampakan luar, yang menjulang tinggi
sesungguhnya bukan yang sejati. Akar selalu saja di dasar, maka
aku harus menggali lebih dalam. Satu tanganku akan kuubah
serupa lawan.
Muda, doyan ganja, minimal pernah gandrung Nirvana atau
The Clash. Tindik, tato, dan rambut gimbal sudah syarat utama.
Seolah rajah “tak terjinakkan” tertera di setiap inci tubuhnya.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 433


Portofolionya menjanjikan, entah dalam kenyataan. Otodidak,
ia filsuf muda. Musisi yang tekun, sarjana matematika, dan
menjalani hidup murni sebagai perupa. Tentu saja, ia tak punya
potongan peringkat tiga lulusan terbaik akademi kepolisian. Ia
prajurit yang suka berteriak “Enggak Grak!”, untuk baris-berbaris
atau hormat senjata. Diklat dan pembekalan dijalaninya tiga
bulan dari setahun yang ditargetkan. Kemudian, ia dilepas tanpa
senjata.
Kami berbicara dengan bahasa yang tak dipahami warga
biasa. Aku hanya perlu rajin menyimak rekaman video
permainan instrumental yang ia mainkan dan ditayangkannya
melalui Youtube setiap minggu. Kepekaan telingaku yang lain
membantuku untuk menerjemahkan bunyi nada dalam notasi
angka. Kebanyakan underground atau punk, minimal genre rock
tahun 90-an. Pernah ia memainkan keroncong, yang tampak
sebagai lelucon ketimbang usaha kreatif yang patut ditonton.
Aku melarang ia memainkan dangdut, cengkok dangdut akan
mengacaukan pesan. Seperti halnya aku sulit membedakan susah
dan senang dalam setiap iramanya: dangdut susah senang tetap
goyang, itu masalahnya. Lalu, notasi angka itu kuterjemahkan
sendiri menjadi kode yang sudah kusepakati dengannya. Peranku
berakhir sebagai penafsir.
Ada satu rumah bernomor 325, alamat itu muncul dua kali
dalam seminggu dalam nadanya. Perhimpunan-perhimpunan
terselubung. Agenda-agenda rahasia. Topik Zine—edaran tak
resmi yang diperbanyak sendiri. Dan sepotong lirik berjudul
you Rise me Up. Rutin dalam tiga bulan terakhir kabar-kabar
membanjir. Pesan balik aku kirimkan sebagai komentar balasan
dalam laman Youtube-nya. Ikan-ikan akan dipancing umpan.
Tanganku menyusup lembut sebagai perantauan. Emosinya
yang labil dan narkoba melindungi jatidirinya dengan sempurna.

434 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Aku memberontak, maka aku ada!” Dia berteriak lantang di
mana-mana. Muda, radikal, dan melawan. Siapa lawanku yang
tak tergoda?
Sebagai pembuka, ujung Sulawesi diguncang ledakan. Di susul
Kota Kembang, lalu Kota Pahlawan. Ketiganya menggemparkan
media massa, tapi kubiarkan isunya dimangsa polisi pengejar
setoran. Sialan, ikan-ikan belum lengkap berkerumun merayakan
kemenangan. Hingga suatu hari, menjelang pagi, sebuah
perangkat transaksi uang meledak dihantam api, di kota ini. Ya!
Bagus. Setidaknya itu mempermudah pengamatan selanjutnya.
Tak ada perbuatan tanpa jejak, dan tak ada jejak yang tak
terlacak. Berbagai barang bukti tertinggal di lokasi, mungkin
tanganku sengaja meninggalkannya untuk ditelusuri. Kartu jati
diri, surat testimoni, propaganda solidaritas, saksi mata, sidik jari,
rekaman CCTV. Lengkap sudah. Dia memang benar-benar bisa
diandalkan.
Tiba-tiba permainan senyap, inderaku tak menangkap apa-
apa. Ada apakah ini? Aku paling benci dengan kesunyian, kesunyian
itu hampa, tanpa pengetahuan, tanpa kuasa. Semua inderaku
kuhubungi, dan memang yang terdengar dan yang terlihat ialah
tak ada apa-apa. Waktu! Ya, waktu yang akan memberitahu,
sebab waktu membawa serta perubahan. Waktulah yang akan
menjadi sekutuku. Sementara itu, proses-proses penguasaan
lahan dan membangun pembenaran melalui rezim hukum terus
berjalan. Apa pun yang dikehendaki majikanku harus dijalankan,
kehendaknya adalah hukum yang harus dipatuhi.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Baru kali ini inderaku buta, tuli, dan
kehilangan kepekaannya dalam meraba. Dalam dua tahun ada
dua perhelatan dibikin oleh manusia-manusia pasir. Perhelatan
yang cukup penting dan berbahaya. Ini adalah bom dahsyat yang
meledak tanpa suara. Semua terjadi tanpa gegap gempita. Siapa

Gerakan dan Perjuangan Agraria 435


saja yang terlibat? Inderaku kembali bekerja dengan kepekaan
yang lebih dari sebelumnya. Pelan, samar, satu demi satu mulai
terlihat dan terdengar.
Dua nama samaran menyisip dalam catatan. Padang Ilalang
dan Pembunuh Gratisan. Mereka perpaduan dua unsur yang
bereaksi tanpa henti, semakin sering bersentuhan, semakin besar
energi yang dihasilkan. Mirip reaksi fusi helium dan hidrogen di
kulit matahari. Sialnya, tak banyak yang kudapat tentang mereka.
Padang Ilalang, di sana berkerumun makhluk-makhluk
liar, tak terbeli dan tak dijual. Dandelion, Imperata, Cyperus,
bahkan Amanita cendawan menawan pembawa ajal. Semacam
Ruang Gulma, rumah vegetasi yang tak dikehendaki. Perayu
yang menggoda. Tak tertahankan. Memabukkan. Berefek
ketagihan. Yang paling berbahaya tak henti menumbuh sebarkan
ketidakpatuhan.
Pembunuh Gratisan. Pembasmi efektif dan cepat yang gemar
menyelinap di tengah masyarakat. Makhluk-makhluk cerdas.
Analis wacana. Pembobol sumbat-sumbat informasi. Peretas
sekat-sekat identitas. Penghubung komunitas. Homo connecticus.
Beberapa merupakan tipe perintis yang militan, mampu bertahan
di situasi paling kritis, selalu saja selamat setelah nyaris tewas.
Satu orang mereka sebanding tiga atau empat batalion angkatan
bersenjata. Jangan bandingkan dengan pasukan khusus, apapun
mereknya. Yang terkuat tak pernah menampakkan diri.
Selama Tukiyo di balik jeruji, dua kali mereka diam-diam
membantu manusia pasir menghimpun para penyamun. Sejenis
manusia pasir. Ada manusia hutan; manusia kapur; manusia
kebun; manusia lumpur, manusia air mineral, manusia lapar
tanah, manusia geothermal. Kuakui, aku kalah sekian langkah
dari dua keparat itu. Tapi, lain kali tidak akan.

436 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Rembulan menyabit awan di lengkung langit yang kelam…
Seni adalah keindahan abadi—ini pendapat Sasori, shinobi
anggota Akatsuki. Bagiku, seni adalah yang sirna dalam sekedipan
mata. Tentu saja, aku adalah seniman sejati. Tapi, baru-baru ini
muncul seorang seniman gadungan tak ternama, atau mungkin
sebenarnya ia seorang dokter bedah pakar anatomi tubuh-
tubuh sengketa tanah, atau seorang ahli forensik dalam kasus
pembunuhan sejarah. Ia gemar membongkar apa pun yang
dianggap mapan dan benar. Lawan yang benar-benar menakutkan.
Ia tampak sangat jinak, mampu berkompromi dengan siapa pun,
dengan apa pun. Tapi, siapa yang tahu isi hati? Mataku di segala
penjuru tak mampu melihat apa pun yang berbahaya tentangnya,
namun mataku sendiri melihat nyala api. Api yang tak kunjung
mati. Api yang ia sulut di setiap tempat dan kesempatan. Ia bukan
penghuni Padang Ilalang meskipun ia sangat liar, bukan pula
seorang Pembunuh Gratisan meskipun ia sanggup melakukan apa
pun tanpa dibayar, sialnya ia mempunyai kemampuan yang sama
dengan para keparat yang telah kucatat.
Keparat itu telah membongkar dusta besar Baginda. Dengan
bukti dan alasan yang sangat meyakinkan, bahkan tak terbantah.
Setidaknya, ada lima dosa besar Baginda yang menjadi alasan
senjata ajudanku dapat menyalak di kepalanya yang agung.
Keparat itu mengurainya satu demi satu, betapa detil dan jelinya.
Dosa pertama, Baginda telah melakukan kejahatan hak asasi
manusia.
Di wilayah kekuasaannya, ia melarang setiap orang
keturunan India, Eropa, dan Tionghoa mempunyai hak milik
atas sebidang tanah, turun-temurun. Alasannya, itu adalah
aturan untuk membatasi kepemilikan aset untuk pemodal kuat,
kenyataannya yang miskin papa juga ikut dicabut haknya. Ada
sebuah surat yang ia tujukan pada seorang warganya, resmi dalam

Gerakan dan Perjuangan Agraria 437


kedudukannya sebagai pejabat negara. Entah bagaimana, keparat
itu mendapatkannya, lalu mempublikasikan surat itu di berbagai
kesempatan. Komisi Hak Asasi sudah memberi peringatan dua
kali pada Baginda untuk mencabut aturan yang tak relevan itu.
Para punggawanya sudah menghimbau, tapi Baginda bilang,
“Biarkan saja, Cina-cina itu nanti lupa sendiri.” Baginda tak
membenci Tionghoa, kerajaan bisnisnya dikelola oleh mereka.
Merekalah yang rajin mengirim upeti, memberinya kesenangan
di Macau, Las Vegas, atau lapangan golf. Aku tahu ini rasisme di
era demokrasi, tetapi di sini wibawa seorang raja adalah segala-
galanya.
Dosa kedua, Baginda telah merampas wilayah negara.
Keparat itu mampu memancing Baginda untuk sesumbar:
“Tak ada tanah negara di wilayahku, semua tanah adalah
milikku.” Lalu, pada gilirannya, dia publikasikan aturan yang
dibikin Baginda untuk merampas semua tanah desa di seluruh
wilayahnya. Memang ada aturan di masa lalu, pada masa kerajaan,
yang menyatakan semua tanah tak bertuan adalah tanah kerajaan.
Namun aturan itu sudah resmi dicabut oleh negara, majikanku
yang lain, yang mana kepadanya aku bersumpah setia. Keparat itu
telah membuat sebagian penduduk tahu dan kemudian percaya
bahwa Baginda tak punya dasar untuk mengaku sebagai pemilik
sah seluruh tanah di wilayahnya. Persoalan ini sesungguhnya
serius, karena sudah diintai sebagai perkara disintegrasi. Aku
memilih diam, menunggu saat yang tepat untuk ambil sikap.
Dosa ketiga, Baginda telah mengambil paksa hak milik sah
warga negara.
Karena Baginda merasa memiliki seluruh tanah di
wilayahnya, maka tak segan-segan ia memerintahkan salah satu
punggawanya untuk menekan kepala badan pertanahan untuk
tidak menerbitkan hak milik atau menunda pemberian hak

438 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
milik sepanjang itu menyangkut tanah kerajaan. Lagi-lagi surat
rahasia itu bocor dan tersebar, semua gara-gara keparat itu. Aku
memeriksa kebenaran pernyataan keparat itu. Ia sungguh tak
berdusta. Benar, di satu desa—belum desa lainnnya, ada sekitar
seratus sertifikat hak milik tanah yang dihapus statusnya secara
semena-mena, dari hak milik menjadi hak pakai, tanpa proses
pengadilan. Andai itu terjadi padaku, aku pasti akan menuntut,
tetapi untungnya aku tak punya aset di sini, aku tak kehilangan
apa pun.
Dosa keempat, Baginda telah merampok uang rakyat seluruh
negeri untuk memperkaya diri, keluarga, dan kroni.
Undang-undang yang istimewa sudah disahkan. Mengatur
semua kepentingan Baginda di atas kepentingan semua warga
negara. Hanya di tempat ini jabatan negara diwariskan, tanpa
pemilihan, dan itu diyakini wujud lain demokrasi, karena
demokrasi menghormati tradisi. Persoalannya, semua itu dibiayai
dengan pajak seluruh warga negara. Baginda dapat menikahkan
putrinya dengan uang negara, bisa mengecat istananya dengan
uang negara, dan merampok tanah-tanah negara dengan uang
negara. Korupsi? Tentu saja bukan karena ini amanat undang-
undang. Jika memang korupsi, siapa berani memperkarakannya?
Tangan Baginda menggurita di mana-mana, ia jadikan hampir
seluruh pejabat negeri ini sebagai abdinya, diberinya gelar
kehormatan. Siapa tak bangga diberi gelar bangsawan? Aku sudah
bangga bergelar perwira pemberian negara, tak perlu gelar lain.
Tak ada cerita hamba menggugat tuan, dengan cara itulah Baginda
akan selamat sepanjang hayat.
Dosa kelima, Baginda melakukan manipulasi sejarah sebagai
landasan bagi kejahatan-kejahatan yang telah ia lakukan.
Akar dari dosa-dosanya adalah klaim bahwa Baginda adalah
pemimpin negara yang sudah merdeka sebelum negara ini ada.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 439


Punya hukum dan tata pemerintahan sendiri. Punya wilayah
kekuasaan yang sah dimiliki. Aku percaya karena itu tertulis dalam
buku sejarah. Namun, keparat itu punya bukti lain. Ia punya
salinan naskah asli perjanjian pendirian kerajaan, yang bunyi
pasal-pasalnya diterjemahkan. Terjemahannya juga kudapati
pada buku tua terbitan tahun 1953. Ternyata kerajaan ini hanyalah
boneka VOC, dipinjami wilayah, dan siapapun rajanya adalah
antek-antek penjajah. Baiklah, keparat itu punya fakta, tetapi
aku punya kuasa. Siapa yang akan menang dalam pertarungan
wacana, kesahihan data atau kekuasaan? Aku terbukti menang di
mana-mana, keparat itu?
Pancadosa Baginda dibedah di ruang terang, membuatnya
meradang, gulanya naik berkali lipat, ginjalnya terancam gagal.
Jangan takut gagal ginjal, Baginda. Sabar dan tetaplah berusaha,
kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Beberapa kali ia
keluarkan sabda untuk selamatkan aset dan tahta.
Keparat satu itu, aku belum punya formula untuk
menjebaknya, ia begitu bersih sehingga sulit disapu berbagai
tuduhan. Aku tak mungkin menculiknya, meracunnya di
udara, menjemputnya dengan alasan pencemaran nama baik,
apalagi mendatangi kediamannya dan menembaknya di tempat.
Mungkin suatu saat ia akan masuk perangkap, aku hanya perlu
tetap mencermatinya, yang penting ia telah menjadi ikan anggun
yang berkeliaran di dalam akuarium.
Malamku gelap lagi panjang, namun pagiku pasti datang
Aku ragu aku akan kalah. Berkas-berkasku kubaca ulang.
Segala kemungkinan kutimbang. Manusia-manusia pasir itu
hanya akan memperpanjang nafas perjuangan, sebab perang
membutuhkan biaya besar. Lagipula, sengketa terbuka hanya
akan merugikan Baginda. Ini adalah zaman ketika modal harus
berputar tanpa kekerasan. Posisiku menang di atas kertas, aman

440 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dari intaian lawan. Aku siap menghadapi lawan-lawanku yang
serupa hantu, karena aku gaib dan menghantui layaknya hantu.
Kini aku butuh pengetahuan baru, aku mungkin meluputkan
satu cara: pembunuhan massal yang manusiawi.
Jurnal-jurnal bertopik ekonomi politik tentang perubahan
bentang alam kukumpulkan, kupelajari dengan mendalam.
Dari karya Iwa Koesoema Soemantri hingga Tania Li; dari Lenin
hingga Bernstein. Pada akhirnya, hanya kutemukan mitos tentang
petani kecil, petani yang bekerja hanya untuk sekedar hidup,
petani yang lepas dari sentuhan produk industri, petani yang tak
memburu laba, petani yang berhasil menahan hasrat konsumsi.
Aku tak tertipu oleh cerita seksi kaum penggila eksistensi tentang
kemiskinan dan perebutan kekuasaan. Aku pilih mencicipi
kenyataan, bahwa masakan yang sedap selalu banyak bumbu, dan
bumbu mengaburkan rasa asli.
Manusia-manusia pasir, apa yang sesungguhnya mereka
pikir?
Apa yang pernah didengar kuping-kupingku, kudengar ulang:
“Bayangkan saja, kami ini sudah makmur dengan bertani,
kami bisa bangun rumah, sekolahkan anak, punya banyak
ternak, beli kendaraan. Apa itu mau dirampas begitu saja dengan
tambang?” Sukarmin berujar, menjelaskan pada kupingku yang
berwujud mahasiswa.
“Selama cabai itu tumbuh di sini, perlawanan kami tak akan
berhenti. Bertani atau Mati! Itu prinsip kami.” Isyanto tak kalah
lantang, di hadapan kupingku yang berprofesi sebagai pengajar
dan peneliti.
“Semua sudah kami lakukan, tak ada yang kurang. Persetan
kata orang, yang penting kami masih panen. Mereka cuma

Gerakan dan Perjuangan Agraria 441


pengamat bukan pelaku. Lihatlah, warna kesuburan ini, itu bukti
kami tak butuh tambang. Bahkan saya sedang menulis otobiografi
perjuangan, karena sesungguhnya bertanam adalah berlawan.”
Kata Sang Pencerita, yang tak mau disebutkan namanya, pada
kupingku yang berperan jadi jurnalis media ternama.
“Kami ini ibarat pelita. Harapan di dalam kegelapan. Dian
yang menolak dipadamkan!” Tegas Cuklak, pemuda pegiat
ketoprak di kampung itu.
Semua terdengar nyaring di sini, lebih bening dari lengking
seruling.
Catatan-catatan tangan-tanganku juga kuperiksa kembali.
Barangkali, aku melewatkan banyak hal. Trend impor pangan,
trend harga pangan, siklus produksi pertanian, neraca simpan
pinjam skala regional, laju pengembalian modal bisnis
hortikultura di tempat manusia-manusia pasir itu berada, dan tak
lupa daya kapital mereka. Catatan-catatan itu tak terlewat, lebih
detil dari laporan penelitian para sarjana tentang manusia pasir
dan kehidupannya.
Ya, polanya mulai terbaca. Kapan mereka menanam, kapan
mereka panen, komoditas apa saja, apa kendala-kendala budidaya,
fluktuasi harga, ketimpangan penguasaan lahan, benih-benih
sengketa, dan hubungan gelap antara elit mereka dengan
penguasa. Kurasa, lawan-lawanku luput meliput hal-hal sederhana
ini, barangkali jauh dari minat si pengamat. Sepertinya aku harus
menggelar pertemuan para dewa. Tidak hanya Padang Ilalang dan
Pembunuh Gratisan yang mampu membangun aliansi, akupun
bisa membuat koalisi dan kolaborasi. Biarlah pendukung mereka
memuja manusia-manusia pasir itu selagi tangan-tanganku tekun
bekerja.

442 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Tanganku melukis sejarah berdarah, dan dunia adalah
kanvasnya.
Hasratku keserakahan tak kenal kenyang, tubuhku tumbuh
dari berjuta tumbal.
“Apa yang sudah dilakukan dan apa rencana kita untuk
selamatkan hasrat Baginda? Sejauh ini aku menciptakan pro
dan kontra, mereka sudah terkepung para pendukung tambang.
Bahkan, mereka sudah mulai bersengketa hanya karena perbedaan
cara melangkah.” Antropolog itu memulai diskusi.
“Aku sudah mengubah catatan sejarah, tafsirku telah menjadi
kesadaran massa, siapa pun akan yakin wilayah ini memang milik
Baginda. Seniman Gadungan itu, meski ia benar, siapa yang akan
percaya?” Sejarawan itu menyahut.
“Proses legal sudah kutempuh, berjalan mulus tanpa
hambatan, dari kontrak karya hingga AMDAL.” Si pakar hukum
sekaligus lingkungan itu tak mau kalah.
“Aku tahu pola produksi dan konsumi, ketimpangan
penguasaan lahan, dan potensi konflik di antara mereka.
Bagaimana denganmu? Apa kerjamu selama jadi wakilnya rakyat?”
Aku bertanya pada politisi di sampingku.
“Aku? Kalian kira aku tak kerja, lihat… Baginda sudah punya
alat hukum untuk memenuhi hasratnya. Sebuah undang-undang
yang istimewa. Aku tinggal mengesahkan aturan pelaksanaan,”
jawabnya.
“Laporan yang kuterima darimu menunjukkan bahwa mereka
rentan pada impor, rentan kenaikan harga sarana produksi, dan
biaya konsumsinya tinggi. Benar itu fakta lapangannya? Apa kau
sudah menghitung kekuatan pasar lelang mereka, Komandan?”
Ekonom itu bertanya padaku, yang lain menanti jawaban.

Gerakan dan Perjuangan Agraria 443


“Ya, itu faktanya. Kekuatan mereka sudah kuperhitungkan.
Kita hanya perlu menemukan cara agar mereka mati pelan-pelan
dengan nyaman,” jawabku.
“Sebentar, kalau begitu, manusia-manusia pasir itu bagian
dari rantai komoditas dari perusahaan-perusahaan. Kenaikan
harga BBM saja mengancam mereka gagal panen, apalagi kenaikan
harga benih, pupuk, dan pestisida. Begitu?” Pakar ekonomi itu
meminta keteranganku.
“Persis! Sebab alasan mereka menolak kehendak Baginda
ialah agar tetap bertani, dan itu artinya motivasi ekonomi. Terlalu
jauh untuk dikatakan kesadaran kelas. Mereka juga belum keluar
dari jerat-jerat hutang perbankan, padahal hasil dari panen
ratusan juta rupiah. Itu artinya…”
“Konsumtif! Ya, biaya konsumsi mereka tinggi. Mereka belum
punya alat pembiayaan yang mandiri. Kukira itu membentuk
mental dagang, mereka akan mengejar laba yang lebih tinggi,
pertanda belum bebas dari watak akumulasi. Baik, sementara ini
dulu, silakan dilanjutkan.” Pakar ekonomi itu hanya menegaskan
pembacaanku.
“Konflik sudah memuncak pascapenangkapan Tukiyo Si
Biang Keonaran, mereka tampak surut meski tahun lalu sempat
bergerak diam-diam. Saat ini grafik konflik mereka sedang
menurun, ini saat tepat untuk masuk, mumpung mereka merasa
kuat dalam kerapuhan yang nyata.” Politisi itu menyarankan.
“Maaf kupotong lagi, sebelum jauh ke sana. Apakah program
nasional juga sudah diperhitungkan? Ke depan kita tak bisa lepas
dari Rencana Komprehensif Pembangunan Asia.” Pakar ekonomi
itu mencoba memeriksa gagasan.
“Itu sudah, wilayah itu dirancang jadi kawasan ekonomi
khusus, gerbang pariwisata, dan jalan lintas selatan. Desa di

444 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sampingnya sudah dirancang jadi bandara internasional. Jika
rencana kita masuk hampir bersamaan dengan bandara, maka
mereka akan sibuk dengan urusan sendiri, ” jawabku.
“Bagus! Artinya ada peluang untuk masuk dengan program
pembangunan,” balas ekonom itu.
“Ya, tapi jangan langsung tambang. Risikonya terlalu besar.
Pengalamanku di berbagai tempat banyak gagalnya,” pakar
hukum sekaligus lingkungan mengingatkan, “tapi aku juga
punya cerita sukses, aku memasukkan sawit, tambang, dan
yang paling manusiawi adalah Carbon Trade ke dalam wilayah
hutan adat. Pertama kudorong masyarakat adat memodernkan
diri mereka dengan membuat LSM, maksudku mengukuhkan
identitas tradisional dengan cara-cara modern yang mereka
‘lawan’, lalu mereka merebut klaim atas ruang melalui perjuangan
legal hingga mendapat pengakuan negara dalam batas-batas
tertentu. Masyarakat adat dan wilayah adatnya diakui sepanjang
masyarakat itu masih punya identitas, baik wilayah, tradisi
maupun keberadaan orang-orangnya. Nah, pemerintah saat
ini memberikan Hak Komunal bagi masyarakat adat atas hutan
ulayat, dan itu artinya mereka akan dilekati hak milik dengan
sertifikat. Padahal, identitas masyarakat adat tidak mengenal
hak kepemilikan, lebih-lebih sertifikat. Begitu mereka menerima
sertifikat itu, maka mereka kehilangan identitas adatnya dan bisa
dikeluarkan dari wilayah yang semula mereka kuasai, itu cara
yang paling kasar. Cara paling halusnya, mereka akan jadi lebih
gampang untuk menilai ruang hidupnya dengan uang. Masyarakat
adat itu membahayakan selama mereka tidak tersentuh uang dan
cara berpikir modern.”
“Hmm…, kau benar, salah satu cara menyembuhkan migrain,
pusing kepala sebelah, adalah memukul keras-keras bagian
kepala yang tidak pusing, pusing di seluruh kepala bukan migrain

Gerakan dan Perjuangan Agraria 445


namanya. Itu logikanya. Efektif. Buanglah jantungmu agar kau
bebas dari serangan jantung!” Aku menanggapi pakar hukum
sekaligus lingkungan itu.
“Ya, ya itu cerdas. Lalu apa? Pabrik sambal atau saos? Itu
sesuai kehendak program nasional tapi akan memperpanjang
perlawanan, lalu tambang masuknya kapan?” Ujar antropolog itu
tak sabar.
“Kita menghadapi tiga isu seksi yang diusung lawan. Ekonomi
Kerakyatan, Hak Asasi Manusia, dan Lingkungan. Selama mereka
masih bertani, dengan berat hati kukatakan: tambang pasti akan
tumbang, ” jelas ekonom.
“Sebentar, sebentar, aku ingat sesuatu. Kalian ingat ada tambak
udang di Pantai Kuwaru? Mungkin itu bisa dipertimbangkan.”
Politikus itu tiba-tiba menyeletuk.
“Iya, terus apa hubungannya? Kita sedang bicara tambang,
bukan udang.” Sejarawan itu menangkis.
“Kau benar soal tambak itu. Kau justru memberi inspirasi.
Tapi, kita harus timbang betul strateginya,” kataku
“Apa idemu?” Tanya si pakar ekonomi dan pakar antropologi,
hampir bersamaan.
“Sebuah moda produksi transisi, suatu mata pencaharian yang
lebih menguntungkan dari bertani, yang lebih rentan dimainkan
pasar, yang memberi kebanggaan karena keren, yang lebih cepat
merusak lingkungan…,” jawabku.
“Jenius! Kau jenius. Tapi apakah itu mungkin tanpa jaminan
pasar, payung hukum, dan perijinan?” tanya si pakar hukum
sekaligus lingkungan.
“Aku dan dia bisa mengusahakannya, itu gampang, aku
pembuat regulasi dan dia sejarawan tangan kanan keluarga

446 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kerajaan,” politisi menepuk-nepuk bahu sejarawan, yang ditepuk
mengangguk-angguk mengiyakan, “sementara itu, aku akan
dorong model-model penyelesaian konflik yang elitis, maksudku
yang tidak mengandalkan kekuatan massa, yang mengharapkan
kebaikan dan kehadiran orang-orang sepertiku, semacam lobi-
lobi yang mengandalkan peran negara. Perjuangan di luar hukum
dan parlementer kubikin semakin sulit dilakukan. Cuma itu
caranya memperpendek nafas perjuangan mereka.”
“Pas. Aku setuju. Ketika mereka beramai-ramai membuka
tambak, pelan-pelan mereka meninggalkan pertanian. Bertanam
adalah Berlawan hanya tinggal jargon,” kata antropolog itu.
“Ah, memoar kacangan saja kau perhitungkan. Biarkan saja,
penulisnya berkaca di cermin buram. Terlalu bangga dengan diri
sendiri. Bukankah itu justru menguntungkan?” Si pakar hukum
sekaligus lingkungan menimpali.
“Baik, kapan kita mulai? Waktu kita tak banyak. Kalau bisa
memang seiring pembangunan bandara internasional itu, agar
mereka tak sempat koalisi. Tapi, bagaimana mengantisipasi
kesadaran kelas? Kukira itu harus diperhitungkan. Antropolog
ada ide?” Si pakar ekonomi mendesak.
“Ide? Sementara ini, ya... Kita manfaatkan saja jargon
mereka. Kita kampanyekan memoar itu, kita ceritakan sebagai
kisah kemenangan. Lebih bagus kalau difilmkan, film yang
memukau dan melenakan, macam Samin vs Semen. Aku paling
suka bagian ketika manusia kapur itu bilang ‘Silakan bikin pabrik
semen di Papua yang masih luas wilayahnya, jangan di sini…’. Itu
memindahkan masalah ke tempat lain, bukan menyelesaikannya.
Jadi, semakin mereka merasa bangga dan tak tahan kritikan,
maka itu akan semakin menguntungkan. Bagiku akan sangat baik
jika hasil penelitian atau narasi perjuangan membeku di ruang

Gerakan dan Perjuangan Agraria 447


diskusi. Pengungkapan yang rumit dan konseptual itu diperlukan,
agar ketimpangan tersamar.” Antropolog itu berbagi gagasan.
“Itu bisa diatur, tapi kita kan tak bekerja tanpa imbalan? Kita
ini ‘konsultan’, plesetan-nya orang Jogja: Kongkonane Sultan, kita
bukan abdi dalem, pesuruh, atau pekerja gratisan. Kita bekerja
professional. Nanti kita bicarakan dengan Baginda, setelah
hitung-hitungan untung di antara kita sudah kita disepakati,”
kataku menutup pembicaraan.
Oh senjakala, apa pesanmu di rembang usia?
Enam bulan semenjak pertemuan para dewa, tanah-tanah di
unduk gurun mulai disewakan, sebagian ditanggungkan untuk
modal. Lahan-lahan hijau mulai berganti kolam-kolam payau.
Tambak-tambak udang bertumbuhan seperti cendawan di musim
hujan. Proyek padat karya yang saling meniadakan. Bagaimana
tidak? Tanaman mereka haus air tawar, udang mereka doyan air
garam. Dapatkah keduanya bersandingan? Manusia-manusia
pasir itu akan sibuk bertarung satu sama lain, yang satu ingin
tetap bertani sedangkan yang lain ingin menambah penghasilan
dengan tambak udang. Mereka akan larut dalam perpecahan,
hingga rantai pengikat dengan manusia-manusia sejenisnya akan
putus dengan sendirinya. Perhitunganku, apabila moda produksi
transisi itu berlangsung dengan laju yang kontinu, maka dalam
lima tahun seluruh padang pangan ini akan kembali menggurun.
Lalu, skema pasar akan memaksa mereka gulung tikar. Dian-
dian itu di ambang padam. Legenda manusia pasir akan berakhir,
menyisakan kisah manusia-manusia pandir.
Hari ini dia dibebaskan. Tukiyo, Si Biang Keonaran.
Tiga tahun kurungan dia jalani tanpa mengemis grasi.
Kebebasannya dinanti-nanti, dirayakan para pilar pangan,
disambut pekik: “Panjang umur perlawanan!”, di titik-titik konflik.

448 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Bahkan, ucapan “Selamat” tiba bertubi-tubi dari luar negeri. Pesta
kemerdekaan itu tak boleh lepas dari pengawasanku. Hanya satu
yang kucemaskan: penjara tak membuatnya jera!
Semua jadi lebih terang di sini, lebih terang dari sinar
mentari. Ikan-ikanku yang lucu berkeliaran dalam pengamatan,
di akuariumku, yang bening dan hening.
[ Southmountain, Januari 2016 ]
Untuk: Purwati

Gerakan dan Perjuangan Agraria 449


G.
Politik Ruang, Populasi dan
Kesehatan Mental
Transmigrasi atau
Skenario Jawanisasi?:
Politik Representasi Ruang dan Resistensi
Kultural Masyarakat Asli Terhadap
Transmigran Jawa
Dwi Wulan Pujiriyani1

Indigenious people have not generally welcomed settlement


of Javanese transmigrants among them, especially where the
Javanese have threatened to become a majority.2

A. Pengantar
Distribusi populasi di Indonesia digambarkan dengan pulau
Jawa sebagai wilayah yang mengalami kelebihan populasi
(overpopulated) dan pulau-pulau di luar Jawa (outer island) sebagai
wilayah dengan populasi yang rendah (underpopulated).3 Dalam
upaya merespon tekanan populasi, Indonesia melaksanakan
program redistribusi populasi yang kemudian dikenal dengan
istilah transmigrasi. Mengacu pada MacAndrews, transmigrasi4
telah menjadi aspek penting dalam pembangunan di Indonesia

1 Sosiologi Pedesaan 2015/ NRP I363150071.


2 Lihat Arndt, 1983:64.
3 Dalam situasi overpopulasi ini dicirikan tidak hanya dengan rata-rata standar hidup yang
rendah tetapi juga sistem sosialnya yang disebut Geertz dengan ‘shared poverty’. Gejala
overpopulasi ini juga digambarkan oleh Wertheim, menimbulkan kegelisahan (restiveness)
pada masyarakat yang tinggal di pedesaan Jawa. Lebih lanjut lihat Wertheim, 1959:185.
4 Mengacu pada Petersen W dan Renee Petersen (1986) dalam Nugraha Setiawan (2009),
Transmigrasi merupakan kebijakan pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk
dari pulau Jawa yang berpenduduk padat ke wilayah lain yang berpenduduk jarang di luar
Pulau Jawa.
yang telah dimulai sejak tahun 1905 dengan upaya yang dilakukan
oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memindahkan kelebihan
populasi dari Jawa ke pulau-pulau di luar Jawa yang kemudian
dilanjutkan sampai saat ini dalam program nasional Indonesia
yang mengirimkan ribuan keluarga setiap tahunnya. Dalam
periode ini, program transmigrasi menjadi subjek dari tujuan
yang terlalu ambisius dan tidak realistik yang dipengaruhi oleh
berbagai krisis internal yang terjadi dan harus dihadapi Indonesia
melalui kebijakan pembangunannnya.5
Skema pemukiman kembali dalam transmigrasi melibatkan
pemukiman kembali orang Jawa, kelompok yang jumlahnya
paling besar dan secara politis merupakan kelompok yang
memiliki budaya sentral di seluruh kepulauan yang ada di
Indonesia. Meskipun transmigrasi dikenal sebagai proyek
demografi yang bertujuan untuk menyelesaikan ketidakmerataan
pembangunan di Indonesia, signifikasinya secara politik dan
kultural terletak pada merelokasi pemerintahan Jawa untuk
merepresentasikan kehadiran negara di wilayah-wilayah yang jauh
dan terpencil atau juga dikatakan bahwa pemukiman kembali
petani transmigran Jawa yang miskin sebagai kehadiran ‘pusat’
di ‘pinggiran’. Dalam konteks inilah, transmigrasi kemudian
disebut sebagai ‘homogenisasi spasial’. Berbagai bentuk resistensi
terhadap program transmigrasi muncul. Kondisi ini yang
kemudian menjadi semacam katalis dengan munculnya tuntutan
mengenai perbedaan etnik dan otonomi budaya. Sebagaimana
disebutkan Elmhirst, mempertanyakaan kembali nation-building
pascakolonial dan kebangkitan kembali identitas budaya di
Indonesia merupakan bagian yang sangat penting dalam program
transmigrasi yang kontradiktif bergema secara politis dan budaya
di seluruh Indonesia.

5 Lebih lanjut lihat MacAndrews. 1978. “Transmigration in Indonesia: Prospects and Problems”.
Asian Surrvey, Volume 18, No. 5, May, pp 458.

454 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Pada satu sisi, transmigrasi merupakan sebuah instrumen
birokrasi untuk menciptakan keseragaman atau uniformitas
di berbagai kelompok yang berbeda secara kultural dalam satu
model kewarganegaraan Indonesia dan homogenisasi geografis.
Praktik-praktik kebijakan dalam program transmigrasi secara
nyata memunculkan resistensi pada kelompok-kelompok budaya
tertentu yaitu antara migran-migran Jawa dengan masyarakat asli
(indigenious people). Lebih lanjut, esai singkat ini akan membahas
mengenai homogenisasi geografis yang muncul melalui program
transmigrasi serta kompetisi budaya yang muncul antara
transmigran dengan masyarakat asli.

B. Transmigrasi, Representasi, dan


Politik Pengendalian Ruang
Transmigrasi merupakan instrumen kebijakan pembangunan
di Indonesia yang bertujuan untuk menyeimbangkan kepadatan
populasi di wilayah-wilayah inner Indonesia (Jawa, Bali dan
Madura) dengan wilayah-wilayah terluar atau outer areas seperti
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan sejumlah pulau-pulau lain
di wilayah Indonesia bagian Timur. Skema produksi ruang
menempatkan transmigrasi sebagai sebuah representasi khusus
dari ruang yang melekat dalam pemikiran birokrasi di Indonesia.
Berkaitan dengan ruang Lefebvre mengungkapkan konsep
spasialitas sosial yaitu ruang sebagai sebuah kategori sosial yang
diproduksi melalui dinamika relasi-relasi sosial yang kemudian
dikenal dengan konstruksi ‘conceptual triad’. Terdapat tiga
tipe ruang menurut Lefebvre yaitu praktik sosial - dialektika
relasi antara masyarakat dengan ruang yang diproduksinya.
Ini dipahami sebagai pengorganisasian kehidupan sehari-hari,
masyarakat menggunakan ruang dan menghadirkannya dalam

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 455


struktur kehidupan sehari-hari, memastikan kohesi sosial dan
kontinuitas.
Kedua adalah representasi ruang yaitu konseptualisasi ruang,
yang dibuat oleh ilmuwan, perencana, ahli perkotaan, teknokrat
atau para perekayasa sosial. Representasi ruang berkaitan dengan
relasi produksi dan beberapa hal seperti hegemoni, kodifikasi
dan tatanan, memiliki peran substantif dalam produksi ruang.
Dalam konteks transmigrasi, bisa dikatakan bahwa transmigrasi
merupakan bagian dari instrumen representasi ruang yang
muncul dari imajinasi pembangunan para teknokrat Orde Baru
dan dukungan internasional. Ketiga, ruang representasional atau
ruang representasi yaitu ruang yang secara langsung dilekatkan
dengan gambaran atau simbol-simbol, ruang yang ditinggali
atau digunakan. Ini diintepretasikan sebagai pemaknaan tempat
dan nilai simboliknya, ruang dimana orang mencipta melalui
modifikasi lingkungan. Dalam konteks inilah, social space atau
ruang sosial dimunculkan untuk melihat program transmigrasi
pemerintah sebagai bagian dari hegemoni representasi dari
otoritas negara. Konsep ruang sosial ini penting untuk bisa
melihat dimensi ekonomi, politis dan kultural dari hegemoni
spasial transmigrasi dan sebuah komunitas yang dibayangkan.6
Pemukiman yang dikembangkan melalui program
transmigrasi merupakan sebuah ekspresi material dari
representasi mengenai ruang yang hadir dalam otoritas politik
dan birokrasi yang tetap ada sampai pada sebuah ruang yang
represif. Hal ini bisa dilihat bagaimana transmigrasi pada masa
kolonial dan pasca kemerdekaan digunakan untuk memperluas
pertanian kapitalis di tempat-tempat yang jauh. Pemerintah

6 Dalam konteks pedesaan di Indonesia, beberapa praktek spasial yang berbeda dapat
diamati dari rutinitas religius, pertanian subsisten, persepsi-persepsi mengenai pengelolaan
hutan, ladang dan padang rumput serta kemampuan ruang yang dibutuhkan dalam suatu
masyarakat yang melekat dengan paham moral ekonomi.

456 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Orde Baru juga menggunakan transmigrasi untuk meningkatkan
produktivitas pertanian nasional dengan memperluas berbagai
program pengembangan pertanian melalui skema intensifikasi
padi dan sistem contract farming.
Transmigrasi juga digunakan untuk mengelola kelompok
marginal (petani, perambah hutan, pekerja sektor informal di
perkotaan, petani kecil) untuk kemudian mengubahnya dalam
sistem pertanian kapitalis. Pembangunan infrastruktur di lokasi
transmigrasi (jalan, pasar) merupakan bagian yang digunakan
untuk memfasilitsi pennyebaran industrialisasi). Dalam konteks
militer, transmigrasi juga menjadi mekanisme pemerintah
Indonesia untuk mengamankan wilayah-wilayah perbatasan
atau wilayah-wilayah yang jauh dan tidak stabil secara politis
seperti: wilayah perbatasan di Kalimantan, wilayah yang subur
dengan gerakan separatis seperti Irian Jaya dan Aceh). Yang
terakhir, program transmigrasi juga menjadi bagian dari birokrasi
pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol baik kelompok
migran itu sendiri maupun kelompok lokal yang berada di daerah
transmigran dengan menempatkan mereka dalam struktur
administrasi negara. Pemukiman transmigrasi merefleksikan
sebuah struktur birokrasi pedesaan yang top-down.
Dalam konteks politik spasial di Indonesia, dipahami sebuah
konsep mengenai ‘komunitas terbayang’ atau ‘komunitas imajiner’
(imagined community) yang mengacu pada sekelompok individu
yang memiliki ikatan dalam skala luas dan memungkinkan
mereka untuk melakukan kontak secara langsung. Dalam konteks
mengimajinasikan Indonesia inilah, Pemberton menyebutkan
bahwa Indonesia diimajinasikan berasal dari budaya keraton
di Jawa Tengah dimana didalamnya sebuah retorika budaya
mengkerangkai politik yang ada. Proses ini yang kemudian
mengacu pada ‘Jawanisasi’ atau memperluas hegemoni budaya

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 457


Jawa ke seluruh kepulauan Indonesia. Kekuatan politik dan
dominasi budaya di Indonesia memiliki dampak yang penting
pada berbagai kelompok budaya Indonesia ketika mereka diminta
untuk mengimajinasikan apa itu Indonesia.
Proses-proses dominasi budaya di Indonesia sebagai akar dari
negara Jawa merupakan sebuah metafor dan pusat geografis. Dari
sinilah kemudian dikenal terminologi ‘inner’ Indonesia (Jawa dan
Bali) dengan ‘outer’ Indonesia (pulau-pulau yang lain). Muncul
juga pencirian yang lain yaitu pusat populasi persawahan yang
padat (sebagian besar Jawa, Bali, sebagian Sumatra Barat dan
Sulawesi) yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan para
pemilik tanah, meningkatnya harga sewa, kontrol tanah oleh
kelompok elit dan populasi dataran tinggi pinggiran (upland
margins) yang meliputi Sumatra, Kalimantan dan Irian Jawa yang
menjadi subjek dari kontrol birokrasi yang kurang sempurna
dimana masyarakatnya ditekan dalam kepemilikan sumberdaya
dan dimana ekstraksi sumberdaya (melalui perkebunan
agroindustri, pertambangan, penebangan kayu) yang dilakukan
oleh pusat terjadi dan merusak livelihood lokal.
Terminologi ‘pusat’ dan ‘pinggiran’ untuk memformulasikan
adanya kesenjangan ekonomi, politik dan budaya. Kelompok-
kelompok yang termasuk dalam kategori margin ini, memiliki
berbagai kekuatan yang dapat mengancam kesatuan nasional
dan mengaburkan imajinasi tentang komunitas Indonesia
(dicontohkan dengan Aceh dan Irian Jaya). Sebagai sebuah
kebijakan pembangunan, transmigrasi menjadi kepanjangan
tangan yang penting bagi negara untuk mengendalikan wilayahnya
yang seringkali juga didukung oleh kehadiran militer. Hal ini juga
yang muncul di Lampung dimana transmigrasi lokal menjadi
bagian dari upaya untuk mengontrol ‘orang (perambah hutan)’
(forest squatters) dan ‘ruang (forest).

458 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
C. Transmigrasi sebagai Proyek Kebudayaan
Transmigrasi lokal tidak semata merupakan wujud representasi
ruang yang disebabkan oleh kekuatan politik dan ekonomi, tetapi
juga merupakan sebuah proyek budaya. Transmigrasi merupakan
proyek yang penting untuk memproduksi keindonesiaan yang
sejalan dengan ruang budaya yang diimajinasikan dengan istilah
‘Jawa’. Transmigrasi disebut sebagai sebuah praktik homogenisasi
budaya yang mengacu pada ‘jawanisasi’- yaitu penyebaran nilai-
nilai, keyakinan dan cara hidup Jawa ke wilayah-wilayah yang
ditinggali oleh kelompok budaya-kelompok budaya non-Jawa.
Terdapat empat representasi ‘kejawaan’ yang muncul dalam
pengelolaan transmigrasi di Lampung. Pertama adalah budaya
politik Indonesia yang didominasi oleh hegemoni kultural Jawa.
Departemen Transmigrasi dipimpin oleh orang-orang Jawa
dimana kemudian kebijakan-kebijakan pun diterjemahkan oleh
staf-staf yang juga berasal dari Jawa. Di Indonesia yang memiliki
kelompok etnis beragam, dominasi satu kelompok etnik bisa
dikatakan sebagai kolonialisme internal, dimana pulau-pulau
luar mengirimkan bahan mentah untuk diolah di Jawa dan Jawa
sebaliknya mengirim elit-elitnya ke luar Jawa untuk mengatur dan
mengamankan pulau-pulau ini.
Selain identitas budaya dari para pemimpin politik,
pengorganisasian komunitas dalam pemukiman transmigrasi
juga dibuat dalam model ‘desa dimana paham desa yang dibangun
dan diidealkan adalah ‘desa versi Jawa’, dibagi dalam rukun dan
bersifat hierarkis. Hal ini berbeda dengan konsep teritorial lokal
seperti di Lampung yang berbasis genealogi, non teritori dan non
hierarki. Kedua adalah arsitektur bangunan di daerah transmigrasi
lokal yang dibangun dengan konsep ‘pendapa Jawa’, bangunan
dengan empat tiang utama tanpa dinding. Ketiga adalah seremoni
atau tradisi Jawa seperti gotong royong dan slametan yang dibuat

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 459


dalam versi Jawa. Yang terakhir adalah agroekologis Jawa yang
muncul dalam model pertanian khas Jawa (padi irigasi).
Representasi kejawaan dalam berbagai wujudnya, telah
menempatkan migran Jawa secara berbeda dengan masyarakat
asli. Transmigran dari Jawa mendapatkan legitimasi khusus dari
pemerintah dengan berbagai fasilitasi yang diberikan. Dalam
sejarahnya, sejak awal para transmigran dari Jawa ini secara
politik lebih dekat dibandingkan dengan tetangga mereka orang
Lampung. Selain karena kedekatan spasial dengan pemukiman
orang Lampung, desa-desa migran disatukan dalam struktur
administrasi pemerintahan nasional, yang menghendaki adanya
kepala dan sekretaris dengan fungsi-fungsi yang berbeda dengan
desa-desa masa kini.
Hal ini sangat berbeda dengan desa-desa Lampung yag
sampai pertengahan 1970-an, diorganisasikan dalam terminologi
genealogi dan berada di luar birokrasi pemerintahan lokal. Pada
tahun 1950-an dan 1960-an, para migran ini memang harus
bekerja keras membersihkan hutan dan menanam kopi di rumah
baru mereka, meniru beberapa praktik penggunaan lahan yang
biasa dilakukan oleh orang Lampung. Namun, tidak seperti orang
Lampung, mereka menganggap tipe pertanian seperti ini hanya
fase sementara menuju pengolahan tanah secara menetap dengan
sistem bersawah. Migran-migran dari Jawa ini menganggap
perladangan berpindah sebagai sebuah kemunduran menuju
tipe pertanian primitif yang berbeda dengan ‘tani biasa’, ketika
seseorang menanam singkong atau padi, khususnya bersawah
ditambah dengan upah-upah dari kerja di perkebunan.
Legitimasi migran-migran Jawa sebagai ‘warga negara
Indonesia’ di Lampung mendadak berakhir pada tahun 1970-an
ketika pemerintah Orde Baru mengisyaratkan adanya otonomi yang
diperlihatkan oleh para transmigran spontan, yang mulai muncul

460 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
di Lampung melalui program transmigrasi lokal. Wilayah-wilayah
hutan yang dihuni oleh migran dari Jawa dibirokratisasikan,
didesain oleh pemerintah sebagai wilayah yang dilindungi (untuk
menghentikan deforestasi, erosi). Pada tahun 1980-an, sekitar
seperempat juta perambah hutan dimukimkan kembali di daerah
Lampung Utara. Migran-migran ini dimukimkan kembali yang
kemudian menyebabkan status mereka diubah, legitimasi mereka
sebagai petani-petani perintis berakhir dan berganti menjadi
‘perambah hutan’ ilegal yang berada di luar orbitasi keruangan
Indonesia.
Resistensi diantara kelompok migran muncul pada proses
ini karena mereka harus meninggalkan tanah-tanah yang subur
dan mengikuti desain pertanian versi pemerinta yang tidak
ramah. Meskipun demikian, program ini menghadirkan sebuah
legitimasi baru, sebagai transmigran yang diberikan tanah mereka
sendiri dan yang terpenting adalah sertifikat kepemilikan dalam
posisi yang lebih aman daripada yang sebelumnya. Sementara
struktur tenure berkontribusi pada munculnya aliansi antara
kepentingan migran dan negara, faktor-faktor yang lebih luas juga
berkontribusi pada ide tentang pemukiman transmigrasi lokal
yang dikonstruksikan dengan cara yang baru dengan menganggap
migran-migran sebagai dunia orang Jawa. Pemukiman didesain
dalam lanskap yang berbeda dengan lanskap orang Lampung.
Petugas administrasi desa merasa akrab dengan migran karena
satu suara dengan pimpinan pemerintah yang ditunjuk. Migran
merasa puas dengan pengakuan mereka sebagai warga negara
Indonesia sepenuhnya melalui sertifikat tanah, dan tinggal dalam
lingkungan kelembangan yang mereka akrabi dan membuat
mereka merasa sebagai orang-orang Jawa.
Migran-migran Jawa melihat rekonstruksi masyarakat Jawa
dan menguatnya nilai-nilai Jawa. Hal ini dirasakan oleh tetangga

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 461


mereka orang Lampung yang membuat mereka yang dimukimkan
kembali bersama migran Jawa tidak bisa menerima kehadiran
orang Jawa dalam pemukiman transmigrasi. Migran Lampung
menolak pengalokasian lahan dan pertanian yang dipromosikan
dalam sistem pertanian dari skema transmigrasi.Kontrol simbolik
terhadap ruang dan ritual sengaja didesain oleh negara. Meskipun
diupayakan untuk menghadirkan Indonesia dalam konsep bangsa,
politik budaya, arsitektur, ritus dan ritual Indonesia yang inklusif,
otoritas kultural yang dominan nampak adalah kultur Jawa.
Dengan mengatur kelembagaan dan praktik bertani, transmigrasi
lokal menjadi semacam representasi ruang yang muncul dalam
warna geografi Jawa.

D. Kultur Transmigran Versus Kultur Masyarakat Asli


Konstruksi Jawa Indonesia atau Jawanisasi bukan kemudian
diterima tanpa resistensi dari masyarakat lokal. Pola-pola
resistensi dan benturan diantara transmigran Jawa dalam wujud
representasi ruang dalam program transmigrasi, sangat dinamis
dan kompleks. Transmigran dari Jawa ini dipresentasikan sebagai
‘petani-petani perintis’ (pioneer farmers), ditempa dalam dunia
orang Jawa di tanah Lampung, komunitas yang dianggap sebagai
sebuah kategori khusus dari organisasi sosial orang Jawa dan cara
mengolah tanah.
Masyarakat Lampung digambarkan sebagai orbitasi negara
yang memiliki derajat lebih rendah dibandingkan dengan para
transmigran tetangga mereka. Hal ini dapat dicermati dari tidak
adanya petani lokal yang memiliki sertifikat tanah meskipun
mereka telah mengusahakannya dari generasi ke generasi. Secara
tenurial mereka menjadi sangat rentan terhadap kehadiran
pertanian korporasi atau pertanian skala besar. Mereka sendiri
menyebut dirinya sebagai ‘anak tiri’ dalam proses transmigrasi
yang berjalan. Mereka merasa tidak mendapat manfaat seperti

462 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
yang mereka lihat dari para transmigran dari Jawa. Resistensi
mereka terhadap program transmigrasi ditunjukan dalam konsep
otonomi dan kepercayaan diri dalam kultur Lampung yang
disebut dengan pi’il pesingiri. Keterpinggiran yang mereka alami
bermula dari nasionalisasi tanah-tanah leluhur dan menurunnya
kekuatan politik pada elit-elit orang Lampung sendiri akibat
tatanan Orde Baru. Orang Lampung (Lampungese) dianggap
masih terbelakang (backward) dan belum maju (not yet modern).
Dalam skema transmigrasi, mereka ini kemudian disebut sebagai
penduduk asli (indigenious people).
Orang-orang Lampung ini menolak sistem pertanian
pemerintah yang diperkenalkan para petani transmigran Jawa.
Keduanya memang memiliki sistem pertanian padi yang berbeda.
Masyarakat Lampung biasanya menanam padi satu kali dalam
setahun dengan menggunakan varietas padi lokal yang harus
dibesarkan sampai 6 bulan. Buruh bekerja tiga kali dalam satu
tahun untuk membersihkan rumput, tetapi mencangkul atau
membajak tanah tidak dikenal. Sementara itu, petani transmigran
Jawa membuat sistem irigasi dengan teknologi sederhana seperti
pengalihan arus air. Menanam padi dilakukan dua kali dalam satu
tahun, menggunakan buruh atau tenaga kerja untuk membajak
sawah.
Pemerintah meyakinkan bahwa masyarakat lokal Lampung
pun bisa menggunakan teknik pertanian padi seperti yang
dilakukan oleh para petani transmigran. Seperti halnya
yang dikuatkan oleh negara, petani transmigran dari Jawa
memandang bahwa mencangkul tanah, menggemburkan tanah
dan membersihkan rumput sebagai hal yang sangat penting.
Cangkul merupakan simbol identitas mereka sebagai petani dan
ini seringkali dipakai untuk membedakan sistem pertanian orang
lampung dengan sistem pertanian orang Jawa. Transmigran Jawa

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 463


ini memandang bahwa pencangkulan merupakan teknologi yang
canggih dalam mengolah dan membersihkan tanah, tidak seperti
ladang-ladang orang Lampung yang cenderung kotor.
The Lampong people were, in general, little inclined
to abandon their extensive form of agriculture for the
intensive form practiced by the Javanese, even though
shortate of land made itself badly felt. The use of changkul,
the common tool in Jawa for preparing ricefield for
cultivation, was rejected by them with the rationalization
that the work wass to heavy - whic earned them a
reputation of laziness among the Javanese, though when
using the chopping-knife in the jungle the did not shrink
from heavy work.7
Hal inilah yang memunculkan penolakan keras dari
masyarakat lokal yang menganggap bahwa mereka tidak perlu
mengerjakan tanah seperti yang dilakukan oleh orang Jawa.8
Begitupun dengan teknik penanaman yang biasa dilakukan
orang Jawa dengan menanam benih yang sudah disemaikan
terlebih dahulu, orang Lampung langsung menabur benih begitu
saja. Orang Lampung menanam benih dengan berjalan maju
dan menghamburkan benih dengan tangan, sementara orang
Jawa berjalan mundur dan menanam dengan tegak lurus. Bagi
orang Jawa menanam dengan teknik ini dianggap lebih mudah,
sementara bagi orang Lampung teknik ini dianggap terlalu
membutuhkan banyak waktu. Mereka ini dikatakan oleh Dove,
menolak mode livelihood petani Indonesia atau praktek pertanian
Jawa-Indonesia. Dalam hal inilah pertanian padi bukan sekedar

7 Lihat Wertheim, 1959:190.


8 Dalam konteks ‘wet agriculture’ atau persawahan inilah Wertheim kembali mencatat bahwa
persawahan sangat bergantung pada kondisi alam seperti tanah dan ketersediaan air. Terlebih
lagi, tanah-tanah di pulau-pulau luar Jawa tidak selalu bisa dipastikan sesubur tanah-tanah
yang ada di Jawa. Selain itu konstruksi irigasi dalam skala besar membutuhkan investasi yang
tidak sedikit. Di Jawa jaringan irigasi sudah dibangun secara bertahap selama berabad-abad.
Mengubah praktik berladang dengan bersawah sangat tidak praktis dan tidak realistis.

464 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
cara memproduksi bahan pangan, melainkan merupakan sebuah
simbol tentang negara atau simbol tentang Indonesia. Bertani
padi versi Jawa ini merepresentasikan sebuah mode organisasi
sosial, struktur politik lokal, dan kontrol negara.

E. Penutup
Imajinasi geografis dalam konteks negara bangsa pascakolonial
melekat erat dalam kontrol sumberdaya dan identitas dalam
program transmigrasi. Proses mengimajinasikan Indonesia
berkaitan erat dengan homogenisasi spasial melalui aktivitas yang
sangat bias Jawa. Transmigrasi merupakan intrumen birokrasi
untuk menciptakan keseragaman yang mengatasi berbagai
keragaman yang ada dalam kelompok-kelompok budaya di
Indonesia yang pada kenyataannya juga menghadirkan resistensi
politik dan heterogenitas budaya.
Kompetisi antara transmigran dengan masyarakat asli
menunjukan bahwa pemindahan penduduk dalam konteks
transmigrasi tidak dengan serta merta mampu menjembatani
persoalan kepadatan penduduk dan pengurangan kemiskinan
(peningkatan kesejahteraan). Peminggiran masyarakat asli adalah
sebuah keniscayaan yang mengancam identitas kultural dan
karakter masyarakat Indonesia yang heterogen.

Daftar Pustaka
Arndt, HW. “Transmigration: Achievements, Problems, Prospects.”
Bulletin of Indonesian Economic Studies. Volume XIX, No 3,
December 1983. pp 50-73. DOI: 10.1080/0007491831233133
4429.
Elmhirst, Rebecca. 1999. “Space, Identity Politics and Resource
Control in Indonesia’s Transmigration Programme”. Political
Geography ,Volume 18, p. 813-835. www.elsevier.com.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 465


MacAndrews, Colin. 1978. “Transmigration in Indonesia: Prospects
and Problems”. Asian Surrvey, Volume 18, No. 5, May, pp. 458-
472. http://www.jstor.org/stable/2643460.
Setiawan, Nugraha. 2009. Satu Abad Transmigrasi di Indonesia:
Perjalanan Sejarah Pelaksanaan 1905-2005”. Jurnal Historia,
Volume 3, No. 1, Hlm 13-35.
WF Wertheim. 1959. “Sociological Aspects of Inter-Island
Migration in Indonesia.” Population Studies, Volume 12, No.
3, pp. 184-201. http://dx.doi.org /10.1080/00324728.1959.1040
5019.

466 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Ekonomi Politik Ruang-Seni dan
Pertanyaan-pertanyaan Agraria1
(Studi Kasus Proyek Seni Jogja Nduwe Gawe)
Kus Sri Antoro2

“Selama ini pemerintah menempatkan aktivitas seni


budaya sebagai bagian dari wisata, yang risikonya ialah
komodifikasi…yang risikonya menempatkan kesenian
di bawah agenda industri, dan kreativitas ditempatkan
sebagai komoditas. Belum lagi ketika agenda tersebut
saling menopang satu sama lain dengan agenda
percepatan pembangunan, demi mengejar pertumbuhan
fasilitas MICE (Meeting, Incentive, Convention, and
Exhibition). Industrialisasi wisata, ekonomi kreatif, dan
gagasan tentang percepatan pembangunan adalah tiga
bentuk rezim yang berkelindan di sekitar pekerja seni
yang selalu perlu diwaspadai. Pada praktiknya, ketiga
rezim ini berada di ruang yang sama, ruang-ruang seni
budaya. Dengan kata lain, sebagai bagian dari elemen

1 Versi awal tulisan ini berjudul Ekonomi Politik Seni dalam Jogja Nduwe Gawe, merupakan
artikel pemantik diskusi Jogja Nduwe Gawe (Event Seni sebagai Branding Kota Yogyakarta),
oleh Nekropolis, 18 Mei 2018, di Gerak Budaya Bookstore, Jl. Gondang Raya No 8 Condong
Catur Depok Sleman. Diterbitkan kembali dengan tujuan pendidikan, utamanya isu Seni
Aktivisme dan Agraria.
2 Penyintas Akumulasi Primitif, Praktisi Aktivisme Seni
budaya, kita sesungguhnya berbagi udara dengan rezim
tersebut. Praktik dominansi dan kuasanya juga sering
kali tidak kita sadari, karena beroperasi dengan sangat
halus, atau bahkan meminjam tangan dan tubuh kita.
Dari sini, posisi ruang seni budaya cukup dipertaruhkan.
Memilih bertahan di bawah rezim tersebut atau bergerak
keluar untuk mengkritisi dan menjadi tandingan” (IVAA
Archive Team)3.

Proyeksi Proyek-Proyek Seni


Pada 25 Mei 2016, sekelompok masyarakat pengelola pantai
di pesisir Gunungsewu memperingati setahun kemenangan kecil
mereka dalam perebutan ruang, yaitu kawasan pantai yang telah
mereka buka dan manfaatkan sejak 1940an, antara untuk wisata
subsistensi ala masyarakat4 atau untuk wisata industri ala investor5.
Sekelompok masyarakat itu, bersama para seniman/pekerja seni
kota, membuat perhelatan berupa festival yang isinya upacara
(nasional dan adat); gelar pangan lokal; bersih pantai; pameran
rontek; orasi budaya dari perwakilan komunitas-komunitas
senasib; performance art, dan pentas musik urban hingga malam
hari. Sekelompok masyarakat itu menegaskan dirinya sebagai
kaum tak terpelajar dan terlantar, yang disimbolkan dengan
kostum seragam sekolah dasar, namun mampu bertahan dari
gempuran intimidasi antek-antek investasi dan isolasi pemerintah.
Di tengah pengawasan aparat bersenjata dan sensor pemerintah,
peringatan itu tentu saja berlangsung dengan sukacita sekaligus
waspada, karena di mata penguasa peringatan itu hanyalah variasi
aksi massa. Otokritik atas kolaborasi ini ialah seniman/pekerja

3 Lisistrata Lusandiana; Sukma Smita; dan Krisnawan Wisnu Adi. 2017. Katalog Data IVAA:
Seni, Aksi dan Jogja sebagai Ruang Urban (Sejak reformasi hingga kini). IVAA, Yogyakarta.
4 Subsistensi merujuk pada pengertian habis untuk membiayai kebutuhan primer
5 industri merujuk pada pengertian berorientasi akumulasi laba dan reproduksi modal.

468 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
seni masih mencipta ruang yang tak tersentuh masyarakat,
terutama pada acara pentas musik dan performance art.
Pada 25 Mei 2017, peringatan yang sama kembali digelar,
namun tak lagi dalam suasana mencekam. Seluruh mata acara
digagas dan dikerjakan oleh masyarakat. Tak ada unsur seniman/
pekerja seni kota yang tahun lalu berkolaborasi yang terlibat pada
peringatan ke-2 ini. Tiada sambutan komunitas senasib, hanya
himbauan moral lingkungan dari elit lokal dan ucapan selamat
atas kemenangan perjuangan dari penasihat hukum masyarakat.
Tiada pengawasan aparat bersenjata maupun sensor. Dan acara
hanya berlangsung hingga sore dengan tertib dan damai. Seorang
kolega menyebut peringatan kedua ini sebagai fase penjinakan.
Beberapa waktu kemudian, kawasan itu dipromosikan oleh elit
setempat sebagai wisata alternatif dengan memanfaatkan simbol-
simbol perjuangan, berupa pesta acara pernikahan keluarga
elit lokal dengan masyarakat setempat sebagai para pelayan
berseragam sekolah dasar!
Pada 10 Mei 2018 (bukan 25 Mei 2018), peringatan ke-3 digelar.
Kali ini jumlah aparat lebih banyak, namun untuk mengawal
arak-arakan yang mengusung patung kertas katak raksasa
berseragam sekolah dasar yang membawa tulisan: Tolak Investor
Nakal Selamanya. Jumlah pemeriah juga lebih banyak, antara lain
aparat keamanan, pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten.
Tak ada komunitas senasib yang hadir atau memberi sambutan,
melainkan dari unsur pemerintah semata dan penasihat hukum
masyarakat. Tak ada sambutan bernuansa perlawanan seperti
tahun 2016, melainkan bujukan untuk menjadi bagian dari
pemerintah dalam logika wisata industri. Wisatawan yang hadir
pun tidak menjadi bagian dari acara, bertolak belakang dengan
peringatan pertama. Seorang kolega mendakwa peringatan ke-3

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 469


ini sebagai penaklukan, karena pemerintah mendominasi hajatan
pertunjukkan dan masyarakat sebagai badutnya.
Di ranah aktivisme seni, tanpa kerja pengorganisasian,
aksi-aksi simbolik berpeluang untuk dibajak atau membunuh
perlawanan itu sendiri bila tak dikoreksi secara aktif.
Cerita di atas saya pilih untuk menunjukkan bagaimana seni
semula memposisikan diri di dalam arena ekonomi politik sebagai
medium pembebasan; lalu akhirnya seni diposisikan oleh kekuatan
ekonomi politik dominan sebagai simbol industri wisata. Kawasan
pantai yang semula adalah ruang hidup masyarakat diubah-paksa
secara halus menjadi komoditas melalui industri wisata oleh
kekuatan investasi. Peristiwa seni yang semula menjadi bahasa
perlawanan terhadap komoditisasi ruang diubah menjadi merk
dagang industri wisata oleh kekuatan yang sama. Lalu, masyarakat
diarahkan pemerintah6 mengikuti kehendak investor.
Kini, tentang Jogja Nduwe Gawe (JNG).
Menurut referensi acara yang saya terima dan pelajari, JNG
berupaya untuk merekayasa event seni7 menjadi merek dagang
(brand) bagi kota Yogyakarta yang tengah menggeliat menyambut
percepatan dan pertumbuhan ekonomi di sektor wisata, yang
ditandai dengan pembangunan infrastruktur berupa pusat-pusat
wisata baru, jalur kereta dan jalan lintas propinsi, dan bandara
baru, beserta kebijakan di ranah seni budaya8. Alasannya, seni
sebagai teks tinggal tak bernyawa tanpa Yogyakarta yang dipercaya
merupakan pusat kebudayaan Jawa sebagai konteks, mengikuti
pendapat Murphy (1997)9.

6 Hendro Sangkoyo mengusulkan istilah pengganti untuk Pemerintah yaitu Pengurus Publik,
sebab istilah pemerintah bernuansa otoriter ketimbang demokratis dan kedaulatan negara
berada di tangan rakyat.
7 Pameran, pertunjukan, pementasan, peristiwa seni
8 Misalnya Blue print kebudayaan DIY merujuk pada UU Keistimewwan DIY yang mengukuhkan
Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman sebagai sumber dan tolok ukur kebudayaan DIY.
9 Without context, arts remain lifeless.

470 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Sebelum jauh melangkah menuju branding-membranding,
saya hendak mengajukan perdebatan awal mengenai Teks (Seni)
dan Konteks (Yogyakarta, sebagai ruang dan sebagai salah satu
entitas kebudayaan bercorak Jawa, mengingat identitas Jawa
tidaklah tunggal) merujuk pada ide awal diskusi ini. Semoga tidak
terjebak pada kritik yang membabi buta.
Tentang Yogyakarta sebagai konteks.
Keberadaan dan perkembangan Yogyakarta dipengaruhi
oleh ekonomi politik yang hari ini dominan—lazim disebut
kapitalisme10, yang oleh Bernstein (2015:1)11 kapitalisme ditakrifkan
dalam konteks agraria12 sebagai sistem produksi dan distribusi yang
didasarkan pada relasi sosial antara kapital (pemodal) dan buruh;
kapital mengeksploitasi buruh guna mengejar laba dan akumulasi,
sementara buruh harus bekerja untuk kapital agar bisa bertahan
hidup. Artinya ada pekerja13 yang menggantungkan nasibnya pada
pemodal.
Kelahiran Kesultanan Yogyakarta, sebagai pusat tata nilai;
kekuasaan; dan identitas, selaras dengan maksud dan tujuan
VOC yang diteruskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
keduanya penjajah, pelaku kolonialisme. Demikian pula,
Kadipaten Pakualaman yang muncul di era pendudukan Inggris.
Sumber-sumber agraria (tanah, air, udara) dalam penguasaan
rakyat secara fisik, namun secara politik rakyat tunduk pada

10 Disebut kapitalisme karena corak produksi masyarakatnya bersandar pada sistem


kepemilikan pribadi serta industrialisasi. Menurut Bernstein (2015: 28-230), corak produksi
kapitalis dapat ditunjukkan dari ciri-ciri yang saling berkaitan, yaitu: Produksi komoditas
yang meluas; Keharusan akumulasi; Tenaga kerja sebagai komoditas; dan Akumulasi primitif.
11 Henry Bernstein. 2015. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agararia. InsistPress. Yogyakarta
12 Di sini, agraria dimaksudkan sebagai ruang fisik di mana relasi sosial, ekonomi, politik, dan
kebudayaan tumbuh dan berlangsung.
13 Di dunia pertanian posisi ini ditempati oleh buruh tani, di dunia pelayaran ditempati
oleh anak buah kapal, di dunia administrasi perusahaan ditempati oleh karyawan swasta,
perlu diperiksa apakah relasi ini terdapat di dunia seni budaya? Misalnya: asisten seniman,
karyawan galeri, atau seniman yang berkarya atas pesanan. Upah menjadi ciri dari corak
produksi kapitalis.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 471


Bupati yang patuh pada Sultan, Sultan taat pada penjajah.
Apa yang tampak sebagai feodalisme di DIY bukan feodalisme
dalam imajinasi klasik (yang umum dipahami sebagai tatanan
prakapitalis yang lepas dari kepentingan zaman modal).
Feodalisme di DIY merupakan perantara bagi peternakan modal
melalui kolonialisme. Sehingga, zaman modal sudah melatari
wajah Yogyakarta sejak ia dilahirkan.
Kolonialisme memerlukan ruang baru untuk menghasilkan
komoditas (barang dan jasa), pengadaan ruang itu dicapai dengan
menceraikan rakyat dari tanah yang digarapnya atau dihuninya.
Marx menyebutnya Akumulasi Primitif. Zaman modal bertahan
hampir tiga abad kemudian, kini kolonialisme berganti rupa
menjadi Keistimewaan DIY, menghadirkan Akumulasi Primitif
melalui Perampasan—[Primitive] Accumulation by Dispossession;
istilah ini dikembangkan oleh David Harvey (2003)14, yang
menyebabkan setiap jengkal Tanahmu Bukanlah Milikmu!15. Pada
2015, Kesultanan dan Pakualaman sebagai badan hukm swasta
telah memiliki 10,67 % wilayah DIY yang berasal dari tanah
negara; stanah berstatus Hak guna Bangunan; dan Hak Milik
masyarakat16.
Bahkan, Keistimewaan DIY dibangun dari imajinasi bahwa
Yogyakarta ialah negara yang merdeka dan berdaulat dari
penjajahan (Sabdatama Hamengku Buwono X, 10 Mei 2012),
imajinasi ini mengingkari bukti-bukti sejarah yang tercantum
dalam akta kelahiran Kesultanan Yogyakarta, yaitu: Perjanjian
Giyanti 1755, yang didahului Perjanjian Ponorogo 1749, dan
dilengkapi dengan Perjanjian Klaten 1830 serta Perjanjian
Hamengku Buwono IX dengan Belanda 1940. Demikian pula

14 David Harvey. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
15 www.selamatkanbumi.com//id/tanahmu-bukanlah-milikmu
16 Daftar Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten terbitan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang
DIY 2015

472 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Kadipaten Pakualaman yang diikat dengan Perjanjian Paku Alam
I dengan T. S. Raffles 1813. Artinya, Keistimewaan DIY lahir dari
klaim yang bertolak belakang dengan fakta sejarah (Soekanto,
1953)17.
Selaras catatan Dian Yanuardy (2012, 2014)18, Keistimewaan
DIY berperan dalam penyediaan ruang produksi baru yang luas
dan murah bagi proyek-proyek MP3EI19 atau RPJMN20, yang
menyebabkan konflik agraria, berupa perebutan ruang hidup,
antara masyarakat versus negara dan/atau korporasi. Ruang hidup
itu, dalam makna sumber-sumber agraria, artinya lebih dari ruang
material yang bisa ditukar dengan sejumlah uang, melainkan
ruang di mana ikatan-ikatan sejarah; sosial; religi, politik, dan
kebudayaan suatu masyarakat dengan lingkungannya terbentuk.
Ruang di mana seni lahir dan berkembang21.
Tentang Seni sebagai teks.
Seni yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta, baik
tradisional; modern; maupun postmodern/kontemporer, juga
dipengaruhi oleh ekonomi politik dominan. Di masa kelahirannya,
Yogyakarta menegaskan perbedaan dengan Surakarta dalam ciri

17 Soekanto. 1955. Seputar Jogjakarta 1755-1825. Mahabharata Amsterdam, Jakarta


18 a) Yanuardy, Dian. 2014, Bara Di Tanah Raja: Proses dan Mekanisme Proyek Perampasan
Tanah dan Perlawanan Petani Pesisir di Yogyakarta. Working Paper Sajogo Institute
b) Yanuardy, Dian. 2012. Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land
Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia. International Conference
on Global Land Grabbing II October 17‐19, 2012 Land Deals Politics Initiative (LDPI),
Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, New York. https://www.
academia.edu/12288247/Commoning_Dispossession_Project_and_Resistance_A_Land_
Dispossession_Project_for_Sand_Iron_Mining_in_Yogyakarta_Indonesia
19 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, di Propinsi DI
Yogyakarta diwujudkan sebagai proyek bandara NYIA dan kota bandara; jalan lintas selatan
Jawa; dan tambang pasir besi di Kulon Progo. MP3EI dicanangkan di era Susilo Bambang
Yudhoyono.
20 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, bentuk kebijakan dari MP3EI di era
Presiden Joko Widodo.
21 Seni bercocok tanam, beragam alat pertanian tradisional, seni tari, lukis, musik, sastra
bertema agraris merupakan contoh nyata dari kebudayaan berbasis agraria. Seni pertunjukan
(tonil) di tambang batubara Sawahlunto merupakan produk kebudayaan kaum buruh (orang
rantai). Seni bercorak punk merupakan produk kebudayaan urban yang memberontak pada
kemapanan rezim industri. Seni mempunyai basis materialnya masing-masing.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 473


seni tradisional karena faktor politik22. Di masa kolonial, unsur-
unsur barat masuk dalam seni Yogyakarta, misalnya arsitektur kota
benteng Kesultanan Yogyakarta, gaya perabot interior Kesultanan
dan tari-tarian klasik bernuansa keprajuritan23 yang sesungguhnya
merupakan agenda penjinakan militer (Antoro, 201724; Sunaryo
dkk, 201425; Septi dan Sachari, 200726 dan Onghokham, 1991:
116)27. Di era modern, pengaruh ekonomi politik dominan tampak
pada gejala komersialisasi seni (Malna, 199128 dan Onghokham,
1991: 179). Pengaruh ekonomi politik dominan terhadap Seni
di Yogyakarta tampak lebih jelas ketika UU Keistimewaan DIY
diberlakukan, yaitu tersedianya Dana Keistimewaan (Danais) bagi
proyek-proyek seni budaya.
Berbeda dengan Dana Otonomi Khusus propinsi Papua dan
Aceh yang dibatasi periode penerimaannya, yaitu 25 tahun (Papua)
dan 20 tahun (Aceh), DIY memperoleh Danais tanpa pembatasan
waktu, meski nominalnya lebih kecil dari Dana Otonomi Khusus
Papua dan Aceh. Danais merupakan cek kosong Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah DIY.
Pada 2013, Danais dicairkan sebesar Rp. 231,39 M (realisasi
penyerapan Rp. 54,56 M), dengan alokasi Rp. 212,39 M (Bidang
Kebudayaan); Rp. 6,3 M (Bidang Pertanahan), Rp. 10 M (Bidang Tata

22 Misalnya tari klasik gaya Yogyakarta berbeda dengan gaya Surakarta; wayang kulit purwa gaya
Yogyakarta berbeda dengan gaya Surakarta.
23 Misalnya Beksan (tari) Bedhaya Ketawang; Lawung Ageng; Serimpi Padhelori (piranti tarinya
pistol), Serimpi Merak Kasimpir, atau parade prajurit Kesultanan yang melangkah anggun
dengan senapan dan sepatu layaknya serdadu kolonial. Di Pakualaman pengaruh kolonial
tampak pada Beksan Inum; Floret dan Sabel.
24 Kus Sri Antoro. 2017. (menuju) Kritik Aktivisme Seni di Yogyakarta dalam Katalog Data IVAA:
Seni, Aksi dan Jogja sebagai Ruang Urban. IVAA. Yogyakarta
25 Rony Gunawan Sunaryo, Nindyo Soewarno, Ikaputra, dan Bakti Setiawan. 2014. Pengaruh
Kolonialisme pada Morfologi Ruang Kota Jawa Periode 1600-1942. Seminar Nasional
Riset Arsitektur Dan Perencanaan (SERAP) 3 Manusia dan Ruang dalam Arsitektur dan
Perencanaan 22-23 Agustus 2014, Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas
Gadjah Mada.
26 Indah Septi dan Agus Sachari. 2007. Pergeseran Gaya Estetis Mebel di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat ITB J. Vis. Art. Vol. 1 D, No. 1, 2007, 85-107 85
27 Onghokham. 1991. Rakyat dan Negara. LP3ES. Jakarta
28 Afrizal Malna. Seni dan Kapitalisme Tidak Bermutu. Harian Bernas 15 Agustus 1991. Sumber
arielheryanto.wordpress.com diunduh 13 Mei 2018.

474 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Ruang), dan Rp. 2,5 M (Bidang Kelembagaan), Bidang Tata Cara
Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur masih kosong.
Pada 2014, Danais cair sebesar Rp. 523,8 M (realisasi penyerapan
Rp. 272,05 M), dengan alokasi Rp. 375,1 M (Bidang Kebudayaan),
Rp. 23 M (Bidang Pertanahan), Rp. 124 M (Bidang Tata Ruang), Rp.
1,67 M (Bidang Kelembagaan), dan Rp. 0,4 M(Bidang Tata Cara
Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur). Pada 2015,
Danais cair Rp. 547,45 M (realisasi penyerapan 477,49 M), dengan
alokasi Rp. 420,8 M (Bidang Kebudayaan), Rp. 10,6 M (Bidang
Pertanahan), Rp. 114,4 M (Bidang Tata Ruang), dan Rp. 1,65 M
(Bidang Kelembagaan serta Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur). Pada 2016, Danais cair Rp. 547,45 M
(realisasi penyerapan 531,72 M), dengan alokasi Rp. 179 M (Bidang
Kebudayaan), Rp. 13,85 (Bidang Pertanahan), Rp. 352,75 (Bidang
Tata Ruang), dan Rp.1,8 M (Bidang Kelembagaan serta Bidang
Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur). Pada
2017, Danais cair Rp. 800 M, dengan alokasi Rp. 439,90 M (Bidang
Kebudayaan), Rp. 17,19 M (Bidang Pertanahan), Rp. 325,812 M
(Bidang Tata Ruang), Rp. 14,25 M (Bidang Kelembagaan), dan Rp.
2,83 M (Bidang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur).
Temuan IDEA29 menunjukkan, penggunaan Danais Tahun
Anggaran 2015 terbesar untuk Belanja Modal (40%), menyusul
kemudian untuk Pihak ke-3 (17 %), untuk Jasa Kantor (13 %), dan
digunakan Event Organizer dalam Bidang Kebudayaan (4%).
Dengan demikian, dalam konteks membranding Seni atau
Yogyakarta, hubungan timbal balik antara Seni sebagai teks dan
Yogyakarta sebagai konteks hanya mungkin terjadi pada wilayah
aksiologis, yaitu kebutuhan pragmatis antara teks dan konteks
untuk saling menghidupi dalam iklim kapitalisme. Saya tidak

29 Paparan Dana Keistimewaan untuk Rakyat, IDEA

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 475


menemukan dasar untuk memposisikan Yogyakarta sebagai
ruang dengan makna tunggal dan entitas kebudayaan Jawa
yang (dibayangkan) murni, unik dan eksotis, begitu juga untuk
memposisikan seni sebagai ekspresi batin yang kasat indera
(jiwa ketok, menurut Soedjojono), yang independen. Seni dan
Yogyakarta tak hanya berubah mengikuti arus zaman, melainkan
juga dibentuk oleh kekuatan-kekuatan kolonialisme yang tak
kunjung usai. Dengan demikian, ketika Yogyakarta sebagai
manifestasi ruang diposisikan sebagai konteks, maka konteks itu
adalah ruang fisik di mana relasi ideologi, sosial, ekonomi, politik,
budaya berlangsung, bentuknya bisa berupa event-event sebagai
ruang produksi seni; perayaan Kamis Pahing di kantor-kantor
pemerintahan dan sekolah-sekolah dengan berbusana adat Jawa
gaya Yogyakarta30, upacara bendera berbusana dan berbahasa Jawa
gaya Yogyakarta pada HUT Kota Yogyakarta, pemajangan patung
di situs-situs wisata atau ruang publik31.
Imajinasi ala kolonialisme tentang Yogyakarta bahkan
dipopulerkan dalam panduan wisata:
“Daerah Istimewa Jogjakarta merupakan pusat
kebudayaan Jawa, berada diantara dua simbol mistis Jawa
– Gunung Merapi di Utara dan Samudera Indonesia di
selatan, yang merupakan rumah dari ratu Laut Selatan.”
(Lonely Planet Indonesia, 1986 dalam Lusandiana,
2014)32.

30 Perayaan ini bisa berfungsi ganda, yaitu: feodalisasi dan komodifikasi untuk tujuan wisata,
meski dipaksakan atau tidak disadari. Hanya sedikit sekolah yang para siswanya tidak
melaksanakan kebijakan Kamis Pahing.
31 Misalnya patung penari topeng di Beji, Patuk, Gunungkidul; patung pemain volly pantai di
pantai Sepanjang, Tanjungsari, Gunungkidul dan patung penari kuda lumping di lapangan
Paseban Bantul.
32 Lisistrata Lusandiana. 2014. Menolak Wisata, Menjadi Warga Dunia? Analisis Identitas
Backpacker sebagai Subjek Wisata Alternatif. Tesis Magister Ilmu Religi dan Budaya.
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

476 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Dalam karya ilmiah, yaitu Penduduk dan Perkembangan Kota
Yogyakarta 1900-1990 (Djoko Suryo, 2005)33, juga dinyatakan
bahwa berkembangnya Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata
merupakan suatu periode yang muncul setelah Yogyakarta
berkembang sebagai kota budaya. Sejak masa sebelum
kemerdekaan hingga tahun 1950 dan 1960an, Yogyakarta menjadi
tempat kelahiran banyak seniman dan karya seni, mulai dari seni
lukis, sastra, teater, patung, musik beserta sanggar-sanggarnya.
Tak lupa juga seni pedalangan dan seni tari tradisional Jawa pun
berkembang. Sehingga ditegaskan bahwa dari sinilah Yogyakarta
layak mendapat julukan sebagai kota budaya. Baru setelah tahun
1960an Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata.
Kini, Seni dan Yogyakarta hendak dirangkai kembali dengan
konsep wisata, dalam imajinasi industri wisata. Kemudian, Seni
ditempatkan sebagai merek dagang/brand dari Yogyakarta untuk
mendongkrak industri wisata, yang umumnya berciri wisata
massal beserta jasa-jasa pariwisata (transportasi, penginapan,
agen perjalanan dll).
Sudah banyak kritik terhadap wisata massal dalam konteks
masyarakat industri kelanjutan kolonialisme, yang terbukti
menciptakan gejala tourism destroys tourism, akibat aktivitas
wisata melampaui daya dukung dan daya tampung ruang/tempat
wisata. Alternatifnya, konsep wisata alternatif yang dinilai lebih
bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan dan budaya
ditawarkan, misalnya ecotourism34, sustainable tourism35, voluntary
tourism36. Namun demikian, pendekatan poskolonialisme menilai

33 Djoko Suryo (2005), “Pendudukan dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”, dalam
Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro dan Johny Alfian Khusyairi (ed.),
Kota Lama Kota Baru, Penerbit Ombak
34 Praktik tourism yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekosistem, konsep ini muncul
sebagai revisi atas praktik tourism yang merusak struktur dan fungsi bentang alam.
35 Praktik tourism dalam sustainable development, yang mana sustainable development hanyalah
varian dari developmentalism.
36 Praktik tourism yang menawarkan pengalaman berinteraksi sosial, misalnya berwisata
sekaligus menjadi relawan kebersihan tempat wisata bersama warga pengelola tempat wisata.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 477


wisata tetaplah kelanjutan dari kolonialisme, utamanya pada
wilayah mental (Gula, 200637 dalam Lusandiana, 2014), yaitu
wisatawan menemukan kesenangan dengan melihat yang lain
(eksotisasi).

Perebutan Ruang, Perebutan Kesadaran


Salah satu motivasi kolonialisme ialah hasrat untuk
berpetualang dan menaklukkan, globalisasi menutupi hal ini.
Wisata dalam ragam bentuknya, bagaimanapun juga, belum lepas
dari hasrat untuk menikmati yang berbeda.
Ekspansi modal kapitalisme telah mengambil alih secara paksa
ruang-ruang masyarakat, mereka berjuang mempertahankan
tanah sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan di tengah
agresi modal raksasa. Di saat yang bersamaan, para wisatawan
secara sukarela dan sukacita mencerabut diri dari keintiman
mereka dengan tanah asal-usulnya, kampung halamannya, lalu
tinggal di manapun tanpa menjalin keterikatan dengan tanah
manapun.
Proses ini telah memberikan gambaran bahwa di negara-
negara asal wisatawan kapitalisme mampu memotivasi atau
memaksa secara halus orang agar meninggalkan tanah asalnya
dengan menciptakan keseharian yang membosankan (alienasi).
Selain itu, kapitalisme mampu menarik orang dengan segenap
wacana eksotisme dan membuat orang berdaya, merasa mampu,
mau bahkan senang untuk bepergian dalam beragam jenisnya
(Lusandiana, 2014).
Sebelumnya, Marx mengatakan bahwa sejarah manusia
adalah sejarah perjuangan kelas, kemudian Lefebvre mengatakan
bahwa sejarah perkembangan globalisasi kapitalisme adalah

37 Lauren Gula (2006), Backpacking Tourism: Morally Sound Travel or Neocolonial Conquest,
tesis yang tidak diterbitkan, Universitas Dalhousie

478 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
sejarah perebutan ruang. Kapitalisme akan berakhir bila tak
memperluas diri terus menerus dengan melakukan ekspansi
geografis, sehingga reorganisasi ruang harus dilakukan (Lefebvre
dalam Shohibuddin, 2018:27)38.
Tak ada ruang yang tak politis. Itulah dasar argumentasi
Lefebvre dalam mengembangkan Teori Produksi Ruang, baik
ketika ruang diposisikan sebagai produk maupun sebagai proses
penentu hubungan dan praktik sosial.
Sebagai produk, ruang adalah produk dari kekuatan ekonomi,
politik serta ideologi. Lefebvre menurunkannya menjadi tiga
elemen yang terdapat dalam proses pembentukannya, yaitu spatial
practice, representations of space dan spaces of representation.
Ketiga elemen itu harus ditempatkan di dalam konteks sejarah
dan masyarakat tertentu. Masyarakat urban perkotaan adalah
konteks yang menjadi fokus perhatian Lefebvre, karena salah
satu dampak globalisasi kapitalisme ialah industrialisasi yang
menempatkan kota sebagai pusat produksi laba; pusat konsumsi;
dan pusat administrasi dari penyelenggaraan negara. Negara dan
kota adalah ruang material di mana proses produksi berlangsung
dan kemudian menentukan karakter dari ruang tersebut. Di
ruang kota itulah modernisasi terkonsentrasi, di ruang kota itulah
alienasi terjadi. Kemudian, wisata hadir sebagai respons atas
alienasi.

Krisis Seni (Teks), Krisis Ruang (Konteks) dan Wisata Krisis


Ekonomi politik dominan membentuk modernisme.
Modernisme membentuk pandangan serba tunggal dalam
memahami perkembangan seni, selain terjadi elitisme atau
pemusatan perkembangan (Sanento Yuliman dalam Rizky

38 Mohammad Shohibuddin. 2018. Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian
Empiris. STPN Press. Yogyakarta

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 479


Effendy, tanpa tahun)39. Lalu, muncullah standar-standar baku
keindahan dalam seni modern Indonesia, yang diberontak oleh
peristiwa Desember Hitam (1974) dan Gerakan Seni Rupa Baru
(1975). Melalui kuasa rasionalitas, modernisme hendak menjadi
kiblat kebenaran bagi ilmu dan seni, seiring waktu kebenaran ala
modernisme menjadi legitimasi: bahwa ilmu dan seni lahir dan
tumbuh untuk melayani industri. Kredo baru itu, meski tetap
modernis, telah menggusur kredo positivisme lama: seni untuk
seni, menjadi seni untuk ekonomi (pasar, wisata).
Ketika dominan, pasar berpeluang menentukan nilai dengan
logika keuntungan/efisiensi dan perluasan/percepatan produksi
demi produktivitas. Logika yang berakar dari kultur modern ini
pada gilirannya menentukan relasi ekosistem antara seniman,
galeri komersial, dan kolektor. Sifat pasar yang pragmatis
menempatkan kepentingan kapital sebagai pengambil keputusan
yang memaksa seniman untuk bersikap profesional: efisien dan
menguntungkan, inilah ukuran ideal menurut pasar.
Akibatnya, proses-proses berkarya berlandaskan penelitian,
eksperimentasi, atau hal-hal yang tidak sejalan dengan ukuran
ideal pasar akan dihilangkan. Disadari atau tidak, nalar
pragmatisme merasuk ke dalam kesadaran seniman, serta merta
seniman melakukan sensor diri (self censorship) demi kepentingan
pasar (Harsono, 2014)40.
Di DI Yogyakarta, industri wisata sudah mengubah ruang
hidup masyarakat menjadi komoditas dan diikuti pengadaan
fasilitas pendukung seperti transportasi khusus41; bandara
baru; jalan tol; jalur kereta wisata; dan penginapan, yang mana

39 Rizky Effendy. Sebuah Wacana : Menyikapi Keterbatasan Infrasktruktur Seni Rupa Indonesia,
IVAA.
40 FX Harsono. 2014. Seni Rupa dan Perkembangan Kebudayaan. http://koalisiseni.or.id/seni-
rupa-dan-perkembangan-kebudayaan/
41 Misalnya mobil angkutan Si Thole

480 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dalam proses pengadaan tanah untuk berbagai fasilitas itu
disertai perampasan ruang hidup, penggusuran, dan perusakan
lingkungan; sebagai contoh di Seruni, Watukodok, Parangkusumo,
dan Temon. Industri wisata juga memposisikan seni sebagai
pelengkap industri yang digenjot dengan Danais.
Seni dapat melampaui zaman, namun ruang berkembang
seiring zaman. Pada praktiknya, seni yang melampaui zaman
akan dijinakkan agar tak mengganggu stabilitas ruang. Jika seni
dan ruang telah mengalami krisis oleh modernisasi, maka wisata
yang bisa ditawarkan hanyalah wisata krisis-krisis. Pertunjukan
performance art di situs wisata yang ekstraktif atau pameran
seni rupa kontemporer di galleri sebagai fasilitas suatu hotel
atau apartemen yang tegak di atas krisis air bersih masyarakat
sekitarnya bisa menjadi contoh konkret wisata krisis di Yogyakarta.
Atau, bisa berupa pasar seni yang dibiayai oleh agen-agen finansial
dari industri ekstraktif atau infrastruktur yang menghancurkan
ruang hidup dan ekosistem; atau, propaganda perampasan tanah
masyarakat dengan pentas wayang kulit di halaman kantor
developer di lokasi calon bandara baru di Kulon Progo pada 15
Desember 2017 silam.

Lima Pertanyaan Kunci


Di manakah seni dan seniman ketika muncul ide
membranding event seni untuk Yogyakarta kota wisata? Apakah
seni ditempatkan sebagai pelengkap dari industri wisata yang
berfungsi untuk menarik wisatawan agar berduyun-duyun
berkunjung? Apakah seniman diposisikan sebatas pekerja seni,
yaitu tenaga kerja produktif yang menjual tenaga dan idenya bagi
industri wisata? Apakah ketika seniman berkarya demi pesanan
industri wisata ia masih memiliki independensi sebagai seniman,
atau sekadar menjadi pekerja seni, atau justru menjadi kelas
buruh seni?

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 481


Ekonomi politik berpeluang menjadi alat analisis bagi seni
ketika seni bersentuhan dengan kapitalisme dalam produksi,
distribusi dan konsumsi. Bahkan, relasi antara ekonomi politik
dan seni tertandai sejak karya seni diproduksi:
“…the relation between art and political economy… is
expressed directly in the representations of art and
indirectly through work that involves the economy of
artistic production itself” (Moore, 2004)42.
Meminjam lima pertanyaan kunci ekonomi politik dalam
studi agraria—untuk obyek material berupa lahan serta relasi-
relasi kekuasaan di atas lahan, saya menawarkan pemeriksaan
ulang terhadap seni (obyek material, teks) dan relasi–relasi
kekuasaan yang membentuknya (ruang, konteks), utamanya
kekuasaan ekonomi politik dominan sehingga seni beralih rupa
menjadi komoditas atau sekrup-sekrup mesin industri wisata
maupun pasar seni.
1) Siapa menguasai apa?
Tampaknya akan sulit ditemukan seniman dan/atau
masyarakat tempatan berperan sebagai pemilik modal dari
industri wisata. Pemodal industri wisata biasanya pengusaha
papan atas atau pemerintah. Ruang di mana seni akan
ditumbuhkan dan diubah jadi laba tiada lain ialah ruang
produksi, dimiliki/dikuasai oleh pemodal atau pemilik usaha
wisata. Seniman berkarya (baik pesanan maupun mandiri) dan
menghidupi diri dengan cara berintegrasi dengan perputaran
modal melalui industri wisata yang bukan miliknya. Dalam
skema ini, hidupnya tergantung dari kuasa kapital yang
mengikatnya. Posisinya tak beda dengan buruh tani yang
mengerjakan lahan pemilik tanah dengan upah, meski buruh

42 Alan W. Moore. 2004. Political Economy As Subject And Form In Contemporary Art. Review
Of Radical Political Economics, Volume 36, No. 4, Fall 2004, 471-486

482 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
tani mencangkul dengan cangkulnya sendiri, meski pekerja
seni berkarya dengan perkakasnya sendiri, ia bekerja untuk
upah atau menjual ide/tenaga demi moda produksi pemodal.
2) Siapa mengerjakan apa?
Pemodal industri wisata atau pemilik usaha wisata
menyediakan ruang untuk berkarya bagi seniman, ruang
pamer, pasar seni, bahkan modal untuk berkarya bagi seniman.
Sedangkan seniman mengerjakan karya pesanan, atau karya
yang menjawab kebutuhan pasar. Dalam penyediaan ruang
bagi industri wisata, pemodal menceraikan lahan dari
masyarakat pemilik/penguasa lahan (primitive accumulation
by dispossesion); dan seniman mengkomoditisasi material,
ruang43, atau waktu44 menjadi komoditas seni sekaligus
komoditas wisata.
3) Siapa mendapat apa?
Pemodal atau pemilik usaha wisata memperoleh laba dari
industri wisata, sekaligus modal untuk diputar kembali.
Seniman memperoleh upah atau laba dari hasil penjualan
karya di galeri, pasar seni, panggung, atau event yang
diselenggarakan industri wisata. Namun, pendapatan
pemodal atau pemilik usaha wisata berkali lipat daripada
pendapatan seniman, sehingga posisi seniman akan selalu
berada di bawah kuasa pemodal atau pemilik usaha wisata.
Hidup seniman tergantung dari pelayanannya pada pasar.

43 Seni komersial di ruang publik


44 Misalnya performance art komersial di waktu tertentu

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 483


4) Apa yang dilakukan atas apa yang didapat?
Pemodal atau pemilik usaha wisata akan mengembangkan
usahanya, bermodalkan dari sebagian laba yang diperolehnya.
Seniman pun demikian dalam jumlah yang sedikit, jika
pendapatannya cukup; jika tak cukup maka hanya akan habis
untuk biaya hidup atau gaya hidup. Produksi laba dari industri
wisata dan karya seni yang melengkapinya akan berlangsung
dengan komposisi yang tak banyak berubah, yaitu pemodal
menjadi patron seniman, kecuali seniman mengambil alih
industri wisata, naik kelas dari buruh seni menjadi pemodal
atau pemilik usaha wisata nan berseni.
5) Apa yang dilakukan para pihak yang terlibat satu sama lain?
Pemodal atau pemilik usaha wisata adalah pihak yang
diuntungkan dari penyertaan seni dalam usahanya, karena
seni sebagai nilai lebih tak dapat mereka hasilkan. Maka
dari itu, patronase ini akan dipelihara. Seniman adalah pihak
yang dieksploitasi tenaga dan idenya, sukarela atau terpaksa.
Boleh jadi akan ada seniman yang memberontak karena
sadar kelas, namun itu tak akan berlangsung lama ketika
seniman pemberontak tersingkir dari komunitasnya yang
lebih menikmati hak istimewa dari posisi seniman selama ini.
“Tak ada yang peduli pada nasib kaum buruh selama mereka
memperoleh kenikmatan dari jerih payah kaum buruh”
(Squidward Tentacel dalam episode Squid’s Strike)
Kembali pada tema JNG, apakah merekayasa Yogyakarta
menjadi kota wisata dengan event seni sebagai branding-nya
merupakan peluhuran pada seni dan kerja seniman atau justru
sebaliknya?45 Ketika zaman modal mencetak pekerja-pekerja seni
atau buruh-buruh seni, semoga masih terjadi keluputan yang

45 Pertanyaan ini masih dalam ranah modernisme, menyesuaikan nalar modernisme dari
industri wisata berupa membranding event seni bagi Yogyakarta sebagai kota wisata.

484 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menyisakan seniman sejati, atau seniman sejati hanyalah mitos
belaka?
“Berbicara wisata pada hari ini, berarti tidak hanya
membicarakan turis dan objek wisata, visa dan
industri jasa wisata. Ketika membicarakan wisata, kita
membicarakan masyarakat, manusia. Sesungguhnya,
kita membicarakan diri kita sendiri” (Lusandiana, 2014)46
Karangwaru, 29 Sya’ban 1439
29 Ruwah 1951

46 Ibid 72

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 485


Transisi Demografi
di Indonesia dan Nigeria:
Sebuah Perbandingan*
Dwi Wulan Pujiriyani

A. Transisi Demografi di Negara Berkembang


Selama 50 tahun terakhir, negara-negara berkembang mengalami
transisi demografi dari angka kematian dan kelahiran yang tinggi
menuju kematian dan kelahiran yang rendah. Gofrey McNicoll
dalam artikelnya yang berjudul ‘Achievers and Laggards in
Demographic Transition: A Comparison of Indonesia and Nigeria’,
mencoba untuk menganalisis perbandingan transisi demografi
yang terjadi di Indonesia dan Nigeria. Kedua negara ini dianggap
layak untuk disandingkan karena beberapa kesamaan sekaligus
kontras yang diperlihatkan. Indonesia dan Nigeria adalah dua
negara yang sama-sama padat, memiliki sumberdaya yang relatif
kaya dan secara kultural beragam. Kedua negara ini mengalami
gelombang politik dan gerakan separatis pada awal tahun-tahun
kemerdekaan; serta memiliki sejarah pemerintahan yang otoriter
dalam sejarah mereka sebagai negara merdeka, hingga bentuknya
yang terakhir ini dengan demokrasinya.
Nigeria dan Indonesia sama-sama negara yang relatif baru
dalam mengalami penurunan fertilitas. Setengah abad yang lalu,
Indonesia dan Nigeria berada pada tingkat perkembangan yang
sama, keduanya memiliki tingkat fertilitas dan mortalitas yang
sama-sama tinggi. Transisi demografi di kedua negara ini juga
relatif kontras: ketika Indonesia memiliki angka harapan hidup
mendekati 70 tahun dan fertilitas yang relatif kecil (2 kelahiran
per satu perempuan), angka harapan hidup di Nigeria masih
dibawah 50 tahun dan fertilitasnya di atas 5.
Profil ekonomi dan demografi kedua negara ini menunjukan
perbedaan yang sangat tajam. Indonesia mengikuti pertumbuhan
model Asia Timur yang ditandai dengan penurunan kemiskinan
yang progresif, sementara itu Nigeria relatif stagnan. Dari tahun
1970, Indonesia melakukan ekpansi pertanian dan industri sampai
di akhir 1990-an; di Nigeria kedua sektor ini mengalami stagnasi
akibat meningkatnya dominasi pendapatan di sektor minyak dan
gas. Indonesia membuat beberapa upaya dalam menurunkan
kemiskinan, Nigeria hampir sama sekali tidak.
Dalam konteks transisi demografi, Nicoll menunjukan bahwa
ada beberapa hal yang bisa menjelaskan perbedaan yang terjadi
diantara kedua negara ini. Pemerintahan, pilihan kebijakan,
warisan sumberdaya dan kelembagaan serta kondisi-kondisi
eksternal merupakan beberapa aspek yang disoroti. Nicoll
berargumen bahwa perbedaan warisan kelembagaan menjadi
bagian penting yang menghambat penurunan fertilitas di Nigeria
yang ini bisa diatasi di Indonesia. Selanjutnya, akan dilihat lebih
dekat perbedaan ini, baik dalam aspek ekonomi dan demografi,
perbedaan dalam pengelolaan dan pilihan kebijakan, perbedaaan
warisan sumberdaya, kelembagaan dan kondisi eksternal.

B. Memahami Terminologi Transisi Demografi


Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘transisi
demografi’? Sejarah menunjukan bahwa transisi demografi

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 487


merupakan salah satu proses penting yang berpengaruh
pada kehidupan manusia sejak 500 tahun yang lalu.
Terminologi ‘transisi demografi’ (demographic transition)
dengan mengacu pada Lee dan Reher (2011) dapat didefinisikan
sebagai perubahan sirkuler pada fertilitas dan mortalitas yang
tinggi ke tingkat fertilitas dan mortalitas yang rendah atau relatif
stabil. Transisi ditandai dengan mortalitas yang menurun pada
awalnya, kemudian diikuti dengan penurunan fertilitas pada
beberapa dekade setelahnya yang memicu perubahan pada
tingkat pertumbuhan, ukuran dan usia populasi yang berlanjut
selama beberapa dekade.
Tidak ada negara yang menyelesaikan proses transisi
demografi. Proses transisi demograsi secara umum berbeda-
beda. Transisi merupakan sebuah fenomena global yang memiliki
tahapan berbeda. Mengidentifikasi transisi dalam sebuah lintasan
perubahan memungkinkan kita untuk memahami dengan lebih
jelas konteks perubahan yang terjadi di berbagai negara. Transisi
demografi akan membawa manfaat bagi masyarakat tetapi
sebagian juga tidak memberikan manfaat. Beberapa tantangan
yang dihadapi oleh masyarakat kita pada saat ini merupakan
konsekuensi langsung dan tidak langsung dari transisi demografi.
Kembali dijelaskan oleh Lee dan Reher (2011) bahwa dari sudut
pandang demografi, proses transisi setidaknya bisa memunculkan
empat perubahan pada masyarakat seperti dapat dicermati berikut
ini:

488 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 1. Perubahan akibat transisi demografi

Pertama, penurunan fertilitas dalam jangka waktu yang


panjang akan menyebabkan perubahan dalam struktur usia
populasi. Perubahan ini akan berdampak pada masyarakat
yang relatif lebih muda dan meningkatnya populasi usia kerja,
melahirkan apa yang kemudian disebut dengan bonus demografi
(demographic dividend). Selanjutnya, meskipun fertilitas
yang rendah akan menurunkan pertumbuhan populasi usia
kerja, tetapi akan meningkatkan struktur usia tua dan tingkat
ketergantungan. Proses penuaan ini menjadi dampak yang paling
penting dari adanya transisi demografi karena memiliki dampak
sosial dan ekonomi yang luas bagi masyarakat. Kedua, penurunan
fertilitas yang diiringi dengan peningkatan harapan hidup akan
berdampak langsung pada kelompok kekerabatan: ukuran jejaring
kekerabatan yang dimiliki seseorang akan semakin menyusut,
berkurang keluasannya dan akan semakin menciptakan jarak
generasi. Bercermin pada usia distribusi populasi, sebelum terjadi
transisi demografi, jejaring kekerabatan yang relatif jauh dan
condong ke bawah (sepupu, paman, bibi) memainkan peran
yang penting dalam keluarga. Setelah fertilitas dan mortalitas
menurun, ukuran keluarga menurun, jumlah kekerabatan lateral
menurun secara substantif, orang tua, kakek nenek bahkan buyut
menjadi semakin penting dalam keluarga. Ketiga, peningkatan

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 489


efisiensi reproduksi mendorong peningkatan kebebasan waktu
bagi seorang ibu untuk merawat dan membesarkan anak-anak.
Perubahan dalam kehidupan perempuan ini berdampak pada
perempuan dan perannya dalam keluarga, berdampak pada anak-
anak dan berdampak juga pada pria. Keempat, secara substantif
hidup yang lebih panjang akan meningkatkan nilai investasi
dari modal manusia dan meningkatkan jangka waktu yang bisa
dinikmati oleh generasi tua dimana pasokan tenaga kerja menurun
ketika banyak yang memasuki masa pensiun.

C. Membandingkan Faktor Natural dan Non-Natural sebagai


Pendorong Transisi Demografi
Dalam konteks membandingkan antara Nigeria dan
Indonesia, ada beberapa kontras yang bisa diperhatikan atau
dicermati diantara keduanya. Pertumbuhan tingkat populasi di
Indonesia turun separuh dari level tertingginya (2,4% per tahun,
dicapai pada awal tahun 1970-an); di Nigeria level tertingginya
(3 persen) dicapai satu dekade setelahnya dan pertumbuhannya
sekarang diperkirakan 2,3%. Pada tahun 1965, populasi di Nigeria
hanya setengah dari jumlah populasi di Indonesia, dan sekarang
sekitar 2/3 dari jumlah tersebut.
Pada tahun 2050, populasi di kedua negara ini diperkirakan
akan mencapai sekitar 290 juta. Pada waktu itu diperkirakan
pertumbuhan akan berhenti dan memenuhi transisi demografi,
dengan pertambahan 3 juta orang pertahun. Ini yang mungkin
bisa dipahami seperti yang dijelaskan oleh Lee dan Reher bahwa
transisi demografi mengarah para perubahan ke arah yang relatif
stabil. Grafik yang diambil dari Nicoll berikut ini menunjukan
tren di Indonesia dan Nigeria:

490 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar 2. Pertumbuhan populasi di Indonesia dan Nigeria

Jika diperkirakan populasinya akan mencapai jumlah yang


sama pada tahun 2050, dijumpai perbedaan pada transisi fertilitas
di kedua negara ini. Transisi fertilitas di Indonesia dimulai pada
tahun 1970-an dan fertilitas menurun setengahnya sekitar 2
dekade. Fertilitas di Nigeria menunjukan tidak adanya penurunan
sampai tahun 1990-an dan kemudian hanya sedikit menurun.
Penurunan fertilitas sebesar 10 % menandai awal transisi dan dapat
dikatakan bahwa transisi di Nigeria dimulai sekitar tahun 2003.
Pada angka harapan hidup, Indonesia menunjukan peningkatan
20 tahun selama 4 dekade, sementara itu Nigeria hanya sedikit
peningkatan yaitu sekitar 5 tahun.
Tingkat pendapatan di kedua negara ini relatif masih sama
pada tahun 1970, pada tahun 2000 ketika terjadi krisis keuangan
di seluruh Asia (1997-1998), rata-rata pendapatan di Indonesia tiga
kali dari Nigeria. Berkaitan dengan profil kemiskinan, Indonesia
juga mencatat penurunan kemiskinan mulai tahun 1996, dari
mulai 60% di tahun 1970, sampai 20% di tahun-tahun ini. Profil
berbeda ditunjukan oleh Nigeria yang tingkat kemiskinannya
justru meningkat dua kali lipat pada periode ini. Sekitar 2/3
populasi di Nigeria pendapatannya masih dibawah $1,25 dollar per
hari. Indonesia juga melakukan ekspansi ekonomi yang lebih cepat

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 491


khususnya dengan populasi di perkotaan. Di Indonesia populasi
urban didorong oleh pertumbuhan manufaktur sementara di
Nigeria didorong oleh oil based rentier economy.
Secara umum disebutkan oleh Nicoll bahwa transisi demografi
dalam suatu masyarakat dapat didorong oleh faktor yang bersifat
‘natural’ atau alamiah dan faktor yang tidak alamiah. Faktor
pendorong natural atau alamiah disini dipahami sebagai transisi
demografi yang terjadi karena perkembangan sosial ekonomi dan
perubahan budaya. Dalam hal ini transisi demografi dapat terjadi
karena perubahan ekonomi, baik ketika terjadi peningkatan
maupun penurunan ekonomi yang kemudian berpengaruh pada
otoritas perempuan. Faktor pendorong yang bersifat natural dapat
juga ditemukan dalam respon-respon terhadap intervensi melalui
program kesehatan atau pengendalian kelahiran. Sementara itu,
faktor yang bersifat tidak natural (non natural) adalah berbagai
kebijakan yang dibuat untuk mempercepat proses perubahan
yang terjadi, baik peningkatan angka mortalitas atau penurunan
fertilitas. Efektifitas percepatan pada perubahan yang terjadi ini
sangat bergantung pada konteks kelembagaan yang ada serta
aspek-aspek lain yang telah diwariskan seperti dapat dicermati
dalam ilustrasi berikut ini:

492 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Gambar.3. Faktor Pendorong Transisi Demografi

Pilihan kebijakan menjadi salah satu aspek strategis yang bisa


mendorong transisi demografi. Melalui kebijakan inilah, angka
mortalitas dan natalitas bisa diturunkan. Konteks kebijakan
yang diterapkan di kedua negara (Indonesia dan Nigeria) dapat
dicermati berikut ini:

Tabel 1. Perbandingan Kebijakan Indonesia dan Nigeria


Indonesia Nigeria
Kebijakan Mengadopsi kebijakan Lebih berorientasi ke dalam
Pembangunan makroekonomi liberal dengan negeri, politik pengendalian
strategi promosi ekspor nonmigas, perdagangan dan investari,
FDI (Foreign direct Investment) dan mengisolasi ekonominya
pengintegrasian pasar dari pasar global
Tumbuh sistem kroni kapitalisme Pemerintah kurang
dimana didalamnya elit politik mendukung pemodal
& militer beraliansi dengan swasta, politik etno-
pengusaha serta menjadi pusat regional yang kuat, blocking
dari sektor-sektor ekonomi development sebagai strategi
investasi

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 493


Mengadopsi berbagai kebijakan Menjaga harga bahan bakar
yang ditujukan untuk kelompok domestik tetap rendah,
miskin terutama melalui program tetapi tidak menghentikan
sosial di pedesaan, peningkatan kesenjangan pendapatan
pendidikan dasar serta subsidi yang terus meningkat
harga beras dan minyak goreng
Kebijakan Pengabaian masalah populasi Tingkat penggunaan alat
Populasi di Era Sukarno, namun di Era kontrasepsi yang rendah,
Orde Baru mencatat suksesnya terutama di pedesaan (10%
program KB. Program ini didukung dari keseluruhan wanita
sepenuhnya dari pimpinan yang menikah yang mau
tertinggi serta bantuan dan stok menggunakan kontrasepsi
logistik dari luar negeri. Petugas modern i.e: kondom dan
di tingkat provinsi dan lokal suntik, 5% dengan cara
terlibat secara aktif menjadi tradisional (pantang secara
aseptor yang mengkampanyekan periodik/abstinence).
program KB.
Penerapan kebijakan Program keluarga
pengendalian kelahiran secara berencana berjalan lambat,
keras pertumbuhan populasi
diwarnai dengan friksi-friksi
akibat perbedaan etnik,
agama dan wilayah/tempat
tinggal

Apapun bentuk kebijakan yang diintervensikan dan


diupayakan untuk mempengaruhi transisi demografi, faktor-
faktor yang diwariskan ’legacy factors’ merupakan faktor yang
ternyata sangat berpengaruh pada transisi demografi yang terjadi.
Elemen-elemen yang diwariskan ini dapat menjadi penghalang
ataupun pendukung perubahan ekonomi dan demografi itu
sendiri serta bisa menjadi bagian dari objek kebijakan. Berikut ini
perbandingan faktor-faktor yang diwariskan antara Indonesia dan
Nigeria:

494 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Tabel 2. Perbandingan Faktor-Faktor yang Diwariskan Antara
Indonesia dan Nigeria
Indonesia Nigeria
Modal Manusia Fasilitas kesehatan masih Fasilitas kesehatan masih
(Dimensi elementer/belum baik, tingkat elementer, tingkat kematian
kesehatan dan kematian anak-anak 155, jumlah anak-anak 166, jumlah
pendidikan) kelahiran hidup 44 , literasi orang kelahiran hidup 39, literasi
dewasa 54, jumlah yang terdaftar orang dewasa 25, jumlah
di pendidikan menengah 12, yang yang terdaftar di pendidikan
terdaftar di pendidikan tinggi 1 menengah 5, yang terdaftar
di pendidikan tinggi 0,4
Sistem Didominasi sistem keluarga Garis kekerabatan (silsilah)
Keluarga inti dengan rumah tangga yang dari garis ayah, tradisi
relatif otonom secara ekonomi, merawat anak secara
tingkat perjodohan pada bersama-sama oleh
perempuan yang berusia sangat saudara, poligami banyak
muda sebanding dengan tingkat dilakukan, pengelolaan
perceraian yang tinggi, relasi keuangan terpisah antara
sosial antara jenis kelamin yang istri dalam setiap rumah
berbeda relatif seimbang, poligini tangga, ekonomi keluarga
relatif jarang, sistem keluarga ditopang oleh bantuan dari
inti tidak menjadikan keluarga sanak keluarga sehingga
responsif terhadap tekanan ukuran keluarga tidak
akibat perluasan pasar dan terlalu diperhitungkan
persyaratan pendidikan sehingga
jalan keluarnya adalah dengan
mengurangi ukuran keluarga yang
direncanakan
Komunitas dan Organisasi sosial pedesaan di Struktur organisasi
Kekerabatan Indonesia bersifat hierarkis (top- sosialnya terdiri dari:
down), dan sistem administrasi emirate, raja, dan kepala
paralel suku. Terdapat organisasi
sosial lokal yang
terpisah yaitu organisasi
kekerabatan (lineage) yang
mengendalikan keputusan
pernikahan anggotanya

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 495


Indonesia Nigeria
Sistem Dominasi muslim (86 %), sangat Komposisi agama relatif
Kepercayaan rentan dengan konflik agama seimbang (40% muslim
dan 40% kristen), masih
terdapat kepercayaan asli
yang tidak bisa menyatu
dalam agama formal, di
desa-desa kepercayaan asli
ini berperan dalam menjaga
keberlanjutan kekuasaan
yang dimiliki oleh generasi
tua
Pemerintahan Komitmen pemerintahan terpusat Ditandai dengan
dalam menjalankan berbagai perbedaan lokalitas dan
program secara meluas (ekonomi, wilayah dengan berbagai
kesehatan, pendidikan, keluarga kepentingan politiknya.
berencana), resistensi politik Program fertilitas dianggap
relatif kecil, otoritarianisme akan mempengaruhi jumlah
dan administratsi publik yang masing-masing kelompok
efektif sampai di tingkat regional (mengurangi kekuasaan
memungkinkan penerapan kelompok tertentu)
program secara meluas

Secara ringkas dapat dijelaskan dampak faktor yang


diwariskan ini pada fertilitas di kedua negara. Pertama berkaitan
dengan peningkatan modal manusia (human capital), Indonesia
dan Nigeria mewarisi pendidikan dan kesehatan yang lemah.
Keduanya mulai melakukan perbaikan pada tahun 1970-an.
Dalam hal ini Indonesia selangkah lebih maju karena kebijakan
sosialnya dipengaruhi oleh ‘Asian Miracles’ yang membuatnya
bisa berbenah lebih cepat dibandingkan Nigeria yang tidak
mendapat pengaruh positif dari negara tetangganya. Kedua,
berkaitan dengan family nuclearization dan otonomi ekonomi,
struktur keluarga di Indonesia sangat mendukung terjadinya
transisi fertilitas. Sementara itu di Nigeria struktur keluarganya
jauh lebih kompleks. Transisi fertilitas bergantung pada sistem
patriarki dan kepentingan kekerabatan (lineage). Tanah menjadi
pintu masuk yang penting dalam hal ini. Ekonomi pedesaan di
Nigeria merefleksikan kompleksitas kekerabatan dan keluarga

496 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
serta politik kepemilikan tanah yang tidak dimiliki secara
individu. Ketiga, berkaitan dengan peran komunitas, pengelolaan
program di Indonesia tidak hanya untuk keluarga berencana
tetapi juga program lainnya, didukung oleh solidaritas komunitas
dan tekanan sosial dalam konteks administrasi publik dengan
struktur yang otoritarian dan bekerjasama dengan pimpinan-
pimpinan di pedesaan. Nigeria memiliki kehidupan politik yang
lebih bebas di level lokal, lebih tidak teratur, diatura oleh ikatan-
ikatan hutang budi (tidak bersifat paksan). Keempat, sistem
kepercayaan ini berkaitan dengan organisasi keagamaan yang
sangat potensial pada perilaku fertilitas. Di Indonesia, kampanye
keluarga berencana yang dilakukan dengan bekerjasama dengan
pimpinan muslim sangat membantu kesuksesan program ini. Di
Nigeria, kelompok muslim, kristen dan agama lokal cenderung
bersaing. Kesehatan menjadi domain dari jaringan para ahli
pengobatan tradisional yang seringkali resisten dengan program-
program fertilitas. Kelima pemerintahan, Indonesia ditandai
dengan administrasi publik, perlindungan fisik dan stabilitas
sosial yang relatif lebih efektif. Hal ini tidak dijumpai di Nigeria.

E. Refleksi Pengalaman Transisi Agraria di Nigeria dan


Indonesia
Awal mula dan kecepatan dari transisi demografi di sebuah
negara, seperti halnya pembangunan secara umum, merefleksikan
tidak hanya keunikan warisan dan bentuk intervensi kebijakan,
tetapi juga dampak dari kondisi ekonomi dan politik eksternal.1

1 Sejarah transisi demografi ditandai dengan tidak adanya keterlibatan langsung pemerintah.
Ukuran keluarga yang lebih kecil merupakan respon yang dilakukan secara individual untuk
meningkatkan daya tahan hidup seorang anak dan adanya berbagai perubahan peluang yang
harus diantisipasi. Ini adalah pengalaman pada masyarakat di negara Barat pada awal abad
20 dan sebelum Perang Dunia ke II di Jepang. Hal ini terulang di Brazil pada perang dunia.
Ini yang terjadi pada rute kebijakan transisi demografi di Nigeria, yang terletak pada faktor
sosial ekonomi seperti pendapatan yang lebih tinggi, peningkatan pendidikan dan kesehatan,
urbanisasi serta ‘ideational change’ yaitu transformasi dalam perilaku dan nilai-nilai yang
berdampak pada fertilitas meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan realitas faktual
yang terjadi saat ini.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 497


Perekonomian Indonesia di bawah pemerintahan Suharto
dipengaruhi oleh kemajuan dari negara-negara tetangganya,
dari masuknya politik dan militer Amerika ke Asia Tenggara
dan dari rezim perdagangan internasional. Indonesia bisa
membangun ekonomi manufaktur ekspor dengan penyerapan
buruh selama awal 1980 dan awal 1990-an ketika ada banyak
proteksi dan hambatan yang menyebabkan ekspor minyak
melemah. Nigeria secara regional menunjukan sebuah pelajaran
mengenai kegagalan kebijakan, kecuali di Ghana. Investasi asing
di negara ini dibatasi oleh sekor sumberdaya, masuknya Cina
sebagai investor akan memungkinkan perkembangan di masa
depan. Dengan meningkatnya pendapatan dari minyak, Nigeria
tidak mengembangkan sektor manufaktur dan berusaha untuk
mengurangi kompetisi dari negara-negara di Asia. Oleh karena
itulah, manfaat globalisasi untuk Nigeria tidak begitu jelas. 2
Setiap komponen modernitas demografi seperti mortalitas
yang rendah, fertilitas yang rendah serta pertumbuhan yang secara
alamiah rendah, menawarkan banyak manfaat bagi kehidupan dan
pembangunan, sampai pada akhirnya terjadi sebuah populasi yang
menua. Pada sejumlah negara, seperti Afrika, transisi demografi
berjalan secara lambat. Perbedaan kebijakan merupakan salah satu
penjelasannya. Pada mortalitas, efektifitas kebijakan dan desain-

Urbanisasi adalah pendorong terbesar. Menurunnya fertilitas urban relatif lebih lambat
dibandingkan dengan fertilitas pedesaan karena hambatan yang bersifat warisan, seperti
penduduk kota yang tidak terlalu terikat dengan tradisi-tradisi sosial ataupun kaidah
(amanat) budaya. Ada perbedaan cukup besar ddalam fertilitas antara masyarakat urban dan
rural di Nigeria, yaitu 1-2 anak dari total fertilitas pada tahun 2008 (4.7 Vs 6.3) dan perbedaan
ini dapat meningkat secara cepat: ada wilayah di Afrika yang sangat dikenal dengan fertilitas
urbannya yang sangat rendah seperti Addis Ababa. Jika demikian, fertilitas model Brazil
dapat direfleksikan juga di Nigeria.
2 Untuk penurunan fertilitas, perhatian dunia pada persoalan populasi dapat dicermati dari
menurunnya tingkat kelahiran di Asia. Penurunan ini bersamaan dengan sentimen-sentimen
yang bertentangan dengan sasaran program-program keluarga berencana, model orang
Asia,seperti yang ditunjukan dalam Cairo Agenda 1994, tererosi akibat kepentingan yang
muncul akibat bantuan dari dalam dan luar negeri untuk pengendalian kelahiran, kecuali
di Afrika yang tingkat fertilitasnya tetap tinggi. Fakta dari situasi ini menunjukan adanya
pengabaian isu populasi dalam prioritas pembangunan di afrika, seperti yang misalnya
dipublikasikan pada tahun 2005 dalam Commission for Africa dalam agenda dan kegiatan
African Union.

498 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
desain program ke depan, harus disesuaikan dengan kondisi sosial
ekonomi yang telah dibuktikan dari pengalaman selama beberapa
dekade. Fertilitas relatif rendah. Penurunan fertilitas dapat dilihat
sebagai capaian dari rezim mortalitas modern.3 Ini memang
tidak terjadi dalam suatu ketika, namun seringkali berlangsung
dalam beberapa dekade, dengan pertumbuhan populasi yang
cepat. Kebijakan langsung yang mendukung hal ini adalah
program-program keluarga berencana. Hambatan utama dalam
transisi fertilitas adalah warisan kelembagaan masa lalu: realitas
punahnya pratriarki sebagai dispensasi yang usang. Beberapa
warisan tetap abadi dan tanggungjawab kebijakan yang lebih
besar adalah membuatnya menjadi dorongan untuk dispensasi
yang baru, salah satunya dalam pencapaian tingkat fertilitas yang
dibutuhkan oleh masyarakat modern.

Daftar Pustaka
Chojnacka, Helena. “Poligyny and the Rate of Population Growth”.
Population Studies, Volume 34, Issue 1, Hlm 91-107.
McNicoll, Geoffrey. “Achievers and Laggards in Demographic
Transition: A Comparison of Indonesia and Nigeria”. Dalam
Lee, Ronald D dan Reher, David S. (ed). 2011. Demographic
Transition and Its Consequences. A Supplement to Vol 37.
USA: Wiley-Blackwell.

3 Proyeksi menengah dari UN terhadap Nigeria dapat dilihat dalam skenario berikut ini:
Mereka menunjukan anjloknya fertilitas sampai 2.4 (mendekati tahun 2050) di kelompok
urban sekitar 76%. Brazil akan mencapai fertilitas di level itu, tanpa adanya pecahan di
kelompok urban yang sama. Transisi fertilitas di Indonesia, sebaliknya lebih berpusat pada
kota (urban centered). Ideational change secara alamiah menjadi lebih kuat atau menjadi
sulit untuk diramalkan. Dinamika nilai-nilai tidak bisa secara jelas ditentukan. Ideational
change, berbagai kepercayaan, mendasari penurunan fertilitas secara simultan pada berbagai
wilayah. Beberapa melihatnya sebagai sebuah kegagalan substansial fertilitas seperti
yang terjadi di Bangladesh pada tahun 1980-an dan 1990-an yang terjadi karena kemajuan
ekonomi yang lambat. Opera sabun di Amerika Latin seringkali mengambil isu ini untuk
bisa mempengaruhi perubahan perilaku berkaitan dengan ukuran keluarga di wilayah
tersebut, dampaknya cukup sulit untuk bisa memisahkan dari konsumer ekonomi. Dan di
Afrika, perkembangan telepon selular yang sangat cepat serta berbagai aplikasinya adalah
sebuah fenomena baru yang sangat potensial dalam mengubah sejumlah besar lingkungan
kehidupan.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 499


Rossi, Pauline dan Rouanet, Lea. 2015. “Gender Preferences in
Africa: A Comparative Analysis of Fertility Choices”. World
Development, Vol 72, pp.326-345. www.elsevier/ com/locate/
worlddev. Diakses 23 Maret 2016.
Rusli, Said. 2012. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES

*Tulisan ini pernah terbit dalam blogpribadi penulis yang beralamat di


https://lucia-wulan.blogspot.com/ pada 27 Maret 2016.

500 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Jalinan Kematian
Kus Sri Antoro

[1] Kecemasan Tiara


Akhirnya isak tangis ini usai, Nak. Akhirnya ada waktu untuk
mengendapkan sedih yang mengambang. Ibu mulai terbiasa
mengakrabi sepi di rumah ini, dan ibu memang harus belajar
menghadapi hari-hari tanpamu di sisi. Belajar kehilangan hal-
hal kecil tentangmu, melepas kebiasaan-kebiasaan bersamamu:
menyiapkan air hangat untuk mandimu; membimbingmu
mengerjakan PR matematika yang jadi momok bagimu;
memastikan perlengkapan sekolahmu sebelum berangkat
(seragam putih merah lengkap dengan sepatu hitam, topi, dan
dasi untuk hari Senin; kaus olah raga untuk hari Selasa; seragam
pramuka untuk hari Rabu; baju batik untuk hari Kamis dan kebaya
untuk Kamis Pahing; baju kurung dan jilbab untuk hari Jumat;
lalu seragam bebas terbatas untuk hari Sabtu), berpisah dengan
segelas susu hangat pengantar tidurmu, juga kehilangan waktu
yang tak banyak mengubah apa-apa. Semua sudah hengkang,
hanya sesal ini saja yang masih ingin tinggal.
Kau adalah putri semata wayang keluarga ini, setelah Mbak
Irma (sapaan ‘Mbak’ ini untukmu), kakakmu, mendahuluimu
11 tahun lalu karena wabah demam berdarah, tiga hari sebelum
usianya genap 11 tahun. Ibu gagal merawatnya. Pengetahuan ibu
sebagai perawat di puskesmas pembantu tak sanggup melampaui
kecepatan virus yang menelan sel darah merah kakakmu. Semua
sudah berupaya. Tetapi Tuhan berkehendak lain, kakakmu sembuh
dengan cara-Nya. Sentuhan jari-Nya membuat satu penyakit pun
tak mampu menyentuhnya, selama-lamanya. Ibu tak menyesali
kepergian kakakmu, sebab kakakmu meninggalkan kami dengan
jalan yang wajar. Ibu sedih tak sempat mengenalkanmu pada
seorang kakak perempuan yang baik dan penyayang.
Mas Wahyu, putra sulung ibu, adalah kakakmu—kalian
terpaut 15 tahun. Anak lelaki satu-satunya dalam keluarga ini. Tak
selalu penurut, sama sekali lain denganmu. Lima tahun lalu, saat
ulang tahunmu yang ke-4, ia resmi masuk akademi polisi dengan
kemampuannya yang pas-pasan. Ayahmu setengah memaksanya,
juga kakekmu, meski pun kakakmu senang-senang saja. Mereka
sanggup membayar berapa pun agar kakakmu masuk akademi.
Di zaman ini, menjadi polisi memang lebih menguntungkan
ketimbang tentara. Tak perlu selalu bertaruh nyawa. Mungkin itu
juga harapan ayah dan kakekmu, hingga mereka memercayakan
sepenuhnya pada Iptu Prawiro, termasuk uang 250 juta rupiah.
Ibu tak ingin kamu seperti kakakmu, Nak. Kakakmu tumbuh
jadi tiruan ayahmu. Anak kebanggaan yang hidup dengan
berbagai paksaan. Dipaksa les ini, kursus itu, latihan ini, training
itu. Ibu ingin kamu menjalani apa pun tanpa paksaan. Ibu
ingin kamu menjadi dirimu sendiri, jadi seseorang yang berani
menghadapi masalah-masalah dengan segenap kemampuan dan
keterbatasanmu. Seseorang yang tak perlu memaksakan diri

502 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
menjadi sesuatu yang bukan dirimu. Seseorang yang tumbuh
tanpa dihantui kecemasan-kecemasan.
Apa yang kau cemaskan, Anakku? Ibu selalu membelamu
di hadapan siapa pun; membelamu ketika ayahmu menuntutmu
lebih dan membandingkanmu dengan anak tetangga yang juara
satu atau dua; membelamu ketika kakak pembina memarahimu
karena kau gagal ujian tali-temali dalam pramuka; membelamu
ketika kau dianggap tak becus baris-berbaris saat latihan upacara
bendera; dan membelamu ketika teman-temanmu mengataimu
bodoh dan tak berguna. Berapa kali ibu bilang padamu agar kau
tak perlu takut ketika mendapat nilai 5 untuk matematika. Kau
tetap anak pintar. Lihatlah, teman-temanmu sekelas tak ada yang
mampu menggambar sebagus kamu. Kau tahu? Tarianmu yang
paling luwes di antara anak-anak seusiamu. Dan, adakah anak yang
suaranya lebih merdu darimu di lingkungan pedukuhan ini? Tidak
ada, Nak. Cuma kamu yang istimewa. Kenapa kau harus takut
dianggap bodoh oleh ibu guru hanya karena nilai matematikamu?
Apakah benar ibu guru memarahimu setiap kali kau tak dapat
mengerjakan soal paling mudah, Nak? Apakah ibu guru di sekolah
pernah memujimu untuk kemampuanmu yang lain? Mungkin
tidak. Matematika, IPA, pendidikan kewarganegaraan tetaplah
yang utama buat para gurumu, para orang tua teman-temanmu,
para tetangga kita. Tetapi, ibu selalu memujimu apa pun
keadaanmu, Tiara, sebab kau adalah putri kesayangan keluarga
ini, putri semata wayang yang amat kusayang.
Ibu masih ingat, setiap minggu pagi kita menyantap
jajanan pasar kesukaan kita masing-masing. Ibu suka gatot dan
thiwul—kau ingat? Keduanya dibuat dari gaplek, ubi kayu yang
dikeringkan. Kau suka cenil, lopis, dan grontol, dengan kuah juruh
yang kental. Ibu suka ketika kau ceriwis menanyakan bagaimana
membuat cenil yang warna-warni dari tepung tapioka, bagaimana

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 503


membikin lopis yang bentuknya persis lontong dari ketan,
bagaimana mencipta grontol yang sama sekali beda dari popcorn
dari biji-biji jagung, dan bagaimana meracik juruh dari lelehan
gula merah. Jajanan tradisional itu kau santap nikmat berwadah
pincuk daun pisang—pinggan tradisional itu kini berganti piring
melamine yang beracun, sebagai sendoknya kau pakai lidi untuk
menusuk berbagai kudapan itu, lalu kau kunyah lincah, lalu kau
telan perlahan. Melihatmu makan seperti melihat masa kecilku,
Anakku.
Penjual kudapan itu, Yu Rubinem, penerus mendiang Yu
Sarinah, yang baru satu bulan berjualan, masih saja memberikan
cuma-cuma sepincuk cenil, lopis, dan grontol kesukaanmu
meski kau sudah tak ada di rumah ini. Dia bilang pada ibu
betapa kau lucu dan menggemaskan seakan dia setiap saat
bertemu denganmu, padahal kau telah tinggal dalam kenangan
ibu. Kasihan Yu Rubinem. Sewaktu kau masih ada, dari caranya
memandangimu, ibu tahu Yu Rubinem begitu menyayangimu.
Mungkin kau mengisi kekosongan hatinya yang seharusnya diisi
oleh anaknya. Itu sebabnya, ibu tak memberitahunya bahwa kau
sudah pergi, ibu tak ingin Yu Rubinem yang jauh-jauh menempuh
perjalanan dari desanya menjadi sedih sesampai rumah ini.
Apa kau takut dianggap murid nakal, Nak?
Sesekali, seorang anak perlu nakal, Anakku. Nakal itu wajar
bagi seorang anak seusiamu. Sebab, jika kau tak nakal sekarang,
kau akan nakal di usia dewasa. Kenakalan di usia dewasa itu
merepotkan orang tua, dan tak jarang memalukan. Jangan
seperti ibu, Nak. Ibu jarang menghibur anak kecil di dalam diri
ibu, semakin tua semakin jarang. Kini, ibu lupa bagaimana cara
membuatnya tersenyum dan tertawa.
Lalu, kenapa kau harus resah hanya karena seragam putih
merahmu basah? Kenapa kau harus cemas hanya karena terpaksa

504 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
kau kenakan seragam pramuka, Nak? Jika ibu guru memarahimu,
maka ibu yang akan membelamu, menjelaskan kepadanya agar
kau dimengerti. Jika teman-temanmu mengolok-olokmu dan
membuatmu sedih, maka ibu yang akan menasihati mereka dan
menghiburmu.
Kau mungkin tak sempat mengerti, Anakku. Apa kau tahu?
Guru-gurumu dan teman-temanmu, mereka terbiasadiseragamkan
sehingga lama-kelamaan seragam menyeragamkan isi kepala,
perilaku, dan isi hatinya, membuat mereka sulit menerimamu
yang berbeda, tak siap pada hal-hal di luar pengalaman, takut
pada perbedaan. Ketakutan itu mereka kembalikan padamu,
mereka pakai untuk menakut-nakutimu, Anakku.
Jangan mencemaskan hal-hal yang tak perlu kau cemaskan,
Tiara. Anakku, masih ada hari lain untuk memperbaiki kesalahan-
kesalahanmu, jika memang kau salah. Kau tak perlu dirundung
murung hanya karena salah seragam, lupa mengerjakan PR
matematika, tidak bisa mengucap kata mamalia, atau salah
melangkah saat baris-berbaris latihan upacara bendera. Itu semua
bukan hal yang memalukan, Anakku.
Tetapi di usiamu yang terlalu dini, kau pilih menyentuh
keputusasaan. Mengapa, Nak?
Pada gilirannya setiap jiwa akan pergi, Anakku. Ibu pasti
menyusulmu, ini hanya soal waktu. Ibu mungkin menerima
kepergianmu, tetapi caramu pergi membuat ibu kehilangan akal,
hampir hilang ingatan. Kau menyimpan kecemasan sebelum
pergi, dan kecemasan itu kini kau wariskan pada ibu. Ibu cemas
jika bisik-bisik tetangga itu benar. Ibu cemas jika kau memang
ditakdirkan berada di urutan ke-16 dalam daftar para mendiang
yang pergi tak wajar. Ibu cemas caramu pergi menular ke orang
lain.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 505


Dan jika kecemasan ibu benar, Ibu tak tahu harus menyalahkan
siapa atau apa.

[2] Keputusasaan Kirman


“Pak, aku pengen dadi pulisi, kaya dene Mas Wahyu!” Dengar,
Man, Kirman. Anakmu merengek ingin jadi polisi, seperti Wahyu
anak tetanggamu.
“Lha thik? Apa ora ana gawean liya, Le?” Apa? Kau masih juga
tanyakan apa tak ada pekerjaan lain?
“Dadi pulisi ki kepenak, Pak. Kari njoto. Mayar golek duit.
Uthik aku mbaleni nasibe Bapak, kemringet. Uthik sambat aku,
Pak.” Benar, kata anakmu, jadi polisi itu enak, tinggal duduk,
gampang cari duit, tidak bermandi keluh dan peluh sepertimu.
“Ning, Bapak ra kuat ragad, Le.” Ah, kau masih berdalih tak
bisa membiayai.
“Kathik jamak neh. Ya adol-adol, Pak.” Benar anakmu. Kau
masih punya banyak hal untuk kau jual, Kirman.
“Bezuh! Bapakmu ki pakaryane njala iwak guran. Apa
rumangsamu bapak ki juragan iwak kaya Bapakane Wahyu?”
Kau masih juga berdalih kau cuma seorang nelayan kecil, bukan
juragan ikan seperti bapaknya Wahyu? Keterlaluan!
“Bapak ijih nduwe prau, to? Lha mbok ya didol.” Bagus!
Bujuk Bapakmu menjual perahunya, satu-satunya sumber nafkah
keluargamu itu sudah layak pensiun, sudah terlalu tua seperti
Bapakmu.
“Lha gek kepize? Adhi-adhimu karo mbokmu gek arak mangan
apa njuk’an?” Tolol kau, Kirman! Kau masih cemas bagaimana
menafkahi keluargamu? Tentu saja anak-anakmu yang lain akan
dinafkahi oleh kakaknya, seandainya ia jadi polisi.

506 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Jamak neh arak dadi pulisi bae ora aweh!” Betul katamu, jadi
polisi saja tidak boleh. Bapakmu memang goblok!
“Bizungalah! Le. Ngiloa ya, Le. Kowe ki anake wong ra ruh
hurup, ra enjuh basa negara. Kowe ki ra memper dadi pulisi. Sekolah
bae kowe ra jedhak! Nunggak-nunggak.” Wah! Jangan kau ungkit
masa lalu anakmu, Kirman. Kau malah menasihatinya untuk
bercermin dan tahu diri. Kau bilang dirimu cuma seorang buta
aksara yang tak bisa berbahasa resmi negara, dia tak pantas jadi
polisi karena latar belakangmu? Benar dia dulu sering membolos
sekolah dan tinggal kelas, tetapi dia berubah. Lihatlah!
“Pak! Aku ki doyan gawean, aku njaluk diragadi dadi pulisi
guran. Gek kleruku ki apa?” Betul katamu. Kau bukan pemalas,
kau hanya ingin jadi polisi. Kau tak salah. Bapakmu itu yang
bodoh.
“Gek piro ragade, Le?” Akhirnya! Kau tanyakan berapa biaya
jadi polisi.
“200 yuta, Pak! 200 yuta guran, Pak Prawiro pulisine kae
mengko sing ngurus.” Ah! Kau anak yang jujur. 200 juta rupiah
bukan jumlah banyak untuk pekerjaan mulia. Dan Prawiro itu, ah
kau benar, dia polisi yang biasa mengurus segala hal. Termasuk
masa depan pemuda-pemuda sepertimu.
“Duh Gusti gek ngendi lehku golek duit semono akehe, Le?
Bapak gur nduwe prau, warung pinggir segara Baron, karo lemah
alas warisan simbah, iku bae ora amba, Le.” Apa? Kau mengeluh
bagaimana mendapat uang sebanyak itu? 200 juta itu sedikit,
Kirman. Jual saja perahumu, jual kiosmu di tepi Pantai Baron itu,
jual ladang warisan orang tuamu. Demi anakmu, Kirman.
“Yen Bapak ora nuruti, aku arak nggiantung!” Bagus,
mengancamlah bunuh diri. Bapakmu pasti luluh.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 507


“Le! Bizungalah, Husen. Aja nglalu ya, Le. Ya, ya. Bapak arak
dodolan.” Aha! Akhirnya kau cegah anakmu bunuh diri, kau pilih
menjual apapun yang kau punya demi dia jadi polisi.
Sejak saat itu kau mulai sibuk berhitung, apa saja yang bisa
dijual hingga 200 juta bisa kau kumpulkan. Tapi dasar sial, seluruh
hartamu tak laku seperti yang kau mau. Apa boleh buat, pada hari
yang sudah dijanjikan kau datang juga ke makelar pekerjaan itu.
“Den Prawiro, niki 50 yuta. Kula ndherek anak kula dados
pulisi.” Kau menghiba pada Prawiro, makelar itu, menyerahkan
50 juta rupiah berikut nasib anakmu padanya. Memang begitu
seharusnya, kau sebut penolongmu: Tuan.
“Ya, Man. Dak tampa duit iki. Anakmu bakal dadi pulisi.”
Makelar itu menerima uangmu dan menjanjikan anakmu akan
jadi polisi.
“Matur nuwun, Den. Gek kinten-kinten kiranganipun pripun?”
Kau memang tahu berterima kasih, Kirman. Ah, kenapa juga
masih kau tanya-tanya bagaimana dengan kekurangannya? Kau
sudah tahu kan, kau baru membayar seperempatnya?
“Aja dadi pikirmu, Man. Kowe dak anggep utang, disaur saka
bayarane anakmu saben sasi. Gur dikethok separo, Man. Ijih iso
mangan.” Dengar itu, Man. Kekuranganmu dianggap hutang
yang akan dicicil setiap bulan dari separuh gaji anakmu. Jangan
khawatir, Man.
“Gek kinten-kinten pinten bayare Husen, Den?” Memalukan!
Kau tanya berapa gaji anakmu?
“Bayare Husen saben sasi? Ya kira-kira 2 yuta kawitane.” Nah
sudah kau dengar, Man. Gaji anakmu 2 juta tiap bulan, untuk
permulaan.

508 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Gek utang kula niku kinten-kinten rampung pinten taun,
Den?” Dasar melarat! Kau tanyakan berapa lama hutangmu
terbayar? Kau cemas tak dapat lunas?
“Ya… 12 taunan. Iku yen bayare ajeg. Ning aja sumelang,
Man. Saben mundhak pangkat mundhak bayar. Apa maneh dadi
pulisi ki akeh dalan rejekine. Yen anakmu iso nyekel maling, entuk
ganjaran 12 yuta saben sak laporan. Yen entuk pesenan saka wong
ndhuwur, mesthi luwih akeh ganjarane. Aja dadi atimu, Man.” Nah,
Man. Kau dengar sendiri. Sekitar 12 tahun hutangmu akan lunas
kalau upah anakmu ajek. Tiap naik pangkat naik upah. Makelar
itu benar, polisi itu punya banyak jalan rejeki. Jika anakmu
berjasa menangkap maling maka akan dapat bonus 12 juta, jika
dapat proyek pesanan pembesar maka akan semakin banyak
ganjarannya. Kau sama sekali tak perlu cemas, Kirman.
Kau pulang serasa kalah perang. Kau telah kehilangan
ladangmu; kiosmu; perahumu, seluruh pohon jati di
pekaranganmu, sapimu, dan separuhnya ditutup oleh hutang pada
Bu Darmi, janda tuan tanah, si lintah darat itu. Tidak apa-apa,
Man. Kau masih punya rumah. Tapi dasar kau tukang mengeluh,
kau menyesali keputusanmu sendiri.
Lima tahun kau tenggelam dalam penyesalan karena hidupmu
terjerat hutang. Kau memikirkan kehilanganmu terlalu dalam. Kau
tak mau memercayai janji makelar itu. Salahmu sendiri, pikiranmu
sakit, tubuhmu ikut sakit. Asmamu kambuh. Migrainmu kumat.
Lubang di gigimu meradang, sakit tak tertahankan. Siang malam
kau meriang. Demam karena dendam pada dirimu sendiri.
Husen tak kunjung memperoleh ganjaran. Kau menduga ia
kurang rajin. Kau salah, Man. Ia tekun mengutip para pengendara
dengan dalih operasi surat dan kelengkapan kendaraan. Di
tikungan itu, di luar jadwal operasi. Anakmu lebih rajin dari polisi
lain.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 509


Kau membayangkan hutangmu membukit. Sedangkan dua
anakmu yang lain, Anik dan Sri, memilih putus sekolah dan
bekerja di usia remaja. Sri jadi pembantu rumah tangga di rumah
Prawiro dan Anik jadi buruh cuci di rumah makan milik keluarga
Wahyu rekan kerja Husen. Mereka senasib dengan Marni, sepupu
mereka, yang jadi pembantu rumah tangga Bu Darmi. Pendidikan
Marni terpaksa terhenti sampai kelas satu SMP. Kau menua dan
penyakitan. Kekecewaan menggerogoti nalarmu. Kau mulai sering
keluyuran tanpa tujuan. Kau sering melewatkan malam di ladang
bekas punyamu yang dulu digarap isterimu. Tidur di gubuk yang
dulu selalu kau singgahi. Hingga suatu malam yang keramat ia
menemuimu serupa sahabat. Kau tumpahkan kekecewaanmu
padanya, dan ia menampung seluruh dukamu. Mengajakmu
beranjak dari derita dunia. Ikut bersamanya.
Sakit gigimu tak tertahankan. Sri membujukmu ke dokter,
begitu juga Anik dan isterimu bersedia mengantarmu. Tetapi kau
tak mempan bujukan.
“Pak, gek enjo menyang ndokteran. Gek men ndang mari
untumu kuwi…” Kau dengar? Anik mengajakmu ke dokter gigi.
“Ora, Nduk. Uthik dijabut. Wedi ngimpeksi.” Dasar! Penakut!
Kau takut dicabut gigi dengan alasan takut infeksi.
“Lha gek arak kepize, Pakne Husen? Sambat sebutmu marai
ora mentala.” Isterimu bingung harus bagaimana, ia tak tega
mendengar keluhanmu, wahai Bapaknya Husen. Betapa manisnya!
“Hyung…, aduh hyung. Larane…, ra kuat aku, Nduk, Mbokne.
Patenana aku! Patenana aku!” Bagus! Mengeluhlah terus-menerus.
Tenggelamlah dalam lautan keluhan. Keluhan adalah mantra
paling ampuh pemudar harapan. Kau meminta kematian.
“Bezuuh! Aja ngono kuwi Pakne Husen? Ora ilok…”
Isterimu mengingatkanmu, melarangmu meracau, tak pantas

510 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
mengharap kematian. Memohonlah kepadaku, Kirman. Aku
bisa membebaskanmu dari segala derita dunia. Aku tawarkan
padamu pertolongan, sekali untuk selamanya. Katakan: Ya, dan
semua akan selesai dalam sekejapan matamu. Datanglah padaku,
Kirman. Sendirian. Aku tunggu kau di luar pintu dapurmu jika kau
sudah siap kusembuhkan. Dan jangan lupa, panggil aku: Tuan.

[3] Kecemburuan Rubinem


Apa lagi yang tersisa dari hidupmu?
“Martabat! Aku masih punya martabat sebagai manusia.”
Haha! Jangan bercanda, Rubinem. Kau cuma lulus paket A.
Kau disingkirkan dari pasar kerja. Apa oleh-olehmu dua tahun
memburuh di Singapore, empat tahun di Malaysia, setahun di
Hongkong? Luka-luka. Penghinaan. Upah yang tak dibayarkan.
Penipuan agen-agen penyalur tenaga kerja. Dan kau tak ingin
kembali ke sana, sebab di sana kau diperdagangkan.
“Ketentraman! Aku masih punya ketentraman.”
Tolol! Dengan setumpuk hutang yang tak kunjung terbayar?
Apa kau sanggup bertemu Tukiran, Marni, dan majikan mereka
yang kau takuti? Darmi. Ya, Darmi menjeratmu dalam hutang
yang tumbuh berkembang. Kau hutang seratus ribu, tapi kau
wajib kembalikan dua kali lipat, tiga kali lipat, empat kali lipat…
Seiring waktu yang menghimpit hutangmu makin melangit. Kau
sudah miskin dan jatuh lebih miskin.
“Keluarga! Aku masih punya keluarga.”
Benarkah?
Mendiang kedua orang tuamu hanya mewariskan kemiskinan.
Suamimu telah menceraikanmu demi mempertahankan gono-
gini, harta bersama dengan isteri tua. Kau hanya punya hubungan

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 511


gelap dengan lelaki itu, menghasilkan lembu peteng, si anak gelap.
Bekas mertuamu telah mengambil paksa hak asuhmu atas anakmu
karena kau bukan isteri sah anak lelakinya dan kemelaratanmu.
Mereka tak ingin putri kesayanganmu tumbuh jadi perempuan
jalang sepertimu. Saudarimu satu-satunya, Sarinah, telah lebih
dulu meregang nyawa. Tinggal kau sendiri, menghidupi diri,
melanjutkan dagangan saudarimu. Menempuh berkilo-kilo meter
jalan terjal berbatu karang, menjajakan kudapan dari pagi hingga
petang. Nasibmu kerontang, sekering Gunungsewu tempat
mukimmu. Rubinem, kau sebatang kara!
“Hubungan! Aku masih punya hubungan.”
Bohong!
Suami, mertua, iparmu tinggal bekas, Nem, meski pun
anakmu tidak. Tapi apa artinya? Kau hanya melahirkan, menyusui,
tapi dipisahkan ketika anakmu disapih. Ini sudah tiga tahun kau
menanggung rindu pada anakmu, Nem. Hanya saat libur sekolah
saja kau bisa mengusap lembut kepalanya, menghirupi aroma
tubuhnya, memeluknya dengan hangat, menciuminya, dan tanpa
bosan memandangi sepasang matanya yang bening, lalu kau
bertemu kembali dengan perpisahan. Kau kembali mengakrabi
sepi untuk waktu yang lama.
Benar kan, Nem? Satu hingga dua minggu saja dalam setengah
setahun sudah terasa selamanya!
“Cinta! Aku masih punya cinta.”
Omong kosong! Kau hanya bercumbu dengan ilusi, kau
menyelingkuhi khayalanmu. Gadis manis yang kau beri cenil,
grontol dan lopis setiap minggu pagi? Gadis itu bukan anakmu, kau
hanya mengagumi sapasang matanya yang serupa mata anakmu.
Kau hanya merindukan suaranya yang merdu, polah lincah, dan
celotehnya yang ingin tahu segala hal tentang kudapan yang kau

512 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
jajakan. Apa kau tak melihat, Nem? Ibunya memandangimu aneh,
seakan kau berbicara pada entah, seolah kau bercengkerama
dengan kekosongan setiap kali kau mengunjungi mereka. Kau
ingin gadis itu mengisi ruang hatimu yang hampa? Jangan
berharap, Nem. Barangsiapa menanam harapan maka harus
bersiap panen kekecewaan.
“Harapan! Aku masih punya harapan.”
Dusta! Tak ada harapan bagimu, Nem. Kau hanya sebatang
kara. Tak ada yang menginginkanmu. Kau tak dicintai, bahkan
hanya untuk sesaat. Kau tak ingat? Baru kemarin, ya baru kemarin
anakmu menolak kau ajak pulang, padahal minggu ini masa libur
sekolah. Boneka cantik itu menggantikan posisimu. Boneka
cantik hadiah bekas mertuamu untuk anakmu. Kau cemburu
pada boneka anakmu.
Anakmu adalah satu-satunya harapanmu, Nem. Begitu
bukan? Apalagi yang bisa kau harapkan dari dirimu? Lihatlah
dirimu, bagaimana kau dapat berjalan tanpa pijakan? Asamu
telah putus. Kau hanya punya putus asa.
“Tanya! Aku hanya punya tanya sekarang.”
Ya. Bertanyalah, Nem. Hidupmu hanya sisakan tanya.
“Aku harus apa?”
Akhiri semua, Nem. Akhiri penderitaanmu. Raihlah
selendang itu. Ikatlah erat pada kaki ranjang bambumu, ikat
sekuat tekadmu. Buatlah simpulnya, kau masih ingat kan? Sama
seperti kau ikat leher kambing bekas juraganmu, tapi sedikit lebih
ketat. Pastikan kau kalungkan perlahan, tak usah terburu. Segala
yang buru-buru biasanya berujung kegagalan.
Mari, Rubinem. Kemarilah, jangan ragu. Makna hidup akan
kau rasai ketika hidup tak lagi kau miliki.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 513


[4] Kebimbangan Bu Darmi
“Ni, Marni!” Bu Darmi, perempuan 72 tahun itu, memanggil
pembantunya.
“Inggih, Den Ayu.” Tergopoh-gopoh, Marni mendekat pada
majikannya yang renta itu.
“Surtipikate Kirman wingi kae didokok ngendi ya?” Bu Darmi
menanyakan di mana sertifikat tanah Kirman disimpan.
“Kadosipun wonten laci lemari ageng, Den Ayu.” Marni
menjawab kemungkinan sertifikat tanah itu ada di laci lemari
besar.
“Jupukna, Ni. Oh, ya karo cathetan potangan sisan.” Bu Darmi
memerintah Marni agar mengambilkan sertifikat tanah itu, juga
buku piutang miliknya.
“Sendika, Den Ayu.” Marni menyanggupi dan segera pergi
mengambilkan benda yang dimaksud.
Bu Darmi mulai membuka lembar demi lembar catatan
kecilnya, tangannya yang renta menuliskan nama, waktu,
keterangan, dan angka-angka dalam aksara Jawa. “Sutarno
blantike sapi, limang taun…, kurang rong atus ewu… 2 0 0 0 0 0
0. Rubinem bakule thiwul nyebrak limang atus ewu, janji telung
sasi rampung, tambah anakan dadi nem atus ewu, rung nganti
nyaur wis mati. Kirman isih telung taun maneh sepuluh yuta…
Hmm.” Usia renta membuat apa yang diingat berbeda dengan apa
yang dituliskan. Dia ingat betul, Sutarno si pedagang sapi hutang
selama lima tahun, tinggal Rp. 200.000,00 tetapi angka itu ia tulis
Rp. 2.000.000,00. Rubinem pedagang thiwul hutang padanya
Rp. 500.000,00 ditambah bunga pinjaman jadi Rp. 600.000,00
tetapi belum sempat dibayar sudah meninggal. Lalu, Kirman.
Pinjamannya masih tiga tahun lagi, sebesar Rp. 10.000.000,00!

514 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Ni, Marni. Celukna Tukiran saiki.” Bu Darmi memerintah
Marni untuk memanggilkan Tukiran, pembantunya yang lain.
“Sendika Den Ayu. Menika surtipikat saha cathetan
potanganipun, Den Ayu” Marni menyerahkan sertifikat dan buku
piutang, lalu beringsut pergi mencari Tukiran.
“Hmm…, saiki dak cocokake karo cathetan potangan. Kirman
wis mati, kamangka utange urung rampung. Ra ana sing nyaur.
Gek anakane sansaya nambah. Kojur aku yen duitku ra bali. Bakal
kasatan tenan aku.” Bu Darmi bicara sendiri, menghadapi situasi
Kirman sudah mati, padahal hutangnya belum lunas, tak ada yang
membayar, lagi pula bunga pinjaman terus bertambah. Celaka!
Jika uangnya tak kembali ia bakal rugi besar, bakal kehabisan
uang.
“Dalem, Den Ayu.” Tukiran menyapa dan mendekat pada
majikannya yang sibuk menghitung piutang.
“Oh kowe, Le? Ran, Tukiran. Saiki kowe mara menyang omahe
Kirman, takono kapan arep ngrampungi utange. Iki wis dipunjuli
telung taun seka janjine. Ya?” Bu Darmi memerintah Tukiran
untuk menagih hutang ke rumah Kirman, karena sudah diberi
waktu tenggang tiga tahun dari jatuh tempo.
“Inggih, Den Ayu. Namung, Kirman pun tilar, Den.” Tukiran
menyanggupi sekaligus mengingatkan bahwa Kirman sudah
meninggal.
“Mangsa bodoa, piye nggonmu arep rembugan karo bojone
apa anak-anake.” Bu Darmi tidak peduli, masa bodoh! Terserah
Tukiran bagaimana bermusyawarah dengan isteri dan anak-anak
Kirman.
“Sendika, Den Ayu.” Tukiran menyanggupi, siap melaksanakan
perintah.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 515


“Lemahe alas cen wis tak tuku. Ning surtipikate omah iki
isih dadi barang gadhen. Kandhanana, yen utange sepuluh yuta
ra disaur, omah lan pekarangane dak jupuk. Oh ya karo anakane
dadi 13 yuta!” Bu Darmi berkata, tanah ladang Kirman sudah ia
beli, tetapi sertifikat tanah rumah dan pekarangannya masih ada
padanya sebagai jaminan gadai, jika keluarga Kirman tak melunasi
hutang 10 juta itu, maka rumah dan pekarangannya akan dia
ambil. Bu Darmi juga mengingatkan, hutang Kirman ditambah
bunga jadi 13 juta rupiah.
“Sendika, Den Ayu.” Tukiran siap melaksanakan perintah.
“Wis gek budhala, nyoh… Iki tampanen paringanku, kanggo
ududmu.” Bu Darmi memerintah Tukiran segera berangkat ke
rumah Kirman, sambil melempar uang rokok pada pembantunya.
Tukiran beranjak pergi setelah mengucapkan terima kasih.
“Punten dalem sewu, Den Ayu.” Marni masuk ruangan,
memohon maaf.
“Ya ana apa, Ni?” Bu Darmi menanyakan kepentingan Marni.
“Wonten dhayoh, Den Ayu. Saking negara.” Marni
memberitahu Bu Darmi bahwa ada tamu dari kota, orang di desa
itu biasa menyebut kota dengan negara.
“Jakarta apa ngendi?” Bu Darmi menanyakan apakah tamunya
dari Jakarta atau kota lain?
“Ngayogja, Den Ayu.” Marni menjawab, tamunya dari Jogja.
“Ya, kon njenggruk sik, sedhela engkas tak mara, tak
nyimpen surtipikat iki dhisik. Gawekna wedang sisan, Ni.” Bu
Darmi menyuruh Marni supaya mempersilakan tamu itu duduk
dan membuatkannya minuman, ia akan segera datang setelah
menyimpan kembali berkas-berkasnya.

516 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Sendika, Den Ayu.” Marni siap melaksanakan perintah
majikannya.
Beberapa saat kemudian, tamu itu berdiri menyambut
kedatangan Bu Darmi. “Sugeng, Bu Darmi.” Mereka bersalaman
ujung jari, menangkupkan telapak tangan.
“Panjenengan sinten, Nak Mas?” Bu Darmi bertanya pada
tamunya, siapakah dia?
“Oh… Kulo Wironegari, kula utusan saking Sinuhun.” Tamu
itu mengaku bernama Wironegari, utusan dari Baginda.
“Weh ladalah. Tamu Agung. Lha wonten kersa punapa?” Bu
Darmi girang, tak menyangka kedatangan tamu agung, lalu
menanyakan apa kepentingannya.
“Anu, Bu. Menika kula ngaturaken nawala saking Kawedanan
Hageng saking Kedhaton. Monggo.” Tamu itu berkata ia hendak
menyampaikan surat dari Kawedanan Agung, salah satu badan
kerajaan yang mengurusi kekayaan kerajaan. Sebuah surat dari
kerajaan.
“Oh, inggih, Nak Mas. Kula tampi. Anu, Nak Mas, kula niki
tiyang kina. Mboten saged basa Endonesa, mboten saged maos
serat gedrik. Namung ngertos petangan arta. Punapa kula kepareng
nyuwun tulung dipunwaosaken nawala sapunika, Nak Mas?” Bu
Darmi menerima surat itu, namun ia malu-malu mengakui bahwa
dirinya buta aksara latin, tidak bisa berbahasa Indonesia, meski
pun tahu berhitung dan bagaimana menggunakan uang. Bu
Darmi meminta tolong pada tamunya membacakan isi surat dari
kerajaan itu.
“Kanthi bingahing manah, Bu. Cobi kula waosaken mawi Jawi”
Tamunya dengan senang hati membantunya, ia akan membacakan
isi surat itu dan langsung diterjemahkan dalam bahasa Jawa.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 517


“Matur sembah nuwun, Nak Mas.” Bu Darmi mengucakan
terima kasih pada tamunya.
Surat itu dibacakan, “Gegayutan klawan parentah paugeran
anyar, babagan bumi ing wewengkon kadhaton Ingsun saka
jaman Prajanjen Kang Pisanan 1755, Ingsun paring parentah
supaya sakabehing bumi kang kalebu wewengkoning kadhaton
dikondurake dadi kagungan Dalem, jumbuh Paugeran taun 1918.
Marang sapa wae kang nggunakake bumi Ingsun bakal Ingsun
paringi serat pinangka tandha yekti anggadhuh utawa anganggo
kang ora bisa diliyerake utawa digadhuhake marang liyan. Sapa
wae kang mbalelo dhawuh Ingsun bakal kena paukuman.” Isi
surat itu artinya demikian, “Mengingat perintah peratuan yang
baru, dalam hal pertanahan di wilayah kerajaan Paduka dari
zaman Perjanjian Pertama 1755, Aku memberi titah supaya semua
tanah yang masuk dalam wilayah kerajaan dikembalikan menjadi
milik Paduka, sesuai peraturan tahun 1918. Barangsiapa yang
menggunakan tanah Paduka akan diberi surat sebagai tanda bukti
hak guna atau hak pakai yang tidak bisa dipindah tangankan
atau digadaikan kepada orang lain. Barang siapa yang melawan
perintah Paduka akan dihukum.”
“We lha…, sekedhap, Nak Mas… Kula kok dereng mudheng
kersanipun Gusti lumantar nawala niki. Kok sedaya siti badhe
dipun dadosaken kagungan Dalem menika dos pundi?” Bu Darmi
kaget dan bingung, dia belum paham maksud Baginda dalam
suratnya. Bagaimana semua tanah akan dijadikan milik Baginda?
Ia meminta penjelasan pada tamunya.
“Leres, Bu. Samenika jaman ingkang dipun wastani jaman
istimewa. Sinuhun paring dhawuh lumantar Kanjeng Gusti
Pengageng Kawedanan mandhap dumugi para bupati, mantri
utawi panewu, lurah, ngantos dhukuh. Bilih sedaya bumi menika
sejatosipun kagungan Sinuhun, kalebet siti dhusun, astana; alas

518 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
gung liwang-liwung; pesisir; wedhi kengser; oro-oro; lan siti ingkang
mboten kadarbe ing sanes nalika taun 1918, samenika badhe dipun
suwun kondur ngarsanipun Sinuhun, Bu.” Tamunya membenarkan
isi surat itu. Katanya, di jaman istimewa ini, Baginda memberi
perintah melalui pembesar Kawedanan lalu perintah itu turun
sampai ke bupati, camat, lurah dan kepala dusun, bahwa seluruh
tanah sejatinya milik Baginda, termasuk tanah desa; makam;
hutan; seluruh pesisir; sepanjang bantaran sungai; tanah tak
bertuan; dan tanah-tanah tanpa hak milik tahun 1918, sekarang
semua tanah itu akan diambil kembali oleh pemiliknya, yaitu
Baginda.
“We lha dalah. Kalebet siti-siti ingkang sampun gadhah
surtipikat?” Bu Darmi terkejut, ia menanyakan apakah termasuk
tanah-tanah yang sudah bersertifikat?
“Leres, Bu. Kejawi siti ingkang mawi surtipikat jaman 1918,
surtipikat andarbe jaman Walandi. Punapa Ibu kagungan surtipikat
jaman Walandi?” Tamunya membenarkan, terkecuali tanah-tanah
yang dilengkapi sertifikat hak milik tahun 1918, jaman kolonial
Belanda. Tamu itu menanyakan apakah Bu Darmi masih memiliki
tanah bersertifikat hak milik tahun 1918?
“We lha dalah, temtu kemawon mboten gadhah, Nak Mas.
Menika enggal sedanten, wedalan Negari Endonesa. Estu makaten
dhawuh Sinuhun?” Bu Darmi kaget, ia berkata tentu saja dirinya
tak punya sertifikat hak milik tanah di tahun 1918, sertifikat yang
ia punya semuanya baru, terbitan Negara Indonesia. Bu Darmi
meragukan bahwa pengambilalihan tanah itu perintah Baginda.
“Leres, Bu. Menika tandha yekti kula nampi dhawuh Sinuhun,
kula sentana dalem lan kaparentah Sinuhun. Gandheng sampun
rebat cekap, kula nyuwun pamit. Pareng…” Tamu Bu Darmi
menegaskan bahwa perintah itu benar adanya, ia bilang dirinya

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 519


masih kerabat kerajaan dan mengemban tugas dari Baginda.
Tamu itu memohon pamit karena urusannya dirasa cukup.
“Ing... Inggih monggo, Nak Mas.” Bu Darmi melepas tamunya
dengan hati cemas, ia gugup. Tamu itu pergi meninggalkan
sepucuk surat keramat.
Bu Darmi terpuruk lemas. Betapa banyak tanah yang ia
dapatkan dari membeli dan ganti pelunasan hutang yang tak
terbayar. Di lemarinya masih ada setumpuk sertifikat hak milik,
jaminan dari tanah-tanah yang digadaikan dari dalam dan luar
desa. Terbayang semua itu akan sirna.
“Ni… Marni…” Bu Darmi memanggil pembantunya.
“Dalem, Den Ayu.” Marni mendekati majikannya.
“Tulung jupukna tilpon, gek tilpunen anakku Wanto. Aku arep
kandha.” Bu Darmi memerintah Marni mengambilkan telepon
dan menghubungi Wanto. Ia hendak bicara dengan anaknya itu.
“Den Mas Kuswanto, Den Ayu? Sendika, Den. Punapa Den
Ayu ngersakaken unjukan?” Marni memastikan bahwa Kuswanto
yang perlu ia hubungi, serta menanyakan apakah majikannya
memerlukan minuman?
“Ya, sakwise nyambung Wanto, aku gawekna teh anget, Ni.”
Bu Darmi mengiyakan, ia meminta dibuatkan segelas teh hangat
setelah telepon itu tersambung dengan Wanto. Beberapa saat
kemudian,
“Hallo, Le. Kuswanto?”
“Halo, sugeng kepanggih Ibu, Ibu wilujeng?” Kuswanto
menanyakan keadaan ibunya.
“Waras, Le. Ibu kangen.” Bu Darmi menjawab ia sehat dan ia
bilang merindukan anaknya.

520 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
“Sami, Bu. Wonten kersa punapa kok njanur gunung, Bu?”
Kuswanto bilang ia juga merindukan ibunya, dan menanyakan
kenapa tumben Bu Darmi menelponnya.
“Kapan kowe lan sedulur-sedulurmu mulih, Le? Iki ana perkara
wigati, Ibu ora iso kandha liwat tilpun.” Bu Darmi menanyakan
kapan Kuswanto dan saudara-saudaranya pulang, ada perkara
penting yang hendak Bu Darmi bicarakan langsung, tidak bisa
melalui telepon.
“Wadhuh, nyuwun pangapunten, Bu. Menawi kula taksih radi
dangu. Kula badhe ngayahi tugas wonten Jerman. Budhal tigang
dinten malih.” Kuswanto menyampaikan permohonan maaf,
dalam waktu dekat ia belum bisa pulang, ia ada tugas di Jerman
dan harus berangkat tiga hari kemudian.
“Duh, gek adhi-adhimu, piye?” Bu Darmi menanyakan adik-
adik Kuswanto.
“Pangapunten, Bu. Namung nggih kadosipun sami repot.
Dhik Kuswanti taksih ngayahi tugas wonten Amerika, mantuk
sasi ngajeng. Dhik Kustirah ugi taksih penelitian wonten Papua.
Dhik Kus Indarto taksih pameran gambar wonten Hongkong.
Namung Dhik Kusumo ingkang wonten Jakarta amargi mucal,
nanging kadosipun kok nggih dereng sela amargi bibar ujian
akhir biasanipun dosen kathah damelan.” Kuswanto menjelaskan
bahwa adik-adiknya tampaknya masih repot dengan pekerjaan
masing-masing. Kuswanti masih bertugas di Amerika, Kustirah
sedang penelitian di Papua, Kus Indarto sedang pameran lukisan
di Hongkong, hanya Kusumo yang berada di Jakarta karena
pekerjaannya sebagai dosen, tetapi ini habis ujian akhir dan
biasanya dosen sibuk sekali.
“Oh…, ngono ta? Gek olehmu neng Njerman ki suwe ora, Le?”
Bu Darmi menanyakan berapa lama Kuswanto di Jerman.

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 521


“Gangsal minggu Bu. Kados pundi?” Kuswanto menjawab
selama lima minggu.
“Ndang muliha ya, Le. Ibu selak kepengen ketemu. Kumpula
kabeh, iku welingku.” Bu Darmi berpesan agar secepatnya pulang,
ia sangat ingin bertemu dengan anak-anaknya.
“Inggih, Bu. Mangkih kula sesambungan kaliyan keng ragil,
Dhik Kusumo. Punapa wonten wekas malih, Bu?” Kuswanto berjanji
akan menghubungi adik bungsunya, Kusumo. Ia menanyakan
apakah masih ada pesan lain dari ibunya.
“Ora, Le. Ora. Ibu kesel, arep leren.” Bu Darmi menjawab tidak
ada pesan lagi, ia merasa lelah, ia ingin istirahat.
Kerinduan Bu Darmo pada anak-anaknya semakin berat,
tak tertahankan, seiring berat beban pikirannya akibat surat dari
kerajaan. Tanah-tanah itu, hutang-hutang itu, bagaimana ia bisa
kehilangan begitu saja?
“Duh, Gusti. Sinuwun kok kados makaten? Punapa dosa
kawula? Menawi siti kula piyambak, kula taksih saged nampi, Gusti
Kang Murbeng Dumadi. Ananging siti-siti punika sanes paringan
leluhur, menika saking tumbasan kawula. Punapa tegesipun
Raden Ayu Sudarmi Abdilegowo tanpa rasa ngawula, Duh Gusti
Pengeran. Sinuwun… Kok kados makaten dhawuh Paduka?” Bu
Darmi meratapi nasibnya sebagai abdi kerajaan kepada Tuhan. Dia
kehabisan nalar, mengapa Baginda yang ia puja tega memberikan
perintah begitu rupa? Bu Darmi masih bisa menerima ketika
yang diambil kembali adalah tanah warisan leluhurnya, akan
tetapi kebanyakan tanah yang ia punyai saat ini adalah hasil
keringatnya sendiri, ia tak rela jika harus kehilangan begitu
banyak. Kekecewaan menggerogoti kapatuhannya, tetapi ia tak
sanggup melawan ketakutannya sendiri. Apalah arti menyandang
nama Raden Ayu Sudarmi Abdilegowo bila kehilangan makna

522 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
pengabdian? Bu Darmi mengalami dilema, antara patuh sebagai
abdi lalu kehilangan kekayaannya atau mengingkari posisinya
sebagai abdi demi mempertahankan tanah-tanah yang telah
beralih menjadi miliknya.
Beberapa hari Bu Darmi mencoba menghubungi anak-
anaknya yang masih di Indonesia, tetapi tak satupun memberi
kepastian bisa pulang. Dilema membuatnya semakin menderita.
Bu Darmi merasa jadi buruan sang waktu, dikejar dan akhirnya
diterkam kenyataan.
“Den Ayu, kapurih dhahar rumiyin. Sampun kalih dinten Den
Ayu mboten kersa napa-napa.” Marni membujuk Bu Darmi untuk
makan, sudah dua hari Bu Darmi tak makan apapun.
“Kuswanto… Kustirah… Kusumo… Kus Indarto… Kuswanti…,
mulih Ngger, Ibu kangen. Ibu kudu ketemu…” Bu Darmi meracau
memanggil anak-anaknya, mengharap kepulangan mereka.
“Kawula aturi dhahar napa ngunjuk, Den Ayu. Ampun makaten,
Den Ayu mangkih gerah.” Marni tak menyerah membujuk Bu
Darmi untuk makan dan minum, agar Bu Darmi tak jatuh sakit.
Kondisi kesehatan Bu Darmi menurun cepat, ia jatuh
pingsan ketika hendak ke kamar mandi. Marni berteriak meminta
pertolongan tetangga. Mereka membawa Bu Darmi ke rumah
sakit. Lalu, Marni menghubungi Kusumo, salah satu anak Bu
Darmi di Jakarta. Kusumo berjanji pulang dua hari lagi, karena
tiket penerbangan mana pun sudah habis. Begitu pula tiket kereta
tercepat.
“Sejak kapan Bu Lik Darmi sakit, Ni?” Prawiro bertanya pada
Marni.
“Sejak tiga hari lalu, Den Bagus. Saya ndak tahu persis, tapi
sejak kedatangan tamu dari Jogja, kondisi Den Ayu semakin

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 523


memburuk.” Marni menjelaskan pada Prawiro, kemenakan Bu
Darmi.
“Tamu dari Jogja? Siapa, Ni?”
“Kurang paham, Den Bagus. Priyayi, necis, rapi, dan sepertinya
orang penting karena diantar oleh Pak Lurah sampai halaman.”
“Apa mungkin utusan Sinuwun, ya?”
“Pangapunten, kurang paham, Den Bagus.”
Kusumo datang dari Jakarta. Hampir setiap hari ia menjenguk
ibunya. Keadaan Bu Darmi berangsur membaik. Dokter tak
menemukan penyakit serius, Bu Darmi diizinkan pulang menjalani
perawatan di rumah dengan seorang perawat jaga. Kusumo yang
mengurus semuanya. Ia berjanji akan kembali ke Jakarta setelah
ibunya sehat, sambil terus menghubungi kakak-kakaknya. Mereka
akan menyempatkan pulang pekan depan.
Dalam perawatan seorang tenaga medis dan pengawasan
Kusumo, kesehatan Bu Darmi berangsur pulih, tetapi ia sering
termenung sendiri dan tidak bicara pada siapapun. Ia hanya
mengangguk dan menggeleng ketika ditawari sesuatu oleh Marni,
Kusumo, atau perawatnya. Sesekali ia menggumam, “Kirman,
apuranen aku, Kirman. Aja ngetutke aku, Man.” Bu Darmi
meminta maaf pada mendiang Kirman, memohon Kirman untuk
tak mengikutinya.
Hingga suatu malam, Bu Darmi meratapi lagi nasibnya
sebagai abdi Baginda. “Kawula trimah palastra tinimbang kraman,
Ngerso Dalem; trimah pejah tinimbang gesang nandhang wirang,
Sinuwun,” ucap Bu Darmi sambil bersimpuh dan menyembah
pada entah, ia berkata lebih baik mati daripada memberontak
dan hidup menanggung malu. Bu Darmi juga sering meracaukan
nama mendiang saudara-saudaranya, mendiang orang tuanya,

524 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dan nama para tetangga yang tutup usia dengan mengakhiri
hidup. Kusumo dan Marni cemas, tak tahu apa yang terjadi.
Tetangga yang menjenguk Bu Darmi menyaksikan perilakunya.
Kabar burung cepat beredar, bahwa Bu Darmi akan senasib
dengan Tiara; Rubinem; dan Kirman.
Pada suatu pagi Bu Darmi ditemukan mati, tergantung pada
cabang pohon Jati yang tinggi. Di bekas ladang Kirman yang kini
jadi miliknya.

[5] Keraguan Prawiro


“Den Prawiro, kulonuwun, Den Prawiro…” seseorang
mengucap salam dalam bahasa Jawa halus di halaman rumah
ketika jarum jam dinding berhimpit di angka 6. Siapa bertamu
sepagi ini? Tak tahu diri. Mesin motornya pun belum dimatikan.
Sambil mengenakan kaus, aku bergegas keluar. Ternyata Tumijo,
tukang kebunku, “Ya, ada apa, Jo?”
“Punten dalem sewu, Den Bagus, beribu maaf saya
mengganggu, Den. Ada kabar duka, Bu Darmi… Bu Darmi ditem…,
ditemukan meninggal di ladang,” kabar duka itu disampaikannya
terbata-bata, “Saya diutus Pak Kepala Dusun supaya jemput
Den Prawiro. Panjenengan dimohon segera ke lokasi.” berita itu
mengejutkanku. Bu Darmi masih kerabatku, dia adik sepupu dari
ibuku.
“Hah? Bagaimana bisa, Jo?” Aku masih tak percaya, “seperti
apa kejadiannya?”
“Itu nanti saja, Den Bagus. Saya ceritakan sambil jalan …”
jawabnya, “kita harus segera ke ladang Bu Darmi.”
“Ya sudah, ayo kita ke sana” tanpa banyak pertimbangan, aku
segera membonceng Tumijo. Apa yang terjadi pada bibiku, janda
tuan tanah itu?

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 525


Lima hari lalu Bu Darmi pulang opname akibat jatuh sakit
karena kelelahan dan kurang gizi. Ketika kami membesuknya,
Marni, pembantu Bu Darmi, bercerita kalau sudah seminggu Bu
Darmi susah makan dan tidur. Ia rindu pada kelima anaknya yang
jarang menjenguknya. Mereka sudah hidup mapan di Jakarta. Ada
yang jadi dosen; peneliti; CEO perusahaan; birokrat; dan seniman
ternama. Karena dinilai cukup sehat, dokter merujuknya dirawat
di rumah. Kelima anak Bu Darmi pun di panggil pulang, tapi
hanya seorang yang datang.
Sepanjang perjalanan Tumijo bercerita bahwa sejak Bu Darmi
pulang opname, ia berperilaku aneh. Bu Darmi sering meracau
dan menyebut nama-nama mendiang yang meninggal tidak
wajar di desa ini. Menurut kabar burung yang beredar di desa, Bu
Darmi akan bernasib seperti Tiara, Kirman dan Rubinem yang
berperilaku sama. Mereka ditemukan meninggal beruntun tahun
lalu, hanya berselang bulan.
Kami tiba di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Warga
berkerumun, gumam-gumam yang tak jelas mendengung. Selain
Kepala Dusun, di sana sudah ada Brippol Wahyu dan Briptu
Husen. Mereka berpakaian dinas, keduanya rekan kerjaku yang
kebetulan kemarin dijadwalkan tugas malam. Aku malu karena
sebagai atasan mereka penampilanku seadanya. Warga yang
berkerumun segera menyingkir, memberi jalan padaku, beberapa
masih mengupayakan tangga darurat untuk menurunkan mayat.
Aku memperhatikan seksama, Bu Darmi bergelantung pada
ketinggian kira-kira 20 meter pada cabang pertama sebuah pohon
jati. Ia berkebaya, pinggang hingga mata kaki terbalut kain ketat.
Mustahil baginya memanjat pohon setinggi itu pada usianya yang
ke-72. Matanya nyaris keluar, lidahnya terjulur panjang. Tubuhnya
terbujur kaku. Tak kudapati aroma air seni atau ceceran tinja di
bawah tubuhnya, di tempatku berdiri. Tangan kanannya terbelit

526 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dan berpegangan pada tali tambang 150 cm yang terkalung erat
itu, menandakan perlawanan. Sungguh mengherankan, jejak-
jejak kaki Bu Darmi tertempel di sepanjang batang pohon itu, dari
pangkal sampai cabang pertama. Sulit dipercaya jika ia berjalan
melawan gravitasi, tegak lurus dengan batang jati. Itu dikuatkan
dengan bukti lain, satu jalur jejak-jejak pada tanah liat basah yang
menuju pohon ini adalah jejak-jejak Bu Darmi. Sisa tanah liat
yang menempel pada telapak kakinya jadi petunjuk. Di kejauhan,
kulihat anak Bu Darmi terkapar pingsan dijaga beberapa warga.
Aku segera memerintah Brippol Wahyu untuk memanggil mobil
patroli, karena untuk mendatangkan ambulan butuh waktu lebih
lama. Sementara Briptu Husen kuperintahkan untuk memasang
garis polisi agar kami bekerja leluasa, termasuk menjaga bukti-
bukti di sekitar lokasi agar tidak rusak karena kerumunan warga.
“Saya yakin itu gara-gara Pulung Gantung, Pak. Bukan cuma
saya yang lihat cahaya terkutuk itu masuk ke rumah Bu Darmi
seminggu yang lalu,” bisik Kepala Dusun, berapi-api. Aku pening
dibuatnya, kasus serupa tahun lalu belum juga terdedah, ini
malah sudah bertambah. Lagi-lagi, Pulung Gantung dituduh jadi
penyebab. Entah disadari atau tidak, warga menyebar ketakutan
di antara mereka sendiri, bahwa ada kekuatan gaib yang
menggerakkan orang-orang tertentu untuk mengakhiri hidup
dengan seutas tali, tanpa bisa dicegah.
Tahun lalu, Tiara ditemukan tak bernyawa, kondisinya sulit
dipercaya. Gadis 9 tahun itu tercekik dalam posisi duduk pada
kursi di dalam kamarnya. Seutas tali tampar pendek terikat erat di
kaki kursi melewati celah pada sandaran punggung, lalu berakhir
di lehernya. Posisi jenasah itu duduk membungkuk, seolah-olah
mengencangkan tali itu dengan bertumpu pada berat badannya
sendiri. Anehnya, jemarinya turut terjerat tali yang mencekiknya,
seakan-akan Tiara mencoba melepaskan diri. Andaikan Tiara

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 527


terjatuh—dan itu sangat mungkin, tali itu mustahil akan
mencekiknya. Sepertinya, ada pelaku lain yang memaksanya dari
arah belakang. Tetapi, sidik jari pada seluruh benda di TKP adalah
miliknya, tidak ada sidik jari lain. Konon, kemalangan itu dipicu
oleh rasa malu Tiara, karena ia berbeda seragam dengan teman-
temannya. Seragam yang seharusnya ia pakai masih basah di
jemuran akibat hujan beberapa hari.
Terpaut 2 bulan kemudian, giliran Kirman yang ditemukan
tewas tercekik dalam posisi jongkok di luar pintu dapur. Seutas tali
pendek menghubungkan lehernya dengan kusen pintu, dengan
kedua ujung terikat erat. Satu tangannya terbelit, memegang tali
itu. Andai saja Kirman berdiri, tali itu pasti mengendur dan ia tak
akan tercekik karena bobotnya sendiri. Tidak ada jejak-jejak yang
ditinggalkan kecuali miliknya, Kirman adalah pelaku sekaligus
korban. Konon, Kirman putus asa akibat sakit gigi yang ia derita. Ia
takut menjalani operasi gigi karena temannya mati akibat infeksi
gusi setelah operasi gigi.
Di penghujung tahun, Rubinem ditemukan mati dalam
posisi tertelungkup, seutas selendang pendek menghubungkan
lehernya dengan kaki ranjang. Seolah-olah ia merangkak sehingga
selendang itu semakin kencang mencekiknya. Konon, Rubinem
tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya yang masih TK
menolak diajak pulang ketika bermain di rumah neneknya ketika
liburan akhir tahun. Tidak ada jejak pembunuhan di TKP.
Motif keempat kasus itu tekanan jiwa. Modusnya mirip dan
berulang. Seingatku, kasus Bu Darmi adalah kasus ke- 19 dalam
20 tahun terakhir. Bu Darmi menggenapi daftar kejadian serupa
menjadi yang ke-42 di seluruh kabupaten tahun ini, naik dua
angka dari tahun lalu.
Jika aku tak bisa memecahkan kasus ini, maka akan semakin
membenarkan bahwa Pulung Gantung itu ada. Penduduk selalu

528 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
dibayangi ancaman yang mencekam. Jika Pulung Gantung
itu benar-benar ada, kenapa kejadian serupa hanya menimpa
mereka yang menderita tekanan jiwa? Atau, jangan-jangan
ketika Pulung Gantung itu dipercaya ada, pada gilirannya situasi
sosial justru menciptakan motivasi seseorang untuk bunuh diri?
Tetapi, bukti-bukti penyelidikanku mengarah pada kesimpulan:
mereka dibunuh, entah oleh apa! Lalu, kenapa tidak ada jejak
pembunuhan?
Tidak bisa tidak!
Kasus ini harus aku pecahkan dengan hasil yang meyakinkan
agar aku segera naik pangkat. Jika pangkatku tinggi, aku bisa
menutupi praktikku terhadap Wahyu, Husen, Bayu, Ida, Budi,
Novi, dan yang lain-lainnya. Dua puluh lima tahun perusahaan
gelap ini kubangun, semua akan sia-sia jika rekam jejak karir
mereka yang pernah kubantu terungkap, tamatlah riwayatku. Aku
sudah meraup banyak laba. Langkahku harus lebih dulu daripada
yang lain; sebab, di duniaku kami adalah para serigala yang saling
memangsa.
Satu bulan telah berlalu, bukti-bukti kasus Pulung Gantung
yang kuperoleh belum mengarah pada kemajuan berarti. Masih
sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Wajah Bu Darmi ketika
ditemukan di ladang terus terbayang, sungguh mengerikan.
Bahkan sekarang warga menjauhi rumah Bu Darmi, Marni
berhenti dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain di kota.
Desas-desus yang lain mulai berhembus. Entah siapa yang
memulai, kabar yang kudengar kematian Bu Darmi karena
perilakunya yang tidak terpuji. Bu Darmi rakus tanah dan doyan
riba. Pulung Gantung memangsanya karena salah satu tanah
warga yang ia rampas adalah tanah keramat. Tentu saja aku tidak
percaya. Bibiku menderita tekanan batin, mungkin benar ia

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 529


rindu pada anak-anaknya yang kurang memperhatikannya, tetapi
menurutku cara bibiku unjuk rasa berlebihan.
Brippol Wahyu tergopoh-gopoh mendatangiku ketika aku
sedang menikmati secangkir kopi di teras rumahku malam ini.
Kukira ia menemukan bukti baru. “Komandan. Tolong saya, Pak
Komandan,” katanya gugup.
“Tenang, tenang dulu, atur nafas, lalu berceritalah pelan-
pelan,” aku menenangkannya, “ada apa, Wahyu?”
“Waduh! Tamat riwayat saya, Pak,” Wahyu semakin gugup.
“Kok tamat riwayat segala. Sebenarnya ada apa, Wahyu?” Aku
semakin bingung.
“Pak, ini kabar buruk. Husen…”
“Iya ada apa dengan Husen?”
“Husen ketahuan sering melakukan pungutan liar, ada warga
desa sebelah yang melaporkannya ke Polda. Kebetulan ia punya
kerabat di Polda, makanya ia berani.”
“Terus? Sekarang gimana Husen?”
“Ditahan, Pak. Besok ia menjalani pemeriksaan ke-2. Saya
tak sengaja mendengar percakapan Pak AKBP Puntodewo dengan
Wakapolda di kantor, katanya kasus ini akan terus didalami.
Kabarnya, Husen mengaku melakukan pungutan liar karena
terbelit hutang pada Pak Prawiro. Saya takut ikut dipecat, Pak.
Gimana ini, Pak. Tolonglah saya.”
Seketika kakiku kehilangan pijakan. Apa yang kutakutkan
selama ini terjadi. Bagaimana jika giliran aku yang diperiksa?
Bagaimana jika mereka tahu aku telah menjalankan perusahaan
hitam ini? Bagaimana jika mereka yang telah kutolong berbalik
menuntutku karena tahu telah aku rugikan? Bagaimana jika
aku dipenjara dan dipecat secara tidak hormat? Bagaimana jika

530 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
masyarakat yang selama ini menghormati berbalik menghina
keluarga besarku? Bagaimana jika sejarah buruk keluarga besarku
dikenang masyarakat turun-temurun? Keluarga besarku hanya
akan dikenal sebagai perampas tanah, pemakan riba, dan penipu.
Aku, Raden Mas Prawiro Prayogodipolo, tak sanggup menyaksikan
itu semua. Aku tak mau hidup menanggung malu!
As-Sulaimanni, 12 Februari 2016, untuk: Desnovya

Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 531


Biodata Penulis

Bangkit Satria Jati


Seorang pelajar SMA, penulis pemula, dan seorang gamers.

Desi Noviyani
Seorang pekerja freelance dan petani pemula. Ia menjadi pemenang
beberapa lomba penulisan cerita. Kini ia tinggal di Bantul, Provinsi
DIY.

Dwi Wulan Pujiriyani


Pengajar di STPN Yogyakarta.

Kus Sri Antoro


Seorang Buruh Harian Lepas (BHL) namun lebih sering sebagai BHL
cadangan. Menekuni seni inklusif, penulisan fiksi dan non fiksi,
penulis merupakan penyintas konflik agraria struktural (2008 – kini)
dan praktisi reforma agraria (2005-2007, 2021-sekarang).

Muhamad Haryanto
Terlahir difabel netra, terapis pijat dan seniman seni raba, tinggal di
Yogyakarta.

Nahary Latifah
Lahir dan besar di Sleman. Saat ini sedang menempuh pendidikan
di jurusan Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma dan belajar
menjadi petani di Sekolah Tani Muda.
Purwanti
Penyandang disabilitas fisik menggunakan kursi roda untuk
bermobilitas. Bekerja di Lembaga SIGAB (Sasana Inklusi dan
Gerakan Advokasi Difabel) Indonesia sebagai Koordinator Advokasi
dan Jaringan. Juga bertindak sebagai paralegal bagi penyandang
disabilitas berhadapan hukum.

Purwati
Purwati lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 10 Maret 1978.
Menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di
Jombang, dan menyelesaikan kuliah di program studi Pemuliaan
Tanaman Fakultas Pertanian UGM pada tahun 2006. Selama
mahasiswa penulis aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas
Pertanian UGM, kelompok diskusi Lingkar Studi Perempuan, dan
pemberdayaan petani di Komunitas Belajar dan Pemberdayaan
Masyarakat (KBPM) “Restu Bumi”. Penelitiannya mengenai
tanggapan varietas-varietas padi lokal terhadap sistem pertanian
alami, memberinya kesempatan menemukenali keragaman hayati
Indonesia dan konsep sekaligus praktik pertanian berkelanjutan.
Sejak tahun 2019 terlibat dalam program -program pemberdayaan
masyarakat desa bersama IRE Yogyakarta. Penyusun merupakan
Tenaga Pendukung Penataan Akses Reforma Agraria di Kantor
Pertanahan Kabupaten Bantul (2023) yang bertanggungjawab
mengawal kelembagaan terhadap UMKM Kerajinan Wayang Kulit,
Kerajinan Bambu Kaum Perempuan dan Kelompok Rentan, dan
Penangkaran Burung Perkutut di Desa Wukirsari, Kecamatan
Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Rahmat Ariza Putra


Rahmat Ariza Putra - Lahir di Kulon Progo, Yogyakarta, 2 September
1989. Usai menyelesaikan studi di jurusan Agroteknologi, Universitas
Mercu Buana Yogyakarta, terlibat di beberapa agenda pemberdayaan
petani di lingkungan kampus dan di bawah program CSR PT
Pertamina TBBM Rewulu. Selepas itu, ditugaskan oleh Yayasan
Bina Tani Sejahtera untuk sebagai eksekutor program peningkatan
keterampilan teknis budidaya sayur di Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat. Saat ini, aktif di kegiatan-kegiatan pendidikan Sekolah

BIodata Penulis 533


Tani Muda di beberapa basis produksi pertanian yang tersebar di
Yogyakarta dan sekitarnya.

Rully Malay
Rully Mallay, kelahiran 24 Maret 1961 di Watampone Bone Sulsel.
Selepas Sekolah Guru, SPG di Majene 1978 mengabdi sebagai guru di
salah satu SD di Kabupaten Sumba Barat. Tahun 1983 melanjutkan
studi tari di ASTI Yogyakarta serta ISI Yogyakarta 1989. Sempat
berkecimpung di dunia politik sebagai anggota DPRD2 dan kader
salah satu partai di Sulsel masa Orde Baru, namun tidak bertahan
lama karena ia menyadari politik membunuh karakter queer.
Tahun 1993 memutuskan pindah ke Bogor Jawa Barat dan bekerja
di suatu training center LSM yang berfokus pada isu lingkungan
hidup dan pertanian hingga tahun 2003. Meskipun di masa
reformasi 1998 ia ikut aktif menumbangkan Orde Baru dan turut
andil dalam reformasi namun sebagai Transpuan ia lebih nyaman
memilih hidup dan berjuang bersama komunitasnya. Sejak 2003
hingga sekarang mengabdi sebagai volunteer di Yayasan Kebaya
Yogyakarta, Ponpes Waria Al Fatah, IWAYO, dan CBO Komunitas
lainnya di Yogyakarta. 2007 mengikuti sekolah feminis SP Kinasih
Yogyakarta dan 2010 mengikuti Sekolah Gender Sexualitas di GN
Surabaya. Sejak 2018 pasca penyerangan Ponpes Waria Al Fatah
oleh FJI, ia fokus mengelola Waria Crisis Center (WCC), sebuah
ruang aman untuk memfasilitasi pernasalahan kesehatan mental
Transpuan, termasuk lansia. Tahun 2014 bersama beberapa
Transpuan Indonesia ikut sebagai kontributor tulisan Buku
‘Menurut Kata Hati’ yang diterbitkan Suara Kita Jakarta. Ikut
menulis jurnal international yang diterbitkan ANU (Australian
National University) bersama Dr. Benjamin Hegarty (ANU), Dr.
Sandeep Nanwani, M. Sc (UNFPA), dan Drs. Prapto Raharjo, Ph. D
(Direktur PPH Atmajaya Jakarta). 2021 sebagai kontributor Buku
Solidaritas Transpuan yang ditulis Ustadzah Masturiah Sadan.

534 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
Tahun 2022 menerima penghargaan Hero Transgender Award
Asia Pasific dari APCOM di Thailand. Saat ini bersama para expert
sedang menyiapkan sebuah penulisan modul sekolah Smart Trans
bagi transpuan Indonesia.

Salsabila Yona Oktavia Rahma


Seorang freelance graphic designer dan penyayang kucing.

Shah Aburrojab
Lahir dan besar di Sukabumi, kemudian merantau ke Bandung,
Kediri, dan hingga kini bermukim di Yogyakarta. Di sela kerja-
kerja kepeloporan (re: serabutan), waktu luang diisinya dengan
menulis, berkebun, dan sesekali melukis dengan cahaya.

Toto Sudiarjo
Lahir di Indramayu, Jawa Barat, 15 April 1986. Pernah menempuh
pendidikan terkahir S1 Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Sempat menulis di
beberapa media cetak ataupun online, serta berkontribusi dalam
penulisan buku kumpulan esai OASE; Pemikiran Romo Mangun
bersama komunitas Lumbung Semar Solo. Selain menulis, saat ini
sedang aktif di lembaga Lingkar Keadilan Ruang sebagai periset
yang berfokus pada isu agraria dan sosio-ekologis. Sebelumnya
pernah melakukan riset kolaborasi bersama Walhi Jawa Timur,
Walhi Jawa Tengah dan Walhi Yogyakarta dan diterbitkan buku
berjudul “Melihat Ulang Dampak PLTU di Tiga Wilayah: PLTU
Paiton, PLTU Pacitan dan PLTU Cilacap tahun 2022. Di samping
melakukan riset, juga membuat pendokumentasian dengan
pendekatan dokumenter baik foto maupun video.

BIodata Penulis 535


Wignya Cahyana
Petrus Canisius Wignya Cahyana - Lahir di Yogyakarta, 30
Mei 1968. Pernah menempuh pendidikan terakhir di Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada (sekarang FKKMK UGM)
dan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Pernah aktif
sebagai relawan pendidikan anak-anak miskin kota di Yogyakarta
di bawah Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (1992) dan Yayasan
SATUNAMA Yogyakarta (1999). Memimpin gerakan agraria rakyat
kota Yogyakarta dalam lingkup organisasi PAKUBANGSA (2009 -
2021). Mendirikan dan mengelola Sekolah Rakyat PAKUBANGSA
untuk anak-anak korban agraria di pinggiran sungai di Yogyakarta
(2011-2016). Mendirikan dan mengelola Koperasi Produksi
PAKUBANGSA untuk warga korban agraria di pinggiran sungai
di Yogyakarta (2016-2019). Mendirikan dan mengelola PT Gheyda
Wistara Ratimaya untuk inkubasi UMKM yang progresif dan
ramah lingkungan (2019-sekarang).

536 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang

Anda mungkin juga menyukai