Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang yang berangkat dari keterbelakangan, adalah salah satu negara yang

menggunakan pendidikan sebagai langkah dalam membangun negaranya. Pendidikan

Jepang telah maju sejak sebelum zaman Meiji. Di bawah kekuasaan Shogun Tokugawa,

anak-anak dari golongan samurai telah menerima pendidikan di sekolah-sekolah han.

Pada periode ini, sistem pendidikan juga berkembang tidak hanya pada anak-anak dari

golongan Samurai (6-7% dari populasi), tetapi juga anak laki-laki dan perempuan dari

golongan lain (80% adalah petani dan pedagang). Keluarga-keluarga petani dan

pedagang ini menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah swasta yang disebut

terakoya ( 寺 子 屋 ) yang memberikan pengetahuan untuk membaca, menulis dan

berhitung. Jumlah persentasi anak-anak yang dapat membaca cukup tinggi yaitu sekitar

40% anak laki-laki dan 15% anak perempuan. Perkembangan pendidikan pada periode

ini cukup memberikan sumbangan besar untuk laju modernisasi Jepang pada periode

berikutnya yaitu Zaman Meiji (Richard,1993:245).

Sejak awal reformasi pendidikan tahun 1872, pemerintah memegang peran

utama dalam menawarkan pendidikan modern bagi anak-anak tanpa memandang status

yang dulu mereka punyai pada zaman Tokugawa. Pada tahun 1871, Kementrian

Pendidikan (Monbusho) dibentuk dan menyusun suatu rencana sistem pendidikan.

Berdasarkan rencana itu didirikan sekitar 25.000 Sekolah Dasar di seluruh kota pada

tahun 1880. Selain itu Kementrian Pendidikan juga mengumumkan suatu sistem
2

sekolah yang disebut gakusei ( 学 生 ), yang mewajibkan semua anak laki-laki dan

perempuan berusia enam sampai sepuluh tahun untuk mengikuti pendidikan formal

empat tahun. Pada mulanya pemerintah membebankan biaya pendidikan kepada orang

tua siswa. Namun ternyata dalam pelaksanaannya terdapat masalah-masalah antara lain

meningkatnya jumlah anak yang tidak dapat masuk sekolah dikarenakan tidak sanggup

membayar biaya sekolah yang besarnya sepuluh kali lipat dibandingkan biaya

pendidikan di terakoya, gagasan gakusei terlalu modern untuk rakyat Jepang yang

dibesarkan dalam sistem kelas sosial yang lama dan masalah terbesar yang dihadapi oleh

pemerintah pada saat itu adalah kesulitan ekonomi karena banyaknya biaya yang harus

dikeluarkan untuk membangun kembali kerusakan-kerusakan akibat perang, membantu

membiayai kehidupan bekas kaum samurai dan lain-lain (Katsumi, 1961:135-137).

Akhirnya pada tahun 1879 gakusei dihentikan pelaksanaannya dan digantikan

oleh Peraturan Pendidikan atau Kyouiku Rei ( 教育礼 ) yang menetapkan wajib belajar

tiga tahun. Pada tahun 1907, pendidikan wajib diperpanjang menjadi enam tahun

berdasarkan Revisi Undang-undang Sekolah Dasar. Menjelang awal abad ke-20, sekitar

90% anak usia sekolah mengikuti pendidikan tersebut. Pada prinsipnya, pendidikan pada

waktu itu menggunakan pendekatan egalitarian yaitu pendekatan yang memandang

bahwa semua orang sama. Pendidikan diberikan pada semua orang tanpa memandang

jenis kelamin maupun kemampuan finansial (Cummings,1992:20).

Sesudah Jepang kalah perang dalam Perang Dunia II, terjadi reformasi

pendidikan lagi pada tahun 1947 yaitu suatu sistem pendidikan baru dengan program

pendidikan wajib sembilan tahun (gimu kyoiku) yang terdiri dari pendidikan Sekolah

Dasar enam tahun dan Sekolah Menengah Pertama tiga tahun. Selanjutnya disediakan
3

juga Sekolah Menengah Umum tiga tahun serta pendidikan akademi dua tahun dan

universitas empat tahun. Sistem pendidikan tersebut dibuat seperti model sistem

Amerika yang menekankan pada pendidikan bagi setiap orang.

Pendidikan sekolah di Jepang ditetapkan berdasarkan ketetapan-ketetapan dalam

Garis-Garis Besar Program Pendidikan Sekolah (Gakushushidouryou) yang dikeluarkan

oleh Departemen Pendidikan Nasional Jepang (Monbushou) berdasarkan Undang-

Undang Dasar tahun 1946. Pada pasalnya yang ke-26 dicantumkan bahwa, semua

warga negara Jepang berhak untuk mendapatkan pendidikan sekolah yang diberikan

oleh pemerintah secara cuma-cuma dan setiap orang tua wajib menyekolahkan anaknya

pada usia sekolah (Nihonkoku Kempou,1946).

Sampai pada tahun 1958, program pendidikan sekolah Jepang diatur oleh

pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional. Kemudian setelah tahun

1958, setiap sekolah diberi wewenang untuk mengembangkan kurikulum pendidikan

sekolah yang disesuaikan dengan minat dan kepentingan baik anak maupun masyarakat

yang tinggal di daerah itu. Pemerintah pusat Jepang memberikan otonomi pada

pemerintah daerah melalui sekolah-sekolahnya untuk mengembangkan kurikulum dasar

yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sesuai dengan kebutuhan pendidikan di masing-

masing daerah. Dengan sistem pengajaran yang menarik perhatian anak sebagai murid,

diharapkan anak dapat menyerap ilmu pengetahuan yang didapat. Proses pendidikan

pada setiap anak seusianya dialami sama oleh setiap anak Jepang didalam kehidupan

sekolah. Mereka menjalani kehidupan sekolah yang sama dengan sistem pendidikan

dibawah naungan Monbusho, tetapi proses pengembangan belajar-mengajarnya

diserahkan kepada masing-masing wilayah dan sekolahnya sesuai dengan kebutuhan

wilayah, sekolah dan anak-anaknya. Pemerintah Jepang mengarahkan sistem


4

pendidikan secara komprehensif kepada setiap murid untuk menjadikan anak Jepang

tumbuh sehat secara fisik maupun mentalnya (Madubrangti, 1999:8).

Di dalam kurikulum pendidikan sekolah tahun 1998, dikatakan bahwa setiap

sekolah wajib membuat rencana program belajar-mengajar yang berhubungan dengan

pengalaman, keinginan dan kebutuhan anak di dalam kehidupannya. Anak-anak secara

aktif dilibatkan kedalam kegiatan mengatur, merencanakan serta menjalankan proses

belajar-mengajar (Monbusho,1999). Kurikulum pendidikan sekolah dasar-menengah di

Jepang dikelompokkan kedalam program pendidikan yang terdiri dari: (1) pelajaran

dasar umum (kihongo kyoka), yaitu pelajaran bahasa (kokugo), bahasa inggris (eigo),

masyarakat (shakai), matematika (sugaku), Ilmu Pengetahuan Alam (rika); lalu (2)

pendidikan moral (doutoku kyoiku); (3) kegiatan kekhususan (tokubetsu katsudou); dan

(4) muatan lokal (sougouteki gakushuu).

Sebelum dimulainya Restorasi Meiji, Jepang adalah sebuah negara yang

terisolasi. Di bawah pemerintahan Tokugawa, Jepang mulai melaksanakan politik isolasi

mulai tahun 1600 sampai dengan sekitar tahun 1868. Pada jaman itu Jepang menikmati

kedamaian akan tetapi hanya sedikit sekali kemajuan yang dicapai dalam masa itu.

Sementara itu dunia Barat melaksanakan industrialisasi dengan cepatnya, menciptakan

organisasi-organisasi baru baik sosial maupun ekonomi. Perkembangan ini tidak banyak

diketahui oleh bangsa Jepang sampai saat kapal-kapal perang Komodor Perry masuk

teluk Edo dan melepaskan beberapa tembakan peringatan dari meriam-meriamnya.

Melihat ketertinggalan bangsa Jepang dengan dunia luar, akhirnya setelah melalui

pertikaian-pertikaian, Rezim Tokugawa pun dapat ditumbangkan dan dimulailah

Restorasi Meiji pada tahun 1868. Pemerintahan Meiji mulai mengejar ketertinggalannya

dari Barat. Mereka mulai menjalankan kepemimpinan yang kuat dengan menanamkan
5

gagasan teknologi Barat dan semangat Timur ke dalam hati rakyat Jepang. Kekuatan

bangsa Jepang bertambah besar, persatuan rakyat semakin kokoh dan perekonomian pun

mulai berkembang (Cummings, 1992:19).

Tetapi dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, cukup melumpuhkan

ekonomi Jepang secara total. Produksi di sektor pertambangan dan manufaktur tinggal

sepertujuh dari tingkat tahun 1941. Sebagai akibat perang, Jepang kehilangan 44% dari

wilayahnya dan dengan demikian 36% dari sumber pendapatan nasionalnya hilang.

Kekurangan pangan menjadi genting dan pemulihan setelah perang mengalmai

kesulitan-kesulitan yang luar biasa. Tetapi berkat bimbingan yang baik dari Markas

Besar Tentara Sekutu, ditambah dengan usaha rakyat Jepang yang tidak kenal lelah,

inflasi dapat dikendalikan. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh Markas Besar

Tentara Sekutu adalah membubarkan Zaibatsu (kekuatan monopoli) dan mendorong

desentralisasi dari bisnis, reformasi kepemilikan tanah, dan memberikan hak-hak bagi

kaum pekerja. Pasca Perang Dunia II, Jepang pun mulai bangkit dari kekalahannya dan

mulai membuktikan diri bagi dunia internasional. Tingkat pertumbuhan Jepang

perlahan-lahan mulai meningkat dan pada awal tahun 60-an pertumbuhan ekonomi

Jepang mulai menarik perhatian dunia (Ravianto,1986:90)

Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jepang, perusahaan-perusahaan

besar di Jepang pun mulai berekspansi ke negara-negara tetangga salah satunya adalah

di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan-perusahaan di Jepang mulai membangun kembali

usaha-usahanya yang telah mereka dirikan sebelum Perang Dunia II. Mereka mulai

mendirikan pabrik-pabrik dan mengirimkan orang-orang Jepang ke negara tersebut.

Jumlah orang-orang Jepang yang bekerja di negara tersebut pun terus bertambah seiring

dengan bertambahnya perusahaan-perusahaan Jepang yang melakukan ekspansi. Orang-


6

orang Jepang yang bekerja ini mulai membentuk komunitas mereka sendiri. Mereka

tidak bergabung dengan orang-orang dari negara tempat mereka bekerja, tetapi mereka

mulai bergabung dengan Perhimpunan Orang Jepang yang telah terbentuk lama sebelum

Perang Dunia I. Perhimpunan Orang Jepang ini merupakan komunitas tempat orang-

orang Jepang untuk berkumpul. Perhimpunan ini pertama kali didirikan di Singapura

pada tahun 1915. Tujuan utama dari perhimpunan ini adalah menjadi wadah untuk

menggalang sikap persahabatan dan pertukaran informasi di antara orang-orang Jepang

di negara tersebut. Tetapi peranan paling penting yang dimainkan oleh Perhimpunan

Orang Jepang adalah mendirikan dan mengurus sekolah Jepang (Hirashi, 1998:23).

Sekarang ini sekolah-sekolah Jepang untuk anak-anak dari orang-orang Jepang

yang bekerja di luar Jepang sudah banyak didirikan di antaranya di Singapura yang

merupakan sekolah Jepang terbesar diluar Jepang. Ada juga di Filipina, Malaysia,

Thailand serta juga di Jakarta yakni Jakarta Japanese School yang selanjutnya penulis

akan menyebutnya dengan JJS. Dengan dibukanya sekolah-sekolah Jepang ini maka

orang-orang Jepang yang bekerja di luar Jepang tidak perlu khawatir akan pendidikan

anaknya. Karena apa yang dikehendaki orang-orang Jepang ini bagi pendidikan anak-

anaknya adalah bukan pendidikan umum atau lokal, tetapi pendidikan dengan standar

sistem Jepang, sehingga ketika mereka kembali lagi ke Jepang anak-anaknya tetap dapat

mengikuti pelajaran di Jepang. Sekolah-sekolah Jepang ini diakui oleh Kementrian

Pendidikan Jepang (Monbukagaku sho). Kurikulumnya pun mengikuti kurikulum yang

ada di Jepang serta guru-guru yang mengajar pun berasal dari Jepang. Ijazah yang

didapatkan dari lulusan sekolah Jepang ini pun mempunyai validitas sama dengan yang

diterbitkan oleh sekolah di Jepang. Dana yang digunakan untuk dapat membangun

sekolah-sekolah Jepang ini didapat dari partisipasi dan sumbangan perusahaan-


7

perusahaan Jepang yang membangun perusahaannya di negara tersebut. Setiap

perusahaan Jepang ini diharuskan untuk memberikan sumbangan untuk membantu

kelangsungan sekolah-sekolah Jepang ini.

1.2 Rumusan Permasalahan

Hal yang membedakan sekolah Jepang yang berada di negara lain dengan

sekolah Jepang yang berada di Jepang adalah pendidikan moral (doutoku kyouiku),

pelajaran kegiatan kekhususan (tokubetsu katsudou) dan muatan lokal (sougouteki

gakushuu). Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan setiap kebudayaan negara

maupun lingkungan tempat sekolah Jepang itu berada. Selain itu setiap sekolah Jepang

yang berada di luar negara Jepang hanya dilaksanakan sampai pada tingkat SMP karena

sistem pendidikan Jepang yang menganut pendidikan wajib sembilan tahun (gimu

kyoiku) (Madubrangti, 1999:155).

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah penulis ingin

mengetahui apakah pelajaran tokubetsu katsudou yang diajarkan di sekolah Jepang yang

berada di luar negara Jepang, khususnya di Jakarta Japanese School, berpengaruh

terhadap pendidikan siswa-siswi Jepang yang dulunya pernah bersekolah di Jepang.

Perbedaan antara pelajaran tokubetsu katsudou yang diajarkan di sekolah Jepang

dengan yang diajarkan di JJS terletak pada perbedaan kebudayaan yang ada antara kedua

negara tersebut. Pelajaran yang diberikan pada tokubetsu katsudou ini disesuaikan

dengan kebutuhan setiap sekolah di masing-masing tempat dimana sekolah berada untuk

dikembangkan bagi keperluan setiap siswa.


8

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Penulis akan meneliti peranan pelajaran tokubetsu katsudou terhadap pendidikan

siswa-siswi Jepang yang bersekolah di Jakarta Japanese School, yang selanjutnya akan

disebut penulis dengan JJS. Pendidikan yang dimaksud di sini dibatasi pada kondisi fisik

anak, tingkat kemandirian, hubungan anak dengan orang tua, guru dan teman

sekolahnya, tingkat kekreatifan anak serta tingkat keterlibatan anak dalam aktivitas

sekolahnya.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah ingin mengetahui:

1. Apakah pelajaran tokubetsu katsudou yang diajarkan di JJS berpengaruh

terhadap pendidikan siswa-siswi Jepang?

2. Apakah terdapat perbedaan dalam hal pendidikan anak? Yang dimaksud dengan

pendidikan di sini dibatasi pada kondisi fisik, tingkat kemandirian, hubungan

anak dengan orang tua, guru dan teman sekolahnya, tingkat kekreatifan anak

serta tingkat keterlibatan anak dalam aktivitas sekolah ketika anak-anak

bersekolah di Jepang dan saat sekarang ini bersekolah di JJS.

3. Masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh siswa-siswi ini dalam

menyesuaikan diri dengan perbedaan kebudayaan yang ada?

4. Bagaimana para orangtua melihat pelajaran tokubetsu katsudou berpengaruh

terhadap perkembangan pendidikan anaknya di sekolah yang baru tersebut?

Manfaat penelitian ini adalah agar dapat mengerti hal-hal yang dihadapi oleh

anak-anak Jepang yang bersekolah di sekolah Jepang yang berada di luar Jepang.

Adapun penelitian ini merupakan penelitian yang sifatnya terbatas, karena pemilihan
9

kelompok yang terbatas (siswa-siswi yang bersekolah di JJS saja). Hasil penelitian tidak

dapat digeneralisasikan secara umum, tapi dapat digunakan sebagai masukan bagi yang

berkepentingan.

1.5 Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah metode deskriptif

kualitatif dan penelitian lapangan melalui penyebaran angket yang diberikan kepada

orangtua dari siswa-siswi yang bersekolah di JJS, Bintaro, Tangerang. Buku-buku

referensi yang digunakan merupakan koleksi Perpustakaan Sastra Universitas Indonesia,

Perpustakaan Pusat Studi Jepang, Perpustakaan Kajian Wilayah Jepang, Perpustakaan

The Japan Foundation, dan koleksi pribadi. Adapun data-data statistik yang dimuat

dalam skripsi ini sebagian besar diperoleh dari media internet untuk mendapatkan data-

data terbaru.

1.6 Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan urutan bab sebagai berikut :

BAB 1 Pendahulan. Bab ini memuat uraian Latar Belakang, Rumusan Permasalahan,

Ruang Lingkup Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian

dan Sistematika Penulisan.

BAB 2 Landasan Teori. Bab ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan

pendidikan yaitu teori dari Kazuhiro, Suparlan dan Sasaki.

BAB 3 Analisis Data. Bab ini memuat uraian tentang pendidikan siswa Jepang yang

bersekolah di JJS.

BAB 4 Simpulan dan Saran. Bab ini memuat kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi.

BAB 5 Ringkasan. Bab ini memuat ringkasan dari semua bab.

Anda mungkin juga menyukai