Anda di halaman 1dari 7

ARTIKEL SEJARAH

Penindasan Jepang dan respon bangsa


Indonesia terhadap pendudukan Jepang

MUH. IHSAN ARROSYID


XI MIPA 8
26
C. Penindasan Jepang dan respon bangsa
Indonesia terhadap pendudukan Jepang
1. Penindasan Jepang
a. Ekonomi Perang
Sistem ekonomi yang diterapkan pemerintah Jepang pada masa kekuasaan di
Indonesia disebut ekonomi perang. Ekonomi perang dapat diartikan bahwa
segala kegiatan ekonomi dilakukan untuk kepentingan perang.
Tujuan sistem ekonomi perang Jepang di Indonesia :
1) Menguasai dan memperoleh sumber bahan mentah, terutama minyak
bumi yang diperlukan untuk kelangsungan perang.
2) Memotong garis suplai musuh yang bersumber dari Indonesia.
Pelaksanaan sistem ekonomi perang dimulai pada 1942.

Pelaksanaan sistem ekonomi perang dimulai pada 1942. Pada saat itu panglima
Angkatan Darat ke-16 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 322/1942 yang
menyatakan bahwa perkebunan kopi, karet, dan teh ditempatkan di bawah
pengawasan langsung gunseikan. Untuk meringankan tugas gunseikan dalam
mengawasi perkebunan, Jepang membentuk badan yang bernama Saibi Kigyo
Kanrikodan (SKK). Badan ini selain bertindak sebagai pengawas, juga bertindak
sebagai pelaksana pembelian dan penentuan harga penjualan hasil perkebunan
serta memberikan kredit kepada perkebunan yang akan direhabilitasi.

Pada masa pendudukannya Jepang juga merehabilitasi perkebunan kina dan tebu.
Jepang memanfaatkan biji tanaman kina sebagai obat malaria. Untuk
memaksimalkan produksi tanaman kina, Jepang mengoperasikan kembali
Bandungsche Kinie Fabriek peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan
diteruskan oleh perusahaan swasta Jepang, Takaco. Seiring perkembangan
industri gula, Jepang mulai mengembangkan perkebunan tebu. Meskipun
sebagian pabrik gula telah dibumihanguskan Belanda, industri gula tetap
diteruskan dengan modal swasta Jepang. Untuk mengawasi industri gula,
Jepang membentuk sebuah badan yang bernama Togyo Rengokai (Persatuan
Perusahaan Gula). Memasuki 1944 pemerintah Jepang menganggap kebutuhan
gula di Jawa telah mencukupi. Oleh karena itu, gunseikan mengeluarkan
peraturan yang melarang rakyat menanam tebu dan memproduksi gula.

Dampak lain dari sistem ekonomi perang adalah setiap wilayah di Indonesia
harus melaksanakan sistem autarki. Dalam sistem autarki setiap daerah harus
memenuhi kebutuhannya sendiri dan harus dapat memenuhi kebutuhan
perang. Selanjutnya, Jepang membagi Pulau Jawa menjadi 17 autarki,
Sumatra 3 autarki, dan 3 autarki di lingkungan minseifu (wilayah yang
diperintah Angkatan Laut). Sistem ekonomi tersebut menyebabkan keadaan
ekonomi semakin parah. Bahkan, pada 1944 kekurangan sandang dan pangan
terjadi di beberapa tempat.

SMA N 1 KLATEN
Pemerintah Jepang berusaha mengatasi masalah tersebut dengan membuka lahan
baru. Rakyat juga diminta menebang tanaman kopi dan teh serta mengganti
dengan tanaman pangan seperti padi dan jagung. Pada perkembangannya
pemerintah Jepang membuka sekira 500.000 hektare hutan di Pulau Jawa dan
10.000 hektare di Sumatra Timur. Pembukaan hutan secara besar-besaran
tersebut ternyata berdampak buruk bagi lingkungan karena menimbulkan erosi
dan banjir. Dalam perkembangannya, pemerintah Jepang menentukan kuota
beras yang harus diserahkan sebagai setoran wajib melalui Beikoku Seimeigyo
Kumiai (Kumiai penggilingan padi).

b. Pengendalian di bidang pendidikan dan kebudayaan


Pada masa pendudukan Jepang, pendidikan di Indonesia mengalami
kemunduran dibandingkan masa kolonial Belanda. Jumlah murid di sekolah pun
terus mengalami penurunan. Pada masa kolonial Belanda terdapat 199 cabang
Taman Siswa di seluruh Indonesia. Akan tetapi, pada 1944 jumlah cabang Taman
Siswa tinggal 59 cabang. Kemunduran pendidikan pada masa pendudukan Jepang
juga disebabkan berkurangnya jumlah guru. Untuk mengatasinya, Jepang merekrut
banyak guru sekolah untuk dijadikan tenaga administrasi di kantor-kantor
pemerintahan. Selain itu, kebijakan Jepang di Indonesia dalam bidang pendidikan
didasarkan pada prinsip utama berikut.
1) Menata kembali pendidikan berdasarkan keseragaman dan persamaan
untuk semua kelompok etnik dan kelas sosial. Prinsip ini diimplementasikan
dengan menetapkan satu macam jenjang pendidikan dasar selama enam tahun.
Kebijakan ini bertujuan memudahkan pengawasan terhadap mata pelajaran dan
penyelenggaraan sekolah. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang bangsa
Indonesia kebijakan tersebut cukup positif karena mampu menghilangkan
diskriminasi di bidang pendidikan.
2) Menghapus secara sistematis pengaruh Belanda dari sekolah-sekolah dan
menjadikan unsur Indonesia sebagai landasan utama. Prinsip ini
diimplementasikan dengan membekukan seluruh sekolah yang bercorak
Belanda. Prinsip tersebut dilakukan untuk menghilangkan pengaruh Belanda.
Bahkan, pemerintah Jepang mengadakan pemeriksaan dan penyelidikan
terhadap buku-buku berbahasa Belanda. Pemeriksaan ini dipimpin oleh Nowoti
dan M. Samaoed.
3) Menjadikan semua lembaga pendidikan sebagai alat untuk memasukkan
doktrin ”Kemakmuran Asia Timur Raya” di bawah pimpinan Jepang.
Prinsip ini diimplementasikan dalam struktur kurikulum pendidikan. Pelajaran
bahasa Jepang dijadikan pelajaran wajib ditambah dengan pelajaran adat
istiadat dan semangat Jepang. Bahkan, lagu dan olahraga bercorak Jepang
diajarkan di sekolah. Pelajaran bahasa Jepang tidak hanya diajarkan di sekolah,
tetapi juga di kantor-kantor pemerintahan.

Jepang juga menerapkan beberapa kebijakan dalam pendidikan Islam.


Kebijakan tersebut sebagai berikut.

SMA N 1 KLATEN
1. Mengubah kantor Voor Islamistische Zaken pada masa kolonial Belanda
yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh-tokoh
Islam, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Kantor ini memiliki cabang di daerah
dengan nama Sumuka.
2. Memberikan bantuan dan mengadakan kunjungan ke pondok pesantren.
3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan
dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal
Arifin.
4. Mengizinkan berdirinya sekolah tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan
K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Moh. Hatta.

Salah satu dampak positif perkembangan pendidikan pada masa Jepang adalah
perkembangan bahasa Indonesia. Kondisi tersebut disebabkan bahasa Indonesia
menjadi bahasa pengantar di seluruh sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan
tinggi. Mata pelajaran bahasa Indonesia diajarkan mulai kelas tiga sekolah rakyat.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah pada awalnya
mengalami kendala. Kendala tersebut muncul karena sebagian besar guru terbiasa
menggunakan bahasa Belanda. Akan tetapi, dalam waktu singkat kondisi tersebut
berubah karena guru-guru tersebut mampu menyesuaikan diri dengan cepat.

c. Pengerahan Romusa
Pengerahan Romusa merupakan bentuk mobilisasi tenaga kerja pada masa
pendudukan Jepang. Romusa dipekerjakan untuk membangun prasarana perang
seperti kubu-kubu pertahanan, jalan raya, dan lapangan udara.
Peraturan mengenai romusa dikeluarkan oleh Naiimubu (Departemen
Urusan Umum). Naimubu menetapkan romusa harus berusia 16-45 tahun.
Pulau Jawa menjadi tempat utama untuk mengerahkan tenaga kerja paksa
secara besar-besaran. Pada awalnya para romusa bekerja secara sukarela karena
mereka masih terpengaruh propaganda "kemakrnuran bersarna Asia Timur Raya".
Pada September 1944 sekira lima ratus romusa dengan sukarela bekerja. Romusa
ini terdiri atas para pegawai tinggı. pegawai menengah, serta golongan
terpelajar di bawah pimpinan Soekarno. Para pekerja itu menyebut pekerjaan
mereka sebagai "Pekan Perjuangan Mati-matian”.
Dalam perkembangannya. romusa djperlakukan secara buruk Untuk
melenyapkan ketakutan penduduk, sejak 1943 Jepang melancarkan kampanye
sebagai usaha pengerahan romusa yang semakin sulit. Dalam kampanye itu. para
pekerja romusa mendapat julukan "Prajurit Ekonomi" atau "Pahlawan Pekerja”
yang dıgambarkan sebagai orang-orang yang sedang menunaıkan tugas suci
memenangi Perang Asıa Timur Raya.
Pada masa itü pemerintah Jepang mengambil hampır semua laki-laki di
perdesaan yang tidak cacat fisik untuk dijadikan romusa. Akibatnya. di desa.desa
hanya kaum perempuan, anakanak, dan lelaki yang kurang sehat. Kondisi
dd•rrııkian berdampak negatif bagi perekonornıan masyarakat perdesaan.

SMA N 1 KLATEN
Masa pendudukan Jepang di Indonesia tidak membawa perubahan positif
bagi bangsa Indonesia. Bahkan, kondisi bangsa Indonesia justru lebih buruk
daripada di bawah masa pemerintahan Hindia Belanda, Kondisi ini menunjukkan
janji manis Jepang pada awal kedatangannya tidak dltepati. Jepang hanya
mengutamakan kepentingannya untuk memenangı Perang Asia Timur Raya.
Kondısi ini pula lah yang menyebabkan kekecewaan bangsa Indonesia terhadap
Jepang.

2. Respon Bangsa Indonesia terhadap Pendudukan Jepang


1. Perlawanan Rakyat Aceh
Salah satu kebijakan Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia adalah
seikeirei. Kebijakan ini diterapkan dengan cara membungkukkan badan ke arah
matahari terbit sebagai bentuk penghormatan kepada kaisar Jepang. Kebijakan ini
menjadi salah satu pemicu perlawanan kaum muslim di Aceh terhadap
pendudukan Jepang. Perlawanan ini terjadi pada 1942 di Cot Plieng, Bayu, dekat
Lhokseumawe yang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil.

Dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh, Jepang melancarkan serangan yang


berhasil menghancurkan masjid dan pertahanan masyarakat Cot Plieng. Dalam
serangan tersebut pasukan Tengku Abdul Jalil menyingkir ke Balang Gampong
Teungah. Jepang pun melakukan pengejaran terhadap pasukan Tengku Abdul Jalil.
Akhirnya, pada 13 November 1942 Tengku Abdul Jalil wafat dalam sebuah
pertempuran melawan Jepang. Meskipun demikian, wafatnya Tengku Abdul
Jalil tidak menghentikan perlawanan rakyat Aceh.

Selain perlawanan Teungku Abdul Jalil, pada November 1944 muncul perlawanan
pasukan giyugun yang dipimpin oleh Teuku Hamid. Perlawanan ini terjadi
karena Teuku Hamid tidak setuju terhadap praktik eksploitasi Jepang terhadap
tanah pertanian rakyat dan pengerahan romusa. Dalam menghadapi perlawanan
Teuku Hamid, pemerintah Jepang mengancam akan membunuh para keluarga
pemberontak jika tidak bersedia menyerah. Ancaman tersebut memaksa sebagian
pasukan giyugun menyerah sehingga perlawanan tersebut dapat ditumpas.

2. Perlawanan Rakyat Singaparna


Perlawanan rakyat Singaparna dipimpin K.H. Zainal Mustafa. Perlawanan rakyat
Singaparna diawali dengan aksi boikot seluruh kebijakan Jepang. Selain itu, K.H.
Zainal Mustafa secara diam-diam membentuk ”Pasukan Tempur Sukamanah”
yang dipimpin oleh Najminudin. Pada awal Februari 1994, Jepang mengadakan
perundingan dengan K.H. Zainal Mustafa. Akan tetapi, perundingan tersebut
justru memicu bentrokan yang menyebabkan tentara Jepang akhirnya mundur ke
Tasikmalaya. Akhirnya, Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan
sebagai upaya mengakhiri perlawanan tersebut. Pada 25 Februari 1944 setelah

SMA N 1 KLATEN
salat Jumat terjadi pertempuran sengit antara pengikut K.H. Zainal Mustafa
dengan pasukan Jepang. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan,
K.H. Zainal Mustafa berhasil ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya. Selanjutnya,
K.H. Zainal Mustafa dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati.

3. Perlawanan rakyat Indramayu


Selain di Singaparna, perlawanan terhadap Jepang di Jawa Barat terjadi di
Indramayu. Perlawanan tersebut disebabkan oleh adanya kewajiban penyetoran
sebagian hasil padi dan perekrutan romusa. Rakyat Indramayu mengobarkan
perlawanan terhadap Jepang pada April 1944 di bawah pimpinan Haji Madriyan.
Pada awalnya perlawanan hanya terjadi di Distrik Karangampel, Sindang,
Indramayu. Dalam perkembangannya, perlawanan ini juga muncul di Distrik
Cidempet, Lohbener. Untuk menumpas perlawanan tersebut, Jepang mengerahkan
pasukan bersenjata lengkap untuk menyerang kedua wilayah tersebut.

4. Perlawanan Rakyat Kalimantan


Salah satu perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Jepang dilakukan oleh suku
Dayak yang dipimpin Pang Suma. Perlawanan rakyat Dayak ini dilatarbelakangi
oleh kebijakan pengerahan romusa dan aksi pemerkosaan terhadap penduduk
suku Dayak. Selain itu, Jepang merampas harta benda milik penduduk suku Dayak
untuk keperluan perang. Bahkan, Jepang merekrut penduduk lokal untuk mata-
mata. Perekrutan mata-mata ini dilakukan agar Jepang mampu meminimalkan
usaha pemberontakan yang mungkin dilancarkan masyarakat Dayak. Pang Suma
dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang
gerilya. Perang gerilya diterapkan untuk mengganggu aktivitas pemerintah Jepang
di Kalimantan. Meskipun dengan jumlah pasukan lebih sedikit, Pang Suma berani
melawan pasukan Jepang. Dalam perlawanannya menghadapi pasukan Jepang,
Pang Suma memanfaatkan keuntungan alam, seperti hutan belantara dan
sungai di Kalimantan. Akan tetapi, perlawanan Pang Suma dapat dipadamkan
karena adanya penduduk lokal yang menjadi mata-mata Jepang. Mata-mata ini
menginformasikan strategi pergerakan pasukan Pang Suma sehingga pasukan Pang
Suma mengalami kekalahan. Pada Juli 1945 terjadi pertempuran terbuka antara
Jepang dan masyarakat Dayak. Dalam pertempuran tersebut, Pang Suma gugur
karena tembakan tentara Jepang.

5. Perlawanan Rakyat Papua


Perlawanan rakyat terhadap Jepang di Papua berkaitan dengan munculnya
Gerakan Koreri yang berpusat di Biak di bawah pimpinan L. Rumkorem.
Gerakan ini muncul sebagai wujud kekecewaan masyarakat Papua terhadap
ketidakadilan yang dilakukan Oleh pemerintah Jepang di Papua. Dalam
perkembangannya, gerakan ini menolak segala bentuk pengaruh asing di wilayah
Papua.

Rakyat Papua melakukan perlawanan dengan menerapkan strategi gerilya dan


memanfaatkan keunggulan kondisi geografis. Akhirnya, Jepang tidak mampu

SMA N 1 KLATEN
bertahan menghadapi kegigihan para pejuang Papua. Pasukan Jepang pun memilih
meninggalkan Biak. Oleh karena itu, Pulau Biak dikenal sebagai daerah pertama di
Indonesia yang bebas dari pendudukan Jepang.

Perlawanan rakyat Biak meluas di berbagai daerah di Papua bagian selatan, salah
satunya di wilayah Yapen Selatan. Perlawanan di Yapen Selatan dipimpin Oleh
Silas Papare. Perlawanan rakyat Yapen Selatan berlangsung cukup sengit. Rakyat
Papua memiliki kegigihan dalam menghadapi kekuatan Jepang. Berbekal kegigihan
ini pula, rakyat Papua berhasil mengusir Jepang dari wilayah Papua.

6. Perlawanan Peta di Blitar


Perlawanan di kalangan militer Peta terjadi karena pemerasan ekonomi,
rendahnya status perwira Peta, dan pengerahan romusa. Para tentara Peta
meyakini bahwa keberadaan Jepang hanya semakin menyengsarakan rakyat. Oleh
karena itu, terjadi perlawanan terhadap Jepang olch tentara Peta di Blitar yang
dikenal dengan nama "Pemberontakan Tentara Peta Blitar". Pemberontakan
yang dipimpin oleh Shodanco Supriyadi terjadi pada 14 Februari 1945. Pada 29
Februari 1945, Shodanco Supriyadi dibantu oleh Shodanco Muradi memimpin
perlawanan secara terbuka.

Dalam menghadapi perlawanan Supriyadi dan Muradi, Jepang menggunakan


strategi tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura- pura
menyerah kepada pasukan Supriyadi dan Muradi. Muradi tidak menyadari telah
masuk perangkap pasukan Jepang. Selanjutnya, pasukan Jepang mengepung
pasukan Peta dan melucuti senjatanya. Mereka kemudian ditawan dan diangkut ke
markas Kenpeitai Blitar untuk selanjutnya dibawa ke Mahkamah Militer Jepang di
Jakarta.

SMA N 1 KLATEN

Anda mungkin juga menyukai