Anda di halaman 1dari 9

TERJEMAHAN JURNAL

MEMBANGKITKAN HATI NURANI DALAM DIRI: SPIRITUALITAS KODE ETIK


AKUNTAN PROFESIONAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akunntansi Lembaga Keuangan Syariah
Dosen Pengampu: Dr. Ida Ayu Nursanty, SE., Ak., MM., CSRA

Disusun Oleh Kelompok 1:


1. Baiq Naili Amalia (I2F02310001)
2. Dewi Masitah (I2F02310002)
3. Fathiah Rahman, SE (I2F02310003)
4. Komala Septi Ardini (I2F02310004)
5. Leonardus Ferdinand Hadu (I2F02310005)

JURUSAN MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MATARAM
2023
Tersedia online di www.sciencedirect.com
Sains Langsung

Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 172 ( 2015 ) 254 – 261

Konferensi Global tentang Bisnis & Ilmu Sosial-2014, GCBSS-2014, 15 & 16 Desember,
Kuala Lumpur

Membangkitkan hati nurani dalam diri: spiritualitas kode etik


akuntan profesional
Iwan Triyuwonoa *
Guru Besar Universitas Brawijaya, Jl. M. Haryono 165 Malang, 65145, Indonesia

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep kode etik akuntan profesional secara holistik yang mengarahkannya pada kesadaran ketuhanan.
Penelitian ini memanfaatkan konsep homo spiritus. Ini adalah konsep manusia sempurna yang memiliki kesadaran holistik.
Melalui kesadaran, seseorang mengalami kesatuan dengan Tuhan. Studi ini menemukan bahwa prinsip-prinsip holistik dari kode tersebut mencakup prinsip-
prinsip yang ada ditambah ketulusan, cinta, dan kehendak ilahi. Mereka berfungsi sebagai anak tangga untuk membimbing akuntan menjadi homo spiritus.
Studi ini juga menyarankan untuk menggunakan pendekatan modern dalam sertifikasi etika akuntan.
2©021051P5ePna urlias.PDeinteurlb
isi.tkDainteorbleithkaEnlsoelveiherELlstde.vIineir aLdtda.la©h artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND (http://
cTrie
njaatuivaencosm
ejamwoantsd.oirbga/lwicaehnstaensg/bgyu-nngc-jnadw/4 a.b0G /).LTR International Sdn. Berhad.
Tinjauan sejawat di bawah tanggung jawab GLTR International Sdn. Berhad.
Kata Kunci: Kode etik; akuntan profesional; kesadaran; hati nurani; homo spiritus.

1. Perkenalan

Studi terkini mengenai etika menaruh perhatian pada berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku akuntan dalam
menyampaikan tindakan profesionalnya. Beberapa penelitian memberikan perhatian khusus pada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertimbangan etis akuntan (Spark & Pan, 2010). Karya Ghazali & Ismail ( 2013), Maree & Radloff (2007), dan
Weeks, dkk., al. (1999), misalnya, menemukan bahwa faktor-faktor seperti kode etik akuntan profesional, pemahaman kode etik,
lingkungan etika perusahaan, usia, jenis kelamin, tahapan karir, kualifikasi profesional, dan instruksi kode, mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap kinerja akuntan profesional. penghakiman.

* Penulis yang sesuai. Telp.: +6281-136-1570; faks: +62341-567040.


Alamat email :iwant@ub.ac.id

1877-0428 © 2015 Para Penulis. Diterbitkan oleh Elsevier Ltd. Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND (http://
creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
Tinjauan sejawat di bawah tanggung jawab GLTR International Sdn. Berhad.
doi: 10.1016/j.sbspro.2015.01.362
Iwan Triyuwono / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 172 ( 2015 ) 254 – 261 255

Penilaian etis merupakan bagian dalam diri seorang akuntan yang mengarahkan keputusannya dalam mengambil suatu tindakan. Dalam
konteks melakukan suatu tindakan etis, merupakan evaluasi mental individu terhadap beberapa alternatif tindakan yang dalam situasi tertentu
mendorong individu tersebut untuk mengambil tindakan. rangkaian tindakan ke arah yang etis (Spark & Pan, 2010; Valentine & Rittenburg,
2004; Schwepker 1999). Merupakan persimpangan bagi seorang akuntan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan etis. Bagi seorang
akuntan profesional, pertimbangan etis sangatlah penting, karena pertimbangan mengarahkan keputusan, perilaku, dan tindakanny a agar
bersifat etis. Tindakan etis merupakan syarat untuk mewakili kualitas jasa profesional akuntan bagi masyarakat.

Kajian yang disampaikan oleh Ghazali& Ismail (2013), Spark & Pan (2010), Maree &Radloff (2007), dan Weeks, et., al. (1999) menunjukkan
bahwa penilaian etis tidak batal. Hal ini dibentuk oleh kode etik, pemahaman kode etik, lingkungan etika perusahaan, usia, jenis kelamin, tahap
karir, kualifikasi profesional, dan instruksi kode. Ghazali & Ismail (2013), untuk Misalnya, berargumentasi bahwa seorang aku ntan yang lebih
tua, seorang akuntan yang terikat pada suatu perusahaan dengan perhatian yang sangat etis, dan pemahaman yang baik tentang kode etik
profesional membentuk secara positif penilaian etis akuntan tersebut. Ini berarti bahwa seorang akuntan yang lebih tua, melalui akuntan yang
lebih tua, pengalaman profesional dan hidup, pemahaman etika yang baik, serta didukung oleh lingkungan etika, memiliki peluang lebih tinggi
untuk membentuk kepribadiannya agar memiliki penilaian etis yang sehat dibandingkan Akuntan muda yang kurang berpengalaman dan kurang
memahami etika. Pertimbangan etis, pada gilirannya, mendorong akuntan profesional untuk membuat keputusan, mengambil tindakan, dan
berperilaku etis. Singkatnya, pertimbangan etis merupakan kemampuan penting bagi seorang akuntan untuk memberikan layanan profesional
kepada masyarakat.

Bagi seorang interaksionis simbolik (Nilsson et.,al., 2012; Blumer, 1969), kode etik akuntan profesional merupakan simbol yang mengacu
pada integritas, objektivitas, kompetensi profesional dan kehati-hatian, kerahasiaan, dan perilaku profesional (IESBA, 2013 ).Itu sebenarnya
adalah prinsip-prinsip dasar kode etik. Itu diciptakan oleh Federasi Akuntan Internasional (IFAC) (Anonymous, 2005; George, 2005) untuk
mengarahkan akuntan profesional terhadap perilaku dan tindakan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut.

Perhatian dari makalah ini adalah untuk memperluas makna kode tersebut. Penyuluhan tersebut didasari oleh pandangan spiritualis yang
mempunyai kesadaran unik tentang manusia dan kehidupan manusia. Pandangan tersebut meyakini bahwa kehidupan manusia sebenarny a
adalah perjalanan untuk bersatu dengan Tuhan (Chodjim, 2013; 2007). Ini adalah perjalanan spiritual yang melibatkan segala macam
kecerdasan batin manusia. Dalam pengalaman tersebut, individu merasa menyatu dengan Tuhan yang ditunjukkan dengan perasaan menaati
kehendak Tuhan secara total melalui hati nuraninya.

2. Sifat ideal akuntan profesional

Pemahaman terhadap hakikat manusia sangatlah penting, karena pemahaman ini mempengaruhi bagaimana seseorang memahami,
bersikap, dan menyikapi simbol-simbol yang ada disekitarnya. Homo economicus, misalnya, dikenal sebagai individu yang memiliki rasionalitas
ekonomi dan kepentingan diri sendiri. Ia, dalam karakternya, mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menyikapi kehidupan manusia yang
dihemat untuk kepentingannya sendiri. Untuk homo economicus , memaksimalkan utilitas adalah kepentingan pribadi untuk mendapatkan
kekayaannya (Xin& Liu, 2013; Sigmund, 2010; Thaler, 2000). Bahkan homo economicus terkurung dalam kotak kalkulasi, materialis, anti sosial,
tidak bermoral, tidak serakah, dan tidak heroisme (Wight, 2005). Berdasarkan asumsi-asumsi inilah sistem ekonomi modern kita dikembangkan
dan dipraktikkan. Segala macam sistem dirancang Sesuai dengan karakternya. Misalnya, korporasi dikonseptualisasikan dan dioperasionalkan
untuk memaksimalkan keuntungan guna memenuhi kebutuhan homo economicus.

Menariknya, Jensen & Meckling (1994) mengkarakterisasi sifat manusia ke dalam lima kategori. Mereka adalah The Resourceful, Evaluative,
Maximizing Model (REMM), The Economic Model (atau Money Maximizing Model), The Sociological Model (or Social Victim Model), The
Psychological Model (atau Model Hirarki Kebutuhan), dan Model Politik (atau Model Agen Sempurna). Bagi Jensen & Meckling (1994), REMM
dominan dibandingkan keempat model lainnya.
Model pertama dan kedua pada dasarnya sangat tertutup terhadap homo economicus dan bercirikan kepentingan pribadi dan maksimalisasi
utilitas. Tiga model terakhir lebih mendekati homo sosiologicus dibandingkan dengan homo economicus. Model homo sosiologicus tidak
memperhatikan pendapatan uang, namun memperhatikan lingkungan sosial, kebutuhan psikologis manusia, dan barang publik (Jensen &
Meckling 1994). Homo sosiologicus adalah model manusia yang lebih mementingkan kelompok daripada kepentingannya sendiri (Abramitzky,
2011).
Di luar homo economicus dan homo sosiologicus, kita menemukan homo spiritus. Hal ini ditandai dengan keyakinan agama dan spiritual
yang kuat tentang hubungan intim dan transendental tidak hanya dengan Tuhan dan individu lain (Boteach,
256 Iwan Triyuwono / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 172 ( 2015 ) 254 – 261

1996), namun juga dengan alam. Hubungan tersebut terikat pada keyakinan bahwa Tuhan hanya ada satu. Oleh karena itu, kepercay aan
tersebut mempersatukan seluruh eksistensi baik manusia maupun alam dengan Tuhan. Tidak ada pemisahan antara seluruh makhluk dengan
Tuhan (Chodjim,2013; 2007; Tinker, 2004; Boteach, 1996).
Kesatuan mempunyai beberapa arti (atau akibat). Pertama, secara jasmani dan rohani semua makhluk (termasuk manusia) terbuat dari
bahan mentah Ilahi. Mereka diciptakan dari tubuh Tuhan. Mereka semua ada dalam satu. Tuhan menghadirkan berbagai realitas, namun realitas-
realitas itu menyatu menjadi satu. Kedua, hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia lainnya (Boteach, 1996),
dan antara manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan (Chodjim, 2013). Mereka bersatu dalam satu hubungan yaitu hubungan
ketuhanan. .Ketiga, Allah Maha Menutupi Segalanya.
Tuhan menghadirkan diri-Nya di dalam segala sesuatu dan sekaligus di luar segala sesuatu. Tidak ada ruang dan waktu tanpa kehadiran-Nya.
Ia selalu hadir kapanpun dan dimanapun (Chodjim, 2013 dan Boteach, 1996). Keempat, tidak ada pemisahan antara yang jasmani dan rohani,
antara yang sekuler dan yang non-sekuler, antara agama dan negara, antara yang normatif dan yang positif. , antara teoritis dan praktis, dan
lain sebagainya (Tinker, 2004).
Homo spiritus mempunyai empat unsur metafisik, yaitu nafsu, akal, hati, dan hati nurani. Nafsu adalah suatu unsur yang mempunyai
kecenderungan untuk memenuhi naluri binatang. Unsur tersebut berkaitan dengan kecenderungan-kecenderungan duniawi yang dimiliki
seseorang. Individu yang mempunyai kecenderungan murni (dengan meminggirkan elemen lainnya) mungkin sama dengan model ekonomi
Jensen & Meckling (1994). Model ini murni model homo economicus. Namun bagi homo spiritus, hasrat hanyalah salah satu elemen yang
posisinya seimbang dengan elemen lainnya. Akal adalah unsur kedua yang berfungsi merasionalisasi dan menganalisis segala sesuatu yang
ada di sekitar individu. Akal tidak berdiri sendiri, ia berada dalam hubungan yang dinamis, saling bergantung, dan seimbang dengan unsur-unsur
lain. Kemudian unsur ketiga adalah hati yang berkaitan dengan ranah emosi, seperti emosi positif dan negatif, dari seorang individu. Dan yang
terakhir adalah hati nurani. Merupakan titik ruh ketuhanan atau titik Dzat Tuhan yang ditanamkan Tuhan ke dalam diri manusia (God-spot).
Fungsinya untuk menggerakkan secara ketuhanan tingkah laku dan tindakan manusia menuju sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan kata
lain, ketika seseorang secara sadar dan total mengikuti perintah apa pun dari roh ilahi (hati nurani), maka kita dapat mengat akan bahwa dia
telah menyerahkan dirinya sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Kondisi inilah yang ideal bagi homo spiritus untuk menjadikan ruh sebagai
sumber dan pusat ketuhanan dalam menyampaikan suatu tindakan.

Hati nurani adalah pusat kesadaran ilahi. Sensitivitas kesadaran ilahi tergantung pada seberapa jauh seseorang telah memurnikan hati
nuraninya dari debu duniawi dan kecenderungan manusiawi. Seseorang dapat memurnikan hati nurani melalui keterlibatan sadar dalam
kehidupan sehari-hari dan latihan spiritual. Kehidupan sehari-hari dan praktik keagamaan dapat menjadi cara untuk mencapai hati nurani yang
murni, yang bagi homo spiritus merupakan perjalanan spiritual untuk bersatu dengan Tuhan.

Perjalanan tersebut bisa dimulai dengan kesadaran rasional (dimana nafsu dan akal berada) dan kesadaran psiko-spiritual (dimana hati
berdiam) sebagai tangga untuk menaiki tingkat kesadaran tertinggi, yaitu kesadaran ketuhanan. Kesadaran rasional dan kesadara n psiko-
spiritual adalah pada dasarnya manusiawi. Dalam kehidupan modern kita sehari-hari, mereka adalah kekuatan utama yang mendorong perilaku
dan tindakan manusia. Kedua jenis kesadaran ini mengarahkan model manusia yang dirancang oleh Jensen & Meckling (1994). Pada tingkatan
ini, seseorang belum menjadi pribadi yang ilahi. Sebaliknya, ia harus mengolah dirinya sendiri hingga mencapai dan mengalami bagaimana hati
nurani bekerja secara aktif.
Setelah mengalami kerja hati nurani, barulah ruh ketuhanan menerangi hasrat, akal, dan hati manusia untuk menjadi yang ketuhanan.
Dengan demikian, kesadaran rasional dan kesadaran psiko-spiritual tercerahkan dan tertuhan. Akhirnya, segala macam kesadaran bersifat
ketuhanan. di alam. Jadi, individu yang berada dalam pengalaman ini adalah homo spiritus.

Idealnya, seorang akuntan profesional adalah homo spiritus. Namun, bagaimana caranya? Jawabannya adalah: merancang kode etik yang
dapat mengarahkan akuntan profesional untuk memiliki kemauan melakukan perjalanan spiritual melalui kehidupan sehari-hari dan pelayanan
profesional kepada klien.

3. Mendesain Ulang Kode Etik Akuntan Profesional

Prinsip-prinsip dasar kode etik IFAC untuk akuntan profesional dapat dianggap sebagai titik awal untuk mendesain ulang kode tersebut.
Intinya, prinsip-prinsip tersebut mengharuskan seorang akuntan profesional bersikap jujur dan obyektif, menjaga pengetahuan dan keterampilan
profesional, bertindak tekun dalam menjalankan tugasnya. sesuai dengan standar teknis dan profesional yang berlaku, untuk men ghormati
kerahasiaan informasi, dan untuk mematuhi undang-undang dan peraturan terkait serta menghindarinya
Iwan Triyuwono / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 172 ( 2015 ) 254 – 261 257

segala tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi (Anonymous, 2005). Prinsip-prinsip tersebut sarat makna positif yang dapat mengarahkan perilaku
seorang akuntan profesional berada pada jalur yang benar.
Namun, prinsip-prinsip tersebut belum cukup untuk membimbing dan membawa seorang akuntan profesional pada kesadaran psikospiritual, karena
prinsip-prinsip tersebut sebagian besar berpijak pada kesadaran rasional yang digerakkan oleh hasrat dan intelektualitas manusia. Oleh karena itu, perlu
ditambahkan prinsip-prinsip lain yang mungkin dapat menjembatani ranah rasional ke ranah psiko-spiritual. Prinsip tambahannya adalah ketulusan dan
cinta (lihat Tabel 1). Prinsip-prinsip tersebut berada di lokus hati yang tidak pernah diasosiasikan dengan rasionalisasi manusia, melainkan dengan
perasaan.

Tabel 1. Hubungan prinsip fundamental, unsur metafisik, dan kesadaran

Kategori Elemen Metafisika Prinsip-prinsip dasar Kesadaran

1 Keinginan dan kecerdasan Integritas, objektivitas, kompetensi dan Kesadaran rasional


kehati-hatian profesional,
kerahasiaan, perilaku profesional

2 Jantung Ketulusan, cinta Kesadaran psiko-spiritual

3 Hati nurani Kehendak ilahi Kesadaran ilahi

Ikhlas merupakan keutamaan batin yang wajib dimiliki oleh seorang individu untuk menghantarkan perbuatannya kepada seluruh umat manusia,
kepada alam semesta, dan kepada Tuhan berdasarkan niat yang sangat murni (Gardet, 1986: 1060). Hal ini melampaui keterlibatan nafsu, akal, dan
hati. Suatu tindakan tidak dilakukan berdasarkan keinginan manusia, atau berdasarkan analisa rasional, atau berdasarkan perasaan positif, tetapi
berdasarkan pada diri manusia yang sebenarnya.
Dalam sudut pandang agama, perbuatan baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas. Apabila seseorang misalnya memberikan bantuan
kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan dari orang tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan ikhlas. tindakan.Menurut ajaran agama,
seorang akuntan profesional memberikan jasa profesionalnya kepada klien bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan demi Tuhan. Ia tidak
pernah berpikir untuk mendapatkan imbalan dari klien, meskipun dalam sebenarnya dia mendapatkannya, namun dia melakukan pelayanan itu hanya
karena keridhaan Tuhan. Individu selalu menikmati apa yang dia kerjakan, karena tidak ada urusan duniawi lain yang mengganggunya.

Dalam tindakan yang tulus, seorang aktor terbebas dari batasan waktu (yaitu pengalaman masa lalu dan harapan masa depan) dan ruang (Tolle,
2001; 1999). Tindakan tersebut secara spontan muncul dari dalam diri yang tentu saja lebih murni dari ego manusia ( yaitu hasrat, akal, dan hati). Ego
manusia, melalui akal dan perasaan yang relevan, sepanjang waktu berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan hasrat manusia yang sebenarnya
bersifat artifisial. Namun, batin, kesadaran murni , bebas dari ego.

Seorang akuntan profesional memiliki kapasitas untuk membebaskan dirinya dari ego. Bebas dari ego berarti ia merasakan momen saat ini. Dalam
keadaan tersebut, mengacu pada konsep kekuatan masa kini (tolle) dari Tolle (1999: 18), akuntan merasakan kehadiran dirinya yang melampaui segala
pemikiran, seluruh emosi, tubuh fisik, dan dunia luar. Akuntan menjauhi aktivitas pikiran dan menciptakan celah no-mind (tidak berpikir), namun tetap
waspada dan sadar.
Keadaan psiko-spiritual lain dari seorang akuntan profesional ideal adalah cinta. Ini adalah perasaan misterius dan menyenangkan yang
menghubungkan seseorang dengan individu lain, dengan alam, dan dengan Tuhan. Perasaan itu membuat kekasih dan yang dicintai berada dalam
suasana indah, bahagia, dan hubungan tertutup. Cinta merupakan energi dahsyat yang berpotensi mengubah kehidupan dan lingkungan manusia
Chopra (1997: 17-18).
Cinta, sebagaimana dikemukakan oleh Chopra (1997: 17-18), bagi kita tampak sebagai cinta manusia yang memiliki kekuatan untuk mengubah
seseorang menjadi lebih baik dan juga merupakan cara untuk bertemu dengan Tuhan. Cinta manusia pada dasarnya bersifat psikologis, bebas dari
kecerdasan, pengetahuan, dan kefasihan (Nurbakhsh, 2008: 8; Chopra, 1997: 17-18). Bagi Chopra (1997: 92), (jatuh dalam) cinta psikologis bersifat
sementara, ilusi, bersemangat, terikat, berbasis hormon , kesatuan imajiner, dan regresi kekanak-kanakan.
Namun sebaliknya, cinta spiritual bersifat abadi, transenden, damai, bebas, berbasis jiwa, kesatuan nyata, dan ditingkatkan evolusinya (Chopra,
1997: 92). Pada posisi yang sama, Nurbakhsh (2008: 8) berpendapat bahwa di bawah naluri manusia cinta, sang kekasih merindukan yang dicintai
demi keuntungannya sendiri. Cinta itu dirangsang oleh keindahan bentuk lahiriah dan sementara. Bahkan, itu adalah hasil sublimasi dan kehalusan
hasrat seksual. Nurbakhsh (2008) sependapat dengan mengatakan bahwa cinta manusia bukanlah cinta sejati. Ada jenis cinta lain, yaitu cinta spiritual.
Ia menunjukkan bahwa “dalam cinta spiritual, sang kekasih merindukan yang dicintainya demi dirinya sendiri, sebagai serta untuk yang
tercinta” (Nurbakhsh, 2008: 8).
258 Iwan Triyuwono / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 172 ( 2015 ) 254 – 261

Nurbakhsh (2008: 8) berpendapat bahwa cinta sejati bukanlah cinta psikologis dan spiritual, melainkan Cinta Ilahi. Itu adalah “keberlimpahan dan
kegairahan dari Sang Kekasih Mutlak yang turun ke dalam hati pecinta yang tulus.” Sang pecinta merindukan Sang Kekasih dan hanya demi Sang
Kekasih. Tak ada lagi cinta manusiawi di hati sang pencinta, yang ada hanyalah Cinta Ilahi. Cinta itu melampaui perasaan menc intai individu lain,
alam, dan kehidupan duniawi. Perasaan yang ada hanyalah mencintai Tuhan saja. Bagi individu yang mempunyai perasaan , cinta manusia (yang
berdasarkan ego manusia) sudah terlewati.

Seorang akuntan profesional memiliki potensi untuk berada dalam kondisi cinta sejati. Melalui latihan keagamaan dan sp iritual, akuntan dapat
memiliki pengalaman hidup dalam cinta ilahi. Melakukan latihan tidak berarti melepaskan aktor dari kehidupan sehari -hari dan profesional, tetapi
memang mereka menyatu dengan kehidupan. Melalui kehidupan, akuntan melakukan perjalanan psikologis dan spiritual menuju pencapaian kesadaran
murni. Berada dalam kesadaran murni melahirkan kehidupan pribadi, sosial, profesional, dan lingkungan yang menyenangkan. Psik o- Kesadaran
spiritual merupakan sebuah garis kontinum yang menunjukkan bahwa kecintaan seorang akuntan profesional dapat berada pada rentang cinta
psikologis dan cinta spiritual. Hal tersebut mencerminkan gerak dinamis seorang akuntan untuk menuju akuntan yang dicintai, dipercaya, dan beretika.

Baik cinta maupun ketulusan adalah prinsip fundamental dari kode ini. Keduanya adalah dua anak tangga yang memandu seorang profesional
akuntan ke langkah berikutnya, yaitu kesadaran ilahi di mana kehendak Tuhan berada.
Tempat kehendak ilahi adalah hati nurani. Ini adalah Dzat Tuhan yang ditanamkan dan disatukan dengan tubuh manusia. Ini adalah bagian dari
Dzat yang umumnya dikenal sebagai God-spot (lih. Seabold, 2005; Joseph, 2002) . Ini berfungsi sebagai antena spiritual bagi seseorang untuk
terhubung dengan Tuhan. Melalui hati nurani, individu sepanjang waktu dapat melakukan komunikasi dan percakapan dengan Tuhan (Aman, 2013:
50-60; Walsch, 2010). Hal ini hanya dapat dicapai melalui hubungan intim yang menciptakan lompatan spiritual dan melampaui ego individu melampaui
kodratnya.
Melalui hati nurani, kehendak ilahi dapat terungkap melalui percakapan seperti yang dialami W alsch (2010). Walsch (2010: 2) mempunyai
pengalaman luar biasa dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Ketika ia menulis surat kepada Tuhan, yang mengejutkan, Ia membalas suratnya melalui
tulisan tangannya dengan menggunakan pulpen yang bergerak sendiri.
Walsch (1010) menceritakan kepada kita bahwa Tuhan menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang kehidupan dengan mendiktekan beberapa
jawaban. Tuhan mendiktekan Walsch untuk menuliskan jawabannya melalui pena yang bergerak sendiri. Kehendak Tuhanlah yang menggerakkan
pena untuk menuliskan pesan. Dalam konteks ini, kehendak Tuhan dinyatakan dalam bentuk komunikasi verbal. Ini adalah wahyu.
Senada dengan itu, Aman (2013: 51) juga menegaskan bahwa dalam tradisi keagamaan, umat beriman memandang Tuhan berkomunikasi dengan
manusia melalui tiga cara, yaitu wahyu , sesuatu di balik tabir, dan malaikat. Informasi verbal diturunkan Tuhan kepada nabi-Nya yang kemudian
disusun menjadi satu kitab yang akhirnya kita sebut Kitab Suci. Kitab Suci dengan kata lain adalah kumpulan kehendak Tuhan yang tertulis yang
disampaikan kepada nabi. komunikasi verbal bukanlah satu-satunya cara Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Dia juga berkomunikasi dengan
manusia melalui perasaan, pikiran, dan pengalaman (W alsch, 2010: 4-6).

Dengan demikian, kehendak Tuhan dikomunikasikan kepada manusia melalui perkataan, perasaan, pikiran, dan pengalaman. Aman (2013: 50-60)
juga mengungkapkan cara komunikasi yang sama, meskipun ia lebih memperhatikan komunikasi verbal. Untuk Aman (2013 : 50-60), pada hakikatnya
Tuhan berkomunikasi dengan seluruh makhluk melalui dinamika dan aturan hidup-Nya yang dapat berupa kata-kata, perasaan, pikiran, dan
pengalaman. Bahkan beliau mengutarakan bahwa komunikasi tersebut tidak hanya kepada beberapa manusia istimewa seperti para nabi, tetapi juga
kepada seluruh manusia, hewan, tumbuhan, malaikat, setan, dan alam semesta. Dulu, sekarang, dan di masa depan, Tuhan selalu b erkomunikasi
dengan semua makhluk. Kecuali nabi terakhir, wahyu terhenti di penghujung tahun. kehidupan nabi (Aman, 2013:51).

Melalui hati nurani manusia, seseorang akan mempunyai pengalaman berkomunikasi dengan Tuhan. Dengan kata lain, di dalam komunikasi itu
sebenarnya terdapat kehendak Tuhan. Namun sayangnya tidak semua manusia bisa menangkap kehendak-Nya. Ada yang bersedia untuk secara
sadar dan tulus mendengarkan kehendak Tuhan, tetapi orang lain tidak (W alsch, 2010: 8).

Idealnya, seorang akuntan profesional mempunyai kemampuan murni untuk mendapatkan kehendak Tuhan melalui hati nuraninya. Ketika seorang
akuntan memberdayakan hati nuraninya, maka secara spontan ia dapat memahami, menaati, dan berserah diri sepenuhnya pada kehendak Tuhan.
Dalam kondisi ini, berpikir dan mengambil suatu tindakan hanya berdasarkan kehendak Tuhan. Melalui hati nurani, akuntan dibimbing menuj u
keselamatan (Lewisohn, 1986: 785). Ketika akuntan telah mencapai hati nurani yang murni, otomatis ia tercerahkan keinginan, akal budinya. , dan
hati.Pada titik ini, akuntan adalah yang sempurna
Iwan Triyuwono / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 172 ( 2015 ) 254 – 261 259

akuntan. Dalam tradisi sufi disebut insankamil, manusia sempurna, yaitu individu yang taat sepenuhnya pada kehendak Tuhan dan
mempunyai sifat-sifat terpuji, menjunjung tinggi ilmu, asketisme, dan ketakwaan (Lewisohn, 1986: 784).

4. Membimbing seorang akuntan profesional menjadi homo spiritus – akuntan yang sempurna

Sertifikasi merupakan tradisi umum dalam profesi akuntansi modern. Sertifikasi menunjukkan bahwa seseorang yang memegang
sertifikasi telah mencapai kualifikasi tertentu yang ditetapkan oleh suatu badan profesi. Sertifikasi tersebut dapat bermacam-macam, seperti,
Akuntan Publik Bersertifikat (CPA), Akuntan Manajemen Bersertifikat (CMA), Certified Internal Auditor (CIA), Certified Information Systems
Auditor (CISA), Certified Government Financial Manager (CGFM), Government Valuation Analyst (GVA), dan lain sebagainya (Coe &
Delaney, 2008; Marshall 2001).
Banyak akuntan memilih untuk mendapatkan sertifikasi agar lebih dekat dengan tujuan karir mereka. Mereka menganggap bahwa gelar
sarjana mereka (yang berfokus pada pengembangan komunikasi teknis, lisan, tertulis, dan interpersonal) saja tidak cukup untuk mencapai
tujuan tersebut. Oleh karena itu, mendapatkan sertifikasi untuk bidang tertentu merupakan solusi untuk mendapatkan karir dan prestasi
yang baik (Coe & Delaney, 2008: 47).
Sertifikasi memiliki kekuatan persuasif dalam mempengaruhi akuntan untuk mendapatkannya. Banyak akuntan yang mendapatkan
manfaat yang baik darinya. Salah satunya, misalnya, gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki ser tifikasi.
Apalagi mereka yang memiliki sertifikasi biasanya mendapatkan kompensasi yang baik. sepanjang karir mereka (Coe & Delaney, 2008: 47).
Dalam aspek lain, sertifikasi dapat mempengaruhi pendidikan akuntansi untuk membuat ceruk yang memasukkan sertifikasi ke dalam
kurikulum akuntansi. Dengan demikian, terdapat peluang bagi pendidik dan siswa untuk menghubungkan diri dengan praktisi dan berbagai
asosiasi profesi terkait sertifikasi (Coe & Delaney, 2008:51).

Berdasarkan ilustrasi di atas, kita dapat melihat bahwa sertifikasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku manusia
mahasiswa untuk mengambil sertifikasi setelah menyelesaikan mata kuliah akuntansi dan mempengaruhi pendidik untuk merancang
pendidikan akuntansi yang terhubung dengan sertifikasi. Dengan menggunakan logika, kita dapat mengarahkan akuntan profesional untuk
berperilaku etis berada dalam kesadaran rasional, kesadaran psiko-spiritual, dan kesadaran ilahi melalui sertifikasi.
Tentu saja sertifikasi yang kami maksud di sini berbeda dengan sertifikasi yang disebutkan di atas. Sertifikasi yang kam i maksudkan
bukan bertujuan untuk menaikkan rata-rata gaji seorang akuntan profesional, melainkan untuk meningkatkan kualitas batin akuntan tersebut
menuju kesempurnaan. Melalui perbaikan batin, akuntan memperoleh beberapa manfaat. Salah satunya adalah kebahagiaan spiritual, yaitu
perasaan dekat secara spiritual dengan Tuhan, dengan orang lain, dan dengan alam. Akuntan dalam konteks ini mendapat pencerahan.
Dengan kata lain , sertifikasi kami di sini adalah yang dapat membimbing akuntan profesional menjadi orang-orang yang tercerahkan.

Berdasarkan tiga macam kesadaran, kami mempunyai tiga jenis sertifikasi, yakni Certified Ethical Accountant – Rational awareness
(CEA-Rc), Certified Ethical Accountant – Psycho-spiritual awareness (CEA-PSc), dan Certified Ethical Accountant – Divine awareness ( CEA-
Dc) (lihat Tabel 2).
CEA-Rc adalah sertifikat yang diberikan kepada akuntan profesional yang dominan menggunakan kesadaran rasionalnya dalam
melayani klien. Perilakunya sebagian besar didorong oleh integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan,
dan perilaku profesional.
Seorang akuntan profesional yang telah memiliki CEA-Psc adalah orang yang senantiasa memanfaatkan kesadaran psiko-spiritual untuk
melayani klien. Dalam sertifikasi tersebut, akuntan mengandalkan perasaan ketulusan dan cinta yang murni. Perasaan adalah pendorong
utama yang mengarahkan penilaian etis dan perilaku akuntan.
CEA-Dc adalah jenis sertifikasi yang terakhir. Sertifikasi ini diberikan kepada seorang akuntan profesional yang senantiasa menjalankan
kesadaran ketuhanan untuk melayani kliennya. Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya sehari-hari sangat mempercayai kehendak
ketuhanan untuk mengambil tindakan etis. pertimbangan dan perilaku. Pada tingkat ini, akuntan tidak hanya melampaui kesadaran rasional
dan kesadaran psiko-spiritual, tetapi juga mencerahkan keduanya. Akuntan pada tingkat ini adalah akuntan yang sempurna.
260 Iwan Triyuwono / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 172 ( 2015 ) 254 – 261

Tabel 2. Hubungan Prinsip Dasar dan Sertifikasi


Kategori 1 Prinsip dasar Sertifikasi

Integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, Akuntan Etis Bersertifikat - Kesadaran rasional
kerahasiaan, perilaku profesional (CEA-Rc)
2 Ketulusan, cinta Akuntan Etis Bersertifikat - Kesadaran psiko-spiritual
(CEA-PSc)
3 Kehendak ilahi Akuntan Etis Bersertifikat - Kesadaran Ilahi
(CEA-Dc)

Tujuan sertifikasi di sini bukan untuk menguji lulus atau tidaknya seorang akuntan profesional dalam ujian sertifikasi, melainkan untuk
mendeteksi kesadaran posisi akuntan tersebut. Apalagi instrumen untuk mendeteksi jabatan tersebut tidak didasarkan pada konsep-konsep
prinsip dasar. sebagai penggerak kesadaran, melainkan didasarkan pada pengalaman profesional sehari-hari akuntan. Melalui pengalaman
tersebut, akuntan dapat berada pada posisi kesadaran rasional, kesadaran psiko-spiritual, atau kesadaran ilahi. Oleh karena itu, sertifikasi
benar-benar mewakili kesadaran nyata akuntan.

Sertifikasi ini mungkin mempunyai implikasi yang menantang. Misalnya, suatu kantor akuntan yang telah memiliki akuntan publik yang
memiliki CEA-Rc, CEA-PSc, dan CEA-Dc mungkin akan lebih dipercaya oleh masyarakat bisnis dibandingkan dengan kantor akuntan yang
tidak memiliki akuntan beretika bersertifikat. Kantor akuntan yang memiliki komposisi CEA-PSc dan CEA-Dc lebih tinggi dibandingkan dengan
CEA-Rc mungkin lebih dipercaya dibandingkan dengan kantor akuntan yang memiliki komposisi CEA-PSc dan CEA-Dc lebih rendah. Sertifikasi
dan komposisinya mempengaruhi tingkat kredibilitas kantor akuntan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kredibilitas, kantor akuntan dapat
membujuk akuntan publiknya untuk memiliki CEA Rc, CEA-PSc, dan CEA-Dc.

5. Kesimpulan

Manusia sempurna (homo spiritus atau insankamil) adalah yang mempunyai kesadaran ketuhanan, yaitu kesadaran holistik yang bercirikan
mentaati kehendak Tuhan secara total berdasarkan hati nurani (God-spot) (bukan berdasarkan ego manusia yang menyangkut hawa nafsu,
akal, dan hati).Menjadi manusia sempurna adalah pencapaian tertinggi manusia. Di bawah kesadaran, seseorang telah melampaui ego
manusia. Ia mengalami ketiadaan. Manusia sempurna adalah model yang dapat dimanfaatkan untuk merekonstruksi fundamental prinsip-
prinsip kode etik akuntan profesional. Dengan menggunakan model tersebut, prinsip-prinsip kode etik diperluas hingga mencakup integritas,
objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, ketulusan, cinta, dan kehendak ilahi.

Prinsip-prinsip tersebut mempunyai fungsi untuk menggerakan secara dinamis kesadaran seorang akuntan profesional dari kesadaran
rasional menuju kesadaran psiko-spiritual dan kesadaran ketuhanan. Dengan menggunakan pendekatan eksternal modern, maka gerakan
tersebut dapat dikobarkan dengan menggunakan sertifikasi, yakni akuntan profesional bersertifikat pada tingkat kesadaran rasional, kesadaran
psiko-spiritual, dan kesadaran ketuhanan. Pencapaian kesadaran ketuhanan merupakan kunci untuk membangkitkan hati nurani dalam diri
sebagai kualitas akuntan yang beretika.

Referensi

Abramitzky, R. (2011). Pelajaran dari Kibbutz mengenai pertukaran insentif kesetaraan. Jurnal Perspektif Ekonomi, 15, 185-208.
Aman, S. (2013). Bashirahteknologipemberdayaandiri. Tangerang: PenerbitRuhama.
Aman, S. (2014). Zikirmembangkitkankekuatanbashirah.Tangerang: PenerbitRuhama.
Anonim. (2005). IFAC memperkuat kode etik. Manajemen CMA, 79, 9.
Blumer, H. (1969). Interaksionisme simbolik: perspektif dan metode. Berkeley: Pers Universitas California.
Boteach, S. (1996). Doa para gay suci mempersatukan manusia dengan Tuhan. Calgary Herald: A.11.
Chodjim, A. (2007). Syekh Siti Jenar: makrifatdanmaknakehidupan.Jakarta: Serambi.
Chodjim, A. (2013). Syekh Siti Jenar : makrifatkasunyatan. Jakarta: Serambi.
Chopra, D. (1997). Strategi spiritual untuk penyembuhan: jalan menuju cinta. New York: Pers Tiga Sungai.
Coe, M & Delaney, J. (2008). Dampak sertifikasi terhadap pendidikan akuntansi. Keuangan Strategis, Juli, 47-51.
Walsch, ND (2010). Percakapan dengan Tuhan: dialog yang tidak biasa. Buku 1. Sydney: Hachette Australia.
Gardet, L. (1986).Ikhlas.Dalam Ensiklopedia Islam, Edisi baru. Jil. 1. Leiden, Belanda: EJ Brill.
George, R. (2005). Kode Etik: IFAC mengeluarkan kode revisi untuk akuntan profesional. Akuntansi Irlandia, 37, 6-8.
Iwan Triyuwono / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 172 ( 2015 ) 254 – 261 261

Ghazali, NAM & Ismail, S. (2013). Pengaruh atribut pribadi dan posisi etika organisasi terhadap penilaian akuntan: skenario Malaysia. Jurnal Tanggung Jawab
Sosial, 9, 281-297.
Dewan Standar Etika Internasional untuk Akuntan (IESBA). (2013). Buku Pedoman Kode Etik Akuntan Profesional.
Jensen, MC & Meckling, WH (1994). Sifat manusia. Jurnal Keuangan Perusahaan Terapan, 7, 4-19.
Joseph, R. (2002).NeuroTeologi. San Jose, CA: Pers Universitas.
Lewisohn, L. (1986). Takwa. Dalam Ensiklopedia Islam, Edisi baru. Jil. 1. Leiden, Belanda: EJ Brill.
Maree, KW & Radloff, S. (2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian etis akuntan Afrika Selatan. Penelitian Akuntansi Meditari,
15, 1-18.
Marshall, L. (2001). Langit adalah batas sertifikasi akuntansi. Akuntan Baru: 5-8.
Nilsson, L., Hofflander, M, Eriksén, S & Borg, C. (2012). Pentingnya interaksi dalam implementasi teknologi informasi dalam pelayanan kesehatan: kajian
interaksionisme simbolik tentang makna aksesibilitas. Informatika untuk Kesehatan dan Pelayanan Sosial, 37, 277–290.
Nurbakhsh, J. (2008). Cinta Sufi. Dalam Ensiklopedia Cinta dalam Agama-Agama Dunia. Yudit Kornberg Greenberg (Ed.). Jil. 1. Santa Barbara, CA.
Schwepker, CH (1999). 'Memahami niat tenaga penjualan untuk berperilaku tidak etis: efek dari intensitas persaingan yang dirasakan, kognitif
perkembangan moral dan penilaian moral'.Jurnal Etika Bisnis, 21, 303–316.
Seybold, KS (2005). Tuhan dan Otak: ilmu saraf melihat pada agama. Jurnal Psikologi dan Kekristenan, 24, 122-129.
Sigmund, K. (2010). Kalkulus Keegoisan. Princeton: Pers Universitas Princeton.
Percikan, J & Pan, Y. (2010). Penilaian etis dalam penelitian etika bisnis: Definisi, dan agenda penelitian. Jurnal Etika Bisnis, 91, 405-
418.
Thaler, RH (2000). Dari homo economicus hingga homo sapiens. Jurnal Perspektif Ekonomi, 14, 133-141.
Tinker, T. (2004). Pencerahan dan ketidakpuasannya: antinomi agama Kristen, Islam, dan ilmu kalkulatif. Jurnal Akuntansi, Audit, dan Akuntabilitas, 17, 442-475.

Tolle, E. (1999). Kekuatan Saat Ini: Panduan Menuju Pencerahan Spiritual. Novato: Perpustakaan Dunia Baru.
Tolle, E. (2001). Mempraktikkan kekuatan masa kini. Novato: Perpustakaan Dunia Baru.
Valentine, SR & Rittenburg, TL (2004). Evaluasi etika profesional bisnis Spanyol dan Amerika dalam situasi global. Jurnal dari
Etika Bisnis, 51, 1-14.
Minggu, WA, Moore, CW, McKinney, JA &Longenecker, JG (1999). Pengaruh gender dan tahapan karier terhadap penilaian etis. Jurnal dari
Etika Bisnis, 20, 301-313.
Berat, JB (2005). Adam Smith dan keserakahan. Jurnal Perusahaan Swasta, 21, 46-58.
Xin, Z. & Liu, G. (2013). Kepercayaan homo economicus menghambat kepercayaan. PLoS SATU, 8, e76671.

Anda mungkin juga menyukai