Makalah Bahan Pak Ongki
Makalah Bahan Pak Ongki
Disusun Oleh:
HAMID HODIR
HERMANTO KURNIAWAN
JAUHARA ALBAR
( YOGYAKARTA )
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. karena atas
rahmat-Nya. kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah SKI dan Budaya Lokal
yang berjudul “ Peran Umat Islam di Indonesia dalam Memperjuangkan Kemerdekaan
Pada Masa Penjajahan Jepang (Analisis Tokoh, Cara Berjuang, dan Islam di Indonesia
Masa Mendatang) “.
Dalam penyelesaian makalah ini kami banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan
dari beberapa pihak yang turut serta membantu, untuk itu melalui kata pengantar ini kami
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Saya mengucapkan terima
kasih kepada Dosen mata kuliah SKI dan Budaya Lokal yaitu Bapak Prof. Dr. Fauzan
Naif, M. A. dan teman-teman yang telah memberikan bantuan, dorongan motivasi, serta
bimbingan. Semoga apa yang diberikan kepada kami menjadi amal sholeh dan diterima Allah
sebagai sebuah kebaikan. Semoga pula makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami
pembuat makalah dan semua pada umumnya.
i
Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
BAB II Pembahasan
3.1 Kesimpulan...............................................................................................23
Daftar Pustaka.................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu tak heran apabila
banyak muslim yang turut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, baik
melalui non-kekerasan maupun peperangan. Dua jalur tersebut memiliki pengikut dan
keduanya pun merubah wajah Indonesia menuju kemerdekaan. Pada makalah ini kami
mencoba sedikit mengupas peran umat Islam dalam memperjaungkan kemerdekaan
Indonesia.
Siapa saja tokoh-tokoh Islam haluan religius yang berjuang pada masa penjajahan
Jepang?
Apa saja cara perjuangan yang digunakan umat Islam:
Melalui jalur non-kekerasan (non-violence)
Menggunakan peperangan
Apa pengaruh yang dihasilkan umat Islam seusai kemerdekaan Indonesia dan
perjuangan melawan Jepang?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Non-Kekerasan
a. K.H. Mas Mansur
K.H. Mas Mansur berasal dari lingkungan pesantren di Surabaya. Ayahnya
bernama K.H. Mas Ahmad Marzuki, seorang alim yang dikenal luas, tidak hanya
di Jawa Timur, tetapi juga di Yogyakarta. Ia sering kali menghadiri pertemuan
para kiai di Yogyakarta itu dan juga bersahabat baik dengan K.H. Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyyah.
Mas Mansur dilahirkan pada tanggal 15 Muharram 1314 H atau 25 Juni 1896
M di Kampung Sawahan No. 4 Surabaya Utara. Kampung sawahan terletak tak
jauh dari kompleks makam dan masjid Sunan Ampel, seorang tokoh Wali Sanga
yang paling disegani. Masyarakat mennjuluki daerah sekitar komplek situ dengan
julukan “kampung santri” karena terdapat beberapa pesantren dan tempat-tempat
pengajian atau juga kampung Arab karena banyak masyarakat keturunan Arab
yang berdomisili disana.
Mas Mansur termasuk beruntung karena dikaruniai otak yang cerdas. Pada
masa kanak-kanaknya Mas Mansur gemar sekali membaca dan mendengarkan
fatwa dari orang-orang tua. Menurut Muslihah, kakak Mas Mansur, bakat
kepemimpinannya sudah mulai tampak sejak masa kanak-kanak. Mas Mansur-lah
yang paling menonjol diantara kawan-kawan sebayanya dalam pergaulan sehari-
hari. Ia termasuk santri yang paling rajin, selalu menepati janji, kata-katanya
teratur, hematdan bijaksana.
Pendidikan pertama yang diterima Mas Mansur tentu saja dari ayahnya di
Pesantren Sawahan.Setelah mendalami dasar-dasar ilmu agama dari ayahnya,
pada tahun 1906 Mas Mansur dikirim belajar ke pesantren Kademangan di
Bangkalan, Madura. Pesantren ini dipimpin oleh K.H. Kholil, kyai yang masyhur
di Jawa dan Madura pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di pesantren
inilah Mas Mansur belajar Al-Qur’an dan Alfiyah Ibn Malik.
Pada tahun 1908, Mas Mansur belajar ke Makkah. Namun pada tahun 1910,
timbul pergolakan politik di wilayah Hijaz. Dengan maksud agar orang-orang
asing tidak ikut terlibat dengan pergolakan tersebut maka penguasa Makkah saat
itu Syarif Husein memerintahkan kepada segenap orang asing untuk segera
meninggalkan kota suci itu. Maka dari itu, Mas Mansur pun memutuskan untuk
melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Akan tetapi
ayahnya tidak mengizinkannya karena khawatir ikut masuk dalam pergerakan
pembaharuan di Mesir saat itu. Meskipun begitu, Mas Mansur tetap bertekad bulat
hingga akhirnya dia belajar di Unversitas Al-Azhar dengan Fakultas Al-Din (ilmu
agama) yang mempelajari ilmu-ilmu ‘ubudiyyah dan siyasatul islamiyyah.
Selama pengembaraannya menuntut ilmu di Makkah dan Kairo inilah benih-
benih patriotisme dan nasionalisme tumbuh didalam jiwa Mas Mansur. Perhatian
dan minat Mas Mansur terhadap bangkitnya gerakan kebangsaan dan
pembaharuan pemikiran agama di tanah air tidak mustahil timbul selama ia berada
di Timur Tengah. Para santri yang sedang belajar di Makkah dan Kairo senantiasa
mengikuti perkembangan situasi di tanah air melalui berita-berita yang dibawa
oleh jamaah haji atau para santri yang baru tiba disana, kemudian mereka
mendiskusikannya serta berusaha mencari pola dan bentuk perjuangan, baik dalam
rangka membangkitkan kesadaran beragama maupun berbangsa.
Wahid Hasyim dilahirkan pada hari Jumat, 5 Rabiul Awwal 1333 H atau
bertepatan dengan 1 Juni 1914 M. Ia adalah anak kelima dan sebagai laki-laki
tertua dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dan Ny. Nafiqah putra Ilyas. KH.
Hasyim Asy’ari sendiri merupakan ulama besar (seringkali digelari Hadratus
Syaikh di depan namanya) yang membidani lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) dan
juga pendiri Pesantren Tebuireng. Pengaruhnya sangat luas di tengah masyarakat
Indonesia, khususnya di daerah Jawa dan Madura. Sedangkan Ny. Nafiqah sendiri
adalah putra dari Kiai Ilyas Madiun. Silsilah keduanya bertemu di satu titik, yakni
Sultan Brawijaya V, yang dikenal dengan Lembu Peteng.
Walaupun ia tidak pernah mengecap pendidikan formal, namun sejak kecil ia
dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan kreatif. Di bawah bimbingan ayahnya,
sejak umur 5 tahun ia sudah fasih membaca al-Qur’an. Dalam usia 7 tahun ia
mulai mempelajari kitab Fath Al-Qarib,al-Minhaj al-QawimdanAl-Mutammimah.
Pada usia 12 tahun, ia sudah menamatkan pendidikan keagamaannya di Madrasah
Salafiyah dekat rumahnya. Selain itu, ia sangat menggemari buku-buku
kesusastraan Arab, khususnya buku Diwan asy-Syu’ara’ (Kumpulan penyair
dengan syair-syairnya).
Sepulang dari Mekkah ia mulai aktif di organiasi dan politik hingga menjadi
tokoh yang disegani dan dihormati di level nasional. Karir organisasinya dimulai
dengan menjadi sekretaris ranting NU desa Cukir pada tahun 1938. Berkat
kecerdasan dan kharisma ayahnya, karirnya melesat dengan cepat. Di tahun yang
sama, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua NU cabang Jombang, Ketua bidang
Ma’arif NU tahun 1940, hingga menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU pada tahun
1946. Selain di NU, Wahid Hasyim menjadi ketua MIAI (Majelis al-Islam al-A’la
Indonesia) pada tahun 1940, serta membidani lahirnya Masyumi (Majelis Syura
Muslimin Indonesia) pada tahun 1943 (bersama M. Natsir).
K.H. A. Wahid Hasyim wafat pada hari Ahad, 19 April 1953, setelah
mengalami kecelakaan mobil. Pada hari sebelumnya ia bermaksud pergi ke
Sumedang, Jawa Barat, untuk menghadiri rapat NU setempat dengan menaiki
mobil Chevrolet miliknya. Ia berangkat ditemani seorang supir dari Harian
Pemandangan dan Argo Sucipto (tata usaha majalah Gema Muslimin). Putra
sulungnya Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur) juga turut serta dalam
perjalanannya. Ia dan Argo Sucipto meninggal dunia sedangkan sopir dan Gus
Dur selamat tak mendapat luka apa-apa.
c. Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara juga aktif di bidang politik dengan bergabung ke dalam Budi
Utomo, lalu mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia pada tanggai 25 Desember 1912 bersama kedua rekannya,
Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo . Ki Hajar Dewantara juga ikut
membidani terbentuknya Komite Bumiputra di tahun 1913 sebagai bentuk protes
terhadap rencana Belanda memeringati kemerdekaannyaa dan Perancis. Beliau
kemudian membuat sebuah tulisan pedas di harian De Express yang berjudui “Als lk
een Nederlander” (Seandainya Aku Seorang Belanda). Melalui tulisan ini, beliau
menyindir Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaannyaa dan
Perancis di negeri jajahan dengan menggunakan uang rakyat indonesia. Berikut ini
kutipannya.
2. Peperangan
Sutomo lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo,
adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat
rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang
berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai
Hari Pahlawan. Sutomo dilahirkan di Kampung Blauranpadatanggal3 Oktober 1920 di
pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala
keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan,
sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak
pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku
mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro
yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan
Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di
kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke
Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.
Bung Tomo merupakan pribadi yang shaleh dan taat akan agama Islam. Beliau
meninggal dunia ketika sedang melaksanakan ibadah haji di Makkah, tepatnya pada
saat melaksanakan wuquf di Padang Arafah pada tanggal 7 Oktober 1978. Jenazah
Bung Tomo dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel,
Surabaya. Bung Tomo, pahlawan pengobar semangat juang arek-arek Surabaya ini
mendapat gelar pahlawan secara resmi dari pemerintah pada tahun 2008.
b. K.H. Zaenal Mustafa
KH Zainal Mustafa adalah seorang ulama asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang
gugur ketika melakukan pemberontakan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah
RI mengangkatnya sebagai pahlawan nasional pada 6 November 1972 melalui Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064 / TK / Tahun 1972.
K.H. Zainal Mustafa lahir di Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya
padatahun 1899 (pendapat lain menyebut ia lahir tahun 1901 dan 1907) dari pasangan
Nawapi dan Ny. Ratmah. Sewaktu masih kecil ia bernama Umri dan sepulang dari
pesantren berganti nama menjadi Hudaemi. Selain memperoleh pendidikan formal di
Sekolah Rakyat, ia belajar agama dari berbagai pesantren di Jawa Barat yang
membuatnya memiliki pengetahuan agama yang luas dan mahir berbahasa Arab. Di
antaranya Pesantren Gunung Pariselama 7 tahun, Pesantren Cilenga, Singaparna
selama 3 tahun, Pesantren Sukaraja, Garut selama 3 tahun, Pesantren Sukamiskin,
Bandung selama 3 tahun, dan Pesantren Jamanis selama 1 tahun.
Pada 1927 KH Zainal Mustafa mendirikan pesantren yang merupakan cita-
citanya. Pesantren yang ia dirikan dinamai Persantren Sukamanah, bertempat di
Kampung Cikembang Girang Desa Cimerah (sekarang Kampung Sukamanah
DesaSukarapih), Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya. Nama Sukamanah merupakan
nama pemberian dari orang yang mewakafkan tanah pesantren tersebut. Beberapa
tahun kemudian, tahun 1933 K.H Zainal Mustafa bergabung dengan organisasi yang
didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari, Nahdhatul Ulama (NU), dan diangkat sebagai
wakil Ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Zainal Mustafa merupakan kiai muda yang berjiwa revolusioner. Ia menganut
paham pendidikan yang sifatnya "Non Cooperation", tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah Belanda. Secara terang-terangan ia mengadakan kegiatan yang
membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan
penjajah. Melalui khutbah-khutbahnya ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial
Belanda.
c. K. H. Zainul Arifin
KH. Zainul Arifin, seorang pahlawan kemerdekaan yang mengawali perjuangan
pergerakan nasional di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Pada zaman Jepang, pergerakan Zainul Arifin dengan nama organisasi Majelis
Islam Ala Indonesia (MIAI), yang kelak kemudian berganti nama menjadi Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bidang kemiliteran, Zainul pernah menjabat
Panglima Hizbullah (Tentara Allah) untuk seluruh Indonesia dan Sekretaris Pucuk
Pimpinan TNI. Setelah kemerdekaan, ia berturut-turut menjadi anggota Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Sementara (DPRS), Wakil II Perdana Menteri, Wakil Ketua DPR , dan Ketua
DPRGR.
Gemeente Batavia atau Kotapraja Jakarta, itulah pekerjaan Zainul Arifin pada
masa pendudukan Belanda. Dengan demikian, beliau adalah seorang pegawai negeri
yang mendapat upah atau gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Bekerja seperti itu
memang sudah lajim pada zaman itu. Namun bedanya, walaupun bekerja pada
pemerintah Belanda, pria kelahiran Barus, Tapanuli, tahun 1909, ini aktif dalam
pergerakan nasional. Beliau masuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah
organisasi keislaman yang waktu itu juga sekaligus menjadi partai.
Di bidang kemiliteran, Zainul Arifin boleh dikata merupakan salah seorang tokoh
yang sukses. Sebelum masuk ke dunia militer, beliau terlebih dulu latihan militer
selama dua bulan. Selepas menjalani latihan, beliau masuk Hizbullah, sebuah
organisasi semi militer yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda Islam.
Organisasi ini merupakan salah satu laskar di antara sekian banyak laskar bersenjata
di Indonesia yang melakukan perjuangan di samping tentara resmi.
Begitulah perjalanan hidup dan perjuangan salah seorang putra terbaik bangsa,
KH Zainul Arifin. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap mengabdi kepada nusa dan
bangsa. Beliau meninggal dunia di usia 54 tahun, tepatnya pada 2 Maret 1963 di
Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam pahlawan Kalibata, Jakarta.
Mengingat jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, maka negara menganugerahkan gelar
penghormatan kepada KH Zainul Arifin sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Gelar penghormatan tersebut dikukuhkan dengan SK Presiden Republik Indonesia
No.35 Tahun 1963, tanggal 4 Maret 1963.
2.2 Jalur yang Digunakan dalam Berjuang
Jalur Non-Kekerasan
Perjuangan non-kekerasan baru mempunyai bentuk pada akhir abad ke-19, hal
ini disebabkan pada tahun-tahun sebelumnya rakyat Indonesia berjuang dengan cara
kekerasan atau perang namun tidak efisien karena berjuang secara perdaerahan bukan
mengelompok besar atau berbentuk nasional, berjuang karena adanya pemimpin yang
kharismatik dan rentan bubar apabila sang pemimpin wafat, apalagi diperparah
dengan gaya politik licik yang dilancarkan oleh penjajah, politik tersebut bernama
divide et impera. Perjuangan non-kekerasan dimulai dari kalangan terpelajar bangsa
Indonesia yang mendapatkan pendidikan baik yang didapat melalui non-formal
(madrasah dan pesantren) ataupun formal (HIS, HLS, Sekolah Rakyat, MULO, d.s.b).
Dari kalangan terpelajar inilah muncul pemberontakan pemikiran yang dapat
menyadarkan banyak rakyat, sehingga banyak kalangan terpelajar yang dipenjara atau
diasingkan karena karya-karya mereka yang dianggap membahayakan pemerintah
penjajah.
Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam hal berjuang non-kekerasan, semisal
Ir. Soekarno dengan orasi dan buku-bukunya, K.H. Wahid Hasyim dengan
pesantrennya, K.H. Mas Mansur dengan kepiawaiannya mencari celah membuat
kebijakan yang dibentuk pemerintah penjajah, dan sebagainya. Perjuangan ini bisa
dikatakan efektif karena tidak menimbulkan banyak jatuh korban namun dapat
memicu pemberontakan yang luas dan mencerahkan pemikiran rakyat.
Memerdekakan Indonesia tidak cukup dengan mengangkat senjata, pada dasarnya
sebuah negara diakui oleh negara lain itu juga karena peran aktif para tokoh yang
bergerak secara diplomatis dan tentunya non-kekerasan untuk mengusahakan
terbentuknya Indonesia secara de facto dan de jure. Bahkan sesudah kemerdekaan pun
para tokoh ini dibutuhkan untuk memimpin dan mengarahkan rakyat Indonesia ke
gerbang kesajahteraan.
Agama Islam adalah agama yang mencintai kemerdekaan dan membenci segala
bentuk perbudakan, bahkan dalam syari’ar-syari’atnya ada beberapa ketentuan yang
harus membebaskan budak apabila melanggar syari’at tersebut, semisal orang yang
melakukan hubungan suami-istri di siang hari di waktu puasa Ramadhan, ia wajib
memilih salah satu dari tiga hukuman, yaitu: memberi makan 60 orang fakir miskin,
membebaskan budak, atau berpuasa tiga bulan berturut-turut. Oleh karena itu, agama
yang paling membenci dan paling rajin mengusir penjajah adalah agama Islam.
Agama Islam tidak hanya mengajarkan jihad, namun juga mengajarkan
mengusahakan kemerdekaan dengan cara yang paling damai, itulah jalan non-
kekerasan.
Cara pengusiran penjajah Jepang juga memakai jalur non-kekerasan, dan cara yang
paling disukai ialah bergabung dengan organisasi massa besar. Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) adalah organisasi pelopor yang menyatukan beberapa organisasi
terkemuka di Indonesia menjadi satu induk. Badan federasi yang dibentuk dari hasil
pertemuan pada tanggal 18-21 September 1937 ini dipelopori oleh K.H. Hasyim
Asy’ari, badan federasi ini pula menarik hati K.H Mas
Mansur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Syarekat Islam. MIAI
mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam menghadapi
politik Belanda seperti menolak undang-undang perkawinan dan wajib militer bagi
umat Islam. KH Hasyim Asy'ari menjadi ketua badan legislatif dengan 13 organisasi
tergabung dalam MIAI.
Masyumi menjadi badan federasi yang kuat karena kenyataannya bahwa dia
merupakan suatu manifestasi persetujuan kerja antara Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama’, gabungan keduanya bukan fusi paksaan antara islam modernis dan
tradisional. Meskipun begitu, kelahiran Masyumi juga menimbulkan kebencian kaum
nasionalis, karena kehadiran Masyumi bisa dikatakan cepat bertumbuh pada sembilan
bulan pertama pada tahun 1944 sedangkan kekuatan kaum nasionalis merosot. Belum
lagi Masyumi menghadapi keirian dari berbagai serikat-seikat lain karena serikat
selain Masyumi tidak diakui oleh pemerintah Jepang.
Perjuangan non-kekerasan mebuahkan hasil, pada tanggal 7 September 1944 Perdana
Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan “di masa depan yang dekat”. Janji ini
menimbulkan euforia di kalangan masyarakat namun cepat menjadi uap ketika Jepang
menyerah kepada sekutu karena Hiroshima dan Nagasaki di bom nuklir. Perubahan
yang cepat dan vacum of power (kekosongan kekuasaan) menyebabkan rakyat
menjadi bingung, namun perubahan tersebut disiasati dengan menyatakan
kemerdekaan Indonesia secara de facto.
Jalur Peperangan
Jalur peperangan dilakukan karena adanya ketidakpuasan antara dua belah
pihak. Dalam hal ini antara penjajah dan yang dijajah. Sejarah manusia penuh
diwarnai darah peperangan, mulai dari peperangan Troya yang terkenal hingga Perang
Dunia II. Meskipun peperangan dibenci, namun jalur ini sering dilakukan demi
mencapai tujuan. Peperangan tak semuanya buruk, peperangan yang dilandaskan
semangat memerdekakan diri atau mencapai tujuan yang diridhoi Allah, peperangan
inilah yang baik.
1. Penyebab perang disebabkan oleh alasan perolehan ekonomi, diukur dalam hal
perolehan sumber daya alam seperti emas, perak, minyak, atau monopoli perdagangan
atau akses pasar, bahan mentah (raw materials) dan investasi.
2. Perang dilangsungkan untuk alasan keamanan, untuk menentang atau melawan
ancaman yang datang dari luar terhadap integritas bangsa ataupun kemerdekaan
3. Permasalahan perang dilancarkan untuk mendukung tujuan ideologi, political faith,
atau menyebarluaskan nilai-nilai agama.
Ketiga penyebab perang diatas dihadapi oleh rakyat Indonesia. Jadi, tidak
salah apabila umat Islam melakukan peperangan karena tiga prinsip diatas mengenai
mereka, terutama mengenai prinsip ketiga, rakyat Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam kemudian disuruh tunduk kepada pimpinan yang non-
Islam jelas menimbulkan bibit-bibit kebencian, apalagi Jepang juga memaksakan
budaya mereka yang terlalu hormat kepada kaisar, yaitu budaya sekirei..
Tanggal 14 Februari 1945 kemudian dipilih sebagai waktu yang tepat untuk
melaksanakan pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh
anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA
yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan. Tujuannya adalah untuk
menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah
lain.
Shodancho Supriyadi beserta para komandan dan anggota PETA di Blitar juga
dihadapkan pada posisi sulit. Apabila terus melanjutkan perlawanan, mereka akan
kalah karena jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan jumlah tentara
Kekaisaran Jepang. Namun, jika perlawanan dibatalkan pun tentara Kekaisaran
Jepang sudah mengetahui rencana aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para
pemberontak akan ditangkap, lalu dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni
hukuman mati.
Tepat tanggal 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA
pimpinan Shodancho Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi
kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang. Markas Kempetai juga ditembaki
senapan mesin. Akan tetapi ternyata kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan,
karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA. Dalam aksi
yang lain, salah seorang bhudancho (bintara) PETA merobek poster bertuliskan
"Indonesia Akan Merdeka" dan menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah
Merdeka!"
Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar akhirnya ditangkap
dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili di Jakarta. Sebanyak enam
orang divonis hukuman mati di Ancol pada tanggal 16 Mei 1945, enam orang
dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan.
Selanjutnya para patriot pembela tanah air bergabung dalam PETA (Pembela
Tanah Air) dan TREP (Tentara Indonesia Pelajar) sebagian besar adalah pemuda-
pemuda muslim yang taat agamanya. Dari fakta-fakta tersebut ,jelaslah eksistensi
perjuangan umat Islam dalam mencapai kemerdekaan benar-benar positif meskipun
tidak meliputi seluruh bagian , tetapi tidak dapat disangkal kaum muslim mengambil
bagian besarnya. Kalau ada perjuangan atas nama yang lain tetapi sebagian besar
pendukung perjuangan umat Islam.
Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967
adalah sebagai berikut :
Pendidikan
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu tugas penting yang dilakukan
Departemen Agama adalah menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi
pendidikan agama. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam
beberapa bentuk pendidikan Islam zaman penjajahan Belanda. Salah satu bentuk
pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai
pelosok. Tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Lembaga ini dipimpin
oleh seseorang ulama atau kiai. Untuk tingkat kelanjutan, tidak ada kurikulum yang
jelas pada lembaga ini. Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan,
kesungguhan, dan ketekunan masing-masing.
Hukum Islam
Salah satu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh
Departemen Agama adalah hokum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia
membatasi dirinya pada soal-soal hokum muamalat bersifat peribadi. Hokum
muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai, rujuk; hokum warisitu.
(paraid/manicure faraidh, wakaf hibah dan baitul mal.
Dalam pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres
tersebut, Majelis Ulama Indonesia berfungsi :
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tokoh-tokoh yang turut berjuang dalam mengusir penjajah banyak jumlahnya,
mayoritas dari mereka adalah beragama Islam. Peran serta tokoh Islam ini tidak bisa
dipandang sebelah mata karena perjuangan melalui jalur non-kekerasan maupun
peperangan mereka yang mendominasi dapat membuat perubahan yang signifikan.
Pengusiran para penjajah itu karena sumbangsih mereka yang sangat besar.
Cara perjuangan yang dilakukan umat Islam bisa dibagi menjadi dua jalur, yakni
jalur non-kekerasan dan peperangan. Keduanya penting dan saling mempengaruhi
satu sama lain. Peperangan dapat mengusir musuh namun juga butuh usaha diplomatis
untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia secara de facto maupun de jure. Tidak ada
anggapan orang yang berperang lebih baik daripada orang yang menggunakan jalur
non-kekerasan, karena keduanya memberikan perubahan besar menuju Indonesia
merdeka.
Setelah Indonesia merdeka dari tangan para penjajah, Indonesia mulai berbenah
diri, termasuk umat Islam. Dalam pengembangannya Masyumi berubah menjadi
partai politik dan turut serta dalam kancah pemilu di Indonesia. Sesudah
dibubarkannya Masyumi, muncullah beberapa lembaga atau instansi yang mewakili
agama Islam di Indonesia, seperti Departemen Agama dan Majelis Ulama’ Indonesia
(MUI). Perkembangan ini penting karena ini merupakan bukti eksistensi Islam
sesudah kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Goto, Ken’ichi. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. penerjemah: Hiroko
Otsuka, Nandang Rahmat dan Edy Mulyadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang. Penerjemah: Daniel Dhakidae. Bandung: Pustaka Jaya
Aqsha, Darul. 2005. Kiai Haji Mas Mansur (1986-1946) Perjuangan dan Pemikiran. Jakarta:
Erlangga.