Anda di halaman 1dari 4

Tugas Mata Kuliah Aqidah Islam

Tokoh Muhammadiyah dan Keistimewaannya

Oleh Dosen: Okrisal Eka Putra, Dr.,LC.,M.Ag

Disusun Oleh:

1. Wahyu Anggraeni 1700013140


2. Kelas: B

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2018
TOKOH MUHAMMADIYAH

KYAI HAJI IBRAHIM (1923-1933)

A. PROFIL KYAI HAJI IBRAHIM


Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya
agar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji
Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama
besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas
desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi,
akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan
pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai
Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja‘, 1933: 232).
K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah
putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta
pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII OGRE(Soedja‘. 1933: 227), dan ia
merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan. Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah
binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja‘, 1933:228) pada tahun 1904.
Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya
segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah
dengan ibu Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu
Moechidah).
Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu
sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998. Menurut penilaian
para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim merupakan potret wanita zuhud,
penyabar, gemar sholat malam dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah
maka Hj. Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan (Suara ‘Aisyiyah. No.1/1999:
20). Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji
Al-Qur’an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh
saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada
usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8
tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.
K.H. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal
sebagai ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, K.H. Ibrahim mendapat
sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk
mengaji ke hadapan K.H. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas,
luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) Al-Quran dan
ahli qira’ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa,
ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam
penghafalan Al-Qur’an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika
dalam pidato pembukaan (khutbah al-’arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah)
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia
menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

B. KEISTIMEWAAN/PERISTIWA PENTING
a. Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim memakai metode sorogan dan weton
Sorogan adalah mengaji dengan diajar satu per satu, terutama untuk
anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu; sedangkan weton
adalah kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan
memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari,
kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode
tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul
07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, dan pada sore hari sesudah
ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton.
b. Ia adalah seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan ahli qira'ah (seni baca
Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab
c. Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan
membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga
mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan
perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga
Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar
disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
d. Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh
kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus memilihnya
sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah
Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah
yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Anda mungkin juga menyukai