Anda di halaman 1dari 28

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Endometriosis
a. Pengertian

Endometriosis merupakan penyakit inflamasi yang ditandai dengan


tumbuhnya jaringan abnormal dengan struktur menyerupai
endometrium secara ektopik dan memicu reaksi peradangan (HIFERI
dan POGI, 2017). Definisi lain endometriosis yang umum digunakan
yaitu keberadaan kelenjar dan stroma endometrial pada lokasi ektopik,
umumnya pada peritoneum pelvis, ovarium, dan septum retrovaginalis
(Burney dan Giudice, 2012).
Berdasarkan kedalaman susukan lesi di lokasi ektopik,
endometriosis sering bermanifestasi dalam tiga bentuk, yaitu pada
peritoneum atau endometriosis superfisial, pada ovarium hingga dapat
membentuk kista endometrioma, dan endometriosis deep infiltrative
atau susukan dalam (Lasmar, et al., 2012).

b. Etiologi
Penjelasan mengenai awal kemunculan jaringan endometrium
ekstrauterin pada endometriosis masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa teori berbeda telah dicetuskan oleh para ahli. Teori-teori
tersebut dapat dikelompokkan menjadi teori-teori yang menyatakan
bahwa jaringan endometriosis yang muncul berasal dari endometrium
intrauterin yang berpindah ke lokasi-lokasi ekstrauterin serta teori yang
mendukung bahwa jaringan endometriosis berasal dari jaringan lain
diluar uterus.

1) Menstruasi Retrograde
Teori ini merupakan prinsip tertua yang menjelaskan perjalanan
penyakit endometriosis. Seorang ahli ginekologis bernama John

1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sampson pertama kali mengamati adanya pergerakan bebas darah


dan bagian dari jaringan endometrium dari tuba falopii menuju ke
ruang peritoneum saat melakukan laparotomi pada pasien yang
sedang mengalami menstruasi (Patel, et al., 2018).

2) Metaplasia Selomik
Masa perkembangan embrio melibatkan pembentukan selom,
rongga berisi cairan yang akan mengalami perubahan morfologis
dan diferensiasi untuk membentuk janin secara sempurna. Rongga-
rongga tersebut dilapisi oleh lapisan epitel selomik (celomic
epithelium) yang berasal dari lempeng mesoderm. Lapisan epitel
tersebut berperan penting dalam pembentukan organ viseral
dikarenakan kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi sel
mesenkim yang multipoten (Laura, et al., 2016). Epitel selomik yang
tidak terdiferensiasi menjadi sel-sel mesenkim akan bermanifestasi
sebagai mesothelium pada tubuh manusia dewasa.
Terdapat dugaan bahwa endometriosis berasal dari sel-sel
ekstrauterin. Teori metaplasia selomik (coelomic metaplasia) dalam
etiologi endometriosis menyebutkan bahwa sel-sel terspesialisasi
yang berada pada lapisan mesothelium pada peritoneum visceralis
dan peritoneum abdominalis dapat bertransdiferensiasi secara
abnormal atau mengalami metaplasia menjadi jaringan mirip
endometrium (Sourial, et al., 2014). Hal-hal yang dapat
menginduksi terjadinya metaplasia pada sel-sel tersebut masih
belum diketahui secara pasti. Terdapat keterlibatan sistem imun dan
faktor hormonal sebagai dua hal yang dapat menstimulasi sel-sel
peritoneum normal menjadi jaringan yang menyerupai endometrium
(Burney dan Giudice, 2012).

3) Metastasis Limfatik dan Vaskuler


Endometriosis dapat ditemukan di bagian tubuh yang terletak
jauh dari pelvis, contohnya pada regio thoraks (Sonavane, et al.,

2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2011). Teori metastasis menjelaskan hipotesis bahwa jaringan


menstrual berpindah dari endometrium ke limfonodi terdekat untuk
selanjutnya berhalan melalui pembuluh limfa dan vena menuju ke
bagian tubuh yang jauh (Patel, et al., 2018). Dugaan keterlibatan
persebaran melalui sistem limfatik dapat menjelaskan keberadaan
jaringan endometrium pada pembuluh limfa dan limfonodi pada
beberapa penderita (Jerman dan Hey-Cunningham, 2015).

c. Patofisiologi
1) Gangguan Hormon
Estrogen dan progesteron merupakan dua hormon yang
memegang fungsi sistem regulasi daripada jaringan endometrium,
diperkirakan keduanya meregulasi ekspresi dari ratusan gen yang
berperan dalam berbagai fase siklus menstruasi (Bulun, et al., 2012).
Estradiol dan progesteron memicu perkembangan histologis pada
jaringan endometrium. Perubahan histologis akan terjadi pada
jaringan endometrium, yang terpapar estradiol dan progesteron, baik
jaringan eutopik maupun jaringan ektopik. Estrogen endogen
fisiologis dalam tubuh manusia disintesis dalam tiga bentuk utama
yaitu estron (E1), estradiol atau 17β-estradiol (E2), dan estriol (E3)
(Cui, et al., 2013).
Dalam kondisi fisiologis, hormon estrogen diproduksi oleh sel
folikel ovarium secara siklik sepanjang siklus menstruasi (Hawkins
dan Matzuk, 2010). Estradiol, bentuk paling poten dari hormon
estrogen, memegang peranan penting dalam kemampuan sel
endometrium untuk tetap bertahan dan berproliferasi secara ektopik
pada endometriosis. Menurut Bulun (2009), estradiol dapat
mencapai lokasi lesi endometriosis yang tumbuh secara ekstrauterin
melalui beberapa jalur. Pertama, estradiol yang diproduksi oleh sel
folikel ovarium mencapai lokasi endometriosis melalui sirkulasi.
Kedua, enzim aromatase yang terdapat pada jaringan perifer

3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mendukung pengubahan androstenedion menjadi estron untuk


kemudian dikonversi lanjut menjadi estradiol dan selanjutnya
estradiol menuju ke lokasi endometriosis melalui sirkulasi. Hormon
estrogen yang diproduksi diluar kelenjar gonad dikenal sebagai
estrogen ekstragonad (Bracht, et al., 2019). Ketiga, kemampuan lesi
endometriosis untuk mengubah kolesterol menjadi estradiol karena
mampu mengekspresi gen enzim aromatase.
Puncak kadar hormon progesteron terjadi pada fase luteal
dalam siklus menstruasi dan dapat menjadi penanda yang baik
terhadap terjadinya ovulasi (Marcinkowska, 2020). Kadar
progesteron yang tinggi saat ovulasi berfungsi untuk menurunkan
ekspresi gen-gen yang berhubungan dengan replikasi DNA sehingga
saat siklus menstruasi memasuki awal fase sekretorik, proliferasi
jaringan endometrium dapat terhambat (Patel, et al., 2017). Pada
endometriosis, terjadi penurunan respon sel terhadap hormon
progesteron. Hal ini dapat diketahui melalui gen-gen yang berperan
dalam regulasi siklus sel seperti Proliferating Cell Nuclear Antigen
(PCNA), Ki67, forkhead box protein O1 (FOXO1), dan Mitotic
Arrest Deficient-like 1 protein (MAD2LI), yang seharusnya
menurun pada pada awal fase sekretori pada wanita normal,
mengalami peningkatan pada wanita dengan penyakit endometriosis
ringan hingga berat (Patel, et al., 2017).
Mekanisme pasti yang menjelaskan bagaimana penurunan
respon sel terhadap hormon progesteron masih belum diketahui.
Pada beberapa pasien endometriosis terjadi peningkatan ringan
kadar hormon progesteron sistemik, sedangkan pasien lainnya tidak
menunjukkan perbedaan dengan kondisi normal (Patel, et al., 2017).
Sehingga, alterasi respon sel terhadap hormon progesteron pada
penyakit endometriosis disebabkan oleh faktor selain perubahan
kadar hormon progesteron sistemik. Resistensi terhadap progesteron
merupakan hal yang terjadi pada jaringan endometrium pasien

4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan endometriosis, dibuktikan dengan adanya perubahan pada


ekspresi isoform reseptor progesteron PR-A dan PR-B, koaktivator
reseptor steroid, dan berbagai efektor lain yang dapat menurunkan
efektivitas kerja hormon progesterone pada sel endometrium (Patel,
et al., 2017).
Selain peningkatan hormon estrogen yang berasal dari dalam
tubuh, paparan terhadap senyawa menyerupai estrogen dari luar juga
merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung perkembangan
endometriosis. Endocrine Disrupting Chemicals atau EDC diartikan
sebagai zat kimia eksogen yang dapat memberikan pengaruh
terhadap aspek apa saja dalam aksi hormon di tubuh manusia
(Zoeller, et al., 2012). Estrogen eksogen merupakan faktor potensial
yang mendukung perjalanan patogenesis endometriosis,
sebagaimana dengan estrogen endogen yang diproduksi oleh tubuh
(Burney dan Giudice, 2012). Salah satu contoh EDC yang dapat
memicu perkembangan jaringan endometrial secara ekstra uterin
adalah 2,3,6,8-tetrachlorodibenso-p-dioxin (TCDD) dan dioxin-like
polychlorinated bisphenyls (PCB) yang dibuktikan melalui
penelitian pada monyet rhesus (Smarr, et al., 2016).
Dioxin umumnya merupakan hasil samping dari aktivitas
industrial, namun juga dapat berasal dari fenomena alam contohnya
erupsi vulkanik dan kebakaran hutan. Lebih dari 90 persen paparan
dioxin pada manusia terjadi melalui konsumsi makanan, terutama
daging, olahan susu, ikan, dan hasil laut (WHO, 2016). Perlindungan
sumber pangan dari paparan dioxin secara langsung maupun
sekunder melalui rantai makanan perlu dilakukan untuk
menghindari efek buruk yang dapat ditimbulkan.

2) Reaksi Sistem Imun


Endometriosis merupakan sebuah kondisi inflamatorik kronik
yang terjadi berhubungan dengan adanya deposit jaringan

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

endometrial yang tumbuh dan berkembang secara ektopik


(ekstrauterin). Dalam proses perkembangan jaringan endometrium
secara ekstrauterin, rangkaian reaksi imun dan inflamasi lokal
memegang peran penting untuk kebertahanan jaringan endometrium
di lokasi ekstrauterin. Keberadaan jaringan endometrium pada
lokasi ektopik memicu reaksi inflamasi lokal melalui rekrutmen sel-
sel imun ke lokasi tersebut, sebagai respon terhadap jaringan
endometrium yang terinterpretasi sistem imun tubuh sebagai
jaringan rusak (Herington, et al., 2011). Keterlibatan reaksi
inflamasi dalam pekembangan penyakit endometriosis dibuktikan
melalui kadar sitokin proinflamasi IL-1β, IL-6, dan TNF-α serum
pada wanita dengan endometriosis lebih tinggi dibandingkan
kelompok wanita sehat yang bertindak sebagai kontrol (Malutan, et
al., 2015). Peningkatan ekspresi protein sitokin IL-8, yang
merupakan kemoatraktan kuat terhadap sel neutrofil, juga
dilaporkan meningkat pada lesi endometriosis (Symons, et al.,
2019).
Kegagalan sistem imun non spesifik (innate immune system)
dalam mengeliminasi jaringan endometrium merupakan peristiwa
yang terjadi pada endometriosis. Kegagalan ini dapat terjadi
dikarenakan menurunnya sitotoksisitas sel Natural Killer (NK) dan
sel limfosit T, menurunnya kemampuan fagosit sel makrofag, dan
meningkatnya jumlah sel neutrofil pada peritoneum (Herington, et
al., 2011). Selanjutnya, sitokin dan growth factor yang disekresi
oleh sel-sel imun tersebut, terdapat reaksi inflamasi yang dimediasi
sistem imun yang, bersamaan dengan lesi endometriosis,
menghasilkan sitokin, growth factor, dan zat-zat angiogenik dengan
jumlah yang tinggi (Malutan, et al., 2015). Hal-hal tersebut akan
menunjang kemampuan bertahan sel endometrium secara
ekstrauterin.

6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d. Manifestasi Klinis
Menurut pedoman (guidline) European Society of Human
Reproduction and Embryology (ESHRE) tentang manajemen
endometriosis, riwayat keluhan yang memiliki nilai guna untuk menjadi
pedoman menentukan diagnosis endometriosis diantaranya adalah
dismenorea berat pada wanita infertile, dismenorea, nyeri pelvis kronis
(chronic pelvic pain), nyeri abdominopelvis, perdarahan berat saat
menstruasi, perdarahan pasca koitus dan/atau riwayat terdiagnosis kista
ovarium, dispareunia dalam (deep dyspaneuria), keluhan intestinal
siklik (irritable bowel syndrome), dan penyakit inflamatori pelvis
(pelvic inflammatory disease) (Johnson, et al., 2017).
Adapun persentase kejadian gejala endometriosis pada
penderitanya menurut Konsensus Tatalaksana Nyeri Endometriosis
adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1: Gejala Klinis Pasien Endometriosis (HIFERI dan POGI, 2017)

Gejala Presentase (%)

Nyeri haid 62

Nyeri pelvis kronis 57

Dispareunia dalam 55

Keluhan intestinal siklik 48

Infertilitas 40

1) Nyeri Haid
Nyeri haid atau dismenorea dapat berupa kumpulan gejala
seperti nyeri abdomen, kram dan nyeri punggung (lumbago), yang
berhubungan dengan menstruasi. Nyeri haid pada penderita
endometriosis terjadi akibat abnormalitas pada kontraksi uterus dan
keberadaan lesi yang memicu sensasi nyeri (Harada, 2013).

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2) Nyeri Pelvis Kronis


Menurut European Association of Urology (EAU), nyeri pelvis
kronis atau chronic pelvic pain adalah nyeri kronis atau nyeri
berkelanjutan pada bagian tubuh yang berhubungan dengan pelvis
(panggul) (Engeler, et al., 2015). Nyeri yang dirasakan pasien dapat
berupa sensasi nyeri berkelanjutan selama enam bulan atau lebih
atau berupa nyeri hilang timbul secara siklik selama kurun waktu
yang sama. Pemeriksaan fisik lebih lanjut diperlukan untuk
mengetahui kondisi kesehatan tertentu yang mendasari munculnya
nyeri pelvis kronis pada pasien.
Pada endometriosis, nyeri pelvis kronis dapat muncul
dikarenakan perubahan sistem inervasi pada lokasi di sekitar lesi
endometriosis (Coxon, et al., 2018). Perubahan tersebut bervariasi
tergantung pada kedalaman susukan lesi dan letak lesi. Hal ini
menjelaskan kemungkinan perbedaan kualitas nyeri endometriosis
dapat diantara pasien berdasarkan perbedaan lokasi berkembangnya
lesi. Endometrioma ovarium terinervasi secara kurang baik
dibandingkan endometriosis dengan tipe dan lokasi lainnya
(McKinnon, et al., 2012).

3) Dispareunia Dalam
Dispareunia merupakan istilah yang digunakan untuk keluhan
nyeri yang timbul saat pasien melakukan aktivitas seksual penetratif.
Dispareunia dan vaginismus selanjutnya disatukan sebagai
gangguan nyeri/penetrasi genito-pelvis dan tercantum dalam The
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5)
sebagai DSM-5 302.76 (F52.6): Genito-Pelvic Pain or Penetration
Disorder (The American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG), 2019; American Psychiatric Association,
2013).

8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pengelompokan dispareunia sebagai superfisial dan dalam


didasarkan pada lokasi nyeri yang dirasakan pasien ketika terjadi
penetrasi dalam hubungan seksual (Orr, et al., 2019). Dispareunia
superfisial dirasakan pasien berupa nyeri pada introitus vagina saat
awal penetrasi dan seringkali membuat penetrasi tidak dapat
dilanjutkan. Pada dispareunia dalam, rasa nyeri sekitar rongga
panggul akan dirasakan pasien saat penetrasi secara dalam. Menurut
etiologinya, dispareunia superfisial dapat disebabkan oleh
vestibulodynia, disfungsi diafragma pelvis, adanya dermatosis pada
vulva, dan sindrom genitourinaria pada wanita menopause (Orr, et
al., 2019).
Dispareunia dalam merupakan salah satu tanda kardinal dari
endometriosis yang dapat ditemukan pada 55% penderita (Tabel 1).
Meski demikian, penanganan pasien dengan keluhan dispareunia
dalam dengan kecenderungan menderita endometriosis memerlukan
pemeriksaan lanjut untuk mengetahui kemungkinan penyebab lain
yang tidak berhubungan dengan endometriosis atau bahkan menjadi
faktor komorbid endometriosis (Orr, et al., 2019). Gejala
dispareunia dalam yang dialami pasien endometriosis timbul
melalui mekanisme proliferasi serabut saraf melalui jalur kenaikan
ekspresi Nerve Growth Factor (NGF) pada lesi endometiosis
(Kajitani, et al., 2013). Selain melalui proliferasi serabut saraf,
diduga terdapat alterasi sistem sensitisasi rasa sakit dan alterasi
sistem myofasial yang terlibat (Orr, et al., 2018).

4) Keluhan Intestinal Siklik


Pasien dengan endometriosis dapat mengalami gejala-gejala
gastrointestinal, seperti nyeri pada abdomen, rasa kembung dan
mual, konstipasi, muntah, dan diare. Hal yang mungkin mendasari
timbulnya gejala tersebut yaitu fenomena hipersensitivitas viseral
atau visceral hypersensitivity. Hipersensitivitas viseral berkaitan

9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan gejala gastrointestinal merupakan perubahan sensasi pasien


terhadap rangsangan fisiologis, yang ditandai dengan kepekaan
pasien terhadap peningkatan stimulus mekanis seperti perubahan
tekanan atau volume pada organ pencernaan (Farzael, et al., 2016).
Hipersensitivitas viseral dapat timbul melalui mekanisme
neuroimunologis yakni aktivasi sel mast dan pelepasan mediator
inflamasi disekitar saraf aferen perifer bagian distal, menyebabkan
peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan mekanik dan rasangan
zat kimia seperti ATP dan bradikinin (Farzael, et al., 2016; Ek, et
al., 2015). Walaupun memiliki nilai diagnostik untuk
memperkirakan adanya endometriosis usus, gejala gastrointestinal
tidak berhubungan secara signifikan dengan lokasi berkembangnya
lesi endometriosis (Ek, et al., 2015).
Gejala gastrointestinal yang dirasakan pasien memungkinkan
adanya keterkaitan antara endometriosis dengan sindrom iritasi usus
atau irritable bowel syndrome. Gejala gastrointestinal dapat muncul
pada penderita endometriosis dengan atau tanpa faktor komorbid
berupa sindrom iritasi usus (Issa, et al., 2016). Keberadaan dua
kondisi patologis tersebut secara bersamaan berhubungan dengan
meningkatnya rasa nyeri yang dirasakan penderita, terutama saat
sedang dalam masa menstruasi (Ek, et al., 2015).

5) Infertilitas
Infertilitas primer diartikan sebagai tidak berhasilnya suatu
pasangan unutk mendapatkan kehamilan sekurang-kurangnya dalam
12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi,
sedangkan infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang
memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya. Infertilitas
idiopatik mencakup pasangan infertil yang memiliki hasil normal
dalam pemeriksaan kesuburan yang meliputi tes ovulasi, patensi

10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tuba, dan analisis semen (HIFERI, PERFITRI, IAUI, dan POGI,


2013).
Infertilitas yang dialami oleh penderita endometriosis dapat
terjadi karena berbagai faktor. Rasa sakit akibat dispareunia dapat
menyebabkan pasien menghentikan aktivitas hubungan seksual
sehingga pembuahan tidak terjadi (Wahl, et al., 2020). Perubahan
fisiologis sistem reproduksi yang timbul pada endometriosis juga
mempengaruhi kesuburan pasien. Kondisi inflamasi kronis
menimbulkan gangguan pada proses ovulasi dan mengurangi
kualitas sperma yang sedang berada di tubuh wanita endometriosis
(Macer dan Taylor, 2012). Sementara itu, keberadaan lesi
edometriosis pada organ reproduksi, misalnya pada kasus
endometrioma ovarium, berpotensi memberikan hambatan mekanis
pada pelepasan ovum (Holoch dan Lessey, 2010).
Perubahan respon endometrium terhadap progesteron yang
dihasilkan pada fase luteal memungkinkan adanya penurunan
reseptifitas pada endometrium (Macer dan Taylor, 2012). Namun,
sebuah studi dengan perbandingan kelompok kontrol menunjukkan
bahwa wanita dengan endometriosis memiliki kemampuan
implantasi normal meskipun dengan tingkat fertilisasi yang lebih
rendah (Singh, et al., 2014). Penyebab yang lebih kuat atas
kegagalan implantasi pada pasien endometriosis yaitu
ketidakmampuan embrio yang terbentuk untuk melakukan
implantasi (Gauché-Cazalis, et al., 2012), kemungkinan disebabkan
oleh penurunan kualitas gamet pembentuk sebagaimana telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya.
e. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan untuk memprediksi adanya
endometriosis dan menyimpulkan dugaan letak pertumbuhan jaringan
endometrium ektopik pada endometriosis di rongga pelvis. Adapun

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

rekomendasi tindakan pemeriksaan fisik untuk pasien dengan dugaan


endometriosis menurut ESHRE adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2: Rekomendasi Pemeriksaan Klinis untuk Pedoman Diagnosis


Endometriosis (Johnson, et al., 2017).

Pemeriksaan fisik Derajat


rekomendasi

Pemeriksaan fisik genitalia, pemeriksaan vagina.


Apabila pasien merupakan remaja putri tanpa riwayat
berhubungan seksual maka dapat dilakukan GPP
pemeriksaan rektal.
Penegakkan diagnosis endometriosis dalam dapat
dipertimbangkan apabila ditemukan indurasi, nyeri,
dan/atau nodul pada dinding rektovaginal yang C
ditemukan melalui pemeriksaan, atau nodul pada forniks
posterior vagina yang dapat terlihat

Penegakkan diagnosis endometrioma ovarium dapat


dipertimbangkan pada wanita dengan massa adneksa C
yang ditemukan saat pemeriksaan fisik.

Penegakkan diagnosis endometriosis dapat


dipertimbangkan pada wanita yang terduga kuat
C
menderita endometriosis, meskipun hasil pemeriksaan
fisik normal.

Keterangan: GPP: Good Practice Point, pendapat para ahli; C: berdasarkan


uji acak tunggal, uji non-acak besar, dan studi kontrol kasus/stutdi kohort
dengan kualitas sedang

f. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis endometriosis pada wanita. Rekomendasi

12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan oleh HIFERI dan POGI


(2017) diantaranya mencakup pemeriksaan penanda biokimiawi
(pemeriksaan IL-6, TNF-α, CA-125, caspase-3, caspase-9, dan matriks
metalloproteinase-9) dan pencitraan (ultrasonografi/USG transvaginal,
Magnetic Resonance Imaging/MRI, dan laparoskopi. Dalam penetapan
diagnosis endometriosis, laparoskopi merupakan baku emas dan dapat
ditunjang dengan hasil pemeriksaan histopatologi yang mendukung
(HIFERI dan POGI, 2017).
Penggunaan penanda biokimiawi sebagai pemeriksaan non-invasif
dalam penegakan diagnosis endometriosis didasarkan pada patofisologi
penyakit yang berkaitan dengan proses inflamasi. Sampel dapat
diperoleh dari serum atau plasma, urin, dan cairan endometrium atau
cairan menstruasi yang diambil melalui fornix posterior vagina atau
serviks saat dilakukannya pemeriksaan inspekulo (Fassbender, et al.,
2015). Cairan peritoneum juga dapat digunakan sebagai sampel untuk
pemeriksaan yang bersifat semi-invasif. Penanda biokimiawi lainnya
yang tidak berkaitan dengan proses inflamasi, seperti CA-125,
merupakan indikator yang digunakan untuk mendeteksi adanya massa
dalam rongga pelvis serta memiliki peran penting sebagai prediktor
endometriosis pada pasien (Karimi-Zarchi, et al., 2016).
Pencitraan lini pertama yang dapat dilakukan dalam penegakkan
diagnosis endometriosis yaitu pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Transvaginal (HIFERI dan POGI, 2017). Pemeriksaan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dikategorikan sebagai pemeriksaan lini
kedua dan bersifat lebih superior dibandingkan USG Transvaginal
dikarenakan kemampuannya yang lebih baik dalam visualisasi
endometriosis deep infiltrative (Foti, et al., 2018).

g. Diagnosis
Diperlukan penggalian informasi riwayat kesehatan dan
pemeriksaan fisik secara teliti untuk menetapkan diagnosis

13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

endometriosis pada pasien. Dokter harus menyingkirkan kemungkinan


penyebab-penyebab non-ginekologis yang dapat melatarbelakangi
munculnya keluhan utama nyeri panggul yang muncul pada pasien,
seperti masalah pencernaan atau saluran kemih (Armstrong, 2011).
Untuk mendukung tujuan tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang yang tepat.
Diagnosis definitif endometriosis dapat dicapai melalui
pemeriksaan histologis lesi endometriosis yang didapatkan melalui
tindakan operatif pengangkatan massa. Secara mikroskopis, pada lesi
endometriosis dapat ditemukan gambaran kelenjar endometrium (sel-sel
epitel Müllerian, dapat disertai atipia atau metaplasia), stroma
endometrium, dan tanda-tanda pendarahan kronis yang meliputi
timbunan (laden) hemosiderin atau adanya sel busa (foamy
machrophage) (Han, et al., 2020).
Untuk menilai keparahan atau severitas penyakit, American Society
of Reproductive Medicine (ASRM) membagi endometriosis menjadi
empat derajat keparahan dengan mempertimbangkan letak, luas,
kedalaman implantasi sel endometrium ektopik, dan ukuran lesi serta
ada tidaknya perlengketan lesi pada struktur disekitarnya (Johnson, et
al., 2017). Keempat derajat keparahan endometriosis berturut-turut
secara bertingkat yaitu minimal, ringan (mild), sedang (moderate), dan
berat (severe).

14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.1: Derajat keparahan (severitas) endometriosis (Johnson, et al.,


2017).

.
h. Tatalaksana
Tatalaksana endometriosis sebagai penyakit kronis terdiri atas
tatalaksana konservatif nyeri endometriosis dan tatalaksana bedah nyeri
endometriosis (HIFERI dan POGI, 2017). Dalam pemilihan tatalaksana
untuk pasien, dokter harus mempertimbangkan kondisi pasien seperti
usia, ada atau tidaknya massa, dan keinginan pasien untuk memiliki
keturunan.

15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pelaksanaan terapi konservatif endometriosis dilakukan untuk


mengurangi gejala berkaitan dengan endometriosis yang muncul pada
penderita. Terapi supresi hormon menjadi pilihan untuk mengobati
endometriosis dan meredakan gejala yang timbul pada pasien
(Dunselman, et al., 2014), mengingat bahwa hormon-hormon seperti
hormon esterogen memiliki pengaruh besar dalam perjalanan penyakit.
Regimen terapi hormonal yang dapat digunakan diantaranya pil
kontrasepsi kombinasi, progestin, agonis GnRH, danazol, inhibitor
enzim aromatase, dan anti progesteron (HIFERI dan POGI, 2017).
Prosedur pembedahan dalam tatalaksana nyeri endometriosis dapat
bersifat definitif maupun konservatif (HIFERI dan POGI, 2017).
Manajemen bedah yang bersifat konservatif diutamakan untuk pasien
yang masih dalam usia reproduktif dan ingin hamil di masa depan atau
mencegah induksi menopause dini. Sedangkan tindakan bedah yang
bersifat definitif dilakukan melalui ooforektomi bilateral untuk
menginduksi menopause serta pengangkatan uterus dan tuba falopii
disertai eksisi seluruh lesi endometriosis (HIFERI dan POGI, 2017).
Alur penatalaksanaan endometriosis dijelaskan pada bagan
dibawah ini.

16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.2:Algoritma Penanganan Nyeri Endometriosis (HIFERI dan


POGI, 2017)

2. Antropometri Obesitas
a. Pengertian
Antropometri digunakan sebagai pengukur komposisi tubuh, dimana
antropometri mengukur kuantitas dari otot, tulang, dan jaringan adiposa
(Cassadei dan Kiel, 2020). Antropometri memiliki arti penting dalam
dunia kedokteran. Pada anak, antropometri sering digunakan sebagai

17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

acuan untuk menilai status gizi. Pada orang dewasa, pengukuran


antropometri bersifat penting karena dapat menjadi informasi penunjang
dalam pendekatan berbagai kondisi patologis. Sebagai contoh,
pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar Pinggang (LP)
memiliki hubungan erat dengan kadar trigliserida dalam darah
(Pangesti, et al., 2014).

Obesitas (obesity) dan berat badan berlebih (overweight) diartikan


sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan dikarenakan adanya
ketidakseimbangan antara jumlah kalori yang dikonsumsi seseorang
dengan jumlah kalori yang dikeluarkann (WHO, 2020). Kelebihan
kalori yang dialami oleh tubuh akan bermanifestasi menjadi simpanan
energi dalam jaringan lemak. Berdasarkan pola distribusinya pada
tubuh, obsesitas digolongkan menjadi obesitas sentral (akumulasi lemak
pada regio abdomen dan trunkus) dan perifer (akumulasi lemak disekitar
pinggul dan paha serta mencakup regio gluteus) (Aras, et al., 2015).
Jaringan lemak pada obesitas sentral tersimpan sebagai dua
penyimpanan utama, yaitu lemak intra-abdominal dan lemak subkutan
pada regio abdomen. Sedangkan jaringan lemak pada obesitas perifer
tersimpan secara subkutan, terutama pada regio femorogluteus.

Gambar 2.3: Obesitas Sentral (Kanan) dan Obesitas Perifer (Kiri).

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Jenis Pengukuran Adipositas


Pengamatan terhadap obesitas dapat dilakukan melalui pemeriksaan
direk, yaitu dengan mengamati komposisi jaringan adiposa dan jaringan
tubuh lainnya, dan secara indirek dengan melakukan asesmen
antropometri sederhana seperti pengukuran indeks massa tubuh dan
lingkar tubuh. Penilaian obesitas secara indirek banyak diterapkan
dalam kesehatan komunitas dikarenakan lebih praktis, mudah, dan cost-
effective (Gutin, 2018). Penggunaan pengukuran antropometri multipel
memungkinkan pendekatan yang lebih baik terhadap status gizi pasien.

1) Pemeriksaan Direk
Pemeriksaan direk meliputi pencitraan tubuh untuk menilai
komposisi jaringan dengan menggunakan hydrodensitometry, Dual
Energy X-ray Absorptiometry (DXA), Computed Tomography (CT),
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). DXA memiliki
keunggulan diantara metode direk yang lain, dikarenakan dapat
memperkirakan pola distribusi lemak tubuh dengan paling efektif
(Shepherd, et al., 2017).

2) Pemeriksaan Indirek
a) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Body Mass Index atau Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah
rasio relatif antara berat badan dengan tinggi badan yang sangat
umum digunakan dalam penentuan status gizi pada orang
dewasa, yang diukur dengan menggunakan rumus berat badan
dalam kilogram dibagi hasil kuadrat tinggi badan dalam meter
(Cashin dan Oot, 2018). Tinggi badan diukur dengan cara
mengukur jarak vertex dari lantai saat memposisikan pasien
berdiri menempel dinding, menghadap lurus ke depan, dengan
tumit, bokong, bagian atas punggung, dan bagian belakang
kepala menempel pada dinding (Kopecký, et al., 2014).

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Perhitungan IMT ditemukan pada pertengahan abad 19 oleh


ahli statistik Belgia Adolphe Quetelet dan kemudian
dikembangkan sebagai pemeriksaan antropometri dalam menilai
obesitas relatif pada seseorang (Blackburn dan Jacobs, 2014).
IMT dibuktikan dapat menilai presentase lemak tubuh, yang
secara standar dinilai melalui Bioelectrical Impedance Analysis
(BIA), dengan spesifisitas mencapai 95% (Mohammed, et al.,
2019). Nilai ambang batas IMT yang direkomendasikan oleh
Kemenkes RI adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3:Batas Ambang Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk Orang


Indonesia (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular Kemenkes RI, 2019).

Kategori IMT

Kekurangan berat tingkat badan berat <17,0

Kurus
Kekurangan berat badan tingkat
17,0-18,4
ringan
Normal 18,5-25,0

Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1-27,0


Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0

Dalam klinis, IMT umum digunakan dikarenakan


kemudahan dalam pengaplikasiannya dan kegunaannya untuk
memperkirakan kelebihan presentase lemak tubuh (Ranasinghe,
et al., 2013). Menurut penelitian, IMT memiliki hubungan
signifikan dengan penyakit metabolik antara lain diabetes
melitus, hipertensi dan dislipidemia, yakni mayoritas pasien
dengan penyakit metabolik memiliki faktor komorbid berupa
obesitas atau berat badan berlebih (Bays, et al., 2007).
Kekurangan dari IMT sebagai pengukuran antropometri ialah

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ketidakmampuannya mendeteksi komposisi dan distribusi lemak


dalam tubuh. Disamping itu, akurasi penggunaan IMT dalam
menentukan obesitas dapat berkurang pada kelompok orang
yang telah mengalami perubahan pada komposisi tubuhnya.
Akurasi diagnostik IMT menurun seiring dengan bertambahnya
usia pada pria dan wanita, berkaitan dengan massa otot yang
semakin menurun seiring dengan pertambahan usia (Batsis, et
al., 2017).

b) Lingkar Pinggang
Waist circumference atau Lingkar Pinggang (LP)
merupakan lingkar abdomen yang diukur pada titik setinggi
pertengahan jarak antara tepi terbawah costa dengan crista iliaca
dengan menggunakan pita pengukur tubuh yang lentur dan tidak
keras (Kopecký et al, 2014; WHO, 2011). Pasien berdiri dengan
dua lengan berada di samping dan kaki rapat sehingga beban
tubuh terdistribusi rata pada telapak kaki. Pengukuran LP
sebaiknya dilakukan saat akhir dari fase respirasi normal pasien.
LP merupakan antropometri yang penting untuk menilai adanya
obesitas sentral pada seseorang (WHO, 2011). Pengukuran
antropometri LP dalam praktek klinis dinilai lebih praktis
dibandingkan IMT dikarenakan hanya melibatkan satu kali
pengukuran dan satu instrumen pengukuran. Nilai ambang batas
untuk LP adalah <90 cm untuk pria dan <80 cm untuk wanita
(Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular Kemenkes RI, 2018).
Meskipun lebih praktis dibandingkan IMT, nilai ambang
batas LP bersifat variatif menyesuaikan berbagai faktor,
diantaranya jenis kelamin, etnis, dan lokasi anatomis yang
digunakan sebagai titik pengukuran (Katzmarzyk, et al., 2011;
Mason dan Katzmarzyk, 2009). Sehingga saat melakukan

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pengukuran, pemeriksa harus memperhatikan dengan seksama


mengenai kondisi pasien dan metode pengukuran yang
digunakan serta interpretasi yang sesuai.

c) Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul


Lingkar pinggul dihitung dengan cara mengukur lingkar di
titik bokong yang terlebar (World Health Organization (WHO),
2011). Waist to hip ratio atau Rasio Lingkar Pinggang dan
Pinggul (RLPP) didapatkan melalui hasil bagi panjang LP
dengan panjang lingkar pinggul. Nilai ambang batas RLPP
adalah sebesar 0.80; sebagaimana nilai tersebut telah dibuktikan
signifikan terhadap obesitas pada penelitian sebelumnya
(Ahmad, et al., 2016).
Hasil Pengukuran RLPP telah dibuktikan dalam sejumlah
studi mengenai hubungan eratnya terhadap dampak obesitas
terhadap kesehatan, seperti sindroma metabolik (Karimah, 2018)
dan penyakit kardiovaskuler (Cao, et al., 2018; Czernichow, et
al., 2011).
c. Korelasi Klinis
1) Metabolic Surplus dan Inflamasi
Disamping menjadi lokasi utama tempat penyimpanan energi,
jaringan lemak juga bertindak sebagai organ endokrin yang mampu
mensintesis senyawa yang dapat mengatur aktivitas metabolisme
tubuh (Coelho, et al., 2013). Jaringan lemak viseral tersusun atas sel
adiposit, sel preadiposit, sel makrofag yang menginfiltrasi jaringan,
sel-sel stroma, sel saraf, dan sel punca. Sel-sel tersebut akan
menyekresi senyawa adipokin yang memberikan efek lokal disekitar
jaringan maupun efek sistemik, salah satunya mendukung proliferasi
endometrium dan pembentukan tumor (Onstad, et al., 2016).
Adanya ‘surplus’ dalam metabolisme (metabolic surplus)
memicu munculnya kondisi inflamasi pada tubuh melalui mediasi

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

jaringan lemak (Gregor dan Hotamisligil, 2011). Pada tubuh pasien


endometriosis, kondisi inflamasi sangat diperlukan untuk
kemampuan jaringan endometrium bertahan secara ektopik dan
berproliferasi (Herington, et al., 2011). Penelitian menunjukkan
bahwa obesitas, diukur dengan pengukuran antropometri Indeks
Massa Tubuh (IMT), dapat memperburuk keparahan endometriosis
pada tingkatan lanjut dan lebih jarang ditemui pada endometriosis
tingkat ringan (Holdsworth-Carson, et al., 2018).

2) Ketidakseimbangan Hormon
Ketidakseimbangan hormon merupakan kondisi kesehatan
yang dapat muncul mengikuti obesitas. Sebuah penelitian
menemukan bahwa wanita obesitas dengan IMT tinggi memiliki
nilai rerata kadar progesteron serum yang lebih rendah dan estradiol
serum yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (IMT 25-
30 kg/m2) (Yeung, et al., 2012). Penelitian tersebut juga menyatakan
bahwa nilai parameter obesitas sentral yang lebih tinggi
(perbandingan tertile atas dan tertile bawah rasio lemak trunkus dan
kaki yang diukur dengan Dual Energy X-ray Absorptiometry atau
DEXA) berkaitan dengan kadar estradiol serum total yang lebih
rendah. Ketidakseimbangan hormon pada obesitas dapat
mengganggu siklus menstruasi dan memicu masalah infertilitas.
Hormon estrogen berperan dalam regulasi jaringan lemak pada
tubuh melalui mekanisme sentral maupun efek lokal pada jaringan
lemak. Hormon estrogen bekerja pada jaringan lemak dengan
menghambat hipertrofi pada jaringan lemak (Bracht, et al., 2019).
Hipertrofi jaringan lemak merupakan ekspansi jaringan lemak
berupa peningkatan ukuran sel adiposit tanpa disertai pertambahan
jumlah sel adiposit. Baik estrogen gonadal maupun estrogen yang
disintesis secara lokal oleh jaringan lemak itu sendiri berperan dalam
regulasi pertumbuhan jaringan lemak, melalui reseptor Erα dan Erβ

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang dapat ditemukan pada jaringan lemak (Eaton dan Sethi, 2019).
Studi eksperimental pada tikus menunjukkan bahwa tikus betina
yang mengalami intervensi ovariektomi memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami peningkatan berat badan saat terpapar diet
tinggi lemak dibandingkan dengan tikus betina normal (Hong, et al.,
2009). Sementara itu, hormon estrogen diduga memicu hiperplasia
sel-sel adiposit (Liu, et al., 2020). Hiperplasia sel adiposit yang
ditandai dengan peningkatan jumlah sel adiposit tanpa pertambahan
ukuran secara signifikan bersifat jinak dan cenderung tidak
menimbulkan efek samping sebagaimana yang ditimbulkan oleh sel
adiposit yang mengalami hipertrofi. Hal ini mungkin dapat terjadi
dikarenakan sel adiposit dengan ukuran yang lebih kecil, lebih
sensitif terhadap insulin sehingga dapat mencegah resistensi insulin
secara sistemik yang merupakan efek samping yang ditimbulkan
obesitas (Bracht, et al., 2019). Efek yang ditimbulkan hormon
estrogen terhadap proliferasi lemak cenderung berbeda pada lemak
subkutan dan lemak viseral melalui mekanisme yang belum
diketahui secara pasti (Leeners, et al., 2017). Terdapat dugaan
bahwa terdapat perbedaan kerja estrogen terhadap reseptor Erα dan
Erβ, dimana perbedaan tingkat ekspresi Erα dan Erβ berdasarkan
lokasi jaringan lemak pada tubuh berdampak pada pola distribusi
lemak menurut jenis kelamin dalam kondisi fisiologis (Savva dan
Korach-André, 2020). Jaringan lemak gluteofemoral diduga lebih
sensitif terhadap hormon estrogen, sehingga pada wanita normal
yang memiliki kadar estrogen lebih tinggi dibandingkan laki-laki
cenderung mengalami proliferasi pada jaringan lemak gluteofemoral
melalui hiperplasia sel-sel adiposit.
Estrogen ekstragonad merupakan sumber hormon estrogen
sekunder pada wanita premenopause dan memiliki fungsi sebagai
sumber hormon estrogen utama pada wanita postmenopause
(Bracht, et al., 2019). Kemampuan sintesis hormon estrogen secara

24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ekstragonad yang dimiliki oleh jaringan lemak bergantung pada


kemampuan jaringan lemak untuk mengonversi prekursor androgen
C19 menjadi estrogen C18 (Bracht, et al., 2019). Obesitas
berhubungan dengan peningkatan ekspresi aromatase pada jaringan
lemak, khususnya jaringan lemak viseral, dan organ dengan
estrogen-dependent seperti jaringan payudara (Subbaramaiah, et al.,
2011). Belum diketahui secara pasti apakah hormon estrogen
ekstragonad memberikan Pada penyakit endometriosis, hormon
estrogen dapat memicu sensasi noisiseptif pada peritoneum dan
menimbulkan rasa nyeri endometriosis pada pasien (Greaves, et al.,
2014).
3) Sindroma Metabolik
Obesitas memiliki keterkaitan erat dengan mayoritas penyakit
tidak menular melalui mekanisme yang berbeda tergantung dari
patofisiologi penyakit (Banjare dan Bhalerao, 2016). Namun, pola
distribusi lemak yang berbeda antara obesitas sentral dan perifer
diduga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kesehatan.
Pola distribusi lemak pada regio abdomen (pola android atau bentuk
tubuh apel) dikaitkan dengan meningkatnya risiko menderita
sindroma metabolik dan penyakit kardiovaskuler, sedangkan pola
distribusi lemak pada perifer (pola ginoid atau berbentuk buah pir)
dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah untuk menderita sindroma
metabolik (Bracht, et al., 2019). Di sisi lain, pola distribusi lemak
secara viseral dan perifer juga saling berhubungan satu sama lain.
Kemampuan hiperplasia sel adiposit pada lokasi perifer yang
mencapai batas maksimal akan memicu proses penyimpanan lemak
pada lokasi viseral, termasuk lokasi-lokasi ektopik misalnya di
sekitar organ jantung dan hati (Virtue dan Vidal-Puig, 2010).

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Teori

Bagan 2.1: Kerangka Teori

26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Kerangka Pemikiran

Wanita berusia 15-49 tahun

Status gizi
Faktor risiko lainnya:
 Pola hidup
 Genetik Disfungsi
 hormon adrenal
Autoimunitas Obesitas Non-Obesitas
Terapi hormonal


SentralPerifer

Inflamasi meta- inflamasi atan


kronis. Peningk sitokin
(↑IL-6, ↑IL-1β, ↑TNF-α)
Ketidakseimban gan estrogen

Endometriosis Non-Endometriosis

Bagan 2.2: Kerangka Pemikiran

Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Terpapar etiologi endometriosis
: Terpapar etiologi dan berisiko lebih tinggi untuk mengidap endometriosis
: Tidak terpapar etiologi endometriosis

Endometriosis merupakan penyakit yang menyerang wanita di usia


produktif. Dalam penelitian ini, peneliti menggolongkan faktor risiko
endometriosis sebagai faktor risiko status gizi dan faktor lainnya. Faktor risiko
status gizi akan diteliti melalui pengukuran profil antropometri pasien,

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sedangkan faktor lainnya tidak diteliti dalam penelitian ini. Data yang diperoleh
selanjutnya akan dianalisis hingga diperoleh hasil yang bermakna.

E. Hipotesis
Terdapat hubungan obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh terhadap
kejadian endometriosis.

28

Anda mungkin juga menyukai