G0017027 - Bab Ii
G0017027 - Bab Ii
id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Endometriosis
a. Pengertian
b. Etiologi
Penjelasan mengenai awal kemunculan jaringan endometrium
ekstrauterin pada endometriosis masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa teori berbeda telah dicetuskan oleh para ahli. Teori-teori
tersebut dapat dikelompokkan menjadi teori-teori yang menyatakan
bahwa jaringan endometriosis yang muncul berasal dari endometrium
intrauterin yang berpindah ke lokasi-lokasi ekstrauterin serta teori yang
mendukung bahwa jaringan endometriosis berasal dari jaringan lain
diluar uterus.
1) Menstruasi Retrograde
Teori ini merupakan prinsip tertua yang menjelaskan perjalanan
penyakit endometriosis. Seorang ahli ginekologis bernama John
1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2) Metaplasia Selomik
Masa perkembangan embrio melibatkan pembentukan selom,
rongga berisi cairan yang akan mengalami perubahan morfologis
dan diferensiasi untuk membentuk janin secara sempurna. Rongga-
rongga tersebut dilapisi oleh lapisan epitel selomik (celomic
epithelium) yang berasal dari lempeng mesoderm. Lapisan epitel
tersebut berperan penting dalam pembentukan organ viseral
dikarenakan kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi sel
mesenkim yang multipoten (Laura, et al., 2016). Epitel selomik yang
tidak terdiferensiasi menjadi sel-sel mesenkim akan bermanifestasi
sebagai mesothelium pada tubuh manusia dewasa.
Terdapat dugaan bahwa endometriosis berasal dari sel-sel
ekstrauterin. Teori metaplasia selomik (coelomic metaplasia) dalam
etiologi endometriosis menyebutkan bahwa sel-sel terspesialisasi
yang berada pada lapisan mesothelium pada peritoneum visceralis
dan peritoneum abdominalis dapat bertransdiferensiasi secara
abnormal atau mengalami metaplasia menjadi jaringan mirip
endometrium (Sourial, et al., 2014). Hal-hal yang dapat
menginduksi terjadinya metaplasia pada sel-sel tersebut masih
belum diketahui secara pasti. Terdapat keterlibatan sistem imun dan
faktor hormonal sebagai dua hal yang dapat menstimulasi sel-sel
peritoneum normal menjadi jaringan yang menyerupai endometrium
(Burney dan Giudice, 2012).
2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
c. Patofisiologi
1) Gangguan Hormon
Estrogen dan progesteron merupakan dua hormon yang
memegang fungsi sistem regulasi daripada jaringan endometrium,
diperkirakan keduanya meregulasi ekspresi dari ratusan gen yang
berperan dalam berbagai fase siklus menstruasi (Bulun, et al., 2012).
Estradiol dan progesteron memicu perkembangan histologis pada
jaringan endometrium. Perubahan histologis akan terjadi pada
jaringan endometrium, yang terpapar estradiol dan progesteron, baik
jaringan eutopik maupun jaringan ektopik. Estrogen endogen
fisiologis dalam tubuh manusia disintesis dalam tiga bentuk utama
yaitu estron (E1), estradiol atau 17β-estradiol (E2), dan estriol (E3)
(Cui, et al., 2013).
Dalam kondisi fisiologis, hormon estrogen diproduksi oleh sel
folikel ovarium secara siklik sepanjang siklus menstruasi (Hawkins
dan Matzuk, 2010). Estradiol, bentuk paling poten dari hormon
estrogen, memegang peranan penting dalam kemampuan sel
endometrium untuk tetap bertahan dan berproliferasi secara ektopik
pada endometriosis. Menurut Bulun (2009), estradiol dapat
mencapai lokasi lesi endometriosis yang tumbuh secara ekstrauterin
melalui beberapa jalur. Pertama, estradiol yang diproduksi oleh sel
folikel ovarium mencapai lokasi endometriosis melalui sirkulasi.
Kedua, enzim aromatase yang terdapat pada jaringan perifer
3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
d. Manifestasi Klinis
Menurut pedoman (guidline) European Society of Human
Reproduction and Embryology (ESHRE) tentang manajemen
endometriosis, riwayat keluhan yang memiliki nilai guna untuk menjadi
pedoman menentukan diagnosis endometriosis diantaranya adalah
dismenorea berat pada wanita infertile, dismenorea, nyeri pelvis kronis
(chronic pelvic pain), nyeri abdominopelvis, perdarahan berat saat
menstruasi, perdarahan pasca koitus dan/atau riwayat terdiagnosis kista
ovarium, dispareunia dalam (deep dyspaneuria), keluhan intestinal
siklik (irritable bowel syndrome), dan penyakit inflamatori pelvis
(pelvic inflammatory disease) (Johnson, et al., 2017).
Adapun persentase kejadian gejala endometriosis pada
penderitanya menurut Konsensus Tatalaksana Nyeri Endometriosis
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1: Gejala Klinis Pasien Endometriosis (HIFERI dan POGI, 2017)
Nyeri haid 62
Dispareunia dalam 55
Infertilitas 40
1) Nyeri Haid
Nyeri haid atau dismenorea dapat berupa kumpulan gejala
seperti nyeri abdomen, kram dan nyeri punggung (lumbago), yang
berhubungan dengan menstruasi. Nyeri haid pada penderita
endometriosis terjadi akibat abnormalitas pada kontraksi uterus dan
keberadaan lesi yang memicu sensasi nyeri (Harada, 2013).
7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3) Dispareunia Dalam
Dispareunia merupakan istilah yang digunakan untuk keluhan
nyeri yang timbul saat pasien melakukan aktivitas seksual penetratif.
Dispareunia dan vaginismus selanjutnya disatukan sebagai
gangguan nyeri/penetrasi genito-pelvis dan tercantum dalam The
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5)
sebagai DSM-5 302.76 (F52.6): Genito-Pelvic Pain or Penetration
Disorder (The American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG), 2019; American Psychiatric Association,
2013).
8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5) Infertilitas
Infertilitas primer diartikan sebagai tidak berhasilnya suatu
pasangan unutk mendapatkan kehamilan sekurang-kurangnya dalam
12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi,
sedangkan infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang
memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya. Infertilitas
idiopatik mencakup pasangan infertil yang memiliki hasil normal
dalam pemeriksaan kesuburan yang meliputi tes ovulasi, patensi
10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
f. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis endometriosis pada wanita. Rekomendasi
12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
g. Diagnosis
Diperlukan penggalian informasi riwayat kesehatan dan
pemeriksaan fisik secara teliti untuk menetapkan diagnosis
13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
.
h. Tatalaksana
Tatalaksana endometriosis sebagai penyakit kronis terdiri atas
tatalaksana konservatif nyeri endometriosis dan tatalaksana bedah nyeri
endometriosis (HIFERI dan POGI, 2017). Dalam pemilihan tatalaksana
untuk pasien, dokter harus mempertimbangkan kondisi pasien seperti
usia, ada atau tidaknya massa, dan keinginan pasien untuk memiliki
keturunan.
15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2. Antropometri Obesitas
a. Pengertian
Antropometri digunakan sebagai pengukur komposisi tubuh, dimana
antropometri mengukur kuantitas dari otot, tulang, dan jaringan adiposa
(Cassadei dan Kiel, 2020). Antropometri memiliki arti penting dalam
dunia kedokteran. Pada anak, antropometri sering digunakan sebagai
17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1) Pemeriksaan Direk
Pemeriksaan direk meliputi pencitraan tubuh untuk menilai
komposisi jaringan dengan menggunakan hydrodensitometry, Dual
Energy X-ray Absorptiometry (DXA), Computed Tomography (CT),
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). DXA memiliki
keunggulan diantara metode direk yang lain, dikarenakan dapat
memperkirakan pola distribusi lemak tubuh dengan paling efektif
(Shepherd, et al., 2017).
2) Pemeriksaan Indirek
a) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Body Mass Index atau Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah
rasio relatif antara berat badan dengan tinggi badan yang sangat
umum digunakan dalam penentuan status gizi pada orang
dewasa, yang diukur dengan menggunakan rumus berat badan
dalam kilogram dibagi hasil kuadrat tinggi badan dalam meter
(Cashin dan Oot, 2018). Tinggi badan diukur dengan cara
mengukur jarak vertex dari lantai saat memposisikan pasien
berdiri menempel dinding, menghadap lurus ke depan, dengan
tumit, bokong, bagian atas punggung, dan bagian belakang
kepala menempel pada dinding (Kopecký, et al., 2014).
19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Kategori IMT
Kurus
Kekurangan berat badan tingkat
17,0-18,4
ringan
Normal 18,5-25,0
20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
b) Lingkar Pinggang
Waist circumference atau Lingkar Pinggang (LP)
merupakan lingkar abdomen yang diukur pada titik setinggi
pertengahan jarak antara tepi terbawah costa dengan crista iliaca
dengan menggunakan pita pengukur tubuh yang lentur dan tidak
keras (Kopecký et al, 2014; WHO, 2011). Pasien berdiri dengan
dua lengan berada di samping dan kaki rapat sehingga beban
tubuh terdistribusi rata pada telapak kaki. Pengukuran LP
sebaiknya dilakukan saat akhir dari fase respirasi normal pasien.
LP merupakan antropometri yang penting untuk menilai adanya
obesitas sentral pada seseorang (WHO, 2011). Pengukuran
antropometri LP dalam praktek klinis dinilai lebih praktis
dibandingkan IMT dikarenakan hanya melibatkan satu kali
pengukuran dan satu instrumen pengukuran. Nilai ambang batas
untuk LP adalah <90 cm untuk pria dan <80 cm untuk wanita
(Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular Kemenkes RI, 2018).
Meskipun lebih praktis dibandingkan IMT, nilai ambang
batas LP bersifat variatif menyesuaikan berbagai faktor,
diantaranya jenis kelamin, etnis, dan lokasi anatomis yang
digunakan sebagai titik pengukuran (Katzmarzyk, et al., 2011;
Mason dan Katzmarzyk, 2009). Sehingga saat melakukan
21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2) Ketidakseimbangan Hormon
Ketidakseimbangan hormon merupakan kondisi kesehatan
yang dapat muncul mengikuti obesitas. Sebuah penelitian
menemukan bahwa wanita obesitas dengan IMT tinggi memiliki
nilai rerata kadar progesteron serum yang lebih rendah dan estradiol
serum yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (IMT 25-
30 kg/m2) (Yeung, et al., 2012). Penelitian tersebut juga menyatakan
bahwa nilai parameter obesitas sentral yang lebih tinggi
(perbandingan tertile atas dan tertile bawah rasio lemak trunkus dan
kaki yang diukur dengan Dual Energy X-ray Absorptiometry atau
DEXA) berkaitan dengan kadar estradiol serum total yang lebih
rendah. Ketidakseimbangan hormon pada obesitas dapat
mengganggu siklus menstruasi dan memicu masalah infertilitas.
Hormon estrogen berperan dalam regulasi jaringan lemak pada
tubuh melalui mekanisme sentral maupun efek lokal pada jaringan
lemak. Hormon estrogen bekerja pada jaringan lemak dengan
menghambat hipertrofi pada jaringan lemak (Bracht, et al., 2019).
Hipertrofi jaringan lemak merupakan ekspansi jaringan lemak
berupa peningkatan ukuran sel adiposit tanpa disertai pertambahan
jumlah sel adiposit. Baik estrogen gonadal maupun estrogen yang
disintesis secara lokal oleh jaringan lemak itu sendiri berperan dalam
regulasi pertumbuhan jaringan lemak, melalui reseptor Erα dan Erβ
23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
yang dapat ditemukan pada jaringan lemak (Eaton dan Sethi, 2019).
Studi eksperimental pada tikus menunjukkan bahwa tikus betina
yang mengalami intervensi ovariektomi memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami peningkatan berat badan saat terpapar diet
tinggi lemak dibandingkan dengan tikus betina normal (Hong, et al.,
2009). Sementara itu, hormon estrogen diduga memicu hiperplasia
sel-sel adiposit (Liu, et al., 2020). Hiperplasia sel adiposit yang
ditandai dengan peningkatan jumlah sel adiposit tanpa pertambahan
ukuran secara signifikan bersifat jinak dan cenderung tidak
menimbulkan efek samping sebagaimana yang ditimbulkan oleh sel
adiposit yang mengalami hipertrofi. Hal ini mungkin dapat terjadi
dikarenakan sel adiposit dengan ukuran yang lebih kecil, lebih
sensitif terhadap insulin sehingga dapat mencegah resistensi insulin
secara sistemik yang merupakan efek samping yang ditimbulkan
obesitas (Bracht, et al., 2019). Efek yang ditimbulkan hormon
estrogen terhadap proliferasi lemak cenderung berbeda pada lemak
subkutan dan lemak viseral melalui mekanisme yang belum
diketahui secara pasti (Leeners, et al., 2017). Terdapat dugaan
bahwa terdapat perbedaan kerja estrogen terhadap reseptor Erα dan
Erβ, dimana perbedaan tingkat ekspresi Erα dan Erβ berdasarkan
lokasi jaringan lemak pada tubuh berdampak pada pola distribusi
lemak menurut jenis kelamin dalam kondisi fisiologis (Savva dan
Korach-André, 2020). Jaringan lemak gluteofemoral diduga lebih
sensitif terhadap hormon estrogen, sehingga pada wanita normal
yang memiliki kadar estrogen lebih tinggi dibandingkan laki-laki
cenderung mengalami proliferasi pada jaringan lemak gluteofemoral
melalui hiperplasia sel-sel adiposit.
Estrogen ekstragonad merupakan sumber hormon estrogen
sekunder pada wanita premenopause dan memiliki fungsi sebagai
sumber hormon estrogen utama pada wanita postmenopause
(Bracht, et al., 2019). Kemampuan sintesis hormon estrogen secara
24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Teori
26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
C. Kerangka Pemikiran
Status gizi
Faktor risiko lainnya:
Pola hidup
Genetik Disfungsi
hormon adrenal
Autoimunitas Obesitas Non-Obesitas
Terapi hormonal
SentralPerifer
Endometriosis Non-Endometriosis
Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Terpapar etiologi endometriosis
: Terpapar etiologi dan berisiko lebih tinggi untuk mengidap endometriosis
: Tidak terpapar etiologi endometriosis
27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sedangkan faktor lainnya tidak diteliti dalam penelitian ini. Data yang diperoleh
selanjutnya akan dianalisis hingga diperoleh hasil yang bermakna.
E. Hipotesis
Terdapat hubungan obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh terhadap
kejadian endometriosis.
28