Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN TUTORIAL

MODUL INTEGRATIF ORGAN 2


SKENARIO 4

Disusun Oleh:
KELOMPOK 9

Dosen Pembimbing:
dr. Shobihatus Syifak, Sp.S

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2023
LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN

Kelompok : 9

No Materi yang dinilai Prosentase Nilai


1 Ketepatan pemilihan kata kunci dalam peta konsep 25%
2 Kesesuaian hubungan kata kunci dalam peta konsep 25%
3 Kesesuaian jawaban learning objective dengan 25%
kasus skenario

4 Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%

Dosen Pembimbing

dr. Shobihatus Syifak, Sp.S


KELOMPOK PENYUSUN

Ketua : Mejuri (6130019063)


Sekretaris I : Marosa Nabila Rizkina (6130019052)
Sekretaris II : Ahmad Syamaidzar (6130019058)
Anggota : Dian Noviana (6130019017)
Alya Putri Sakinah (6130019038)
Cynthia Sabrin Dias Ramadhania (6130019068)
Iqbal Habib Nawa Pratama (6130019062)
Izzcha Maizi Azzahro (6130019081)
SKENARIO 4
MATA KABUR

Pasien laki-laki berusia 25 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan mata kanan
kabur mendadak sejak 4 jam sebelum ke rumah sakit. Keluhan tersebut dirasakan setelah
pasien mengangkat benda berat. Setelah mengangkat barang, pasien mengatakan
pandangannya awalnya buram seperti melihat air keruh kemudian secara mendadak
pandangan berubah menjadi hitam seperti tertutup tirai pada bagian sisi dekat hidung,
sedangkan pada sisi dekat pelipis pasien masih dapat melihat sedikit namun tidak begitu
jelas. Pasien menyangkal melihat titik hitam maupun kilatan cahaya sebelumnya.

Step 1 : Kata Kunci dan Kata Sulit

● Kata kunci
1. Pasien laki-laki usia 25 tahun dengan keluhan mata kanan kabur mendadak
2. Mata kanan kabur mendadakn sejak 4 jam sebelum ke rumah sakit
3. keluhan tersebut dirasakan setelah pasien mengangkat benda berat
4. pandangan awalnya buram seperti melihat air keruh, kemudian mendadak berubah
menjadi hitam seperti tertutup tirai
5. pada sisi dekat pelipis dapat melihat sedikit. namun, belum jelas
6. pasien menyangkal melihat titik hitam maupun kilatan cahaya sebelumnya

● Menentukan diagnosis banding


1. Retinal detachment
2. Uveitis posterior
3. Oklusi vena dan arteri retina
4. Neuritis optik
5. Pendarahan viterus

Step 2 & 3: Menggali Masalah


● Anamnesis
1. Keluhan sejak kapan ? 4 jam
2. Mata kabur sebelah mana ? kanan
3. Apakah pernah melakukan sesuatu atau peringan ? (-)
4. Apakah pertama kali atau pernah sebelumnya ? (-)
5. Apakah ada trauma ? (-)
6. Apakah ada nyeri bola mata saat di gerakkan ? (-)
7. Apakah ada riwayat menggunakan kacamata ? Ada, sejak 9 tahun, mata kanan (-11
D), mata kiri (-10D), digunakan 1 tahun lalu
8. Keluhan lain ? (-)
9. Apakah ada penyakit DM, HT ? (-)
10. Apakah ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa ? tidak ada yang
mengalami keluhan serupa
11. Apakah pasien ada riwayat pengobatan atau konsumsi obat ? tidak ada
12. Riwayat alergi ?
- Makanan (-)
- obat (-)
13. Pekerjaan buruh ( angkat barang dan supir)

● Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : kompos mentis
2. Vital sign : (-)
3. Pemeriksaan visus :
- Light perception (-)
- (kiri) visus 2/60
4. Pemeriksaan fisik mata luar : (-)
5. Pemeriksaan funduscopy :
- Mata kanan papil Nervus II bulat batas tegas, total detached pada retina, retinal
tear pada jam 11 12, macula off, reflek macula (-).
- Tekanan intra okuli mata kanan 10,5 mmhg, mata kiri papil bulat mata tegas CDR
0,3 AA/VV ⅔ retina dalam batas tegas batas normal dan TIO 21,6 mmhg.

● Pemeriksaan penunjang (-)


● Hipotesis awal
Pada anamnesis, pemeriksaan fisik pasien mengalami retinal detached pada mata
kanan dan high miopia pada mata kiri

Step 4: TPL-PPL
TPL PPL
Anamnesis Ablasio retina :
1. Keluhan sejak kapan ? 4 jam 1. Riwayat Kacamata
2. Mata kabur sebelah mana ? kanan 2. Visus menurun mendadak
3. Apakah ada riwayat menggunakan 3. Pandangan seperti tirai
kacamata ? Ada, sejak 9 tahun, mata 4. Funduskopi mata kanan
kanan (-11 D), mata kiri (-10D), 5. Pemeriksaan TIO : Kanan (10,5
digunakan 1 tahun lalu mmHg), Kiri (21,6 mmHg)
4. Apakah ada anggota keluarga yang
mengalami keluhan serupa ? tidak
Miopia :
ada yang mengalami keluhan serupa
1. Riwayat Kacamata
5. Apakah pasien ada riwayat 2. Visus : mata kiri
pengobatan atau konsumsi obat ? 3. Papil nervus II
tidak ada 4. Pemeriksaan TIO : Kanan (10,5
6. Riwayat alergi ? mmHg), Kiri (21,6 mmHg)
- Makanan (-)
- obat (-)
7. Pekerjaan buruh ( angkat barang dan
supir)
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : kompos mentis
2. Pemeriksaan visus :
- Light perception (-)
- (kiri) visus 2/60
3. Pemeriksaan funduscopy :
- Mata kanan papil Nervus II bulat
batas tegas, total detached pada
retina, retinal tear pada jam 11 12,
macula off, reflek macula (-).
- Tekanan intra okuli mata kanan
10,5 mmhg, mata kiri papil bulat
mata tegas CDR 0,3 AA/VV ⅔
retina dalam batas tegas batas
normal dan TIO 21,6 mmhg.
Step 5: Menyusun POMR
TPL PPL Initial Planning
Assesment Pemeriksaan Tatalaksana Monitoring Edukasi
penunjang
Anamnesis 1. Slit lamp 1. Pembedahan 1. Keadaan 1. Rawat luka pasca oprasi
1. Keluhan sejak kapan ? 4 Ablasio retina : Retinal 2. Ct scan sclelar buckling Umum dengan benar
jam 1. Riwayat ocular 2. Vitrektomi 2. Keluhan
detachment 2. Menjaga kebersihan mata
2. Mata kabur sebelah Kacamata pasca oprasi
mana ? kanan 2. Visus 3. Konsultasi pada spesialis
3. Apakah ada riwayat menurun mata pasca oprasi
menggunakan kacamata mendadak 4. Mengurangi aktivitas berat
? Ada, sejak 9 tahun, 3. Pandangan
mata kanan (-11 D),
seperti tirai
mata kiri (-10D),
4. Funduskop
digunakan 1 tahun lalu
i mata
4. Apakah ada anggota
keluarga yang kanan
mengalami keluhan 5. Pemeriksaa
serupa ? tidak ada yang n TIO : High 1. Visus 1. Lasik 1. Keadaan 1. Rajin mengkonsumsi sayur
mengalami keluhan Kanan myopia mata umum dan buah-buahan
serupa (10,5 2. Cek TIO
5. Apakah pasien ada mmHg), secara
riwayat pengobatan atau Kiri (21,6 berkala
konsumsi obat ? tidak mmHg)
ada
6. Riwayat alergi ? Miopia :
- Makanan (-) 1. Riwayat
- obat (-) Kacamata
7. Pekerjaan buruh ( 2. Visus :
angkat barang dan mata kiri
supir) 3. Papil
Pemeriksaan Fisik nervus II
1. Keadaan umum : 4. Pemeriksaa
kompos mentis n TIO :
2. Pemeriksaan visus : Kanan
- Light perception (-) (10,5
- (kiri) visus 2/60
mmHg),
3. Pemeriksaan
Kiri (21,6
funduscopy :
mmHg)
- Mata kanan papil
Nervus II bulat batas
tegas, total detached
pada retina, retinal tear
pada jam 11 12, macula
off, reflek macula (-).
- Tekanan intra okuli
mata kanan 10,5 mmhg,
mata kiri papil bulat
mata tegas CDR 0,3
AA/VV ⅔ retina dalam
batas tegas batas normal
dan TIO 21,6 mmhg.
Step 6: Learning Objective

1. Mahasiswa Mampu Memahami Definisi, Etiologi, Epidemiologi Retinal detachment


dan High myopia
2. Mahasiswa Mampu Memahami Klasifikasi, Manifestasi klinis Retinal detachment
dan High myopia
3. Mahasiswa Mampu Memahami Patogenesis Retinal detachment dan High myopia
4. Mahasiswa Mampu Memahami Patofisiologi Retinal detachment dan High myopia
5. Mahasiswa Mampu Memahami Alur diagnosis dan Diagnosa banding Retinal
detachment dan High myopia
6. Mahasiswa Mampu Memahami Komplikasi dan Prognosis Retinal detachment dan
High myopia
7. Mahasiswa Mampu Memahami Tatalaksana (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif) Retinal detachment dan myopia
Step 7: Jawaban Learning Objective

1. Mahasiswa Mampu Memahami Definisi, Etiologi, Epidemiologi Retinal


detachment dan High myopia

● Retinal Detachment
Definisi
Suatu kondisi ketika retina neurosensori kehilangan perlekatan pada retinal pigment
epithelium (RPE) disebut sebagai retinal detachment atau ablasi retina yang dapat
mengakibatkan degenerasi fotoreseptor dan iskemia sehingga dapat menyebabkan
kehilangan penglihatan secara permanen (Nguyen et al., 2021).

Etiologi
Etiologi yang mendasari retinal detachment bergantung pada subtipenya. Pada ablasio
retina regmatogenosa etiologinya antara lain, trauma, miopia patologis, ekskavasi
retina perifer, operasi intraokular sebelumnya, retinal detachment pada mata
disebelahnya dan ada anggota keluarga yang juga pernah mengalami. Pada ablasi
retina traksi etiologinya antara lain, retinopati diabetik proliferatif, trauma, retinopati
prematuritas, vitreotinopati proliferatif, dan oklusi vena retina. Pada ablasi retina
eksudatif etiologinya antara lain, tumor mata primer, sifilis, toksoplasmosis,
metastasis okular, dan sarcoidosis, oftalmia simpatik, nekrosis retina akut dan
tuberkulosis (Blair et al., 2021).

Sedangkan pada pediatric retina detachment etiologi paling sering adalah trauma
okuler, peradangan dan infeksi. Selain itu pada anak dapat bersifat kongenital
termasuk
kondisi vitreoretinal herediter yang langka, seperti vitreoretinopati eksudatif familial,
sindrom Marfan, sindrom Stickler, incontinentia pigmenti, penyakit Norrie dan
retinoschisis terkait-X. Patologi perkembangan seperti koloboma dan pembuluh darah
janin yang persisten dapat menjadi etiologi ablasi retina pada bayi. Sedangkan pada
bayi prematur dapat di sebabkan karena retinopati prematuritas (Badhwar et al.,2019).

Epidemiologi
Pertahun terdapat sekitar 1 : 10.000-15.000 insiden retinal detachment dan umumnya
sering pada usia ≥50 tahun serta dengan jenis kelamin laki-laki dibandingkan
perempuan. Walaupun umumnya terjadi pada usia lanjut retinal detachment juga dapat
ditemukan pada anak-anak (pediatri), dimana prevalensi pediatrik sekitar 0,5-8% dari
semua retinal detachment (Josifovska et al., 2019).

● High Myopia
Definisi
Sebagai ≤ −5 D diadopsi sebagai definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada
tahun 2015. Seseorang yang membutuhkan koreksi ≤ −5 D memiliki ketajaman visual
yang jauh lebih buruk daripada ambang batas kebutaan (–3 /6 di mata yang lebih
baik). (WHO, 2015)

Etiologi

Banyak penelitian telah membahas mengenai berbagai faktor risiko miopia, namun
masih banyak kontroversi. Dibutuhkan lebih banyak studi untuk dapat memahami
etiologi.
● Genetik
Anak dengan orangtua miopia memiliki prevalensi miopia lebih tinggi. Faktor
genetik memiliki peran dalam bentuk dan pemanjangan bola mata. Pola
genetik yang diturunkan bervariasi : autosomal resesif, autosomal dominan,
dan sex linked, baik terkait sindrom maupun berdiri sendiri. Makin.banyaknya
kasus miopia tanpa kluster keluarga menandakan genetik tidak berdiri sendiri
serta adanya pengaruh faktor lingkungan. (Morgan IG, 2012)
● Pekerjaan
Pekerjaan dengan Jarak pandang dekat, kurang dari 25-30 cm, dalam jangka
waktu lama dikaitkan dengan tidak optimalnya akomodasi. Hal ini akan
menciptakan kondisi bayangan difokuskan di belakang retina (hyperopic
defocus), yang terbukti menyebabkan pemanjangan bola mata. Hubungan
kejadian miopia dengan pekerjaan dengan jarak pandang dekat <25 cm
cenderung lebih besar pada anak-anak. (Guo L, 2016)

● Aktivitas di Luar Ruangan


Aktivitas di luar ruangan dinilai sebagai faktor terkuat yang dapat menunda
mulainya miopia pada anak. Hal ini diduga terkait dengan beberapa
mekanisme berikut.
- Pertama, stimulus cahaya saat aktivitas luar ruangan memicu keluarnya
dopamin retina, yang menghambat proses pertumbuhan dan perubahan bentuk
sklera.
- Kedua, hipotesis bahwa stimulus cahaya mengaktifkan kaskade sinyal retina
ke sklera yang akan memengaruhi proses perubahan sklera.
- Ketiga, memberi kesempatan melihat jarak jauh tanpa akomodasi,
menyeimbangkan hyperopic defocus berkepanjangan yang kerap terjadi di
dalam ruangan. (Grzybowski A, 2020)

● Jenis Kelamin
Kejadian miopia pada anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki.
Perempuan memiliki risiko 1,21 kali lebih tinggi untuk mengidap miopia
daripada laki-laki. Anak perempuan cenderung memiliki aktivitas luar ruangan
yang lebih singkat dan lebih lama bekerja dengan jarak pandang dekat.
(Saxena R, 2015)

● Pemakaian Perangkat dengan Layar


Digital (Digital Screen Time) Pemakaian perangkat dengan layar digital,
misalnya tablet, smartphone, televisi, dan komputer, dalam jangka lama dapat
menyebabkan serangkaian gejala yang disebut digital eye strain (DES) atau
ketegangan mata digital, berupa mata lelah, mata kering, nyeri kepala, mata
kabur, dan nyeri kepala hingga leher. Namun, bukti hubungan antara
pemakaian perangkat dengan layar digital dan kejadian miopia
masih kontradiktif. Sebuah studi menyarankan batas pemakaian perangkat
digital tidak lebih dari 2 jam per hari pada anak dan remaja untuk mencegah
perkembangan miopia. Penggunaan tablet memiliki risiko miopia lebih rendah
daripada smartphone, karena tablet cenderung diposisikan lebih jauh dari
mata pengguna sehingga beban konvergensi mata lebih rendah. Ulasan
sistematis lainnya memaparkan tidak ada hubungan antara layar digital dan
perkembangan miopia. (Lanca C, 2020)

● Kepadatan Penduduk, Ukuran Rumah dan Perkotaan


Hidup di lingkungan padat penduduk, perkotaan dan ukuran rumah sempit
memiliki risiko bola mata lebih panjang, atau miopia lebih tinggi. Hal ini
dikaitkan dengan area bermain luar ruangan yang terbatas, sehingga makin
banyak porsi waktu untuk pekerjaan dengan jarak pandang
dekat.(Grzybowski A, 2020)

● Status Ekonomi
Terdapat data yang kontradiktif. Penelitian di India menunjukkan status
ekonomi tinggi dihubungkan dengan kejadian miopia yang lebih tinggi, namun
penelitian di Rotterdam, Belanda, menunjukkan miopia lebih tinggi pada
kelompok status ekonomi lebih rendah. Penelitian lain tidak menemukan
hubungan signifikan antara miopia dan status ekonomi. Status ekonomi
dihubungkan dengan motivasi belajar yang menyebabkan lebih banyaknya
pekerjaan dengan jarak pandang dekat. (Tideman JWL, 2017)

Epidemiologi

Pada tahun 2000 diperkirakan 22,9% penduduk dunia (1406 juta orang) memiliki
status refraksi miopia, 163 juta di antaranya (2,7%) mengidap miopia tinggi. Pada
tahun 2010, diperkirakan 27% populasi dunia (1893 juta) mengidap miopia dan 1,8%
(170 juta) mengidap miopia tinggi.
Di tahun 2020, laporan World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,6 milyar
orang seluruh usia di dunia mengidap miopia, 312 juta di antaranya berusia di bawah
19 tahun. (WHO, 2019)

Di tahun 2050 diprediksi setidaknya 49,8% penduduk dunia akan menderita miopia
dengan miopia tinggi sebanyak 9,8%. Di seluruh dunia pada tahun 2015, terdapat 10
juta orang dengan gangguan penglihatan terkait DMM (prevalensi 0,13%), 3,3 juta
orang
di antaranya mengalami kebutaan. Apabila tren ini tidak berubah dan tidak ada
intervensi yang efektif, diperkirakan penderita gangguan penglihatan dan kebutaan
akan menjadi masing-masing 55,7 juta orang dan 18,5 juta orang. (Fricke TR, 2018)
2. Mahasiswa Mampu Memahami Klasifikasi, Manifestasi klinis Retinal
detachment dan High myopia

- Klasifikasi retinal detachment

Terdapat tiga klasifikasi ablasi retina antara lain, ablasi retina regmatogenous, ablasi
retina traksi, dan ablasi retina eksudatif.

a. Ablasi Retina Regmatogenosa

Pada saat retina memiliki lubang atau robekan disebut sebagai ablasi retina
regmatogenosa. Ketika hal ini terjadi, menyebabkan pelepasan dari RPE dikarenakan
cairan vitreous terus memasuki ruang di bawah retina neurosensorik sampai seluruh
retina posterior terlepas. Durasi tergantung pada lokasi terjadinya ablasi, dapat terjadi
selama berjam-jam hingga berbulan-bulan. Meskipun tanpa intervensi bedah ablasi
retina dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang parah dan dapat menyebabkan
kebutaan yang bersifat permanen

b. Ablasi Retina Traksi

Ablasi retina traksi terjadi ketika kekuatan membran proliferatif di permukaan retina
atau di vitreous yang cukup kuat untuk melepaskan retina neurosensorik dari RPE.
Pada kasus ablasi ini, tidak terdapat adanya kerusakan pada retina neurosensorik

c. Ablasi Retina Eksudatif

Ablasi retina eksudatif atau serosa terjadi ketika adanya eksudasi cairan karena lesi
besar seperti tumor atau mediator inflamasi yang menyebabkan terakumulasinya
cairan subretina. Pada ablasi ini tidak terdapat adanya kerusakan pada retina
neurosensorik. (Nur, 2022)

- Manifestasi klinis retinal detachment

Manifestasi klinis dari retinal detachment seperti lapang pandang yang semakin
menurun secara lambat yang dimulai dari perifer ke sentral dan bersifat progresif.
Selain itu, terdapat floaters, fotopsia strabismus dan leukokoria. Riwayat trauma
okular dan riwayat operasi sebelumnya, prematuritas, infeksi, sindrom herediter yang
melibatkan sistemik dapat menjadi faktor risiko. (Nur, 2022)

- Klasifikasi miopia

Berdasarkan besar koreksi yang diperlukan, miopia dapat diklasifikasikan menjadi


miopia ringan (<3.00 dioptri), miopia sedang (3.00 sampai dengan 6.00 dioptri), dan
miopia tinggi (>6.00 dioptri). Klasifikasi lain adalah miopia ringan (<2.00 dioptri),
miopia sedang (2.00 - 6.00 dioptri), dan miopia tinggi (>6.00 dioptri) (Ferdy, 2020).

- Manifestasi Klinis High miopia

Penderita dengan miopia biasa mengeluhkan penurunan penglihatan dan kemampuan


melihat dengan jelas saat melihat jauh, namun pada penglihatan dekat sangat jelas.
Perlu di ingat bahwa pada kasus anak kadang hal ini diabaikan dan mereka baru
menyadari setelah membandingkan apa yang dapat dilihatnya dengan yang dilihat
temannya. Kondisi yang biasa dirasakan penderita miopia ialah keluahan sakit kepala
yang biasa disertai dengan mata juling dan celah kelopak mata yang sempit, mata
lelah karena bekerja secara berlebihan, sering menggosokan matanya, frekuensi
mengedipkan mata yang berlebihan, dan yang paling umum ialah sering menyipitkan
matanya untuk mencegah aberasi sferis serta mendapatkan efek pinhole (lubang
kecil). Apabila terdapat miopia pada satu mata jauh lebih tinggi dibandingkan mata
yang lainnya, dapat memicu terjadinya amblyopia pada mata yang miopianya lebih
tinggi. (Wong, 2020)

3. Mahasiswa Mampu Memahami Patogenesis Retinal detachment dan High


myopia
RETINAL DETACHMENT
Retinal detachment terjadi bila perlekatan antara lapisan epitel pigmen retina
(EPR) dan neurosensoris terlepas. Berdasarkan mekanismenya, retinal detachment
dapat diklasifikasikan menjadi rhegmatogenous, traksional,
traksional-rhegmatogenous, dan eksudatif (Ghazi & Green, 2002).
1) Rhegmatogenous Retinal Detachment (RRD) terjadi karena tiga faktor,
yaitu adanya gel vitreus yang mencair, traksi yang menjaga robekan tetap terbuka dan
robekan full thickness (break) dari retina yang cukup untuk membuat cairan masuk ke
rongga subretina. Ketiga faktor ini harus ditemukan bersamaan agar terjadi ablasio
retina regmatogen. Break yang ada dibuka oleh traksi dari vitreoretina sehingga
akumulasi cairan vitreus dapat masuk dan kemudian memisahkan lapisan
neurosensoris dan lapisan EPR (Ghazi & Green, 2002).
2) Traction Retinal Detachment (TRD) dapat terjadi karena retina ditarik
dari EPR oleh gaya traksi yang diinduksi oleh gerakan bola mata yang menimbulkan
gaya sentripetal ke arah rongga vitreus tanpa adanya robekan retina. Kekuatan ini
dapat ditransmisikan ke retina baik melalui (Ghazi & Green, 2002):
a) Pita traksi atau membran yang berdekatan dengan retina
b) Melalui untaian vitreous yang menjembatani retina ke pita traksi
c) Murni melalui pita vitreous seperti dalam kasus kehilangan vitreous
dan penahanan vitreous pada luka bedah
3) Traksional-Rhegmatogenous Retinal Detachment (TRRD), seperti
namanya, adalah hasil kombinasi dari robekan retina dan traksi retina. Retak retina,
yang sebagian besar terletak di dekat proliferasi fibrosa atau fibrovaskular, biasanya
sekunder akibat traksi yang merupakan komponen utama ablasi retina dalam kasus ini.
Bentuk ablasi retina ini, seperti TRD, paling sering terjadi pada penyakit retina dan
vitreoretinal proliferative (Ghazi & Green, 2002).
4) Exudative, Transudative atau Serous Retinal Detachment (SRD)
ditandai dengan akumulasi cairan di ruang subretinal tanpa adanya robekan atau traksi
retina. Sumber cairan adalah pembuluh retina, atau koroid, atau keduanya. Hal ini
dapat terjadi pada berbagai penyakit vaskular, peradangan atau neoplastik pada retina,
RPE, dan koroid di mana cairan bocor ke luar pembuluh dan menumpuk di bawah
retina. Jika proses berlanjut dan aktivitas pompa RPE normal menjadi kewalahan, atau
jika aktivitas RPE menurun karena kehilangan RPE atau penurunan suplai metabolik
(misalnya iskemia), maka cairan mulai menumpuk dan terjadi ablasi retina (Ghazi &
Green, 2002).
Jenis ablasi retina ini bisa juga karena penumpukan darah di ruang subretinal
(detasemen retina hemoragik). Penyakit inflamasi yang dapat menyebabkan SRD
termasuk skleritis posterior, ophthalmia simpatik, dan penyakit pembuluh darah
kolagen. Penyakit vaskular termasuk hipertensi maligna, toksemia kehamilan, oklusi
vena retina, dan berbagai bentuk neovaskularisasi koroid termasuk vaskulopati koroid
polipoidal. Tumor koroid yang mungkin terkait dengan SRD termasuk beberapa nevi,
melanoma, hemangioma, limfoma, dan tumor metastatik. Juga SRD dapat iatrogenik
setelah operasi ablasi retina dan fotokoagulasi laser (Ghazi & Green, 2002).
HIGH MYOPIA
Terdapat banyak faktor penyebab myopia. Kemungkinan faktor genetik/
herediter dan lingkungan berperan dalam perkembangan miopia. Faktor genetik yang
berperan bersifat multiple dan bukan hanya satu gen, yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan bola mata sehingga menyebabkan miopia (Basri, 2014). Sedangkan
faktor lingkungan, seperti pekerjaan jarak dekat (menulis, melihat layar, dan
membaca) dikaitkan dengan keterlambatan akomodasi, yaitu kondisi akomodasi lensa
mata tidak berespons cukup kuat terhadap objek dekat, sehingga titik fokus terbaik
terbentuk di belakang retina (hyperopic defocus). Hal ini menyebabkan penglihatan
buram akibat keterlambatan akomodasi mendorong pertumbuhan mata secara
berlebihan dan menyebabkan terjadinya myopia (Dinari, 2022).

4. Mahasiswa Mampu Mengetahui Patofisiologi Retinal detachment dan High


myopia
Retinal detachment
Patofisiologi ablatio retina (retinal detachment) adalah terjadinya pemisahan antara
lapisan neurosensori retina dengan lapisan terluarnya, yakni lapisan epitel pigmen
retina dan juga koroid. Ruangan potensial terisi cairan pada kasus ablatio retina ini
disebut subretina. Koroid adalah lapisan kaya pembuluh darah antara retina dan
sklera, yang bertanggung jawab memberikan asupan nutrisi dan oksigen ke lapisan
retina outer segment fotoreseptor. Terpisahnya lapisan neurosensori dengan lapisan
epitel pigmen menyebabkan sirkulasi nutrisi ke retina terganggu.
Retina merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan saraf (fotoreseptor) yang
berperan penting dalam proses penglihatan. Retina melapisi permukaan dalam 2/3
bagian posterior bola mata dan berakhir secara sirkumferensial di bagian anterior ora
serata. Retina terdiri dari 10 lapisan, dengan lapisan terluar yakni lapisan epitel
pigmen retina dan lapisan bagian yang dalam terdiri dari lapisan-lapisan sel
neurosensori. Lapisan epitel pigmen retina melekat pada koroid. Pada daerah makula
yang tidak memiliki cabang pembuluh darah dari retina dan tergantung sepenuhnya
pada pembuluh darah koroid, ablatio yang terjadi akan menyebabkan penurunan tajam
penglihatan yang drastis, dan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada
fotoreseptor (sel batang dan kerucut). Sedangkan gangguan metabolisme pada lapisan
neurosensori selain makula, apabila berlangsung lama, juga dapat menyebabkan
kerusakan fotoreseptor yang permanen dan tidak bisa diperbaiki, walaupun tindakan
pembedahan sudah memperbaiki letak lapisan tersebut secara anatomi. ( Jalali, 2018)

High myopia
patofisiologi terjadinya karena titik fokus cahaya jatuh di depan retina. Hal ini
umumnya disebabkan oleh kornea yang terlalu melengkung, panjang aksial mata
terlalu panjang, atau bisa jadi keduannya. Pasien dengan myopia akan melihat objek
yang jauh menjadi kabur sedangkan objek yang dekat terlihat jelas.

5. Mahasiswa Mampu Memahami Alur diagnosis dan Diagnosa banding Retinal


detachment dan High myopia
A. RETINAL DETACHMENT
1. ALUR DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis, serta penunjang (Tanto,
2018) :
● Anamnesis
1. Fotopsia merupakan sensasi subjektif seperti melihat kilatan cahaya. Biasanya
berlangsung singkat pada lapang pandang temporal, terlihat terutama saat gelap,
dan setelah pergerakan mata. Hal ini menggambarkan proses traksi dari tempat
adhesi vitreoretina.
2. Floaters : sensasi subjektif seperti melihat objek beterbangan berwarna gelap
yang terjadi di vitreus.
3. Defek lapang pandang dideskripsikan sebagian lapang pandang seperti tertutup
tirai gelap.
● Pemeriksaan Fisis
1. Relative afferent pupillary defect muncul pada mata dengan ablasio retina
ekstensif.
2. Tekanan intraokular: lebih rendah 5 mmHg dibandingkan mata yang tidak
mengalami ablasio.
3. Iritis ringan sering kali ditemukan.
4. Gambaran tobacco dust terdiri atas sel pigmen yang terlihat pada vitreus anterior.
5. Robekan retina tampak seperti diskontinuitas dari permukaan retina berwarna
kemerahan pada funduskopi
6. Kelainan pada retina sesuai dengan lamanya retinal detachment yang terjadi.
a. Retinal detachment Baru, dapat ditandai dengan:
➢ Ablasio retina memiliki konfigurasi konveks dan tampilan yang sedikit opak
karena edema retina
➢ Cairan subretina dapat meluas sampai ora serata.
b. Retinal detachment Lama, dapat ditandai dengan :
➢ Kekeruhan vitreus
➢ Retina yang pucat dan didapatkan proliferative vitreoretinopathy (PVR);
➢ Garis demarkasi subretina yang diakibatkan oleh proliferasi dari sel pigmen retina
pada sambungan retina.
● Pemeriksaan Penunjang
Pada mata dengan media yang keruh, diagnosis ablasio retina dapat ditegakkan
dengan menggunakan ultrasonografi.
2. DIAGNOSIS BANDING
a. Posterior Vitreous Detachment: adalah kondisi terlepasnya korteks vitreous dari
retina posterior dan diskus optik. Gejala klinis mirip retinal detachment, yakni
floaters dan fotopsia. Pada pemeriksaan oftalmoskopi didapatkan partikel-partikel
pada korteks vitreous yang membiaskan cahaya dan bergerak ketika bola mata
bergerak. Tanda patognomonik PVD adalah cincin gliotik pre-papiler (Weiss
ring) pada pemeriksaan segmen posterior. Pemeriksaan mata yang teliti dan
berkala pada retina perlu dilakukan untuk mengeksklusi retinal detachment,
sebab PVD merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya retinal
detachment di kemudian hari. Pemeriksaan ocular CT-scan dan ultrasonografi
mata dapat membantu membedakan diagnosis (Tanto, 2018).
b. Optic Neuritis : Optic neuritis dapat memberikan gejala fotopsia juga, seperti
retinal detachment. Umumnya optik neuritis disertai rasa nyeri retrobulbar dan
gejala fotopsia yang cenderung muncul saat bola mata bergerak (Tanto, 2018).
c. Uveitis Posterior : Uveitis posterior juga dapat memberikan gejala floaters,
fotopsia, dan penurunan tajam penglihatan. Uveitis posterior dapat disertai rasa
nyeri pada mata walaupun tidak seberat uveitis anterior. Pemeriksaan
laboratorium serologi berguna untuk mencari penyakit-penyakit sistemik
penyebab uveitis, misalnya sifilis, tuberkulosis, dan toksoplasmosis (Tanto, 2018)
d. Perdarahan Vitreous : Perdarahan vitreous dapat memberikan keluhan penurunan
tajam penglihatan mendadak tanpa rasa nyeri dan munculnya floaters, seperti
retinal detachment. Pemeriksaan slit-lamp dan funduskopi dengan dilatasi pupil,
dapat melihat adanya perdarahan di vitreous yang membedakannya dengan
retinal detachment (Tanto, 2018).
B. HIGH MYOPIA
1. ALUR DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis high myopia, harus dilakukan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, pasien mengeluh
penglihatan kabur saat melihat jauh, cepat lelah saat membaca atau melihat benda
dari jarak dekat. Pada pemeriksaan ophthalmologist dilakukan pemeriksaan
refraksi yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara subjektif dan
objektif. Cara subyektif dilakukan dengan menggunakan optotype dari Snellen
dan trial lenses; dan cara objektif dengan oftalmoskopi direk dan pemeriksaan
retinoskopi (Sidarta, 2019).
Pemeriksaan dengan optotype Snellen dilakukan dengan jarak pemeriksa dan pasien
sebesar 6 meter sesuai dengan jarak tak terhingga, dan pemeriksaan harus
dilakukan dengan tenang, baik pemeriksa maupun pasien. Visus yang terbaik
adalah 6/6, yaitu pada jarak pemeriksaan 6 meter dapat terlihat huruf yang
seharusnya terlihat pada jarak 6 meter. Bila huruf terbesar dari Snellen tidak dapat
terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara meminta penderita menghitung
jari pada dasar putih, pada bermacam-macam jarak. Hitung jari pada penglihatan
normal terlihat pada jarak 60 meter, jika pasien hanya dapat melihat pada jarak 2
meter, maka besar visusnya adalah 2/60. Apabila pada jarak terdekat pun hitung
jari tidak dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksa
menggerakan tanganya pada berbagai arah dan meminta pasien mengatakan arah
gerakan tersebut pada berbagai jarak. Gerakan normal pada mata normal dapat
terlihat dari jarak 300 meter, jika pasien hanya dapat melihat pada jarak 1 meter,
maka visus pasien tersebut 1/300 (Sidarta, 2019).
Apabila gerakan tangan tidak dapat terlihat pada jarak terdekat sekalipun, maka
pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan sinar atau cahaya dari senter
pemeriksa dan mengarahkan sinar tersebut pada mata pasien dari segala arah
dengan salah satu mata ditutup. Pada pemeriksaan ini penderita harus dapat
melihat arah sinar dengan benar, apabila masih dapat melihat arah sinar dengan
benar, maka fungsi retina bagian perifer masih baik dan dikatakan visusnya 1/~
dengan proyeksi baik (Sidarta, 2019).
Namun, jika penderita hanya dapat melihat sinar dan tidak dapat menentukan arah
dengan benar atau pada beberapa tempat tidak dapat terlihat maka berarti retina
tidak berfungsi dengan baik dan dikatakan sebagai proyeksi buruk. Bila cahaya
senter sama sekali tidak terlihat oleh penderita maka berarti terjadi kerusakan dari
retina secara keseluruhan dan dikatakan dengan visus 0 (nol) atau buta total
(Sidarta, 2019).
Pada kelainan refraksi miopia, ketajaman penglihatan dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman
penglihatan terbaik tanpa akomodasi. Pemeriksaan oftalmoskopi, pada kasus
yang disertai kelainan refraksi akan memperlihatkan gambaran fundus yang tidak
jelas terkecuali jika lensa koreksi pada lubang penglihatan oftalmoskopi diputar.
Sehingga dengan terlebih dahulu memperlihatkan keadaan refraksi pemeriksa,
maka pada pemeriksaan oftalmoskopi besar lensa koreksi yang digunakan dapat
menentukan macam dan besar kelainan refraksi pada penderita secara kasar. Pada
penderita miopia, pada segmen anterior tampak bilik mata dalam dan pupil lebih
lebar dan kadang ditemukan bola mata yang agak menonjol (Sidarta, 2019).
2. DIAGNOSIS BANDING
a. Katarak : Pasien katarak juga mengalami penurunan tajam penglihatan seperti
pada gangguan refraksi. Pasien katarak akan mengeluhkan pandangan berkabut
dan pada pemeriksaan mata akan didapatkan lensa yang keruh (Kurmasela,
2013).
b. Glaukoma : Pada glaukoma terjadi kerusakan nervus optikus yang umumnya
berkaitan dengan peningkatan tekanan intraokular. Untuk membedakan dengan
gangguan refraksi, pada glaukoma akan ditemukan defek lapang pandang dan
cupping pada pemeriksaan funduskopi (Kurmasela, 2013).
c. Retinopati : Pasien retinopati akan mengeluhkan penurunan tajam penglihatan
seperti gangguan refraksi. Retinopati umumnya berkaitan dengan hipertensi
ataupun DM. Berbeda dengan gangguan refraksi, gambaran funduskopi pada
retinopati akan menunjukkan kelainan pada retina (Kurmasela, 2013).

6. Mahasiswa Mampu Memahami Komplikasi dan Prognosis Retinal detachment


dan High myopia
Retinal detachment
Komplikasi
Retinal detachment adalah salah satu kelainan mata yang dapat mengancam
penglihatan dan komplikasinya dapat menyebabkan kebutaan. Retinal detachment
merupakan kelainan mata yang memerlukan penatalaksanaan bedah yang segera dan
komprehensif untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan dan kebutaan yang
permanen (Luh et al., 2022).
Prognosis
Pada umumnya, penatalaksanaan Retinal detachment adalah scleral buckling,
vitrektomi, dan pneumatic retinopexy dengan tujuan untuk menempelkan kembali
retina yang lepas kembali ke lapisan dibawahnya. Pada 95% kasus Retinal detachment
yang telah dilakukan tindakan operasi, umumnya retina dapat kembali menempel
secara anatomi. Sedangkan untuk prognosis dari kembalinya tajam penglihatan pada
kasus Retinal detachment ditentukan oleh keterlibatan makula dan seberapa lama
berlangsungnya keterlibatan makula tersebut, apabila makula ikut terlepas pada kasus
ablasio retina maka prognosisnya akan lebih buruk daripada kasus ablasio retina tanpa
keterlibatan makula. Terlepasnya makula kurang dari 1 minggu akan jauh lebih baik
prognosisnya dibandingkan dengan kasus ablasio retina dengan keterlibatan makula
lebih dari 1 minggu (Luh et al., 2022).
Komplikasi
Miopia adalah salah satu kelainan gangguan penglihatan yang paling sering
ditemukan. Panjang aksial bola mata dan derajat miopia memiliki hubungan erat
dengan peningkatan tekanan intraokular (TIO)Miopia yang tidak terkoreksi dapat
menyebabkan komplikasi berupa ablasio retina, neovaskularisasi koroid, katarak,
glaukoma, dan atrofi makula yang dapat berakhir pada kehilangan penglihatan secara
permanen (Aliviana, 2020).
Prognosis
Penderita miopia dengan onset dini dan miopia tinggi memiliki prognosis yang lebih
buruk untuk ketajaman visual jangka panjang. Para penderita ini cenderung memiliki
tingkat progresifitas miopia yang lebih tinggi dengan panjang aksial yang lebih
panjang. Pasien dengan panjang aksial yang lebih panjang memiliki risiko lebih besar
untuk mengembangkan degenerasi retina rabun dan patologi terkait lainnya . Pada
miopia ringan atau yang sedang, prognosisnya bagus jika pasien miopia menggunakan
kacamata yang cocok serta sesuai instruksi medis. Jika miopia bersifat progresif,
prognosisnya buruk, utamanya bila disertai dengan perubahan pada koroid dan vitreus
dan pada penderita miopia maligna prognosisnya buruk (Aliviana, 2020).

7. Mahasiswa Mampu Memahami Tatalaksana (promotif, preventif, kuratif, dan


rehabilitatif) Retinal detachment dan myopia
PENATALAKSANAAN RETINAL DETACHMENT
Profilaksis
Profilaksis yang dapat digunakan untuk mencegah ablasio retina adalah dengan
menutup break, menggunakan cryotherapy atau fotokoagulasi laser. Cryotherapy pada
area yang luas meningkatkan risiko lepasnya epitel pigmen yang dapat memicu
pembentukan membrane epiretinal. Oleh sebab itu, laser dipilih pada lesi yang lebih
luas, namun sulit untuk lesi sangat perifer. Cryotherapy lebih dipilih pada media yang
keruh, ukuran pupil lebih kecil dan lesi di anterior. Terapi yang digunakan juga
berdasarkan pilihan, pengalaman operator, serta ketersediaan alat.

Operasi pada Ablasio Retina


Prinsip operasi dari ablasio retina regmatogen adalah dengan menemukan semua
break, membuat iritasi korioretina (skar) di sekitar setiap break dan melekatkan antara
retina dan EPR dalam waktu yang cukup agar ruang subretina tertutup secara
permanen, dan mengurangi atau menghilangkan traksi retina. Tindakan operatif untuk
ablasio retina ini dilakukan oleh dokter mata dengan keahlian khusus vitreoretina.
Tindakan operatif yang dilakukan dapat dilakukan baik dengan lokal anestesi maupun
anestesi umum, tergantung hasil evaluasi dokter terhadap kondisi pasien. Operasi
yang dapat dilakukan untuk mengatasi ablasio retina dijelaskan di bawah ini.
1. Vitrektomi
Vitrektomi merupakan operasi yang membebaskan traksi retina dengan
menghilangkan vitreus, terutama yang menyebabkan tarikan pada robekan retina,
sehingga terjadi perlekatan kembali antara retina dan lapisan EPR. Kemudian robekan
dapat ditutup dengan retinopexy. Pars plana vitrectomy menggunakan 3 probe. Probe
yang pertama untuk infus balanced salin solution (BSS), probe kedua untuk iluminasi
segmen posterior, probe ketiga untuk
bermacam-macam instrumen operasi. Operasi ini dilakukan menggunakan operating
microscope dengan retinal viewing system.
Indikasi vitrektomi:
• primary vitrectomy pada ablasio retina (semua stadium),
• ablasio retina dengan kekeruhan vitreus,
• ablasio retina dengan giant retinal break,
• ablasio retina dengan PVR
Sebagai tamponade, dapat digunakan bahan berupa gas (SF6, C2F6, C3F8), heavy
liquid (perfluorocarbon liquid) atau silicone oil untuk ditempatkan pada rongga
vitreus. Gelembung gas akan menghilang sendiri. Pasien harus dalam posisi tertentu
beberapa jam dalam sehari bila menggunakan gas. Posisi optimal didapatkan
berdasarkan lokasi robekan dan gravitasi pada gelembung. Posisi kepala juga harus
dapat meminimalisir kontak dengan lensa karena dapat
menimbulkan katarak. Pasien dalam terapi gas tidak boleh naik pesawat atau
menghirup gas anestesi yang mengandung NO untuk menghindari peningkatan
tekanan intraokular.
Tamponade heavy fluid dapat digunakan pada kasus PVR, giant tear, trauma mata,
dislokasi lensa, pendarahan suprakoroid, ablasio retina regmatogen dan perdarahan
submakula. Heavy fluid tidak bisa digunakan dalam jangka waktu lama karena toksik
terhadap mata, terdispersi menjadi gelembung kecil dan menimbulkan kompresi pada
retina.
Sebuah penelitian yang melibatkan 275 pasien dengan mata pseudofakia yang diterapi
dengan vitrektomi, tingkat kesuksesan single-operation adalah 88% dan tingkat
kesuksesan akhir (termasuk dengan operasi ulang) adalah 96%; median dan tajam
penglihatan (visual acuity) meningkat dari 20/300 ke 20/40. Studi perspektif lain
dilakukan pada 100 pasien dengan mata pseudofakia menunjukkan tingkat kesuksesan
single-operation di angka 92% dan tingkat kesuksesan akhir 97%; rata-rata tajam
penglihatan secara substansial meningkat dari 20/200 ke 20/50, dengan absolute
acuity yang lebih baik pada subkelompok tanpa preoperative macular detachment.
Pada penelitian lainnya ditemukan progresivitas katarak sebesar 79% pada pasien
diatas 50 tahun, namun hanya 7% pada pasien muda. Pada sebuah studi ditemukan
keberhasilan penempelan lapisan retina vitrektomi sebesar 88% dengan hasil akhir
setelah tambahan intervensi sebesar 96%.
2. Pneumatic Retinopexy
Pneumatic retinopexy adalah sebuah tindakan menyuntikkan gelembung gas ke
rongga vitreus untuk mendorong tear dari dalam sehingga retina melekat kembali.
Tegangan permukaan gas menutup break dan mencegah gas memasuki ruang
subretina. Gas ini akan mengembang lewat absorpsi nitrogen jaringan dan gas lain.
Larutnya gas dari dalam bola mata diikuti oleh penutupan permanen dan penempelan
retina. Gas yang digunakan antara lain udara biasa, perfluoropropane/ C3F8, atau
sulfurhexaflorida/ SF6.

Pneumatic retinopexy dipilih pada ablasio dengan posisi break superior (dua pertiga
bagian atas fundus), semua break telah ditemukan, pasien yang kooperatif dan media
yang jernih. Keuntungan dari metode ini antara lain invasi minimal, komplikasi lebih
sedikit, dan lebih murah. Posisi kepala memengaruhi efektivitas dari pneumatic
retinopexy, karena gelembung gas akan mengapung ke arah atas. Pada sebuah studi,
pneumatic retinopexy mempunyai keberhasilan 75% pada mata fakik, dan 67% pada
pseudofakia dengan tingkat keberhasilan 99% setelah 6 bulan. Komplikasi yang
terjadi sangat jarang yaitu membran epiretinal, katarak, dan endoftalmitis.
3. Scleral Buckle
Scleral buckle merupakan terapi yang dilakukan dari luar (ekstraokular). Scleral
buckle dilakukan dengan menjahit material dengan ukuran yang sesuai ke sklera,
dengan tujuan menekan dinding bola mata di bawah break retina. Sehingga terjadi
kontak antara retina dan lapisan EPR yang terpisah. Material scleral buckle terbuat
dari silikon lunak atau keras dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi yang
disesuaikan agar dapat menutup break. Radial explant (ditempatkan mengarah ke
limbus) digunakan untuk u-tear atau break posterior. Circumferential segmental
explant (ditempatkan mengelilingi sebagian limbus) digunakan untuk break multipel,
pada satu atau dua kuadran atau jarak bervariasi dari ora serrata, break anterior dan
dialisis. Encircling explant ditempatkan di sekeliling bola mata untuk mendapatkan
buckle 360o. Break dapat ditutup dengan menggunakan cryotheraphy maupun laser.

Penatalaksanaan Holistik Miopia


Tatalaksana Promotif
Tatalaksana promotif miopia bertujuan untuk meningkatkan kesehatan mata dan
mencegah terjadinya miopia. Beberapa tatalaksana promotif miopia yang dapat
dilakukan antara lain:
• Menjaga pola tidur yang cukup: Pola tidur yang cukup dapat membantu
menjaga kesehatan mata. Sebaiknya tidur minimal 7-8 jam setiap malam dan hindari
tidur terlalu larut malam.
• Mengurangi paparan cahaya biru: Paparan cahaya biru dari layar komputer,
televisi, atau gadget dapat menyebabkan kelelahan mata dan meningkatkan risiko
miopia. Gunakan filter cahaya biru atau lindungi mata dengan kacamata anti radiasi
biru saat menggunakan gadget.
• Menjaga postur tubuh yang benar: Postur tubuh yang benar dapat membantu
mengurangi tekanan pada mata dan meningkatkan sirkulasi darah ke mata.
• Menggunakan kacamata atau lensa kontak: Penggunaan kacamata atau lensa
kontak yang sesuai dapat membantu mengurangi tekanan pada mata dan mengurangi
risiko miopia.
• Perawatan kesehatan secara holistik: Perawatan kesehatan secara holistik,
seperti mengurangi stres dan merawat kesehatan tubuh secara keseluruhan, dapat
membantu menjaga kesehatan mata.
Tatalaksana promotif miopia juga meliputi upaya untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan mata. Beberapa cara yang dapat
dilakukan antara lain mengadakan edukasi dan memberikan informasi yang akurat
tentang cara menjaga kesehatan mata
Tatalaksana Preventif
Miopia atau rabun jauh merupakan kelainan refraksi mata yang dapat dicegah dengan
beberapa tatalaksana preventif. Beberapa tatalaksana preventif miopia yang dapat
dilakukan antara lain:
• Pemeriksaan mata secara rutin
Pemeriksaan mata secara rutin dapat membantu mendeteksi masalah refraksi mata dan
mengambil tindakan preventif sejak dini.
• Menjaga jarak pandang: Hindari membaca atau menatap layar terlalu dekat
dengan mata. Pastikan jarak pandang minimal 30 cm dari layar atau benda yang
dilihat.
• Istirahat mata secara teratur: Istirahatkan mata setiap 20 menit sekali ketika
membaca atau menatap layar selama lebih dari satu jam. Tataplah jauh selama
beberapa menit untuk mengurangi kelelahan mata.
• Pola makan sehat: Pola makan sehat dan kaya akan nutrisi dapat membantu
menjaga kesehatan mata. Konsumsi makanan yang kaya akan vitamin A, C, E, dan
omega-3.
• Olahraga secara teratur: Olahraga secara teratur dapat membantu
meningkatkan sirkulasi darah ke mata dan mengurangi risiko miopia.
Tatalaksana Kuratif
1. Farmakologi
Atropin
Penggunaan atropine dewasa ini dianggap mampu mencegah dan memperlambat
pregoresifitas miopia. Atropin adalah antagonis nonselektif reseptor muskarinik.
Atropin dilaporkan merangsang biosintesis matriks ekstraseluler dalam sel fibroblas
sklera, sehingga mampu menebalkan jaringan sklera dan mengurangi elastisitasnya
serta kecenderungan untuk memanjang. Selain itu, atropin dapat menurunkan
biosintesis matriks ekstraseluler di jaringan lain seperti fibroblast koroid sehingga
meningkatkan perfusi darah sklera melalui koroid, karena permeabilitas matriks
ekstraseluler yang lebih tinggi dan mampu memperlambat perkembangan myopia
(Cristaldi et al., 2020).
2. Non Farmakologi
• Kacamata
Salah satu tatalaksana korektif miopia yang paling umum. Kacamata dengan lensa
minus digunakan untuk membantu fokus pada objek yang jauh. Kacamata harus
dipilih dan disesuaikan dengan ukuran kepala dan bentuk wajah setiap individu untuk
memberikan kenyamanan dan efektivitas yang maksimal.
• Lensa Kontak
Lensa kontak rigid gas-permeable (RGP) awalnya diperkirakan mampu
memperlambat progresivitas miopia; namun, lensa kontak umumnya diresepkan saat
progresivitas miopia mulai melambat (usia 12 tahun dan seterusnya) dan lensa kontak
ini bersifat meratakan kornea, sehingga titik fokus yang semula berada di depan
retina, dapat berpindah tepat ke retina. Sejumlah uji klinis10,11 menunjukkan baik
lensa kontak konvensional lunak maupun RGP tidak mengubah progresivitas miopia
(Al, 2022)
• Lasik
Operasi refraktif: Operasi refraktif termasuk prosedur LASIK (Laser-Assisted in Situ
Keratomileusis) dan PRK (Photorefractive Keratectomy) untuk mengubah bentuk
kornea dan memperbaiki refraksi mata yang salah. Prosedur ini umumnya aman dan
efektif, namun harus dilakukan oleh dokter ahli bedah mata yang berpengalaman.
Mind Mapping
Kesimpulan
Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti
pandangan berubah menjadi hitam seperti tertutup tirai pada bagian sisi dekat hidung, Visus :
mata kiri tajam penglihatan 2/60, Pemeriksaan TIO : Kanan (10,5 mmHg), Kiri (21,6 mmHg)
pasien menderita ablasio retina dan miopia.
DAFTAR PUSTAKA

Aliviana, B. (2020). Hubungan antara Panjang Aksial Bola Mata dan Derajat Miopia dengan
Tekanan Intraokular. Medical and Health Science Journal, 4(1), 13–18.
https://doi.org/10.33086/mhsj.v4i1.1444

Al Dinari, N. (2022). Miopia: Etiologi dan Terapi. Cermin Dunia Kedokteran, 49(10),
556-559.

Badhwar, V., Yeo, D., Joshi, S., Wong, S. C., & Reddy, M. A. (2019). An 11-month-old girl
with a retinal detachment. Digital Journal of Ophthalmology: DJO, 25(2), 33. Google Scholar

Basri, S. (2014). Etiopatogenesis dan Penatalaksanaan Miopia pada Anak Usia Sekolah.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol. 14 No. 3, 181-186.

Blair, K., Alhadi, S. A., & Czyz, C. N. (2021). Globe rupture. StatPearls [Internet]. Google
Scholar

C.W.Wong, et al. 2020. "Updates on Myopia".Introduction and Overview 14on Myopia: A


Clinical Perspective. https://doi.org/10.1007/978-981- 13-8491-2

Cristaldi, M., Olivieri, M., & Pezzino, S. (2020). Atropine differentially modulates ECM
production by ocular fibroblasts, and its ocular surface toxicity is blunted by colostrum.
Biomedicines, 8, 78

Dinari, N. A. (2022). Miopia: Etiologi dan Terapi. Cermin Dunia Kedokteran Ed. 309 Vol. 49
No. 10, 556-559.

Deepinder DK. Overview of Refractive Error. MSD Manual. 2022.


https://www.msdmanuals.com/professional/eye-disorders/refractive-error/overview-of-refract
ive-error

Fricke TR, Jong M, Naidoo KS, Sankaridurg P, Naduvilath TJ, Ho SM, et al. Global
prevalence of visual impairment associated with myopic macular degeneration and temporal
trends from 2000 through 2050: Systematic review, meta-analysis and modelling. Br J
Ophthalmol.2018;102(7):855-62.doi:10.1136/bjophthalmol-2017-311266

Ghazi, N., Green, W. (2002). Pathology and Pathogenesis of Retinal Detachment. Eye 16, 411–421.

Guo L, Yang J, Mai J, Du X, Guo Y, Li P, et al. Prevalence and associated factors of myopia
among primary and middle school-aged students: A school-based study in Guangzhou. Eye.
2016;30(6):796-804.doi:10.1038/eye.2016.39
Grzybowski A, Kanclerz P, Tsubota K, Lanca C, Saw SM. A review on the epidemiology of
myopia in school children worldwide. BMC Ophthalmol.
2020;20(1):1-11.doi:10.1186/s12886-019-1220-0

Iskandar Ferdy. 2020. Kontroversi Persalinan Spontan pada Miopia Tinggi. Jakarta :
CDK-291/ vol. 47 no. 10 th. 2020

Josifovska, N., Lumi, X., Szatmari-Tóth, M., Kristóf, E., Russell, G., Nagymihály, R.,
Anisimova, N., Malyugin, B., Kolko, M., & Ivastinović, D. (2019). Clinical and molecular
markers in retinal detachment—From hyperreflective points to stem cells and inflammation.
PloS One, 14(6), e0217548. Google Scholar

Jalali S. Retinal detachment. Community Eye Health. 2018;16(46):25-26.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1705859/

Kurmasela, G. P., Saerang, J. S. M. & Rares, L. 2013. Hubungan Waktu Penggunaan Laptop
dengan Keluhan Penglihatan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. Jurnal e-Biomedik. 1(1) ; hlm. 291– 299.

Lanca C, Saw SM. The association between digital screen time and myopia: A systematic
review. Ophthalmic Physiol Opt. 2020;40(2):216-29. doi:10.1111/opo.12657

Luh, N., Made, A., Edyassari, I., Kusumastuti, F., Sudiarta, I. K. E., Sakit, R., & Cicendo, M.
(2022). Kejadian Ablasio Retina Regmatogen Pada Miopia Tinggi

Morgan IG, Ohno-Matsui K, Saw SM. Myopia. Lancet 2012;379(9827):1739-48.


doi:10.1016/S0140-6736(12)60272-4

Nguyen, K. H., Patel, B. C., & Tadi, P. (2021). Anatomy, head and neck, eye retina.
StatPearls [Internet]. Google Scholar

Rahmani Fadlia Nur. 2022. TINJAUAN PUSTAKA RETINAL DETACHMENT PADA


PEDIATRI. Mataram : JURNAL SYNTAX FUSION Vol 2 No 01, Januari 2022 E-ISSN:
2775-6440 | P-ISSN: 2808-7208 Jurnal Homepage https://fusion.rifainstitute.com

Saxena R, Vashist P, Tandon R, Pandey RM, Bhardawaj A, Menon V, et al. Prevalence of


myopia and its risk factors in urban school children in Delhi: The North India myopia study
(NIM study). PLoS One 2015;10(2):1-11. doi:10.1371/journal.pone.0117349

Sidarta, Ilyas. 2019. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi keempat . Jakarta: Balai Penerbit FK
UI.

Tideman JWL, Polling JR, Hofman A, Jaddoe VWV, Mackenbach JP, Klaver CCW.
Environmental factors explain socioeconomic prevalence differences in myopia in 6-year-old
children. Br J Ophthalmol. 2018;102(2):243-7. doi:10.1136/bjophthalmol-2017-310292
Tanto, Chris. 2018. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Jakarta : Media Aesculapius.

WHO. World report on vision. World Heal Organ. 2019;214(14):1-160.

Anda mungkin juga menyukai