Anda di halaman 1dari 41

40 Hadits Tentang Pemimpin dan Penjelasanya

Dalil boleh membatalkan sumpah jabatan, untuk mengerjakan sesuatu yang lebih
bermanfaat bagi umat:

Diriwayatkan oleh Muslim, 1650, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata,


Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

‫َم ْن َح َلَف َع َلى َيِم يٍن َفَر َأى َغْيَر َها َخ ْيًرا ِم ْنَها َفْلَيْأِتَها َو ْلُيَك ِّفْر َع ْن‬
‫َيِم يِنِه‬
“Barangsiapa yang bersumpah, dan dia melihat yang lainnya itu lebih baik darinya,
maka pilihlah yang lebih baik dan tebuslah sumpahnya.”
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa barang siapa yang
bersumpah melakukan sesuatu amalan atau meninggalkannya.

Sementara melanggar itu lebih baik dari pada mengulur-ulur sumpah. Maka dia
dianjurkan untuk melanggarnya dan diharuskan menebusnya (kaffarah) dan hal ini
telah disepakati.”

Dalil yang lainnya:

‫َح َّد َثَنا َأُبو َم ْع َم ٍر َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلَو اِرِث َح َّد َثَنا ُيوُنُس َع ْن اْلَحَس ِن َقاَل‬
‫َح َّد َثِني َع ْبُد الَّرْح َمِن ْبُن َس ُم َر َة َقاَل َقاَل ِلي َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم َيا َع ْبَد الَّرْح َمِن ْبَن َس ُم َر َة اَل َتْس َأْل اِإْل َم اَر َة َفِإْن‬
‫ُأْع ِط يَتَها َع ْن َم ْس َأَلٍة ُو ِكْلَت ِإَلْيَها َو ِإْن ُأْع ِط يَتَها َع ْن َغْيِر َم ْس َأَلٍة‬
‫ُأِع ْنَت َع َلْيَها َو ِإَذ ا َح َلْفَت َع َلى َيِم يٍن َفَر َأْيَت َغْيَر َها َخ ْيًرا ِم ْنَها َفْأِت‬
‫اَّلِذ ي ُهَو َخ ْيٌر َو َك ِّفْر َع ْن َيِم يِنَك‬
Abu Said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda
kepada saya :

Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan,


karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk
melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan
diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah
bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik,
maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (Bukhari, Muslim)
40 Hadits lain Tentang Pemimpin dan Penjelasanya
Hadis ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah Tanggung jawab
seorang pemimpin
‫َح َّد َثَنا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن َم ْس َلَم َة َع ْن َم اِلٍك َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن ِد يَناٍر َع ْن َع ْبِد‬
‫ِهَّللا ْبِن ُع َم َر َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َأاَل ُك ُّلُك ْم َر اٍع‬
‫َو ُك ُّلُك ْم َم ْس ُئوٌل َع ْن َرِع َّيِتِه َفاَأْلِم يُر اَّلِذ ي َع َلى الَّناِس َر اٍع َع َلْيِهْم‬
‫َو ُهَو َم ْس ُئوٌل َع ْنُهْم َو الَّرُجُل َر اٍع َع َلى َأْهِل َبْيِتِه َو ُهَو َم ْس ُئوٌل‬
‫َع ْنُهْم َو اْلَم ْر َأُة َر اِعَيٌة َع َلى َبْيِت َبْع ِلَها َوَو َلِدِه َو ِهَي َم ْس ُئوَلٌة َع ْنُهْم‬
‫َو اْلَع ْبُد َر اٍع َع َلى َم اِل َس ِّيِدِه َو ُهَو َم ْس ُئوٌل َع ْنُه َفُك ُّلُك ْم َر اٍع َو ُك ُّلُك ْم‬
‫َم ْس ُئوٌل َع ْن َرِع َّيِتِه‬
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang
adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya.
Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang
dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang
isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab
dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas
memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan
kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal
yang dipimpinnya. (buchary, muslim)

Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam
hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun
jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin.
Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-
kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya,
seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung
jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan
seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang
dipimpinnya, dst.

Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas
lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin.
Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti
upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin.
Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti
pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan
tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung
jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.

Tapi cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan
binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang.
Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan
tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus
mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang
disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang
mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa
mengantungkan hidupnya kepada orang lain

Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud
tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi
makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan
pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab
yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja
rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan tersebut
belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin,
katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah”
saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang
kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah
bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam
bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak
pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa
masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu
dipertanyakan.

Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
‫َح َّد َثَنا َش ْيَباُن ْبُن َفُّر وَخ َح َّد َثَنا َأُبو اَأْلْش َهِب َع ْن اْلَحَس ِن َقاَل َع اَد‬
‫ُع َبْيُد ِهَّللا ْبُن ِز َياٍد َم ْع ِقَل ْبَن َيَس اٍر اْلُم زِنَّي ِفي َم َرِض ِه اَّلِذ ي َم اَت‬
‫ِفيِه َقاَل َم ْع ِقٌل ِإِّني ُم َح ِّد ُثَك َحِد يًثا َسِم ْع ُتُه ِم ْن َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم َلْو َع ِلْم ُت َأَّن ِلي َحَياًة َم ا َح َّد ْثُتَك ِإِّني َسِم ْع ُت َر ُسوَل‬
‫ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل َم ا ِم ْن َع ْبٍد َيْسَتْر ِع يِه ُهَّللا َرِع َّيًة‬
‫َيُم وُت َيْو َم َيُم وُت َو ُهَو َغ اٌّش ِلَرِع َّيِتِه ِإاَّل َح َّر َم ُهَّللا َع َلْيِه اْلَج َّنَة‬
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:
tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia
masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga.
(buchary, muslim)

Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa
kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah
namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan
kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di
dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun
kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada
pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik
itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam
kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah
organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila
pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan
rapuh. Begitu pula sebaliknya.

Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang
pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang
dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-
kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati
rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan,
diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak
kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di
dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk sorga” ini mencerminkan betapa
murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakayat.

Hadis ke 3
Pemimpin dilarang bersikap birokratis
‫َح َّد َثِني َهاُروُن ْبُن َسِع يٍد اَأْلْيِلُّي َح َّد َثَنا اْبُن َو ْهٍب َح َّد َثِني َح ْر َم َلُة‬
‫َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن ِش َم اَس َة َقاَل َأَتْيُت َع اِئَش َة َأْس َأُلَها َع ْن َش ْي ٍء‬
‫َفَقاَلْت ِمَّم ْن َأْنَت َفُقْلُت َر ُجٌل ِم ْن َأْهِل ِم ْص َر َفَقاَلْت َك ْيَف َك اَن‬
‫َص اِح ُبُك ْم َلُك ْم ِفي َغَز اِتُك ْم َهِذِه َفَقاَل َم ا َنَقْم َنا ِم ْنُه َش ْيًئا ِإْن َك اَن‬
‫َلَيُم وُت ِللَّرُج ِل ِم َّنا اْلَبِع يُر َفُيْع ِط يِه اْلَبِع يَر َو اْلَع ْبُد َفُيْع ِط يِه اْلَع ْبَد‬
‫َو َيْح َتاُج ِإَلى الَّنَفَقِة َفُيْع ِط يِه الَّنَفَقَة َفَقاَلْت َأَم ا ِإَّنُه اَل َيْم َنُع ِني اَّلِذ ي‬
‫َفَعَل ِفي ُمَحَّمِد ْبِن َأِبي َبْك ٍر َأِخ ي َأْن ُأْخ ِبَر َك َم ا َسِم ْع ُت ِم ْن َر ُسوِل‬
‫ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل ِفي َبْيِتي َهَذ ا الَّلُهَّم َم ْن َو ِلَي ِم ْن َأْم ِر‬
‫ُأَّمِتي َش ْيًئا َفَشَّق َع َلْيِهْم َفاْشُقْق َع َلْيِه َو َم ْن َو ِلَي ِم ْن َأْم ِر ُأَّمِتي َش ْيًئا‬
‫َفَر َفَق ِبِهْم َفاْر ُفْق ِبِه و َح َّد َثِني ُمَحَّم ُد ْبُن َح اِتٍم َح َّد َثَنا اْبُن َم ْهِد ٍّي‬
‫َح َّد َثَنا َج ِر يُر ْبُن َح اِز ٍم َع ْن َح ْر َم َلَة اْلِم ْص ِر ِّي َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن‬
‫ِش َم اَس َة َع ْن َع اِئَش َة َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِبِم ْثِلِه‬
‘Aisjah r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya
allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada
mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah
lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (hr. Muslim)

Penjelasan:
Hadis ini menerangkan tentang larangan seorang pemimpin untuk bersikap arogan,
elitis, represif dan birokratis atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena
sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan
mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Untuk mengurusi dokumen-dokumen
kewarganegaraan saja misalkan, seperti ktp, akta kelahiran, perijinan usaha, dsb,
seorang rakyat harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit dan memakan waktu
dan biaya yang tidak sedikit.

Padahal, seorang pemimpin, menurut hadis ini, harus memberikan pelayanan yang
maksimal serta tidak menyulitkan warga atau rakyat. Bila semua urusan itu bisa
dipermudah kenapa harus dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya bertujuan
untuk mempermudah, berbalik menjadi mempersulit segala urusan rakyat. Oleh sebab
itu, bila sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya, maka niscaya allah akan
mempersulit segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti.

Hadis ke 4
Kontrak politik sebagai mekanisme kontrol
terhadap pemimpin
‫َح َّد َثِني ُمَحَّم ُد ْبُن َبَّش اٍر َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن َج ْع َفٍر َح َّد َثَنا ُش ْع َبُة َع ْن‬
‫ُفَر اٍت اْلَقَّز اِز َقاَل َسِم ْع ُت َأَبا َح اِز ٍم َقاَل َقاَع ْد ُت َأَبا ُهَر ْيَر َة َخ ْمَس‬
‫ِس ِنيَن َفَسِم ْع ُتُه ُيَح ِّد ُث َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َك اَنْت‬
‫َبُنو ِإْس َر اِئيَل َتُسوُسُهْم اَأْلْنِبَياُء ُك َّلَم ا َهَلَك َنِبٌّي َخ َلَفُه َنِبٌّي َو ِإَّنُه اَل‬
‫َنِبَّي َبْع ِد ي َو َسَيُك وُن ُخَلَفاُء َفَيْك ُثُروَن َقاُلوا َفَم ا َتْأُم ُر َنا َقاَل ُفوا ِبَبْيَعِة‬
‫اَأْلَّو ِل َفاَأْلَّو ِل َأْع ُطوُهْم َح َّقُهْم َفِإَّن َهَّللا َس اِئُلُهْم َع َّم ا اْسَتْر َع اُهْم‬
Abu hurairah r.a berkata : rasulullah saw bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin
oleh nabi, tiap mati seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan
sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah.
Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah pesanmu
kepada kami? Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang pertama, dan
berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada allah bagimu, maka allah akan
menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam memelihara hambanya.

Penjelasan:
Pada umumnya, kata bai’at diartikan sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at
berasal dari suku kata bahasa arab ba-ya-‘a yang bermakna transaksi. Bila transaksi ini
konteksnya adalah ekonomi maka ia berarti jual beli yang kemudian dikenal dengan
kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Akan
tetapi bila konteks kata tersebut adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini
adalah sebuah perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul
s.a.w senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan, dengan
bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang menuntut pemenuhan
atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam transaksi mereka (pemimpin dan
rakyat).

Akan tetapi, dalam konteks belakangan ini, kata bai’at mengalami reduksi makna hanya
sekedar sumpah jabatan yang biasanya bersifat pasif dan tidak memberikan ruang
tawar menawar politik antara rakyat dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah
jabatan di indonesia misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan secara
sepihak antara mpr dan presiden namun tidak menyisakan ruang negoisasi antara
rakyat dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang dipimpin seharusnya berhak
membuat kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dengan presiden yang bila
kesepakatan itu dilanggar maka jabatan presidien dengan sendirinya akan gugur. Oleh
sebab itu, agar sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi ritual dalam setiap pemilihan
presiden atau pemimpin namun tidak memiliki dampak yang berarti dalam proses
kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal apa yang dalam istilah politik
disebut sebagai “kontrak politik”.

Kontrak politik di sini mengandung pengertian sebuah ruang dimana antara pemimpin
dan rakyat melakukan “transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu
yang memilki resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik,
dalam hal ini tidak berbeda dengan ba’at dalam istilah islam. Hanya saja, kontrak
politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara dan diketahui secara publik,
tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat, pemimpin dan di atas keduanya ada tuhan sebagai
saksi. Oleh sebab itu, bila kita memaknai hadis di atas secara dalam dan kontekstual,
maka kita dapat menangkap pesan bahwa rasul s.a.w menekankan betapa pentingnya
sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem kepemimpinan yang islami.

Hadis ke 5
Pemimpin dilarang bersikap otoriter
‫َح َّد َثَنا َش ْيَباُن ْبُن َفُّر وَخ َح َّد َثَنا َج ِر يُر ْبُن َح اِز ٍم َح َّد َثَنا اْلَحَس ُن َأَّن‬
‫َع اِئَذ ْبَن َع ْم ٍر و َو َك اَن ِم ْن َأْص َح اِب َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه‬
‫َو َس َّلَم َد َخ َل َع َلى ُع َبْيِد ِهَّللا ْبِن ِز َياٍد َفَقاَل َأْي ُبَنَّي ِإِّني َسِم ْع ُت‬
‫َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل ِإَّن َش َّر الِّرَع اِء اْلُح َطَم ُة‬
‫َفِإَّياَك َأْن َتُك وَن ِم ْنُهْم َفَقاَل َلُه اْج ِلْس َفِإَّنَم ا َأْنَت ِم ْن ُنَخ اَلِة َأْص َح اِب‬
‫ُمَحَّم ٍد َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَقاَل َو َهْل َك اَنْت َلُهْم ُنَخ اَلٌة ِإَّنَم ا َك اَنْت‬
‫الُّنَخ اَلُة َبْع َد ُهْم َو ِفي َغْيِرِهْم‬
‘Aidz bin amru r.a, ketika ia masuk kepada ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya
telah mendengar rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu
yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR. Buchary,
Muslim)

Penjelasan: –
Hadis ke 6
Pemimpin sebagai pelayan rakyat
‫َح َّد َثَنا ُس َلْيَم اُن ْبُن َع ْبِد الَّرْح َمِن الِّد َم ْش ِقُّي َح َّد َثَنا َيْح َيى ْبُن َحْم َزَة‬
‫َح َّد َثِني اْبُن َأِبي َم ْر َيَم َأَّن اْلَقاِس َم ْبَن ُم َخْيِمَر َة َأْخ َبَر ُه َأَّن َأَبا َم ْر َيَم‬
‫اَأْلْز ِد َّي َأْخ َبَر ُه َقاَل َد َخ ْلُت َع َلى ُم َع اِو َيَة َفَقاَل َم ا َأْنَع َم َنا ِبَك َأَبا ُفاَل ٍن‬
‫َو ِهَي َك ِلَم ٌة َتُقوُلَها اْلَعَر ُب َفُقْلُت َحِد يًثا َسِم ْع ُتُه ُأْخ ِبُر َك ِبِه َسِم ْع ُت‬
‫َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل َم ْن َو اَّل ُه ُهَّللا َع َّز َو َج َّل َش ْيًئا‬
‫ِم ْن َأْم ِر اْلُم ْس ِلِم يَن َفاْح َتَجَب ُد وَن َح اَجِتِهْم َو َخ َّلِتِهْم َو َفْقِر ِهْم اْح َتَجَب‬
‫ُهَّللا َع ْنُه ُد وَن َح اَجِتِه َو َخ َّلِتِه َو َفْقِر ِه َقاَل َفَجَعَل َر ُج اًل َع َلى َح َو اِئِج‬
‫الَّناِس‬
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah
saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin,
yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak
hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah
mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu
dawud, attirmidzy)

Penjelasan:
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak
disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas
menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya
hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak lebih
tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan
rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya
yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah
tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya.
Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk
melayani seluruh kepentingan rakyatnya.

Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan
“tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur,
kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang
yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala
kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak
melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk
“memecat” mereka dari jabatannya.

Hads ke 7
Pemimpin harus bersikap adil
‫َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن َس اَّل ٍم َأْخ َبَر َنا َع ْبُد ِهَّللا َع ْن ُع َبْيِد ِهَّللا ْبِن ُع َم َر َع ْن‬
‫ُخ َبْيِب ْبِن َع ْبِد الَّرْح َمِن َع ْن َح ْفِص ْبِن َع اِص ٍم َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َع ْن‬
‫الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َس ْبَع ٌة ُيِظ ُّلُهْم ُهَّللا َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِفي‬
‫ِظ ِّلِه َيْو َم اَل ِظ َّل ِإاَّل ِظ ُّلُه ِإَم اٌم َع اِد ٌل َو َش اٌّب َنَش َأ ِفي ِعَباَد ِة ِهَّللا‬
‫َو َر ُجٌل َذ َك َر َهَّللا ِفي َخ اَل ٍء َفَفاَض ْت َع ْيَناُه َو َر ُجٌل َقْلُبُه ُم َع َّلٌق ِفي‬
‫اْلَم ْس ِج ِد َو َر ُج اَل ِن َتَح اَّبا ِفي ِهَّللا َو َر ُجٌل َدَع ْتُه اْمَر َأٌة َذ اُت َم ْنِص ٍب‬
‫َو َج َم اٍل ِإَلى َنْفِس َها َقاَل ِإِّني َأَخ اُف َهَّللا َو َر ُجٌل َتَص َّد َق ِبَص َد َقٍة‬
‫َفَأْخ َفاَها َح َّتى اَل َتْع َلَم ِش َم اُلُه َم ا َص َنَع ْت َيِم يُنُه‬
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal
bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:

Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang
yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang
karena allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina
oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah.
Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat
pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya. (buchary, muslim)

Penjelasan:
Meski hadis ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin
keselamatannya oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh
hadis ini adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita
menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil
memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin
yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup
dalam.

Untuk melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap
rakyatnya adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya.
Bila seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua
warganya yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka
pemimpin itu bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu
hanya menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain
(elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu
telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.

Hadis ke 8
Jaminan bagi pemimpin yang adil
‫َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأِبي َش ْيَبَة َو ُز َهْيُر ْبُن َح ْر ٍب َو اْبُن ُنَم ْيٍر َقاُلوا‬
‫َح َّد َثَنا ُس ْفَياُن ْبُن ُع َيْيَنَة َع ْن َع ْم ٍر و َيْع ِني اْبَن ِد يَناٍر َع ْن َع ْم ِر و ْبِن‬
‫َأْو ٍس َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن َع ْم ٍر و َقاَل اْبُن ُنَم ْيٍر َو َأُبو َبْك ٍر َيْبُلُغ ِبِه الَّنِبَّي‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ِفي َحِد يِث ُز َهْيٍر َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى‬
‫ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَّن اْلُم ْقِس ِط يَن ِع ْنَد ِهَّللا َع َلى َم َناِبَر ِم ْن ُنوٍر َع ْن‬
‫َيِم يِن الَّرْح َمِن َع َّز َو َج َّل َو ِكْلَتا َيَد ْيِه َيِم يٌن اَّلِذ يَن َيْع ِد ُلوَن ِفي ُح ْك ِم ِهْم‬
‫َو َأْهِليِهْم َو َم ا َو ُلوا‬
Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya
orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari
cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang
diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (muslim)

Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara tentang “garansi” allah atas pemimpin yang berbuat
adil, maka hadis ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin yang
adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil adalah kelak
di sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara harfiyah, mimbar
berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak berdakwah atau
berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at biasanya mengacu pada
sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk kepentingan khotib. Sementara
cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi sebuah kehidupan. Kata cahaya biasanya
mengacu pada matahari sebagai penerang bumi, lampu sebagai penerang dari
kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata mimbar dari cahaya di dalam hadis di atas tentu
tidak serta merta dimaknai secara harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan
lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan mimbar cahaya adalah sebuah metafor
yang menggambarkan sebuah posisi yang sangat terhormat di mata allah. Posisi itu
mencrminkan sebuah ketinggian status setinggi cahaya matahari.

Hadis ke 9
Sorga bagi pemimpin yang adil
‫َح َّد َثِني َأُبو َغ َّساَن اْلِم ْس َم ِعُّي َو ُمَحَّم ُد ْبُن اْلُم َثَّنى َو ُمَحَّم ُد ْبُن َبَّش اِر‬
‫ْبِن ُع ْثَم اَن َو الَّلْفُظ َأِلِبي َغ َّساَن َو اْبِن اْلُم َثَّنى َقااَل َح َّد َثَنا ُم َع اُذ ْبُن‬
‫ِهَش اٍم َح َّد َثِني َأِبي َع ْن َقَتاَد َة َع ْن ُم َطِّر ِف ْبِن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن الِّشِّخ يِر‬
‫َع ْن ِعَياِض ْبِن ِح َم اٍر اْلُم َج اِش ِعِّي َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه‬
‫َو َس َّلَم َقاَل ََأْهُل اْلَج َّنِة َثاَل َثٌة ُذ و ُس ْلَطاٍن ُم ْقِس ٌط ُم َتَص ِّدٌق ُم َو َّفٌق‬
‫َو َر ُجٌل َرِح يٌم َرِقيُق اْلَقْلِب ِلُك ِّل ِذ ي ُقْر َبى َو ُم ْس ِلٍم َو َع ِفيٌف ُم َتَع ِّفٌف‬
‫ُذ و ِعَياٍل‬
Ijadl bin himar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang
ahli surga ada tiga macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari allah). Dan
orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin
berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri. (muslim).

Penjelaan:
Bila yang pertama tadi allah akan menjamin pemimpin yang berbuat adil dengan
jaminan naungan rahmat dari allah, dan hadis selanjutnya menjamin dengan jaminan
mimbar yang terbuat dari cahaya, maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan sorga.
Ketiga jaminan di atas tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua
jaminan itu menunjukkan betapa islam sangat menekankan pentingnya sikap keadilan
bagi seorang peimimpin. Rasul s.a.w tidak mungkin memberikan jaminan begitu tinggi
kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar dituntut untuk melakukan hal yang
sangat ditekankan dalam islam. Dan keadilan adalah perkara penting yang sangat
ditekankan dalam islam. Oleh karena itu, siapa yang menjunjung tinggi keadilan,
niscaya orang tersebut akan mendapat jaminan yang tinggi dari islam (allah), baik di
dunia, maupun di akhirat.

Hadis ke 10
Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
‫َح َّد َثَنا ُم َس َّدٌد َح َّد َثَنا َيْح َيى ْبُن َسِع يٍد َع ْن ُع َبْيِد ِهَّللا َح َّد َثِني َناِفٌع َع ْن‬
‫َع ْبِد ِهَّللا َرِض َي ُهَّللا َع ْنُه َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل الَّس ْم ُع‬
‫َو الَّطاَع ُة َع َلى اْلَم ْر ِء اْلُم ْس ِلِم ِفيَم ا َأَح َّب َو َك ِر َه َم ا َلْم ُيْؤ َم ْر ِبَم ْع ِص َيٍة‬
‫َفِإَذ ا ُأِمَر ِبَم ْع ِص َيٍة َفاَل َسْمَع َو اَل َطاَع َة‬
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at
pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika
diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan
tidak wajib ta’at.

Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap
pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib
ta’at dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh
berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap
pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat
ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat itu?

Secara bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun
secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita
membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan
pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan islam
dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kema’siyatan.

Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di
kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang
samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen,
di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa
menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan di sini tentunya bukan
penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-
tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil
rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang
mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan
kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya
itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin
yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siyat. Bahkan tindakan yang
tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga
termasuk ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang
tidak melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang
durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada allah.

Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap
pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup luas
(mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi
dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila
pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi
berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin
tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk
kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi ini.

Hadis ke 11
Kepemimpinan tidak mengenal warna kulit
‫َح َّد َثَنا ُم َس َّدٌد َح َّد َثَنا َيْح َيى ْبُن َسِع يٍد َع ْن ُش ْع َبَة َع ْن َأِبي الَّتَّياِح َع ْن‬
‫َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َرِض َي ُهَّللا َع ْنُه َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه‬
‫َو َس َّلَم اْس َم ُعوا َو َأِط يُعوا َو ِإْن اْس ُتْع ِمَل َع َلْيُك ْم َع ْبٌد َحَبِش ٌّي َك َأَّن َر ْأَس ُه‬
‫َز ِبيَبٌة‬
Anas r.a berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan ta’atlah meskipun yang
terangkat dalam pemerintahanmu seorang budak habasyah yang kepalanya bagaikan
kismis. (buchary)

Penjelasan:
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Begitu pula nabi muhammad s.a.w diutus
sebagai nabi bukan hanya untuk orang arab saja, melainkan untuk semua umat
manusia. Karena itu, para pengikut nabi bukan saja dari kalangan suku quraisy yang
menjadi suku bergengsi saat itu, melainkan juga dari suku-suku lainnya yang sebelum
datang islam termasuk suku “hina”. Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat nabi
yang bernama bilal bin rabah yang warna kulitnya cukup hitam legam. Padahal,
sebelum datangnya ajaran islam di arab dulu, orang kulit hitam adalah termasuk
kelompok suku yang sebagian besar berprofesi sebagai budak. Mereka sama sekali tidak
dihargai dan tidak diperlakukan sebagaimana manusia yang lain. Akan tetapi setelah
turun ajaran islam, semua batasan-batasan ras, warna kulit, dan golongan itu dihapus,
dan semua manusia adalah sama statsunya di muka allah, hanya keimanan dan
ketaqwaanlah yang membedakan mereka.

Pengakuan islam terhadap dimensi kemanusian universal bukan hanya dalam


pergaulan sosial sehari-hari, melainkan islam juga mengakui semua orang berhak
menjadi pemimpin. Tidak peduli mereka itu berkulit hitam, coklat, merah, hijau, dsb,
asalkan bisa memimpin secara adil, maka dia berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam
konteks ini, keadilan dan kejujuran menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan
seorang pemimpin, bukan warna kulit atau asal golongan. Dan apabila yang terpilih
sebagai pemimpin adalah dari kalangan kulit hitam, islam juga mewajibkan kita agar
tidak boleh meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga harus mematuhi semua
perintahnya (selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana kita mematuhi perintah
pemimpin-pemimpin yang lain.

Hadis ke 12
Keseimbangan hak rakyat dan tanggung jawab
pemimpin
‫َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن اْلُم َثَّنى َو ُمَحَّم ُد ْبُن َبَّش اٍر َقااَل َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن‬
‫َج ْع َفٍر َح َّد َثَنا ُش ْع َبُة َع ْن ِس َم اِك ْبِن َح ْر ٍب َع ْن َع ْلَقَم َة ْبِن َو اِئٍل‬
‫اْلَح ْض َر ِمِّي َع ْن َأِبيِه َقاَل َس َأَل َس َلَم ُة ْبُن َيِز يَد اْلُج ْع ِفُّي َر ُسوَل ِهَّللا‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَقاَل َيا َنِبَّي ِهَّللا َأَر َأْيَت ِإْن َقاَم ْت َع َلْيَنا ُأَم َر اُء‬
‫َيْس َأُلوَنا َح َّقُهْم َو َيْم َنُعوَنا َح َّقَنا َفَم ا َتْأُم ُر َنا َفَأْع َرَض َع ْنُه ُثَّم َس َأَلُه‬
‫َفَأْع َرَض َع ْنُه ُثَّم َس َأَلُه ِفي الَّثاِنَيِة َأْو ِفي الَّثاِلَثِة َفَج َذ َبُه اَأْلْش َع ُث ْبُن‬
‫َقْيٍس َو َقاَل اْس َم ُعوا َو َأِط يُعوا َفِإَّنَم ا َع َلْيِهْم َم ا ُح ِّم ُلوا َو َع َلْيُك ْم َم ا‬
‫ُح ِّم ْلُتْم و َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأِبي َش ْيَبَة َح َّد َثَنا َش َباَبُة َح َّد َثَنا ُش ْع َبُة َع ْن‬
‫ِس َم اٍك ِبَهَذ ا اِإْل ْسَناِد ِم ْثَلُه َو َقاَل َفَج َذ َبُه اَأْلْش َع ُث ْبُن َقْيٍس َفَقاَل‬
‫َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْس َم ُعوا َو َأِط يُعوا َفِإَّنَم ا َع َلْيِهْم َم ا‬
‫ُح ِّم ُلوا َو َع َلْيُك ْم َم ا ُح ِّم ْلُتْم‬
Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya
kepada rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami kepala-
kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka
bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah mengabaikan
pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw bersabda : dengarlah
dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban sendiri-sendiri atas mereka
ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung jawabmu. (muslim)

Penjelasan:
Rakyat memiliki hak dan pemimpin memiliki tanggung jaab. Begitu pula sebaliknya,
rakyat memiliki tanggung jawab dan pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya
harus ada keseimbangan dan kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang lain.
Akan tetapi kekuasaan sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena
hakekat kepemimpinan hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang pemimpin.
Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka kekuasaan
kembali berada di tangan rakyat.

Oleh sebab itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat dan pemimpin ini, maka masing-
masing memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang
pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya, dan mengebiri hak rakyatnya, akan
tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-hak rakyatnya secara
bebas.

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, mungkin kita sudah mengenal konsep
hak azazi manusia (ham). Oleh sebab itu, bila kita tarik hadis di atas dalam kontek saat
ini, maka sebanarnya nabi muhammad s.a.w jauh sebelumnya sudah mengajarkan
prinsip-prinsip ham dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak, dari hadis di atas
dapat kita gali sebuah pesan bahwa islam menjamin ham termasuk di dalamnya hak-
hak sipil dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob). Karena
itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham) warganya,
maka pemimpin itu telah keluar dari sunnah rasul s.a.w.

Hadis ke 13
Allah membenci pemimpin yang mengejar jabatan
‫َح َّد َثَنا َأُبو َم ْع َم ٍر َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلَو اِرِث َح َّد َثَنا ُيوُنُس َع ْن اْلَحَس ِن َقاَل‬
‫َح َّد َثِني َع ْبُد الَّرْح َمِن ْبُن َس ُم َر َة َقاَل َقاَل ِلي َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم َيا َع ْبَد الَّرْح َمِن ْبَن َس ُم َر َة اَل َتْس َأْل اِإْل َم اَر َة َفِإْن‬
‫ُأْع ِط يَتَها َع ْن َم ْس َأَلٍة ُو ِكْلَت ِإَلْيَها َو ِإْن ُأْع ِط يَتَها َع ْن َغْيِر َم ْس َأَلٍة‬
‫ُأِع ْنَت َع َلْيَها َو ِإَذ ا َح َلْفَت َع َلى َيِم يٍن َفَر َأْيَت َغْيَر َها َخ ْيًرا ِم ْنَها َفْأِت‬
‫اَّلِذ ي ُهَو َخ ْيٌر َو َك ِّفْر َع ْن َيِم يِنَك‬
Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda
kepada saya : ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam
pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh
allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka
akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah
bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik,
maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (buchary, muslim)

Penjelasan:
Dalam hadis lain rasul s.a.w juga pernah bersabda: “barang siapa telah menyerahkan
sebuah jabatan atau amanat kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya”. Kedua hadis di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa
amanat itu tidak perlu dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila kita
mencari dan mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya allah tidak akan
memabntu kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat itu,
maka justru allah akan membantu untuk meringankan beban amanat itu sendiri.

Hadis di atas sebenarnya mengajarkan tentang etika politik. Seoarang politisi tidak
serta-merta bebas dari etika, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita selama ini.
Melainkan seorang politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus berdasarkan sebuah
kode etik. Bila kehidupan politik tidak berasarkan etika, maka kesan yang muncul
kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak selamanya politik itu kotor, nabi
muhammad s.a.w sendiri pernah menjadi seorang politisi, tapi tidak pernah bermain
kotor.

Bila kita mencermati hadis di atas, maka akan kita temukan bahwa citra “ke-kotoran”
dari politik itu sebenarnya bersumber dari sikap para pelakuknya yang ambisius. Dalam
hal ini, ambisi menjadi salah satu faktor uatama dalam membentuk sikap dan
pandangan politik eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa tidak, dari ambisi itu,
seseorang bisa saja membunuh orang lain yang menjadi pesaing politiknya. Dan dari
ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja untuk meraih jabatan politik yang
diinginkannya, baik melalui korupsi, penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh
sebab itu, “menjaga ambsi” adalah sebuah etika politik yang diajarkan islam kepada
umatnya, terutama bagi mereka yang berkiprah di dunia politik.

Hadis ke 14
Amanat di balik jabatan
‫َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلَم ِلِك ْبُن ُش َع ْيِب ْبِن الَّلْيِث َح َّد َثِني َأِبي ُش َع ْيُب ْبُن الَّلْيِث‬
‫َح َّد َثِني الَّلْيُث ْبُن َس ْع ٍد َح َّد َثِني َيِز يُد ْبُن َأِبي َح ِبيٍب َع ْن َبْك ِر ْبِن‬
‫َع ْم ٍر و َع ْن اْلَح اِر ِث ْبِن َيِز يَد اْلَح ْض َر ِمِّي َع ْن اْبِن ُح َج ْيَر َة اَأْلْك َبِر‬
‫َع ْن َأِبي َذ ٍّر َقاَل ُقْلُت َيا َر ُسوَل ِهَّللا َأاَل َتْسَتْع ِم ُلِني َقاَل َفَضَرَب ِبَيِدِه‬
‫َع َلى َم ْنِكِبي ُثَّم َقاَل َيا َأَبا َذ ٍّر ِإَّنَك َضِع يٌف َو ِإَّنَها َأَم اَنُة َو ِإَّنَها َيْو َم‬
‫اْلِقَياَم ِة ِخ ْز ٌي َو َنَد اَم ٌة ِإاَّل َم ْن َأَخ َذ َها ِبَح ِّقَها َو َأَّد ى اَّلِذ ي َع َلْيِه ِفيَها‬
Abu dzar berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku?
Maka rasulullah memukul bahuku sambil berkata : hai abu dzar kau seorang yang
lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi
kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang yang dapat menunaikan hak dan
kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.

‫َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلَم ِلِك ْبُن ُش َع ْيِب ْبِن الَّلْيِث َح َّد َثِني َأِبي ُش َع ْيُب ْبُن الَّلْيِث‬
‫َح َّد َثِني الَّلْيُث ْبُن َس ْع ٍد َح َّد َثِني َيِز يُد ْبُن َأِبي َح ِبيٍب َع ْن َبْك ِر ْبِن‬
‫َع ْم ٍر و َع ْن اْلَح اِر ِث ْبِن َيِز يَد اْلَح ْض َر ِمِّي َع ْن اْبِن ُح َج ْيَر َة اَأْلْك َبِر‬
‫َع ْن َأِبي َذ ٍّر َقاَل ُقْلُت َيا َر ُسوَل ِهَّللا َأاَل َتْسَتْع ِم ُلِني َقاَل َفَضَرَب ِبَيِدِه‬
‫َع َلى َم ْنِكِبي ُثَّم َقاَل َيا َأَبا َذ ٍّر ِإَّنَك َضِع يٌف َو ِإَّنَها َأَم اَنُة َو ِإَّنَها َيْو َم‬
‫اْلِقَياَم ِة ِخ ْز ٌي َو َنَد اَم ٌة ِإاَّل َم ْن َأَخ َذ َها ِبَح ِّقَها َو َأَّد ى اَّلِذ ي َع َلْيِه ِفيَها‬
Abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : kamu akan berebut pemerintahan,
dan akan menjadi kemenyasalan pada hari qiyamat. (buchary)

Penjelasan:
Hadis ini tidak jauh berbeda dengan hadis sebelumnya di atas. Bila hadis sebelumnya
melarang kita agar tidak berambisi untuk meraih jabatan, maka hadis ini lebih
menekankan betapa beratnya amanat dalam sebuah jabatan. Dan saking beratnya
hingga rasul s.a.w mengatakan bahwa kelak di hari qiamat kita merasakan penyesalan
yang begitu dahsyat karena kita telah bersedia mengemban amanat itu. Janganlah kita
mengira bahwa menjadi seorang peimimpin dengan sendirinya akan bergelimang harta
dan kehormatan. Padahal, harta dan kehormatan itu justru menjadi batu sandungan
yang bisa mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam jurang kenistaan.

Lihatlah misalnya, seorang presiden dengan tanggung jawab yang begitu besar untuk
mensejahterakan rakyatnya, atau seorang suami yang begitu besar tanggung jawabnya
untuk menafkahi istrinya, atau seorang bapak yang memikul amanat untuk mebesarkan
anak-anaknya. Semua itu merupakan amanat yang harus dijaga dan dilaksanakan
sebaik-baiknya. Apabila kita tidak bisa berbuat adil dan tidak mampu mewujudkan
kehidupan yang lebih baik bagi pihak yang kita pimpin, maka janganlah sekali-kali kita
mencoba-coba untuk mengemban amanat tersebut. Apabila seorang presiden tidak
mampu mengemban amanat untuk membawa kehidupan bangsanya dari keterpurukan
menuju kesejahteraan dan keadilan, maka janganlah kita kembali memilih presiden
atau pemimpin itu untuk kedua kalinya. Karena itu, amanat adalah ringan dikatakan
namun berat untuk dilaksanakan. Barang siapa hanya bisa mengatakan namun tidak
bisa melaksanakan, maka ia tidak layak untuk dijadikan pemimpin.

Hadis ke 15
Pemimpin dilarang mengeksploitasi rakyat kecil
‫َح َّد َثَنا ُز َهْيُر ْبُن َح ْر ٍب َو ِإْس َح ُق ْبُن ِإْبَر اِهيَم ِكاَل ُهَم ا َع ْن اْلُم ْقِر ِئ‬
‫َقاَل ُز َهْيٌر َح َّد َثَنا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن َيِز يَد َح َّد َثَنا َسِع يُد ْبُن َأِبي َأُّيوَب َع ْن‬
‫ُع َبْيِد ِهَّللا ْبِن َأِبي َج ْع َفٍر اْلُقَرِش ِّي َع ْن َس اِلِم ْبِن َأِبي َس اِلٍم اْلَج ْيَش اِنِّي‬
‫َع ْن َأِبيِه َع ْن َأِبي َذ ٍّر َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َيا َأَبا‬
‫َذ ٍّر ِإِّني َأَر اَك َضِع يًفا َو ِإِّني ُأِح ُّب َلَك َم ا ُأِح ُّب ِلَنْفِس ي اَل َتَأَّمَر َّن‬
‫َع َلى اْثَنْيِن َو اَل َتَو َّلَيَّن َم اَل َيِتيٍم‬
Abu dzar r.a. Berkata : rasulullah saw abersabda : ya abu dzar saya melihat kau seorang
yag lemah, dan saya suka bagi dirimu apa yang saya suka bagi diriku sendiri, jangan
menjadi pemimpin walau terhadap dua orang, dan jangan menguasai harta anak yatim.
(muslim)

Penjelasan:
Hadis ini menerangkan kepada kita bahwa jabatan sebagai pemimpin itu sangat berat,
hingga rasul.s.a.w menganjurkan salah seorang sahabat untuk, kalau bisa, tidak menjadi
pemimpin walau hanya terhadap dua orang. Akan tetapi pesan yang paling menonjol
dari hadis di atas adalah bahwa godaan terberat bagi seorang peimimpin adalah
menguasai harta anak yatim. Tentunya, anak yatim di sini adalah salah satu contoh
yang merepresentaskan sebuah kelompok masyarakat yang paling lemah. Di luar anak
yatim, kita juga bisa menyaksikan orang-orang lemah yang lain, seperti, janda tua,
anak-anak terlantar, pengemis, buruh, petani gurem, pengangguran, dsb, yang semua
itu menjadi tanggung jawab pemimpin untuk melindunginya, bukan untuk
menguasainya. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana kita menguasai harta mereka, la
wong mereka aja tidak punya harta?

Yang dimaksud menguasai harta mereka ini bukan berarti kita mengambil alih harta
kekayaan mereka, melainkan tindakan mengeksploitasi keberadaan mereka untuk
kemudian dijual sehingga menghasilkan uang juga termasuk menguasai harta mereka.
Selain itu, kebijakan yang tidak berpihak terhadap kaum miskin dan anak yatim ini juga
termasuk dalam menguasai harta mereka. Bukankah di dalam harta kita terdapat
sebagian harta mereka? Sehingga kita wajib menyisihkan sebagian harta kita untuk
kepentingan mereka. Oleh sebab itu, bila kita maknai hadis di atas secara global, maka
pesan pokok yang hendak disampaikan adalah, bahwa islam sangat melarang seorang
pemimpin mengeksploitasi rakyat kecil, bahkan islam mendorong pemimpin untuk
melindungi mereka, karena mereka merupakan bagian dari tanggung jawab pemimpin.

Hadis ke 16
Mewaspadai para pembisik pemimpin
‫َح َّد َثَنا َأْص َبُغ َأْخ َبَر َنا اْبُن َو ْهٍب َأْخ َبَرِني ُيوُنُس َع ْن اْبِن ِش َهاٍب َع ْن‬
‫َأِبي َس َلَم َة َع ْن َأِبي َسِع يٍد اْلُخ ْد ِر ِّي َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫َقاَل َم ا َبَع َث ُهَّللا ِم ْن َنِبٍّي َو اَل اْسَتْخ َلَف ِم ْن َخ ِليَفٍة ِإاَّل َك اَنْت َلُه‬
‫ِبَطاَنَتاِن ِبَطاَنٌة َتْأُم ُر ُه ِباْلَم ْعُروِف َو َتُحُّض ُه َع َلْيِه َو ِبَطاَنٌة َتْأُم ُر ُه‬
‫ِبالَّش ِّر َو َتُحُّض ُه َع َلْيِه َفاْلَم ْعُصوُم َم ْن َع َص َم‬
Abu si’id dan abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : allah tiada mengutus
seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah, melainkan ada dua orang kepercayaan
pribadi, seseorang yang menganjurkan kebaikan, dan seorang yang menganjurkan
kejahatan. Sedang orang yang selamat ialah yang dipelihara oleh allah. (buchary)

Penjelasan:
Setiap pemimpin tentunya memilki asisten pribadi. Asisten ini biasanya menjadi
kepercayaan seorang pemimpin dalam melakukan banyak hal yang berkaitan dengan
kebutuhan pemimpin. Akan tetapi, seorang pemimpin juga harus waspada terhadap
orang-orang kepercayaannya. Karena rasul s.a.w telah mengingatkan di antara orang-
orang kepercayaan pemimpin tersebut tentu ada yang jujur dan ada yang tidak jujur.
Seorang kepercayaan pemimpin yang jujur pasti akan memberikan informasi yang
benar terhadap pemimpinnya, tetapi seorang kepercayaan yang tidak jujur tentu akan
memberikan informasi yang tidak benar kepada pemimpinnya. Orang yang terakhir ini
lah biasanya yang selalu menghasut dan membisikkan informasi-informasi yang justru
bukan memperkuat kepemimpinannya, melainkan akan menurunkan integritas
kepemimpinannya. Karena itu, islam sangat menganjurkan agar kita aspada terhadap
orang-orang yang pekerjaannya hanya membisikkan informasi-informasi salah
sehingga pemimpin terdorong untuk megeluarkan kebijakan yang merugikan
kepentingan rakyat banyak.

Hadis ke 17
Pemimpin perlu “pembantu” yang jujur
‫َح َّد َثَنا ُم وَس ى ْبُن َع اِم ٍر اْلُم ِّر ُّي َح َّد َثَنا اْلَو ِليُد َح َّد َثَنا ُز َهْيُر ْبُن ُمَحَّم ٍد‬
‫َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن اْلَقاِس ِم َع ْن َأِبيِه َع ْن َع اِئَش َة َقاَلْت َقاَل َر ُسوُل‬
‫ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَذ ا َأَر اَد ُهَّللا ِباَأْلِم يِر َخ ْيًرا َجَعَل َلُه َو ِز يَر‬
‫ِص ْد ٍق ِإْن َنِس َي َذ َّك َر ُه َو ِإْن َذ َك َر َأَع اَنُه َو ِإَذ ا َأَر اَد ُهَّللا ِبِه َغْيَر َذ ِلَك‬
‫َجَعَل َلُه َو ِز يَر ُسوٍء ِإْن َنِس َي َلْم ُيَذِّك ْر ُه َو ِإْن َذ َك َر َلْم ُيِع ْنُه‬
‘Aisyah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : jika allah menghendaki kebaikan
terhadap seorang raja, maka diberinya seorang menteri yang jujur, jika lupa diingatkan,
dan jika ingat dibantu. Dan jika allah menghendaki sebaliknya dari itu, maka allah
memberi padanya ,menteri yang tidak jujur, hingga jika lupa tidak diingatkan dan jika
ingat tidak dibantu. (abu dawud).

Penjelasan:
Seorang pemimpin pasti mengemban segudang tugas dan amanat yang begitu berat
yang harus dijalankan. Sementara untuk melaksanakan semua tugas itu tidak mungkin
dia sendiri melakukannya. Oleh sebab itu dibutuhkan sejumlah pembantu untuk
meringankan tugas sang pemimpin. Dalam kehidupan politik modern, para pembantu
presiden itu bisa disebut sebagai menteri. Dan barangkali bukan hanya presiden, semua
jabtan publik di negeri ini, baik bupati, gubernur, wali kota, dpr, hingga kepala sekolah
pun, juga membutuhkan pembantu atau pendamping ahli yang bisa meringankan tugas-
tugasnya. Sehingga dalam konteks indoensia, kita tidak hanya mengenal menteri
sebagai pembantu presiden, melainkan juga terdapat apa yang kita kenal sebagai juru
bicara, asisten ahli, staf ahli, penasehat ahli, dsb.

Keberadan “orang-orang pendamping” ini tentunya perlu kita apresiasi dengan baik,
karena mereka membantu tugas-tugas kepresidenan. Akan tetapi, kita juga perlu
mencermati bahkan jika diperlukan kita mesti waspada karena tidak semua “orang-
orang pendamping” itu berniat tulus untuk membantu. Akan tetapi lebih dari itu ada
juga yang menyimpan kepentingan tertentu dan menjadi “pembisik” yang licik.
Tentunya banyak cara yang dilakukan para pembantu pemimpin yang licik ini. Salah
satu contoh yang sering kita lihat dalam kehidupan birokrasi kita adalah; melaporkan
situasi yang tidak sebenarnya kepada pemimpin yang bersangkutan. Bila yang terjadi di
lapangan adalah kelaparan, maka si pembantu hanya melaporkan kekuranagn gizi.
Selain itu tidak sedikit kita jumpai “orang-orang” yang pekerjaanya hanya membisikkan
informasi-informasi bohong kepada pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut
mengeluarkan kebijakan berdasarkan informasi bohong yang ia peroleh. Akibatnay,
selain kebijakan itu tidak tepat, sang pemimpin itu juga jatuh kredibilitasnya. Oleh
sebab itu, memilih pendamping itu harus hati-hati dan waspada. Kedekatan seseorang
dengan pemimpin tersebut dan kepintaran seseorang tidak menjamin dia akan berbuat
jujur terhadap atasannya.

Hadis ke 18
Shalat mendorong pemimpin berbuat adil
‫َح َّد َثَنا َهَّد اُب ْبُن َخ اِلٍد اَأْلْز ِد ُّي َح َّد َثَنا َهَّم اُم ْبُن َيْح َيى َح َّد َثَنا َقَتاَد ُة‬
‫َع ْن اْلَحَس ِن َع ْن َض َّبَة ْبِن ِم ْح َص ٍن َع ْن ُأِّم َس َلَم َة َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َس َتُك وُن ُأَم َر اُء َفَتْع ِر ُفوَن َو ُتْنِكُروَن َفَم ْن‬
‫َع َر َف َبِر َئ َو َم ْن َأْنَك َر َسِلَم َو َلِكْن َم ْن َرِض َي َو َتاَبَع َقاُلوا َأَفاَل‬
‫ُنَقاِتُلُهْم َقاَل اَل َم ا َص َّلْو ا‬
Rasulullah saw bersabda: akan ada para pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari.
Siapa yang tidak menyukainya maka dia bebas dan barang siapa yang mengingkarinya
maka dia selamat, akan tetapi (dosa dan hukuman) diberlakukan kepada orang yang
yang ridha dan mengikuti para pemimpin itu. Para sahabat bertanya: apakah kami
boleh memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab: tidak boleh selama para
pemimpin itu masih mengerjakan shalat. (hr.muslim)

Penjelasan:
Hadis ini tidak bisa kita fahami secara harfiyah,

Hadis ke 19
Hadis ke 20
Pemimpin yang bodoh
‫َح َّد َثَنا َع ْبُد الَّر َّز اِق َأْخ َبَر َنا َم ْع َم ٌر َع ِن اْبِن ُخَثْيٍم َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن‬
‫ْبِن َس اِبٍط َع ْن َج اِبِر ْبِن َع ْبِد ِهَّللا َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
‫ِلَك ْع ِب ْبِن ُعْج َر َة َأَع اَذ َك ُهَّللا ِم ْن ِإَم اَرِة الُّس َفَهاِء َقاَل َو َم ا ِإَم اَر ُة‬
‫الُّس َفَهاِء َقاَل ُأَم َر اُء َيُك وُنوَن َبْع ِد ي اَل َيْقَتُد وَن ِبَهْد ِيي َو اَل َيْس َتُّنوَن‬
‫ِبُس َّنِتي َفَم ْن َص َّد َقُهْم ِبَك ِذ ِبِهْم َو َأَع اَنُهْم َع َلى ُظْلِم ِهْم َفُأوَلِئَك َلْيُسوا‬
‫ِم ِّني َو َلْس ُت ِم ْنُهْم َو اَل َيِر ُد وا َع َلَّي َح ْو ِض ي َو َم ْن َلْم ُيَص ِّد ْقُهْم‬
‫ِبَك ِذ ِبِهْم َو َلْم ُيِع ْنُهْم َع َلى ُظْلِم ِهْم َفُأوَلِئَك ِم ِّني َو َأَنا ِم ْنُهْم َو َسَيِرُد وا‬
‫َع َلَّي َح ْو ِض ي َيا َك ْع ُب ْبَن ُعْج َر َة الَّص ْو ُم ُج َّنٌة َو الَّص َد َقُة ُتْطِفُئ‬
‫اْلَخ ِط يَئَة َو الَّص اَل ُة ُقْر َباٌن َأْو َقاَل ُبْر َهاٌن َيا َك ْع ُب ْبَن ُعْج َر َة ِإَّنُه اَل‬
‫َيْد ُخ ُل اْلَج َّنَة َلْح ٌم َنَبَت ِم ْن ُس ْح ٍت الَّناُر َأْو َلى ِبِه َيا َك ْع ُب ْبَن ُعْج َر َة‬
‫الَّناُس َغ اِدَياِن َفُم ْبَتاٌع َنْفَس ُه َفُم ْع ِتُقَها َو َباِئٌع َنْفَس ُه َفُم وِبُقَها‬
Rasulullah saw bersabda kepada ka’ab bin ujrah: mudah-mudahan allah melindungimu
dari para pemimpin yang bodoh (dungu). Ka’ab bin ujzah bertanya: apa yang dimaksud
dengan pemimpin yang dungu wahai rasulullah saw? Beliau menjawab: mereka adalah
para pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada
petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan
kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak
termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak akan
mendapatkan air minum dari telagaku. Wahai ka’ab, sesungguhnya puasa adalah
benteng, sedekah itu bisa menghapus kesalahan, sedangkan shalat adalah upaya
mendekatkan diri kepada allah (qurban) –dalam riwayat lain burhan (dalil)- wahai
ka’ab sesungguhnya tidak akan masuk surga seonggok daging yang berasal dari barang
haram. Dan api neraka lebih berhak untuk melahapnya. Wahai ka’ab bin ujrah, manusia
terpecah menjadi dua golongan: pertama, orang yang membeli dirinya (menguasai
dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan dirinya. Golongan yang menjual dirinya,
maka dia itulah yang membinasakan dirinya sendiri. (hr. Ahmad bin hambal)

Penjelasan:
Hadis ini berbicara tentang “nasib” kepemimpinan sepeninggal rasul s.a.w. Bahwa
pasca meninggalnya rasul, kepemimpinan umat islam akan diwarnai tindakan-tindakan
yang oleh rasul disebut “bodoh”. Karena itu, rasul kemudian senantiasa berdo’a semoga
umatnya terlindungi dari “bahaya-bahaya” akibat pemimpin yang bodoh ini. Akan
tetapi, kita di sini tentunya tidak akan memaknai kata bodoh secara harfiyah. Karena
bisa jadi kita memiliki pemimpin yang pintar, cerdas, bergelar profesor atau bahkan
sekaligus ulama, namun jika pemimpin itu tidak berpegang teguh pada sunnah rasul
maka dia layak disebut sebagai yang bodoh atau dungu.

Lantas siapa yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul itu? Apakah
pemimpin yang puasa sunnah senin kamis ? Tentunya yang dimaksud pemimpin yang
mengikuti sunnah rasul di sini adalah pemimpin yang mengikuti jejak rasul dalam
menjalankan kepemimpinannya. Kita tahu, bahwa kepemimpinan rasul adalah
kepemimpinan yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan dekat dengan rakyat.
Apa yang kini kita kenal sebagai “piagam madinah” adalah sebagai pedoman rasul
dalam menjalankan kepemimpinannya terhadap semua rakayat saat itu tanpa
memandang latar belakang agama, etnis, warna kulit dan jenis kelamin. Semua rakyat
madinah yang plural itu dilindungi dan dijamin haknya oleh rasul. Oleh sebab itu, bagi
pemimpin pasca rasul yang tidak mampu mengikuti jejak rasul seperti di atas maka dia
disebut bodoh oleh rasul.

Hadis ke 21
Pemimpin dzalim dibenci Allah
‫َح َّد َثَنا َع ِلُّي ْبُن اْلُم ْنِذ ِر اْلُك وِفُّي َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن ُفَض ْيٍل َع ْن ُفَض ْيِل‬
‫ْبِن َم ْر ُز وٍق َع ْن َع ِط َّيَة َع ْن َأِبي َسِع يٍد َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى‬
‫ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَّن َأَح َّب الَّناِس ِإَلى ِهَّللا َيْو َم اْلِقَياَم ِة َو َأْد َناُهْم ِم ْنُه‬
‫َم ْج ِلًسا ِإَم اٌم َع اِد ٌل َو َأْبَغ َض الَّناِس ِإَلى ِهَّللا َو َأْبَع َد ُهْم ِم ْنُه َم ْج ِلًسا‬
‫ِإَم اٌم َج اِئٌر َقاَل َو ِفي اْلَباب َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن َأِبي َأْو َفى َقاَل َأُبو‬
‫ِع يَس ى َحِد يُث َأِبي َسِع يٍد َحِد يٌث َحَس ٌن َغ ِر يٌب اَل َنْع ِر ُفُه ِإاَّل ِم ْن َهَذ ا‬
‫اْلَو ْج ِه‬
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai allah pada hari
kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi allah adalah seorang pemimpin
yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan sangat jauh dari allah adalah
seorang pemimpin yang zalim. (hr. Turmudzi)

Penjelasan:
Hadis ini sekali lagi menekankan bahwa kriteria adil sangat penting bagi seorang
pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin,
maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil mengangkat kesejahteraan umatnya.
Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul berkali-kali menekankan akan pentingnya
seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin yang adil akan
ditempatkan sangat dekat sekali kedudukannya dengan allah, sedangkan pemimpin
yang dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh allah. Kedua balasan (imbalan dan
ancaman) ini tentunya mencerminkan sebuah penghargaan allah yang begitu besar
kepada pemimpin yang mampu berbuat adil kepada rakyatnya.

Hadis ke 22
Kedzaliman pemimpin mempercepat datangnya
kiamat
‫َح َّد َثَنا ُس َلْيَم اُن َأْخ َبَر َنا ِإْس َم اِع يُل َح َّد َثِني َع ْم ٌرو َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن َع ْبِد‬
‫الَّرْح َمِن اَأْلْش َهِل َع ْن ُح َذ ْيَفَة ْبِن اْلَيَم اِن َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه‬
‫َو َس َّلَم َقاَل اَل َتُقوُم الَّساَع ُة َح َّتى َتْقُتُلوا ِإَم اَم ُك ْم َو َتْج َتِلُد وا ِبَأْس َياِفُك ْم‬
‫َو َيِرُث ِدَياَر ُك ْم ِش َر اُر ُك ْم‬
Rasulullah saw bersabda: kiamat tidak akan terjadi sampai kalian membunuh para
pemimpin kalian, pedang-pedang kalian banyak sekali meminum darah, dan agama
kalian diwarisi (dikuasai) oleh orang-orang yang paling buruk di antara kalian. (hr.
Ahmad bin hambal)

Penjelasan:
Hadis ini mengilustarikan sebuah zaman dimana bila seorang pemimpin bertindak
sangat lalim dan rakyat melawannya hingga membunuh pemimpin lalim itu, maka itu
pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya, bila dalam sebuah zaman muncul perlawanan
rakyat terhadap pemimpin, maka di zaman itu berarti terdapat pemimpin yang dzalim
nan lalim. Karena bila sebuah kepemimpinan itu baik dan tidak ada kedzaliman, maka
niscaya tidak mungkin akan muncul perlawanan rakyat. Oleh sebab itu, pesan pokok
yang hendak disampaikan oleh hadis ini adalah bahwa bila terjadi kedzaliman
pemimpin di mana-mana, maka itu berarti pertanda kiamat sudah dekat.

Lalu bagaiman dengan zaman kita saat ini, dimana sebagian besar pemimpin sedikit
sekali yang berbuat adil dan banyak sekali yang berbuat dzalim, serta perlawanan
rakayat begitu dahsyata hingga ada pemimpin yang dibunuh oleh rakyatnya, apakah
zaman kita sudah termasuk tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini memang tidak bisa
kita jawab “ya” atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui kapan kiamat itu terjadi
adalah allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi kepemimpinan kita di zaman ini
akan nampak sekali tanda-tanda kiamat sebagaiman telah diseritakan rasul dalam hadis
di atas.

Hadis ke 23
Menjaga amanat adalah bagian dari iman
‫َح َّد َثَنا َع َّفاُن َح َّد َثَنا َحَّم اٌد َح َّد َثَنا اْلُمِغ يَر ُة ْبُن ِز َياٍد الَّثَقِفُّي َسِمَع َأَنَس‬
‫ْبَن َم اِلٍك َيُقوُل ِإَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل اَل ِإيَم اَن‬
‫ِلَم ْن اَل َأَم اَنَة َلُه َو اَل ِد يَن ِلَم ْن اَل َع ْهَد َلُه‬
Rasulullah saw bersabda: tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang
dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya. (hr.
Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Mungkin kita hanya mengenal slogan-slgan keagamaan semisal: kebersihan adalah
bagian dari iman, malu adalah bagian dari iman, dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin
tidak pernah- mengatakan bahwa menjaga amanat adalah bagian dari iman. Padahal,
rasul juga pernah bersabda bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar
keimanan dan keagamaan. Dan barang siapa yang tidak menjaga amanat maka rasul
menyebut dia tidak sempurna iman dan agamanya.

Andai kita mengkampanyekan hadis ini ke masyarakat luas, apalagi di saat-saat


kampanye presiden, bupati, gubernur, dsb, maka kita setidaknya telah menekan
munculnya “potensi” penyelewengan amanat oleh pemimpin kita, meskipun itu sekecil
semut. Hal itu karena dalam tradisi kepemimpinan kita, upaya menjaga amanat itu
sangat kecil. Sumpah jabatan sebagai mekanisme penyerahan amanat ternyata tidak
disertai sebuah mekanisme kontrol yang ketat terhadap amanat itu. Oleh sebab itu,
kampanye keagamaan untuk mendorong seseorang (pemimpin) agar senantiasa
menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah penting segera kita galakkan.

Hadis ke 24
Pemimpin dianjurkan memberi suri tauladan
yang baik (nasehat) kepada rakyatnya
‫َح َّد َثَنا َم ْح ُم وُد ْبُن َخ اِلٍد َح َّد َثَنا َأُبو ُم ْس ِهٍر َح َّد َثِني َع َّباُد ْبُن َع َّباٍد‬
‫اْلَخ َّو اُص َع ْن َيْح َيى ْبِن َأِبي َع ْم ٍر و الَّسْيَباِنِّي َع ْن َع ْم ِر و ْبِن َع ْبِد‬
‫ِهَّللا الَّسْيَباِنِّي َع ْن َعْو ِف ْبِن َم اِلٍك اَأْلْش َج ِعِّي َقاَل َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل اَل َيُقُّص ِإاَّل َأِم يٌر َأْو َم ْأُم وٌر َأْو ُم ْخ َتاٌل‬
Rasulullah saw bersabda: tidak ada yang berhak untuk memberikan ceramah
(nasehat/cerita hikmah) kecuali seorang pemimpin, atau orang yang mendapatkan izin
untuk itu (ma’mur), atau memang orang yang sombong dan haus kedudukan. (hr.
Muslim)

Penjelasan:
Hadis ini bukan berarti hanya pemimpin yang berhak memberi nasehat kepada umat,
melainkan hadis ini mengandung pesan bahwa seorang pemimpin seharusnya bisa
memberikan suri tauladan yang baik kepada umatnya. Karena yang dimaksud ceramah
disini bukan dalam arti ceramah lantas memberi wejangan kepada umat, akan tetapi
yang dimaksud ceramah itu adalah sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada
umatnya. Seorang penceramah yang baik dan betul-betul penceramah tentunya bukan
dari orang sembarangan, melainkan dari orang-orang terpilih yang baik akhlaqnya.
Begitu pula dalam hadis ini, pemimpin yang berhak memberikan ceramah itu pemimpin
yang memiliki akhlaq terpuji sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya.
Jadi kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang penceramah, maka itu juga
harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena pada zaman rasul dulu, seorang
penceramah atau yang memberikan hikmah kepada umat adalah para penceramah ini,
sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin harus memiliki akhlaq yang sama
dengan penceramah ini.

Hadis ke 25
Jabatan Pemimpin itu dekat dengan neraka
‫َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َخ اَّل ٍد اْلَباِهِلُّي َح َّد َثَنا َيْح َيى ْبُن َسِع يٍد اْلَقَّطاُن‬
‫َح َّد َثَنا ُم َج اِلٌد َع ْن َع اِم ٍر َع ْن َم ْسُروٍق َع ْن َع ْبِد ِهَّللا َقاَل َقاَل َر ُسوُل‬
‫ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َم ا ِم ْن َح اِكٍم َيْح ُك ُم َبْيَن الَّناِس ِإاَّل َج اَء‬
‫َيْو َم اْلِقَياَم ِة َو َم َلٌك آِخ ٌذ ِبَقَفاُه ُثَّم َيْر َفُع َر ْأَس ُه ِإَلى الَّس َم اِء َفِإْن َقاَل‬
‫َأْلِقِه َأْلَقاُه ِفي َم ْهَو اٍة َأْر َبِع يَن َخ ِر يًفا‬
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang memimpin rakyatnya, pada hari kiamat
pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat mencengkeram tengkuknya dan
mengangkatnya sampai ke langit. Kalau ada perintah dari allah: lemparkanlah, maka
malaikat akan melemparkannya ke bawah yang jauhnya adalah empat puluh tahun
perjalanan. (hr. Ibnu majah)

Penjelasan:
Hadis ini menggambarkan betapa jabatan sebagai pemimpin itu berat dan seolah bediri
diantara ranjau-ranjau neraka yang sewaktu-waktu bila orang itu salah menginjaknya
maka ranjau itu akan akan meledak dan membunuh sang pemimpin itu. Mungkin kita
memandang bahwa menjadi pemimpin (presiden) itu serba enak; fasilitas dijamin,
harta melimpah dan kehormatan terpandang, sehingga semua orang bercita-cita ingin
menjadi presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa pemimpin (presiden) itu
berjalan di atas jembatan yang dibawahnya berkobar api neraka, maka niscaya semua
orang mungkin tidak akan berharap akan menjadi presiden (pemimpin). Posisi
pemimpin yang cukup rentan ini dikarenakan beratnya tanggung jawab yang harus
dipikul seorang pemimpin. Sekali ia lengah dan mengabaikan tanggung jawabnya, maka
ia bisa tergelincir dan jatuh ke jurang neraka selama-lamanya. Oleh sebab itu, tak heran
bila rasul mengambarkan poisi pemimpin itu sebagaimana digambarkan oleh hadis di
atas.

Hadis ke 26
Pemimpin harus membimbing rakyatnya
‫و َح َّد َثَنا َأُبو َغ َّساَن اْلِم ْس َم ِعُّي َو ِإْس َح ُق ْبُن ِإْبَر اِهيَم َو ُمَحَّم ُد ْبُن‬
‫اْلُم َثَّنى َقاَل ِإْس َح ُق َأْخ َبَر َنا و َقاَل اآْل َخ َر اِن َح َّد َثَنا ُم َع اُذ ْبُن ِهَش اٍم‬
‫َح َّد َثِني َأِبي َع ْن َقَتاَد َة َع ْن َأِبي اْلَم ِليِح َأَّن ُع َبْيَد ِهَّللا ْبَن ِز َياٍد َد َخ َل‬
‫َع َلى َم ْع ِقِل ْبِن َيَس اٍر ِفي َم َرِض ِه َفَقاَل َلُه َم ْع ِقٌل ِإِّني ُم َح ِّد ُثَك ِبَحِد يٍث‬
‫َلْو اَل َأِّني ِفي اْلَم ْو ِت َلْم ُأَح ِّد ْثَك ِبِه َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل َم ا ِم ْن َأِم يٍر َيِلي َأْمَر اْلُم ْس ِلِم يَن ُثَّم اَل َيْج َهُد َلُهْم‬
‫َو َيْنَص ُح ِإاَّل َلْم َيْد ُخ ْل َم َع ُهْم اْلَج َّنَة و َح َّد َثَنا ُع ْقَبُة ْبُن ُم ْك َر ٍم اْلَعِّمُّي‬
‫َح َّد َثَنا َيْع ُقوُب ْبُن ِإْس َح َق َأْخ َبَرِني َس َو اَد ُة ْبُن َأِبي اَأْلْس َو ِد َح َّد َثِني‬
‫َأِبي َأَّن َم ْع ِقَل ْبَن َيَس اٍر َم ِر َض َفَأَتاُه ُع َبْيُد ِهَّللا ْبُن ِز َياٍد َيُعوُد ُه َنْح َو‬
‫َحِد يِث اْلَحَس ِن َع ْن َم ْع ِقٍل‬
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin,
tetapi tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi mereka dan memberikan
arahan kepada mereka, maka dia tidak akan bisa masuk surga bersama kaum muslimin
itu. (hr. Muslim)

Penjelasan:
Seorang pemimpin tidak bisa sekedar berpikir dan bergulat dengan wacana sembari
memerintah bawahannya untuk mengerjakan perintahnya, melainkan pemimpin juga
dituntut untuk bekerja keras mengurus sendiri persoalan-persoalan rakyatnya. Salah
seorang khulafau rasyidin yaitu umar bin utsman pernah berkeliling keseluruh negeri
untuk mencari tahu adakah di antara rakyatnya masih kekurangan pangan. Jika ada,
maka khalifah umar tidak segan-segan untuk memberinya uang (bekal) untuk
menunjang kehidupan rakyatnya tadi. Bahkan khalifah abu bakar harus turun tangan
sendiri untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.

Semua peristiwa yang dilakukan oleh dua sahabat nabi di atas adalah contoh betapa
islam sangat menekankan kepada pemimpin untuk selalu bekerja keras agar rakyatnya
benar-benar terjamin kesejahteraannya. Tidak bisa seorang pemimpin hanya duduk dan
berceramah memberi sambutan di mana-mana, tetapi semua tugas-tugas
kepemimpinannnya yang lebih kongkrit malah diserahkan kepada bawahan-baahannya.
Memang betul bahwa bawahan bertugas untuk membantu meringankan beban
atasannya, akan tetapi tidak serta-merta semua tugas harus diserahkan kepada
bawahan. Suatu pekerjaan yang memang menjadi tugas seseorang dan dia mampu
melakukannya, maka janganlah pekerjaan itu diserahkan kepada orang lain.
Hadis ke 27
Situasi zaman pasca kepemimpinan Rasul s.a.w
‫َأْخ َبَر َنا َص اِلُح ْبُن ُس َهْيٍل َم ْو َلى َيْح َيى ْبِن َأِبي َز اِئَد َة َح َّد َثَنا َيْح َيى‬
‫َع ْن ُم َج اِلٍد َع ْن الَّش ْع ِبِّي َع ْن َم ْسُروٍق َع ْن َع ْبِد ِهَّللا َقاَل اَل َيْأِتي‬
‫َع َلْيُك ْم َع اٌم ِإاَّل َو ُهَو َش ٌّر ِم ْن اَّلِذ ي َك اَن َقْبَلُه َأَم ا ِإِّني َلْس ُت َأْع ِني‬
‫َع اًم ا َأْخ َصَب ِم ْن َع اٍم َو اَل َأِم يًرا َخ ْيًرا ِم ْن َأِم يٍر َو َلِكْن ُع َلَم اُؤ ُك ْم‬
‫َو ِخ َياُر ُك ْم َو ُفَقَهاُؤ ُك ْم َيْذ َهُبوَن ُثَّم اَل َتِج ُد وَن ِم ْنُهْم َخ َلًفا َو َيِج يُء َقْو ٌم‬
‫َيِقيُسوَن اُأْلُم وَر ِبَر ْأِيِهْم‬
Abdullah berkata: akan datang pada kalian satu tahun (masa) yang lebih buruk
daripada tahun (masa) sebelumnya. Akan tetapi yang aku maksud bukanlah sebuah
tahun yang lebih subur daripada tahun yang lain, ataupun seorang pemimpin yang lebih
baik daripada pemimpin lainnya. Akan tetapi di masa itu, telah hilang (wafat) para
ulama, orang-orang terpilih dan para ahli fiqh kalian. Dan kalian tidak menemukan
pengganti mereka. Sehingga datanglah sebuah kaum yang berdalil hanya dengan
menggunakan rasio mereka. (hr. Ad darimi)

Penjelasan:
Membaca ramalan rasul di atas sungguh membuat kita cemas akan datangnya suatu
zaman yang oleh rasul dikatakan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya. Namun
yang dimaksud lebih buruk di sini tentunya bukan dalam pengertian kuantitas.
Melainkan kualitas kehidupan yang tengah berlangsung pada sebuah zaman. Kalau
ukurannya adalah kuantitas, mungkin zaman kita bisa dibilang lebih bagus karena,
misalnya, kita saat ini bisa memproduksi sebuah barang dengan hanya memakan waktu
yang singkat namun menghasilkan barang yang cukup banyak. Akan tetapi bila
ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita saat ini lebih rendah dan lebih buruk dari
zaman-zaman sebelumnya (zaman rasul). Lihatlah misalnya kualitas arsitektur dan
bangunan yang berkembang saat ini, kemudian bandingkan dengan arsitektur dan
bangunan pada tempo dulu, seperti tembok cina, borobudur, dsb, tentu kualitasnya
jauh sekali berbeda.

Mungkin di zaman ini kita tidak bisa lagi menemukan orang yang mampu membangun
semacam borobudur dengan kualitas banunannya yang terjamin sebagaimana candi
borobudur. Begitu pula dengan kualitas kepemimpinan pada saat ini jauh lebih baik
dari kulaitas kepemimpinan pada masa-masa rasul dan sahabat. Meskipun pada masa
sahabat juga penuh diwarnai intrik politik yang mengakibatkan pertumpahan darah,
akan tetapi setidaknya sejarah telah mencatat bahwa dua sahabat periode pertama (abu
bakar dan umar) adalah potret zaman dimana kepemimpinan benar-benar dijalankan
atas dasar prinsip-prinsip keadilan. Meski saat ini kita mengembar-gemborkan sistem
demokrasi yang dianggap paling baik, namun ternyata negara tempat kelahiran
demokrasi juga tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya. Dan banyak
sekali pihak yang mengatasnamakan demokrasi namun menginjak-injak nilai-nilai
demokrasi. Meskipun saat ini ada yang namanya pemilu, namun semua sistem dan
mekanisme demokrasi itu tidak menjamin terwujudnya kehidupan masyarakat yang
adil dan sejahtera. Kalau sudah demikian, bisakah zaman kita ini disebut lebih baik dari
zaman rasul.s.a.w ?

Hadis ke 28
Kepemimpin yang buruk
‫َح َّد َثَنا َيِز يُد ْبُن َهاُروَن َأْخ َبَر َنا َص َد َقُة ْبُن ُم وَس ى َع ْن َفْر َقٍد‬
‫الَّس َبِخ ِّي َع ْن ُم َّر َة الَّطِّيِب َع ْن َأِبي َبْك ٍر الِّص ِّد يِق َرِض َي ُهَّللا َع ْنُه‬
‫َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل اَل َيْد ُخ ُل اْلَج َّنَة َخ ٌّب َو اَل َبِخ يٌل‬
‫َو اَل َم َّناٌن َو اَل َس ِّيُئ اْلَم َلَك ِة َو َأَّو ُل َم ْن َيْد ُخ ُل اْلَج َّنَة اْلَم ْم ُلوُك ِإَذ ا‬
‫َأَطاَع َهَّللا َو َأَطاَع َس ِّيَد ُه‬
Rasulullah saw bersabda: tidak akan masuk surga orang yang suka menipu, orang yang
bakhil, orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikan/pemberian, dan pemimpin yang
buruk. Orang yang pertama kali masuk surga adalah budak yang taat kepada allah dan
taat kepada majikannya.

Penjelasan:
Hadis ini menjelaskan tentang sekelompok orang yang diharamkan oleh allah untuk
masuk sorga. Dan ternyata, di antara sekelompok orang tersebut terdapat kriteria
pemimpin yang buruk. Pada bagian awal buku ini, kita mungkin sudah mendapati
banyak hadis yang berbicara tentang hukuman neraka bagi pemimpin yang dzalim.
Namun kini kita kembali menemukan satu hadis lagi yang kembali berbicara tentang
ancaman bagi pemimpin yang berlaku buruk. Dan pemimpin yang buruk ini disamakan
dengan mereka yang suka menipu, pelit, dan suka mengungkit
kebaikannya/pemberiannya sendiri.

akan tetapi apa sih bedanya pemimpin yang dzalim dan pemimpin yang buruk ? Pada
dasarnya tidak ada perbedaan subtansial antara keduanya, namun karena rasul benar-
benar menekankan sebuah kepemimpinan yang baik, maka rasul juga mengancam
kepemimpinan yang buruk. Yang jelas, sebuah kepemimpinan bila tidak menjamin dan
melindungi rakyatnya serta tidak menjadikan rakyatnya sejahtera, maka kepemimpinan
itu bisa dikatakan buruk, dzalim, kejam, dsb. Sama seperti kita yang pada zaman ini
mengenal berbagai macam istilah yang terkait dengan perlakuan buruk penguasa,
seperti, otoriter, totaliter, represif, korup, tidak demokratis, dsb yang kesemua itu
mencerminkan sebuah kepemimpinan yang berbahaya bagi rakyat. Jadi, kepemimpinan
yang buruk menurut rasul dalam hadis ini adalah sebuah kepemimpinan yang justru
menjauhkan rakyat dari kehidupan yang sejahtera.

Hadis ke 29
Balasan bagi pemimpin yang otoriter
‫َح َّد َثَنا َو ِكيٌع َع ْن َع ِلِّي ْبِن ُم َباَرٍك َع ْن َيْح َيى ْبِن َأِبي َك ِثيٍر َع ْن‬
‫َع اِم ٍر اْلُع َقْيِلِّي َع ْن َأِبيِه َع ِن َأِبي ُهَر ْيَر َة َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى‬
‫ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإِّني َأَلْع َلُم َأَّو َل َثاَل َثٍة َيْد ُخ ُلوَن اْلَج َّنَة الَّش ِهيُد َو َع ْبٌد‬
‫َأَّد ى َح َّق ِهَّللا َو َح َّق َم َو اِليِه َو َفِقيٌر َع ِفيٌف ُم َتَع ِّفٌف َو ِإِّني َأَلْع َلُم َأَّو َل‬
‫َثاَل َثٍة َيْد ُخ ُلوَن الَّناَر ُس ْلَطاٌن ُم َتَس ِّلٌط َو ُذ و َثْر َو ٍة ِم ْن َم اٍل اَل ُيَؤ ِّد ي‬
‫َح َّقُه َو َفِقيٌر َفُخ وٌر‬
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku orang yang paling tahu tentang tiga
golongan yang pertama kali masuk surga: orang yang mati syahid, seorang hamba yang
menunaikan hak allah dan hak majikannya, dan orang fakir yang menjauhkan diri dari
hal-hal yang tidak baik. Aku juga orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang
pertama kali masuk neraka: seorang pemimpin yang otoriter (sewenang-wenang),
seorang kaya yang tidak menunaikan kewajibannya, dan seorang fakir yang sombong.
(hr. Ahmad)

Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara soal kepemimpinan yang buruk, dalam hadis ini kita
kembali menyoroti model kepemimpinan namun lebih spesifik, yaitu kepemimpinan
otoriter. Kepemimpinan otoriter adalah sebuah kepemimpinan yang dijalankan atas
dasar kesewenag-wenangan. Semua keputusan dan kebijakan pemimpin harus ditaati
oleh semua rakyat tanpa memberi ruang terjadinya “negoisasi” dengan rakyat. Bila
pemimpin berkata merah, maka rakyat harus mengikuti merah. Demikianlah ciri-ciri
sederhana sebuah kepemimpinan otoriter.

Lalu bagaimana islam menyikapi (ke)pemimpin(an) yang otoriter ini? Islam jelas tidak
pernah memberikan tempat, walau sejengkal, kepada pemimpin yang otoriter ini.
Sebagaimana pemimpin yang dzalim, pemimpin otoriter juga diancam dengan
hukuman neraka. Dan sebaliknya, islam justru sangat menekankan pentingnya
demokrasi (syura) dan partisipasi rakyat dalam sebuah sistem kepemimpinan. Rasul
s.a.w telah memberikan contoh bagaimana syura menjadi prinsip pokok dalam
menjalankan roda kepemimpinan. Dalam syura (demokrasi) semua rakyat, tanpa
membedakan latar agama, etnis, arna kulit, bahasa, jenis kelamin, berhak untuk terlibat
dalam merumuskan arah dan haluan sebuah kepemimpinan. Ketika rasul menjadi
pemimpin politik di madinah, rasul tidak segan-segan memberikan hak yang setara
anatara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan dalam medan peperangan, siti ‘aisyah juga
diberi hak untuk mengukiti bahkan memimpin sebuah peperangan dengan kaum kafir.
Dengan demikian, cukup jelas sekali bahwa islam adalah agama yang “mengharamkan”
otoritariansme dan “mewajibkan” demokrasi (syura).

Hadis ke 30
Melawan pemimpin dzalim adalah jihad akbar
‫َح َّد َثَنا اْلَقاِس ُم ْبُن ِد يَناٍر اْلُك وِفُّي َح َّد َثَنا َع ْبُد الَّرْح َمِن ْبُن ُم ْص َعٍب َأُبو‬
‫َيِز يَد َح َّد َثَنا ِإْس َر اِئيُل َع ْن ُمَحَّمِد ْبِن ُج َح اَد َة َع ْن َع ِط َّيَة َع ْن َأِبي‬
‫َسِع يٍد اْلُخ ْد ِر ِّي َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَّن ِم ْن َأْع َظِم‬
‫اْلِج َهاِد َك ِلَم َة َع ْد ٍل ِع ْنَد ُس ْلَطاٍن َج اِئٍر َقاَل َأُبو ِع يَس ى َو ِفي اْلَباب‬
‫َع ْن َأِبي ُأَم اَم َة َو َهَذ ا َحِد يٌث َحَس ٌن‬
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jihad yang paling besar adalah
mengungkapkan kalimat kebenaran di hadapan sultan yang zalim. (hr. Turmudzi)

Selama ini, banyak umat islam memahami konsep jihad hanya sebatas turun ke medan
perang. Pemaknaan semacam ini cukup berbahaya karena hanya mengambil makna
yang tekstual seraya menutupi makna lain yang lebih substansial. Bila ada dua orang
khalifah dibaiat maka bunuhlah salah satunya.

Hadis ke 31
Keputusan pemimpin harus aspiratif
‫َح َّد َثَنا َهَّناٌد َح َّد َثَنا ُح َس ْيٌن اْلُج ْع ِفُّي َع ْن َز اِئَد َة َع ْن ِس َم اِك ْبِن َح ْر ٍب‬
‫َع ْن َح َنٍش َع ْن َع ِلٍّي َقاَل َقاَل ِلي َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ِإَذ ا َتَقاَض ى ِإَلْيَك َر ُج اَل ِن َفاَل َتْقِض ِلَأْلَّو ِل َح َّتى َتْس َم َع َكاَل َم اآْل َخ ِر‬
‫َفَس ْو َف َتْد ِر ي َك ْيَف َتْقِض ي َقاَل َع ِلٌّي َفَم ا ِز ْلُت َقاِض ًيا َبْعُد َقاَل َأُبو‬
‫ِع يَس ى َهَذ ا َحِد يٌث َحَس ٌن‬
Apabila ada dua orang laki-laki yang meminta keputusan kepadamu maka janganlah
engkau memberikan keputusan kepada laki-laki yang pertama sampai engkau
mendengarkan pernyataan dari laki-laki yang kedua. Maka engkau akan tahu
bagaimana enkau memberikan keputusan (hr. Turmudzi)
Hadis ini mengajarkan kita sebuah kepemimpinan yang mau mendengar semua suara
rakyat. Tidak peduli rakyat itu pengemis, pemulung, orang penyandang cacat,
perempuan, atau anak kecil sekalipun, maka semua itu harus didengar suaranya oleh
pemimpin. Artinya, kepemimpinan itu, atau lebih tepatnya seorang pemimpin itu harus
benar-benar aspiratif. Karena bila kita dalam mengambil keputusan atau kebijakan
hanya berdasarkan suara kelompok tertentu, lebih-lebih suara kelompok yang dekat
dengan lingkungan kekuasaan (pemimpin) maka keputusan itu pasti akan jauh dari rasa
keadilan. Alasannya adalah karena suara satu kelompok itu belum tentu mewakili suara
kelompok yang lain. Sehingga bila ingin mencapai rasa keadilan bagi eluruh rakyat,
maka harus mendengar suara semua rakyat.

Hadis ini penting terutama dalam konteks sistem demokrasi yang meniscayakan
keterwakilan seperti di indoensia misalkan. Dimana dpr (dewan perwakilan rakyat)
memiliki wewenang untuk mewakili suara rakyat. Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi
dari semua lapisan dan status masyarakat, maka jangan harap kebijakan-kebijakan yang
dihasilakannya akan memenuhi rasa keadilan rakyat indonesia. Oleh sebab itu, agar
rasa keadilan dalam sebuah masyarakat itu benar-bnar terpenuhi, maka islam
mewajibkan seorang pemimpin untuk tidak mengambil keputusan hanya dari satu
orang (satu kelompok suara), tetapi lebih dari itu.

Hadis ke 32
Pemimpin dituntut berijtihad
‫َح َّد َثَنا اْلُح َس ْيُن ْبُن َم ْهِد ٍّي َح َّد َثَنا َع ْبُد الَّر َّز اِق َأْخ َبَر َنا َم ْع َم ٌر َع ْن‬
‫ُس ْفَياَن الَّثْو ِر ِّي َع ْن َيْح َيى ْبِن َسِع يٍد َع ْن َأِبي َبْك ِر ْبِن َع ْم ِر و ْبِن‬
‫َح ْز ٍم َع ْن َأِبي َس َلَم َة َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَذ ا َح َك َم اْلَح اِكُم َفاْج َتَهَد َفَأَص اَب َفَلُه َأْج َر اِن َو ِإَذ ا َح َك َم‬
‫َفَأْخ َطَأ َفَلُه َأْج ٌر َو اِح ٌد َقاَل َو ِفي اْلَباب َع ْن َع ْم ِر و ْبِن اْلَع اِص‬
‫َو ُع ْقَبَة ْبِن َع اِم ٍر َقاَل َأُبو ِع يَس ى َحِد يُث َأِبي ُهَر ْيَر َة َحِد يٌث َحَس ٌن‬
‫َغ ِر يٌب ِم ْن َهَذ ا اْلَو ْج ِه اَل َنْع ِر ُفُه ِم ْن َحِد يِث ُس ْفَياَن الَّثْو ِر ِّي َع ْن‬
‫َيْح َيى ْبِن َسِع يٍد اَأْلْنَص اِر ِّي ِإاَّل ِم ْن َحِد يِث َع ْبِد الَّر َّز اِق َع ْن َم ْع َم ٍر‬
‫َع ْن ُس ْفَياَن الَّثْو ِر ِّي‬
Apabila seorang hakim melakukan ijtihad dan kemudian benar maka dia mendapat dua
pahala, dan apabila dia berijtihad ternyata salah maka dia hanya mendapat satu pahala
Hadis ini memang bercerita tentang kewenagan hakim. Namun sejatinya, hadis ini
bukan saja ditujukan kepada seorang hakim, melainkan lebih dari itu juga untuk
seorang pemimpin. Pada masa rasul s.a.w. Jabatan hakim dan pemimpin politik tidak
dibedakan. Nabi muhammad sendiri adalah seorang pemimpin politik tapi sekaligus
juga seorang hakim. Demikian juga dengan para khalifah pengganti beliau sesudahnya
(khulafa urrasyidin) yang menjabat pemimpin sekaligus hakim dan bahkan panglima
perang. Oleh sebab itu, bila merujuk pada konteks di atas, maka hadis ini tentunya
bukan hanya relevan untuk para hakim tetapi juga dianjurkan untuk para pemimpin
(politik).

Apabila dikaitkan dengan konteks pemimpin politik, maka yang dimaksud ijtihad di sini
adalah bisa berupa sebuah upaya politik seorang pemimpin dalam mengeluarkan
keputusan yang berdasarkan konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan serta kesejahteraan
rakyat. Artinya, seorang pemimpin dituntut bekerja keras semaksimal mungkin,
tentunya berdasarkan ikhtiar politiknya, untuk berupaya menjadikan rakyatnya
terangkat dari garis kemiskinan serta memenuhi standar kesejahteraan. Bila ikhtiar
politik pemimpin ini benar dan berhasil mensejahteraakan rakyatnya, maka dia akan
mendapat dua pahala, akan tetapi bila ikhtiar dia salah dan rakyat tetap berada di
bawah garis kemiskinan, maka dia akan mendapat satu pahala. Tentunya ikhtiar ini
harus benar-benar dilandasi oleh ketulusan dan niat baik untuk mengabdi kepada
rakyat, bukan semata-mata mencari keuntungan politik tertentu. Bila yang terakhir ini
yang dilakukan, maka bukan hanya satu pahala yang didapat, melainkan justru akan
mendapat celaka dan siksa dari allah swt.

Hadis ke 33
Pemimpin harus punya pedoman kepemimpinan
‫َح َّد َثَنا َهَّناٌد َح َّد َثَنا َو ِكيٌع َع ْن ُش ْع َبَة َع ْن َأِبي َعْو ٍن الَّثَقِفِّي َع ْن‬
‫اْلَح اِر ِث ْبِن َع ْم ٍر و َع ْن ِر َج اٍل ِم ْن َأْص َح اِب ُم َع اٍذ َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َبَع َث ُم َع اًذ ا ِإَلى اْلَيَمِن َفَقاَل َك ْيَف َتْقِض ي َفَقاَل‬
‫َأْقِض ي ِبَم ا ِفي ِكَتاِب ِهَّللا َقاَل َفِإْن َلْم َيُك ْن ِفي ِكَتاِب ِهَّللا َقاَل َفِبُس َّنِة‬
‫َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َفِإْن َلْم َيُك ْن ِفي ُس َّنِة َر ُسوِل‬
‫ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َأْج َتِهُد َر ْأِيي َقاَل اْلَحْم ُد ِهَّلِل اَّلِذ ي َو َّفَق‬
‫َر ُسوَل َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن َبَّش اٍر‬
‫َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن َج ْع َفٍر َو َع ْبُد الَّرْح َمِن ْبُن َم ْهِد ٍّي َقااَل َح َّد َثَنا ُش ْع َبُة‬
‫َع ْن َأِبي َعْو ٍن َع ْن اْلَح اِر ِث ْبِن َع ْم ٍر و اْبِن َأٍخ ِلْلُمِغ يَرِة ْبِن ُش ْع َبَة‬
‫َع ْن ُأَناٍس ِم ْن َأْهِل ِح ْم ٍص َع ْن ُم َع اٍذ َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه‬
‫َو َس َّلَم َنْح َو ُه َقاَل َأُبو ِع يَس ى َهَذ ا َحِد يٌث اَل َنْع ِر ُفُه ِإاَّل ِم ْن َهَذ ا اْلَو ْج ِه‬
‫َو َلْيَس ِإْسَناُد ُه ِع ْنِد ي ِبُم َّتِص ٍل َو َأُبو َعْو ٍن الَّثَقِفُّي اْس ُم ُه ُمَحَّم ُد ْبُن‬
‫ُع َبْيِد ِهَّللا‬
Ketika rasul mengutus mu’adz ke yaman, beliau bertanya: wahai mu’adz, bagaimana
caramu memberikan putusan/hukum? Dia menjawab; aku memutuskan/menghukumi
berdasarkan ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul bertanya lagi: bagaimana kalau tidak
ada dalam al-quran? Mu’adz menjawab, maka aku memutuskan berdasarkan sunnah
rasul s.a.w. Rasul bertanya lagi: bagaimana bila tidak kau temukan dalam sunnah
rasul ? Mu’adz menjawab: maka aku berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul
bersabda: segala puji bagi allah yang telah memberikan petunjuk/taufik kepada duta
rasul saw

Hadis ini turun ketika salah seorang sahabat rasul s.a.w, mu’adz bin jabal, hendak
diutus rasul untuk menjadi gubernur di yaman. Namun sebelum mu’adz berangkat ke
yaman, rasul terlebih dahulu memanggilnya untuk di uji (fit and propertest) sejauh
mana dia bisa diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang disampaikan
rasul tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang pedoman dia (mu’adz)
dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam pengakuan mu’adz, dia akan
menjalankan roda kepemimpinanya sebagai gubernur yaman dengan berlandaskan
pada al-qur’an, sunnah, dan ijtihad (berpikir dan bekerja keras). Untuk jawaban yang
pertama dan kedua, rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan
mu’adz, akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul mencoba menggali sejauh
mana upaya mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan
sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada mu’adz karena dia bisa menjawab
pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.

Ini artinya bahwa hadis di atas telah memberikan isyarat kepada kita bahwa dalam
menjalankan roda kepemimpinan kita tidak bisa hanya mengandalkan pedoman al-
qur’an dan sunnah, akan tetapi kita juga harus pandai-pandai mencari alternatif
pedoman yang lain yang bisa mengilhami kita dalam mengeluarkan keputusan.
Bukannya kita hendak mengatakan bahwa al-qur’an dan sunnah tidak sempurna, akan
tetapi untuk merespon semua peristiwa yang terjadi di dunia ini kita dituntut untuk
mencari dan mencari segala macam alternatif solusinya. Apabila kita tidak menemukan
dasarnya di al-qur’an dan sunnah, mungkin kita bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan
lokal yang telah tumbuh dan berkembang di dalam sebuah masyarakat. Karena itulah
kita juga mengenal apa yang oleh para ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau kaidah
fiqh yang berbunyi al-‘adah muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah bersabda: bila
engkau menemukan kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari mulut anjing.

Hadis ke 34
Good and clean governance dalam Islam
‫َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلُقُّد وِس ْبُن ُمَحَّم ٍد َأُبو َبْك ٍر اْلَع َّطاُر َح َّد َثَنا َع ْم ُرو ْبُن‬
‫َع اِص ٍم َح َّد َثَنا ِعْمَر اُن اْلَقَّطاُن َع ْن َأِبي ِإْس َح َق الَّش ْيَباِنِّي َع ْن َع ْبِد‬
‫ِهَّللا ْبِن َأِبي َأْو َفى َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَّن َهَّللا‬
‫َم َع اْلَقاِض ي َم ا َلْم َيُج ْر َفِإَذ ا َج اَر َتَخ َّلى َع ْنُه َو َلِز َم ُه الَّش ْيَطاُن َقاَل‬
‫َأُبو ِع يَس ى َهَذ ا َحِد يٌث َحَس ٌن َغ ِر يٌب اَل َنْع ِر ُفُه ِإاَّل ِم ْن َحِد يِث‬
‫ِعْمَر اَن اْلَقَّطاِن‬
Rasul bersabda sesungguhnya allah senantiasa bersama dengan hakim/qodi sepanjang
dia tidak menyeleweng. Kalau dia sudah menyeleweng maka allah akan menjauh
darinya, dan syetan menjadi temannya.

Selain islam mengajarkan pentingnya prinsip keadilan dalam sebuah kepemimpinan,


islam juga menekankan pentingnya kepemimpinan yang bersih. Secara substansial,
keduanya memang tidak ada perbedaan yang berarti, bahkan bila seorang pemimpin
sudah berbuat adil, maka bisa dikatakan kepemimpinannya sudah bersih. Karena
keadilan merupakan forndasi dan perilaku bersih adalah dindingnya. Jadi meski
fondasinya kuat namun bila tidak ditopang oleh dinding yang juga kuat, maka
bangunagan itu mudah roboh oleh “goyangan-goyangan” dari pihak luar. Oleh sebab
itu, yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain, bahkan harus saling menopang antara
keduanya.

lantas bagaimana yang dimaksud dengan kepemimpinan yang bersih di dalam hadis
ini? Yang dimaksud kepemimpinan yang besih adalah sebuah sistem kepemimpinan
yang tidak “dinodai” oleh perilaku-perilaku menyeleweng dari pemimpinanya. Wujud
konkrit dari perilaku menyeleweng ini adalah seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain itu, pemimpin juga dituntut harus menjaga “kebersihan” moralnya. Sehingga
yang dimaksud bersih kemudian bukan saja menyangkut perilaku sosial melainkan juga
perilaku individual.

sedangkan dalam konteks kepemimpinan politik kontemporer, kita mengenal istilah


yang disebut “clean and good governance”. Istilah ini sebenarnya mengandung konsep
dasar bahwa sebuah kepemimpinan itu harus baik dan bersih, terutama bersih dari
korupsi dan modus-modus penyelewengan yang lain. Sehingga untuk mencapai sebuah
kepemimpinan seperti itu diperlukan kesetaraan peran antara negara (pemerintah),
pasar dan rakyat yang salah satu di antara ketiganya tidak boleh ada yang mendominasi.
Karena bila peran negara terlalu kuat atau dominan maka akan menimbulakn hegemoni
dan cenderung totaliter, sedangkan bila peran pasar (swasta) yang terlalu dominan,
maka semua kehidupan rakyat akan diatur dengan modal atau pemilki modal. Bila
seseorang tidak punya modal, maka dia tidak punya posisi tawar yang kuat. Sementara
bila kedua instutusi di atas terlalu lemah, dan rakyat begitu kuatnya, maka chaos atau
kekacauan yang akan menghantui sebuah negara. Oleh sebab itu, kembali pada hadis di
atas, bahwa tindakatan kotor seperti penyelewengan kekuasaan adalah tindakan yang
sangat dikutuk dalam islam. Dan sebaliknya, pemerintahan yang baik dan bersih justru
sangat ditekankan dan dijamin pasti akan dilindungi oleh allah.swt.
Hadis ke 35
Pemimpin harus peka terhadap Kebutuhan rakyat
‫َقال َع ْم ُرو ْبُن ُم َّر َة ِلُم َع اِوَيَة ِإِّني َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه‬
‫َو َس َّلَم َيُقوُل َم ا ِم ْن ِإَم اٍم ُيْغ ِلُق َباَبُه ُد وَن َذ ِوي اْلَح اَجِة َو اْلَخ َّلِة‬
‫َو اْلَم ْسَكَنِة ِإاَّل َأْغَلَق ُهَّللا َأْبَو اَب الَّس َم اِء ُد وَن َخ َّلِتِه َو َح اَجِتِه َو َم ْسَكَنِتِه‬
Setiap pemimpin yang menutup pintunya terhadap orang yang memiliki hajat,
pengaduan, dan kemiskinan maka allah akan menutup pintu langit terhadap segala
pengaduan, hajat dan kemiskinannya.

Kepemimpinan bukan saja menuntut kecerdasan otak dan kekuatan otot, melainkan
juga harus ditunjang oleh rasa sensifitas yang tinggi terhadap persoalan-persoalan
menyangkut rakyatnya. Sehingga apapun persoalan yang menimpa rakyatnya, maka
pemimpin harus peka dan segera mencarikan solusinya. Di sinilah sebenarnya tugas
pokok seorang pemimpin; yaitu mendengar keluh kesah rakyat untuk kemudian
mencarikan jalan keluarnya.

Karena itulah, islam (melalui hadis di atas) memerintahkan seorang pemimpin untuk
membuka pintu terhadap segala keluh kesah rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud pintu
disini bukan semata-mata berarti pintu rumah ataupun pintu istana, melainkan lebih
dari itu yang sangat ditekankan adalah pintu hati atau nurani seorang pemimpin.
Karena meski seorang pemimpin tinggal di istana megah dan berpagarkan besi dan
baja, bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan rakayat, maka allah juga akan
membukkaan “pintu hati-nya” untuk mendengar keluh kesah sang pemimpin itu.

Hadis ke 36
Pemimpin dilarang mengambil keputusan dalam
keadaan emosional
‫َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َأِبي َبْك َر َة َقاَل َكَتَب َأِبي ِإَلى ُع َبْيِد ِهَّللا ْبِن َأِبي‬
‫َبْك َر َة َو ُهَو َقاٍض َأْن اَل َتْح ُك ْم َبْيَن اْثَنْيِن َو َأْنَت َغْض َباُن َفِإِّني‬
‫َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل اَل َيْح ُك ْم اْلَح اِكُم َبْيَن‬
‫اْثَنْيِن َو ُهَو َغْض َباُن َقاَل َأُبو ِع يَس ى َهَذ ا َحِد يٌث َحَس ٌن َصِح يٌح َو َأُبو‬
‫َبْك َر َة اْس ُم ُه ُنَفْيٌع‬
Janganlah seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang
berseteru dalam keadaan marah (emosional)

Keputusan seorang presiden adalah dasar dari kebijakan sebuah negara. Begitu juga
keputusan seorang pimpinan dalam sebuah organisasi adalah acuan dalam
menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan atau
mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin sebaiknya tidak sedang dalam keadaan
“panas”, marah, atau emosional. Hal ini bukan saja ditentang oleh hadis nabi s.a.w
melainkan juga dikutuk oleh teori manajemen organisasi. Dalam teori manajemen
organisasi dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh mengeluarkan atau membuat
keputusan dalam keadaan marah atau emosi yang tidak stabil. Bila dipaksakan, maka
keputusan itu dihasilakan dari sebuah proses yang kurang matang dan terburu-buru
sehingga dampaknya akan sangat merugikan terhadap pelaksana keputusan tersebut.

Meski di dalam hadis ini yang disebutkan adalah hakim, namun secara substansial kita
sepakat bahwa dalam keadaan emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim, pemimpin,
maupun orang awam sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil keputusan.
Banyangkan bila kita sedang bertengkar dengan istri di rumah misalkan, tetapi setelah
di tiba di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang harus diputuskan, maka bisa jadi
sisa-sisa emosional kita di rumah, secara sadar atau tidak, akan ikut terbawa hingga ke
kantor dan mempengaruhi kita dalam memutuskan sebuah perkara. Oleh sebab itu, bila
kita hendak mengambil keputusan maka terlebih dahulu kita harus mendinginkan
suasana dan menengkan pikiran sehingga semua pertimbangan bisa kita akomodir
secara seimbang dan matang.

Hadis ke 37
Hukuman bagi pemimpin yang suka money politic
Rasul s.a.w melaknat orang yang menyuap dan disuap.

Hadis ini sungguh sangat relevan untuk konteks indoensia saat ini, di mana dalam
setiap unsur birokrasi kita hampir dipastikan tidak bisa lepas dari yang namanya
“suap”. Mulai dari ngurus ktp di tingkat rt, hingga ngurus tender proyek infrastruktur di
tingkat presiden, mulai dari pemilihan ketua rt hinhha pemilihan presiden. Semuanya
tidak steril dari praktik suap-menyuap. Entah dari mana asal muasalnya, yang jelas
praktik suap ini sudah diperingatkan oleh rasul. Itu artinya, sejak kepemimpinan rasul
s.a.w, pratik suap ini sudah terjadi, dan rasul turun untuk memerangi pratik kotor ini.

Bila kita memaknai ancaman “laknat” bagi penyuap dan yang disuap sebagaiman hadis
di atas, maka sebenarnya ancaman itu menunjukkan sebuah ancaman yang cukup berat.
Karena bahasa laknat biasanya bukan hanya berarti hukuman tuhan di akhirat,
melainkan juga terjadi di dunia. Kita lihat misalkan dalam kasus kaum sodom yang
dilaknat tuhan dengan berbagai penyakit yang menyakitkan dan mematikan, demikian
pula setelah di akhirat nanti mereka juga akan kembali dilaknat dengan lebih kejam.
Oleh sebab itu, allah tidak akan bermain-main dengan praktik kotor yang menjijikkan
ini.

Namun anehnya, banyak di antara orang yang tidak sadar kalau dirinya sudah disuap.
Fenomena ini banyak kita temui ketika menjelang pemilu, misalkan seorang kiai/ulama
pemimpin pesantren yang diberi (biasanya pakai bahasa disumbang) sejumlah dana
oleh partai politik tertentu agar pesantrennya mau mendukung parpol yang
bersangkutan. Sang kia sering tidak sadar (atau berpura-pura tidak sadar) bahwa dana
sumbangan itu bisa dikategorikan, yang dalam bahasa politiknya, sebagai money politic.
Memang praktik “sumbangan politik” ini tidak terlalu kentara sebagai suap, namun bila
sebuah sumbangan itu dilandasi oleh kepentingan tetentu dan tuntutan tertentu, maka
ia layak disebut suap. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila sumbangan dana itu
tidak disertai tuntutan ? Memang dalam setiap sumbangan, terutama menjelang
pemilu, kepentingan dan tuntutannya tidak mungkin dikatakan secara harfiyah atau
gamblang. Bahkan bisa jadi seorang politisi pemberi sumbangan itu tidak langsung
mneyebutkan kepentingannya dalam menyumbang. Akan tetapi, bila sumbangan itu
turun sementara situasi saat itu adalah pemilu, maka sudah bisa dipastikan bahwa
sumbangan itu adalah money politic. Oleh sebab itu, untuk menjaga kesyubhatan
sebuah sumbangan, sebaiknya kita perlu melacak dulu asbabul wurudnya.

Hadis ke 38
Hadis ke 39
Wajib berkata benar kepada pemimpin meski
terasa pahit
‫َح َّد َثَنا َأُبو ُنَع ْيٍم َح َّد َثَنا َع اِص ُم ْبُن ُمَحَّمِد ْبِن َزْيِد ْبِن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن‬
‫ُع َم َر َع ْن َأِبيِه َقاَل ُأَناٌس اِل ْبِن ُع َم َر ِإَّنا َنْد ُخ ُل َع َلى ُس ْلَطاِنَنا َفَنُقوُل‬
‫َلُهْم ِخ اَل َف َم ا َنَتَك َّلُم ِإَذ ا َخ َر ْج َنا ِم ْن ِع ْنِدِهْم َقاَل ُكَّنا َنُع ُّد َها ِنَفاًقا‬
Ada serombongan orang yang berkata kepada ibnu umar; kalau kami bertemu dengan
para pemimpin kami maka kami pasti mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda
dengan apa yang kami katakan bila tidak bertemu dengan mereka (pemimpin). Ibnu
umar berkata: hal itu kami anggap sebagai sebuah sikap munafik. (hr. Bukhori)

Ada satu tradisi buruk yang sering kita lakukan ketika kita menghadap pimpinan, yaitu,
selalu mengatakan yang baik-baik, yang senang-senang, dan yang sukses-sukses. Tradisi
ini bukan saja dilakukan oleh para menteri ketika menghadap presiden, melainkan
tidak jarang juga dilakukan oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri melakukan tradisi
buruk itu dengan tujuan menjilat dan mengharap pujian dari sang pemimpin
(presiden). Tapi yang tidak bisa kita fahami ternyata tidak sedikit rakyat biasa juga
melakukan praktik buruk tersebut. Memang, bila rakyat biasa tidak separah sebagaiman
dilakukan menteri, akan tetapi sebuah sikap berdiam diri ketika berhadapan dengan
pemimpin adalah sebuah sikap yang oleh hadis di atas bisa dikategorikan sebagai
“munafik”. Padahal, bila kita bertemu pemimpin kita, misalkan kita mendapat
kesempatan bertemu langsung dengan presiden kita, maka harus kita manfaatkan
waktu pertemuan itu untuk mnegatakan yang sebenarnya tentang situasi atau
kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Di hadapan pemimpin itulah justru sebuah
kesempatan untuk mengatakan bahwa, misalnya, rakyat sedang kekuranagn pangan,
rakyat butuh pendidikan gratis, rakyat butuh harga murah, dsb. Bila pemimpin yang
bersangkutan marah dan mengancaman sikap tegas kita, maka kita jangan sekali-kali
mundur, karena itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Dan membohongi kenyataan
adalah sama dosanya dengan berbuat munafik. Oleh sebab itu, hadis ini sangat relevan
dengan situasi indoensia saat ini yang banyak diwarnai oleh sikap kepura-puraan dalam
berperilaku dan berkomunikasi dengan pimpinan.

Hadis ke 40
Sikap dengki pemimpin sangat membahayakan
Muadz berkata: rasul s.a.w mengutusku pergi ke yaman. Ketika aku berangkat
kemudian rasul menyuruh orang untuk memanggilku pulang kembali. Kemudian beliau
berkata: tahukah engkau kenapa aku memanggilmu kembali ? Yaitu agar engkau tidak
terjerumus pada sesuatu yang tidak aku perbolehkan, yakni sifat dengki, karena siapa
yang dengki, maka kedengkiannya itu akan datang kepadanya hari kiamat. Dengan
maksud itulah aku memanggilmu, ingat itu…! Sekarang kembalilah kamu ke wilayah
kekuasaanmu.

Hadis ini turun ketika rasul s.a.w telah mengutus mu’adz bin jabal untuk menjadi
gubernur di negeri yaman. Sebagaimana diceritakan dalam hadis di atas, bahwa
kepentingan rasul untuk sejenak memanggil pulang kembali mu’adz adalah untuk
menasehati dia agar menghindari sikap dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan
dia ke jurang kesesatan. Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap dengki itu
cukup berbahaya. Padahal dari sikap yang seolah remeh tersebut, bisa melahirkan
sebuah sikap yang dampaknya jauh lebih berbahaya dari sekedar dengki, terutama bila
dikaitkan dengan masalah kepemimpinan.

Bila seorang pemimpin selalu dihinggapi rasa dengki, maka jangan harap
kepemimpinannya akan sukses. Namun tentu yang dimaksud dengki di sini bukan
sekedar bermakna iri hati atau cemburu, akan tetapi sebuah sikap ketidak puasan
seotang pemimpin atas kekuasaan yang dipegangnya. Padahal, seorang pemimpin
sudah diberi “kekuasaan”, diberi fasilitas, di beri kehormatan, namun tidak sedikit
masih banyak pemimpin yang merasa kurang dan kurang lagi atas jabatan, kehormatan,
status, harta, dan kakuasaan. Bila seorang pemimpin tidak mampu menahan nafsu
semacam ini, maka jangan harap kepemimpinanya serta rakyat yang dipimpinnya akan
hidup dengan sejahtera. Oleh sebab itu, meski rasa dengki adalah masalah biasa ,
namun dampak negatifnya menjadi luar biasa. (sumber: zunlynadia@wordpress).
Assalamu’alaikum wr wb
Hampir setiap kali menjelang pemilihan, kerap beredar isu-isu miring yang melekat pada para calon pemimpin
terutama isu-isu sensitif seperti liberal dari segi ekonomi, antek partai terlarang, rasial, atau keyakinan agama.
Sedangkan sementara ini ada benar-benar orang non muslim yang menjadi pemimpin. Yang saya tanyakan, apakah
kita sebagai seorang muslim boleh memilih pemimpin non muslim? Terima kasih atas keterangannya.
(Abdurrahman/Jakarta)

Jawaban
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Penanya yang budiman. Semoga Allah merahmati kita semua. Pemimpin menempati posisi penting dalam Islam.
Karena pemimpin memegang kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mulai dari kesehatan,
transportasi, tata kelola sumber daya alam, kesejahteraan, dan pelbagai kebijakan publik lainnya.
Penanya yang budiman, ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya
Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin
dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.

‫َو اَل يجوز َت ْو ِلَي ة الِّذ ِّمّي ِفي َش ْي ء من واليات اْلُم سلمين ِإاَّل ِفي جباية اْلِج ْز َي ة من أهل‬
‫ َفَأما َم ا يجبى من اْلُم سلمين من‬.‫الِّذ َّم ة َأو جباية َم ا ُيْؤ َخ ذ من ِتَج اَر ات اْلُم ْش ركين‬
‫ َو اَل َت ْو ِلَي ة َش ْي ء من ُأُم ور‬،‫خراج َأو عشر َأو غير َذ ِلك َفاَل يجوز َت ْو ِلَي ة الِّذ ِّمّي ِفيِه‬
‫ {َو لْن َيْج َع ل هللا لْل َك اِفِر يَن على اْل ُم ؤمِنيَن َس ِبيال} َو من ولى‬:‫ َقاَل َت َع اَلى‬،‫اْلُم سلمين‬
.‫ِذ ِّم يا على ُم سلم فقد جعل َلُه َس ِبيال َع َلْي ِه‬
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti
penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin.
Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh
mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka
untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.

Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.”
Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan
jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil
Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).

Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-
Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil,
rincian terhadap jabatan.

‫ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض‬
‫منهم‬
Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim).
Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya),
tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul
Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).

Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya
menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai
kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk
pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.

Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh
pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.
Menurut hemat kami, memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, atau ketua RW
dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya
bersifat pelaksana dari UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim tidak bisa
membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU
turunan lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi
pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di
jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan
konstitusi.

Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat
dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung
sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak
kearifan hukum Islam.

Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non muslim sering beredar menjelang pemilihan. Sebut saja ayat
berikut ini.

‫يا َأُّيَه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا اَل َتَّت ِخ ُذ وا اَّلِذيَن اَّتَخ ُذ وا ِديَنُك ْم ُه ُز ًو ا َو َلِع ًب ا ِمَن اَّلِذيَن ُأوُتوا اْل ِك َت اَب‬
‫ِمْن َقْب ِلُك ْم َو اْلُك َّفاَر َأْو ِلَي اَء َو اَّت ُقوا َهَّللا ِإْن ُكْنُتْم ُم ْؤ ِمِنيَن‬
“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu sebagai olok-olok dan mainan
baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu
orang yang beriman.”

Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali” inilah, menentukan jawaban dari yang
saudara Abdurrahman pertanyakan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.

‫والمعنى ال تتخذوا أولياء وال أصفياء من غير أهل ملتكم ثم بين سبحانه وتعالى‬
‫ ال َي ْأُلوَنُك ْم َخ بااًل‬:‫علة النهي عن مباطنتهم فقال تعالى‬
Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu sebagai wali dan kawan karib.”
Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan
mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut
Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).

Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi rahasia antara keduanya.
Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-
orang musyrik dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan, dapur
umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara
komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis agama.

Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak sambung dan tidak tepat kalau ayat
ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut
hemat kami, kitab-kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada baiknya menelaah
kembali tafsir-tafsir Al-Quran.

Saran kami berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun non muslim. Karena mereka ke depan akan
mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat integritas calon dan track record mereka. Kami juga
berharap kepada warga untuk tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga bisa penjelasan kami ditangkap dengan baik. Dan kami
selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb

Sumber Dari: http://www.ngaji.web.id/2015/11/hukum-memilih-pemimpin-non-muslim.html#ixzz4ccu4NiDy

Anda mungkin juga menyukai